BENDE MATARAM JILID 25 MENENTUKAN PILIHAN



DI DALAM hati Adipati Surengpati sudah memperoleh keputusan hendak menyerahkan gadisnya kepada sang Dewaresi yang tampan dan mempunyai kedudukan. Karena itu, tiga syarat yang akan dikemukakan harus bisa dimenangkan calon menantu pilihannya. Tetapi selagi ia memeras otak hendak memilih tiga sarat ujiannya, mendadak Gagak Seta berkata nyaring, "Saudara surengpati! Kau hendak menentukan pilihan calon menantumu dengan tiga syarat, itulah baik. Tapi dengarlah! Kita ini adalah golongan tukang pukul, kepalan dan adu tendangan. Karena itu, tiga syarat yang hendak kau kemukakan harus mengenai ilmu tenaga. Seumpama engkau lantas mengajukan ilmu menggambar, ilmu sastra, ilmu sejarah, ilmu ketabilan, ilmu bumi, ilmu irama lagu atau ilmu alam terlebih-lebih mengenai ilmu mantra dan racun maka aku dan muridku dengan ini menyatakan kalah dan mengaku keyok. Karena itu daripada menanggung malu lebih baik kami berdua meninggalkan panggung ujianmu."

"Saudara Gagak Seta. Janganlah terburu-buru mengaku kalah!" sahut Adipati Sureng-pati cepat. "Kutanggung, bahwa tiga syarat yang hendak kukemukakan pasti ada hubungannya dengan ilmu jasmaniah. Yang pertama-tama mengenai adu tenaga ilmu kepandaian..."

"Itulah tak dapat," potong Kebo Bangah menggugat."Kemenakanku sedang terluka. Bagaimana bisa mengadu tenaga jasmani."

"Hal itu sudah tentu kuketahui," kata Adipati Surengpati dengan tertawa. "Akupun tak kan membiarkan kedua calon menantuku akan mengadu kepalan dan tendangan di hadapanku. Bukankah dikemudian hari akan merusak tali kerukunan kita?"

"Lantas apakah maksudmu hendak mengujinya dengan mengadu tenaga jasmani?" Kebo Bangah heran.

"Kujamin lagi, bahwa mereka berdua tak kan kuadu berkelahi."

"Bagus! Bagus!" Kebo Bangah girang kemu-dian menebak-nebak. "Apakah maksudmu, engkau sendiri hendak menguji tenaga jas-mani calon menantumu?"

"Itupun bukan," sahut Adipati Surengpati penuh teka-teki. "Dengan cara demikian, susahlah untuk dipertanggungjawabkan. Bukankah diwaktu aku menggerakkan tenaga bisa mengatur daya berat dan daya ringan menurut kemauanku sendiri? Saudara Kebo Bangah dan saudara Gagak Seta! Tadi telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, betapa tinggi ilmu kepandaian kalian sampai berkelahi dua ribu jurus masih belum juga memperoleh keputusan siapakah di antara kalian berdua yang lebih unggul. Karena itu, kini baiklah kalian menguji tenaga jasmaniah sang Dewaresi dan Sangaji. Agar aku mem-peroleh seorang menantu yang tangguh."

Mendengar ujar Adipati Surengpati, Gagak Seta tertawa. Terus berkata, "Cara begitu, tiada buruknya. Mari! Mari kita jodohkan!" Sehabis berkata demikian, lantas saja dia menghampiri sang Dewaresi.

"Tunggu dulu!" Adipati Surengpati buru-buru menyanggah.


"Kalian berdua harus tunduk pada suatu aturan tertentu. Pertama-tama, sang Dewaresi sedang luka, pastilah dia tak bisa menghimpun tenaga untuk melawan pukulan saudara

Gagak Seta. Begitu juga, Sangaji masih anak kemarin sore. Jika saudara Kebo Bangah ter-lalu menggunakan tenaga, masakan dia masih bisa mempertahankan nyawanya. Karena itu yang diuji bukanlah tenaga jasmaninya, tapi ilmu kepandaian tenaga jasmani. Kedua, cara menguji kalian tidak boleh menginjak bumi. Kalian berempat harus memanjat pohon itu. Saudara Gagak Seta dan sang Dewaresi di atas pohon sebelah utara. Dan Saudara Kebo Bangah dan Sangaji di atas pohon sebelah timur. Siapa di antara kedua calon menantuku jatuh terlebih dahulu, dialah yang kalah. Dan yang ketiga, siapa yang melukai anak yang harus diuji, dialah yang kalah.

Gagak Seta heran mendengar bunyi pera-turannya.

"Jadi apabila aku melukai kemenakan Kebo Bangkotan, maka aku dianggap kalah?" "Ya... itulah maksudku," jawab Adipati Surengpati.

"Kamu berdua berilmu sangat tinggi, apabila tiada diatur semacam ini, sekali turun tangan apakah nyawa kedua anak muda bisa dipertahankan. Saudara Gagak Seta! Apabila engkau membuat lecet saja kulitnya Dewaresi, kau kuanggap kalah! Demikian dengan saudara Kebo Bangah!"

Gagak Seta menggaruk-garuk kepalanya. Tetapi ia tertawa juga. Akhirnya berkata seperti kepada dirinya sendiri.

"Adipati Surengpati benar-benar seorang siluman bangkotan. Semua keputusannya sangat aneh bin ajaib. Benar-benar cocok dengan sebutannya. Cobalah pikir, hai Kebo Bandotan! Masakan melukai lawan sedikit saja, dianggap kalah? Aturan begini adalah aturan yang paling aneh semenjak zaman pur-bakala! Tetapi baiklah, mari kita tetapi peraturannya...!"

Dalam pada itu Adipati Surengpati telah mengibaskan tanggan. Keempat orang itu segera memanjat dua pohon gundul yang berada di atas bukit. Gagak Seta dan sang Dewaresi di sebelah utara dan Kebo Bangah dan Sangaji di sebelah timur. Seperti diketahui, kedua pohon itu gundul tiada daunnya selembar pun. Karena itu, keempat orang itu dapat diamat-amati setiap gerak-geriknya dengan jelas.

Tatkala mereka berempat sudah berada di atas pohon. Adipati Surengpati berpikir seje-nak, la tahu, sang Dewaresi lebih pandai dari pada Sangaji. Meskipun terluka, tapi otaknya cerdas. Pastilah dia emoh mengadu tenaga. Sebaliknya, hanya mengadu keringanan tubuhnya dengan meloncat-loncat menghin-dari. Dengan demikian bisa mengulur waktu.

Kemudian berseru panjang, "Hai dengarkan! Asal aku menghitung satu-dua-tiga mulailah bertempur! Dewaresi dan Sangaji apabila kamu jatuh terlebih dahulu, aku akan menganggapmu kalah!

Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Titisari berpikir keras untuk membantu Sangaji dengan diam-diam. Tetapi melihat Kebo Bangah seorang pendekar berilmu sangat tinggi, ia jadi bingung. Betapapun juga, tak dapat ia menghalang-halangi keperkasaan pendekar sakti itu.

Tak lama kemudian terdengarlah suara Adipati Surengpati, "Dengar! Aku menghitung! Satu... dua... tiga...!"

Maka bergeraklah keempat orang itu di atas pohon gundul. Mereka bergerak sangat cepat dan lincah bagai bayangan di atas permukaan air.

Titisari menahan napas, mengkhawatirkan Sangaji. Pandangnya hampir tak berkedip. Dilihatnya, Sangaji dapat bergerak dengan gesit dan tangkas bahkan bisa melampaui belasan jurus. Diam-diam ia heran dan tak terkecuali Adipati Surengpati yang mengira kepandaian Sangaji biasa saja.

...Aneh! Mengapa ia belum bisa dijatuhkan? Adipati Surengpati sibuk menduga-duga.


Kebo Bangah sendiri heran berbareng gelisah menghadapi perlawanan Sangaji mau tak mau terpaksalah dia menggunakan tena-ganya. Namun ia tak dapat mengumbar kehendaknya sendiri, karena takut melukai. Karena itu ia berpikir keras mencari akal untuk menjatuhkan. Dengan tiba-tiba saja ia menyapu Sangaji dengan kedua kakinya bergantian. Apabila gagal, ia mengulangi lagi dan mengulangi sambil mengibaskan tangan pula.

Diserang demikian, Sangaji melawan dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tubuhnya melompat-lompat dengan gesit. Kedua tangannya dibuka dan dipergunakan sebagai gunting untuk membabat kaki Kebo Bangah. Tetapi dia bukan Gagak Seta yang sudah mahir menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Karena itu bagaimanapun juga ia masih kalah tenaga. Meskipun demikian, ia masih bisa sekali-kali menyerang.

Titisari yang berada di bawah berdebaran menyaksikan pertempuran mati-matian itu. Tatkala ia mengerling kepada Gagak Seta dan sang Dewaresi, ia melihat cara bertempur yang lain.

Sang Dewaresi tak sudi melayani rangsakan Gagak Seta. Ia memperlihatkan ilmu ringan-nya, dengan selalu menghindari dan menge-lakkan tiap serangan. Dengan enteng ia me-loncat-loncat dari dahan kedahan. Sama sekali ia menghindari pertempuran langsung. Dengan demikian, Gagak Seta menemui suatu kesulitan besar.

Binatang ini menyingkir saja. Terang sekali ia hendak mengulur waktu, maki Gagak Seta dalam hati. Sebaliknya Sangaji terlalu jujur sehingga jadi tolol. Pastilah dia melayani Kebo Bangah dengan mengadu tenaga dan kepan-daian. Bagaimana dia bisa melawan? Pasti dia bakal jatuh terlebih dahulu...

Memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus saja menggeram. Dengan memperde-ngarkan suara "Hm" mendadak saja tubuhnya melesat tinggi. Kemudian dengan mengem-bangkan kedua tangannya ia menubruk dari udara. Kesepuluh jarinya di cengkramkan bagai harimau menerkam.

Sang Dewaresi terkejut. Segera ia menjejak dan dengan kaki kirinya ia melesat ke kanan. Tetapi Gagak Seta bukanlah anak kemarin sore. Tahulah dia menebak gerak lawannya. Begitu sang Dewaresi melesat ke kanan, mendadak saja dia telah mendahului mencegat ke kanan. Dengan menggeram ia menggertak pula.

"Hi hi ha ha... biarlah aku kalah, asal engkau mampus kalau kau mampus masakan bisa mengawini anak siluman Surengpati..."

Kena betul gertakan ini, sehingga hati sang Dewaresi ciut sekecil biji asam. Gugup ia menghadapi gerakan Gagak Seta yang begitu gesit dan tangkas. Untuk menangkis, teranglah dia tak mampu. Dalam keragu-raguannya, kakinya menjejak mundur. Dan diluar kemampuannya sendiri, tiba-tiba saja kakinya menginjak tempat kosong. Tak ampun lagi ia jatuh terperosok ke bawah. Pada saat itu ia merasa kalah dalam pertempuran itu. Hanya tatkala dia menoleh, melihat Sangaji jatuh pula ke bawah.

Kebo Bangah memang gelisah benar, meng-hadapi Sangaji yang bisa bertahan sampai sekian lamanya. Sudah dua puluh jurus, namun tetap saja masih bisa bertahan. Bahkan makin lama makin gagah. Pendekar itu sama sekali tak mengira, bahwa di samping ilmunya Kumayan Jati Sangaji mengantongi pula ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Agaknya Kyai Kasan Kesambi menaruh curiga kepadanya, melihat Wirapati terluka parah demikian hebat. Karena itu, ia menciptakan suatu ilmu pemunah untuk menghadapi ilmu sakti Kebo Bangah. Hanya sayang, Sangaji tak menyadari sehingga melayani ilmu Kebo Bangah dengan Kumayan Jati. Coba andaikata dia menggu-nakan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, belum tentu dia bisa dijatuhkan demikian gampang. Sebaliknya, kala itu Kebo Bangah mulai berpikir keras.

Jikalau aku sampai melayani bocah ini melebihi lima jurus, habislah sudah pamorku dihadapan siluman Surengpati.

Dengan membekal pertimbangan ini, terus saja ia memperhebat rangsakannya. Bagaikan kilat,

tangannya menyambar ke tengkuk Sangaji. Kemudian menggertak. "Bedebah! Turun!"

Sangaji terkejut setengah mati diserang demikian. Mestinya dia harus melawan dengan salah satu jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Tapi dalam gugupnya, ia hanya teringat jurus-jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah agak dipahami daripada ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati mengutamakan keras lawan keras. Itulah sebabnya ia kecelik menghadapi Kebo Bangah yang sudah lama mengenal ilmu Gagak Seta. Maka begitu Sangaji hendak melawan dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang mengutamakan kekerasan, mendadak saja Kebo Bangah menarik semua tenaganya.

Keruan saja, Sangaji menumbuk udara kosong, sampai tubuhnya terhunyuk ke depan. Dan begitu tubuhnya hendak menungkrap, cepat-cepat Kebo Bangah menggertak lagi, "Haaa...! Bukankah tengkukmu jadi terluka?"

Sangaji kaget. Khawatir akan kena terkam, cepat ia menjejak dahan. Sudah barang tentu, jatuhnya ke bawah sangat keras karena ter-pental oleh tenaga kakinya sendiri. Dan celakanya kepalanya tetap menukik ke bawah.

Pohon tempat mereka bertarung, berdiri berjajar. Hanya saja yang satu menempati sudut utara dan lainnya sudut timur. Takala Sangaji turun terbalik, sang Dewaresi terlempar pula ke bawah. Hanya saja, kemenakan Kebo Bangah itu jatuhnya tegak lurus dan berdekatan. Sang Dewaresi melihat dengan tegas, bagaimana saingannya jatuh jungkir balik di dekatnya. Mendadak saja, tangannya diajukan hendak menekan kaki. Maksudnya terang, agar jatuhnya Sangaji lebih cepat lagi.

Titisari memekik kaget melihat peristiwa itu. Jika Sangaji sampai jatuh terlebih dahulu, artinya dia kalah. Maka terloncatlah per-kataannya, "Aji! Tahan!"

Gadis itu tak teringat sama sekali, bahwa di tengah Udara seseorang tak dapat menahan tubuhnya. Tapi hampir berbareng dengan pekikannya, mendadak ia melihat suatu kegaiban. Pada saat itu, ia melihat Sangaji bisa melesat kembali ke tengah udara dan terlempar di atas dahan. Bahkan, ia terus dapat duduk berayunan di dahan sambil meraba-raba mencari pegangan.

Menyaksikan peristiwa di luar dugaan. Titisari kaget bercampur girang bukan kepalang. Sungguh-sungguh ia tak mengerti mengapa bisa terjadi demikian rupa. Padahal kekasihnya itu justru ditekan kakinya oleh sang Dewaresi.

Kebo Bangah dan Gagak Seta waktu itu, telah turun pula ke tanah. Melihat Sangaji menang,

Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. Katanya berulang kali, "Sungguh indah! Sungguh indah!
Siapa bilang ilmu gulat bangsa kompeni buruk?"

Wajah Kebo Bangah berubah hebat. Lantas saja mennyahut.

"Saudara Gagak Seta! Muridmu ini benar-benar hebat. Ilmunya bercampur aduk. Kecuali telah mewarisi ilmumu, agaknya dia memiliki ilmu-ilmu sakti lainnya. Malahan dia bisa ilmu gulat pula..."

Gagak Seta tertawa riuh. Menjawab, "Tapi aku sendiri tak becus ilmu gulat segala. Sungguh! Sama sekali aku tak pernah menga-jari."

SEBENARNYA SANGAJI KAGET SETENGAH MATI, tatkala kakinya kena di tangkap sang Dewaresi dan di tekan ke bawah. Ia sadar, bahwa jatuhnya ke tanah akan sangat cepat dan sangat keras. Sedang lawannya bahkan bisa meminjam berat tubuhnya untuk melompat ke udara. Hal itu berarti, bahwa dia akan diumumkan sebagai pihak yang kalah. Tapi di saat segenting itu, ia tak menjadi gugup.

Seperti diketahui, dia pernah berkelahi melawan anak-anak Mayor de Groote kala di Jakarta. Satu-satunya perlawanan yang dimi-liki kala itu ialah menyeruduk dan menggantol kaki lawan. Begitu jugalah kali ini. Dalam saat-saat terjepit, mendadak saja ia lupa kepada semua ilmu silatnya. Yang dipunyainya pada waktu itu ialah, naluri mempertahankan diri sebisanya. Maka


begitu kakinya kena tangkap, mendadak saja terus menggantol seperti mengkait suatu dahan. Kemudian dengan meminjam lengan sang Dewaresi yang perkasa, terus saja melompat berputar ke udara. Begitu tubuhnya berhasil berbalik ke atas, kakinya dikembangkan dengan serentak.

Kesudahannya dia terlempar ke atas dan hinggap di suatu dahan dengan secara kebetulan.
Dengan demikian, ia memperoleh kemenangan.

"Kali ini Sangaji yang menang," kata Adipati Surengpati memberi keputusan. Kemudian kepada sang Dewaresi.

"Tapi kau tak perlu bersusah hati. Juga saudara Kebo Bangah jangan lantas panas hati. Siapa tahu dalam pertandingan yang kedua dan ketiga, kemenakanmu akan menang."

"Baiklah!" Kebo Bangah menyahut sambil menghela napas. "Sebutkan pertandingan yang kedua!"

"Pertandingan yang kedua ini, tidak lagi menggunakan tenaga jasmani. Kali ini menge-nai ilmu pengetahuan. Aku ingin tahu, siapa di antara mereka berdua yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya."

Mendengar ujar Adipati Surengpati, Titisari lantas saja mencibirkan bibir sambil menggu-gat.

"Ayah! Engkau terang-terangan berat sebe-lah. Jelaslah sudah, bahwa Sangaji akan kalah ...
Aji! Lebih baik kau tak usah bertanding!"

"Diam!" bentak Adipati Surengpati. "Dalam ilmu tata raga dan tata jasmaniah, apakah seseorang akan terus menerus menggunakan tenaga untuk mengalahkan lawan? Seseorang yang sudah mencapai puncak kemahiran, tidak lagi menggunakan kekerasan. Dia akan mengadu ilmu kepandaian yang lain. Nah, kali ini aku hendak menguji kedua pelamar dengan sebuah lagu."

Girang hati sang Dewaresi mendengar macam ujian yang hendak dikemukakan Adipati Surengpati. Lantas saja ia berkata dalam hati, bagus! Si tolol itu, masakan tahu tentang tembang? Kali ini, pastilah aku yang bakal menang...

Tetapi Kebo Bangah terdengar berkata nyaring.

"Saudara Surengpati! Apakah engkau hanya menguji tentang syair, guru lagu atau guru wilahan?"

"Hm... masakan begitu?" sahut Adipati Surengpati cepat. "Aku berkata lagu! ... dan bukan syair lagu. Meskipun demikian, untuk menolong tataran pengetahuan anak-anak muda, sengaja aku akan memperdengarkan bait-baitnya. Dengan mengenal sajak baitnya, anak-anak muda akan dapat menebak lagu apakah itu."

Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Saudara Surengpati! Tiupan lagumu dari tan-duk pusakamu itu sangat berbahaya bagi anak-anak muda. Kukhawatirkan mereka takkan dapat mempertahankan diri."

Tetapi Adipati Surengpati seperti tak meng-indahkan lagi. la menghadap kepada sang Dewaresi dan Sangaji, kemudian berkata memutuskan.

"Dengar! Ujianku kali ini ialah mengenai ilmu irama lagu. Aku tak peduli apakah kalian mengenal nama lagu atau tidak. Yang kuingin-kan di sini ialah cara kalian menguasai irama. Barangsiapa dapat menguasai irama laguku, dialah yang kuanggap menang." Ia berhenti mengesankan, "Agar kalian bisa mengenal macam lagu apa yang hendak kutiup, baiklah aku memperdengarkan sajaknya. Sekarang ambillah sebatang ranting pohon! Timpali irama laguku pada pohon itu. Sang Dewaresi di utara dan Sangaji pada pohon yang berada di timur!"

Mendengar macam ujian yang hendak dike-mukakan Adipati Surengpati, Sangaji lantas saja maju dan membungkuk hormat. Kemudian berkata rendah, "Aku ini seorang pemuda yang tolol. Sebagian besar hidupku berada di daerah barat. Sama sekali aku asing dengan lagu-lagu Jawa


Tengah. Tiada sebuah pun yang pernah kukenal. Kecuali tatkala aku mendengar Panembahan Tirtomoyo melagukan tembang Dandanggula di Pekalongan dahulu. Karena itu, pertandingan yang kedua ini, tak usah dilanjutkan saja. Aku mengaku kalah..."

"Jangan buru-buru mengaku kalah! Jangan buru-buru!" sahut Gagak Seta. "Meskipun engkau bakal kalah, tetapi apalah buruknya mencoba-coba dahulu? Apakah kau khawatir bakal ditertawai orang? Jangan takut! Aku berada di sini. Siapa yang berani menter-tawakan ketololanmu, masakan aku akan tinggal diam saja?"

Mendengar kata-kata gurunya, terbangunlah sifat jantan Sangaji. Pikirnya, menang kalah adalah lumrah dalam tiap pertaruhan apa saja. Masakan aku tak berani menanggung akibatnya?

Tatkala itu, ia melihat sang Dewaresi telah mematahkan sebatang ranting.

Adipati Surengpati kemudian tertawa lebar. Berkata kepada Gagak Seta, "Hebat benar cara saudara membangunkan semangat per-juangan. Baiklah aku segera mengumandang-kan suaraku yang buruk. Kuharap engkau ja-ngan mentertawakan!"

Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Yang menga-jaibkan, bahwasanya dia mengusai tiap ilmu yang dikenalnya. Karena itu, lawan-lawannya susah menebak kelemahannya. Akhirnya mereka mengakui, bahwa kepandaian Adipati Surengpati adalah karunia alam yang tak dapat diganggu gugat.

Dalam pada itu, sang Dewaresi dan Sangaji sudah berdiri tegak di samping pohon masing-masing. Kemudian Adipati Surengpati mendongakkan kepala dan menembang suatu lagu dengan sajak Jawa Kuno bercampur bahasa Sanksekerta.

Dawuh sad lingsir ing surya

Mentas sang anginum amit

Sang mantri Sagara Wina

Tan kocapa punang enjing

Oreg sarajya de ning

Tabuh-tabuhan sakuwu

Sawong aprayatinon, Apaju balamantri

Anglenging wus sama angliga gagaman.

Tinom kadi pangalusan

Cara caraannyarawit

Mantri mawang balakukuwon

Pinrenah makapanawing

Pesawahan wus dadi

Tanem-taneman aluhung

Pattranyalum asinom, Sarwakusuma tan kari

Pucang tirisan tumaruna lan pisang.


Perlahan-lahan cara Adipati Surengpati menyanyikan lagu itu. Maksudnya agar anak-anak muda mengenal hukum-hukum bait sajaknya sehingga dapat mengenal lagunya. Tapi bagi Sangaji adalah setali tiga uang. Meskipun andaikata Adipati Surengpati mengulangi sampai seratus kali paling-paling dia hanya bisa menghafal bunyi kata-katanya. Tetapi untuk mengerti artinya, jangan harap. Apalagi mengenal lagu yang lagi dinyanyikan.


Sebaliknya, sang Dewaresi yang beruntung. Mula-mula ia terpengaruh oleh bunyi syairnya. Lambat-laun ia tak memedulikan lagi, karena sama sekali tak mengerti artinya. Kini ia beralih pada hukum-hukum akhir kalimat. Apabila Adipati Surengpati sudah mengumandangkan bunyi bait-baitnya dan mengulangi tiga empat kali, segera ia mengenal lagu yang dinyanyikan. Ternyata Adipati Surengpati lagi menyanyikan lagu Sinom Macapat. Untuk mengelabui calon menantunya, sengaja ia menggunakan bahasa Jawa Kuno. Syairnya dipetik dari ceritera kakawin Ranggalawe tatkala bertempur melawan utusan Raja Jajanegara pada zaman Majapahit. Maka begitu ia mengenal lagu itu, segera ranting dahan yang digenggamnya mulai mengetuk-ngetuk menginjak iramanya.

Ia berbesar hati dan girang bukan main, tatkala melihat Sangaji bingung terlongong-longong. Pikirnya dalam hati, kali ini engkau mampus. Hm... masakan Adipati Surengpati akan membiarkan puterinya kaukawini dan kau peluk! Cuh! Jangan kau mimpi di siang hari bolong ...!

Selagi ia kegirangan, mendadak Adipati Surengpati berhenti menyanyi. Dia menye-matkan pusaka tanduknya, kemudian meniup lagu. Lagu yang ditiupnya, lebih gampang dimengerti. Karena ternyata masih tetap Sinom, hanya saja mengalun lamban.

Sebaliknya, Sangaji bertambah bingung. Ranting pohonnya diangkatnya dan mencoba hendak mengetuk-ngetuk irama lagunya. Tetapi karena tak mengenal lagunya, maka susahlah dia menebak angkatan nada dan jatuhnya. Akhirnya, dia hanya terlongong-longong seperti moncong seekor kerbau.

Melihat keadaannya, hati sang Dewaresi bertambah gembira. Yakinlah dia, bahwa kali ini dia pasti menang, sedangkan ujian yang ketiga, pastilah juga bukan ujian tenaga jas-mani. Kemenangannya sudah terasa berada di ambang pintu.

Titisari yang melihat kesan muka sang Dewaresi, jadi gelisah. Ia tahu kekasihnya takkan dapat mengetuk irama lagu yang sedang dilagukan ayahnya. Maka segera ia berdaya upaya untuk menolong kekasihnya. Pikirnya gelisah, kangmasku ini, benar-benar tak mengenal sekelumit lagu Jawa Tengah. Mengapa Ayah mengujinya demikian rupa? Benar-benar tak adil!

Kemudian ia mencoba menepuk-nepuk lutut kanannya dengan tangan. Ia mengharap, mudah-mudahan Sangaji mengerti maksud-nya. Apabila pemuda itu mengikuti gerak ta-ngannya, tak usahlah dia kalah melawan kepandaian sang Dewaresi menimpali irama lagu. Tetapi ternyata Sangaji untuk sekian lamanya tiada menoleh kepadanya. Malahan pemuda itu, mendongak ke udara seperti lagi merenungi awan. Tubuhnya diam tak berkutik, sedangkan ranting yang digenggamnya tiada tanda-tandanya hendak bergerak.

Titisari jadi putus asa. Tatkala itu Adipati Surengpati masih terus meniup lagu Sinom Parijata.
Matanya mengawaskan Sangaji yang masih  saja  berdiri  tegak  tak  berkutik.

Mendadak saja, pemuda itu nampak mulai mengangkat rantingnya. Kemudian menge-tuk-ngetukkan rantingnya pada tengah-tengah irama. Mendengar bunyi ketukannya, sang Dewaresi sampai tertawa tinggi.

“Benar-benar tolol! Heh... bagaimana dia sampai berani mengharapkan jadi menantu Adipati Surengpati yang serba pandai?” pikirnya dalam hati.

Tapi Sangaji tak peduli. Masih saja dia mengetuk tengah-tengah irama lagu. Dan Titisari benar-benar putus asa. Dengan meng-hela napas gadis itu berpikir memaklumi, kangmasku ini benar-benar tolol. Mestinya Ayah tak boleh menguji sesuatu ilmu yang belum diketahui.

Terus saja ia menoleh kepada ayahnya hendak menggugat. Sekonyong-konyong ia heran, melihat raut muka ayahnya berubah. Kesannya aneh dan bersungguh-sungguh. Maka dengan penuh perhatian ia mulai menyelidiki.

Waktu itu, Sangaji masih saja mengetuk-ngetuk irama lagu dengan tak keruan. Tapi anehnya, tiupan Adipati Surengpati ikut kacau. Teranglah, bahwa lagu yang sedang ditiup kena perbawanya.


Adipati Surengpati nampak bertahan me-nguasai irama lagunya. Tapi lagi kena dikacau oleh tak-tik-tuk ranting Sangaji. Dan apabila iramanya hampir kena terkacau, sebentar kemudian lurus kembali dan makin rapih. Namun ketukan Sangaji hampir-hampir bisa merusak irama lagunya berulang kali.

Peristiwa ini tidak hanya mengherankan Adipati Surengpati saja, tapi Gagak Seta dan Kebo Bangah pula. Mereka tahu dan sadar, andaikata Sangaji tak memiliki ilmu tenaga sakti yang tinggi, tidak bakal dapat mengacau ilmu tiupan Adipati Surengpati yang tinggi. Sedangkan mereka berdua tadi, hanya bisa seimbang saja. Dan andaikata Sangaji benar-benar memiliki ilmu tenaga sakti yang tinggi, darimanakah dia memperolehnya.

Gagak Seta yang menjadi gurunya dan mengenal ilmu kepandaiannya, tak habis-habis herannya dan akhirnya tak mengerti. Apalagi Kebo Bangah, pikir pendekar itu dalam hati, pemuda ini kutaksir umurnya lagi menginjak dua puluh tahun. Untuk memperoleh ilmu tenaga sakti, seorang harus bertekun paling tidak tiga puluh tahun. Apakah dia sudah belajar semenjak ayah ibunya masih menjadi perawan dan jejaka? Bagaimana mungkin!

Sangaji sendiri sebenarnya tak pernah me-ngira bahwa ketukannya akan bisa mengacau irama lagu Adipati Surengpati. Kalau tadi ia berdiri tegak mendongak ke udara, sebenarnya lagi sibuk mengingat-ingat cara ketiga pendekar sakti saling bertempur mengadu tenaga sakti. Tiupan Adipati Surengpati, suara salak Kebo Bangah dan siulan Gagak Seta tadi saling menindih dan menggencet tengah-tengah nada dan iramanya. Dan ia segera menirukan sedapat-dapatnya.

Kemudian terjadilah suatu peristiwa di luar perhitungan dan nalar manusia. Seperti dike-tahui, dalam tubuh pemuda itu mengalir getah sakti pohon Dewadaru yang tiada duanya di dunia ini. Sifat getah sakti tersebut selalu mengadakan perlawanan secara wajar apabila kena serangan dari luar. Dan tiupan Adipati Surengpati, betapa pun diperingan, meletupkan tenaga sakti juga yang bisa menyerang iman (perbendaharaan hati) seseorang yang dikehendaki. Keruan saja, getah sakti pohon Dewadaru terus saja timbul mengadakan per-lawanan. Kecuali itu, Sangaji mempunyai dua ilmu dasar yang sakti dalam tubuhnya. Yakni, ilmu sakti Bayu Sejati untuk bertahan dan ilmu sakti Kumayan Jati untuk menyerang. Kedua-duanya memiliki tenaga sakti luar biasa hebatnya. Maka begitu dirinya merasa terserang, terus saja ilmu Bayu Sejati bergolak. Dengan didorong oleh tenaga sakti getah Dewadaru yang tiada habis-habisnya, maka letupan ketukannya meledakkan suatu tenaga yang mampu menyibakkan gelombang udara. Keruan saja, irama lagu Adipati Surengpati yang lagi menyusuri gelombang udara, kena dibendung dan disibakkan sehingga terkacau dengan mendadak.

"Ih! Keparat!" Adipati Surengpati terkejut. "Dari mana dia mewarisi ilmu dewa ini?"

Tak peduli Adipati Surengpati adalah seorang pendekar sakti yang mahir dalam ilmu tenaga sakti, mau tak mau hampir-hampir lagunya rusak iramanya kena dikacau ketukan Sangaji yang istimewa: "Tak tik tuk ... tak tik tuk bung! Bung!"

Menghadapi tenaga perlawanan itu, lantas saja terbangunlah keangkuhan Adipati Su-rengpati yang mau menang sendiri.

"Bagus!" ia berkata dalam hati. "Kau bisa melawan tenaga tiupanku. Biarlah kucoba sampai di mana kekuatan tenaga saktimu ..."

Dan setelah itu, ia berdiri tegak. Kemudian beralih kepada lagu Pangkur yang lebih lantang. Tiupan pusaka tanduknya bernada tinggi dan merendah. Sebentar menukik dan sebentar pula menyelinap rendah.

Sang Dewaresi buru-buru memasang untuk menangkap lagu baru itu. Sesaat kemudian, tersenyumlah dia. Sebentar saja sudah dapat mengenalnya. Tapi tatkala ia menyelami keindahan iramanya, mendadak saja ranting pohonnya tergetar. Dan tak terasa ia terseret di dalamnya dan mulai menari-nari kecil dengan tak disadarinya sendiri.

Kebo Bangah terkejut. Ia tahu apa akibatnya, apabila seseorang kena terseret semangatnya.


Terpaksalah dia menghela napas, menyaksikan keadaan itu. Cepat-cepat ia menangkap pergelangan tangan kemenakannya dan segera menekan urat nadinya. Kemudian ia menyumpali telinganya dengan sapu tangan, agar kemenakannya bebas dari pengaruh lagu Adipati Surengpati yang mulai melampiaskan serangan tajam. Manakala kemenakannya nampak tenang kembali, baru ia melepaskan pegangannya. Tetapi ia mengeluh dalam hati, karena peristiwa itu membuktikan bahwa kemenakannya kalah jauh dari Sangaji.

Titisari sendiri tak terpengaruh serangan nada lagu ayahnya. Maklumlah, lagu itu memang dialamatkan kepada dua pelamarnya. Tapi begitu melihat keadaan sang Dewaresi, ia jadi mengkhawatirkan nasib kekasihnya. Ia khawatir, kekasihnya akan menjadi gendeng apabila tiada tahan melawan serangan urat syaraf.

Tiupan lagu Pangkur kali ini, jauh berbeda dengan tiupan yang pertama. Kalau tadi Adipati Surengpati meletupkan tenaga saktinya dengan tak sengaja, kini benar-benar bertujuan hendak menguji Sangaji. Maka tiupan lagunya terasa melengking menusuki urat syaraf.

Sangaji terus saja duduk bersila. Perlahan-lahan ia mengatur tata napas dan peredaran darahnya. Kemudian mengumpulkan pergolakan getah sakti Dewadaru dan disalurkan melalui ilmu Bayu Sejati. Dan ketukan penyekat iramanya bertambah kuat dan kuat.

Mau tak mau Adipati Surengpati terpaksa memuji kehebatan Sangaji. Segera ia beralih kepada nada sendon dan tak lama lagi nada suluk. Suara tiupannya sebentar keras dan sebentar lagi melenyap sampai susah di dengar. Inilah justru letak kehebatan Adipati Surengpati.

Dasar dia seorang pendekar sakti yang angkuh, congkak, besar kepala dan mau menang sendiri, maka tata kerjanya tak mau setengah-setengah. Tadi dia mengadu tenaga sakti melawan Kebo Bangah dan Gagak Seta. Antara mereka bertiga bisa saling menyerang dan bertahan. Tapi menghadapi Sangaji ia merasa seperti direndahkan. Maklumlah, anak muda itu hanya pandai bertahan diri, dengan mengadakan jaring pertahanan sangat rapat. Meskipun demikian, ia tak mampu menaklukkan. Coba andaikata anak muda itu sudah terlatih tenaga saktinya sehingga menjadi suatu pengucapan wajar, ia pasti kalah. Sebab dia tidak hanya bertahan saja, tetapi mampu membalas menyerang. Karena itu, hati Adipati Surengpati jadi panas membara.

Sangaji berhenti mengetuk, mendengarkan lagu tiupan Adipati Surengpati yang sebentar ada dan sebentar lagi lenyap. Inilah suatu kesalahan yang menentukan. Maklumlah, dia belum mempunyai pengalaman sehingga tak mengetahui bahwa lenyapnya nada lagu itu justru merupakan suatu tipu yang memba-hayakan. Seolah-olah seekor ular, suara tiupan itu menyelinap di bawah lingkungan sesuatu benda. Kemudian dengan mendadak terus saja menyambar dan menggigit. Itulah sebabnya, perlahan-lahan pemusatan hati Sangaji kena terbetot dan sebentar lagi akan bisa dipermainkan.

Syukurlah, hati Sangaji masih suci bersih. Selama hidupnya belum sekali juga bersen-tuhan dengan wanita. Karena itu, daya tahan-nya masih penuh dan tak bisa diganggu gugat. Kecuali itu hatinya sangat sederhana. Dahulu dia pernah dihajar setengah mati oleh Mayor de Groote. Dia bisa bertahan, karena sebagian hatinya terpusat kepada Willem Erbefeld yang disembunyikan di dalam gua sungai. Dengan tak sengaja, hal itu merupakan suatu latihan memecah hati. Dan kini, dia menghadapi suatu keadaan yang hampir bersamaan. Karena merasa bingung, wataknya yang bandel emoh menyerah dengan begitu saja. Maka hatinya terus saja dibagi. Yang pertama berjaga-jaga sehingga merupakan benteng pertahanan. Dan yang kedua, mencoba menyerang dengan tata napas ilmu sakti Kumayan Jati. Kesudahannya hebat dan mengagumkan. Di luar dugaan para pendekar, tiba-tiba ranting pohonnya mulai memperdengarkan irama ketukannya yang kacau tapi penuh letupan tenaga sakti yang kuat dan ulet.

Adipati Surengpati benar-benar terperanjat saking herannya. Sekaligus ia berpikir, bocah ini mempunyai kepandaian luar biasa. Benar-benar tak bisa dipandang ringan. Apakah kesan


ketolol-tololannya hanya suatu sikap tata pergaulan hidup belaka untuk menutupi kepandaiannya sejati?

Tapi begitu ia memuji, hatinya yang angkuh terus saja menjadi penasaran. Kini ia beralih kepada tembang Durma. Tembang Durma ini adalah suatu himpunan nada lagu bersifat menyerang dan menantang. Dan berbareng dengan lagu itu, kakinya mulai bergerak-gerak seperti lagi menyerang dalam suatu perkelahian tenaga jasmani.

Melihat tata sikap Adipati Surengpati yang berubah dari berdiri tegak menjadi tata langkah, hati Sangaji tergetar juga. Tapi diam-diam ia bergirang, karena usaha perlawanannya ternyata berhasil. Maka segera ia menghadapi dengan ilmu Kumayan Jati dan ilmu Bayu Sejati dengan berbareng.

Adipati  Surengpati  bukanlah  sembarang  pendekar.  Makin  ditantang  makin  menjadi  gagah.
Nada tiupannya memekik tinggi dan rendah saling bergantian. Iramanya tak tentu bentuknya.
Dan tenaga tekanannya kian bertambah-tambah.

Dengan mati-matian, Sangaji mempertahankan diri dengan dua ilmu saktinya. Namun seperti dikatakan Gagak Seta dahulu, dia belum berhasil melebur menjadi satu. Karena itu, tenaga salurannya belum teratur. Lama kelamaan, dalam dirinya terjadi suatu kekacauan yang bergolak hebat. Tiba-tiba ia merasa seperti kena sambar hawa dingin dan panas. Tak terasa tubuhnya menggigil kedinginan. Buru-buru ia membendung dengan ilmu Bayu Sejati. Tapi kemudian hawa dingin berubah menjadi panas membara. Sangaji jadi kebingungan.

Seperti diketahui, ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati merupakan dua sifat yang bertentangan. Yang satu tenang bertahan dan yang lain merangsang dan meletup. Keadaannya seperti air dan api. Lambat laun saling menarik dan saling bersaingan. Maka tak mengherankan, dalam diri Sangaji timbul suatu pergolakan sengit laksana air terebus. Karena itu, wajahnya nampak putih dan merah pengap. Tubuhnya menggigil seperti orang menanggung sakit demam.

Adipati Surengpati sudah barang tentu melihat keadaan diri Sangaji. Dan untuk kesekian kalinya, ia heran. Pikirnya, anak ini benar-benar memiliki suatu ilmu yang susah diraba. Di kemudian hari apabila sudah menjadi suatu pengucapan, naluriah, benar-benar akan menjadi seorang pendekar tak terlawan lagi. Ha! Bukankah anak ini lebih tepat menjadi pelindung Titisari? Ia berhenti menimbang-nimbang. Meneruskan, sekarang, ia nampak memaksa diri melawan seranganku. Nampaknya dia masih sanggup melawanku setengah hari lagi. Tapi akibatnya, dia akan terluka parah. Masakan aku akan membiarkan dia menanggung derita hebat, semata-mata sedang bertahan mati-matian untuk memenangkan ujianku?

Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berhenti meniup. Dan cepat-cepat Sangaji mengatur napas dan pergolakan darahnya. Tahulah dia, bahwa Adipati Surengpati mau mengalah terhadapnya. Diam ia jadi bergirang dan bersyukur. Maka begitu ia sudah berhasil menguasai diri, segera ia meloncat memberi hormat menyatakan terima kasihnya.

Heran Adipati Surengpati menyaksikan Sangaji bisa bangun dengan cepat dan sama sekali tak menanggung derita. Dan kembali dia menduga-duga, bocah ini masih sangat muda usianya. Namun tenaga saktinya benar-benar hebat! Mustahil otaknya tak cerdas melebihi orang lumrah. Hanya saja, mengapa dia nampak begini tolol? Jika benar dugaanku, Titisari harus kuserahkan kepadanya. Di bawah perlindungannya, aku bisa pergi dengan hati tenteram. Biarlah kucobanya, apakah otaknya benar-benar cerdas atau tidak.

Kemudian dengan tersenyum ia menegas. "Kau hendak berkata apa kepadaku?"

"Gusti Adipati," kata Sangaji. Dalam dirinya ia merasa menjadi manusia tak berkelas, karena itu menyebut ayah Titisari dengan sebutan gusti. "Gusti Adipati sudi mengalah terhadapku. Selama hidupku, aku takkan lupa. Kini perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasihku tak terhingga."


"Daya tahanmu baik benar," sahut Adipati Surengpati dengan tersenyum. "Engkau masih saja memanggilku dengan sebutan gusti?"

Terang sekali maksud Adipati Surengpati, bahwa Sangaji telah terpilih menjadi menan-tunya karena sudah memenangkan dua ujian. Karena itu Sangaji sebenarnya tak perlu lagi memanggilnya dengan sebutan gusti. Cukup dengan mertua atau kanjeng romo. Kanjeng Romo adalah suatu sebutan kekeluargaan antara anak dan ayah. Tetapi Sangaji seorang jujur dan berhati polos. Sama sekali ia tak dapat menangkap maksud Adipati Surengpati.

"Aku... aku," katanya tergagap-gagap. Kemudian matanya mencari Titisari hendak minta pertolongan.

Titisari girang bukan kepalang mendengar ujar ayahnya. Melihat Sangaji kebingungan, cepat-cepat ia menekuk-nekuk ibu jari.

Maksudnya ia menganjurkan, agar kekasihnya menghaturkan sembah kepada ayahnya.

Kebetulan sekali, Sangaji mengerti maksud Titisari. Tanpa berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia menjatuhkan diri sambil bersembah. Tetapi mulutnya tetap terkancing seperti botol tersumbat.

"Bagus! Kau memberi sembah kepadaku," kata Adipati Surengpati dengan tertawa.

"Benar... tapi Titisari yang menyuruh aku berbuat begini," sahut Sangaji tolol.

"Hm," keluh Adipati Surengpati dalam hati. Benar-benar ia tolol.

Adipati Surengpati menjadi kecewa melihat kenyataan itu. Ternyata wajahnya yang ber-kesan ketolol-tololan membuktikan pemiliknya tolol benar-benar. Sekaligus terhapuslah dugaannya, bahwa Sangaji bersikap pura-pura tolol untuk menyembunyikan kecerdasannya. Karena itu kesan mukanya terhadap pemuda itu, kembali lagi.

Sebenarnya, Sangaji bukanlah seorang tolol. Seumpama tolol benar-benar, tidaklah dapat menelan beberapa ilmu sakti seperti kini. Soalnya, hatinya terlalu sederhana, jujur dan polos. Sifatnya blak-blakan pula. Karena itu untuk mengungkapkan sesuatu yang kurang blak-blakan, hatinya tak mau.

Sebaliknya, Adipati Surengpati waktu itu terus saja menghampiri sang Dewaresi yang ngganteng. Dengan tangannya sendiri, ia membuka sumbatan telinganya. Pikirnya, pemuda ini kurang kuat tenaga saktinya. Tapi dengan perlahan-lahan, bukankah bisa dilatih di kemudian hari? Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi keputusan. "Berbicara tentang tenaga sakti, Sangaji yang lebih kuat. Akan tetapi mengenai pengetahuan lagu, sang Dewaresi yang lebih mengerti. Karena itu keputusanku begini saja, acara kedua kuanggap sama kuat. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri. Baiklah, aku meningkat kepada ujian ketiga, agar kedua pelamar ini berlega hati. Apabila hasilnya tetap sama, maka kalian boleh belajar sepuluh atau dua puluh tahun lagi untuk mencariku. Kutak-sir Titisari belum kasep tua..."

"Setuju! Setuju!" lantas saja Kebo Bangah memberikan persetujuannya. Ia tahu, keme-nakannya kalah. Sama sekali tak diduganya, bahwa Adipati Surengpati mengambil keputusan demikian. Sebagai seorang cerdik tahulah dia, bahwa Adipati Surengpati membela kemenakannya.

Sebaliknya Gagak Seta bukan pula seorang bodoh. Tapi anehnya, dia tak membuka suara.

Mulutnya hanya memperlihatkan suatu senyum panjang. Dalam hati ia berkata, bagus! Kau siluman Karimunjawa, janganlah menganggap dirimu berotak terang dan pandai segala. Nyatanya engkau bakal keliru, mengawinkan anakmu dengan seorang pemuda yang doyan foya-foya dan berhati serong. Tapi Titisari adalah anakmu. Masakan aku kau suruh memikirkan nasibnya. Hm... jangan harap! Tapi... aku ingin mencoba tenagamu. Sekarang aku seorang diri berada di antaramu. Kalau aku kau suruh melayani dua orang sekaligus, rasanya tanganku kurang cukup. Tapi tunggulah sebentar! Sangaji adalah cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Kalau


sampai orang tua itu tergugah semangat tempurnya, hah... semuanya nanti akan menjadi jelas... siapa di antara kita yang lebih unggul.

Waktu itu, Adipati Surengpati telah menge-luarkan seberkas kertas dari dalam sakunya. Ternyata berkas kertas itu adalah sebuah kitab kuna yang berkulit merah. Begitu kitab itu diperlihatkan kepada sang Dewaresi dan Sangaji, lantas dia berkata nyaring.

"Lihat! Buku ini bernama Witaradya. Dalam buku ini terisi 1.500 gurindam syair sakti. Almarhum isteriku dahulu memberikan kitab ini kepadaku sebagai hadiah perkawinan. Oleh bantuannya dan ketekunanku, berhasilah aku menggali sarwa saktinya, sampai aku bisa memiliki 327 jurus pokok. Sayang, belum lagi aku berhasil menelaah semuanya... sebagian besar kena dicuri muridku ..."

Ia berhenti sebentar. Kedua matanya nampak merah membara. Raut mukanya lalu berubah menjadi sedih. Rupanya terkenanglah dia kepada almarhumah istrinya. Tatkala menoleh kepada Gagak Seta, ia melihat pendekar itu tersenyum. Seketika itu juga, terbangunlah semangat jantannya. Lalu berkata dengan lantang.

"Isteriku menganggap buku ini sebagai jiwanya sendiri. Tatkala sebagian besar ha-lamannya kena tercuri muridku, ia jatuh sakit, la tak pernah menyalahkan aku apa sebab aku menerima murid durhaka itu. Tapi aku tahu, dia meninggal dunia dengan hati penasaran. Semenjak itu, aku berusaha mengingat-ingat semua isinya gurindam yang sudah kusim-pulkan menjadi 327 jurus pokok. Maksudku, aku hendak memperlengkapi isi gurindam yang hilang sebagai pengganti halaman-halaman yang hilang. Sayang, ingatanku tidaklah sebaik masa muda. Banyak di antara jurus pokokku yang hilang atau menjadi samar-samar. Sekarang aku akan mempertontonkan semua jurus yang pernah kuperoleh dari buku ini. Siapa di antara kamu berdua, bisa menghafal sehingga dapat menirukan jurus-jurusnya lebih banyak, akan kuanggap sebagai cara berbakti kepada ibu Titisari. Karena itu, aku akan menganggap sebagai pemenang. Dengan begitu, habislah kewajibanku merawat anakku satu-satunya... dan selanjutnya dia akan kuserahkan kepada pemenang ujian terakhir ini..."

Sampai di sini, habislah sudah kesabaran Gagak Seta. Ia tahu, otak Sangaji sangat bebal menerima ajaran dengan selintasan. Tadi dia masih bisa tersenyum melihat lagak lagu Adipati Surengpati. Tapi kini, tidak. Sekaligus meledaklah suaranya. "Surengpati manusia siluman! Siapa sudi mendengarkan obrolanmu tentang buku, tentang isteri, tentang mati penasaran segala. Terang kau tahu, muridku ini seorang tolol. Jangan lagi disuruh menghafalkan ilmu surat... untuk mengerti saja akan membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Kalau tadi bisa melampaui ujianmu yang kedua, sudahlah beruntung, ltupun kau anggap tak berarti, sehingga kauumumkan sama kuat. Kini dia kau gertak dengan syarat-syarat gila. Dan nama isterimu kau bawa-bawa pula. Hm...sungguh! Sungguh kau manusia siluman yang mau menang sendiri..."

Setelah berkata demikian, Gagak Seta terus saja memutar tubuh hendak meninggalkan galanggang.

Adipati Surengpati tertawa dingin melihat sikap Gagak Seta. Sama sekali hatinya tak gentar.
Lantas  berkata  nyaring,  "Saudara  Gagak  Seta!  Kau  sengaja  bertemu  dengan  aku  di  sini.
Mestinya untuk mencoba ketang-guhanku, kau harus belajar lagi sepuluh tahun lagi!"

Gagak Seta berputar cepat menghadap padanya. Kedua alisnya tegak dan matanya jadi beringas.

"Kau bilang apa?" bentaknya.

"Sama sekali kau tak mengerti ilmu Witaradya yang dapat memberi petunjuk saat-saat naasnya seseorang pada jam-jam tertentu. Masakan kau bisa memenangkan aku?"

"Aku akan bertempur dengan membawa obor. Seluruh gelanggang ini akan kubakar. Ingin aku melihat, kau bisa melakukan apa terhadapku."

"Heh! Jika engkau mempunyai keberanian dan kepandaian demikian, cobalah!" gertak Adipati

Surengpati.

Melihat kedua pendekar itu hendak bertem-pur, cepat-cepat Sangaji menengahi. Katanya agak gugup, "Gusti Adipati! Paman Gagak Seta! Biarlah aku mencoba-coba bersama sang Dewaresi. Aku tak takut kepada kegagalan. Bila Titisari memang jodohku, masakan yang mempunyai jagat ini tidak mencarikan jalan bagiku. Sebaliknya, seumpama aku kalah... memang nasibku yang kurang mujur. Apa perlu disesalkan lagi?"

Adipati Surengpati melototi Sangaji. Membentak, "Kau memanggil apa terhadap gurumu?"

"Paman Gagak Seta adalah guruku. Waktu itu aku belum minta izin kepada kedua guruku yang pertama. Karena itu, belum berani aku memanggilnya guru. Saat ini, aku telah mem-peroleh izin. Hanya belum sempat mem-bicarakan dengan resmi. Itulah sebabnya, aku masih memanggilnya paman."

"Hai! Peraturan macam apakah ini?" sahut Adipati Surengpati sebal. Ia memang paling benci terhadap semua peraturan yang berbe-lit-belit. Adat istiadat dan tata pergaulan umum, tak juga disukai. Sedangkan dia terkenal sebagai seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Karena sifatnya yang aneh itu, ia memperoleh julukan siluman liar.

"Bagus!" tiba-tiba Gagak Seta berkata nyaring. "Saat ini aku belum terhitung gurumu secara resmi. Kalau kau sudi menelaah malu dan dihina orang, terserah. Nah, silakan! Aku tak berkata lagi!"

Mendengar keputusan Gagak Seta, legalah Adipati Surengpati. Terus saja ia menoleh kepada Titisari.

"Kau duduklah tenang-tenang dan jangan usilan!"

Ia tahu, hati anaknya berkiblat kepada Sangaji. Sedangkan maksudnya hendak membantu sang Dewaresi. Apalagi, tadi ia kena bentrok dengan Gagak Seta. Tak mengherankan ia telah memperoleh sikap tertentu.

Titisari tak menyahut, la hanya tersenyum dingin. Tetapi hatinya sibuk bekerja, ia tahu, kali ini Sangaji pasti kalah. Karena itu, ia mengasah otak hendak mencari jalan kabur bersama kekasihnya entah ke mana. Dengan bantuan Gagak Seta, agaknya rencana itu bisa diharapkan.

Adipati Surengpati kemudian memberi pe-rintah kepada sang Dewaresi dan Sangaji agar memperhatikan dengan seksama. Kemudian, ia mulai mempertunjukkan jurus-jurus pokok ilmu sakti Witaradya. Sengaja ia melakukan dengan perlahan-lahan. Maksudnya agar kedua pemuda itu memperoleh kesempatan untuk menghafalkan dan memahami. Terhadap Kebo Bangah dan Gagak Seta, ia tak usah khawatir kena jiplak. Sebab, meskipun andaikata kedua pendekar itu dapat menghafalkan jurus-jurusnya, intinya tak mungkin dapat diketemukan dalam waktu singkat. Sebab apa yang diperlihatkan hanyalah kem-bangan-kembangan lahiriah. Sedangkan rahasia kesaktiannya masih samar-samar. Pikirnya, jangan lagi engkau. Aku sendiri yang sudah menekuni selama sepuluh tahun lebih, belum juga dapat menemukan. Karena... bagian besar sambungannya telah tercuri...

Terkesiap      hati  Sangaji,  tatkala  melihat      gaya  Adipati  Surengpati  melakukan  jurus-jurusnya.

Gerak-geriknya, bagaikan Kyai Kasan Kesambi dahulu sewaktu menulis corat-coret di udara.

Mungkinkah ilmu ciptaan Eyang Guru ada hubungannya dengan ilmu sakti Witaradya milik Adipati Surengpati? Ah, mustahil! Tapi mengapa hampir bersamaan? pikirnya sibuk. Apakah Eyang Guru telah menemukan bagian kitab Witaradya yang hilang? Ah, mustahil! Pringgasakti adalah lawan utama Eyang Guru. Iblis itu berguru kepada Adipati Surengpati, karena ingin mengalahkan Eyang Guru. Masakan, kitab itu diserahkan dengan begitu saja kepada Eyang Guru? Segoblok-go-bloknya orang atau selalai-lalainya orang tidak bakal membiarkan ilmu simpanannya diketahui musuhnya.

Dugaan  Sangaji  sebenarnya  tidaklah  terlalu  salah.  Seperti  diketahui,  Kyai  Kasan  Kesambi


adalah lawan Kebo Bangah, Adipati Surengpati dan Gagak Seta dalam percaturan adu sakti dan ilmu kepandaian. Terhadap Gagak Seta, dia tidak begitu mencurigai. Sebab, Gagak Seta adalah seorang pendekar berwatak ksatria sejati. Sebaliknya terhadap Kebo Bangah yang bengis dan licin dan Adipati Surengpati yang serba pandai, ia mempersiapkan segala kemungkinannya dengan tekun serta hati-hati. Terhadap kedua pendekar lawan utamanya itu, sudah barang tentu ia mengetahui ilmu simpanannya. Meskipun belum jelas, sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, tahu pula menebaknya.

Maklumlah, dengan mereka berdua, ia pernah bertempur mengadu sakti dan kepandaian. Itulah sebabnya, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari kunci-kunci pemu-nahan ilmu lawan dengan cermat dan hati-hati. Tatkala melihat Wirapati terluka begitu parah, sebenarnya ia menaruh curiga terhadap kedua tokoh tersebut. Hanya saja, hal itu tak pernah dikatakan kepada sekalian muridnya. Maklumlah, ia tahu akibatnya. Sekalian muridnya bukanlah lawan kedua pendekar itu. Dan malam itu, terletuplah kemarahannya berwujud suatu ilmu pemunah ilmu sakti kedua lawannya. Andaikata Sangaji sudah bisa menguasai ilmu tenaga sakti Pancawara, hebatnya tak terkatakan lagi. Tak diragukan lagi akan dapat mematahkan setiap jurus ilmu Kebo Bangah dan Adipati Surengpati yang bersumber pada ilmu sakti Kala Lodra Witaradya.

Adipati Surengpati sewaktu melihat Sangaji terlongong-longong, hatinya girang, la menduga, pemuda itu mulai pusing kepalanya melihat gaya jurus ilmunya. Sebaliknya pandang mata sang Dewaresi berseri-seri memancarkan sinar harapan penuh.

Dalam hal kecerdasan, sang Dewaresi menang sepuluh kali lipat daripada Sangaji. Ia gembira, tatkala mendengar keputusan Adipati Surengpati hendak mempertontonkan ilmu simpanannya. Pikirnya, masakan aku tak dapat menghafalkan? Andaikata tidak seluruhnya, aku akan dapat mengingat-ingat sebagian besar. Bukankah di kemudian hari aku bisa mencangkoknya untuk memperlengkapi ilmu Kala Lodra.

Memperoleh pertimbangan demikian, dengan hati besar ia mengikuti gerak-gerik Adipati Surengpati. Satu demi satu ia dapat mengingat-ingat dengan baik. Tapi lambat-laun, gerak-gerik Adipati Surengpati terasa menjadi samar-samar dan janggal. Barangkali inilah yang dikatakan ia kehilangan sebagian besar kitab Witaradya, pikirnya. Ataukah ia sengaja menyesatkan penglihatan, agar tak dapat mencangkok ilmu saktinya? Ya, kiranya dia enggan memperlihatkan ilmu sakti Witaradya dengan penuh-penuh.

la mengerling kepada Sangaji yang masih saja berdiri terlongong-longong. Katanya di dalam hati, hm... kali ini mampuslah kau! Masakan kau begini tolol, bisa membedakan antara ilmu sakti Witaradya yang asli dan bukan? Apalagi mencoba menghafalkan. E-hem... akhirnya Titisari jatuh juga di tanganku...

Lantas saja ia membayangkan malam pe-ngantin. Menuruti kata hatinya, ingin ia me-remas-remas sampai puas. Mendadak ia tersentak oleh dehem pamannya yang memberi peringatan kepadanya. Cepat-cepat ia memusatkan perhatiannya lagi memperhatikan tiap gerak-gerik Adipati Surengpati. Beberapa waktu kemudian, Adipati Surengpati mengakhiri jurusnya yang penghabisan. Setelah mengawasi kedua pemuda itu, berkatalah dia. "Nah, siapa di antara kalian berdua yang sudah dapat menirukan jurus ilmu sakti Witaradya?"

Mendengar ucapan Adipati Surengpati, sang Dewaresi lantas saja menimbang-nimbang. Pikirnya cepat, jurus-jurusnya nampak kacau. Isinya susah pula untuk dipahami dengan selintasan. Baiklah aku maju dahulu. Dengan begitu, aku bisa menghafal lebih banyak sebelum menjadi kabur...

Memang, seumpama dia menahan diri lebih lama lagi, pastilah dia akan melakukan banyak kesalahan. Maklumlah, jumlah jurusnya berjumlah 72 gerakan. Dengan mengundurkan waktu berarti pula menghapuskan daya ingatannya. Karena itu segera ia berkata, "Aku akan maju terlebih dahulu."


Adipati Surengpati girang mendengar kepu-tusan pelamar anaknya yang dikehendaki. Lantas saja dia mengangguk sambil berkata nyaring.

"Bagus! Nah Sangaji, balikkan tubuhmu menghadap ke belakang! Dengan begitu, engkau tak dapat mencuri pandang."

Tajam kata-kata Adipati Surengpati. Sebe-narnya, hati Sangaji yang lekas tersinggung mendongkol bukan main karena seolah-olah dikhawatirkan hendak mengintip atau mencuri pandang. Tapi mengingat Titisari, mau tak mau ia patuh pada perintah itu. Terus saja ia membalikkan tubuh mengungkurkan gelang-gang.

Melihat Sangaji mengungkurkan gelanggang, Titisari jadi girang. Segera ia hendak berdiri di seberang sana menghadap padanya. Maksudnya hendak mengkisiki, selagi ayahnya mengamat-amati sang Dewaresi mangha-palkan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi mendadak, ayahnya berseru memanggilnya.

"Titisari! Ke mari! Tolonglah aku mengamat-amati sang Dewaresi menghapalkan jurus-jurus Witaradya. Dengan begitu, kau kelak tak menuduh aku berat sebelah..."

Mencelos hati Titisari mendengar kata-kata ayahnya. Terang sekali, maksud ayahnya hendak mencegah padanya membantu Sangaji. Meskipun nampaknya adil, tetapi sesungguhnya berat sebelah. Karena itu dengan lantang ia menyahut, "Ayah! Kau benar-benar berat sebelah! Dengan mengulur waktu, berarti menipiskan daya ingatan Sangaji. Bukankah begitu maksud Ayah?"

Adipati Surengpati tak merasa tersinggung didamprat puterinya. Malahan dia lantas tertawa sambil berkata, "Anakku! Kau terlalu berbicara dengan hatimu. Kemarilah! Kau harus ikut menyaksikan dan menilai kedua pelamarmu."

"Tidak!" sahut Titisari cepat. Tetapi meskipun demikian, ia menghampiri ayahnya juga. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia kenal tabiat ayahnya. Jika ayahnya sudah ber-jaga-jaga tiada gunanya hendak melawan. Karena itu, dengan diam-diam ia mencoba mencari jalan lain. Maka begitu ia berhadapan muka dengan sang Dewaresi, terus saja ia tersenyum manis. Kemudian berkata lembut, "Kangmas Dewaresi! Apa sih yang menarik perhatianmu terhadapku? Bukankah tingkah laku dan perangaiku tak serasa dengan selera-mu?"

Memangnya sang Dewaresi sudah tergila-gila semenjak bertemu pandang untuk yang pertama kalinya di kadipaten Pekalongan. Selama itu, Titisari bersikap galak terhadapnya. Kini mendadak sontak, memanggilnya dengan sebutan kangmas. Keruan saja otaknya jadi butek. Jantungnya berdegupan. Dan menurut penglihatannya, potongan tubuh dan raut muka Titisari bertambah elok dan menggairahkan. Tak dikehendaki sendiri, nafsu birahinya bergolak hebat dalam dirinya sampai napasnya jadi sesak.

"Adikku... kau kini sudi memanggilku dengan kang... mas?" Tak sanggup lagi ia meneruskan luapan perasaannya. Ia berdiri tegak seperti kehilangan ingatan.

"Kangmas! Inilah kesalahanmu, mengapa engkau tak datang sendiri menemui aku di Karimunjawa tatkala pamanmu meminang daku. Coba, seumpama kau datang sendiri...

masakan akan menemui kesulitan demikian! Hm... hem... tahulah aku! Barangkali kau tak senang mendarat di Karimunjawa ..." kata Titisari menggairahkan.

"Siapa bilang aku tak senang mendarat di Karimunjawa?" potong sang Dewaresi dengan hati bergetar. "Kalau kau suka berdiam di sana, masakan aku tidak? Soalnya... karena..."

"Ah... kau memang pandai berputar lidah...," sahut Titisari genit. "Kau biasa dibesarkan di tengah suatu kemewahan, sedangkan Karimunjawa boleh kau anggap pulau tandus. Bukankah begitu?"

"Nanti dulu! Jangan salah sangka!" sang Dewaresi khawatir. Ingin sekali ia hendak memberi penjelasan agar gadis yang mem-buatnya linglung itu jangan sampai salah paham. Mendadak pamannya kembali meng-halang-halangi. Sebagai seorang pendekar berpengalaman, Kebo


Bangah dapat menebak maksud Titisari hendak mengacau daya ingat-annya. Dengan diajak berbicara panjang lebar, bukankah ingatannya kepada jurus-jurus ilmu sakti Witaradya akan menjadi kabur? Maka dengan tegas Kebo Bangah menegur, "Dewaresi! Omongan yang tiada hubungannya dengan soal ujian tak perlu kausibukkan macam begitu. Di kemudian hari, belumlah kasep engkau membicarakan soal itu. Sekarang pusatkan seluruh ingatanmu dan segera perlihatkan kemampuanmu di hadapan mertuamu!"

Sang Dewaresi terkejut. Kini barulah dia sadar mengapa Titisari begitu bersikap lembut dan menggairahkan. Dan setelah mengingat-ingat jurus-jurus Witaradya, benar-benar ia kehilangan sebagian. Maka buru-buru ia memusatkan pikirannya. Setelah itu menirukan gaya Adipati Surengpati melakukan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya.

Otak sang Dewaresi memang encer luar biasa. Meskipun agak lamban, tetapi semua jurus ilmu sakti Witaradya hampir dapat ditirukan. Tentu saja, ia tak sanggup memecahkan bagian terakhir jurus Witaradya yang jadi samar-samar. Adipati Surengpati sendiri tak sanggup, karena sebagian kitab Witaradya kena tercuri Pringgasakti dan Pringga Aguna. Kalau dia tadi bisa bergerak terus, sebenarnya hanya berdasarkan ingatannya belaka yang mencoba menebak-nebak sejadi-jadinya semenjak ia kehilangan bagian kitabnya.

Melihat cara sang Dewaresi melakukan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya yang dapat diselesaikan dengan baik, hati Adipati Surengpati bersyukur bukan main. Memang, hatinya condong kepada sang Dewaresi yang ngganteng. la sudah mengambil keputusan untuk memungutnya sebagai calon suami Titisari. Maka berkatalah dia bergembira, "Kau telah berhasil menirukan jurus sakti Witaradya begini banyak. Nah, beristirahatlah!" Ia tersenyum lega. Dan setelah memberi isyarat, agar sang Dewaresi beristirahat segera ia beralih kepada Sangaji. Berseru keras, "Sekarang giliran Sangaji! Ke mari!"

Sangaji memutar tubuhnya dan segera menghadap Adipati Surengpati. Ia melihat wajah sang Dewaresi berseri-seri. Mau tak mau ia kagum padanya. Pikirnya dalam hati, benar-benar cemerlang otaknya. Pantaslah dia menjadi suami Titisari yang berotak cerdas pula. Untuk menandingi, terang sekali aku tak sangup... Baiklah! Daripada aku berdiam tiada memperlihatkan sesuatu, biarlah kuhapalkan saja jurus-jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Di hadapan mereka, bukankah aku akan menda-pat petunjuk-petunjuk yang berharga? Lagi-pula aku bakal mengenal macam ilmu sakti apakah ciptaan Eyang Guru ini."

Melihat kesan muka Sangaji yang beku tiada cahaya, Gagak Seta terus saja tertawa memaklumi, la tahu, otak Sangaji bebal. Sewaktu menerima ilmu sakti Kumayan Jati membutuhkan tempo sangat lama. Maka berkatalah dia nyaring, "Sangaji! Kau ini benar-benar tolol! Masakan kau tak mempunyai harga diri? Lihatlah, mereka hendak menonton ketololanmu belaka. Lebih baik, kau mengaku kalah saja..."

"Memang sebenarnya tak sanggup aku melawan sang Dewaresi. Tiada sejurus pun ilmu sakti Witaradya yang dapat kuingat-ingat," sahut Sangaji.

Mendadak Titisari melompat ke tengah gelanggang sambil menghunus belati. Kemudian dengan menghadap ayahnya, ia berseru "Ayah! Jikalau kau memaksa aku kawin dengan manusia busuk Dewaresi, hari ini aku mati di depanmu."

Adipati Surengpati kenal watak Titisari. Agak gugup ia berkata, "Letakkan dahulu belatimu. Kita bicarakan hal ini perlahan-lahan!"

Dalam pada itu Kebo Bangah dengan cekatan telah bekerja dengan diam-diam. Nampaknya ia seperti lagi mengetuk tongkatnya. Tapi mendadak melesatlah sebuah benda bulat dan terus menyambar belati Titisari.

Luar biasa melesatnya senjata pendekar itu. Belum lagi Titisari tersadar, pisau belati yang berada dalam genggamannya kena terhajar dan jatuh ke tanah. Tatkala itu Adipati Surengpati berkelebat seperti bayangan dan dalam sedetik saja ia telah berhasil memeluk pinggang

anaknya, dan dibawa meloncat ke atas batu.

"Benar-benarkah engkau tak sudi menikah?" ia membujuk perlahan. "Baiklah! Jika demikian, marilah kau berdiam menemani ayahmu selama hidup di Karimunjawa."

Titisari meronta dan menangis tinggi. Katanya setengah menggugat, "Ayah! Kau benar-benar tak sayang padaku... tak sayang padaku..."

Menyaksikan adegan itu, Gagak Seta tertawa berkakakan. Sama sekali tak diduganya, bahwa Adipati Surengpati yang terkenal bengis, kejam, tak berperasaan dan tegas, kini benar-benar kuwalahan menghadapi puterinya. Sebaliknya Kebo Bangah dengki mendengar tertawanya Gagak Seta. Diam-diam pendekar itu membatin. Baiklah kutunggunya dahulu keputusan ujian ini. Setelah itu baru kubereskan pendekar jembel itu sekalian anak tololnya. Gadis Surengpati ini ternyata manja benar. Apa peduliku? Di kemudian hari, masakan Dewaresi tak mampu menguasai?

Setelah memperoleh keputusan demikian, dengan wajah berseri-seri ia berkata kepada Sangaji. "Anakku Sangaji! Kau benar-benar seorang pemuda gagah. Tadi kau bisa melawan melebihi dua puluh jurus. Pastilah engkau bisa menirukan ilmu sakti Witaradya. Saudara Surengpati, silakan engkau menguji anak itu agar kita memperoleh keputusanmu ...!"

Terdengarnya suatu saran yang bagus, tetapi karena mendesak. Untung Adipati Surengpati telah memperoleh ketetapan hendak memilih sang Dewaresi menjadi menantunya, sehingga hatinya yang angkuh tak tersinggung oleh desakan itu. Malahan dia lalu menyahut, "Baik! Nah Titisari! Janganlah engkau mengacau lagi. Ingatan Sangaji bisa rusak oleh pekertimu."

Mengingat kepentingan Sangaji, Titisari lan-tas saja berhenti menangis. Sebaliknya, besar keinginan Kebo Bangah hendak membuat malu Sangaji di hadapan para pendekar. Maka dia berkata setengah menghardik.

"Hayooo! Lekaslah mulai! Biarlah kepandaianmu kita saksikan beramai-ramai."

Paras muka Sangaji berubah mendengar hardik Kebo Bangah. Jantungnya berdegupan. Pikirnya kemudian, tiada satu jurus pun ilmu sakti Witaradya yang dapat kuingat-ingat. Tadi aku hanya melihat selintasan. Karena itu be-tapa dapat aku menandingi sang Dewaresi... Baiklah aku menghafalkan jurus-jurus Eyang Guru saja. Masakan ciptaan Eyang Guru tiada harganya untuk mereka lihat.

Dengan keputusan itu, segera ia memusatkan pikiran. Mendadak saja teringatlah bayangan Kebo Bangah dan Gagak Seta tatkala lagi bertempur mengadu kepandaian. Ia benci kepada Kebo Bangah. Karena itu, ia mem-bayangkan diri seolah-olah lagi bertempur menghadapinya. Terhadap Adipati Surengpati ia tak berani memusuhi. Hanya saja, tahulah dia bahwa pendekar itu membantu sang Dewaresi dengan diam-diam. Itulah sebabnya pula, bayangan Adipati Surengpati sewaktu lagi mempertontonkan jurus-jurus ilmu sakti

Witaradya seolah-olah lagi ikut membantu bayangan Kebo Bangah. Terus saja ia menge-luarkan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi untuk menghadapi dua lawan tersebut. Sama sekali ia melupakan ilmu sakti Kumayan Jati, karena dalam pikirannya Gagak Seta ikut membantu dirinya dengan ilmu itu. Maka kesudahannya hebat luar biasa.

Seperti diketahui jumlah jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi berjumlah 72 jurus. Tapi setelah menyaksikan pertempurannya antara Kebo Bangah dan Gagak seta, Sangaji memperoleh pelengkapnya sampai 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa kokoh dan hebat ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang diperlihatkan di depan para pendekar.

Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta sampai tercengang-cengang. Bahkan sang Dewaresi dan Titisari ikut kagum pula. Diam-diam Kebo Bangah membatin, bocah ini benar-benar luar biasa cerdas. Kiranya mukanya yang berkesan tolol itu memiliki otak sangat terang...

Sebenarnya, gerak-gerik Sangaji menyimpang dari jurus-jurus ilmu-ilmu sakti Witaradya yang ditentukan. Adipati Surengpati tahu akan hal itu. Tetapi dia seorang pendekar yang besar


kepalanya. Maka begitu melihat ilmu Sangaji, ia merasa seperti terbentur lawan yang sanggup memunahkan ilmu sakti kebanggaannya. Tiada hentinya, dalam otaknya berkelebat jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi setiap kali, kena dibendung dan dipunahkan oleh jurus-jurus ilmu Sangaji. Akhirnya ia jadi keheranan.

Mustahil dia bisa menekuni ilmu sakti Witaradya sehingga mampu menciptakan ilmu pemunahnya. Aku sendiri sudah menekuni semenjak dua puluh tahun yang lalu. Selama itu belum pernah aku menemukan saingannya. Masakan bocah ini mempunyai kemampuan melebihi aku? pikir Adipati Surengpati sibuk.

Selagi ia       sibuk  menimbang-nimbang,       matanya       terus   mengamat-amati    gerak-gerik          Sangaji.

Tatkala  mengerling  kepada  Kebo  Bangah,  ia  melihat  pendekar  itu  mengerutkan  keningnya.
Parasnya berubah hebat seperti serang yang kena terbuka rahasia hidupnya.

"Ah!" Kebo Bandotan itu terkejut pula. Apakah ilmu simpanan kena terbongkar juga? Adipati Surengpati heran. Dalam hatinya dia mengakui adanya suatu keajaiban. Teringat bahwa Sangaji adalah salah seorang pelamar puterinya, hatinya jadi girang. Mendadak saja teringatlah dia kepada Raden Ayu Herdiningsih, ibu Titisari yang telah lama meninggal dunia. Tak terasa air matanya berlinangan dan mulutnya berkomat-kamit.

"Diajeng! Syukurlah, engkau ikut pula membuka mataku dari sana. Kalau tidak, aku bisa keliru memilih bakal menantumu. Dengan melihat cara dia menirukan ilmu sakti Witaradya pusaka leluhurmu, aku jadi teringat kembali kepada bagian kitab yang tercuri. Nah, tenang-tenanglah di alam sana. Aku akan mempersembahkan kitabmu kembali dengan utuh kepadamu..."

Baik Kebo Bangah, Gagak Seta, sang Dewaresi maupun Titisari, heran melihat Adipati Surengpati berdiri terlongong-longong. Apalagi mereka melihat pula air mata Adipati Surengpati berlinangan.

Semenjak dahulu, mengeluarkan butiran air mata merupakan suatu pantangan besar bagi seorang ksatria. Sebab air mata adalah air hidup. Barangsiapa mengeluarkan air mata samalah halnya dengan membunuh diri. Karena itu diperibahasakan, bahwa air mata seorang ksatria apabila runtuh ke bumi membuat bumi itu sangar. Dan apabila mengenai daging akan membuat retak tulang belulangnya.

Tapi sebenarnya Adipati Surengpati hanya sebentar saja dalam keadaan demikian. Cepat sekali ia telah menemukan dirinya sendiri. Mendadak saja ia mengibaskan tangannya dan terus membentak Sangaji dengan suara mengguntur.

"Apakah bagian kitab Witaradya yang dahulu tercuri oleh Pringgasakti berada dalam ta-nganmu?"

Sangaji terkejut. Hatinya jadi ciut. Agak ter-getar menjawab, "Ki... ki... kitab? Sama sekali aku tak pernah berhubungan dengan Pringgasakti. Benar aku pernah bertempur dengan dia, tapi perkara kitab itu... darimana aku tahu, jika aku tahu, pastilah akan kukem-balikan kepada Gusti Adipati..."

Adipati Surengpati merenungi Sangaji dengan tajam. Melihat kesan muka pemuda itu, hatinya yakin akan kejujurannya. Karena itu ia percaya, bahwa almarhum istrinya yang membuka penglihatannya dari alam sana. Ia kini percaya, bahwa Sangaji bukanlah pemuda sembarangan. Maka dengan penuh hati, ia menyiratkan pandang kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta. Kemudian berkata memutuskan, "Baiklah saudara Gagak Seta dan Kebo Bangah! Dialah menantu pilihanku. Dengan ini ku umumkan, bahwa Titisari akan kujodohkan dengan dia. Sangaji! Semenjak kini engkau harus memperlakukan bakal istrimu dengan baik-baik. Titisari seorang gadis manja. Karena itu, engkau harus bersedia mengalah tiga bagian...!

Mendengar keputusan Adipati Surengpati, Titisari girang tak terlukiskan lagi. Lantas saja ia tertawa riang. Pandang matanya berseri-seri dan kemudian berkata nyaring kepada ayahnya. "Ayah! Bukankah aku anakmu yang baik dan selalu patuh padamu? Siapa bilang aku biasa

kaumanjakan?"

Sangaji meskipun kerapkali menjadi tolol menghadapi sesuatu yang baru untuk pertama kali dilihatnya, tetapi kali ini tidaklah demikian. Tanpa menunggu isyarat dari Titisari terus saja bersembah tiga kali kepada Adipati Surengpati. Kemudian menyebutnya dengan Kanjeng Romo. Itulah suatu tanda, bahwa kini dirinya sudah menjadi calon menantunya yang sah. Tetapi tiba-tiba terdengar suatu bentakan, "Hai! Tunggu dulu!"

Semua yang hadir menoleh. Ternyata yang membentak adalah Kebo Bangah. Semenjak melihat Sangaji mempertontonkan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang merupakan ilmu pemunah jurus-jurus Witaradya dan Kalalodra, hatinya gelisah tak terperikan. Sekaligus timbulah rasa curiganya terhadap pemuda itu. Pikirnya, tidaklah mungkin Sangaji bisa memperoleh ilmu pemunah demikian apabila belum mengenal ilmu simpanannya jauh sebelumnya. Maka mau ia menuduh, bahwa Sangaji telah mencuri atau mengutip ilmu kebanggaannya.

Gagak Seta kala itu sedang tenggelam dalam arus kegirangan. Sama sekali tak diduganya, bahwa muridnya mempunyai ilmu simpanan begitu tinggi hingga merupakan ilmu pemunah Witaradya dan Kala Lodra. Saking herannya, mulutnya sampai melongoh ternganga-nganga. Tapi begitu mendengar suara Kebo Bangah, sekaligus terbangunlah rasa sadarnya. Terus saja membentak, "Hai! Kebo Bandotan! Apakah kau belum mau menyerah?"

Kebo Bangah tertawa tergelak-gelak.

"Apa yang diperlihatkan anak muda itu, terlalu banyak dan jauh lebih lengkap daripada yang dipertontonkan saudara Surengpati. Aku yakin, bahwa semenjak lama dia sudah mengantongi kitab-kitab Witaradya dan Kala Lodra. Setidak-tidaknya kutipannya. Jika benar demikian, inilah melanggar hak angger-angger. Karena itu, ingin aku memberanikan diri hendak menggeledah tubuhnya."

"Hm, hm! Saudara Surengpati telah selesai memilih jodoh puterinya. Nah, apa perlu engkau rewel seperti perempuan bawel?" sahut Gagak Seta. Tetapi di dalam hatinya, ia agak percaya juga bahwa Sangaji pasti telah mengetahui kedua ilmu sakti itu semenjak lama. Kalau tidak, masakan bisa menirukan jauh lebih lengkap dari pemiliknya sendiri.

"Cuh! Aku Kebo Bangah, masakan bisa diakali monyet itu? Biarkan aku menggeledah tubuhnya!" Kata Kebo Bangah memutuskan. Pada saat itu derun hatinya mulai berbicara pula. la berjanji pada dirinya sendiri, hendak merampas kitab-kitab yang dituduhkan. Tentang pelamaran Titisari dan tetek bengeknya sudah lenyap dari ruang otaknya.

Sangaji mendongkol dituduh demikian. Tanpa menunggu Kebo Bangah, dengan serta merta ia melepas ikat pinggangnya sambil berkata menantang.

"Paman Kebo Bangah, silakan menggeledah diriku!"

Semua sakunya dibalik dan mengeluarkan isinya di atas batu. Ternyata isinya hanya mata uang dan beberapa benda lumrah. Tetapi betapa sudi Kebo Bangah menyerah oleh kenyataan itu. Tangannya segera menjangkau pemuda itu.

Adipati Surengpati kenal baik kelicikkan, kelicinan dan kebengisan Kebo Bangah. Di waktu menaruh juga seringkah bisa menurun-kan tangan jahat. Dan apabila pendekar itu sudah menurunkan tangan, barangkali tiada lagi dewa yang sanggup mencegahnya lagi. Karena itu, sebelum terlanjur ia harus mengambil tindakan untuk mengimbangi. Maka dengan berbatuk-batuk kecil tangan kirinya segera diletakkan di atas tulang punggung sang Dewaresi. Semua orang kenal betapa penting tulang punggung itu bagi bagian manusia. Sekali kena diremukkan, tanpa ampun lagi akan terpecatlah nyawanya.

Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, Kebo Bangah kenal bahaya. Adipati Surengpati tak boleh diajak bergurau. Memang dalam hati kecilnya, ia bermaksud hendak menyerang perut Sangaji dengan ilmu sakti Kala Lodra selagi menggeledah tubuh. Tetapi


begitu melihat Adipati Surengpati mengancam pula kemenakannya, mau tak mau ia harus menyabarkan diri. la menggeledah tubuh Sangaji dengan wajar. Ternyata tiada lain kecuali kulit dan daging belaka. Heran dia, sampai ia berdiri tegak beberapa saat lamanya, la tak percaya dalam dunia ini masih saja berlaku suatu keajaiban yang terlepas dari nalar manusia. Masakan pemuda itu sudah mengenal ilmu sakti Witaradya dan Kala Lodra semenjak dalam perut ibunya?

"Hm...," dengusnya. "Anak tolol ini memang tak berdusta. Tapi aku akan memaksa dia agar berbicara ..."

Ia mundur memungut tongkat saktinya. Kemudian diketukkan di tanah. Mendadak saja terdengarlah bunyi berdesis. Di udara lantas saja terlihat beberapa jarum emas berkeredepan.

Sangaji terkejut sampai mundur dua langkah. Titisari pun ikut pula terjengkang ke belakang. Mereka berdua sadar, bahwa Kebo Bangah sedang mengambil jalan lain untuk membuktikan tuduhannya.

"Sangaji!" bentak Kebo Bangah dengan tajam. "Darimana engkau memperoleh ilmu Jala Karawelang itu? Bilang terus terang, sebelum aku memaksamu!"

Jala Karawelang sebenarnya adalah nama pusaka. Di samping keris Tunggulmanik dan Bende Mataram. Menurut cerita, pusaka Jala Karawelang dahulu merupakan alat paling ampuh untuk menangkap lawan. Jangan lagi terhadap manusia. Meskipun jin dan dewa takkan dapat meloloskan diri. Konon diceritakan pula, di negeri Loano dahulu pernah timbul suatu kekacauan. Seorang pangeran bernama Jayakusuma mencuri isteri Pangeran Anden Loano putra Batara Loano. Maka timbullah suatu pertempuran. Pangeran Jayakusuma begitu sakti dan perwira, sehingga tak terlawan lagi. Akhirnya Pangeran Semono tampil ke muka dan mengutus patih Lawa ljo untuk menangkap maling sakti tersebut. Dengan dibekali tiga senjata yakni, keris Tunggulmanik, Bende Mataram dan Jala Karawelang, Patih Lawa ljo berhasil menangkap Pangeran Jayakusuma, dan semenjak itu ter-masyurlah kekeramatan ketiga pusaka tersebut. Dua tiga ratus tahun kemudian, seorang sakti bernama Prabusana mencipta suatu ilmu pemunah untuk melawan semua kejahatan. Orang-orang menyebut ilmu pemunah sarwa jahat itu dengan istilah Jala Karawelang. Begitulah ilmu pemunah sarwa jahat turun-temurun itu diwarisi angkatan mendatang. Tetapi sesungguhnya, ilmu pemunah sarwa jahat pada zaman sesudahnya bukanlah ilmu ciptaan Prabusana. Hanya karena sifatnya bertujuan membendung segala pekerti jahat, maka istilah Jala Karawelang itu masih saja dikenakan.

Mendengar tuduhan Kebo Bangah, Adipati Surengpati terus saja bertindak dengan cepat. Ia tahu, kali ini Kebo Bangah tiada main-main. Di balik tuduhannya, mengandung pula suatu tantangan menentukan. Terang-terangan ia menggolongkan diri sebagai golongan yang hendak dipunahkan. Dan sudah barang tentu adalah syah dan wajar apabila berusaha mem-pertahankan diri. Karena itu, dengan sigap ta-ngan kirinya telah meraba tulang punggung sang Dewaresi. Apabila Kebo Bangah bergerak sedikit saja, ia akan meremukkan tulang punggung kemenakannya.

Gagak Seta yang semenjak tadi berdiam saja, tersenyum melihat sepak terjang Adipati Surengpati. Pikirnya dalam hati, Surengpati benar-benar pantas disebut Jangkrik Bongol setengah siluman. Tadi ia membantu Dewaresi, kini setelah memperoleh keputusan siapa yang dipilih menjadi menantunya, mendadak saja berbalik menyayangi Sangaji. Aiiih... lantas saja dia melindungi muridku yang tolol.

"Apakah itu Jala Karawelang?" kata Sangaji dengan nyaring. "Ilmu yang kuperlihatkan ini pun bukan pula Witaradya. Aku hanya sedang menghafalkan jurus-jurus ilmu ciptaan eyang guruku yang dapat kutangkap selintasan saja."

"Siapakah eyang gurumu itu?" potong Keboh Bangah galak.

"Kyai Kasan Kesambi. Kenapa?" Sangaji menyahut dengan berani.


Mendengar disebutkan nama pendekar sakti itu, semua jadi terheran sampai Gagak Seta berkata, "Eh eh... Kyai Kasan Kesambi? Apakah benar orang tua itu sudi mengakui engkau sebagai cucu muridnya?"

"Aku adalah murid Wirapati. Dan guruku itu murid Kyai Kasan Kesambi. Tatkala guruku kena luka parah, Eyang Guru sedang bersilat di tengah malam hari sampai hampir menjelang subuh. Kebetulan sekali, aku dapat melihatnya. Entah bagaimana, otakku bisa menangkap sebagian. Malahan, lambat laun aku bisa memahami semua jurus-jurusnya. Dan tatkala aku melihat Paman Gagak Seta bertempur melawan Paman Kebo Bangah, mendadak saja aku menemukan kelengkapannya. Begitulah, maka aku kini sudah dapat memahami 325 jurus sekaligus dari penglihatan itu."

Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sehingga air matanya berlinangan. Sejak lama tahulah dia, bahwa Sangaji adalah cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Hanya saja untuk menge-sankan mereka, ia berpura-pura bersikap tak tahu menahu. Dengan demikian, keterangan Sangaji itu bagai canang menggaung di udara bebas.

"Saudara Surengpati!" Akhirnya Gagak Seta berteriak nyaring. "Tak kukira... si tua bangka itu masih bisa mendendamkan sesuatu. Kau menyaksikan sendiri, betapa gagah dan perkasa jurus-jurusnya. Inilah celaka bagi si bandot Kebo Bangah dan kau sendiri. Terang-terangan, si tua bangka itu mencurigai kamu berdua. Ilmu ciptaannya merupakan ilmu pemunah jurus Kala Lodra dan Witaradya. Nah, kalian berdua mau bilang apa?"

Dengan terhenyak Kebo Bangah dan sang Dewaresi saling memandang. Sejurus kemudian Kebo Bangah berkomat-kamit, "Kasan Kesambi? Hm! Betapa mungkin! Sama sekali dia belum pernah melihat lembaran buku Witaradya dan Kala Lodra, masakan bisa men-ciptakan suatu ilmu pemunah begini rupa? Apakah aku harus percaya, dia memperoleh kisikan dari malaikat? Hm ... hm...! Nanti dulu! Apakah engkau telah menyerahkan buku Witaradya kepadanya yang hilang digondol Pringgasakti?"

"Apakah ilmu ciptaan Eyang Guru adalah ilmu sakti Witaradya?" Sangaji heran. "Inilah aneh! Belum pernah sekali juga aku membi-carakan tentang buku tersebut. Juga Eyang Guru tak pernah menyinggung-nyinggung. Hanya saja pada hari itu, guruku kena akal licik sehingga luka parah. Dan pada malam harinya, Eyang Guru bersilat dengan wajah bersungut-sungut di tengah halaman. Kuka-takan tadi, kebetulan sekali aku melihatnya. Tatkala Eyang Guru mengetahui, aku dibiarkan seorang diri mengingat-ingat semua jurusnya. Apakah engkau menuduh pula, aku mencuri ilmu ciptaan Eyang Guru?"

Diam-diam Adipati Surengpati menghela napas. Sebagai seorang yang cerdik dan serba pandai tahulah dia, bahwa Kyai Kasan Kesambi lagi melampiaskan dendamnya kepada salah seorang di antara mereka yang dicurigai. Celakanya, dia pun ikut tersangka pula melukai muridnya.

Benar-benar segala peristiwa di dunia ini tiada yang terjadi secara kebetulan. Semuanya seperti teratur. Andaikata Sangaji tak melihat ilmu ciptaan eyang gurunya, masakan aku akan memilihnya sebagai calon suami anakku, pikirnya pulang balik. Rupanya bocah ini sudah ditakdirkan menjadi jodoh anakku.

Selagi Adipati Surengpati menimbang-nim-bang peristiwa itu, Kebo Bangah meneruskan pengusutannya. Tanyanya nyaring, "Siapa yang melukai gurumu?"

Segera Sangaji menguraikan peristiwa pade-pokan Gunung Damar semenjak dibanjiri tamu-tamu dari berbagai daerah sampai gurunya terluka parah. Baik Adipati Surengpati, Gagak Seta, Kebo Bangah, Titisari dan sang Dewaresi mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Maka ma-sing-masing merasa, bahwa ekor peristiwa akan jadi panjang dan berbahaya. Kalau saja, Kyai Kasan Kesambi akhirnya turun gunung, dunia akan menjadi gempar. Sebab, handai taulan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya terdiri dari para ksatria, tetapi raja dan pangeran-pangeran berada di belakangnya. Sebentar atau lama akan menyangkut soal pemerintahan negara pula.


"Bagus! Kau sudah memberi keterangan sebisa-bisamu," potong Kebo Bangah. "Tapi kau menyinggung soal benda pusaka Bende Mataram. Cobalah beri keterangan di manakah kedua benda tersebut tadinya disimpan?"

Sangaji hendak memberi keterangan, men-dadak Adipati Surengpati menyanggah. "Anakku Sangaji! Tak usahlah engkau terlalu banyak berbicara!"

Kemudian berpaling kepada Kebo Bangah dan berkata, "Inilah urusan yang tiada sangkut-paut dengan kita. Apa perlu direntang panjang? Saudara Kebo Bangah dan saudara Gagak Seta, dua puluh tahun yang lalu kita bertiga pernah berkutat mempertahankan kehormatan diri. Kini, aku telah memisahkan diri dan berdiam, di sebuah pulau agak jauh di utara. Marilah kalian kuundang berpesta pora. Dan di sana kita bisa berbicara dari hati ke hati tanpa gangguan lagi. Nah, apakah pendapat kalian?"

Titisari terus saja menyambung, "Paman Gagak Seta! Aku berjanji akan membuat beberapa masakan bagimu. Di pulau Kari-munjawa, terdapat pula gundukan tanah dan rumput hijau. Di tengah alam Paman bisa menikmati sepuluh dua puluh macam masakan yang kauhendaki."

Gagak Seta tertawa lebar mendengar ujar Titisari. "Sekarang, tercapailah rasa hatimu. Lihatlah, betapa girang engkau... sampai mau memberikan segala yang kaumiliki kepadaku."

Digoda demikian, Titisari tertawa riang. Memang ia seorang gadis berhati polos. Apa yang terasa di dalam hatinya terbayang jelas pada wajah dan sikapnya. Maka terus saja ia berbicara lancar. "Paman Gagak Seta! Paman Kebo Bangah! Kalian berdua kuundang datang. Juga terhadap sang Dewaresi, aku pun tak boleh mensia-siakan. Kau mau datang, bukan?"

Titisari kemudian  memanggut  manis terhadap  sang  Dewaresi dengan  sikapnya  yang  wajar.

Keruan saja, hati sang Dewaresi kelabakan tak tentu kesannya.

Kebo Bangah kemudian membungkuk ter-hadap Adipati Surengpati. "Saudara Sureng-pati... aku berterima kasih mendengar maksud baikmu. Hanya saja, perkenankan kita berpisah sampai di sini saja..."

"Saudara Kebo Bangah!" sahut Adipati Surengpati. "Kau datang dari jauh dan aku belum kau beri kesempatan melayanimu seba-gaimana lazimnya. Masakan kau akan mem-biarkan hatimu kurang tentram?"

Sama sekali Kebo Bangah tak tertarik kepada undangan itu. Kemenakannya telah kalah. Pikirnya, apa perlu lagi berkumpul dengan saingannya. Hanya saja, tatkala melihat ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang diperlihatkan Sangaji di hadapannya, hatinya jadi tertarik. Maklumlah, sebagai seorang pendekar yang merasa diri tiada yang mampu menandingi, terkejut apabila menyaksikan jurus-jurusnya yang benar-benar merupakan ilmu pemunah ilmu Kala Lodra. Diam-diam ia berpikir pulang balik, anak tolol itu agaknya sudah bisa menguasai ilmu ciptaan si tua bangka. Kalau di kemudian hari sudah memperoleh bentuknya, bukankah akan mencelakakan aku? Sebelum terlanjur, biarlah kubu-juknya agar mau mengulangi jurus-jurusnya dua tiga kali. Masakan aku tak sanggup meng-hapalkan jurus perlawanannya. Dan setelah memperoleh pikiran demikian dengan wajah berseri ia berkata kepada Adipati Surengpati.

"Saudara Surengpati! Setelah engkau mem-peroleh calon menantu, kini kau bakal bersa-habat dengan si jembel Gagak Seta. Dalam beberapa bulan saja, kamu berdua pasti akan berhasil menciptakan suatu ilmu hebat yang tak terlawan lagi."

"Ha, kau mengiri?" Gagak Seta tertawa pan-jang.

"Aku bukan beriri hati, tapi berbicara perihal yang nyata."

Kembali Gagak Seta tertawa panjang. Berkata setengah mengejek, "Masakan aku tak kenal ulu hatimu. Di mulutmu kau bilang begitu, tetapi di hatimu lain."

Dua pendekar itu memang bermusuhan dan saling mendendam. Gagak Seta adalah seorang


pendekar yang terbuka hatinya. Sebaliknya Kebo Bangah tidak. Ia seorang pendekar licik dan licin. Dalam hatinya ia bersumpah takkan hidup tentram sebelum Gagak Seta mampus di tangannya. Tapi karena licik, dendam itu tak nampak pada wajahnya. Demikian pulalah kali ini, begitu mendengar Gagak Seta tertawa panjang dua kali, terus saja ia membarengi tertawa pula.

"Saudara Gagak Seta! Aku berkata dengan sejujurnya. Kalian berdua pasti akan bisa men-ciptakan suatu ilmu hebat di kemudian hari. Hanya saja, ilmu itu tiada gunanya lagi. Sebab pada saat ini teranglah sudah, siapa di antara kita yang bakal menduduki tempat teratas..."

"Eh, kau berkata apa?" sahut Gagak Seta terkejut. "Mungkinkah engkau telah berhasil menciptakan suatu ilmu baru yang tiada ban-dingnya lagi di kolong langit ini?"

Kebo Bangah tersenyum. Menjawab dengan suara merendah. "Apa sih kehebatannya Kebo Bangah, sehingga akan dapat menduduki ksa-tria tersakti nomor wahid? Yang kumaksudkan ialah orang yang memberi ilmu sakti kepada Sangaji."

Mendengar jawaban Kebo Bangah, Gagak Seta tertawa. Berkata menegas, "Apakah yang kau maksudkan Kyai Kasan Kesambi. Kalau benar, aku harus mempertimbangkan dahulu. Ilmu kepandaian saudara Surengpati bertambah hari bertambah maju. Dia makin gagah dan panjang umurnya, sedangkan Kyai Kasan Kesambi usianya sudah mendekati seratus tahun. Engkau sendiri masih nampak berwibawa dan perkasa. Tinggal akulah yang ketinggalan. Habis makanku tak teratur dan tak terurus. Maksud hati mau beristeri, tetapi tiada seorang pun di kolong langit ini yang mau kuajak hidup melarat."

"Tetapi saudara Gagak Seta," potong Kebo Bangah. "Meskipun kita bertiga ini bergabung menjadi satu, rasanya susah mengalahkan kyai tua bangkotan yang bermukim di atas Gunung Damar itu."

"Apa?" sahut Adipati Surengpati terkejut. "Kau maksudkan kita bertiga tak mampu mengalahkan Kasan Kesambi?"

"Benar. Karena dia sudah berhasil mencip-takan suatu ilmu pemunah untuk menghadapi kita berdua."

"Hal itu belumlah pasti," sahut Adipati Surengpati lagi. "Jurus-jurusnya memang hebat. Tetapi tenaga saktinya, masakan bisa melebihi kita yang berusia jauh lebih muda?"

Senang hati Kebo Bangah mendengar perkataan Adipati Surengpati. Jika Adipati Surengpati bisa dibakar hatinya, bukankah secara tidak langsung akan renggang juga dari Sangaji yang ternyata menjadi cucu murid

Kyai Kasan Kesambi? Dasar ia berhati licik dan licin, maka terus saja ia bermain sandiwara.

"Pastilah ilmu ciptaan si tua bangka itu masih mempunyai sambungannya. Kita berdua pernah mengadu ilmu kepandaian melawan dia. Sedikit banyak ia telah mengenal ilmu simpanan kita. Selang dua puluh tahun, bukankah dia seperti harimau tumbuh sayapnya? Dengan tekun ia mendalami ilmu kita dan kini ternyata ia sudah berhasil pula men-ciptakan ilmu pemunahnya."

"Hm... mungkin benar Kyai Kasan Kesambi bisa melebihi aku. Tetapi tak bakal bisa melawan engkau," potong Adipati Surengpati panas.

"Janganlah kau berkata begitu. Kau terlalu merendah. Kita berdua adalah setali tiga uang. Kalau kau mengakui bisa dikalahkan si tua bandotan, maka teranglah sudah siapa yang lebih unggul dariku. Dan inilah yang kukha-watirkan."

Ia lantas berhenti berenung-renung. Dan melihat kesungguh-sungguhannya, Adipati Surengpati tersenyum. "Lihat saja tahun depan!" katanya. "Aku akan mengundangnya, saudara Kebo Bangah akan bisa menyaksikan siapa di antara kita yang menang."

Kebo Bangah merenunginya dengan sung-guh-sungguh. Katanya kemudian, "Saudara Surengpati! Ilmu silatmu telah lama aku meng-agumi. Akan tetapi jikalau engkau berkata bisa mengalahkan si Kasan bangkotan, benar-benar aku bersangsi. Janganlah engkau menganggap


enteng padanya. Dengan murid-muridnya saja, belum pasti engkau bisa mengalahkan dengan gampang..."

Meskipun Adipati Surengpati kenal akan mulut jahil pendekar dari Sarandil itu, namun hatinya kena juga terbakar. Mendadak saja ia menoleh kepada sang Dewaresi dan terus berkata, "Hai kau Dewaresi! Aku sudah berjanji, barangsiapa yang kalah dalam ujian ini akan kuberi hak untuk memilih satu macam kepan-daianku. Nah, pilihlah salah satu ilmu kepandaianku. Sebaliknya kalau engkau ingin menyerahkan hal ini kepadaku, akan kubuat engkau seorang jantan yang bisa menandingi murid-murid Kasan Kesambi. Berkatalah!"

Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Sangaji terkejut. Titisari pun tak terkecuali. Hanya Kebo Bangah seorang yang lantas saja tertawa riang. Kata pendekar itu, "Kemenakanku betapa bisa mengenal keahlianmu. Kalau tadi dia gagal menempuh ujian, kali ini pun dia bakal tak becus pula memilih ilmu yang baik untuknya. Karena itu biarlah semuanya ini kami serahkan padamu belaka."

Kebo Bangah mengenal kepandaian Adipati Surengpati yang luar biasa. Kali ini hatinya sedang panas. Kalau saja ia terlanjur berjanji hendak membentuk sang Dewaresi menjadi seorang ksatria setangguh murid-murid Kyai Kasan Kesambi, inilah suatu kesempatan yang tak bisa terulang untuk yang kedua kalinya. Karena itu, terus saja ia bersuara mewakili kemenakannya.

Girang luar biasa adalah sang Dewaresi. Setelah ia kena dikalahkan dalam ujian, hatinya menjadi ciut. Mulutnya seperti tersekap tak kuasa berbicara lagi. Kini mendadak ia memperoleh jalan lain yang bisa membawa suatu kemungkinan menguntungkan. Pikirnya, bagus! Kalau aku menyerahkan diri agar dia membentuk aku sebagai wakil dirinya untuk melawan murid-murid Kyai Kasan Kesambi, bukankah berarti aku akan berada di Pulau Karimunjawa untuk suatu masa latihan yang tak terbatas? Ini berarti pula, aku akan tinggal cukup lama di samping Titisari. Masakan dalam waktu itu aku tak bisa menyergapnya? Dia boleh menghindari aku di waktu sadar. Tetapi... masakan dia terusmenerus tak pernah lengah sedetik dua detik? Hihaa... haa...

Oleh pikiran itu, wajahnya terus saja berseri-seri. Dengan membungkuk hormat ia berkata, "Paman Adipati! Apa yang diucapkan pamanku, adalah keputusanku sendiri. Dengan disaksikan bumi dan langit, semenjak saat ini aku menyerahkan diriku kepada Paman. Di kemudian hari, aku akan berjuang dengan segenap jiwa ragaku demi kepentingan Paman menghadapi murid-murid Kyai Kasan Kesambi di mana pun mereka berada."

Mendengar ujar sang Dewaresi, hati Adipati Surengpati jadi terharu. Memang dalam hatinya sebenarnya lebih condong memilih sang Dewaresi menjadi menantunya.

"Kau sudah menyanggupkan diri, itulah baik. Hanya saja semenjak kini kau tak boleh bergerak sesuka hatimu," kata Adipati Sureng-pati pendek.

Sampai di situ Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati Surengpati puaslah sudah dengan alasannya masing-masing. Hanya Titisari, Sangaji dan Gagak Seta yang nampak bersungut-sungut. Tetapi mereka tiada yang membuka mulut.

Gagak Seta adalah seorang ksatria yang terbuka hatinya. Memperoleh kesan yang terlalu menekan, tak betahlah ia menguasai diri. Terus saja ia tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus! Kalian bertiga memang termasuk golongan siluman. Hm... apalagi yang harus kita bicarakan."

Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara bentakan sayup-sayup. Itulah suatu tanda, bahwa di jauh sana terjadi suatu pertempuran hebat. Mereka lantas saja memasang kuping.

"Anakku Sangaji! Mari kita lihat!" ajak Gagak Seta.

Mereka semua adalah golongan manusia yang gemar melihat sesuatu perkelahian. Maka begitu mendengar ajakan Gagak Seta, terus saja mereka berlari-larian saling mendahului. Tidaklah mengherankan, bahwa sebentar saja mereka telah mendekati gelanggang perkelahian.


Ternyata mereka melihat tiga bayangan manusia berlari-larian ke jurusan barat dengan suatu kecepatan luar biasa. Dilihat dari gerak-geriknya, terang sekali mereka bukan orang sembarangan. Sebaliknya termasuk golongan pendekar kelas utama.

"Hai Kebo Bandotan dan kau saudara Surengpati!" seru Gagak Seta. "Mereka bukan masuk golonganmu. Juga bukan golonganku.

Cara mereka berlari bukankah mengingatkan kita kepada ilmu Kyai Kasan Kesambi?"

Terkejut Sangaji mendengar seru Gagak Seta. Terus saja ia menajamkan penglihatannya. Tanpa berkata lagi, ia menyambar pergelangan Titisari dan sambil menjejak bumi memburu tiga bayangan itu yang sedang kejar mengejar.

Tiga bayangan yang berada di depan mereka waktu itu melesat luar biasa cepatnya. Yang satu kabur dan yang dua sedang menyusul. Sangaji mengerahkan segenap tenaganya dan melompat-lompat seperti kemasukan setan. Titisari merasa seperti dibawa terbang melintasi awan. Mereka berdua kini bukanlah seperti lima enam bulan yang lalu. Semenjak menerima warisan ilmu sakti pendekar Gagak Seta, gerak-geriknya gesit melebihi manusia lumrah. Itulah sebabnya, beberapa waktu kemudian mereka mulai bisa menyusul. Ternyata yang sedang mengejar bayangan yang kabur itu ialah Gagak Handaka dan Ranggajaya.

Mendadak Ranggajaya menimpuk dengan sebatang kayu berbentuk penggada. Orang yang dikejar melompat ke samping dan menangkis dengan pedangnya. Dengan adanya sedikit kelambatan itu, Gagak Handaka berhasil menyusul dan menikam dengan pedang pula.

Gugup orang itu melesat ke samping dan membalas dengan pukulan telapak tangan. Sangaji kaget sampai mengeluarkan seruan tertahan. Sebab, orang itu ternyata seorang laki-laki berewok yang dahulu melukai Bagus Kempong dalam perjalanan pulang ke Gunung Damar. Muka orang itu nampak pucat dan rambutnya terurai. Cepat-cepat Sangaji menarik lengan Titisari dan menghadang di sebelah barat.

Hebat gempuran telapak tangan orang berberewok itu. Dahulu Bagus Kempong sampai kena dilukai. Kali ini dia seimbang dengan tenaga Gagak Handaka. Bahkan tubuh Gagak Handaka nampak tergetar sedikit. Serentak Gagak Handaka menyarungkan pedangnya. Kemudian bersama Ranggajaya terus saja mengepung rapat. Mereka sedang mempersiagakan ilmu Pancawara.

"Setan! Iblis!" bentak laki-laki itu. "Apa perlu kamu berdua menguber-uber aku?"

"Hm! Hari ini barulah kuketahui, bahwa engkaulah biang keladi perbuatan licik. Dengan akal keji, engkau menjebak adikku seperguruan. Ternyata engkau tidak hanya membuatnya cacat, tetapi merampas kedua benda pusaka milik tanah Jawa. Nah, kemba-likan kedua benda itu dan serahkan obat penyembuh cacat adikku!" bentak Gagak Handaka.

Selama di padepokan Gunung Damar, belum pernah Sangaji mendengar pamannya itu berbicara melebihi sepuluh kata. Kini mendadak bisa memberondong dengan kata-kata yang ditekankan, terkuasai. Suatu tanda, bahwa pamannya itu lagi dalam keadaan marah tak terkuasai lagi.

Orang berberewok itu mendengus melalui hidungnya. "Mereka yang melukai adikmu adalah Malangyuda, Panji Pengalasan, Citrasoma, Randukintir, Baruna, Bagus Tilam dan begundal-begundal Suma, Wira, Pitra dan Salamah. Apa sangkut pautnya dengan aku?"

"Masakan ular tanpa kepala? Engkau seorang ksatria. Kepandaianmu tiada rendah pula," sahut Gagak Handaka berwibawa. "Baiklah! Kau boleh berdusta sampai dunia kiamat. Tetapi tak pernahkah engkau berpikir, bahwa salah seorang di antara bawahanmu yang membawa daku mengenalmu?"

Mendengar keterangan Gagak Handaka, seketika itu juga berubahlah wajah yang berberewok itu. Lantas saja ia berteriak tinggi sambil menjejak bumi. "Huh! Aku Bagas Wilatikta, masakan bisa kau ingusi. Memang kedua benda itu ada padaku. Memang, adikmu yang sombong hati,


akulah yang menjebaknya. Tetapi apa salahku? Dalam dunia selebar dan seluas ini, seseorang boleh merdeka mencapai angannya. Siapa yang lemah, dialah mangsa yang kuat. Kau mau bilang apa?"

"Tentang kedua benda itu, bisa dirundingkan perlahan-lahan. Tetapi perbuatanmu yang keji itu, haruslah kau cuci bersih secepat mungkin. Serahkan obat penyembuhnya. Dengan de-mikian namamu tak akan tercemar dalam dunia ini."

"Hihuuuu... apakah itu nama cemar dan nama baik?" potong Bagas Wilatikta. "Semuanya adalah omong kosong belaka. Tentang kedua benda itu sudah kujual kepada pemerintah Belanda. Lihat niih... perutku kosong! Keluargaku banyak. Apakah aku harus menelan nama cemar dan nama baik belaka? Cuh! ... Dan tentang obat penyembuh adikmu, jangan mimpi di siang hari bolong. Meskipun andaikata saat ini aku mengantongi obat penyembuhnya, masakan akan kuberikan dengan begitu saja? Ketahuilah bahwa ada di antara bawahanku kena dilukai adikmu pula. Dialah Bagus Tilam yang kini mati tidak hidup pun tidak."

"Baik. Mari kita tukar nyawa. Kami akan menyembuhkan bawahanmu itu dan engkau memberikan obat penyembuhnya." Gagak Handaka menyabarkan diri.

"Aku tak mempunyai waktu untuk beromong kosong macam begini. Sampai ketemu di akhirat!" Bagas Wilatikta terus saja melompat hendak berlari.

"Tahan!" bentak Ranggajaya. Kemudian dengan Gagak Handaka ia menyerang dari kiri dan kanan.

Bagas Wilatikta memutar pedangnya bagai-kan kitiran dan menyambut serangan Rang-gajaya dan Gagak Handaka. Dahulu Sangaji pernah menyaksikan, betapa perkasa dan hebat pukulan orang berberewok itu. Kini dia menyaksikan pula ilmu pedangnya. Gerak-geriknya gesit dan indah. Agaknya tak gampang-gampang Gagak Handaka dan Ranggajaya bisa mengalahkan meskipun maju dengan berbareng.

Dugaan Sangaji benar juga. Sesudah lewat puluhan jurus, Bagas Wilatikta belum juga jatuh di bawah angin. Bahkan makin lama makin nampak gagah.

Sungguh sayang! pikir Sangaji. Orang begitu perkasa, apa sebab mempunyai pekerti bertentangan dengan angger-angger laku seorang ksatria. Coba, seumpama musuhnya bukan paman Gagak Handaka atau paman Ranggajaya pastilah sudah berhasil menumbangkan.

Kira-kira lima puluh jurus lagi, mendadak saja Gagak Handaka bersuit panjang. Inilah suatu tanda, bahwa pendekar itu mengajak adik seperguruannya menggunakan ilmu sakti Pancawara. Terus saja mereka merapatkan diri. Kemudian dengan mendadak melepaskan suatu pukulan berbareng. Seketika itu juga, pedang Bagas Wilatikta maupun mereka yang melihat terkejut sampai mengeluarkan suara tertahan. Kedahsyatan pukulan ilmu Pancawara itu tak pernah mereka duga sebelumnya.

Tetapi Bagas Wilatikta ternyata bukanlah seorang pendekar murahan. Begitu pedangnya terlepas dan kabur di udara, tersentak ia melompat maju sambil menggempurkan tangannya. Terus saja Gagak Handaka dan Ranggajaya menggabungkan diri dan menyongsong pukulan itu. Kesudahannya hebat. Tubuh Bagas Wilatikta kena terhentak dan terpental sepuluh langkah. Tubuhnya terbanting di atas tanah dan kemudian mendekam dengan memuntahkan darah segar.

Gagak Handaka dan Ranggajaya dengan cekatan lalu mengepungnya lagi dan melepaskan pukulan tajam. Seketika itu juga Bagas Wilatikta tak dapat berkutik lagi.

"Hebat! Hebat! Sungguh dahsyat!" sorak Gagak Seta dengan jujur. Ingin ia menyatakan kesan hatinya, mendadak terdengar Sangaji lari sambil berseru girang.

"Paman!"

Gagak Handaka dan Ranggajaya menoleh berbareng. Dan begitu melihat Sangaji, wajahnya


bersinar terang. Dengan berbareng pula mereka maju menyongsong dan mendekap kepala pemuda itu.

"Anakku! Lihat, inilah biang keladi yang melukai gurumu," kata Gagak Handaka dengan sederhana.

Girang luar biasa hati Sangaji, menyaksikan kedua pamannya dapat mengalahkan Bagas Wilatikta. Serentak ia merenggutkan diri dan memperkenalkan mereka kepada Gagak Seta, Kebo Bangah, sang Dewaresi, Titisari dan Adipati Surengpati.

"Nah, saudara Surengpati!" kata Gagak Seta nyaring. "Hebat tidak murid-murid Kyai Kasan Kesambi?"

Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang tinggi hati dan mau menang sendiri. Tadi ia sudah kena dibakar Kebo Bangah dan kini menyaksikan kegagahan murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Sudah barang tentu hatinya panas seperti air mendidih. Dengan tersenyum mengejek ia menyahut, "Memang hebat. Tapi belum tentu."

Sehabis berkata demikian terus saja ia menyerang Gagak Handaka. Betapa terkejut Gagak Handaka tak terperikan. Maklumlah serangan itu sama sekali tak diduganya. Syukur, bahwasanya ia murid Kyai Kasan Kesambi yang tertua. Gurunya seringkali menceritakan sepak terjang dan tabiat-tabiat pendekar seangkatannya. Kerap kali mereka sengaja mencoba sampai di mana kemajuan saingannya mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya. Karena itu, dengan serentak Gagak Handaka bangun semangatnya. Meskipun dalam hati ia mengakui takkan mungkin mengalahkan Adipati Surengpati, tetapi demi mempertahankan pamor perguruannya ia akan berjuang sebisa-bisanya.

Pada detik-detik yang membahayakan, mendadak saja ia mengelak ke samping sambil membalik tubuh. Kemudian mengawaskan penyerangnya dengan setengah heran.

"O... Gusti Adipati Surengpati. Apakah begini cara Tuan memperkenalkan diri?"

Serangannya Adipati Surengpati tadi adalah suatu sambaran yang sudah dilatihnya dua puluh tahun lebih. Sebatnya luar biasa, akan tetapi Gagak Handaka dapat mengelakkan dengan suatu gerak yang sederhana. Sudah barang tentu diam-diam hati Adipati Surengpati terkesiap. Pikirnya, benar-benar Kasan Kesambi sudah berhasil mengadakan gerakan pemunahnya. Inilah bahaya.

Karena itu, ia tidak menyerang lagi, hanya merenungi Gagak Handaka dengan kagum. Kebo Bangah, sang Dewaresi, Titisari dan Gagak Seta tegang dengan sendirinya. Gugup Sangaji maju menengahi sambil berkata kepada Gagak Handaka.

"Paman! Sekarang ini Gusti Adipati Sureng-pati adalah mertuaku. Itulah Titisari calon isteriku. Karena itu, kita pun adalah keluarga sendiri."

Gagak Handaka menghela napas. Katanya agak menyesali, "Pantaslah, selama engkau di padepokan sering kulihat duduk termenung. Rupanya ada yang mengganggu pikiranmu. Gusti Adipati Surengpati adalah seorang pendekar besar. Sayang, hatinya agak kejam bengis dan terlalu tinggi hati. Tabiatnya aneh pula. Karena itu, apakah puterinya tidak mewarisi tabiat ayahnya? Kuharap, engkau takkan menyesali seumur hidupmu apabila mengalami kepahitan-kepahitan tak terduga dalam perjalanan hidupmu..."

Titisari mendekati sambil tertawa manis. "Paman! Atas doa Paman, mudah-mudahan aku takkan menyusahkan Sangaji di kemudian hari dan untuk selama-lamanya..."

Gagak Handaka mengangguk. Kemudian kembali mengarah kepada Adipati Surengpati. Berkata tak kurang hormat, "Gusti Adipati, dua puluh tahun lamanya, Tuan tak pernah bertemu dengan guru kami. Kami pun baru untuk yang pertama kali ini bertemu pandang dengan Tuan. Tetapi nama Tuan selalu mengisi ruang pelajaran kami di perguruan Gunung Damar. Apa sebab dengan tiba-tiba Tuan menyerang kami tanpa peringatan lagi?"

"Apakah kau murid tertua Kasan Kesambi?" sahut Adipati Surengpati pendek angkuh.

Gagak Handaka mengangguk.

"Dan dia?" Adipati Surengpati menuding kepada Ranggajaya.

"Murid perguruan Gunung Damar berjumlah lima orang. Dialah adikku seperguruan nomor dua.

Mengapa?" sahut Gagak Handaka.

Adipati Surengpati tersenyum pahit. Berkata sengit, "Kau kini berhadapan dengan lawan gurumu. Mengapa saudaramu itu tak kau ajak maju berbareng?"

Gagak Handaka adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang berwatak brahmana. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang. Pikirannya penuh dan pertimbangannya luas. Pada saat itu tahulah dia, bahwa tiada gunanya lagi berbicara panjang lebar dengan Adipati Surengpati yang senang membawa kemauan-nya sendiri. Meskipun demikian, tetap ia bersikap sopan dan tenang. Dan dengan membungkuk sedikit ia menjawab, "Dalam hal ini aku mempunyai alasanku sendiri. Tuan adalah angkatan tua yang harus kuhormati."

Singkat jawabannya Gagak Handaka, tapi cukup tegas dan berwibawa. Dengan hati-hati ia mulai mempersiapkan diri. Teringat lawannya bukanlah tokoh sembarangan, maka dengan terpaksa ia lantas saja mengerahkan ilmu sakti Pancawara. Seperti diketahui, ilmu sakti tersebut jarang dipergunakan apabila tidak dalam keadaan memaksa. Kehebatannya di luar dugaan seseorang. Karena tenaga lontarannya bagaikan pukulan seorang sakti kelas wahid. Dan apabila digabungkan dengan salah seorang dari perguruannya, tenaganya bertambah dua kali lipat. Dalam hatinya, tiada niat hendak mencelakai Adipati Surengpati. Karena itu, ia emoh mengajak Ranggajaya agar membantu.

"Hai! Siapakah namamu sebelum kau mampus di tengah ladang ini?" gertak Adipati Surengpati. "Gagak Handaka."

"Nah, tahukah engkau siapa saja yang berada di sini? Dialah pendekar dari Gunung Serandil Arya Kebo Bangah. Dan ini pendekar Gagak Seta."

Gagak Handaka lantas saja membungkuk hormat terhadap mereka. Sedianya ia hendak berbicara, tetapi Adipati Surengpati telah berkata lagi. "Gurumu telah mencuri ilmu Witaradya dan Kala Lodra. Karena itu kami berdua merasa dirugikan."

"Mencuri?" sahut Gagak Handaka dan Ranggajaya hampir berbareng. Serentak mereka bersiaga menghadapi perkelahian yang menentukan.

Sangaji jadi bergelisah. la tahu, kedua pamannya pasti tak dapat lagi menguasai kesabarannya lagi manakala nama kehormatan gurunya difitnah demikian. Dia sendiri pun meskipun kini sudah dipilih menjadi menantunya—akan berani menentang pula, apabila gurunya dihina dan dituduh sebagai pencuri. Tetapi betapa pun juga, ia tak ingin melihat kedua pamannya bertempur melawan mertuanya. Maka dengan suara gemetar ia mencoba melerai. Mendadak Gagak Seta menarik lengan bajunya sambil berkata cukup terang.

"Sangaji! Tak usahlah engkau mencampuri urusan ini. Mertuamu sekalipun terdengarnya galak, tetapi tahu membatasi diri. Aku kenal dia. Meskipun terdengarnya menghina Kyai Kasan Kesambi, sebenarnya hanya bermaksud hendak menyalakan api marah pamanmu. Dengan begitu ia akan bisa mencoba kekuatan Paman dan kakek gurumu yang benar. Lihat sajalah! Sekiranya benar-benar mertuamu akan menghabisi kedua pamanmu, aku ada di sini. Meskipun belum tentu bisa menang, tetapi mengalahkan aku tidaklah begitu gampang."

Mendengar kata-kata Gagak Seta, secara tak langsung Gagak Handaka dan Ranggajaya tersadar. Karena itu, masih saja mereka bisa bersikap tetap hormat terhadap Adipati Surengpati. Sebaliknya Kebo Bangah yang menghendaki lain, terus saja ikut menimbrung.

"Hai, pendekar jembel! Gampang kau mengoceh seperti burung. Kau anggap apa aku ini? Masakan aku tinggal memeluk dada, melihat engkau banyak bertingkah terhadap saudara


Surengpati? Di sampingku masih ada Dewaresi dan anakku Titisari. Mereka pun takkan tinggal diam. Nah, genaplah pertandingan ini. Empat musuh empat. Kau mau bilang apa?"

Hebat ucapan Kebo Bangah ini. Didengar selintasan terasa mengancam juga. Namun Gagak Seta hanya tertawa panjang seolah-olah tak mengindahkan. Malahan dengan memanggut-manggut ia menjawab, "Boleh coba! Boleh coba!"

Dalam pada itu Gagak Handaka memperta-hankan diri.

"Meskipun tidaklah seagung Gusti Adipati, tetapi guruku tahu membedakan antara per-buatan layak dan buruk menurut ukuran-ukuran naluriah dan budi pekerti dalam pergaulan hidup. Masakan hendak mengalahkan kekuatan lawan saja, seseorang harus mencuri buku wasiatnya? Lagi pula apakah sih hebatnya ilmu sakti Witaradya dan Kala Lodra, sehingga Tuan yang agung sudi mendakwa guruku sebagai pencuri?"

"Apa kau bilang?" bentak Adipati Surengpati. "Kau anak kemarin sore berani menghina aku? Jika begitu jangan kau persalahkan aku. Hari ini, janganlah engkau mengharapkan pulang dengan selamat!"

"Seorang ksatria takkan melarikan diri dari gelanggang. Tentang mati dan hidup adalah takdir belaka," sahut Gagak Handaka dengan gagah. Kemudian berkata memerintah kepada Ranggajaya, "Minggirlah! Janganlah kau berkutik dari tempatmu. Aku akan melawannya sendiri dengan tenagaku sendiri."

Gagak Handaka adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang tertua dan berwibawa. Setiap katanya merupakan keputusan yang tak boleh diganggu-gugat. Maka Ranggajaya segera meloncat ke tepi dengan tak membantah.

"Awas!" teriak Adipati Surengpati dan terus saja melompat sambil menyerang.

Tubuh Gagak Handaka bergoyangan ke kiri ke kanan. Dan dengan suatu gerakan sederhana, ia berhasil membebaskan diri dari serangan Adipati Surengpati yang sebat luar biasa.

Adipati Surengpati heran, mengapa Gagak Handaka tak melakukan pembalasan selagi membebaskan diri, ia pun heran pula, cara Gagak Handaka mengelakkan serangan. Seketika itu juga, sadarlah dia. Cepat ia meloncat mundur sambil berkata nyaring. "Aku Adipati Surengpati, masakan kaulayani seorang diri? Panggil adikmu seperguruan!"

"Aku Gagak Handaka mempunyai alasanku sendiri."

"Bagus! Jangan menyesal!" Adipati Surengpati menyahut dengan cepat. Terus saja ia mengulurkan tangan dan menyambar dengan dahsyat.

Gagak Handaka mundur jumpalitan dan terus bergulingan di atas tanah. Keruan saja Sangaji terperanjat luar biasa. Gugup ia berteriak, "Kanjeng Romo! Ampuni pamanku!"

Cepat ia menjejak tanah hendak maju, tapi lengannya kena disambar Gagak Seta. "Hai! Jangan berlaku tolol! Lihat gerakan pamanmu!"

Oleh sanggahan itu dengan tak sengaja Sangaji melepaskan penglihatannya kepada Gagak Handaka. Waktu itu Gagak Handaka terus bergulingan dengan tiada hentinya. Lincahnya bukan main. Tetapi Adipati Surengpati bukan pula seorang anak kecil. Dengan sebat ia terus memburu, memukul dan menendang. Meskipun demikian semua serangannya kena dielakkan berturut-turut.

"Perhatikan gerak-gerik pamanmu!" bisik Gagak Seta kepada Sangaji.

Sangaji terus memperhatikan dengan cermat. Kini insyaflah Sangaji, bahwa cara berguling pamannya merupakan suatu ilmu pemunah yang dahsyat dan licin tak terkira. Itulah suatu ilmu pemunah tingkat tinggi yang gayanya mengingatkan kepada cara eyang gurunya tatkala berputar-putar di udara selagi hendak mulai mencoret suatu jurus ciptaan-nya. Teringat akan hal itu, terus saja ia mengamat-amati dengan seksama. Tatkala melihat bagian pelipatan diri yang indah, tak terasa terloncatlah mulutnya. "Bagus!"


Adipati Surengpati benar-benar menjadi penasaran, karena semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah. Hatinya kian panas dan menyerang kian hebat. Kesudahannya luar biasa mendebarkan hati.

Tubuh Gagak Handaka luput dari semua pukulan, namun setiap kali menghindari lengan bajunya terobek juga. Bahkan rambutnya pun seperti kena terpangkas. Lambat laun insyaflah dia, bahwa serangan Adipati Surengpati tak boleh dianggap remeh. Maka dengan serentak ia meloncat tinggi dan melesat jauh di depan. Kemudian berdiri dengan gagah sambil mempersiagakan serangan pembalasan.

Bagi Ranggajaya cukuplah terang, bahwa Gagak Handaka kini mempersatukan segenap tenaganya hendak menggunakan ilmu sakti Pancawara tanpa ragu-ragu lagi. Hatinya yang tegang, agak lega juga.

Dalam pada itu Adipati Surengpati telah memburu dengan cepat. Serentak ia memukulkan telapak tangannya dan Gagak Handaka menyongsongnya dengan berani.

"Hai! Kau berani menyambut?" Adipati Surengpati berteriak heran. Dan tatkala merasakan betapa Gagak Handaka memiliki tenaga yang hampir seimbang, ia terkejut dan kagum luar biasa. Dasar hatinya mau menang sendiri, maka sekaligus ia memberondong dengan tiga pukulan sakti sekaligus.

"Sang Adipati! Pukulanmu luar biasa kuat-nya. Tetapi masakan aku harus menyerah mentah-mentah belaka?" terdengar Gagak Handaka bergumam.

Kemudian ia menyambut serangan Adipati Surengpati dengan ilmu sakti Pancawara sambil tangan kirinya menyambar ikat kepala.

Dalam hal mengadu tenaga—meskipun Gagak Handaka memiliki ilmu sakti Pancawara—masih kalah setingkat dan kalah ulet pula daripada Adipati Surengpati. Maka itu, begitu tangan kirinya menyambar ikat kepala, tubuhnya kena terdorong mundur beberapa langkah. Tetapi ia sangat sebat pula. Ikat kepala Adipati Surengpati masih saja kena dijambretnya.

Adipati Surengpati melompat maju. Karena sangat murka, ia menyerang dengan kedua tangannya sambil berseru. "Gunakanlah kedua tanganmu berbareng! Kau takkan tahan!"

Peringatan Adipati Surengpati itu menyadarkan Gagak Handaka. Dengan sebat ia membuang ikat kepala rampasannya, kemudian menghimpun semua tenaganya. Dan dengan kedua tangannya ia menyambut serangan gempuran Adipati Surengpati yang dahsyat luar biasa. Dan begitu dua tenaga itu beradu, tubuh Gagak Handaka berkisar dari tempatnya. Kemudian jatuh berjongkok dengan memejamkan mata.

Melihat Gagak Handaka terluka, Adipati Surengpati tak meneruskan serangannya lagi. Sebagai seorang pendekar yang merasa diri bagai malaikat, engganlah hatinya hendak menghajar lawan selagi terluka. Karena itu dia meloncat mundur selangkah dan menunggu dengan berdiri tegak.

Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara berkeruyuk dalam rongga dada Gagak Handaka.
Dan dari mulutnya terloncatlah darah segar. Seketika itu juga wajahnya menjadi pucat lesi.

Semua yang menyaksikan pertempuran itu heran dan tercengang-cengang. Terang sekali Gagak Handaka tidak bakal menang tetapi belum tentu bisa dikalahkan dengan mudah. Apa sebab dia tak tahan menghadapi pukulan Adipati Surengpati?

Setelah memuntahkan darah, Gagak Handaka bangkit dengan perlahan-lahan. Kemudian berkata, "Aku mencoba bertahan dengan ilmu sakti ajaran guruku. Sayang sekali, aku tak diperkenankan membalas menyerang. Seumpama aku sampai hati melanggar perintah Guru dengan membalas menyerang dan minta bantuan adik seperguruanku, pastilah engkau takkan sanggup melawan kehebatan ilmu sakti Pancawara. Kau percaya tidak?"

Adipati Surengpati membungkam dalam hatinya ia percaya akan keterangan Gagak Handaka.


Tadi ia merasakan betapa teguh benteng pertahanannya. Seumpama Gagak Handaka membalas menyerang—meskipun belum tentu bisa merobohkan—tetapi apabila dibantu adik seperguruannya, rasanya tenaganya takkan kuasa melawan. Karena itu hatinya tak enak sendiri. Serentak ia merogoh sebungkus ramuan obat dari dalam sakunya. Kemudian diangsurkan kepada Gagak Handaka sambil berkata setengah membujuk. "Minumlah! Inilah obat buatanku sendiri. Dahulu pernah pula menolong nyawa gurumu. Sekarang kuakui dengan hati bersih, bahwa gurumu memang seorang pendekar sakti tak terlawan pada zaman ini. Meskipun belum tentu aku bisa menang, namun akan menguras habis semua daya ingatanku untuk mempertahankan diri. Pergilah dengan selamat dan sampaikan salamku."

Gagak Handaka memanggut sambil menerima sebungkus obat itu. Segera ia menelannya dan kemudian menyalurkan napasnya. Di sampingnya berdiri tokoh sakti Gagak Seta dan adik seperguruannya sendiri. Dengan pertolongan mereka, darah yang bergolak dalam dadanya telah dapat dikuasai.

Sangaji kemudian menggendongnya dan membawanya berteduh. Pemuda itu dengan hati tak keruan, mengurut-urut punggung dan pinggangnya. Maksudnya hendak menolong melancarkan jalan darahnya. Meskipun dia bukan tabib, tapi dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru. Maka tak mengherankan, setelah mengatur pernapasan dan jalan darah, sebentar saja Gagak Handaka telah pulih kembali.

"Saudara Surengpati!" tiba-tiba Kebo Bangah berkata, "Kau rasakan sendiri kini, betapa makin hebat si tua bangka itu. Melawan muridnya saja, kau nampak kuwalahan. Apakah yang hendak kaukatakan?"

Adipati Surengpati merenungi ucapan Kebo Bangah. Mendadak ia tersenyum wajar dan menjawab, "Saudara Kebo Bangah! Benar-benar aku membuatmu kecewa ilmu kepandaian memang maju terus di luar pengamatan manusia. Seumpama di kemudian hari aku harus mengakui keunggulan Kyai Kasan Kesambi, apakah yang harus kusesalkan?"

"Bagus! Bagus! Itulah ucapan seorang ksatria sejati," sambung Gagak Seta dengan tertawa lebar. Kemudian kepada Kebo Bangah, "Kau Kebo bangkotan, belajarlah sepuluh dua-puluh tahun lagi. Apakah jeleknya?"

Mendengar ujar Gagak Seta, sebenarnya hati Kebo Bangah mendongkol bukan main. Tetapi dasar licin, wajahnya bebas dari sesuatu kesan. Tetap saja ia memancarkan kesan gembira dan segar. Hanya saja, tangannya terus mengibas. Lalu berkata kepada Adipati Surengpati.

"Marilah kita berpisahan sampai di sini saja. Sekiranya Pulau Karimunjawa cukup lapang, aku ingin mengunjungi barang tiga empat bulan. Di sana kita berdua bertempur menguji sampai di mana kemajuan ilmu kepandaian kita masing-masing."

"Eh, apakah kalian berdua akan bersekongkol untuk menciptakan semacam ilmu pemusnah ciptaan Kyai Kasan Kesambi?" potong Gagak Seta.

"Saudara Surengpati hendak mendidik kemenakanku menjadi seorang pendekar. Di waktu senggang, bukankah lebih baik aku mencoba-coba kepandaian Tuan rumah?" sahut Kebo Bangah penasaran. "Kau pendekar jembel, urusilah dirimu sendiri!"

"Baik! Segera aku akan mencari seorang pengemis perempuan. Siapa tahu, dia mau kukawini. Dengan begitu, bukankah diriku bakal ada yang mengurus?"

Titisari yang selama itu berdiam diri terus saja menimbrung. "Paman Gagak Seta! Di antara semua pembicaraan ini, cita-citamulah yang terbaik. Biarlah kelak aku mengajari bibi memasak resep masakan Tionghoa, Jawa, Madura, Bali dan Eropa..."

"Huuuu... siapa kesudian? Lebih baik ajarilah dia memasak cacing, jangkrik dan belalang. Dengan begitu tak usah aku bersusah payah mencuri ayam, itik, kambing atau lembu..."

Titisari tertawa geli mendengar ujar Gagak Seta. Sang Dewaresi mengerling kepadanya. Begitu melihat keserian wajahnya dan kulitnya yang kuning bersih darahnya berdesir jungkir balik.


"Saudara Gagak Seta!" tiba-tiba Adipati Surengpati berkata. "Marilah kau ku undang datang ke Karimunjawa." .

"Terima kasih, saudara Surengpati. Aku si jembel ini merasa memperoleh suatu kehormatan besar. Tetapi kawan-kawanku saat ini tersebar di seluruh persada bumi. Ibukota kerajaan lagi mengalami kekeruhan. Kompeni Belanda kini mengadakan pengawasan keras terhadap istana. Aku dan kawan-kawanku ingin mengemis ke tangsi itu. Siapa tahu aku memperoleh itik, ayam, dan roti Belanda," sahut Gagak Seta.

"Saudara Gagak Seta! Engkau sungguh seorang ksatria sejati. Seumur hidupku tak pernah kau melupakan perjuangan bangsa. Aku kagum sekali..."

"Kau salah saudara Surengpati. Coba, andaikata aku mempunyai seorang puteri secantik Titisari, masakan aku sudi keluyuran tak keruan juntrungnya..."

Semua orang lantas saja melemparkan pandangannya kepada Titisari. Pada waktu itu, kesan tubuh Titisari seperti bunga bersemi, la nampak segar bugar, menggairahkan dan jelita.

Mendadak saja, Adipati Surengpati membentak Sangaji. "Hai bocah tolol! Kau sudah bisa memikat hatiku dengan jurus-jurus pemunah ilmu sakti Witaradya. Tetapi janganlah engkau tergesa-gesa merasa diri sudah lulus. Aku telah mencoba kekuatan pamanmu. Sama sekali tak kutemukan jurus-jurus itu. Karena itu, sudahlah waktunya engkau berbicara terus terang. Katakan kini, dari mana engkau mengetahui kunci ilmu Witaradya? Apakah engkau telah memperoleh bagian kitab dari muridku Pringgasakti, kemudian kau perbincangkan dengan kakek gurumu ..."

Sangaji kaget setengah mati, mendengar tuduhan Adipati Surengpati. Mau ia menjawab, tetapi kerongkongannya seperti tersumbat.

"Hai nanti dulu!" Gagak Seta berkata, "kau memang seorang pendekar yang bisa berubah dari hijau ke merah. Ada apa sih engkau begini angin-anginan? Apakah alasanmu engkau menuduh bakal menantumu yang bukan-bukan. Menantumu adalah seorang tolol. Hatinya sederhana. Apa yang diucapkan adalah kata hatinya. Masakan dia hendak membohongi bakal mertuanya?"

Tetapi Adipati Surengpati tiada mengindahkan. Tetap saja ia memandang Sangaji dengan wajah bengis. "Bagian kitab Witaradya hilang dicuri Pringgasakti. Bukankah engkau telah mengabaikan hal itu kepada kakek gurumu? Bilang!"

Dengan memaksa diri, Sangaji menguasai rasa kagetnya. Lalu menjawab sulit, "Sama sekali aku tak tahu menahu tentang kitab itu. Waktu aku menghadap kakek guru, aku hanya mengabarkan tentang pusaka Bende Mataram dan Keris Kyai Tunggulmanik."

Tatkala itu, Ranggajaya yang sedang mem-bantu menyalurkan jalan darah Gagak Handaka berdiri dengan perlahan dan memandang Adipati Surengpati dengan tajam. Dahulu... semua murid Kyai Kasan Kesambi... melihat Sangaji sewaktu sibuk memahami ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, tatkala mereka hendak meninggalkan gunung. Mereka semua tahu, bahwa Sangaji memperoleh ilmu baru dari gurunya. Hanya saja mereka tak sempat lagi hendak ikut mempelajari. Kini, hati Ranggajaya luar biasa dengkinya terhadap Adipati Surengpati karena pendekar itu melukai kakak seperguruannya dengan cara demikian. Mendengar pendekar itu sedang menuduh Sangaji, sekaligus terbangkitlah rasa permusuhannya. Lantas saja berkata memotong kepada Sangaji. "Kenapa engkau berkata tak tahu menahu? Menurut pamanmu Bagus Kempong, engkau telah berhasil merampas bagian buku Witaradya dari tangan Pringgasakti. Syukur Adipati Surengpati seorang pendekar kelas wahid tak mengetahui hal itu. Mestinya engkau sebagai cucu murid Kyai Kasan Kesambi harus berkata terus terang, bahwa engkau telah memahami bagian kitab Witaradya yang kemudian disempurnakan oleh eyang gurumu. Bukankah berkata terus terang atau membohong, samalah halnya? Mulai saat ini, biar pun mertuamu sendiri akan tunduk padamu."

Mendengar   ujar    Ranggajaya,  Sangaji         pucat  lesi.    Dengan        tersekat-sekat          ia          mencoba

membantah. "Paman!... Kapan... kapan aku pernah berkata demikian?"

Ranggajaya melototkan matanya. "Pamanmu Bagus Kempong yang berkata. Bukan kau!"

Seperti diketahui, tatkala Wirapati datang ke padepokan Gunung Damar setelah merantau selama sepuluh tahun, ia melihat perubahan dalam diri Ranggajaya. Kakaknya seperguruan yang dahulu tak pandai berbicara, kini tangkas dalam suatu perdebatan. Karena itu, menghadapi Sangaji yang tak pandai berbicara tidaklah menemukan sesuatu kesulitan. Bahkan ia merasa lebih berwibawa. Maklumlah, tingkatannya samalah halnya dengan gurunya.

Pada waktu itu hati Sangaji kelabakan kehilangan pegangan. Sama sekali ia tak merasa bersintuan dengan kitab Witaradya. Kalau saja ia bisa memperlihatkan sesuatu ilmu kepandaian yang mengagumkan para pendekar, adalah semata-mata diperolehnya dari eyang gurunya. Apa sebab, paman gurunya bisa menguatkan tuduhan bakal mertuanya. Tapi dasar ia tak pandai berbicara, maka mulutnya makin terasa mengunci.

Sebaliknya Adipati Surengpati menjadi kalap. Ia percaya Ranggajaya berkata dengan sebenarnya. Lantas saja ia menyambar tangan Titisari. Setelah membungkuk hormat kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta, terus ia melesat seperti kilat. Sebentar saja bayangannya tiada nampak lagi.

Titisari terkejut kena tersambar tangannya. Ingin ia hendak berbicara, tetapi baru saja memperdengarkan suara, "Aji...!" tubuhnya telah terseret ayahnya. Bayangannya pun sebentar pula hilang dari pengamatan manusia.

Ranggajaya tertawa perlahan melalui dadanya. Tatkala itu, Gagak Handaka telah selesai menyalurkan jalan darah dan pernapasan. Semua pembicaraan antara Ranggajaya, Sangaji dan Adipati Surengpati didengarnya dengan jelas. Hanya saja, ia belum berani mencampuri karena waktu itu keadaan dirinya tidak mengizinkan. Dan begitu kesehatannya pulih kembali, terus saja ia berkata kepada Ranggajaya setengah menyesali.

"Ranggajaya! Apa sebab engkau berkata demikian?"

"Hm... dia boleh merasa diri seorang pendekar jempolan. Tapi nyatanya, masih bisa ia kukelabui," jawab Ranggajaya dingin.

Mendengar jawaban Ranggajaya, Gagak Seta heran bercampur kaget. Lantas saja ikut berbicara, "Jadi... Sangaji benar-benar tak tahu menahu tentang kitab Witaradya?"

"Memang dia tak tahu menahu," jawab Ranggajaya dengan hormat.

"Ah! Engkau merusak urusan besar! Biarlah aku berbicara kepadanya..." Gagak Seta terkejut. Terus saja ia melesat memburu Adipati Surengpati. Dalam hal mengadu lari, tak usahlah Gagak Seta merasa kalah daripada rekan-rekannya. Maka sebentar saja, tubuhnya telah lenyap pula dari penglihatan.

Setelah kedua pendekar itu pergi mening-galkan lapangan Kebo Bangah pun segera melanjutkan perjalanannya. Barisan tahuannya lantas saja berterbangan memenuhi angkasa. Sang Dewaresi berjalan di belakangnya, sedangkan para pengiring mengiringi dengan penuh hikmat. Empat orang penggembala tabuan tak ikut serta, karena lagi sibuk mengubur seorang dayang yang kena korban jarum emas majikannya sendiri.

"Anakku Sangaji!" kata Ranggajaya. "Kau tahu kini tabiat mertua pilihanmu. Kalau lagi kumat tabiatnya, dia bisa mengutungi anaknya sendiri. Tabiatnya kejam, bengis dan tak per-dulian. Apabila di kemudian hari ia sampai mengutungi lengan anaknya pastilah akan tambah tenar namanya."

Sangaji tersirap darahnya mendengar ucapan pamannya. Tak diketahui sendiri, tubuhnya menggigil. Dalam hati, ia percaya mertuanya bisa berbuat demikian. Alangkah akan hebat jadinya, apabila Titisari sampai kena dianiaya.
"Kau takut?" Ranggajaya tertawa. Mendadak saja ia memekik terkejut. Tangannya menuding kearah tempat Bagas Wilatikta tertawan. Ternyata orang itu tiada lagi di tempatnya.

Dengan langkah panjang, Ranggajaya dan Gagak Handaka memburu ke tempat itu. Mereka menjelajahkan matanya dan benar-benar tawanannya telah melarikan diri. Pastilah dia melarikan diri, sewaktu mereka lagi terlibat dalam pertikaian tadi. Peristiwa itu adalah wajar. Hanya yang mengherankan Bagas Wilatikta bisa membebaskan diri dari pukulan mereka berbareng. Sedangkan tadi, ia luka parah pula.

Sungguh berbahaya orang itu! Akhirnya Gagak Handaka berkata seperti menasehati diri sendiri. "Terang sekali, dia telah kita kunci pembuluh darahnya. Tapi dia bisa membebaskan begitu cepat... Ranggajaya! Kuperingatkan kepadamu seumpama engkau bersua dengan dia seorang diri, jangan sekali-kali engkau berani melawannya. Aku pun takkan mampu..."
Ranggajaya memanggut kecil. Dalam hatinya, ia mengakui keperkasaan Bagas Wilatikta. Tadi saja, andaikata tiada ber-sama-sama kakak seperguruannya tidakkan bakal bisa merobohkannya. Itu pun harus menggunakan ilmu sakti Pancawara yang sebenarnya tidak boleh dipergunakan dengan sembarangan.

"Orang itu juga yang dahulu melukai Paman Bagus Kempong," kata Sangaji yang diam-diam mengikuti dari belakang.
"Hai! Kau tak salah lihat!"



Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 25 MENENTUKAN PILIHAN"

Post a Comment