BENDE MATARAM JILID 12 RADEN MAS SANJAYA
PANEMBAHAN
TIRTOMOYO memperlambat larinya. Akhirnya berjalan wajar seperti seseorang yang
lagi menikmati pemandangan. Ia menunggu kesan Sangaji. Tetapi ternyata kesan
Sangaji dingin membeku seolah-olah enggan menaruh perhatian. Diam-diam ia heran
atas tabiat pemuda itu yang tiada usilan. Pikirnya, hatinya beku sederhana.
Kokoh dan utuh. Bagus bakatnya. Kalau saja ia menemukan seorang guru yang
pandai mengenal pribadinya, kelak bakal jadi seorang kesatria-pendeta. Sebagai
seorang pendeta, lantas saja hatinya kian tertambat pada pribadi Sangaji.
Sangaji
sendiri waktu itu memang lagi berpikir lain. Dia hanya mendengar ujar
Panembahan Tirtomoyo dengan setengah hati, karena pikirannya mendadak melayang
kepada sahabatnya si pemuda kumal. Sesungguhnya dalam segala hal, hatinya lebih
tertarik pada gerak-gerik pemuda kumal itu daripada yang lain. Ia sudah
memperoleh kesan buruk terhadap si pemuda ningrat. Apa perlu hendak mengetahui
keadaannya lebih jauh? Inilah ciri-ciri pribadinya yang jauh berlainan daripada
kebanyakan manusia yang masih berdarah panas. Mungkin pula, usianya masih muda.
Hatinya masih hijau pupus terhadap segala persoalan hidup yang bernapaskan
lika-liku pelik.
Terhadap
si pemuda kumal, ia mempunyai kesan aneh. Teringat akan kepandaiannya yang
dapat mempermain-mainkan orang semacam Kartawirya, hatinya ikut bersyukur dan
girang luar biasa. Ingin ia hendak lekas-lekas bertemu agar dapat menumpahkan
semua perasaannya. Lalu ia teringat pula kepada lipatan kertas yang diberikan
kepadanya semenjak di Cirebon. Dua kali ia melalaikan pesannya agar membuka
lipatan kertas itu setelah dua hari dua malam. Tetapi oleh suatu kesibukan
pesannya belum dapat dilaksanakan. Tatkala pagi tadi dia menerima warta tentang
kedatangannya dari mulut pelayan losmen, ia lupa pula membuka lipatan kertas
itu karena terdorong rasa girang. Kini ia mau melakukan tegoran sahabatnya itu.
Diam-diam
ia merogoh kantungnya. Ternyata lipatan kertas itu masih mengeram baik-baik.
Segera ia hendak merogoh, mendadak mendengar Panembahan Tirtomoyo berkata
seolah-olah mendesak.
“Pernahkah
kamu mendengar tentang seorang pendeta edan-edanan bernama Ki Hajar
Karangpandan?”
Sangaji
mengangguk. Memang ia pernah mendengar nama itu. Pertama-tama keluar dari mulut
kedua gurunya. Kedua, dari mulut Ki Tunjungbiru tatkala mengisahkan riwayat
pertemuannya sehingga orang tua itu terikat oleh suatu perjanjian tiada kawin
selama hidupnya.
“Dia
seorang guru besar,” ujarnya dingin. Ia teringat kepada pemuda Surapati yang
mengabarkan dirinya sebagai murid Ki Hajar Karangpandan di samping sahabatnya
semasa kanak-kanak Sanjaya.
“Dialah
guru pemuda itu.”
“Sudah
kuduga sebelumnya, karena gerak-geriknya mirip dengan seorang pemuda yang
pernah berkelahi denganku di Jakarta.”
“Siapa
pemuda itu?”
“Namanya
Surapati. Dia adik seperguruan teman sepermainanku semasa kanak-kanak.” “Hm.”
Panembahan Tirtomoyo berdengus melalui hidungnya. “Akupun segera mengenal
tata-ilmu berkelahinya. Itulah gaya adik kandungku Hajar edan.”
Mendengar
keterangan Panembahan Tirtomoyo bahwa Ki Hajar Karangpandan adalah adik kandung,
terperanjatlah Sangaji mengingat bahwa dia sampai berkelahi melawan
murid-kemenakannya, hatinya merasa bersalah. Cepat-cepat dia berkata, “Aki!
Kalau begitu aku bersalah terhadap Aki karena berkelahi melawan kemenakan murid
Aki. Aku mohon maaf sebesar-besarnya. Alasan perkelahian itu sebenarnya hanya
berkisar pada soal perjodohan. Dia hendak mengingkari janji dan menghina
kehormatan seorang gadis dengan terang-terangan di muka umum. Sekiranya aku
tahu dia adalah murid adik Aki, bagaimana aku berani berlaku lancang ...”
Panembahan
Tirtomoyo tertawa perlahan.
“Tak
perlu kamu minta maaf padaku. Bahkan aku periu menyatakan kekagumanku. Hatimu
amat mulia, bocah. Aku senang padamu. Kau tahu, meski pun adikku seorang
pendeta edan-edanan, tapi hatinya jujur bersih. Tak bakal ia membantu muridnya
dengan membabi buta. Tak bakal pula dia membiarkan muridnya merusak namanya.
Kautahu, karena demi nama, adikku bersedia berkelahi mengadu nyawa. Demi nama,
dia berani menyiksa diri tidak kawin sepanjang hidupnya. Demi nama pula, dia
terikat oleh suatu perjanjian dengan dua orang pendekar utama pada jaman ini.”
la berhenti mengesankan. “Bocah! Siapakah sebenarnya nama kedua gurumu dan kamu
berasal dari mana? Menilik tata bahasamu kamu bukan seorang anak yang hidup di
tengah pergaulan daerah Jawa Tengah.”
Dua
belas tahun lamanya Sangaji hidup di kota Jakarta. Meskipun dapat berbicara
bahasa-daerah Jawa Tengah dengan lancar, tetapi bahasa sehari-sehari yang
digunakan ialah bahasa Melayu Jakarta. Itulah sebabnya bagi pendengaran orang
Jawa Tengah, tutur katanya terdengar kaku.
Sangaji
menatap pandang Panembahan Tirtomoyo. Terhadap orang sesaleh dia, tak perlu ia
menaruh keberatan menyebut nama kedua gurunya.
“Guruku
dua orang. Yang berusia tua bernama Jaga Saradenta dan berusia pertengahan,
Wirapati.”
“Ah!”
seru Panembahan Tirtomoyo terkejut. “Masa kamu murid mereka? Kabarnya dua orang
itu, sekarang berada di daerah barat.”
“Benar.”
Sahut Sangaji dengan hati bangga. “Beliau berdua berada di Jakarta selama
mengasuhku.”
“Eh
... jadi... jadi kaukah bocah pertaruhan itu?”
Sangaji
menebak-nebak arti kata orang tua itu. Terus terang, dia belum bisa menanggapi.
“Pertaruhan?”
tanya Sangaji minta penjelasan.
“Ya,
bukankah kamu anak yang dijadikan pertaruhan antara kedua gurumu dan Hajar? Dua
tahun yang lalu, aku berjumpa dengan Hajar di dekat Desa Bekonang. Dia
menceritakan seperti itu demi kehormatan diri masing-masing.”
“Ah,
itukah maksud Aki?” Sangaji baru mengerti. Lalu ia mengangguk.
“Kamu
tahu, diapun anak yang dipertaruhkan.”
“Dia
siapa?”
“Pemuda
keagung-agungan tadi.”
Mendengar
keterangan Panembahan Tirtomoyo tentang si pemuda ningrat yang senasib
dengannya, rasa dengkinya turun. Ia malah tertawa perlahan karena geli.
“Ia
dipertaruhkan untuk bertanding melawan siapa?” “Melawanmu.”
“Aku?”
Sangaji heran.
“Ya,
karena dia itulah Sanjaya.”
Kalau
orang kaget disambar petir, tidaklah sekaget Sangaji. Pandangnya lantas saja
jadi kabur dan hatinya memukul keras. Kakinya terasa menjadi kejang. Dan dia
berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak. Bagaimana tidak? Nama Sanjaya tak pernah
hilang dalam perbendaharaan benaknya, sebagai teman sepermainan masa
kanak-kanak.
Ibunya
selalu menderukan nama itu berulang kali, setiap kali membicarakan hal-hal yang
terdapat di dalam daerah Jawa Tengah. Maksud ibunya hendak menanamkan bibit
persahabatan sekuat-kuatnya dalam hatinya. Tatkala harus berguru pada Jaga
Saradenta dan Wirapati, diapun sadar apa guna-faedah-nya. Juga kala dia harus
berangkat ke Jawa Tengah. Perjalanan itu semata-mata untuk urusan pertemuannya
dengan temannya sepermainan masa kanak-kanak, si Sanjaya. Karena itu, sepanjang
perjalanan ia selalu mengharapkan suatu pertemuan selekas mungkin,
sampai-sampai ia mengira si pemuda kumal adalah Sanjaya. Tak tahunya, kini dia
malah bisa bertemu tanpa perantaraan kedua gurunya. Cuma saja terjadinya
pertemuan itu, mengapa begitu rupa? Ingin dia membantah keterangan Panembahan
Tirtomoyo. Alasannya kuat pula. Pertama-tama, Sanjaya bukanlah anak seorang
ningrat. Dia anak almarhum sahabat ayahnya. Sama-sama anak kampung seperti
dirinya. Kedua, barangkali dia adalah murid Ki Hajar Karangpandan yang lain
seperti Surapati. Dan ketiga, seumpama si - pemuda ningrat itu benar-benar
Sanjaya, masa tak mengenal dirinya? Masa dua belas tahun bisa berubah sehebat
itu seperti membalik bumi. Tapi ia terperanjat sendiri, jika teringat kalau
diapun tak mengenal siapakah si pemuda ningrat itu. Memperoleh pertimbangan
demikian, seluruh tubuhnya lantas menjadi lemas.
Gap-gap
ia menatap muka Panembahan Tirtomoyo untuk mencari keyakinan. Sesungguhnya
alasan untuk tidak mempercayai orang tua itu, tidak ada sama sekali. Wajah itu,
begitu alim dan saleh. Dia bukan termasuk golongan orang yang bisa bergurau.
Memikir demikian hatinya kian memukul sampai terdengar berdegupan.
“Aki!”
katanya perlahan-lahan setengah berbisik. “Sekiranya dia benar teman
sepermainanku Sanjaya, mengapa dia menghina diri seorang gadis di depan umum.
Seumpama dia enggan mengawini Nona itu, apakah jadinya?”
Benar-benar
Sangaji pemuda yang beku dan bersih hati. Tak gampang-gampang melupakan perkara
perjodohan Nuraini. Rupanya sesuatu hal yang menusuk perasaan tetap saja
melekat pada perbendaharaan kalbunya.
Panembahan
tersenyum melihat tata-peng-ucapan hatinya. Ia menjawab seperti menggurui, “Bocah,
benar-benar kamu berhati mulia. Melihatmu, lantas saja timbul keheranan mengapa
adikku bisa mendapat murid seperti Sanjaya. Apakah dia tak memperhatikan
nilai-nilai budi pekerti? ... “ ia berhenti, merenung-renung. Kemudian
meneruskan sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Baiklah kupinta penjelasannya.
Beberapa hari ini dia akan sampai juga di kota ini.”
“Siapa?”
“Adikku
Hajar Karangpandan.”
Mendengar
jawaban Panembahan Tirtomoyo, diam-diam Sangaji bergirang hati. Ia berharap,
kedua gurunya sampai pula.
“Bocah,
sebenarnya kamu harus memikirkan kepentinganmu sendiri. Kamu bakal di uji dan
mendapat ujian berat. Sebab bagaimanapun juga, Sanjaya adalah murid adikku.
Pastilah dia telah memiliki bermacam-macam ilmu jasmaniah dan mantran.” Kata
Panembahan
Tirtomoyo mengesankan. “Pernahkah - kamu mendengar tentang ilmu mantran?”
“Apakah itu?”
Panembahan
Tirtomoyo tertawa dalam dada. Sambil membimbing Sangaji ia berkata, “Dengar! Di
dalam pergaulan hidup ini, tidak selamanya berjalan di atas nilai-nilai
tata-jas-maniah yang wajar. Sejarah manusia menemukan sesuatu
pengucapan-pengucapan lain oleh pengalaman usia manusia itu sendiri. Penemuan
itu disebut tata-gaib.”
“Apakah
itu?” Sangaji heran.
“Suatu
derun pengucapan manusia yang mulai meragukan kemampuan tenaga jasmaniah untuk
mencapai sesuatu maksud. Mengapa, anakku? Inilah alasannya.” Kata Panembahan
Tirtomoyo menggurui. “Manusia ini mempunyai perlengkapan jasmani yang cukup
sempurna untuk menyatakan ungkapan hati. Manusia mempunyai dua buah mata, dua
tangan, dua kaki dan tulang-belulang lengkap dengan otot-otot serta segalanya.
Tetapi anakku, apakah benar perlengkapan jasmani itu mampu menguber tiap derun
angan manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Bahkan terasa dalam hati, bahwa
perlengkapan tubuh alangkah kerdil. Mata umpamanya, selagi terhalang oleh
dinding saja, sudah terasa kerdil. Karena mata tak kuasa menembus. Lengan dan
tangan sekalipun cekatan dan perkasa, apakah mampu memeluk gunung atau
menggempur bukit? Begitu juga kaki walaupun teguh sentosa bagaikan pohon besi,
apakah sanggup pula melompati luasnya lautan?”
“Lantas?”
Sangaji tertarik hatinya.
“Oleh
kenyataan yang mengecewakan derun angan itu, manusia mulai menggali dan
menggali. Akhirnya diketemukan suatu perlengkapan lain yang dapat mengatasi dan
mampu menguber setiap angan.”
“Apakah
itu?”
“Cipta.”
Panembahan Tirtomoyo menyahut cepat. “Kalau mau disebutkan selengkap-lengkapnya
ialah: Hidup, Gerak, Rasa, Cipta, dan Karsa. Inilah alat tata-rasa jasmaniah
manusia. Karena tidak nampak, maka tata-rasa itu disebut golongan rohaniah.
Nah, tata-rasa ini mempunyai pengucapan-pengucapan sendiri, kemampuan-kemampuan
sendiri dan laku sendiri. Mengingat tata-rasa sebagai suatu alat manusia, harus
juga mengalami suatu latihan tertentu. Bukan seperti tata-jasmani yang
mengutamakan latihan raga, tetapi lebih mengutamakan pengendapan. Inilah yang
di-sebut orang laku bertapa. Orang mengurangi! laku makan-minum dan tidur.
Mengapa begitu? Karena manakala manusia tidak makan-minum dan tidur, terjadilah
suatu pembakaran dalam tubuh. Itulah akibatnya pemberontakan dan kegiatan
tata-rasa yang butuh nada pelepasan. Seperti sebuah roda berputar akan berbunyi
bergeritan dan panas, ketika orang mencoba menekannya kuat-kuat. Apabila
tekanan dilepaskan, dengan mendadak saja roda itu akan berputar kencang
berdesingan karena endapan tenaga yang tertekan.”
Panembahan
Tirtomoyo berhenti mencari kesan. Ketika melihat Sangaji benar-benar merasa
tertarik, ia meneruskan seperti sedang menggurui, “Seumpama sebuah bendungan
air yang tergenang arus air terus-menerus, membutuhkan suatu pelepasan teratur.
Air itu akan menggoncangkan segala dan menjebol mengikuti saluran di mana saja
terjadi. Begitu juga luapan tata-rasa itu akan menurut kehendak angan manusia
bagaikan suatu saluran tertentu. Maka karena pengalaman manusia pula,
terjadilah suatu istilah-istilah penggolongan saluran tata-rasa yang disebut
orang mantran. Pernahkah kamu mendengar istilah-1 istilah seperti Mantran
kekebalan, Ismu petak, Ismu Aji Gajah Wulung, Ismu Gunting, Mantran Sapu Jagad,
Aji Welut Putih, Aji Bragola, Aji Brajalamatan, Aji Jayengkaton dan bermacam
mantran dan aji lainnya? Itulah seumpama saluran-saluran sebuah bendungan air
yang sedang memberontak. Hebat tenaganya, dan memiliki tata-kerja yang tak
dapat dilawan oleh tata-kerja jasmaniah. Itulah sebabnya, maka tata-kerja
tenaga itu disebut tata-gaib. Barangsiapa yang lebih kuat maka dialah yang
menang.”
Mendengar
tutur-kata Panembahan Tirtomoyo, Sangaji merenung-renung. Akhirnya berkata,
“Apakah Sanjaya memiliki tenaga ajaib itu?”
“Adikku
memiliki bermacam mantran dan aji. Apakah Sanjaya diwarisi ilmu saktinya, kita
lihat nanti. Tetapi kamu tak usah berkecil hati. Aku berada di sampingmu. Kalau
adikku bermain ugal-ugalan, biarlah aku nanti yang meladeni.” Sangaji
mengernyitkan dahi. Panembahan Tirtomoyo mengira dia sedang dalam
keragu-raguan. Mau dia membesarkan hatinya, mendadak Sangaji berkata di luar
dugaan.
“Tapi
... bagaimana nasib gadis tadi? Apakah kita biarkan dia meradangi nasibnya yang
buruk?”
“Ah!”
Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Kemudian ia tertawa geli sampai tubuhnya
bergoncang-goncang. “Bocah! Benar-benar kamu tak mau memikirkan kepentingan
dirimu sendiri. Alangkah mulianya hatimu. Baik, ayo kita jenguk keadaan gadis
itu. Kulihat tadi, hatinya keras sampai mau bunuh diri di depan umum. Aku
khawatir, kalau dia mau melakukan perbuatan terkutuk itu di dalam penginapannya
... Ayo!”
Habis
berkata demikian dengan sebat pergelangan tangan Sangaji disambarnya. Kemudian
dibawa lari secepat angin. Diam-diam Sangaji mengagumi ilmu larinya, dilihat
dari tata mata, dia sudah berusia lanjut. Tak tahunya gerakannya gesit luar
biasa sampai dia sendiri terasa dibawa terbang melintasi tanah.
Sebentar
saja mereka telah tiba di tempat pemberhentian kuda. Dengan gampang mereka
menemukan losmen miskin yang berdiri di dalam gang kecil. Tatkala mereka hendak
memasuki pintu pagar, serombongan polisi daerah datang menyambut sambil
memperlihatkan sepucuk surat lipatan.
“Tuan-tuan
berdua mendapat undangan Raden Mas Sanjaya agar sudi berkunjung ke istana
Kadipaten. Inilah surat undangan beliau.”
Panembahan
Tirtomoyo diam menimbang-nimbang. “Baiklah. Sampaikan saja, kalau kami berdua
akan segera datang.”
Setelah
berkata demikian, dengan menggandeng tangan Sangaji ia memasuki losmen.
Rombongan polisi daerah itu, lantas saja mengundurkan diri. Rupanya mereka
telah agak lama menunggu kedatangan mereka berdua. Begitu selesai melakukan
tugas, cepat-cepat meninggalkan serambi losmen.
“Sangaji!
Baiklah kita datang saja. Di sana kamu bakal ketemu dengan Sanjaya. Mungkin
pertemuan itu akan mendatangkan angin bagus.”
Sangaji
mengangguk. Hatinya girang. Memang ia merasa menyesal, mengapa sampai
bertengkar dengan temannya itu. Seumpama siang-siang dia mengetahui siapa
pemuda ningrat itu sebenarnya, takkan terjadi peristiwa demikian.
Waktu
memasuki kamar, mereka melihat Mustapa sedang merebahkan diri di atas
pembaringan. Kedua pergelangan tangannya membengkak dan berwarna biru. Nuraini
yang terluka dadanya, duduk di sampingnya dengan wajah kebingungan. Alangkah
dia bergirang hati, tatkala melihat kedatangan mereka. Gugup ia mempersilakan
duduk di atas kursi, sedang dia sendiri tetap berada di tepi pembaringan.
Panembahan
Tirtomoyo membuka bebat yang melilit pergelangan, kemudian memeriksa dengan
cermat. Tulang pergelangan kedua belah tangan patah. Itulah kejadian lumrah
dalam suatu pertarungan. Hanya saja bengkak itu nampak tersembunyi
bentong-bentong merah hitam seperti kena bisa ular.
Ih,
aneh! pikir Panembahan Tirtomoyo. Biarpun Hajar memiliki ilmu mantran
pelik-pelik, tetapi tak mungkin mengantongi suatu mantran jahat. Sanjaya terang
anak murid Hajar. Dari manakah dia mempunyai ilmu pukulan begini berbisa?
Selagi
Panembahan Tirtomoyo sibuk menebak-nebak, Sangaji mengawaskan Nuraini yang
selalu menunduk dalam, la jadi perasa. Ingin ia membesarkan hatinya dan
menyatakan pula bersedia membela kehormatannya betapa besar akibatnya.
Tak
lama, Panembahan Tirtomoyo merogoh kantung sakunya dan mengeluarkan sebuah
kotak kecil terbuat dari kayu.
“Siapakah
namamu?” katanya pada Nuraini.
Nuraini
menegakkan kepala.
“Nuraini
binti Maksum.”
“Dialah
ayahmu?”
“Bukan.
Dia ayah angkatku. Namanya Mustapa.”
Panembahan
Tirtomoyo tak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan, “Ayah angkatmu
kena pukulan beracun. Kebetulan aku mengantongi sebuah kotak kecil berisi bubuk
daun Sangkalputung. Daun ini sangat mustajab untuk memulihkan tulang patah.
Nanti kutolong menyambungkan tulangnya yang patah. Hanya saja aku
mengkhawatirkan bentong-bentong racun itu. Kamu perlu merawatnya hati-hati.”
Nuraini
terperanjat. Sangajipun kagetnya pula.
“Kena
racun? Kapan dia kena racun?”
“Dia
bukan kena racun, tetapi kena. pukulan beracun. Rupanya Sanjaya mempunyai pukulan
berbisa yang berbahaya. Darimana dia mendapat pukulan itu, sulit aku
menebaknya. Jelas sekali pukulan demikian, bukan berasal dari Hajar. Pasti ada
lika-likunya di belakang kejadian ini.”
Sangaji
diam berpikir keras. Ia mencoba mengingat-ingat perkelahian antara Sanjaya dan
Mustapa. Sanjaya tadi hanya mengembangkan ke lima jarinya seperti hendak
mencakar. Lalu diterkamkan dan menyambar pergelangan. Serangan inilah yang
mematahkan pergelangan tangan Mustapa.
“Tak
mungkin! Tak mungkin!” dia komat-kamit.
Panembahan
Tirtomoyo yang sedang menyambung tulang pergelangan, menoleh. “Apanya yang tak
mungkin?”
“Sebab-musabab
patahnya tulang perge-langannya, masih teringat segar dalam benakku. Dia kena
serangan aneh semacam jurus milik Pringgasakti.”
“Apa
katamu?” Panembahan Tirtomoyo terperanjat, la nampak menguasai diri, karena
tengah menyambung tulang. Setelah selesai, segera ia menyuruh Nuraini
memborehkan bubuk Sangkalputung dan membebatnya rapi. Kemudian membawa Sangaji
ke luar losmen.
“Kamu
tadi mnegatakan apa?”
Sangaji
mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Pringgasakti di sebuah bukit daerah
Cibinong. Karena pengalamannya itu, gerakan serangan Sanjaya mengingatkan dia
kepada gaya Pringgasakti.
“Ah!
Bukankah Pringgasakti si iblis itu? Masa dia masih hidup pada jaman ini?”
potong Panembahan Tirtomoyo gugup. Ia mempercepat langkahnya seolah-olah hendak
memburu sesuatu.
Sangaji
mencoba membicarakan Pringgasakti menurut pendengarannya dari omongan kedua
gurunya. Panembahan Tirtomoyo mendengarkan dengan berdiam diri. Diam-diam ia
mulai curiga pada murid adik kandungnya.
“Kau
bilang, gurumu Jaga Saradenta melihat Pringgasakti berjalan bersama Pangeran
Bumi Gede di Jakarta?” dia menegas.
“Begitulah
kata guruku Jaga Saradenta.”
Panembahan
Tirtomoyo menaikkan alisnya, tetapi tidak mengucap sepatah kata lagi. Dengan
berdiam diri ia menggandeng Sangaji memasuki halaman Kadipaten Pekalongan yang
lebar dan luas. Pendapa Kadipaten bagaikan sebuah pendapa pangeran-pangeran
pati di Surakarta atau Yogyakarta. Teguh, tegak dan mentereng. Di sana nampak
segerombolan orang yang mengenakan pakaian daerah masing-masing.
“Sangaji,
dengarkan!” bisik Panembahan Tirtomoyo. “Dalam hal kecerdikan dan pengalaman
bergaul dalam dunia luas ini, kamu kalah dengan Sanjaya. Karena itu mulai
sekarang kamu harus bersikap hati-hati dan waspada. Jangan biarkan hatimu
dikisiki luapan perasaan belaka. Kuasailah dirimu sebaik mungkin! Bergaul
dengan penguasa-penguasa negara tak boleh menyatakan perasaan hati dengan
terang-terangan. Kau mengerti?” Sangaji mengangguk.
“Bagus!”
Panembahan Tirtomoyo gembira-melihat Sangaji mendengarkan nasehatnya.
Meneruskan, “Lebih baik kamu tak dikenal mereka daripada memperkenalkan diri
dengan terang-terangan. Ada guna faedahnya. Karena itu, janganlah kamu menyapa
Sanjaya dahulu. Lain kali masih ada kesempatan. Kini bersikaplah wajar seperti
tadi. Selain dirimu aman, kamu mempunyai kesempatan mengamat-amati dia sebelum
bertanding. Dengan begitu, kamu bisa menempatkan diri kelak dalam gelanggang
pertandingan.”
Sangaji
tak menyetujui nasehat yang terakhir ini. Hatinya yang jujur bersih emoh
berbuat suatu laku curang. Tetapi tatkala hendak membuka mulut, tiba-tiba
Panembahan Tirtomoyo seperti telah dapat membaca hatinya.
“Bukankah
kamu tadi telah mendapat pe-. ngalaman, bagaimana licinnya lawanmu? Dalam suatu
pertandingan, orang tak boleh hanya mengutamakan keuletan tenaga belaka.
Sebelum kamu memasuki wilayah Jawa Tengah, bukankah kamu telah diselidiki
terlebih dahulu? Kau tadi bilang perkara perkelahianmu melawan pemuda Surapati
adik seperguruan Sanjaya.”
Teringat
akan Surapati, Sangaji terkesiap. Barulah sekarang dia mengerti tentang arti
kedatangan pemuda itu di Jakarta dan dengan sengaja menantang berkelahi tanpa
sesuatu, alasan tertentu. Sebagai seorang pemuda yang masih jujur bersih dan
tak pernah pula memikirkan tentang hal-hal yang tiada lurus biar selintaspun,
lantas saja timbul rasa dengkinya pada pemuda Surapati. Mendapat perasaan
demikian, ia kemudian mengangguk tanpa ragu-ragu lagi.
Sanjaya
yang berada di pendapa, waktu itu datang menyambut kedatangan Panembahan
Tirtomoyo. la tertawa berseri-seri seraya berkata merendahkan diri.
“Paman
benar-benar sudi berkunjung di rumah pondokanku. Meskipun rumah ini bukan rumah
sendiri, tetapi aku mendapat kebebasan luas untuk berlaku sebagai tuan rumah.
Nah, selamat datang Paman. Selamat datang pula kuucapkan pada sahabat kecil
ini.”
Sangaji
mengangguk. Hatinya tiba-tiba menjadi pedih, melihat sepak-terjang dan perangai
temannya sepermainan dahulu. Dengan pandang tajam ia mengamat-amati dan mencoba
mencari-cari suatu ingatan dalam masa kanak-kanaknya. Lapat-lapat dikenalnya
pula potongan tubuh dan raut-muka temannya itu. Justru ia memperoleh ciri-ciri
ingatan, jantungnya memukul keras. Untung, ia tadi telah menerima nasehat
Panembahan Tirtomoyo. Maka cepat-cepat ia menguasai luapan perasaannya, sampai
mukanya merah padam.
Sanjaya
tersenyum melihat perubahan air muka Sangaji. la mengira olok-oloknya dengan
menggunakan istilah sahabat kecil, mengenai sasaran dan tetamunya tak dapat
berkutik untuk membalas permainannya. Sebaliknya Panembahan Tirtomoyo kelihatan
mendongkol. Lalu ia mendamprat, “Berapa tahun kamu menjadi murid gurumu sampai
kau tak mengenal tata-istiadat?”
“Itulah
celakanya, kalau seseorang menekuni pelajaran suatu ilmu acak-acakan,” sahut
Sanjaya dengan tertawa lebar. Maksudnya hendak merendahkan diri, tapi justru
menikam kehormatan gurunya sebagai adik kandung Panembahan Tirtomoyo. Maka
orang tua itu membentak tajam.
“Meskipun
gurumu orang edan-edanan, ilmunya bukan ilmu acak-acakan. Gurumu bakal tiba di
sini, mengapa kamu berani merendahkan keharuman namanya?”
“Guruku
telah berada di sini, malah. Apakah Paman ingin bertemu dengan beliau?”
Panembahan
Tirtomoyo heran sampai terhenyak. Berkata menebak-nebak, “Di mana dia sekarang?
Coba panggil! Aku mau bicara!”
“Silakan
masuk. Segera akan kuundangnya kemari,” sahut Sanjaya. Ia kemudian memanggil
salah seorang penjaga dan membisikkan suatu kalimat perintah.
Panembahan
Tirtomoyo dan Sangaji kemudian memasuki pendapa kadipaten. Pendapa itu
benar-benar mentereng dan penuh hiasan beraneka-warna.
Bukan
sekali dua kali Sangaji pernah melihat gedung-gedung mentereng. Sudah sering
dan sudah pula menjadi suatu penglihatan lumrah dalam sehari-harinya ketika
masih berada di Jakarta. Tetapi pendapa Kadipaten Pekalongan ini, memang
benar-benar istimewa. Kesannya lain daripada gedung-gedung mentereng milik
bangsa Belanda atau Tionghoa.
Hiasannya
khas selera Jawa Tengah. Berwibawa, angker dan indah. Di sudut sana berdirilah
seonggok tombak pusaka dengan didampingi payung emas. Kemudian gambarraja
Susuhunan Surakarta lengkap dengan permaisuri dan keturunannya. Pada dinding
lain tergantunglah bermacam-macam hiasan yang terbuat dari emas dan perak
dengan diselang-seling hiasan terbuat dari beludru mahal dan kain batik
pilihan. Di atas lantai tergelarlah dua perangkat gamelan Pelok dan Selendro
yang terawat baik-baik. Nampak pula sebuah kotak wayang kulit yang berdiri di
antara pot-pot tetanaman. Di hampir tiap sudut pendapa duduklah beberapa
penjaga siap dengan senjatanya. Dan di dekat pintu masuk yang dihiasi gambar
sepasang muda-mudi lagi berkasih-kasihan, nampak enam dayang-dayang duduk bersila
dengan kepala menunduk.
Sanjaya
segera memperkenalkan dengan tetamu-tetamu undangan lainnya yang terdiri dari
dua puluh orang. Di antara mereka nampaklah Manyarsewu pendekar sakti dari
Ponorogo, Yuyu Rumpung, Cocak Hijau dan dua orang opsir Belanda.
“Inilah
Cak Abdulrasim dari Madura. Dan ini Putut Tunggulnaga dari Kediri,” kata
Sanjaya lagi. Kemudian berturut-turut ia menyebut nama-nama, Sawungrana dari
Surabaya, Glatikbiru dari Banyuwangi, Wiryadikun dan Somakarti dari Surakarta,
Wongso Gdel dari Blora, Jokokrowak dari Kudus, Orang-aring dari Maospati,
Trunaceleng dari Sragen. Keyong Growong dari Cirebon, Munding Kelana dari
Indramayu, Banyak Codet dari Cilacap, Sintir Modar dari Bagelen dan Gajah Banci
dari Semarang.
Panembahan
Tirtomoyo tercengang-cengang hingga dia sibuk menduga-duga, “Aneh, mengapa
benggolan-benggolan dari semua penjuru berkumpul di sini?”
Sebagai
seorang bekas pendekar alam yang banyak mempunyai pengalaman, sudah barang
tentu mengenal nama-nama dan gelar mereka semua. Karena itu dia kini bersikap
hati-hati dan berwaspada.
“Ah,”
katanya merendahkan diri. “Tak berani aku menerima kehormatan begini besar
sampai pula diperkenalkan dengan para pendekar sakti.” Sekonyong-konyong
terdengarlah suara parau seperti burung betet pendekar sakti.
“Eh—semenjak
kapan Panembahan Tirtomoyo bekerja sama dengan Jaka Saradenta Gelondong
Segaloh?”
Panembahan
Tirtomoyo terkejut. Suara itu luar biasa tajamnya dan mempunyai tenaga mantran.
Cepat-cepat ia mengatur pernapasan dan menenteramkan diri sambil melayangkan
pandangnya ke arah datangnya tegoran. Ternyata yang berbicara adalah Yuyu
Rumpung si pendek buntet. Memang orang itu masih penasaran menyaksikan
kemenakan muridnya kena dipermain-mainkan oleh si pemuda kumal sahabat Sangaji.
Sebagai seorang yang luas pemandangannya, lantas saja dapat menebak perhubungan
antara Sangaji dan si pemuda kumal. Diapun dapat menebak ilmu tata-berkelahi
Sangaji. Maklumlah, dia berasal dari Banyumas dan menjadi penasehat sang
Dewaresi. Dengan sendirinya mengenal juga siapa Jaga Saradenta. Bukankah dia
paman Kodrat yang dahulu pernah menjadi salah seorang bawahan sang Dewaresi?
Sehabis melepaskan tegoran untuk mempengaruhi keadaan, ia berjalan menghampiri
Panembahan Tirtomoyo.
“Ih!
Belum pernah aku bertemu denganmu seperti air kali dan air telaga, mengapa kamu
tiba-tiba bersikap demikian garang?” kata Panembahan Tirtomoyo di dalam hati.
Menimbang kalau orang itu bukan tokoh sem-barangan, maka dia bersikap sabar.
Dengan sopan ia menyahut, “Nama dan gelar Tuan telah lama kukenal. Mengapa Tuan
salah duga terhadapku?”
Yuyu
Rumpung tertawa riuh sampai perutnya terguncang-guncang. Berkata nyaring,
“Bukankah Tuan yang terkenal dengan nama Panembahan Tirtomoyo?”
'Tak
berani aku memperkenalkan diri dengan sebutan sementereng itu. Namaku
sebenarnya Tunggulgeni. Gubukku berada di Tirtomoyo. Hanya orang yang salah
dengar menyebut diriku sebagai Panembahan Tirtomoyo.”
Yuyu
Rumpung tak mempedulikan sikap orang yang begitu sabar dan sopan-santun.
Tabiatnya memang keras dan mau menang sendiri. Sepak terjangnya galak dan
gampang marah. Itulah sebabnya, meskipun hampir semua bawahan sang Dewaresi
dalam asuhannya, tidak ada seorangpun yang berhasil mewarisi ilmu
kepandaiannya.
Dia
lantas saja melototkan pandang kepada Sangaji. Tanpa sungkan-sungkan, tangannya
mencengkeram hendak merenggutkan rambut Sangaji. Gntung Sangaji cukup
berwaspada. Melihat gerakan orang, cepat ia mundur selangkah. Panembahan
Tirtomoyo sendiri lalu maju melindungi.
“Bagus!
Bagus! Kau melindungi kelinci cilik ini!” Yuyu Rumpung mengumbar amarahnya.
Terus saja ia menyambar dada Panembahan Tirtomoyo.
Melihat
orang demikian galak, Panembahan Tirtomoyo tak dapat bersikap mengalah lagi.
Cepat ia mengangkat tangan bersiaga menangkis. Sekonyong-konyong, sewaktu kedua
tangan perkasa akan saling berbenturan, berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan
itu menangkap tangan Panembahan Tirtomoyo dan tangan Yuyu Rumpung dengan
berbareng dan dilontarkan. Hebat akibatnya. Kedua orang sakti itu dapat
dipentalkan sampai mundur dua langkah. Mereka jadi tercengang-cengang, karena
kalau bukan orang tangguh takkan mungkin mampu mementalkan tangan mereka.
Dengan
tak setahunya sendiri, mereka mengawaskan pemisah itu. Dia adalah seorang
laki-laki berumur kira-kira 36 tahun. Pakaiannya serba putih, bertubuh tegap
perkasa dan bertampang ngganteng. Tatkala Yuyu Rumpung melihat siapa dia,
lantas saja mengundurkan diri cepat-cepat. Sanjaya kemudian berkata
memperkenalkan.
“Paman!
Beliau bernama Yuyung Permana yang disebut orang dengan gelar sang Dewaresi.
Beliau berasal dari Banyumas dan baru untuk pertama kali ini menginjak kota
Pekalongan. Karena itu, beliau ingin berkenalan dengan Paman dan tetamu-tetamu
undangan lainnya.”
Tidak
semua yang hadir kenal siapa sang Dewaresi itu. Paling-paling mereka hanya
mengenal namanya belaka sebagai dongengan. Tetapi melihat cara mundur Yuyu
Rumpung, sebagian besar dari mereka kuncup hatinya. Panembahan Tirtomoyo dan
Sangaji yang baru untuk pertama kali bertemu pandang dengan sang Dewaresi,
diam-diam menyiasati dirinya.
Orang
itu memang berpribadi besar. Alisnya yang tebal menolong kesan penglihatannya.
Sangaji lantas saja teringat kepada tutur-kata gurunya Wirapati sewaktu
berhenti di sebuah warung di sebelah barat kota Cirebon. Dialah yang
disebut-sebut sebagai pemimpin rombongan pemuda-pemuda berpakaian putih. Dia
pulalah yang disujuti Kartawirya dan rekan-rekannya yang dahulu mencoba
merampas kuda dan kantong uang untuk diserahkan kepadanya.
Sementara
itu, sang Dewaresi lantas saja merangkapkan tangannya seraya membungkuk
merendahkan diri.
“Sebenarnya
aku harus sudah berada di Pekalongan beberapa hari yang lalu. Sayang, di tengah
jalan aku bertemu dengan suatu perkara yang tak dapat kuabaikan sehingga
memperlambat perjalanan. Maafkan kelam-batanku ini.”
Melihat
cara dia memisahkan Panembahan Tirtomoyo dan Yuyu Rumpung dan sekarang bisa
bersikap merendah hati, orang-orang segera bersikap waspada. Seolah-olah sudah
saling memberi isyarat, segera sadar bahwa orang itu amat berbahaya. Hanya
Sangaji sendiri yang tak begitu menaruh perhatian berlebih-lebihan. Begitu ia
mendengar keterangan sang Dewaresi bahwa dia terlambat di jalan oleh sesuatu
perkara, lantas saja teringat kepada kedua gurunya. Apakah dia kena dihadang
kedua gurunya, sehingga terpaksa mesti bertempur seru?
Panembahan
Tirtomoyo pandai melihat gelagat. Tahu, bahwa mereka yang hadir bukan orang
sembarangan, maka segera ia mengalihkan pandang kepada Sanjaya. la merasa diri
tiada ungkulan jika meladeni mereka dengan sekaligus. Karena itu berusaha
menguasai diri agar jangan terlibat oleh sesuatu persoalan hingga menerbitkan
suatu pertengkaran. Katanya kepada Sanjaya mengalihkan kesan.
“Mana
gurumu? Mengapa belum juga muncul?”
“Ah,”
sahut Sanjaya berpura-pura terkejut. Lalu ia memanggil seorang penjaga dan
memberi perintah: “Undang guruku!”
Mendengar
bunyi perintah Sanjaya, hati Panembahan Tirtomoyo lega. Bila Ki Hajar
Karangpandan muncul di sampingnya, tak usah dia cemas menghadapi mereka.
Biarpun mereka menyerang dengan berbareng, rasanya sanggup melawan serta
mengatasi.
Tidak
lama kemudian, terdengarlah suara langkah berat. Lalu muncullah seorang
laki-laki gede, berperut gede, berkulit hitam lekam dan mengenakan pakaian
potongan bangsa Belanda. Pada dewasa itu adalah janggal sekali, seorang bumi
putra mengenakan pakaian potongan barat. Laki-laki yang masih mempunyai
kehormatan diri, tak sudi mengenakan pakaian demikian. Sebab orang-orang lantas
menuduhnya sebagai begundal-begun-dal Belanda.
Orang
itu, berjanggut lebat dan berkumis lebat pula. Roman mukanya angker, tetapi
kocak matanya. Dengan demikian lebih patut disangka seorang bangsat daripada
seorang pembesar negeri.
“Guru!”
Sanjaya tiba-tiba menyambut dengan gembira. “Paman itu hendak bertemu dengan
guru ...” Melihat tampangnya orang gede itu dan mendengar lagu suara Sanjaya,
hati Panembahan Tirtomoyo panas seperti terbakar.
Tahulah
dia, bahwa pemuda ningrat itu hendak mempermain-mainkan dirinya. Maka dia
berpikir dalam hati, benar-benar berhati busuk bocah ini. Bagaimana adikku bisa
mempunyai murid begini rendah budi-pakartinya... Tetapi fneskipun hatinya
panas, nampak sekali dia bisa mengendalikan diri.
Orang
bertubuh gede itu, lalu menghampiri Panembahan Tirtomoyo serta menegur seperti
seorang pembesar negeri.
“Apa
perlu kau hendak bertemu dengan aku? Bilang! Aku paling benci melihat pendeta
—cuh— manusia sok suci. Bih! Enek memuakkan!”
Bukan
main sombong manusia gede itu. Memang dia seorang pegawai tinggi dalam
pemerintahan Kepatihan Yogyakarta. Orang-orang menyebutkan sebagai bupati anom,
entah bagian apa. Mungkin bagian perhubungan, karena di mana saja ada seorang
pembesar berpesiar ke luar daerah, selalu nampak batang hidungnya.
Dengan
memaksakan diri Panembahan Tirtomoyo bersikap merendah. Berkatalah dia menusuk,
“Memang kami ini golongan manusia yang sok kesuci-sucian. Pantas tak disukai
cecongor-cecongor pembesar negeri seperti Tuan. Nah—kebetulan hari ini, aku
yang rendah bertemu dengan moncong Tuan. Boleh-kan aku yang rendah mengharapkan
derma?”
Terang
sekali, Panembahan Tirtomoyo membalas kesombongan pembesar itu de-ngan
kata-kata yang tak kurang pedasnya. Dan pembesar gendut yang sebenarnya bernama
Danuwinoto itu, terhenyak sampai tercengang-cengang. Maklumlah, biasanya orang
kuncup hatinya apabila kena gertak. Apalagi berada di hadapan para pembesar
negeri lainnya. Tetapi kali ini dia tertumbuk batu. Belum pernah selama
hidupnya, ia kena semprot seseorang yang tiada mempunyai kedudukan, di depan
hidung majikannya, la tak tahu, kalau orang yang dihadapi itu pernah menjadi
tangan kanannya Sri Mangkunegoro 1 kala masih berjuang menuntut keadilan.
Dengan kepala berteka-teki ia menoleh kepada Sanjaya, anak majikannya, la ingin
memperoleh penerangan lagi mengenai jalannya permainan ini.
Memang
dia bukan guru Sanjaya. Cuma, sewaktu Sanjaya masih kanak- kanak pernah
mengajari satu dua jurus belaka. Kalau disebut sebagai seorang guru, sebenarnya
masih kurang jauh syarat-syaratnya. Tetapi tadi dia dikisiki oleh Sanjaya,
bagaimana dia harus bersikap di depan Panembahan Tirtomoyo.
Maksudnya
untuk membuat malu sang Pendeta. Sebagai seorang hamba yang mengharapkan
kebagian rejeki sebanyak-banyaknya manakala bisa meladeni kehendak majikan,
maka tanpa pikir lagi lantas saja dia bekerja.
Sanjaya
tersenyum panjang.
“Guru!
Bukankah cukup jelas maksud Paman menemui Guru? Dia minta derma.”
Danuwinoto
berdiri melongoh. Sama sekali tak diduganya, bahwa persoalan itu akan
dikembalikan kepadanya. Hatinya lantas saja jadi kelabakan hingga matanya
terkocak.
Sanjaya
rupanya bisa menebak gejolak hatinya. Ia ingin menolong bawahannya. Lalu
memanggil seorang dayang dan disuruhnya mengambil uang sebanyak 50 ringgit. Ini
adalah suatu jumlah luar biasa besar untuk suatu derma. Dan sekali lagi,
Danuwinoto yang mata duiten jadi terlongoh-longoh.
“Mari
kita duduk,” terdengar Sanjaya mempersilakan tetamu-tetamu undangannya. “Paman
Panembahan Tirtomoyo baru sekali ini berkunjung kemari. Berilah tempat yang
luas, Tuan-tuan sekalian!”
Dengan
hati mendongkol Panembahan Tirtomoyo terpaksa menerima tata cara penyambutan,
la duduk bersama Sangaji. Dan di depannya tetamu-tetamu lainnya duduk i
seolah-olah sedang merubung dan siap mengkerubut bila perlu. Dua orang opsir
Belanda yang hadir pula pada jamuan itu, ikut pula duduk. Tetapi mereka berdua
lalu 'berbicara sendiri. Akhirnya berjalan mengelilingi pendapa mengamat-amati
perhiasan dinding dan dua perangkat gamelan yang menarik perhatiannya.
Dayang-dayang
yang tadi duduk bersimpuh di dekat pintu masuk, segera bekerja dengan cekatan.
Mereka mulai mengeluarkan minuman dan penganan. Begitulah, lantas saja
terjadilah suatu perjamuan yang disertai gelak tawa sebebas-bebasnya.
Sangaji
yang semenjak tadi berdiam diri, diam-diam memperhatikan air muka Panem-fbahan
Tirtomoyo. Orang tua itu seakan-akan sedang berpikir keras memecahkan sesuatu
persoalan. Mendadak saja ia mendongakkan kepala dan berkata nyaring kepada
Sanjaya.
“Eh,
anak muda! Kebetulan sekali di sini hadir para pendekar yang sudah mempunyai ,
pengalaman luas dalam pergaulan hidup dalam dunia ini. Aku akan minta pendapat,
pertimbangan dan pengadilan mereka.”
“Silakan
berbicara Paman!” sahut Sanjaya dengan kepala berteka-teki.
“Perkara
anak gadis Mustapa. Bukankah urusannya belum selesai? Sebagai seorang kesatria
bagaimana bisa membiarkan orang lain menderita demikian hebat. Selagi kita
bersenang-senang dijamu orang, apakah tidak baik Mustapa dan gadisnya dipanggil
kemari? Sekalian membicarakan perjodohanmu ...”
Perkataan
tadi ditujukan kepada yang hadir agar mendapat pertimbangan. Tetapi belum lagi
mereka membuka mulut, Sanjaya telah mendahului dengan tertawa gelak.
“O,
perkara si dia? Itu sih, perkara mudah. Aku setuju dengan pendapat Paman, agar
mereka ikut hadir pula. Selanjutnya, aku akan tunduk pada tiap keputusan Paman
dan Tuan-tuan sekalian.”
Heran
Panembahan Tirtomoyo mendengar kata-kata Sanjaya. Selagi ia hendak
menebak-nebak ke arah mana tujuan si pemuda itu, mendadak dia berkata kepada
Sangaji,
“Sebaliknya
saudara kecil ini saja yang memanggil mereka. Bukankah mereka per-caya kepada
sahabat kita ini?”
Panembahan
Tirtomoyo mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian ia mengangguk menyetujui. Dan
Sangaji segera berangkat. Sepanjang jalan pikiran Sangaji pepat dan kusut
memikirkan teman sepermainannya itu.
Alangkah
buruk kesannya. Sanjaya sekarang bukan lagi Sanjaya dua belas tahun yang lalu.
Mengapa segala-galanya berubah? Pemuda yang jujur bersih itu tak pernah
berpikir, bahwa masa dua belas tahun bisa berbicara banyak. Seorang yang sehat
walalfiat umpamanya, bisa dirubah menjadi orang gila dalam masa itu. Seorang
wanita cantik jelita apabila dirundung kemalangan secara terus-menerus selama
dua belas tahun, betapa takkan bisa menjadi seorang manusia kempong-perot?
Hutan belukar pun bisa menjadi suatu ladang yang terang-berderang dalam jangka
waktu itu pula.
Tatkala
tiba di losmen, segera ia memasuki kamar Mustapa. Alangkah terkejutnya! Mustapa
dan gadisnya tiada lagi berada di dalam kamarnya. Cepat-cepat ia mencari
pen-jelasan kepada pelayan losmen. Pelayan itu berkata kalau Mustapa dan
gadisnya dijemput oleh sebuah kereta.
Menurut
pendengarannya ada seorang kenalannya yang mengundang mereka berdua mengunjungi
rumahnya.
“Siapa
yang mengundang mereka?” Sangaji menegas.
Pelayan
tak dapat menerangkan. Karena itu Sangaji bergegas kembali ke kadipaten. Dan
belum lagi dia melaporkan apa yang telah terjadi di losmen, terdengarlah
Sanjaya tertawa melalui dadanya.
“Sahabat
kecil! Mana mereka? ...”
Tanpa
curiga, Sangji menjawab, “Mereka tidak ada dalam kamarnya. Ada seseorang
mengundang mereka ke rumahnya. Entah ke mana.”
Sanjaya
nampak menghela napas. Katanya seakan-akan menyesal, “Eh ... ke mana mereka
pergi ...?” Kemudian berpaling kepada salah seorang penjaga dan terus memberi
perintah.
“Cari
mereka sampai ketemu. Lalu ajakiah ke mari.”
Penjaga
itu membungkuk dan bersembah, kemudian mengundurkan diri. Panembahan Tiritomoyo
menjadi sibuk sendiri. Kecurigaannya lantas saja membersit hebat. Akhirnya dia
berkata dalam hati, hm ... biarpun kamu main sandiwara di depanku, sebentar
atau lama akan terbongkar kedokmu.
Mendadak
Sanjaya berkata minta pertimbangan, “Paman! Mereka tidak ada. Lalu bagaimana
baiknya?”
“Hm.”
Dengus Panembahan Tirtomoyo. “Kamu licin seperti belut, anak muda.
Kukhawatirkan kau akan menumbuk batu.”
Sanjaya
tertawa gelak. Dan Danuwinoto hamba berperut gede yang berdiri di sam-pingya,
tak senang hati mendengar kata-kata Panembahan Tirtomoyo. Memang semenjak
majikannya memberi perintah mengambil derma sebanyak 50 ringgit itu bukan
jumlah yang sedikit. Dia sendiri hanya bergaji 20 ringgit setiap bulannya
sebagai bupati anom.
Eh
... tak karuan-karuan jadinya. Mengapa Raden Mas Sanjaya sudi bersikap merendah
terhadap pendeta brandalan ini, pikirnya. Lalu ia maju lagi sambil membentak.
“Hai
pendeta bau, siapa sih kamu sebenarnya? Dari mana pula asalmu, sampai berani
main gila di sini? Apakah pendapa kadipaten ini kau anggap sebagai surau
kampungan?”
Panembahan
Tirtomoyo tak meladeni, hanya membalas bertanya,
“Tolong
terangkan kepadaku kamu orang Jawa atau Belanda? Atau memang orang blesteran?”
Dikatakan
orang blasteran bukan main gusar si Danuwinoto. Tanpa berbicara lagi, ia lalu
melompat. Tinjunya terayun hendak mendorong muka Panembahan Tirtomoyo. tetapi
ia ketumbuk batu. Panembahan Tirtomoyo ternyata tiada berkisar dari tempat
duduknya. Dia hanya melempar putungan panganan sambil berkata, “Eh, kau begini
galak. Kalau kau mau menerangkan terus-terang, sudahlah tak usah berbicara.”
Danuwinoto
kaget bukan main. Tiba-tiba saja ia tertahan dan dadanya menjadi sesak seperti
kena tindih suatu benda seberat seratus kati. Meledak dia berseru, “Bangsat!
Kau menggunakan ilmu siluman macam apa?
“Sabar!
Sabar, Tuan bupati...” tiba-tiba terdengar suara parau, itulah suara Yuyu
Rumpung.
Mendengar
suara itu, Danuwinoto mau melompat mundur, tapi tubuhnya benar-benar seperti
tertancap di lantai. Yuyu Rumpung segera menolong. Dengan menggunakan separoh
tenaga, ia menghentakkan. Tetapi sebenarnya, separo tenaganya lebih dari cukup.
Danuwinoto kena terenggutkan, hanya terlalu kuat sehingga pembesar berperut
gede terpental dan jatuh terjengkang ke lantai. Karuan saja para hadirin
lainnya, tertawa ber-kakakan.
Danuwinoto
segera bangun dengan tertatih-tatih. Hebat rasa mendongkolnya, tetapi ia tak
berdaya menghadapi Panembahan Tirtomoyo. Karena merasa diri tak ungkulan,
dengan memaksa diri menelan malu, ia ngoyor pergi seperti seorang yang habis
kencing.
“Ilmu
wilayah Gunung Lawu memang tiada tandingnya. Pantas tak memandang sebelah mata
dengan ilmu-ilmu lainnya. Sampai berani membantu anak waris ilmu Jaga Saradenta
segaluh si keparat,” teriak Yuyu Rumpung.
“Bagaimana
berani aku menerima pujian-mu.” Sahut Panembahan Tirtomoyo dengan sabar.
“Dengan
pendekar-pendekar Gunung Lawu, pihak kami tidak ada suatu perkara. Sekarang
perkenankan kami memohon keterangan, mengapa Tuan membantu musuh kami
bebuyutan? Meski si keparat Jaga Saradenta berada di sini pula, kami yang bodoh
ini tidak bakal mundur selangkah pun juga.”
“Barangkali
Tuan hanya salah mengerti,” kata Panembahan Tirtomoyo. “Aku kenal siapa Jaga
Saradenta. Tetapi hanya kenal namanya, bukan orangnya. Antara dia dan aku belum
pernah saling berhubungan. Karena itu bagaimana bisa Tuan menuduh aku membantu
dia? Dalam hal apa?”
“Bagus!
Bagus!” teriak Yuyu Rumpung sambil berdiri tegak. “Kalau begitu serahkan bocah
itu kepadaku!” habis berkata begitu, dengan sebat ia meloncat menerkam dada
Sangaji.
Panembahan
Titomoyo terperanjat. Cepat luar biasa ia mendorong Sangaji dari tempat
duduknya sehingga terpental jauh, sedang lengannya sediri menyambut serangan
orang.
Yuyu
Rumpung tak sempat lagi menarik serangannya. Ia menubruk kursi kosong sehingga
hancur berantakan. Sedang sikunya cepat-cepat menangkis lengan Panembahan
Tirtomoyo.
“Bagus!
Benar-benar kamu melidungi dia!” teriaknya marah.
“Sabar
Tuan,” kata Panembahan Tirtomoyo. “Bocah ini aku yang membawa kemari. Karena
itu sedikit banyak aku yang harus memikul tanggung jawab. Sekiranya Tuan masih
saja berdendam kepadanya, tak dapatkah Tuan mencari kesempatan pada lain kali,
saat aku tidak ada di sampingnya?”
Sang
Dewaresi yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian campur bicara.
“Yuyu
Rumpung! Dalam hal apa kau berdendam kepada bocah itu?”
Mendengar
suara sang Dewaresi, redalah amarah Yuyu Rumpung. Perlahan-lahan ia kembali
duduk ke kursinya sambil menjawab, “Sampai hari ini, Kartawirya, Setan Kobar,
Cekatik, Maling dan rombongan yang lain belum bisa bekerja semestinya,
semata-mata karena dipermainkan bocah itu. Masa kita biarkan dia mencoreng muka
anak-anak kita?”
Mendengar
keterangan Yuyu Rumpung, sang Dewaresi menegakkan kepala. Juga tetamu undangan
lainnya sekaligus mengarahkan pandangannya kepada Sangaji. Mereka semua akan
pula membantu Yuyu Rumpung bilamana perlu untuk menangkap si anak muda.
Diam-diam Panembahan Tirtomoyo cemas juga. Musuh yang berada di depannya,
berjumlah banyak dan bukan orang-orang sem-barangan. Apa daya, jika mereka
bertindak berbareng? Cepat-cepat ia mencari akal untuk membebaskan Sangaji.
Pikirnya, empat puluh tahun lamanya, aku berkelana dan bertempur di sembarang
tempat dan waktu. Tapi kali ini, memang sulit. Dapatkah aku melawan mereka
sambil melindungi dia? Rasanya tak mungkin! Malahan menolong diri sendiripun bukan
gam-pang. Agaknya satu-satunya jalan untuk melawan mereka harus mengulur waktu
sambil menerka-nerka apa maksud tujuan mereka berada di sini. Barangkali di
kemudian hari ada gunanya.
Memikir
demikian, lalu ia menggapai Sangaji agar duduk di kursi lain. Kemudian berkata,
“Tuan-tuan sekalian. Bukanlah mudah bisa bertemu dengan Tuan-tuan sekalian
sekaligus pada sembarang waktu, sekiranya orang tak mempunyai rejeki besar.
Karena itu, patutlah hari ini aku bersujud kepada Tuhan untuk menyatakan terima
kasihku. Sebab Tuan-tuan sekalian bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan adalah
sekumpulan manusia-manusia yang mempunyai gelar dan nama besar.” Ia berhenti
sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan sambil menuding Sangaji. “Bocah ini
bukan sanak bukan ka-dangku. Tapi dia seorang anak muda yang berhati mulia,
jujur dan berhati bersih. Hanya sayang, dia belum mengenal betapa tingginya
udara dan betapa besarnya gunung dan betapa luasnya persada bumi. Karena umur
dan pengalamannya yang masih hijau itulah, sampai dia berani menyusahkan
rekan-rekan Tuan dan dengan sendirinya menyusahkan kepentingan Tuan-tuan pula.
Jika Tuan-tuan kini bermaksud hendak menahan dia, akupun tak dapat
mempertahankan dan membelanya. Memang bocah ini patut mendapat ganjaran
setimpal dengan perbuatannya. Hanya saja demi kepentingan Tuan-tuan sendiri,
aku dan bocah ini pula, aku memberanikan diri untuk memohon satu hal. Yakni,
perlihatkan kepandaian Tuan-tuan di hadapannya.
Dengan
demikian, akan bisa membuka matanya agar di kemudian hari tidak lagi membuat
susah kita sekalian. Kedua kalinya dengan menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri betapa tingginya kepandaian Tuan-tuan, dia takkan menyesali aku mengapa
tak mampu smembela dirinya ...”
Maksud
Panembahan Tirtomoyo cukup jelas. Dia hendak mengulur waktu agar mendapat
kesempatan mencari kesempatan jalan keluar sebaik-baiknya. Tapi Cocak Hijau
yang sejak tadi berdiam diri, merasa ditantang. Memang dialah orang yang
pertama kali merasakan benturannya, tatkala berada di dalam gelanggang
pertarungan hendak menghajar Sangaji.
“Biarlah
aku belajar mengenal dengan Tuan. Akan kubikin dia percaya dengan menjungkir
balikkan Tuan di depan hidungnya,” serunya keras.
“Eh,
Saudara ...” potong Panembahan Tirtomoyo. “Bukan maksudku mengadu Saudara di
depan si bocah, tetapi sebaliknya perlihatkan kepandaian saudara di depannya.
Dengan sejurus dua jurus ilmu kepandaian Saudara, aku percaya dia bakal terbuka
matanya. Dia bakal mendapat pengertian, bahwa di luar gunung ada gunung
lainnya. Di luar pulau ada persada bumi yang lebih luas lagi. Kelak dia pasti
jera dan tak berani mengumbar tingkah-laku ...”
Cocak
Hijau mendongkol. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia sadar sedang
diejek orang. Tetapi kata-kata Panembahan Tirtomoyo cukup terang dan jelas,
sehingga susah untuk ditentang.
Mayarsewu
pendekar sakti dari Ponorogo bisa berpikir lebih terang. Pikirnya dalam hati,
mustahil pendeta ini tidak mempunyai saudara-saudara seperguruan. Dia bukan
orang sembarangan, saudara-saudara seperguruannya pasti juga sehebat dia. Bila
Cocak Hijau sampai melukai atau membuat malu dia, tidak mustahil akan berekor
panjang. Mana bisa saudara-saudara seperguruannya tinggal berdekap tangan.
Sekarang kita berkumpul bersama. Bila datang waktunya kita berpisah, inilah
celakanya.
Memperoleh
pikiran demikian, lantas saja ia berseru kepada Cocak Hijau.
“Cocak
Hijau! Kata-kata Tuan Pendeta patut kau dengar. Itulah jalan sebaik-baiknya.
Nah, perlihatkan sedikit kepandaianmu!”
Mayarsewu
adalah sahabat Cocak Hijau. Pernah dia bertempur melawan dia dan tak ada yang
kalah atau menang. Dengan begitu, tentang kepandaiannya dan mulutnya dia kenal
benar. Tidaklah memalukan bila dipamerkan, malahan bisa sedikit menguncupkan
orang-orang gagah di antara mereka.
Cocak
Hijau lantas saja bersiaga. Dengan berseru, “Lihat!” Lalu ia meloncat tinggi
dan melesat dari tiang ke tiang, bagaikan burung Cocak hinggap di dahan-dahan.
Yang hebat lagi, gerakannya membawa kesiur angin yang bergulungan. Penjaga-penjaga
Sanjaya yang terdiri dari kaum buruh lumrah, pada jatuh bergelimpangan kena
samber angin. Cocak Hijau tidak hanya memamerkan kegesitannya semata, tetapi
tiba-tiba terjun ke lantai dan menggempur batu-batu sehingga separo tubuhnya
tertumblas seperti tonggak tanggul.
Mereka
yang melihat kagum sambil memuji keperkasaannya dengan terus terang. Sangaji
yang berhati polos, lantas saja bertepuk tangan seperti laku anak-anak Jakarta
yang menyatakan kekagumannya secara langsung. Pada dewasa itu, orang jarang
bertepuk tangan. Karena itu di antara mereka hanya dia seorang yang bertepuk
tangan. Semua menoleh kepadanya. Juga Cocak Hijau tak urung melirikkan mata.
“Kasar
kepandaian Saudara itu,” ujar Mayarsewu. “Maklumlah, dia orang berasal dari
Bugis ...”
Sehabis
berkata begitu, ia menepuk tepi meja dan piring-piring yang berada di atasnya,
kabur sekaligus dan berputaran di udara. Kemudian dia mengibaskan tangan dan
piring-piring seolah-olah bisa dikuasai, mendarat berturut-turut di atas lantai
tanpa bersuara.
Orang-orang
yang melihat permainan itu, benar-benar kagum seperti kanak-kanak melihat
sulapan. Belum lagi habis kekaguman mereka, datang pulalah pertunjukan yang
lain. Dua orang penjaga diperintahkan membawa pergi piring-piring itu. Tapi
tatkala diangkat, mendadak saja piring-piring itu rontok berentakan.
Panembaha
Tirtomoyo terperanjat. Pikirnya, hebat ilmunya. Kalau orang ini tidak sakti,
mana bisa menghancurkan sesuatu benda dari kejauhan.
Dan
selanjutnya, berturut-turut mereka menunjukkan kepandaiannya masing-masing.
Yang kebal, memperlihatkan kekebalannya. Yang perkasa memperlihatkan
keperkasaannya. Yang bertenaga, segera mengeluarkan tenaganya dan
memperkenalkan ilmunya yang disebut; Bayu Sejati. Dalam pada itu, Sangaji
sempat memperhatikan gerak-gerik
Sanjaya.
Pemuda itu makin lama makin bersedih hati kesannya. Maklumlah, selama
pertunjukan itu Sanjaya bersikap seakan-akan menjadi majikannya. Pandangnya
angkuh dan selalu melepaskan senyuman mengejek kepada Panembahan Tirtomoyo.
Karena kesan itu, Sangaji terus teringat kepada si pemuda kumal yang menjadi
sahabat barunya. Dibandingkan dengan si pemuda kumal kesannya alangkah jauh
berlainan.
Teringat
akan si pemuda kumal, ia teringat pula akan kata-katanya tadi pagi. Katanya,
dia hendak mencari dirinya. Maka diam-diam, ia mengantongi empat bongkah daging
goreng. Bukankah kawannya itu senang menikmati makanan?
“Sekarang
sang Dewaresi!” tiba-tiba terdengar Sanjaya berseru. “Bolehkah kami melihat dan
menyaksikan kepandaian Tuan?”
Sang
Dewaresi tersenyum. Ia melirik kepada dua opsir Belanda yang semenjak tadi
berdiri ternganga-nganga. Di depan mereka nampak setumpuk batang sendok dan
garpu perak. Segera dia berdiri meminjam perlengkapan makan itu. Kemudian
dengan gerakan acuh tak acuh melemparkan semua sendok dan garpu ke udara.
Mendadak saja dia mengibaskan tangan dan sendok-sendok serta garpu-garpu itu,
tertancap rapi di atas lantai.
Sang
Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri tegak.
Kemudian dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang penuh
minuman dan makanan...
Mayarsewu
dan Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Pikir mereka berbareng, pantas, orang
kagum dan segan kepadanya. Kecakapan menguasai benda yang sedang terbang untuk
dibuatnya senjata, bukanlah suatu kepandaian main-main. Dalam suatu
pertempuran, banyak guna-faedahnya. Musuh yang bersenjatakan panah, bisa mati
ter-cengkang oleh senjatanya sendiri.
Tapi
mereka yang belum mengerti arti kepandaian itu, tetap berdiam diri. Memang
dibandingkan dengan pertunjukan-pertunjukan yang serba kasar, kurang meriahkan
hati.
Sang
Dewaresi pandai menebak hati mereka. Seketika itu juga, dia berdiri tegak.
Kemudian dengan depakan perlahan, dia mementalkan meja panjang yang penuh
mi-numan dan makanan. Anehnya, semua minuman dan makanan tidak ada yang
berkisar dari tempatnya. Terus dia menangkap pantat meja itu dan dibawanya
melompat ke atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di atas lantai.
Lalu dia bersilat dengan lincah sampai sembilan jurus. Setelah selesai, kembali
dia melontarkan meja panjang penuh hidangan itu ke udara. Tangannya mengibas
dan meja itu mendarat perlahan di tempatnya semula. Berbareng dengan itu, ia
melesat dari atas sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di lantai dan
kemudian duduk dengan tenang di atas kursinya. Sama sekali, tak nampak dia
letih atau mengangsur napasnya. Inilah hebatnya!
“Ih!”
Panembahan Tirtomoyo heran seraya mengerling kepada Sanjaya. Macam apa Pangeran
Bumi Gede ini, sampai bisa mengumpulkan orang-orang gagah sebanyak itu? Untuk
berjumpa dengan salah seorang saja di antara mereka biasanya bukan gam-pang.
Mengapa mereka sudi berkumpul di sini? Apa kepentingan mereka? Dan apa pula
maksud Pangeran Bumi Gede? pikirnya.
Dia
sendiri, sebenarnya bermaksud hendak mengunjungi makam almarhum Kyai Lukman
Hakim di Cirebon. Tak tahunya sesampainya di Pekalongan, ia melihat gelanggang
pertarungan dan tertarik pada kemuliaan hati Sangaji. Lantas saja dia terlibat
dalam suatu persoalan. Kini secara kebetulan pula menyaksikan berkumpulnya
orang-orang gagah dari semua penjuru.
Sangaji
kagum bukan main. Mulutnya tak ada henti-hentinya memuji kepandaian sang
Dewaresi. Bagaimana tidak? Sendok-sendok dan garpu-garpu yang tertancap di
lantai tidak ada yang melesat atau miring. Sedang tadi, Sang Dewaresi
terang-terang bersilat di atasnya sambil membawa beban sebuah meja panjang lagi
besar. Bagaimana cara dia mengurangi berat benda dan berat badannya?
Sampai
di sini pertunjukan nampaknya hampir selesai. Tinggal Yuyu Rumpung sendiri yang
belum memperlihatkan kepandaiannya. Diam-diam Panembahan Tirtomoyo sadar akan
bahaya. Sehabis orang itu memperlihatkan kepandaiannya, pasti mereka bakal
bertindak menangkap Sangaji. Kalau sampai kena tangkap, bagaimana si anak muda
bisa lolos dari suatu siksaan tak terlukiskan lagi. Memikirkan demikian, ia
lantas bertindak cepat. Dengan tak terduga-duga, ia menangkap Sanjaya dengan
suatu kesehatan luar biasa dan kemudian menjengkelit pemuda itu di depan
hidungnya.
Sanjaya
terperanjat. Ingin dia meronta, tetapi mendadak saja tubuhnya serasa seperti
lumpuh sampai tak dapat berkutik. Para tetamu lainnya tak kurang-kurang
terkejutnya. Salah seorang dari mereka akan maju, tetapi sang Dewaresi segera
berkata, “Tuan-tuan, harap tenang. Jangan ada seorang pun yang mengulurkan
tangan.”
Sang
Dewaresi ternyata orang yang dapat berpikir cepat. Ia pandai pula melihat
gelagat. Menimbang, bahwa Panembahan Tirtomoyo bukan orang yang sembarangan
pula, maka ia tak berani bertindak sembrono. Sedikit menimbulkan kecurigaan,
sang pendeta bisa membunuh mampus anak Pangeran Bumi Gede. Kalau terjadi
demikian, akan besar akibatnya.
Panembahan
Tirtomoyo kemudian berkata sambil menarik Sangaji di sampingnya, “Kami tak
berselisih atau bertengkar dengan Tuan-tuan. Kami juga bukan sanak kadang bocah
ini seperti yang kami terangkan tadi. Sekarang, Tuan-tuan telah memenuhi
permohonan kami untuk memberi kesan sedikit kepadanya. Cukuplah hal itu untuk
menjadi buah pengalamannya. Kami tanggung, dia takkan berani berlaku kurang
ajar lagi terhadap Tuan-tuan sekalian. Dengan kesadaran ini, perkenankanlah
kami mohon belas kasih dan kemurahan Tuan-tuan. Bebaskanlah bocah ini.”
Semua
yang mendengar diam membungkam. Mereka mengarahkan pandang kepada Sanjaya yang
terbekuk tak mampu berkutik lagi. Diam-diam mereka mengeluh dalam hati.
“Apabila
Tuan-tuan bersedia meluluskan permohonan kami ini, anak muda ini pun akan kami lepaskan
pula,” kata Panembahan Tirtomoyo meneruskan. “Seumpama sebuah benda, putra
Pangeran Bumi Gede jauh lebih berharga dari pada bocah ini. Sebab dia adalah
anak dari seseorang yang tak mempunyai kelas. Anak rakyat jelata yang hidup
menempel di bawah perlindungan tuan-tuan penguasa negara. Jika kita
pertukarkan, bukankah pihak Tuan yang lebih beruntung? Nah—bagaimana pendapat
Tuan-tuan sekalian?”
Yuyu
Rumpung yang masih penasaran tak dapat lagi mengendalikan diri. Tetapi ia
mengenal bahaya berkat usianya yang cukup makam garam. Maka ia meledak.
“Tuan
Pendeta agaknya bukan seorang manusia yang pandai mengaji dan bersujud pada
Penguasa jagad. Di luar dugaanku, pandai juga menjenguk persoalan dunia.”
“E-hem!”
Sang Dewaresi mendehem. Dehem itu disertai suatu tenaga mantran, sehingga
terasa pengaruhnya. Kemudian berkata tegas, “Jangan banyak cingcong! Tawaran
sang Pendeta cukup adil.”
Kata-kata
Sang Dewaresi merupakan kepu-tusan mereka. Maka Panembahan Tirtomoyo
membebaskan Sanjaya. Sadar bahwa yang hadir bukanlah orang yang tolol dan
kelicikan serta kelicinan mungkin di luar perhitungan dan dugaan, maka
cepat-cepat Panembahan Tirtomoyo mengundurkan diri sambil menggandeng tangan
Sangaji.
“Ijinkanlah
kami mengundurkan diri sampai bertemu lain kali,” katanya takzim. Semua orang
tertegun, seperti rombongan penonton sandiwara menyaksikan pembunuhan di atas
panggung.
Sanjaya
lalu datang menghampiri seraya menyahut dengan senyuman,
“Berkenalan
dengan Paman, tiada ruginya. Sudilah sekali-kali Paman berkunjung ke pondokku
di wilayah Bumi Gede Yogyakarta? Sayang, di sini tidak ada waktu untuk
membicarakan lebih leluasa ...”
“Hm!”
dengus Panembahan Tirtomoyo melalui hidungnya. “Urusan kita telah selesai. Apa
perlu berhubungan lagi denganmu?”
Sanjaya
tersenyum panjang. Air mukanya tidak berubah seperti berhati batu gunung, la
malahan membungkuk hormat dan mengantarkan Panembahan Tirtomoyo sampai ke luar
halaman.
Terang-terangan
Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat Daripada membiarkan diri diserang,
Panembahan Tirtomoyo membalas serangan pula. Kesudahannya hebat luar biasa...
Yuyu
Rumpung yang semenjak tadi mengawasi dengan muka guram, segera ikut serta
mendampingi Sanjaya sambil berjaga-jaga. Hatinya menaruh curiga kepada orang
tua itu, karena menganggap lagak-lagunya tak beda dengan dirinya sendiri.
Sampai
pintu pagar, Panembahan Tirtomoyo sambil membungkuk dengan hormat untuk
perpisahan. Sanjaya pun buru-buru membalas hormatnya. Mendadak Yuyu Rum-pung
lari menubruk sambil berseru, “Sang Pendeta! Ini ada sesuatu yang ketinggalan.”
Terang-terangan
Yuyu Rumpung melancarkan serangan kilat yang tak terduga-duga. Panembahan
Tirtomoyo tak sempat lagi menangkis, karena gerakan Yuyu Rumpung sangat cepat.
Dalam kegugupannya ia memperoleh pikiran cepat. Daripada membiarkan dirinya
diserang lebih baik membalas serangan pula. Memikir demikian, lantas saja dia
maju menubruk. Masing-masing terhantam dadanya dan terpental mundur satu
langkah. Tubuhnya bergoyangan seperti tonggak tipis terayun angin.
“Sungguh
mati, aku merasa takluk.” Kata Yuyu Rumpung. Air mukanya berubah dan mundur
satu perlahan-lahan. Panembahan Tirtomoyo tersenyum. Bertanya, “Barang apa yang
masih ketinggalan? Eh, sampai aku gugup menyambut kelalaian itu.”
Yuyu
Rumpung gusar diejek demikian. Segera ia mendamprat.
“Si
budak kecil juga berada di sampingmu. Mana lagi yang ketinggalan. Aku cuma
menuntut ganti kerugian dengan menahanmu...” Belum habis dia berkata, ia lontak
darah. Terang sekali, kalau bentrokan adu tenaga itu bukan main-main akibatnya.
Jantungnya kena dilukai Panembahan Tirtomoyo. Tapi kalau sampai lontak darah di
depan hidung lawannya sendiri adalah kesalahannya sendiri. Coba dia dapat
mengenda-likan gejolak hatinya, pasti bisa mempertahankan harga dirinya.
Panembahan
segera mengundurkan diri cepat-cepat dari kadipaten. Ia seolah-olah tak
menghiraukan lagi keadaan Yuyu Rumpung. Tangan Sangaji digandengnya kuat-kuat.
Di tengah jalan dia menoleh. Ternyata tidak ada yang mengejar. Orang-orang yang
hadir di kadipaten agaknya mendapat kesimpulan, bahwa dirinya bukan orang
sembarangan. Ternyata Yuyu Rumpung yang perkasa kena lontakan darahnya. Tetapi
tiba-tiba dia berkata mengejutkan hati Sangaji, “Sangaji! Di manakah kita bisa
menemukan sebuah losmen?” Sebentar Sangaji tergagap.
“Aku
mempunyai kamar penginapan. Kemarin malam ...”
“Gendonglah
aku cepat ke kamarmu ...” Panembahan Tirtomoyo memotong. Air mukanya berubah
hebat. Ia nampak pucat lesu dan ada seleret darah yang menggumpal di antara
bibirnya.
Sangaji
terkejut bukan main. Cepat ia bertanya, “Aki terluka juga?”
Panembahan
Tirtomoyo mengangguk. Setelah itu, tubuhnya terhuyung hampir roboh. Sebat
Sangaji menahannya, kemudian digendong dan dibawanya lari ke penginapan, la tak
berani melalui jalan besar, takut mendapat perhatian. Gntung, waktu itu sudah
pukul tiga siang. Jarang orang ke luar di jalanan, karena matahari bersinar
terik di kota Pekalongan. Meskipun demikian, Sangaji memilih jalan sempit dan
lari cepat-cepat seperti maling. Setelah melintasi pagar dan jalan-jalan sempit,
sampailah dia di dekat penginapan. Ia bernapas lega. Karena sebenarnya, dia
belum kenal lika-liku jalan Kota Pekalongan. Tadi dia hanya lari dengan memilih
keblat tertentu belaka.
Setibanya
di dalam kamar, Panembahan Tirtomoyo segera minta disediakan sebuah jambangan
besar berisi air bersih. Maka dengan cepat Sangaji memanggil pelayan. Dengan
berbekal uang, ia dapat memperoleh pelayanan yang seluas-luasnya. Bahkan
teman-teman si pelayan tadi pada datang berebut untuk memenuhi kehendak
Sangaji. Ini semua demi gerincing uang.
“Aki
tidak luka. Apa aki membutuhkan air?” Sangaji minta keterangan.
Panembahan
Tirtomoyo tidak menjawab. Tapi begitu jembangan besar itu berisi air, lantas
saja ia merendam diri dengan mengatur napas. Seketika itu juga, segumpalan
darah hitam terlontar dari mulutnya. Maka setiap kali lontak darah, Sangaji
harus mengganti air sampai tujuh kali berturut-turut.
Sekarang,
air muka Panembahan Tirtomoyo nampak pulih kembali segar bugar. Tapi tubuhnya
masih lemah. Dengan suara lemah dia berkata, “Sungguh berbahaya! Orang itu
bukan sembarangan. Dia memiliki ilmu pukulan raksasa dengan disertai Aji Ismu
Gunting.”
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 12 RADEN MAS SANJAYA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 12 RADEN MAS SANJAYA"
Post a Comment