BENDE MATARAM JILID 40 TUBAGUS SIMUNTANG
Sehabis
mengocok Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri, ia sengaja
memamerkan kecepatan beriarinya. Setelah dua tiga kali mengitari gelanggang
pertempur-an, matanya yang tajam melihat berkelebat-nya Sangaji yang ikut
berlari-lari pula menge-jar nyala asap kuning yang dinyalakannya. Sebagai
seorang pendekar yang sudah banyak makan garam, ia terkesiap menyaksikan
kegesitan Sangaji. Mau ia menduga, bahwa Sangaji adalah salah seorang anggota
rom-bongan ketujuh aliran yang datang meluruk ke Gunung Cibugis. Tetapi setelah
diamat-amati beberapa waktu lamanya, ia tak menemukan buktinya. Bahkan pemuda
itu senantiasa menguntit dan mengamat-amati segala gerak-gerik anak murid Edoh
Permanasari dan anak-anak Mandalagiri. Kalau bukan termasuk golongan mereka,
apakah ada pihak ketiga yang menyelusup masuk ke atas Gunung Cibugis, pikirnya.
Memperoleh pikiran demikian, ia mendaki Gunung Cibugis untuk mewartakan hal itu
kepada rekan-rekannya. Semenjak zaman mudanya, kecepatan lari Tubagus Simuntang
tiada duanya dalam dunia. Makin bertambah usianya makin masak pula ilmu
beriarinya. Hal itu dapat dibuktikan betapa ia dapat' mengocok Edoh Permanasari
sambil memeluk tubuh Mia Kurnia. Sekarang ia mau cepat-cepat mendaki gunung.
Maka kepesatannya tak dapat dilukiskan lagi. Mendadak selagi ia melintasi
ketinggian yang pertama ia melihat sesosok tubuh yang sedang berdiri
terlongong-longong seperti seseorang kehilangan dirinya sendiri. Dialah Manik
Angkeran. Pemuda itu menerima pesan Rostika agar mengantarkan Atika kepada
ayahnya. Setelah berputar-putar dengan pikiran pepat, ia berjumpa dengan
Suhanda. Begitu Suhanda melihat Atika serta menerima kalung berleon-tin intan,
lantas saja ia berubah ingatan. Atika disambarnya dan dibawa lari
menubras-nubras. Sudah barang tentu, hati Manik Angkeran bertambah tak keruan
rasanya. Dengan sekuat tenaga ia mengejarnya. Dan malam itu, ia berdiri di atas
ketinggian sibuk menduga-duga ke mana arah larinya Suhanda. Tubagus Simuntang
adalah seorang pen-dekar yang berwatak usilan. Melihat seorang pemuda yang
tengah berdiri terlongong-longong, hatinya tertarik. Terus saja ia meng-hampiri
dari belakang. Ia sengaja menerbitkan suatu suara agar membangunkan kesadaran
pemuda itu. Benar juga. Mendengar suara bergemeresak, Manik Angkeran terbangun
kesadaran-nya. Ia adalah murid tabib sakti Ibrahim. Meskipun yang dipelajari
khusus mengenai ilmu ketabiban, namun Ibrahim adalah murid Sadewata seorang
tokoh sakti pada zaman itu. Meskipun tidak sehebat adik seperguruannya Diah
Kartika atau yang di sebut nenek dari pegunungan Karumbi tidaklah berarti bahwa
ia tidak mengenai ilmu tata berkelahi. Maka Manik Angkeran mewarisi ilmu tata
berkelahi dari perguruan Sadewata. Itulah pula sebabnya dalam kekusutan hatinya
masih saja ia sang-gup menangkap bunyi Iangkah Tubagus Si-muntang. Cepat ia
menoleh, tapi tiada se-orangpun. "Apakah aku bermimpi?" kata Manik
Angkeran dalam hati. Mengira demikian, per-hatiannya tertumpah kembali kepada
Atika yang dibawa lari oleh Suhanda. Teringatlah dia kepada tutur kata Rostika,
bahwa pada hari itu semestinya ia berada di Gunung Cibugis bersama-sama dengan
Suhanda seumpama tidak terhalang oleh Diah Kartika. Maka ia yakin Suhanda
membawa lari Atika mendaki gunung. Tak berani ia berayal lagi. Terus saja ia
lari mendaki Gunung Cibugis dengan secepat-cepatnya. Tapi suara langkah di
belakangnya, segera terdengar lagi. Manik Angkeran terhe-ran-heran. Cepat ia
menoleh, tapi tetap saja tiada nampak seorangpun. Mendadak ia lari kembali ke
tempatnya semula. Waktu itu bulan sudah cerah. Dia pun seorang cerdik. Dengan
tajam ia meneliti jejaknya. "Ha." Selain bekas tapak kakinya terdapat
pula jejak tapak kaki seorang. Jadi jelaslah, bahwa pendengarannya tidak salah.
Maka tahulah dia, seseorang yang ber-ilmu tinggi menguntitnya dengan diam-diam.
Hanya anehnya, mengapa bayangan orang itu tiada nampak padahal ia menoleh
dengan cepat. Apakah otang itu dapat menghilang? Dengan penuh tanda tanya,
kembali Manik Angkeran berlari-lari mendaki gunung. Dan suara langkah terdengar
kembali se-perti tadi. "Siapa kau?" teriak Manik Angkeran tanpa
menoleh. "Siapa kau?" sahut seorang di belakangnya. Keruan saja,
Manik Angkeran terkejut sampai meremang. Tadi ia mengira, bahwa suara sahutan
itu adalah gaung suaranya sendiri. Tapi nada suara" itu terang bukan nada
suaranya. Terus saja ia membentak, "Apakah kau setan?" Suara itu
lantas menyahut lagi. "Kau sendiri setan atau manusia?" Secepat kilat
Manik Angkeran menoleh. Kali ini, matanya menangkap berkelebatnya se-sosok
bayangan. Maka tahulah dia, bahwa dengan kecepatan yang luar biasa orang itu
mencoba menyembunyikan diri. "Mengapa kau menguntit aku?" tegurnya.
"Gntuk apa aku mengikuti engkau?" sahut orang itu. "Bagaimana
aku tahu?" Manik Angkeran tertawa geli. "Itulah sebabnya aku bertanya
kepadamu, apa sebab aku kau ikuti." "Bagaimana aku tahu? Itulah
sebabnya aku bertanya kepadamu." Orang itu menirukan pula. Meskipun aneh,
tapi kesannya lucu. Terang, dia tak bermaksud jahat. Maka dengan ramah Manik
Angkeran minta keterangan, "Siapakah namarnu?" "Tak dapat
kukatakan," sahut orang itu. "Mengapa?" "Karena kau belum
memperkenalkan namamu." "Bagus!" Manik Angkeran berseru geli
senang. "Namaku, Manik Angkeran." "Bohong! Namamu bukan
itu." ' Manik Angkeran heran. Menegas, "Orang tuaku yang melahirkan
berkata, bahwa namaku Manik Angkeran. Kau yang tidak per-nah melahirkan aku,
mengapa bisa berkata bahwa namaku bukan Manik Angkeran?" "Bohong!
Namamu .bukan itu," orang itu tetap membandel. "Kalau bukan Manik
Angkeran, lantas siapa?" "Kau sendiri tahu." "Benar memang
aku tahu. Namaku Manik Angkeran" "Bohong! Bukan itu."
"Lantas siapa?" "Orang hidup. Namamu orang hidup!" seru
orang itu. Dan nada suaranya berubah menja-di puas. Manik Angkeran terhenyak
sejenak. Lantas tertawa senang. Menyahut, "Ya benar. Aku memang manusia
hidup. Kaupun manusia hidup, bukan?" "Tidak. Namaku bukan manusia
hidup." "Kalau bukan, lantas apa?" Manik Angkeran geli.
"Namaku Tubagus Simuntang. Kebetulan menjadi manusia hidup."
Mendengar penjelasan itu, Manik Angkeran benar-benar tertawa geli. Aneh benar
cara berpikir orang ini, kata Manik Angkeran dalam hati. Namun oleh tanya jawab
selintasan itu terasalah dalam hati Manik Angkeran bahwa Tubagus Simuntang
tidak mempunyai maksud jahat fcepadanya. Malahan mengesankan suatu keakraban
dengan caranya sendiri. Me-ngingat kegesitannya, pastilah dia seorang berilmu
tinggi pula. Berkenalan dengan orang semacam dia, lebih banyak keuntungannya
daripada merugikan. Lalu bertanya, "Kau hen-dak pergi ke mana? Bukankah
ini larut malam?" "Kau hendak pergi ke mana. Bukankah ini larut
malam?" Tubagus Simuntang menirukan lagi. . Tak ragu-ragu Manik Angkeran
memberi keterangan, "Aku mencari seorang keme-nakan yang dibawa lari
seorang." "Kemanakan laki-laki atau perempuan?" "Perempuan.
Namanya Atika." "Hidih! Di tengah malam seorang laki-laki mencari
seorang perempuan. Apakah pan-tas?" Manik Angkeran terhenyak. Entah apa
se-babnya, tiba-tiba parasnya terasa menjadi panas. Menyahut cepat-cepat,
"Tapi dia masih kecil. Kira-kira berumur tiga tahun." "Tapi
perempuan tetap perempuan. Biarpun masih bayi. Dan kau laki-laki mencari
seorang perempuan di tengah malam buta. Apakah pantas?" Tubagus Simuntang
tetap ngotot. "Siapa yang membawa lari perempuan itu?" "Suhanda.
Ayahnya." • "Mah, kau lebih sinting lagi. Kalau dia dibawa ayahnya,
mengapa kau mencarinya?" "Dia ... Dia berubah ingatan."
"Hm. Jadi kau mencari seorang perempuan yang berubah ingatan? Ini lebih
hebat dari sin-ting." "Bukan! Bukan dia! Dia ayahnya yang sin-ting
... eh yang berubah ingatan," Manik Angkeran kuwalahan. "Bagus! Dia
berubah ingatan. Apakah engkau juga berubah ingatan?" "Kau putarlah
menghadap aku, nanti kau bisa melihat aku dengan jelas apakah aku sin-ting atau
bukan," sahut Manik Angkeran. "Buat apa melihat tampangmu? Hai! Apakah
ayahnya pandai berkelahi?" "Tentu" "Mana yang lebih pandai.
Kau atau dia?" 'Tentu saja, dia." "Kalau begitu kau takkan bisa
merebut anaknya." "Biarpun kalah, tetap akan kurebut juga."
"Bagus! Hatimu teguh benar!" puji Tubagus Simuntang. "Tapi kau
tak bakal mendaki gunung ini." "Apa sebab?" "Ada larangan.
Kau bakal mampus sebe-lum menginjak dataran tinggi. Kau percaya, tidak?"
"Biarpun ada larangan, aku tetap mendaki." "Darimana kau tahu
ada larangan!" "Kau yang bilang sendiri." "Ah ya,"
sahut Tubagus Simuntang terkejut. Rupanya dia kena makan jebakannya sendiri.
"Hai! Kenapa kau menguntit aku?" Manik Angkeran kini ganti mengusut.
"Karena heran, aku tertarik padamu. Sekarang perempuan itu sudah dibawa
ayah-nya. Biarpun dibunuh atau dimakan tulang dagingnya, apa pedulimu?"
"Tidak boleh." "Mengapa tidak boleh? Bukankah perem-puan itu
anaknya sendiri? Apakah kau berhak melarang?" Tentu. Ibunya sudah
mempercayakan dia kepadaku," sahut Manik Angkeran. Dan de-ngan singkat ia
mengisahkan riwayat per-jalanannya. Kemudian berkata, "Tuan Tubagus
Simuntang, tolonglah aku!" "Mengapa aku harus menolpngmu?"
"Karena engkau seorang pendekar yang baik budi." "Mengapa kau
tahu, aku seorang yang baik budi?" "Buktinya engkau tak mengusik aku.
Pa-dahal aku sudah berada di daerah larangan." Tubagus Simuntang terdiam
sebentar. Menyahut, "Sayang, sayang." "Mengapa sayang?"
"Aku bilang sayang ya sayang. Mengapa usilan?" Tubagus Simuntang
meningkatkan suara. "Sebab, aku tak bisa menolongmu. Sebab aku belum kenal
siapa ayah perempuan itu. Sebab aku belum kenal benar siapakah engkau? Sebab
itu, aku bilang sayang...." Tapi Manik Angkeran seorang pemuda yang cerdas
dan wataknya mirip Fatimah. Katanya menirukan pula, "Sayang ...
sayang...." "Mengapa sayang?" Tubagus Simuntang tak sadar ganti
minta penjelasan. "Aku bilang sayang ya sayang. Mengapa usilan?"
Manik Angkeran meningkatkan suaranya. "Sebab, aku tak bisa menolongmu.
Sebab aku belum kenal siapakah engkau. Sebab aku belum kenal siapakah yang
melukaimu. Sebab aku seorang murid tabib sakti yang justru mendengar suara
napasmu yang kurang beres. Sebab itu, aku bilang sayang...." "Hai,
hai, hai!" Tubagus Simuntang gugup. "Kau bilang pernapasanku kurang
beres. Apakah yang kurang beres?" "Aku bilang kurang beres ya kurang
beres. Bukankah urat nadi tumitmu seringkali terasa nyeri?" "Hai!
Bagaimana kau tahu?" "Ah, hanya menebak sekenanya saja. Sebab aku
murid seorang tabib sakti. Kau tahu, se-orang tabib senang menebak penyakit
sese-orang." "Tapi kau benar! Dahulu pernah aku berusa-ha mencari
burung Ciung berbulu biru. Katanya burung itu banyak terdapat di Pulau Tinjil.
Kau tahu Pulau Tinjil? ltulah sebuah pulau di sebelah selatan Tanjung Panto.
Waktu itu gelombang laut selatan sedang pasang. Walaupun begitu aku tempuh
juga. Sayang ... sungguh sayang ... Setelah sampai di sana, justru burung Ciung
) berbulu biru. Katanya burung itu banyak terdapat di Pulau Tinjil? Itulah
sebuah pulau di sebelah selatan Tanjung Panto ). Waktu itu gelombang laut
selatan sedang pasang. Walaupun begitu aku tempuh juga. Sayang ... sungguh
sayang ... setelah sampai di sana, justru burung Ciung berbulu biru itu tiada
lagi. Katanya pada setiap musim tertentu dua puluh lima tahun sekali Ciung biru
itu akan balik kembali dari pengembaraan-nya." Raja Pajajaran yang mengenakan
nama burung ialah: Ciung Wanara, burung Beo dan Kera. Sebagai peringatan
diketemukan dirinya oleh seorang pengail yang kebetulan pula di-saksikan oleh
dua binatang tersebut. Raja Ciung Wanara menjadi dikenal para pendekar di Jawa
Barat. Termasuk Tubagus Simuntang. "Apakah kau bakal ke sana lagi?"
potong Manik Angkeran. "Tentu." "Kalau begitu, biarlah aku ikut
membantu-mu." "E-hm! Tenagamu masih seperti kurcaci, masakan bisa
menempuh gelombang laut?" sahut Tubagus Simuntang. Tiba-tiba mening-katkan
suara. "Hai! Apa sebab engkau ingin membantu aku?" "Aku murid
seorang tabib sakti. Ingin aku menolong menyembuhkan?" "Apakah kau
bisa?" "Kalau Ciung biru itu tiada, pastilah akan kutemukan
caralain." Tubagus Simuntang tercengang. Pikirnya seperti sibuk. "Kau
bilang, kemenakanmu dibawa ayah-nya yang berubah ingatan. Gunung Cibugis adalah
sebuah gunung yang banyak jurang curam. Bagaimana kalau dia melemparkan anak
perempuannya itu?" Mendengar kata-kata Tubagus Simuntang yang masuk akal,
hati Manik Angkeran gelisah bukan kepalang. Tak disadari ia mempercepat
larinya. Tubagus Simuntang tertawa gelak. Berkata mengejek, "Kau kurcaci
maunya akan terbang melintasi gunung ini. Mana bisa? Kau mau menemukan orang
itu? Apakah kau merasa pasti, dia berada di atas?" "Ya," sahut
Manik Angkeran. Kemudian menyatakan alasannya. "Bagus! Kau pernah terbang
atau belum?" Manik Angkeran tak mengerti maksud per-tanyaan itu. Baru saja
hendak minta penje-lasan, sekonyong-konyong tubuhnya menjadi mati kutu.
Tahu-tahu ia dikempit tanpa bisa bergerak kecuali mementang mulut. "Akan
kau bawa ke mana aku?" tanya Manik Angkeran. "Kau kini sudah berada
di dalam kempitan tanpa bisa berkutik. Kalau mau, jiwamu bisa kucabut dengan
mudah," sahut Tubagus Simuntang dengan tertawa terbahak-bahak. "Kau
tahu? Sebentar tadi aku sudah me-renggut nyawa salah seorang murid iblis
perempuan. Kalau kau banyak bertingkah, nyawamu akan kucabut pula. Karena itu,
diam-diamlah." Manik Angkeran mati kutu benar-benar. (Jntung, dia tadi
telah memperoleh kesan baik terhadap Tubagus Simuntang. Dia yakin, orang itu
tidak bermaksud jahat. Hanya saja, ia tak dapat menebak maksudnya.
"Siapakah nama murid iblis perempuan itu?" dia bertanya. "Kau
jangan cerewet! Kalau kau mau sela-mat, tutuplah mulutmu. Sekali aku melepaskan
kempitanku, kau bakal runtuh ke dalam jurang," sahut Tubagus Simuntang
galak. Diam-diam Manik Angkeran memaki, "Kalau kau sampai membuang aku ke
dalam jurang, malah kebetulan. Artinya kaupun bakal tak panjang umurmu,
Bukankah kau bakal mati digerumuti penyakitmu?" Tetapi dia hanya bisa
berpikir kalang kabut dalam hati. Gntuk menyatakan dengan mulut, tak berani.
Bukan main cepat larinya Tubagus Simun-tang. Dirinya seperti tak mempunyai daya
berat. Dengan enak saja, ia dibawa terbang melompati jurang-jurang. Mula-mula
ia meme-kik karena kaget dan takut. Kemudian menu-tup mata. Setelah ia mengunci
mulut, dengan memenuhi doa panjang pendek di dalam hati. Betapa tidak? Meskipun
tangkas dan gesit, namun Tubagus Simuntang masih manusia. Sekali terpeleset,
bukankah berarti terjebur di dalam jurang yang entah berapa ratus meter
dalamnya? Sedang pikiran dan rasa hatinya kalut tak keruan, tiba-tiba ia merasa
suatu kesegaran agak hangat. Perlahan-lahan ia membuka mata. Ternyata fajar
telah menyingsing. Tiba-tiba ia mendengar suatu seruan berku-mandang di
kejauhan, "Hohoooi... Simuntang! Kau baru datang?" "Ada suatu
kejadian di tengah jalan! Kau tahu di mana Dadang Wiranata berada?"
"Tidak. Benar-benar aneh! Apa sebab dia-pun datang kasep," sahut orang
itu dari ke-jauhan. "Simuntang! Apakah kau berpapasan pula dengan yang
lain?" "Tidak!" sahut Tubagus Simuntang. Mendengar serentetan
percakapan itu, diam-diam hati Manik Angkeran terkesiap. Pikirnya, rupanya
Tubagus Simuntang salah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Celaka! Guruku
justru berada di pihak Ratu Fatimah. Kalau sampai ketahuan, bukankah aku bakal
mati tak berkubur." "Dwijendra!" kata Tubagus Simuntang.
"Mari kita pergi mencari Dadang Wiranata! Aku khawatir, dia kena
bahaya." "Dadang Wiranata seorang cerdik luar biasa. Lagi pula kebal
dari sekalian senjata. Apakah yang dapat membahayakan dirinya?" sahut
orang yang disebut Dwijendra. 'Tapi aku mempunyai firasat kurang baik,"
Tubagus Simuntang mencoba meyakinkan. Pada saat itulah, sekonyong-konyong
ter-dengar suara berkumandang dari dataran lem-bah. "Hoooeeee...!
Dwijendra dan kau Simuntang ke mari! Celaka! Sungguh celaka!" Mendengar
seruan itu. Tubagus Simuntang keheranan. Katanya, "Hai kenapa si Otong
Surawijaya?" Lantas berseru nyaring: "Kau bangsat celaka memanggil
aku. Siapa yang celaka?" Dwijendra yang tiba-tiba sudah meng-hampiri
Tubagus Simuntang berkata seperti kepada dirinya sendiri. "Suara Otong
biasanya keras seperti burung betet. Kenapa kali ini begitu lemah? Apakah dia
terluka?" "Ya, nampaknya dia terluka. Mari?" ajak Tubagus
Simuntang. Mereka berdua melesat turun dari keting-gian. Dwijendra terdengar
berkata, "Siapakah yang kau kernpit ini?" "Di tengah jalan
kutemukan bocah sinting ini. Takut kalau-kalau mati kecebur jurang, lebih baik
kubawa saja. Mengapa?" sahut Tubagus Simuntang. Dan mendengar ujar Tubagus
Simuntang, hati Manik Angkeran mendongkol. Kalau menuruti hati, mau ia
menyemprotnya. Tapi tadi, dia diwajibkan mengunci mulut. Kalau tidak, bakal
dibuang begitu saja. Agaknya Tubagus Simuntang bisa berbuat begitu, meni-lik
ucapannya kini berkesan setengah liar. "Bahan bagus!" kata Dwijendra.
Kemudian berseru nyaring: "Hoooeee Otong Surawijaya! Kau memanggul
siapa?" "Lihat sendiri!" sahut Otong Surawijaya. "Bukankah
kau mempunyai mata?" "Huh! Si Kuda membawa aksinya," dengus
Tubagus Simuntang. "Hayo bawa ke atas! Masakan kuda tunggangan tak becus
mem-bawa beban?" Seperti diketahui, Otong Surawijaya adalah pernimpin
pasukan Panji-panji kelompok Kuda Semberani. Karena itu, ia disebut kuda oleh
rekan seangkatannya. "Kau kentut edan!" maki Otong Surawijaya.
"Lihat yang terang! Siapa yang kupanggul ini?" Hampir berbareng
Dwijendra dan Tubagus Simuntang berseru kaget, "Hai! Dadang Wiranata!
Kenapa? Apakah terluka?" Dwijendra dan Tubagus Simuntang menper-cepat
langkahnya. Mendadak Manik Angkeran berkata, "Turunkan aku ke tanah. Biar
kulihat, luka apa yang diderita rekanmu?" Sebagai seorang tabib, dia
keranjingan apa-bila mendengar suatu macam penyakit. Tak terduga, tiba-tiba
saja tubuhnya dilontarkan pulang balik ke udara. Keruan hatinya kalang kabut
sampai memekik-mekik. "Hai! Kau me-ngapakan aku ini?" "Kau bisa
menutup mulutmu atau tidak?" bentak Tubagus Simuntang tak senang.
"Biar kujelaskan. Yang berjalan bersama aku berna-ma Dwijendra. Kepala
pasukan Panji-panji Bintang Nusantara. Dia seorang muslim. Sedikit banyak ia
mengenai Tuhan. Tapi yang berbicara di bawah dan yang dipanggul itu, bukan
seperti kami berdua. Dia bernama Otong Surawijaya, kepala pasukan Panji-panji
Kuda Semberani. Dan yang dipanggul ber-nama Dadang Wiranata, kepala pasukan
Panji-panji Obor Menyala. Mereka berdua itu setengah liar. Bisa membunuh orang
tanpa banyak berbicara. Tahu?" "Aku kan tidak kenal mereka? Lagi pula
apa salahku terhadap mereka?" bantah Manik Angkeran. "Membunuh
manusia, masakan perlu ber-tanya segala. Kau salah atau tidak, apakah mereka
perlu mengusut sampai bertele-tele?" Manik Angkeran mengangguk-angguk.
Sebagai murid tabib sakti Maulana Ibrahim yang berpihak pada Ratu Fatimah,
sudah barang tentu seringkali mendengar tentang ke-kejaman dan keliaran
anggota-anggota Him-punan Sangkuriang. Benar tidaknya, bukanlah soal.
"Hai, anak sinting! Kenapa kau tak menya-hut?" tegur Tubagus
Simuntang. "Bukankah aku kau larang berbicara?" sahut Manik Angkeran.
Tubagus Simuntang terhenyak sejenak. Kemudian tersenyum puas. Katanya,
"Bagus! Begitulah anak manis. Kau diam-diamlah saja. Kalau kau patuh
padaku, pasti mereka tak kan berani mengusik dirimu. Setelah berkata demikian,
ia berseru nyaring kepada Otong Surawijaya: "Kenapa Dadang Wiranata?"
"Kurang terang," sahut Otong Surawijaya. "Kuketemukan dia sudah
kempas-kempis seperti kucing mau mampus. Biasanya aku bersyukur, kalau dia kena
celaka. Tapi melihat dia begitu sengsara, betapapun juga tak sam-pai hatiku.
Kutolong dia sebisa-bisaku. Eh, bandotan itu kena macam racun yang aneh luar
biasa. Begitu lengannya kuraba, aku men-dadak kena hisap. Rupanya dia mau
mem-bawa kuda bangkotan ini ke neraka." Mendengar keterangan tentang racun
aneh dan melihat betapa kuyu Otong Surawijaya, baik Dwijendra maupun Tubagus
Simuntang terus saja meloncat mendekati. "Hai! Jangan raba dia! Apakah
kalian mau mampus?" teriak Otong Surawijaya. "Aku mampus atau tidak,
kau peduli apa?" bentak Tubagus Simuntang. "Hai Dwijendra! Kau berani
mampus, tidak?" Tanpa banyak berbicara, Dwijendra lantas menyambar tubuh
Dadang Wiranata. "Badannya sudah dingin. Benar-benar hebat racun yang
mengeram dalam dirinya. Otong, bagaimana kau sampai kena hisap? Kau memang
binatang tukang ngobrol." "Kentutmu!" maki Otong Surawijaya.
"Aku tadi mencoba mengalirkan tenagaku. Tapi begitu menempel, aku kena
sedot. Kau tak percaya boleh coba!" Dwijendra hendak membuktikan, mendadak
Otong Surawijaya menyanggah. Katanya lan-tang, "Nanti dulu! Aku sudah jadi
korban, biar-lah aku mati perlahan-lahan. Kau yang masih sehat, biarlah mampus
di kemudian hari. Itu saja, bocah di kempitan Simuntang." Mendengar
kata-kata Otong Surawijaya, Manik Angkeran terkejut setengah mati.
"Jangan!" sahut Tubagus Simuntang. "Bocah ini mempunyai bahan bagus.
Dia murid seorang tabib sakti. Barang kali bisa menjual jasa kepada...."
"Hm-hm ..." dengus Otong Surawijaya. "Kau mau menggunakan bocah
ini untuk merampas kedudukan Dadang Wiranata, bukan? Huh, huh! Jangan mimpi di
siang hari bolong. Kutanggung Dadang memilih mampus, dari-pada kau sembuhkan
dengan suatu pemba-yaran yang terlalu mahal." "Tidak! Tidak!"
bantah Tubagus Simuntang. "Pendek kata, Himpunan Sangkuriang kini dalam
bahaya. Di bawah sana tujuh aliran Seperti dua burung garuda, muncullah dua pendekar
pemimpin panji-panji Keris Sakti dan Bunga Mekar dengan berbareng, Walisana dan
Ratna BumL sedang meluruk ke mari. Pasukanmu dan pasukan Dwijendra saling
tikam. Juga pasukan Dadang Wiranata ikut-ikut nimbrung pula. Inilah bencana
hebat. Satu-satunya jalan menghadapi bencana ini, kalian harus bersatu
padu." Setelah berkata demikian, diluar dugaan Tubagus Simuntang
menempelkan tangannya ke punggung Dadang Wiranata. Keruan saja, Otong
Surawijaya terkejut. Buru-buru men-cegah, "Hai! Hai! Apakah kau rela mati
untuk dia? Bagus! Setia kawan memang bagus. Tapi ingat nyawamu sendiri!"
"Akupun mau mencoba mampus," kata Dwijendra. Terus saja ia membantu
Tubagus Simuntang mengerahkan tenaga saktinya. Karena didorong oleh dua tenaga
dahsyat, racun yang mengeram dalam tubuh Dadang Wiranata dapat dibuyarkan.
Dengan merintih, Dadang Wiranata menjenakkan mata. Begitu melihat siapa yang
menolong, dia berkata le-mah: "Simuntang, Dwijendra, terima
kasih...," tiba-tiba giginya berceratukan. Tubuhnya terus menggigil.
Tubagus Simuntang dan Dwijendra bukan-lah tokoh-tokoh sembarangan. Tetapi
mela-wan racun yang mengeram dalam tubuh Dadang Wiranata, mereka tak berani
sem-berono. Beberapa bagian tenaga saktinya benar-benar kena hisap, sehingga
untuk beberapa waktu lamanya tak berani bersuara. Sekonyong-konyong
terdengarlah suara kecapi mengalun dari puncak gunung sebelah timur. Berbareng
dengan itu, terdengar pula suara suitan melengking. "E-hm ... Ratna Bumi
dan Walisana sudah datang pula," ujar Otong Surawijaya. Segera ia berseru
menyambut, "Ratna Bumi dan kau Walisana, pendeta buduk! Di sini, Dadang
Wiranata mau mampus. Kemarilah!" Suara kecapi dan suitan berhenti dengan
mendadak. Itulah suatu tanda, bahwa mereka mendengar seruan Otong Surawijaya.
Ter-dengar Walisana berkata, "Hai, Otong kuda binal! Siapa yang mau
mampus?" "Kentutmu! Lihat sendiri!" sahut Otong Surawijaya
bersungut-sungut. "Kau bilang apa?" kata Walisana. "Kenapa
suaramu begitu lemah seperti banci? Kau ter-luka? Hai! Tubagus Simuntang,
Dadang Wiranata dan Dwijendra tak apa-apa, bukan?" "Kentutmu! Lihat
sendiri! Lebih baik kau cari akal untuk menolong mereka! Seperti dua burung
garuda, muncullah pen-dekar pemimpin pasukan panji-panji Keris Sakti dan Bunga
Mekar dengan berbareng. Sekali melesat, mereka tiba di depan Otong Surawijaya.
Begitu tiba, Walisana terus saja memberon-dongi Otong Surawijaya dengan
pertanyaan-pertanyaan gencar. Dan seperti adatnya, Otong Surawijaya lantas
memaki-maki kalang kabut. "Kentut! Kentut! Kau berhak apa meng-usut aku
seperti maling kesiangan?" "Supaya mulutmu yang kotor jangan
mengumbar hawa busuk!" sahut Walisana cepat. "Kau ngeluyur ke mana
saja sampai kasep?" "Kebetulan aku berada di timur, mendengar kabar
datangnya kurcaci-kurcaci dari Mandalagiri, Watu Gunung, Lumbung Ami-sena membawa
adik-adiknya seperguruan Kudawanengpati dan Adipati Pesantenan Sosrokusumo.
Mereka membawa pula ratus-an muridnya. Huh-huh-kau mau apa seka-rang?"
"Panjangmas dari Gunung Kencana datang juga," Ratna Bumi menyambung.
"Hai, Panjangmas si kambing kudisan itu?" tungkas Otong Surawijaya.
"Wah, bakal terjadi tontonan hebat." "Tidak cuma itu.
Tokoh-tokoh Gunung Gilu, Gembol, Aseupan dan Muarabinuangeun berlomba-lomba
hendak menjual jasa di sini. Malahan Edoh Permanasari ikut-ikut nim-brung. Hai
Otong! Kekasihmu itu mau kau pengapakan? Tanggung kau tak bakal bisa
menciumnya," sambung Walisana. "Kentutmu!" maki Otong
Surawijaya. "Perlu apa aku mencium iblis itu? Hm-hm ... ini semua
gara-gara Tatang Sontani. Coba dia tidak akal-akalan memanggil kita, perlu apa
kita berada di sini." "Otong, jangan begitu!" ujar Walisana.
"Kita datang kemari bukan cuma hendak memenuhi panggilan Tatang Sontani.
Sebaliknya Tatang Sontani memanggil kita demi Himpunan Sangkuriang kita. Kalau
Himpunan Sangkuriang sampai dapat dibas-mi ke kuyuk tujuh aliran itu, masakan
kita masih bisa hidup di muka bumi? Tatang Sontani memang pernah mengecewakan
dirimu. Juga terlalu sombong terhadap kita semua. Tapi ... kita datang demi
Himpunan Sangkuriang. Bukan karena kita sudi jadi begundal Tatang
Sontani." "Ya, benar," sambung Ratna Bumi. Rupanya pendekar ini
tidak biasa berbicara ngelantur tak keruan. Tiba-tiba Tubagus Simuntang
menyam-bung, "Meskipun Tatang Sontani kerapkali menjengkelkan kita, tapi
kali ini dia berjuang untuk keutuhan Himpunan Sangkuriang. Karena itu wajib
kita bantu." "Kentutmu! Enak saja kau mengumbar mulut!" damprat
Otong Surawijaya. "Aku pa-ling benci mendengar nama manusia itu. Hai Ratna
Bumi! Kau dahulu pernah kena hajar Tatang Sontani sampai kakimu hampir remuk.
Apakah kau sudi diperintah manusia macam begitu?" "Ini perkara
keutuhan Himpunan Sang-kuriang. Perkara dengan dia mempunyai per-hitungan di
luar himpunan," sahut Ratna Bumi pendek tapi jelas. "Ya. Itu benar.
CIrusan himpunan lebih pen-ting dari pada urusan perorangan," sambung
Dwijendra yang selama tadi menutup mulut. "Huh!" dengus Otong
Surawijaya. "Kau bagaimana, Ratna Bumi?" "Pergi!" sahut
Ratna Bumi pendek. "Jadi kau menyerah kepada Tatang Sontani?" damprat
Otong Surawijaya dengan berjingkrak. "Kita berempat aku, kau, Dwijendra
dan Walisana dahulu pernah berikrar bersatu-padu menghantam si monyet Tatang
Sontani. Kenapa kau kini patuh padanya?" "Orusan himpunan lebih
penting," sahut Ratna Bumi pendek. "Baik. Kita berempatpun pernah
bersum-pah, tidak sudi lagi ikut campur mengenai urusan himpunan. Apakah ini
sumpah kentut." "Ya, sumpah kentut," sahut Ratna Bumi di-ngin.
Mendengar jawaban Ratna Bumi, Otong Su-rawijaya melototkan matanya. Ia
benar-benar bergusar sampai mulutnya bergetar. Katanya nyaring: "Bagus!
Memang kalian bangsa ken-tut. Aku tak mau pergi! Aku mau pulang!"
"Hm—hm, Otong!" tungkas Dwijendra. "Kita sudah berada di sini.
Masakan kita biarkan Himpunan Sangkuriang hancur lebur?" Walisana membujuk
Otong Surawijaya yang berwatak brangasan. Katanya: "Kau memang benar.
Tatang Sontani patut dihajar teng-kukriya. Tapi kalau dipikir, kita berempatpun
tidak bisa luput dari suatu kesalahan tatkala saling berebut hendak menduduki
kursi pim-pinan...." "Siapa bilang? Kita berempat masakan
ke-ranjingan perkara merebut tahta pimpinan? Kita pernah berbuat apa?"
bantah Otong Surawijaya. "Salah atau benar, semuanya sudah terjadi,"
tungkas Tubagus Simuntang. "Kita laki-laki masakan pantas
mengungkat-ungkat perkara yang sudah lampau? Kini kita menghadapi suatu
bencana. Kalian mengakui junjungan kita Ratu Bagus Boang, tidak?"
"Ya, tentu!" sahut Otong Surawijaya cepat. "Jika begitu, mengapa
akan berpeluk ta-ngan saja sewaktu melihat Himpunan Sangkuriang kita akan
hancur dibasmi lawan? Baiklah kau boleh pulang memeluki anak isterimu. Kami
akan berangkat memasuki medan laga. Cuma saja, kalau kami gugur berantakan
baiklah engkau yang mengurusi jenasah kami." "Kentut! Kentut!
Kentut!" bentak Otong Surawijaya kalang kabut. Mendadak saja ia melesat
dan menampar pipi Tubagus Simuntang. Hebat akibatnya! Pipi Tubagus Simuntang
melepuh seketika itu juga dan mulutnya mengeluarkan darah bergumpalan. Semua
yang menyaksikan terkejut. Otong Surawijaya tak terkecuali. Mereka semua tahu
bahwa ilmu kepandaian Tubagus Simuntang sejajar dengan Otong Surawijaya.
Malahan kegesitannya tiada yang melawan. Pantasnya dia dapat mengelak tampaian
Otong Surawijaya. Nyatanya tidaklah demikian. Itulah sebabnya, Otong Surawijaya
menyesal bukan main. Katanya nyaring, "Kenapa kau tak mengelak? Hayo,
balaslah aku! Hayo, pukul aku! Kalau tidak mau, kau bukan manusia!" Tetapi
Tubagus Simuntang hanya tersenyum saja. Sahutnya tenang, "Tenagaku jauh
lebih penting untuk kusumbangkan kepada mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang
nanti. Apa untungnya memukul kawan seperjuangan sendiri?" Mendengar jawaban
Tubagus Simuntang, meiuapiah amarah Otong Surawijaya. Si bra-ngasan itu lantas
menghantam mukanya sendiri. Plak-plok, plak-plok! dan mukanya melepuh seketika
itu juga dan mulutnya me-ngeluarkan darah bergumpalan. "Otong! Apa-apaan
ini?" tegur Walisana. "Habis! Masakan aku pantas menampar Tubagus
Simuntang? Dia tak mau membalas, maka aku membalas kekurangajaranku
sendiri." ''Otong!" kata Tubagus Simuntang sambil mengusap lukanya.
"Kita ini tak ubah saudara sekandung. Kepergian kita kemari adalah untuk mengadu
nyawa demi menegakkan cita-cita bangsa. Esok atau lusa, kita akan gu-gur
sebagai daunrontok. Apakah artinya hanya terkena pukulanmu satu kali
saja?" Otong Surawijaya terharu mendengar per-kataan Tubagus Simuntang.
Tiba-tiba saja ia menangis menggerung-gerung. Lalu berkata memutuskan,
"Baiklah. Akupun ikut mendaki Gunung Cibugis. Hutang Tatang Sontani
biarlah kutangguhkan sementara waktu." "Nah! Begitulah baru
bagus!" seru Walisana dan Dwijendra girang. Dengan memanggul Dadang Wiranata,
mereka berangkat bersama mendaki gunung. Selagi mereka berlomba, tiba-tiba
Tubagus Simuntang nyeletuk: "Otong! Sebenarnya racun apa yang mengeram
dalam tubuh Dadang? Kau tahu siapakah yang meracun." Otong Surawijaya
terkesiap. "Ya, soal itulah yang sebenarnya menjadi pokok persoalan yang
penting, kalau saja tidak melantur pada urusan himpunan." Teringat bahwa
dirinya yang justru membuat kericuhan itu, dia menyahut tersipu-sipu. "Aku
memang anjing edan! Biarlah aku nanti yang membalaskan dendam ini, Simuntang!
Kau biasanya tajam rasamu. Apakah kau merasa, bahwa di dalam tubuh kita sudah
tersusupi musuh dalam selimut?" "Itulah yang kukhawatirkan."
Dalam pada itu Manik Angkeran tetap saja membungkam mulut. la merasa diri
seperti tersiksa. Tapi mengingat bahwa ia tak diusiknya, diam-diam bersyukur di
dalam hati. Sekonyong-konyong kepalanya terbentur sebuah batu. Sebentar ia
menjenakkan mata. Sekelilingnya menjadi gelap. Napasnya pun menjadi sesak. Maka
tahulah dia, perjalanan mereka memasuki sebuah terowongan yang hampir-hampir
tidak berhawa. Tidak lama kemudian hawa menjadi agak longgar. Dan cahaya terang
benderang me-nyambut pandang matanya. Tapi tidak lama, perjalanan rombongan itu
memasuki terowongan lagi. Begitulah sampai lima kali, dan barulah terdengar
Otong Surawijaya berseru nyaring: "Hai, Tatang Sontani! Kami empat
serangkai datang atas permintaanmu!" Sejenak kemudian terdengarlah suara
se-orang menyambut jauh di sana. "Ah, benar-benar tak kukira kalian sudi
datang ke mari. Maafkan sampai aku tak menyambut ke-datangan kalian
jauh-jauh." "Tak/perlu kau main sandiwara kentut-ken-tutan!"
damprat Otong Surawijaya si be-rangasan. "Dalam hatimu kau mentertawakan
kami. Kami yang seperti kentut, karena tak bisa memegang janji. Katanya tak
sudi lagi mendaki ke mari, tapi hari ini justru datang ke mari
berbondong-bondong." "Itulah justru kami yang memohon ke-datangan
kalian," tungkas Tatang Sontani dengan takzim. "Semenjak kemarin aku
bersedih hati, memikirkan keroyokan tujuh aliran besar yang meluruk ke mari.
Tak kusangka demi cita-cita Himpunan Sangkuriang kalian sudi datang.
Benar-benar aku pantas menghormati keputusan kalian." "Begitu?
Mudah-mudahan hatimu berbicara begitu juga." Tatang Sontani kenal watak
Otong Sura-wijaya. Ia tak begitu merasukkan ucapan rekannya itu yang berlebih-lebihan.
Dengan segera ia memerintahkan beberapa orang untuk mempersiapkan meja
perjamuan. Mendadak ia melihat Dadang Wiranata dan Manik Angkeran yang
masing-masing dibawa oleh Dwijendra dan Tubagus Simuntang. "Hai! Kenapa
Dadang Wiranata?" ia berseru kaget. "Dan siapa ini?"
"Inilah yang justru hendak kutanyakan kepadamu," sahut Tubagus
Simuntang. "Apa-kah kau kenal siapa yang melukai dia?" Tatang Sontani
menaikkan alisnya. "Menga-pa engkau bertanya begitu kepadaku?"
"Kau tak tahu? Tak mengapa. Kamipun tak tahu," sahut Tubagus
Simuntang. Dia tak me-nerangkan siapa Manik Angkeran. Dan Tatang Sontani tak
mau mendesak. Tak lama kemudian, Dadang Wiranata sudah hampir pulih. Meskipun
percakapan belum lancar, namun ia sudah dapat meng-hadiri perjamuan. Ketujuh
orang itu adalah tokoh-tokoh wahid Himpunan Sangkuriang. Meskipun mereka saling
bersaingan, bahkan seringkali ber-musuhan namun menghadapi musuh dari luar
mereka bersatu padu. Suaranya penuh sema-ngat dan sama sekali tiada gentar
menghadapi ancaman. Setelah selesai makan, mereka berunding bagaimana caranya
menghadapi musuh. Dalam pada itu Manik Angkeran sudah dibebaskan Tubagus
Simuntang. Hanya saja dia tak diperkenankan meninggalkan ruang jamuan. Sesudah
berunding sebentar, terdengarlah suara Walisana. ) "Diah Kartika dan
Andangkara tiada hadir. Penasihat Agung Ki Tunjungbiru tiada pula. Mereka
bertiga baiknya tidak kita bicarakan. Yang paling penting sekarang ialah
bagai-mana kita menyelesaikan perselisihan kita yang tak ada gunanya ini. Kita
sekarang menghadapi musuh. Mati dan hidupnya Himpunan Sangkuriang tergantung
kepada kita bertujuh. Kalau kita saling tikam kecuali kita menderita kerugian
musuhpun dapat dengan leluasa memasuki dataran Gunung Gibugis. Dadang Wiranata
bisa kena racun tanpa dapat memberi keterangan siapakah yang meracuni. Ini
suatu tanda bahwa di antara kita. musuh dalam selimut sudah semenjak lama
berkeliaran tanpa sepenge-tahuan kita. Hm, sekiranya Andangkara saat ini hadir
pula, jangankan tujuh aliran delapan belasnya dua puluh aliranpun, kita tidak
perlu jeri. Benar atau tidak?" Tiba-tiba Simuntang menyahut sambil
mendepak kaki Manik Angkeran. "Bocah ini mempunyai hubungan erat dengan
Diah Kartika. Diapun anak murid seorang tabib sakti keturunan Sadewata."
Keruan saja Manik Angkeran kaget setengah mati. Bagaimana tahu? Pemuda itu tak
mengerti, bahwa bagi mata seorang ahli seperti Tubagus Simuntang sekali melihat
sudah dapat menebak dengan jitu dari mana asal perguruannya. Teringat bahwa
gurunya justru berpihak kepada Ratu Fatimah, tubuhnya menggigil tak dikehendaki
sendiri. "Bagus!" seru Dadang Wiranata. "Kenapa tak berkata
sedari tadi. Hayo, obati aku!" Terus saja ia melonjorkan kakinya. Dan
karena Tubagus Simuntang tak melarang, Manik Angkeran terus bekerja. "Simuntang
memang banyak bertingkah. Dia mau menjual jasa kepada Dadang, agar mendukungnya
menduduki tahta pimpinan pusat. Huh-huh jangan harap!" damprat Otong
Surawijaya. "Siapa kesudian menjual jasa?" bentak Tubagus Simuntang.
"Eh. Rupanya perkara siapa pengganti Gusti Ratu Bagus Boang makin hari
akan makin ruwet, kalau saja tidak cepat-cepat mendapat penyelesaian,"
tungkas Walisana. "Hai Otong! sekiranya begini terus menerus, apakah suatu
kepandaian setinggi langit dapat mengatasi percekcokan kita ini?" "Ha
... aku mau bertanya kepada Tatang Sontani," sambung Dadang Wiranata.
"Sekira- nya musuh sudah dapat kita mundurkan, kau akan mendukung
siapa?" \ "Bukankah semenjak dahulu sudah kita tetapkan bersama?
Tidak peduli siapa apabila dapat memiliki ketiga pusaka Jawa Barat de-ngan
sekaligus, itulah dia yang akan ku-dukung. Nah, siapakah di antara kamu yang
sudah berhasil memiliki pedang Sokayana, Kalung berlian lstambul, dan buah
sakti Dewa Ratna?" "Sudah puluhan tahun ketiga pusaka itu hilang
tiada kabarnya. Apakah kalau ketiga pusaka itu tidak diketemukan, masakan
Himpunan Sangkuriang bakal tiada pemimpin besarnya?" kata Dadang Wiranata.
Dengan pertolongan Manik Angkeran, kesehatannya berangsur-angsur menjadi pulih
kembali. Sayang, saat itu seluruh perhatiannya tertuju kepada pembicaraan
perebutan tahta pim-pinan, sehingga peranan Manik Angkeran yang sebenarnya
mengherankan tidak mera-suk dalam pengamatannya. "Ya, itu harus kita
perbincangkan," sambung Dwijendra. "Himpunan Sangkuriang tanpa
seorang pemimpin besar, samalah halnya dengan sebuah kapal tanpa kemudi.
Pikirkanlah hai itu!" "Tidak cuma seperti kapal tanpa kemudi. Malahan
seperti manusia tanpa kepala," ujar Otong Surawijaya. "Siapa kesudian
melihat manusia tanpa kepala. Itulah sebabnya pula, ketujuh aliran kurcaci itu
berani menghina kita." "Perkara penghinaan itu tidak hanya karena
kita tidak mempunyai seorang pemimpin besar, tetapi lantaran kita bercekcok
saling tikam sendiri," kata Dwijendra. "Tepat perkataan
Dwijendra." Tubagus Simuntang menguatkan. "Karena itu menurut pendapatku,
siapa saja di antara kita tidak menjadi soal. Kalau tidak mungkin,
se-tidak-tidaknya seorang wakil pemimpin yang akan kita patuhi bersama."
"Bagus! Akupun sependapat," kata si bera-ngasan Otong Surawijaya.
Mereka lantas berdebat dengan seru. Hanya seorang saja yang tetap membisu.
Dialah Ratna Bumi si pendekar tanpa suara. Wajah Tatang Sontani nampak berubah.
Kemudian berkata nyaring mengatasi perde-batan mereka. "Kalian datang ke
mari bertujuan memban-tu mengusir musuh atau bertujuan hendak menerbitkan suatu
pertengkaran saja?" "Hi ha ha potong Otong Surawijaya dengan
tertawanya. "Aku tahu hatimu. Kau tak menginginkan melantik seorang
pemimpin besar yang berasal dari kita. Masakan aku t^k tahu membaca hatimu?
Kalau Himpunan Sangkuriang tiada seorang pemimpin besar pengganti Gusti Ratu
Bagus Boang, bukankah berarti engkaulah yang berkuasa penuh? Karena kedudukanmu
dahulu adalah Mang-kubumi Gusti Ratu Bagus Boang, dengan sendirinya engkau
berhak mengangkat dirimu sendiri sebagai Yang Dipertuan Agung. Hm, hm, meskipun
andaikata kedudukanmu se-tinggi langit, kalau kita tidak sudi patuh kau mau
apa? Kami berempat ditambah kini Dadang Wiranata, sudah biasa hidup tanpa
pemimpin pusat. Masakan sudi menghamba kehadirat Yang Dipertuan Agung? Jangan
mimpi!" Mendengar ujar Otong Surawijaya, Tatang Sontani berdiri serentak.
Lalu berkata dengan nada dingin: "Hari ini kita sedang menghadapi musuh
dari luar. Tatang Sontani tiada waktu lagi untuk mengadu lidah dengan kalian.
Kalau kalian datang melulu hendak melihat hancurnya Himpunan Sangkuriang
belaka, nah pulanglah! Pulang! Kelak, manakala aku masih selamat aku berjanji
akan mengunjungi kalian. Seorang demi seorang untuk mohon ujian."
"Tatang Sontani! Seyogyanya kaupun tak perlu berpanas hati," ujar
Dwijendra. "Mengusir dan menghancurkan musuh adalah kewajiban kami
bersama. Bukan melulu kewajibanmu." "Tetapi di antara kita ada yang
berdoa, moga-moga Tatang Sontani kena disembelih musuh," kata Tatang
Sontani dengan mening-katkan suaranya. "Kau maksudkan siapa?" si berangasan
Otong Surawijaya membentak. "Kalian sudah dewasa, masakan tak bisa membaca
hati sendiri," sahut Tatang Sontani pasti. Otong Surawijaya terus meledak.
Katanya nyaring, "Apakah yang kau maksudkan aku?" Tatang Sontani tak
meladeni. la membuang mukanya. Melihat suasana pertemuan menjadi panas dan
besar kemungkinannya Otong Surawijaya akan berhantam dengan Tatang Sontani
buru-buru Walisana melerai. Katanya tenang, "Sudahlah... sudahlah!
Betapapun juga, kita ini anak asuhan Gusti Ratu Bagus Boang. Rekan seperjuangan
hidup atau mati. Mari kita akhiri percekcokan ini. Perkara pemilihan seorang
pemimpin besar pengganti Gusti Ratu Bagus Boang, baiklah kita tangguhkan
dahulu. Kini mari kita kembali mencari kata sepakat berkata menghadapi
keroyokan lawan yang tidak boleh kita anggap seenteng kapuk. ^ "Walisana!
Kata-katamulah yang paling tepat. Kau memang pantas disebut seorang
pendeta," kata Tatang Sontani. "Bagus! Si pendeta Walisana mempunyai
kata-kata yang paling tepat. Jadi aku si Otong kuda edan yang selamanya tidak
mempunyai kata-kata yang tepat," teriak Otong Sura-wijaya. Dia sudah
terlanjur marah. Betapa dia dapat menggunakan otaknya lagi untuk berpikir
panjang. Terus membentak, "Kau tak menghendaki diadakan pemilihan dahulu?
Huh huh ... aku justru menghendaki agar hari ini kita mengadakan pemilihan
siapa di antara kita yang pantas menduduki kursi pimpinan. Aku mengusulkan
Dadang Wiranata. Ilmu sak-tinya Aji Gineng adalah ilmu yang paling ting-gi dan
yang paling kuat di antara kita. Siapapun tak akan mampu mengatasi
kehe-batannya. Lagipula akalnya banyak." Semua anggota pucuk pimpinan
pemerin-tahan tahu semua, bahwa semenjak dahulu Otong Surawijaya berselisih
dengan Dadang Wiranata dalam segala halnya. Kini mendadak sontak ia mendukung
pengangkatan itu. Keruan saja semua orang tahu, soalnya karena didorong oleh
rasa mendongkol serta panas hati belaka terhadap Tatang Sontani. Tatang Sontani
tak sudi kalah gertak. Terus saja menyahut, "Ha ... haa ... menurut
penda-patku yang paling tepat dan yang paling baik adalah Otong Surawijaya
sendiri. Dialah yang pantas menduduki kursi pimpinan. Aku me-nyokong."
Setelah berkata demikian ia tertawa bergelak. Katanya lagi, "Saat ini
Himpunan Sangkuriang sudah terpecah-belah. Kalau Otong Surawijaya yang menjadi pimpinan
pusat, pastilah akan beres. Sebab Otong Surawijaya mempunyai modal yang tak
dapat kita atasi. Modal asal berani. Ha, bukankah tepat?"
"Jahanam!" maki Otong Surawijaya. Kali ini benar-benar ia tak dapat
mengendalikan diri. Terus saja tangannya menghantam. Tadi ia dapat menampar
pipi Tubagus Simuntang, karena pendekar itu tak mau mengelak. Tapi Tatang
Sontani bukan Tubagus Simuntang. Melihat berkelebatnya tangan Otong Surawijaya
secara wajar ia menangkis. Belasan tahun yang lalu, mereka sudah sa-ling
bermusuhan perihal jabatan pengganti Gusti Ratu Bagus Boang. Itulah sebab
mu-sabab terjadilah sumpah. Sumpah empat serangkai pendekar yang tak sudi lagi
mendaki Gunung Cibugis. Sumpah tak tahu menahu tentang mati dan hidupnya
Himpunan Sang-- kuriang. Tetapi ternyata hari ini keempat-empatnya datang
semata-mata atas undangan Tatang Sontani. Benar-benar mencurigakan. Semenjak
tadi Tatang Sontani sudah berpikir pulang balik. Benarkah mereka datang
semata-mata karena undangannya sampai pula melanggar sumpahnya sendiri? Ataukah
mereka datang untuk sesuatu maksud tertentu hendak mengungkit-ungkit kembali
perkara kursi pemerintahan pusat? Kini, Tatang Sontani melihat tangan Otong
Surawijaya yang menyerangnya benar-benar. Jangan-jangan mereka mengajak Dadang
Wiranata untuk memperkuat diri hendak mengeroyok-nya dengan rencana tertentu.
Memikir demi-kian, ia memapaki pukulan Otong Surawijaya dengan suatu pukulan
pula berbareng menangkis. Dadang Wiranata yang sudah memperoleh kesehatannya
kembali oleh pertolongan Manik Angkeran terkesiap. Matanya yang tajam melihat
suatu cahaya hijau yang terpancar dari telapak tangan Tatang Sontani. Itulah
ilmu sakti Tunggulwulung yang terkenal semenjak zaman Pajajaran. Pukulan sakti
Raja Ciung Wanara sewaktu digunakan untuk mengalah-kan Aria Bangah. Sungguh
berbahaya! ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 40 TUBAGUS SIMUNTANG di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 40 TUBAGUS SIMUNTANG"
Post a Comment