BENDE MATARAM JILID 24 ADU TENAGA SAKTI
KEBO
BANGAH - ADIPATI SURENGPATI dan Gagak Seta adalah jago-jago tua yang saling
mengenal kesaktian dan tabiat masing-masing. Kebo Bangah adalah seorang
pendekar yang kejam bengis, licin, licik dan berbisa. Dan Adipati Surengpati
seorang pen-dekar yang berkepala besar, angkuh, tegas, serba pandai dan tegas.
Sebaliknya Gagak Seta berhati polos, jujur dan
berwatak
ksatria sejati. Apa yang diucapkan cukup terang, karena hatinya selalu terbuka.
Meskipun demikian, kali ini Kebo Bangah yang licin bagaikan belut tak juga
pandai menebak mak-sud Gagak Seta, sampai ia merasa kelabakan menduga-duga.
"Hai
manusia jembel, cobalah bicara yang terang!" teriak Kebo Bangah.
Bunyi
tertawa Gagak Seta kian meninggi.
Kemudian
dengan menuding Sangaji, ia menghadap Adipati Surengpati.
"Saudara
Surengpati! Anak muda ini dan puterimu adalah muridku. Aku sudah berjanji
kepada mereka berdua, bahwa pada suatu saat aku akan memohon kelapangan hatimu
untuk mengawinkan. Karena itu, sekarang aku mohon padamu agar engkau meluluskan
perjodohan mereka."
Sangaji
dan Titisari terperanjat mendengar ucapan Gagak Seta. Mereka berdua sama sekali
tak dapat menebak sebelumnya. Sekalipun demikian, dalam hati mereka girang dan
bersyukur. Tak sengaja, mereka saling menoleh dan tersenyum seri. Sebaliknya,
Kebo Bangah, sang Dewaresi dan Adipati Surengpati merasa dirinya tertikam.
"Saudara
Gagak Seta!" Akhirnya Kebo Bangah berseru nyaring. "Puteri saudara
Surengpati sudah dijodohkan dengan keme-nakanku. Hari ini aku sengaja menemui
dia, untuk menetapkan hari perkawinan mereka."
"Saudara
Surengpati! Benarkah keterangan bandot Kebo Bangah ini?" Gagak Seta minta
penjelasan.
"Benar,"
sahut Adipati Surengpati. "Karena itu kuminta dengan sangat, agar saudara
jangan bergurau lagi denganku."
Mendengar
jawaban Adipati Surengpati, Gagak Seta mengerutkan kening. Ia menatap wajah
Adipati Surengpati, kemudian berkata dengan suara ditekankan.
"Siapa
yang berani bergurau denganmu. Hm... malahan kaulah yang sedang bergurau. Coba
di manakah pernah terjadi seorang puteri hendak dijodohkan dengan dua
orang." Ia berhenti mengesankan. Setelah itu ia menoleh kepada Kebo
Bangah. "Hai Kebo Bangah! Akulah orang perantara keluarga Sangaji. Kau
sendiri, manakah perantaramu? Masakan kau borong sendiri, sehingga tak
mengindahkan tata cara?"
Kebo
Bangah tak mengira akan didesak demikian. Seketika itu juga ia tercengang
sehingga tak mampu menjawab. Sejenak kemudian, barulah dia bisa berbicara.
"Dahulu
hari aku sudah mengirimkan perantara. Kini kudengar dari mulutnya bahwa saudara
Surengpati sudah menerima baik. Akupun begitu. Nah, apa perlu menggunakan
perantara lagi?"
"Bagus!
Begitulah alasanmu?" sahut Gagak Seta cepat.
"Tetapi
pernahkah engkau mengira, bahwa masih ada seorang di antara kamu berdua yang
tidak sudi menerima pinanganmu itu?"
"Siapa
dia?" Kebo Bangah membentak.
"Siapa
lagi, kalau bukan aku."
Kebo
Bangah terdiam. Dalam hatinya telah terasa, bahwa mau tak mau ia harus
bertem-pur melawan pendekar jembel itu. Maka pada saat itu juga, ia mulai sibuk
mencari siasat untuk melawannya.
Gagak
Seta tertawa lebar. Dengan tenang ia berkata, "Kemenakanmu itu berkelakuan
kurang bagus. Sama sekali tak cocok menjadi suami puteri saudara Surengpati.
Sayang, apabila sampai terjadi begitu. Andaikata engkau memaksa merangkapkan
jodoh, tetapi putri saudara Surengpati tak sudi, apakah yang hendak kaulakukan?
Baik, taruhlah dia kini kawin dengan kemenakanmu. Tapi masing-masing mempunyai
paham yang tak dapat dipadukan, apakah
engkau
bersedia menjadi pendamai terus-menerus sepanjang hidupmu? Hm hm! Inilah hebat,
kalau mereka berdua sama hidupnya harus berkelahi setiap kali bangun dari
tempat tidurnya."
Mendengar
kata-kata Gagak Seta, hati Adipati Surengpati tergerak. Diam-diam ia mencuri pandang
kepada anak perempuan-nya. Ternyata Titisari waktu itu tengah mena-tap wajah
Sangaji dengan pandang penuh cinta kasih. Mau tak mau ia mulai memper-hatikan
muka Sangaji. Alangkah menye-balkan! Bocah itu begitu tolol kesannya, meskipun
wajahnya tak boleh dikatakan buruk. Tapi bila dibandingkan dengan wajah sang
Dewaresi seperti bumi dan langit.
Adipati
Surengpati, adalah seorang pen-dekar keturunan bangsawan. Semenjak
turun-temurun, keluarganya terkenal pandai dan bijaksana. Dia sendiri berotak
terang, serba pandai, tinggi ilmu saktinya dan luas ilmu pengetahuannya. Anak
perempuannya pun seorang gadis yang encer otaknya.
Cerdas,
cekatan, pandai dan cantik jelita. Dengan sendirinya apabila dijajarkan dengan
Sangaji yang nampak ketolol-tololan dan kurang jelas keturunan siapa, ia
benar-benar tak rela. Karena itu, hatinya lebih condong kepada sang Dewaresi.
Pertama, anak keluar-ga pendekar. Kedua, bertampan nggariteng, Ketiga, otaknya
cerdas dan mempunyai kedudukan jelas. Tetapi, di dekatnya berdiri pendekar
jembel Gagak Seta yang tak boleh dibuat sembarangan. Karena itu, diam-diam, ia
mencari jalan keluarnya.
"Saudara
Kebo Bangah!" Akhirnya dia memanggil Kebo Bangah dengan menggu-nakan
kata-kata saudara. "Kemenakanmu tadi terluka. Baiklah kau rawat dahulu!
Urusan ini bisa dibicarakan lagi di kemudian hari."
Inilah
pernyataan yang sangat diharap-harapkan Kebo Bangah untuk menghindarkan suatu
pertempuran yang akan banyak membawa akibat. Maka lantas saja ia memanggil sang
Dewaresi dan dibawanya menepi. Dengan cekatan ia mencabut jarum emas dan
menyambung tulang rusuknya yang patah. Ternyata ia mempunyai kemahiran dalam
soal pertabiban. Dengan ramuan obatnya, segera ia membubuhi luka itu dan
dibebatnya dengan kencang. Sebentar saja, sang Dewaresi nampak seperti pulih
kembali. Pandang matanya segar bugar, penuh semangat.
Sejurus
kemudian, Adipati Surengpati berkata nyaring kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta.
"Anakku
ini seorang perempuan yang lemah, tapi nakalnya bukan main. Karena itu. tak
bakal dia sanggup merawat seorang suami seperti kalian harapkan. Namun di luar
dugaan, ternyata aku memperoleh dua la-maran sekaligus. Yang pertama dari
saudara Kebo Bangah. Yang kedua dari saudara Gagak Seta. Kejadian ini merupakan
suatu kehor-matan besar bagiku. Dan sebenarnya, anakku sudah kurestui agar
berjodoh dengan keme-nakan saudara Kebo Bangah. Tetapi lamaran saudara Gagak
Seta tak boleh kuabaikan pula.
Hm...
benar-benar aku menemui kesulitan. Meskipun demikian, aku mencoba meme-cahkan
sebaik-baiknya agar memperoleh suatu keputusan yang adil. Sebelumnya,
perkenankan aku minta pertimbangan penda-pat kalian berdua, bagaimana cara
menyelesaikan persoalan ini."
"Berkatalah!
Apa perlu berdansa kalimat tiada gunanya? Bukankah engkau tahu, bahwa otakku paling
tak senang mendengar ocehan yang tak keruan juntrungnya?" sahut Gagak
Seta. "Saudara Surengpati adalah seorang keturunan keluarga agung. Dalam
segala halnya pasti lebih mengenal tata cara yang santun daripadaku. Aku
bersedia tunduk kepada kehendakmu."
Adipati
Surengpati bersenyum. Berkata de-ngan sabar, "Sebenarnya aku tak boleh
meng-harap-harapkan yang bukan-bukan terhadap jodoh anakku. Tetapi sebagai
seorang ayah aku mengharapkan agar suami anakku kelak adalah manusia yang
benar-benar baik. Sang Dewaresi adalah kemenakan saudara Kebo Bangah. Dan
Sangaji adalah murid saudara Gagak Seta, kedua-duanya pasti memiliki ilmu
kepandaian yang tak boleh kuabaikan. Tapi untuk menentukan pilihan, bagiku amat
sukar. Kupikir begini saja, baikiah mereka berdua kita adu
ilmu
kepandaiannya. Apakah pendapat kalian?"
"Bagus!
Bagus!" seru Kebo Bangah girang. "Kepandaian apakah yang
kaumaksudkan?"
"Nanti
kuterangkan. Semua tiga syarat. Siapa di antara mereka berdua dapat memenangkan
tiga syarat ujianku, akan kuresmikan menjadi calon menantuku.
"Bagus!
Bagus!" Seru Kebo Bangah lagi. "Kau tahu sendiri, kemenakanku
terluka. Tidaklah mungkin kau uji dengan mengadu ilmu kepalan. Sekiranya engkau
memaksanya sebagai syarat utama, baiklah ditunda sebulan dua bulan lagi.
"Tentang
lukanya kemenakanmu, masakan aku tak tahu?" sahut Adipati.
Mendengar
kata-kata Adipati Surengpati, Gagak Seta curiga. Pikirnya, Kebo Bangah ini
adalah seorang berbisa yang kejam bengis dan licin. Dan Surengpati seorang
siluman dalam arti kata sebenarnya. Dia banyak akalnya, melebihi manusia
lumrah. Hm... kini dia mau main menguji segala. Kalau Sangaji sampai harus
diuji kepandaiannya mengenal ilmu sejarah, sastra, kebudayaannya, irama lagu
dan tetek bengek, pastilah dia gagal. Masakan dia bisa mengatasi kepandaian
anak Kebo Bangah. Ih! Nampaknya Surengpati berat sebelah. Baiklah aku mengambil
caraku sendiri... Dan setelah memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus
saja tertawa terbahak-bahak. Kemudian berkata nyaring berwibawa. "Saudara
Surengpati! Kita semua ini adalah keturunan tukang pukul dan mengadu kepalan.
Apa perlu mengadu kepandaian semacam murid-murid sekolah." Ia berhenti
mengesankan. Lalu menatap Kebo Bangah. "Kau bandotan Kebo Bangah. Katamu,
keme-nakanmu lagi terluka. Bagus! Tapi kau sendiri sehat walafiat. Karena itu,
marilah kita berdua bermain-main barang sebentar."
Tanpa
menunggu pertimbangan Kebo Bangah, Gagak Seta terus saja menyerang tiga kali
sekaligus. Sudah barang tentu Kebo Bangah kaget setengah mati. Tetapi dia
adalah seorang pendekar yang telah makan garam. Melihat serangan lawan, dengan
gesit ia mengelak.
Gagak
Seta segera meletakkan tongkatnya di atas tanah. Kemudian menyerang lagi
sam-bil membentak, "Kebo Bangah! Balaslah!"
Tiga
jurus ia menyerang dengan satu kali gerak. Kebo Bangah mundur sambil menge-lak,
la enggan menangkis atau membalas me-nyerang. Dalam hatinya, ia enggan
bertempur melawan musuh lamanya itu. Tetapi kerena terus menerus diserang
sampai tujuh kali berturut-turut, tak dikehendaki sendiri tangannya mulai
mengangkis tujuh kali dan membalas menyerang tujuh kali pula.
"Bagus!"
seru Adipati Surengpati gembira. Ia tahu akibatnya, apabila dua orang tokoh
sakti itu sampai mengadu kepandaian. Namun ia tak sudi melerai atau menengahi.
Malahan ia mengharapkan mereka berdua bertempur mengadu kesaktian. Maklumlah,
dua puluh tahun berselang ia pernah menyaksikan ilmu kepandaian mereka. Kini,
ilmu kepandaiannya pasti sudah jauh majunya. Bagaimana kemajuan mereka itu,
ingin sekali ia menyaksikan dan menilainya.
Gagak
Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti pada zaman itu. Masing-masing
mempunyai keunggulannya yang sama kuat dan sama tangguh. Dua puluh tahun yang
lalu, mereka pernah mengadu kesaktian. Kedua-duanya tiada yang kalah tiada yang
menang. Kemudian mereka menekuni dan mendalami ilmunya masing-masing selama dua
puluh tahun. Tujuan mereka hendak merebut kemenangan dengan mengalahkan ilmu
lawannya. Maka kini, mereka saling bertemu kembali. Ilmu kepandaian mereka
masing-masing jauh berbeda dengan dua puluh tahun yang lalu.
Karena
pertempuran mereka sebentar'saja sudah berlangsung dengan cepat dan tepat
meskipun baru memasuki babak gertakan belaka untuk mengetahui kelemahan dan
kekuatan lawan.
Sangaji
mencurahkan segenap perhatiannya. Dilihatnya gerakan-gerakan mereka sangat
lincah. Yang sangat menggirangkan hatinya ialah, bahwa jurus-jurus perubahannya
seperti
mirip
ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya adalah suatu gabungan intisari
ilmu kepandaiannya sejati. Tiap jurusnya mengandung perhitungan-perhitungan
tertentu. Ukurannya ialah apabila mengahadapi lawan setangguh tokoh-tokoh
sakti. Tiap gerakannya berdasarkan ilmu tenaga PANCAWARA yang dahsyat tak
terlawan. Kadang-kadang cepat gesit angin. Kadang-kadang lamban seperti tegak
gunung. Maka tanpa disadari sendiri seluruh tubuhnya seperti gatal.
Dengan
cepat, kedua jago tua itu sudah bertempur melampaui lima ratus jurus.
Masing-masing kagum dan mengagumi ilmu kepandaian lawan.
Adipati
Surengpati yang menonton ikut kagum pula. Tak terasa ia menghela napas dalam.
Katanya di dalam hati, dua puluh tahun lamanya aku mengeram di sebuah pulau
jauh dari daratan. Selama itu aku berusaha menekuni dan mendalami ilmuku agar
di kemudian hari aku bisa menjagoi semua tokoh sakti. Tak tahunya ilmu
kepandaian si bisa Kebo Bangah dan si jembel Gagak Seta begini hebat.
Sang
Dewaresi dan Titisari diam-diam ikut berlomba dan menjagoi jagonya
masing-ma-sing. Sang Dewaresi sudah barang tentu mengharapkan kemenangan
pamannya. Sebaliknya, Titisari menjagoi Gagak Seta. Sebab pendekar sakti itu,
kecuali menjadi gurunya adalah bintang penolongnya pula. Tapi baik sang
Dewaresi maupun Titisari tak mengetahui tinggi rendahnya ilmu kepandaian
mereka, sehingga tak tahu cara menilainya. Maklumlah, ilmu kepandaian mereka
jauh berada di bawahnya.
Suatu
kali Titisari mengerling ke samping mencari kesan Sangaji. la heran, tatkala
meli-hat pemuda itu bergerak-gerak seperti sedang menghafalkan jurus ilmu
tempur. Kaki dan tangannya bergerak-gerak seperti sedang menari dan raut
mukanya tegang luar biasa. Pemuda itu seperti terlibat dalam arus kegirangan.
"Aji!"
seru Titisari perlahan. Sangaji tak menyahut. Karena itu rasa herannya, berubah
menjadi rasa cemas. Dengan penuh perhatian ia mulai mengamat-amati. Ternyata
Sangaji benar-benar sedang mengingat-ingat suatu ilmu kepandaian tinggi.
Gerak-geriknya, sesuai benar dengan gerak-gerik kedua jago yang sedang
bertempur itu.
Dalam
pada itu, setelah melampaui kurang lebih tujuh ratus jurus, gerak-gerik kedua
jago itu jadi berubah. Mereka kini tidak bergerak selincah tadi. Tapi makin
lama makin lamban. Kadang-kadang mereka bergerak ogah-ogahan. Kemudian
menyerang dengan tiba-tiba setelah dipikirkan masak-masak. Anehnya, kadang kala
setelah saling bergebrak mereka duduk bersila mengatur napas. Kemudian bangkit
kembali dan menyerang dengan dahsyat. Kesannya kini berubah pula. Kala
mendekati jurus keseribu, mereka bertempur seolah-olah sedang bermain-main,
tetapi wajahnya tegang luar biasa.
Tak
terasa matahari mulai menebarkan cahayanya di seluruh bumi. Angin pegu-nungan
meniup sejuk menyegarkan jasmani. Adipati Surengpati berdiri tegak mengawasi
pertempuran itu. Wajahnya ikut tegang juga. Dahinya berkerenyit seakan-akan
sedang memecahkah suatu soal yang bukan mudah diselesaikan.
Titisari
mengamat-amati sikap ayahnya yang luar biasa itu. Selama hidupnya belum pernah
ia melihat ayahnya bersikap setegang itu. Tak terasa ia melemparkan pandang
kepada yang mengadu kesaktian.
Mendadak
saja ia melihat sang Dewaresi yang terkesan tenang luar biasa. Pemuda itu
seolah-olah yakin benar, bahwa pamannya akan memperoleh kemenangan mutlak.
Maklumlah, ilmu kepandaiannya masih jauh berada di bawah ilmu kepandaian kedua
tokoh tersebut, sehingga tak dapat memperoleh penilaian sebenarnya.
Selagi
Titisari merenungi sang Dewaresi, ia mendengar Sangaji bersorak memuji. Sang
Dewaresi kaget.
"Hai,
bocah tolol! Kau tahu apa," bentaknya mendengar Sangaji bersorak memuji?
"Lebih baik
tutuplah
mulutmu."
Titisari
memuja Sangaji sebagai dewanya. Meskipun kerap kali ia menyebutnya dengan
istilah tolol, tapi ia tak rela pemuda pujaannya dipanggil si tolol oleh orang
lain. Maka terus saja dia mendamprat.
"Kaupun
bukankah jauh lebih tolol dari dia? Coba kau mengerti tentang mereka? Nah,
sumbatlah mulutmu! Kalau kau tak betah, enyahlah dari sini dan biarkan kami
sendirian."
Didamprat
demikian, sang Dewaresi tak menjadi sakit hati. Malahan dia terus tertawa
nyaring. Katanya memberi keterangan, "Nona, janganlah salah paham.
Maksudku, anak itu bergerak-gerak begitu tolol. Umurnya masih muda belia.
Bagaimana dia bisa mengetahui kepandaian pamanku?"
"Hm!
Engkau bukan dia. Dan dia bukan engkau. Bagaimana engkau mengetahui, bahwa dia
mengerti tentang ilmu kepandaian pamanmu?" sahut Titisari cekatan.
Selagi
sang Dewaresi dan Titisari berselisih, Adipati Surengpati terus mencurahkan
seluruh perhatiannya kepada kedua sahabatnya yang sedang bertempur mati-matian.
Sama sekali ia tak menggubris perselisihan itu. Sangaji sendiri demikian juga.
Dengan penuh perhatian ia mengamat-amati gerakan-gerakan Gagak Seta dan Kebo
Bangah.
Ternyata
gerakan kedua tokoh sakti itu makin lama makin lambat. Kini mereka tak memukul
langsung tetapi memukul-mukul udara yang berada di sekitarnya. Gagak Seta
tiba-tiba menyentilkan tangan ke depan hidungnya. Dan buru-buru Kebo Bangah
menangkis dengan mengibaskan tangan melintang udara. Setelah itu, mereka
berjongkok dan berpikir keras. Sejenak kemu-dian, kedua-duanya bangkit sambil
berseru dan pertempuran sengit terjadi lagi.
"Bagus!
bagus!" Teriak Sangaji gembira. Sesaat kemudian, Gagak seta dan Kebo
Bangah terpisah lagi. Kembali lagi mereka mengasah pikiran. Terang sudah,
masing-masing telah mengenal ilmu simpananya. Karena itu, tak berani mereka
bertempur sembrono. Setiap kali akan bergerak, selalu dipikirkan dahulu
Masak-masak. Dua puluh tahun yang lalu mereka bertempur seperti Pagi hari itu.
Masing-masing sibuk menduga-duga ilmu kepandaian lawanya. Kemudian mereka
berpisah dan mengolah ilmu kepandaianya lagi dengan diam-diam. Selama itu
mereka tak pernah bertemu. Dengan demikian tak menge-tahui pula sampai di mana
tinggi rendahnya ilmu masing-masing. Kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh dari
hasil ketekunannya tak diketahuinya pula. Kini ternyata, bahwa keadaan mereka
samalah gelapnya seperti dua puluh tahun yang lalu. Masing-masing merasa kagum,
was-was, hati-hati. Itulah sebabnya, mereka terpaksa mengambil waktu terlalu
panjang. Tatkala matahari telah sepeng-galah tingginya, belum juga mereka
memperoleh kepastian. Yang sangat beruntung dalam hal ini, ialah
Sangaji.
Pemuda ini telah mengantongi dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati. Kemajuan yang
diperolehnya adalah dari hasil ketekunannya sendiri. Kini ia dapat menyaksikan
betapa gurunya menggunakan ilmu sakti tersebut. Sudah barang tentu ia
memperoleh kemajuan sangat berharga. Kecuali itu, dengan tak sengaja ia
mengantongi ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir. Meskipun belum
mewujudkan ilmu Kyai Kasan Kesambi yang khas, tapi ilmu ciptaan itu meliputi
sari-sari ilmu pendekar sakti yang utama. Jurus-jurusnya mengandung
ungkapan-ungkapan tenaga sakti jasmaniah. Dan diluar dugaan, hampir mirip gerak
gerik ilmu Kebo Bangah. Pemuda itu tak mengetahui, bahwa Kebo bangah adalah
lawan Kyai Kasan Kesambi yang utama. Karena itu ciptaan Kyai Kasan Kesambi ditujukan
untuk memunahkan ilmu kepandaian pendekar tersebut. Dengan meli-hat gerak gerik
pendekar Kebo Bangah, diam-diam Sangaji telah memperoleh tambahan-tambahannya
sebagai pelengkapya. Kini ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi tidak hanya berjumlah
72 jurus, tapi sekaligus menjadi 325 jurus. Bisa dibayangkan betapa untung
Sangaji menyaksikan perkelahian mereka itu. Titisari selama itu terus
mengamat-amati gerak gerik Sangaji dengan penuh keheranan. Pikirnya, baru satu
bulan aku berpisah. Tapi ilmunya begitu maju pesat. Apakah dia men-dapat ilmu
dari malaikat?
Memperoleh
pikiran demikian, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Namun hatinya sangsi.
Masakan di dunia ini pernah ada seorang bertemu dengan malaikat. Karena itu,
hatinya yang tadi merasa bersyukur berubah menjadi was-was. Teringat akan daya
saksi ilmu jogo-jago tua ia khawatir Sangaji kena pengaruhnya, sehingga
bergerak dengan tak sadar. Maka ia mendekati dengari hati-hati.
Tatkala
itu, Sangadji tengah menirukan gerakan Kebo Bangah. Getah Dewadaru yang berada
di dalam tubuhnya bergejolak hebat. Inilah suatu kejadian yang tak pernah
dipikirkan sebelumnya. Barangkali Gagak Setapun tak pernah menyangka pula.
Maklumlah, pemuda itu sendiri tak mengetahui bahwa ilmu ciptaan Kyai Kasan
Kesambi adalah lawan ilmu Kebo Bangah. Dengan sendirinya Kebo Bangah merupakan
ilmu yang bertentangan. Oleh pertentangan sifat itu, sekaligus getah sakti
Dewadaru bergolak sangat hebat seperti peristiwa pertentangannya antara ilmu
sakti Kumayan Jati dan ilmu sakti Bayu Sejati.
Demikianlah
pemuda itu berputar dan menyerang sambil berjongkok. Nampaknya gaya serangan
itu lumrah belaka. Tapi sebe-narnya telah diliputi tenaga tekanan getah sakti
Dewadaru. Maka, sewaktu tangan Titisari hendak meraihnya, tiba-tiba kena
terpental ke udara. Dan kabur seperti layang-layang putus. Keruan saja Sangadji
terkejut bukan kepalang. Tanpa berpikir lagi, terus ia menjejak tanah dan
melesat menyusul. Dengan menggunakan ilmu ajaran Wirapati, ia menangkap
pinggang Titisari yang langsing menggiurkan. Kemudian dengan gaya indah, ia
turun di atas batu seolah-olah berpeluk-pelukan.
"Aji!"
Bisik gadis nakal itu," cobalah beru-lang begitu. Senang aku kaupentalkan
ke udara dan kau sambar pinggangku. Sewaktu kau peluk turun di atas batu,
nyaman benar rasanya."
"Hm."
dengus Sangaji pendek. Terus saja berputar mengamat-amati kedua jago tua yang
sedang bertempur makin seru. Dalam hatinya ia heran atas tenaganya sendiri yang
tiba-tiba bisa melontarkan suatu arus. Sama sekali tak di ketahui, bahwa hal
itu terjadi karena pergolakan getah sakti Dewadaru yang kena ditarik dan di
lontarkan jurus-jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi karena dia sedang
menirukan jurus ilmu Kebo Bangah yang justru menjadi lawannya utama.
Dalam
pada itu, di kalangan terjadi suatu perubahan. Kedua jago kini tidak lagi
menggunakan kepalan dan tendangan. Mereka berdiri tegak dengan berdiam diri.
Gagak Seta nampak menggurit-gurit suatu corat-coret di udara dan buru-buru Kebo
Bangah berjongkok. Kemudian meniup-niup keras seolah-olah sedang membuyarkan
corat-coret Gagak Seta.
Melihat
cara mereka bertempur, Titisari geli sampai tertawa. Sebaliknya, Sangaji jadi
gem-bira karena tiba-tiba saja, teringatlah dia kepada Kyai Kasan Kesambi
sewaktu menulis-nulis huruf tertentu di udara. Kini tahulah dia, bahwa ilmu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah suatu ilmu murahan. Buktinya, ilmu semacam
demikian baru terlihat setelah kedua jago itu mengadu kepalan dua ribu jurus
lebih.
"Aji!
Mereka lagi bermaksud apa?" bisik Titisari minta keterangan.
"Aku
pernah mengenal ilmu sakti demikian. Tapi bagaimana mestinya, tahulah
aku," sahut Sangaji setelah menimbang nimbang sebentar. "Pernah aku
menirukan dan menghafalkah jurus-jurus ilmu demikian, tatkala aku secara
kebetulan melihat Eyang Guru mencorat coret dengan jari di udara..."
Titisari
mencoba mengerti. Mendadak saja ia melihat Kebo Bangah menyerudukkan kepalanya
ke tanah. Kemudian bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan seperti santri lagi
bertahlilan. Keruan saja, penglihatan demikian bagi Titisari dianggapnya sangat
lucu sampai ia tertawa-tawa geli sambil memekik. "Aji! Aji! Lihat! Dia
seperti babi lagi menggrogoti ketela. Waktu itu, sang Dewaresi telah agak lama
mengamat-amati mereka berdua. Melihat betapa Titisari begitu mesra terhadap
Sangaji, hatinya seperti tergodok. Rasa cemburunya meledak tak tertahankan
lagi. Kalau menuruti kata hati, ingin ia menerkam Sangaji selagi anak muda itu
lengah. Tapi waktu hendak bergerak, tulang rusuk dan dadanya sakit bukan
kepalang. Dan tatkala
mendengar,
Titisari menyebut tingkah laku pamannya sebagai babi lagi menggerogoti ketela,
hatinya panas sekali. Kini, tak sanggup lagi ia menguasai diri. Maka diam-diam
ia menggengam segebung jarum emas. Seperti diketahui, sang Dewaresi adalah
seorang pendekar tak sem-barangan. Sewaktu di pendapa Kadipaten Pekalongan,
Sangaji pernah menyaksikan kepandaiannya menepuk sesuatu yang melayang senjata
bidik amat ampuh. Kepandaian itu di lakukan dalam waktu hati bebas dari rasa
segala. Tapi kini ia mengandung dendam maka bisa di bayangkan betapa akan hebat
jadinya.
Waktu
itu, ia telah mengarahkan senjata bidiknya ke punggung Sangadji yang tengah
melihat pertempuran. Pemuda itu sama sekali tak mengira akan menghadapi bahaya.
Dia sedang mengamat-amati gurunya melakukan perlawanan dengan ilmu sakti
Kumayan Jati tingkat tinggi. Untunglah, Titisari tak begitu terpusat
perhatiannya. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya, bahwa Gagak Seta dan
Kebo Bangah adalah dua orang sakti yang menempatkan tingkatan teratas pada
zaman itu. Saat itu sedang menghadapi detik-detik yang menentukan dan
membahayakan. Seumpama dia sadar akan hal itu, pastilah seluruh perhatiannya
akan terpancar penuh-penuh. Tapi karena tak mengetahui, perhatiannya
terbagi-bagi. Sewaktu matanya mengembara ke arah sana, secara kebetulan melihat
gerak-gerik sang Dewaresi yang mencurigakan. Dasar otaknya cerdas dan berhati
cerdik, seketika itu juga dapat menebak gejala-gejalanya. Terus saja ia
menajamkan mata dan pendengaran. Dan apabila ia mendengar gerak tangan sang
Dewaresi, cepat ia berkisar melindungi pung-gung Sangadji.
Terhadap
Titisari, sang Dewaresi benar-benar tergila-gila. Jangan lagi bermaksud hendak
melukai, sedangkan kata-kata dan sikapnya diatur demikian rupa agar tetap
meresapkan kesan. Karena itu, begitu melihat Titisari berkisar melindungi
punggung Sangadji seakan-akan tidak di sengaja, membuat sang Dewaresi
membatalkan niatnya. Tapi hal itu, bukanlah berarti ia menggagalkan maksudnya
sama sekali. Cepat ia berkisar ke kanan. Untuk herannya, ia melihat Titisari
bergeser ke kanan juga Eh, apakah dia bermaksud melindungi anak tolol itu?
Pikirnya menebak-nebak. Selagi ia mencoba bergeser ke kanan. Titisari pun
bergeser lagi ke kanan, kini mendekati para dayang yang masih saja duduk
setengah lumpuh kena perbawa tenaga sakti kedua jago kelas wahid pada zaman
itu.
Bagus!
Jangan salahkan aku mengham-burkan jarum emasku. Seumpama engkau terluka
masakan Paman tak dapat mengobati. Bukankah Adipati Surengpati menyetujui aku
pula menjadi menantunya, damprat sang Dewaresi dalam hati. Dan cepat-cepat ia
bergeser ke kanan, kemudian ke kiri. Setelah itu kembali ke kanan dengan cepat
dan dibarengi membidikkan jarumnya.
Seketika
itu juga, di udara berkeredep puluhan jarum emas mengarah punggung Sangaji.
Titisari terkesiap. Dasar ia anak se-orang siluman, maka tanpa banyak
pertimbangan lagi ia mendepak salah seorang dayang, sedangkan dirinya terus
melesat ke samping. Maka tak ampun lagi, dayang yang bernasib malang itu kena
hujan jarum emas majikannya sendiri. Sekali ia menjerit, kemudian roboh tak
berkutik.
Sangaji
terkejut mendengar jerit itu. Ia menoleh.Tiba-tiba melihat Titisari meloncat
menyerang sang Dewaresi.
“Titisari!
Kembali!" teriak Sangaji. Anak muda itu mengenal bahaya. Dua jago yang
sedang bertarung, kala itu mulai melontarkan arus tenaga dahsyat. Dan Titisari
yang belum mengetahui corak ilmu saktinya, dengan berani melintasi tanpa
bersiaga, waktu itu, ia melintasi arus tenaga Kebo Bangah yang sedang menyerang
Gagak Seta. Gugup, Adipati Surengpati berteriak. "Saudara Kebo Bangah! Kasihanilah
anakku!"
Sangaji
sendiri terus saja melompat menyusul. Ia sadar akan bahaya. Karena itu dia
bersiaga menghadapi, kemungkinan, tatkala bergerak menyusul kekasihnya.
Kesudahannya hebat bukan main.
Tiba-tiba
saja, Sangaji merasa kena dorong suatu arus dahsyat bagaikan gelombang pasang.
Tanpa
berpikir panjang lagi, terus ia memukul dengan salah satu jurus ilmu sakti
Kumayan Jati. Dengan jurus itu, ia bermaksud menolak tenaga sakti Kebo Bangah.
Sudah barang tentu, mau tak mau ia harus mengadu tenaga. Sekiranya ia
menghadapi tokoh sakti semacam Lumbung Amisena atau sang Dewaresi, cukuplah
tenaga bendungannya untuk melawan tenaga lawan. Tapi kali ini, dia terpaksa
menghadapi Kebo Bangah, seorang pendekar sakti kelas utama pada zaman itu
keruan saja, pertahanannya gugur, la kena terlontar terbalik di udara meskipun
demikian, masih sempat ia melemparkan Titisari ke samping. Kemudian dengan
berjumpalitan ia turun ke tanah dan cepat-cepat bersiaga lagi menghadapi
serangan ulangan.
Benar
saja. Kebo Bangah heran, melihat pemuda itu bisa menandingi serangan tenaganya
tanpa menanggung luka parah. Bahkan pemuda itu, terus saja berdiri tegak di
tanah seakan-akan lagi menantang. Sudah barang tentu, ia merasa tertusuk
kehormatannya. Cepat ia hendak melepaskan serangannya lagi. Hanya belum
dilontarkan Gagak Seta dan Adipati Surengpati berkelebat menghalang didepannya.
"Ut! Ladalah...!
Sungguh malu! Benar-benar
aku tak sempat
menarik seranganku kembali.
Apakah
Nona Titisari terluka?" Teriak Kebo Bangah.
Sebenarnya
Titisari kaget setengah mati, menghadapi saat-saat genting yang tak di-sadari
sebelumnya. Tapi begitu mendengar pertanyaan Kebo Bangah yang terdengar minta
maaf, ia memaksa diri tersenyum lebar.
"Ayahku
berada di sini masakan engkau dapat melukai aku?"
Tetapi
Adipati Surengpati sendiri, sesung-guhnya bercemas. Cepat ia menghampiri
putrinya dan memeriksa denyut jantung dan pergelangan tangan.
"Apakah
engkau merasakan sesuatu yang kurang beres dalam tubuhmu?" tanyanya agak
gugup. "Coba tariklah napas dan salurkan jalan darahmu!"
Titisari
menurut. Segera ia menarik napas dan menyalurkan jalan darahnya. Ia tak
merasakan sesuatu. Maka ia lantas saja tertawa riang sambil menggelengkan
kepala. Melihat sikap Titisari, Adipati Surengpati heran dan ingin memperoleh
keterangan sebab-musababnya. Tetapi hatinya tenteram. Rasa cemasnya hilang.
Katanya menasehati, "Kedua pamanmu lagi berlatih mengadu kepandaian.
Engkau jangan bertingkah tak keruan macam. Ilmu sakti pamanmu Kebo Bangah
bernama Kala Lodra. Kecuali hebat tenaganya, dibarengi ilmu mantram Aji Gineng.
Dahsyatnya bagai gugurnya sebuah gunung. Andaikata dia tak sayang padamu,
masakan nyawamu masih menancap dalam tubuhmu. Coba lihat belakangmu!"
Titisari
memutar tubuh dan ia terperanjat. Ternyata sebuah batu raksasa yang berada di
belakangnya, hancur berantakan seperti kena tumbuk bukit besi. Andaikata ia
tadi kena telak, teranglah sudah bahwa dirinya yang terdiri dari daging dan
darah akan hancur berantakan.
Istilah
KALA LODRA yang menjadi dasar ilmu sakti Kebo Bangah sebenarnya bukanlah
istilah yang benar-benar asing bagi pende-ngaran Titisari. Seperti di ketahui,
istilah Kala Lodra terkenal dalam cerita wayang purwa, sebagai tokoh dewa
raksasa yang sering menganugrahi kesaktian tak terlawan. Seperti terhadap Raja
Rahwana dan Raja Nirwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha, kesaktian ke dua
raja tersebut tak terlawan. Dewa sendiri tak kuasa menumbangkan. Sedangkan Aji
Gineng adalah anugerah Dewa Kala Lodra juga yang menjadi milik Raja
Nirwatakawaca.
Kedua
ilmu sakti tersebut demikian saktinya, sehingga namanya digunakan untuk nama
salah satu ilmu sakti yang paling disegani pada zaman itu, sebagai suatu
pemujaan.
Menurut
keterangan, seseorang bisa memperoleh ilmu sakti demikian, apabila mampu
bertapa sampai dua belas tahun lamanya dengan berdiam diri di atas pegunungan
yang terapit batu-batu raksasa. Orang itu harus mulai dengan berdiam diri.
Kemudian merendam dalam kubangan air sebatas bentuk tubuh. Setelah lewat
beberapa tahun lamanya, lalu menjepitkan diri di antara batu raksasa. Dan
setelah memperoleh wewenang, kedua batu tersebut
merupakan
kelinci percobaannya. Manakala dia dapat meledakkan kedua batu raksasa yang
menjepit dirinya, maka nyatalah sudah bahwa wewenang sakti itu telah meresap
dalam tubuhnya.
Tadi—sewaktu
Kebo Bangah melawan ilmu sakti Kumayan Jati Gagak Seta segera dia berdiam diri
untuk mengerahkan tenaga Kala Lodra. Kemudian mulailah dia bergerak-gerak.
Itulah suatu tanda, bahwa ia mulai menge-rahkan tenaga saktinya. Tenaga sakti
Kala Lodra bisa menerjang bagaikan gugur gunung dan bertahan bagaikan bukit.
Manakala kena serang, mendadak saja bisa membalas me-nyerang secara wajar.
Demikianlah, Sewaktu Kebo Bangah mulai menyerang Gagak Seta, mendadak saja
Titisari melompat melintasi dengan dibarengi pekik seorang dayang yang kena
jarum emas sang Dewa Resi.
Kebo
Bangah kaget setengah mati, karena sama sekali tiada niatnya hendak melukai
bakal menantunya. Apa lagi menewaskan. Maka cepat-cepat ia hendak menarik semua
tenaga saktinya. Tetapi kodrat ilmunya bisa menyerang dan berbalik menyerang
secara wajar, tanpa membutuhkan pengendalian. Karena itu, tak gampang-gampang
dia bisa menguasai sepenuhnya, sekalipun sadar bahwa Titisari lagi terancam
bahaya maut.
Ketika
mendengar suara Adipati Surengpati, ia terlebih-lebih terkejut lagi,
sekonyong-konyong ia merasakan suatu tumbukan tenaga yang membendung tenaga
sakti Kala Lodra. Itulah suatu kesempatan untuk menarik semua tenaganya.
Kemudian ia memandang tajam ke depan dan melihat Sangaji berdiri tegak sebagai
penolong jiwa Titisari. Diam-diam ia heran dan kagum. Lantas saja ia berkata
dalam hati, benar-benar hebat sijembel Gagak Seta ini. Dia berhasil mewariskan
ilmu Kumayan Jati kepada miridnya.
Adipati
Surengpati setelah tenteram kembali, segera mengamati-amati Sangaji. Ia pernah
menyaksikan dan mencoba tenaga pemuda itu. Maka berpikirlah dia dalam hati,
anak ini begini tak mengenal bahaya sampai-sampai berani melawan Kebo Bangah.
Sekiranya Kebo Bangah tak mengingat cegahanku, bukankah tulang belulang dan
urat-uratnya akan hancur berantakan?
Adipati
Surengpati belum mengetahui, bahwa Sangaji sekarang bukanlah Sangaji sewaktu
berada di sebelah utara Desa Gebang. Selain sudah berhasil menekuni dasar-dasar
ilmu sakti Kumayan Jati, telah mengantongi pula ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi
yang terakhir. Ia hanya mengetahui dan mengakui, bahwa Sangaji tadi yang
menolong jiwa putrinya. Karena itu, betapapun juga kesannya terhadap Sangaji
yang kurang baik, surut tujuh atau delapan bagian. Bukankah pemuda itu telah
membuktikan dihadapannya, betapa dia sanggup berkorban untuk Titisari? Akhirnya
dia berkata lagi dalam hati, anak ini berhati jujur dan mulia. Meskipun tiada
niatku hendak menjodohkan Titisari kepadanya, tapi aku harus menghadiahi
sesuatu.
Selagi
dia sibuk menimbang-nimbang, terdengar suara Gagak Seta nyaring. "Hai,
Kebo Bangkotan! Benar-benar jempolan ilmu saktimu. Kita berdua belum memperoleh
kepastian siapa yang kalah dan menang. Marilah kita bertempur terus sampai
memperoleh ketentuan!"
Kebo
Bangah terhenyak mendengar ucapan Gagak Seta. Sebentar ia tercengang-cengang,
kemudian tertawa riuh. "Bagus! Aku Kebo bangkotan bersedia melayani
seorang pendekar budiman!"
"Hm!
Hm! Aku bukan seorang budiman. Aku hanya seorang jembel tak keruan macamnya...,"
sahut Gagak Seta.
Habis
berkata demikian, terus saja ia melompat memasuki gelanggang. Kebo Bangahpun
tak mau mengalah. Tetapi sewak-tu hendak melompat, Adipati Surengpati
menyanggahnya sambil berkata menya-barkan.
"Saudara
Kebo Bangah, tunggu dulu! Saudara Gagak Seta harap sabar barang sebentar! Kamu
berdua sudah bertempur lebih dua ribu jurus dan belum juga memperoleh kepastian
siapa di antara kamu berdua yang menang. Hal ini merupakan suatu kehormatan
bagiku. Tetapi, kecuali
aku
dan kamu berdua "dijagat ini" masih ada seorang lagi yang harus kita
datangi. Yakni, Kyai Kasan Kesambi. Apabila ia muncul di sini, teranglah aku
tak berani mencegah perkelahianmu. Sebab, akupun akan tampil juga mengadu
tenaga. Karena Kyai Kasan Kesambi kini tiada berada di antara kita, bagaimana
pandapat kalian apabila pertempuran hari ini kita sudahi sampai sekian
saja?"
"Baiklah!"
sahut Kebo Bangah dengan tertawa panjang. "Kalau aku terpaksa bertem-pur
melawan Gagak Seta, terang sekali aku bakal keok."
Gagak
Seta melompat keluar gelanggang sambil tertawa riuh pula. Kemudian sambil
meludahi tanah, "Kebo Bangkotan dari serandil ini, memang besar mulutnya.
Masakan aku tak tahu, seluruh tubuhmu penuh lumuran bisa. Lain mulutnya lain
hatinya. Kau sendiri sadar, bahwa dirimu sangat termasyur di seluruh jagat.
Kini ngoceh, kau bakal keok melawan aku. Nah, artinya kau yakin bakal menang.
Heh! Hm... aku si jembel tak karuan juntrungnya, masakan aku bisa mempercayai
mulutmu..."
"Bagus!
Jika begitu, terpaksa aku harus melayani kepandaianmu lagi, saudara Gagak
Seta!" Kebo Bangah menantang.
"Itulah
jalan yang paling bagus!" sahut Ga-gak Seta, dan terus saja dia bersiaga
mema-suki pertempuran untuk mencari keputusan.
"Sudahlah!
Adipati Surengpati melerai de-ngan tertawa. "Aku siluman tua, benar-benar
merasa bahwa kalian berdua sengaja mema-' merkan ilmu kepandaian kalian
dihadapanku.
Gagak
Seta tertawa lebar berkata, "Kau pantas menegor aku, saudara Surengpati.
Sebenarnya, aku sengaja menemui engkau untuk melamar putrimu dan bukan berniat
mengadu ilmu dengan bangkotan Kebo edan!"
"Bukankah
aku telah mengumumkan hen-dak menguji kedua pemuda itu dengan tiga
syarat?" sahut Adipati Surengpati. "Siapa yang lulus, dialah yang
bakal menjadi menantuku. Tetapi siapa yang jatuh, akupun takkan membiarkan dia
kecewa dan menyesal."
Mendengar
ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta heran. "Hai! Apakah itu? Apakah
engkau masih mempunyai seorang putri lagi?"
"Sekarang,
belum," kata Adipati Surengpati dengan tertawa."Seumpama aku harus
kawin lagi dengan terburu-buru, rasanya pun akan kasep juga. Maksudku takkan
membiarkan kecewa dan menyesal ialah bahwasannya kasar-kasar aku mempunyai
beberapa macam kepandaian, seperti: ilmu perbintangan, ilmu mantram, ilmu
sejarah, ilmu bumi, ilmu ketabiban ilmu pedang, ilmu kepalan... dan apabila
tidak mencela, dia kuperkenankan memilih salah satu macam ilmu kepandaian untuk
kuajarkan sampai mahir."
Adipati
Surengpati, terkenal sebagai seorang bangsawan yang serba bisa. Gagak Seta
mengetahui tentang hal itu. Maka dia berpikir, baiklah! Andaikata muridku
kalah, dia pun bisa menambah ilmu kepandaian. Di kemudian hari akan banyak
gunanya menghadapi perjuangan hidup.
Melihat
Gagak Seta berdiam diri, Kebo Bangah segera menyahut dengan suara nyaring.
"Baiklah! Kalau begitu keputusan saudara Surengpati, akupun harus menerima
dengan dada terbuka. Sebenarnya, saudara Surengpati sudah menerima lamaran
keme-nakanku. Tetapi memandang saudara Gagak Seta, biarlah kedua bocah ini
diuji. Kurasa hal ini tidak akan menerbitkan suatu pertikaian berlarut-larut
dikemudian hari, sehingga tiada memecahkan kerukunan kita." Setelah
berkata demikian. Ia menoleh kepada sang Dewaresi. "Sebentar lagi, engkau
bakal diuji melawan kepandaian Sangaji. Seumpama engkau tak dapat memenangkan,
itulah suatu tanda bahwa dirimu tiada gunanya hidup di-jagat ini. Karena itu,
janganlah engkau menyesalkan siapa saja. Malahan engkaupun harus ikut
menyatakan syukur kepada sainganmu. Sebaliknya apabila dikemudian hari engkau
ternyata menimbulkan suatu perkara yang bukan-bukan... Hm... bukan saja kedua
pamanmu bakal menghadapimu, tetapi akupun
tak
gampang-gampang mengampuni dirimu."
Gagak
Seta tertawa tergelak-gelak. Menya-hut, "Eh kerbau buduk. Kau pandai juga
berdoa tak keruan macamnya. Agaknya engkau sudah merasa pasti bahwa
keme-nakanmu bakal menang. Sampai-sampai di depan kita kau sudah mengumumkan
sangsi hukumannya. Bukankah maksudmu hendak mendesak kita berdua. Agar
membatalkan saja niat saudara Surengpati akan menguji kemenakanmu... karena kau
yakin muridku bakal keok, sehingga tiada gunanya untuk diadu segala."
Kebo
Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, jika engkau telah mengetahui
mak-sudku. Nah, saudara Surengpati! Hayo sebutkan tiga syarat ujianmu untuk
memilih calon menantumu!"
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 24 ADU TENAGA SAKTI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 24 ADU TENAGA SAKTI"
Post a Comment