BENDE MATARAM JILID 36 DI PANGKUAN BUNDA
TIDAKLAH
PERLU DICERITAKAN berke-panjangan betapa mengharukan pertemuan itu. Rukmini
lantas saja memeluk Sangaji erat-erat. Kini tak bisa lagi ia menciuminya
seperti dahulu, karena Sangaji sudah menjadi jejaka dewasa yang berperawakan
kekar dan gagah luar biasa. Sebaliknya kena peluk Rukmini, Sangaji merasa
dirinya kecil. Di luar kemauannya sendiri, terbersitlah rasa
kekanak-kanakannya. Tahu-tahu ia menyesapkan kepalanya ke dada ibunya bagaikan
seekor anak ayam mencari perlindungan di bawah sayap induknya. "Ibu! Aku
pulang!" katanya terengah- engah. Semenjak kanak-kanak tak pandai ia
me-nyatakan perasaannya, sehingga gumpalan-gumpalan perasaannya hanya tercetus
dalam sederet kalimat sependek itu. Dan ia mengulangi entah sudah berapa kali.
Tetapi Rukmini merasakan suatu kehangatan yang luar biasa menggetarkan dadanya.
"Anakku..." katanya sesak. "Dua tahun engkau pergi. Rasanya aku
kehilangan dirimu hampir seabad." la berhenti menyeka air mata. Meneruskan,
"Saban malam aku memimpikan engkau, untuk dua tiga kali. Kau... kau... kau
begini tumbuh besar melebihi... melebihi ayah-mu... Bibir Rukmini bergemetar
tatkala meng-ucapkan kata-kata yang penghabisan itu. Air matanya meruap deras
dan pelukannya ber-tambah menjadi kencang, la tak tahu sendiri, apakah hatinya
bergembira—bersyukur—ter-haru atau berduka. Wanita memang tak mudah
menghilangkan sesuatu kenangan. Apa lagi suatu kenangan yang menggores lubuk
hati. Ia bisa menjadi pelit, malah. Maka bayangan Made Tantre suami dan ayah
Sangaji yang dicintai dengan segenap hatinya berada di depannya. Di antara
kelopak matanya yang basah dan perawakan Sangaji yang jadi samar-samar. Sangaji
meskipun tak pandai menyatakan perasaan, tahu membaca perasaan ibunya. Itulah
pula sikap yang dibawanya manakala menghadapi Titisari, Nuraini, Sanjaya, kedua
gurunya dan orang-orang tua lainnya. Karena itu dengan sabar ia membiarkan
ibunya me-ruapkan perasaannya sepuas-puasnya. Apabila pelukan ibunya mulai
terasa longgar, ia menarik kepalanya dengan perlahan-lahan. Kemudian dengan
menggandeng tangan ibunya, ia membawanya duduk di atas dipan panjang. Pada
hari-hari berikutnya Rukmini penuh dengan ceritera petualangan Sangaji. Hatinya
ikut berdebaran apabila Sangaji berada dalam adegan yang menegangkan dan
bersyukur setinggi langit manakala anaknya terlepas dari suatu mara bahaya.
Tatkala sampai pada nasib Wayan Suage dan Sapartinah, ia tertegun seperti
kehilangan dirinya sendiri. Hatinya jadi kecewa dan mas-gul. Gntung Sangaji tak
pandai berceritera. Apa yang diceritakan sangat sederhana. Banyak
ungkapan-ungkapan rasa hidup yang dilalui atau dilompati dengan begitu saja,
sehingga tak beda dengan seorang anak menghafalkan sejarah di depan kelas.
Walaupun demikian keadaan hati Rukmini yang sederhana mengalami kegoncangan
dahsyat. "Bagaimana bisa jadi begitu? Bagaimana bisa jadi begitu?" ia
berbisik berulangkali. Hal itu bisa dimengerti, karena hati-dan pandangan
hidupnya terlalu sederhana. Sebagai seorang isteri pahlawan dari Bali, sedikit
banyak ia mewarisi pandangan dan sikap adat keagamaan Bali di kala itu. Dia
bisa menerima bahwa seorang isteri wajib menyertai suaminya ke alam baka,
manakala suaminya wafat, dengan jalan menerjunkan diri ke dalam unggun api
pembakar mayat. Itulah sebabnya pula, ia memuja suaminya seperti dewa. Kalau
saja ia tidak dibawa lari oleh Kodrat dan direpoti oleh masa depan anaknya
pastilah ia sudah membiarkan dirinya terbakar hidup-hidup di samping jenazah
suaminya tatkala rumahnya kena bakar anak buah sang Dewaresi. "Jadi Tinah
sekarang sudah menjadi Raden Ayu Bumi Gede?" ia menegas. Sangaji
mengangguk. Dan ia tak lagi men-cari keyakinan yang lain. "Lantas
bagaimana pamanmu?" ia meng-alihkan persoalan. "Paman Wayan Suage
hanya mewarisi ini," jawab Sangaji. "Mewarisi apa?" "Kecuali
aku diharuskan membawa Ibu pulang ke kampung, aku diwajibkan merawat pusaka ini
dengan baik," kata Sangaji seraya membuka kantongnya. Melihat kedua pusaka
sakti, Rukmini meng-gigil di luar kehendaknya sendiri. Dengan wa-jah berubah
hebat, ia berkata, "Apa artinya ini?" "Inilah pesan Paman Wayan
Suage, agar aku selalu membawanya ke mana aku pergi." "Tidak-Tidak!
Kau tak boleh menyentuh kedua benda terkutuk itu! Itulah benda pangkal bencana
yang sudah menyita nyawa ayahmu dan pamanmu Wayan Suage," tungkas Rukmini.
"Aku lebih senang, bila kaulemparkan saja ke luar jagat ini! Firasatku
berkata, bencana baru akan datang lagi... Anakku! ... Dengarkan kata ibumu
ini!" Sangaji tertegun. Sebab apa yang dinya-takan ibunya sedikitpun tak
salah. Bukankah gurunya Wirapati dan dia sendiri hampir-hampir tewas oleh
masalah perebutan kedua pusaka itu pula? Teringat akan hal itu, teringatlah
pula dia kepada Titisari.
Dan
teringat kepada Titisari dengan sendirinya tersadar pada masalah yang bakal
dihadapi. Itulah masalah Sonny de Hoop. Bulu kuduknya meremang tak setahunya
sendiri. Apa inilah bencana baru yang diramalkan ibunya? Pada dewasa itu,
ucapan rasa yang meletup dari perbendaharaan seorang ibu hampir sama tuahnya
dengan sabda gaib sendiri. Maka dengan hati-hati Sangaji berkata, "Ya, Bu.
Tetapi kedua pusaka ini meskipun sudah diwariskan Paman Wayan Suage kepadaku
sesungguhnya bukan milikku penuh-penuh. Bukankah yang satu tetap menjadi milik
dan haknya Dinda Sanjaya? Malah dengan tak sengaja aku sudah membaca dan mewarisi
ilmu sakti dari guratan keris Kyai Tunggulmanik. Karena itu, biarlah kuserahkan
semuanya kepadanya. Seumpa-ma pusaka Bende Mataram ini sebagai alat pembayaran
atas kelancanganku. Manakala Dinda Sanjaya menyetujui anjuran Ibu, biarlah dia
yang membuangnya. Sebaliknya bila dia ingin memiliki, semenjak itu bukankah aku
tak tahu menahu lagi? Dengan demikian, berarti aku tahu berterima kasih. Sebab
sesungguhnya, pusaka sakti ini sudah ikut menyumbangkan suatu saham besar dalam
diriku." Setelah berkata demikian, dengan singkat Sangaji mengisahkan
riwayat penemuan garit-garit ) rahasia yang terdapat pada keris Kyai
Tunggulmanik. Sedangkan garis-garis rahasia yang berada pada pusaka Bende
Mataram sama sekali belum diketahui. Mendengar ujar Sangaji, Rukmini mengeluh.
Benar-benar ia tak beragu lagi menyatakan firasatnya. Katanya, "Anakku
kalau sifat bendanya saja sudah bisa menerbitkan bencana apa lagi isinya."
"Dan engkau apa sebab sudah mereguk isi-nya? Sekarang apa yang harus Ibu
lakukan? Ah bencana! Bencana." Sederhana pengucapan Rukmini. Tetapi justru
oleh kesederhanaan itu terasa sekali betapa dahsyat pengaruhnya. Tak terasa
wajah Sangaji berubah hebat.
Dia
merasa diri seolah-olah bencana itu sudah mulai bekerja. Itulah masalah Sonny
de Hoop.Teringat hal itu terloncatlah perkataannya: "Ibu sebenarnya aku
sendiri tiada bernafsu untuk mempelajari rahasianya. Begini..." Ia
menceritakan kembali pengalamannya selama di benteng batu. Kemudian
menge-sankan, "Dan Titisari meyakinkan aku agar aku mempelajarinya.
Katanya itulah satu-satunya jalan kalau aku ingin menuntut dendam Ayah. Tahukah
Ibu siapakah pembunuh Ayah dahulu? Dialah suami Bibi Sapartinah sekarang.
Pangeran Bumi Gede." "Kau berkata apa? Suami Sapartinah?"
tungkas Rukmini. "Itulah pembunuh Ayah. Dialah suami Bibi dan ayah angkat
Dinda Sanjaya," sahut Sangaji. Rukmini terpaku seperti kena pukau. Ia tak
berkata sepatah kata, tapi wajahnya menjadi pucat. Perlahan-lahan ia
menundukkan kepala. Dan lama ia berdiam diri. Tatkala menegakkan pandang lagi,
wajahnya kian menjadi pucat. Hebat penanggungan Rukmini. Semenjak suaminya
terbunuh, tak dapat ia melupakan wajah dan perawakan pembunuh itu meski
sedikitpun. Setiap kali ia mengesankan dan meresapkan lagu balas dendam ke
dalam sa-nubari anaknya. Di luar dugaan, ternyata pembunuh itu kini menjadi
suami Sapartinah. "Mustahil! Mustahil!" ia berkomat-kamit.
"Masakan Tinah sudi menerima cinta kasih musuh besarnya. Ah Mustahil!
Mustahil..." Rukmini jadi kebingungan seperti seorang kehilangan tiang
agungnya dengan tiba-tiba. Setiap kali mulutnya melepaskan kata-kata mustahil,
telinganya menjadi pengang sehing-ga ia merasa akan jatuh pingsan. Sudah barang
tentu keadaan Rukmini tidak terluput dari pengamatan Sangaji. Pemuda itu
menjadi resah berbareng gugup.
Segera
ia memeluk ibunya dan terus menyalurkan hawa murninya. Kemudian ia mencoba
mengalihkan pembicaraan. "Ibu! Tadi aku menyinggung nama Titisari, bukan?
Biarlah kukabarkan siapa dia sebenarnya." Dengan sekuasa-kuasanya ia
mewartakan diri Titisari, betapa gadis itu sering menolongnya. Ia mulai
mengisahkan riwayat perkenalannya di Cirebon sampai peristiwa di ben-teng kuna.
Namun tidak menyinggung tentang hubungan yang sesungguhnya, karena khawatir
akan menambah kesusahan ibunya. Di luar dugaan ibunya tiada menaruh perhatian
seperti yang dikehendaki. Bahkan seolah-olah tidak mendengarkan. Pada suatu
saat Rukmini merenungi, kemudian memotong pembicaraan dengan tiba-tiba..
"Aji! Apakah engkau sudah... melaksanakan tugas ayahmu?" Sangaji
kaget mendengar pertanyaan itu, meskipun semenjak meninggalkan padepokan Gunung
Damar sudah mempersiapkan jawab-annya. Dilihatnya wajah pucat lesi. Bibirnya
bergemetaran. Dan suatu warna kehijau-hijauan mulai memasuki kedua pipi dan
dahinya. Seperti kena pandang suatu kekuatan gaib, Sangaji meruntuhkan
kepalanya. Dalam kebimbangannya timbullah suatu keputusan yang menyakitkan
hatinya. Ia harus mengakui dirinya tak becus melaksanakan tugas suci. Meskipun
kejadian itu bertalian dengan peristiwa Sonny de Hoop yang mengharuskannya
cepat-cepat balik pulang ke Jakarta karena sudah melampui batas waktu.
"Ayah dinda Sanjaya sangat mulia," katanya hati-hati. "Ia
berwibawa pula dan memiliki laskar melebihi jumlah kompeni." "Aji,
engkau sudah melaksanakan tugas ayahmu?" potong Rukmini. "Aku.,,
aku..." Sangaji tergagap-gagap. "Ibu anakmu ini tiada mempunyai daya
guna." "Jadi belum?" potong Rukmini lagi. Tak kuasa lagi Sangaji
melepaskan kata-kata. Hatinya sangat pedih. Dua tahun yang lalu ia berangkat
meninggalkan kota Batavia (Jakarta) dengan maksud menuntut dendam. Ternyata
hasilnya nihil. Bukankah masa bepergian yang sia-sia belaka? Memikir demikian
hampir saja ia benci kepada dirinya sendiri. Rukmini tak perlu menunggu
ketegasannya lagi. Melihat Sangaji sudahlah dia bisa mene-bak sembilan bagian.
"Jadi belum? Syukurlah! O Tuhan yang Ma-ha Besar!" katanya setengah
memekik. Sete-lah berkata demikian benar-benar kini ia jatuh pingsan. Tak tahu
Sangaji, apakah sebenarnya yang berkecamuk dalam dada Rukmini. Ia melihat
ibunya kehilangan kesadarannya. Ia kaget berbareng heran. Pendengarannya yang
tajam menangkap bunyi kata: syukur. Ibunya mengucap rasa syukur. Kepada siapa?
Dan apa sebab? Rukmini sendiri tak pernah menjelaskan. Ia rebah selama lima
hari lima malam, ia bukan sakit, tetapi sendi-sendi tulangnya seperti
ter-lolosi. Kuyu ia merenungi dirinya dengan memejamkan mata. Hatinya
tergoncang hebat. Tatkala mendengar pernyataan Sangaji bahwa tugas suci itu
belum dilaksanakan, hatinya penuh syukur berbareng kecewa. Masing-masing
mempunyai alasannya sendiri-sendiri yang sama kuat dan sama pula dahsyatnya.
Lima belas tahun lamanya ia dibakar dendam. Dan tiap orang tahu makin diri
merasa lemah makin besar gelora pembalasan den-dam. Tiba-tiba kini ia tak bisa
lagi melak-sanakan angan itu, yang dipandangnya sebagai tugas suci demi arwah
suaminya. Itulah disebabkan, karena pembunuh terkutuk itu sudah menjadi suami
Sapartinah. Dan ini merupakan suatu pukulan hebat baginya. Betapa tidak?
Seumpama Sangaji melaksanakan tugas suci itu entah esok entah kelak akibatnya
lebih dahsyat. Bukankah Sapartinah bakal hidup merana? Dia sendiri oleh
kemurahan Tuhan mendapat perlindungan Mayor de Hoop. Sebaliknya, siapakah yang
bakal merawat sisa hidup Sapartinah? Rukmini perempuan yang berhati sederhana
itu tak bisa membayangkan dan tak bakal memperoleh suatu gambaran, bahwa
andaikata Sapartinah betul-betul sudah jadi janda akan mendapat pasarannya
sendiri. Sebab Sapartinah sekarang bukanlah Sapartinah yang dahulu. Meskipun
masih berhati mulia, tetapi, sudah bertambah molek, ia seumpama sekuntum bunga
di padang belantara sudah terangkat di atas pot porselin dan berada di tengah
ruang yang serba bersih serta mentereng. Tubuhnya yang molek terawat baik dan
tumbuh kian subur. Tidak sembarang orang dapat menghampiri. Karena kini sudah
berhak menyematkan tataran Raden Ayu, tak ubah putri seorang Pangeran. Maka
tidaklah mengherankan, bahwa dia bisa menggoyahkan langit dan bumi jantung
pangeran-pangeran lainnya. Diam-diam mereka mulai menaksir-naksir. Karena itu
sekiranya Raden Ayu Sapartinah benar-benar menjadi janda tidaklah usah dia
mengenakan pakaian berkabung lebih dari tiga bulan. Asalkan berkenan saja,
siapa saja bersedia menjadi hambanya. Di atas pembaringan, Rukmini mencoba
berpikir perlahan-lahan. Mengeluh sering, "Made Tantre! Aku gagal. Engkau
pasti menanggung duka abadi." Dan teringat penanggungan suaminya di alam
baka, ia menggigil tak setahunya sendiri.
Rukmini
percaya akan hal itu. Arwah-arwah di alam baka berperasaan dan hidup seperti di
alam ramai. Berduka dan bersyukur. Bersedih dan bergembira. Dan kegagalan ini
semua, bukankah suatu malapetaka terkutuk? Diam-diam ia mulai meruntuhkan
kesalahan ini kepada dua benda sakti yang kini dibawa-bawa Sangaji. Itulah
bibit bencana yang tidak hanya menghancurkan kesejahteraan keluarganya di dunia
saja tapi sampaipun menjamah di alam baka. Alangkah terkutuk. Ancaman hebat
yang bersembunyi di balik kedua pusaka sakti itu, bagi Rukmini bukan merupakan
ceritera takhayul belaka. Sebentar atau lama pasti terjadi. Ia yakin
seyakin-yakinnya. Soalnya sekarang, "Apa yang harus dilakukan?" Pada
hari yang keenam ia mulai melampui masa krisis. Ruang benaknya lambat laun jadi
bersih. Ia mulai bisa berpikir. Perasaannyapun mau pula meraba hatinya yang
tidak lagi sekeruh kemarin. Teringatlah dia, Sangaji baru saja pulang dari
perantauan. Anak itu tak pandai me-masak. Siapa yang merawatnya selama ini?
Oleh besarnya cinta kasih ia sampai tak memasukkan dirinya dalam persoalan itu.
Ia mencoba menguasai diri. Tertatih-tatih ia bangkit. Tatkala melemparkan
pandang ke tepi pembaringan, ia heran. Sebuah kursi berada di dekatnya. Dan
diatasnyapun nam-pak sebuah niru penuh makanan. Di sisinya berdiri sebuah gelas
panjang berisi susu sapi segar. Dalam keheranannya ia melemparkan pan-dang ke
pintu. Sangaji sudah berada di tempat itu. "Ibu sudah bangun. Apakah Ibu
mem-butuhkan sesuatu? Biarlah aku yang mengambilnya," katanya girang.
Dengan cekatan Sangaji menyambar niru dan duduk di tepi tempat tidur. Sudah
lima hari Rukmini berbaring dengan memejamkan mata. Selama itu, tiada kemasukan
sebutir nasi atau air setegukpun. Sekarang Rukmini sudah bisa duduk. Keruan
saja hati pemuda itu girang bukan kepalang. Ia mengira ibunya perlu menelan
nasi atau seteguk air. Karena itu segera ia hendak meladeni. Rukmini tersenyum
lemah seraya mengge-leng kepala. Katanya, "Masakan Ibu membu-tuhkan
pelayananmu?" "Tapi Ibu belum..." "Nanti Ibu akan mengambil
sendiri. Kau tak usah cemas. Ibu sudah sehat kembali, meski-pun agak
pusing." "Kalau begitu biarlah Ibu berbaring dan aku akan
menyuapi." Rukmini tertawa lemah. Katanya, "Kau dahulu, aku yang
menyuapi makanmu. Sekarang engkau sudah begitu dewasa, tapi masih ingin aku
menyuapimu untuk pada hari esok, lusa dan selama-lamanya." "Akh...
Ibu," hati Sangaji tergetar. Ia me-letakkan niru dan terus memeluk ibunya.
"Akh! Jangan kencang-kencang!" Rukmini menyanggah. Senang Sangaji
mendengar sanggahan itu. Itulah suatu tanda, bahwa hati ibunya sudah menjadi
ringan. Ia tetap memeluknya. Terasa dalam hati alangkah lemah. Ia jadi terharu.
'Dalam keharuannya terlintaslah bayangan ibu Sanjaya yang montok, padat dan
subur. Dibandingkan dengan keadaan ibunya, sangatlah jauh berlainan. Dan ia
jadi bertambah terharu. Sangaji kini sudah bukan Sangaji dua tahun yang lalu.
la sudah melihat dunia. Secara wajar sudah pandai mengadakan perbandingan.
"Ibu! Aku selalu membuatmu susah, dan membuat Ibu kecewa... sampai Ibu
tidak ber-gerak selama lima hari lima malam." "Lima hari lima
malam?" Rukmini ter-cengang. "Nah, Ibu sampai pula tak percaya sendiri."
"Sekarang waktu apa? Cobalah buka jen-dela!" tungkas Rukmini. Sangaji
bergegas membuka jendela. Suatu cahaya cerah menusuk dalam kamar. Dan dengan
melindungi suatu kesilauan, Rukmini berseru. "Masya Allah! Pagi
hari?" "Ya... Pagi hari yang ke enam." Rukmini mengeluh. Dengan
pandang haru ia menatap wajah anaknya. Berkata, "Dan selama itu engkau di
mana?" "Merawat Willem dan menjenguk Ibu," sahut Sangaji
sederhana. "Willem? O... Willem kudamu," Rukmini tertawa dan berkata
lagi, "Kau sudah bertemu dengan kakakmu Willem?" Sangaji menggelengkan
kepala. "Kenapa?" "Bukankah Ibu sedang sakit? Lagi pula ia
sedang berdinas ke luar kota." "O... begitu? Biasanya setiap dua kali
satu Minggu dia datang ke mari." Ia berhenti sejenak. "Jadi selama
lima hari engkau tak bepergian pula? Lantas bagaimana makan minummu?"
Sangaji kembali duduk di samping ibunya seraya menyahut: "Selama Ibu
berbaring, Sonnylah yang menyediakan makan-minum, untukku dan untuk Ibu."
"Sonny? Dia datang ke mari?" "Tidak dia hanya utusan.
Barangkali
ia merasa diri akan mengganggu kita berdua. Bukankah masa perantauan selama dua
tahun cukup panjang untuk diceritakan kembali? Katanya lewat utusannya."
"Akh... Sonny yang baik." "Mendengar Ibu sakit, ia mengirimkan
se-orang tabib." Sangaji menambahi. "Menurut tabib, Ibu tidak sakit.
Apabila masa istirahat sudah cukup, Ibu akan sehat kembali. Ha ... benar
juga." "Sonny yang baik," kata Rukmini lagi. "Kau beruntung
anakku, mendapat seorang isteri yang baik. Karena itu makin tebal keputus-anku:
Aku akan menyuapimu untuk selama-lamanya. Dengan begitu, tak usahlah engkau
bersusah payah mematuhi pesan pamanmu Wayan Suage untuk membawa Ibu pulang ke
kampung halaman." Mendengar ujar Rukmini berubahlah wajah Sangaji.
Cepat-cepat pemuda itu melem-parkan pandang ke jendela. Dengan demikian Rukmini
tak mengetahui kesan wajahnya. "Aji! Coba tolong Ibu berdiri! Lima hari
tak melihat dapur, rasanya begini lama," kata Rukmini. Dengan berdiam diri
Sangaji menolong ibu-nya turun dari tempat tidur. Malam itu Sangaji resah di
atas tempat tidurnya. Ia bersyukur, ibunya sudah nampak sehat kembali. Tetapi
teringat ucapannya me-ngenai Sonny de Hoop, hatinya berdegup. Ia rebah
terlentang merenungi atap, sambil mencoba memecahkan soal itu. "Celaka...
betapa Ibu mengerti persoalan hatiku. Sonny seolah-olah sudah ditetapkan
menjadi isteriku. Dan biasanya Ibu tidak mengharapkan sanggahan." Teringat
cara berpisahnya dengan Titisari di Cirebon hatinya sakit. "Ke mana dia
pergi? Mustahil dia pulang ke Karimunjawa." Ia kenal watak Titisari
seperti bagian dari tubuhnya sendiri. Adatnya keras, liar dan mau menang
sendiri. Tetapi anehnya justru warisan watak ayahnya itulah yang menambat
hatinya. Ia merasa diri seakan-akan wajib menyertainya barang ke mana dia
pergi, bagaikan bingkai dengan lukisannya. Tanpa dia di sampingnya, pastilah
Titisari bisa berbuat sesuatu yang tak diharapkan. Semakin dipikir, Sangaji
makin menjadi khawatir. Dan rasa ingin tidur tiada sama sekali. Perlahan-lahan
ia bangun dan setelah merapikan pakaian terus ke luar halaman. Waktu itu sudah
larut malam. Kota dalam keadaan sunyi-senyap. Di atas bintang berge-tar lembut
dan bulan sipit tertutup awan. Semenjak tiba di Jakarta ia mengenakan celana
panjang model terbaru seperti keba-nyakan pemuda-pemuda anak serdadu pada zaman
itu. Dengan demikian ia tidak nampak menyolok. Seperti diketahui, rumah ibunya
kini pindah di kompleks militer, semenjak ia merantau ke Jawa Tengah. Sesudah
melalui penjagaan, ia memasuki bagian pinggir kota. Ia menuju ke suatu
gun-dukan tanah. Di sana ia hendak duduk meng-hempaskan diri sambil melepaskan
pengli-hatan ke tengah alam tiada berintang. Tiba-tiba pendengarannya yang
tajam menangkap suatu pembicaraan dari balik unggun batu. Segera ia melesat
menghampiri dengan tak usah khawatir akan diketahui. Ilmu saktinya kini berada di
atas tujuh pendekar sakti. Kalau Gagak Seta dahulu bisa mempermainkan dirinya,
seperti siluman di sekitar makam lmogiri, apa lagi kemampuannya kini. Meskipun
setan sendiri belum tentu bisa mendengar kehadirannya. "Kosim!" ujar
seseorang. "Gusti Amat memerintahkan kita berdua menunggu utus-annya di
unggun batu ini. Kau tahu apa sebabnya?" "Ha... kau seperti bisa
menebak suara hatiku. Semenjak tadi aku ingin memperoleh keterangan
darimu." "Baik! Kau tahu pula apa sebab unggun batu ini bernama
Rababa Tapa?" Toha kau jangan main teka-teki! Aku orang udik dari Banten,
masakan tahu perkara batu peninggalan segala?" kata Kosim setengah
menyesali. Tetapi Toha tidak segera memberi ke-terangan. Ia berbicara memutar,
"Gusti Amat memang manusia luar biasa. Sekiranya aku memiliki kepandaian
seperti dia... huh... huh! Akan kulabrak Kompeni Belanda seorang diri. Mengapa?
Karena dia memiliki suatu karunia alam yang jarang dimiliki seseorang.
Barang-kali nama unggun batu Rababa Tapa adalah nama samarannya. Kau pernah
bertemu muka dengan beliau?" "Belum. Aku hanya mendengar kabar
ten-tang perawakannya. Sedang tetapi gesit." "Benar. Itulah
beliau," sahut Toha. "Kompeni boleh mengerahkan seluruh kekuatannya
untuk mencari dia. Tetapi aku berani bertaruh, sampai cucunya beruban takkan
mampu. Kau percaya tidak." "Kalau tidak sedari dulu percaya, masakan
aku sudi mengabdikan diri?" tungkas Kosim. "Tetapi tolong terangkan
apa sebab unggun batu ini bernama Rababa Tapa!" "Itulah singkatan
nama dari Ratu Boang dan Kyai Tapa," kata Toha dengan suara bangga.
"Itulah pemimpin pemberontakan Banten. Dan Kyai Tapa adalah gurunya.
Menurut kata orang, kerajaan Banten semenjak kemasukan janda serdadu, menjadi
kerajaan boneka. Hidup tidak matipun tidak." "Kau maksudkan
permaisuri Ratu Fatimah?" potong Kosim. "Siapa lagi kalau bukan dia.
Bukankah Ratu Fatimah bekas isteri Letnan VOC? Nah, dengan ilmu iblisnya dia
berhasil memikat hati Sultan. Setelah Sultan mabuk dia minta bantuan kompeni
agar Sultan diasingkan dengan dalih mengadakan permusuhan dengan pihak Belanda.
Terang ini suatu fitnah! Maksud sebenarnya, hendak menyembunyikan perbuatan
mesumnya dengan menantunya sendiri." "Sepak terjangnya memang
mengherankan orang," potong Kosim dengan suara masgul. "Yang saya
herankan, apa sebab narapraja tiada mengadakan suatu pembelaan."
"Ratu Fatimah adalah anak setan. Kau tahu?" sahut Toha cepat.
"Semenjak ia mengerti Sultan menjadi anjingnya mulailah dia berbisik-bisik
bahwa Sultan sesungguhnya mempunyai penyakit gila. Tentu saja untuk menguatkan
fitnah itu, ia sudah mempersiapkan bukti-bukti lengkap. Dia menyarankan bahwa
demi kesejahteraan negara, sebaiknya menantu Sultan dilantik menjadi Sultan.
Entah bagaimana sebabnya, saran itu diterima. Dan setelah Sultan tua ditendang
ke luar negeri dan Sultan baru naik tahta, sekaligus dia menjadi malaikat
perem-puan. Sebab dengan begitu, bukankah dia lantas menjadi penguasa tunggal
tanpa tandingan? Dari Sultan tua dia berhak menerima warisan sebagai permaisuri
syah. Dan dari menantunya yang kelak menjadi suaminya pula, menerima kekuasaan
penuh. Sebab si menantu selain merasakan manisnya madu,merasa pula berhutang
budi kepadanya. Bukankah tahta kerajaan datang dari dia?" ) "Kemudian
muncullah Ratu Bagus Boang." "Ya, Ratu Bagus Boang." "Hanya
sayang, kini tiada kabar beritanya lagi." "Ha... kau salah,"
tungkas Toha dengan suara bergelora. "Kau pendekar dari Banten, masakan
tak pernah mengenal pemimpin besarmu?" "Itulah sebabnya, karena aku
orang udik," sahut Kosim dengan mengeluh. Dia agak menyesali diri.
Kemudian meninggikan suara, "Apakah engkau mempunyai rejeki besar untuk
mengenal beliau?" "Kalau engkau saja tidak pernah mengenal, apalagi
aku orang Sunda Kelapa." "Jika demikian apakah alasanmu menya-lahkan
aku?" "Ini disebabkan, karena Gusti Amat meng-gerakkan kita untuk
menolong Panembahan Tunjungbiru. Bukankah kau masih ingat, nama Panembahan
Tunjungbiru semasa mudanya? Dialah pahlawan Otong Darmawijaya. Pendekar besar
pada zaman itu." Mendengar disebutnya nama Ki Tunjung-biru, hati Sangaji
terkesiap. Siapakah mereka itu? tanyanya di dalam hati. Apakah mereka sudah
mendapat kabar di manakah Ki Tun-jungbiru berada dan kini diam-diam hendak
menolongnya? Ini bukan pekerjaan gampang. "Hai, bukankah Ki Tunjungbiru
salah se-orang sahabat Ratu Bagus Boang?" seru Ko-sim. "Itulah
alasanku," ujar Toha. "Menolong ke-susahan adalah termasuk darma
orang-orang semacam kita. Tapi bermusuhan dengan pihak Kompeni bukankah mudah.
Salah-salah kita mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Namun Gusti Amat nampaknya
tidak menghiraukan. Dengan bersemboyan sekalipun menyeberang lautan golok harus
ditempuh demi membebaskan Panembahan Tunjungbiru dari cengkeraman Kompeni,
bukankah membuktikan bahwa Gusti Amat sesungguhnya pahlawan Ratu Bagus
Boang?" "Menilik kita berdua diperintahkan menunggu utusan beliau di
unggun Batu Rababa Tapa, hatiku bertambah yakin. Sebab sekitar batu milah
beliau bertempur yang penghabisan kali melawan musuh besarnya. Kemudian menghiang
dengan tiada beritanya lagi..." Perkataan Toha terputus oleh suatu suara.
Dari sebuah ketinggian tanah terdengar tepukan tangan tiga kali. Toha segera
membalas bertepuk tangan tiga kali pula. Sesosok bayangan berkelebat dan
berdiri tegak di depan mereka dan berkata, "Gusti berpesan kalian tak usah
menunggu lagi. Kalian diharapkan agar berkumpul di alamat ini!" Orang itu
mengeluarkan saputangan bersu-lam, kemudian berkata lagi, "Dalam sepuluh
hari lagi kalian harus sudah berkumpul dengan yang lain pada suatu tempat di
barat daya. Kelak akan ditentukan pembagian tugas. Yang penting beliau mengharap
agar jangan bertindak sendiri-sendiri." Setelah menerima saputangan
bersulam, orang itu melesat lagi dan hilang dalam kege-lapan. "Tempat di
barat daya? Di manakah itu?" Kosim minta keterangan kepada kawannya.
Sangaji melihat Toha membisikkan sesuatu. Kemudian mereka menuruni gundukan dengan
berkata berbisik- bisik. Sepuluh hari lagi, hati Sangaji memukul. Apakah Ki
Tunjungbiru sudah dibawa masuk ke kota? Sangaji menghitung-hitung masa
keberang-katannya dari kamp Kompeni. Teringat Sonny sudah di dalam kota lima
hari yang lalu, maka besar dugaannya bahwa Ki Tunjungbiru pada saat itu sudah
berada pula di Jakarta. Waktu itu fajar mulai terasa meraba tubuh. Buru-buru ia
kembali pulang. Setibanya di pinggiran kota, sekonyong-konyong terlihatlah dua
penunggang kuda melintas dengan cepat. Segera Sangaji menajamkan pendengaran,
karena melihat mereka sedang berbicara de-ngan berbisik. "Jangan lupa,
sepuluh hari lagi!" kata yang satunya. "Apakah kau memerlukan
dinamit?" "Kau jangan ribut! Urusilah dirimu dahulu. Sampai
bertemu..." Mereka tertawa berbareng dan setelah saling memberi hormat
segera berpisahan dengan mengambil jalannya masing-masing. Gerak-gerik mereka
gesit dan kelihatan berkobar-kobar semangatnya.
Dengan
pikiran tertindih, Sangaji memasuki kota dengan perlahan-lahan. Penglihatan itu
membuat dirinya jadi perasa. Dua tahun lamanya ia merantau. Dan dia bisa
merasakan betapa merdeka hidup demikian. Apa lagi kalau sedang dipacu suatu
darma kemanusiaan. Alangkah menggairahkan. Teringat hal itu, ia merasa diri
terkurung. Hatinya lantas mengeluh. Semua pendekar seluruh penjuru sedang
bergerak untuk membebaskan Ki Tunjungbiru, katanya di dalam hati. Tak kukira Ki
Tunjungbiru yang salah, begini besar pengaruhnya. Terang sekali ia tidak hanya
milik rakyat Banten saja, tapi milik seluruh Jawa Barat. Aku yang berhutang
budi kepadanya, masakan akan tinggal diam? Memperoleh pikiran demikian,
tergugahlah semangatnya. Tiba-tiba hatinya jadi tenang dan terhibur. Setibanya
di rumah, ia melihat ibunya duduk di atas kursi di serambi depan dengan
berselimut kain. Hari belum pagi benar. Apa sebab Ibu seperti memaksa diri
berada di luar rumah? Sangaji terkesiap. Dengan agak gugup ia minta keterangan.
"Ibu mengapa?" Rukmini menatapnya dengan wajah segar-bugar.
Menyahut,
"Engkau ke mana saja? Lain kali kalau akan ketamuan bilanglah! Dengan
demikian Ibu bisa bersiap-siap sebelumnya. Lihatlah sahabat-sahabatmu memasak
kopi sendiri. Sampai-sampai mereka sibuk pula mengurusi Ibu. Melihat Ibu kurang
sehat, mereka menggodok obat. Anehnya, obat itu membuat Ibu tidak takut angin
lagi." "Sahabat-sahabatku? Siapa?" Sangaji ter-cengang.
"Kalau bukan sahabat-sahabatmu, masakan bisa menduga seperti rumahnya
sendiri? Hanya saja semenjak kapan engkau mempunyai sahabat-sahabat seusia
ayahmu? Lain kali engkau harus menceritakan semua pengalamanmu selama dua tahun
dalam perantauan," kata Rukmini. Rukmini kemudian bangun tertatih dan
ter-bata-bata memasuki kamarnya. Dan Sangaji yang berada di belakangnya
bertambah-tam-bah heran mendengar keterangan itu. "Biarlah kutengoknya
siapa mereka," katanya. Mereka yang menyebut diri sebagai
saha-bat-sahabatnya ternyata duduk berkumpul di ruang belakang. Semua berjumlah
tujuh orang. Dengan berindap Sangaji mengintip dari sela pintu masuk yang
tertutup sebelah. Ternyata mereka duduk di atas tikar panjang seperti orang
lagi mengepung kenduri. Piring-piring dan cawan-cawan yang kosong dan yang
berisi berserakan tak teratur. Meskipun mereka bergerak dengan berdiam, tetapi
berkesan bergembira serta bebas dari ikatan adat-istiadat. Pantas Ibu berkata
mereka adalah saha-bat-sahabatku, kata Sangaji di dalam hati. Kemudian ia mulai
mengamat-amati mereka. Yang empat orang adalah manusia lumrah dengan bagian
tubuh seperti manusia umum-nya. Tetapi yang tiga memiliki perawakan tubuh serta
kesan luar biasa. Yang duduk di seberang, seorang yang ber-kepala sangat besar.
Dadanya bidang dan ter-buka, sehingga bulu dadanya yang hitam kehitaman nyata
sekali. Di sampingnya duduk seorang yang berpakaian putih bersih. Wajahnya
terang dan berkesan rapih. Perawakan tubuhnya mengingatkan Sangaji kepada
Pangeran Bumi Gede. Ia selalu bergerak-gerak dengan kepala sebentar-sebentar
bergoyang seperti lagi berzikir. Dan yang satunya berpakaian seorang pendeta
pada zaman itu berjubah panjang dan lagi sibuk mengganyang mangga mentah. Ia
kelihatan girang. Juga empat orang lainnya. Sangaji bertambah heran melihat
mereka. Sebab tiada seorangpun yang dikenalnya. Teringat akan pengalamannya
dahulu, segera ia melesat ke dalam kamarnya. Ia menjenguk pusaka saktinya.
Ternyata masih utuh dan sama sekali tidak berubah dari tempatnya. "Jika
demikian mereka bermaksud apa?" Sangaji menduga-duga. Meskipun ia kini
sudah memiliki ilmu tersakti di kolong jagat ini, namun hati dan pikirannya
masih saja tetap sederhana. Coba seumpama ia Gagak Seta, pastilah akan
mengambil tindakan lain terhadap tamu yang berhak ia curigai. "Salah
seorang dari mereka telah memban-tu mengembalikan kesehatan Ibu dan mereka
nampaknya bersikap ramah serta bersahabat. Pastilah mereka bermaksud
baik." Pikiran Sangaji yakin. Ia segera berbatuk dan membuka pintu masuk.
Begitu ia muncul di ruang belakang, seorang yang duduk di sebelah barat terus
berdiri seraya menyambut, "Ah, saudara kecil! Tujuh tahun tak melihatmu,
kini sudah menjadi begini." Sangaji berdiri terpukau oleh kaget dan rasa
heran. Itulah suara yang dikenalnya tadi di dekat unggun batu Rababa Tapa.
Meskipun tidak mengenal wajahnya karena gelap malam, tetapi suaranya tak
gampang-gampang hilang dari pengamatannya. Dialah Kosim pendekar dari Banten
yang berbicara dengan pendekar Toha. Teringat bahwa orang itu harus berkumpul
di suatu alamat yang diberikan oleh seorang utusan dari yang menyebut diri
Gusti Amat, hati Sangaji memukul. Dengan demikian bukankah alamat yang
dimaksudkan adalah rumahnya? Celaka! Mereka mengenal aku dan aku jus-tru tak
mengenal mereka, biar seorangpun, pikir Sangaji dalam hati. Tak sengaja ia
menyiratkan pandang. "Saudara kecil!" kata Kosim tak menghi-raukan
kesan orang. "Akulah Kosim. Dan ini-lah sahabat-sahabatku Acep, Ateng dan
Memet. Tujuh tahun yang lalu bukanlah kami berempat pernah berendeng dengan
kedua gurumu melawan iblis Pringgo Aguna? Sayang Hasan terlalu pendek umurnya
sehingga tak berkesempatan menyaksikan betapa engkau membunuh iblis itu."
Tujuh tahun yang lalu dengan tak sengaja, Sangaji membunuh iblis Pringga Aguna
de-ngan pistolnya. Waktu itu dia tak sadar bahwa di tengah la-pangan sedang
terjadi suatu pertarungan se-ngit mengadu nyawa. Ia hanya melihat sesosok tubuh
menggeletak tak berkutik di atas rerumputan dan tiga orang meng-erang-erang
terluka parah. Itulah Kosim, Acep dan Memet. Sedangkan yang selamat dari
malapetaka adalah Ateng seorang. Sangaji tiada mengenal mereka. Sebab selain
digulung-gulung rasa kaget dan bi-ngung, malam hari dalam keadaan gelap. Namun
ia tak bisa melupakan peristiwa yang dahsyat itu. Bukan sebab musabab
terjadinya pertarungan itu, tetapi peristiwa pembunuhan iblis Pringga Aguna
yang ternyata berekor panjang. "Budi Saudara setinggi gunung! Coba kala
itu Saudara Kecil tiada datang masakan kami berempat masih bisa bertemu di
sini," kata Kosim lagi, "dan belum lagi kami dapat mem-balas budi,
lagi-lagi kami merasa berhutang. Kawan-kawan seperjuangan di Cirebon
me-wartakan betapa Saudara Kecil mencoba menolong Panembahan Tunjungbiru dengan
melabrak perkemahan seorang diri. Hebat! Hebat! Benar-benar kami merasa takluk
dan kagum." Kosim kemudian memperkenalkan tiga kawan lainnya. Ternyata
orang yang berkepala sangat besar bernama Kamarudin, dan yang berpakaian rapih
bernama lnu Kertapati. Sedangkan orang yang mengenakan jubah panjang bernama
Sidi Mantra. Kamarudin lantas saja tertawa panjang kemudian berkata, "Anak
Sangaji! Tahu kalau engkau berhati baja melebihi pendekar pasti-lah siang-siang
Akang sudah bersahabat de-nganmu. Sekarang biarpun rumahmu berada di tengah
perkampungan militer, masakan aku perlu bersegan-segan?" Lagi-lagi ia
tertawa gelak. Berkata lagi, "Tapi lebih bijaksana, kalau kita segera
pergi meninggalkan perkampungan terkutuk ini. Hari sudah mendekati pagi hari.
Kalau sampai ketahuan orang-orang tangsi, bukankah akan membuat susah tuan
rumah?" Setelah berkata demikian, ia merogoh suatu kotak dari dalam saku
celananya dan ditaruh di atas tikar. "Anak Sangaji," katanya dengan
suara membujuk. "Aku orang udik dari daerah pegu-nungan Cirebon, membawa
sedikit oleh-oleh sebagai tanda persahabatan. Harap engkau sudi
menerimanya." Ia membuka kotak dan mengeluarkan segandeng buah berwarna
putih susu. Melihat buah itu serempak lainnya berseru, "Dewa Ratna! Bukankah
ini buah Dewa Ratna yang hanya terdapat dalam sebuah dongengan?" Nama buah
"Dewa Ratna" sesungguhnya dikenal orang dari kisah Ramayana belaka.
Konon dikabarkan bahwa pada suatu hari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran menerima
anugerah dewata dan kemudian ditanamnya di dalam salah satu tamannya. Ternyata
pohon itu susah sekali dipelihara. Menurut tutur kata tabu kena sentuh tangan
seorang wanita. Ini terbukti begitulah sahibul hikayat tatkala kena raba
permaisuri, raja lalu mengutuk. Bahwasanya raja dengan seluruh istananya akan
dibawa ke alam siluman setelah kena dirusak Prabu Ciung Wanara. Ternyata kutuk
itu terbukti. Sedangkan buah Dewa Ratna semenjak itu hanya menampakkan sekali
dalam seratus tahun untuk satu hari saja. Karena itu barang siapa dapat
memetiknya adalah seumpama memperoleh karunia dewa sendiri. Keruan saja mereka
yang memperoleh kesempatan melihat buah dewata itu merasa seperti kejatuhan
rembulan. Mereka tak henti-hentinya memuji hadiah itu setinggi langit.
"Khasiat buah ini bukan kepalang besar-nya," kata Kamarudin.
"Selain bisa menyem-buhkan semua penyakit dan menolak racun, dapat
memanjangkan umur pula. Tadi kulihat ibumu kurang sehat, lalu aku menggodok
air. Setelah kuadukkan selintasan, benar-benar manjur." "Ibumu lantas
saja menjadi segar bugar." Ia berhenti sebentar dan menatap Sangaji
de-ngan mata berseri-seri. Menambahi, "dapat dikatakan bisa menghidupkan
kembali orang mati. Kau sekarang belum membutuhkan. Tapi kelak bila umur sudah
menjangkau sera-tus tahun, makanlah sebuah! Maka usiamu akan bertambah seratus
tahun lagi!" "Mengapa dua buah?" kawan-kawannya minta
keterangan. "Itulah untuk bakal isterimu. Bukankah sebentar atau lama
engkau bakal berumah tangga juga?" Semua orang tertawa bersyukur dan wajah
Sangaji berubah menjadi merah. Sejenak kemudian pendekar yang berpa-kaian rapih
menggerayangi sakunya sambil berkata, "Saudara Sangaji! Aku Inu Kertapati
ingin pula menyampaikan rasa terima kasih rakyat Jawa Barat kepadamu." la
mengeluarkan sebuah kunci. Setelah itu sebuah kantong panjang yang disembunyikan
di belakang punggung semenjak tadi. Kemu-dian dengan cekatan ia mengeluarkan
sebuah kotak besi. Segera ia menyematkan kunci dan membuka tutupnya. Di
dalamnya nampak se-bilah pedang hitam-lekam. Bentuknya me-manjang bujur telur
dan tumpul. Kesannya tak menarik sama sekali. Sebab tiada bedanya dengan golok
penjagal lembu. "Saudara Sangaji! Meskipun nampaknya tidak menarik, tetapi
pedang ini adalah pedang mustika," kata Inu Kertapati seolah-olah bisa
menebak hati mereka. "Beratnyapun seratus kati. Karena itu tidak sembarang
orang dapat memakainya. Aku sendiri hanya bisa mengangkatnya melulu. Gntuk
menggunakan sebagai alat bertempur, jangan harap." "Kalau tak bisa
digunakan sebagai alat ber-tempur, lalu untuk apa?" tungkas Kosim. "Orang
bilang, Dengan pedang tajam mera-jam lawan. Dengan pedang tumpul meng-gugurkan
gunung," sahut lnu Kertapati dengan suara ditekankan. "Tetapi
bagaimana cara menggunakan, aku sendiri kurang mengerti. Dahulu kala, di
ta-ngan majikannya pedang ini bisa menyibak dan membendung tinggi gelombang
yang me-landa bergulungan." "Siapakah nama majikannya?" mereka
bernapsu. "Itulah pendekar besar Lukman Hakim yang hidup pada zaman Sultan
Mataram pertama." "Dia sendiri berasal dari kasultanan Cirebon. Dan
dengan pedang mustika ini, ia malang melintang tanpa tandingan sampai ahli
pedang dari dunia barat "Baron Sekeber" tak kuasa melawan. Ilmu
pedangnya bisa diwarisi oleh anak cucunya yang menggunakan nama keluarganya dan
merupakan salah satu cabang ilmu sakti tiada bandingannya. Hai apakah kalian
pernah mendengar nama pendekar sakti Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon? Nah,
beliau itulah salah seorang ahli waris dan termasuk keluarga pendekar Lukman
Hakim pertama." Sangaji mengenal nama Kyai Haji Lukman Hakim dari mulut Ki
Tunjungbiru untuk yang pertama kalinya. Dia termasuk salah seorang dari tujuh
orang pendekar sakti yang hidup sezaman dengan eyang gurunya, Kyai Kasan
Kesambi. "Pedang ini bernama Sokayana," kata lnu Kertapati lagi.
"Aku atas nama rakyat Jawa Barat mengharapkan agar dengan sebilah pedang
ini engkau akan menjadi Mercu Suar keadilan dan lambang cinta-kasih umat
manusia." Setelah berkata demikian tiba- tiba ia meng-hunus goloknya.
Sebelum orang-orang me-ngerti apa maksudnya, ia meletakkan golok-nya pada
pedang Sokayana. Trak! Golok ditangannya patah menjadi dua dan terpelan-ting
mental ke atas menancap atap. Sedang-kan pedang Sokayana sama sekali tak
ber-geming. Semua orang bersorak kagum. Kemudian Sidi Mantra yang selama ini
belum membuka mulut berkata dengan suara paraunya. "Pedang bagus! Akupun
membawa oleh-oleh. Tapi tentu saja tak dapat dibandingkan dengan hadiah
persembahan rakyat Jawa Barat." la mengeluarkan serenceng berlian dari
dalam jubahnya. Begitu kena sinar lampu itu sendiri. Semua yang melihat berteriak
memu-'i. Mereka semua tahu, bahwa harga kalung berlian itu melebihi harga
sebuah, kota. "Kalung ini dahulu menjadi alat pesolek Ratu Fatimah sampai
bisa memikat hati Sultan Banten," kata Gomat lagi. "Tetapi di
tanganmu kelak, akan menjadi alat ampuh penggebuk Kompeni Belanda."
Semenjak tadi Sangaji membungkam mulut, la merasa diri menjadi bingung. Semakin
dipikir semakin menjadi tak mengerti. "Apakah maksud sebenarnya? Mendengar
ara mereka berbicara agaknya bukan milik-nya sendiri," katanya di dalam
hati. "Barang-barang ini belum tentu dapat diperoleh seseorang dalam
jangka waktu seratus dua ratus tahun. Biarpun dia seorang raja kalau tidak
kejatuhan rejeki rasanya mustahil pula bisa memiliki." la menoleh kepada
Kosim untuk memper-oleh keterangan. Melihat Kosim teringatlah dia kepada utusan
yang membawa nama Gusti \mat. Mau tak mau ia jadi berpikir keras. "Saudara
Kecil," kata Kosim dengan mata berseri-seri. "Barang-barang hantaran
sudah engkau terima. Biarlah pertemuan ini kita habisi sampai di sini saja.
Kami berempat yang justru merasa berhutang budi padamu belum dapat berbuat
sesuatu. Nanti sepuluh hari lagi, aku akan datang menjemput engkau."
Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat kemudian berangkat mendahului.
Teman-temannya mencontoh perbuatannya. Begitu pula tiga pendekar yang
gerak-geriknya berkesan luar biasa itu. Mereka tak lupa minta diri terhadap
Ruk-mini. Di halaman fajar hari benar-benar telah tiba. Terompet tangsi
terdengar melengking menusuk udara. Dan sekali melesat mereka hilang dari
penglihatan. Sepuluh hari lagi, aku akan dijemput. Bu-kankah hari yang
ditentukan di barat daya? pikir Sangaji dalam hati. la terkejut sewaktu
mendengar ibunya berkata, "Aji! Sahabat-sahabatmu luar biasa
gerak-geriknya. Mengingatkan aku kepada kedua gurumu. Semenjak kapan engkau
bersahabat dengan mereka? Ibu sudah sehat kembali. Hayo ceritakan semua
pengalamanmu selama engkau merantau dua tahun. Ibu berjanji akan mendengarkan
dengan cermat." Bagi Sangaji ucapan ibunya terlalu banyak untuk fajar hari
itu. Dan ia tahu, ibunya menaruh curiga kepada mereka. Diam-diam hatinya
mengeluh. Selama hidupnya belum pernah ia terbohong. Apa lagi terhadap ibunya.
Tetapi -nengingat ibunya baru sembuh dari kegon-cangan hati, terpaksa berkata,
"Sepuluh hari agi mereka akan datang. Pada saat itu akan ".erang
siapakah mereka." Setelah berkata demikian, bergegas ia ke serambi
belakang. Buah Dewa Ratna dan Ka-jng Mutiara dimasukkan ke saku. Tetapi ia tak
D'.sa menyembunyikan pedang Sokayana dari sandang ibunya. Mau ia mengarang
kete-"angan, tiba-tiba Rukmini berkata di luar dugaan, "Sekalipun
lapat-lapat, kudengar tadi pembicaraan mereka. Engkau tidak hanya mendapat
kepercayaan mereka, tetapi kude-ngar nama rakyat daerah barat dibawa-bawanya
pula. Nah, simpanlah barang han-:aran baik-baik! Hanya saja mulai sekarang
engkau bakal sibuk." Hebat kata-kata itu. Meskipun terdengarnya sederhana
tetapi mengandung peringatan luar biasa tajam. Sangaji merasa diri seperti
terpukul palu godam. Dengan berdiri tegak ia memandang ibunya. Pada sore hari.
Willem Erbeveld datang berkunjung sehabis dinas. Terhadap Sangaji opsir itu
menganggapnya sebagai jiwanya sendiri. Itu disebabkan, karena ia merasa
berhutang nyawa. Begitu melihatnya terus saja memeluknya. Kemudian berkata
dengan terharu, "Dua tahun aku tak menilik kepandai-anmu. Kabarnya engkau
sudah maju jauh. Syukurlah, hatiku ikut senang. Malahan tahun ini bakal
mertuamu masuk ke pendidikan militer. Dengan demikian mempercepat dia
menyerahkan gadisnya penuh-penuh kepadamu. Kau beruntung, adikku Sony benar-benar
calon isterimu yang setia. Meskipun banyak opsir-opsir yang menjadi sainganmu
dia tetap berkiblat kepadamu. Bukankah ia ikut menyertai ayahnya ke Jawa Tengah
semata-mata bermaksud menyusul dirimu?" Setiap kali ia teringat persoalan
Sonny, hatinya jadi pepat. Ia merasa diri seolah-olah menghadapi ancaman
malapetaka. Itulah sebabnya begitu mendengar kakaknya mem-bicarakan hal itu
wajahnya berubah hebat. Gn-tung, Willem Erbeveld tidak berprasangka jauh. Ia
mengira adik angkatnya likat5) mendengar sendaunya sebagai lazimnya
pemuda-pemuda masa-masa birahi. Memikir demikian, Willem Erbeveld segera
mengalihkan pembicaraan, la kini membica-rakan hal-hal yang bersangkutan dengan
di- 5). Ukat: merasa malu nas. Katanya, "Pada akhir-akhir ini, kerusuhan
di dalam negeri meningkat. Juga di Eropa Barat. Napoleon Bonaparte menduduki
hampir semua negeri tetangganya. Juga negeri Belanda tak terkecuali. Kurasa
kita akan mengalami perubahan tata pemerintahan6)." Willem Erbeveld
berbicara sampai malam, pukul sebelas ia pulang dan Sangaji terus menghempaskan
diri di tempat tidur. Hatinya kian jadi pepat. "Sebentar atau lama aku
pasti menghadapi penyelesaian pertunangan. Ibu betapa mung-kin dapat mengetahui
perasaanku. Seumpama mengetahui, apakah bedanya? Kasihan Titisari!" Dalam
kegelisahannya tiba-tiba menyentuh kotak besi hadiah pendekar lnu Kertapati.
Suatu pikiran menusuk benaknya. "Dengan pedang tajam merajang lawan.
Dengan pedang tumpul menggugurkan gunung," katanya. "Apakah maksud
itu? Pastilah ini bukan kata-kata kosong." Perlahan-lahan ia bangun dan
mengendap menghampiri kamar ibunya. Ternyata ibunya belum tidur. Dia lagi
menjarumi bakal baju. "Ibu! aku hendak pergi berlatih," katanya. 6).
Waktu itu Gubernur Jendral Daendies dalam perjalanan menuju Indonesia untuk mengambil
peralihan memerintahan. Sudah sering Rukmini memberi restu Sangaji pergi
berlatih pada malam hari. Itulah terjadi tatkala Sangaji menekuni
pelajaran-pelajaran kedua gurunya. Hanya saja kali ini agak berkesan luar
biasa. Sebagai seorang ibu memperoleh firasat bahwa anaknya tak tenang hati.
Tetapi apa yang menyebabkan demikian, ia tak terang. "Aji!" katanya,
"kau belum lagi sebulan da-tang dari bepergian. Apakah engkau sudah cukup
beristirahat?" Terhadap ibunya, selamanya Sangaji mera-sa dirinya kecil.
Dengan membawa rasa kekanak-kanakan, ia menarik lengan ibunya, sambil berkata,
"Ibu aku mendapat sebilah pedang yang belum lagi kuperiksa. Lihat!"
Kotak besi pedang Sokayana kemudian di-taruhkan di atas meja. Penerangan di
dekat-nya. Sesudah kotak dibuka dan sejenak me-mandang ibunya, diangkatlah
pedang itu. Tapi baru terangkat beberapa kaki, pedang itu terlepas dari
tangannya dan jatuh bergelontangan di atas meja. Sangaji terkesiap senjata itu
berat luar biasa. Panjangnya hanya dua kaki lebih, tetapi beratnya benar-benar
melebihi semua pedang dari manapun juga. Tetapi sebenarnya meskipun pedang itu
se-ratus kali lebih berat bagi Sangaji bukan merupakan soal lagi. Tadi dia
tidak bersiaga sewaktu mengangkatnya, sehingga terlepas dari tangan. Sekali
lagi ia mengangkatnya sambil mengerahkan tenaga sepersepuluh bagian. Akibatnya
mengagetkan ibunya. Tiba-tiba pedang itu mendengung kena getaran tenaga sakti.
"Aji, ini pedang sakti macam apa lagi," Rukmini pucat. Sangaji
memeriksa pedang Sokayana. Mata pedang itu tumpul dan ujungnya juga tumpul.
Benar-benar mengherankan! pikirnya. Bagai-mana pendekar Lukman Hakim dahulu
meng-gunakannya selain berat tumpul pula. Ia me-meriksanya lebih cermat lagi
dan melihat huruf-huruf kecil yang terukir di atas dasar kotak besi. Pedang
berat tiada tajam. Kepan-daian tinggi nampak sederhana. Demikianlah bunyi
huruf-huruf itu. SEKALI LAGI SANGAJI berdiri tercengang. Benar-benar ia tak
dapat mengerti. Dalam dirinya kini mengalir ilmu sakti tiada banding-annya di
dunia. Namun terhadap macam ilmu kepandaian, ia belum mempunyai pengertian
luas. Kecuali warisan ilmu kedua gurunya. Wirapati dan Jaga Saradenta kemudian
secara kebetulan memperoleh ilmu sakti dari pendekar sakti Gagak Seta dan Kyai
Kasan Kesambi, tiada lagi mempelajari ilmu kepandaian lainnya. Karena itu, ia
tak dapat menebak maksud guratan huruf-huruf itu. Semangat untuk mencoba
menyelami sekaligus membakar dirinya. "Aku sendiri belum jelas,"
katanya kepada ibunya. "Karena itu besar hasratku untuk me-ngetahui. Dengan
demikian aku tak menyia-nyiakan harapan yang memberikan hadiah ini." Sudah
barang tentu Rukmini tak dapat mengerti kata-kata Sangaji. Ia hanya minta
penjelasan dari raut muka anaknya. Sebentar ia merenungi, kemudian berkata,
"Baiklah. Sekiranya hatimu bisa terhibur, Ibu merestui. Hanya saja
baik-baik engkau membawa diri." Di tepi pantai Sangaji menebas udara
de-ngan perlahan-lahan. Ia mengerahkan tenaga dua bagian. Kemudian tiga bagian.
Dan setiap kali ia mengerahkan tenaga, bunyi dengung itu bertambah keras. Begitu
ia menebas udara dengungnya naik sepuluh kali lipat. Ia heran bukan main.
Segera ia bergerak dengan ilmu pedang Wirapati yang banyak kembangannya dan
banyak pula tipu muslihatnya. Bagi dia yang sudah memiliki tenaga sakti tiada
bandingnya, tidak menemui kesukaran yang berarti meskipun pedang Sokayana berat
luar biasa. Namun untuk mengejar kelincahannya ia hampir memusatkan seluruh
tenaga. Tak terasa keringatnya keluar bertetesan. Menggunakan pedang berat,
memang nam-pak berwibawa pikirnya dalam hati. Tetapi jika terus menerus begini,
bukankah akan menguras habis tenaga sendiri? Memikir demikian ia segera hendak
berhen-ti. Di luar dugaan, berbareng dengan maksud itu, ia merasakan suatu
dorongan tenaga yang sangat besar memukul dirinya. Seperti ini, seorang anak
membawa sebuah martil berputaran. Makin lama makin kencang, kemudian dia hendak
berhenti dengan tiba-tiba. Maka martil yang beratnya sudah menjadi berlipat
ganda oleh tenaga putaran, akan memukul balik apabila tiada imbangan tenaga
berat. Demikian pula yang dialami Sangaji. Tetapi untunglah, tenaga Sangaji
adalah tenaga mukjizat, ia bisa menguasai semua berat benda di dunia ini
sekehendak hati. Maka begitu merasakan tenaga dorongan, cepat ia mengerahkan
tenaga saktinya. Ia berhasil merenggut berhenti dengan mendadak. Tetapi tak
urung tubuhnya bergoyangan juga. Hebat! Dahulu aku mampu menjebol batu
pegunungan dan melontarkan jauh untuk kususun menjadi sebuah benteng batu.
Mengapa aku kini terguncang oleh hanya sebilah pedang yang beratnya tak lebih
dari seratus kati? pikirnya heran. Masih saja ia belum sadar akan
perbeda-annya. Dahulu ia mengerahkan tenaga untuk menjebol dan melontarkan.
Tapi kini ia mengerahkan tenaga sendiri berbareng dengan mengumpulkan tenaga
putaran. Kemudian tenaga tersebut bukan untuk dilontarkan, tetapi justru
memukul balik di atas tenaga sendiri yang sedang dikerahkan. Ini disebabkan
karena ia berhenti berputar dengan mendadak. Keruan saja ia hampir tak tahan
kena dorong suatu tenaga melebihi imbangan tenaga sendiri. la bukan Titisari
yang dapat menangkap suatu persoalan dengan cepat. Namun diapun bukan seorang
pemuda yang tolol dalam arti sebenarnya. Begitu ia menghadapi suatu per-soalan
yang dianggapnya pelik, segera ia me-ngerahkan keuletan hatinya. Maka ia
meng-ulangi dan mengulangi. Apabila masih saja terbentur pada persoalan itu, ia
beralih kepada ilmu sakti Gagak Seta yang sederhana jurus-jurusnya. Tiba-tiba
ia menemukan suatu kenyataan menggirangkan. Seperti diketahui ilmu sakti
Kumayan Jati bersifat merangsang dan menyerang. Begitu tenaga saktinya
dikerahkan dan diarahkan ke laut, pedang Soka-yana tiba-tiba menjadi semacam
alat bidik. Gelombang laut seketika terloncat ke udara seperti kena pukulan
sebuah bukit batu. Dan makin ia melepaskan pukulan dengan ber-tubi-tubi hebatnya
tak terkatakan lagi se-akan-akan barisan jutaan tentara berkuda, pukulannya
menggeledek menyambar garis gelombang laut yang datang melanda pantai, suaranya
bergemuruh seperti gugurnya sebuah gunung. Setiap pukulan yang men-darat di
permukaan laut, meledak dahsyat melebihi geledek dan melambungkan gelom-bang
setinggi gunung. Tenaga sakti Sangaji sudah pernah me-ngagumkan hati Adipati
Surengpati, Gagak Seta, Kyai Kasan Kesambi dan Kebo Bangah. Namun melihat
akibat pukulan itu wajah Sangaji berubah pucat. Pikirnya, apakah ini yang
dimaksudkan orang, bahwa dengan sebi-lah pedang tumpul menggugurkan gunung? Ia
sibuk menimbang-nimbang. Tebasan pedang tidak menyentuh sasaran, namun sudah
dapat menahan dan menyibakkan arus gelombang. Tahulah dia kini, apa sebab pedang
Soka-yana berdengung manakala ia mengerahkan tenaga sakti. Ternyata pedang itu
merupakan saluran pembuangan tenaga sakti yang dah-syat luar biasa. Sebab
setiap kali digerakkan dengan tenaga sakti, ia menghimpun tenaga sakti tersebut
berbareng dengan tenaga gerakan. Dengan demikian tenaga lontarannya menjadi
berlipat ganda. Bisa dibayangkan betapa pedang itu menjadi dahsyat di tangan
Sangaji yang memiliki tenaga sakti jauh di atas tujuh pendekar sakti. Semenjak
itu, saban malam Sangaji berlatih. Ia masih tetap menggunakan jurus-jurus
Kumayan Jati. Makin sederhana, makin dahsyat akibatnya. Seperti ia ketahui
sendiri, ilmu sakti Kumayan Jati memiliki jurus-jurus sederhana. Sebaliknya
apabila ia memainkan jurus-jurus ilmu pedang ajaran Wirapati, jauh bedanya.
Meskipun kini tidak lagi berbalik memukul diri, tetapi tenaga himpunannya
buyar. Ini disebabkan, karena habis tertebar oleh jurus kembangan dan tipu
muslihat yang berliku-liku. Mengertilah aku sekarang apa yang dimak-sudkan
dengan bunyi huruf kepandaian tinggi nampaknya sederhana, pikirnya dalam hati
dengan girang. Memperoleh pikiran demikian, kini ia men-coba menyederhanakan
gerakan jurus Kuma-yan Jati. Sudah barang tentu hal itu tidaklah gampang. Sebab
samalah halnya dengan mencipta jurus-jurus itu sendiri. Dan dia bu-kanlah masuk
golongan manusia demikian. Dengan mengeraskan hati, ia mencoba mengumpulkan
semua jurus-jurus ilmu kepandaian dalam ingatannya. Mulai dari ajaran Jaga
Saradenta, Wirapati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi sampai pengalaman-nya
melihat jurus pertarungan antara jago-jago tua. Kemudian ia mencoba
menggubahnya. Namun masih saja ia gagal. "Dasar aku tolol, betapa aku
mencoba yang bukan-bukan," ia mengeluh dalam hati. Memikir demikian, ia
tak mau berusaha lebih lanjut. Dasar hatinya sederhana dan sepi dari
kerangsangan angan (ambisi) maka ia berpikir, aku sudah mewarisi ilmu sakti
Bende Mataram. Meskipun baru sebagian, kalau saja bukan anugerah Tuhan, betapa
mungkin demikian. Masakan kini memikir yang bukan-bukan seolah-olah tidak tahu
terima kasih. Hatinya lantas menjadi puas. Memang guratan rahasia yang terdapat
pada keris Tunggul Manik adalah ilmu sakti tertinggi di dunia, la merupakan
saluran tenaga hakiki manusia yang paling dahsyat. Kini secara tak terduga-duga
ia memiliki pedang Sokayana pula, yang sesungguhnya mengandung magnit poros
bumi yang tiada duanya di dunia. Keruan saja tenaga sakti leburan Kumayan
Jati—Bayu Sejati—Getah Dewadaru dan Madu Tunjungbiru yang tersalur lewat ilmu
sakti keris Kyai Tunggulmanik dan kemudian terhimpun di pedang sakti Sokayana,
merupakan bendungan tenaga yang luar biasa seumpama bisa menggo-yahkan langit
dan bumi. Tenaga pelontarannya dilipat gandakan beberapa kali dengan tenaga
berat pergerakan pedang. Andaikata Sangaji seorang pemuda yang tidak memiliki
ilmu kepandaian sejuruspun, pukulannya masih mampu meremukkan tiga ekor gajah
sekaligus menjadi beberapa potong. Karena itu ucapan hatinya sudah mendekati
kebenaran mutlak. Tetapi sekonyong-konyong ia seperti men-dengar suara lantang
pendekar Gagak Seta. "Hai tolol! Kau boleh menjadi gagah, tapi kalau
kehilangan Titisari, engkau tak bisa b-kerja." Dan teringat Titisari,
hatinya lemas, la yang sudah terhibur beberapa hari lamanya, bere-nung-renung
kembali. Perasaannya sakit manakala teringat betapa cara Titisari berpisahan di
Cirebon. Selagi hatinya diamuk badai ingatannya, pendengarannya yang tajam
mendengar suatu benturan tajam berbareng dengan bentakanbentakan. Terang itulah
suatu pertarungan sengit pada babak permulaan. Ia heran. Pikirnya, siapakah
yang bertempur di dekat pantai itu? Memikir demikian, sekali melesat ia sudah
tiba di dekat mereka. Kemudian menonton di luar gelanggang. Seorang wanita usia
pertengahan, dikerubut dua orang laki-laki. Perempuanan itu bersenjata sebilah
pedang panjang. Sedang yang mengembut bersenjata tongkat. Meskipun dikerubut
dua, perempuan itu dapat bergerak dengan leluasa. Dengan didahului siulan
lembut, ia menubruk lawannya yang berpakaian rapih. Belum lagi lainnya
memperbaiki kedudukan, ia menyabetkan pedangnya ke arah lawan. Melihat seorang
perempuan, dikerubut dua orang laki-laki, sudahlah mengherankan hati Sangaji.
Dan ia semakin heran tatkala menge-nal siapa kedua orang laki-laki itu. Mereka
ternyata Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Ilmu kepandaian mereka tiada celanya.
Tetapi menghadapi perempuan itu, mereka mati kutu. Gerakannya seperti
ayal-ayalan. Inu Kertapati yang terancam sabetan pe-dang, menangkis dengan
tongkatnya. Tongkatnya terbuat dari monel. Begitu berbenturan menerbitkan suara
nyaring memekakkan telinga. Perempuan itu memekik terkejut. Tak pernah ia
mengira, bahwa tongkat yang biasanya dipergunakan untuk menyapu atau membabat,
dapat digunakan sebagai pedang oleh lawannya. Buru-buru ia menarik pula
ancamannya. Kemudian ia menyambar ikat kepala Sidi Mantra seraya membentak,
"Lepas!" Gerakan itu sama sekali tak terduga-duga. Nampaknya hanya
menyambar ikat kepala. Tetapi sebenarnya menerkam ubun-ubun dengan tenaga
dahsyat. Itulah yang dinamakan menyerang dengan meminjam tenaga lawan. Sidi
Mantra terkejut menghadapi kegesitan lawan. Ia merasakan pula tenaga sambaran,
hingga pundaknya tergetar. Namun di saat segenting itu ia tak menjadi gugup ia
meng-genjot badannya lantas saja ia melesat ke udara sambil memunahkan tenaga
lawan. Sangaji ikut merasakan ketegangan itu. Tak terasa ia menarik napas.
Pikirnya, perempuan itu hebat. Tetapi apa sebab begitu kejam? Oleh gebrakan
tadi masing-masing terpisah pada tiga kedudukan dan saling mengagumi kegesitan
lawan. Sejenak mereka berdiam diri kemudian terdengar Inu Kertapati berkata,
"Edoh8) Permanasari! Mengapa dendam yang sudah melampaui masa liga puluhan
tahun, 8). Edoh: Bunyi kata Edoh seperti: anteng: embargo atau elok masih saja
kau bawa-bawa? Kekasihmu Ka-marudin sudah hidup bahagia dengan Nursanti selama
tiga puluh tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Mengapa selagi Kamarudin
bepergian untuk menunaikan tugas sebagai seorang pencinta negara, engkau
membunuh istri dan anak-anaknya seperti membabat ayam belaka?" Perempuan
yang disebut Edoh Permanasari tertawa tinggi sambil menjawab, "Aku
mem-bunuhnya atau tidak apa sangkut pautnya denganmu?" "Kamarudin
adalah sahabatku. Mana bisa aku tinggal berpeluk tangan mendengar ke-luarganya
tertimpa malapetaka?" "Bagus kau mengaku sebagai sahabatnya? Sahabat
yang mana? Kamarudin atau perem-puan yang tidak kenal malu?"
"Kedua-duanya," sahut lnu Kertapati. Tiba-tiba Sidi Mantra membentak,
"Menga-pa kau menyebut isterinya sebagai perempuan yang tidak kenal malu?
Engkaulah perempuan siluman jahanam!" Edoh Permanasari tak meladeni.
Dengan sikap dingin ia tertawa tinggi lagi. Sangaji terkesiap mendengar
beberapa rentetan percakapan mereka. Beberapa hari yang lalu, Kamarudin
bersama-sama kawan-nya datang di rumahnya dengan membawa barang-barang hantaran
dua buah Dewa Ratna. Apakah malapetaka yang menimpa keluarganya, bersamaan
dengan waktu kunjungannya itu? Dan ia lantas sibuk menduga-duga. "Edoh
Permanasari! Kau memang iblis!" kutuk lnu Kertapati. "Kau tak bisa
melihat ke-bahagiaan orang. Lantas mengambil tindakan di luar batas kemanusiaan."
"Apa itu kemanusiaan?" tungkas Permana-sari. "Aku justru
bertindak menegakkan kemanusiaan." "Kemanusiaan?" seru lnu
Kertapati dan Sidi Mantra berbareng. "Mengapa tidak?" "Kau
siluman jahanam!" bentak Sidi Mantra. Lagi-lagi Edoh Permanasari tertawa
dingin. Dengan suara bergelora ia berkata, "Kalian menganggap diri sebagai
pendekar-pendekar kemanusiaan. Bagus! Meninggalkan dan menyia-nyiakan seseorang
selama tiga puluh tahun bukankah perbuatan di luar kemanusiaan? Coba
jawab!" lnu Kertapati dan Sidi Mantra saling memandang. Kemudian dengan
suara agak sabar lnu Kertapati menjawab, "Aku tahu kau jadi kejam karena
gagal dalam percintaan. Itulah tidak tepat. Kamarudin sudah memilih jalannya
sendiri dan kemudian sudah menjadi suami orang serta menjadi ayah tiga orang
anak puia. Ia pernah kena siksa gurumu demi untukmu. Tapi apa sebab engkau
masih merusak kebahagiaan hidupnya?" "Kau maksudkan apa dengan
kata-kata memilih jalannya." "Ah, Edoh kau berlagak pilon. Bukankah
karena dia memihak laskar Ratu Bagus Boang dan engkau memihak Ratu
Fatimah?" Dengan bersikap angkuh Edoh Permanasari tertawa perlahan.
Kemudian berkata menyim-pangkan pembicaraan, "Tentang dia kena sik-sa guru
sampai kepalanya membengkak besar, itulah bukan kesalahanku. Coba ia mau
menyerahkan buah Dewa Ratna dengan baik-baik dan pandai melihat gelagat, aku
tanggung dia tak perlu bercacat tubuh. Meskipun demikian, aku tetap menghargai.
Sudah kubujuk dia, agar melupakan cara hidup berkeliaran tak keruan
juntrungnya... tetapi dia membandel. Apakah manusia begitu termasuk orang
pendekar kemanusiaan?" "Apakah hubungannya antara bujukanmu dan
kemanusiaan?" "Karena..., karena dia pergi dengan mem-bawa
hatiku." 9)Pilon: linglung "Perempuan siluman!" maki Sidi Mantra
dengan hati panas. Meledak. "Apakah dengan alasan itu, engkau merusak
kebahagiaannya?" "Dia menyingkir dariku, kemudian kawin dengan
perempuan lain. Bukankah menghina aku? Dia mempertahankan buah Dewa Ratna
dengan mati-matian, kemudian diberikan ke-pada anak kompeni, bukankah menghina
guruku? Itulah perbuatan di luar batas." Sangaji terkejut mendengar
disinggungnya buah Dewa Ratna dan kata-kata anak kom-peni. Siapa lagi yang
dimaksudkan dengan anak kompeni kecuali dia. Apakah buah Dewa Ratna milik
perempuan itu? Pikirnya dalam hati, sekiranya milik perempuan itu, maka
perbuatan Kamarudin kurang benar. Sebaliknya perbuatan perempuan itu membunuh
keluarga Kamarudin juga tak dapat dibenarkan. Selagi memikir demikian,
terdengar Inu Kertapati berkata, "Siapa saja tahu, gurumu Ratu Fatimah adalah
iblis terkutuk. Dan engkau adalah muridnya. Kamarudin mening-galkan engkau
karena memihak kepada yang benar. Itulah laki-laki tulen. Sebab buat laki-laki
yang tahu arti kebajikan hidup, akan meletakkan urusan negara dan bangsa di
atas kepentingan sendiri. Coba seumpama dia menuruti kemauanmu sehingga
bersedia menghambakan diri kepada gurumu yang terkutuk itu, anjingpun masih
beruntung. Begitulah engkau akan membahagiakan? Tentang buah Dewa Ratna
meskipun akan diberikan kepada iblispun, apa pedulimu? Siapa saja tahu buah
Dewa Ratna itu bukan kepunyaan gurumu, meskipun siluman itu sudah mengangkat
diri menjadi pewaris kerajaan. Kau pasti tahu pula bahwa buah Dewa Ratna adalah
mustika warisan almarhum Sultan Maulana Muhamad10) kepada anak cucunya.
Akhirnya jatuh kepada Ratu Bagus Boang dan dipercayakan kepada sahabatku
Kamarudin. Sebelum ratu Bagus Boang musna, beliau memberi pesan kepada rakyat
Banten bahwa mewariskan buah Dewa Ratna kepada siapa saja tanpa memandang bulu,
asalkan si-pewaris diharapkan menggantikan kedudukan beliau untuk meneruskan
perjuangan rakyat Banten dikemudian hari. Alhamdulilah! Setelah buah Dewa Ratna
mengeram sepuluh tahun lebih dalam peti simpanannya oleh petunjuk pendekar
sakti, Tunjungbiru, rakyat Banten menemukan pewarisnya yang tepat. Itulah yang
kausebutkan sebagai anak kompeni." 10). Sultan Banten pada tahun 1500.
Sultan pujaan rakyat Banten karena berhasil membawa kesejahteraan dan kejayaan
"Kau pernah melihat dia?11)" Edoh permanasari mendengus. Kemudian
menjawab tak kalah gertak, "Aku melihat dia atau tidak, apa bedanya?"
"Bagus! Kau bakal menumbuk batu." Edoh Permanasari tertawa panjang.
"Aku ingin melihat tampangnya bocah yang begitu berani menyebur dalam
lautan api ini. Kalau bisa biar kusadarkan dahulu apa artinya menerima buah
Mustika Dewa Ratna. Itulah berarti membuang nyawa sia-sia. Sebab Mustika Dewa
Ratna adalah jiwa Kerajaan Banten." "Eh, Apakah maksudmu bukan obat
muja-rab gurumu agar tetap awet muda?" potong Sidi Mantra. "Kau
bilang apa?" bentak Edoh Permana-sari. "Aku bilang, gurumu kepingin
awet muda agar bisa mempunyai kekasih baru lagi. bukan? Seperti kau yang sudah
menjadi nona tua selama tiga puluh tahun, bukankah masih usilan mengurusi
perkara cinta kasih? Nah, janganlah nama kerajaanku kaubawa-bawa untuk menutupi
kedok kebusukan kalian. Bagi seorang perempuan seperti Edoh Permanasari,
sebutan nona tua merupakan suatu pantangan besar. Tak mengherankan Edoh
Permanasari menerjang Sidi Mantra de-ngan memekik geram. Dengan pedang
pan-jangnya, ia merabu dan menikam dengan suatu gerakan maut. Tetapi Sidi
Mantra siang-siang sudah bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya pedang, segera
ia menangkis dengan mengadu tenaga. Pikirnya, masakan tenagaku kalah dengan
tenaga perempuan? Tetapi ternyata ia salah duga. Suatu tenaga berat menindih
tongkatnya. Dan lengannya terasa kena tarik. Buru-buru ia meloncat mundur
sambil memutar tongkatnya bagaikan kitiran. Kemudian mengeluarkan ilmu
simpanannya untuk menjaga diri rapat-rapat. Inu Kertapati segera pula membantu
teman-nya. Dalam beberapa gebrakan ia tahu bahwa Sidi Mantra bukan tandingan
Edoh Perma-nasari. Cepat ia menerjang dari belakang, sambil membentak,
"Mengingat Kamarudin aku bersikap segan menghadapi semua keja-hatanmu.
Tapi kini engkau merusak keluarga Kamarudin. Maka jangan salahkan aku! Hari ini
kalau bukan aku, engkaulah yang mampus. "Bagus! Kaulah sendiri yang
berkata bosan hidup. Aku sih hanya mengiringkan kehendakmu," sahut Edoh
Permanasari sambil menangkis serangan selintasan. Kemudian ia menjejak tanah
melesat ke depan. Nampaknya ia menyerang Sidi Mantra. Diluar dugaan tiba-tiba
ia meliukkan tubuhnya ke belakang dengan lemas seolah-olah pinggangnya tidak
bertulang. Dengan cara begitu tiba-tiba saja ia sudah bisa menempel Inu
Kertapati sangat dekat. Sudah barang tentu, Inu Kertapati kaget setengah mati.
Untuk menggerakkan tongkat-nya sudah tidak mungkin, karena jaraknya terlalu
dekat. Mundur pun tidak keburu. Dalam seribu kerepotannya, tangan kirinya
menghantam dagu lawan. . Edoh Permanasari memiringkan tubuhnya. Tangannya
menyambar pergelangan tangan Inu Kertapati. Kemudian dengan meminjam tenaga
lawan, ia melesat mundur sambil tertawa, merendahkan. Celakalah Inu Kerta-pati.
Sama sekali tak diduganya, bahwa per-gelangan tangannya bakal kena sambar dan
didorong maju. Tadi ia sudah mengerahkan tenaga hampir sepenuhnya. Karena itu,
begitu kena dorong ia seperti sebuah benda yang dilontarkan. Tak ampun ia
menubruk Sidi Mantra yang pada saat itu sedang maju menggempurkan tongkatnya.
Mereka berdua terpental mundur bergo-yangan. Masih untung, tongkat Sidi Mantra
hanya menyambar udara. Sangaji mengeluh. Bukan melihat keadaan mereka, tetapi
karena dirumun persoalan yang tadi didengarnya. Tak kusangka, bahwa disinipun
aku mengalami peristiwa semacam perebutan pusaka Bende Mataram. Pikirnya dalam
hati, aku telah menerima buah Dewa Ratna. Bukankah sama halnya dengan warisan
pusaka Bende Mataram? Di Jawa Tengah, orang-orang gagah saling bertempur
semata-mata untuk dapat memiliki pusaka Bende Mataram. Disini pun ternyata ada
pihak tertentu yang bersedia mengadu nyawa demi buah sakti Dewa Ratna. Mengapa
aku seperti harus terlibat dalam sesuatu hal yang tidak kumengerti sendiri? Ia
mencoba mencari kunci jawabannya. Tetepi anehnya semakin dipikir semakin ia tak
mengerti. Dalam pada itu pertarungan digelanggang kian lama kian menjadi seru.
lnu Kertapati dan Sidi Mantra berkelahi dengan bernafsu. Gerakan tongkatnya
tidak segan-segan lagi. Mereka merangsak maju dibarengi dengan
bentakan-bentakan. Namun masih saja Edoh Permanasari dapat melayani dengan
leluasa. Dengan berlenggak-lenggok seakan-akan menari, ia menanti setiap
serangan, dengan tepat. Apabila membalas, gerakanya sangat gesit dan
serangannya sukar diduga. lnu Kertapati semula berkelahi dengan setengah hati.
Ia mengenal Edoh Permanasari semenjak masih gadis remaja. Budi pakarti Edoh
Permanasari, halus tiada cela. Maka ia bermaksud hendak membawanya ke jalan
yang benar. Kemudian akan ditarik kepi-haknya. Dengan demikian akan memperteguh
barisan laskar Banten dan akan melemahkan pihak raja. Tetapi ternyata Edoh
Permanasari kini menjadi manusia lain. Kehalusanya dahulu tiada lagi. Ini
disebabkan gara-gara gagalnya masalah cinta semata. Ia tak pernah bermimpi,
bahwa soal cinta kasih dapat membuat manusia baru. Seseorang mendadak bisa
bertambah umur karena memperoleh suatu kelegaan dalam soal cinta kasih.
Sebaliknya seseorang bisa berubah dengan tiba-tiba, karena gagal dalam cinta
kasih pula. Dan Edoh Permanasari yang dahulu halus budi, tiba-tiba kini menjadi
manusia yang ditakuti hampir semua pendekar-pendekar seluruh Jawa Barat.
Benar-benar masalah cinta kasih mempunyai dunianya sendiri. TATKALA HATINYA
PERNAH DIPATAHKAN KAMARUDIN, Edoh Permanasari hampir gila. Dengan mengandung
dendam ia hendak melabrak rumah tangga bekas kekasihnya. Tetapi gurunya
berbareng majikannya (Ratu Fatimah) menyadarkannya, bahwa dia bukan tandingan
Kamarudin. Dendam tanpa perbe-kalan samalah halnya dengan mengantarkan nyawa
dengan sia-sia. Mungkin mengingat perhitungannya masa lalu, Kamarudin tidak
akan membunuhnya. Tetapi pelabrakan itu sendiri berarti suatu kegagalan yang
mema-lukan. Edoh Permanasari dapat disadarkan. Kemudian dengan penilikan
gurunya, ia me-nyekap diri selama dua puluh tahun lebih. Pada tahun berikutnya,
mulailah ia mencoba ilmu kepandaiannya. Ia kini sangat membenci semua laki-laki
dan perempuan yang memperoleh kebahagiaan dalam soal cinta kasih. Malahan ia
membenci pula kanak-kanak yang selalu subur hidupnya akibat cinta kasih orang
tuanya. Dan golongan inilah yang menjadi korbannya yang pertama kali. Puluhan
bahkan ratusan sejoli dibunuhnya tanpa mengenal ampun. Anak-anak mereka
dimusnahkan sampai ke bulu-bulunya. Sudah barang tentu sepak terjangnya
menerbitkan suatu kegemparan hebat dalam kalangan para pendeta. Tetapi ia tak
menghi-raukan. Dengan sebilah pedang panjang ia menghadapi mereka yang ingin
melenyapkan-nya dari muka bumi. Ternyata bukan Edoh Permanasari yang lenyap.
Sebaliknya seorang demi seorang ditumpasnya dengan seorang diri saja. Dengan
demikian gerakan para pen-dekar hanya menambah jumlah korban bela-ka. Malahan
semenjak itu Edoh Permanasari kian menjadi heran, karena sudah keyakinan diri.
Sekarang ia berani memasuki golongan pencinta-pecinta negara dengan
terang-terangan. Dan akhirnya sebagai puncak sepak terjangnya, ia membasmi keluarga
Kamarudin sampai keakar-akarnya. Keruan saja Inu Kertapati kehilangan
kesabarannya. Dengan mengajak Sidi Mantra ia mengejar Edoh Permanasari. Dalam
hatinya ia hendak menawannya hidup atau mati untuk kemudian akan diserahkan
kepada Perserikatan Pecinta Negara seluruh Jawa Barat. Tetapi di luar dugaan,
ilmu kepandaian Edoh Permanasari benar-benar berada di atas kemampuannya
sendiri. Makin ia bernapsu hendak menumpasnya sendiri. Makin ia hen-dak
menumpasnya, makin terasa betapa dia menjadi mati kutu. "Tak kusangka,
setelah lewat tiga puluh tahun, ilmu kepandaiannya begini maju pesat," Inu
Kertapati mengeluh dalam hati. "Edoh!" serunya kemudian dengan
garang. "Benar-benar engkau ini bukan manusia lagi." "Eh,
mengapa begitu? Bukankah akupun salah seorang penegak sendi-sendi keadilan dan
kemanusiaan." "Kemanusiaan? Kau bunuh keluarga Kama-rudin tanpa
memandang bulu, apakah itu berperikemanusiaan?" bentak lnu Kertapati.
"Mengapa tidak?" sahut Edoh Permanasari sambil menangkis serangan
Sidi Mantra. "Dengan matinya isteri dan anaknya, maka dia akan mengerti
arti kemanusiaan sesung-guhnya. Aku pernah menderita selama tiga puluh tahun.
Dan sekarang dia baru mulai. Paling tidak kuharapkan selama tiga puluh tahun
pula. Itulah baru adil. Dengan demikian bukankah aku ikut menegakkan hukum
keadilan?" "Perempuan siluman! Hari ini aku akan mengadu nyawa
denganmu," teriak lnu Ker-tapati. Dan dengan menggerung, ia mener-jang.
Sidi Mantra tak ketinggalan pula. Namun serangan Sidi Mantra tak serapih
kawannya. Tongkatnya kena tangkis dan terpental ke udara. Dengan terkesiap ia
melompat mundur. Matanya melihat sebatang pohon lamtara se-besar dua genggam
manusia dewasa. Segera menghampiri. Dengan mengerahkan tenaga ia mencabut pohon
itu sampai ke akar-akarnya. "Benar-benar besar tenangamu!" kata Edoh
Permanasari dengan tersenyum. "Perempuan siluman puluhan tahun kita tak
berjumpa. Ternyata ilmu kepandaianmu mengagumkan hatiku. Benar-benar engkau
nona tua yang harus kuhargai." Dua kali berturut-turut Sidi Mantra mengejek
Edoh Permanasari dengan sebutan nona tua. Keruan saja hati Edoh Permanasari
mendongkol bukan kepalang. Sekarang sorot matanya mengandung sinar pembunuhan.
Dengan memekik ia menebaskan pedangnya. Sidi Mantra cepat-cepat mengangkat
pohon-nya dan menyapu pedang lawan. Dengan manis Edoh Permanasari menarik
kebasannya. Kemudian sambil mengelak ke samping ia membabat kaki. Ternyata Sidi
Mantra kepandaiannya tidak rendah. Begitu melihat serangan Edoh Permanasari
mengarah kaki. Cepat ia menjejak tanah dan melambung di udara. Dari atas ia
hendak menggencet kepala. Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya pedang. Inilah
serangan susulan yang tidak terduga-duga. Hatinya terkesiap. Pada saat ia
menyerahkan diri pada nasib, tongkat lnu Kertapati menyapu pedang Edoh
Permanasari sehingga menerbitkan suara berdesingan. Dengan tangkisan itu, Sidi
Mantra dapat menancapkan kakinya di atas tanah. Ia mera-sa dirinya lolos dari
lubang jarum. Hatinya lega bukan main. Tapi gebrakan itu sendiri, membuat
keringatnya menjadi dingin. Edoh Permanasari tidak mengira serangan-nya akan
gagal. Karena yang membuat kega-galan Inu Kertapati, maka ia memusatkan
perhatiannya kepada pendekar berpakaian rapih itu. Gesit ia menggerakkan
pedangnya, serangannya hebat, sehingga menerbitkan suara menggaung. Ujung pedang
mengarah ke dada. Inu Kertapati menyambut serangan itu de-ngan tak kalah gesit.
Juga gerakan tongkatnya menerbitkan suara mengaung. Edoh Permanasari terkesiap.
Sadarlah dia bahwa lawannya kini berkelahi dengan sungguh-sungguh. Segera ia
menambah tenaga tekanan. Dan suatu bentrokan terjadi untuk kesekian kalinya.
Tetapi kali ini hebat akibatnya. Tongkat Inu Kertapati rompal sedikit.
"Pedang bagus!" puji Inu Kertapati. Kemu-dian berkata kepada Sidi
Mantra, "Biarkanlah aku mencoba seorang diri." Mendengar ucapan Inu
Kertapati, Edoh Permanasari tertawa geli. Katanya, "Kau boleh menyebut
diri seorang pendekar kemanusiaan. Tapi kau bukan tandinganku. Kau percaya
tidak?" Inu Kertapati seorang pendekar yang cermat dan tidak
gampang-gampang kena terbakar hatinya. Meskipun demikian, hatinya tak tahan
juga direndahkan demikian. Dengan menggerung dia menyapu dan membabatkan
tongkatnya. Namun betapapun juga, benar-benar ia tak mampu berbuat banyak. Edoh
Permanasari terlalu hebat baginya. Dan tiga puluhan jurus telah lewat dengan
cepat. Sama sekali ia tak dapat menyentuh tubuhnya. Akhirnya ia jadi gelisah
sendiri. "Kau percaya tidak?" ejek Edoh Permana-sari. "Kalau aku
mau melukaimu, gam-pangnya seperti membalik tangan sendiri. Kau percaya
tidak?" "Hem... boleh coba," dengus Inu Kertapati. "Bagus!
Kau sendiri yang mencari penyakit tetapi mengingat perhubungan kita dahulu, aku
hanya menginginkan sepotong bajumu." Dan benar- benar ia membuktikan
ucapannya. Entah bagaimana ia bergerak tahu-tahu pedangnya menyambar secepat
kilat. Brebet! Dan lengan baju Inu Kertapati terpotong sebagian. Melihat
temannya dalam bahaya, Sidi Mantra tidak berpikir panjang lagi. Terus saja ia
melompat sambil menyodokkan senjatanya. Meskipun ia sangat bernafsu untuk
melam-piaskan rasa marahnya, tetapi berat batang pohon mengganggu kesehatannya.
Sekarang, Edoh Permanasari memperli-hatkan puncak kepandaiannya. Setelah
mengelak ke samping, ia meloncat tinggi dan hinggap di atas pohon. Kemudian
pedangnya disabetkan. Sudah barang tentu, Sidi Mantra kaget bukan main. Sama
sekali tak diduganya bahwa Edoh Permanasari bisa berbuat begitu. Dalam gugupnya
Sidi Mantra menyabetkan pohonnya ke kiri kanan dengan maksud hen-dak
menggulingkan lawan ke tanah. Tetapi sambil tertawa Edoh Permanasari
berlari-larian di atas batang pohon mengarah padanya. lnu Kertapati terhenyak
menyaksikan kelincahan dan kecerdikan lawan. Benar-benar ia kagum. Tetapi
begitu ia melihat berkelebatnya pedang, Edoh Permanasari hendak menebas lengan
Sidi Mantra, cepat ia membenturkan tongkatnya. Edoh Permanasari mundur
cepat-cepat. Sesudah itu betapa Sidi Mantra membolang-balingkan pohonnya, tetap
saja ia melengket di atasnya. Manakala lowong, ia datang menyerang. Kemudian
mundur apabila tongkat lnu Kertapati menyambut serangannya. Diperlakukan demikian,
Sidi Mantra benar-benar mati kutu. Makin lama berat pohon terasa semakin berat.
Meskipun berat badan Edoh Permanasari tidak seberat kerbau, tapi paling tidak
menambahi berat pohon enampuluh kati. Tenaganya lambat laun mengendor karena
lelah. Celakanya ia tak bisa memukul balik lawan. Suatu pikiran mengajak dia
untuk melontarkan pohon itu ke udara. Tetapi hal itu, berarti ia tak bersenjata
lagi. Juga Edoh Permanasari menyerang dari udara, bukankah dia terpaksa lari
terbirit-birit. Sidi dalam kebimbangan. Ia melihat lnu Kertapati menghampiri
Edoh Permanasari sambil merabukkan tongkatnya. Dengan berlari-larian Edoh
Permanasari melayani dari atas pohon. Dan ia jadi bersakit hati, karena merasa
diri sebagai pelayan Edoh Permanasari untuk melonjorkan batang pohon baginya.
Memikir demikian ia menjadi gemas. Tak memedulikan akibatnya lagi, ia
benar-benar melontarkan batang pohon ke udara. Kemudian bergulingan ke tanah
untuk membebaskan diri dari suatu serangan balasan yang mungkin terjadi.
Dugaannya tepat. Edoh Permanasari benar-benar menyerang setelah tubuhnya
terlontar di udara. Tetapi ia bukan menyerang dengan pedangnya. Suatu kesiur
angin lembut melesat bagaikan kilat. Dan dengan suatu teriakan tinggi, Sidi
Mantra menggeletak tak berkutik. Waktu itu fajar hari belum tiba. Karena itu
apa yang menyebabkan Sidi Mantra sampai berteriak tinggi, kurang jelas. Setelah
rebah tak berkutik, ia mengerang sambil mengutuk. "Perempuan siluman! Kau
menggunakan senjata apa?" Edoh Permanasari tertawa selintasan sambil
memunahkan serangan Inu Kertapati. Kemudian berkata dengan suara penuh
kemenangan. "Itulah Jarum Gunung Gilu12', Permaisuri Ratu Fatimah yang
termasyhur. Engkau kena jarum Gilu. Itulah berarti nyawamu tinggal se-perempat
jam. Bukankah kakimu sudah terasa kaku-kaku? Nah, biarpun malaikat sendiri,
takkan mampu menolong sebelum menyembah aku tujuh kali." Sidi Mantra
menggerung. Benar-benar kakinya menjadi kaku. Ia mencoba bangun. Tapi begitu
menggeliat seluruh tubuhnya seperti tertusuk ribuan jarum. Inilah yang menyebabkan
ia tak bisa berkutik lagi begitu badannya kena sidik jarum beracun.
"Kertapati! Tumpaslah perempuan siluman itu!" seru Sidi Mantra.
"Nona tua yang tak laku kawin apa perlu dihidupi lagi." Tiga kali
sudah, Sidi Mantra mengejek Edoh Permanasari dengan kata-kata pantangan nona
tua. Ini pulalah yang menyebabkan Edoh Permanasari menurunkan tangan jahat.
Tadi Edoh Permanasari masih menawarkan suatu pengampunan, asalkan Sidi Mantra
mau menyembahnya tujuh kali. Tetapi sekarang, tidak lagi. Meskipun andaikata
Sidi Mantra minta-minta ampun sambil menjilat kakinya, ia tak menggubrisnya.
Maka dengan suatu gerakan yang sulit diceritakan, ia melesat menghampiri Sidi
Mantra. Pedangnya diayunkan ke atas dan turun ke bawah dengan derasnya. Inu
Kertapati yang merasa tak keburu lagi menolong temannya menjerit dengan suara
putus asa. Tiba-tiba saja pada detik-detik berbahaya sebuah benda melesat ke
udara dan menghantam pedang Edoh Permanasari, sampai terpental tinggi dan jatuh
tertancap hampir setengahnya di dalam tanah. Bukan main kagetnya Edoh
Permanasari. Mimpipun tidak, bahwa di dunia ini ada suatu kekuatan yang dapat
mementalkan pedang-nya tinggi di udara selagi ia menebas deras ke bawah. Tanpa
merasa ia meloncat mundur dan memungut benda yang mengguncang pe-dangnya. Itulah
sebuah kerikil sebesar biji jagung, la jadi tercengang-cengang. Katanya di
dalam hati, ilmu sakti orang yang menimpuk pedangku tak dapat kuraba berapa
dalamnya. Sekarang selagi dia belum muncul, bukanlah lebih baik aku menyingkir
cepat-cepat? Setelah memutuskan demikian, ia memu-ngut pedangnya yang tertancap
di dalam tanah. Ia bertambah kagum berbareng ber-panas hati. Begitu ia menjejak
tanah hendak kabur, tangannya mengebas menyerang lnu Kertapati dengan jarum
racunnya enam batang sekaligus. Tapi lagi-lagi enam buah benda terbang
membentur keenam jarumnya dan meruntuhkan di atas tanah. Ih! Hari belum lagi
terang. Meskipun de-mikian ia bisa membidik tepat semua jarumku. .Kalau bukan
setan pasti siluman, pikirnya dengan hati menggeridik. la tak berani berayal
lagi. Sesudah menyiapkan pedangnya, ia melompat memanjangkan kakinya. Sekejap
saja ia hilang dari penglihatan. ***ersambung) ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 36 DI PANGKUAN BUNDA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 36 DI PANGKUAN BUNDA"
Post a Comment