BENDE MATARAM JILID 39 PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG



DERAPAN kuda itu makin terdengar nyata. Namun jaraknya masih jauh. Penunggangnya berpakaian seragam dengan mengenakan tanda pedang silang dan semberani. Jumlah-nya lima orang. Mereka bergerak sangat tangkas dan gesit. Tatkala melihat bekas tapak-tapak orang, hampir berbareng mereka menahan kendali kudanya. Pandang matanya mengembara penuh selidik. Dan pada saat itu muncullah seorang wanita berperawakan langsing diikuti oleh beberapa orang dengan bersenjata pedang. Dialah Ida Kusuma. Murid tertua Edoh Permanasari itu, segera mengurung mereka sangat rapatnya. Dari ternpat ke tempat tersembullah kurang lebih sera-tus orang yang terdiri dari wanita dan laki-laki. "Tangkap! Hidup atau mati! Jangan biarkan seorang pun lolos," terdengar perintah Ida Kusuma. Sangaji mencongakkan diri dari batu persembunyiannya. Ingin ia melihat apa yang mereka lakukan, dan bagaimana sikap lima orang beriencana tanda pedang siiang dengan kuda semberani itu. Meskipun anak murid Edoh Permanasari berjumlah hampir seratus orang, ternyata mereka tak mau main kerubut. Suwega, Dudung, Nia Kumia, Hayati dua pria dan dua wanita anak murid Edoh Permanasari melom-pat maju menghampiri. "Hai, bangsat Sangkuriang! Kau menyerah, tidak?" bentak Suwega dan Dudung hampir berbareng. Kelima anggota Himpunan Sangkuriang itu menarik senjatanya masing-masing. Dengan tertawa meialui hidung, mereka merabu penyerang-penyerangnya. Tangkas dan gesit gerak-geriknya. Senjata mereka meraung ganas. Namun mereka kena kerubut. Empat orang di antara mereka, jatuh terkulai dari kudanya. Tak usah diceri-takan lagi, bahwa sebentar saja tubuh mereka terobek-robek seperti daun pisang teran-tasi. Yang seorang segera memacu kudanya. Terang sekaii maksudnya, ia hendak kabur. Tetapi baru beberapa puluh meter, ia kena kurung Nia Kumia dan Hayati yang mengubar dengan dibantu pasukannya. "Turun!" bentak Nia Kurnia. Melihat datangnya bahaya, orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia meiepaskan panah berasap hitam ke udara. Meskipun pada siang hari, tapi keiihatan dengan nyata sekaii. Asap hitam bergelembung bagai awan hitam berguiungan. "Kau main gila apa?" maki Nia Kumia. Terus saja murid Edoh Permanasari meiompat menikam dengan pedangnya. Cepat orang itu memutar goloknya. Tapi bajunya masih saja kena babatan pedang. Bret! Dengan menjejak perut kudanya, orang itu meloncat ke tanah dengan jumpaiitan. Sekarang ia berada di tengah-tengah kepungan. Sebentar ia berjuang dengan gigih-nya. Dua orang lawan dapat dilukai. Kemudian dengan tertawa terbahak-bahak, ia berkata nyaring. "Kalian begundal-begundal Ratu Fatimah mau menangkap seorang anggota Himpunan Sangkuriang hidup-hidup? Jangan harap! Hayo majulah siapa yang bosan hidup!" Disumbari demikian, panaslah hati anak murid Edoh Permanasari. Tanpa segan-segan lagi, mereka merabu berbareng. Tapi baru saja. Tatkala itu Ida Kusuma sudah berada di tern-pat itu. Nia Kurnia yang memimpin penye-rangan segera lapor: "Adikmu ini tiada guna sampai menangkap atau membunuh lawan saja tidak becus. Dia mati karena tangannya sendiri." Ida Kusuma tak mengindahkan bunyi la-poran itu. Ia menengadah ke udara merenungi asap hitam yang bergulungan buyar berse-rakan. "Lihat! ltulah asap tanda bahaya." "Sayang, aku tak dapat mencegahnya," sahut Kurnia. "Mengapa mesti disayangkan? Kalau mere-ka segera berkumpul menurut Guru justru kebetulan. Dengan demikian akan memu-dahkan pekerjaan kita. Tidak perlu lagi mem-buru ke sana ke mari seperti yang sudah-sudah." Mendengar perkataan Ida Kusuma, Sangaji kaget. Meskipun belum mengerti bagaimana sesungguhnya Himpunan Sangkuriang, namun ia merasa seperti dekat pada dirinya. Melihat datangnya bahaya, orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia melepaskan pariah berasap hitam ke udara. Pikirnya, Kakek Guru, paman-paman guru dan ketiga guruku adalah pejuang-pejuang bangsa tak beda dengan pendekar-pendekar Jawa Barat ini. Mereka kini dimusuhi, masakan aku akan tinggal diam? Namun selama itu, ia beium melihat munculnya Edoh Permanasari. Mengingat kelicinannya, ia meninggikan kewaspadaan agar tidak bertindak ceroboh. Menjelang petang hari, mereka sudah ber-ada di sekitar lembah Gunung Cibugis. Selama itu mereka membungkam. Juga tatkala mereka beristirahat. Jumlah anak murid Edoh Permanasari kurang lebih seratus orang, berte-baran di balik-balik lindungan batu pegu-nungan atau gerombol semak. Pandang mata mereka mengarah ke puncak gunung. Tiba-tiba di tengah kesunyian itu, terdengar-lah suara seruling. Mula-mula terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian mendekat. Suaranya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Murid-murid Edoh Permanasari yang lagi hendak menikmati waktu istirahat terbangun wasangkanya. Mereka bercelingukan mene-barkan penglihatannya. Namun tak melihat sesuatu, padahal hari masih terang benderang. Seperti berjanji, mereka berdiri serentak. Aneh! Suara seruling itu, mendadak menjauh dan lenyap. "Pendekar dari manakah yang datang hen-dak berkenalan dengan kami?" seru Ida Kusuma nyaring. Ida Kusuma adalah murid tertua Edoh Permanasari. Dengan sendirinya, ilmunya ting-gi. Ternyata suaranya sangat nyaring dan terdengar jelas tiap-tiap patah katanya sampai berkumandang jauh. Waktu rembang petang tiba, suara seruling itu terdengar lagi. Kembali lagi, Ida Kusuma berseru nyaring. Dan begitu kumandang seru-annya hilang, suara seruling itu menghilang pula. Demikianlah berulang kali sampai alam menjadi gelap benar-benar. Sangaji tersenyum. Dia yang memiliki ilmu sangat tinggi, dengan sendirinya tahu orang yang meniup seruling itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba hatinya menjadi bangga. Pada saat itu, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah Edoh Permanasari. Segera Ida Kusuma mewartakan suara seruling yang mencurigakan itu. "Perintahkan agar semua berwaspada!" kata Edoh Permanasari tak senang. Ida Kusuma dengan cepat meneruskan pe-rintah itu. Selagi orang-orang sibuk mengatur perondaan, mendadak ia melihat seorang tidur bersengguran. Orang itu mengenakan jubah usang yang dibuatnya selimut. Sudah barang tentu Ida Kusuma terkejut berbareng heran. Terang sekali, dia bukan salah seorang anak murid perguruannya. Gurunya Edoh Permanasari adalah ahli waris ilmu sakti Ratu Fatimah yang hebat tiada taranya. Jangan lagi suara orang, sedangkan daun rontokpun dapat tertangkap pende-ngarannya. Tapi apa sebab orang ini, sama sekali tak diketahui kapan datangnya. Memikir demikian, ia memanggil Nia Kurnia dan Suwega. Kedua adik seperguruannya itu terus saja menghunus pedangnya sambil membentak, "Siapa kau?" Tetapi orang itu enak-enak mendengkur. Bahkan pantatnya seperti sengaja diketing-gikan seperti seekor anjing menelungkup tidur. Keruan saja, Nia Kurnia dan Suwega men-dongkol melihat penglihatan demikian, Suwega mengeluarkan pedangnya dan me-nyingkap jubah orang itu. Begitu jubah ter-singkap, nampaklah seorang berperawakan tipis tidur menungging. Dan suara dengkurnya bertambah menghebat. Nia Kurnia yang berada di samping Suwega lebih berhati-hati daripada rekannya. Dia berpendapat, pastilah bukan orang sem-barangan. Berpendapat demikian, ia segera rnenegur hati-hati, "Siapakah Tuan? Apakah Tuan mempunyai kepentingan sampai datang mengunjungi tempat kami?" Sebagai jawaban, orang itu menggeros kian keras. Keruan saja Nia Kurnia mendongkol diperlakukan begitu. Maka timbullah kegusar-annya. Segera ia mengayunkan pedangnya dan membabat orang itu. Sekonyong-konyong terlihatlah sebuah benda melesat menangkis pedang. Pada saat itu terdengarlah suara Edoh Permanasari memperingatkan: "Kurnia! Awas!" Baru saja habis perkataannya, orang ber-jubah usang itu sudah berada dua puluh langkah jauhnya. Bahkan Mia Kurnia sudah berada pula dalam pelukannya. Tanpa diperintah lagi, Ida Kusuma, Suwega, Hajati dan Dudung segera mengejar. Namun orang itu benar-benar tak ubah bayangan. Seperti iblis dia lenyap di balik tirai malam. Edoh Permanasaripun tak tinggal diam. Dengan bersuit panjang, ia melesat mengejar. Sekarang nampaklah perbedaan ilmu mereka. Dengan dua tiga langkah saja, Edoh Permanasari sudah meninggalkan ke empat muridnya sejarak sepuluh langkah lebih. Lantas dua puluh, empat puluh, lima puluh langkah. Setelah itu lenyap dari penglihatan. Tetapi orang yang diubernya ternyata lebih gesit dan lebih cepat larinya daripada Edoh Permanasari meskipun dengan memeluk Nia Kumia. Setiap kali akan terkejar, ia melesat dengan suatu Ietikan ajaib. Bahkan kini, dia sengaja hendak memamerkan ilmu larinya. Ia lari berputar-putar mengitari tubuh puluhan anak murid Edoh Permanasari cepatnya. Sudah barang tentu, Edoh Permanasari de-ngan sangat mendongkol bukan main. Terus saja, ia menghunus pedang saktinya Sangga Buwana. Beberapa kali ia menusukkan pedangnya. Namun masih saja tubuh orang itu tak kena dirabanya. Dalam pada itu, Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya menghentikan langkahnya. Mereka merasa diri tak ungkulan mengejar orang itu. Jangan lagi berlagak hen-dak menangkapnya, menyentuh bayangannya saja takkan mampu. Karena itu, mereka hanya berdiri tegak menyaksikan adu kepandaian antara orang itu dan gurunya sambil berjaga-jaga. Melihat tubuh Nia Kumia tak berkutik di dalam pelukan orang itu, mereka semua kaget. Nia Kumia bukan seorang murid rendahan. Tingkatannya hanya setingkat di bawah Ida Kusuma. Hmunya tinggi dan sudah dapat dise-jajarkan dengan tingkat pendekar kelas satu. Namun dengan satu jurus saja, ternyata ia kena diringkus orang itu. Maka betapa hebat ilmu sakti orang itu, susah diduga-duga. Ada niat mereka hendak ikut mencegat larinya lawan. Tapi gurunya sudah mengejar. Kalau membantu tanpa izin pastilah kehor-matan gurunya akan tersinggung. Lagipula, mereka mengakui bahwa dirinya takkan becus. Maka mereka hanya menyaksikan adegan ubar-ubaran itu dengan hati berkebat-kebit. Dengan sebentar saja, Edoh Permanasari dan orang itu sudah main kejar-kejaran tiga lintasan. Edoh Permanasari nampak hanya kalah satu langkah. Tapi anehnya setiap kali pedang menyambar atau menusuk punggung orang itu tiba-tiba sudah meletik tujuh langkah lebih jauh. Dengan kenyataan itu, maka teranglah bahwa ilmu sakti orang itu lebih tinggi daripada Edoh Permanasari. Pada lintasan ulangan yang keempat kalinya, tiba-tiba orang itu berputar meng-hadap Edoh Permanasari. Nia Kurnia yang berada di dalam pelukannya dilemparkan ke arah dada Edoh Permanasari. Kaget, Edoh Permanasari menghentikan iangkahnya. Tepat ia menyambar tubuh Nia Kurnia dengan tangan kirinya. Hebat sam-baran tenaga orang itu. Ternyata dia nyaris tak tahan, hingga tubuhnya bergoyangan. Orang itu lantas tertawa senang. "Kamu semua meskipun dibantu enam alir-an lagi masakan mampu membasmi Him-punan Sangkuriang kami? Huh-huh, rasanya tidak mudah." Setelah berkata demikian, orang itu melesat lagi mengarah ke barat. Tadi sewaktu meng-adu lari dengan Edoh Permanasari, Iangkahnya sama sekali tak terdengar. Tapi kini ia se-ngaja memperdengarkan. Bahkan dibarengi dengan tiupan sending pula. Sebentar saja lenyap. Tubuhnya bergulungan dan nampak tak ubah segulung asap belaka. "Bagus!" puji Sangaji dalam hati. Dia tak usah kalah melawan Adipati Surengpati atau guru ). Tak kukira, bahwa di Jawa Barat pun tersimpan pula tokoh-tokoh sakti semacam di Jawa Tengah. Dalam pada itu, beramai-ramai anak murid Edoh Permanasari memeriksa tubuh Nia Kumia yang tak berkutik dalam pelukan guru-nya. Jiwanya sudah melayang, akibat remuk-nya tulang tengkuk. Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya menangis sedih. Sebaliknya Edoh Permanasari nampak masam wajahnya. Dengan meng-hardik dia berkata memerintah, "Apa perlu ditangisi lagi. Pendam!" Dibentak oleh gurunya, Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya mengerem tangis-nya. Lantas mereka menyerahkan mayat Nia Kurnia kepada murid-murid sebawahannya. "Guru! Siapakah gerangan iblis tadi? Kami akan membalaskan dendam Nia Kurnia," kata Ida Kusuma. "Orang itu mungkin sekali salah seorang pucuk pimpinan Himpunan Sangkuriang," sahut Edoh Permanasari. "Apakah bukan... Ratu Bagus Boang atau... atau yang disebut dengan Gusti Amat?" "Tidak!" kata Edoh Permanasari yakin. "Melihat gaya larinya, bukan dia." "Apakah Guru pernah melihat Ratu Bagus Boang atau dia yang disebut Gusti Amat?" "Belum. Tapi menurut kakek gurumu, orang yang dapat berlari kencang tadi, bukan orang yang kausebutkan. Hm... ternyata nama pen-dekar-pendekar Himpunan Sangkuriang bukan sekumpulan manusia tiada berarti. Kalau hendak menuntut balas terhadapnya? Lebih baik kau menjauhi..." Sangaji sebenarnya sudah mempunyai bibit rasa benci terhadap Edoh Permanasari. Tapi menyaksikan betapa tenang dia menghadapi peristiwa itu dan bahkan dengan terang-terangan memuji kelebihan lawan, diam-diam ia kagum padanya. Memang semenjak dahulu, Sangaji diajar untuk menghargai sifat ksatria oleh gurunya Wirapati dan Jaga Saradenta. Karena itu, terhadap ibiis Pringgasakti dan sang Dewaresipun, ia tak mempunyai rasa benci berlebih-lebihan. "Meskipun demikian, orang itu tak berani mengadu tangan dengan Guru," kata Hayati hendak mengambil hati. "Orang semacam dia meskipun gagah tak ada harganya." Di luar dugaan, mendadak saja Edoh Permanasari menampar muridnya itu. Dengan suara nyaring ia membentak: "Kau tahu apa? Kakakmu Kurnia sudah mati di tangannya. Gurumu terbukti tak dapat menolong. Bukankah sudah terang siapa yang menang dan kalah?" Pernyataan Edoh Permanasari ini, di luar dugaan Hayati. Maka cepat-cepat murid yang lancang mulut itu segera memperbaiki kesalahannya. "Maaf Guru. Perkataan Guru akan selalu ter-tanam dalam lubuk hati muridmu yang goblok ini." Edoh Permanasari tak menggubris ucapan muridnya. Dengan menggerakkan tangan ia memberi isyarat berangkat. Dan ia berjalan mendahului mengarah ke barat. Sangaji de-ngan sendirinya ikut berangkat pula. Sepanjang jalan ia berpikir, Edoh Permana-sari selamanya terlalu bangga kepada kekuat-annya sendiri. Ontuk menghancurkan Himpunan Sangkuriang, ia mengerahkan murid pilihan-nya. Tapi belum lagi kakinya menginjak kaki Gunung Cibugis, ternyata ia kena dikalahkan dalam satu gebrakan saja. Pastilah hal ini meru-pakan satu pukulan dahsyat baginya. Mengira, bahwa hati Edoh Permanasari pasti kesal mengalami peristiwa itu, ia berharap moga-moga iblis itu menjadi seorang pen-dekar wanita sejati di kemudian hari. Kira-kira menjelang tengah malam, rom-bongan Edoh Permanasari berhenti lagi. Hawa pegunungan waktu itu luar biasa dinginnya. Segera diperintahkan membuat perdiangan menunggu pagi hari. "Ida! Kau tadi dengar betapa orang itu menyebutkan enam aliran?" Tiba-tiba Edoh Permanasari berkata kepada Ida Kusuma. "Ya," sahut Ida Kusuma segera. "Bukankah yang dimaksudkan aliran-aliran pegunungan dari Gunung Kencana, Muara Binuangeun, Gunung Gembol, Gunung Gilu, Gunung Aseupan dan Mandalagiri?" "Itulah sahabat-sahabat kakek gurumu, Ratu Fatimah. Betapa luas dan berpengaruh kakek-gurumu dapat dibayangkan dengan kenyataan itu," Edoh Permanasari berbangga hati. "Perguruan yang satu berada di barat daya. Yang lain, di selatan. Lainnya lagi di tenggara jauh. Hm... memang sudah datang waktunya, kita akan dapat membasmi him-punan orang-orang tak karuan juntrungnya." Mendengar nama aliran perguruan sekutu Ratu Fatimah itu, hati Sangaji tertarik. Segera ia menghampiri dengan mengedap-endap. Doanya, moga-moga iblis ini membicarakan pula Ratu Bagus Boang dan yang disebut Gusti Amat. "Kau sudah tahu, bahwa lencana kaum Himpunan Sangkuriang bergambar pedang silang. Itulah lambang kekuasaan," Edoh Permanasari mulai. "Dahulu semasa Ratu Bagus Boang masih hidup, lambang gambar hanya pedang silang. Tapi semenjak pemim-pin besarnya hilang tiada kabarnya, lencana gambar pedang silang bertambah beberapa macam. Kuda Semberani, Obor, Garuda, bin-tang dan entah apa lagi. Pada pokoknya mereka semua dari satu kesatuan tapi berdiri sendiri-sendiri. Menurut tutur kata kakek gurumu, Ratu Bagus Boang mungkin mati kera-cunan atau musna bersama gurunya yang bernama Ki Tapa. Ada lagi yang mewartakan, bahwa dia masih hidup. Entahlah, berita itu bersimpang siur tak keruan. Tapi yang pen-ting, dengan hilangnya Ratu Bagus Boang sendi persatuan Himpunan Sangkuriang men-jadi goyah. Mereka lantas pecah menjadi beberapa kelompok. Saling memperebutkan tahta kedudukan pemimpin besar sebagai pengganti Ratu Bagus Boang. Selagi kita mengharapkan moga-moga mereka hancur saling bertempur, tiba-tiba muncullah seorang tokoh yang sampai sekarang merupakan teka-teki besar. Itulah yang tadi kau sebut dengan Gusti Amat." Nama Gusti Amat sangat termasyhur di antara mereka. Tak mengherankan, bahwa dua tiga puluh anak murid yang berada tak jauh dari gurunya beringsut-ingsut mendekati seraya memasang kuping. Sangajipun demi-kian. "Sepak terjang orang yang disebut Gusti Amat, amat rahasia. Jarang sekali dia muncul. Tapi bila sekali terdengar namanya pastilah membuat suatu kegemparan. Seumpama jagat ini tergoyahlah oleh kehadirannya, baik kita maupun kelompok-kelompok Himpunan Sangkuriang yang terpecah belah jadi kelabakan. Orang itu benar-benar hebat, sehingga pernah kita menyangka bahwa dia adalah pendekar Otong Darmawijaya atau Ki Tunjungbiru." Sangaji terkesiap mendengar nama Ki Tunjungbiru disebutkan. "Guru! Mengapa kita pernah nyangka bahwa Ki Tunjungbiru adalah sesungguhnya Gusti Amat?" tanya salah seorang murid. "Karena sepak terjangnya hampir mirip. Dia lenyap di sini untuk muncul di sana. Dia ber-ada pada suatu tempat dan tiba-tiba hilang tiada kabarnya," sahut Edoh Permanasari. "Kemudian tersiarlah berita, bahwa Ki Tunjungbiru tertawan oleh sahabat kita kom-peni. Dan apabila dia Gusti Amat, apa sebab nama Gusti Amat justru lebih santer pada hari-hari belakangan ini? Itulah sebabnya, kita dan enam aliran besar pada malam hari ini berada di sekitar Gunung Cibugis untuk menyergap mereka. Kau tahu, bahwa kesatu-an-kesatuan Himpunan Sangkuriang yang berdiri sendiri-sendiri itu hadir semua pada malam hari ini. Betapa mungkin mereka tiba-tiba mau berkumpul di markas besarnya itu, kalau tidak atas perintah seseorang yang dipatuhinya? Pastilah itu Gusti Amat. Hanya siapa sesungguhnya, aku sendiri belum terang. Tapi percayalah, sebentar lagi kedoknya akan terbuka. Kalian akan melihat tampangnya pada esok hari berbareng dengan munculnya matahari di timur." Sudah tentu ucapan Edoh Permanasari itu agak berlebihan, namun hati sekalian murid-muridnya tergetar. Bahkan hati Sangaji pun tergetar pula. Hanya saja alasannya lain. Ia kagum kepada nama tersebut. Kalau benar-benar dia sampai kena tertawan atau ter-tangkap atau mati di ujung pedang lawan, sa-ngatlah disayangkan. Maka timbullah darah ksatrianya hendak melindungi orang yang bernama Gusti Amat itu dengan seluruh kepandaiannya. "Murid-muridku sekalian!" tiba-tiba Edoh Permanasari berseru nyaring. "Kalian tadi sudah menyaksikan betapa tinggi ilmu kepandaian salah seorang anggota pimpinan pusat Himpunan Sangkuriang yang menyamar sebagai seorang miskin. Tapi sesungguhnya tinggi rendahnya suatu ilmu, tergantung kepada jodoh dan bakat seseorang. Semua ilmu bernilai sama tinggi. Sekarang tinggal tergan-tung orangnya yang mempelajarinya. Nia Kumia kena diruntuhkan hanya dalam satu gebrakan saja. Bukan karena ilmu warisan Ratu Fatimah kalah tinggi daripada ilmu orang itu, tetapi semata-mata terletak pada kemam-puan dan kesanggupan seseorang mewarisi ilmu leluhurnya. Malam hari ini, kalian berada di lembah Gunung Cibugis. Esok hari kalian kuajak membasmi mereka. Pastilah ada di antara kalian yang gugur. Hidup dan matimu tergantung kepada takdir. Bukan karena kalian tak becus menghadapi mereka. Percayalah, gurumu takkan menyesali kamu sekalian... Inilah pernyataanku." Mendengar pernyataan Edoh Permanasari, semua anak muridnya terbangun semangat-nya. Serentak mereka bangkit berdiri seraya membungkuk hormat. "Manusia di dunia ini, siapakah yang takkan mati?" ujar Edoh Permanasari lagi. "Tapi mati dan mati adalah lain. Kalian kudidik agar mati sebagai manusia yang bercita-cita. Bukan mati di dalam rumah seperti kelinci mati di dalam kandang. Esok hari, gurumu ini boleh gugur bersama lawan. Tapi kalian masih hidup seumpama tunas baru yang kelak akan mengembangkan ilmu warisan Ratu Fatimah sepanjang abad. Sebaliknya, apabila kalian semua gugur dan tinggal aku sendiri yang selamat, inilah bakal merupakan suatu per-soalan sulit. Sebab gurumu sudah tua dan bakal jadi reyot. Siapakah kelak yang bisa meneruskan cita-cita Ratu Fatimah. Karena itu, manakala lawan terlalu kuat salah seorang harus dapat menyelamatkan diri." Kembali anak murid Edoh Permanasari membungkuk dengan khidmat. Pikir Sangaji, Edoh Permanasari sebenamya seorang wanita berhati jantan. Sayang dia mempunyai per-soalan pribadi sehingga sepak terjangnya menjadi sesat. Tapi justru ia berpikir demikian, teringatlah dia kepada persoalannya sendiri. Itulah soal Sonny de Hoop dan Titisari. Tak dikehendaki sendiri, ia menarik napas panjang. Tiba-tiba pada saat itu, nampaklah sinar berapi melambung ke udara. "Hai, celaka! Itulah tanda bahaya aliran Mandalagiri," seru Edoh Permanasari. Dengan diikuti beberapa anak muridnya, ia berlari-lari kencang seolah-olah sedang mem-buru. Lainnya hanya bersiaga di tempat peris-tirahatannya masing-masing. Sebelah barat daya terdengarlah suara beradunya senjata sayup-sayup. Tanpa dipe-rintah, mereka mempercepat larinya. . Tidak lama kemudian, nampaklah beberapa bayangan sedang bertempur seru. Empat belas melawan tujuh orang. Mereka bergerak sangat cepatnya. Siapa mereka tidaklah nam-pak dengan jelas. Tapi mata Sangaji yang tajam luar biasa, melihat berkelebatnya lencana bergambar pedang silang dan bintang pada lengan baju seorang yang mengenakan jubah. Karena mereka yang mengenakan jubah seragam berjumlah tujuh orang, maka tahulah dia bahwa mereka yang mengkerubut pastilah anggota aliran Mandalagiri yang dise-butkan Edoh Permanasari tadi. Melihat mereka, anak murid Edoh Perma-nasari segera akan terjun pula. Tadi Edoh Permanasari mencegahnya. "Tunggu dahulu!" katanya. "Tadi ada suatu tanda bahaya. Melihat anak murid Mandalagiri belum kalah, pastilah ada maksud tertentu." Pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang ternyata gagah perkasa. Meskipun kena kerubut dan sudah ada beberapa orang yang terluka, mereka tetap melawan dengan ganas. Goloknya diputar kencang, merabu dan me-nyerang. Sekonyong-konyong terjadilah suatu . per-tarungan seorang melawan seorang. Yang mengenakan jubah seragam seorang laki-laki berberewok tebal. Dengan tangkas memutar goloknya.kencang-kencang melawan seorang laki-laki pula berperawakan ramping. Mereka berdua bertarung amat sengitnya. Tak lama kemudian terjadilah suatu perubahan. Laki-laki berperawakan ramping di luar dugaan menggeser tubuhnya dan pada saat itu juga mengirimkan suatu tusukan. Cepat sekaii tusukannya, sehingga sebelum sadar akan artinya, dada laki-laki berberewok tertembus tanpa dapat membalas. Berbareng dengan sorak sorai anak murid Edoh Permanasari, hati Sangaji tercekat. Ia teringat gerakan itu. Itulah salah satu jurus gerak Watu Gunung, waktu menghindari pu-kulannya berbareng menyerang. Apakah mereka anak murid pendekar sakti Watu Gunung yang disebut Inu Kertapati? Sekarang di pihak Himpunan Sangkuriang tinggal enam orang. Melihat di pihak lawan makin lama makin banyak jumlahnya, betapa pun berani mereka tak urung tercekat juga hatinya. Namun demikian, mereka tak kendor. Serangan dan tangkisannya tetap gencar. Pada saat pendekar-pendekar Himpurtan Sangkuriang itu akan menemui ajalnya, tiba-tiba teriihatlah asap kuning menyibak kekelaman malam. "Lihat! kawan-kawan Gunung Kencana membutuhkan pertolongan!" seru seorang. Mendengar seruan itu, Edoh Permanasari segera lari mendahului. Sudah barang tentu anak muridnya ikut serta pula. Mereka mem-biarkan anak-anak murid Mandalagiri me-nanggulangi sisa lawannya sendiri. Melihat gelagatnya pasti dapat membereskannya tanpa bantuan. Sesudah berlari-lari beberapa saat lamanya, keadaan lembah sunyi senyap. Suatu bayang-anpun tiada nampak. Edoh Permanasari terus berseru nyaring, "Apakah kawan-kawan dari Gunung Kencana berada di sini?" Hebat suara Edoh Permanasari sampai berkumandang sangat jauh. Namun tiada jawaban. Tiba-tiba di sebelah timur, terlihatlah kembali asap kuning bergulungan di udara. "Guru!" seru Ida Kusuma. "Nampaknya medan pertempuran berpindah di sana." Mereka lantas mengarah ke timur. Tapi di sana, mereka tak menjumpai seorangpun. Bahkan bekas-bekas adanya pertempuran sama sekali tiada. Dan untuk ketiga kalinya nampak lagi asap kuning menusuk udara. Kali ini berada di sebelah selatan. Melihat tanda bahaya itu, mereka cepat-cepat memburu demi setia kawan. Namun setelah berlari-larian ke sana ke mari tanpa melihat seorangpun jua timbullah kecurigaan dalam hati Ida Kusuma. Terus saja ia menghunus pedang dan meng-awal adik-adik seperguruannya yang kurang cepat larinya. Siapa tahu, musuh sedang melakukan aksi jebakan. Tatkala itu anak murid Mandalagiri sudah menyusul pula. setelah menyelesaikan per-tarungannya. Mereka sedang berada dalam keadaan menang perang. Tapi begitu menyak-sikan betapa asap kuning selalu berpindah-pindah tempat, lambat laun mereka jadi curi-ga. Lenyaplah rasa menangnya dan kini berganti dengan rasa was-was. "Nona! Apakah Nona tidak merasakan se-suatu yang kurang wajar?" tanya laki-laki berperawakan ramping kepada Ida Kusuma. Dialah tadi yang membunuh laki-laki berewok dengan jurus yang istimewa. "Kalau benar, mengapa?" sahut Ida Kusuma angkuh. Laki-laki itu kemudian membungkuk hor-mat. Berkata takzim, "Kami anak- anak murid Mandalagiri. Namaku sendiri Wijaya." "Lalu bagaimana?" "Karena kita ini rekan seperjuangan untuk membasmi kaum iblis, bukankah lebih baik bekerja sama?" "Lalu bagaimana?" Wijaya menghentikan langkahnya. Hatinya agak mendongkol ditanggapi demikian. Semula melihat perawakan Ida Kusuma yang sangat menarik ditambah pula dengan keelokan wajahnya ia mencoba-coba mengadu untung. Tak tahunya, hati gadis itu beku bagaikan batu. Kalau tidak berhati demikian, masakan dia murid Edoh Permanasari yang benci kepada segala macam dan corak kisah asmara. "Kita terjebak tipu muslihat musuh. Di sini hanya terdapat bekas tapak kaki seorang saja. Kalau benar kawan-kawan dari Gunung Kencana terkurung lawan, paling tidak harus kita temukan bekas tapak kaki beberapa orang. Mana sekarang?" "Ah, benar!" Tiba-tiba terdengar suara Edoh Permanasari yang berada jauh di depan. Terang sekali betapa tinggi ilmunya dapat dibuktikan dengan tajamnya pendengarannya. "Ida! Kita memang kena tipu muslihat. Sekarang rekan-rekanmu dari Gunung Ken-cana benar-benar terjebak. Mari, cepat!" Setelah berkata demikian, ia mendahului melesat ke selatan. "Darimana guru mengetahui rekan-rekan dari Gunung Kencana terjebak musuh?" tanya Ida Kusuma setelah lari menjajari gurunya. "Asap kuning yang kau lihat tadi, memang tulen. Itulah buah hasil kerajinan tangan orang-orang Taraju. Soalnya kini, siapa yang menyalakan. Kukira, seorang di antara mereka kena tertawan musuh. Lantas musuh menyalakan panah berasap kuning itu." "Tapi mengapa bisa berpindah-pindah begi-tu cepat?" "Apakah engkau tak teringat kepada ke-mampuan gerakan orang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam suatu gebrakan saja?" sahut Edoh Permanasari dengan mendongkol. Baik anak-anak muridnya maupun anak-anak murid Mandalagiri terbangun semangat tempurnya. Namun tenaga jasmaninya ba-nyak yang sudah ludas, karena tadi harus berlari-lari tak keruan juntrungnya. Sadar bahwa lawan memang bermaksud meng-habiskan tenaganya, mereka bergidik dengan sendirinya. Orang berjubah usang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam satu gebrakan itu memang hebat. Tiba-tiba saja ia telah muncul kembali. Seperti disengaja, ia melompat di atas ketinggian sambil tertawa panjang. "Hai! Kenapa kau berada di sini?" seru Ida Kusuma kaget bercampur heran. Bunyi seruan itu kalau dirasakan sebenarnya lucu. Karena kesannya seperti terhadap seorang sahabat atau seorang yang dikenalnya semenjak lama. Orang itu tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih anak manis. Karena itu, tak sampai hati aku mengganggumu. Kau boleh hidup lebih lama lagi." Setelah berkata begitu ia kini mengarah kepada Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri. Berkata mengguruh. "Kalau sudah cukup lari pulang balik. Apakah masih berlarMari dengan tak keruan juntrungnya?" "Kau iblis!" maki Edoh Permanasari. "Kalau memang seorang ksatria, kenapa tak berani berterang-terangan?" "Kau bilang sendiri, aku iblis. Mau berkata apalagi?" sahut orang itu dengan cepat. Kemudian menuding ke arah barat. "Lihat! kawan-kawanmu sudah mulai kena ganyang habis-habisan." Setelah berkata demikian dengan sekaii berkelebat bayangannya lenyap ditelan kege-lapan malam. Hati Edoh Permanasari mendongkolnya dan gemas bukan main, la melihat sebagian besar anak-anak muridnya sudah tersengal-sengal napasnya. Padahal di arah barat benar-benar terdengar suara benturan senjata. Itulah suatu tanda terjadinya pertarungan hebat. Dalam pada itu, Wijaya dan teman-teman-nya sudah mendahului lari ke arah barat. Makin ia mendekati gelanggang pertarungan, makin terdengarlah suara-suara yang mende-barkan hati. Di antara suara benturan senjata tajam, aba-aba nyaring dan jerit kengerian mengumandang sampai jauh. Tatkala itu, gelap malam mulai nampak remang-remang. Bulan gede menjanjikan muncul pada hampir tengah malam. Kini, la-ngit mulai cerah. Sebentar lagi alam berse-marak. Meskipun tidak terang benderang, namun bayangan manusia cukup jelas. Edoh Permanasari yang sudah datang pula di pinggir gelanggang pertempuran, berkata kepada Ida Kusuma: "Pihak lawan terdiri dari empat golongan. Lihatlah gambar panji-panjinya. Tanda Obor, Keris, Bintang dan Garuda. Bagus! Anak-anak murid Mandalagiri, Gunung Kencana, Gunung Gembol, Gunung Gilu dan Muara Binuangeun sudah tiba pula di sini, kita tak usah takut kalah jumlah. Lihatlah, mereka sedang bertempur." "Apakah kita tidak ikut menyerbu?" Ida Kusuma minta keterangan. • "Tunggu dahulu! Kita tunggu rekan-rekan-mu dari Gunung Aseup. Bila mereka tiba, kemenangan pasti berada di pihak kita," sahut Edoh Permanasari pasti. Selama hidupnya, baru untuk pertama kali Sangaji menyaksikan suatu pertempuran besar. Itulah sewaktu dia lagi belajar satu dua jurus dari gurunya Wirapati dan Jaga Sara-denta. Pertempuran antara Kapten de Hoop melawan Mayor de Grote, yang masing-masing menggunakan senjata bidik jarak jauh. Malam ini corak pertempuran yang di-saksikan adalah lain. Mereka bertempur dalam jarak pendek. Pertempuran peroran-gan antara para pendekar Himpunan Sangkuriang melawan sekutu-sekutu Ratu Fatimah. Meskipun tiada terdengar suara letusan, namun kedahsyatannya tidak kalah. Malahan lebih dahsyat. Pedang dan golok beterbangan dan mayat bergelimpangan bermandikan darah. Sua-sananya amat mengerikan, karena luka yang diderita masing-masing hampir tak dapat ter-tolong lagi. Paling tidak, mereka kehilangan lengan atau kaki. Jerit rintihan dan suara orang menggelidik bulu roma. Dahulu sewaktu menyaksikan pertempuran antara Kapten de Hoop dan Mayor de Grote, ia mengharapkan suatu kemenangan bagi Kapten de Hoop. Hal itu disebabkan, karena ia mempunyai kepentingan. Kakak angkatnya Kapten Willem Erbefeld berada di pihak Kapten de Hoop. Kinipun meskipun belum merasa berkepentingan tentang mati hidupnya Himpunan Sangkuriang ia mengharapkan suatu kemenangan baginya. Di dalam lubuk hatinya terasa betapa amat sayang apabila panji-panji empat angkatan Himpunan Sangkuriang sampai jatuh di tangan kawan-kawan Edoh Permanasari. "Guru, lihat!" seru Ida Kusuma. "Di pinggir sana masih menunggu dua pasukan besar lagi." Sangaji ikut mengarahkan pandang. Kira-kira sejauh penglihatan orang, nampaklah dua deret pasukan berkuda sedang berbaris mendekati. Hanya saja, ia merasa heran dua pasukan yang tiba di gelanggang pertempuran itu, datangnya dari arah yang bertentangan. Anehnyan mereka saling berpapasan dan bertubrukan. Masing-masing pihak tidak sudi memberi jalan. Meskipun mereka tidak saling menikam, tapi matanya Sangaji yang tajam melihat betapa mereka saling meninju atau menendang. Apakah mereka mempunyai tata siasat sendiri yang nampaknya berlaku tidak wajar? pikir Sangaji. "Guru!" terdengar suara Ida Kusuma. "Kalau mereka datang, betapa kuat rekan-rekan kita, pasti tak akan dapat dihancur leburkan. Lihatlah guru, mereka bersenjata sangat lengkap." Wijaya yang memimpin anak-anak murid Mandalagiri diam-diam terperanjat menyak-sikan datangnya bala bantuan itu. Hanya anehnya, setelah dua pasukan besar itu tiba di pinggir lapangan, sama sekali tidak bergerak. "Mengapa begitu?" Tak terasa terloncatlah perkataan Wijaya. "Apakah belum paham?" sahut Edoh Per-manasari. Wijaya menjelajahkan pandangannya sam-bil menebak-nebak. Sangajipun ikut menebak pula. Dia bukan Titisari yang berotak encer. "Kedua pasukan yang datang itu mengi-barkan panji-panji bergambar Kuda Semberani dan Bunga Mekar," ujar Edoh Permanasari menggurui kedua pasukan itu seperti yang Iain-lain saling bermusuhan. "Jikalau kalian membunuh habis keempat pasukan panji-panji yang sedang bertempur itu, mereka takkan sudi membantu. Bahkan dalam hati mereka masing-masing mengharapkan lebur-nya yang lain. Dengan demikian ada ke-mungkinan bagi masing-masing pihak untuk dapat mengangkat diri menjadi penguasa tunggal Himpunan Sangkuriang." Mendengar uraian Edoh Permanasari mere-ka semua menjadi sadar. "Ah, ya," kata Wijaya. "Terima kasih atas petunjuk Tuan." Dengan satu isyarat, anak-anak murid Mandalagiri dan Edoh Permanasari segera bersiaga. Tatkala itu pertempuran sudah me-masuki babak sangat gawat. Kedua belah pihak sama kuatnya. "Ida!" kata Edoh Permanasari. "Hayo kau berlombalah dengan anak murid Mandalagiri siapa yang paling banyak dapat membasmi lawan." Teranglah maksud Edoh Permanasari. Itulah suatu aba-aba berbareng membakar sema-ngat. Serentak mereka semua menyerbu ke te-ngah gelanggang. Wijaya sebenarnya pe-mimpin golongan Mandalagiri. Namun dalam penyerbuan itu, ia selalu di tengah anak-anak murid Edoh Permanasari mendampingi Ida Kusuma. Mereka berdua merupakan sepasang penyerbu yang hampir dapat merubah keadaan gelanggang. Dengan bantuan adik-adik seperguruannya, mereka menghancurkan pasukan panji-panji Keris. Yang terhebat dari semuanya adalah Edoh Permanasari. Tiada seorang musuhpun yang mampu membendung lebih dari tiga serangan-nya. Tubuhnya timbul tenggelam menyelinap di antara pagar manusia. Pedangnya memba-bat dan menikam. Sekejap saja puluhan manusia mati terajang oleh pedang yang ganas. Melihat gelagat buruk, Wiralegawa pe-mimpin panji-panji pasukan bergambar Keris melompat maju dengan mengayunkan sen-jatanya yang istimewa. Dilihat selintas, senja-tanya hanyalah sebuah rantai panjang dari besi. Tapi sebenamya pada ujungnya berbatu baja bergigi. Dengan sekaii ayun, ia dapat membendung serbuan anak-anak murid Edoh Permanasari dan Mandalagiri. Banyak di antara mereka yang terluka berat atau tewas seketika itu juga. "Menyibak!" seru Wijaya berbareng melesat maju. la terus menyabetkan pedangnya. Di luar dugaan, Ida Kusuma mendadak maju pula membantu dari samping. Keruan hatinya ber-syukur bukan main. Namun meskipun pedang mereka berdua berkelebat dengan suatu aung-an, kena sambar senjata Wiralegawa yang istimewa semplak menjadi empat potong. "Awas!" teriak Edoh Permanasari. Mereka berdua meloncat muhdur. Adik-adik seperguruan merekapun lantas saja tersibak sempoyongan. Dengan begitu serbuan mereka dapat terbendung. Edoh Permanasari kemudian maju merabu Wiralegawa. Kalau tadi ia dapat membabat musuh hanya dalam tiga kali serangan, kali ini tidaklah demikian. Wiralegawa ternyata seorang pemimpin pasukan yang tangguh luar biasa. Sepuluh gebrakan telah lewat dengan cepat. Kekuatan mereka seimbang benar. Melihat gurunya sudah bertarung seru melawan Wiralegawa, Ida Kusuma mengalih-kan perhatiannya ke arah lain. Ia yakin, gurunya pasti dapat mengatasi. Maka dengan memberi isyarat kepada adik-adik seperguru-annya, ia menyerbu pasukan panji-panji bergambar Kuda Semberani. Dan anak-anak murid Mandalagiri menyerang pasukan panji-panji bergambar Garuda. Di kala itu, mendadak Wiralegawa meng-ayunkan senjatanya. Hebat serangannya. Senjata mengaung sampai anak-anak murid Edoh Permanasari memekik terkejut. Edoh Permanasari tak berani menangkis. Ia terpaksa mengelak sambil mundur. Tapi baru saja menempatkan sebelah kakinya, Wira-legawa menyusulkan serangannya yang ke-dua. Dengan tersenyum Edoh Permanasari memukulkan ujung pedangnya. Tubuhnya menggeser ke samping dan segera mendorong dengan mengarahkan tenaganya. Setelah itu, mendadak pedangnya membabat pinggang. Tipu serangan ini biasanya tak pernah meleset, di luar dugaan, ternyata Wiralegawa bukanlah lawan murahan. Benar-benar tangguh luar biasa. Apalagi tenaga pembawaannya meru-pakan suatu tantangan yang tak boleh dire-mehkan. Mendadak saja senjata rantainya melibat berbareng melilit pedang. Lalu ditarik ke atas. Pletak! Pedang Edoh Permanasari semplak menjadi dua potong. Meskipun terkejut, Edoh Permanasari tiada gugup. Dengan tangan nyeri, ia mundur selangkah. Begitu lawan mendesak maju, tiba-tiba tangannya sudah menggenggam pedang mustika yang ditakuti lawan. Itulah pedang Sangga Buwana warisan gurunya Ratu Fatimah, permaisuri Sultan Banten yang di-benci dan disegani orang. Sekali digetarkan, rantai Wiralegawa rantas seperti terajang. Pemiliknya kaget sampai berjingkrak. Ia hanya merasa kehi-langan suatu daya berat. Baru saja ia hendak mundur, Sangga Buwana sudah menabas pula batang leher dan sekaligus kepalanya. Sungguh! Pedang Sangga Buwana adalah pedang mustika tiada bandingnya di dalam jagat ini. Melihat pemimpinnya tewas, anak buah pasukan panji-panji bergambar Keris menjadi kalut. Namun semangat tempumya tidak ber-ubah. Bahkan seperti mabuk, mereka menyer-bukan diri. Peristiwa ini benar-benar di luar perhitungan. Biasanya suatu pasukan akan bubar berderai apabila pemimpinnya tewas. Siapa menyangka, mereka malahan seperti kalap. Tanpa memedulikan keselamatan diri, terus saja merabu dengan berbareng. Benar-benar terpuji, namun sesungguhnya mereka lantas menjadi makanan empuk bagi Edoh Permanasari yang terkenal ganas luar biasa. Seperti seonggok rumput, mereka kena babat dengan sekaligus oleh pedang Sangga Buwana yang tajamnya tiada bandingnya di jagat ini. Tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Teman-teman seperjuangan, majuuuu! Demi tanah air, bangsa, agama dan keadilan Wiralegawa gugur sebagai ratna. Hai, kamu sekalian dari pasukan panji-panji Bintang, Kuda Sembrani, Garuda dan Bunga Mekar! Kalau kalian cuma menjadi penonton, silakan pulang ke gunung! Hai, pasukan panji-panji Keris Sakti jangan takut! Kami dari pasukan panji-panji Obor Abadi akan melindungi. Majuuu!" Dialah Kusna Suryabrata, pemimpin pa-sukan panji-panji Obor Abadi. Orangnya pen-dek, bermata tajam dan gesit gerakgeriknya. Dengan memacu kudanya, ia menyerbu ke gelanggang pertempuran diikuti sekalian pasukannya. Pada saat itu berkibar-kibarlah suatu panji berwarna hitam. Di tengahnya bergambar Bunga Menyala. Ganis Apandak pemimpin pasukan panji-panji Bunga Menyala me-nyahut nyaring pula, "Hai Suryabrata! Di dunia ini bukan cuma dirimu yang jadi laki-laki. Kami bukan pula sekumpulan anjing. Hai... pasukan Keris Sakti, mundur! Biar kami pasukan panji-panji Bunga Menyala mengganti kedudukan kalian. Mundur, agar kelak bisa membalaskan sakit hati pemim-pinmu yang gugur...." Tatkala itu jumlah pasukan Keris Sakti ting-gal enam atau tujuh puluh orang. Terdengarlah suara wakil Wiralegawa, "Terima kasih... teri-ma kasih teman-teman seperjuangan." Dia terus mengibarkan bendera panji-panji Keris Sakti dan mundur ke arah barat.daya. Meskipun sudah banyak korban, namun cara mundurnya tidak kalut. Dengan dikawal dua puluh orang yang merupakan sayap luar, induk pasukannya mundur rapi. Anak-anak murid Gunung Kencana dan Gunung Gembol hendak bergerak mengejar. Mendadak terdengarlah suara Edoh Perma-nasari, "Jangan kejar!" "Mengapa guru?" Ida Kusuma menegas se-raya menghampiri. "Mereka sudah mundur. Kalau sampai ter-pukul lagi pasukan panji-panji lainnya pasti akan menyerbu berbareng. Sebab betapapun juga, mereka merupakan satu himpunan. Lihat, anak-anak murid dari Gunung Aseupan belum tiba. Meskipun jumlah kita enam aliran cukup seimbang, namun kita akan terpaksa berkorban banyak sebelum sampai menginjak. dataran ketinggian Gunung Cibugis." Peringatan itu menyadarkan mereka. Maka dengan serentak mereka mengalihkan sema-ngat tempurnya untuk membendung serbuan pasukan panji-panji Obor Abadi yang dipimpin langsung oleh Kusna Suryabrata. Sangaji tak memedulikan mereka lagi. Ia sadar, pada saat itu berada di tengah-tengah kancah pertempuran. Apabila lalai, dia bisa dicurigai kedua belah pihak. Benar juga. Segera ia kena cegat barisan manusia yang terdiri dari pihak-pihak campuran. Cepat ia menjejak tanah dan terbang melalui kepala mereka. Tujuannya mengarah turun gunung. Dengan demikian ia tak dikejar lagi. Tapi sete^ lah lari berputar-putar, segera ia kembali men-daki pinggang gunung dari arah selatan. Waktu itu matahari sudah mencongakkan diri di langit timur. Ia beristirahat memeriksa luka Kosim. Ternyata semenjak tadi, Kosim pingsan dalam pelukannya. Rupanya ia agak kehilangan darah. Segera ia mengumpulkan semangat dan menyalurkan darah saktinya. Sebentar saja, Kosim memperoleh kesadarannya kembali. ***

Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 39 PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG"

Post a Comment