BENDE MATARAM JILID 39 PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG
DERAPAN
kuda itu makin terdengar nyata. Namun jaraknya masih jauh. Penunggangnya
berpakaian seragam dengan mengenakan tanda pedang silang dan semberani.
Jumlah-nya lima orang. Mereka bergerak sangat tangkas dan gesit. Tatkala
melihat bekas tapak-tapak orang, hampir berbareng mereka menahan kendali
kudanya. Pandang matanya mengembara penuh selidik. Dan pada saat itu muncullah
seorang wanita berperawakan langsing diikuti oleh beberapa orang dengan bersenjata
pedang. Dialah Ida Kusuma. Murid tertua Edoh Permanasari itu, segera mengurung
mereka sangat rapatnya. Dari ternpat ke tempat tersembullah kurang lebih
sera-tus orang yang terdiri dari wanita dan laki-laki. "Tangkap! Hidup
atau mati! Jangan biarkan seorang pun lolos," terdengar perintah Ida
Kusuma. Sangaji mencongakkan diri dari batu persembunyiannya. Ingin ia melihat
apa yang mereka lakukan, dan bagaimana sikap lima orang beriencana tanda pedang
siiang dengan kuda semberani itu. Meskipun anak murid Edoh Permanasari
berjumlah hampir seratus orang, ternyata mereka tak mau main kerubut. Suwega,
Dudung, Nia Kumia, Hayati dua pria dan dua wanita anak murid Edoh Permanasari
melom-pat maju menghampiri. "Hai, bangsat Sangkuriang! Kau menyerah, tidak?"
bentak Suwega dan Dudung hampir berbareng. Kelima anggota Himpunan Sangkuriang
itu menarik senjatanya masing-masing. Dengan tertawa meialui hidung, mereka
merabu penyerang-penyerangnya. Tangkas dan gesit gerak-geriknya. Senjata mereka
meraung ganas. Namun mereka kena kerubut. Empat orang di antara mereka, jatuh
terkulai dari kudanya. Tak usah diceri-takan lagi, bahwa sebentar saja tubuh
mereka terobek-robek seperti daun pisang teran-tasi. Yang seorang segera memacu
kudanya. Terang sekaii maksudnya, ia hendak kabur. Tetapi baru beberapa puluh
meter, ia kena kurung Nia Kumia dan Hayati yang mengubar dengan dibantu
pasukannya. "Turun!" bentak Nia Kurnia. Melihat datangnya bahaya,
orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia meiepaskan panah berasap hitam ke
udara. Meskipun pada siang hari, tapi keiihatan dengan nyata sekaii. Asap hitam
bergelembung bagai awan hitam berguiungan. "Kau main gila apa?" maki
Nia Kumia. Terus saja murid Edoh Permanasari meiompat menikam dengan pedangnya.
Cepat orang itu memutar goloknya. Tapi bajunya masih saja kena babatan pedang.
Bret! Dengan menjejak perut kudanya, orang itu meloncat ke tanah dengan
jumpaiitan. Sekarang ia berada di tengah-tengah kepungan. Sebentar ia berjuang
dengan gigih-nya. Dua orang lawan dapat dilukai. Kemudian dengan tertawa
terbahak-bahak, ia berkata nyaring. "Kalian begundal-begundal Ratu Fatimah
mau menangkap seorang anggota Himpunan Sangkuriang hidup-hidup? Jangan harap!
Hayo majulah siapa yang bosan hidup!" Disumbari demikian, panaslah hati
anak murid Edoh Permanasari. Tanpa segan-segan lagi, mereka merabu berbareng.
Tapi baru saja. Tatkala itu Ida Kusuma sudah berada di tern-pat itu. Nia Kurnia
yang memimpin penye-rangan segera lapor: "Adikmu ini tiada guna sampai
menangkap atau membunuh lawan saja tidak becus. Dia mati karena tangannya
sendiri." Ida Kusuma tak mengindahkan bunyi la-poran itu. Ia menengadah ke
udara merenungi asap hitam yang bergulungan buyar berse-rakan. "Lihat!
ltulah asap tanda bahaya." "Sayang, aku tak dapat mencegahnya,"
sahut Kurnia. "Mengapa mesti disayangkan? Kalau mere-ka segera berkumpul
menurut Guru justru kebetulan. Dengan demikian akan memu-dahkan pekerjaan kita.
Tidak perlu lagi mem-buru ke sana ke mari seperti yang sudah-sudah."
Mendengar perkataan Ida Kusuma, Sangaji kaget. Meskipun belum mengerti
bagaimana sesungguhnya Himpunan Sangkuriang, namun ia merasa seperti dekat pada
dirinya. Melihat datangnya bahaya, orang itu tidak gugup. Sekonyong-konyong ia
melepaskan pariah berasap hitam ke udara. Pikirnya, Kakek Guru, paman-paman guru
dan ketiga guruku adalah pejuang-pejuang bangsa tak beda dengan
pendekar-pendekar Jawa Barat ini. Mereka kini dimusuhi, masakan aku akan
tinggal diam? Namun selama itu, ia beium melihat munculnya Edoh Permanasari.
Mengingat kelicinannya, ia meninggikan kewaspadaan agar tidak bertindak
ceroboh. Menjelang petang hari, mereka sudah ber-ada di sekitar lembah Gunung
Cibugis. Selama itu mereka membungkam. Juga tatkala mereka beristirahat. Jumlah
anak murid Edoh Permanasari kurang lebih seratus orang, berte-baran di
balik-balik lindungan batu pegu-nungan atau gerombol semak. Pandang mata mereka
mengarah ke puncak gunung. Tiba-tiba di tengah kesunyian itu, terdengar-lah
suara seruling. Mula-mula terdengar di kejauhan. Tak lama kemudian mendekat.
Suaranya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Murid-murid Edoh
Permanasari yang lagi hendak menikmati waktu istirahat terbangun wasangkanya.
Mereka bercelingukan mene-barkan penglihatannya. Namun tak melihat sesuatu,
padahal hari masih terang benderang. Seperti berjanji, mereka berdiri serentak.
Aneh! Suara seruling itu, mendadak menjauh dan lenyap. "Pendekar dari
manakah yang datang hen-dak berkenalan dengan kami?" seru Ida Kusuma
nyaring. Ida Kusuma adalah murid tertua Edoh Permanasari. Dengan sendirinya, ilmunya
ting-gi. Ternyata suaranya sangat nyaring dan terdengar jelas tiap-tiap patah
katanya sampai berkumandang jauh. Waktu rembang petang tiba, suara seruling itu
terdengar lagi. Kembali lagi, Ida Kusuma berseru nyaring. Dan begitu kumandang
seru-annya hilang, suara seruling itu menghilang pula. Demikianlah berulang
kali sampai alam menjadi gelap benar-benar. Sangaji tersenyum. Dia yang
memiliki ilmu sangat tinggi, dengan sendirinya tahu orang yang meniup seruling
itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba hatinya menjadi bangga. Pada saat itu,
berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah Edoh Permanasari. Segera Ida Kusuma
mewartakan suara seruling yang mencurigakan itu. "Perintahkan agar semua
berwaspada!" kata Edoh Permanasari tak senang. Ida Kusuma dengan cepat
meneruskan pe-rintah itu. Selagi orang-orang sibuk mengatur perondaan, mendadak
ia melihat seorang tidur bersengguran. Orang itu mengenakan jubah usang yang
dibuatnya selimut. Sudah barang tentu Ida Kusuma terkejut berbareng heran.
Terang sekali, dia bukan salah seorang anak murid perguruannya. Gurunya Edoh
Permanasari adalah ahli waris ilmu sakti Ratu Fatimah yang hebat tiada taranya.
Jangan lagi suara orang, sedangkan daun rontokpun dapat tertangkap
pende-ngarannya. Tapi apa sebab orang ini, sama sekali tak diketahui kapan
datangnya. Memikir demikian, ia memanggil Nia Kurnia dan Suwega. Kedua adik
seperguruannya itu terus saja menghunus pedangnya sambil membentak, "Siapa
kau?" Tetapi orang itu enak-enak mendengkur. Bahkan pantatnya seperti
sengaja diketing-gikan seperti seekor anjing menelungkup tidur. Keruan saja,
Nia Kurnia dan Suwega men-dongkol melihat penglihatan demikian, Suwega
mengeluarkan pedangnya dan me-nyingkap jubah orang itu. Begitu jubah
ter-singkap, nampaklah seorang berperawakan tipis tidur menungging. Dan suara
dengkurnya bertambah menghebat. Nia Kurnia yang berada di samping Suwega lebih
berhati-hati daripada rekannya. Dia berpendapat, pastilah bukan orang
sem-barangan. Berpendapat demikian, ia segera rnenegur hati-hati,
"Siapakah Tuan? Apakah Tuan mempunyai kepentingan sampai datang
mengunjungi tempat kami?" Sebagai jawaban, orang itu menggeros kian keras.
Keruan saja Nia Kurnia mendongkol diperlakukan begitu. Maka timbullah
kegusar-annya. Segera ia mengayunkan pedangnya dan membabat orang itu.
Sekonyong-konyong terlihatlah sebuah benda melesat menangkis pedang. Pada saat
itu terdengarlah suara Edoh Permanasari memperingatkan: "Kurnia!
Awas!" Baru saja habis perkataannya, orang ber-jubah usang itu sudah
berada dua puluh langkah jauhnya. Bahkan Mia Kurnia sudah berada pula dalam
pelukannya. Tanpa diperintah lagi, Ida Kusuma, Suwega, Hajati dan Dudung segera
mengejar. Namun orang itu benar-benar tak ubah bayangan. Seperti iblis dia
lenyap di balik tirai malam. Edoh Permanasaripun tak tinggal diam. Dengan
bersuit panjang, ia melesat mengejar. Sekarang nampaklah perbedaan ilmu mereka.
Dengan dua tiga langkah saja, Edoh Permanasari sudah meninggalkan ke empat
muridnya sejarak sepuluh langkah lebih. Lantas dua puluh, empat puluh, lima
puluh langkah. Setelah itu lenyap dari penglihatan. Tetapi orang yang diubernya
ternyata lebih gesit dan lebih cepat larinya daripada Edoh Permanasari meskipun
dengan memeluk Nia Kumia. Setiap kali akan terkejar, ia melesat dengan suatu
Ietikan ajaib. Bahkan kini, dia sengaja hendak memamerkan ilmu larinya. Ia lari
berputar-putar mengitari tubuh puluhan anak murid Edoh Permanasari cepatnya.
Sudah barang tentu, Edoh Permanasari de-ngan sangat mendongkol bukan main.
Terus saja, ia menghunus pedang saktinya Sangga Buwana. Beberapa kali ia
menusukkan pedangnya. Namun masih saja tubuh orang itu tak kena dirabanya.
Dalam pada itu, Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya menghentikan
langkahnya. Mereka merasa diri tak ungkulan mengejar orang itu. Jangan lagi
berlagak hen-dak menangkapnya, menyentuh bayangannya saja takkan mampu. Karena
itu, mereka hanya berdiri tegak menyaksikan adu kepandaian antara orang itu dan
gurunya sambil berjaga-jaga. Melihat tubuh Nia Kumia tak berkutik di dalam
pelukan orang itu, mereka semua kaget. Nia Kumia bukan seorang murid rendahan.
Tingkatannya hanya setingkat di bawah Ida Kusuma. Hmunya tinggi dan sudah dapat
dise-jajarkan dengan tingkat pendekar kelas satu. Namun dengan satu jurus saja,
ternyata ia kena diringkus orang itu. Maka betapa hebat ilmu sakti orang itu,
susah diduga-duga. Ada niat mereka hendak ikut mencegat larinya lawan. Tapi
gurunya sudah mengejar. Kalau membantu tanpa izin pastilah kehor-matan gurunya
akan tersinggung. Lagipula, mereka mengakui bahwa dirinya takkan becus. Maka
mereka hanya menyaksikan adegan ubar-ubaran itu dengan hati berkebat-kebit.
Dengan sebentar saja, Edoh Permanasari dan orang itu sudah main kejar-kejaran
tiga lintasan. Edoh Permanasari nampak hanya kalah satu langkah. Tapi anehnya
setiap kali pedang menyambar atau menusuk punggung orang itu tiba-tiba sudah
meletik tujuh langkah lebih jauh. Dengan kenyataan itu, maka teranglah bahwa
ilmu sakti orang itu lebih tinggi daripada Edoh Permanasari. Pada lintasan
ulangan yang keempat kalinya, tiba-tiba orang itu berputar meng-hadap Edoh
Permanasari. Nia Kurnia yang berada di dalam pelukannya dilemparkan ke arah
dada Edoh Permanasari. Kaget, Edoh Permanasari menghentikan iangkahnya. Tepat
ia menyambar tubuh Nia Kurnia dengan tangan kirinya. Hebat sam-baran tenaga
orang itu. Ternyata dia nyaris tak tahan, hingga tubuhnya bergoyangan. Orang
itu lantas tertawa senang. "Kamu semua meskipun dibantu enam alir-an lagi
masakan mampu membasmi Him-punan Sangkuriang kami? Huh-huh, rasanya tidak
mudah." Setelah berkata demikian, orang itu melesat lagi mengarah ke
barat. Tadi sewaktu meng-adu lari dengan Edoh Permanasari, Iangkahnya sama
sekali tak terdengar. Tapi kini ia se-ngaja memperdengarkan. Bahkan dibarengi
dengan tiupan sending pula. Sebentar saja lenyap. Tubuhnya bergulungan dan
nampak tak ubah segulung asap belaka. "Bagus!" puji Sangaji dalam
hati. Dia tak usah kalah melawan Adipati Surengpati atau guru ). Tak kukira,
bahwa di Jawa Barat pun tersimpan pula tokoh-tokoh sakti semacam di Jawa
Tengah. Dalam pada itu, beramai-ramai anak murid Edoh Permanasari memeriksa
tubuh Nia Kumia yang tak berkutik dalam pelukan guru-nya. Jiwanya sudah
melayang, akibat remuk-nya tulang tengkuk. Ida Kusuma dan ketiga adik
seperguruannya menangis sedih. Sebaliknya Edoh Permanasari nampak masam wajahnya.
Dengan meng-hardik dia berkata memerintah, "Apa perlu ditangisi lagi.
Pendam!" Dibentak oleh gurunya, Ida Kusuma dan ketiga adik seperguruannya
mengerem tangis-nya. Lantas mereka menyerahkan mayat Nia Kurnia kepada
murid-murid sebawahannya. "Guru! Siapakah gerangan iblis tadi? Kami akan
membalaskan dendam Nia Kurnia," kata Ida Kusuma. "Orang itu mungkin
sekali salah seorang pucuk pimpinan Himpunan Sangkuriang," sahut Edoh
Permanasari. "Apakah bukan... Ratu Bagus Boang atau... atau yang disebut
dengan Gusti Amat?" "Tidak!" kata Edoh Permanasari yakin.
"Melihat gaya larinya, bukan dia." "Apakah Guru pernah melihat
Ratu Bagus Boang atau dia yang disebut Gusti Amat?" "Belum. Tapi
menurut kakek gurumu, orang yang dapat berlari kencang tadi, bukan orang yang kausebutkan.
Hm... ternyata nama pen-dekar-pendekar Himpunan Sangkuriang bukan sekumpulan
manusia tiada berarti. Kalau hendak menuntut balas terhadapnya? Lebih baik kau
menjauhi..." Sangaji sebenarnya sudah mempunyai bibit rasa benci terhadap
Edoh Permanasari. Tapi menyaksikan betapa tenang dia menghadapi peristiwa itu
dan bahkan dengan terang-terangan memuji kelebihan lawan, diam-diam ia kagum
padanya. Memang semenjak dahulu, Sangaji diajar untuk menghargai sifat ksatria
oleh gurunya Wirapati dan Jaga Saradenta. Karena itu, terhadap ibiis
Pringgasakti dan sang Dewaresipun, ia tak mempunyai rasa benci
berlebih-lebihan. "Meskipun demikian, orang itu tak berani mengadu tangan
dengan Guru," kata Hayati hendak mengambil hati. "Orang semacam dia meskipun
gagah tak ada harganya." Di luar dugaan, mendadak saja Edoh Permanasari
menampar muridnya itu. Dengan suara nyaring ia membentak: "Kau tahu apa?
Kakakmu Kurnia sudah mati di tangannya. Gurumu terbukti tak dapat menolong.
Bukankah sudah terang siapa yang menang dan kalah?" Pernyataan Edoh
Permanasari ini, di luar dugaan Hayati. Maka cepat-cepat murid yang lancang
mulut itu segera memperbaiki kesalahannya. "Maaf Guru. Perkataan Guru akan
selalu ter-tanam dalam lubuk hati muridmu yang goblok ini." Edoh
Permanasari tak menggubris ucapan muridnya. Dengan menggerakkan tangan ia
memberi isyarat berangkat. Dan ia berjalan mendahului mengarah ke barat.
Sangaji de-ngan sendirinya ikut berangkat pula. Sepanjang jalan ia berpikir,
Edoh Permana-sari selamanya terlalu bangga kepada kekuat-annya sendiri. Ontuk
menghancurkan Himpunan Sangkuriang, ia mengerahkan murid pilihan-nya. Tapi
belum lagi kakinya menginjak kaki Gunung Cibugis, ternyata ia kena dikalahkan
dalam satu gebrakan saja. Pastilah hal ini meru-pakan satu pukulan dahsyat
baginya. Mengira, bahwa hati Edoh Permanasari pasti kesal mengalami peristiwa
itu, ia berharap moga-moga iblis itu menjadi seorang pen-dekar wanita sejati di
kemudian hari. Kira-kira menjelang tengah malam, rom-bongan Edoh Permanasari
berhenti lagi. Hawa pegunungan waktu itu luar biasa dinginnya. Segera
diperintahkan membuat perdiangan menunggu pagi hari. "Ida! Kau tadi dengar
betapa orang itu menyebutkan enam aliran?" Tiba-tiba Edoh Permanasari
berkata kepada Ida Kusuma. "Ya," sahut Ida Kusuma segera. "Bukankah
yang dimaksudkan aliran-aliran pegunungan dari Gunung Kencana, Muara
Binuangeun, Gunung Gembol, Gunung Gilu, Gunung Aseupan dan Mandalagiri?"
"Itulah sahabat-sahabat kakek gurumu, Ratu Fatimah. Betapa luas dan
berpengaruh kakek-gurumu dapat dibayangkan dengan kenyataan itu," Edoh
Permanasari berbangga hati. "Perguruan yang satu berada di barat daya.
Yang lain, di selatan. Lainnya lagi di tenggara jauh. Hm... memang sudah datang
waktunya, kita akan dapat membasmi him-punan orang-orang tak karuan juntrungnya."
Mendengar nama aliran perguruan sekutu Ratu Fatimah itu, hati Sangaji tertarik.
Segera ia menghampiri dengan mengedap-endap. Doanya, moga-moga iblis ini
membicarakan pula Ratu Bagus Boang dan yang disebut Gusti Amat. "Kau sudah
tahu, bahwa lencana kaum Himpunan Sangkuriang bergambar pedang silang. Itulah
lambang kekuasaan," Edoh Permanasari mulai. "Dahulu semasa Ratu Bagus
Boang masih hidup, lambang gambar hanya pedang silang. Tapi semenjak pemim-pin
besarnya hilang tiada kabarnya, lencana gambar pedang silang bertambah beberapa
macam. Kuda Semberani, Obor, Garuda, bin-tang dan entah apa lagi. Pada pokoknya
mereka semua dari satu kesatuan tapi berdiri sendiri-sendiri. Menurut tutur
kata kakek gurumu, Ratu Bagus Boang mungkin mati kera-cunan atau musna bersama
gurunya yang bernama Ki Tapa. Ada lagi yang mewartakan, bahwa dia masih hidup.
Entahlah, berita itu bersimpang siur tak keruan. Tapi yang pen-ting, dengan
hilangnya Ratu Bagus Boang sendi persatuan Himpunan Sangkuriang men-jadi goyah.
Mereka lantas pecah menjadi beberapa kelompok. Saling memperebutkan tahta
kedudukan pemimpin besar sebagai pengganti Ratu Bagus Boang. Selagi kita
mengharapkan moga-moga mereka hancur saling bertempur, tiba-tiba muncullah
seorang tokoh yang sampai sekarang merupakan teka-teki besar. Itulah yang tadi
kau sebut dengan Gusti Amat." Nama Gusti Amat sangat termasyhur di antara
mereka. Tak mengherankan, bahwa dua tiga puluh anak murid yang berada tak jauh
dari gurunya beringsut-ingsut mendekati seraya memasang kuping. Sangajipun
demi-kian. "Sepak terjang orang yang disebut Gusti Amat, amat rahasia.
Jarang sekali dia muncul. Tapi bila sekali terdengar namanya pastilah membuat
suatu kegemparan. Seumpama jagat ini tergoyahlah oleh kehadirannya, baik kita
maupun kelompok-kelompok Himpunan Sangkuriang yang terpecah belah jadi
kelabakan. Orang itu benar-benar hebat, sehingga pernah kita menyangka bahwa
dia adalah pendekar Otong Darmawijaya atau Ki Tunjungbiru." Sangaji
terkesiap mendengar nama Ki Tunjungbiru disebutkan. "Guru! Mengapa kita
pernah nyangka bahwa Ki Tunjungbiru adalah sesungguhnya Gusti Amat?" tanya
salah seorang murid. "Karena sepak terjangnya hampir mirip. Dia lenyap di
sini untuk muncul di sana. Dia ber-ada pada suatu tempat dan tiba-tiba hilang
tiada kabarnya," sahut Edoh Permanasari. "Kemudian tersiarlah berita,
bahwa Ki Tunjungbiru tertawan oleh sahabat kita kom-peni. Dan apabila dia Gusti
Amat, apa sebab nama Gusti Amat justru lebih santer pada hari-hari belakangan
ini? Itulah sebabnya, kita dan enam aliran besar pada malam hari ini berada di
sekitar Gunung Cibugis untuk menyergap mereka. Kau tahu, bahwa
kesatu-an-kesatuan Himpunan Sangkuriang yang berdiri sendiri-sendiri itu hadir
semua pada malam hari ini. Betapa mungkin mereka tiba-tiba mau berkumpul di markas
besarnya itu, kalau tidak atas perintah seseorang yang dipatuhinya? Pastilah
itu Gusti Amat. Hanya siapa sesungguhnya, aku sendiri belum terang. Tapi
percayalah, sebentar lagi kedoknya akan terbuka. Kalian akan melihat tampangnya
pada esok hari berbareng dengan munculnya matahari di timur." Sudah tentu
ucapan Edoh Permanasari itu agak berlebihan, namun hati sekalian murid-muridnya
tergetar. Bahkan hati Sangaji pun tergetar pula. Hanya saja alasannya lain. Ia
kagum kepada nama tersebut. Kalau benar-benar dia sampai kena tertawan atau
ter-tangkap atau mati di ujung pedang lawan, sa-ngatlah disayangkan. Maka
timbullah darah ksatrianya hendak melindungi orang yang bernama Gusti Amat itu
dengan seluruh kepandaiannya. "Murid-muridku sekalian!" tiba-tiba
Edoh Permanasari berseru nyaring. "Kalian tadi sudah menyaksikan betapa
tinggi ilmu kepandaian salah seorang anggota pimpinan pusat Himpunan
Sangkuriang yang menyamar sebagai seorang miskin. Tapi sesungguhnya tinggi
rendahnya suatu ilmu, tergantung kepada jodoh dan bakat seseorang. Semua ilmu
bernilai sama tinggi. Sekarang tinggal tergan-tung orangnya yang
mempelajarinya. Nia Kumia kena diruntuhkan hanya dalam satu gebrakan saja.
Bukan karena ilmu warisan Ratu Fatimah kalah tinggi daripada ilmu orang itu,
tetapi semata-mata terletak pada kemam-puan dan kesanggupan seseorang mewarisi
ilmu leluhurnya. Malam hari ini, kalian berada di lembah Gunung Cibugis. Esok
hari kalian kuajak membasmi mereka. Pastilah ada di antara kalian yang gugur.
Hidup dan matimu tergantung kepada takdir. Bukan karena kalian tak becus
menghadapi mereka. Percayalah, gurumu takkan menyesali kamu sekalian... Inilah
pernyataanku." Mendengar pernyataan Edoh Permanasari, semua anak muridnya
terbangun semangat-nya. Serentak mereka bangkit berdiri seraya membungkuk
hormat. "Manusia di dunia ini, siapakah yang takkan mati?" ujar Edoh
Permanasari lagi. "Tapi mati dan mati adalah lain. Kalian kudidik agar
mati sebagai manusia yang bercita-cita. Bukan mati di dalam rumah seperti
kelinci mati di dalam kandang. Esok hari, gurumu ini boleh gugur bersama lawan.
Tapi kalian masih hidup seumpama tunas baru yang kelak akan mengembangkan ilmu
warisan Ratu Fatimah sepanjang abad. Sebaliknya, apabila kalian semua gugur dan
tinggal aku sendiri yang selamat, inilah bakal merupakan suatu per-soalan
sulit. Sebab gurumu sudah tua dan bakal jadi reyot. Siapakah kelak yang bisa
meneruskan cita-cita Ratu Fatimah. Karena itu, manakala lawan terlalu kuat
salah seorang harus dapat menyelamatkan diri." Kembali anak murid Edoh Permanasari
membungkuk dengan khidmat. Pikir Sangaji, Edoh Permanasari sebenamya seorang
wanita berhati jantan. Sayang dia mempunyai per-soalan pribadi sehingga sepak
terjangnya menjadi sesat. Tapi justru ia berpikir demikian, teringatlah dia
kepada persoalannya sendiri. Itulah soal Sonny de Hoop dan Titisari. Tak
dikehendaki sendiri, ia menarik napas panjang. Tiba-tiba pada saat itu,
nampaklah sinar berapi melambung ke udara. "Hai, celaka! Itulah tanda
bahaya aliran Mandalagiri," seru Edoh Permanasari. Dengan diikuti beberapa
anak muridnya, ia berlari-lari kencang seolah-olah sedang mem-buru. Lainnya
hanya bersiaga di tempat peris-tirahatannya masing-masing. Sebelah barat daya
terdengarlah suara beradunya senjata sayup-sayup. Tanpa dipe-rintah, mereka
mempercepat larinya. . Tidak lama kemudian, nampaklah beberapa bayangan sedang
bertempur seru. Empat belas melawan tujuh orang. Mereka bergerak sangat
cepatnya. Siapa mereka tidaklah nam-pak dengan jelas. Tapi mata Sangaji yang
tajam luar biasa, melihat berkelebatnya lencana bergambar pedang silang dan
bintang pada lengan baju seorang yang mengenakan jubah. Karena mereka yang
mengenakan jubah seragam berjumlah tujuh orang, maka tahulah dia bahwa mereka
yang mengkerubut pastilah anggota aliran Mandalagiri yang dise-butkan Edoh
Permanasari tadi. Melihat mereka, anak murid Edoh Perma-nasari segera akan
terjun pula. Tadi Edoh Permanasari mencegahnya. "Tunggu dahulu!"
katanya. "Tadi ada suatu tanda bahaya. Melihat anak murid Mandalagiri
belum kalah, pastilah ada maksud tertentu." Pendekar-pendekar Himpunan
Sangkuriang ternyata gagah perkasa. Meskipun kena kerubut dan sudah ada
beberapa orang yang terluka, mereka tetap melawan dengan ganas. Goloknya
diputar kencang, merabu dan me-nyerang. Sekonyong-konyong terjadilah suatu .
per-tarungan seorang melawan seorang. Yang mengenakan jubah seragam seorang
laki-laki berberewok tebal. Dengan tangkas memutar goloknya.kencang-kencang
melawan seorang laki-laki pula berperawakan ramping. Mereka berdua bertarung
amat sengitnya. Tak lama kemudian terjadilah suatu perubahan. Laki-laki
berperawakan ramping di luar dugaan menggeser tubuhnya dan pada saat itu juga
mengirimkan suatu tusukan. Cepat sekaii tusukannya, sehingga sebelum sadar akan
artinya, dada laki-laki berberewok tertembus tanpa dapat membalas. Berbareng
dengan sorak sorai anak murid Edoh Permanasari, hati Sangaji tercekat. Ia
teringat gerakan itu. Itulah salah satu jurus gerak Watu Gunung, waktu
menghindari pu-kulannya berbareng menyerang. Apakah mereka anak murid pendekar
sakti Watu Gunung yang disebut Inu Kertapati? Sekarang di pihak Himpunan
Sangkuriang tinggal enam orang. Melihat di pihak lawan makin lama makin banyak
jumlahnya, betapa pun berani mereka tak urung tercekat juga hatinya. Namun
demikian, mereka tak kendor. Serangan dan tangkisannya tetap gencar. Pada saat
pendekar-pendekar Himpurtan Sangkuriang itu akan menemui ajalnya, tiba-tiba
teriihatlah asap kuning menyibak kekelaman malam. "Lihat! kawan-kawan
Gunung Kencana membutuhkan pertolongan!" seru seorang. Mendengar seruan
itu, Edoh Permanasari segera lari mendahului. Sudah barang tentu anak muridnya
ikut serta pula. Mereka mem-biarkan anak-anak murid Mandalagiri me-nanggulangi
sisa lawannya sendiri. Melihat gelagatnya pasti dapat membereskannya tanpa
bantuan. Sesudah berlari-lari beberapa saat lamanya, keadaan lembah sunyi
senyap. Suatu bayang-anpun tiada nampak. Edoh Permanasari terus berseru
nyaring, "Apakah kawan-kawan dari Gunung Kencana berada di sini?"
Hebat suara Edoh Permanasari sampai berkumandang sangat jauh. Namun tiada
jawaban. Tiba-tiba di sebelah timur, terlihatlah kembali asap kuning
bergulungan di udara. "Guru!" seru Ida Kusuma. "Nampaknya medan
pertempuran berpindah di sana." Mereka lantas mengarah ke timur. Tapi di
sana, mereka tak menjumpai seorangpun. Bahkan bekas-bekas adanya pertempuran
sama sekali tiada. Dan untuk ketiga kalinya nampak lagi asap kuning menusuk
udara. Kali ini berada di sebelah selatan. Melihat tanda bahaya itu, mereka
cepat-cepat memburu demi setia kawan. Namun setelah berlari-larian ke sana ke
mari tanpa melihat seorangpun jua timbullah kecurigaan dalam hati Ida Kusuma.
Terus saja ia menghunus pedang dan meng-awal adik-adik seperguruannya yang
kurang cepat larinya. Siapa tahu, musuh sedang melakukan aksi jebakan. Tatkala
itu anak murid Mandalagiri sudah menyusul pula. setelah menyelesaikan
per-tarungannya. Mereka sedang berada dalam keadaan menang perang. Tapi begitu
menyak-sikan betapa asap kuning selalu berpindah-pindah tempat, lambat laun
mereka jadi curi-ga. Lenyaplah rasa menangnya dan kini berganti dengan rasa
was-was. "Nona! Apakah Nona tidak merasakan se-suatu yang kurang
wajar?" tanya laki-laki berperawakan ramping kepada Ida Kusuma. Dialah
tadi yang membunuh laki-laki berewok dengan jurus yang istimewa. "Kalau
benar, mengapa?" sahut Ida Kusuma angkuh. Laki-laki itu kemudian
membungkuk hor-mat. Berkata takzim, "Kami anak- anak murid Mandalagiri.
Namaku sendiri Wijaya." "Lalu bagaimana?" "Karena kita ini
rekan seperjuangan untuk membasmi kaum iblis, bukankah lebih baik bekerja
sama?" "Lalu bagaimana?" Wijaya menghentikan langkahnya. Hatinya
agak mendongkol ditanggapi demikian. Semula melihat perawakan Ida Kusuma yang
sangat menarik ditambah pula dengan keelokan wajahnya ia mencoba-coba mengadu
untung. Tak tahunya, hati gadis itu beku bagaikan batu. Kalau tidak berhati
demikian, masakan dia murid Edoh Permanasari yang benci kepada segala macam dan
corak kisah asmara. "Kita terjebak tipu muslihat musuh. Di sini hanya
terdapat bekas tapak kaki seorang saja. Kalau benar kawan-kawan dari Gunung
Kencana terkurung lawan, paling tidak harus kita temukan bekas tapak kaki
beberapa orang. Mana sekarang?" "Ah, benar!" Tiba-tiba terdengar
suara Edoh Permanasari yang berada jauh di depan. Terang sekali betapa tinggi
ilmunya dapat dibuktikan dengan tajamnya pendengarannya. "Ida! Kita memang
kena tipu muslihat. Sekarang rekan-rekanmu dari Gunung Ken-cana benar-benar
terjebak. Mari, cepat!" Setelah berkata demikian, ia mendahului melesat ke
selatan. "Darimana guru mengetahui rekan-rekan dari Gunung Kencana
terjebak musuh?" tanya Ida Kusuma setelah lari menjajari gurunya.
"Asap kuning yang kau lihat tadi, memang tulen. Itulah buah hasil
kerajinan tangan orang-orang Taraju. Soalnya kini, siapa yang menyalakan.
Kukira, seorang di antara mereka kena tertawan musuh. Lantas musuh menyalakan
panah berasap kuning itu." "Tapi mengapa bisa berpindah-pindah
begi-tu cepat?" "Apakah engkau tak teringat kepada ke-mampuan gerakan
orang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam suatu gebrakan saja?" sahut
Edoh Permanasari dengan mendongkol. Baik anak-anak muridnya maupun anak-anak
murid Mandalagiri terbangun semangat tempurnya. Namun tenaga jasmaninya ba-nyak
yang sudah ludas, karena tadi harus berlari-lari tak keruan juntrungnya. Sadar
bahwa lawan memang bermaksud meng-habiskan tenaganya, mereka bergidik dengan
sendirinya. Orang berjubah usang yang membunuh Nia Kurnia hanya dalam satu
gebrakan itu memang hebat. Tiba-tiba saja ia telah muncul kembali. Seperti
disengaja, ia melompat di atas ketinggian sambil tertawa panjang. "Hai!
Kenapa kau berada di sini?" seru Ida Kusuma kaget bercampur heran. Bunyi
seruan itu kalau dirasakan sebenarnya lucu. Karena kesannya seperti terhadap
seorang sahabat atau seorang yang dikenalnya semenjak lama. Orang itu tertawa
terbahak-bahak. "Terima kasih anak manis. Karena itu, tak sampai hati aku
mengganggumu. Kau boleh hidup lebih lama lagi." Setelah berkata begitu ia
kini mengarah kepada Edoh Permanasari dan anak-anak murid Mandalagiri. Berkata
mengguruh. "Kalau sudah cukup lari pulang balik. Apakah masih berlarMari
dengan tak keruan juntrungnya?" "Kau iblis!" maki Edoh
Permanasari. "Kalau memang seorang ksatria, kenapa tak berani
berterang-terangan?" "Kau bilang sendiri, aku iblis. Mau berkata
apalagi?" sahut orang itu dengan cepat. Kemudian menuding ke arah barat.
"Lihat! kawan-kawanmu sudah mulai kena ganyang habis-habisan."
Setelah berkata demikian dengan sekaii berkelebat bayangannya lenyap ditelan
kege-lapan malam. Hati Edoh Permanasari mendongkolnya dan gemas bukan main, la melihat
sebagian besar anak-anak muridnya sudah tersengal-sengal napasnya. Padahal di
arah barat benar-benar terdengar suara benturan senjata. Itulah suatu tanda
terjadinya pertarungan hebat. Dalam pada itu, Wijaya dan teman-teman-nya sudah
mendahului lari ke arah barat. Makin ia mendekati gelanggang pertarungan, makin
terdengarlah suara-suara yang mende-barkan hati. Di antara suara benturan
senjata tajam, aba-aba nyaring dan jerit kengerian mengumandang sampai jauh.
Tatkala itu, gelap malam mulai nampak remang-remang. Bulan gede menjanjikan
muncul pada hampir tengah malam. Kini, la-ngit mulai cerah. Sebentar lagi alam
berse-marak. Meskipun tidak terang benderang, namun bayangan manusia cukup
jelas. Edoh Permanasari yang sudah datang pula di pinggir gelanggang pertempuran,
berkata kepada Ida Kusuma: "Pihak lawan terdiri dari empat golongan.
Lihatlah gambar panji-panjinya. Tanda Obor, Keris, Bintang dan Garuda. Bagus!
Anak-anak murid Mandalagiri, Gunung Kencana, Gunung Gembol, Gunung Gilu dan
Muara Binuangeun sudah tiba pula di sini, kita tak usah takut kalah jumlah.
Lihatlah, mereka sedang bertempur." "Apakah kita tidak ikut
menyerbu?" Ida Kusuma minta keterangan. • "Tunggu dahulu! Kita tunggu
rekan-rekan-mu dari Gunung Aseup. Bila mereka tiba, kemenangan pasti berada di pihak
kita," sahut Edoh Permanasari pasti. Selama hidupnya, baru untuk pertama
kali Sangaji menyaksikan suatu pertempuran besar. Itulah sewaktu dia lagi
belajar satu dua jurus dari gurunya Wirapati dan Jaga Sara-denta. Pertempuran
antara Kapten de Hoop melawan Mayor de Grote, yang masing-masing menggunakan
senjata bidik jarak jauh. Malam ini corak pertempuran yang di-saksikan adalah
lain. Mereka bertempur dalam jarak pendek. Pertempuran peroran-gan antara para
pendekar Himpunan Sangkuriang melawan sekutu-sekutu Ratu Fatimah. Meskipun
tiada terdengar suara letusan, namun kedahsyatannya tidak kalah. Malahan lebih
dahsyat. Pedang dan golok beterbangan dan mayat bergelimpangan bermandikan
darah. Sua-sananya amat mengerikan, karena luka yang diderita masing-masing
hampir tak dapat ter-tolong lagi. Paling tidak, mereka kehilangan lengan atau
kaki. Jerit rintihan dan suara orang menggelidik bulu roma. Dahulu sewaktu
menyaksikan pertempuran antara Kapten de Hoop dan Mayor de Grote, ia
mengharapkan suatu kemenangan bagi Kapten de Hoop. Hal itu disebabkan, karena
ia mempunyai kepentingan. Kakak angkatnya Kapten Willem Erbefeld berada di
pihak Kapten de Hoop. Kinipun meskipun belum merasa berkepentingan tentang mati
hidupnya Himpunan Sangkuriang ia mengharapkan suatu kemenangan baginya. Di
dalam lubuk hatinya terasa betapa amat sayang apabila panji-panji empat
angkatan Himpunan Sangkuriang sampai jatuh di tangan kawan-kawan Edoh
Permanasari. "Guru, lihat!" seru Ida Kusuma. "Di pinggir sana
masih menunggu dua pasukan besar lagi." Sangaji ikut mengarahkan pandang.
Kira-kira sejauh penglihatan orang, nampaklah dua deret pasukan berkuda sedang
berbaris mendekati. Hanya saja, ia merasa heran dua pasukan yang tiba di
gelanggang pertempuran itu, datangnya dari arah yang bertentangan. Anehnyan
mereka saling berpapasan dan bertubrukan. Masing-masing pihak tidak sudi
memberi jalan. Meskipun mereka tidak saling menikam, tapi matanya Sangaji yang
tajam melihat betapa mereka saling meninju atau menendang. Apakah mereka
mempunyai tata siasat sendiri yang nampaknya berlaku tidak wajar? pikir
Sangaji. "Guru!" terdengar suara Ida Kusuma. "Kalau mereka
datang, betapa kuat rekan-rekan kita, pasti tak akan dapat dihancur leburkan.
Lihatlah guru, mereka bersenjata sangat lengkap." Wijaya yang memimpin
anak-anak murid Mandalagiri diam-diam terperanjat menyak-sikan datangnya bala
bantuan itu. Hanya anehnya, setelah dua pasukan besar itu tiba di pinggir
lapangan, sama sekali tidak bergerak. "Mengapa begitu?" Tak terasa
terloncatlah perkataan Wijaya. "Apakah belum paham?" sahut Edoh
Per-manasari. Wijaya menjelajahkan pandangannya sam-bil menebak-nebak.
Sangajipun ikut menebak pula. Dia bukan Titisari yang berotak encer.
"Kedua pasukan yang datang itu mengi-barkan panji-panji bergambar Kuda
Semberani dan Bunga Mekar," ujar Edoh Permanasari menggurui kedua pasukan
itu seperti yang Iain-lain saling bermusuhan. "Jikalau kalian membunuh
habis keempat pasukan panji-panji yang sedang bertempur itu, mereka takkan sudi
membantu. Bahkan dalam hati mereka masing-masing mengharapkan lebur-nya yang
lain. Dengan demikian ada ke-mungkinan bagi masing-masing pihak untuk dapat
mengangkat diri menjadi penguasa tunggal Himpunan Sangkuriang." Mendengar
uraian Edoh Permanasari mere-ka semua menjadi sadar. "Ah, ya," kata
Wijaya. "Terima kasih atas petunjuk Tuan." Dengan satu isyarat,
anak-anak murid Mandalagiri dan Edoh Permanasari segera bersiaga. Tatkala itu
pertempuran sudah me-masuki babak sangat gawat. Kedua belah pihak sama kuatnya.
"Ida!" kata Edoh Permanasari. "Hayo kau berlombalah dengan anak
murid Mandalagiri siapa yang paling banyak dapat membasmi lawan."
Teranglah maksud Edoh Permanasari. Itulah suatu aba-aba berbareng membakar
sema-ngat. Serentak mereka semua menyerbu ke te-ngah gelanggang. Wijaya
sebenarnya pe-mimpin golongan Mandalagiri. Namun dalam penyerbuan itu, ia
selalu di tengah anak-anak murid Edoh Permanasari mendampingi Ida Kusuma.
Mereka berdua merupakan sepasang penyerbu yang hampir dapat merubah keadaan
gelanggang. Dengan bantuan adik-adik seperguruannya, mereka menghancurkan
pasukan panji-panji Keris. Yang terhebat dari semuanya adalah Edoh Permanasari.
Tiada seorang musuhpun yang mampu membendung lebih dari tiga serangan-nya.
Tubuhnya timbul tenggelam menyelinap di antara pagar manusia. Pedangnya memba-bat
dan menikam. Sekejap saja puluhan manusia mati terajang oleh pedang yang ganas.
Melihat gelagat buruk, Wiralegawa pe-mimpin panji-panji pasukan bergambar Keris
melompat maju dengan mengayunkan sen-jatanya yang istimewa. Dilihat selintas,
senja-tanya hanyalah sebuah rantai panjang dari besi. Tapi sebenamya pada
ujungnya berbatu baja bergigi. Dengan sekaii ayun, ia dapat membendung serbuan
anak-anak murid Edoh Permanasari dan Mandalagiri. Banyak di antara mereka yang
terluka berat atau tewas seketika itu juga. "Menyibak!" seru Wijaya
berbareng melesat maju. la terus menyabetkan pedangnya. Di luar dugaan, Ida
Kusuma mendadak maju pula membantu dari samping. Keruan hatinya ber-syukur
bukan main. Namun meskipun pedang mereka berdua berkelebat dengan suatu aung-an,
kena sambar senjata Wiralegawa yang istimewa semplak menjadi empat potong.
"Awas!" teriak Edoh Permanasari. Mereka berdua meloncat muhdur.
Adik-adik seperguruan merekapun lantas saja tersibak sempoyongan. Dengan begitu
serbuan mereka dapat terbendung. Edoh Permanasari kemudian maju merabu
Wiralegawa. Kalau tadi ia dapat membabat musuh hanya dalam tiga kali serangan,
kali ini tidaklah demikian. Wiralegawa ternyata seorang pemimpin pasukan yang
tangguh luar biasa. Sepuluh gebrakan telah lewat dengan cepat. Kekuatan mereka
seimbang benar. Melihat gurunya sudah bertarung seru melawan Wiralegawa, Ida
Kusuma mengalih-kan perhatiannya ke arah lain. Ia yakin, gurunya pasti dapat
mengatasi. Maka dengan memberi isyarat kepada adik-adik seperguru-annya, ia menyerbu
pasukan panji-panji bergambar Kuda Semberani. Dan anak-anak murid Mandalagiri
menyerang pasukan panji-panji bergambar Garuda. Di kala itu, mendadak
Wiralegawa meng-ayunkan senjatanya. Hebat serangannya. Senjata mengaung sampai
anak-anak murid Edoh Permanasari memekik terkejut. Edoh Permanasari tak berani
menangkis. Ia terpaksa mengelak sambil mundur. Tapi baru saja menempatkan
sebelah kakinya, Wira-legawa menyusulkan serangannya yang ke-dua. Dengan
tersenyum Edoh Permanasari memukulkan ujung pedangnya. Tubuhnya menggeser ke
samping dan segera mendorong dengan mengarahkan tenaganya. Setelah itu,
mendadak pedangnya membabat pinggang. Tipu serangan ini biasanya tak pernah
meleset, di luar dugaan, ternyata Wiralegawa bukanlah lawan murahan.
Benar-benar tangguh luar biasa. Apalagi tenaga pembawaannya meru-pakan suatu
tantangan yang tak boleh dire-mehkan. Mendadak saja senjata rantainya melibat
berbareng melilit pedang. Lalu ditarik ke atas. Pletak! Pedang Edoh Permanasari
semplak menjadi dua potong. Meskipun terkejut, Edoh Permanasari tiada gugup.
Dengan tangan nyeri, ia mundur selangkah. Begitu lawan mendesak maju, tiba-tiba
tangannya sudah menggenggam pedang mustika yang ditakuti lawan. Itulah pedang
Sangga Buwana warisan gurunya Ratu Fatimah, permaisuri Sultan Banten yang
di-benci dan disegani orang. Sekali digetarkan, rantai Wiralegawa rantas
seperti terajang. Pemiliknya kaget sampai berjingkrak. Ia hanya merasa
kehi-langan suatu daya berat. Baru saja ia hendak mundur, Sangga Buwana sudah
menabas pula batang leher dan sekaligus kepalanya. Sungguh! Pedang Sangga
Buwana adalah pedang mustika tiada bandingnya di dalam jagat ini. Melihat
pemimpinnya tewas, anak buah pasukan panji-panji bergambar Keris menjadi kalut.
Namun semangat tempumya tidak ber-ubah. Bahkan seperti mabuk, mereka
menyer-bukan diri. Peristiwa ini benar-benar di luar perhitungan. Biasanya
suatu pasukan akan bubar berderai apabila pemimpinnya tewas. Siapa menyangka,
mereka malahan seperti kalap. Tanpa memedulikan keselamatan diri, terus saja merabu
dengan berbareng. Benar-benar terpuji, namun sesungguhnya mereka lantas menjadi
makanan empuk bagi Edoh Permanasari yang terkenal ganas luar biasa. Seperti
seonggok rumput, mereka kena babat dengan sekaligus oleh pedang Sangga Buwana
yang tajamnya tiada bandingnya di jagat ini. Tiba-tiba terdengar suara nyaring,
"Teman-teman seperjuangan, majuuuu! Demi tanah air, bangsa, agama dan
keadilan Wiralegawa gugur sebagai ratna. Hai, kamu sekalian dari pasukan
panji-panji Bintang, Kuda Sembrani, Garuda dan Bunga Mekar! Kalau kalian cuma
menjadi penonton, silakan pulang ke gunung! Hai, pasukan panji-panji Keris
Sakti jangan takut! Kami dari pasukan panji-panji Obor Abadi akan melindungi.
Majuuu!" Dialah Kusna Suryabrata, pemimpin pa-sukan panji-panji Obor
Abadi. Orangnya pen-dek, bermata tajam dan gesit gerakgeriknya. Dengan memacu
kudanya, ia menyerbu ke gelanggang pertempuran diikuti sekalian pasukannya.
Pada saat itu berkibar-kibarlah suatu panji berwarna hitam. Di tengahnya
bergambar Bunga Menyala. Ganis Apandak pemimpin pasukan panji-panji Bunga
Menyala me-nyahut nyaring pula, "Hai Suryabrata! Di dunia ini bukan cuma
dirimu yang jadi laki-laki. Kami bukan pula sekumpulan anjing. Hai... pasukan
Keris Sakti, mundur! Biar kami pasukan panji-panji Bunga Menyala mengganti
kedudukan kalian. Mundur, agar kelak bisa membalaskan sakit hati pemim-pinmu
yang gugur...." Tatkala itu jumlah pasukan Keris Sakti ting-gal enam atau
tujuh puluh orang. Terdengarlah suara wakil Wiralegawa, "Terima kasih...
teri-ma kasih teman-teman seperjuangan." Dia terus mengibarkan bendera
panji-panji Keris Sakti dan mundur ke arah barat.daya. Meskipun sudah banyak
korban, namun cara mundurnya tidak kalut. Dengan dikawal dua puluh orang yang
merupakan sayap luar, induk pasukannya mundur rapi. Anak-anak murid Gunung
Kencana dan Gunung Gembol hendak bergerak mengejar. Mendadak terdengarlah suara
Edoh Perma-nasari, "Jangan kejar!" "Mengapa guru?" Ida
Kusuma menegas se-raya menghampiri. "Mereka sudah mundur. Kalau sampai ter-pukul
lagi pasukan panji-panji lainnya pasti akan menyerbu berbareng. Sebab betapapun
juga, mereka merupakan satu himpunan. Lihat, anak-anak murid dari Gunung
Aseupan belum tiba. Meskipun jumlah kita enam aliran cukup seimbang, namun kita
akan terpaksa berkorban banyak sebelum sampai menginjak. dataran ketinggian
Gunung Cibugis." Peringatan itu menyadarkan mereka. Maka dengan serentak
mereka mengalihkan sema-ngat tempurnya untuk membendung serbuan pasukan
panji-panji Obor Abadi yang dipimpin langsung oleh Kusna Suryabrata. Sangaji
tak memedulikan mereka lagi. Ia sadar, pada saat itu berada di tengah-tengah
kancah pertempuran. Apabila lalai, dia bisa dicurigai kedua belah pihak. Benar
juga. Segera ia kena cegat barisan manusia yang terdiri dari pihak-pihak
campuran. Cepat ia menjejak tanah dan terbang melalui kepala mereka. Tujuannya
mengarah turun gunung. Dengan demikian ia tak dikejar lagi. Tapi sete^ lah lari
berputar-putar, segera ia kembali men-daki pinggang gunung dari arah selatan.
Waktu itu matahari sudah mencongakkan diri di langit timur. Ia beristirahat
memeriksa luka Kosim. Ternyata semenjak tadi, Kosim pingsan dalam pelukannya.
Rupanya ia agak kehilangan darah. Segera ia mengumpulkan semangat dan
menyalurkan darah saktinya. Sebentar saja, Kosim memperoleh kesadarannya kembali.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 39 PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 39 PENDEKAR-PENDEKAR HIMPUNAN SANGKURIANG"
Post a Comment