BENDE MATARAM JILID 23 JAGO-JAGO TUA
MELIHAT
Nuraini sudah bisa berbicara, Sanjaya bergirang hati. Segera ia menghampiri dan
berkata, "Adikku, mengasolah! Biarlah kucarikan air untuk membasuh
mukamu."
"Eh,
dimanakah engkau mencari air?" sahut Titisari dengan tertawa kecil.
"Biarlah aku berdua mencarikan air. Aku kan lebih pantas masuk ke dusun
untuk meminjam tempat air. Ayo, Aji!"
Memang
tujuan Titisari menolong Sanjaya di tengah pertempuran semalam adalah hendak
mempertemukan Nuraini kepadanya. Tak pernah diduganya, bahwa Nuraini berada di
sekitar dusun tersebut. Tadinya, ia hanya bermaksud mengakurkan belaka.
"Aji,
dengan begini Tuhan membantu aku," kata gadis itu. "Biarlah mereka
berbicara sepuas hati. Kita tak perlu mengganggu lagi."
Mendengar
ujar Titisari, Sangaji bersyukur dalam hati. Ia tahu hubungan antara Sanjaya
dengan Nuraini kurang menyenangkan. Semenjak di Pekalongan, ia berkutat agar
ter-tangkap jodoh. Kedua-duanya mempunyai hubungan erat dengan almarhum Wayan
Suage. Karena itu, apabila mereka berdua bisa akur, bukankah berarti
meringankan beban penderitaan pamannya di alam baka? Demikianlah pikir Sangaji.
Hanya saja bila teringat akan pesan Wayan Suage pada saat ajalnya, agar
memperistrikan Nuraini, hatinya jadi berduka.
"Titisari,"
katanya perlahan, "tak pernah kusangka engkau begini baik hati."
"Masakan
begitu?" sahut Titisari. "Terhadap siapa aku berbaik hati?"
"Terhadap
Sanjaya. Tadinya kusangka engkau benci padanya. Tak tahunya, engkau..."
"Aku memang benci padanya," potong Titisari.
Mendengar
ucapan Tiisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang. Tanyanya kemu-dian,
"Tapi mengapa engkau begini bersusah payah menolong dia dari ancaman
bahaya? Bukankah engkau berkata semalam karena hendak mempertemukan dengan
Nuraini?"
Titisari
tertawa geli. Sambil menarik tangan Sangaji, ia melompat ke depan.
"Kalau
Nuraini sudah akur dengan sahabat-mu yang sehati itu, bukankah hatiku jadi
ten-tram." "Tentram?" Sangaji heran.
"Ya,
tentram. Dengan begitu, engkau tak perlu lagi memikirkan Nuraini
menggodamu..."
Ah!
Sangaji terkejut. Tak pernah pemuda itu berpikir sejauh itu, bahwa diam-diam
Titisari menaruh cemburu juga terhadap Nuraini. Mengingat pesan almarhum Wayan
Suage, kalau ditimbang-timbang tak begitu salah. Karena itu mau tak mau ia geli
juga memi-kirkan nalar seorang perempuan.
Dalam
pada itu Nuraini bersikap dingin ter-hadap Sanjaya. Dengan sengit ia berkata,
"Yang mulia Raden Mas Sanjaya! Aku meng-ucapkan syukur kepadamu. Di
kemudian hari, bukankah kebahagiaanmu bakal tak terbatas? Engkau akan menjadi
pewaris kerajaan. Dan akan di agung-agungkan orang di seluruh jagad.
Selamat!"
Mendengar
kata-kata Nuraini, wajah Sanjaya berubah hebat. Tahulah dia, bahwa Nuraini
telah mendengar percakapannya de-ngan ayah angkatnya. Pikirnya dalam hati,
pantas, kudengar suara gemeresek di dalam peti. Tak tahunya, dialah yang
bersembunyi di sini...
Nuraini
melihat perubahan wajah Sanjaya. Hatinya menjadi lemah. Memang terlalu besar
cinta kasihnya terhadap pemuda itu, sehingga tak sampai hati melihat dia
berpedih hati. Ia tahu juga
tentang
pengkhianatan pemuda itu terhadap Sangaji danTitisari. Terang-terang, dialah yang
mengatur Pangeran Bumi Gede bisa meloloskan diri. Tetapi, pandai bermain
sandiwara begitu hampir sempurna. Alangkah palsu hatinya. Tetapi untuk membuka
rahasianya, masih juga dia tak sampai hati. Sangaji mungkin bisa memaafkan
tetapi Titisari,... hmm... dalam gusarnya gadis itu bisa membinasakan dia.
"Kau
panggil dia ayah? Hm... bagus sekali," dampratnya dengki. Ayahmu yang
sejati sudah terkubur karena perbuatan pangeran itu. Mengapa engkau bahkan
mengabdi padanya?"
Sanjaya
menundukkan kepala. Dampratan Nuraini benar-benar termakan dalam hatinya. Mau
ia membalas, tapi takut terdengar Titisari.
"Kau
akui bangsat itu sebagai ayahmu, masih bisa dimengerti. Mengingat semenjak
kanak-kanak engkau dirawat dan dibesarkan," damprat Nuraini lagi.
"Tapi yang memuakkan engkaupun turut menjadi gerombolan musuh negara.
Apakah engkau... engkau... ikut-ikut-an pula kemaruk kekuasaan?"
Kalimat
terahir itu diucapkan dengan derun hatinya sehingga tubuhnya menggigil. Sanjaya
jadi berdebaran juga. Cepat ia menyabarkan.
"Adikku..."
"Siapa
sudi kau panggil adik segala?" bentak Nuraini.
"Bagus!"
Sanjaya membalas membentak. Mukanya menjadi pucat, karena tak mengira
diperlakukan demikian. Sebagai seorang anak pangeran yang dimanjakan, ia bisa
memper-oleh segala dengan gampang. Kini ia kena bentak seorang gadis. Dan
menurut pendapat-nya adalah seorang gadis lumrah—seorang gadis kampung—seorang
gadis pasaran yang hidup bergelandangan dari kota ke kota. Meskipun demikian,
teringat akan pengakuan si gadis bahwa ia berada di tempat itu karena terengut
sang Dewaresi, hatinya jadi panas juga. Katanya kemudian, "Engkau tak sudi
kupanggil adik, karena engkau telah mempu-nyai kekasih baru. Hm, beginikah
engkau memperlakukan diriku?"
"Kau...
kau... kau bilang apa?"
"Bukankah
engkau telah mengabdi kepada
Dewaresi?
Kau bilang, Pangeran Bumi Gede adalah seorang bangsat. Apakah Dewaresi bukan
bangsat pula?" ujar Sanjaya sengit.
Mendengar
ujar Sanjaya, hati Nuraini pepat. Wajahnya menjadi pucat lesi. Seluruh
tubuh-nya menggigil, karena tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk
mempertahankan diri. Mendadak Sanjaya berkata lagi tak kurang sengitnya.
"Memang...aku
kalah ngganteng. Ilmu kepandaiannya pun jauh melebihi aku. Dia boleh
memperlihatkan keagungannya dan kemam-puannya. Tapi aku, kau larang
bercita-cita hendak mencapai keagungan... Memang, apakah aku ini?
"Aku
melarang sepak terjangmu yang sesat, demi cintaku," akhinya Nuraini bisa
berkata.
Hm...cinta
kasih? Engkau telah kena tawan bangsat itu. Masakan kesucianmu tak direnggutnya
pula? Sanjaya bersakit hati sampai raut wajahnya menjadi merah dan pucat
bergantian. Tapi Nuraini pun tak kurang-kurang menderita kepedihan dan sakit
hati "Aku... aku... aku...
kehilangan
kesucian?" Katanya tersekat-sekat, "Bilanglah...bahwa engkau tak
kehilangan kesucianmu!
"Kesucianku?
Apakah maksudmu dengan kesucian? Selama langit belum roboh, cintaku tetap
padamu."
"Hm...engkau
telah menjadi tawanan si bangsat itu bukan sekedar dua tiga hari. Tapi beberapa
minggu. Engkau dipeluk, dicium, diraba...ih! Masih beranikah engkau mengakui
putih bersih?"
Hebat
penanggungan hati Nuraini, kata-kata Sanjaya seperti gelombang menampar
padanya. Tiba-tiba saja, matanya berkunang-kunang. Sekujur badannya seperti
dilolosi. Maklumlah,
semenjak
bertemu di Pekalongan hatinya telah menyerahkan diri kepada pemuda itu setiap
detik ia merindukannya. Meskipun ia pernah ditawan, dihina dan diperlakukan
sebagai budak, hatinya tetap tertancap padanya. Kini, suatu malapetaka diluar
kekuatannya menimpa dirinya. Dan ia tak mampu lagi mempertahankan diri terhadap
serangan Sanjaya. Dalam lubuk hatinya ia mengakui, bahwa dirinya telah
kehilangan kesuciannya. Meskipun cinta kasih kepada pemuda itu tak pernah pudar
sedikitpun juga.
"Apakah
itu yang kaumaksudkan dengan kesucian?" Nuraini mencoba.
"Apakah
ada lain lagi? Coba kau bilang," bentak Sanjaya.
Benar-benar
Nuraini tak bisa berkutik. Karena pepat, ia roboh tak sadarkan diri.
Melihat
Nuraini jatuh pingsan, hampir saja Sanjaya melompat hendak menolongnya.
Maklumlah, bagaimanapun juga dengan gadis itu dia pernah bersentuh tubuh dan
mempu-nyai kisahnya sendiri. Mendadak teringatlah dia kepada sesuatu.
Nuraini
kuserang habis-habisan, kalau sampai dia berputus asa, bukankah ia bisa
membalas dengan membuka rahasiaku kepada Sangaji dan Titisari? Celakalah kalau
sampai begitu.
Memperoleh
pikiran demikian. Cepat ia keluar dari pintu butulan. Kemudian bersem-bunyi
dibalik rumpun bambu. Di sana ia meli-hat kuda Titisari lagi menggerumuti
rumput. Tanpa ragu-ragu ia terus melompat ke atas pelananya dan melarikan
secepat angin menuju ke timur laut.
Waktu
itu, Titisari dan Sangaji sedang men-jenguk sungai hendak mengambil air.
Mendadak ia mendengar derap kuda. Cepat mereka lari ke jalan dan terheran-heran
meli-hat kepergian Sanjaya.
"Jangan-jangan
mereka telah bertengkar dan Nuraini kena di...," kata Titisari cemas.
Gadis itu lantas saja balik ke lumbung dan melihat Nuraini tergeletak di atas
tanah. Gugup ia mendekati dan ketika melihat Nuraini hanya roboh pingsan,
hatinya jadi berlega.
Titisari
segera mengurut-urut pernapasan Nuraini. Sebagai sesama jenis, ia bisa berlaku
dengan merdeka. Sebaliknya, Sangaji tak dapat berbuat lain kecuali keripuhan
seorang diri. Mau ia menolong, tapi tak berani menyen-tuhnya. Salah-salah bisa
kena gampar Titisari. Karena itu, ia hanya berdiri disamping dengan hati
kebat-kebit.
Sejenak
kemudian. Nuraini menjenak mata. Melihat titisari. Ia membuang muka. Kemudian
menangis sedu-sedan dan berusaha mene-gakkan tubuh.
"Mengapa
engkau begitu?" tanya Titisari."... apakah Sanjaya..."
Nuraini
menyekat pertanyaan Titisari de-ngan menggelengkan kepala. Dengan setengah
berbisik Nuraini berkata, "Titisari! Masih ingatkah engkau, tatkala aku
kau ancam, dengan cundrik? '
"AH!
APA PERLU HAL ITU DIBICARAKAN POTONG," TITISARI gugup. Mukanya menjadi
merah teringat akan peristiwa dahulu. Peristiwa penodongan itu tak pernah
diceritakan kepada Sangaji. Maklumlah, justru karena khawatir Sangaji hendak
direbut Nuraini, ia jadi mata gelap. Karena itu diam-diam hatinya tercekat dan
merasa kikuk. Ia khawatir, Nuraini akan membongkar peristiwa itu dihadapan
Sangaji. Kalau sampai begitu, bukankah memalukan sekali?
Maka
cepat-cepat ia mengalihkan pem-bicaraan, "Sanjaya telah melarikan diri
dengan menggondol kudaku. Mengapa?"
Nuraini
mengngguk. Ia menelan ludah. "Aku tahu... karena itu aku ingin bertanya
kepadamu, apakah engkau masih teringat tatkala engkau mengancam aku dengan
cundrik?"
"Ya!
Mengapa?" terpaksa Titisari meng-iyakan.
"Masihkah
cundrik itu? Bolehkah aku pinjam barang sebentar?"
"Aji!
Kemari!" kata Titisari memanggil Sangaji, sambil mengangguk kepada
Nuraini.
Sanagaji
mendekat. Pandangnya penuh teka-teki. "Bolehkah dia pinjam cundriku?"
Titisari minta pertibangan.
Sangaji
tak pandai menjawab dengan cepat, ia seperti kebingungan.
"Sekiranya
dia membutuhkan benar dan engkau tak keberatan, apakah buruknya
meminjami?"
"Tapi
cundrik itu bertabiat jahat. Pernah kuancamkan dia," ujar titisari. Ia
seperti telah memperoleh firasat buruk.
Sangaji
tak mengerti tentang cundrik dan kisah penodongan. Karena itu, tak tahu dia
menjawab. Selagi ia tergugu Titisari berkata kepada Nuraini, "Kau ingin
pinjam cundrikku? tak berani aku meminjami. Tetapi kalau engkau ingin memiliki,
akan kuberikan dengan lapang hati. Aji menyetujui pula. Hai! Apakah engkau
benar-benar sampai hati hendak mem-bunuh kekasihmu?"
Nuraini
tersenyum pahit. Ia segera meneri-ma cundrik Titisari sambil berkata,
"Tadi aku telah bertengkar hebat dan aku dituduh kehi-langan
kesucianku."
"Karena
aku kena tawan, kena peluk, kena cium dan kena raba!" potong Titisari.
Nuraini
tertawa melalui dada. Kemudian beralih kepada Sangaji.
"Kangmas
Sangaji! Tak perlu lagi engkau ke Bumi Gede hendak mencari pangeran jahanam
pembunuh ayah dan pamanmu." Dia telah mendengar kabar dari Sanjaya tentang
maksudmu hendak membalas dendam. Kalaudia sudah mempunyai maksud hendak
bersembunyi sambil pula mempersiapkan diri untuk menghadapimu, tidaklah mudah
engkau menemukan. Mungkin dia bisa ke Jawa Timur. Mungkin pula ke Jawa Barat.
Agaknya dia takut padamu... Karena itu lebih baik Kangmas Sangaji mencarinya
dengan perlahan-lahan sambil mengurusi adik Titisari. Kalian berdua bernasib
jauh lebih baik dari padaku...
la
berdiam berenung-renung. Kemudian tersenyum mengejek dirinya sendiri. Mendadak
saja ia menjejak tanah dan melesat keluar pintu butulan sambil membawa cundrik
Titisari.
"Kak
Nuraini! Kau mau ke mana?" teriak Titisari sambil memburunya.
Mendengar
seru Titisari, Nuraini seperti berbimbang-bimbang di dekat sebuah pohon johar
ia berhenti. Tangannya menarik cundrik tinggi-tinggi kemudian bergerak hendak
menikam diri.
"Kak
Nuraini! Jangan!" Titisari berteriak cemas.
Sudah
barang tentu gadis itu tak dapat mencegah maksud Nuraini hendak bunuh diri.
Jarak antara keduanya agak jauh.
"Aji!
Cegahlah dia!" Titisari menjerit lagi.
Sangaji
sendiri waktu itu tertegun seperti kehilangan pikiran. Melihat Nuraini melesat
pergi dengan mendadak, ia heran dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba melihat Nuraini mencabut cundrik. Dan ia tersadar, karena terkejut.
Cepat ia meloncat memburu. Tetapi jaraknya pun cukup jauh.
Ternyata Nuraini
tak menikam dadanya.
Ia hanya memangkas
rambutnya sebatas kuduk.
Kemudian
melesat lagi entah ke mana tujuan-nya.
"Kak
Nuraini! Kak Nurani!" jerit Titisari masih memburu. Ia kaget tatkala dahinya
hampir kesamplok potongan rambut yang beterbangan. Ia tertegun-tegun dan dengan
hati mendelong mengawaskan kepergian Nuraini yang nampak kian jauh dan jauh.
Semenjak
kanak-kanak Titisari hidup senang. Meskipun telah kehilangan ibunya, tetapi
ayahnya sangat memanjakan. Apa yang diinginkan tak pernah tak terkabulkan.
Karena itu belum pernah ia merasakan suatu duka cita menggigit kalbunya. Kalau
ingin tertawa, tertawalah dia sepuas-puasnya. Sebaliknya apabila ingin
menangis, maka menangislah dia tiada hentinya.
Kini
ia menyaksikan suatu peristiwa hebat yang berkesan mengerikan hatinya. Bagi
se-orang wanita, rambut merupakan suatu pelengkap tubuh yang paling berharga.
Pada zaman itu,
bahkan
laki-Iakipun memelihara rambut sepanjang mungkin, seolah-olah suatu mustika
yang menentukan harga diri. Karena itu perbuatan Nuraini memangkas rambutnya
adalah suatu kejadian yang baru untuk pertama kali itu ia saksikan. Karuan saja
ia terkejut dan terharu bukan main. Sebagai sesama wanita, dapatlah ia
merasakan betapa besar penanggungan Nuraini. Kalau tidak, masakan sampai
berbuat demikian.
Perlahan-lahan
ia memutar tubuhnya. Dengan berkaca-kaca ia menatap Sangaji yang tertegun pula
bagaikan tugu. Dengan penuh haru ia berbisik, "Kak Nuraini telah
kehilangan kecantikannya... Apalah artinya seorang gadis tiada berambut lagi?
... Aji, tahukah engkau mengapa dia berbuat demikian? Hatinya begitu
keras..."
Sangaji
terkunci mulutnya. Ia merenungi Titisari dengan berbagai perasaan. Tiba-tiba
Titisari lari padanya dan menjatuhkan kepalanya di atas dadanya. Bisik gadis
itu di atas dadanya.
"Aji!
Aku takut! Entah apa sebabnya... aku takut..."
Tak terasa
Sangaji mengusap-usap rambut
Titisari seolah-olah lagi
membesarkan hatinya.
Tetapi
mulutnya tetap terbungkam.
"Aji!"
panggil si gadis.
"Ya?"
Sangaji menyahut pendek.
"Dia
tadi berkata padaku, dia pernah dirangkul, diciumi dan diraba Dewaresi. Lantas
Sanjaya menuduh dirinya kehilangan kesucian? Masakan seorang perempuan
kehi-langan kesuciannya, karena dirangkul, dicium dan diraba belaka? Apakah
kesucian takut kepada rangkulan, ciuman dan rabaan? ... Katanya, kalau seorang
gadis kehilangan kesuciannya, hilanglah kehormatannya pula. Masakan begitu?
Apakah dia lantas nampak hina dalam mata laki-laki? Ih, laki-laki sok berkepala
besar." Ia berhenti sebentar me-meras otak mencoba mengerti. "Aku
sekarang kau usap-usap... kau rangkul... kau raba... hanya belum kau ... apakah
aku sudah kehi-langan kesucianku? Aji! Apakah engkau lantas memandang hina
padaku? Apakah aku kini telah kehilangan kehormatanku? ... Aji! Apa-kah begitu?"
Titisari
adalah seorang gadis lagi menanjak umur 17 tahun. Masalah demikian masih asing
baginya, karena keadaan keluarganya. Sebaliknya, meskipun umur Sangaji dua
tahun lebih tua, sesungguhnya ia masih goblok juga mengenai urusan demikian.
Tetapi kodrat naluriahnya, samar-samar seperti mengerti. Maklumlah, dia telah
menjadi akil-balig. Hanya saja, tak tahu bagaimana harus menerangkan dan
mengucapkan.
Karena
tak memperoleh jawaban, gadis itu seperti kehilangan semangat. Seluruh
tubuh-nya terasa menjadi lelah. Dengan berdiam diri ia mengajak Sangaji kembali
ke lumbung. Kemudian tertidur pulas di samping pemuda itu dengan pikiran penuh.
Keesokan
harinya, ia bangun dengan hati segar bugar. Kesan kemarin hari, hilang lenyap
seperti awan tersapu angin. Sebaliknya Sangaji nampak kuyu. Satu malam penuh ia
susah menidurkan diri. Kecuali berbagai kesan tentang Pangeran Bumi Gede,
Sanjaya dan Nuraini, teringatlah dia kepada gurunya. Dalam pendengarannya ia
seolah-olah mendengarkan gurunya. Merintih dan memanggil padanya dengan gigi
bergemeretakan. Itulah sebabnya, begitu melihat Titisari telah bangun, segera
ia mengajak memburu Pangeran Bumi Gede.
"Peduli
amat dengan Pangeran Bumi Gede!" kata Titisari menggerutui. "Biarkan
dia berse-nang-senang dahulu. Diam-diam kita meng-amat-amati dari jauh."
"Tapi
aku harus menuntut dendam guruku," sahut Sangaji dengan hati terbakar.
"Eh, apakah benar-benar Pangeran Bumi Gede yang menjebak gurumu?"
Memperoleh
pertanyaan demikian, pemuda itu tergugu. Memang dia belum mendapat pegangan.
Hanya saja dia harus berkata.
"Titisari!
Budi guruku setinggi langit dan sebesar gunung. Barangkali engkau belum dapat
merasakan apa yang bergolak dalam diriku."
"Bagus!"
sahut Titisari cepat. "Masakan engkau tahu pula apa yang bergolak dalam
diriku? Semenjak kanak-kanak aku di-besarkan ayahku. Tetapi begitu kenal
padamu, tak betah aku berdiam terlalu lama di samping Ayah. Kau tahu apa yang
bergolak dalam diriku?"
Mendengar
kata-kata Titisari, Sangaji terdiam. Dasar ia tak pandai berbicara dan semenjak
lama telah merasa takluk pada kepandaian Titisari, maka dia seperti botol
ter-sumbat gabus.
"Titisari!
Hal itu meskipun tak dapat kuba-ca... ya, hal itu meskipun dapat kurasakan,
sedapat mungkin harus kita pisahkan. Ini mengenai guru dan murid. Guru
seolah-olah bagian hidupku sendiri."
"Hm...
kalau engkau membiarkan dirimu sendiri menjadi bagian hidupnya gurumu, apakah
aku tak boleh membiarkan diriku menjadi bagian hidupmu?" potong Titisari.
Dan Sangaji menjadi terharu bukan main. Terus saja ia memeluknya.
Titisari
membiarkan dirinya dipeluk. Terasa dalam dirinya, hatinya jadi aman. Kemudian
berkata lembut, "Mari kita berangkat mencari musuhmu. Kau mandi
tidak?"
Terus
saja mereka mencari sungai. Dan setelah mandi, berangkatlah mereka meng-arah ke
selatan. Mendadak saja, teringatlah Sangaji kepada janjinya hendak menghadap
Adipati Surengpati.
"Titisari!
Bagaimana pendapatmu, kalau aku menyeberang ke Karimunjawa?" ujarnya.
Titisari
terkejut mendengar ujarnya. Sekilas berubahlah wajahnya, kemudian berkata agak
gugup, "Apa kamu mencari mati?"
"Mati
adalah soal takdir, kata guruku. Tapi aku telah berjanji kepada ayahmu. Kau
bilang sendiri, ayahmu seorang yang menepati janji.
Sekiranya
aku tak datang, pastilah dia akan mencari aku. Kalau aku sampai diketemukan, di
manakah aku harus menaruhkan mukaku?"
Titisari
tahu, janji merupakan suatu kehor-matan bagi laki-laki. la mengenal watak
ayah-nya yang tinggi hati, keras kepala dan bengis. Sebaliknya apabila Sangaji
menemui dia masakan akan dibiarkan berlalu dengan sela-mat? Sangaji bukan
tandingannya. Dan ia takkan membiarkan Sangaji menerima nasib-nya. Kalau sampai
mati, diapun enggan hidup lagi. Sedangkan dia masih ingin hidup lebih lama
lagi, agar bisa bergaul lebih rapat dengan pemuda itu.
"Aji!
Kau tak boleh berangkat menemui Ayah," bisiknya gelisah.
"Lantas?
Apakah kau menginginkan aku agar menjadi seorang yang tak tahu menepati
janji?"
Hati
Titisari pepat, dan adalah wajar bila-mana seseorang merasa terdorong ke pojok
ia mencoba mencari pegangan lain. Maka teringatlah dia kepada Gagak Seta.
Pikirnya, sekiranya Paman Gagak Seta berada di sini, tak usahlah aku khawatir.
Mustahil ia akan membiarkan muridnya terbunuh. Meskipun belum tentu menang
melawan Ayah, tapi nyawa Sangaji pasti selamat.
Tetapi
di manakah dia harus mencari Gagak Seta! Ia jadi kehilangan harapan. Terus saja
ia merintih dalam hati mengingat kekejaman ayahnya. Mendadak saja terkenanglah
dia kepada ibunya yang telah lama meninggal dunia. Sekiranya ibunya ada, tak
perlu ia takut menghadapi ayahnya. Tak terasa terlocatlah perkataannya.
"Aji!
Ayo kita mencari Ibu dahulu."
Mendengar
ucapan Titisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang. Bertanya
mene-bak-nebak, "Kau bilang apa?"
Titisari
tersentak sadar. Sekonyong-konyong wajahnya berseri-seri. Setengah memekik,
"Ibuku salah seorang keturunan raja. Dia dikebumikan di lmogiri. Ayo kita
menengok Ibu! Sekiranya Ayah menyusulmu, bukankah ada alasannya yang
kuat?"
Sangaji
mengerenyitkan dahi. Tak tahu ia menebak maksud gadis itu.
"Eh,
kenapa kau mesti berpikir sampai begitu," kata Titisari dengan tertawa
riang. "Sehari kita boleh bergaul lebih lama, kita per-gunakan saat itu
sebaik-baiknya."
Terang
sekali maksud gadis itu. Dalam rasa putus asa ia mencoba hendak mengulur waktu.
Dan
hati Sangaji yang perasa kian menjadi terharu. Maka tak sampai hati ia menolak.
Mereka
terus saja menuju ke Imogiri dengan melalui Desa Tunjungan, Krajan,
Randu-gunting dan Kalasan. Di Kalasan mereka membeli seekor kuda, karena kuda
Titisari telah dilarikan Sanjaya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Imogiri.
Kini perjalanan mereka jauh lebih cepat. Sebelum matahari mendekati cakrawala,
sampailah mereka di makam keluarga raja Imogiri.
Keadaan
makam keluarga raja di Imogiri pada dewasa itu tidaklah sejernih kini. Kesannya
sangat gawat, angker dan berper-bawa. Makam itu sendiri berada di atas gundukan
tinggi, diapit-apit bukit yang berbentuk memanjang, pohon-pohon besar memayungi
tempat-tempat tertentu. Desa yang berada di seberang menyeberang jalan belumlah
serapat sekarang. Seluruhnya hampir tertutup hutan bambu yang menyekat
batu-batu alam yang berkesan maha perkasa dan angkuh.
Peraturan
menjenguk makam keluarga raja, sangat keras pula. Seorang pengantar tak
diperkenankan mendekati pintu gerbang ter-lalu dekat. Karena Sangaji bukan
keturunan raja, maka ia seperti tersekati tembok tinggi. Tatkala Titisari
diizinkan memasuki makam, terpaksalah ia menunggu jauh di luar gerbang seperti
anak keserakat.
Ia
mendongkol kenapa mesti diperlakukan demikian. Pikirnya, bukankah manusia ini
berketurunan sama dan berderajat sama pula? Raja berhidung satu aku pun
berhidung satu. Raja bermata dua, aku pun bermata dua. Raja bermulut satu, aku
pun bermulut satu.Terasa sekali dalam hatinya, betapa orang-orang besar ini
membuat susah orang-orang kecil belaka yang tak berkelas. Tetapi ia tak
mempunyai kekuasaan untuk menentang peraturan-peraturan yang memisahkan antara
manusia dan manusia. Maka mau tak mau ia harus tunduk kepada suatu keharusan
itu.
Karena
kesal ia mundar-mandir di luar tembok. Kudanya kemudian dititipkan kepada salah
seorang penduduk kampung. Ia menge-mukakan kekesalan hatinya.
"Naik
bukit sana saja, Gus," kata orang itu. "Dari sana bisa melihat
seluruh makam."
Girang
Sangaji mendengar saran itu. Cepat ia merogoh uang untuk makanan kudanya,
kemudian lari mendaki bukit sebelah tenggara. Maka benar juga kata orang itu.
Dari atas bukit ia bisa menjenguk makam sepuas-puasnya. Hanya saja Titisari tak
terlihat olehnya.
Barangkali
dia lagi mendekati makam ibu-nya, pikirnya menghibur diri. Biarlah dia menengok
makam ibunya sepuas-puasnya.
Masakan
aku tak mengetahui, manakala ia sudah rampung.
Kemudian
beralihlah dia menyelidiki bukit. Di sana sini banyak tumbuh pohon jambu.
Rumput alam tebal menutupi buminya. Maka duduklah ia menghempaskan diri.
Senang
ia duduk di atas rumput tebal itu. Hanya saja hatinya terlalu kosong. Untuk
iseng, ia mengingat-ingat kembali pada jurus-jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi
yang ternyata dahsyat tak terkira. Teringat akan jurus itu, teringatlah pula ia
kepada gurunya. Hatinya terus saja bergolak hebat. Tak terasa ia melakukan
setiap perubahan jurusnya dengan sungguh-sungguh.
Tatkala
matahari telah tenggelam di barat, ia berhenti beristirahat. Kembali ia
mengamat-amati makam. Keadaannya sunyi lengang. Namun Titisari tak nampak
batang hidungnya.
Kini
rasa dahaga dan lapar mulai menggoda. Teringat kepandaian Titisari memasak,
liurnya terus saja cerocosan.
Tiba-tiba
dia teringat buah-buah jambu yang bergelantungan dengan merdeka. Karena rasa
lapar makin lama makin menggigit perutnya, tak berpikir panjang lagi terus saja
memanjat dan
menggerumuti
jambu sampai perutnya terasa jadi kenyang.
Dari
atas pohon ia mencoba mengamat-amati kembali pintu gerbang yang kini sudah
nampak samar-samar. Masih saja sunyi sepi.
Hai!
Ke manakah Titisari? Apakah dia mesti menginap? pikirnya menebak-menebak.
Hatinya mulai curiga. Mendadak saja terasalah kesiur angin meraba lengannya.
Tak setahunya sendiri, bulu romanya menggelidik. Kemudian terdengar suara
lamat-lamat, tapi terang.
"Hm...!
Begitulah caramu hendak menuntut dendam gurumu?"
Keruan
saja, Sangaji terkejut bukan main. Cepat ia menoleh, tetapi sekelumit bayangan
manusia tiada sama sekali, la jadi keheran-heranan.
Sangaji
adalah seorang pemuda yang memperoleh didikan barat dalam masa per-tumbuhannya
mencapai jenjang kedewasaan, perkara hantu, iblis, setan atau demit masih tipis
baginya. Karena itu, suara yang didengarnya tadi tidaklah cepat-cepat
mengingatkannya kepada dunia makhluk halus. Meskipun ia kini berada di atas
sebuah bukit yang melingkupi makam besar di waktu malam hari.
Segera
ia meloncat turun ke tanah dengan hati penasaran. Pikirnya, masakan
telingakusalah tangkap? Ia celingukan ' menyelidiki sekitarnya. Keadaannya
sunyi senyap seperti sediakala.
Dia
mengingatkan aku kepada penuntutan dendam guruku. Siapa dia? pikirnya
berteka-teki. Pastilah dia mengetahui tentang keadaan pertapaan Gunung Damar.
Tetapi terang suara tadi bukanlah suara Paman Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus
Kempong dan Surya-ningrat. Hm... apakah peristiwa keji itu kini telah menjadi
pembicaraan umum?
Selagi
ia sibuk menduga-duga dari arah kiri terdengar suara orang mengeluh berat.
Kaget ia menoleh. Juga kali ini tiada tanda-tanda adanya seseorang. Akhirnya
dia berkata nyaring, "Agaknya Tuan mengenal diriku, sebaliknya aku tidak.
Apakah Tuan berkebe-ratan menampakkan diri kepadaku?" Sangaji menunggu,
tetapi tiada jawaban. Lalu ia berkata lagi, "Baiklah... sekiranya Tuan tak
sudi menampakkan diri, maukah menyebut nama Tuan?"
Kembali
lagi tiada jawaban, seolah-olah kata-katanya tiada berharga sepeserpun juga
untuk dilayani. Karena itu, betapa sabar Sangaji ia adalah seorang pemuda yang
gam-pang tersinggung kehormatannya. Dengan mengeraskan diri, ia mulai menyelidiki
mah-kota pohon-pohonan. Mendadak terdengar suara dari arah selatan.
"Seorang
laki-laki, masakan merengek-rengek seperti perempuan?"
Sadarlah
Sangaji, bahwa ia lagi berhadapan dengan seseorang yang berilmu tinggi. Tadi
berada di belakang, kemudian beralih ke sebe-lah kiri. Mendadak saja kini sudah
berpindah di sebelah selatan.
Baik
kau suruh aku mengetahui siapa dirimu tanpa bertanya asalkan engkau bukan
malaikat, masakan aku tak mampu, pikirnya dalam hati. Lantas saja ia melesat
menubruk segerombol belukar yang berada di sebelah selatan. Tetapi ia menubruk
angin. Kemudian jauh di depannya terdengar suara menter-tawakan. Keruan saja,
hatinya jadi panas. Dengan memusatkan seluruh kemampuannya, ia terus memburu.
Kepandaian
Sangaji dalam hal kegesitan sepuluh kali lebih tinggi daripada sewaktu baru
merantau dari Jakarta. Ilmu itu diperolehnya dari Gagak Seta. Meskipun
demikian, setelah memburu sekian lamanya tak mampu menemukan buruannya. Kini ia
telah melintasi ting-- gi bukit dan turun ke sebelah utara. Keadaan seberang
menyeberang merupakan alam terbuka tiada pohonnya. Hanya di sana sini nampak
beberapa batu gundukan mencongakkan diri dari bumi. Melihat keadaan itu ia jadi
ragu-ragu. Pikirnya, tak mungkin buruannya melintasi alam terbuka. Bukankah
gampang terlihat?
Setelah
menimbang-nimbang sebentar ia bermaksud hendak kembali. Tiba-tiba terde-ngar
suara bergemeresek seperti binatang galak mengikuti dari belakang. Kaget ia
memutar tubuh,
tapi
kembali tiada sesuatu. Tatkala berputar lagi menghadap ke utara matanya yang
tajam menangkap sesosok bayangan berkelebat di sana. Karena itu tanpa berpikir
panjang lagi terus saja ia mengejar.
Watak
Sangaji memang ulet dan tabah, la tahu, dirinya lagi dipermainkan seorang yang
kepandaiannya sepuluh atau seratus kali lipat daripadanya. Tetapi ia enggan
menyerang atau berputus asa, apa lagi tadi kena disindir begitu tajam. Manakala
belum bisa mengetahui alasan orang itu mempermainkan dirinya, betapa dia sudi
menyudahi. Itulah sebabnya, dengan mati-matian ia terus mengejar, menye-lidiki
dan menebak-nebak, ia tak percaya, se-orang manusia bisa terbang atau
menghilang.
Terang
sekali, tadi kulihat ada bayangannya.
Pasti
dia seorang manusia yang berdarah dan berdaging, pikirnya yakin.
Bukit
yang satu telah dituruni. Kini ia men-daki bukit yang lain. Kemudian lapangan
ter-buka dan sawah ladang. Dan orang itu tetap mempermainkan dari tempat ke
tempat.
Tak
terasa larut malam telah tiba dengan diam-diam. Sangaji terus mencari
ubek-ubekan dan mengejar-ngejar tak keruan tujuannya. Kini ia mulai melintasi
desa-desa. Akhirnya tiba pada suatu petak tanah dekat rumpun bambu yang
merupakan sebidang hutan. Rasa capai mulai terasa. Napasnya mulai menyekati
rongga dadanya pula. Lambat laun ia kehilangan pegangan.
Hm!
Orang itu benar-benar tinggi ilmunya. Sepuluh kali lipat mungkin seratus kali
lipat daripadaku. Kalau ia mau mencelakai diriku samalah gampangnya seperti
membalik tela-pak tangan. Mengapa dia tak berbuat demi-kian? Baiklah aku
berhenti saja. Siapa tahu, dia malah sudi memberi keterangan.
Memperoleh
pikiran demikian, terus saja ia berhenti. Kemudian duduk bersimpuh di atas batu
mengatur pernapasan. Diam-diam otaknya lantas berputar mengingat-ingat
tokoh-tokoh ternama pada zaman itu. Teringatlah dia kepada tutur kata gurunya,
bahwa kakek gunanya Kyai Kasan Kesambi termasuk salah seorang dari tujuh orang
sakti urutan pertama.
Kemudian,
almarhum Mangkubumi I, Adipati Surengpati, almarhum Pangeran Samber Nyawa,
Gagak Seta, almarhum Haji Lukman Hakim dan Kebo Bangah. Mengingat kepandaian
orang itu, pastilah dia termasuk salah seorang tokoh dari mereka. Tetapi siapa!
Dari ketujuh tokoh sakti itu, dia telah mengenal tiga di antaranya. Yakni,
Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi.
Yang
belum dan masih hidup, tinggal Kebo Bangah paman sang Dewaresi. Dan begitu
teringat kepada tokoh itu tak tersa hatinya menggelidik. Maklumlah, dengan sang
Dewaresi ia pernah mengukur kepandaiannya. Masakan pamannya akan tinggal
berpeluk tangan belaka? Sebagai seorang tokoh sakti yang pasti tinggi hati,
sudah barang tentu tak mungkin tinggal diam mendengar keponakan-nya menanggung
malu tatkala kena diper-mainkan Titisari.
"Ah,
tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!" Ia mencoba menghibur diri.
"Masakan tokoh setinggi, itu merasa perlu berlari-lari menguji diriku
sewaktu hendak membalas dendam?"
Tapi
apabila bukan, lantas siapa orang itu? Pastilah orang itu tidak perlu kalah
berlawan mereka bertujuh. Apa sebab tak termasuk dalam daftar namanya?
Tiba-tiba selagi ia bergelisah, terdengarlah bergemeresek dua puluh langkah di
depannya. Kemudian suara itu terdengar lagi, "Bocah tolol! Masakan sela-ma
itu belum mengenal siapa aku? Apakah engkau masih berotak udang? Mengasolah dan
simpanlah tenagamu!"
Mendengar
istilah tolol dan deretan kalimat yang cukup panjang itu, akhirnya Sangaji
ter-sadar. Terus saja terlompatlah perkataannya, "Ah! Guru memang aku
tolol!"
Kini
hilanglah teka-teki yang membi-ngungkan otaknya yang sederhana. Dialah gurunya.
Gagak Seta yang terkenal aneh wataknya, la bagaikan seekor naga sakti. Kena
terlihat ekornya, tapi tiada kepalanya. Apa yang lagi dikerjakan, tak mudah
orang menebaknya.
Sangaji
menunggu beberapa waktu lama-nya, namun Gagak Seta tak muncul di depan-nya.
Teringat
akan tabiatnya, maka terus saja ia membungkuk hormat sambil berkata ren-dah.
"Guru!
Terimalah hormatku..."
Dari jauh ia mendengar suara Gagak Seta tertawa panjang makin lama makin menjauh.
Kemudian
lenyap seperti awan.
Mau
tak mau Sangaji jadi tertegun-tegun memikirkan peristiwa itu. Apakah maksud
gurunya membawa dia berlari-lari seperti orang gila? Perlahan-lahan ia
menyiratkan pandang? Di sebelah timur laut, berdiri gun-dukan tanah terbuka. Di
puncaknya berdiri dua batang pohon berhadap-hadapan. Kedua pohon itu gundul tak
berdaun. Di malam hari nampak bagaikan tangan-tangan panjang hendak mencakar
langit. Di sebelah barat, tergelar petak-petak yang disekati sawah ladang.
Nampaknya aman damai seperti desa tak berbambu. Di sana terdengar air
gemericik. Terang sekali suatu pancuran yang seringkali dipergunakan
penghuni-penghuni dusun mengairi sawahnya. Tetapi termasuk wilayah manakah
pemandangan itu, tak dapat ia menduga-duga. Maklumlah, selama hidupnya baru
kali itulah menginjak daerah sebelah tenggara wilayah kerajaan Yogyakarta.
Perlahan-lahan
ia menghempaskan diri di atas tanah. Napasnya yang tadi menyekat dada, telah
dapat dikuasai kembali, la mulai bisa berpikir dengan tenang, meskipun demikian
masih saja tak sanggup meme-cahkan teka-teki itu.
"Kalau
Guru tahu aku berada di atas makam raja, mestinya tahu pula apa sebabnya.
Masakan Guru dengan sengaja hendak memisahkan aku dari Titisari?" la
meyakinkan dirinya.
"Di
belakang peristiwa ini pasti ada maksudnya. Hm... aku disuruhnya mengaso dan
menyimpan tenaga. Apakah aku bakal menghadapi suatu bahaya?"
Teringat
akan pesan itu ia memaksa diri menghilangkan corat-coret benaknya yang ramai
mengerumuni otaknya. Untunglah dia pernah memperoleh ajaran bersemadi dari Ki
Tunjungbiru tatkala masih berada di Jakarta. Maka, tak lama kemudian ia malah
jatuh ter-tidur tak setahunya sendiri.
Waktu
itu bulan mulai cerah benar. Angin malam membuai lembut puncak-puncak rumpun
bambu sehingga berbunyi bergemere-sak. Dingin alam mulai terasa meresapi tulang
belulang. Meskipun angin demikian belum kuasa menyakiti tubuh Sangaji, tetapi
mampu memaksanya untuk meringkaskan diri. Tiba-tiba, sewaktu dia hendak
bergeliat meringkaskan badan, pendengarannya yang tajam menangkap suatu bunyi
dengung yang mencurigakan. Kaget ia melompat bangun. Dan di angkasa terlihatlah
deretan ribuan tabuan, berdengungan hampir menutupi cerah bulan.
Sekaligus
teringatlah dia kepada sang Dewaresi yang dahulu membawa-bawa barisan tahuannya
ke mana saja ia pergi. Tak usah ia takut kepada bisa-bisa tabuan itu, karena
pernah meminum getah sakti pohon Dewadaru. Tetapi datangnya barisan tabuan itu,
membuat dia harus berwaspada.
Ih!
Apakah ini maksud Guru membawa aku ke mari? pikirnya.
Cepat
ia memasuki hutan rumpun bambu. Ternyata di antara mahkota daunnya, terde-ngar
suara dengung pula. Apabila diamati ternyata terdapat beberapa gerombol tabuan
yang melengket di mana-mana.
Rupanya
sudah semenjak lama tabuan ini berada di sini. Kalau begitu, pemiliknya sudah
lama pula berada tak jauh dari sini. Ah! Benar-benar Guru mempunyai maksud
tertentu untukku. Tadi ia memesan agar aku mengaso dan menyimpan tenaga.
Baiklah kulakukan dahulu, mumpung belum kasep, pikir Sangaji lagi.
Meskipun
masih samar-samar, tapi hati Sangaji tak lagi disibukkan oleh suatu teka-teki.
Cepat-cepat ia duduk bersila menghimpun tenaga muminya. Kemudian semua ilmu
ajaran Jaga Saradenta, Wirapati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi ditekuni
kembali. Setelah itu,
mulailah
dia mengatur tata napas ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu kebal Bayu Sejati
ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua unsur ilmu yang bertentangan sifatnya itu masih
saja saling berbenturan. Ia belum berhasil melebur menjadi satu, meskipun telah
dicobanya berkali-kali.
Selagi
ia berkutat mengatur tata napas kedua ilmu sakti tersebut, sekonyong-konyong
terdengarlah dengung tabuan kian sibuk. Ternyata gerombolan tabuan yang agaknya
lagi beristirahat di ranting-ranting pohon bubar berderai seperti tergebu. Dan
binatang-binatang berbisa itu terbang kaget ke angkasa. Kemudian membentuk
barisan berlingkar-lingkaran terus terbang ke arah barat laut.
"Barisan
tabuhan ini bukan main banyak-nya. Apakah Kebo Bangah ada di sini?"
Sangaji mencoba menebak-nebak. Dahulu ia pernah menyaksikan barisan tabuhan
sang Dewaresi. Meskipun sudah luar biasa, namun masih kalah jauh apabila ia
dibandingkan de-ngan saat itu.
Memperoleh
pikiran demikian, cepat ia me-loncat ke belakang rumpun bambu yang agak
terlindung. Kemudian dengan hati-hati ia mengikuti barisan tabuhan itu.
Syukurlah, penggembala-penggembala tabuhan itu ber-kepandaian lumrah berlaku,
sehingga mereka tak mengetahui dirinya.
Jalan
yang ditempuh berliku-liku. Ternyata makin lama makin mendekati gundukan tanah
tinggi yang tadi nampak berdiri di sebelah timur. Terang sekali barisan tabuhan
itu mendekati dari arah barat laut. Setibanya di tempat itu, barisan tabuhan
itu lantas bubar berderai. Penggembala-penggembalanya menggebunya ke arah
utara. Sebentar saja suaranya telah tersirap dan menghilang di antara
pohon-pohon yang berdiri berderetan jauh di sana.
Hati-hati
Sangaji mendekati sebongkah batu dan bersembunyi di baliknya. Kemudian ia
merangkak maju. la menyusup melalui arah selatan dan bersembunyi di belakang
semak-semak dekat pohon gundul. Dari sini ia menebarkan penglihatannya. Betapa
kaget-nya, ia melihat beberapa orang berdiri tegak di atas batu-batu. Dan di
antara mereka nampak Titisari berada di dekat seorang laki-laki tegap perkasa.
Dialah Adipati Surengpati. Hanya kini ia tak mengenakan topeng seperti dahulu.
"Eh!
Kebo Bangah atau Arya Senggala atau siapa lagi namamu, engkau menahan aku di
sini pasti ada perhitungannya," kata Adipati Surengpati.
Seorang
laki-laki berperawakan bagaikan raksasa, tertawa terkekeh-kekeh mende-ngarkan
ucapan Adipati Surengpati. Bunyi tertawanya seperti gembreng pecah dan
menyakiti pendengaran. Dialah Kebo Bangah, paman sang Dewaresi, yang termasuk
salah seorang tokoh sakti.
"Saudara
Surengpati! Janganlah khawatir aku akan merugikan engkau," sahutnya.
Suaranya parau dan sumbang, tetapi memiliki daya kekuatan aneh. Selamanya aku
Kebo Bangah tak pernah menyakiti orang.
"Hm...
kau seorang berbisa, masakan aku tak tahu?"
"Bagus!
Bagus!" sahut Kebo Bangah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Agaknya, senang
ia memperoleh gelar sebagai seorang berbisa. Dan diam-diam Sangaji bercekat
hatinya.
Benar-benar
Kebo Bangah berada di sini. Dan Titisari mengapa tiba-tiba berada di samping
ayahnya? Apakah dia kena tangkap sewaktu menyambangi makam ibunya? pikirnya
sibuk. Teringat akan pekerti gurunya Gagak Seta membawanya ke mari, maka
bertambah jelaslah maksudnya. Diam-diam ia bersyukur kepadanya. Pikirnya,
rupanya guru telah mengerti beradanya mereka di sini. Lalu membawa aku ke mari.
Kini
ia memusatkan seluruh perhatiannya. Ditebarkan matanya dan mengamat-amati
mereka yang berada di situ. Adipati Surengpati berdiri di atas batu disamping
Titisari. Di hadapannya kira-kira berjarak sepuluh langkah, berdiri Kebo Bangah
yang berperawakan bagaikan raksasa. Karena malam hari, meskipun bulan bersinar
cerah, tiada begitu jelas raut mukanya, la hanya nampak berkumis tebal,
jenggotnya tebal pula. Pandangnya tajam dan sebentar-bentar tertawa
terkekeh-kekeh
melebihi orang gila.
Di
belakang Kebo Bangah, berdiri sang Dewaresi yang mengenakan pakaian putih.
Kemudian beberapa pengiringnya bersikap tegak seperti pengawal-pengawal
kerajaan. Mereka semua mengesankan suasana ke-agung-agungan. Pakaiannya serba
putih pula dan berseragam.
Tatkala
Kebo Bangah habis berbicara, tiba-tiba sang Dewaresi maju ke depan dan
membungkuk hormat. Kemudian berkata mengejutkan hati Sangaji.
"Menantumu
Dewaresi perkenankan meng-haturkan sembah kepada ayahhanda mertua Adipati
Surengpati."
Menantu?
Hati Sangaji kebat-kebit. Me-nantu? Kapankah sang Dewaresi menjadi menantu
Adipati Surengpati? Menurut Titisari, Adipati Surengpati tak berputera lagi
selain Titisari seorang. Apakah dia lagi membahasakan diri sebagai calon suami
Titisari?
la
melihat Adipati Surengpati menegakkan kepala. Agaknya ia tak begitu senang
men-dengar ucapan sang Dewaresi. Meskipun demikian, tangannya diangkat tinggi
seakan-akan hendak memberi salam. Mendadak saja terus dikibaskan. Dan sang
Dewaresi terpental mundur dan hampir jatuh terbalik. Untung Kebo Bangah dengan
tertawa terkekeh-kekeh menolong dirinya dengan mengibaskan tangannya pula dari
belakang punggung, sehingga ia dapat berdiri tegak kembali dan sekaligus
terlontarkan pada tempatnya semula.
"Hi
ha ha ha, bagus! Bagus saudara Surengpati." Kebo Bangah tertawa lebar.
"Rupanya engkau menaksir-naksir perlu calon menantumu apakah sepadan
berjajar dengan puterimu. Bagus! Bagus!"
Dengan
tenang Adipati Surengpati men-jawab, "Dia pernah menghina muridku
Pringgasakti dengan barisan tabuhannya. Kali ini inginlah aku menguji sampai di
mana kepandaiaannya."
Mendengar
kata-kata Adipati Surengpati, Kebo Bangah menaikkan nada tertawanya. Suaranya
luar biasa menyakitkan telinga Sangaji.
"Nah,
bagaimana menurut pendapatmu saudara Surengpati. Apakah dia pantas men-jadi
menantu putrimu?" ia berhenti sebentar mengamat-amati Titisari.
"Saudara Sureng-pati! Benar-benar engkau pintar menciptakan seorang anak.
Begini cantik molek. Pantas keponakanku ini mendadak saja berubah jadi
gendeng."
Setelah
berkata demikian, Kebo Bangah merogoh ke dalam saku bajunya. Kemudian
mengeluarkan sebuah kotak yang memental-kan sinar berkilauan di tengah malam
bulan gede. Bahwasanya kotak itu memantulkan cahaya di malam hari, pastilah
terbuat dari bahan logam yang berharga. Apabila bukan emas, setidak-tidaknya
suatu kotak yang di-hiasi permata.
"Anakku!"
katanya kepada Titisari. "Ayah-mu seorang kaya raya. Pastilah engkau tiada
silau melihat kotak emasku dan permata-per-mata yang menghiasi sisinya. Tetapi
di dalamnya aku mempunyai semacam permainan.
Cobalah
buka sendiri. Engkau akan melihat segebung jarum emas bertatahkan permata
intan. Dahulu aku pernah mengimpikan wasiat Bende Mataram yang paling ampuh,
yakni jala Korowelang. Konon kabarnya jala itu mempunyai bandul-bandul jarum
sakti. Barang siapa kena bandul jarum itu, meskipun kebal dari segala, akan
lumpuh tak berkutik. Hm... selama hidupku belum pernah aku melihat jala sakti
tersebut. Tapi aku mempunyai otak dan khayal. Nah, kuciptakan bandul-bandul
itu. Di kemudian hari, apabila aku berhasil menemukan bahan sakti untuk membuat
jala, pastilah bandul jarum ini akan kusematkan pada tiap benang jaring.
Sekarang terimalah sebagai pembayaran emas kawin keponakanku..."
Kebo
Bangah kemudian maju mengang-surkan barang berharga itu. Hati Sangaji bergetar
bukan main. Katanya dalam hati, Titisari! Apakah engkau menerima juga ge-bungan
jarum emas itu sebagai pembayaran emas kawin?
Dia
terkejut berbareng kecewa, tatkala meli-hat Titisari mengulurkan tangan
menyambut kotak
tersebut.
Dengan lembut Titisari mem-perdengarkan suara tertawanya. Kemudian berkata
penuh girang.
"Terima
kasih!"
Setelah
berkata demikian, sambil mengang-surkan tangan ia mengerling kepada sang
Dewaresi. Keruan saja, sang Dewaresi yang telah tergila-gila semenjak bertemu
di pendapa kadipaten Pekalongan serasa copot hatinya. Dadanya mendadak saja
menjadi sesak, karena jantungnya berdebar terlalu keras. Di dalam hati ia bersyukur,
melihat gadis itu menerima pemberian emas kawin pamannya. Pikirnya, ayahnya
telah berkenan menyerahkan dia kepadaku. Masakan dia berani menolak pemberian
emas kawin. Hm... tahulah aku sekarang. Sikapnya yang selalu galak terhadapku,
alihkan hanya merupakan suatu gaya khas seseorang gadis belaka... Dalam
detik-detik itu, dia telah memimpikan malam pengantin. Maklumlah, dia adalah
seorang laki-laki yang sudah terlalu sering memperoleh pengalaman. Terhadap
seorang gadis, tahulah dia apa yang harus dilakukan pada malam-malam itu,
seperti terhadap Nuraini.
Tetapi
sekonyong-konyong tengah ia memimpikan malam indah itu nampaklah suatu sinar
beterbangan menyerang dirinya.
"Waduh!
Celaka!" jeritnya kaget.
Sekilas
pandang tahulah dia, bahwa sinar yang menyerangnya berkeredepan itu adalah
perbuatan Titisari. Ternyata setelah membuka kotak pemberian dengan cekat
Titisari meraup gebungan jarum emas itu dan disambitkan kepadanya.
Untunglah,
sang Dewaresi pernah diserang demikian dengan biji sawo. Karena itu, dalam
gugupnya cepat ia menjejak tanah dan mele-sat ke udara. Meskipun demikian,
jarum emas pemberian pamannya berjumlah bukan hanya satu. Tetapi merupakan
segebung jarum yang berjumlah paling tidak dua puluh lima batang.
"Titisari!
Apa yang kaulakukan ini?" bentak Adipati Surengpati sambil mengibaskan
ta-ngan. Oleh kibasan itu, jarum-jarum itu tersa-pu bersih. Seumpama tidak,
meskipun sang Dewaresi sudah melesat ke udara tiada ter-tolong lagi.
Karena
dirintangi Adipati Surengpati mak-sud Titisari hendak membinasakan sang
Dewaresi gagal berantakan. Gadis itu lantas saja menangis sedih.
"Ayah!
Lebih baik bunuhlah aku! Selama hidupku tak bakal aku kawin dengan bangsat
itu!"
Hebat
adalah sikapnya Kebo Bangah. Orang itu menyaksikan peristiwa demikian seperti
lagi menonton sandiwara belaka. Ia malah lantas saja tertawa terkekeh-kekeh,
menyaksikan Adipati Surengpati menggerembengi anaknya perempuan. Terhadap
keponakannya yang baru saja terlepas dari lubang jarum, ia bersikap dingin
seakan-akan tiada menaruh perhatian.
"Saudara
Surengpati!" katanya dengan suara parau. "Janganlah salah paham!
Puterimu lagi menguji anakku. Mengapa engkau menggerembengi begitu
sungguh-sungguh?"
Waktu
itu sang Dewaresi telah berdiri lagi di atas batu. Dadanya sebelah kiri terasa
sakit. Maka tahulah dia, bahwa ia masih juga kena sambaran jarum Titisari.
Tetapi di depan seo-rang gadis ayu, betapa dia mau memerintah. Dasar hatinya
angkuh pula, maka meskipun nyeri bukan main bisa dia bertahan diri. Malahan
wajahnya nampak tersenyum, se-olah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Dalam
pada itu Kebo Bangah berkata lagi kepada Adipati Surengpati. "Saudara
dahulu hari kita pernah mengadu kekuatan dan mengukur kepandaian. Barangkali
sudah dua-puluhan tahun yang lalu. Sekarang, hatiku girang, karena tak terduga
kita berdua sudah mengikat tali kekeluargaan. Engkau memperkenankan anakku
memperisteri puterimu. Selanjutnya, aku akan tunduk dan patuh kepada semua
perintahmu."
"Hm,"
dengus Adipati Surengpati angkuh. "Siapakah yang berani main perintah
terhadap manusia berbisa seperti tampangmu. Dua puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Pastilah ilmu
kepandaianmu
kini sudah jauh melebihi diriku, sampai-sampai berani bersikap merendah. Eh,
cobalah perlihatkan macam kepan-daianmu di hadapanku. Aku ingin melihat."
Terang
sekali maksud Adipati Surengpati. la memaksa Kebo Bangah agar memisahkan antara
tali kekeluargaan dan ilmu kepandaian. Dua puluh tahun yang lalu, mereka pernah
mengadu kepandaian. Kesudahannya satu-satu, di antara mereka tiada yang kalah
atau menang. Karena itu, mereka berdua saling berlomba menekuni ilmunya agar di
kemudian hari bisa merebut kemenangan. Dasar Adipati Surengpati berkepala besar
pula, maka ia tak senang mendengar ucapan Kebo Bangah.
Sebaliknya
kesan Titisari adalah lain. Dasar hatinya masih kekanak-kanakan, maka begitu
mendengar ucapan ayahnya ia segera menyetujui. Lantas saja tangisnya hilang tak
keruan perginya. Ditegakkan kepalanya. Wajahnya terus saja kelihatan manis luar
biasa. Dengan mata bersinar-sinar ia menatap Kebo Bangah. Dalam hatinya ia
berharap pendekar itu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan demikian ia akan
bisa menyaksikan kepandaian salah seorang tokoh sakti yang sudah sekian lama
mengeram dalam ingatannya, berkat tutur kata ayahnya yang sering membicarakan
keunggulan tujuh tokoh sakti pada zaman itu.
Kebo
Bangah nampak membawa tongkat bercat merah, kira-kira sedepa panjangnya.
Tongkat itu berduri. Dan ia mengenalnya sebagai tongkat duri batang rukem yang
mengandung bisa alam luar biasa. Barangsiapa kena tergores duri itu meskipun ia
kebal dari senjata tajam, akan mati keracunan. Apalagi Kebo Bangah, memelihara
tongkat itu sebagai jiwanya sendiri. Bertahun-tahun lamanya, tongkat tersebut
direndamnya dalam kubang racun ular dan binatang-binatang beracun lainnya.
Sebagai obat pemunahnya, pasti saja dia memiliki. Tetapi menurut kabar, tatkala
ia mencoba kehebatan tongkat rukemnya, sudah meminta korban 475 orang yang mati
keracunan. Dan di antara mereka tak seorangpun diberi obat pemunahnya. Oleh
perbuatannya itu terkenallah dia sebagai si bisa dari Gunung Serandil.
"Saudara
Surengpati!" katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Dua puluh tahun
yang lalu, ilmu kepandaianku tak bisa dija-jarkan dengan ilmu kepandaianmu.
Sekarang sudah dua puluh tahun lewat, pastilah ilmumu makin bertambah tinggi.
Betapa bisa aku mengejar ilmu kepandaianmu. Aku usul begini sekarang kita sudah
menjadi sanak. Marilah kita pulang ke Karimunjawa saja. Di sana aku berniat
berguru kepadamu. Nah, bagaimana pendapatmu?"
Tatkala
sang Dewaresi bertemu pandang untuk yang pertama kalinya dengan Titisari di
pendapa kadipaten Pekalongan segera ia meminta pertolongan pamannya untuk
mela-mar gadis itu. Kebo Bangah segera mengi-rimkan beberapa orang sebagai
utusan mewakili dirinya meminang Titisari. Memper-oleh lamaran itu, Adipati
Surengpati sibuk menimbang-nimbang. Pikirnya, pada zaman ini, orang yang
melebihi kesaktian Kebo Bangah tiada lagi. Andaikata ada, tidaklah begitu
banyak, jika aku dan dia bisa mengikat suatu ikatan keluarga, bukankah tiada
lagi tandingku di kolong langit ini?
la
tahu, anak perempuannya amat nakal. Jika sudah tiba waktunya untuk kawin, harus
memperoleh seorang suami yang seimbang. Si suami harus memiliki ilmu yang bisa
mengim-bangi. Kalau tidak, anaknya perempuan bakal menghinanya, la segera
mencari di mana Titisari berada setelah minggat dari pulau
Karimunjawa.
Secara kebetulan ia bisa menyaksikan kepandaian sang Dewaresi tatkala berani
melawan muridnya Pringgasakti. Diam-diam ia bergirang hati. Ternyata ilmu
kepandaiannya jauh di atas Titisari. Di samping itu, ia cakap dan tiada
tercela. Gerak-geriknya halus dan matang. Dan begitu memperoleh kesan itu,
segera ia membawa Titisari pulang ke Karimunjawa. Di sana ia menerima baik
lamaran Kebo Bangah.
Sebaliknya,
begitu Titisari mendengar pem-bicaraan antara ayahnya dan utusan Kebo Bangah,
terus saja ia menolak dengan menge-mukakan kebusukan-kebusukan sang Dewa-resi.
Tetapi Adipati Surengpati tak meladeni, la menganggap alasan itu sebagai
lumrahnya seorang dara yang terkejut mendengar berita lamaran untuk yang
pertama kalinya dalam hidupnya.
Karena
itu, Titisari lantas minggat kembali. Kepada salah seorang pengasuhnya, gadis
itu menerangkan bahwa ia hendak mencari kekasihnya Sangaji.
Keruan saja, Adipati Surengpati mencak-mencak seperti seseorang terbakar jenggotnya.
Menurut
hematnya, sang Dewaresi jauh lebih sempurna daripada Sangaji yang
ketolol-tololan.
Tetapi
kini, begitu mendengar tata kalimat Kebo Bangah yang sebentar merendah dan
sebentar lagi tinggi hati, ia jadi curiga. Pikirnya, apakah maksud orang ini?
Apakah dia hendak memaksa aku terikat menjadi sanak keluarganya untuk
melindungi kelemahannya?
Teringatlah
dia, Kebo Bangah dahulu pernah punah ilmunya tatkala melawan Kyai Kasan
Kesambi. Apakah ilmunya kini bisa pulih kembali sesungguhnya masih merupakan
suatu teka-teki besar. Teringat akan hal itu, teringat pulalah dia kepada sepak
terjang dan tabiat Kebo Bangah. Orang itu, sangat berbisa. Mulutnya tajam,
cerdik, licin, kejam dan mau menang sendiri. Dia sendiri salah seorang tokoh
sakti yang berkepala besar. Sudah selayaknya tak sudi ia mengakui keunggulan
Kebo Bangah. Maka segera ia mengeluarkan senjata andalannya, yakni: sebuah
tanduk panjang. Kemudian berkata angkuh, "Seorang tetamu dari jauh telah
memaksaku menerima perangkapan jodoh di tengah jalan. Akupun tidak memedulikan
dan kuterima maksud itu. Nah, apa perlu kini hendak mencoba ilmu kepandaian,
membutuhkan suatu tempat layak jauh di Karimunjawa? Kalau aku sudah berani
menerima suatu perangkapan jodoh tanpa adat istiadat, masakan aku memerlukan
pula adat istiadat melayani kepandaian orang?"
Sebagai
seorang yang sudah mempunyai pengalaman penuh, tahulah Kebo Bangah arti kata
Adipati Surengpati. Lantas saja ia tersenyum panjang. Menghadapi bakal besan
yang berwatak angkuh dan berkepala besar, ia bersedia mengalah dalam beberapa
hal. Sebab kalau Adipati Surengpati sampai meniup tanduknya yang panjang,
akibatnya terlalu hebat. Senjata itu bisa meniupkan beberapa macam tenaga
mantram yang susah dilawan. Maka segera ia berteriak menyerukan aba-aba.
Beberapa
pengiringnya yang semenjak tadi berdiri tegak seperti pengawal raja, cepat
menoleh dan meneruskan aba-abanya. Dan tak lama kemudian dari balik gundukan
tanah tinggi, munculah dua puluh wanita-wanita cantik yang segera bersimpuh
menghaturkan sembah kepada Adipati Surengpati.
"Saudara
Surengpati!" kata Kebo Bangah nyaring. "Sekalian dayang-dayangku ini
masih tergolong gadis tulen. Aku berkata masih tergolong! Sebab kalau kau suruh
membuktikan, tak berani aku menanggung. Hihaaa...! Sekalipun demikian, mereka
cantik-cantik. Tentu saja menurut seleraku. Aku mengumpulkan dari beberapa
penjuru tanah air.
Bilanglah,
aku bersusah payah juga. Nah, mereka ini akan kupersembahkan kepadamu sebagai
dayang-dayang puterimu. Tetapi apa-bila engkau hendak merebutnya atau
memak-sanya, tak berani aku menghalang-halangi."
Titisari
mengamat-amati dua puluh dayang itu. Mereka berwajah tak tercela. Meskipun hanya
dipantuli cahaya rembulan, namun kulitnya nampak bersih dan kuning. Heran ia
mengapa mereka bersedia menghamba kepa-da Kebo Bangah. Pastilah di belakang
keada-annya terselip suatu kisah rahasia.
Tak
disadari ia mengerling kepada sang Dewaresi sekilas pandang, ia melihat sang
Dewaresi merenungi dirinya seperti orang gen-deng. Kesannya menjemukan dan
mendeng-kikan. Maka diam-diam ia mencari akal untuk membunuhnya dengan suatu
jebakan lagi. Pikirnya, biarlah di depan Ayah, ia kuhajarnya mati. Meskipun
Ayah akan mendesak aku menikah dengannya, toh dia sudah menelung-kupi liang
kubur.
Tabiat
Titisari memang liar dan berbuat menurut kehendak hatinya. Apa yang dipikirkan
lantas saja dikerjakan tanpa pertimbangan lagi. Maka sebentar kemudian ia
tersenyum manis, karena telah memperoleh pegangan.
Sebaliknya
sang Dewaresi salah tangkap, la mengira memperoleh kiriman senyuman dari gadis
yang menggemaskan hatinya. Tentu saja ia sangat girang. Dan saking girangnya
lenyaplah rasa nyerinya yang menusuki dada semenjak tadi.
Dalam
pada itu, Adipati Surengpati mere-nungi para dayang seolah-olah lagi
menim-bang-nimbang. Mendadak saja, ia meniup tanduknya. Ternyata tanduk itu
merupakan sebuah terompet yang mula-mula bersuara lembut. Kemudian, entah
bagaimana caranya sekonyong-konyong berubah menjadi nada bengis.
Barisan
tabuan yang lagi mengeram di pun-cak-puncak pohon, sekaligus bubar berderai.
Binatang-binatang itu berterbangan mendaki angkasa. Tatkala berada di atas
Adipati Surengpati terus saja mati berontokan bagaikan hujan.
Keruan
saja, sang Dewaresi terkejut menyaksikan Adipati Surengpati. la pernah bertemu
seseorang yang memiliki ilmu semacam itu, tatkala lagi bertempur melawan
Pringgasakti. Orang itu mengenakan topeng dan bisa bersiul panjang. Siulnya itu
mampu mengusir sekalian barisan tahuannya. Dan sama sekali tak terduga olehnya,
bahwa orang bertopeng tersebut adalah Adipati Surengpati yang kini tengah
memperlihatkan salah satu kesaktiannya yang lain lagi. Dan tatkala ia melihat
para dayang pada menggigil di atas tanah, sadarlah dia akan bahaya. Tetapi
kesadarannya itu kasep juga. Tiba-tiba tubuh-nya terasa menjadi panas dan
seperti tertusuki ribuan jarum. Tulang-tulangnya seperti ter-lolosi. Dan
darahnya bergolak kacau. Sudah barang tentu, ia kehilangan dasar untuk
mempertahankan diri. Bahkan matanya jadi berkunang-kunang. Dunia seolah-olah
berputar di depannya. Gunung-gunung pada terbalik. Tanah yang diinjaknya terasa
bergoyangan. Mau tak mau terpaksalah dia berteriak memanggil pamannya.
"Paman...!"
Tetapi
Kebo Bangah kala itu nampak sibuk sendiri. Orang itu tengah mengetuk-etuk tanah
seolah-olah seorang pemimpin musik lagi memperdengarkan irama lagunya.
Karena
itu, keadaan sang Dewaresi bertam-bah lama bertambah runyam. Kini terasalah
dia, betapa suatu gumpalan hawa melonjak ke atas. Gumpalan awan itu mula-mula
berputar di dalam perutnya. Kemudian dengan suatu tenaga yang susah dibendung,
terus mendaki ke atas melalui rongga dadanya. Terpaksa pulalah ia berjongkok agar
bisa mempertahankan diri. Sedangkan nasib para dayang waktu itu, susah
diceritakan penderitaannya. Mereka jatuh terkapar di atas tanah seperti ayam
tersembelih. Tangannya mencakar-cakar tanah dan akhirnya bergulingan dengan
merintih kesakitan.
Makin
lama tiupan Adipati Surengpati makin tajam. Penderitaan dan penanggungan para
dayang serta sang Dewaresi, kian menjadi-jadi. Mereka mendekap perut dan
dadanya seolah-olah berkhawatir akan meledak. Dan melihat keadaan mereka, Kebo
Bangah mulai mengerenyitkan dahinya. Kini berhentilah dia mengetuk-ngetuk tanah
dengan tongkatnya. Kepalanya didongakkan ke udara, lalu menarik napas
sekuat-kuatnya sampai perutnya menggelembung. Setelah itu dia memperdengarkan
suara perutnya melalui dada. Nadanya mengingatkan kepada salak anjing kelaparan
di tengah rimba raya.
Mendengar
suara itu, Titisari tertawa geli. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya sikap
ayahnya. Adipati Surengpati nampak jadi bersungguh-sungguh, karena tiupan
tan-duknya ternyata seperti terhapus. Mendadak saja, dia berhenti meniup sambil
berkata, "Kebo Bangah! Marilah permainan ini kita atur, agar sedap
didengar dan menarik untuk penglihatan!"
"Bagus!"
sahut Kebo Bangah dengan ter-tawa terkekeh-kekeh.
"Saudara
Surengpati! Tiupanmu hebat bukan main. Karena itu izinkan aku me-nyumpal
telinga anakku dan dayang-dayang yang hendak kupersembahkan kepadamu."
Setelah
berkata demikian, terus saja ia memerintah sang Dewaresi dan sekalian dayangnya
untuk menutup telinga serapat-rapatnya.
"Eh,
kenapa harus menutup telinga?" Titisari heran, la melemparkan pandang
kepada ayahnya
hendak
minta penjelasan. Nampak Adipati Surengpati menoleh kepadanya dan berkata
menasehati.
"Kau
tahu apa? Suara bakal mertuamu hebat bukan main. Kaupun harus menyumpal
telingamu!"
Tapi
Titisari belum juga mengerti maksud ayahnya. Ingin ia hendak minta keterangan
lebih jelas lagi, mendadak ayahnya telah me-robek sapu tangannya menjadi dua
bagian. Kemudian disumpalkan rapat-rapat ke dalam telinganya.
Diam-diam
Sangaji heran menyaksikan peristiwa itu. Hatinya jadi kian tertarik. Karena tak
mengerti akan bahaya, dia bahkan merangkak lebih mendekat.
Dalam
pada itu terdengar Adipati Surengpati berkata nyaring, "Kebo Bangah!
Apabila ternyata aku tak tahan melawan tenaga saktimu, sudikah engkau
mengalah?"
"Hm!
Bagaimana mungkin engkau bisa kalah? Ilmuku hanyalah ilmu pasaran belaka.
Apakah hebatnya?" sahut Kebo Bangah.
Belum
lagi ia selesai berkata, Adipati Surengpati telah menyumbatkan senjata
tan-duknya ke mulut. Cepat-cepat ia bersiaga menghadapi kemungkinannya. Dan
begitu suara tanduk Adipati Surengpati mulai me-ngalunkan nada tinggi, Kebo
Bangah terus saja menyalak bagaikan anjing kelaparan.
Sangaji
yang berada di belakang rerum-putan, heran menyaksikan perangai mereka. Selama
hidupnya belum pernah sekali juga ia menyaksikan suatu pertandingan mengadu
ilmu dengan cara demikian. Bahkan mende-ngarpun belum pernah. Maklumlah,
sebagai seorang anak yang dibesarkan di Jakarta, sama sekali dia asing tentang
ceritera-ceritera kesaktian orang-orang kuno seperti janda sakti Calon Arang,
Empu Baradah, Ratu Angin-angin, Dewi Kili Suci, Menak Koncar, Narasoma dan
lain-lainnya lagi yang bisa memukul musuhnya dari jauh dengan ilmu mantram
sakti. Seperti diketahui, janda Calon Arang, Empu Baradah dan Narasoma hidup
pada zaman raja Erlangga. Sedangkan Ratu Angin-angin dan Dewi Kili Suci
terkenal pada zaman Jenggala dan Daha. Dan Menak Koncar hidup pada zaman
Majapahit. Mereka terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang memiliki ilmu
mukjizat dan sarwa gaib. Karena itu, dia berpikir, eh, apa-apaan sih mereka
ini? Masakan mengadu ilmu dengan cara begitu. Apakah bukan adu tenaga yang
menentukan segalanya?
Teringatlah
dia kepada tutur kata gurunya, bahwa tokoh-tokoh sakti itu kebanyakan ber-adat
aneh. Bahkan menurut ukuran pergaulan, tak jarang mereka digolongkan dengan
orang-orang setengah waras. Tetapi selagi berpikir demikian, mendadak saja
hatinya terasa ter-goncang. Darahnya terus saja jadi bergolak, sehingga mukanya
terasa panas luar biasa seperti terselomoti bara. Kaget ia merasakan perubahan
ini. Maka cepat-cepat ia duduk bersimpuh mengatur pernapasan dan tata darahnya.
Dipusatkan seluruh perhatiannya karena kini sadarlah dia akan bahaya.
Sebenarnya,
tak gampang-gampang sese-orang mampu mempertahankan diri terhadap serangan ilmu
mantram kedua tokoh sakti tersebut. Sang Dewaresi sendiri—seumpama tak
memperoleh pertolongan pamannya— akan rubuh kena serangan ilmu mantram Adipati
Surengpati. Apalagi kini, kedua tokoh sakti itu bersama-sama melepaskan ilmunya
yang saling bertentangan. Bisa dibayangkan betapa hebatnya. Gntunglah, Sangaji
telah mengantongi ilmu sakti Bayu Sejati ke dalam perbendaharaan hatinya,
berkat ajaran Ki Tunjungbiru. Kecuali itu, seluruh tubuhnya telah diliputi
kemukjizatan getah sakti pohon Dewadaru. Itulah sebabnya, begitu ia menga-tur
tata pernapasan dan tata peredaran darah, segera ia terbebas dari guncangan.
Dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali. Dan dalam ketenangannya
itu mulailah dia bisa merasakan irama dan nada suara tanduk dan salak Kebo
Bangah.
Heranlah
dia, mengapa suatu nada suara bisa mempengaruhi ketenangan seseorang. Malahan
bisa
menusuk dan menikam jantung. Tetapi setelah diamat-amati dengan seksama,
mulailah dia mengerti. Ternyata suara mereka itu kadang-kadang mengalun tinggi,
kemudian merendah. Mendadak saja bernada sama tingginya seakan-akan dua anak
panah yang meluncur berbareng membidik sasarannya.
Masing-masing
tak mau mengalah dalam per-lombaan itu. Kerap kali bahkan saling menin-dih dan
saling menikam.
Titisari
yang telah tersumpal telinganya, kala itu nampak tertawa senang. Maklumlah, dia
bebas dari pengaruh nada ayahnya dan Kebo Bangah. Dengan pandang geli ia
mengamat-amati mereka berdua. Ternyata ayahnya makin lama makin nampak
bersungguh-sungguh. Kini mulai bergerak-gerak pula. Kemudian berjalan menempati
sudut-sudut tertentu bagaikan sedang berkelahi. Sedangkan raut muka Kebo Bangah
nampak kejang luar biasa, sampai urat-uratnya menonjol ke dagingnya.
Sebagai
seorang yang cerdas otaknya, tahu-lah dia bahwa ayahnya sedang menghadapi lawan
tangguh. Begitu juga, Kebo Bangah. Mereka berdua berkutat dengan
sungguh-sungguh mengadu keuletan dan ketabahan.
Sangaji
yang tengah menenangkan diri, lambat-laun berani pula menyenakkan mata sambil
menajamkan pendengaran. Melihat Titisari tertawa-tawa geli, ia gelisah luar
biasa. Tapi mengingat telinganya telah tersumbat robekan sapu tangan, hatinya
agak terhibur. Karena itu, kembali ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya
kepada mereka yang sedang bertempur.
Pemuda
itu sebenarnya bukanlah seorang pemuda yang tolol dalam arti kata sebe-narnya.
Seandainya dia benar-benar tolol, masakan mampu menerima ajaran berbagai ilmu
kepandaian bermutu tinggi seperti ilmu Jaga Saradenta, Wirapati, Ki
Tunjungbiru, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi yang di-lihatnya hanya
selintasan saja. Karena itu, meskipun otaknya lambat dalam menerima sesuatu
keadaan, lambat laun ia mulai bisa memahami. Sekarang makin terang baginya,
bahwa kedua suara itu berusaha saling mengalahkan. Kadang-kadang melompat,
mengendap, menghindar, menyerang dan menangkis dengan jurus-jurus tertentu.
Karena tekunnya ia mendalami adu kesaktian itu, mendadak saja di luar
kemauannya sendiri tangannya bergerak-gerak mengikuti sudut jurus ajaran Kyai
Kasan Kesambi.
"Hai,
kenapa jadi begini?" ia heran. "Jurus-jurus Eyang Guru, ternyata bisa
mengimbangi jurus-jurus mereka."
Khawatir
pergerakan tangannya akan keta-huan mereka, cepat-cepat ia menguasai. Tetapi
pikiran dan perasaannya terus berjalan melakukan jurus-jurus ajaran Kyai Kasan
Kesambi.Ternyata makin lama makin dimengerti intisari sesungguhnya. Kini dengan
lincah ia ikut bertempur dalam khayalnya, seumpama dia harus menghadapi salah
seorang di antara mereka. Hanya saja, tenaga penyalurannya belum diketemukan.
Sehingga andaikata benar-benar bertempur akan gampang dirobohkan mereka.
Tatkala
itu, mereka yang sedang mengadu ilmu sakti telah memasuki babak-babak
penentuan. Orat-urat mereka makin kejang. Pandang matanya tajam luar biasa.
Diam-diam Sangaji terkejut dalam hati. Pendengarannya yang tajam kini mulai
memahami intisari ilmu mereka. Kadang-kadang suara salak Kebo Bangah terdengar
merendah seakan-akan kena terundurkan. Mendadak saja melompat merangsang dengan
dahsyat. Suara tanduk Adipati Surengpati mempunyai jurus tipu muslihatnya pula.
Apabila kena serangan demikian, nadanya terus berlengkak-lengkok seolah-olah
menempel terus. Kemudian de-ngan tiba-tiba menggigit dan menyambar de-ngan
cekatan.
Pada
suatu kali, suara tanduk Adipati Surengpati hampir kena tertindih dan terasa
kena terdorong ke pojok. Hati Sangaji tercekat. Memang di dalam hatinya, ia
menjagoinya. Tiba-tiba selagi suara tanduk Adipati Surengpati berkutat hendak
membebaskan diri, dari jauh terdengarlah suara siulan pan-jang melengking tajam.
Mula-mula agak samar-samar, tapi lambat laun kian nyata dan kini mulai memasuki
gelanggang. Adipati Surengpati dan Kebo
Bangah
terkejut sehing-ga suara mereka berkisar mundur.
Siulan
itu makin lama makin nyata dan tegas. Itulah suatu tanda, bahwa orang yang
bersiul di kejauhan sudah mendekati gelang-gang mereka.
Kebo
Bangah nampak gelisah. Terus saja ia berjongkok dan bersalak keras luar biasa
begitu bersungguh-sungguh sampai seluruh lehernya berkeringat penuh. Adipati
Sureng-pati pun tak tinggal diam. Suara tanduknya lantas saja membumbung
tinggi, mengejar nada siulan yang makin lama makin tinggi. Akhirnya saling
bentrok dan mengendap. Mendadak saja ketiga-tiganya saling berben-turan dan
mundur lagi. Suara tanduk berben-turan dengan siulan. Dan siulan bertempur
melawan salak Kebo Bangah.
Ah!
Orang yang datang ini samalah tingkatannya dengan mereka, pikir Sangaji. Terus
saja ia menduga-duga, siapakah orang itu sambil menajamkan pendengaran. Dalam
khayalnya ia ikut mencebur mengadu kepandaian. Jurus-jurus ilmu kepandaian yang
dapat dipergunakan hanyalah ajaran Kyai Kasan Kesambi. Kadang-kadang ia merasa
kerepotan, sehingga membutuhkan waktu beberapa detik lamanya untuk meme-cahkan
persoalan. Dan apabila merasa sang-gup membebaskan diri, kembali lagi ia ikut
bertempur. Tetapi karena kalah pengalaman, mau tak mau ia harus mengakui masih
kalah jauh. Sekalipun demikian, ia berbesar hati juga dapat ikut berkelahi.
Dalam
pada itu, orang yang bersiul telah tiba tak jauh dari gelanggang. Ternyata nada
siulannya kian terdengar nyaring dan tajam. Nada dan iramanya tak tetap, kadang
cepat, kadang melayang rendah. Tetapi tekanannya tetap. Malahan makin lama
makin lincah dan kuat. Karena itu, sebentar saja pertempuran adu mantram sakti
kian tegang dan seru. Terpaksa ia mengundurkan diri dari gelanggang, karena
merasa tak sanggup melayani. Dalam hatinya ia kagum bukan main. Tak terasa
terloncatlah perkataannya.
"Bagus!"
Mendengar
ucapannya sendiri, ia terkejut, bukankah dia lagi bersembunyi? Sadar akan
akibatnya, cepat ia berkisar dari tempat hen-dak melarikan diri. Tapi baru saja
ia bergerak, mendadak saja berkelebatlah sesosok ba-yangan. Ternyata Adipati
Surengpati telah menghadang di depannya.
"Ih!
Kau bisa tahan menyaksikan pertem-puran ini. Bagus! Rupanya kau paham pula.
Mari ke mari!" damprat Adipati Surengpati.
Dengan
melesatnya Adipati Surengpati ke luar gelanggang, berhentilah adu ilmu sakti
mereka.
Baik
suara salak Kebo Bangah maupun suara siulan lenyap dengan seko-nyong-konyong.
Sangaji
terus saja berdiri. Dengan memaksa membesarkan hati ia menghadap Adipati
Surengpati dan menurut saja ke mana dia dibawa pergi.
Titisari
yang tersumbat telinganya, tak men-dengar ucapan kagum Sangaji. Karenanya ia
heran dan terkejut tatkala melihat munculnya. Hatinya girang luar biasa. Tanpa
memedulikan segala, terus saja ia lari menyongsong sambil berteriak nyaring.
"Aji! Akhirnya kau datang...! Aku percaya kau pasti datang. Masakan kau
tak bakal bisa berpikir, mengapa aku begitu lama mengeram dalam makam ibuku."
Di antara seruan girangnya terselip rasa pedih juga. Maklumlah, sewaktu
memasuki makam ia tak mengira, bahwa ayahnya kebetulan berada di situ. Waktu
itu, hatinya dalam keadaan terharu. Karena itu sama sekali tak menoleh kepada
Sangaji yang berdiri seperti batu di luar tembok. Di hadapan ayahnya, tak bisa
ia berkutik. Mau tak mau ia harus tunduk kepada kemauan ayahnya hendak
dibawanya pulang ke Karimunjawa. Di tengah jalan ia mencoba memberontak. Tapi
betapa dia bisa melawan ayahnya yang berilmu tinggi dan berotak encer luar
biasa. Mendadak saja bertemulah dia dengan utusan Kebo Bangah dan sang
Dewaresi. Ayahnya ternyata tak berkeberatan dihadang dengan cara demikian.
Memang ayahnya terkenal sebagai seorang adipati yang tak memedulikan tata
susila dan tata pergaulan umum. Itulah sebabnya, meskipun perangkapan jodoh
terjadi di tengah
jalan,
hatinya tak berkeberatan atau merasa terhina. Waktu itu, ia dalam keadaan putus
asa. Bermacam-macam akal ia mencoba mencelakakan sang Dewaresi agar bisa
mem-bebaskan diri dari persoalan, tapi selalu gagal. Untung Sangaji bisa dibawa
Gagak Seta ke tempat itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya.
"Aji!
Siapa yang membawa engkau ke mari?" tanya Titisari. Air matanya terus saja
berdansa di atas pipinya. Dan melihat adegan demikian, hati sang Dewaresi
mendidih seperti terbakar. Sumbatan telinganya terus saja dilempar. Dan dengan
pandang menyala ia menatap Sangaji. Mendadak saja ia melompat menghajar Sangaji
karena tak sanggup lagi mengendalikan diri.
"Hai
telur busuk! Kau pun berada di sini?" dampratnya.
Sangaji
terperanjat melihat datangnya suatu serangan, tak terduga. Kini, ilmu
kepandaiannya telah berlipat dua kali majunya dibandingkan dengan ilmu
kepandaiannya tatkala bertempur melawan sang Dewaresi di Dusun Gebang. Pertama
kali, karena memperoleh waktu cukup untuk mendalami ilmu sakti Kumayan Jati.
Kedua kalinya memperoleh tambahan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi yang ternyata
dahsyat luar biasa. Itulah sebabnya, dengan gesit ia dapat menghindarkan
serangan. Kemudian membarengi dengan dua jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Seperti
diketahui tiap jurus ilmu sakti Kumayan Jati, dahsyat luar biasa. Apalagi kini
dua jurus dengan sekaligus.
Sang
Dewaresi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, Sangaji bisa mengelak sambil
me-nyerang. Tahu-tahu, pundaknya terasa suatu tenaga dahsyat, la kenal hebatnya
ilmu Kumayan Jati. Karena itu tak berani ia menyongsong. Satu-satunya jalan, ia
harus mengelak secepat mungkin. Maka terus saja ia menjejak tanah dan melesat
ke kiri.
Dalam
hal kecekatan, ia tak usah kalah melawan kecekatan Sangaji. Tetapi Sangaji kini
bukanlah Sangaji sebulan yang lalu. Begitu melihat serangannya dapat
dihindar-kan, secara wajar ia memapak dengan satu jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan
Kesambi yang dahsyat pula. Tak ampun lagi, dadanya kena terpukul dan tulang
rusuknya patah sebuah.
Sebenarnya
sang Dewaresi bukan orang sembarangan. Ilmunya tinggi dan otaknya cerdas. Ia
mengerti, Sangaji bukan lawannya yang empuk. Tatkala serangannya gagal
cepat-cepat ia sudah bersiaga mengelak ke kiri. Dan begitu memperoleh serangan
pem-balasan, kakinya telah menjejak tanah hendak meloncat tinggi. Meskipun
demikian tak sanggup ia membebaskan diri. Karena begitu luput dari serangan
ilmu sakti Kumayan Jati, di luar dugaan Sangaji menyerang dengan jurus ilmu
sakti yang belum pernah diketahui.
Hatinya
mendongkol bukan main. Dadanya sakit sampai menusuk jantung. Tapi dasar tinggi
hati, emoh dia memperlihatkan kele-mahannya. Dengan menahan nyeri, ia berjalan
dengan tenang ke tempat semula.
Titisari
girang bukan kepalang, menyak-sikan kehebatan Sangaji. Terus saja ia ber-tepuk
tangan sambil menjerit-jerit tinggi. Sebaliknya Adipati Surengpati dan Kebo
Bangah gusar bukan kepalang. Dengan tajam Kebo Bangah melirik kepadanya.
Kemudian berkata nyaring, "Hai pendekar bule Gagak Seta! Aku ucapkan
selamat setinggi-tingginya, karena kau telah memperoleh seorang murid
jempolan."
Sebenarnya,
Sangaji sendiri tak mengira akan memperoleh kemenangan dengan begitu mudah.
Inilah suatu kemenangan di luar dugaan. Sebagai seorang anak yang berhati
sederhana dan rendah hati, tak pernah ia mengira bahwa ilmunya telah maju
dengan pesat, la mengira, sang Dewaresi baru lalai sehingga gampang dikalahkan.
Itulah sebabnya, meskipun sang Dewaresi kena dilukai, tangannya masih saja
bersiaga penuh-penuh. Tetapi begitu mendengar seruan Kebo Bangah, matanya terus
saja bercelingukan. Titisari sendiri mendadak saja melompat-lompat karena
girang. Kemudian berteriak nyaring, "Guru! Guru! Guru!..."
Dalam
hatinya ia bersyukur setinggi langit, karena telah memperoleh bintang penolong.
Mendengar seruan Kebo Bangah dan seruan
Titisari,
Adipati Surengpati heran bukan main. Pikirnya, heh! Bagaimana bisa, anakku
menjadi murid si bule Gagak Seta?
Tatkala
itu, ia melihat Gagak Seta telah muncul di ketinggian. Dengan wajah
berseri-seri ia menggandeng tangan Titisari. Kemudian seperti seorang gendeng,
tertawalah dia ha ha hi hi.
"Titisari!
Kau memanggil apa kepadanya?" Adipati Surengpati menegas dengan hati
meluap.
Titisari
tak menjawab langsung. Dengan menuding sang Dewaresi ia berkata mengadu.
"Ayah! Orang itu berhati busuk, jahat dan cabul! Seumpama aku tak ditolong
Paman Gagak Seta, anakmu sudah menjadi bangkai babi."
"Apa
katamu?" bentak Adipati Surengpati dengan heran. "Dia berhati bagus,
mulia dan jujur. Masakan benar seperti yang kau-tuduhkan?"
"Hm...
jika Ayah tak percaya, biarlah aku bertanya kepadanya. Ayah bisa mende-ngarkan
sendiri apa jawabannya," sahut Titisari cepat. Setelah itu langsung ia
berkata kepada sang Dewaresi dengan menuding.
"Hai!
Bersumpahlah, bahwa engkau harus menjawab semua pertanyaanku dengan jujur!
Jika
engkau berdusta, bersumpahlah engkau ... Bahwasanya di kemudian hari engkau
akan mampus kena hantaman senjata tongkat pamanmu! Hayo, berbicaralah!"
Mendengar
ucapan Titisari, baik sang Dewaresi maupun Kebo Bangah tercekat hatinya.
Seperti diketahui, tongkat Kebo Bangah bukanlah sembarangan tongkat. Tongkat
itu terbuat dari batang duri rukem yang berbisa. Kini bahkan telah dilumuri
racun yang jahat luar biasa. Barangsiapa kena hantamannya, meskipun andaikata
kebal dari senjata akan mati terjengkang. Dan pada zaman itu, orang percaya
benar kepada sumpah. Dan kalau sang Dewaresi sampai mati oleh tongkat pamannya
sendiri, inilah hebat! Bukankah seganas-ganasnya harimau tidak akan memangsa
anaknya sendiri?
"Nona!"
sahut sang Dewaresi dengan gemetar. "Di depan mertua, masakan aku berani
mendustai engkau? Meskipun tanpa bersumpah, aku akan menjawab semua
per-tanyaanmu?"
"Bersumpahlah
dahulu! Masakan aku kena kau paksa mempercayai semua omonganmu?"
Sang
Dewaresi merasa terdesak. Di depan bakal mertuanya meskipun hatinya men-dongkol
diperlakukan demikian, tak berani ia melawan dengan terang-terangan. Maka
ter-paksalah ia mengangguk.
"Baik!
Aku bersumpah demikian."
"Bagus!
Tapi kalau engkau mengada-ada aku akan menggaplokmu lima kali berturut-turut.
Sekarang dengarkan!" kata Titisari. "Kita pernah bertemu di serambi
kadipaten Pekalongan, tatkala engkau memenuhi undangan Pangeran Bumi Gede
bukan?"
Mendengar
pertanyaan Titisari, sang Dewa-resi mengangguk. Tulang rusuknya nyeri luar
biasa, sampai ia segan hendak berbicara. Dan sebenarnya, nyaris tak tahan ia
melawan rasa sakitnya. Sekiranya hatinya tidak terlalu angkuh dan tidak berada
di depan saingannya, sudah siang-siang ia mengundurkan diri. Kini, meskipun
nyeri luar biasa, sedapat-dapatnya ia berusaha bertahan diri. Satu-satunya
jalan ialah dengan mengurangi berbicara.
Dalam
pada itu Titisari bertanya lagi, "Tatkala itu engkau berada di
tengah-tengah para pendekar undangan. Dan dengan tak segan-segan, engkau
mengkerubut aku se-orang diri, bukan?"
Mendengar
pertanyaan Titisari yang kedua ini, sang Dewaresi hendak menyangkal. Memang
benar, ia berada di antara para pen-dekar undangan. Tetapi dia bukanlah bekerja
sama dengan mereka. Serentak ia hendak berbicara, mendadak saja dadanya sakit
luar biasa. Itulah sebabnya dia hanya mampu berkata tersekat-sekat:
"Aku... aku... aku tak bekerja sama dengan mereka..."
"Baiklah!
Tak usahlah engkau berbicara banyak-banyak. Cukuplah! Engkau mengang-guk saja,
apabila
pertanyaanku benar. Dan menggeleng, bila tidak benar," kata Titisari
cepat. "Sekarang, dengarkan lagi! Kau tahu bukan, bahwa para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede memusuhi aku."
Sang
Dewaresi mengangguk. Memang para pendekar undangan itu, bergerak hendak
menangkap Titisari.
"Mereka
hendak membekuk aku, bukan? Tetapi tak berhasil. Kemudian munculah engkau.
Benar tidak?"
Sang
Dewaresi tak bisa membantah. Terpaksa ia mengangguk, dan Titisari berkata lagi.
Tatkala itu aku berada di tengah pendapa seorang diri. Tak seorangpun membantu
padaku. Tak seorangpun ingat akan penderitaanku. Padahal hatiku takut bukan
main. Aku berdoa dan aku memekik-mekik memanggil Ayah dalam hatiku. Kau tahu,
bahwa ayahku tak mungkin bisa datang bukan?"
Sang
Dewaresi terpaksa mengangguk lagi. Tahulah dia, bahwa pertanyaan kali ini
sengaja membawa-bawa nama ayahnya. Ia sadar, bahwa gadis itu sedang memancing
kemarahan ayahnya.
Benar
juga. Begitu sang Dewaresi mengang-guk, gadis yang cerdik itu lantas saja
memeluk pinggang ayahnya. Kemudian dengan suara pedih ia berkata, "Ayah!
Kau dengar pengakuannya sendiri. Mengapa Ayah tak pernah memikirkan
keselamatanku? Seumpama aku tak benasib baik, bagaimana jadinya? ... Kalau Ibu
masih hidup... takkan aku mengalami penderitaan sehebat itu..."
Mendengar
Titisari menyebut-nyebut ibunya, hati Adipati Surengpati terguncang bukan main.
Lantas
saja ia memeluk anaknya dengan mesra.
Kebo
Bangah adalah seorang pendekar sakti yang cerdas dan sudah mengenal watak
Adipati Surengpati. la tahu, maksud Titisari sebenarnya. Dan apabila Adipati
Surengpati kena tergugah kemarahannya, akan hebat akibatnya. Grusan perjodohan
bisa bubar pasar-. Maka cepat-cepat ia berkata mendahului.
"Nona
Titisari! Dalam pendapa itu banyak sekali jumlah pendekar undangan. Tapi
ternyata mereka tak becus menangkap engkau seorang. Itulah suatu bukti, betapa
tinggi ilmu keluargamu. Bukankah mereka tak berdaya menghadapi perlawananmu?"
Titisari tertawa senang sambil mengangguk. Adipati Surengpati pun nampak tersenyum.
Maklumlah,
pendekar itu memuji nilai ilmu kepandaiannya.
Melihat
Adipati Surengpati bersenyum, legalah hati Kebo Bangah. Orang itu segera
berkata lagi. "Saudara Surengpati! Tatkala itu keponakanku ini melihat
kecantikan puterimu untuk yang pertama kalinya, la jatuh cinta. Itulah
sebabnya, dengan tak memedulikan rintangan dan halangan kami datang
mene-muimu."
Kembali lagi Adipati Surengpati tersenyum, karena dia merasa memperoleh kehormatan.
Lantas
saja berkata memutuskan.
"Ya,
sudahlah! apa perlu direntang-rentang panjang lagi..."
Hati
Kebo Bangah girang luar biasa. Karena merasa telah memperoleh kemenangan, maka
ia hendak mencari kambing hitam. Serentak ia menoleh kepada Gagak Seta dan
berkata, "Saudara Gagak Seta! Kami—paman dan kemenakan—mengagumi ilmu
kepandaian-kepandaian keluarga Adipati Surengpati. Mengapa engkau tidak?
Mengapa engkau menghadapi tingkah-tingkah laku bocah kemarin sore dengan sungguh-sungguh?
Coba, andaikata kemenakanku tidak berusia panjang, nyawanya telah terbang kena
sambaran biji sawo berkat ajaranmu..."
Terang
sekali, Kebo Bangah hendak mengungkit-ungkit peristiwa di Desa Gebang, sewaktu
Gagak Seta menolong sang Dewaresi kala kena serangan Titisari dengan senjata
biji sawo.
Hanya
saja, Kebo Bangah memutar balik peristiwa sebenarnya. Bukan dia meng-ucapkan
terima kasih, tapi malahan menuduh Gagak Seta sebagai penerbit gara-gara.
Tetapi Gagak Seta yang berjiwa ksatria, nampak sabar. Sama sekali ia tak
menggubris kata-kata Kebo Bangah. Malahan dia tertawa perlahan melalui dadanya.
Sebaliknya,
Sangaji yang benci kepada semua hal yang kurang jujur, serentak menyahut.
"Sebenarnya Paman Gagak Seta yang menolong keponakanmu. Mengapa engkau berkata
begini?"
Tetapi
Adipati Surengpati sekonyong-ko-nyong membentak, "Kita lagi berbicara,
bagaimana engkau berani bercampur mulut?"
Sangaji
adalah seorang pemuda yang gam-pang tersinggung rasa kehormatan diri. Maka
begitu mendengar dampratan Adipati Sureng-pati, tanpa memedulikan akibatnya,
terus menjawab. "Aku berkata sebenarnya. Kalau tak percaya, suruhlah
Titisari menceritakan peristiwa sebenarnya!" Kemudian kepada Titisari ia
berkata nyaring, "Titisari! Cobalah bongkar sepak terjang sang Dewaresi
tatkala memperkosa Nuraini! Biarlah ayahmu bisa mempertimbangkan!"
Di
luar dugaan Titisari menggelengkan kepalanya. Ia kenal watak ayahnya. Ayahnya
terkenal dengan gelar adipati siluman dari Karimunjawa, karena wataknya yang
aneh. Dia mempunyai anggapan dan ukuran sendiri dalam menilai sesuatu peristiwa
yang berten-tangan dengan anggapan umum. Kerapkali suatu perbuatan benar,
dikatakan salah. Begitulah sebaliknya, belum tentu dia menya-lahkan seseorang
memperkosa seorang gadis. Mungkin dia akan menganggap sebagai suatu perbuatan
wajar bagi seorang laki-laki. Kecuali itu, Titisari tahu pula bahwa ayahnya
tidak begitu senang kepada Sangaji. Bahkan nampak membenci dan memusuhi. Itulah
sebabnya, diam-diam ia mencari dalih lain yang bisa menikam kedudukan sang Dewaresi.
Katanya kemudian, "Hai! Kata-kataku belum habis. Sewaktu engkau mengadu
kepandaian melawan aku di pendapa kadipaten, dengan sengaja engkau mengikat
kedua tanganmu ke belakang punggung. Kau sesumbar, bahwa dengan tanpa
menggunakan tangan, engkau bisa melawan ilmu Karimunjawa dengan mudah. Bukankah
begitu?"
Sang
Dewaresi mengangguk membenarkan pertanyaan itu.
"Kemudian
aku mengangkat Paman Gagak Seta sebagai guruku," kata Titisari lagi.
"Di Desa Gebang, kita pernah bertempur kembali. Kau sesumbar, bahwa aku
boleh menggu-nakan ilmu warisan Paman Gagak Seta atau ayahku sesuka hatiku. Dan
sebaliknya engkau akan melawan dengan ilmu warisan keluargamu. Kau yakin, bahwa
dengan bersendikan ilmu warisan keluargamu, kau akan sanggup mengalahkan semua
ilmu warisan Paman Gagak Seta dan ayahku. Benar tidak?"
Sang
Dewaresi mengangguk. Dalam hatinya dia berkata, yakin akan ilmunya sendiri,
bukankah hak setiap orang? Mendadak saja, sadarlah dia bahwa Titisari telah
menjebaknya. Gadis itu lantas saja berkata nyaring, "Nah, lihat Ayah! Sama
sekali dia tak memandang sebelah mata kepada semua ilmu Ayah dan ilmu Paman
Gagak Seta. Meskipun tak terucapkan, bukankah berarti ilmu Ayah dan ilmu Paman
Gagak Seta berdua kalah jauh dengan ilmu kepandaian pamannya? Tetapi aku tak
percaya! Ilmu kepandaian Ayah masakan kalah dengan ilmu kepandaian
pamannya?"
"Ih,
Titisari! Janganlah engkau menajamkan persoalan!" berkata Adipati
Surengpati dengan hati berdebar-debar menahan marah. Orang-orang gagah di
kolong langit ini, siapakah yang tak kenal ilmu sakti Adipati Surengpati, Kebo
Bangah, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi?
Terdengar,
Adipati Surengpati seperti mem-bantu kedudukan sang Dewaresi yang kena
dipilin-pilin puterinya. Tetapi di dalam hati ia mulai kecewa terhadap bakal
menantunya. Maka cepat-cepat ia mengalihkan pem-bicaraan, agar tak jadi
berlarut-larut. Berkata kepada Gagak Seta, "Hai! Saudara Gagak Seta,
tiba-tiba muncul di sini seperti malaikat. Apakah mempunyai urusan
tertentu?"
Gagak
Seta mendeham dua kali. Kemudian dengan sikap hormat ia menjawab, "Saudara
Surengpati! Sudah semenjak senja hari tadi aku mengikuti engkau dari jauh.
Sebenarnya aku hendak memohon sesuatu kepadamu."
Adipati
Surengpati kenal watak Gagak Seta. Meskipun miskin dan tak berkedudukan, tetapi
hatinya jujur dan berjiwa ksatria sejati. Karena itu, ia menghargai dan
menghormatinya sebagai seseorang yang bermartabat sejajar. Ia tahu biasanya
Gagak Seta menyelesaikan tiap urusannya—seorang diri saja. Belum pernah selama
hidupnya minta bantuan orang. Karena itu, ia kini heran bercampur girang
mendengar permintaan Gagak Seta. Apabila tidak terlalu mendesak, tak mungkin
dia sampai menga-jukan permintaan demikian. Maka cepat-cepat ia menjawab,
"Persahabatan kita berdua adalah suatu persahabatan yang sudah terjalin
semenjak dua tiga puluh tahun yang lalu. Saudara Gagak Seta, tiba-tiba kini
engkau sudi mengajukan suatu permintaan kepadaku. Berkatalah! Aku pasti akan
mengabulkan sekuasa-kuasaku."
"Ah!"
sahut Gagak Seta. "Jangan engkau menjawab demikian tergesa-gesa!
Kukha-watirkan, bahwa engkau takkan bisa memenuhi kesayanganmu itu..."
Adipati
Surengpati tertawa. Berkata, "Aku tahu, pastilah soal yang hendak kau
kemukakan kepadaku adalah soal berat. Apabila tidak, masakan engkau sampai
me-minta bantuan kepadaku."
Gagak
Seta tertawa sambil menggosok-gosok tangannya.
"Benar!"
katanya dengan perlahan. "Jika demikian, benar-benar engkau adalah
saha-batku sejati. Jadi, pastikah engkau menerima perintahku ini?"
Adipati
Surengpati selama hidupnya selalu menepati janji. "Setiap patah kataku
adalah jiwaku sendiri," sahut Adipati Surengpati. "Kalau aku sudah
melompat ke dalam lautan api, aku akan melompat kalau perlu terjun ke dalam
kubangan air, masakan aku akan mundur?"
Mendengar
ucapan Adipati Surengpati, Kebo Bangah terkejut. Cepat-cepat ia menge-tuk tanah
dan melintangkan tongkat rukemnya di depan dadanya.
"Saudara
Surengpati, tunggu dulu!" katanya dengan suara parau. "Kalau sampai
bersumpah demikian. CJrusan apa sebenarnya? Bersumpah adalah gampang. Itulah
jamaknya seorang laki-laki. Tapi lebih baik dengarkan dahulu persoalannya
saudara Gagak Seta!"
Gagak
Seta tertawa tergelak-gelak. Berkata, "Hai bandotan busuk Kebo Bangah!
Grusanku ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan urusanmu. Lebih baik
tutuplah mulutmu yang usilan itu. Suruhlah mulutmu yang doyan makan itu,
bersiaga menerima hari bahagia. Nah, kan lebih bagus begitu...?"
Kebo
Bangah heran mendengar ucapan Gagak Seta. Katanya menebak-nebak, "Eh ...
bersiaga menerima hari bahagia! Apakah itu?"
Gagak
Seta tertawa tergelak-gelak. Pan-dangnya mendongak ke angkasa. Kemudian menatap
wajah Kebo Bangah seperti mere-nungi seorang badut.
"Tak
salah ucapanku! Siagakan saja mulut-mu! Sebentar lagi engkau mengerti apakah
hari bahagia itu."
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 23 JAGO-JAGO TUA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 23 JAGO-JAGO TUA"
Post a Comment