BENDE MATARAM JILID 22 MENUNTUT BALAS
TENANG
LUAR BIASA ADALAH KYAI KASAN KESAMBI. Menghadapi malapetaka demikian besarnya
tiada kesan sama sekali bahwa hatinya terguncang.
"Gagak
Handaka! Tolong ambilkan air Kembang Wijayakusuma di dalam kamarku,"
katanya perlahan. Kemudian ia membungkuki tubuh Wirapati dengan berdiam diri.
Tampak ia menghela napas. Wajahnya berkerut-kerut tetapi mulutnya membungkam.
Setelah mere-nung sejenak, tangannya memijat-mijat pelipis Wirapati berulang
kali dengan disertai tenaga mukjizat.
Tamu-tamu
semua tahu, bahwa ilmu mukjizat Kyai Kasan Kesambi sangat tinggi. Biasanya
meskipun napas seseorang telah tersekat beberapa waktu lamanya, apabila kena tangan
Kyai Kasan Kesambi pasti dapat tersadar kembali. Tetapi kali ini sampai
beberapa waktu lamanya, masih saja belum nampak hasilnya. Wirapati belum juga
tersadar, meskipun sudah bernapas lemah sekali.
Semenjak
Ranggajaya dan Bagus Kempong menjadi murid perguruan Gunung Damar, belum pernah
sekali juga melihat gurunya gugup seperti kali ini. Menghadapi segala
pe-ristiwa betapa besarpun, gurunya tetap mem-perlihatkan ketenangannya. Kini,
mereka memperlihatkan rasa cemas. Maka tahulah mereka, bahwa Wirapati menderita
suatu luka parah yang sangat berbahaya.
Tatkala
itu Gagak Handaka sudah kembali dari kamar membawa botol air Kembang
Wijayakusuma. Air sakti ini dahulu diterima Kyai Kasan Kesambi dari sahabatnya
almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I. Seperti diketahui, pengganti raja harus
memiliki kembang tersebut sebelum naik tahta sebagai suatu adat turun-temurun.
Kembang sakti tersebut diambil dari selat Cilacap pada sebidang batu karang
yang bernama Singalodra. Barangsiapa meneguk air sakti
itu
akan bertambah umurnya. Apabila sedang sakit, akan cepat sembuh. Bahkan konon
diceritakan, bahwa orang matipun akan dapat hidup kembali manakala belum sampai
kepada takdir.
Dengan
berdiam diri, Kyai Kasan Kesambi menerima botol tersebut yang tersumbat gabus
rapat-rapat. Dalam keadaan biasa, seseorang akan membuka gabus itu dahulu
sebelum menuang airnya. Namun Kyai Kasan Kesambi dalam keadaan terguncang
hatinya, melihat murid kesayangannya terluka parah demikian rupa. Dengan tak
sabar ia menyentil leher botol sehingga terpental hancur. Kemudian dengan gopoh
diminumkan air sak-tinya. Tetapi air tersebut tak berhasil dimi-numkan, karena
mulut Wirapati terkunci rapat dalam keadaan tak sadar pula.
Perlahan-lahan
Kyai Kasan Kesambi meng-hela napas. Segera ia memijat-mijat tulang rahang
Wirapati dengan ibu jari, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya
mengurut-ngurut tulang dada. Tak lama kemudian terbukalah mulut Wirapati.
Begitu terbuka, Kyai Kasan Kesambi menuangkan air sakti dengan cepat. Gagak
Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat bersuara lega melihat
gurunya sudah berhasil meminumkan air sakti.
Sayang,
air sakti tersebut tertahan di teng-gorokan. Agaknya daging bagian rongga dada
sudah menjadi kaku. Cepat Gagak Handaka dan Ranggajaya memijat urat leher.
Sedangkan Bagus Kempong dan Suryaningrat memijat-mijat ibu jari kaki. Ibu jari
kaki, urat leher dan jantung merupakan jalan darah yang berhubungan langsung.
Seseorang yang lagi tidur lelap atau jatuh pingsan akan cepat tersadarkan
apabila terpijat ibu jari kakinya.
Waktu
itu Sangaji telah sadar kembali. Begitu melihat kesibukan, segera ia berteriak
minta penjelasan.
"Eyang
Panembahan! Apakah Guru dapat tertolong!"
Tetapi
Kyai Kasan Kesambi tidak men-jawabnya. Hanya berkata seperti mengguna.
"Aji!
Tiap orang pasti akan kembali. Siapakah manusia yang pernah hidup ini tidakkan
mati?"
"Hm...
karena urusan Bende Mataram semata?" Sangaji berteriak. Tubuhnya menggigil
menahan amarah yang meluap-luap.
Mendengar
tanya jawab antara Sangaji dan Kyai Kasan Kesambi, semua tetamu merasa tak enak
hatinya. Segera mereka memohon diri kepada Kyai Kasan Kesambi. Mereka tahu
bahwa anak murid Gunung Damar takkan tinggal diam saja. Dan kalau sampai Kyai
Kasan Kesambi ikut campur, alangkah hebat.
Gagak
Handaka mewakili gurunya mengan-tar mereka dengan wajah suram. Rombongan Raden
Ayu Kistibantala adalah rombongan tetamu yang terakhir bermohon diri. Dengan
sedih Raden Ayu Kistibantala menghampiri Suryaningrat sambil berkata perlahan.
"Kangmas Suryaningrat, aku akan pulang... jagalah dirimu baik-baik.
Suryaningrat... Suryaningrat adalah salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang
terhalus perasaannya. Tatkala melihat kecemasan gurunya, diam-diam ia mulai
putus asa. Tak terasa air matanya memenuhi kelopaknya. Maka begitu mendengar
suara kekasihnya, dengan mendongak ia memaksa diri hendak menjawab. Namun
hatinya terlalu sedih, sehingga dengan tak sadar ia berkata menuduh.
"Jadi...
engkaupun... engkaupun juga datang kemari untuk mencari keterangan tentang
pusaka sakti Bende Mataram?"
"Ti...
tidak," sahut Raden Ayu Kistibantala cepat.
"Memang
kami telah menerima laporan, bahwa pusaka sakti tersebut berada di Gunung
Damar. Kami hanya diutus Sri Sultan Hamengku Buwono II, mempersaksikan belaka.
Di kemudian hari, mengingat persahabatan antara Kyai Kasan Kesambi dan almarhum
Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II akan memberanikan
diri untuk merundingkan. Bagaimana corak dan bunyi perundingan itu, sama sekali
bukan urusanku."
"Ha...
bagus!" tiba-tiba Sangaji berseru. "Guru kini dalam keadaan tak
sadar. Untuk memaksa agar mengaku, bukanlah lebih mudah?"
Terang
sekali, ucapan Sangaji tercetus dari lubuk hati yang sedang sedih bercampur
dendam. Meskipun demikian, ucapannya pedas luar biasa sehingga wajah Raden Ayu
Kisti-bantala merah sekaligus.
Cepat-cepat
Suryaningrat berkata, "Apa perlu mendengarkan ucapan seorang yang masih
berbau kanak-kanak? Tetapi andai-kata... pihak lain menggunakan hubungan kita
ini, rasanya aku pun terpaksa akan menolak. Mengertikah engkau?"
Raden
Ayu Kistibantala mengangguk, kemudian bermohon diri dengan diikuti
rom-bongannya. Dan pendopo padepokan Gunung Damar kini menjadi sunyi
menakutkan. Tiada yang berkutik atau bersuara, kecuali perna-pasan Kyai Kasan
Kesambi yang terdengar berat menusup ke rongga dada Wirapati.
Semua
anak murid Gunung Damar tahu, bahwa gurunya sedang membantu pernapasan Wirapati
agar memperoleh kesadaran. Keringat gurunya sampai nampak merembes ke bajunya.
Dan tak lama kemudian terdengar Wirapati menjerit sangat keras, sehingga hati
Sangaji tergetar. Inilah suara jeritan yang tertahan, Tatkala Malangyuda
mematahkan ruas-ruas tulangnya.
Wajah
Kyai Kasan Kesambi tetap memperli-hatkan kesan beku. Tak dapat mereka mem-baca
hatinya apakah dia sedang duka atau bersyukur.
"Bagus
Kempong, Suryaningrat! Papahlah Wirapati ke dalam kamarku!" Tiba-tiba Kyai
Kasan Kesambi memberi perintah.
Bergegas,
Bagus Kempong dan Surya-ningrat memapah Wirapati ke dalam kamar Kyai Kasan
Kesambi. Tak lama kemudian, Suryaningrat telah muncul kembali. Segera bertanya
kepada gurunya. "Guru! Apakah ilmu sakti Kangmas Wirapati akan dapat
dipulihkan?"
Kyai Kasan Kesambi nampak berenung-renung mendengar pertanyaan murid bungsunya.
Sejenak
kemudian menjawab sambil menarik napas.
"Apakah
nyawanya dapat diselamatkan masih merupakan suatu teka-teki bagiku. Tunggulah
satu bulan lagi! Kita akan memper-oleh jawabannya. Ruas-ruas tulangnya agak-nya
belum patah sama sekali. Hanya terkena suatu bisa keji luar biasa sehingga
menyekat jalan darahnya. Apabila ke-208 tulang sam-bungnya kena tersekat bisa
tersebut, meskipun tertolong kakakmu akan lumpuh juga. Karena itu, kewajiban
kita adalah meng-usir bisa dari dalam tubuhnya. Kalau perlu kita pangkas salah
satu anggota tubuhnya. Seorang laki-laki kehilangan sebelah tangan atau
kakinya, bukanlah berarti tiada guna lagi."
Semua yang mendengar keterangan Kyai Kasan Kesambi terharu bukan kepalang.
Suryaningrat sekaligus berlinang-linang, sedangkan Sangaji terus saja menangis sedih.
Pemuda
ini teringat akan gurunya tatkala masih segar bugar berangkat dari Jakarta ke
wilayah
Jawa
Tengah. Betapa perkasa dia. menurut Sangaji tiada yang menyamai.
"Guru!"
Gagak Handaka berkata dengan dahi mengerinyit. "Sesungguhnya, siapakah
yang menganiaya Adinda Wirapati demikian keji? Pendekar gagah manakah yang
terang-terangan memusuhi kita?"
Dengan
menggeleng-gelengkan kepala Kyai Kasan Kesambi menjawab, "Seorang pendekar
gagah atau ksatria sejati, tidak menggunakan bisa atau racun begini keji.
Menang atau kalah dalam suatu pertempuran adalah layak. Dan tiap ksatria atau
pendekar akan menerima kekalahannya dengan wajar dan hati terbuka."
"Jika
dia penyamun atau perampok, Masakah bisa menganiaya Adinda Wirapati?"
"Handaka!
Jangan engkau terlalu mem-banggakan pamor perguruan sendiri. Di dalam hidup ini
banyak terjadi hal-hal yang berada di luar dugaan kita."
Mendengar
tutur-kata Kyai Kasan Kesambi, Gagak Handaka terdiam. Di dalam hatinya ia kagum
kepada ketinggian budi gurunya. Terang sekali bahwa gurunya terkenal sebagai
tokoh utama tujuh orang sakti pada zaman itu. Meskipun demikian, tak pernah
memandang rendah perguruan-perguruan lainnya. Tiba-tiba Suryaningrat berkata
nyaring. "Guru! Kangmas Wirapati pernah mengisahkan pengalamannya tentang
senjata rahasia Pangeran Bumi Gede. Apakah Kangmas Wirapati terkena senjata
rahasianya?"
Kyai
Kasan Kesambi termenung-menung. Teringatlah dia kepada pengalamannya zaman
mudanya. Di pantai Selatan, bermukimlah seorang sakti bernama Rajapideksa,
karena dia memiliki dua ilmu kebal bernama Rajapideksa dan Gondawijaya. Kecuali
itu, dia pandai membuat racun ramuan-ramuan bisa ular yang banyak terdapat di
wilayah Gunung
Kidul.
Dahulu pada zaman Giyanti, banyaklah pembunuh kompeni Belanda dengan senjata
racunnya. Itulah sebabnya pula, Kyai Kasan Kesambi melarang anak muridnya
menggu-nakan suatu perkelahian dengan menggu-nakan senjata beracun. Tetapi
masakan orang sakti itu masih hidup? Sedangkan waktu Perang Giyanti, umurnya
sudah lanjut. Apakah anak muridnya atau cucu muridnya yang meneruskan warisan
kepandaiannya? Apabila benar, alangkah hebat. Dan jika dia mewartakan dugaannya
itu kepada sekalian anak muridnya sudah tentu mereka akan menuntut balas.
Seumpama bukan anak murid Rajapi-deksa yang melukai Wirapati, pastilah akan
terjadi suatu permusuhan besar di kemudian hari. Suatu malapetaka yang
berpangkal kepada tuduh menuduh takkan ada habisnya.
Melihat
Kyai Kasan Kesambi berdiam diri itu. segera Suryaningrat yakin bahwa dugaannya
tak salah. Ia menegas lagi, "Apabila bukan Pangeran Bumi Gede, siapakah
lagi yang mempunyai senjata berbisa begini keji?"
"Membuat
senjata racun tidaklah mudah. Kadangkala seseorang membutuhkan kete-kunannya
sepanjang hidupnya," jawab Kyai Kasan Kesambi. Kemudian terdiam lagi de-ngan
berenung-renung.
Sekonyong-konyong,
Sangaji yang selama itu hanya menangis terisak-isak melompat tinggi dan
kemudian melesat ke luar pendapa. Ia menghampiri sebatang pohon dan dengan ilmu
sakti Kumayan Jati ia merobohkan de-ngan sekali pukul. Lalu berteriak,
"Eyang Panembahan! Apakah aku belum mampu menuntut balas Guru? Apakah
musuh-musuh Guru yang menganiayanya jauh lebih sakti daripada pukulanku?"
Gagak
Handaka, Ranggajaya dan Surya-ningrat terkejut melihat pukulan itu. Sama sekali
mereka tak menduga, bahwa bocah itu dapat memukul sebatang pohon sekali roboh.
Hanya Bagus Kempong yang nampak tenang, karena dia telah mengenal kemampuan
Sa-ngaji tatkala bertanding melawan Pringgasakti.
Kyai
Kasan Kesambi mengawaskan seben-tar, kemudian berdiri dan masuk ke dalam
kamarnya.
"Bagus
Kempong!" katanya. "Aku membu-tuhkan pemikiranmu. Peristiwa ini
benar-benar sulit untuk menentukan siapakah penganiaya adikmu."
Dalam
hal menentukan sikap Kyai Kasan Kesambi selalu mengajak Bagus Kempong
memecahkan tiap persoalan. Bagus Kempong seorang pendiam, tetapi pandai
menentukan sikap dan langkah-langkah selanjutnya. Sewaktu bersama Wirapati
dihadang oleh gerombolan petualang, dia telah membuktikan kesanggupannya. Maka
begitu mendengar kata gurunya, segera menjawab sambil ber-jalan mengiringi.
"Sepak
terjang Adinda Wirapati cukup berhati-hati dan waspada, meskipun hatinya usilan
apabila menjumpai suatu peristiwa. Hatinya terbuka dan senang menerima suatu
persahabatan. Kukira, Adinda Wirapati menjadi korban dari ke lapangan hatinya
sendiri. Sebab apabila berlawanan dengan terang-terangan, tidaklah gampang
menjatuhkan dirinya. Guru sendiri memuji kecerdikan dan kecermatannya."
Kyai
Kasan Kesambi memanggut-manggut kecil menyetujui sambil memasuki ambang pintu.
"Ruas
tulang yang terpatahkan, kukira hanya terjadi setelah dia kena bisa. Soalnya
kini, siapakah yang meracuni dirinya? Tentang sebab musababnya terang
benderang. Orang yang meracunnya ingin memiliki kedua pusaka sakti Bende
Mataram," Bagus Kempong menyambung.
"Hm,
apakah engkau menduga lebih dari seorang?"
"Pasti.
Nampak sekali bahwa yang meracuni dan yang mematahkan tulang-tulangnya
mempunyai kepentingan masing-masing."
"Hm,
jika begitu, bantulah aku merawat adikmu. Sifat racun itu luar biasa anehnya.
Sampai kini, belum dapat kuketahui obat pemunahnya. Dalam tubuhnya terdapat
beberapa bintik-bintik bekas kena timpukan. Apabila yang menimpukkan senjata
beracun bukan seorang yang berkepandaian tinggi, masakah adikmu tak mampu
mengelakkan?"
Sehabis
berkata demikian, terus saja Kyai Kasan Kerambi memasuki kamar dengan diiringi
Bagus Kempong. Gagak Handaka, Ranggajaya dan Suryaningrat kembali ke kamarnya
masingmasing menghempaskan diri. Sedangkan Sangaji tetap berada di pekarangan
dengan hati masgul luar biasa.
"Eyang
tak mau menjawab seruanku. Apakah kepandaian musuh Guru jauh di atasku?"
kata hatinya.
Sangaji
adalah seorang pemuda yang seder-hana dan tak pandai berpikir berbelit-belit
apalagi begitu rumit. Meskipun demikian kali itu dia memeras otaknya benar-benar,
karena besarnya dendam yang berkecamuk dalam hatinya. Namun, karena otaknya tak
pandai melayani kehendak hatinya, ruang benaknya tetap gelap gulita. Akhirnya,
dia jengkel dan tiba-tiba menyalahkan diri sendiri membiarkan gurunya mengambil
pusaka warisan.
"Guru!
Mengapa engkau begitu bersusah payah untukku semata?" ia mengeluh sedih.
Dengan
wajah berkerut-kerut ia duduk di atas batang pohon yang tadi kena dihajarnya
roboh. Hatinya pepat, tak tahu lagi apakah yang hendak dilakukan. Mendadak saja
teringatlah dia kepada Titisari, sahabatnya yang otaknya serba pandai.
Pikirnya, ah! Andaikata Titisari berada di sini... aku percaya musuh Guru akan
terpecahkan.
Semenjak
bertemu di Cirebon ia telah menaruh kepercayaan besar terhadap Titisari. la
percaya, betapa sulit suatu teka-teki pasti akan dapat terpecahkan.
Waktu
itu matahari hampir mendekati garis lintang. Sebentar lagi matahari akan
terbenam benar-benar. Kemudian suara adzan terdengar mengaung-aung menukik ke
angkasa. Memang di sekitar lembah Loano, penduduk beragama Islam dan melakukan
wajib agama dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka kentong tanda waktu
Magrib bertalu bersambungan dari desa ke desa. Seluruh alam lantas terasa damai
tenteram. Tetapi hati Sangaji tidaklah demikian. Berbareng dengan tenggelamnya
matahari, kerisauannya makin bergolak tiada hentinya.
Ia
menoleh ke arah pendapa. Para cantrik mulai menyalakan pelita. Suasana
kelap-kelip menambah kepepatan hatinya.
Tiba-tiba
Gagak Handaka muncul di serambi depan. Melihat Sangaji duduk termenung di
pekarangan, segera ia memanggilnya. Murid tertua Kyai Kasan Kesambi terkenal
sebagai seorang murid pendiam. Baik kepandaian maupun kewibawaannya tiada yang
melebihi. Semua adik-adik seperguruannya tiada yang berani membantah setiap keputusannya.
Maka begitu Sangaji mendengar suaranya, tanpa dikehendaki terus saja
menghampiri seolah-olah kena suatu daya kekuatan gaib.
"Masuklah!"
perintah Gagak Handaka pendek.
Sangaji
teruis memasuki kamar. Dia mencoba menidurkan diri dan menolak makan malam.
Tetapi
sampai larut malam matanya tak mau dipejamkan karena diamuk rasa duka dan
marah. Sesudah gulang-guling tak keruan juntrungnya, diam-diam ia bangun. Besar
hasratnya hendak menjenguk keadaan gurunya. Karena paman-pamannya akan
mencegahnya, maka dengan berjingkat-jingkat ia mendekati kamar eyang gurunya.
Tatkala
sampai di serambi belakang yang menyekat kamar-kamar pamannya dan kamar eyang
gurunya, ia melihat seorang berperawakan tegap tinggi berdiri tegak di te-ngah
kegelapan. Itulah eyang gurunya, Kyai Kasan Kesambi. Cepat ia bersembunyi di
balik tiang dengan hati berdebar-debar. Ia merasa serba salah. Hendak kembali
ke kamarnya, pasti akan diketahui. Apabila tetap bersem-bunyi harus berani
menahan napas selama mungkin dan menipiskan secermat mungkin.
Tak
lama kemudian, ia melihat Kyai Kasan Kesambi berjalan mondar mandir. Setiap
kali ia menggores udara dengan tangan kanannya seolah-olah sedang menulis.
Diam-diam Sangaji heran menyaksikan hal itu. Apakah eyang gurunya jadi gendeng
karena memi-kirkan muridnya? Ah, bagaimana mungkin! Memperoleh pertimbangan
demikian, segera ia mengamat-amati dengan saksama dan cermat.
Tatkala
itu Kyai Kasan Kesambi telah mencorat-coret beberapa kali di udara. Terdengar
ia menarik napas panjang seperti seseorang lagi menghempaskan diri karena sedih
hati. Kemudian berjalan berputar-putar sambil merenung. Sejurus lagi, tangannya
bergerak dan bercorat-coret kembali. Kali ini bergerak dengan perlahan dan
hati-hati. Diam-diam Sangaji terkesiap tatkala mengamat-amati. Terang sekali,
bahwa eyang gurunya sedang menulis huruf-huruf di udara, sayang sekali tak
dapat ia membacanya, karena hurufnya bukan latin. Tetapi huruf Jawa seperti
kebanyakan orang-orang tua pada zaman itu.
Eyang
Panembahan lagi menulis apa? Pikir-nya dalam hati. Apakah dia sedang menulis
suatu pesan? Pesan apa?
Memperoleh
pikiran demikian, cepat ia menjelajahkan matanya. Yakinlah dia bahwa kecuali
dirinya pasti ada salah seorang paman gurunya yang berada di sekitar tempat
itu, tetapi keadaannya lengang sunyi.
"Baiklah!
Biar kuhafalkan sebisa-bisaku. Esok akan kuulangi di depan paman guru, bukankah
aku akan ikut mengerti? pikirnya lagi. Mendadak ia melihat suatu perubahan.
Tangan eyang gurunya dengan perlahan-lahan mencoret suatu huruf latin.
Bunyinya: SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
"Hai!"
Sangaji terkejut. "Apakah Eyang Guru sedang memikirkan peristiwa Guru?
Agaknya Eyang Guru yakin, bahwa betapa perkasa suatu kejahatan akan lebur juga
oleh suatu kebaikan. Ih! Jangan-jangan Eyang Guru sedang menciptakan suatu ilmu
bergerak dan bertahan untuk menghancurkan suatu kebiadaban, ya, siapa tahu!
Memperoleh
pikiran demikian, teringatlah dia kepada gurunya yang luka parah. Maka rasa
dendamnya sekaligus berkecamuk hebat dalam dirinya sampai wajahnya menjadi
tegang luar biasa. Karena dendam itu pulalah, maka seluruh perhatiannya
terpusat untuk suatu tujuan menuntut balas. Cepat ia mengamat-amati gaya
coretan Kyai Kasan Kesambi yang makin lama makin galak dan terang sekali
merupakan suatu jurus pukulan dan tangkisan. Sayang sekali, kali ini gaya
tulisannya huruf Jawa, sehingga Sangaji jadi kelabakan. Tetapi terdorong oleh
kekerasan hati hendak menuntut dendam, mendadak saja otak pemuda itu yang
biasanya tumpul jadi tajam luar biasa bagai sebuah belati mengke-rat-kerat
sebuah benda ulat.
Sesungguhnya,
Kyai Kasan Kesambi kala itu sedang menulis 20 huruf Jawa berikut huruf sandang
berulang-kali. Kemudian menyusun huruf-huruf tersebut menjadi istilah-istilah
kata penghancur terhadap tiap butir kehendak nafsu, seperti Wisa Kontaling
Maruta, Anjrah jroning Kalyun, Wedaring wacana Mulya, Gedongmineb jroning
Kalbu, Sotya sinara wedi, Tirtosahingsasana, Sotya murca saking embanan,
Bantala rengka, Suta manut mring bapa, Waspa kumembeng jroning kalbu, Pancuran
emas sumawur ing jagad, Rasa mulya kasucian,
dan
bermacam-macam semboyan lainnya. Sekali lagi amatlah sayang, karena Sangaji tak
dapat membaca huruf-hurufnya. Andaikata pandai membaca, pastilah hatinya akan
terharu melihat betapa besar cinta kasih eyang gurunya terhadap gurunya. Orang
tua itu yang sudah lama tak pernah memperlihatkan kepandaiannya, mendadak saja
pada hari itu memperlihatkan giginya bagaikan seekor harimau mondar-mandir
dalam kerangkeng jebakan. Inilah suatu ilmu sakti hasil pengendapan diri selama
bertekun dua belas tahun dalam kamarnya semenjak Wirapati hilang tiada
kabarnya.
Biasanya
Gagak Handaka dan Ranggajaya mewakili dia memberi pelajaran terhadap ketiga
murid lainnya. Dengan demikian, secara kebetulan Sangaji memperoleh ajaran ilmu
sakti langsung dari Kyai Kasan Kesambi seorang tokoh utama dari tujuh orang
sakti pada zaman itu.
Demikianlah,
Kyai Kasan Kesambi waktu itu terus bergerak tiada hentinya mengulangi
huruf-huruf yang sudah ditulisnya di udara. Oleh ulangan itu, lambat-laun
tahulah Sangaji bahwa istilah huruf yang ditulisnya berjumlah 72 coretan. Dalam
waktu kurang lebih tiga jam selesailah sudah. Sekonyong-konyong Kyai Kasan
Kesambi bersiul panjang dan mengakhiri ulangan tulisannya yang terakhir.
"Aji!
Bagaimana pendapatmu tentang tulisanku yang kutulis dengan huruf Jawa?"
Mendadak dia bertanya kepada Sangaji sambil merenung dikejauhan.
Sudah
barang tentu, Sangaji terkejut bukan kepalang, sama sekali tak diduganya bahwa
tanpa menoleh sedikitpun, eyang gurunya telah mengetahui kehadirannya, lantas
teringatlah dia, bahwa pamannya Bagus Kempong saja bisa mendengar napas seseorang
yang bersembunyi di balik belukar dan gerak gerik Suryaningrat yang bersembunyi
di balik mahkota pohon. Apalagi Kyai Kasan Kesambi. Memperoleh ingatan ini
diam-diam ia mengutuki kegoblokannya. Maka dengan merasa serba salah ia lantas
berdiri tegak sambil menjawab, "Sungguh! Malam ini aku sangat beruntung
dapat menyaksikan ilmu kepandaian Eyang Panembahan yang tiada taranya. Hanya
saja aku, tak mengerti huruf Jawa sehingga tak pandai membaca atau menilai,
apakah aku diperkenankan memanggil paman-paman guru agar mereka dapat menilai
gaya tulisan Eyang Panembahan?"
"Tak
perlu lagi. Hasrat untuk menulis sudah padam. Biarlah di kemudian hari, mereka
membicarakan hal ini. Lagi pula mereka tak mengenal seni sastra," ujar
Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ia memasuki kamarnya meninggalkan Sangaji seorang
diri.
Seperti
patung Sangaji mengawaskan kepergian eyang gurunya. Takut apabila ia kembali ke
kamar akan terhapus ingatannya mengingat-ingat huruf-huruf Kyai Kasan Kesambi
yang masih membekas dalam benaknya, maka ia menguatkan diri emoh tidur. Segera
ia menenangkan diri, mengum-pulkan ingatannya. Kemudian ia mencobamenirukan
gaya tangan dan langkah sambil menggeret suatu coretan sehuruf demi sehu-ruf.
Sampai lama sekali ia berhasil menggoreskan kedua puluh huruf. Inipun sudah
mengagumkan, mengingat dia tak paham huruf Jawa segarispun. Andaikata tak
didorong oleh suatu deru dendam kesumat hendak menuntut balas, pastilah dia
membutuhkan latihan berhari-hari lamanya.
Tetapi
suatu hal yang mungkin dilupakan oleh nalar. Seseorang yang lagi belajar
menulis, pastilah menuliskan alat penulis tebal-tebal dan kaku. Mungkin
pencang-pen-cong pula. Hal ini malah serba kebetulan untuk suatu gaya ilmu
berkelahi, Karena dengan menekankan suatu kehendak karsa yang menyala-nyala, justru
memperkokoh tiap kedudukan huruf-huruf itu. Maka sekalipun tiap kalimat elan '
ditulis dengan huruf pen-cang pencong, tapi kuat dan bertenaga. Lagipula,
Sangaji telah mengantongi dua bekal anugerah alam yang jarang dimiliki
seseorang dengan wajar. Pertama, getah sakti pohon Dewadaru dan ilmu tata napas
Bayu Sejati. Kedua, ilmu-tata napas Kumayan Jati dan jurus-jurus penggempurnya.
Maka begitu ia mulai menulis suatu istilah elan ciptaan Kyai Kasan Kesambi,
mendadak saja terdengarlah suatu desir angin seolah-olah hendak merajang udara.
Inilah suatu kejadian di luar tahunya Sangaji sendiri.
Menjelang
pagi hari, ia telah berhasil menulis 615 huruf yang terbagi dalam 70 istilah
elan.
Dengan
demikian tinggal dua istilah elan belaka. Kalau saja hatinya tiada ter-goncang
oleh suatu api dendam yang menyala-nyala, betapa dia mampu menghafal suatu
rumpun istilah sebanyak itu yang merupakan jurus-jurus ilmu berkelahi bernilai
tinggi. Seseorang yang cerdas otaknya belum tentu mampu. Di sini ternyata,
bahwa deru hati merupakan saham terbesar dalam hidup seseorang, seringkali
terjadi seorang yang berpenyakitan dan susah bergerak, tiba-tiba bisa meloncati
pagar setinggi dua meter karena hatinya kaget oleh suatu marabahaya. Soalnya,
dalam diri manusia sesungguhnya tersekam suatu tenaga gaib yang jarang sekali
dapat dikuasai oleh suatu kesadaran. Itulah sebabnya, maka di dunia ini
terdapat pula suatu ilmu untuk menekuni rahasia tenaga gaib tersebut dengan
bertapa, bersemadi atau suatu penyelidikan nalar.
Demikianlah,
dengan tekun dan percaya benar bahwa eyang gurunya sedang mewa-riskan suatu
ilmu kepandaian kepadanya, maka segera ia mengulangi berulang kali sam-pai
benar-benar tersekat dalam lubuk hatinya. Apabila dia menjumpai suatu kesulitan
diam-diam ia berkata kepada diri sendiri.
"Tadi
Eyang Panembahan sengaja menulis huruf Latin yang berbunyi SURA DIRA JAYA
NINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI. Pastilah Eyang sengaja menarik perhatianku,
bukankah Eyang telah mengetahui keberadaanku? Bila tidak, apa perlunya mencoret
huruf latin?"
Sekaligus
terbangunlah semangatnya. Men-dadak saja pada elan terakhir tangannya memutar
dan memukul dua kali berturut-turut diluar kemampuannya sendiri. Hal ini
terjadi karena dia terlalu keras mengayunkan tangan sewaktu hendak mencoret
istilah yang ke-70. Hasilnya, di luar dugaan. Secara kebetulan pula, maka
genaplah kini seluruh elan ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang berjumlah 72.
Bret!
Bret! Kain bajunya sendiri tersobek sebagian. Dalam terkejut dan girangnya,
cepat ia menoleh. Tahu-tahu matahari telah sepeng-galah tingginya. Ia
mengucak-ucak matanya khawatir salah melihat. Apabila seluruh tubuhnya terasa
hangat, maka percayalah dia akan penglihatannya sendiri. Kiranya hari hampir
mendekati waktu luhur. Karena asyiknya berlatih dan memeras otak, tak terasa ia
telah melewati lebih setengah hari.
Cepat
ia mengusap keringatnya, kemudian lari ke kamar eyang gurunya hendak menje-nguk
keadaan gurunya. Dilihatnya, eyang gurunya sedang menempelkan tangannya ke dada
gurunya. Pastilah eyang gurunya sedang berusaha mengusir racun yang menggeram
dalam tubuh gurunya. Perlahan-lahan ia mengundurkan diri. Ia mencari
paman-paman gurunya tetapi mereka tiada nampak. Heran ia memasuki kamarnya. Di
atas meja terdapat sepucuk surat yang berbunyi demikian.
“Anak
Sangaji! Kami berangkat, karena men-duga musuh belum meninggalkan wilayah
lembah Loano.”
Meskipun
tiada yang menandatangani ia menduga salah seorang pamannya. Seorang cantrik,
yang mengantarkan kopi hangat berkata kepadanya, bahwa sekalian paman-nya sudah
berangkat turun gunung berbareng dengan datangnya fajar hari. Melihat Sangaji
masih sibuk menekuni ajaran, mereka tak berani mengganggu.
Mendengar
keterangan cantrik cepat ia berkemas-kemas. Setelah memeriksa buntal-an dan
sisa uangnya dari Jakarta, segera ia keluar kamar. Ia tak memedulikan lagi,
bahwa dirinya belum mandi dan seluruh tubuhnya berkeringat, karena besar
hasratnya hendak mengejar musuh, la kembali menjenguk kamar eyang gurunya
hendak bermohon diri berbareng menjenguk keadaan gurunya.
Kyai
Kasan Kesambi mengangguk dengan tersenyum dan merestui. Tatkala Sangaji
menjenguk keadaan Wirapati, hatinya seperti tersayat. Ternyata gurunya dalam
keadaan masih tak sadarkan diri. Mukanya pucat lesi, pipinya reyot dan
tenaganya punah. Hanya napasnya saja yang masih nampak kempas-kempis. Tapi
kesannya bagaikan mayat. Alangkah jauh berbeda
dengan
keadaannya seminggu yang lampau. Dahulu dia bertubuh kuat singsat, padat dan
perkasa.
Dengan
hati pedih, Sangaji berlutut di hadapannya.Tak terasa air matanya meleleh.
Kemudian berkata tersekat-sekat, "Guru! Izinkan aku pergi menuntut dendam.
Aku bersumpah takkan kembali sebelum dapat menumpas musuh Guru. Meskipun
tubuhku hancur lebur pasti aku akan membalaskan sakit hatimu.
Karena
tak tahan lagi, segera ia memutar tubuh sambil mendekap mulut. Kemudian lari
keluar seperti orang gendeng.
Dengan
menunggang si Willem yang bertubuh perkasa itu, ia meninggalkan padepokan
Gunung Damar dengan cepat, Jalan yang ditempuhnya adalah jalan sewaktu
menemukan tubuh gurunya menggeletak di dekat pengempangan sawah. Tatkala sampai
di pengempangan sawah itu, teringatlah dia kepada tubuh gurunya. Sebentar ia berhenti
mengenangkan nasib gurunya. Kemudian dengan menggeretakan gigi ia menendang
perut si Willem, sehingga kuda itu meloncat terkejut dan terus melesat bagaikan
sebatang panah terlepas dari gandewanya. Belum sampai sore hari, ia telah
sampai di dekat kota Magelang. Sekarang teringatlah dia, bahwa semenjak kemarin
belum membersihkan diri. Maka bergegas ia mencari sebuah kali dan segera
mencebur ke dalamnya.
"Ke
mana kini harus pergi?" diam-diam ia mengasah pikiran. Mendadak
teringatlah dia sesuatu. Ah ya, bukankah aku berjanji hendak bertemu dengan
ayah Titisari?
Dahulu
ia minta waktu satu bulan lamanya, karena bermaksud hendak mencari Pangeran
Bumi Gede dahulu untuk membalaskan dendam ayahnya. Kini belum lagi maksud itu
tersampai, peristiwa baru yang menyakitkan hati terjadi dengan tak
terduga-duga. Segera ia menghitung hitung dengan jari. Pikirnya lagi, masih ada
waktu sepuluh hari. Mudah-mudahan, aku berhasil menemukan penganiaya Guru.
Memikir
demikian, cepat-cepat ia berganti pakaian, kemudian melanjutkan perjalanan-nya
kembali. Hari waktu itu terlalu'cepat gelapnya, karena awan hitam berarak-arak
dari arah timur. Guntur menggelegar bergulungan di jauh sana. Dan angin mulai
meniup kencang melanda segala yang dijumpai.
Selagi
ia berjalan mengarah ke utara, tiba-tiba dilihatnya serombongan kuda men-derap
perlahan di depan sana. Tatkala di-amat-amati, ternyata adalah rombongan empat
pendekar sakti murid Buddha Wisnu yang pernah mengadu tenaga dengan paman
gurunya.
Waktu
itu, hati Sangaji sedang diamuk derun dendam tak terkatakan. Mengingat
celakanya gurunya disebabkan gara-gara pusaka wasiat, maka ia benci kepada
setiap tamu yang datang di perguruan. Itulah sebabnya, sampai-sampai ia
mendamprat Gusti Ayu Kistibantala yang belum tentu ikut bersalah.
Maka
begitu melihat rombongan empat pen-dekar sakti murid Resi Buddha Wisnu, segera
ia mengumbar dendamnya. Cepat ia mengejar dan terus melewati. Kemudian memutar
kudanya dan menghadang di tengah jalan.
Melihat
siapa yang menghadang, Warok Kudawanengpati dan Watu Gunung tertawa dingin.
Memang mereka berdualah yang masih mengandung penasaran terhadap murid Kyai
Kasan Kesambi, karena kena dijatuhkan dalam sekali gebrak. Oleh lukanya pula,
mereka terpaksa menginap di suatu perkampungan dan meneruskan perjalanan pada
keesokan harinya dengan perlahan-lahan. Warok Kudawanengpati yang berangasan
terus saja membentak.
"Hm...
kau murid Kyai Kasan Kesambi juga? Hari ini menghadang perjalanan kami, apakah
ada kepentinganmu?"
"Aku
cucu murid, bukan murid Kyai Kasan Kesambi," sahut Sangaji tak kurang
galak. "Apa perlunya menghadang kami. Lekas terangkan!"
"Apakah
kalian bisa memberi keterangan kepadaku, siapa yang menganiaya guruku? Kalian
telah melihatnya, bukan?"
Warok
Kudawanengpati tercengang sejenak mendengar ujar Sangaji, sampai dia berpaling
kepada Watu Gunung untuk memperoleh per-timbangan.
"Tanyalah
kepada setan. Siapa tahu? Andaikata tahu, kenapa?"
"Aku
ingin kalian menunjukkan."
"Apa
kauhilang?" Kudawanengpati bertam-bah heran. Tetapi nada suaranya
bercampur marah.
"Kalian
pun termasuk orang-orang yang tidak baik. Sedikit banyak kalian seia-sekata
dengan jahanam itu," Sangaji menuduh.
"Eh,
bocah ingusan, jangan engkau berla-gak main menuduh. Apakah engkau sengaja
mencari-cari perkara?"
"Hm...
jika kalian emoh dituduh seia-sekata, apakah kepentinganmu datang ke Gunung
Damar? Bukankah kalian hendak memaksa kami agar menerangkan tentang tempat
beradanya kedua pusaka wasiat itu? Nah, cobalah berkata bahwa kedatangan kalian
semata-mata hendak mengucapkan selamat ulang tahun kepada Eyang Panembahan.
Hayo, katakan!" damprat Sangaji dengan napas tersengal-sengal. Memang dia
tak pandai berdebat dan berbicara. Kata-katanya itu sesungguhnya hanya
merupakan letupan keadaan hatinya belaka. Susahnya bukan main, sehingga ia
perlu menggunakan seluruh tenaganya.
Meskipun
demikian, karena apa yang dikatakan berdasarkan suatu kenyataan, Warok
Kudawanengpati terbungkam kare-nanya. Tiba-tiba meledak. "Hai bocah
gen-deng! Siapa kau sebenarnya? Begini berani terhadap kami?"
"Aku
Sangaji, murid Wirapati yang kalian aniaya, bukan?"
"Kau
menuduh kami menganiaya gurumu. Baik! Kau mau apa?"
"Aku
mau mematahkan tulang-tulangmu juga!" sahut Sangaji. Dan di luar dugaan,
sehabis berkata demikian ia meloncat dari pelana kudanya dan terus menghantam.
Keruan saja Warok Kudawanengpati jadi kelabakan karena diserang secara
mendadak. Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, ia tak
menjadi gugup. Cepat ia berkisar dari atas kudanya dan melompat turun pula ke
tanah.
Tetapi
Sangaji bergerak sangat gesitnya. Tanpa disadari, dia mengeluarkan gerak tipu
daya tulisan Kyai Kasan Kesambi, yang baru dipelajari semalam. Di luar dugaan
akibatnya bukan main. Karena mendendam pembalasan dan ditambah dengan dua ilmu
saktinya— Bayu Sejati dan Kumayan Jati—gaya pukulannya luar biasa kerasnya
sampai angin berkesiur tajam. Warok Kudawanengpati terperanjat. Cepat ia hendak
menjejak mundur, tapi kasep. Gaya tulisan Sangaji tadi belum habis. Jarinya
masih mencengkeram maju membuat kata sambungnya. Kemudian tangan kirinya
menyodok dengan mengeluarkan tenaga pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Tahu-tahu
punggung Warok Kudawanengpati kena diga-blok. Biak! Tubuh Warok Kudawanengpati
terpental menumbuk kudanya dan manusia berikut binatangnya terpeleset sepuluh
langkah lebih. Lalu jatuh terbanting di atas tanah.
Peristiwa
itu terjadi dengan sangat cepat. Baik Sangaji maupun rombongan anak murid Resi
Buddha Wisnu ternganga-nganga heran dan terperanjat menyaksikan kesudahannya.
Sangaji tak menduga sama sekali, bahwa jurus yang dimainkan bertenaga luar
biasa karena dibantu tenaga sakti ilmu Kumayan Jati. Memang tenaga sakti ilmu
Kumayan Jati tak olah-olah besarnya.
Tetapi
semenjak berguru kepada Gagak Seta, belum pernah tenaga saktinya tersalur
begitu hebat. Maka ia percaya bahwa ilmu Kyai Kasan Kesambi merupakan saluran
pem-buangan tenaga dahsyat. Dengan tenaga gabungan ilmu ajaran pendekar sakti
Gagak
Seta dan
tata napas Bayu
Sejati, merupakan gaya
keseimbangan luar biasa
serasi. Yang
pertama,
cepat bertenaga dan tiada putusnya seperti air mengalir. Yang kedua, bertenaga
utuh. Dan yang ketiga, memberi landasan kokoh. Sebaliknya, rombongan anak murid
Resi Buddha Wisnu tak pernah menduga, bahwa Warok Kudawanengpati akan bisa
dijatuhkan begitu gampang. Seperti diketahui, Warok Kudawanengpati bukanlah
tokoh sem-barangan.
Namanya
disegani dan ditakuti lawan. Kekalahannya merupakan suatu pertanyaan teka teki
yang susah ditebak. Tetapi apabila diteliti letak kesalahannya disebabkan
karena merendahkan lawan, masih terluka dalam akibat benturan tenaga dengan
Gagak Handaka dan Ranggajaya dan diserang dengan tiba-tiba dalam keadaan tak
terjaga-jaga. Meskipun demikian, bagaimanapun juga kejadian tersebut
berlangsung cukup terang dan wajar. Betapa sulitpun kedudukannya, bagi seorang
pendekar semacam dia takkan gampang-gampang bisa diruntuhkan dalam waktu
secepat demikian.
Melihat
Warok Kudawanengpati masih saja menggeletak di tanah, pendekar sakti Watu
Gunung terus saja menjepit kudanya dan menerjang dengan tak segan-segan lagi.
Tetapi Sangaji telah bersiaga. Gesit ia memutar tubuh dan melepaskan gaya
coretan udara yang lain. Bluk! Punggung Watu Gunung kena terhajar sampai terpental
dari atas kudanya.
Dengan
berjumpalitan di udara, Watu Gunung turun ke tanah. Ia bisa tegak berdiri di
atas tanah meskipun mukanya peringisan menahan nyeri. Memang ilmu kepandaiannya
menang setingkat daripada Warok Kuda-wanengpati. Karena itu meskipun kena
terha-jar tak sampai dia jatuh bergelimpangan.
"Monyet!
Kau boleh juga!" teriaknya.
Dengan
mengumbar api marahnya, ia me-loncat menjejak tanah. Dalam hatinya ia hendak
menerkam dari depan. Tetapi tiba-tiba tenggorokannya terasa tersekat suatu benda
cair. Kemudian terlepaslah segumpal darah dari mulutnya. Ternyata dadanya yang
masih luka tak tahan kena gempuran Sangaji. Cepat Watu Gunung mengatur
pernapasannya. Terasa dadanya sesak dan darah mendadak terus membanjir
membasahi bajunya. Maka betapa ia perkasa dan gesit, lambat laun tenaganya
seperti punah. Dengan terpaksa ia duduk berjongkok di tanah. Kemudian duduk
bersila menenteramkan diri.
Kini
tinggal pendekar sakti Lumbung Amiseno dan Adipati Pesantenan yang belum
mengadu kepandaian. Lumbung Amiseno adalah seorang pendeta yang cerdik.
Sedang-kan Adipati Pesantenan berwatak cermat dan tiada gegabah memutuskan
suatu sikap. Mereka berdua menduga, bahwa Sangaji tak mungkin menghajar dirinya
seorang diri. Betapa besar hati seorang pemuda, masakan berani menghadang
dirinya. Jangan-jangan di balik sana telah bersiaga anak murid Kyai Kasan
Kesambi yang lain. Dan kalau cucu murid Kyai Kasan Kesambi sudah begini hebat,
apalagi murid-muridnya yang ada saat itu sedang diamuk derun membalas dendam.
Maka mereka berdua bersikap hati-hati dan menguasai diri sedapat-dapatnya.
"Anak
muda!" kata Lumbung Amiseno menyabarkan diri. "Janganlah engkau
lekas-lekas berbesar hati berhasil meruntuhkan dua saudara seperguruanku.
Soalnya, karena mereka masih belum sembuh lukanya. Memang ilmu kepandaianmu
hebat, tetapi tidaklah sehebat dugaanmu. Dengan berendeng tangan saudara
seperguruanku seorang ini, bagaimana bisa engkau memenangkan kami. Soalnya
kini, kami berdua emoh bertanding melawan seseorang yang belum terang persoalannya.
"Apakah
yang belum terang?" dengus Sangaji.
Lumbung
Amiseno berdiam sejenak. Kemu-dian berkata meneruskan. "Engkau menuduh
kami bersekutu dengan seseorang atau sekelompok orang yang menganiaya gurumu.
Tapi masakan kami akan berlaku serendah itu dengan meracun lawan sedangkan
tenaga sendiri belum tentu terkalahkan. Jika engkau tak percaya, bolehlah kita
bermain beberapa gebrakan. Aku berjanji takkan menyakitimu."
Ucapan
Lumbung Amiseno sebenarnya bukan kata-kata kosong belaka. Sebagai murid tertua
Resi Buddha Wisnu yang pernah menggemparkan dunia, dia percaya kepada
kesanggupannya. Kalau tidak, masakan be-rani menantang Kyai Kasan Kesambi di
ha-dapan para pendekar. Dan mengapa dia bersikap lunak terhadap Sangaji adalah
karena menduga bahwa pemuda itu tak mungkin datang dengan seorang diri. Di
belakangnya, pasti bersembunyi anak murid Kyai Kasan Kesambi yang mungkin pula
membawa seluruh cantrik-cantriknya. Inilah celaka, sedangkan di pihaknya dua
orang telah terluka parah.
"Hm."
dengus Sangaji. Kemudian lama tak berkata karena lagi membuat suatu
pertim-bangan. Sekilas teringatlah dia kepada pem-bicaraan eyang gurunya dengan
pamannya Bagus Kempong yang meyakinkan, bahwa pekerjaan meracun orang bukanlah
sepak-ter-jang seorang pendekar sejati. Melihat tetamu-tetamu dahulu menghargai
dan bersikap segan terhadap anak murid Resi Buddha Wisnu, pastilah mereka bukan
pula pendekar-pendekar murahan. Karena itu, tak mungkin meracun seorang
musuhnya beta-papun mereka membencinya. Dasar watak Sangaji sebenarnya mulia
dan sabar maka dendamnya yang meluap setinggi leher tereda dengan sendirinya.
"Baiklah,
aku percaya kepada tutur kata-mu," akhirnya dia berkata.
"Tapi
andaikata pusaka wasiat berada di ta-ngan kami, apakah yang hendak kalian
lakukan?"
"Itu
tergantung belaka kepada nasib baik kami dalam mengukur tenaga melawan kalian.
Seumpama kalah, sepuluh tahun lagi masakan tak mampu mengatasi."
Tergetar
hati Sangaji mendengar ucapan Lumbung Amiseno yang penuh keperwiraan. Maka
diam-diam, ia mulai menghargai dan mengagumi. Katanya dalam hati, inilah
se-orang pendekar sejati. Maka mustahillah dia bersekutu dengan penganiaya
guru. Seumpama saja aku salah tangan, bukankah aku akan menyalakan suatu dendam
berlarut-larut?
Memikir
demikian, lantas saja dia mengang-guk memberi hormat. Kemudian melompat ke atas
kudanya dan pergi dengan berdiam diri.
Sudah
barang tentu, Lumbung Amiseno ter-cengang-cengang melihat kepergiannya.
Meskipun ia segan mengadu tenaga, tetapi tak pernah menduga bahwa pemuda itu
bisa dia-jak berbicara dengan mudah. Seketika itu juga tertariklah hatinya
kepada watak ksatrianya yang berlapang dada. Tak setahunya sendiri terloncatlah
perkataannya, "Hai, anak muda! Ilmu kepandaianmu bukan barang murahan.
Hanya saja engkau harus lebih bertekun empat lima tahun lagi, karena kulihat
masih ada lubang kelemahannya. Dan sejak itu, barangkali akupun bukan
tandinganmu lagi. Selamat!"
Hati
Sangaji terkesiap mendengar kata-katanya. Teringat akan ilmu Kyai Kasan Kesambi
yang bisa merobohkan lawan begitu cepat ia girang luar biasa. Sebagai seorang
anak yang kenyang dihina dan dicemoohkan, maka celaan Lumbung Amiseno yang
menyatakan dia harus bertekun empat lima tahun lagi, diterimanya dengan baik.
Pada
malam hari itu, sampailah dia di Magelang. Segera ia mencari penginapan dan
karena kesal dan lelah terus saja merebahkan diri. Tahu-tahu matahari telah
terbit lagi di angkasa. Dengan begitu, benar-benar ia ter-tidur pulas satu
malam penuh.
Seperti
biasanya, ia kemudian duduk bersila mengatur pernapasannya dan jalan darah.
Lantas melamun di tepi tempat tidur. Teringat akan keadaan gurunya, hatinya
pedih kembali. Kini ia merasa diri sebatang kara. Ibunya jauh di barat, kedua
gurunya tiada dan... Titisari pulang ke kandang. Hidupnya lantas saja terasa
kosong. Di depan matanya bergolaklah gelombang penuntutan dendam. Dapatkah aku
menuntut balas sakit hati Ayah dan Guru seorang diri? pikirnya. Sebagai seorang
pemuda yang hidupnya selalu ada yang mendampingi, ia merasa jadi canggung, tak
tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak lapat-lapat teringatlah kata-kata
gurunya Jaga Saradenta yang mendampratnya tatkala enggan berpisah di batas kota
Cirebon.
"Bocah!
Kau sudah besar! Sebesar kerbau bangkotan! Kau harus belajar berdiri sendiri!
Kalau
kami
mampus, apakah kau akan ikut mampus pula? Lagi pula, kau ini muridku! Muridku
tak boleh mempunyai hati sekecil cacing!"
Teringat
akan kata-kata gurunya itu, terba-ngunlah semangatnya. Lantas saja ia melompat
dari atas tempat tidur sambil berkata dalam hati. Ya! Aku harus belajar berdiri
sendiri. Dan aku harus sanggup menuntutkan dendam, budi Guru sebesar gunung.
Jiwaku belum tentu cukup terwadahi sebagai penukarnya.
Terus
saja ia membuka pintu dan mandi. Tatkala telah mengenakan pakaian dan hen-dak
berangkat, mendadak pemilik rumah penginapan datang padanya. Dengan tertawa
lebar orang itu berkata hormat.
"Santapan
telah tersedia. Silakan!"
"Santapan?"
Sangaji heran.
"Ya,
santapan pagi," orang itu menekankan tiap suku kata. "Memang, rumah
penginapan di manapun juga jarang menyediakan san-tapan. Kamipun juga. Hanya
kali ini agak istimewa."
"Mengapa?"
"Karena
kami menerima pesan seseorang agar menyediakan santapan untuk Tuan." Sahut
orang itu dengan tertawa lebar lagi. "Seseorang datang pada kami dan minta
keterangan tentang Tuan. Dia menggam-barkan perawakan Tuan. Kamipun segera
mengiakan. Kemudian dia memerintahkan kami agar menyediakan santapan."
"Siapa?"
Sangaji bertambah heran.
"Orangnya
menuntun kuda."
Sangaji
terhenyak. Ingatannya dipaksanya bekerja. Teringat akan sikap Lumbung Ami-seno,
keraslah dugaannya bahwa ialah yang memperhatikan kepentingannya. Maka
berka-talah dia, "Baiklah! Sekiranya Tuan itu balik kembali, katakan
kepadanya aku sangat ber-terima kasih atas perhatiannya. Hanya sayang, aku tak
mempunyai kesempatan untuk menunggunya."
Di
atas meja telah tersedia suatu hidangan untuk santapan yang terlalu mewah dan
mahal baginya. Sangaji melihat beberapa potong paha ayam, hati rempelo dan
kepalanya. Inilah bagian-bagian tubuh masakan ayam yang sangat ia gemari.
Diam-diam ia sibuk menduga-duga siapakah ia sesungguhnya yang bersusah payah
menyediakan santapan.
Tatkala
ia hendak membayar masakan itu. Pemilik penginapan buru-buru menolak sambil
berkata, "Tak usah! Semuanya sudah terbayar."
Sangaji
tercengang-cengang. Segera ia menaruh setumpuk uang sebagai upah jasa. Dengan
gembira pemilik penginapan meneri-ma persenan itu, lalu berkata lagi.
"O
ya... Tuan itu berpesan begini. Kalau
Tuan
ingin mencari dia, dianjurkan mengarah ke selatan. Katanya, kalau Tuan ksatria
sejati pasti mendengarkan pesannya. Dia akan menunggu Tuan di Muntilan."
Mendengar
kata-kata pemilik penginapan, alis Sangaji tegak sekaligus. Kesan pesan itu
terasa menusuk. Dengan merenung-renung ia meninggalkan rumah penginapan.
Apakah
dia Lumbung Amiseno atau bu-kan... apakah dia bermaksud baik atau jahat,
biarlah kulihatnya, pikirnya. Segera ia menyepit si Willem dan mengarah ke
selatan.
Pada
dewasa itu perjalanan ke Muntilan tidaklah sebagus kini. Meskipun jauh lebih
baik daripada jalan pedesaan, tetapi masih penuh belantara di seberang
menyeberangnya. Tebing jalan tinggi dan angker. Karena itu pula sering
dipergunakan sebagai jebakan segerombolan penyamun.
Tatkala
sampai di luar batas kota Muntilan, hari telah lewat luhur. Seorang pemuda
tang-gung datang menghampiri dan bertanya minta keterangan.
"Apakah
Tuan bernama Sangaji?"
Sangaji
tercengang sampai memberhen-tikan kudanya, terus menyahut, "Ya."
"Apakah
Tuan datang dari Gunung Damar?"
"Ya.
Siapakah engkau?"
"Aku
disuruh seseorang yang menuntun kuda."
"Apa
katanya?" Sangaji bertanya penuh selidik.
"Katanya,
jika Tuan benar-benar seorang ksatria sejati, dipersilakan dahar siang di rumah
makan itu. Ditanggung tiada racun-nya."
Dua
kali Sangaji mendengar bunyi istilah: Jika Tuan seorang ksatria sejati. Sebagai
se-orang pemuda yang bercita-cita besar dalam dadanya, istilah itu memanaskan
hatinya. Betapapun juga, semenjak kanak-kanak ia dididik ibunya berjiwa
ksatria. Kakak angkat-nya Willem Erbefeld sering menceritakan kisah-kisah
seorang ksatria. Juga kedua gurunya, Jaga Saradenta dan Wirapati adalah
tokoh-tokoh ksatria sejati. Dengan sendirinya dalam dada tertanam benih-benih
kehidupan seorang ksatria. Itulah sebabnya, maka pancingan istilah ksatria
sejati kena benar dalam lubuk hatinya.
Tanpa
berpikir panjang lagi, segera ia memasuki rumah makan yang ditunjukkan. Di atas
meja telah tersedia serentetan hidangan yang terdiri dari goreng ayam, telur
dan sayur mayur yang digemari.
Celaka,
katanya dalam hati. Nampaknya orang ini telah mengenal aku, sedangkan aku
tidak. Katanya, masakan ini tiada racunnya. Hm... meskipun ada racunnya,
masakah aku perlu berkecil hati.
Panas
rasa kupingnya apabila teringat akan kalimat kata pesan yang terakhir. Maka
de-ngan lahap, ia menggerumuti hidangan itu. Kebetulan, perutnya sudah terasa
kosong. Dua piring nasi sekaligus tertelan dalam lehernya. Mendadak teringatlah
dia, bahwa Willem belum diberi makan, bocah tanggung masih berada di
sampingnya. Segera ia mengangsurkan uang untuk memberi makan kudanya.
"Untuk
kuda Tuan telah disediakan. Tuan tak usah bersusah-susah lagi," jawabnya.
Benar-benar
Sangaji heran memikirkan kecermatan orang itu. Karena emoh kalah per-bawa, uang
yang telah terlanjur diangsurkan dihadiahkan kepada bocah tanggung itu.
"Ambilan!
Bukankah engkau memperoleh upah pula dari dia?"
Memang
bocah tanggung itu bekerja atas upah jasa. Karuan saja mata bocah tanggung itu
bekilat-kilat. Berulang kali ia menyatakan terima kasih tak terhingga.
"Karena
Tuan seorang yang baik hati, biar-lah kukatakan semua pesannya."
"Eh,
dia berpesan apa lagi?" sahut Sangaji dengan tersenyum. Akhirnya hatinya
menjadi geli mendongkol juga memikirkan orang di dalam selimut itu.
"Begini.
Sekiranya Tuan masih berkeinginan membalas dendam tak perlulah Tuan melewati
kota Yogyakarta, jika Tuan mempunyai keberanian, berhentilah dahulu di Dusun
Medari, mengarahlah ke timur. Tuan akan ditunggu di Dusun Turi."
Terkesiap
juga hati Sangaji mendengar pesan itu dengan berdiam diri, segera ia
menyelesaikan makannya. Apabila Willem sudah kenyang pula, cepat ia melarikan
ke arah selatan. Diam-diam ia meraba pedang hadiah Willem Erbefeld yang selalu
dibawanya serta. Sepanjang jalan sibuklah dia men-duga-duga.
Mendengar
caranya mengatur makanan dan meninggalkan pesan, agaknya bukan Lumbung Amiseno.
Dua orang saudara seperguruannya terluka parah, masakah masih mempunyai waktu
untuk mengurus aku? Ih! Apakah bukan salah seorang tetamu yang mengunjungi
ulang tahun Eyang Panembahan? Baik! Apabila ternyata dia musuh dalam selimut. Malah
kebetulan. Siapa tahu, aku lantas dapat menjejak penganiyaya Guru. Asalkan aku
pandai menjaga diri masakah
aku
akan kena jebakan? Seorang ksatria sejatitakkan meracun lawannya betapa pun dia
membenci, kata Eyang Panembahan. Bila tidak demikian, bukankah aku telah kena
racunnya.
Menduga,
bahwa orang itu pasti berjiwa ksatria lapanglah dadanya. Cepat ia sampai di
Desa Medari. Keadaan desa itu sunyi sepi. Tiada tanda-tanda yang mencurigai.
Kemu-dian dengan petunjuk seorang penduduk da-patlah ia mencari jalan ke Desa
Turi. Ternyata ia harus lewat Desa Kadisobo dan terus mene-robos lembah bambu.
Sampai
di Desa Turi, matahari telah condong sejengkal mendekati cakrawala. Hawa mulai
terasa sejuk. Di sana berdiri Gunung Merapi yang tetap garang sepanjang masa.
Konon kabarnya pada zaman kerajaan Mentaok, pernah memuntahkan laharnya
sehingga menyapu daerah Yogyakarta sekitarnya. Batu-batu yang dibawanya terbang
masuk tertancap di sana sini sebagai bukti dari kegarangannya.
Di
simpang tiga, seorang perempuan bersiul berdiri di tepi jalan memberi hormat
kepada Sangaji. Karena dua kali berturut-turut Sangaji dihampiri orang yang
belum dikenalinya, maka segera berkata sebelum perempuan itu membuka mulutnya.
"Apakah
engkau disuruh menghadang aku?"
Perempuan
itu tersenyum. Sambil mem-bungkuk hormat lagi dia menyahut, "Di rumah itu
terdapat sebuah empang. Tuan ditunggu dan dianjurkan mempersiapkan senjata
Tuan. Jika Tuan seorang ksatria sejati, datanglah tanpa berkuda."
Hati
Sangaji gemas mendengar istilah ejekan itu. Tanpa berkata lagi terus saja ia
memutar kudanya dan menghampiri sebuah rumah yang terlindung pagar bambu.
Willem kemudian dibiarkan bercokol di pekarangan, tanpa diikatnya. Karena kuda
itu sudah terlatih mengatur diri. Lantas saja ia meraba pedangnya dan dengan
berjingkit-jingkit mengitari rumah yang nampak sunyi.
Mendadak
saja di balik serumpun batang pisang, ia mendengar suara seorang perem-puan
lapat-lapat.
"Ini
Aji kangmasku... dan ini Titisari."
Heran
hati Sangaji sampai langkahnya ber-henti sejenak. Lalu hati-hati mendekati
dengan mengendap-endap, la melihat seseorang yang mengenakan pakaian sari hijau
muda duduk bermenung menghadap empang. Di atas tanah berdiri dua golek, ' yang
kanan seorang ksatria dan yang kiri seorang putri berpakaian kebaya. Dan
kembali terdengar suaranya.
"Bertanyalah
Titisari kepada Sangaji, 'hai! Bukankah sudah hampir satu bulan penuh? Kau
berjanji kepada Ayah hendak mengunjungi. Entah engkau kalah atau menang mengadu
kepandaian, itu bukanlah soal. Seseorang ksatria sejati harus menepati janji.
Kemudian Sangaji menjawab: Aku masih harus menuntut dendam ayahku yang mati
tersiksa orang...'"
"Ah!"
seru Sangaji dalam hati. Bukan main girangnya karena perempuan yang menge-nakan
sari hijau itu adalah Titisari, buah hatinya. Tiada ragu lagi, terus saja
berkata nyaring. "Karena aku seorang ksatria sejati seperti katamu, maka
aku kena kau pancing ke mari."
Titisari
terperanjat. Ia menoleh dengan cepat. Kemudian tertawa. Tertawa manis sekali.
Dengan gesit ia melompat bangun dan terus menghampiri.
Sangaji
terus saja memberondong.
"Kau
benar-benar nakal. Masakan memang-gil aku dengan cara begini?"
Tetapi
Titisari tidak meladeni. Anak muda itu kemudian dibawanya duduk berdamping.
Lantas saja dia berbicara dan berbicara menceritakan kisahnya setelah terpaksa
berpisah. Asyik benar dia berbicara dan eng-gan dipotong. Dia baru berpisah
dengan Sangaji belum lagi sebulan penuh, tetapi caranya berbicara seperti
seorang kehilangan masa damai sepuluh tahun lamanya.
Sangaji
membiarkan dia berbicara. Dia kenal watak Titisari yang aneh dan liar,
seolah-olah
mempunyai
dunia sendiri yang tak boleh diganggu-gugat.
"Kau
tak tahu aku terus mengikutimu dari jauh. Hatimu terlalu sederhana dan jujur
dan mulia dan perkasa dan segalanya. Itulah sebabnya aku senang padamu,
meskipun kau tolol. Pamanmu jauh lebih pintar dari padamu. Dia segera
mengetahui tanda bahaya, tidaklah seperti engkau. Karena kau tolol maka engkau
meletuskan suatu rahasia. Lihatlah, karena ketololanmu, engkau dirundung malapetaka.
Orang-orang datang mendaki Gunung Damar karena ketololanmu..."
Istilah
tolol sudah sering diucapkan gadis itu terhadapnya. Sampai-sampai Gagak Seta
pun memanggilnya si tolol, la sudah kebal dan biasa disebut si tolol. Tetapi
tatkala Titisari mengungkapkan sebab musabab terjadinya malapetaka di atas
Gunung Damar, hatinya terkesiap. Seketika itu juga, mukanya menjadi pucat.
Hatinya perasa lantas saja menuduh diri sendiri, bahwa dialah yang membuat
gara-gara sebab musababnya gurunya kena malapetaka.
Tatkala
Titisari melihat kepucatan wajahnya, seketika berubahlah mukanya. Bertanya agak
gugup, "Aji! Kau sakit?"
Sangaji
menggelengkan kepala. Ia menundukkan kepala. Dan Titisari bertambah gugup
bertanya menegas. "Mengapa?"
Dengan
tersekat-sekat Sangaji menjawab, "memang aku tolol."
"Siapa
bilang kau tolol? Aku boleh berkata tolol kepadamu, tetapi orang lain tak boleh
berkata begitu. Karena tolol bukan goblok! Bagiku berarti..." ia
menghentikan sejenak mukanya mendadak berubah merah jambu. Kemudian membanting
kepalanya dan mem-biarkan bersandar di dada Sangaji yang bidang. Katanya penuh
perasaan, "Baiklah Aji. Mulai detik ini aku berjanji kepadamu, takkan
menyebutmu tolol... kau mau memaafkan kesalahanku ini?"
Terkejut
Sangaji mendengar ujar Titisari seperti orang bersalah. Sama sekali ia tak
bersakit hati disebut si tolol olehnya. Hanya saja dengan tak sengaja, gadis
itu menembak jitu sebab musabab terjadinya kegemparan di atas Gunung Damar. Hal
inilah yang mem-buatnya dia kaget dan menjadi perasa.
"Titisari!
Sama sekali kau tak bersalah kepadaku...," sahutnya gagap.
Titisari
tak berkutik, mukanya penuh sesal sejurus kemudian ia mendongak mengamat-amati
muka Sangaji. Mendadak saja oleh gerakan itu bau harum menusuk hidung Sangaji.
Pemuda itu lantas berdebar-debar hatinya.
"Aji!
Mengapa engkau bergemetaran?" tanya Titisari.
Sangaji
bertambah gap-gap jantungnya sehingga tak kuasa menjawab.
"Aji,
o Aji! "Kata Titisari penuh perasaan. Tak tahukah engkau, bahwa Aku selalu
memi-kirkanmu? Tatkala kulihat engkau mendaki gunung, patahlah hatiku. Aku
terus dibawa pulang Ayah ke Karimunjawa. Tetapi seming-gu kemudian, aku minggat
lagi." Titisari ber-henti sejenak mengesankan. Kemudian mene-ruskan,
"kau tahu Aji, ayahku tak boleh dibuat mainan. Satu tahun kau berjanji
bertemu, dia akan menunggu tepat satu tahun pada tempat yang ditentukan. Kau
berjanji satu bulan hendak menghadap padanya, maka ia akan menunggumu satu
bulan tepat. Hanya saja, kau belum biasa belajar. Kukhawatirkan, engkau akan
kena dirusak angin laut, sebelum mendarat. Lagi pula, kalau aku berada di
sampingmu, betapa Ayah berani menyakitimu."
Sampai
di sini Titisari berhenti berbicara. Sangaji jadi perasa. Pikirnya dalam hati,
Titisari begini memikirkan aku. Kalau aku... Ia menunduk hendak menatap muka
Titisari. Mendadak saja gadis itu sudah tertidur tentram di atas dadanya.
Memang
watak Titisari aneh. Dia bisa men-dadak menangis sesudah tertawa riuh. Begitu
pula sebaliknya. Tetapi melihat gadis itu ter-tidur begitu tentram damai, hati
Sangaji jadi terharu bukan main. Tak merasa, diam-diam ia menarik napas dalam
sambil berkata dalam hati, begini
besar
cinta kasihnya terhadapku. Apabila di kemudian hari aku tak dapat hidup bersama
apakah jadinya?
Dengan
penuh kasih ia merenungi wajah Titisari yang cantik luar biasa. Gadis itu
nam-pak tersenyum dalam lega tidurnya. Agaknya dia telah berhari-hari lamanya
kurang tidur memikirkannya. Kini yang dipikirkan siang malam telah berada di
sampingnya. Betapa hatinya takkan tentram damai? Mendadak terdengar Titisari
berkata lembut. "Aji! Kau tadi menyesali aku?"
"Tidak!
Tidak!" Sangaji gugup.
"Mengapa
kaupucat?"
"Karena...
karena..." Sangaji tergagap-gagap.
"Baiklah,
mulai saat ini aku berjanji takkan memanggilmu si tolol lagi," kata
Titisari penuh sesal. Gadis itu mengira, Sangaji menyesali karena dia selalu
memanggilnya dengan istilah tolol. Maka dia berkata lagi, "Aku sering
minggat. Kau pasti khawatir, kelak aku senang minggat. Tapi aku berjanji
padamu... selama hidupku takkan minggat darimu, asalkan kau selalu ingat
padaku. Kau senang tidak?"
Sangaji
hendak menjawab, tetapi gadis itu telah terlelap tidur lagi. Karena itu ia
batal hendak membuka mulut. Dan kembali ia mengamat-amati kecantikan Titisari
yang makin lama makin mengharukan. Apabila harum rambutnya menyentuh
penciumannya, jantungnya berdenyut tak karuan juntrungnya.
Sekitar
pekarangan rumah jadi bertambah sunyi. Diam-diam Sangaji berpikir. Rumah siapa
ini? Mengapa Titisari bisa berada di sini dan mengapa dia perlu memancingku ke
mari? Waktu itu matahari hampir silam di garis barat, suasana udara jadi
lembut. Burung-burung mulai sibuk mencari penginapan. Di sana sini terdengar
kicau riangnya menceritakan pengalamannya masing-masing sehari tadi.
Titisari
masih saja tidur nyenyak. Napasnya berjalan perlahan hampir tiada suaranya.
Alisnya berkerut seolah-olah sedang memeras pikiran, tetapi bentuk wajahnya
yang mungil tetap tersenyum.
Biarlah
dia tidur. Meskipun banyak yang harus kukatakan kepadanya, tak boleh aku
mengganggunya, pikir Sangaji. Kemudian dia mulai merenungkan keadaan dirinya.
Teringat akan gurunya hatinya jadi gelisah. Pantaskah dia berenak-enak
bersanding dengan kekasih hati, sedangkan gurunya sedang mengerang-erang
kesakitan?
Tengah
ia bergelisah, Titisari bergerak. Terus saja berkata, "Pastilah engkau
ingin memperoleh keterangan dariku, mengapa aku memancingmu ke mari. Kemarin
kulihat engkau sedang berkelahi melawan rombongan pendekar. Tatkala aku
melintasi Magelang hendak nekad menjenguk kepadamu. Bagus! Ilmu kepandaianmu
maju lagi setingkat. Lalu kuikuti dirimu, lalu kubawa engkau kemari."
"Mengapa?"
Titisari
menegakkan tubuh. Dengan mem-perbaiki sanggul rambutnya, ia menjawab, "Mari
kita pergi! Tenagaku telah pulih kembali. Kau tahu, semenjak semalam aku
mengikuti saudaramu yang tercinta berkuda sejajar dengan musuh besarmu."
"Pangeran
Bumi Gede dan Sanjaya!" Sangaji berjingkrak. "Di mana engkau melihat
mereka." Titisari tertawa kecil sambil berdiri tegak.
"Aku
melihat mereka semalam di Magelang. Agaknya mereka menginap di tangsi kompeni.
Dari mana mereka dan hendak ke mana, siapa yang tahu! Tetapi yang pasti, mereka
datang dari utara. Entah dari Semarang entah dari Ambarawa. Pokoknya, marilah
kita berangkat. Mereka tadi lewat desa sini.
Mereka
terus berjalan mengitari rumah. Sampai halaman depan, bertemulah mereka dengan
perempuan
yang menghadang Sangaji di persimpangan tiga. Titisari menghampiri dan
mengangsurkan segenggam uang. Kemu-dian meminta kudanya dan segera men-dampingi
Sangaji kembali.
"Nah
kau lihat! Siapa saja demen ' uang, dengan uang, orang tunduk sampai
kebulu-bulunya. Karena itu kau harus berhati-hati."
Tidak
semua gila uang," bantah Sangaji.
"Kau
tak gila uang, itulah bagus. Karena engkau seorang ksatria sejati. Karena itu,
aku senang padamu..." Titisari menggoda. Dan Sangaji jadi kelabakan juga.
Jengkel ia meng-itik-itik, sampai Titisari jadi berjingkrakan.
Menjelang
petang hari, mereka meneruskan perjalanan mengarah ke tenggara. Desa-desa yang
dilalui telah mengundurkan diri. Tak lama kemudian kentong tanda Isa terdengar
bertalu dan segera bersambung dari desa ke desa.
"Kau
makan tadi semua hidangan yang kusediakan?" tanya Titisari.
Sangaji
teringat akan hidangan yang dise-diakan di rumah makan Muntilan. Ia telah
menelan dua piring nasi. Hanya saja hatinya sibuk menebak-nebak, sehingga tak
mempu-nyai kesempatan untuk menikmati. Meskipun demikian ia mengangguk
membenarkan.
"Bagus!
Dengan begitu, tak usah lagi aku menyediakan makan malam," kata Titisari.
"Biar tak makan selama hidupku, tak mengapa. Asalkan selalu dekat
padamu."
"Idih!
Semenjak kapan kau pandai berbicara begini," damprat Titisari galak.
"Lagi pula kurang benar. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia hidup
tanpa makan. Kau benar-benar tol..." Cepat-cepat Titisari mendekap
mulutnya karena hampir saja melepaskan kata-kata tolol.
"Aku
memang tolol. Mengapa engkau tak berani lagi mengucapkan? Justru engkau tak mau
lagi mengucapkan kata-kata tolol, aku merasa kehilangan Titisari, karena
engkaulah satu-satunya gadis yang berkata begitu terhadapku."
Titisari
tertawa manis. Membantah, "Tetapi mengapa engkau tadi berubah
mukamu?"
Inilah
pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Semenjak kemarin lusa tatkala diamuk rasa
dendam di pekarangan padepokan Gunung Damar, teringatlah dia kepada Titisari.
Dia percaya andaikata Titisari menyaksikan peristiwa itu, pasti bisa mencari
biang keladinya. Tetapi ternyata mulutnya tak sepandai kata hatinya yang bisa
berbicara banyak. Begitu hendak membuka mulut, derun hatinya meledak terlebih
dahulu sehingga tubuhnya terasa terguncang. Kemudian tersekat-sekat ia berkata,
"Aku memang tolol. Karena aku tolol, Guru teraniaya. Setelah kena racun,
ruas tulangnya dipatahkan. Kuduga, Guru kena jebakan keji sewaktu sudah
berhasil membawa kedua pusaka warisan..."
Hubungan
antara Wirapati dan Titisari tiada begitu rapat. Bahkan guru Sangaji yang lain
Jaga Saradenta tak senang kepadanya. Meskipun demikian, karena Wirapati adalah
guru Sangaji dan Sangaji adalah pemuda pilihannya, ia terkejut juga. Lantas
saja pan-dangnya tajam hendak menembus dada Sangaji. Apabila melihat wajah
Sangaji berubah hebat, hatinya jadi terguncang.
"Kapan?
Bukankah padepokan Gunung Damar kebanjiran tamu?" ia minta ketegasan.
Sangaji
lalu menceritakan keadaannya setelah berpisah tiga minggu yang lalu...
"Karena
itu aku turun gunung hendak menuntut balas. Kau kini menyertai aku... hatiku
bersyukur bukan main."
Mereka
kemudian tak berkata-kata lagi. Menjelang tengah malam, sampailah mereka di
Desa Tunjungan. Malam itu sekalipun bulan belum penuh, tetapi cukup cerah.
Tapak-tapak kuda yang mendahului perjalanan mereka nampak di sepanjang jalan.
"Mari! Paman-pamanmu berkata tentang racun Pangeran Bumi Gede yang ada per-
samaannya!"
kata Titisari tiba-tiba. "Di depan kita, rombongan Pangeran Bumi Gede
agaknya hendak pulang ke Bumi Gede. Ayo kita bekuk mereka, kau berani?"
Setelah
berkata demikian, Titisari melarikan kudanya. Sangaji jadi keheran-heranan.
Memang dalam hatinya, ia berniat mengejar Pangeran Bumi Gede. Tetapi tak
terduga, bahwa Titisari mengajaknya mempercepat perjalanan.
"Hai!
Apakah engkaupun menduga Pangeran Bumi Gede yang menjadi biang keladinya?"
"Paman-pamanmu yang berkata. Aku men-coba mengejar," sahut gadis itu.
Yakin
bahwa gadis itu telah memperoleh pegangan tertentu, tanpa berkata lagi ia terus
melarikan kudanya. Sebentar saja Desa Sarasan telah berada di depannya.
Mendadak saja di kejauhan ia mendengar suara senjata beradu.
"Titisari!"
seru Sangaji. "Kau kira Pangeran Bumi Gede yang bertempur di sana?"
Titisari
tak menjawab. Dengan tangannya ia mendekap mulutnya memberi isyarat agar
ja-ngan sembarangan berbicara. Melalui bebera-pa tikungan dan kemudian tiba di
suatu lapangan terbuka dekat tebing gunung. Di sini Titisari berhenti. Mulutnya
berkomat-kamit seperti sedang menghitung. Lalu tersenyum.
"Hebat
musuh besarmu itu! Tetapi tak terlalu hebat bagi lawannya yang menghadang di
sana." "Siapa?" Sangaji tak mengerti.
"Semenjak
kemarin sore aku telah men-duga, apa sebab dia menginap di tangsi. Pastilah dia
telah merasa akan ketahuan lawannya yang disegani. Ha! Lantas dia hen-dak
menyesatkan. Terang sekali ia hendak menuju ke Yogyakarta, mendadak saja
um-bulah pikirannya pulang ke Bumi Gede dahulu dengan menyekat jalan
pegunungan. Hm... hm pasti dia mengetahui pula, bahwa lawannya bersarang di
luar kota Yogya." "Siapa lawannya itu?"
"Kalau
kau tak tahu, masakan aku tahu?" sahut Titisari cepat. "Lihat!
Lawannya datang dari arah sana!"
Dari
jauh nampaklah serombongan barisan obor yang terpecah menjadi tiga bagian.
Mereka datang dari arah barat daya dan terus memotong perjalanan dengan
menempati gundukan-gundukan tinggi.
Melihat
mereka, hati Sangaji tertarik. Meskipun Titisari belum menerangkan apa sebab
dia dipancing dengan cara begitu, lapat-lapat dapatlah dia menebak. Agaknya
Titisari telah mengikuti perjalanan Pangeran Bumi Gede semenjak pagi hari. Ia
ingin Sangaji berangkat seorang diri agar tak dike-tahui oleh Pangeran Bumi
Gede yang terkenal cermat dan cerdik. Kemudian dengan jitu ia mengatur
perjalanannya. Karena telah mengenal wataknya, dengan gampang ia dapat
menuntunnya seperti menuntun keledai belaka. Diam-diam ia berpikir, benarlah
kata-kata
Panembahan
Tirtomoyo dahulu. Otak Titisari luar biasa cerdik. Apabila menghendaki jiwaku,
aku baru sadar setelah terbaring di dalam liang kubur. Tetapi kalau Titisari
benar-benar menghendaki jiwaku, apakah yang kusesalkan? Mati di tangannya
adalah suatu kebahagiaan.
Waktu
itu Titisari melompat dari atas kudanya. Terus saja dia lari berendap
meng-hampiri bukit. Sangaji meniru perbuatannya. Segera ia telah dapat
menjajari. Mereka kemudian memotong jalan dan bersembunyi di balik batu yang
berada di arah timur.
Gerak-gerik
gesit dan enteng. Berkali-kali mereka melompat dan menyusup gerumbul. Apabila
sudah berada di balik batu, mendadak Titisari lari lagi mengarah ke sebuah
gubuk. Sangaji mengikutinya pula dengan hati-hati. Segera mereka melihat
seorang pemuda gagah berada di atas kuda. Pemuda itu mengenakan pakaian serba
putih. Meskipun hari remang-remang gelap, namun kesan wajahnya seolah-olah
dapat menembusi jantung alam.
"Siapa
dia?" Sangaji mencoba menduga-duga.
Titisari
seperti mendengar bunyi hatinya. Ia berbisik. "Jangan sembarangan
bergerak!
Itulah
lawan Pangeran Bumi Gede yang di-segani. Siapa dia, akupun tak tahu. Kau ingin
berkenalan? Itulah gampang. Pemuda berpa-kaian putih itu ternyata pandai
mengatur laskarnya. Dengan rapi ia memberi isyarat dan aba-aba. Tetapi laskar
Pangeran Bumi Gede bukan pula laskar murahan. Di antara mereka banyak terdapat
para pendekar undangan yang tak gampang-gampang bisa dimundurkan."
"Pemuda
itu gagah, tampan dan tenang, bukan?" bisik Titisari. "Pastilah dia
seorang bangsawan yang pandai mengatur diri. Hai, ngganteng mana engkau dengan
dia?" Setelah berkata demikian gadis itu tertawa cekikikan.
Sangaji
tak pandai menggonda hati orang. Begitu kena goda, otaknya lantas saja menjadi
beku seperti jangkrik kena tungkrap.
"Heh,
kenapa kau membungkam?" bisik Titisari. Kali ini gadis itu menempelkan
bibirnya pada lubang telinganya, lalu berbisik lagi. "Sekalipun dia
ngganteng, aku memilih engkau, karena engkau tol..."
"Ya,
ya... aku memang tolol," balas Sangaji sambil manggut-manggut.
Titisari
mencubit pahanya sampai pemuda itu kaget berjingkrak.
"Kau
memang nakal! Kau larang aku berbicara, tetapi engkau..." ujar Sangaji.
"Aku
kan berbisik. Masakan ada yang mendengar," debat Titisari cepat. Dalam hal
perdebatan, betapa Sangaji bisa menang. Maka ia bungkam sambil terus mengikuti
pertempuran.
Seorang
laki-laki kurus yang habis bertempur, mendadak menghampiri pemuda itu. Sikapnya
menghormat sungguh-sungguh dan berdiri tegak di belakangnya.
"Apa
kabar, Paman?" berkata pemuda itu.
"Gusti
Pangeran. Meskipun mereka berjum-lah lipat ganda, sebentar lagi kita akan dapat
menawannya. Hanya saja Pangeran Bumi Gede terlalu berbahaya. Dia mempunyai
sen-jata pamungkas ' yang sukar untuk ditang-kis."
Pemuda
itu berdiam diri menimbang-nim-bang. "Bagaimana menurut pendapat
Paman?"
"Hamba
menunggu perintah Gusti Pangeran," sahut orang yang bertubuh kurus dengan
hormat.
Mereka
tak berbicara lagi. Pandangnya beralih kepada medan pertempuran. Di sebelah
selatan terdengar sorak kemenangan. Kemudian disusul suatu gebrakan dari arah
timur. Ternyata sebuah pedati kena dilabrak berserakan.
"Sebenarnya
mereka membawa apa saja dari Semarang?" tanya pemuda itu.
"Menurut
laporan, mereka membawa mesiu dan senapan dari Semarang. Terang-terangan mereka
telah bersekongkol dengan kompeni Belanda," jawab si kurus.
"Mengumpulkan
harta benda dari keringat sendiri adalah hak setiap orang. Tetapi dia akan
membuat sengsara rakyat jelata, karena itu meskipun masih kerabat..."
Belum
lagi pemuda itu habis berkata, mendadak terdengar seorang panglima berteriak
dari jauh.
"Gusti
Ontowiryo! Musuh terlalu kuat! Kita lari ke barat sebelum kasep?"
Mendengar
teriakan itu, pemuda si kurus terkesiap. Cepat mereka memutar kudanya dan
melarikan diri ke arah barat. Melihat mereka lari, Sangaji bergerak hendak
menolong, tetapi ditarik Titisari.
"Inilah
kesempatan bagus! Pangeran itu masakan terpaksa melarikan diri? Eh! Masakan dia
melarikan diri?" sahut Titisari. "Lihat saja, Pangeran Bumi Gede
sebentar lagi akan terjebak. Inilah suatu tipu memancing harimau galak dari
guanya."
Perkataan
gadis itu menyadarkan Sangaji. Tetapi ia masih bersangsi juga. Dengan cemas ia
menebarkan penglihatannya ke medan laga.
"Lihat!
Siapa itu yang terkungkung di sela-tan?" kata Titisari.
Cepat
Sangaji mengalihkan penglihatan. Samar-samar ia melihat seorang pemuda
dikeroyok dari semua penjuru. Pemuda itu berkelahi dengan nekad. Pedangnya
menyam-bar-nyambar dengan menikam tiap orang yang berani mendekati. Tatkala
diamat-amati ternyata dia Sanjaya.
"Saudaramu
yang baik hati itu, betapapun juga takkan bisa melawan mereka. Kita tolong
tidak? Aku berjanji kepada Nuraini hendak mempertemukan."
"Bagus!
Bukankah Pangeran itu kekasih Gusti Retnoningsih?"
"Eeh!
Semenjak kapan ingatanmu begitu cemerlang terhadap nama-nama seorang
dara?"
Bagaimanapun
juga, sebagai seorang gadis Titisari besar cemburunya. Dan begitu Sangaji kena
disemprot, lantas saja terbungkamsekaligus. Buru-buru pemuda itu ingin
memperbaiki.
"Gusti
Ayu Retnoningsih bukankah murid Paman Suryaningrat?"
"Baik!
Pergilah engkau menolong Pangeran itu. Aku akan menolong saudara yang baik
hati, demi huraini."
Sehabis
berkata demikian, gadis itu terus saja melesat maju. Sangaji jadi tak sampai
hati. Cepat ia mengejar sambil berkata, "Titisari! Kita tolong dia! Tetapi
dia harus di-insyafkan!"
"Itulah
urusanmu. Bagiku hanya memi-kirkan Nuraini semata-mata," sahut Titisari.
Tetapi gadis itu mengangguk. Matanya bersi-nar terang, karena melihat Sangaji
tak jadi menolong Pengeran Ontowiryo. Ternyata Sangaji lebih menaruh perhatian
kepadanya daripada lainnya. Bagi seorang gadis itulah suatu bahagia tiada
taranya.
"Awas
panah!" mendadak Sangaji berteriak.
Waktu
itu dua batang panah menyambar berdesingan. Syukur, yang memanah bertenaga
sehingga menerbitkan suara. Andaikata tidak, pastilah susah diketahui.
Titisari
nampak tenang. Dengan acuh tak acuh ia songsong kedua panah itu,
sekonyong-konyong mengelak sambil mengibaskan tangan. Sangaji terkejut setengah
mati. Tetapi melihat gadisnya tak kurang suatu apa, hatinya girang. Terus saja
menegor.
"Titisari!
Kenapa kau begitu sembrono?"
"Bukankah
engkau yang lebih sembrono? Terang sekali aku membutuhkan bantuanmu, tetapi
engkau hendak menolong orang lain," sahut Titisari aleman.
Sangaji
tercengang. Sejenak kemudian berkata, "Baiklah. Kau berada di belakangku,
biar kulabraknya mereka seorang diri."
Sehabis
berkata demikian, Sangaji lalu melompat maju menerjang segerombol orang yang
sedang menyerang laskar yang mengepung Sanjaya. Memang terhadap begundal-begundal
Pangeran Bumi Gede ia benci bukan main. Dalam benaknya, Pangeran itulah yang
menganiaya gurunya dan membunuh ayahnya. Sebaliknya terhadap laskar Pangeran
Ontowiryo ia tiada mempunyai permusuhan. Kalau saja ia ikut menyerbu sebenarnya
hanya ingin menolong Sanjaya belaka atas anjuran Titisari. Maka sambil menyelam
ia minum air. Begitu masuk ke gelanggang terus saja melabrak musuh yang
dibencinya.
Mendadak
tiga batang anak panah me-nyambar padanya. Cepat ia menyampok jatuh dan terus
menjejak tanah dan membalas si pembidik. Orang itu terkejut setengah mati. Mau
ia melompat, lengannya telah kena dipatahkan dan dibanting di tanah.
"Anak
jadah! Kau manusia bosan hidup?" Terdengar seseorang memaki dari kejauhan.
Sangaji terkesiap. Ia seperti mengenal suara itu. Tengah ia mengingat-ingat
sebuah kam-pak melayang di atas kepalanya. Kampak itu sangat tajam sampai
memantulkan cahaya dalam malam. Melihat serangan itu, Sangaji terkejut. Terang
sekali penyerangnya bukan orang sembarangan. Cepat ia mengendapkan diri dan
terus membalas menyerang dengan salah satu jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi
dengan dibarengi ilmu sakti Kumayan Jati. Tak usah mengulangi lagi,
musuh
yang melemparkan kapak kena terhajar pundaknya dan patah seketika itu juga.
Tatkala tersambar gaya tulisan, mendadak kontal sepuluh langkah dan terbanting
di atas tanah sampai pahanya remuk. Orang itu menjerit menyayatkan hati.
Kini
Sangaji mengenal siapa dia, dialah si Setan Kobar yang dahulu pernah
mengancamnya di rumah penginapan dan pernah dihantam pingsan sewaktu lagi
melatih ilmu sakti Kumayan Jati di perbatasan Desa Karang-tinalang.
Sangaji
menyesal bukan main. Dalam hatinya ia cemas Setan Kobar terbinasa olehnya.
Sebab bagaimanapun juga, tak perlu ia menggunakan ilmu dahsyat tersebut, mengingat
orang itu terpental pingsan tatkala dia baru melatih ilmu Kumayan Jati.
Pikirnya, benar-benar dahsyat ilmu gabungan ini. Meskipun dia kini bukan
tandinganku, tetapi jatuhnya begini gampang.
Teringat
akan pendekar Warok Kudawa-nengpati dan Watu Gunung yang dapat dipukulnya
sekali jatuh, ia memaklumi mengapa Setan Kobar tak berdaya sama sekali. Maka ia
berjanji tak lagi menggunakan pada sembarang orang. Pikirnya kemudian sambil
menerjang yang lain, aku turun gunung hendak membalas sakit hati Guru. Ilmu
yang diwariskan kepadaku, bukankah ilmu bernilai tinggi pula? Mengapa aku tak
menggunakan lagi?
Tengah
ia menerjang laskar yang lain, mendadak dari samping muncul dua orang lagi yang
bersenjata golok dan pedang. Mereka adalah Kartawirya dan Cekatik Gelar Ceker
Bebek.
Ia
menduga, pastilah Yuyu Rumpung berada pula di sini. Maka dengan sebat ia
menangkap samberan tombak seorang laskar yang menusuk dari depan. Sekali ia
menarik dan orang itu terjungkal ke depan. Waktu itu pedang dan golok
Kartawirya bukanlah tokoh sembarangan— Cekatik sedang menetak padanya. Cepat ia
menendang orang itu ke samping sambil memunahkan pedang dan golok berbareng
dengan ilmu ajaran Wirapati. Jangan disangka ilmu ajaran Wirapati adalah ilmu
lumrah. Di tangan seorang pendekar sakti seperti Kyai Kasan Kesambi,
kedahsyatannya mengerikan orang. Begitu pula, kini Sangaji telah memiliki ilmu
Kumayan Jati yang bertenaga dahsyat.
Maka
tiap gerakan jurus ilmu Wirapati jadi mantap dan bertenaga. Itulah sebabnya,
begitu pedang dan golok lawan kena dibuang terus saja terbang ke udara. Setelah
itu dengan suatu kesehatan, Sangaji menyambar tubuh Kartawirya. lalu
dilemparkan. Cekatik kaget bukan main. Mau ia menghindar, tetapi datangnya
tubuh Kartawirya terlalu cepat. Terpaksa ia mengadu tenaga. Tetapi bagai-mana
dia bisa melawan tenaga Sangaji. Begitu kena bentur, seketika itu juga jatuh
terbalik dan terkapar pingsan tak sadarkan diri.
"hai!
Masih saja kamu sekalian mengotot? Apakah ingin kutumpas semua?" gertak
Sangaji kepada yang lain dan terus menyerbu dan menyerang kalang kabut. Sudah
barang tentu laskar Pangeran Bumi Gede bukan tandingannya. Begitu kena
terhajar, mereka lari berkaok-kaok.
Setelah
mereka melarikan diri, Sangaji menoleh kepada laskar Ontowiryo yang masih
berkutat mengepung Sanjaya.
"Orang
itu biarkan saja seorang diri yang menangkap. Lebih baik kalian menguber
mereka!"
Mereka
tadi melihat betapa perkasa pemuda itu. Mereka mengira, pastilah salah seorang
sahabat Pangeran Ontowiryo yang semenjak mudanya senang bergaul dengan orang
luaran. Maka begitu mendengar anjurannya, mereka lantas mengundurkan diri dan
terus memburu laskar Pangeran Bumi Gede yang melarikan diri.
"Adik
Sanjaya! Apakah kau terluka?" kata Sangaji.
Semenjak
Sanjaya kena terhajar Adipati Surengpati, ilmu saktinya telah punah. Kini ia
hanya memiliki ilmu ajaran Ki Hajar Karang-pandan belaka. Sedangkan ilmu sakti
ajaran Pringgasakti telah lenyap. Itulah sebabnya iatak segarang dahulu begitu
kena keroyok, meskipun ilmu ajaran Ki Hajar Karangpandan masih tetap gagah dan
tangguh.
Karena
sibuk melayani pengeroyokan, ia tak mengetahui munculnya Sangaji. Baru setelah
mendengar jerit Setan Kobar dan kedua orang pembantunya, ia menoleh. Mula-mula
ia mengira
salah
seorang lawan pihak Pangeran Ontowiryo yang tangguh. Tetapi manakala ia
mendengar suara Sangaji sewaktu mengger-tak sisa laskarnya, terus saja ia
mengenal. Hatinya lantas menjadi ciut. Ia merasa bukan lagi tandingnya, setelah
kena terhajar. Bahkan gurunyapun dahulu—Pringgasakti—tak mampu memenangkan.
Dengan
menelan ludah ia menggelengkan kepala. Kemudian menjawab pertanyaan Sangaji
sulit.
"Bagaimana
engkau bisa datang kemari?"
"Mari
kita mencari tempat bersembunyi. Kukira mereka akan balik kembali," sahut
Sangaji. Lalu menggandeng tangan Sanjaya.
Titisari
menyongsong kedatangannya. Melihat Sangaji menggandeng Sanjaya, hati-nya tak
senang. Tetapi mengingat Sanjaya adalah teman sepermainan masa kanak-kanak yang
kini lagi tersesat, ia mencoba mengerti dan menghibur diri.
Mereka
menemukan sebuah lumbung desa yang tiada penjaganya. Dengan sekali dorong,
pintu itu terbuka, agaknya belum lama berse-lang telah didatangi orang. Mungkin
pula pen-jaga desa yang cepat-cepat melarikan diri sewaktu melihat terjadinya
suatu pertempuran.
"Titisari!
Inilah kawanku sepermainan dahulu, Dimas ' Sanjaya kau belum lagi berkenalan,
bukan?" kata Sangaji.
Titisari
tak menjawab. Dia hanya mende-ngus. Dan tahulah Sangaji, bahwa Titisari tak
senang kepada anak pangeran itu. Tetapi dia bersikap tak menghiraukan. Bahkan
terus saja berkata lagi, "Dimas Sanjaya! Menurut ibuku, almarhum ayahku
dan ayahmu adalah sahabat karib. Lapat-lapat, bukankah kita masih teringat masa
kanak-kanak dahulu? Menurut Ibu, ayahku dan ayahmu berpesan agar kita berdua
menjadi sahabat sejati meneruskan persahabatan mereka. Hal ini akan
kuwujud-kan. Ibu berkata, aku lebih tua dua bulan dari-padamu. Karena itu aku
memanggilmu adik. Bukankah begitu?"
Sanjaya
masih saja terpukul hatinya oleh suatu pertemuan tiba-tiba ini. Mau ia
meng-iakan, tapi hatinya pepat. Karena itu ia hanya mengangguk kosong.
Sebaliknya Sangaji yang berhati sederhana bersyukur dalam hati melihat Sanjaya
mengangguk. Pemuda itu mengharap, kawannya sepermainan masa kanak-kanak dahulu
akan sadar kembali dari kesesatannya. Maka ia berkata lagi, "Kulihat kau
berjalan bersama musuh besarmu."
"Siapa?"
Sanjaya terkejut.
"Pangeran
Bumi Gede. Bukankah dia musuh besarmu juga? Dialah pembunuh ayahku. Dia pulalah
perenggut kebahagiaan ibumu, malah akhirnya membunuh ayahmu yang sejati."
Mendengar
kata-kata Sangaji, diam-diam bulu kuduk Sanjaya berkeridik juga. Karena tak
tahu apa yang harus dikatakan, ia menunduk dalam.
Dalam
pada itu, Sangaji terus saja mem-bongkar kejahatan Pangeran Bumi Gede menurut
tutur kata ibunya dan Wirapati. Kemudian mengabarkan pula, betapa cinta kasih
Paman Wayan Suage terhadap anak-nya.
"Sayang!
Sungguh sayang, mengapa Paman meninggal terlalu cepat, sebelum aku berhasil
membalaskan dendam...." akhirnya Sangaji mengesankan.
Sangaji
tak pandai berbicara. Tetapi tiap-tiap kalimatnya keluar dari dasar hatinya.
Karena itu betapapun juga mempunyai pengaruhnya pula. Meskipun Sanjaya terpaksa
mendengarkan karena merasa diri menjadi tawanan, kata-kata Sangaji masuk pula
dalam hatinya. Mendadak saja matanya berlinang-linang, karena ingat kepada
cinta kasih ibunya dan nasib dirinya yang terpaksa bersikap merendah terhadap
Sangaji. Hatinya amat sakit. Tapi dasar cerdik, ia pandai membawa diri. Katanya
penuh perasaan, "Malam ini benar-benar baru kuketahui, bahwa aku adalah
anak Wayan Suage. Maka mulai detik ini juga aku akan menanggalkan gelar raden
masku."
"Bagus!"
Sangaji girang. "Memang semenjak aku bertemu padamu, tak pernah aku
bersangsi bahwa engkau kelak akan menjadi seorang laki-laki sejati. Kini
terbuktilah keyakinanku. Kau kini benar-benar akan menjadi seorang laki-laki
sejati."
Segera
ia menoleh kepada Titisari yang du-duk bersandar pada dinding. Gadis itu nampak
dingin-dingin saja, namun tiada menunjukkan sikap memusuhi. Karena itu dia
berkata lagi, "Tadi kulihat Pangeran Bumi Gede sedang bertempur melawan
Pangeran Ontowiryo. Bagaimana mula-mula terjadinya pertempuran ini?"
"Dari
mana engkau mengenal dia?" Sanjaya terkejut heran.
"Secara
kebetulan aku mendengar perca-kapan mereka," sahut Sangaji pendek.
Sanjaya
mengerling kepada Titisari, kemu-dian menundukkan kepala lagi. Berkata seperti
merintih, "Memang aku telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan. Terlalu
banyak untuk kusebutkan. Setelah ilmuku punah, aku bermaksud pulang ke Bumi
Gede. Di kota Magelang aku bertemu dengan Pangeran Bumi Gede yang baru tiba
dari Semarang. Kemudian, berangkatlah aku mengawal pedati dengan muatan
senjata. Sungguh mati aku tak tahu, bahwa Pangeran Ontowiryo memusuhi dengan
tiba-tiba."
"Dimas!
Agaknya engkau mengenal Pange-ran Ontowiryo lebih banyak daripadaku,"
potong Sangaji kagum.
Sanjaya
tersenyum sambil membuang mukanya. Jari ibu kakinya menggarit-garit tanah di
depannya. Sejenak kemudian ber-kata, "Dialah cucu Sultan Hamengku Buwono
II yang bertempat tinggal di Tegalreja. Dia terkenal sebagai Pangeran
Tegalreja. Belum pernahkah engkau mendengar namanya?"
Selama
hidupnya Sangaji hampir berada jauh di daerah barat. Seumpama selama itu berada
di Jawa Tengah, agaknya sebagai rakyat lumrah dia pun takkan mengenal peri
kehidupan para bangsawan. Karena itu mau ia mengangguk. Mendadak Titisari yang
selama itu berdiam diri terus saja menyahut, "Masakan tak tahu? Dialah
satu-satunya pangeran yang paling jujur pada dewasa ini. Seorang pangeran yang
tak kemaruk harta benda, pangkat derajat dan perempuan! Kalau saja kini
bermusuhan dengan ayah angkatmu, bukankah cukup terang gamblang sebab
musababnya?"
Maksud
Titisari adalah semata-mata untuk memukul sepak terjang Pangeran Bumi Gede
dengan mengadakan perbandingan, la benci kepada pangeran itu dan Sanjaya.
Karena itu hendak mengejeknya mumpung berkesem-patan. Pada waktu itu, sepak
terjang Pangeran Ontowiryo belum nampak jelas. Dia bekerja semata-mata untuk
kerajaan sebagai hamba kerajaan. Dan belum untuk tujuan kebang-saan. Dengan
demikian... tak disengaja... Titisari membuktikan ketajaman otaknya dan pra
rasanya seolah-olah seorang peramal kaliber besar.
Sebaliknya
Sanjaya benar-benar menjadi mati kutu. Ia tahu Titisari anak Adipati
Surengpati. Sebagai anak bangsawan, pastilah dia mengetahui belaka tentang
belat-belit kehidupan kaum bangsawan pada dewasa itu.
Fitnah
memfitnah, kecurangan helat meng-helat, cemburu-mencemburui, curiga mencurigai
dan bila perlu bisa bertindak di luar perikemanusiaan dan kesusilaan dengan
cara menyingkirkan, membunuh, meracun meng-kerubut atau memperkosa isteri
lawannya dan menculik gadis-gadisnya. Adipati Surengpati adalah seorang
bangsawan yang sengaja mengasingkan diri, karena tak cocok dengan kaum
kerabatnya. Karena itu masakan dia segan membongkar segala keburukan yang
terjadi di lingkungan istana pada dewasa itu terhadap putrinya, begitulah pikir
Sanjaya.
"Membawa-bawa
senjata memang termasuk salah satu larangan." Akhirnya Sanjaya berkata
dengan menghela napas.
"Apakah
bukan karena memusuhi kerajaan dengan terang-terangan?" bantah Titisari.
"Ayah angkatmu bekerja sama dengan Patih Danurejo II untuk menggulingkan
kerajaan, bukan? Dan
Patih
Danurejo H memperoleh sokongan dari kompeni. Dan engkau bersedia menjadi
anteknya, ' bukan?"
"Ya,
memang aku telah melakukan per-buatan yang bertentangan dengan kepen-tingan
kerajaan. Dan baru kuketahui, bahwa aku sesat di jalan."
"Bagus!"
Sangaji memotong. "Kau telah sadar kembali, itulah yang kuharap-harapkan.
Tadi kulihat Pangeran Bumi Gede kena jebakan Pangeran Ontowiryo. Aku akan
membantu Pangeran Ontowiryo membunuh Pageran Bumi Gede. Kau ikut tidak?"
Sanjaya
tak segera menjawab. Teringatlah dia kepada budi pangeran itu yang telah
me-rawatnya semenjak kanak-kanak. Tetapi sebagai seorang pemuda yang cerdik,
tahulah ia membaca gejolak hati Sangaji. Maka berkatalah dia memaksa diri,
"Baik. Aku akan ikut padamu menuntut balas."
Mendengar
jawaban Sanjaya, Sangaji girang amat. Segera ia berseru, "Dimas Sanjaya,
mudah-mudahan mulai detik ini kita bisa berikrar menjadi sahabat sejati untuk
mewujudkan harapan almarhum orang tua kita. Bagaimana pendapatmu?
"Itulah
yang kuharapkan," sahut Sanjaya.
Mereka
berdua kemudian berdiri Sangaji mencabut pedangnya dan mengurit kulit
pergelangan tangan. Perbuatannya ditirukan pula oleh Sanjaya. Kemudian mereka
me-nempelkan pergelangan mereka yang ber-darah seolah-olah telah bertukar
darah. Setelah itu, mereka mundur selangkah dan saling membungkuk hormat.
Sampai di sini, puaslah hati Sangaji. Segera ia menggandeng Sanjaya dengan
penuh perasaan. Waktu itu malam telah mendekati fajar hari. Angin pegu-nungan
mulai terasa menembus tulang. Oleh kesibukannya tadi, mereka tak terasa telah
melampaui malam panjang.
"Baiklah
engkau menunggu di sini!" kata Sangaji. "Aku akan mencari di mana
kini Pangeran Bumi Gede berada. Kulihat, engkau perlu istirahat barang
sebentar."
Sanjaya
mengangguk. Ia meberkata me-mang perlu beristirahat, karena sudah ber-hari-hari
berjalan tanpa berhenti. Katanya kemudian, "Hendaklah Kangmas
berhati-hati! Ayah angkatku mempunyai senjata berbisa!"
Sangaji
bersyukur dalam hati, karena ter-nyata dia kini memperhatikan dirinya. Segera
ia berpamit dan terus mengajak Titisari meninggalkan lumbung desa.
"Bagaimana
pendapatmu tentang dia?" Sangaji bertanya kepada Titisari.
"Pendapatku pasti berbeda dengan penda-patmu. Mengapa kautanyakan?"
"Dia
sudah bersedia mengikat persahabatan dengan saling menukar darah. Bukankah
menyenangkan?"
"Idih!
Persahabatan adalah soal rasa. engkau telah menyakiti diri dan menukar darah,
kalau aku boleh bertanya, bagaimana sih, rasanya menukar darah?"
Ditanya
demikian, Sangaji terbungkam, menukar darah memang tiada rasanya, kecuali hati
terasa menjadi terharu. Semenjak dahulu orang saling menukar darah sebagai
sumpah ikatan persahabatan sejati. Dan pemuda itu tanpa berpikir terus saja
berbuat menurut adat kebiasaan, sama sekali tak pernah memikirkan segi rasa
hakiki.
"Kau
mengerti, aku tolol. Mengapa engkau mempersulit otakku?" Sangaji mengeluh.
"Aku
hanya bertanya dan kewajibanmu hanya menjawab. Sekiranya tak pandai men-jawab,
masakan perlu memeras otak?"
"Karena
engkau yang bertanya. Coba bukan engkau, masakan aku sudi mencoba
men-jawab."
"Benar
begitu?" seru Titisari girang... "Baik! Sekarang aku bertanya
kepadamu: Kau selalu memperhatikan aku atau tidak?"
"Tentu!
Apakah aku pernah melalaikanmu?"
"Mengapa
kau tadi sudi berbicara, dengan sahabatmu begitu berkepanjangan dan membiarkan
aku digigit nyamuk? Apakah itu cara memperhatikan aku?"
Mau
tak mau, hati Sangaji terkesiap karena pertanyaan itu. Oleh pertemuannya dengan
Sanjaya
tadi, hatinya terlalu sibuk dan sedang berdaya upaya hendak mengembalikan
kerukunannya seperti pesan ibunya. Itulah sebabnya, ia agak lalai terhadap
Titisari.
"Baiklah!
Pertanyaanku tadi tak usah kau jawab, karena kau tadi lagi sibuk. Sekarang pertanyaanku
yang kedua," kata Titisari cepat. "Kau mau mendengarkan atau
tidak?"
"Tentu!
Tentu!" Sangaji gugup.
"Kau
sudi menggendong aku atau tidak?"
"Mengapa
tidak?" Sangaji heran.
"Kenapa
kau tak sudi menggendong aku?" Titisari tertawa manis.
Sebentar
Sangaji tercengang. Kemudian menyambar pinggang Titisari dan digen-dongnya
dengan hati gregetan. ' Tatkala sam-pai di jalan, si Willem segera ditemukan.
Titisari dinaikkan ke atas kudanya dan Sangaji terus saja melompat ke atas
Willem. Mereka kemudian mencari jejak Pangeran Bumi Gede sampai matahari muncul
di udara.
Mereka
sampai di jalan besar. Jejak kaki kuda buyar sampai di sini. Dengan hati-hati
mereka melihat tapak kuda yang menjurus ke kiri menyeberang pagar bambu. Segera
mere-ka menjejak. Setelah berputar-putar, akhirnya hampir mendekati desa tempat
mereka semalam berada. Sekonyong-konyong mereka mendengar tapak kuda berdetak
tak jauh di depannya. Cepat-cepat mereka memburu. Besar keinginan Titisari
hendak mengetahui siapa penunggangnya. Di luar dugaan, penunggangnya adalah
Sanjaya.
"Aji!"
bisik Titisari. "Nah, kau percaya tidak? Pertukaran darahmu semalam apakah
gunanya? Sahabatmu yang baik ternyata mengikuti kita semenjak tadi. Mungkin
pula telah mendahuli kita untuk mengk-isiki ayah angkatnya. Aku yakin, bahwa
dia telah mengetahui di mana ayah angkatnya berada dengan tanda- tanda pengenal
tertentu."
Sangaji
heran pula menyaksikan kenyataan itu. Sanjaya tadi menyatakan, bahwa dirinya
perlu beristirahat. Tetapi nyatanya, dia nampak segar bugar. Dasar hatinya
mulia, ia mau menduga bahwa Sanjaya mempunyai alasan lain. Katanya mencoba
menebak, "Barangkali dia mengetahui tempat persembunyian ayah angkatnya
dan mencoba mengejar kita untuk memberi tahu."
"Masakan
begitu?" bantah Titisari.
"Dia
memperhatikan keselamatanku de-ngan memperingatkan tentang senjata pemunah ayah
angkatnya. Bukankah engkau mendengar juga?"
"Hm...
sekiranya benar begitu, mengapa dia datang terlebih dahulu pada tempat bekas
pertempuran?"
Alasan
Titisari masuk akal pula. Pemuda itu lantas saja sibuk menduga-duga.
Sekonyong-konyong ia melihat Sanjaya melompat dari kudanya. Dan di sana berdiri
sang Dewaresi yang terus saja berbicara dengan sibuk.
Cepat
Sangaji dan Titisaari menyelinap ke rumpun bambu dan mengintip dengan
hati-hati. Mereka ingin mendengar pembicaraannya, tetapi tak berani mendekat.
Maklumlah, mereka mengenal kehebatan sang Dewaresi. Apabila kurang berhati-hati
sedikit saja, pasti akan ketahuan. Itulah sebabnya mereka hanya mendengar sang
Dewaresi mengucapkan kata-kata, "Pusaka wasiat, dan menyebutkan padepokan
Gunung Damar Ambarawa dan hati-hati." Sedangkan Sanjaya mengucapkan
kata-kata, "Ayahku, Ontowiryo dan di sini." Setelah itu, sang
Dewaresi memanggut memberi hormat kemudian menuju ke utara bersama beberapa
pengikutnya.
Sebentar
Sanjaya mengawaskan kepergian-nya dengan tertegun-tegun. Lalu menarik napas
panjang
dan terus melompati kudanya.
"Dimas
Sanjaya!" seru Sangaji dan terus saja keluar dari balik rumpun bambu.
"Aku berada di sini."
Sanjaya
terkejut. Tetapi segera menyong-song sambil berseru girang, "Kangmas
Sangaji, kau di sini? Pantas kucari ke mana-mana tak ketemu."
"Aku
berada bersama Titisari. Aku pernah mendapat kesulitan dengan sang Dewaresi.
Apakah engkau juga?"
Mendengar
kata-kata Sangaji, muka San-jaya menjadi merah karena terkesiap darahnya.
Tetapi
Sangaji tak mengetahui, karena tak menduga buruk kepadanya.
"Kangmas
Sangaji! Apakah kau sudah me-nemukan jejak musuh kita?" Cepat-cepat
Sanjaya mengalihkan pembicaraan. Kemu-dian kepada Titisari, "Nona pun
mempunyai dendam pula kepadanya?"
"Mestinya
akulah yang bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar hendak menuntut
balas?" sahut Titisari.
"Ha...
mengapa soal itu dibicarakan lagi? Bukankah sudah terang?" Sangaji
menengahi dengan tertawa panjang.
"Mari
kita kembali ke lumbung desa untuk beristirahat. Lumbung itu cukup untuk
di-masuki dua rumah. Agaknya penduduk sini hidup makmur sehingga memerlukan
lum-bung yang sebesar itu."
Sanjaya
menurut dan mereka kembali ke lumbung desa. Sekarang mereka melihat, bahwa
lumbung itu berbentuk persegi. Dan benar kata-kata Sangaji, bahwa lumbung itu
mampu dimasuki dua buah rumah. Lumbung itu ternyata kosong melompong. Hanya di
pojok sana terdapat onggokan bekas keran-jang, tumpukan peti dan dinding kulit
bambu. Dan di atas bergelantungan beberapa lonjor bambu kering, papan kayu dan
tali.
Seluruh
lumbung itu terbuat dari dinding bambu. Tanahnya kering, meskipun bukan lantai.
Sangaji segera mencari bekas dinding kulit bambu yang telah kotor kena abu,
kemu-dian digelar menjadi dua bagian. Sebagian untuk tidur Titisari dan yang
lain dia bersama Sanjaya.
Hawa
pegunungan terasa sangat nyaman. Sebentar saja mereka telah tertidur nyenyak.
Kira-kira menjelang tengah hari, mereka mendengar suara gemertak kaki-kaki
kuda. Lantas saja mereka bangun dan menajamkan pendengaran. Terang sekali,
jumlahnya bukan hanya seekor dua ekor. Tetapi rombongan berkuda entah berapa
jumlahnya. "Yang didepan tiga orang. Mereka sedang dikejar dari belakang."
kata Titisari.
"Mari
kita lihat!" seru Sangaji dan pemuda itu terus saja melompat ke pintu.
Tatkala
sampai di luar, yang nampak hanyalah serombongan laskar berkuda berjumlah tujuh
orang. Melihat Sangaji dan Titisari, mereka lantas saja berhenti. Ternyata yang
memimpin laskar berkuda tersebut adalah orang yang semalam mengkerubut Sanjaya.
Orang itu segera mengenal Sangaji. Terus saja berseru, "Gus! Apakah sudah
berhasil menangkap anak pemberontak?"
"Siapa?
Pangeran Bumi Gede?" sahut Sangaji.
"Bukan!
Yang semalam kau lawan." Maksudnya Sanjaya.
Lalu
meneruskan, "Hari ini kita lagi menge-jar si setan Pangeran Bumi Gede
bersama dua orang begundalnya. Dua orang begundalnya telah kena panah. Tinggal
dia seorang yang masih segar bugar. Kau tahu ke arah mana larinya?"
Mendengar
keterangan pemimpin laskar itu, Sangaji amat girang. Terus saja berseru kepa-da
Titisari, "Pangeran Bumi Gede berada di sini. Mari kita cari!" Lalu
memanggil sahabat-nya, "Dimas Sanjaya! Pangeran Bumi Gede bersembunyi di
sini! Ayo kita cari!"
Titisari
menghampiri. Tapi suara Sanjaya tak kedengaran. Bahkan orangnya tak nampak
pula.
Sangaji
jadi heran.
"Titisari!
Kita berangkat dahulu. Sanjaya biar menyusul. Kau ke timur dan aku ke
barat!"
Terus
saja mereka berdua melesat ke arah tujuan masing-masing. Setelah berlari-lari
beberapa pai jauhnya, Sangaji berhasil mengejar dua pengawal Pangeran Bumi Gede
yang telah kena panah. Yang seorang sudah luka parah dan yang lainnya berusaha
kabur seda-pat-dapatnya.
Sangaji
segera menawan yang luka parah, lalu dimintai keterangan. Orang itu
mene-rangkan, bahwa dia memang sedang mengawal Pangeran Bumi Gede. Hanya saja
pada saat itu tak diketahui lagi ke mana Pangeran Bumi Gede menyelinapkan diri.
Maklumlah, pandang matanya sudah mulai menjadi nanar buram.
"Beliau
menghilang di sini. Entah ke mana," katanya terengah-engah. "Aku akan
segera pulang ke kampung. Kalau balik ke kota masakan aku akan dihidupi?"
Sangaji
cepat-cepat mengitari dusun yang, terlindung pagar bambu. Gntung desa tersebut
sedang dalam keadaan lengang. Sebagian penduduknya berada di sawah, ladang atau
turun ke kota terdekat. Sehingga dia tak menjumpai kesulitan. Tetapi sampai
sekian lama, jejak Pangeran Bumi Gede tak diketemukan juga. Dengan hati
mendongkol, larilah dia menjenguk anak sungai dan sawah. Tetap saja bayangan
Pangeran Bumi Gede tak diketemukan. Akhirnya dia jadi gelisah sendiri.
Tatkala
matahari mulai condong ke barat, ia balik menuju tempatnya semula. Ketika tiba
di suatu persimpangan kecil, bertemulah dia de-ngan Titisari, gadis itupun tak
berhasil pula menemukan jejak Pangeran Bumi Gede. Maka dengan kecewa mereka
menemui laskar Pangeran Ontowiryo yang masih menunggu di luar batas desa
sebelah utara.
"Hm...
mungkin Pangeran Bumi Gede mempunyai ilmu Halimun sampai bisa
menghi-lang," kata pemimpin laskar.
"Baiklah,
di sini kita berpisah. Kami sedang ditugaskan, karena itu tak berani
mengharap-kan bantuanmu. Biar sampai ubanan akan kami cari sekuasa-kuasa
kami."
Sangaji
kecewa berbareng bersedih hati, karena kesempatan yang baik itu tak dapat
dipergunakan. Setelah mereka pergi, ia menghempaskan diri di tepi jalan.
"Aji!"
kata Titisari membesarkan hati. "Kau bersedih tak dapat mencari jejak
buruanmu? Kalau tak bisa mencari, bukankah lebih gam-pang memilih cara
lain?"
Sangaji
mendongakkan kepala. Matanya bersinar karena memperoleh harapan. Kata-nya agak
gopoh, "Cara bagaimana?"
"Sewaktu
masih kanak-kanak sering aku bermain sembunyi-sembunyian. Kalau aku tak dapat
mencari, aku ikut bersembunyi. Lambat laun yang bersembunyi jengkel sendiri,
lantas keluar hendak mengumumkan pembubaran. Dan saat itu aku
menangkapnya."
"Kau
ingin aku bersembunyi juga sampai dia muncul?" "Sekiranya kau
benar-benar ingin menang-kap dia." sahut Titisari.
Sangaji
girang. Dia memuji kecerdikan Titisari. Dan oleh pujian itu, Titisari senang
juga. "Sebenarnya ini tipu daya lumrah saja. Apanya sih yang hebat?"
"Baik!
Mari kita bersembunyi dalam lumbung sampai dia muncul" ajak Sangaji. Lalu
ia menggandeng Titisari kembali ke lumbung. Mendadak saja ia melihat benda
gemerlapan di atas rerumputan. Segera ia menghampiri dan memungutnya. Ternyata
sebuah kancing baju terbuat dari emas.
"Titisari!
Kancing baju! Lihat ada tulisannya dengan huruf Jawa," serunya dengan
jantung berdegupan.
Titisari
terkejut. Begitu melihat huruf itu, lantas berbisik, "Inilah kancing
Pangeran Bumi Gede."
"Benar
dia? Ah, kalau begitu dia masih bersembunyi di sekitar tempat ini. Mari kita
cari!"
Mereka
mengurungkan niatnya kembali ke lumbung desa, tetapi terus mengitari lewat
ladang yang bersemak dan berbatu.
"Aji!
Kau mencari di bawah. Aku akan men-daki bukit ini. Sambil meloncat aku akan
mengawasi di jauh sana," kata Titisari. Lalu gadis itu melesat melompat ke
atas batu dan lari berputaran. Mendadak saja menoleh sam-bil berseru,
"Aji! Bagaimana gaya lompatan-ku? Bagus atau tidak?"
Sangaji
heran sampai memberhentikan langkahnya. Menyahut memaklumi, "Bagus! Bagus!
Mengapa?"
Gadis
itu tertawa manis.
"Kau
tadi memuji kecerdikanku sewaktu mengusulkan cara mencari Pangeran Bumi Gede
yang lain. Sekarang engkau melihat gaya Iompatanku bagus. Mengapa tak
memuji?"
Jawaban
itu di luar dugaan Sangaji. Ia mengira, Titisari hendak mengusulkan tipu-daya
lain. Tak tahunya hanya hendak bergurau kekanak-kanakan. Tapi ia kenal watak
Titisari. Maka dengan tersenyum pahit ia terpaksa menjawab, "Memang aku
tolol! Hm... Dalam keadaan begini, kau masih bergurau saja?"
Gadis
itu tertawa nakal.
"Mengapa
sih tak boleh bergurau? Kalau kau ingin menangis, menangislah! Kalau kau ingin
marah, marahlah! Itulah cara laku tak sudi mengkhianati diri. Kini aku kepingin
bergurau. Nah, aku bergurau. Dan setelah berkata demikian dia terus melesat
mendaki bukit."
Dengan
cemas Sangaji merenungi keper-giannya, kemudian lari ke bawah hendak ke bagian
petak sana. Tetapi dimanakah sesungguhnya Pangeran Bumi Gede berada?
Sewaktu
dia dan Titisari berbicara dengan rombongan Laskar Ontowiryo, mata Sanjaya yang
tajam segera melihat berkelebatnya Pangeran Bumi Gede dari sela-sela dinding
bambu. Meskipun kini dia merasa bukan anak Pangeran itu, tetapi hatinya
senantiasa teringat budinya merawat dirinya semenjak kanak-kanak. Dalam waktu
belasan tahun, ia menganggapnya sebagai ayah kandungnya sendiri. Maklumlah,
Pangeran itu bersikap baik terhadapnya dan sama sekali tak menge-sankan bahwa
dia adalah ayah angkatnya. Oleh ingatan itu, segera ia bergerak hendak
menolong, la tahu, bahwa pangeran itu berada dalam keadaan bahaya. Sedikit saja
pasti akan terenggut nyawanya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, cepat ia
menerobos pintu belakang dan terus menghadang di persimpangan jalan sebelah
selatan desa.
"Ayah!
Anakmu berada di sini!"
Pangeran
Bumi Gede terkejut. Ia mengenal suara itu. Cepat ia meloncat dari atas kudanya
dan segera menghampiri. Kemudian dengan hati-hati, Sanjaya membawa pangeran itu
berjalan memutar ke belakang. Sewaktu Sangaji dan Titisari lari mengitari desa,
ia membawa Pangeran Bumi Gede bersembunyi di belakang lumbung.
Pangeran
Bumi Gede merasa seperti tengah bermimpi. Meskipun ia tahu Sanjaya semalam ikut
bertempur pula, tapi tak pernah mengira akan bertemu di sini dalam keadaan diri
dikepung bahaya.
"Sanjaya!
Mengapa kau masih berada di sini! tanyanya heran. Siapakah pemuda itu? Dia
nampak gagah perkasa?"
"Dialah
Sangaji. Anak Made Tantre sahabat Wayan Suage dari Desa Karangtinalang,"
jawab Sanjaya dengan acuh tak acuh.
Hati
Pangeran Bumi Gede terkesiap. Sebagai seorang cerdik tahulah dia menebak sikap
Sanjaya dengan selintasan saja. Teringatlah dia masa dua belas tiga belas tahun
yang lalu, tatkala ia memasuki sebuah rumah panjang seperti bentuk lumbung desa
itu hendak mencoba merampas pusaka wasiat Pangeran Semono. Di sana ia membunuh
se-orang laki-laki dan
menculik
ibu Sanjaya. Karena teringat hal itu ia jadi bungkam.
Beberapa
waktu lamanya, ia mendengar Sangaji dan Titisari balik kembali dan berbicara
dengan laskar Pangeran Ontowiryo. Kemudian mereka berusaha mencari dirinya.
Teringat akan kekejamannya membunuh ayahnya dua tiga belas tahun yang lalu,
terasa bergeridiklah bulu kuduknya.
"Ayah!"
Tiba-tiba Sanjaya berkata berbisik... "Mari kita bersembunyi di dalam kamar
terbu-ka itu. Ayah akan kulindungi dengan tumpukan peti dan onggokan keranjang.
Dengan kututupi selembar dinding kulit bambu pula, pastilah mereka takkan
menemukan. Dan setelah mereka pergi, diam-diam kita melarikan diri."
Pangeran
Bumi Gede mengangguk.
"Kau
benar. Mari! Hai Kenapa kau berada di sini bersama dia?"
Sanjaya
tak menjawab. Dia hanya tertawa perlahan melalui hidung. Dalam benaknya
teringatlah dia kata-kata Sangaji dan nasib ibunya tatkala terenggut pangeran
itu dari desanya.
Pangeran
Bumi Gede jadi gelisah. Dengan menaikkan dahi ia mencoba memperoleh keterangan.
"Apakah
engkau kena siksaannya? Ah... ibumu pasti gelisah memikirkanmu. Baik, anakku.
Setelah kita selamat sampai di Bumi Gede, kau tak kuizinkan lagi bepergian
me-nempuh bahaya."
Pangeran
itu kemudian meraba pergelangan tangan Sanjaya. Terasa dingin dan agak
menggetar.
"Mari
kita bersembunyi!" Sanjaya meng-alihkan pembicaraan sambil mengurangi
pegangan Pangeran Bumi Gede dengan per-lahan.
Mereka
bersembunyi di dalam kamar terbu-ka. Dinding sebelah pojok agak keropos. Di
pojok itulah, Pangeran Bumi Gede bersembunyi. Kemudian Sanjaya melindungi
dengan onggokan keranjang dan tumpukan peti. Sekilas pandang, tempat
bersembunyi itu ter-lindung benar-benar dan tak gampang-gam-pang dapat
diketahui.
"Anak
Made Tantre itu galak sekali," kata Sanjaya.
"Paman
Kartawirya, Cekatik dan Setan Kobar dapat diruntuhkan dengan sekali pukul.
Akupun tak bisa menandingi. Bahkan Pring-gasakti tak mampu mengalahkan. Dia
bahkan kena hajar berkali-kali. Sekarang demi menuntut balas kematian ayahnya,
ia mengancam jiwa Ayah. Agaknya dia mempunyai banyak pembantu-pembantu bukan
sembarangan. Karena itu, ayahlah yang harus berusaha menyelamatkan diri. Bukan
aku ..."
MESKIPUN
SANJAYA MASIH MENYEBUT AYAH, TETAPI SEBAGAI seorang cerdik dan cermat, Pangeran
Bumi Gede merasakan suatu kesan yang berbeda dari pada biasanya. Diam-diam ia
mengernyitkan kening.
"Baiklah,"
akhirnya ia berkata perlahan. "Aku akan menyingkir sejauh mungkin. Apakah
engkau telah berbicara dengan dia?"
"Ya,"
Sanjaya menunduk. "Dia telah mena-wan aku semenjak semalam. Karena melihat
Ayah, aku memaksa diri untuk menemui Ayah..."
Mendengar
suara Sanjaya, tahulah Pangeran Bumi Gede bahwa anak itu sudah mengetahui asal
usulnya. Memperoleh dugaan demikian, ia heran mengapa dia masih sudi menolong
dirinya.
Tiga
belas tahun lamanya, dia dan pemuda itu bergaul sebagai ayah dan anak. Mereka
saling mendekati dan akhirnya terbesitlah rasa kasih sayang yang kuat berakar
dalam lubuk hati masing-masing. Tetapi pada detik itu, mendadak saja rasa kasih
sayartg itu terasa menjadi pudar. Dalam hati masing-masing tergemalah gaung
permusuhan hebat. Pangeran Bumi Gede merasa bersalah, sedangkan Sanjaya
berbimbang-bimbang terombang-ambingkan oleh rasa
kasih
sayang dan kebencian. Pikir pemuda itu, orang inilah yang merenggut kebahagiaan
Ibu. Hm... asalkan aku menggerakkan tangan sedikit saja, akan dapat aku
membalas rasa sakit hati Ibu. Tetapi... dapatkah aku berbuat demikian?
Selamanya ia sayang padaku bagaikan anak kandungnya sendiri. Aku bahkan
diangkatnya sebagai putra angkatnya yang resmi. Kalau dia mati, bukankah aku
yang akan mewarisi seluruh harta benda dan kedudukannya? Sebaliknya, seumpama
aku berhasil membunuhnya, apakah aku harus hidup semacam Sangaji yang merantau
tak karuan hinggapnya? Eh, nanti dulu! Masakan aku harus mengorbankan diri
semata-mata untuk membalaskan sakit hati orang tua saja? Bukankah Ibu hidup tak
sengsara juga?
Pangeran
Bumi Gede seperti dapat menebak gejolak hatinya. Hati-hati ia berkata seperti
membujuk, "Sanjaya! Kita berdua pernah hidup bersama selama tiga belas
tahun. Aku menjadi ayahmu dan engkau menjadi anakku. Siapa yang menjadikan
demikian baik aku maupun engkau tak tahu. Di sana entah dilangit entah di
celah-celah bumi... Dialah yang menjadikan semua ini. Kini, dengarkan! Sultan
Hamengku Buwono II menjadi raja hanya mengingat kepentingan diri sendiri.
Karena itu dia memusuhi orang banyak, di antara Gusti Patih Danureja
* dan aku sendiri. Gusti Patih telah
menyerahkan kekuasaannya kepadaku. Karena itu, apabila beliau berhasil
menumbangkan, maka kebahagiaan kita tiada batasnya. Kita, aku berkata. Karena
untuk apa aku ini berjuang, selain untukmu. Engkau tahu sendiri, anakku
hanyalah engkau seorang. Karena itu di kemudian hari, semuanya adalah untukmu
dan ibumu."
Sanjaya
telah lama mengerti, bahwa ayah-nya termasuk salah seorang anggota perse-kutuan
hendak menumbangkan kekuasaan raja. Kini ayahnya bahkan sudah menunjukan sikap
hidup terhadapnya. Karena itu, hatinya guncang. Kata-kata kebahagiaan kita
tiada batasnya terus saja mengiang-ngfang dalam pendengarannya.
Pikirnya,
dengan bantuan kompeni, ma-sakan Ayah tak mampu menumbangkan kerajaan. Ayahpun
cerdas, cermat dan pandai bekerja. Raja sekarang tak mampu menandingi. Kalau
Ayah sampai bisa naik tahta, bukankah aku menjadi putera mah-kota? Dengan
demikian, aku akan bisa mem-bahagiakan Ibu sebagai balas jasa pende-ritaan
hatinya.
Memperoleh
pikiran demikian, darahnya berdesir. Tak sengaja lantas saja ia memegang
pergelangan tangan ayah angkatnya dengan keras. Kemudian berkata seperti bersumpah,
"Ayah! Anakmu akan membantu usaha Ayah dengan segenap hati. Hal itu tak
usah Ayah meragukan."
Pangeran
Bumi Gede merasakan pegangan tangan Sanjaya. Hatinya girang dan bersyukur.
Terus saja berkata meyakinkan, "Aku seumpama Ki Ageng Pemanahan dan engkau
adalah Ngabehi Loreng Pasar )"!
Selagi
Sanjaya hendak menyahut, seko-nyong-konyong terdengarlah suara bergeresek di
antara tumpukan peti kayu. la mengernyit-kan dahi. Jantungnya berdegupan.
"Suara
apa itu?" Bisiknya.
Pangeran
Bumi Gede menoleh pula. Ia merenungi peti kayu "Rupanya ada binatang
tersekap di dalam-nya."
Mendengar
jawaban ayah angkatnya, Sanjaya berlega hati. Tetapi kemudian terde-ngarlah
suara Sangaji dan Titisari lagi lewat di sisi lumbung. Mereka membicarakan pula
kancing emas Pangeran Bumi Gede.
Celaka!
pikir Sanjaya. Kenapa tak kuketahui jatuhnya kancing Ayah. Segera ia membisiki
ayah angkatnya.
"Aku
akan memancing mereka meninggalkan lumbung ini. Hendaklah Ayah menero-bos ke
sana lewat dinding." Setelah berbisik demikian, ia melompat dan
menghampiri pintu depan. Kemudian melesat ke arah barat.
Titisari
yang bermata tajam melihat bayang-an berkelebat. Cepat ia memburu sambil
ber-teriak,
"Sangaji!
Dia di sini!"
Ilmu
lari Titisari cepat luar biasa berkat ajaran pendekar Gagak Seta. Tetapi begitu
sampai di ujung lumbung, bayangan itu tiada.
Sangaji
pun sewaktu mendengar seruan Titisari, segera memburu pula sambil ber-tanya,
"Apakah dia?"
"Siapa
lagi? Pastilah dia sudah bersembunyi di sini, semenjak kita mencari ubek-ubekan
di luar desa," sahut Titisari.
Mereka
melemparkan pandang kepada rumpun bambu. Sewaktu hendak melompat ke sana,
tiba-tiba semak pohon bergoyangan.
Dan
munculah Sanjaya dengan muka terbata-bata.
Sangaji
terkejut dan heran.
"Dimas
Sanjaya! Kau datang dari mana? Apakah kau melihat Pangeran Bumi Gede?"
"Apakah dia berada di sini?" sahut Sanjaya keheran-heranan.
"Dia
lewat di sini, sedang dikejar laskar Pangeran Ontowiryo," kata Sangaji.
"Agaknya dia bersembunyi di sekitar sini. Inilah kan-cingnya."
"Kancing?
Kancing baju maksudmu. Ha... kalau begitu... mestinya berada tak jauh di
sini," sahut Sanjaya tinggi.
Titisari
mengamat-amati Sanjaya. Ia curiga. Kemudian mencoba memancing, "Kita
berdua mencari engkau. Ke mana selama ini engkau pergi?"
Sanjaya
berhati-hati menghadapi gadis ini. Tapi dasar cerdik, lantas saja ia tertawa
peringisan.
"Semenjak
kemarin aku berada di luar rumah. Perutku membutuhkan peluang. Karena itu aku
pergi sebentar menjenguk su-ngai. Sayang di sini tiada sungai yang cukup
airnya. Terpaksa aku bertelur dalam gerombol pepohonan itu."
Titisari
tak berkata lagi, tetapi hatinya tetap curiga kepadanya.
"Dimas!
Inilah kesempatan yang bagus. Marilah kita cari," ajak Sangaji.
Jantung
Sanjaya berdegupan. Pikirannya sibuk menduga-duga, apakah ayah angkatnya sudah
lolos dari lumbung atau belum. Tetapi ia pandai menenangkan diri, agar tak
nampak perubahan mukanya. Dengan mengendapkan kecemasannya ia berkata,
"Bagus! Dia datang mengantarkan nyawa. Ayo! Pergilah Kangmas dan Nona
Titisari ke timur dan aku akan men-cari mengitari dari barat!"
"Baik,"
sahut Sangaji. Terus saja dia pergi bersama Titisari mengitari lumbung dari
sisi timur.
Tetapi
mendadak Titisari berbalik kem-bali dan berseru kepada Sanjaya.
"Biarlah
aku bersamamu mencari dari sisi barat. Aku yakin dia berada di sisi
barat."
Mendengar
seruan Titisari, Sanjaya kaget setengah mati. Rasa cemasnya melambung sampai ke
leher.
"Ayo!
Cepat! Jangan sampai dia kabur!" Segera ia mendahului lari mengitari sisi
barat.
Di
pojok belakang terdapat pintu butulan. ' Tanpa ragu-ragu ia mendorong. Kemudian
menggeledah di dalam di dekat tumpukan peti. Titisari mengikuti dari belakang
dan de-ngan cermat ia mengamat-amati gerak-gerik Sanjaya.
la
melihat Sanjaya membongkar tumpukan peti dan onggokan keranjang. Malahan bekas
dinding-dinding keropos diperiksanya pula. Nampaknya ia bersungguh-sungguh.
"Bagaimana?"
seru Titisari.
"Sebentar!"
sahut Sanjaya. Hatinya kini jadi girang, karena ayah angkatnya ternyata tiada
lagi. Maka dengan berani, ia mendepaki peti-peti dan melemparkan onggokan
keran-jang. Kemudian mulutnya seperti menyum-pahi.
"Hm...
kau manusia licin seperti belut! Seperti iblis! Masakan kau mampu meloloskan
diri? Hm... jangan mimpi."
Mendadak
ia mendengar suara gemeresek. Cepat ia berteriak, "Suara apa itu? Kangmas
Sangaji, ke mari!"
Mendengar
teriakan Sanjaya, Sangaji cepat menghampiri dengan hati girang. Titisari pun
tak terkecuali. Segera ia melompat meng-hadang pintu butulan. Tetapi ia melihat
dinding lumbung terbelah dari jepitannya. Segera otaknya yang cerdik lantas
saja dapat menebak.
"Saudara
Sanjaya, tak usah engkau ber-girang. Siang-siang dia telah kabur. Lihat!"
Sambil menunjuk diding lumbung, ia tertawa kecil dan berlaku lagi.
"Tak
usah engkau terlalu cermat mem-bongkari segala. Apa perlu membuat hati kita
berdebar-debar?"
Muka
Sanjaya merah padam, karena merasa terbongkar rahasia hatinya. Diam-diam ia
mengutuk dan menyumpahi kalang kabut. Katanya gugup bercampur mendongkol.
"Nona
Titisari mengapa engkau berkata begitu kepadaku?"
Sangaji
turut campur. Katanya menyabar-kan, "Titisari memang seorang gadis yang
nakal dan suka bergurau. Janganlah kata-katanya kau masukkan dalam hati."
Setelah berkata demikian, ia menunjuk ke lantai. Nampak sekali kubangan abu
bekas kena pantat. Katanya sambil menuding. "Ha... lihat! Benar-benar dia
pernah bersembunyi di sini."
"Lekas
kejar!" perintah Titisari. Cepat ia berputar dan hendak mengejar.
Tiba-tiba ter-dengar suara gemeresek di dalam peti. Mereka bertiga terkejut.
Titisari
seorang pemberani. Tetapi semenjak kanak-kanak takut pada suatu bunyi di dalam
peti atau tempat-tempat yang terbungkus. Maka segera ia mendekati Sangaji
sambil memegang tangan kekasihnya dengan erat-erat. Sebaliknya Sangaji hidup
lama di barat. Terhadap bunyi-bunyi aneh yang menerbitkan angan-angan kepada
setan atau iblis, sama sekali tabu baginya. Maka dengan lapang ia berkata
"Hm... jangan takut, Titisari. Paling-paling binatang kena sekap."
"Hai!
Jangan terpaku perkara tetek bengek! Lihat, dia lari ke sana!"
Sekonyong-konyong Sanjaya berteriak. Memang dia pintar luar biasa menghilangkan
rasa curiga. Segera ia melompat dan menerobos pintu butulan. Tetapi Titisari
tetap saja bercuriga kepadanya. Cepat sekali ia menjejak tanah. Dan sekali
melesat ia telah berhasil menyambar perge-langan tangan Sanjaya.
"Hai!
Kau mau apa?" Sanjaya terkejut. Ia kagum kepada kegesitan gadis itu.
Anehnya, begitu pergelangan tangannya kena tangkap, tenaganya seperti terlolosi.
Sama sekali tak diketahui, bahwa Titisari menggunakan ilmu tangkap ajaran Gagak
Seta yang rapih dan kuat luar biasa. Itulah sebabnya, tak berani dia mencoba
merenggut atau mengadakan perlawanan. Sebaliknya cepat-cepat ia mene-nangkan
hati dan menguasai diri.
"Kau
mau apa?" katanya lagi.
"Aji!
Bukalah peti itu!" perintah Titisari kepada Sangaji sambil tetap menerkam
pergelangan
tangan Sanjaya. Dia menduga, bahwa Pangeran Bumi Gede bersembunyi di dalamnya
dan Sanjaya sengaja hendak memancingnya.
"Apakah
si jahanam bersembunyi di dalam peti itu?" Sangaji menebak-nebak.
Titisari
mengerling kepada Sanjaya hendak membaca kesan mukanya.
"Apa
sebab engkau mengajak kita menero-bos ke luar?"
Gemetaran
dan mendongkol hati Sanjaya kena ditikam Titisari dengan pertanyaan itu. la
mengibaskan tangan membebaskan diri dari cengkeraman. Kemudian mengalihkan
pandang kepada peti mati. Meskipun ia melihat dinding lumbung terbuka, tetapi
hatinya masih sangsi
apakah
ayah angkatnya benar-benar
sudah kabur dan tidak bersembunyi di dalam peti itu.
Maka
berkatalah dia kepada Sangaji.
"Hati-hati
Kangmas Sangaji...!" katanya gugup. Meskipun kedengarannya ia memberi
peringatan tentang kemungkinan Pangeran Bumi Gede melepaskan senjata
pemunahnya, tetapi sebenarnya justru ia memberi kisikan kepada siapa yang
berada di dalam peti agar bersiaga.
Waktu
itu Sangaji sudah mendekati peti. Mendengar peringatan Sanjaya, ia berhenti.
"Apa katamu?"
Belum
lagi Sanjaya menjawab, Titisari menyahut, "Tindih saja dari atas!"
Sangaji tertawa. "Jangan takut. Tak bakal dia bisa lolos!"
Cepat
ia hendak melompat. Tetapi Titisari menyanggah katanya agak gugup.
"Tunggu
dulu! Biarlah kuhantamnya dengan ilmu pukulan Ayah. Meskipun aku belum mahir,
tetapi untuk meremukkan peti itu masih bisa."
Segera
ia mengumpulkan tenaga. Seperti diketahui, Titisari pernah mengeluarkan
pu-kulan itu, tatkala terjepit di halaman Kadipaten Pekalongan di dalam melawan
sang Dewaresi dan pendekar Abdulrasim. Pukulan itu terkenal dengan nama pukulan
melintang udara. Maksudnya memukul dari jauh. Yakni, dengan mengandalkan
hempasan lontaran tenaga dengan tata napas.
Dahulu
ia bisa mengibarkan lengan baju sang Dewaresi, sehingga pendekar itu jadi
terkejut dan tak berani berlaku sembarangan. Kini dia sudah memiliki sekelumit
ilmu sakti Gagak Seta. Meskipun belum sempurna, tetapi betapapun juga jauh
lebih maju daripada dahulu. Maka bisa diperacaya, bahwa pukul-annya akan
sanggup memecahkan peti. Tetapi tatkala dia hendak melontarkan pukulan,
mendadak terdengrlah suara mengeluh dan merintih, la terkejut sampai napasnya
tertahan. Kemudian meletuslah perkataannya dengan tergagap-gagap.
"Suara
perempuan! Perempuan...!"
Suara
keluhan dan rintihan itu terdengar halus mirip perempuan. Tapi bagi
pende-ngaran Sanjaya mengingatkan dia kepada erangan seorang ningrat. Karena
itu, keringat dinginnya sekaligus merembes keluar. Besar dugaannya, bahwa
itulah keluhan dan rintihan ayah angkatnya yang tak tahan lagi mencekap diri di
dalam peti. Maka hatinya terguncang bukan main.
"Dimas
Sanjaya! Ayo kita buka!" ajak Sangaji.
Sanjaya
telah mandi keringat. Terpaksa ia mengangguk, segera ia maju. Mendadak
ter-dengar lagi suara keluhan. Kali ini, hatinya lega bukan main. Karena suara
itu benar-benar suara seorang perempuan. Bahkan suara itu terdengar minta
pertolongan. Maka tiada ragu-ragu lagi, ia melompat dan merenggut tutup peti.
Sangaji
waktu itu mundur setengah langkah, tatkala melihat Sanjaya telah merenggut
tutup peti. Ia bersiaga hendak melepaskan serangan ilmu Kumajan Jati, manakala
suara itu adalah permainan sandiwara Pangeran Bumi Gede. Tetapi segera ia
memekik heran, karena yang rebah di dalam peti itu ternyata Nuraini.
"Titisari!"
pekiknya, "Lihat... Siapa dia?"
"Siapa?"
"Nuraini!"
Mendengar
keterangan Sangaji, gadis itu terus melompat dan menjenguk. Melihat cara
rebahnya Nuraini, tahulah dia bahwa Nuraini telah kena siksa. Cepat ia
memijat-mijat dan menarik Nuraini ke luar.
"Mengapa
engkau berada di sini?"
Rupanya
sudah lama Nuraini tersekap di dalam peti itu. Jalan darahnya seperti
tersumbat. Karena itu pula tak pandai menjawab pertanyaan Titisari. Mukanya
nampak kuyu. Rambutnya terurai. Bajunya robek-robek. Dan kainnya setengah
tersingkap dan tanpa ikat pinggang lagi.
Titisari
segera mengusir Sangaji dan Sanjaya agar menjauh. Kemudian dengan cekatan ia
menolong merapikan dandanan Nuraini. Sejenak kemudian... setelah agak rapi...
Nuraini baru bisa bersuara. Sebagai permulaan kata, ia menangis sedu sedan.
Kemudian berkata tersekat-sekat, "Aku kena ditawan dan diperkosa."
"Siapa?"
Titisari bergemetaran. Sebagai seorang gadis ia bisa merasakan penderitaan dan
penanggungan jenisnya. Tiba-tiba suatu bayangan berkelebat dalam benaknya.
Cepat ia menyusuli, "Apakah engkau ditawan si bangsat Dewaresi?"
Nuraini
membungkam. Tetapi ia mengang-guk, kira-kira satu bulan yang lalu, Nuraini di
desak Sanjaya agar mengundang gurunya Pringgasakti. Di tengah jalan ia bertemu
de-ngan sang Dewaresi. Meskipun pada mulanya ia kena di tolong Pringgasakti
dengan bantuan orang berjubah abu-abu, tetapi akhirnya kena tangkap lagi.
Semenjak itu ia menjadi tawanan sang Dewaresi. Beberapa kali sang Dewaresi
mencoba membujuk dirinya agar menuruti kehendaknya. Kehendak sang Dewaresi akan
mengambilnya sebagai selir. Tetapi dengan teguh hati ia menolak, karena
cintanya telah tertanam kuat pada Sanjaya.
Sang
Dewaresi tidak gampang putus asa. Sebagai seorang laki-laki yang sudah
ber-pengalaman, ia menggunakan akal. la kini bersikap keras. Anak buah dan
murid-murid-nya diperintahkan untuk mengancam dan menakut-nakuti. Meskipun
demikian, masih saja dia belum berhasil, Nuraini tetap kukuh. Akhirnya ia
menggunakan ilmu lunak.
Nuraini
selalu dibawanya pergi berjalan. Di sepanjang jalan ia memperlakukan Nuraini
sebagai isteri utamanya. Apabila dia bersinggah pada handai taulannya, selalu
diperkenalkan dengan penuh hormat. Sekalian anak buah dan murid-muridnya kini
bersikap lain pula. Mereka melayani dengan cermat dan menghormati. Ia sendiri
bersikap manis dan berbudi. Karena wajahnya memang tampan, sikapnya itu menambah
perbawa keagungannya.
Pada
waktu-waktu tertentu, ia membujuk kembali, merayu dan memaksa. Oleh keuletan
dan kesabarannya, akhirnya runtuhlah ben-teng Nuraini. Gadis itu menyerah
kalah.
Melihat
keadaan Nuraini kini sudah berubah, diam-diam giranglah hatinya. Seketika itu
juga, ia meranjangkan penyergapannya. Pada suatu hari, ia bermaksud pergi ke
Bumi Gede atas undangan Pangeran Bumi Gede. Tak lupa pula, Nuraini dibawanya
serta. Begitulah, tatkala tiba di Dusun Sarasan timbullah nafsu binatangnya.
Segera ia menghardik beberapa pengikutnya agar mendahului berjalan. Dia sendiri
kemudian menyeret Nuraini menghampiri lumbung desa. Pintu yang terpalang
kenceng, didupaknya sampai terjeblak. Itulah sebabnya, ketika Sangaji dan
Titisari hendak memasuki lumbung, pintunya dapat dibukanya dengan gampang.
Mereka berdua menduga, bahwa sebentar tadi pasti ada seseorang yang telah
memasuki lumbung, pintunya dapat dibukanya dengan gampang. Tetapi tak pernah
mengira, bahwa orang itu sesungguhnya sang Dewaresi. Demikianlah, maka Nuraini
diperkosanya satu malam suntuk. Tatkala laskar Pangeran Bumi Gede bertempur
melawan laskar Pangeran Ontowiryo, dia enak-enak menggerumuti mangsanya.
Mendadak saja ia mendengar Sangaji, Titisari dan Sanjaya memasuki lumbung.
Cepat ia menyekap Nuraini ke dalam salah sebuah peti yang cukup panjang.
Kemudian ia melarikan diri seperti anjing kena gebuk. Namun, ia hanya
bersembunyi di belakang rumpun bambu.
Keesokan
harinya ia hendak menjemput mangsanya. Tetapi ia melihat Sanjaya masih berada
di dalam lumbung. Terpaksa ia mengurungkan niatnya. Bukan karena takut kepada
Sanjaya, tetapi ia enggan bermusuhan dengan anak Pangeran Bumi Gede hanya
karena perempuan yang tak begitu berarti baginya. Untuk menghapuskan kesan,
segera ia mencari pengikut-pengikutnya. Menjelag siang hari ia lewat di depan
lumbung itu dan berbicara dengan Sanjaya. Mendengar bahwa Sangaji dan Titisari
masih berada di sekitar dusun itu, cepat-cepat ia
melarikan
diri, mengingat ia pernah mengadu tenaga dan jeri terhadap gurunya.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 22 MENUNTUT BALAS di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 22 MENUNTUT BALAS"
Post a Comment