BENDE MATARAM JILID 41 MENGADU NYAWA
Dadang
Wiranata tahu bahwa tenaga Otong Surawijaya yang belum pulih lantaran tadi
menolong dirinya membuyarkan racun. Pastilah dia takkan tahan menerima serangan
balasan Tatang Sontani. Maka cepat ia memotong dengan pukulan Aji Gineng yang
terkenal ditakuti lawan dan kawan. Bres! Kedua pukulan itu berbenturan sangat
keras. Ajaib! Ternyata kedua tangan yang berbenturan itu, kini mendadak lengket
tak terpisahkan. Masing-masing seolah-olah memiliki daya hisap yang sama tangguhnya.
Sebenarnya mengingat sesama anggota himpunan. Tatang Sontani tak bermaksud
jahat. Betapapun juga, ia tak mau melukai Otong Surawijaya dengan
sungguh-sungguh. Pukulan ilmu sakti Tunggulwulung hanya digunakan sebagian saja
sekedar membendung berbareng menangkis tenaga sakti Gumbala Geni andalan Otong
Surawijaya. Di luar dugaan, Dadang Wiranata menggempur dengan tenaga
penuh-penuh. Lantas saja Aji Gineng yang mempunyai hawa sakti serba dingin
merayap masuk ke dalam tulang belulangnya. la kaget setengah mati. Buru-buru ia
mengerahkan tenaga saktinya penuh-penuh pula untuk mengimbangi. Karena kekuatan
mereka seimbang, tangannya tak terpisahkan lagi. "Tatang Sontani. Kau
kentut busuk harus merasakan pukulanku," bentak Otong Surawijaya. Ia tadi
hanya kena tangkis, karena pukulan Tatang Sontani kena dipotong Dadang
Wiranata. "Otong! Jangan gegabah!" Tubagus Simuntang memperingatkan.
Tapi kasep. Pukulan Otong Surawijaya yang mengarah dada Tatang Sontani
terlengket pula. Buru-buru Walisana berteriak dengan suara memohon:
"Tatang Sontani, jangan turuti rasa mendongkolmu! Kasihanilah mereka!
Mereka belum sembuh benar-benar. Nah, tarik semua pukulan sakti!" Anjuran
itu gampang diucapkan, tetapi tidak mudah dilaksanakan. Masing-masing sudah
terlanjur ngotot. Tangan mereka malahan bertambah lengket. Walisana tersinggung
kehormatannya. Terus saja ia mengayunkan tangan dengan maksud menggertak. Tak
tahunya Tatang Sontani mengegos ke samping. Tangan kirinya menangkis. Dan
tangan Walisana terlengket pula. "Walisana! Kau ksatria macam apa sampai
ikut-ikutan pula mengeroyok Tatang Sontani!" tegur Tubagus Simuntang.
Dengan sekali gerak, ia menjambret pundak Walisana dengan maksud menariknya.
Tak terduga! Belum lagi pundak Walisana tersentuh tangannya, Otong Surawijaya menggigil
seperti terluka berat. Cepat ia menarik tangannya. Teringatlah dia! Tatang
Sontani seorang tokoh tinggi yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula semenjak
dahulu. Apakah Otong Surawijaya kena pukulan yang mematikan. Memikir demikian,
segera ia berseru lagi: "Tatang! Betapapun juga Otong adalah rekan
seperjuanganmu sendiri. Apa perlu mengadu nyawa begini sungguh-sungguh?"
Setelah berkata demikian, baru ia menarik pundak temannya itu. Di luar dugaan,
tubuh Otong Surawijaya tak bergeming kena tarikannya. Heran dia masakan
tenaganya tak mampu memisahkan mereka. Secara wajar ia menambah tenaganya.
Suatu hawa dingin luar biasa menembus jantungnya. Ia kaget setengah mati. Hai!
Bukankah ini hawa sakti Aji Gineng milik Dadang Wiranata? Apakah Tatang Sontani
memiliki ilmu ini pula? pikirnya kaget. Kalau benar demikian, alangkah
berbahaya. Ilmu saktinya Tunggulwulung sudah berbisa. Kini ditambah dengan Aji
Gineng. Bukankah tak ubah raksasa terbangun dari tidurnya? la hanya dapat
berpikir sekejap saja. Tubuhnya terus menggigil sampai giginya berceratukan.
Cepat-cepat ia berjuang membendung gelombang hawa dingin yang mulai mengamuk
keseluruh tubuh. Menyaksikan peristiwa itu, Dwijendra segera maju membantu
Tubagus Simuntang. Dengan demikian, Tatang Sontani kena kerubut lima orang. Tak
mengherankan bahwa hawa dingin yang luar biasa dahsyatnya itu dapat mereka
bendung sedikit demi sedikit. Tenaga serangan Tatang Sontani sendiri terasa
berubah-ubah. Sebentar keras sebentar lunak. Kadang-kadang malahan terlalu kuat
dan terlalu lemah seakan-akan lenyap. Karena perubahannya sukar diduga, mereka
berlima tak berani menarik .tangannya dengan sembarangan saja. Siapa tahu, pada
saat mereka hendak menarik tangannya masing-masing, Tatang Sontani justru lagi
mengerahkan tenaga dahsyatnya. Kalau sampai terjadi demikian, mereka akan
menderita luka berat. Menurut pengalaman, akan menjadi cacat seumur hidupnya.
"Tatang!" tiba-tiba Tubagus Simuntang berkata terengah-engah. Terang
sekali, ia memaksa diri untuk berbicara. "Kami tiada bermaksud..."
baru sampai di situ, hawa dingin luar biasa kembali menyerang jantung. Terus
saja ia berceratukan. Memang berbicara dalam keadaan demikian, merupakan suatu
pantangan besar. Hebat suasana adu tenaga sakti itu. Dadang Wiranata kelihatan
tegang. Sebaliknya Tatang Sontani tenang-tenang saja seolah-olah tiada terjadi
sesuatu atas dirinya. Menyaksikan perbedaan itu, Ratna Bumi yang selama itu
tidak bergerak dari tempatnya heran tercengang-cengang. Pikirnya, meskipun ilmu
sakti Tatang Sontani sudah mencapai tingkat tinggi, tapi tidak melebihi ilmu
sakti Dadang Wiranata. Sekarang ditambah pula dengan Tubagus Simuntang, Otong
Surawijaya, Dwijendra, Walisana yang membantu Dadang Wiranata dengan berbareng.
Apa sebab Tatang Sontani tidak merasakan sesuatu pengaruh? Malahan nampak lebih
unggul. Aneh!" Biasanya otak Ratna Bumi jauh lebih encer daripada mereka
yang mengeroyok Tatang Sontani. Tapi kali ini meskipun memeras otak, tetap saja
ia tak mengerti sebab musababnya. "Ratna Bumi!... se ... serang ... punggungnya!"
seru si berangasan Otong Surawijaya terengah-engah. Ratna Bumi bukan seperti
dia yang senang mengumbar adat. Dalam segala halnya tak pernah dia berlaku
semberono dan gegabah. Apalagi ia belum memperoleh pegangan yang berdasar.
Memang, di pihak Otong Surawijaya tinggal dia seorang yang bisa menentukan.
Tetapi masih saja ia bersangsi kepada kemampuannya sendiri. Siapa tahu, dia
akan kena lengket juga. Dalam kebimbangannya, dilihatnya wajah Otong
Surawijaya, Walisana, Dwijendra dan Tubagus Simuntang berubah tak keruan macam.
Sebentar pucat sebentar pula merah membara. Terang sekali mereka kena serang
hawa dingin serta panas dengan bergantian. Kalau dibiarkan terus, isi perut
mereka bisa rusak. Terpaksalah ia mengeluarkan senjatanya yang berbentuk rantai
bercabang lima, seraya berkata: "Tatang Sontani! Terpaksa aku menggunakan
senjata sebagai pengganti tanganku. Punggungmu akan kuserang. Awas!"
Apabila Ratna Bumi bermaksud menyerang dengan sungguh-sungguh tentu saja tak
bakal dia memberi peringatan demikian. Dia hanya ingin mengesankan, bahwa
sebenarnya ia tak bermaksud hendak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tujuannya
semata-mata hendak memisah mereka. Di luar dugaan Tatang Sontani hanya
tersenyum saja. Malahan ia seperti menantang pula. "Kalau begitu, maaf!"
seru Ratna Bumi sambil mengayunkan senjata rantainya. Dengan tenang Sontani
menunggu sampai senjata rantai Ratna Bumi nyaris menyentuhnya.
Sekonyong-konyong ia menggeserkan punggung kelima pengeroyoknya. Keruan saja,
senjata rantai menghantam sasaran yang bukan sasaran semestinya. Dengan suara
tertahan, Otong Surawijaya, Dwijendra, Walisana dan Tubagus Simuntang menerima
gebuk. Terus saja mereka punah tenaganya, meskipun tenaga pukulan yang
digunakan Ratna Bumi sangat enteng. "Itulah ilmu sakti Maruti Buwana,"
bisik Dwijendra dan Walisana dengan berbareng. Mendengar kisikan itu,
tersadarlah Ratna Bumi. Ilmu sakti Maruti Buwana bagi keluarga Himpunan
Sangkuriang bukanlah asing lagi. Itulah ilmu sakti warisan Ki Tapa guru Ratu
Bagus Boang, yang kemudian diturunkan kepada Ratu Bagus Boang. Pada zaman
dahulu milik Raja Karawelang. Diwariskan kepada Ratu Angin-angin dan kemudian
entah bagaimana sejarahnya, ilmu sakti tersebut tersimpan di perbendaharaan
bumi Banten. Ilmu sakti itu konon dikabarkan berasal dari Hyang Tunggal. Dalam
cerita pedalangan diceritakan mempunyai kesaktian memutar jagat serta
membalikkan bumi. Makanya yang benar adalah meminjam tenaga lawan untuk
dihantamkan kembali. Mudah kedengarannya. Tetapi sesungguhnya sukar
dilaksanakan. Gntuk meyakinkan ilmu sakti tersebut membutuhkan waktu tekun
selama dua puluh tahun lebih. Itulah sebabnya pula, setelah Gusti Ratu Bagus
Boang musna, ilmu sakti Maruti Buwana hilang dari percaturan lantaran tiada
seorangpun sanggup mewarisi. Tak terduga, Tatang Sontani tiba-tiba saja bisa
mempertontonkan kembali di depan mereka. Sekarang jadi gamblang, apa sebab
Tatang Sontani seolah-olah tiada merasakan sesuatu pengaruh meskipun dikeroyok
lima orang sakti dengan berbareng. Sebab yang digunakan untuk menghantam balik
adalah Aji Gineng. Dengan demikian yang bertempur sesungguhnya adalah Dadang
Wiranata melawan. empat orang rekannya. Tatang Sontani menggunakan hawa sakti
Aji Gineng untuk menyerang empat orang lawannya. Sedangkan tenaga tangkisan
empat orang tersebut, digunakan untuk menggempur Dadang Wiranata. Keadaannya
tak ubah seperti seorang dalang yang sedang mengadu wayangnya. Sama sekali ia
tak merasa apa-apa. Sebaliknya wajah Dadang Wiranata menjadi tegang luar biasa.
Sedangkan keempat rekannya kebingungan kena diserang hawa Aji Gineng yang
dingin. "Selamat! Selamat!" seru Ratna Bumi. Ia adalah seorang
pendekar yang tak bisa berbicara banyak. Maksud seruannya itu adalah memberi
ucapan selamat atas berhasilnya Tatang Sontani mewarisi ilmu sakti Maruti
Buwana. Kemudian berkata lagi, "Kami datang kemari, bukan untuk memusuhi
engkau." Tatang Sontani kenal tabiat Ratna Bumi. Orang itu tidak pernah
berdusta. Pendek kata-katanya, tapi dapat dipercayai. Selain itu, dia sendiri
tidak bermaksud hendak mencelakakan rekan-rekan seperjuangannya. Kalau ia
berkutat adalah semata-mata lantaran diserang dengan berbareng. Sekarang oleh
hantaman Ratna Bumi yang menyasar tadi tenaga mereka punah. Dengan sendirinya
menjadi renggang. Inilah kesempatan yang sebaikbaiknya untuk menghabisi perselisihan.
Dengan tertawa dia lalu berkata, "Dadang Wiranata, Otong Surawijaya,
Dwijendra, Walisana dan Tubagus Simuntang. Mari kita renggangkan tangan kita
terlebih dahulu. Setelah aku menghitung sampai tiga kali, dengan berbareng kita
menarik tangan serentak. Bagaimana?" Mereka mengangguk. "Nah, kita
mulai. Satu ... dua ... tiga ...!" Hitung Tatang Sontani. Baru saja
kata-kata tiga diucapkan, diluar dugaan punggungnya terasa dingin luar biasa.
Terang sekali ia kena suatu serangan gelap. Seketika itu juga, meluaplah dia
karena merasa dikhianati. Kutuknya di dalam hati, "Keji benar hati Dadang
Wiranata. Kenapa selagi kutarik tenaga saktiku, ia membarengi menyerang dengan
menggelap." Tetapi ia kaget. Ternyata tuduhannya kepada Dadang Wiranata
meragukan hatinya. Ia melihat Dadang Wiranata jatuh sempoyongan. Agaknya dia
pun kena serangan gelap. "Siapa yang main gila?" Selama hidupnya
entah sudah-berapa kali, Tatang Sontani dihadapkan kepada kelicikan lawan dalam
pertempuran-pertempuran dan sudah dilaluinya dengan selamat. Sadar, bahwa ia
sedang menghadapi suatu serangan gelap terus saja ia memutar tubuhnya.
Berbareng dengan gerakannya itu, ia melihat Otong Surawijaya, Dwijendra,
Tubagus Simuntang dan Walisana berturut-turut roboh dengan memekik. Dan di sana
Ratna Bumi sedang berhantam seru melawan seorang yang mengenakan pakaian hitam
lekam. Orang itu sudah tua kira-kira berumur 70 tahun tetapi gerak-geriknya
gesit. Sekali membalikkan tangan, Ratna Bumi menggeliat dengan suara tertahan.
Terang sekali ia menanggung kesakitan. Dengan menarik napas, Tatang Sontani
melompat hendak membantu. Sekonyong-konyong suatu hawa panas luar biasa merayap
naik. Sebentar saja sudah merayapi seluruh urat nadinya. Keruan ia kaget bukan
main. Hatinya mengeluh. Tahulah dia, bahwa ilmu sakti orang itu tinggi. Mungkin
lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Selain itu berhati keji dan kejam.
Rupanya selagi dia menarik tangan berbareng melepaskan tenaga saktinya, orang
itu menyerang dari belakang punggung. Sudah barang tentu, ia dalam keadaan terbuka
dan sama sekali tak berjaga-jaga. Maka terpaksalah ia kini mengerahkan tenaga
saktinya untuk melawan hawa panas yang merayap tak keruan-keruan. Seringkali ia
bertempur melawan seseorang yang memiliki tenaga sakti berhawa panas. Namun
hawa panas yang merayapi seluruh tubuhnya kini, bersifat lain. Kecuali panas
luar biasa mendadak melumpuhkan tenaga urat nadi. Aliran darahnya serasa
menjadi beku dengan tiba-tiba. Luar biasa hebat macam ilmu sakti itu. Namun
andaikata dia kena pukulan selagi bergerak, belum tentu tenaga saktinya tak
kuasa melawan. Soalnya dia kena pukulan selagi tubuhnya kosong dari aliran
tenaga sakti Tunggulwulung. Jangan lagi kena pukulan seorang sakti. Seumpama
dipukul seseorang yang tidak mempunyai ilmu saktipun, ia akan mengaduh kesakitan.
Ia memaksa diri untuk melangkah berbareng mengayunkan tangan. Mendadak sekujur
badannya menggigil. Tenaga pukulannya lenyap dengan begitu saja. Ia bergusar
dan kaget setengah mati. Selintas pandang, ia melihat Ratna Bumi sudah memasuki
gebrakan yang keduapuluh. Meskipun repot, namun masih sanggup bertahan. Pikir
Tatang Sontani, Ratna Bumi bisa melawan sampai 20 gebrakan lebih. Kalau begitu
seumpama berhadap-hadapan belum tentu dia bisa merobohkan aku dengan gampang.
Tapi celaka! Kenapa tenagaku kini mendadak bisa lenyap tak keruan. Dengan geram
dan cemas ia mengikuti pertarungan mati-matian itu. Melihat gelagatnya, Ratna
Bumi sebentar pasti tak tahan lagi. Benar juga. Setelah dua gebrakan lagi,
betis Ratna Bumi kena tendang lawannya. Dan ia jatuh terguling dengan napas
kempis-kempis. Manik Angkeran yang selama itu duduk dengan diam-diam di pqjok
ruang terkejut pula melihat perubahan peristiwa yang terjadi dengan tiba-tiba
itu. Tadinya ia ikut berdegup-degup menyaksikan perselisihan ketujuh tokoh Himpunan
Sangkuriang. Masing-masing pasti memiliki ilmu simpanan andalannya. Kalau
sampai terluka, bukankah dia yang bakal bertanggung jawab? Mau tak mau ia
terpaksa harus mengeluarkan dua buah buku warisan gurunya. Kalau sampai
ketahuan, bukankah berarti bunuh diri? Sebab gurunya berada di pihak Ratu
Fatimah, musuh Himpunan Sangkuriang turun temurun. Selagi dia dalam k'eadaan
gelisah, Ratna Bumi sudah berhasil melerai adu tenaga sakti. Mendadak ia
melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang terus menghantam punggung Tatang
Sontani. Kemudian dengan cepat pula menyerang Dadang Wiranata, Otong
Surawijaya, Walisana, Dwijendra, dan Tubagus Simuntang. Sesudah itu, ia
bertarung melawan Ratna Bumi. Sekarang Ratna Bumi sudah jatuh terguling.
Mapasnya kempas-kempis. Tinggal Tatang Sontani sendiri yang masih bisa berdiri.
Pendekar itu hendak menerjang, namun napasnya terdengar sangat berat. Badannya
menggigil, sedang giginya berceratukan. Melihat bahaya itu entah apa sebabnya
Manik Angkeran terus melesat maju sambil membentak, "Siapa kau?"
Orang berpakaian hitam itu heran sejenak. Lalu menyahut, "Kau siapa?"
Melihat adegan itu tiba-tiba Tubagus Simuntang berseru, "Tatang! Lindungi
dia! Kalau dia hidup, kita selamat. Percayalah!" Tatang Sontani tereengang
sejenak. Teringat bahwa pemuda itu tadi dapat mengusir racun Dadang Wiranata
segera ia sadar akan maksud Tubagus Simuntang. Cuma saja apa sebab diucapkan di
depan musuh. Pastilah dia tak pernah mengira, bahwa dirinyapun menderita luka
hebat tak beda dengan yang lain. Mendengar ucapan Tubagus Simuntang, orang
berpakaian hitam itu terus tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Bagus! Dia
harus selamat? Justru aku menghendaki dia mampus." Hampir berbareng dengan
habisnya perkataannya, ia melesat menghantam tengkuk Manik Angkeran. Tapi
Tatang Sontani lebih cepat lagi. Sayang dia kehabisan tenaga. Meskipun
demikian, dia masih bisa bertindak cepat. Dengan tak memikirkan keselamatan
diri, terus saja ia menghadang pukulan orang itu. Seketika itu juga, ia
terpental. Dan jatuh terkulai di atas lantai. Tetapi pukulan orang itu meleset
dari sasaran. Meskipun masih mengenai tubuh Manik Angkeran namun tidak mendarat
pada bagian yang mematikan. "Hem, bocah itu sudah terkena pukulan Aji
Marantaka. Masakan bisa hidup lebih dari tiga hari lagi?" "Hebat!
Sungguh hebat! Seorang tokoh berilmu tinggi kenapa menyerang dari belakang
punggung? Terhitung manusia gagah macam apa?" ejek Tatang Sontani. Orang
itu tercengang. Lalu berkata, "Ajaib! Benar-benar Tatang Sontani bukan
suatu nama kosong melompong. Kau masih sanggup berbicara setelah menerima dua
pukulanku berturut-turut. Sungguh hebat." "Lebih hebat lagi adalah
engkau. Kukira tujuh aliran sakti yang meluruk ke mari adalah laki-laki sejati,
tak tahunya cuma macam begini. Meskipun kami dari Himpunan Sangkuriang kau
juluki iblis liar, namun tak pernah kita main gelap. Kita hadapi setiap lawan
dengan dada terbuka. Mana dadamu?" damprat Tatang Sontani. Orang itu
tertawa terbahak-bahak. "Menggunakan akal, siasat dan tipu-muslihat,
bukankah sudah lumrah? Lihatlah! Jumlah kalian tujuh orang, sedangkan aku cuma
seorang. Masakan mesti harus mengadu kekuatan jasmani? Itulah perbuatan orang
goblok yang berotak udang." Tatang Sontani mengeluh. Dalam keadaan
demikian, perang mulut tiada gunanya. Hanya saja hatinya penuh penasaran,
lantaran kalah secara tak wajar. Akhirnya dia berkata menyabarkan diri,
"Kau seorang diri dapat memasuki dataran ketinggian Gunung Cibugis tanpa
halangan, betapa mungkin? Pastilah engkau mempunyai ilmu siluman." Orang
itu tertawa terbahak-bahak lagi. Kali ini tubuhnya sampai terguncang-guncang.
Itulah lantaran ucapan Tatang Sontani mengandung rasa kagum terhadap dirinya.
Lantas saja berkata dengan angkuh, "Meskipun loronglorong dan semua jalan
terjaga rapat oleh pasukanmu, apa sih kesukarannya untuk menerobos kemari.
Itulah lantaran kamu saling bermusuhan dan saling bersaingan. Ha ha ha ...
Sudah barang tentu, aku harus menggunakan waktu lama untuk menyelidiki keadaan
tubuh Himpunan Sangkuriang. Mula-mula kuketahui, bahwa tuanku pendekar Tubagus Simuntang
yang menjadi mata rantai penghubung. Nah, kupelajari lengkak-lengkok lukisan
dan rahasia sandi warta beritanya. Apa sih susahnya. Seperti kali ini. Gntuk
memancing agar pasukan kalian turun gunung, aku hanya cukup memasang tanda
gambar obor menyala dengan kilat. Bukankah itu tanda bahaya?" Tubagus
Simuntang mengeluh berbareng memaki di dalam hati. Pantas! Sekitar dataran
ketinggian tidak nampak seorangpun jua. Rupanya mereka kena digiring oleh warta
tanda bahaya yang palsu. Dan tanda bahaya inilah yang dilihat Sangaji dan Kosim
di kaki gunung. Melihat betapa Tubagus Simuntang berkomat-kamit hendak memaki,
orang itu jadi senang. Berkata lagi, "Pada saat ini, dua pasukan besar
bawahanku sedang menuju ke mari. Bahkan mereka sudah bersiaga menunggu perintahku.
Kalian tahu di mana mereka kini berada. Tuu ... di sana! Di depan hidung
kalian. Bersembunyi di balik bukit-bukit yang memagar dataran ini. Ha ha ha ...
Sebentar lagi mereka akan membakar gedung ini beserta penghuninya. Termasuk
kalian pula ... Ini namanya Himpunan Sangkuriang hancur lebur di tangan seorang
saja. Seorang musuh Bagus Boang yang kebetulan bernama Suryakusumah...."
Mendengar ujar orang yang bernama Suryakusumah, Tatang Sontani dan
rekan-rekannya mengeluh dalam hati. Mereka sadar, bahwa Suryakusumah bisa
membuktikan apa yang dikatakan. Kalau hanya korban jiwanya sendiri, tak apalah.
Tapi apabila mengakibatkan terbasminya Himpunan Sangkuriang, itulah soal yang
menyedihkan. Himpunan Sangkuriang didirikan oleh Ratu Bagus Boang yang ditakuti
lawan dan disegani kawan. Mereka bertujuh disebut raja-raja muda. Menurut
pantas, merekalah yang berkewajiban mengasuh, membina dan memperkokoh tiang
agung Himpunan Sangkuriang sepanjang zaman. Tak pernah terlintas dalam
pikirannya, bahwa oleh kesemberonoan mereka kelangsungan hidup Himpunan
Sangkuriang bakal hancur ludes oleh tangan seorang saja. Alangkah pedih dan
menyakitkan hati!" Rupanya Suryakusumah puas dengan omongannya sendiri.
Karena tiap-tiap katanya ternyata menikam ulu hati ketujuh raja muda tersebut.
Pikirnya senang, biar kutikamnya dahulu hatinya, baru kucabuti nyawanya seorang
demi seorang. Memikir demikian, ia jadi bersemangat. Katanya nyaring,
"Himpunan Sangkuriang sebenarnya bukan suatu himpunan dengan nama kosong.
Di dalamnya banyak terhimpun pendekar-pendekar sakti manusia pilihan seluruh
bumi Jawa Barat. Tapi sayang seribu sayang. Kalian saling membunuh, sehingga
lambat laun kekuatan kalian jadi berkurang. Perhatian kalian lebih terpusat
pada persaingan itu daripada menghadapi musuh yang datang dari luar. Inilah
suatu anugerah Tuhan, sebaliknya merupakan malapetaka kalian. Coba andaikata
tadi kalian tidak saling labrak, masakan aku dapat merobohkan kalian dengan
sekali pukul? Biarpun aku mempunyai kepandaian setinggi langit, betapa mungkin
dapat melawan kalian? Ha ha ha ... sungguh tidak terduga. Himpunan Sangkuriang
yang dahulu pernah menggoncangkan jagat, sekarang terpaksa gulung tikar macam
begini. Hai... Bagus Boang! Sayang kau sudah mampus. lngin aku melihat
tampangmu, betapa aku akhirnya dapat membasmi jerih payahmu pada hari
ini..." Mendengar kata-kata Suryakusumah dan menghadapi bahaya kemusnahan,
dalam hati ketujuh raja muda itu terbersit rasa sesal luar biasa besarnya.
Sekarang tersadarlah mereka apa akibat percekcokan yang berlarutlarut
semata-mata memperebutkan kedudukan seorang pemimpin besar. Andaikata tak
pernah terjadi suatu perselisihan andaikata mereka tetap bersatupadu musuh yang
datang dari luar pasti diketahui sebelumnya sempat bergerak. "Tatang
Sontani!" seru Otong Surawijaya dengan sekonyong-konyong. "Aku Otong
Surawijaya pantas mampus tak berkubur. Aku Otong Surawijaya selalu menjadi
pokok pangkal runcingnya perselisihan. Meskipun kau sendiri tidak bebas dari
suatu kesalahan, tapi bilamana engkau menjadi pemimpin besar kami, jauh lebih
baik dari pada berakhir dengan suatu kehancuran dan suatu kemusnahan terkutuk
ini. Ya, engkau pantas menjadi pembina kami. Aku Otong Surawijaya pantas mampus
tak berkubur!" "Otong Surawijaya!" sahut Tatang Sontani, dengan
tersenyum pahit. "Aku mempunyai kepandaian apa sampai berani menjadi
Pembina Himpunan Sangkuriang? Bencana ini memang kita semua yang bertanggung
jawab. Inilah kesalahan terkutuk sampai membuat Himpunan Sangkuriang jadi
runyam tak keruan macamnya. Sebentar lagi kita mampus dengan berbareng. Apakah
kita masih mempunyai muka untuk menghadap Gusti Ratu Bagus Boang di alam baka
sana?" "Sekarang kau baru menyesal, bukan!" ejek Suryakusumah.
"Aku Suryakusumah menyesal juga." "Kentutmu!" maki Otong
Surawijaya. "Kau tahu apa tentang diriku?" bentak Suryakusumah.
"Sebelum kau kenal Bagus Boang, aku sudah mengenalnya lebih dahulu. Tak
apalah, kalian bakal mampus. Biarlah kujelaskan siapa sebenarnya diriku ini.
Dengan begitu kalian akan mampus dengan mata merem." "Kentutmu! Siapa
kesudian mendengarkan mulutmu yang busuk." "Bagus! Mah, dengarkan
dulu ceritaku ini. Kau nanti orang pertama yang bakal kusembelih dengan
tanganku sendiri," kata Suryakusumah. Lalu tertawa gelak. Setelah itu
melanjutkan, "Bagus Boang adalah kakakku. Kami berdua selalu
runtang-runtung. Dimana dia berada, selalu aku di sampingnya. Kemudian
terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa terkutuk! Dia mencintai seorang wanita
yang paling cantik di jagat ini. Namanya: Ratna Permanasari. Itulah
salahnya." "Kentutmu! Apakah salahnya seorang lakilaki mencintai
seorang wanita," potong Otong Surawijaya si berangasan. "Salahnya
kenapa dia mencintai Ratna Permanasari. Salahnya pula kenapa Ratna Permanasari
membalas cintanya. Salahnya, kenapa Ratna Permanasari tidak membalas cintaku,"
ujar Suryakusumah. Dan mendengar ujarnya, Otong Surawijaya mendongkol berbareng
geli. Dampratnya, "Mereka berdua saling mencintai. Di manakah letak
kesalahannya? Kaulah babi kudisen yang tak tahu diri." Didamprat demikian,
meluaplah amarah Suryakusumah. Sekali melesat ia mendepak pantat Otong
Surawijaya sampai pendekar berangasan itu terguling-guling. "Kau tahu apa
tentang dia?" bentak Suryakusumah dengan mata beringas. "Dialah
wanita paling cantik yang pernah kulihat. Dan wanita secantik dia, masakan pantas
mencintai Bagus Boang. Kenapa tidak kepadaku? Mengapa? Mengapa?" Tubuh
Otong Surawijaya masih bergulungan. Meskipun demikian, mulutnya yang jahil
menyahut juga! "Karena tampangmu seperti kentut!" "Siapakah
bilang tampangku seperti kentut? Masakan kentut seperti tampangku?"
"Ya, malahan seperti kentut babi!" Mendengar mulut jahil Otong
Surawijaya, dada Suryakusumah seperti hendak meledak. Mukanya merah padam.
Sewaktu hendak melesat menghajar pendekar mulut jahil itu, terdengar suara Tatang
Sontani. "Teruskan! Kisahmu sangat menarik. Aku akan mati merem. Dan tak
perlu menjadi setan untuk menuntut dendam." Tatang Sontani lebih dapat
menggunakan pikiran dari pada Otong Surawijaya. Ia cerdik pula. Mendengar
ucapan-ucapan Suryakusumah dengan cepat ia bisa menarik kesimpulan tentang
tabiatnya. Kalau orang itu sampai berbicara berkepanjangan, bukankah berarti
membutuhkan waktu? Ia mengharapkan dirinya sendiri dapat memulihkan tenaganya.
Memperoleh pikiran demikian, ia harus dapat mengulur waktu. "Ah, Ya! Tapi
jangan bermimpi engkau akan bisa menggunakan waktu untuk memulihkan
tenagamu," sahut Suryakusmah dengan tersenyum mengejek. Mendengar
kata-katanya, Tatang Sontani mengeluh. Makinya dalam hati, "Setan ini
cerdik juga." Lalu berkata seolah-olah tidak memedulikan, "Kalau
engkau seorang laki-laki apa sebab tak berani merebut secara ksatria?"
"Bagus Boang lebih kuat dariku," sahut Suryakusmah. Kemudian
mencak-mencak. "Satu kali aku menantang dia, aku kena dikalahkan. Aku
pergi mencari guru pandai. Masih saja kalah. Dan pada pertarungan yang ketiga
kalinya, aku merasa tak pantas lagi hidup dalam dunia. Kakiku patah dan
terpaksa guru ... ya guru memotong kakiku untuk merebut umurku. Sekarang,
lihat!" Dengan mata berapi-api, ia merobek celana panjangnya. Dan nampaklah
kedua kakinya sebatas paha bersambung bambu. "Patah kaki—buntung kaki—muka
rusak— isi perut keluar, bukankah suatu kejadian lumrah dalam suatu
pertarungan? Apakah yang kausesalkan?" ujar Tatang Sontani. "Sudah
tentu aku bersakit hati. Lantaran aku tiada mempunyai muka lagi untuk melihat
Ratna Permanasari. Hidup begitu apa untungnya?" sahut Suryakusumah dengan
suara bergemetaran. Meneruskan, "Semenjak itu, aku bersumpah tak mau hidup
dengan dia berbareng dalam jagat ini. Aku bertapa berpuluh tahun lamanya.
Bertapa sambil mencari akal. Lalu aku mendengar kabar, Bagus Boang mendirikan
suatu himpunan dengan tujuan hendak meruntuhkan tahta Kerajaan Banten.
Mendengar kabar ini, terus terang saja aku bertambah berkecil hati. Agaknya
susah sekali aku melaksanakan angan-anganku. Lantaran dia nampak makin gagah.
Tapi Tuhan maha Adil! Akhirnya kudengar dia musnah tiada kabarnya. Nah, inilah
kesempatan sebaik-baiknya untuk membalas dendam. Bagus Boang tanpa Himpunan
Sangkuriang apalah artinya dalam sejarah dunia? Maka seluruh perhatianku
kupusatkan untuk membasmi habis himpunannya. Mula-mula tak gampang dapat
kuwujudkan, karena pendekar Himpunan Sangkuriang ternyata pendekar-pendekar
pilihan. Eh, tak tahunya kalian berpecah-pecah. Inilah suatu bukti, bahwa Tuhan
selalu membantu manusia baik hati." "Kentutmu!" potong
Surawijaya di kejauhan. "Kini jerih payahku diridoi Tuhan benar-benar. O,
Tuhan terima kasih. Tapi sayang... sayang ... mengapa Bagus Boang sudah mampus.
Coba kalau belum mampus, kayak apa tampangnya. Aku kepengin melihat. Ah, Bagus
Boang! Kenapa kau tak mau menunggu.... Kau memang bangsat!" Dan tiba-tiba
Suryakusumah menangis menggerung-gerung. Setelah puas lalu mengumpat lagi,
"Bagus Boang anak setan! Bagus Boang bangsat...." Baru sampai di situ,
tiba-tiba ia menjerit tertahan. Punggungnya kena gablok dan ia terjungkal di
lantai. Secepat kilat ia menoleh. Ternyata ia kena pukul Dadang Wiranata dengan
pukulan saktinya Aji Gineng. Terus saja ia membalas. Karena tenaga Dadang
Wiranata belum pulih, ia kurang gesit. Dengan tepat pukulan Suryakusumah
menghantam dadanya. Dan Dadang Wiranata terguling tanpa bersuara. Dadang
Wiranata sesungguhnya seorang pendekar yang cerdik. Ia bisa berpikir jauh dalam
keadaan terjepit. Tatkala kena dilukai Suryakusumah dengan pukulan gelap, ia
jatuh tanpa dapat membalas. Tetapi tenaga saktinya sebenarnya jauh lebih tinggi
daripada rekan-rekannya. Meskipun habis mengadu tenaga sakti melawan Tatang
Sontani dan sebelumnya terluka pula oleh suatu racun, namun masih saja ada
sisanya. Sadar bahwa ia takkan mampu bergebrak dengan Suryakusumah
berpura-puralah dia jatuh pingsan menunggu saat yang tepat. la melihat
Suryakusmah menangis menggerung-gerung. Hatinya terkesiap. Inilah saat yang
sebaik-baiknya. Begitu Suryakusmah mulai mengumbar ganjelannya, terus saja ia
melesat menghantamkan Aji Gineng dengan tenaganya yang penghabisan.
Suryakusumah adalah adik Ratu Bagus Boang. Dengan sendirinya tangguh luar
biasa. Namun begitu kena pukulan Aji Gineng, masih saja kekebalan dirinya tak
mampu menahan. Secara untung-untungan ia membalas. Pukulannya ternyata tepat
mengenai dada Dadang Wiranata. "Bagus! Kau bangsat bermaksud hendak gugur
bersama aku bukan? Jangan mimpi!" bentak Suryakusumah. Mendadak saja
kepalanya pusing dan penglihatannya berkunang-kunang. Suatu hawa yang dingin
luar biasa menyerang ulu hatinya. Dadanya serasa mau meledak. Maka cepat-cepat
ia menguasai mulutnya dan duduk bersimpuh menentramkan diri. Dengan demikian di
dalam ruang perjamuan yang terletak di paseban Gedung Markas Besar Himpunan
Sangkuriang menjadi sunyi tegang. Masing-masing lagi berlomba menghimpun tenaga
saktinya kembali. Hanya Dadang Wiranata yang terlalu parah luka dalamnya,
sampai napasnya kempas-kempis seperti sebuah pelita nyaris kehabisan minyak.
Sebaliknya meskipun tenaga saktinya yang paling lemah Manik Angkeran menderita
luka paling ringan. Selagi mereka belum bisa berkutik, ia sudah dapat bergerak.
Melihat hal itu, timbullah harapan dalam hati Tubagus Simuntang. Terus saja ia
menyeru, "Adikku yang baik! Kau sudah dapat bergerak. ltulah bagus... Tadi
kulihat engkau sudah berani menegur kunyuk itu tanpa memikirkan keselamatanmu
sendiri. ltulah suatu tanda, bahwa budimu luhur. Kini jiwa kami terancam
bahaya. Kau tolonglah kami. Kalau tidak kami akan hancur lebur." "Bagaimana
caraku menolong?" sahut Manik Angkeran. "Kau hantam jahanam itu, dia
pasti mampus." "Tenagaku tak ada lagi. Aku hanya bisa bergerak. Gntuk
memukul orang, rasanya tak mungkin." "Kalau begitu, carilah sebuah
tongkat. Pukul kepalanya seratus dua ratus kali tak mengapa, asal dia lantas
mampus." "Tak boleh begitu! Tak boleh begitu!" "Mengapa tak
boleh?" Tubagus Simuntang menebak-nebak. "Aku seorang tabib. Seorang
tabib tidak boleh membunuh. Apalagi membunUh seseorang yang lagi menderita
luka." Tubagus Simuntang terhenyak sejenak. Lalu tersenyum memaklumi.
Katanya mengalah, "Ah, adikku yang baik. Kau memang berbudi luhur. Tetapi
engkau sedang menghadapi seorang jahanam. Kau harus bertindak tegas."
"Tidak! Aku ... aku ..." Manik Angkeran bingung. la tahu, Suryakusumah
berhati keji dan jahat. Dia sendiri merasakan bogem mentahnya. Kalau saja tidak
dihalang-halangi Tatang Sontani, nyawanya sudah berada di alam baka. Namun
untuk membunuh seseorang yang sedang luka parah, benar-benar bertentangan
dengan undang-undang tabib. Kaget luar biasa adalah Suryakusumah. Lantaran
perhatiannya terpusat kepada ketujuh tokoh Himpunan Sangkuriang dan terbenam
dalam kisahnya sendiri, ia sampai melupakan pemuda cilik itu. Tadinya ia
mengira, bahwa pemuda itu pasti takkan tahan membendung apalagi mengusir
pukulan saktinya. Mengingat tenaga jasmaninya sangat lemah dibandingkan dengan
yang lain. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa Manik Angkeran adalah
murid seorang tabib sakti. Dengan sendirinya paham akan lika-liku rahasia
ketabiban. Begitu kena pukulan, tahulah dia bagaimana cara mengatasi tenaga
sakti lawan yang merayap ke dalam urat-nadinya. Meskipun tenaga saktinya lemah,
berkat pengetahuannya ternyata dialah yang paling bisa menolong diri. Sekarang
Suryakusumah mendengar percakapannya dengan Tubagus Simuntang. Keruan saja,
hatinya tergetar. Waktu itu dia sedang berkutat mengusir tenaga sakti Aji
Gineng yang dingin luar biasa. Hampir-hampir dia berhasil. Sayang lantaran
terkejut tenaga pendorongnya lantas buyar. Dan seperti seekor burung kena
tembak sayapnya, ia jatuh terkulai menelungkupi lantai. "Adikku!"
kata Tubagus Simuntang. Manusia jahanam itu, berjiwa keji. Kalau kau membiarkan
dia hidup, berarti puluhan ribu orang mati tak terkubur. Sebaliknya, kalau kau
membunuhnya, berarti kau telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa. Manakah yang
lebih berharga? Nyawa satu orang yang berhati keji atau puluhan ribu nyawa yang
tak berdosa?" Hebat ucapan Tubagus Simuntang, sampai hati Manik Angkeran
terguncang. Dan mendengar ucapan yang berbisa itu, Suryakusumah memaksa diri
untuk berbicara. Katanya, "Adik cilik, dengarkan. Tadi aku hanya
menyerituhmu. Itu suatu bukti bahwa tiada niatku hendak mencelakai dirimu.
Apalagi membunuhmu. Sekarang engkau hendak membunuh seorang yang lagi menderita
luka berat. Engkau seorang calon tabib sakti, masakan akan membunuh seorang
yang sedang luka berat. Bukankah kau kelak bakal ditertawakan oleh manusia di
seluruh jagat?" "Kentut! Kentut!" maki Otong Surawijaya dengan
mendongkol. Kau mengaku sebagai adik Gusti Ratu Bagus Boang. Tapi ternyata
sepak terjangmu seperti bumi dan langit. Kau main gelap. Menyerang dari
belakang punggung. Apakah perbuatan begitu tidak bakal ditertawakan oleh
manusia seluruh jagat? Kau memang bangsat pintar putar lidah." Mendengar
ucapan Otong Surawijaya, Manik Angkeran seperti tersadar. Ia mencoba berdiri,
tapi terjatuh kembali. Dan ketujuh raja muda Himpunan Sangkuriang, diam-diam
mengeluh. Mereka sadar bahwa untuk menolong keselamatan jiwa dan Himpunan
Sangkuriang tidak boleh menyandarkan harapannya kepada orang lain. Satu-satunya
jalan harus dapat menghimpun kembali tenaga saktinya yang lenyap berguguran
kena pukulan Aji Narantaka. Tetapi mereka sadar pula, bahwa hal itu tidak boleh
dilakukan dengan gegabah serta merta memaksa diri. Akibatnya malahan menjadi
runyam. Ratna Bumi yang terkena betisnya, berusaha dengan sekuat tenaga hendak
mendahului pulihnya tenaga saktinya Suryakusumah yang kena pukulan sakti Aji
Gineng. Tapi setelah beberapa kali mengatur pernapasannya, ia merasa diri
gagal. Maka harapan satu-satunya ialah, moga-moga ada salah seorang bawahan
yang kebetulan menjenguk ke paseban. Sebab ia melihat Manik Angkeran
benar-benar kehilangan tenaga. Akan tetapi setelah ditunggu sekian lamanya,
tetap sunyi. Tanda-tanda bakal ada seseorang yang datang tiada sama sekali.
Sebaliknya Suryakusmah berpikir lain. Ia tak usah khawatir bakal ada seseorang
yang datang menjenguk paseban. Sebab selain sudah terjaga, ia sudah
membersihkan terlebih dahulu. Satu-satunya jalan untuk mengulur waktu ialah
dengan mencoba: "Adik kecil! Selama hidupku tak pernah aku bermusuhan
dengan dirimu. Ya, bukan? Mengapa engkau berniat hendak membunuh aku? Bukankah
itu suatu karma? Ingat, bahwa di atas kita ada Tuhan yang selalu mengawasi
perbuatan kita." "Kentutmu!" maki Otong Surawijaya. Tetapi
ucapan Suryakusmah benar-benar meresap ke dalam lubuk hati Manik Angkeran,
sehingga pemuda itu jadi bersangsi. Melihat demikian, Tubagus Simuntang
cepat-cepat berkata: "Adik! Dalam dunia ini, memang banyak orang bermulut
manis. Lain di mulut lain di hati. Coba pikir. Jahanam itu bisa ngomong perkara
karma dan Tuhan. Tapi nyatanya, dia sendiri mau menyembelih kita. Kau bisa
percaya akan kejujurannya?" Dan demikianlah dengan napas tersengal-sengal
kedua belah pihak berusaha sekuat mungkin untuk menanamkan pengaruh dalam lubuk
hati Manik Angkeran. Yang tercebur dalam kesangsian luar biasa ialah Manik
Angkeran. la bingung dan tak tahu apa yang paling baik untuk dilakukan.
Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Lalu berkata, "Paman Tubagus
Simuntang! Bagian manakah yang kena pukulan orang itu?" Tubagus Simuntang
tercengang sejenak. Minta keterangan, "Mengapa engkau membicarakan soal
yang tidak penting? "Aku akan menolongmu. Dengan begitu, engkau bisa
melakukan maksudmu. Aku seorang tabib. Selama hidupku aku bersumpah takkan
membunuh orang." Kembali lagi Tubagus Simuntang tercengang sejenak.
Akhirnya berkata dengan menghela napas, "Adikku! Tak gampang-gampang
engkau dapat mengatasi pukulan jahanam itu. Seumpama dapat, pastilah akan
membutuhkan waktu lama," ia berdiam menimbang-nimbang. Katanya di dalam
hati, tapi baiklah kuturuti saja maksud baiknya. Kalau dia merasa senang,
mungkin aku berhasil membujuknya. Setelah memperoleh keputusan demikian, dengan
tersenyum ia berkata: "Baiklah, adikku. Mari, tolonglah aku." Dengan
merangkak-rangkak, Manik Angkeran menghampiri. Setelah mendengarkan keterangan
Tubagus Simuntang tentang akibat pukulan sakti Aji Narantaka, ia segera
memijit-mijit kempungan, pinggang dan lubang syaraf. Memang Tubagus Simuntang
merasakan suatu kelegaan, tetapi tenaga Manik Angkeran terlalu lemah sehingga
hampir-hampir tak terasa perubahannya. Selagi demikian, terdengarlah suara
Tatang Sontani: "Adik kecil! Engkau memang seorang pemuda yang berbudi
luhur. Aku percaya, kau pasti berhasil menolong Tubagus Simuntang. Hanya saja,
waktunya begini sempit. Nah, begini saja. Memang tak patut seorang tabib sampai
membunuh orang. Sekarang maukah engkau menolong kami dengan perbuatan
lain?" Manik Angkeran menoleh. Menyapa, "Apa, itu?"
"Bakarlah rumah-rumah di seberang itu!" Manik Angkeran heran. Menegas
lagi, "Mengapa dibakar?" Tatang Sontani menimbang-nimbang sebentar.
Lalu meyakinkan, "Jahanam itu hendak membakar rumah kita. Daripada dibakar
olehnya, bukankah lebih baik terbakar oleh perintahku?" Mendengar
keterangan Tatang Sontani, Suryakusumah tertawa gelak. Katanya, "Bagus!
Nah, bakarlah! Begitu api menyala, pastilah seluruh pasukanku akan meluruk ke
mari. Sebab memang itulah tanda sandiku." "Jangan dengarkan ocehannya!"
sambung Dwijendra. Pendekar ini segera dapat menangkap maksud Tatang Sontani.
"Lakukan perintah Tatang Sontani!" Manik Angkeran menatap wajah
Tatang Sontani mencari keyakinan. "Ya, benar. Bakarlah! Jahanam itu
bilang, bahwa pasukannya akan tiba. Sebaliknya apa-bila pasukan kita bertujuh
melihat api menyala pastilah akan datang pula. Dengan demikian, engkau berjasa
menolong kami. Nah, berangkatlah!" Sekarang Manik Angkeran tidak ragu-ragu
lagi. Dengan memaksa diri ia berdiri. Kemudian berjalan tertatih-tatih. Dua
tiga langkah maju, ia jatuh tersungkur. Tapi berdiri kembali. Begitulah
berulang-ulang terjadi, sampai ia hampir melewati ruang paseban. "Selamat
adikku! Sementara ini, biariah aku melakukan nasihatmu memijit-mijit kempungan,
pinggang dan lobang syaraf!" seru Tubagus Simuntang menyenangkan hati
pemuda itu. Sekarang di dalam ruang paseban benar-benar terjadi suatu lomba
pemulihan tenaga sendiri. Tatang Sontani, Dwijendra, Walisana, Ratna Bumi,
Otong Surawijaya, apalagi Dadang Wiranata tidak mempunyai harapan untuk bisa
memenangkan perlombaan itu. Yang ada harapan besar, hanyalah Tubagus Simuntang
lantaran telah menerima petunjuk Manik Angkeran. Tapi tenaganya terlalu lemah
bila dibandingkan dengan Suryakusumah. Dengan demikian, keadaannya tetap
mengkhawatirkan. Tak lama kemudian, malam hari tiba dengan diam-diam. Suasana
dalam ruang paseban benar-benar menegangkan urat syaraf. Sebab selain menjadi
gelap gulita, mereka semua sedang mempertaruhkan jiwanya. Di tengah kesenyapan
itu, tiba-tiba terdengar suara Tatang Sontani. "Tubagus Simuntang! Kau
tadi sudah bersintuh tangan dengan bocah itu. Apakah dia masih mempunyai tenaga
untuk membakar rumah? Lagi pula siapakah dia sebenarnya?" Tubagus
Simuntang menjenak napas. Seperti terpaksa ia menyahut, "Meskipun tidak
bertenaga lagi, tetapi kalau hanya menyulut api masakan tak mampu. Soalnya, di
manakah dia akan memperoleh lentikan api?" Ia berhenti dengan hati
bersedih. Berkata lagi. "Tentang asal usul bocah itu, sebenarnya aku
sendiri kurang terang. Melihat gerak-geriknya, dia memiliki warisan ilmu
perguruan Sadewata. Caranya dia lari mengingatkan aku kepada Diah Kartika. Dia
kuketemukan selagi berdiri terlongong-longong mencari seorang kemenakan
perempuannya yang dibawa lari oleh salah seorang bawahan kita. Siapa namanya,
tak terang. Hanya saja, kalau dia berhasil melakukan perintahmu, maukah engkau
menolong aku mencarikan kemenakannya?" Tatang Sontani tak menyahut.
Pikirannya kusut. Ia kenal siapakah Diah Kartika. Dialah murid seorang pertapa
sakti bernama Sadewata. Dia sendiri termasuk salah seorang anggota. Himpunan
Sangkuriang. Tetapi dua saudaranya yang lain, terang-terangan berpihak kepada
musuh. Tadi, pemuda itu menyebut diri sebagai murid seorang tabib sakit.
Bukankah tabib sakti itu si Maulana Ibrahim? Pada saat itu, mendadak ia melihat
kejapnya letikan api. Dan tak lama kemudian, gelap malam di luar paseban
menjadi cerah berjilatan. "Api! Api!" seru Tubagus Simuntang.
"Kalau begitu ... kalau begitu "Ya. Aku akan membantumu. Tak peduli
darimana asal usul bocah itu!" sambung Tatang Sontani. Hatinya penuh
dengan harapan.... ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 41 MENGADU NYAWA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 41 MENGADU NYAWA"
Post a Comment