BENDE MATARAM JILID 11 SI PEMUDA KUMAL
Tujuh
hari lamanya mereka berjalan. Pada malam hari mereka menginap di
losmen-los-men. Sekiranya tidak ada, mereka bertiduran di alam terbuka. Inipun
merupakan suatu pengalaman baru yang menyenangkan hati Sangaji. Rasa
petualangannya lantas saja membersit dari hati. Pada hari kedelapan sampailah
mereka di perbatasan kesultanan Cirebon. Waktu itu tengah hari telah
terlampaui. Sangaji mengkaburkan kudanya terus-menerus. Kedua gurunya
mengawaskan dari belakang.
“Di
luar dugaanku, kuda itu benar-benar kuda jempolan,” dengus Jaga Saradenta.
Wirapati
tertawa senang mendengar Jaga Saradenta memuji kuda Sangaji.
“Aku
lantas ingat kepada cerita-cerita kuno tentang primbon kuda,” ujarnya lagi.
“Bahwasanya kuda-kuda itu mempunyai ciri-ciri yang baik dan tidak. Diapun akan
menyeret pula nasib majikannya. Kautahu tentang itu?”
“Tak
pernah aku mempunyai kuda,” sahut Wirapati.
“Ah!
Itulah kekuranganmu.”
Jaga
Saradenta merasa menang. “Kalau begitu kau tak pernah mendengar cerita tentang
kuda. Pada jaman dahulu raja akan memperebutkan kuda jempolan. Dia berani
mengorbankan semuanya, kalau perlu. Kadang kala pecahlah suatu perang besar
hanya perkara kuda bagus.”
“Masa
begitu goblok?” potong Wirapati. “Apakah harga nyawa seekor kuda lebih
ber-harga daripada nyawa manusia?”
“Hm,
dengarkan. Aku pernah mendengar cerita perkara kuda dari seorang sahabatku
bangsa Tionghoa. Dia Lotya di Banyumas. Dia bisa mendongeng dan menunjukkan
bukunya tentang perang besar memperebutkan kuda-kuda jempolan di negeri
Tiongkok. Buku itu, kalau tak salah namanya Hikayat Jaman Han. Diceritakan
tentang seorang kaisar bernama Han Bu Tee yang pada suatu kali mengirimkan
Jendral Besarnya bernama Lie Kong untuk memperebutkan kuda raja negeri
Ferghana. Jendral itu membawa pasukan puluhan ribu orang banyaknya. Mereka bisa
dihancurkan dan dibinasakan. Baru setelah mendapat bala-bantuan, maka
tercapailah angan-angan Kaisar Han Bu Tee untuk memiliki kuda Ferghana yang
jem-polan.”
“Itu
gila! Kalau memang cerita itu benar-benar kejadian, maka Kaisar Han Bu Tee akan
bersedia tidur bersama kuda.”
“Hooo...!
Nanti dulu! Soalnya lantas saja berubah menjadi masalah kehormatan bangsa.”
“Itulah yang benar. Jadi bukannya berperang perkara merebut kuda.” “Tapi
mula-mula perkara kuda,” Jaga Saradenta mengotot.
“Menurut
buku itu, Kaisar Han Bu Tee mengirimkan utusan kepada raja Ferghana untuk minta
seekor kuda. Permintaannya ditolak, lantas saja timbullah suatu peperangan
besar yang membinasakan puluhan ribu manusia.”
“Apakah
kira-kira masalah permintaan kuda itu, bukan suatu dalih belaka untuk suatu
alasan berperang?”
Didebat
begitu Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Kemudian mencoba meng-atasi.
“Tapi memang sejarah dunia ini banyak mengisahkan hal-hal yang tak masuk akal.
Kuda jempolan kurasa patut direbut dengan perang. Kalau dipikir, banyak
cerita-cerita yang mengisahkan tentang hancurnya suatu kerajaan hanya karena
gara-gara seorang perempuan. Haaa ... seseorang yang tahu apa arti kuda,
kerapkali menilai seekor kuda jauh lebih berharga daripada seorang perempuan.
Kau percaya tidak?”
Selagi
Wirapati hendak menyahut, tiba-tiba terlihatlah serombongan penunggang kuda
yang mengenakan pakaian serba putih. Rombongan itu terdiri dari enam orang
pemuda tampan. Pakaiannya bersih dan gerak-geriknya tangkas. Mereka datang dari
arah Selatan, terus memotong jalan dan mengarah ke Timur.
Sangaji
yang berada jauh di depan memberhentikan kudanya. Kelihatan ia sedang
me-ngawaskan mereka dengan penuh perhatian. Sampai mereka melewatinya, masih
saja dia berdiam diri. Ia menunggu kedatangan kedua gurunya. Lalu berteriak,
“Guru! Mereka me-ngenakan pakaian putih. Kulit mereka kuning lembut. Mereka
mengerling padaku dan mem-perhatikan kudaku.”
“Buat
apa mereka memperhatikan kudamu? Yang diawasi itu kantung uangmu!” sahut
Wirapati tajam.
“Belum
tentu!” Jaga Saradenta menungkas. “Kalau mereka ahli kuda, bukan mustahil
mereka ngiler melihat kuda Sangaji. Siapa tak kenal kehebatan kuda pahlawan
Arabia Hamzah? Sekiranya kuda Amir Hamzah masih hidup sampai kini, kurasa dunia
akan berpe-rang terus-menerus untuk memiliki kuda itu.”
Wirapati
melengos. Ia menjepit perut kudanya dan mengkaburkan sekencang-ken-cangnya.
Sangaji heran melihat kelakuan gurunya. Segera ia mengejar dengan diikuti Jaga
Saradenta. Mereka bertiga jadinya seperti lagi beriomba dalam pacuan kuda. Debu
berhamburan di udara menutupi alam sekitarnya. Meskipun demikian, mereka
seakan-akan tak mempedulikan. Mereka terus melarikan kudanya hingga hampir
matahari tenggelam.
Tatkala
senja rembang tiba, mereka berhenti di dalam sebuah rumah makan yang luma-yan
besarnya. Segera mereka memilih tempat dan memesan makanan. Mereka minta tolong
pada salah seorang pembantu rumah makan untuk mencarikan rumput dan serbuk
kasar. Tak lama kemudian, terdengarlah kuda berde-rapan. Enam orang pemuda
berpakaian putih datang ke rumah makan itu. Mereka bukan rombongan yang pertama
tadi, tapi merupakan rombongan kedua.
Sangaji
heran melihat mereka begitu tampan dan bergerak sangat lincah. Mereka
me-ngenakan ikat kepala berwarna ungu dan duduk bersama di pojok sebelah kanan.
Pikir Sangaji, Mereka merupakan rombongan yang teratur. Apa ada pemimpinnya?
Tatkala hendak minta keterangan tentang siapa mereka, terdengar Wirapati
berkata kepada Jaga Saradenta dengan suara lantang menyegarkan pendengaran,
“Kau tadi bilang perkara kuda Amir Hamzah. Kenapa kauanggap kuda jempolan?”
“Ah!
Kamu mau berdebat lagi perkara kuda?” Jaga Saradenta tertawa berkakakkan.
Sambil menunjuk kuda Sangaji ia berkata meyakinkan. “Lihat Willem! Apakah kuda
itu bukan kuda bagus? Delapan hari dia dilarikan si bocah edan-edanan, tapi
masih nampak segar-bugar seolah-olah tidak mengenal lelah. Coba, kalau aku
bukan orang tua si bocah, pasti akan kurampas. Begitu pula, kuda Amir Hamzah
terkenal sebagai kuda jempolan. Kuda itu bernama Kalisahak. Menurut cerita, dia
dahulu milik Nabi Iskak. Dengan cara gaib, Amir Hamzah dan Gmar bisa
mendapatkan selagi mereka berdua bermain-main memanjat pohon di tengah hutan.
Kuda Kalisahak bisa berlari secepat kilat. Dia tak takut hujan, guntur, sungai,
rawa-rawa, hujan panah dan api. Selain itu, dia bisa melindungi majikannya. Di
kala Amir Hamzah menderita luka parah sewaktu perang dengan Raja Kaos,
Kalisahak membawa dia lari ke luar gelanggang. Dia terus lari dan lari, siang
dan malam tiada hentinya sampai mencapai sebuah dusun yang aman tenteram. Di
dusun itulah Kalisahak menyerahkan majikannya kepada seorang penduduk agar
mendapat rawatan. Dia sendiri tetap berdiri di samping majikannya sampai
majikannya sembuh. Apakah itu bukan kuda jempolan?”
Sangaji
tertarik pada cerita gurunya. Sewaktu mengerlingkan mata kepada enam pe-muda
berpakaian putih, dilihatnya mereka menaruh perhatian pula.
“Kalisahak
mati karena usia tua,” Jaga Saradenta meneruskan. “Bukan mati karena sen-jata
lawan seperti dikabarkan.”
“Bagaimana
cerita itu?” Wirapati minta penjelasan.
“Itu
terjadi dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kalisahak kena bidikan panah lawan
dan kena sabetan pedang. Dia jatuh terjengkang. Amir Hamzah melindungi mayatnya
sambil menangis meraung-raung. Kemudian Kalisahak dikubur dengan upacara
kerajaan.”
“Eh,
kedengarannya cerita ini yang lebih mengasyikkan daripada mati tua. Matinya
lebih terhormat dan patut menjadi kenangan orang.”
Jaga
Saradenta diam seperti lagi mempertimbangkan. Ia menyenak napas seraya
men-jawab, “Sesukalah.”
“Sesukalah
bagaimana?”
“Kalau
kau suka mendengar cerita itu, ada baiknya. Tak ada orang yang bakal
memban-tah. Akupun tidak. Tapi aku lebih suka, dia mati karena usia tua.
Artinya, dia mati dengan tentram. Bukan mati karena penasaran.”
“Mati
tua artinya mati pensiun,” Wirapati menggoda.
“Baik,
baik. Mati pensiun artinya dia pensiun jadi kuda. Kemudian naik ke langit
menjadi dewa. Mungkin menjadi dewa. Mungkin jadi malaikat, karena sudah pensiun
jadi kuda,” Jaga Saradenta jadi uring-uringan.
Wirapati
tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan rekannya yang cepat mendongkol. Sangaji
sendiri sekalipun tak berani terang-terangan, ia tertawa peringisan.
“Lantas?
Apa Amir Hamzah tak punya kuda lagi?” Wirapati mengalihkan kesan.
“Mana
bisa seorang pahlawan tanpa kuda,” Jaga Saradenta menyahut cepat. “Setelah
Kalisahak mati, mula-mula memang dia tidak mau naik kuda lagi. Karena di dunia
ini mana ada kuda seperti Kalisahak. Tapi akhirnya Tuhan kasihan padanya. Pada
suatu hari, isteri tukang perawat Kalisahak melahirkan seekor kuda setengah
raksasa setengah binatang.”
“Eh,
mana bisa manusia mampunyai anak seekor kuda? Manusia kan bukan kuda?” Wirapati
membantah.
“Ini
kan cerita,” Jaga Saradenta mendongkol. “Mungkin maksudnya untuk menge-sankan
mutu kuda Amir Hamzah yang kedua itu.”
Mendengar
jawaban Jaga Saradenta yang masuk akal, Wirapati mau mengalah.
“Kuda
itu diberi nama Sekardiyu,” Jaga Saradenta meneruskan. “Sekar artinya kembang
atau anak. Diyu artinya raksasa. Jadi maksudnya, anak raksasa. Dan kuda itu
sendiri, memang kuda yang perkasa dan kuat seperti raksasa. Dia seekor kuda
jempolan yang pantas dibeli dengan darah. Mengapa? Dalam tiap-tiap pertempuran,
Sekardiyu ikut berjuang. Ia menerjang lawan, mendepak dan menggigit. Setiap
barisan lawan pasti bubar-berderai apabila kena diterjang Sekardiyu. Teringat
akan kuda seperti Sekardiyu, tertariklah perhatianku kepada si Willem kuda
Sangaji. Menyaksikan gerak-gerik dan tenaganya, diapun bagaikan anak raksasa
...”
Sangaji
mendengar kudanya dipuji gurunya yang sok uring-uringan itu. Diam-diam ia
melirik kepada enam tetamu yang duduk bersama di sudut kanan. Mereka
mengarahkan pandangnya kepada si Willem pula.
Jaga
Saradenta sendiri lantas berhenti bercerita, karena waktu itu masakan yang
telah dipesan tiba. Mereka kemudian menikmati masakan sambil membicarakan
mutunya.
Wirapati
nampaknya mengamini, tapi sebenarnya ia memasang kuping. Dia adalah murid Kyai
Hasan Kesambi yang keempat. Pendengarannya tajam luar biasa dan bertabiat
usilan. Melihat rombongan mengenakan pakaian serba putih dan mempunyai
gerak-gerik yang serba aneh, lekas saja hatinya tertarik. Diam-diam ia
menyelidiki. Dia seorang pendekar kelana yang sudah berpengalaman, karena itu
sikapnya tak kentara dan berlaku cermat.
Enam
orang pemuda itu nampak duduk dengan merapat dan berbicara kasak-kusuk, tapi
pendengaran Wirapati dapat menangkap tiap patah kata mereka. Lalu ia menggeser
tempat duduknya mengungkurkan -mereka agar tak menerbitkan kecurigaan. Sambil
menggeru-muti makanan, ia mendengar mereka berbicara.
“Rombongan
Kartawirya tadi melepaskan tanda udara. Apakah mereka ini yang dimak-sudkan?
Melihat kudanya dan orangnya, memang pantas untuk diawasi,” berkata yang duduk
di sudut kiri.
“Buat
apa kuda? Pasti kakak telah melihat sesuatu yang lebih berharga dari pada kuda
itu.”
“Belum
tentu. Apa kau tak mendengar tutur-kata orang tua bongkotan itu? Dia memuji
kuda itu setinggi langit.”
“Ha,
aku tahu maksudmu. Kalau kau dapat menghadiahkan kuda itu kepada Kartawirya,
Setidak-tidaknya kau dapat keleluasaan menaksir adiknya.”
Lalu
mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran, tak senang hati. Tapi ia
tak berdaya. Terpaksa ia menerima sindiran itu dengan hati mendongkol.
Wirapati
mulai berpikir. Ia mencoba mengingat-ingat nama Kartawirya. Mendengar bunyi
namanya, segera ia mengetahui kalau Kartawirya orang Jawa Barat. Paling tidak
wilayah Cirebon bagian barat daya.
Tapi
siapa orang itu? Karena belum mendapat kepastian, dia mempertajam pendengar-annya.
Pemuda yang menyindir berkata lagi, “Memang Kartawirya tahun ini sedang terang
bintangnya. Bisa kejadian sang Dewaresi mengambilnya ipar. Dasar ia perkasa,
pribadi agung dan otaknya cerdas. Cuma saja doyan perempuan.”
Kembali
lagi mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran mencoba membela diri
sebisa-bisanya. Katanya, “Biar dia doyan perempuan, apa sih hubungannya dengan
diriku. Beberapa hari ini, sang Dewaresi lagi sibuk mengatur persiapan untuk
suatu persekutuan besar. Pangeran Bumi Gede, sedang mengundang beberapa orang
gagah di seluruh pelosok Pulau Jawa. Sang Dewaresi sadar, kalau yang diundang
pasti bukan orang-orang semba-rangan. Masing-masing tentu akan memperlihatkan
perbawa dan kewibawaannya. Sekiranya, sang Dewaresi memiliki kuda itu, dia bisa
memiliki muka. Dengan sendirinya akan menaikkan derajat kita sekalian. Apa
masalah kuda itu, bukan pula kepentingan kita bersama?”
Wirapati
terkejut. Dia pernah mendengar nama sang Dewaresi yang disebut-sebut mere-ka.
Hanya
saja, dia belum ingat di mana dan kapan nama sang Dewaresi itu pernah
dide-ngarnya.
“Aku
tetap kurang yakin, kalau tanda udara Kartawirya cuma perkara kuda. Kuda
Banyumas pun tak kalah jempolan. Coba, pikir lagi yang lebih teliti. Mungkin,
Kartawirya melihat penunggangnya mempunyai sesuatu yang jauh lebih berharga
daripada kuda,” ujar pe-muda yang menyindir.
Selama
mereka berbicara, suaranya ditekan benar-benar sehingga hanya setengah
berbi-sik. Jika seseorang tak mempunyai pendengaran tajam, tidak bakal dapat
menangkap kata-kata mereka sejauh lima langkah saja. Tapi Wirapati dapat
mendengar percakapan mereka dengan jelas dalam jarak kurang lebih sepuluh-lima
belas langkah. Hal itu membuktikan betapa tajam pendengarannya. Begitu ia
mendengar kata-kata Banyumas, lantas saja terbuka ingatannya. Katanya dalam
hati, Ah! Apa sejarah akan berulang kembali? Bukankah sang Dewaresi pemimpin
rombongan penari aneh, dua belas tahun yang lalu? Celaka! Dulu aku kenal nama
sang Dewaresi lewat mulut si bangsat Kodrat. Kini lewat mulut pemuda itu. Siapa
dia?
Mengingat
pengalamannya yang mengerikan, sehingga terpaksa dia hidup berlarut-larut
sampai dua belas tahun di rantau orang, bulu kuduknya lantas saja menggeridik.
Kalau ia berusil lagi, siapa tahu bakal mengalami peristiwa serupa. Tapi dasar
dia usilan dan berjiwa kesatria luhur, sebentar saja ia melupakan kepentingan
diri. Dia sudah mendapat kesan buruk terhadap rombongan penari aneh
begundal-begundal sang Dewaresi. Karena itu, terhadap mereka pun ia menduga
tidak ada bedanya. Orang itu pasti mempunyai tujuan setali tiga uang seperti
dulu. Mendadak saja ia merasa wajib untuk mengikuti persoalannya.
“Baiklah,”
sahut pemuda yang kena sindir tadi. “Mari kita berlaku hati-hati dan
menyelidiki maksud tanda-udara secermat-cermatnya. Tapi ingat, kita harus
menjaga nama kita baik-baik. Kali ini kita bekerja demi keharuman nama. Kita
akan bertanding melawan orang-orang bukan sembarangan yang bakal datang dari
seluruh penjuru Pulau Jawa. Sekiranya melaksanakan tanda-udara saja tak becus,
mana bisa kita punya muka.”
Sehabis
itu, mereka tidak berkata-kata lagi. Masakan dan minuman yang mereka pesan,
mulai datang. Lalu mereka sibuk menikmati makanan dan menghirup minuman.
Wirapati
mulai berpikir keras. Jelas sekali, mereka hendak datang memenuhi undangan
Pangeran Bumi Gede. Kalau dihubungkan dengan kedatangan Pangeran Bumi Gede
empat tahun lalu di Jakarta, bukanlah mustahil kalau undangan kepada
orang-orang gagah di seluruh Pulau Jawa, merupakan langkah kelanjutan dari
suatu rencana tertentu. Tapi rencana apa itu, Wirapati tak dapat menebak,
meskipun memeras otak. Maklumlah, dua belas tahun lamanya dia meninggalkan
daerah Jawa Tengah. Dengan sendirinya tak mengetahui sama sekali tentang
perkembangan sejarah. Ia bagaikan orang buta yang ingin mengetahui segalanya
dengan meraba-raba belaka.
“O
ya, apa kalian sudah mendengar kabar?” mendadak salah seorang dari mereka
ber-bicara. Orang itu duduk tepat di bawah jendela. Orangnya nampak pendiam.
Raut mukanya bersungguh-sungguh. Mendengar dia membuka mulut, yang lain segera
menaruh perhatian. Terang, ia dihormati dan disegani oleh kawan-kawannya. Kata
orang itu, “Ada kabar tentang seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengenakan
pakaian mentereng. Lagak dan sikapnya keningrat-ningratan. Tapi dia memiliki
bermacam-macam ilmu yang sukar diduga orang. Beberapa kali ia menjatuhkan
orang-orang gagah.”
“Siapa
dia?” mereka bertanya hampir berbareng.
“Namanya
kurang terang. Tapi dia sering muncul di sekitar Cirebon atau perbatasan
Te-gal. Rupanya dia seperti diwajibkan untuk menghadang orang-orang gagah yang
diundang Pangeran Bumi Gede sebelum memasuki Pekalongan. Dengan begitu Pangeran
Bumi Gede dapat memperoleh kepastian, kalau mereka yang bisa datang ke
Pekalongan adalah orang-orang pilihan! Menurut kabar hanya satu di antara
sepuluh orang yang dapat masuk Pekalongan. Karena itu, hendaklah kalian cukup
berwaspada dan hati-hati.”
Sekali
lagi, Wirapati mencoba menebak tentang keperwiraan pemuda keningrat-ningratan
yang dibicarakan. Juga kali ini, dia tak berhasil. Sebab kecuali nama pemuda
itu belum dikenal mereka, mestinya umurnya jauh lebih muda dari umurnya
sendiri. Tentang perkembangan anak-anak muda angkatan mendatang tak dapat
dikenalnya. Dan cacat itu se-mata-mata disebabkan keberangkatannya ke Jakarta
dengan tak sekehendaknya sendiri. Walaupun begitu, tidak ada tanda-tanda ia
menyesali nasibnya yang buruk.
Sehabis
makan dan minum, enam orang pemuda berpakaian putih itu segera berangkat.
Wirapati menunggu sampai mereka meninggalkan rumah makan jauh-jauh, lalu ia minta
pertimbangan kepada Jaga Saradenta, “Bagaimana pendapatmu, apa meraka lebih
bahaya daripada rombongan penari yang aneh dahulu?”
“Rombongan
penari yang mana?” Jaga Saradenta minta penjelasan.
“Rombongan
penari yang dibinasakan Hajar Karangpandan.”
“Apa
hubungannya dengan mereka?” Jaga Saradenta heran.
“Mereka
termasuk bawahan sang Dewaresi,” sahut Wirapati. Kemudian ia mulai mene-rangkan
keadaan mereka dan bagaimana dia dapat mendengarkan percakapan mereka. “Yang
penting bukan perkara kuda atau kantong uang Sangaji. Tapi maksud mereka hendak
menghadiri undangan Pangeran Bumi Gede di Pekalongan. Mereka bersikap rahasia
dan berhati-hati. Agaknya keadaan negara ada suatu perkembangan yang kurang
menyenangkan. Kupikir, kita harus berangkat ke sana. Hal itu tidak boleh
dibiarkan saja tanpa sepengetahuan kita.”
“Tetapi
masa pertandingan sudah hampir tiba.” Kata Jaga Saradenta memperingatkan,
meskipun dia menyetujui pikiran Wirapati.
Wirapati
terdiam. Memang urusan pejanjian pertandingan yang sudah dirintis dengan susah
payah semenjak dua belas tahun yang lalu, tidak boleh terbengkalai oleh urusan
baru. Namun sebagai seorang pendekar yang sadar akan arti kebangsaan dan
negara, dia tak dapat membiarkan diri membuta pada perkembangan keadaan. Jaga
Saradenta adalah bekas pejuang pula. Meskipun usianya sudah lanjut, namun
semangatnya masih muda. Kalau tidak begitu masakan dia mau membiarkan dirinya
berlarat-larat sampai ke Jakarta tanpa memperhitungkan kepentingan diri.
“Kalau
begitu, biarlah Sangaji berangkat lebih dulu.” Akhirnya Wirapati memutuskan.
“Apa dia harus berangkat seorang diri?”
“Benar,”
Wirapati menjawab sambil mengangguk. “Kemudian kita menyusul. Kurasa dalam satu
bulan kita sudah bisa sampai ke tujuan.”
Jaga
Saradenta diam menimbang-nimbang. Lalu berkata menguatkan, “Itupun baik.
Sangaji memang harus mempunyai pengalaman sendiri. Pengalaman harus
diperolehnya sendiri, karena tak dapat dipelajari dalam rumah perguruan.
Mendapat pengalaman akan banyak faedahnya.” la berhenti sebentar. Kemudian berkata
kepada Sangaji, “Keputusan gurumu banyak faedahnya bagimu. Kalau sebelum
bertanding, kamu punya pengalaman, kami berdua tak usah mencemaskan
kekalahanmu.”
Mendengar
keputusan kedua gurunya, Sangaji tak senang. Segera ia menyatakan ke-beratannya
berpisah dengan mereka.
“Bocah!
Kau sudah besar! Sebesar kerbau bongkotan! Kau harus belajar berdiri sendiri.
Kalau kami mampus, apa kau mau ikut mampus juga?” damprat Jaga Saradenta. “Lagi
pula kau ini muridku! Muridku tak boleh mempunyai hati sekecil cacing!”
Wirapati
yang bisa bersabar hati, lalu membujuk. “Pergilah dulu menunggu barang satu
bulan. Tunggulah kami di Kota Magelang. Seumpama kami berdua menghadapi urusan
pelik, salah seorang dari kami akan datang mengurusimu. Hal itu janganlah
kaurisaukan.”
Sangaji
lebih mendengarkan kata-kata pertimbangan Wirapati. itulah sebabnya, sekali-pun
hatinya berat terpaksa dia menerima. Kemudian Wirapati dan Jaga Saradenta sibuk
menggambarkan peta sejadi-jadinya untuk menunjukkan letak Kota Magelang.
“Dua
rombongan berpakaian putih yang terdiri dari dua belas orang tadi hendak
merampas kuda atau kantong uangmu. Kau tak usah meladeni mereka. Hindarilah
mereka. Kau bisa mengandalkan dirimu kepada kecepatan si Willem. Jika kau tak
lengah, kamu bisa me-ninggalkan mereka jauh-jauh.”
Jaga
Saradenta senang mendengar ujar Wirapati. Pikirnya, “Rasakan, akhirnya kamu
mengakui betapa pentingnya seekor kuda. Tadi berlagak tak menghargai...”
“Umpama
kata benar-benar mereka main gila kepadamu, kami berdua takkan tinggal diam,”
ujar Wirapati lagi. “Kami akan mencarinya.”
“Benar,”
Jaga Saradenta menguatkan. ''Akupun diam-diam akan mengawasimu dari jauh.
Masalah itu jangan kaurisaukan.”
Sehabis
berkemas-kemas, Sangaji berlutut minta diri. Wirapati dan Jaga Saradenta
mengantarkan sampai ke tempat si Willem yang lagi menggerumuti serbuk dan
rumput. Mereka kelihatan beriapang dada melepaskan muridnya berangkat seorang
diri.
“Ah,
kamu kelihatan sudah dewasa,” kata Jaga Saradenta membesarkan hati. “Cuma saja,
ingatlah pesanku ini. Jangan sekali-kali merasa dirimu terlalu kuat. Sebaliknya
jangan juga kamu merasa rendah diri. Pokoknya kamu harus bisa membiasakan diri
berlaku hati-hati dan waspada. Di dalam dunia ini banyak orang pandai. Lihat
saja, gunung-gunung yang berdiri di atas Pulau Jawa ini, tidak hanya satu.
Gunung Tangkuban Perahu nampaknya gede, tapi Gunung Slamet masih gede lagi.
Gunung Merapi dan Lawu kelihatannya tinggi sekali, tapi Gunung Semeru lebih
tinggi lagi.”
Wirapati
tersenyum mendengar rekannya berbicara. Orang tua yang sok lekas uring-uringan
itu tak biasa memberi petuah-petuah begitu hebat seperti kali ini. Tapi dia
ikut juga menambahi.
“Dengarkan
kata-kata gurumu itu! Sering-kali kulihat, kaungotot. Karena itu, sekiranya
kamu tak bisa memenangkan lawan, lebih baik mengundurkan diri. Bukankah ketika
kau melawan empat orang pemuda dulu, begitu ngotot? Untung mereka tak mengenal
ilmu silat.”
Sangaji
mengangguk. Segera ia melompat ke atas punggung si Willem. Dan belum lagi
berjalan satu jam, ia menjumpai jalan bersimpang tiga. Ia ingat peta coretan
kedua gurunya. Tapi dia dipesan memilih jalan yang sunyi dan-kecil. Meskipun
berlika-liku dan sukar, tapi dia bisa menghindari kemungkinan pencegatan dua
rombongan pemuda berpakaian putih. Selain itu, si Willem bisa diandalkan.
Begitulah,
maka dia memilih jalan yang terkecil. Hari telah mulai gelap. Jauh di depan-nya
nampak sebuah bukit menghadang padanya. Dia tak ragu-ragu. Segera ia menge-prak
si Willem. Jalan itu benar-benar berlika-liku dan sempit. Agaknya lebih jauh
bila dibandingkan dengan jarak jalan lalu-lintas umum. Untung si Willem dapat
lari dengan lancar. Kuda itu tak takut pada jalan sempit Mendadak dalam gelap
malam, ia melihat suatu cahaya biru melesat di udara. Cahaya itu pecah
bertebaran dan hilang lenyap. Sangaji terkejut. Mulailah dia berpikir, apa itu
yang dinamakan tanda-udara? Jika benar, mengapa melesat dari arah bukit?
Diam-diam
ia meraba gagang pedang pemberian Willem Erbefeld semasa masih dalam latihan.
Dia tak pernah berlatih ilmu pedang ajaran kakak-angkatnya karena kedua gurunya
melarang. Tetapi ia menerima ajaran-ajaran ilmu pedang Wirapati. Karena itu,
meskipun belum mahir, ia mengenal ilmu pedang cukup baik.
Di
depannya mendadak muncul tiga orang berpakaian putih. Sangaji tidak ragu lagi.
Pasti itulah mereka tadi. Segera ia bersiaga menjaga diri.
“Numpang
jalan!” ia berteriak nyaring. Ketiga orang itu tertawa. Salah seorang me-nyahut
cepat, “Mengapa mesti permisi dulu? Lewatlah! Kami tak mengganggumu!”
Sangaji
belum mempunyai pengalaman dalam menempuh perjalanan malam ia mengira dirinya
terlalu curiga dan salah duga. Maka ia mengendorkan kesiagaannya. Dalam hatinya
ia malu atas kelakuannya sendiri yang buru-buru bersikap mencurigai. Tapi
tiba-tiba yang lain berkata, “Eh —berapa banyak isi kantongmu?”
“Mengapa
tanggung-tanggung? Sekalian kudanya,” yang satunya menyambung seolah-olah
sedang bertukar-pikir.
Sangaji
terkesiap, la lantas melihat mereka bertiga melintang jalan, la memperhatikan
keadaan kiri-kanan mereka. Jalan begitu sempit. Seberang-menyeberang jalan
penuh batu bongkahan. Malam gelap pula. Kalau ia turun dari kuda untuk melawan
mereka bertiga, mungkin tak berhasil. Jangan-jangan si Willem bisa dilarikan
selagi dia dibuat sibuk.
Memikir
demikian ia menarik les dan balik kembali. Kira-kira sepuluh derapan, ia
berpu-tar lagi sambil menjepitkan kaki. Willem kaget, serentak menjejak tanah
dan melesat bagaikan terbang. Waktu itu tiga pemuda berpakaian putih mengira,
Sangaji hendak melarikan diri.
Buru-buru
mereka lari mengejar, tak tahunya Sangaji berputar kembali dengan tiba-tiba
menghentakkan kudanya. Karuan saja mereka terkejut bukan kepalang.
“Awas!
Buka jalan!” teriak Sangaji sambil menghunus pedang.
Mereka
benar-benar gugup, karena sama sekali tak menduga bakal diterjang secara mendadak.
Tapi begitu mendengar teriakan Sangaji, hati mereka jadi panas. Seolah-olah
telah berjanji, mereka kemudian meloncat berbareng hendak menyambar les. Tetapi
Willem lari amat pesat. Di samping itu, ketika melihat mereka bergerak hendak
menyambar les, Sangaji membentak hebat. Si Willem berbe-nger dan terus menjejak
tanah melewati gundul-gundul mereka.
Kejadian
itu di luar perhitungan ketiga pemuda itu. Mereka begitu terkejut sampai
ter-diam beriongong-longong. Darahnya tersirap menusuk kepala. Sama sekali tak
diduganya, kalau kuda Sangaji benar-benar jempolan sampai bisa meloncat
melewati kepala. Coba kurang bertenaga sedikit saja, gundul mereka bisa
tersambar potol.
Sangaji
sendiri tak mengira, Willem bisa main akrobat. Tadinya dia hanya bermaksud
memberi semangat tempur agar menerjang ketiga pemuda itu dengan sepenuh tenaga.
Pedang-nya sudah dilintangkan hendak membacok mereka. Tak tahunya, dia dibawa
terbang. Inilah pengalamannya pertama yang luar biasa pula.
Beberapa
waktu kemudian, ia mendengar mereka bertiga berteriak-teriak kalang-kabut.
Mereka
memaki-maki sejadi-jadinya karena penasaran. Lalu terdengarlah bunyi bersuitnya
beberapa batang panah. Tetapi Sangaji tak menghiraukan. Larinya si Willem jauh
lebih pesat daripada melesatnya panah mereka.
Hampir
semalaman penuh, ia melarikan kudanya—karena takut dihadang yang lain. Ketika
perasaan hatinya merasa tenteram, ia memperlambatkan dengan bujukan manis.
Terima kasih, Willem. Malam ini kau menyelamatkan aku. Besok pagi aku akan
membalas budi. Akan kubelikan kau serbuk halus, gula-gula dan rumput hijau.”
Kemudian
ia membawa si Willem beristirahat, la melihat sebuah gubuk yang berdiri di tepi
sungai. Tanpa berpikir lagi, ia memasukinya dan merebahkan diri. Mulailah
benaknya membaca pengalamannya tadi. Kesannya hebat, seram dan menegarkan hati.
Hampir fajar menyingsing ia bergulak-gulik tak dapat memejamkan mata.
Keesokan
harinya, setelah mandi di sungai, ia meneruskan perjalanan. Pengalamannya
semalam, tiba-tiba mematangkan dirinya tanpa disadari sendiri. Dadanya serasa
penuh, pandangnya tajam dan merasa diri menjadi manusia lain daripada kemarin.
Si Willem tetap segar-bugar. Larinya cepat dan tidak ada tanda-tanda kelelahan.
Karena itu, sebentar saja sampailah dia di perbatasan Kota Cirebon.
Cirebon
adalah kota Kasultanan. Meskipun kalah ramai jika dibandingkan dengan Jakarta,
tetapi bukan merupakan kota tak berarti. Cirebon merupakan kota perhubungan,
karena letaknya berada di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selain
itu memiliki pelabuhan yang ramai juga dikunjungi perahu-perahu dagang dari
berbagai pulau.
Sangaji
menuntun kudanya dan berjalan keliling kota. Ia menjenguk toko-toko dagang,
menengok pasar dan membeli beberapa keranjang buah-buahan. Setelah itu ia
mencari serbuk halus, gula-gula dan rumput hijau untuk si Willem. Kebetulan di
dekat penjualan serbuk dan rumput, berdirilah sebuah restoran Tionghoa. Belum
pernah sekali juga ia memasuki restoran Tionghoa, tapi karena perut merasa
lapar dan mengingat pula perut si Willem, ia memasuki restoran itu.
Segera
ia memesan sepiring nasi, sepiring daging sapi dan udang goreng. Itulah macam
masakan yang dia kenal. Pelayan yang meladeni tersenyum dan lekas saja
memaklumi, kalau si pemuda tanggung itu bukan golongan pemuda-pemuda yang sudah
mempunyai pengalaman melihat luasnya dunia.
Lantas
saja dia memandang kurang kepada Sangaji. Tapi ia bersikap diam, agar jangan
mengecewakan tetamu.
Tengah
Sangaji bersantap, terdengar pelayan itu sedang ribut dengan seorang pemuda
yang mengenakan pakaian kumal. Teringat akan pengalaman semalam, Sangaji terus
bangun dan melompat lari menengok kudanya. Ternyata si Willem masih nampak
meng-gerumuti rumput muda dan serbuk halus bercampur gula-gula. Sekarang ia
menaruh perhatian kepada pemuda kumal itu.
Umurnya
kira-kira tujuh belas tahun. Kelihatannya bengal dan bandel. Anehnya, suara-nya
kecil nyaring. Meskipun demikian enak didengar, la mengenakan celana bertambal.
Terang, dia seorang pemuda melarat.
“Mau
apa lagi kau?” bentak pelayan restoran.
“Sebentar
menjenguk dapurmu,” sahut si pemuda. Habis berkata demikian, lantas saja dia
masuk dapur dan memungut sepotong daging. Tangannya ternyata kotor. Sepotong
daging itu bentong-bentong kotor karena tangannya. Keruan saja, si pelayan
marah. Tanpa berkata lagi, ia melayangkan tangan. Di luar dugaan, si pemuda
gesit. Ia merendah sedikit dan tamparan itu melayang bebas di udara.
Sangaji
ingat akan nasibnya sendiri, dua belas tahun yang lalu. Meskipun waktu itu
umurnya baru menginjak enam tujuh tahun, riwayat perjalanannya yang pahit dan
sengsara masih teringat lapat-Iapat dalam benaknya. Terbayanglah betapa nestapa
dia, tatkala harus berjalan memasuki tiap kota dan akhirnya menumpang perahu
dari Cirebon. Lalu, betapa hebat deritanya sewaktu tiba di Jakarta. Terpaksa
dia diajak hidup dari teritisan ke teri-tisan. Untung saja bertemu dengan
seseorang dermawan yang kebetulan bernama Haji Idris. Itulah sebabnya, begitu
ia melihat si pemuda dan perlakuan si pelayan yang kasar, lantas saja dia
menjadi perasa.
“Jangan!
Jangan!” ia mencegah. “Aku nanti yang membayar sepotong daging itu.” Kemudian
kepada si pemuda, “Apa Saudara mau duduk bersamaku? Barangkali hidangan ini
cukup untuk menahan lapar.”
Mendengar
kata-kata Sangaji yang ramah dan penuh perasaan, si pemuda lalu ber-senyum.
Setelah itu merenggutkan sepotong daging yang telah kotor olehnya dan
dilemparkan ke luar pintu. Katanya nakal kepada pelayan, “Lihat! Jangan kau
kira aku mengotori dagingmu, agar terpaksa kau memberikan kepadaku.”
Di
luar pintu, berdirilah tiga ekor anjing buduk. Begitu melihat dan mencium
daging mentah, mereka lalu berebut. Inilah rejeki nomplok bagi ketiga anjing
itu.
“Sayang...
seribu sayang...” jerit si pelayan. “Sepuluh tahun aku bekerja di sini, belum
pernahmakan daging sebesar itu seorang diri... Kau tadi bisa berikan kepadaku,
kalau tak sudi.”
Sangaji
pun heran menyaksikan tingkah-laku si pemuda. Terang ia melihat, kalau si
pemuda memang lapar. Dilihat dari gerak-geriknya yang bengal dan bandel,
mestinya ia sengaja mengotori potongan daging itu agar terpaksa diberikan
kepadanya. Mengapa kini tiba-tiba bisa berlagak angkuh dan tak pedu-lian?
Meskipun ia mendapat kesan demikian, ia tetap menutup mulut. Dengan hormat ia
menarik kursi buat si pemuda.
“Ayo
kita makan bersama,” Sangaji menawari.
Si
pemuda itu tertawa. Lagaknya masih angkuh. Jawabnya mempertahankan harga diri,
“Baik. Akupun sebenarnya lagi mencari teman untuk kuajak makan bersama. Tak
tahunya, kambing itu menduga buruk padaku.”
Lidah
pemuda itu terang berasal dari daerah Jawa Tengah sekitar Semarang. Sangaji
hidup selama lebih dari sepuluh tahun di Jakarta. Dia biasa menggunakan bahasa
Melayu Jakarta dalam pergaulan. Tapi tak melupakan bahasa daerahnya, karena
ibunya menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Karena itu begitu mendengar logat
bahasa si pemuda, ia menjadi senang. Rasa hatinya terasa begitu dekat dengan
tiba-tiba.
“Apa
hidangan ini cukup kita makan bersama?” pemuda itu bertanya lagi.
Sangaji
diam mempertimbangkan, lalu memanggil pelayan. Dia memesan sejenis masakan
lagi. Tapi si pelayan nampak ogah-ogahan. Apalagi harus bekerja untuk si pemuda
kumal itu. Si pemuda segera mengetahui kata hati si pelayan. Ia mendamprat
nyaring, “Hai, apa kausangka aku ini seorang melarat sampai tak bakal bisa
membayar makanan? Biar aku berpakaian begini, tapi belum tentu aku bisa
menikmati makananmu.”
Sangaji
diam-diam tersenyum dalam hati. Melihat sikap angkuhnya si pemuda, men-dadak
saja teringatlah dia kepada perangai temannya semasa kanak-kanak si Sanjaya. Ia
mau menduga-duga, tetapi belum berani meyakinkan diri.
Si
pelayan yang kurang senang pada si pemuda kumal, kemudian datang mendamprat.
“Apa kauhilang? Buat Kota Cirebon, inilah restoran yang paling baik dan
seringkali dikunjungi pembesar-pembesar. Orang-orang Belanda-pun suka kemari.”
“Apa
kalau sudah dikunjungi orang-orang Belanda, sudah berarti restoranmu mempu-nyai
resep makanan enak?”
Si
pelayan jadi penasaran. Pemilik restoran-pun yang mendengar ujar si pemuda ikut
tertusuk perasaannya. Dia lalu datang menghampiri. Berkata hormat dibuat-buat,
“Apakah kata Tuan? Apakah jenis masakan kami, belum bisa memenuhi selera Tuan?
Restoran ini bernama “Nanking”. Nanking adalah kota besar di negeri Tiongkok.
Termasyur dengan resep masakannya, jenis buah-buahan dan perempuannya. Tuan
belum pernah menginjak negeri Tiongkok, kalau perlu kami bisa menuturkan.
Masakan Jawa kalau dibanding dengan jenis masakan Tiongkok, belum ada
sepersepuluhnya ...”
“Hm!
Apa kalau sudah berani menyebut restoran Nanking mesti bisa menjamin mutu
masakannya? Kau mengobrol perkara negeri Tiongkok, akupun bisa membual perkara
masakan Jawa. Apa masakan Tionghoa? Apa kau kira aku belum mengenal?”
Mendengar
dan melihat kawannya berbicara begitu lantang, Sangaji merasa tak enak. Ia
ingin menengahi, mendadak pemilik restoran adi penasaran. Katanya menguji
sambil me-ngulum mengejek, “Tuan bilang sudah kenal masakan Tionghoa? Baik,
paling-paling macam resep mutu rendahan.”
“Hm.
Baik kau dengar! Aku akan menyebutkan semua macam masakan Tionghoa yang sering
kumakan setiap hari. Jika kau tak bisa membuat masakan yang kupesan, apa
saubilang?”
“Umurku
sudah hampir lima puluh tahun. Aku hidup selama 35 tahun di Nanking. Selama
hampir 25 tahun, aku bekerja di sebuah restoran besar. Tuan bisa menyebut macam
masakan yang Tuan sukai dan aku akan membuatkan.”
“Betul?”
“Betul!”
Si
pemuda menggigit bibirnya. Lantas berkata, “Aku khawatir kau tak mampu, karena
restoranmu begini kecil.” Sehabis berkata begitu, ia melayangkan matanya. Dan
si pemilik restoran bertambah hebat rasa penasarannya. Menyahut lantang,
“Sebaliknya aku khawatir Tuan tak bisa membayar.”
Si
pemuda kemudian menatap muka Sangaji. “Apa kau mau membayar semua yang
kumakan?”
Sangaji
mengangguk, karena dia sibuk menduga-duga tentang diri Sanjaya.
“Tak
perduli berapa banyak aku makan?” si pemuda menegas.
Sangaji
mengangguk lagi. Melihat Sangaji mengangguk menyanggupi, si pemuda berpa-ling
kepada pemilik restoran, “Temanku ini akan membayar. Nah, sekarang dengarkan
semua macam masakan yang bakal kami pesan. Terlebih dahulu biar kawanku ini,
lantas aku.”
Sangaji
sebenarnya tak mengenal tentang macam masakan. Dia hanya sedang bergem-bira.
Pertama-tama, bertemu dengan seorang teman di tengah perjalanan yang sebaya
umurnya. Kedua, menduga barangkali si pemuda itu Sanjaya. Ketiga, merasa
tertarik oleh lagak-lagu si pemuda yang berani dan lancar bicaranya. Lantas
saja, dia berkata dengan maksud menggembirakan pertaruhan itu.
“Satu
keranjang daging kerbau goreng. Satu keranjang hati lembu goreng. Satu
keranjang usus kambing goreng. Satu keranjang ...”
Ia
mengira, kalau sudah menyebut suatu jumlah masakan dengan ukuran keranjang,
sudah merupakan suatu pesanan yang luar biasa. Tak tahunya si pemuda menungkas,
“Eh, jangan! Mengapa begitu sederhana?”
“Lho,
bukankah aku sudah memesan macam goreng daging, goreng hati dan goreng usus
masing-masing satu keranjang? Dia tentu terpaksa memotong kerbau, lembu dan
kambing beberapa ekor.”
“Jangan
diributi perkara daging, hati, usus dan tetek-bengek. Itu bukan makanan buat
orang seperti kita. Tapi ukuran keranjang itu pantas buat raksasa atau anjing
buduk.”
Sangaji
segera mau mengalah. Memangnya I tak becus menyebut sejenis masakanpun, selain
serba goreng. “Baiklah, kalau begitu kau saja yang memesan. Pasti aku akan ikut
makan pesananmu.”
Si
pemuda lalu menggosok-gosokan tangan. Ia seolah-olah lagi sibuk memilih nacam
masakan yang berjumlah lebih seribu dalam benaknya. Kemudian memutuskan.
“Baiklah
kita minum dahulu atau makan buah-buahan yang serba segar. Kata dia, aku harus
memesan masakan yang khas keluaran Tionghoa. Bukankah begitu?”
Pemilik
restoran mengangguk sambil mengulum senyuman merendahkan.
“Bagus!
Sediakan buat kami berdua, buah-buahan yang serba kering, manis-madu dan
asam-segar.”
“Sebutkan,
buah-buahan apa itu?” Si pemilik restoran senyumnya lebih lebar.
“Karena
restoran ini begini kecil ... baiklah agar kau tak usah payah-payah dan
repot...” si pemuda berkata terputus-putus untuk mengesankan setiap patah
katanya. “Sediakan saja buah leci, lengkeng, co dan ginseng. Entah di sini ada
atau tidak. Kemudian yang manis-madu, buah jeruk Tiauwhoa-kim-kie, anggur
hiangyoh, buah tho tong songtiauw dan buah lay hauw-longkaun...”
Mendengar
bunyi macam buah-buahan yang disebutkan si pemuda begitu lancar, si pemilik restoran
terperanjat sampai pucat.
Tak
mengira dia kalau si pemuda itu benar-benar mengenal macam buah-buahan yang
mahal dan lezat dari negeri Tionghoa. Seseorang yang belum pernah merasakan dan
mencicipi macam buah-buahan itu, betapa bisa tepat mengatur tata kelezatan dan
mengenal namanya dalam bahasa Tionghoa. Sebaliknya, Sangaji jadi bangga dan
besar hati mempunyai kawan baru ini. Tadinya dia merasa khawatir, mengingat
ketajaman lidah si pemuda. Kalau sampai tak bisa menyebut macam masakan
Tionghoa, setidak-tidaknya dia ikut ditertawakan si pemilik restoran. Tak
tahunya, selain berlidah tajam, ia bisa diandalkan. Bagi dia yang sama sekali
tak mengenal nama jenis masakan Tionghoa sehurufpun, lantas saja merasa takluk
sampai ke bulu-bulunya.
Si
pemuda itu rupanya tahu, kalau baik Sangaji maupun si pemilik restoran mulai
keran padanya. Maka ia sengaja memperlihatkan mutu dirinya. Dengan gaya
memaafkan dan memaklumi atas kemiskinan si pemi-ik restoran, dia berkata,
“Kalau aku menuruti kebiasaanku, takut kau tak dapat memenuhi. Baiklah aku
minta tujuh macam hidangan saja. Ceker bebek goreng, puya asap, soto kijang,
idah ayam cah, soto burung manyon, bakso kelinci, kaki babi hong vr;”
Kali
ini si pemilik restoran benar-benar merasa takluk, la berdiri melongoh.
Khawatir si pemuda akan memesan hidangan lainnya, cepat-cepat ia memotong,
“Tuan... Cirebon bukan Nanking. Bagaimana bisa kami menyediakan macam masakan
yang Tuan pesan.”
“Mengapa
tidak?” sahut si pemuda. “Semua pesanan ini, sudah kutaksir sebelumnya akan
dapat kausajikan. Apa susahnya? Ceker bebek. Di Cirebon masa tidak ada itik?
Lidah ayam. Masa di Cirebon tidak ada ayam? ...”
“Ya
betul, Tuan. Tapi burung wanyoh,, kijang dan kelinci, di mana kami bisa cari.
Masakan kami harus menguber-uber binatang itu di tengah alam yang begini luas?”
“Zie
ye,” kata si pemuda dalam bahasa Belanda. Kemudian ia berbicara dalam bahasa
Belanda dengan Sangaji amat lancar. Sekarang, baik Sangaji maupun si pemilik
restoran mempunyai kesan lain terhadapnya. Mereka yakin, kalau si pemuda itu
ternyata seorang pelajar yang lagi jatuh miskin. Maka diam-diam, mereka
bersikap hormat.
“Baiklah,”
kata si pemuda itu memaklumi. “Sediakan saja masakan yang kaubanggakan. Aku
berjanji akan memakannya habis tanpa berbicara. Dan tolong ambillah anggur
Pe-khoen-cioe.”
“Tuan
maksudkan arak?”
“Katakan
saja anggur, biar temanku ini mau minum.”
Kebetulan
sekali si pemilik restoran mempunyai arak Pekhoen-cioe yang sudah disimpan
selama sepuluh tahun. Maka bergegas ia masuk ke dalam sambil
menghambur-hamburkan perintah menyediakan macam hidangan kepada juru-masak dan
pelayannya.
Sangaji
puas menyaksikan penyelesaian babak-akhir adu lidah. Ternyata si pemuda
berpengetahuan luas. Meskipun kedengarannya berbicara tajam, tetapi
menyenangkan dan bisa memaklumi orang. Ini membuktikan, kalau meskipun si
pemuda cerdas otaknya dan luas pengalamannya, mau memaafkan serta memaklumi
perlakuan orang terhadapnya. Bukankah dia sama sekali tak menyinggung apalagi
bersikap menggugat perlakuan si pelayan yang mau menempeleng kepalanya? Tapi
dengan bersenjata pengetahuannya yang luas, dia bisa menaklukkan tidak hanya
terhadap si pelayan saja. Baik si pemilik restoran dan dirinya sendiri
benar-benar kena ditaklukkan.
“Saudara
Sangaji masih mencoba. Apa benar-benar kita berdua nanti dapat meng-habiskan
semua hidangan yang akan disediakan?”
“Perang
belum selesai seluruhnya,” sahut si pemuda dengan tertawa. “Nanti kita ajak si
pemilik restoran makan bersama. Aku akan melayani dan kau yang membayar. Aku
ingin melihat, apakah hidangan yang dimakan bisa menjadi daging.”
Mendengar
rencana si pemuda, mau tak mau Sangaji tertawa geli. Alangkah lucu, sekiranya
bisa kejadian si penjual makan jualannya sendiri dan dibayar oleh si pembeli.
Kalau si penjual mempunyai harga diri, mana bisa menelan traktiran si pembeli.
Ini namanya cara pukulan baru yang bisa membekas panjang dalam perut sampai
usus-ususnya. Dan sekali lagi, Sangaji kagum pada kecerdikan dan kepintaran si
pemuda. Ia sampai mau percaya, kalau otak si pemuda lebih cerdik dan lebih pintar
daripada Wirapati, gurunya yang dipuja selama ini.
Selang
setengah jam, hidangan dan masakan yang menjadi kebanggaan pemilik restoran
Nanking tiba. Sangaji mencoba mencicipi. Terus-terang ia mengakui kelezatannya.
Tetapi si pemuda makan dengan ogah-ogahan. Melihat lakunya yang ogah-ogahan, si
pemilik restoran sibuk menduga-duga. Ini sudah merupakan suatu siksaan baginya.
Mendadak pula si pemuda berkata, “Apa sudah betul bumbunya?”
“Masa
bisa kurang?
“Cobalah
makan! Kalau benar-benar kau-doyan, baru aku mau percaya.”
Si
pemilik restoran mana mau diajak meng-gerumuti masakannya sendiri yang sedang
dijualnya. Kalau disuruh memilih, lebih suka ia memperoleh celaan daripada
diperlakukan begitu. Tapi justru ia mempertahankan kehormatan diri, hatinya
selalu kebat-kebit. Bagaimana tidak? Di seluruh dunia ini mana bisa seorang
juru masak dicela masakannya? Meskipun andaikata si pencela benar, dia akan
siap-sedia hendak mempertahankan dan membela diri.
Si
pemuda bersikap tak pedulian. la lalu berbicara dengan bebas menanyakan
asal-usul Sangaji. Tapi ketika si pemilik restoran mau mengundurkan diri,
cepat-cepat ia minta penjelasan tentang bumbu masakan yang dihidangkan,
kemudian mencela kekurangannya dan menggurui bagaimana semestinya. Celakalah,
dia benar-benar hatinya tersiksa. Mundur tak bisa, tetap berdiri seperti jongos
enggan.
Sangaji
teringat pada pesan kedua gurunya. Dia harus bersikap hati-hati dan tak boleh
berbicara banyak. Maka dia tak mengaku berasal dari Jakarta. Cuma menerangkan,
datang dari daerah Jawa Barat dan pekerjaannya berburu.
Mendengar
kata-kata berburu, si pemuda nampak girang. Segera ia menanyakan ten-tang
perangai dan lagak-lagu binatang perburuan. Maka terpaksalah Sangaji mengiringi
ke-mauan si pemuda sebisa-bisanya. la bercerita tentang harimau, babi hutan,
ular, burung, kijang, rusa, gajah, kera dan lutung. Binatang-binatang itu
memang pernah dijumpai sewaktu dahulu berburu dengan keluarga Mayor De Hoop.
Tetapi jika dikatakan dia mengenal binatang-binatang itu dalam arti kata yang
benar, tidak benar. Karena itu tutur-katanya mengenai binatang-binatang itu,
lebih bersifat ke kanak-kanakan. Tapi justru bersikap ke kanak-kanakan, si
pemuda yang mendengarkan jadi kian tertarik.
“Aku
ingin memiliki semuanya!” seru si pemuda girang.
“Buat
apa?”
“Buat
main-main.”
Sangaji
dapat merasakan kegirangan si pemuda. Terus saja dia bicara dan bicara. Si
pemuda sendiri lantas juga menumpahkan semua angan-angannya. Ia ingin
menjelajah ke seluruh pelosok Pulau Jawa. Ia akan menyeberangi hutan, mendaki
gunung dan bukit-bukit serta memanjat pohon-pohon tinggi.
Amat
gembiranya, tangannya berserabutan. Suatu kali Sangaji kena sentuh tangannya.
Dia kaget, karena tangan si pemuda dirasakan lunak. Diam-diam ia mulai
mengamat-amati wajah si pemuda. Ternyata berkulit halus pula, berwarna kuning
kehitam-hitaman dan bersih. Matanya lentik dengan bentuk alisnya yang bagus.
Maka perlahan-lahan, tak mau ia menduga lagi kalau si pemuda itu adalah
Sanjaya.
“Sebenarnya
kamu berasal dari mana?” ia memberanikan diri untuk menanyakan asal-usulnya.
“Jauh!
Jauh amat!” jawab si pemuda.
Mendapat
kesan kalau si pemuda tak mau berterus-terang, maka ia tak mendesak lagi.
Mendadak si pemuda berseru, “Ah, semuanya sudah menjadi dingin.”
Sangaji
terperanjat. Baru dia ingat akan macam hidangan yang begitu banyak disedia-kan
di depannya. Karena terlalu tenggelam dalam percakapan, ia sampai lupa mencoba
mencicipi semuanya.
“Biarlah
suruh memanaskan,” katanya.
'Tidak.
Ini namanya kurang asli. Suruh saja mengundurkan dan mengganti dengan ma-sakan
lain,” si pemuda seperti menggerutu. Ia lalu menyuruh si pemilik restoran yang
masih saja berdiri tegak di sampingnya untuk mengangkat semua hidangan dan
mengganti dengan masakan baru.
Si
pemilik restoran bertambah heran. Hidangan belum semua dimakan. Harganya-pun
bukan murah, karena dia sendiri yang membuatnya istimewa. Sekarang mau pesan
hidangan yang lain. Selama dia membuka restoran di Cirebon, belum pernah
mempunyai tamu semacam hari itu. Tetapi ia tak berbicara sepatahpun. Ia
memanggil pelayan-pelayan-nya. Kemudian mengundurkan diri dari samping si
pemuda dengan hati lega. Maklumlah, dia lantas merasa dibebaskan. Tapi di dalam
hati dia menyukurkan Sangaji. Hm ... rasakan! Gangmu bakal disedot habis.
Mengapa tak sadar dipermainkan pemuda gila....
Sangaji
sendiri tak memikirkan perkara berapa dia harus membayar semua hidangan.
Hatinya sudah merasa kena direbut si pemuda. Bahkan karena senangnya, lantas
saja dia mengambil sepasang pakaian baru dan diberikan kepada si pemuda sebagai
tanda ikatan persahabatan. Setelah itu ia membekali pula uang sejumlah seratus
ringgit. Bukan main besar jumlah itu, sampai si pemilik restoran yang mendengar
gerincing uang jadi ngiler.
Si
pemuda menerima hadiah itu, tanpa mengucap terima kasih sepatahpun. Bahkan
tidak nampak kesan sedikitpun jua, seolah-olah sudah semestinya Sangaji
menghaturkan persembahan kepadanya.
Tatkala
itu, masuklah seorang pemuda ke dalam restoran. Pemuda itu berwajah amat cakap.
Umurnya kurang lebih 19 tahun dan dandanannya mentereng. Ia melirik kepada
Sangaji.dan si pemuda,Ternudian dengan sikap angkuh duduk di kursi sebelah
sana. Ia memanggil pelayan dengan suatu isyarat. Kemudian memesan empat macam
masakan.
“Apa
cukup buat bekal pulangmu?”
“Aku
tak mau pulang ke rumah,” jawab si pemuda dengan menggelengkan kepala.
“Mengapa?”
“Ayahku
tak menghendaki aku pulang.”
Masa
begitu, Sangaji heran.
“Buktinya,
aku sampai ke mari. Tapi ayahku mana mencariku?”
Sangaji
bertambah heran. Lantas saja tahu, kalau si pemuda itu biasa dimanjakan
ayah-nya. “Ibumu kan rindu padamu?”
“Ibuku
sudah lama meninggal dunia. Kata Ayah, semenjak aku belum pandai
me-rangkak-rangkak.”
Sangaji
jadi terharu. Sekarang ia yakin benar, kalau si pemuda itu bukan Sanjaya.
“Apa
ibu sambungan tak mengurusmu, sampai ayahmu tak menghendaki kamu pu-lang?” ia
mencoba mencari kejelasan.
“Mana
berani Ayah mengambil isteri baru? Kalau berani mencoba, dia akan kuracun.”
“Siapa yang kau racun?”
“Isterinya,”
sahut si pemuda tanpa ragu-ragu. Melihat lagak-lagunya, Sangaji percaya kalau
si pemuda itu akan melakukan apa yang telah diucapkan. Diam-diam ia merasa diri
bernasib lebih baik dari si pemuda. Itulah sebabnya pula, ia bertambah
berkasihan kepadanya.
Selagi
dia sibuk menggerayangi keadaan si pemuda, mendadak di luar restoran terdengar
bentakan-bentakan dan bengar si Willem. Serentak darahnya tersirap. Terus ia
melompat dari kursinya dan lari ke luar. Betapa kagetnya, ia melihat tiga
pemuda berpakaian putih sedang mengepung si Willem. Mereka berusaha hendak
menyambar les, tetapi Willem be-rontak. Itulah mereka semalam yang
menghadangnya. Ia heran, kenapa mereka bisa menyusul begitu cepat.
“Eh,
di siang hari bolong kamu berani merampas kuda,” bentaknya gusar. Ia hendak
meloncat menerkam salah seorangnya. Tiba-tiba saja seorang di antara mereka
jatuh tersungkur di tanah. Heran dia, mengapa roboh sendiri. Ia menoleh dan
dilihatnya si pemuda kumal berdiri di belakangnya sambil bersenyum. Belum lagi
dia membuka mulut, si pemuda berkata mendahului, “Jangan pedulikan
maling-maling itu. Pesanan kita sudah datang.”
“Mereka
hendak merampas kudaku,” Sangaji mencoba memberi penjelasan. “Tapi aneh, dia
roboh sendiri tanpa ku ...”
la
tak meneruskan, karena melihat si pemuda sudah balik duduk kembali. Maka ia
duduk pula di sebelahnya, kemudian melirik kepada pemuda mentereng.
Pemuda
mentereng dan tampan itu, justru memandang padanya. Dengan demikian pandang
mata mereka bertemu. Pemuda itu mengangguk hormat. Pandang matanya heran dan
mengagumi.
“Inilah
air tehmu,” temannya mendadak berkata, la segera mengarahkan perhatiannya
kepada temannya yang sedang menuang air teh. “Kudamu kenapa diincar mereka?”
tanya si pemuda.
Sangaji
hendak menyahut, mendadak didengarnya suara langkah berderapan. Ia menoleh.
Ternyata enam orang pemuda berpakaian putih memasuki restoran dengan pandang
mengancam. Tetapi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda mau menyerang. Mereka
seperti sedang menyelidiki dirinya dan sikapnya berhati-hati. Tak lama kemudian
salah seorang di antara mereka, melemparkan suatu benda tajam. Sangaji terperanjat.
Jarak antara dia dan enam orang pemuda berpakaian putih itu sangat dekat. Sudah
barang lentu, tak mungkin lagi dia menangkis lemparan benda tajam itu. Seketika
itu juga ia bergerak hendak menghindari, tapi teringatlah dia kalau temannya
berada di belakangnya. Pabila dia melompat ke samping, temannya pasti kena
sambaran benda tajam tadi. Di luar dugaan—selagi dia belum mendapat keputusan,
pemuda mentereng yang duduk di kursi sebelah sana, meloncat gesit seperti
terbang. Dengan sekali sambar, ia berhasil menangkap benda tajam itu. Ternyata
benda itu, sebilah belati kecil terbuat dari benda logam berwarna ke
kuning-kuningan.
Pemuda
mentereng itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia memperlihatkan
ketangkas-annya.
Cepat
luar biasa, ia melesat dan menerjang enam orang pemuda berpakaian putih
sekaligus.
Entah
bagaimana, mereka kena dihajar pulang balik.
“Mundur!”
teriak salah seorang di antara mereka. “Belum waktunya kita mengadu
ke-pandaian. Ingat! Dia si pemuda berpakaian mentereng!”
Mendengar
teriakan itu, lainnya lalu lari ber-serabutan. Sebentar saja lenyap dari
pengli-hatan. Ketika suara mereka tak kedengaran lagi, pemuda mentereng itu
menghampiri Sangaji dan temannya. Dengan sedikit membungkuk dia bertanya,
“Apakah aku boleh mengenal nama kalian berdua?”
Sangaji
segera akan menjawab, tetapi Sangaji dan pemuda berpakaian kumal sedang duduk
bersama akan menikmati hidangannya, tiba-tiba kawannya mendahului, “Kami ini
bangsa perantau. Tidak ada artinya memperkenalkan nama kami yang tidak ada
harganya.”
Pemuda
mentereng yang tampan itu, tersenyum. Ia membungkuk hormat lagi sambil menegas,
“Apakah kalian berasal dari kepu-lauan Karimun Jawa? Menilik Ilmu Sentilan
kalian yang bisa merobohkan lawan tanpa berkisar dari tempat, sangat kukagumi.”
Kawan
Sangaji menyahut, “Apa sih bagusnya Ilmu Sentilan dari Karimun Jawa?”
Pemuda
mentereng bersikap tak mendengarkan kata-kata si pemuda kumal. Pan-dangnya
mengarah kepada Sangaji yang sudah berdiri tegak di depannya.
“Baiklah,
kalau kalian tak mau memperkenalkan diri,” akhirnya dia berkata setelah
me-nimbang-nimbang sejurus. “Kita berpisah sampai di sini. Lain hari kita
bertemu kembali.”
Sangaji
membalas membungkuk ketika melihat si pemuda mentereng membungkuk hormat
padanya. Ia tak menduga sesuatu, tiba-tiba si pemuda mentereng melesat
kepadanya sambil mengayunkan tangannya. Serangan si pemuda mentereng, sama
sekali tak di duga Sangaji. Namun ia masih berwaspada. Betapa herannya, ia
melihat gerakan sambaran si pemuda mentereng seperti gerakan
Pringgasakti
yang dulu pernah menerkam pergelangan tangannya. Teringat akan pe-ngalamannya
dulu, segera ia mengerahkan tenaga. Getah Dewadaru disuruhnya bekerja. Itulah
sebabnya begitu sambaran si pemuda mentereng mengenai sasaran, lantas saja
mental kembali. Ia heran sampai terlongong sebentar.
“Mengapa
... mengapa kau menyerangku?” Sangaji minta penjelasan.
Si
pemuda mentereng tertawa perlahan. Menyahut, “Aku cuma ingin menguji ilmumu.
Tadinya kukira kauhebat. Sehebat Ilmu Sen-tilanmu. Tak tahunya, kau tak
memiliki ilmu berkelahi yang pantas untuk dibicarakan ...”
Terang,
si pemuda merendahkan Sangaji. Tapi Sangaji tak kuasa membalas. Memang ia
seorang pemuda yang tak pandai berperang bdah. Sebaliknya kawannya tidak
demikian. Menyaksikan Sangaji tak mampu membalas hinaan lawan, ia segera
berseru, “Hai! Apa kamu mau pergi?”
Memang,
waktu itu si pemuda telah meng-ungkurkan hendak meninggalkan restoran. Dia
puas, karena telah dapat menghina lawan. Karena seruan si pemuda kumal, ia
menoleh.
“Apakah
kamu mau berbicara?”
“Berbicara
sih, tidak,” sahut si pemuda kumal. “Cuma aku menemukan benda ini. Apa-kah ini
kepunyaanmu?”
Baik
Sangaji maupun si pemuda mentereng, heran melihat benda tajam salah seorang
rombongan pemuda berpakaian putih, berada di tangan si pemuda kumal. Jelas,
tadi benda tajam itu telah kena tangkap si pemuda mentereng dan disisipkan pada
ikat pinggang. Ba-gaimana bisa berada di tangan si pemuda kumal?
Dengan
tersipu-sipu, si pemuda mentereng menerima kembali benda rampasannya. Kemudian
mundur beberapa langkah sampai di ambang pintu. Tiba-tiba ia melihat empat
butir benda berwarna kuning menyambar dirinya. Gugup ia menangkis berserabutan.
Karena gerakannya cepat, ia berhasil menangkis semua. Meskipun demikian, ia
kaget bercampur heran. Segera ia mengamat-amati mereka berdua. Dilihatnya
Sangaji tetap berada di tempatnya. Si pemuda kumalpun tak berubah tempat,
tetapi mulutnya tersenyum kecil.
“Baiklah!
Lain kali kita bisa bertemu kembali,” seru si pemuda mentereng. Ia melem-parkan
segenggam uang makanan, kemudian melesat pergi.
Sangaji
heran menyaksikan tingkah-laku si pemuda mentereng. Mengapa dia tiba-tiba
menangkis berserabutan, pikirnya. Diapun melihat melesatnya empat butir benda
kuning, tetapi ia tak dapat menduga darimana datangnya.
“Hai,
mengapa benda tajam si pemuda tadi bisa berada di tanganmu?”
Si
pemuda kumal tertawa. Katanya; “Selagi dia menyerangmu, benda itu jatuh. Lalu
ku-pungut dan kuperlihatkan kepadanya. Coba kalau tidak secara kebetulan aku
menemukan benda itu, kau bisa direndahkan ...”
Sangaji
adalah seorang pemuda yang jujur. Menimbang, jawaban si pemuda cukup masuk
akal, ia tak mengurus lebih lanjut. Waktu itu pelayan-pelayan restoran sedang
sibuk me-munguti uang si pemuda mentereng, dengan berdiam diri. Rupanya mereka
kenal siapakah si pemuda mentereng itu. Maka mereka tak berani mengomel.
Dengan
persetujuan si pemuda kumal, Sangaji pun membayar semua hidangan yang telah
disediakan. Jumlah penghitungannya sangat mahal. Semuanya berjumlah dua puluh
ringgit. Tetapi Sangaji membayar harga hidangan dengan berdiam diri dan dengan
gampang. Malahan, ia memberi persen pula kepada para pelayan dan pemilik
restoran. Keruan saja, dia dan temannya lalu mendapat perlakuan luar biasa.
Mereka berdua dielu-elukan sebagai raja.
Kedua
pemuda itu, keluar dari restoran tanpa tujuan. Willem dituntun Sangaji dan
melangkah dengan gagah. Si pemuda kumal kagum.
“Maling-maling
tadi akan merampas kudamu. Pasti kudamu bagus.”
“Tidak
hanya kudaku saja yang mau dirampas, tapi kantong uangku juga,” sahut Sangaji. Kemudian
ia mengisahkan riwayat perjalanan dan keperkasaan Willem. Si pemuda ikut
berbesar hati mendengar kegagahan Willem.
“Dia
kuda jempolan,” katanya memuji sambil melompat-lompat girang. Sejurus
kemudi-an, dia diam seperti lagi berpikir. Berkata hati-hati, “Kak! Apa aku
boleh minta sesuatu da-rimu?”
“Tentu!”
sahut Sangaji cepat. “Katakan! Kalau aku bisa melakukan, tentu akan
kuker-jakan.” “Sebenarnya aku senang juga pada si Willem. Apa boleh kuminta?”
“Kamu
senang benar? Baik, akan kuhadiah-kan si Willem kepadamu,” sahut Sangaji pula.
Si
pemuda itu terperanjat. Sebenarnya dia hanya main-main belaka. Bukankah dia
baru berkenalan? la sudah dapat memastikan, kalau Sangaji akan menolak
permintaannya. Tak tahunya —di luar dugaan—Sangaji meluluskan permintaannya.
Hebat pengaruh kerelaan Sangaji melepaskan kudanya. Si pemuda kumal itu
mendapat kesan bersimpang-siur. Hatinya bercampur keharuan mendalam. Dia adalah
seorang pemuda yang menurut keterangannya, tiada beribu lagi. la merasa tak
dikehendaki juga oleh ayahnya. Itulah sebabnya, begitu menerima rasa
kasih-sayang dari Sangaji, seketika itu juga air matanya mengalir, la menangis
sedih sampai membungkuk-bungkuk di pinggir jalan. Keruan saja, Sangaji yang
tidak merasa berbuat sesuatu yang aneh, jadi kebingungan. Segera ia meraih dan
minta penjelasan mengapa dia menangis.
“Apakah
kamu sakit?” tanyanya.
Si
pemuda menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia terus mendekam menyembunyikan
mukanya.
“Adik!
Apa yang salah?” Sangaji minta penjelasan lagi. Memang ia pantas memanggil si
pemuda adik, karena usianya jelas lebih muda daripadanya.
Perlahan-lahan,
si pemuda kumal mengangkat kepalanya. Kemudian menoleh dan mengamat-amati
Sangaji. Pandangnya penuh haru dan rasa terima kasih. Sebaliknya Sangaji merasa
tak berbuat sesuatu. Kini malahan keheran-heranan, ketika melihat warna pipi si
pemuda kumal yang kehitam-hitaman luntur sedikit. Di balik warna kulit yang
kehitam-hita-man, tersembullah kulit muka lagi yang berwarna kuning langsat.
Apa
dia menderita sakit, sampai menjadi pucat? Sangaji sibuk menduga-duga.
Menda-pat dugaan demikian, cepat ia memapah si pemuda kumal dan diletakkan di
atas pelana si Willem.
“Terima
kasih,” bisik si pemuda kumal. “Aku akan meneruskan perantauanku.”
Sangaji
mengangguk sambil menepuk paha si Willem. Ia berkata kepada kudanya: “Willem!
Dia adalah sahabatku, tak beda dengan diriku sendiri. Lindungilah dia dan
bawalah dia ke tempat tujuannya. Nah, pergilah!”
Willem
lantas saja lari berderap. Sangaji mengikuti dengan pandangnya sampai makin lama
makin menjauh. Tiba-tiba ia melihat Willem berhenti beberapa waktu. Kemudian
berputar
kembali
dan datang berbalik.
“Apa
ada yang ketinggalan?” Sangaji menyambut.
Si
pemuda kumal menggeleng. Tangannya melambai. Maka Sangaji menghampiri.
“Kak,
apa aku boleh mengenal namamu?” ujar si Pemuda.
“Ah!”
Sangaji terperanjat. Baru kini sadar, kalau selama berkumpul dan berbicara,
masing-masing belum memperkenalkan namanya. Maka serentak ia menjawab, “Aku
bernama Sangaji. Kamu siapa?”
Si
pemuda kumal tak menyahut. Dia hanya mengulurkan sehelai kertas yang dilipat.
Katanya memesan, “Bukalah, setelah dua hari dua malam. Kamu akan mengenal
namaku.”
Sangaji
menerima lipatan kertas itu dengan berdiam diri. Setelah si pemuda pergi, dia
meneruskan berjalan mencari penginapan. Ia tidak keluar dari kamarnya sampai
malam tiba dengan diam-diam. Pengalamannya sehari tadi alangkah banyak dan
menyenangkan. Tapi tatkala ia mau memadamkan lampu untuk terus tidur, tiba-tiba
pintu kamar didobrak orang. Belum lagi dia menyapa, muncullah lima orang pemuda
berpakaian putih di depannya. Itulah anak buah sang Dewaresi yang masih
penasaran, karena kawannya seorang kena dirobohkan.
Perawakan
kelima pemuda hampir sama. Hanya tiga orang yang nampak menyolok. Yang pertama,
berperawakan paling kokoh. Mukanya hitam dan berkumis tebal teratur.
Matanya
bulat seperti gundu. Yang kedua, tinggi jangkung. Mukanya bopeng dan mulutnya
selalu mengulum senyum mengejek. Orang ini lantas saja melompat ke atas tempat
tidur dengan menghunus golok. Nampaknya ia berangasan dan ditugaskan memegat
Sangaji di atas pembaringan, siapa tahu Sangaji menyimpan senjata rahasia di
bawah bantal. Dan yang ketiga berperawakan gendut. Perutnya buncit. Mulutnya
lebar. Telinganya persegi.
Melihat
mereka menerobos masuk. Sangaji terperanjat. Apalagi dia telah dapat menebak
siapa mereka. Segera ia mundur ke sudut menjaga kemungkinan.
Si
kurus bopeng yang berada di atas pembaringan, lalu berkata nyaring, “Kau baru
tahu kami sekarang, bukan? Hai lebarkan lobang telingamu dan dengarkan. Kami
semua anak buah sang Dewaresi, berasal dari Banyumas. Kau tahu, siapakah sang
Dewaresi? Meskipun bukan Adipati maupun Bupati, tapi beliau merajai seluruh
daerah Banyumas. Biar bupati Banyumas sendiri, membungkuk sepuluh kali dulu
sebelum berbicara. Dan sekarang, siapa dia yang berdiri tepat di depanmu?”
Sangaji
mengarah kepada orang yang berperawakan paling kokoh dan berkumis tebal
teratur. Terdengar si kurus bopeng memperkenalkan, “Dialah pemimpin rombongan
kami. Namanya Kartawirya berasal dari Tasikmalaya. Orang Banyumas memberi
julukan padanya, Singalodra. Dan dia yang gemuk itu bernama Cekatik gelar
Simpit Ceker Bebek. Sebab biarpun gendut, dia bisa berenang menyeberangi
Nusakambangan seperti itik. Yang dua itu Kasun dan Maling. Aku sendiri diberi
julukan Setan Kobar, sebenarnya nama kanak-kanakku Bagus Irawan ...”
Mendengar
si kurus bopeng menyebut dirinya Setan Kobar, Sangaji bisa menerima. Memang
rupanya mirip setan seumpama di dunia ini benar-benar ada setan. Tapi tatkala
memperkenalkan nama kanak-kanaknya sebagai Bagus Irawan, itulah yang tak cocok
sama sekali. Bagaimana si kurus jangkung lagi bermuka bopeng, bisa mempunyai
nama Bagus. Diam-diam, ia tertawa geli dalam hati. Tapi mulutnya membungkam dan
kewaspadaannya tiada kurang.
“Sebenarnya
apa maksud kalian kemari?” dampratnya.
Si
Setan Kobar tertawa meriah memekakkan telinga. Lalu menjawab, “Kami anak buah
sang Dewaresi tak biasa dihina orang. Lagi pula tak pernah kami memberi hutang
piutang. Tapi kalau toh ada orang hutang satu, harus membayar satu pula. Kontan
dan pakai bunga. Nah, dengarkan apa kata pemimpin rombongan kami!”
Sangaji
pernah mendengar nama Kartawirya dari keterangan gurunya Wirapati. Dialah yang
memberi tanda udara dan mengincar kantong uangnya. Pikirnya, orang ini tentu
bukan orang sembarangan. Melawan dia seorang, belum tentu aku menang. Sekarang
di sini ada lima orang. Baiklah, aku berlaku bijaksana. Memikir demikian ia
melirik ke jendela. Tapi si Setan Kobar benar-benar awas seperti setan. Dia
tahu maksud Sangaji, lalu mendamprat sambil tertawa meriah. “Jangan kau
berpikir bisa lari meloncat jendela! Baiklah dengarkan kata sang Singalodra
akan berbicara, supaya kupingmu tidak kehilangan sepatah katanya.”
Sangaji
sadar, dia benar-benar terkurung rapat. Berbicara dalam hal pengalaman, mana
bisa dia mengatasi “mereka. Maka mau tak mau ia terpaksa mendengarkan dampratan
si kurus bopeng.
“Bocah”
kata Kartawirya garang. “Tak biasa aku menagih hutang seorang bocah. Lagipula,
mana bisa aku menerima pembayaran tanpa bunga. Sekarang jawablah! Di mana
gurumu?”
“Guruku
tidak di sini? Kalau ada, masa membiarkan aku kalian kurung?”
Jawaban
Sangaji tepat dan masuk akal. Maka Kartawirya nampak terperanjat dan kecewa.
Katanya, “Ah! Kalau begitu, kuberi kau kesempatan untuk bernapas malam ini.
Esok pagi, kau harus datang menemuiku di perbatasan Cirebon sebelah timur
bersama gurumu. Dengan begitu, kau bisa membayar hutang sebagaimana mestinya.
Aku akan menunggu.”
Setelah
berkata demikian, Kartawirya keluar dari kamar sambil memberi perintah: “Kita
pergi! Tutup pintu!”
Mereka
semua keluar dari kamar. Si kurus bopeng melompat turun dari atas pem-baringan.
Lalu ia menutup pintu kamar dengan gerakan menghentak. Tentu saja, pintu
ter-banting keras sampai berbunyi berbeletokan.
Sangaji
mendengar mereka menggerendel ointu. Kemudian ia memadamkan pelita dan duduk di
tepi pembaringan. Lantas ia mengintip keluar dari sela-sela jendela, dilihatnya
kamar terjaga rapat. Nampak si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek
berjalan mondar-mandir bersama Kasun dan Maling.
Kira-kira
seperempat jam lagi, Sangaji mendengar suara gemerisik di atas genting. Lalu
terdengarlah bentakan si kurus bopeng, “Hai bocah! Jangan kaukira bisa kabur!”
Sangaji
heran. Siapakah yang dimaksudkan si kurus bopeng. Dia sendiri berada di dalam
kamar. Dengan menahan napas, ia benar-benar mengintip, mereka kelihatan sibuk.
Si kurus bopeng dan Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek memasuki alam gelap
seakan-akan bergerak mengejar sesuatu. “Kita berdua tetap di sini,” bisik Kasun
kepada Maling.
“Mengapa
tidak membantu?” bantah Maling.
“Mereka
pasti bisa menangkap dia. Apa perlu kita ribut-ribut?”
Mereka
kemudian tidak berkata-kata lagi. Kesenyapan menyulubungi seluruh alam. Hanya
napas mereka berdua terdengar kempas-kempis. Sangaji menghampiri pembaringan.
Hati-hati ia menidurkan diri. Tapi sampai hampir pagi, matanya tetap menyala.
Tatkala
matahari menjenguk di udara, pelayan rumah penginapan datang membuka kamar.
Pelayan itu mengucapkan selamat pagi dan datang mengantarkan makan pagi.
Sangaji melompat dari tempat tidur. Betapa herannya, Kasun dan Maling tidak
nampak batang hidungnya. Jadi semalam, kamarnya tidak terjaga. Tapi karena
sudah berjanji, ia mempersiapkan diri untuk menemui Kartawirya di suatu tempat
yang sudah ditentukan semalam. Cepat-cepat ia makan dan segera membayar
penginapan. Di luar penginapan, mendadak ia disambut oleh Kasun. Orang itu
memperlihatkan goloknya sambil memberi syarat agar mengikuti.
Kalau
mau melawan, Sangaji merasa sanggup menumbangkan pemuda itu. Tetapi ia -'didik
kedua gurunya berwatak kesatria. Sekali berjanji, emoh ia mengingkari. Maka ia
menurut. Ternyata dia dibawa mengarah ke timur. Sampai di perbatasan wilayah
Cirebon, ia tak menjumpai sesuatu. Kini, hutan panjang mulai lergelar di
depannya. Sangaji mulai berpikir, Guru berada di suatu tempat entah di mana.
Tak mungkin mereka bisa tiba menolong diriku. Daripada aku di hina mereka,
lebih baik kulawan sampai mati.
Mendapat
keputusan demikian, hatinya mantap. Ia disuruh menunggu di bawah pohon. Kasun
kemudian pergi meninggalkannya seorang diri. Karena lama tidak muncul kembali,
duduklah dia bersemadi menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Getah Dewadaru lantas
saja bekerja. Seluruh tubuhnya terasa hangat dan segar.
Hampir
siang hari, dia menunggu. Kasun tak muncul lagi. Ke mana dia? Apa dia sedang
mengatur jebakan bersama teman-temannya? Serentak ia berdiri dan menghunus
pedang. Selangkah demi selangkah ia memasuki hutan. Matanya dilayangkan ke
sekitarnya, hendak berjaga-jaga jika terjadi suatu serangan tiba-tiba.
Sekonyong-konyong teringatlah dia kepada pesan gurunya Wirapati, 'Sekiranya kau
merasa tak bisa memenangkan lawan, lebih baik mengundurkan diri!' Karena
ingatan itu dia berpikir, sekarang tidak se-orangpun yang mengawasi aku.
Mengapa aku tak melarikan diri. Hutan ini cukup lebat. Masa kurang akal untuk
menyembunyikan diri?
Ia
segera mau melarikan diri, sekonyong-konyong terdengarlah suara makin
kalang-kabut. “Hai monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!”
Ia
heran bercampur kaget. Menilik suaranya, itulah lagu-suara si kurus-bopeng dan
ketiga temannya. Dimanakah mereka berada? Sangaji memutar pedangnya, menjaga
suatu kemungkinan. Tapi, mereka tidak juga datang menyerang.
“Hai
monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!” Terdengar lagi mereka memaki
*alang-kabut.
Sangaji
terkesiap. Cepat ia mendongak. Ia sercengang-cengang sampai berdiri
ter-longoh-longoh. Di atas pohon si kurus bopeng, Cekatik gelar Simpit Ceker
Bebek dan Maling kelihatan bergantungan. Kedua kaki dan kedua tangan mereka
terikat erat-erat. Nampaknya, mereka seperti terkerek ke atas dahan yang paling
tinggi. Tali kerekan ternyata terpancang pada pohon lain, mereka mencoba
meronta-ronta saat melihat Sangaji. Tetapi justru bergerak, tubuhnya lantas
berputaran. Karena di antara seluruh anggota badannya hanya mulutnya yang
bebas, maka mereka memaki kalang-kabut sejadi-jadinya.
Sangaji
benar-benar heran. Tetapi melihat rubuh mereka berputaran dan bagaimana mereka
repot hendak berusaha menghentikan Sri. mau tak mau dia tertawa tergelak-gelak.
“Apa
kamu sedang main akrobat? Jangan banyak cing-cong? Ayo turun! Tak sudi aku
Telihat permainanmu.” Sangaji agak geli.
Mendengar
Sangaji berteriak demikian, si mrus bopeng yang berangasan lalu memaki *kalang-kabut
lagi, “Monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah! Moga-moga kau dige-rumuti
iblis!”
Sangaji
tertawa terbahak-bahak. Ia memang telah memutuskan mau melarikan diri. Begitu
ia melihat mereka berada di atas pohon, bukankah sudah terang di mana mereka
kini berada? Maka ia mengundurkan diri sambil berseru, “Maaf! Tak bisa aku
memenuhi undangan pemimpinmu! Aku terpaksa pergi!”
Mereka
memaki kalang-kabut lagi. Kali ini lebih seram dan sibuk. Merasa diri sebagai
anak-buah sang Dewaresi yang disegani orang di seluruh Banyumas, mereka malu
untuk minta pertolongan. Tetapi begitu melihat Sangaji hampir menghilang di
balik belukar, berubahlah pikiran si kurus bopeng. Ia takut mati kering di atas
pohon. Dengan melupakan rasa harga diri, ia berteriak, “Bocah bagus, kami
menyerah kalah! Bebaskan kami dari siksaanmu!”
Sangaji
heran mendengar bunyi teriakannya. Mereka mengira, dialah yang mengerek-nya ke
atas pohon? Ia berpikir sejenak. Kemudian menghampiri sambil berseru,
“Sebenarnya siapa yang menggantungmu?”
“Kau
masih saja mau mempermainkan kami? Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
Sekarang
dia tak ragu-ragu lagi. Pasti ada seseorang yang menolong dirinya dengan
dam-diam. Siapa? Apakah si pemuda mentereng di restoran kemarin?
Menimbang,
antara dia dan mereka sebenarnya tidak pernah merasa bermusuhan, maka ia
memutuskan mau menolong juga. Perlahan-lahan ia mengerek mereka turun sampai ke
tanah. Ternyata mereka terikat erat-erat mulai dari leher sampai ke ujung kaki
de-gan tali duk. Pantas mereka tak bisa berkutik sama sekali.
Sebelum
membebaskan ikatan, ia menotok urat-urat nadi mereka agar tak bisa bergerak.
Kemudian pangkal paha di depaki. Sekalipun mereka berkaok-kaok kesakitan, ia
tak mem-pedulikan.
“Mana
pemimpinmu yang bernama Kartawiya?”
“Bangsat!”
maki si kurus bopeng sambil menahan rasa nyeri. “Bukankah dia sedang
mengejarmu? Kausesatkan di mana dia sekarang?”
Sangaji
tak menjawab. Ia melangkah pergi dengan berdiam diri. Berpikir, Kartawirya
mengejar penolongku. Mereka bertiga digan-smg di atas pohon. Pantas Kasun tidak
muncul kembali. Orang itu setelah melihat rekanrekannya tergantung di atas
pohon, diam-diam lalu melarikan diri daripadaku. Diapun pasti mengira, aku yang
menyiksa teman-temannya.
Maka
kini ia melangkah dengan mantap. Dalam hati ia memuji penolongnya. Ia yakin, si
penolong memiliki ilmu berkelahi jauh lebih tinggi daripadanya. Cuma saja, ia
tak bisa menduga-duga siapa orang itu.
Ke
luar dari hutan, Sangaji meneruskan perjalanannya ke timur. Dua jam lamanya dia
berjalan. Menjelang sore hari, sebuah kereta pos militer lewat berderapan. Ia
berseru hendak menumpang. Mula-mula ditolak, tapi ketika dia memperhatikan
kantong uangnya, maka ia dipersilakan dengan hormat.
Sais
kereta pos militer ternyata seorang serdadu asal dari Jawa Timun. Dua temannya
yang lain berasal dari kepulauan Maluku. Usianya sudah pertengahan. Menurut
tutur katanya, lima tahun lagi dia bakal pensiun. Ia tukang bicara. Selama
dalam perjalanan, mulutnya tak pernah berhenti. Ia bercerita tentang
pengalamannya menjadi serdadu. Se-ringkali dia mengalami pertempuran sengit.
Setelah mengisahkan tentang macam pertempuran, tak lupa pula mengomongkan
perkara perempuan. Matanya lantas saja menyala-nyala seperti anjing serigala.
Katanya, semua perempuan yang hidup di seluruh kepulauan Nusantara, pernah dijelajahinya.
Tak
biasa Sangaji mendengar omongan perkara perempuan. Maka cepat saja, hatinya
—erasa muak. Tetapi ia terpaksa mendengarkan. Apalagi merasa berkat
pertolongannya bisa menumpang kereta berkuda. Ia hanya mengharapkan, moga-moga
kereta lekas-tekas sampai ke tempat tujuan.
Pukul
sepuluh malam, sampailah dia di Tegal. Ia membayar biaya kereta yang langsing
menjadi milik si serdadu, kemudian cepat-cepat mencari penginapan. Tetapi mana
bisa dia mencari rumah penginapan pada aktu pukul sepuluh malam. Terpaksa ia
beristirahat di teritisan sebuah toko.
Teringatlah
dia pada riwayatnya dua belas tahun yang lalu, tatkala dengan ibunya harus
tidur d teritisan pada waktu malam hari. Mengingat hal itu, terkenanglah dia
kepada cinta kasih fcunya. Tanpa sadar, air matanya berlinangan.
Selagi
benaknya dihanyutkan oleh lamunannya, sekonyong-konyong ia mendengar gen-dang
sekali-kali berbunyi dang-ding-dung. la melongok ke jalan. Dilihatnya seorang
laki-laki berjalan pincang sedang menuju ke arahnya. Laki-laki itu berumur
pertengahan. Di pung-gungnya tergantung sebuah gendang. Ia berjalan bersama
seorang gadis kira-kira berumur 18 tahun. Laki-laki itu membawa si gadis
berhenti beristirahat di teritisan toko itu juga.
Ah,
diapun terpaksa menginap pula di sini seperti aku, pikir Sangaji.
Melihat
seorang pemuda mengenakan pakaian mahal, laki-laki itu kaget. Ia mengira,
Sangaji adalah anak atau pegawai dari toko tersebut. Maka dengan hormat
laki-laki itu berkata, “Tuan Muda, apakah kami boleh menumpang beristirahat barang
sebentar di sini?”
“Tentu,”
Sangaji menyahut heran. “Akupun seorang penumpang seperti Bapak.”
“Ah!”
Laki-laki itu kini menjadi heran. Lalu ia duduk di samping Sangaji, sambil
merentangkan kakinya. Ternyata betis laki-laki itu yang sebelah kanan, buntung
seperti terpagas dan disambung dengan bumbung ).
“Apakah
Tuan Muda bukan penduduk kota Tegal?” dia bertanya kepada Sangaji.
“Aku
datang dari Cirebon, Pak. Karena terlalu malam, aku tak mendapat penginapan.”
“Tuan
Muda mau ke mana?”
“Ke
Pekalongan.”
“Eh,
sejalan dengan kami pula,” kata laki-laki itu sambil memberi tempat kepada
gadis-nya. Lalu dia tak berkata-kata lagi. Agaknya da terlalu capai dan sudah
biasa hidup dalam perantauan. Itulah sebabnya, dia gampang tidur di mana saja
dia berada. Lain halnya dengan Sangaji. meskipun dia pernah mengalami tidur di
teritisan pada masa kanak-kanaknya, aetapi nasibnya kemudian sudah berubah
baik. Kecuali itu, ingatannya diamuk oleh kenangan-ya sendiri semasa
kanak-kanak yang begitu pahit. Maka hampir satu malam penuh, tak dapat ia
memicingkan mata barang seben-tarpun.
Sebelum
fajar menyingsing, diam-diam ia meninggalkan teritisan. Laki-laki berkaki
bun-ting dengan gadisnya masih saja tidur dengan naknya. Ia terus berjalan
mengarah matahari terbit. Kira-kira menjelang sore hari, sampailah da di
Pekalongan. Di kota ini, ia mendapat tumah penginapan. Semalam penuh ia tidur
menebus rasa lelahnya.
Pada
keesokan harinya, ia terbangun karena etukan lembut. Segera ia membuka pintu
dan i lihatnya, pelayan rumah penginapan berdiri dengan hormat di depannya.
Kata pelayan itu, “Semalam ada seorang pemuda yang tak mau menyebutkan diri
menanyakan tentang ke-adaan Tuan. Dia titip pesan kepada kami, apa Tuan sudah
membuka lipatan kertas?”
Mendengar
ujar pelayan rumah penginapan, Sangaji kaget seperti tersengat lebah. Baru dia
ingat pada kertas lipatan yang diberikan kawan barunya. Menduga kalau orang
yang datang ke rumah penginapan adalah pemuda itu, girangnya bukan kepalang.
Gntung buat si pelayan, ia mendapat persen tak terduga-duga. Keruan dia
bergembira sampai tak bisa berbicara.
“Apa
dia datang?” seru Sangaji gembira.
Pelayan
itu cuma bisa mengangguk.
“Di
mana dia sekarang?” Sangaji menegas.
“Dia
lantas pergi.”
“Kapan?”
“Semalam.”
Sangaji
kecewa. Tetapi ia yakin, kalau kawannya itu masih berada di dalam kota. Maka
cepat-cepat ia merapikan pakaiannya. Kemudian lari ke kamar mandi.
Pekalongan
ternyata bukan kota kecil. Banyak pula gedung-gedung Tionghoa berdiri dengan
megahnya. Selain itu, gedung-gedung pemerintahan banyak yang mentereng pula.
Pantas setengah abad yang lalu pernah meletus pemberontakan hebat di kota ini,
pikir Sangaji.
Sangaji
terus berjalan-jalan tanpa tujuan. Ia memutuskan mau berusaha mencari kawannya.
Selain itu, siapa tahu kedua gurunya sudah tiba juga di kota ini. Bukanlah
menurut tutur-kata mereka akan datang ke Pekalongan intuk menyelidiki suatu
perserikatan yang mencurigakan?
Kira-kira
pukul sepuluh, Sangaji memasuki sebuah restoran kecil. Sesudah itu ia bersiap
untuk berangkat lagi. Mendadak tak jauh dari restoran itu, terlihatlah suatu
lapangan penuh kerumunan orang. Sebagai seorang yang datang dari jauh, cepatlah
dia tertarik. Ia mengira suatu tontonan rakyat. Mungkin lenong Jawa Barat,
mungkin pula kentrung Pesantren atau tontonan khas dari daerah Pekalongan.
Ia
menyusup di antara penonton. Ternyata benar dugaannya. Orang-orang lagi
merubung tontonan lenong Jawa Barat. Tapi anehnya, tetabuhannya hanya sebuah
gendang. Dari pembicaraan orang-orang di depannya, tontonan itu adalah sebuah Gendang
Pencak.
Sangaji
melongok ke dalam arena. Alangkah terkejutnya! Di dalam arena nampaklah seorang
laki-laki berkaki buntung lagi memukul gendang dengan seorang gadis berdiri di
sampingnya. Gadis itu mengenakan pakaian merah potongan laki-laki. Bukankah
mereka berdua yang menginap di teritisan sebuah toko di Tegal, kemarin malam?
Kalau dulu Sangaji tak begitu memperhatikan, kini diam-diam mengagumi perawakan
si gadis. Ternyata gadis itu berperawakan tinggi sedang. Tubuhnya singsat,
rambutnya terurai panjang dan berwajah amat cantiknya.
Sangaji
seorang pemuda yang masih terbuka hatinya. Meskipun ia tahu arti cantik, tetapi
tidak berpikir lebih jauh. Karena itu, hatinya belum bisa tertambat oleh arti
kecantikan se-orang gadis. Itulah sebabnya, ia bisa tak menghiraukan kejelitaan
Sonny De Hoop.
Si
gadis merah kelihatan membisiki telinga laki-laki buntung. Segera laki-laki
buntung meninggalkan gendangnya dan kemudian berbicara keras, “Tuan-tuan, kami
berasal dari Jawa Barat. Sebenarnya aku dulu pernah hidup di Jawa Tengah.
Namaku Mustapa. Karena sesuatu kejadian, aku meninggalkan kampung halaman dan
merantau tanpa tujuan. Aku bertemu dengan ayah si gadis. Dia seorang ahli
pencak dari Garut. Pada suatu malam ia sakit keras dan menyerahkan gadisnya.
Dia berpesan sebelum meninggal, kalau gadisnya mewarisi ilmu silatnya. Itulah
warisan satu-satunya yang bisa diberikan kepada gadisnya. Biarlah anakku kelak
mendapat jodohnya dengan berbekal ilmu silatnya, kata ayahnya. Setelah dia
meninggal,' gadisnya ikut merantau denganku. Gadis ini bernama Nuraini. Sudah
kuajak dia menjelajah negeri. Mulai dari Jawa Timur sampai Banyumas. Terus ke
Cirebon dan hari ini tiba di sini. Di mana kami berada, selalu kami
selenggarakan arena mengadu nasib. Barangsiapa dapat me-ngalahkan ilmu
silatnya, Nuraini akan bersedia menyerahkan diri. Aku selalu
mengharap-ha-rapkan kebahagiaannya, agar dia jangan ikut bersengsara seperti
nasibku. Tetapi di mana saja kami berada, belum pernah Nuraini dikalahkan
orang. Itulah sebabnya, aku mohon bantuan Tuan-tuan sekalian. Pekalongan
terkenal dengan harimau dan naga-naganya yang bersembunyi di belakang tembok
kotanya. Aku berharap, moga-moga harimau dan naga pekalongan muncul pada hari
ini. Siapa tahu, disinilah bersembunyi jodoh Nuraini... Tuan-tuan, janganlah
segan-segan. Memang pertunjukan ini masih asing bagi tata pergaulan di
Pekalongan. Sebaliknya sudah menjadi suatu kelumrahan di Jawa Barat...”
Kemudian
Mustapa mengabarkan tentang pertunjukan semacam itu di Jawa Barat.-Menurut dia,
semua anak-anak ahli silat akan mencari jodohnya dengan berbekal ilmunya.
Barangsiapa bisa mengalahkan, dia akan bersedia mengabdikan diri seumur
hidupnya.
Bahkan
bagi seorang gadis yang benar-benar tinggi ilmunya, berani mencanangkan diri
berlebih-lebihan. Barangsiapa dapat menyentuh dadanya, dia sudah mengaku kalah.
Sehabis
Mustapa mencanangkan diri, kembali ia memukul gendang sejadi-jadinya. Dan
kembali Sangaji mengamat-amati si gadis Nuraini. Benar-benar dia rupawan tidak
bercela. Pribadinya agung. Sayang, dia bukan anak seorang pangeran atau bupati.
Sekiranya dia anak seorang pangeran atau bupati takkan mungkin mencari jodohnya
lewat suatu pertandingan umum.
Selagi
ia merenung-renung, sekonyong-konyong melompatlah seorang laki-laki tegap
tinggi. Mendengar logat bahasanya, ia berasal dari daerah Jawa Barat pula. Rasa
segan atau malu tidak nampak. Mungkin arena pertandingan begitu, sudah
seringkali dikenal dan pernah juga menguji untung nasibnya.
Nuraini
lantas saja melesat di tengah gelanggang. Sangaji terperanjat. Ia tak
menyangka, si gadis bisa bergerak begitu enteng dan tangkas. Pikirnya,
benar-benar mengherankan! Ilmu silatnya, ternyata tak lemah. Pantas ia susah
dikalahkan ... Memikir demikian, hatinya jadi semakin tertarik.
Sebentar
saja perkelahian telah dimulai.
Perkelahian itu
makin lama makin
seru. Penonton bersorak-sorai menjagoi
masing-masing.
Setelah
berlangsung beberapa waktu, mulailah terjadi suatu kelompok pertaruhan.
Nuraini
tidak hanya pandai bersilat, tetapi cerdik pula. Ia berpura-pura membuka
lo-wongan. Terang, ia sedang memancing. Sebaliknya melihat lowongan itu,
lawannya menduga dia sedang lengah. Cepat ia diserang. Dengan kecepatan luar
biasa, Nuraini mengendapkan diri dan menyapu lawannya dengan kakinya. Tak ampun
lagi, laki-laki yang mencoba mengadu untung jatuh terjengkang sampai kedua
tangannya sibuk menerkam tanah. Penonton bersorak mengguntur. Dan laki-laki itu
melompat menyelinapkan diri dengan wajah merah dadu. Ia hilang di antara
penonton dan kabur entah ke mana.
Arena
jadi sepi kembali. Sekali lagi, Mustapa bercanang memperkenalkan si gadis.
Setelah itu menunggu beberapa waktu lamanya. Jika tidak ada lagi yang berani
memasuki gelanggang ia berdiri sambil berkata nyaring, ““Sayang Tuan-tuan ...
hari sudah menjadi panas. Perkenankan kami mengundurkan diri. Kami bermalam di
sebuah losmen murahan di dekat pemberhentian kuda. Besok pagi, kami akan datang
kembali. Mudah-mudahan keda-tangan kami ini akan lekas tersiar di seluruh
pelosok-pelosok kota. Kami mengharapkan muncul harimau dan naga pekalongan yang
sudah terkenal semenjak satu abad yang lalu...”
Sehabis
berkata begitu, ia bersiap-siap hendak meninggalkan gelanggang. Penontonpun
akan segera bubar. Mendadak terdengarlah suara keras parau, “Tunggu dulu!”
Itulah
suara seorang laki-laki sudah ubanan. Mukanya sudah berkeriput. Punggungnya
bongkok. Terang, dia berumur melebihi 60 tahun. Tapi ia gesit. Habis berseru,
ia melompat ke tengah gelanggang.
Melihat
munculnya si tua bangkotan, orang-orang jadi tertawa bergegaran. Seorang
laki-laki usia pertengahan yang bercambang tebal, lantas memasuki gelanggang
sambil men-damprat, “Hai anjing buduk! Benar-benar kau mau merebut isteri?”
Orang-orang
tertawa lagi bergegaran. Karuan si tua bangkotan merasa tersinggung
kehormatannya. Ia membalas mendamprat, “Kenapa? Kenapa? Ini kan merdeka. Siapa
saja boleh mengadu untung, bukan? Meskipun aku berusia lanjut, tapi aku
laki-laki. Lagi pula, aku tak beristeri.”
“Baik!
Baik! Biarpun kau tak beristeri dan
emudian
bisa memenangkan pertaruhan ini, apa tidak iba kepada nasib si gadis?
Paling-paling kau bisa tahan hidup hanya tiga tahun lagi. Apakah si gadis yang
begini remaja, akan terpaksa hidup jadi janda?”
Si
tua bangkotan gusar bukan kepalang. Ia maki kalang-kabut.
“Kau
bukan Tuhan! Kau bukan malaikat! Kau bukan iblis yang bisa meramalkan umurku.
Aku percaya, umurku bakal cukup panjang. Apalagi kalau aku memperisteri dia,
umurku bisa mencapai dua ratus tahun lagi...”
Laki-laki
berusia pertengahan yang bercambang tebal, tertawa geli. Katanya, “Aku berasal
dari .Jawa Timur. Terus terang, aku pernah kawin sampai lima kali. Namun selalu
gagal. Kali ini, akupun akan mencoba mengadu untung. Kalau aku bisa membawa
bunga itu pulang ke Jawa Timur, aku akan bersumpah takkan kawin lagi.”
Penonton
tertawa berbareng. Mereka mendapat kesan lain daripada si tua bangkotan. Meskipun demikian, artinya setali
tiga uang. Kedua-duanya paling tidak bekas buaya buntung.
Sebaliknya
kasihan buat Nuraini. Meskipun terpaksa mengadu untung nasib dirinya lewat gelanggang,
dia seorang gadis yang bersih suci. Begitu mendengar omongan mereka berdua,
mukanya merah dadu karena merasa terhina. Serentak ia hendak melesat menghajar
mereka berdua dengan sekaligus. Tetapi Mustapa mencegahnya.
“Tenangkan
dirimu. Ayahmu telah mempercayakan dirimu kepadaku. Mana bisa aku membiarkan
kamu dihina orang? Kalau mereka nekad mau memasuki pertaruhan ini, biarlah aku
yang maju.”
Waktu
itu si tua bangkotan dan si cambang tebal masih saja mengadu omongan. Lalu
Mustapa memberi jalan penyelesaian. Katanya nyaring, “Kamu berdua berkelahilah
dulu. Siapa yang menang, maju melawan aku.”
“Bagus!”
seru si cambang tebal bergembira. Ia meludah ke tanah sambil merapikan
pa-kaiannya. “Ayo kita mulai, hai anjing buduk!” tantangnya.
Si
tua bangkotan gusar bukan kepalang. Terus saja dia mengirimkan tinjunya.
Begitulah, maka mereka berdua lantas saja berkelahi amat serunya.
Sangaji
memperhatikan cara mereka berkelahi. Masing-masing mempunyai gerakan-gerakan
tubuh yang berbeda. Si cambang tebal mengandalkan keperkasaan tubuhnya.
Tinjunya
menyambar-nyambar hebat dan bergemuruh. Sebaliknya, si tua bangkotan seperti
mempunyai ilmu kebal. Ia tak takut kena gebuk. Malahan, seringkali kepalanya
sengaja dibuat perisai.
Satu
kali, si cambang tebal berhasil menggebuk si tua bangkotan sampai empat kali
beruntun. Tapi. si tua bangkotan, benar-benar bandel. Gebukan hebat itu tak
dihiraukan. Ia menyusup ke bawah ketiak dan menumbuk perut si cambang tebal.
Tumbukan itu sama sekali tak terduga-duga. Si cambang tebal terpental dan jatuh
cekakaran di atas tanah. Keruan saja penonton jadi tertawa mengguruh, mengingat
lagaknya yang tadi begitu merendahkan si tua bangkotan.
Sejalan
dengan watak orang Jawa Timur, si cambang tebal itu tak mau dihina orang. Ia
lebih suka mati daripada menanggung hinaan. Cepat ia bangkit dan menghunus
golok. Serunya, “Anjing buduk, kau mempunyai ilmu kebal. Sekarang coba tahan
bacokanku.”
Si
tua bangkotan jadi was-was. Ia mencabut senjatanya pula yang berupa sebuah
pengga-da terbuat dari besi. Melihat mereka mencabut senjata, penonton jadi
ketakutan.
“Tahan
mereka!” terdengar seruan di antara penonton.
Mendengar
teriak penonton, Mustapa jadi tersadar. Kalau sampai terjadi suatu pembu-nuhan,
mau tak mau ia akan diseret di depan pengadilan. Maklumlah, dia yang
bertanggung jawab terjadinya arena adu nasib.
Cepat-cepat
ia bertindak. Ia maju tertatih-tatih sambil berteriak keras, “Tahan! Tahan! Tak
boleh kalian menggunakan,senjata tajam!”
Dua
orang itu sedang bertempur mati-matian. Sudah barang tentu tak mendengarkan
teriakan Mustapa.
Melihat
mereka tak menghiraukan dirinya, mendadak ia melesat menyerbu. Dengan sekali
tendang, kedua senjata masing-masing kena dikaburkan. Sehabis itu ia menghajar
masing-masing pula dengan satu depakan. Kedua-duanya terpental jatuh dengan
napas kempas-kempis.
Para
penonton kagum kepada keperkasaan Mustapa, sampai mereka bersorak memuji. Sama
sekali mereka tak menyangka, kalau si buntung bisa berkelahi begitu hebat.
Dengan garang ia menantang si tua bangkotan dan si cambang tebal. Kedua-duanya
menjadi kuncup dan pergi meninggalkan gelanggang dengan berdiam diri.
Sangaji
kini mengamat-amati Mustapa. Perawakan Mustapa tinggi besar. Dadanya bidang dan
mengesankan bentuk tubuh yang kekar. Punggungnya bungkuk sedikit, tetapi
pandang mukanya tajam berwibawa. Sayang, agak keruh dan berkerinyut. Rambutnya
sudah separoh putih. Dibandingkan dengan kekekaran tubuhnya, rambutnya putih
terlalu cepat. Teringatlah dia tutur-kata orang, kalau orang yang banyak
berduka akan cepat menjadi tua.
“Ayo,
kita pulang. Tak perlu lagi menginap di kota ini. Kita terus ke Semarang!” katanya
mendongkol kepada Nuraini.
Si
gadis mengangguk dan penonton siap bubar. Selagi mereka hampir berpencaran,
ter-dengarlah suara tapak kuda berderapan. Beberapa penunggang kuda datang
menghampiri lapangan. Dilihat dari pakaiannya, terang mereka bukan penduduk
Pekalongan. Yang berada di depan adalah seorang pemuda yang berpakaian amat
mentereng. Roman mukanya tampan luar biasa. Sangaji terkejut. Begitu melihat si
pemuda, lantas saja dia mengenalnya. Itulah si pemuda mentereng yang dulu
menyerang dirinya di restoran Nanking Kota Cirebon.
Yang
menunggang kuda di belakangnya berlaku sangat hormat kepadanya. Ternyata mereka
adalah pengiring si pemuda. Mereka segera menghentikan kudanya, tatkala si
pemuda mentereng menahan les. Si pemuda mentereng ternyata sedang memperhatikan
gelanggang. Ia heran melihat kesibukan orang. Saat pandang matanya tertumbuk
kepada Mustapa dan Nuraini, hatinya jadi tertarik. Segera ia menghampiri dan
bertanya minta penjelasan, “Apa sudah bubar?”
Dengan
gugup, Mustapa menghadap padanya. Sekali pandang tahulah dia, kalau pemuda itu
pasti bukan orang sembarangan. melihat dandanannya paling tidak anak seorang
adipati atau pangeran.
“Sebenarnya
ini pertunjukkan Gendang Pencak,” jawabnya hormat.
“Gendang
Pencak? Apa itu?”
Mustapa
kemudian menerangkan dengan sejelas-jelasnya. Si pemuda jadi makin tertarik.
Katanya, “Apa dia yang bernama Nuraini?”
Mendengar
namanya disebut, Nuraini menundukkan pandang. Wajahnya memerah dadu. Justru
begitu, kecantikannya malahan bertambah. Ia berusaha membuang muka ke samping.
Jantungnya berdegupan. Selama merantau hampir ke seluruh pulau Jawa, belum
pernah ia menjumpai seorang pemuda begitu tampan.
Ternyata
pemuda itu tertarik pula pada kecantikan wajahnya. Ia melompat turun dari
kudanya dan buru-buru salah seorang pengiringnya menyambar les.
“Bagaimana
aturan pertandingan ini?” tanyanya.
Mustapa
segera memberi penjelasan dengan sikap sangat hormat.
“Hm
... apa aku boleh mencoba-coba?” kata si pemuda.
“Ah,
paduka bergurau ...” sahut Mustapa dengan tertawa lebar.
“Kenapa
aku mesti bergurau?”
“Sebabnya
begini. Kami ini termasuk rakyat jelata, tetapi sebisa-bisanya meniru adat para
kesatria. Kalau berkata satu harus satu. Kalau sudah berjanji, pantang
mengingkari,” ujar Mustapa. “Nuraini diserahkan almarhum ayahnya kepadaku.
Kubawa dia berkeliling ke selu-ruh negeri dengan harapan agar cepat mendapat
jodoh. Barang siapa mampu mengalahkan, dialah jodohnya. Baik Nuraini maupun
yang akan mencoba kepandaiannya, masing-masing terikat janji kesatria ...”
“Apa
selama ini belum pernah ada yang mengalahkan?” si pemuda memotong seolah-olah
tidak mendengarkan ujar Mustapa.
“Seluruh
daerah Jawa Timur dan hampir seluruh daerah Jawa Tengah pernah kami lalui. Jika
sudah ada yang berhasil mengalahkan, tentu saja tak bakal kami tiba di
Pekalongan.”
“Ah!
Masa tidak ada yang bisa mengalahkan? Aku tak percaya.”
“Benar.”
Mustapa mencoba mempertahankan. “Barangkali, karena para pendekar segan
memenuhi harapan kami berdua. Mungkin karena suatu alasan tertentu. Mereka
sudah beristeri atau karena tak tega bertarung melawan Nuraini...”
“Kalau
begitu, biarlah aku mencoba-coba. Ayo!” kata si pemuda. Mendengar kata-kata si
pemuda yang diucapkan dengan jelas, penonton yang hampir bubaran berkumpul
kembali. Sebentar saja arena pertandingan penuh sesak. Yang tadi membuat
pertaruhan, mulai pula berunding dan mencari petaruh-petaruh baru.
Diam-diam
Mustapa girang hatinya. Pemuda itu tampan lagi seorang anak ningrat. Ia berdoa,
moga-moga dialah jodoh si gadis. Nuraini sendiri menaksir si pemuda. Selama
berkeliling ke seluruh wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, belum pernah ia
bertemu seorang pemuda seperti dia. Roman muka dan perawakan tubuhnya yang
singsat sedang, mengagumkan hatinya. Maka itu, begitu habis memberi hormat lalu
menanggalkan baju luarnya.
Si
pemuda mentereng membalas hormat seraya bersenyum. Giginya yang putih bersih
tersembul seleret dari kedua bibirnya.
“Silakan
nona. Kaulah yang membuka dulu permainan ini,” katanya.
“Silakah
Tuan membuka baju luar dulu,” balas si gadis.
“Ah,
tak usah. Masa permainan akan sampai mengeluarkan keringat?” pemuda itu berkata
dengan angkuh. Dan para penonton yang sudah bisa menilai ilmu silat si gadis
berkata dalam hati, “Eh—kamu berlagak benar. Sebentar kau akan merasakan
gaplokkan-nya ...”
'Tuan!
Apakah kita boleh mulai?” Nuraini bertanya.
“Kaulah
yang membuka permainan.”
“Masa
aku dahulu? Mestinya Tuan.”
Menimbang
kata-kata Nuraini bernada angkuh, pemuda itu tidak berlaku segan lagi.
Tiba-tiba saja ia berkisar ke sudut kanan, sehingga baju luarnya yang terbuat
dari kain sutra, berkibaran. Setelah itu ia melesat berputaran dan
sekonyong-konyong tangan kirinya menyambar secepat kilat.
Nuraini
terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Selama berkeliling ke berbagai
daerah, belum pernah ia bertemu tanding sehebat kali ini. Buru-buru ia
mengendapkan kepala dan terus menyusup ke bawah ketiak si pemuda. Tapi di luar
dugaan, si pemuda sa-ingat gesit. Tangan kirinya tiba-tiba turun dan dibarengi
dengan sodokan kanan. Melihat gerakan pemuda itu begitu hebat, penonton
ber-teriak terkejut. Mereka mengira, Nuraini sukar meloloskan diri. Tak
tahunya, Nuraini masih bisa menghindar dengan menjejak tanah. Tubuhnya lantas
saja melesat mundur beberapa langkah.
“Bagus!”
seru penonton hampir berbareng. Kemudian salah seorang penonton ada yang
berteriak, “Siapa yang bakal menang?”
“Si
pemuda,” sahut seorang lagi.
“Mana
bisa? Dilihat gerakannya, si gadis Jang bakal menang. Coba tadi pemuda itu
jyang menyerang dulu sehingga si gadis bisa -rrdesak dan hampir keripuhan, itu
sudah pasti. Tapi kalau si gadis begitu dapat membebaskan diri dari serang
cepat, itulah yang patut dibicarakan.”
“Kita
bertaruh?”
“Ayo!”
Mereka
berdua lalu bertaruh. Penonton yang lain ikut pula bertaruh. Tetapi kemudian,
terdengar lagi suara lain.
“Nanti
dulu ... lihat!”
Semua
mengawaskan ke gelanggang. Waktu sekali lagi, si pemuda ningrat sedang
merangsak si gadis. Nuraini dengan cepat mundur jumpalitan. Tetapi si pemuda
terus memburu. Terang, dia tak mau lagi memberi kesempatan. Ia ingin
menjatuhkan Nuraini secepat mungkin. Melihat dia berlaku kejam, Nuraini tak
kehilangan akal. la meloncat mundur lagi dan mendadak sebelah kakinya
dijejakkan ke atas dan mengancam hidung. Si pemuda terperanjat. Sama sekali tak
diduganya, kalau Nuraini bisa mengirimkan serangan selagi berloncat undur.
Untuk, membebaskan diri, si pemuda terpaksa melompat tinggi ke udara pula.
Dengan begitu, mereka turun ke tanah seperti saling berjanji. Pakaian mereka
yang longgar, berkibar-kibar kena angin.
“Hebat!
seru penonton.
“Apa
pendapat kalian?” tanya suara lain yang tadi berseru. “Aku mempunyai bunyi
pertaruhan lain. Pemuda itu memang bakal dikalahkan, tetapi dengan cara lain.”
“Dengan
cara lain bagaimana?”
“Dengan
periahan-lahan, supaya tak usah menanggung malu. Mengapa begitu? Sebab, pemuda
itu terlalu ngganteng dan anak ningrat.”
Orang-orang
yang mendengar pada tertawa.
Tetapi
mereka ikut menyetujui bunyi per-aruhan itu. Diam-diam Sangaji menaruh
per-hatian kepada pertarungan si pemuda mentereng dan Nuraini. Mereka belum
mengeluarkan ilmu simpanannya masing-masing, tetapi terang sekali kalau mereka
bisa berkelahi dengan baik.
Pemuda
itu ngganteng. Gadis itu cantik, kata Sangaji di dalam hati. Sama pula memiliki
Kecakapan berkelahi. Kalau si pemuda bisa memperisterikan dia, itulah pantas.
Mereka bakal jadi suami-isteri yang berharga untuk dibicarakan ...
Dulu,
ia tidak begitu senang terhadap si pemuda, tatkala menyerang dirinya di
restoran Banking Cirebon. Tetapi kini setelah mempunyai pikiran demikian, tak
lagi dia benci. Malahan, dia mengharap-harap agar pemuda mentereng itu dapat
mengalahkan Nuraini.
Dalam
pada itu pertandingan berjalan terus. Makin lama makin seru. Kini, Nuraini
tidak bedaku segan-segan lagi. Perlahan-lahan dia mulai bisa menguasai dan tiba-tiba
terdengar suara: brett...! Ternyata lengan baju luar si pemuda kena disambar
dan robek sekaligus. Nuraini kemudian melompat mundur jauh-jauh sambil
mengibaskan ujung rambutnya yang panjang.
“Berhenti
dulu!” seru Mustapa. “Silakan paduka menanggalkan baju luar, baru menen-tukan
babak terakhir siapa yang menang.”
Wajah
si pemuda ningrat kelihatan geram. Tangannya lalu bergerak dan robeklah baju
luar dengan suara berkerebetan. Seorang pengiring lari menghampiri dan dengan
sikap hormat membuka baju luarnya yang terbuat dari bahan sutra mahal. Kini,
nampaklah dia mengenakan baju dalamnya. Baju dalamnya terbuat pula dari bahan
sutra.
Warnanya
biru laut sangat indah. Ia jadi semakin tampan. Wajahnya nampak berca-haya dan
matanya yang cemerlang tambah berkilauan. Siapa gadis yang takkan gandrung
melihat kegantengannya.
Begitu
selesai merapikan pakaiannya, tanpa berkata sepatah katapun terus saja
menyerang Nuraini. Sekarang ia menggunakan tangan kiri dan melesat berputaran
sangat gesit dan indah. Melihat gerakannya, Nuraini terperanjat. Tak terkecuali
Mustapa dan Sangaji. Mereka tak menyangka, kalau pemuda ningrat itu benar-benar
hebat dan gagah.
Ternyata
dia tidak lagi bersenyum atau memperlihatkan wajah berseri. Benar-benar dia
bertekad hendak menjatuhkan si gadis di depan umum. Pandang matanya
bersungguhsungguh dan seolah-olah menyala bagaikan Dintang bergetar di tengah
langit hitam kelam. Gerak-geriknya cepat rapih dan berbahaya.
Sangaji
memusatkan seluruh perhatiannya. Mendadak dia seperti terhentak. Ih! Bukankah
gerak-gerik dan corak ilmu silatnya seperti Surapati, pemuda yang menyerangku
di Jakarta dulu? Ah—apa dia seperguruan dengan Surapati...? pikir Sangaji.
Memikir
demikian, perhatiannya makin terpaku. Ia melihat pemuda itu mulai bisa
me-nguasai Nuraini dengan kecepatannya. Sekarang mulai nampak juga, sukar untuk
membalas menyerang. Mempertahankan diri, belum tentu dapat tahan lama.
Pemuda
ini lebih mahir daripada Surapati. N'uraini bukan lagi tandingnya, pikir
Sangaji. Lalu ia telah mendapat kepastian. Pikirnya, sebentar lagi, kalian akan
diumumkan menjadi sepasang suami-isteri...”
Mustapapun
girang menyaksikan jalannya pertempuran. Dengan bekal pengalamannya tahulah
dia, siapa yang bakal menang dan kalah. Maka dia berseru, “Nuraini, anakku!
Sudahlah, tak usah kau lawan lebih lama lagi! i_awanmu menang jauh daripadamu
...”
Tetapi
dia sedang berkutat mati-matian melawan si pemuda. Seman Mustapa tak
digubrisnya. Bahkan ia merasa diri seperti direndahkan di depan umum. Itulah
sebabnya, timbullah ketekatannya. Tanpa mempedulikan segala, lantas saja dia
menyerang. Inilah bahaya.
Melihat
dia menyerang, si pemuda ningrat berkata dalam hati, eh, kamu nekad. Kalau aku
mau menjatuhkan segampang memuntir leher itik. Cuma sayang, kamu begitu jelita.
Benar
saja. Begitu Nuraini merentang kaki hendak menjejak, si pemuda mengibaskan
tangan dan dengan gesit akan menangkap. Nuraini tahu bahaya. Cepat-cepat ia
menarik kembali dengan dibarengi sebelah kakinya menusuk pinggang. Si pemuda
tak menjadi gugup. Kaki itu disambarnya. Karena Nuraini berlaku cepat,
celananya saja yang kena terkam. Celaka! Celana itu kena dirobek sampai di
bawah lutut. Seketika itu juga nampaklah kulit lututnya yang bersih kuning.
Penonton
bersorak kaget. Nuraini tak kurang kagetnya. Tetapi si pemuda jadi gembira.
Tiba-tiba saja terpancarlah nafsu birahinya. Cepat luar biasa ia menyerang dan
kembali lagi menangkap kaki Nuraini sambil tangannya yang lain merangkul
punggung.
Semenjak
celananya kena dirobek pemuda itu sampai di bawah lutut, hati Nuraini sudah
menjadi keripuhan. Karena itu, dengan gampang si pemuda dapat menangkap kakinya
embali. Baru sekarang, dia menjadi malu penar-benar dan sadar akan
kelalaiannya.
Penonton
bersorak lagi. Kali ini bernada gembira dan meriuh. Tetapi yang penasaran aan
cemburu, menggerutu dan memaki-maki rialam hati. Yang agak tebal agamanya,
segera menngundurkan diri karena melihat suatu pemandangan mengerikan di depan
umum. Tetapi si pemuda tak peduli. Kaki Nuraini makin diangkat naik, sehingga
tak bisa berkutu lagi. Kemudian berkata, “Bagaimana, nona?”
Dengan
suara perlahan, Nuraini meminta, “Lepaskan aku!”
Si
pemuda ningrat tertawa. Menyahut. “Perkara melepaskan sih, gampang. Panggillah
aku 'kangmas' terlebih dahulu!”
Nuraini
mendongkol diperlakukan demikian. Serentak ia meronta, tetapi benar-benar tak
berdaya. Pemuda itu menggenggam kakinya erat-erat dan pelukannya makin merapat.
Me-ihat itu, Mustapa segera maju menghampiri.
“Paduka
telah menang. Tolong lepaskan akinya!”
Si
pemuda tak menggubris. Ia bahkantertawa melebar. Pelukannya kian erat dari kaki
Nuraini diangkat kian tinggi. Karuari Nuraini bertambah malu. Kini, timbullah
kemarahannya. Dengan sekuat tenaga ia menje jakkan kaki dan melesat maju. Dan
terlepaslah kakinya. Tetapi si pemuda tak mau dikalahkan. Tangannya menyambar
lagi dan robeklah! celana si gadis. Sekarang benar-benar sampai di pangkal
lutut.
Nuraini
terpaksa berjongkok sambil mera- patkan robekan celananya. Ia hampir mena-j
ngis karena menanggung malu. Sebaliknya si pemuda tertawa berkikikkan. Penonton
yang rada-rada mempunyai bakat bajul, lalu berteriak menyetujui.
“Robek
terus, nDoromas! Sekali-kali bolehlah dia mengalami telanjang di depan umum.”
Mendengar mereka berkata demikian pemuda itu merasa mendapat hati. Matanya
menyala dan tertawanya kian berkikikkan Senang dia melihat Nuraini kerepotan
menutupi lututnya.
Mustapa
menghampiri seraya membungkuk! hormat, “Mengapa Paduka memperlakukan begitu?
Bukankah sekarang dia jadi miliki Paduka sendiri?”
“Masa
begitu?” Sebentar Mustapa berdiri menebak-nebak, Kemudian tertawa panjang
seperti memaklumi cirinya yang kurang pengertian. “Ah—ya... orang sebodoh aku
mana bisa sandingkan dengan paduka yang biasa berpikir dan berbicara gaya
ningrat. Seorang ningrat bisa mengangguk, selagi hatinya melawan. Seorang
ningrat bisa tertawa riang, selagi hatinya menangis meraung-raung,” ia berhenti
mengesankan dirinya sendiri. Kemudian mengalihkan pembicaraan, “Paduka telah
memenangkan pertandingan ini. Perkenankan aku mengucap terima kasih. Ontuk
perun-ingan selanjutnya, apakah aku boleh mengenal nama Paduka?”
“Mengapa
kau berbicara yang bukan-bukan!” sahut pemuda itu cepat. Dia berputar dan
bergerak hendak meninggalkan gelanggang. Dua orang pengiringnya datang
menghampiri dengan membawakan pakaian luar .semacam jaket. Seraya menerima
jaketnya, ia mengerling manis kepada Nuraini. Terlalu 'manis malah, sehingga
berkesan pancaran nafsu birahi.
Mustapa
menyangka, kalau cara tak sudi memperkenalkan namanya dengan terus terang
adalah kelumrahan kaum ningrat sebagai adat pergaulan. Itulah sebabnya,
cepat-cepat ia berseru mengerti.
“Kami
berdua tinggal di sebuah losmen dekat pemberhentian gerobak. Apakah Paduka sudi
berjalan bersama ke losmen tersebut untuk meneruskan pembicaraan ini?”
“Kenapa
ke sana? Aku tak punya waktu,” sahut si pemuda kasar. “Lagipula apa sih yang
mau kalian bicarakan?”
Mustapa
terperanjat, la sibuk menebak-nebak. Air mukanya berubah.
“Paduka
kan sudah berhasil mengalahkan! anakku?” dia berkata dengan masih terua
berteka-teki dalam benaknya.
“Kalau
sudah menang?”
“Sudah
barang tentu, anakku ini sudah menjadi jodoh Paduka. Paduka tahu, kalau dunia
ini mengizinkan manusia berkelahi sampai mati mengenai empat hal. Satu, urusan
keyakinan sujud pada suatu kepercayaan. Dua, urusan negara. Tiga, urusan jodoh.
Dan empat, urusan kehormatan diri. Ah, mestinya paduka sudah pernah membaca
cerita-cerita kuno. Semua buku-buku itu mengisahkan perkara pertempuran
mengenai empat hal tersebut.
Sekarang
ini, aku sedang berbicara mengenai jodoh dan kehormatan diri sekaligus.
Ku-mohon dengan sangat, agar Paduka mendengarkan dengan sedikit perhatian.”
Mendengar
ujar Mustapa si pemuda heran sampai tercengang-cengang. Dengan suara tinggi,
dia menjawab, “Jodoh? Urusan perjodohan? Kapan kita terikat perjanjian begitu?
Ini kan main-main mengadu kepandaian? Masa soal jodoh dibawa-bawa. Kamu gila,
masa aku harus berjodoh dengan anakmu, gadis jalanan?” Ujar si pemuda ningrat
tajam luar biasa, sampai Mustapa pucat. Penonton dan Sangaji yang tadi ikut
bergembira menyaksikan kemenangannya, begitu mendengar kata-katanya yang tajam
berubah menjadi tak senang pula. Mereka jadi berbelas-kasih pada Mustapa dan
gadis. Alangkah hebat penderitaan hatinya, dihina dan direndahkan
terang-terangan di depan umum.
“Kau
... kau ...!” Mustapa tergagap-gagap deh rasa marahnya.
Pengiring
si pemuda begitu mendengar majikannya diper-engkaukan, lalu maju sambil
mendamprat.
“Apa
kau, kau, kau? Kamu anggap siapa Beliau? Apakah beliau akan kamu paksa
me-ngawini gadis jalanan karena semata-mata menang berkelahi? Eh, tidaklah
semudah begitu. Paling tidak, kamu harus menghadap ayah dan ibunya. Tidak
lantas berbicara dan ngomong tanpa aturan di tengah alam terbuka.”
Bukan
main marah Mustapa. Serentak dia melompat dan menggaplok si pengiring sam-pai
berkaok-kaok kesakitan. Bagaimana tidak? Gaplokan yang disertai suatu kemarahan
luar biasa, hebat akibatnya. Gigi si pengiring rontok lima biji. Lalu jatuh
pingsan, karena melihat darahnya menyemprot keluar.
Si
pemuda mentereng tahu menjaga kehormatan diri. Ia tak mempedulikan keadaan
pe-ngiringnya yang jatuh pingsan. Sambil memberi perintah pengiring lain agar
menolong kawannya, ia menghampiri kudanya. Tatkala hendak meloncat ke atas
pelana, Mustapa berseru dengan nada marah.
“Jadi
kau datang cuma ingin mengganggu kami? Jika sedari tadi kau tak berniat mem-;
peristerikan dia, mengapa memasuki gelanggang? Biar begini rendah dan hina, kamipun]
manusia yang mempunyai kehormatan diri. Takkan kami membiarkan diri
menggerogoti tulang di jalanan seperti anjing. Takkan bakal membiarkan diri
mampus telanjang bulat di tengah jalan seperti binatang.”
Tetapi
pemuda itu tetap tak mau menghiraukan. Dia lantas melompat di atas pelana dan
siap menarik les kudanya. Dan Mustapa habis kesabarannya. Dengan berteriak dia
memaki, “Bangsat benar kau! Pantas rakyat-mu tak pernah akur sama golonganmu!
Dengarkan! Anakku juga takkan kuizinkan kawin dengan manusia anjing seperti
tampangmu. Cuma saja, sekarang bayar celananya yang kau robek.”
Pemuda
itu menjawab, “Robeknya celana dia, kan salahnya sendiri. Mengapa seorang
perempuan mengenakan celana? Coba, dia tak banyak cingcong mencari jodoh dengan
mengadu kepandaian, takkan bakal mengalami peristiwa begini. Takkan bakal
celananya robek sampai lutut...” lalu dia tertawa berkikikkan.
Tubuh
Mustapa menggigil. Tanpa berkata lagi, ia melesat menangkap kaki si pemuda
hendak menyeretnya ke tanah. Gntung dia awas. Begitu melihat Mustapa melayang
hendak menubruk, ia menarik kakinya. Dia menang mudah dan menang cekatan. Dada
Mustapa kena dibentur balik dan pergelangan tangannya dihantam telak, sampai
tulangnya patah gemeretak.
“Karena
kau menyerang, terpaksa aku membela diri. Lagi pula kalau sekali-kali aku tak
menghajar padamu, tentu kau masih saja memaksa aku mengawini anakmu, si gadis
pasaran...” seru pemuda itu sambil tertawa mengejek. Lalu ia menjejak sanggurdi
kuda dan melesat ke tengah lapangan.
Gerak-gerik
pemuda itu memang cekatan dan gesit. Sayang, mulutnya terlalu tajam. Lagi pula,
sikapnya begitu angkuh dan gaya tertawanya menjemukan pendengaran. Selain
penonton golongan bajul, tidak ada yang senang padanya. Mendengar ia
merendahkan Mustapa, mereka ikut jadi panas hati. Cuma saja mereka tak dapat
berbuat lain, kecuali memaki-maki dalam hati.
Mustapa
bangun dengan tertatih-tatih. Pergelangan tangannya sebelah kiri mulai tam-pak
bengkak. Tetapi ia tak menghiraukan. Mulutnya bergetaran, suatu tanda kalau
dadanya serasa hampir meledak. Mendadak ia meloncat sambil berteriak, “Nuraini
anakku! Biarlah aku mengadu nyawa!”
Si
pemuda cukup berwaspada. Tahulah dia, kalau Mustapa sedang kalap. Maka dengan
mudah, ia meloloskan diri dari serangan itu. Kakinya bergeser ke kanan, sedang
tangan kiri disodokkan hendak menumbuk dada. Mau tak mau, Mustapa cepat-cepat
menarik serangan-nya. Kini ia menangkis dengan tangan kanannya dan kakinya
bergerak.
Si
pemuda kaget bukan main. Sama sekali lak diduganya kalau Mustapa bergerak sehe-bat
itu, malahan berani menangkis serangan dengan serangan. Buru-buru ia menarik
tangan kirinya dan diangkat tinggi untuk melindungi mukanya. Mustapa yang
sedang kalap, tak mengindahkan gerakan lawan. Tangan kirinya yang sudah patah
pergelangannya ditarik mundur untuk melindungi dada. Kemudian dengan tangan
kanannya ia menyerang. Tatkala si pemuda menangkis sambil mundur, dengan sebat
kaki kirinya menjejak tanah. Sekali melesat, kaki kanannya menerjang ringgang.
Inilah hebat.
Melihat
Mustapa memiliki jurus-jurus berbahaya, pemuda itu kini tak berani lagi
memandang rendah. Gugup ia merapatkan diri. Sekonyong-konyong tangannya
bergerak menyambar pergelangan tangan kanan Mustapa sambil melesat mundur.
Dengan begitu, ia berhasil melakukan serangan tipu muslihat. Nampaknya ia
membalas menyerang, tak tahunya ia sebenarnya mundur. Saat kedua kakinya jatuh
ke tanah, ia melesat lagi dengan mengembangkan sepuluh jarinya.
Mustapa
terkejut. Penontonpun tak kurang terkejutnya. Mereka sampai berteriak. Sangaji
yang memperhatikan gerak gerik pemuda, kian jadi curiga. Aneh! Ini gerak-gerik
Pringgasakti! Apa hubungannya dengan pemuda itu?
Tatkala
itu, Mustapa kena diserang. Kini pergelangan tangan kanannya patah lagi. Dengan
begitu, ia kini sama sekali tak berdaya. Masih ia mencoba mengadu kecekatan
kaki. Tapi kakinya yang sebelah bukan kaki utuh. Itulah sebabnya, dengan mudah
ia kena disapu dan jatuh bergelimpangan di atas tanah.
Nuraini
pucat lesi. Serentak ia melesat menubruk ayah-angkatnya. Celananya yang kena
robek, disobeknya separo hendak dibuatnya bebat pergelangan tangan ayahnya.
Terang, ia tak memikirkan lagi kepentingan diri. Tetapi Mustapa menolak dengan
mendorongkan sikunya.
“Kauminggir,
anakku! Hari ini, biarlah aku mati di depan matamu! Sama sekali aku tak
menyesal. Kelak kusampaikan kejadian ini kepada ayahmu di alam baka ...”
Wajah
Nuraini suram. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menatap wajah si pemuda. Hebat
kesannya. Pandangnya tajam. Rambutnya terurai. Celananya buntung sebelah.
Sekonyong-konyong ia melolos sebilah belati mengkilat. Inilah belati warisan
ayahnya almarhum.
Penonton
diam menebak-nebak. Apakah Nuraini mau mengadu nyawa pula dengan si pemuda
ningrat? Di luar dugaan, mendadak saja Nuraini menancapkan belatinya ke dadanya
sendiri. Inilah di luar dugaan orang.
Mustapa
agaknya mengenal tabiat si gadis. Secepat kilat, tangan kanannya yang telah
patah pergelangannya melesat menghalangi. Tapi mana bisa tangannya yang sudah
patah menghalangi gerakan Nuraini yang begitu tangkas serta penuh nafsu. Keruan
saja, telapak tangannya kena tertumblas dan tersalib di aias dada si gadis.
Meskipun
demikian, maksud Mustapa hendak menghalang-halangi kekalapan Nuraini, tidaklah
seluruhnya gagal. Karena telapakan angannya, dada Nuraini hanya tertusuk
sedalam seperempat dim. Dengan demikian, batallah niatnya hendak bunuh diri.
Para
penonton dengki pada si pemuda berbareng duka. Sama sekali tak mereka sangka,
kalau tontonan yang menarik itu akan berakhir dengan lumuran darah. Ingin
campur tangan, mereka tak berani.
Lain
halnya dengan Sangaji. Ia yang dididik oleh kedua gurunya berdarah ksatria,
seketika ku juga tak kuat menahan diri. Serentak ia melompat ke tengah
gelanggang sambil memanggil si pemuda ningrat yang sedang berjalan balik ke
arah kudanya.
“Hai
sahabat Nanking Cirebon!” ujarnya. Ia belum mengenal nama pemuda itu.
Sebaliknya teringat akan pertemuannya di restoran Nanking Cirebon, lantas saja
berseru demikian. Penonton golongan bajul dan para pengiring pemuda ningrat,
tertawa berbareng mendengar ujarnyaJ Mereka menganggap lucu bunyi seruan
SangajiJ
Pemuda
ningrat itu menoleh. Begitu melihat Sangaji, ia terhenyak sebentar. Kemudian
ikufi pula tertawa sambil berkata, “Eh ... kamul Kamu memanggil Nanking Cirebon
di Kota Pekalongan, apa maksudmu?”
Kembali
penonton golongan bajul dan para pengiring tertawa geli. Benar-benar mereka
menganggap, Sangaji seorang pemuda tolol yang tak masuk hitungan. Memang sikan
Sangaji waktu itu berkesan ketolol-tololan. Ia sendiri belum tahu dengan pasti
apa yang harus dilakukan. Begitu mendengar kata-kata! si pemuda, ia berdiri
melongoh. Derai tertawa! penonton belum disadari, kalau mereka sedang
menertawakan ketololannya.
“Apa
kamu lalu meninggalkan mereka dengan begitu saja?” serunya.
“Habis?
Apa aku harus mencampuri urusan mereka? Biar mereka bunuh diri, apa kepen-l
ringanku?”
“Kamu
harus kawin dengan Nona itu!”
Si
pemuda ningrat tercengang. Penonton golongan bajul tercengang. Para
pengiringpun Bcrcengang. Akhirnya mereka semua tertawa berkakakkan.
“Jika
aku tak sudi... kamu mau apa?” kata pemuda ningrat dengan suara nyaring.
“Jika
kau tak sudi mengawini dia, mengapa kau tadi memasuki gelanggang? Apa kau tak
Kndengar keterangan bapak itu tentang maksud arena ini?”
Si
pemuda ningrat menaikkan alisnya. Ia xjemandang tajam kepada Sangaji. Lalu
Jkerkata tegas, “Sebenarnya kamu mau apa?”
Sangaji
menoleh kepada Nuraini.
“Nona
itu cantik dan ilmu silatnyapun bagus. Mengapa kamu tak sudi kawin dengan dia?
Apa celanya? Sekiranya kau mengambil dia sebagai istrimuu, kalian berdua akan
menjadi sepasang garuda yang elok. Sebaliknya jika rsenolak, di belakang hari
kau akan menyesal. Dananakah ada seorang gadis yang begitu cantik memiliki ilmu
silat pula?”
“Eh
... kamu ini mau jadi comblang?”
Pemuda
itu tertawa geli. Para pengiring dan penonton golongan bajul ikut tertawa geli
pula. Kata pemuda ningrat itu lagi, “Kamu ini siapa, sfi? Kamu murid siapa?
Kamu memanggil apa pada Adipati Karimun Jawa Surengpati?”
Sangaji
heran. Ia menggelengkan kepala.
“Siapa
guruku, tak dapat aku memperkenalkan. Aku tak kenal pula siapa itu Adipati
Karimun Jawa Surengpati.”
“Habis,
siapakah yang mengajarimu Ilmu Sentilan Istimewa yang pernah kauperlihatkan di
restoran Nanking Cirebon? Bukankah itu Ilmu Sentilan ajaran Adipati Karimun
Jawa?” pemuda ningrat heran.
“Semua
kepandaianku adalah berkat ajaran guruku.” “Siapa gurumu?”
“Tak
mau aku memberitahukan.”
“Baiklah...
“ sahut si pemuda ningrat setelah menimbang-nimbang sebentar. Kemudian ia
berbalik hendak menghampiri kudanya.
Sangaji
buru-buru menyanggah sambil berseru, “Hai! Kau mau ke mana?”
Si
pemuda ningrat menoleh. Pandangnya heran menebak-nebak. Menyahut, “Habis... kau
mau apa?”
“Bukankah
aku tadi menyarankan, agar kamu mengawini dia?”
Pemuda
ningrat itu tertawa dingin. Ia mendongkol bercampur geli pada Sangaji. Segera
ia memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan gelanggang.
Mustapa
yang melihat peristiwa itu, sekonyong-konyong datang menghampiri Sangaji. Ia
tahu, Sangaji seorang pemuda berbaik hati. Hanya saja, tak pandai mengadu lidah.
Maklumlah, Sangaji seorang pemuda yang baru saja melihat dunia. Lika-liku
penghidupan sama sekali belum diketahui.
“Saudara
kecil, apa perlu melayani manusia semacam dia,” Mustapa berkata. Waktu menginap
di teritisan toko di Tegal, ia tak begitu memperhatikan muka Sangaji. Kecuali
itu, hari amat gelap. Itulah sebabnya ia tak mengenalnya. Setelah berkata
demikian, sambil menatap si pemuda ningrat ia meneruskan, “Asal saja nyawaku
masih melekat pada tubuhku yang cacat ini, suatu kali aku akan dapat membalas
sakit hati. Siapa namamu, anak muda?”
Sangaji
hendak menjawab, sekonyong-konyong ia mendengar pemuda ningrat tertawa.
“Hai
tua bangka!” ujarnya. “Sudah kutegaskan tadi, kalau tak sudi aku memanggilmu mertua.
Kenapa kau memaksa saja?”
Sangaji
habis kesabarannya. Ia terlalu iba pada Mustapa, karena itu tanpa mempedu-likan
segala lantas saja dia melompat.
“Kalau
begitu, bayar kembali celananya!” ia membentak.
Si
pemuda ningrat menegakkan kepala. Dengan pandang angkuh, ia mendamprat, “Eh kau
golongan seorang yang suka usilan. Apa kau menaruh hati kepada gadis itu, tapi
tak berani terang-terangan? Nah, ambillah dia! Kuhadiahkan kepadamu!”
“Apa
kaubilang?” Sangaji membentak.
Si
pemuda ningrat tertawa berkikikkan. Mendadak saja, Sangaji menggerakkan kedua
tangannya. Inilah ajaran Jaga Saradenta yang terdiri dari 72 jurus. Begitu
kedua tangannya bergerak, lantas saja menyambar dan men-cengkram tangan.
Si
pemuda ningrat terkejut bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau
Sangaji bisa bergerak begitu sebat dan kuat. Tahu-tahu, pergelangan tangannya
kena ditangkap erat. Ia berusaha merenggut, tetapi sama sekali tak dapat
berkutik. Dalam terkejutnya, ia berkata mencoba menenangkan diri, “Hai, kau mau
mampus?”
Kemudian
ia berontak sambil menendang perut Sangaji. Tetapi Sangaji cukup berwaspada. Ia
tak mengelak atau menghindarkan serangan. Sebaliknya ia hanya menarik tangan.
Dengan begitu, si pemuda ningrat tertarik ke depan sampai tubuhnya
terbungkuk-bungkuk. Batallah ia hendak menyerang perut, malahan kini akan jatuh
tersungkur ke depan. Gntung tubuhnya dapat bergerak dengan ringan. Begitu ia
merasa terlempar, cepat-cepat menjejak tanah. Tubuhnya hanya ter-goncang
sedikit, tetapi tak jadhjatuh tertengku-rap ke tanah. Meskipun demikian,
kejadian ini berarti kalau dia kalah satu babak. Seketika itu juga rasa
marahnya melonjak sampai ke kepala. Dengan membentak ia berpaling kepada
Sangaji, “Kau sudah bosan hidup?”
Sangaji
menggelengkan kepala sambil menjawab tenang, “Tak ada niatku untuk berkelahi
dengan tampangmu. Meskipun menang, belum tentu kau mau mengawini dia. Bayar
saja harga celananya!”
Penonton
yang mengira Sangaji mau membela keadilan jadi kecele mendengar ujarnya. Sama
sekali tak diduganya, kalau sikapnya yang garang berwibawa hanya berhenti sampai
di situ saja.
Sebenarnya,
si pemuda ningrat agak segan pada Sangaji mengingat pengalamannya di restoran
Nanking Cirebon. Cuma saja, kalau ia dipaksa membayar celana Nuraini di depan
umum, kehormatan dirinya tak mengizinkan, la lantas berbalik sambil menanggalkan
baju jaketnya. Dengan tertawa dingin ia berjalan mau meninggalkan gelanggang.
“Apa
kau benar-benar mau pergi?” tegur Sangaji.
Pemuda
ningrat itu lalu berjaga-jaga diri. Diam-diam ia mengatur tipu-muslihat. Ia
tetap berjalan meninggalkan gelanggang. Sangaji segera menubruk mau menarik
lengannya. Maksudnya hanya untuk menyanggah. Mendadak si pemuda ningrat
berputar sambil menengkurapkan jaketnya pada gundul Sangaji. Karuan saja
Sangaji yang tak menduga bakal diserang secara demikian, jadi gelagapan. Di
saat itu si pemuda ningrat menghajar tulang rusuk Sangaji sampai dua kali
berturut-turut.
Kena
dihajar demikian, Sangaji tak kehilangan pengamatan diri. Untung dia pernah
menghisap getah pohon sakti Dewadaru dan pernah menerima petunjuk-pentujuk Ki
Tun-jungbiru mengenai penguasaan pemapasan. Meskipun hajaran si pemuda ningrat
bukan setengah-setengah, tetapi tulang rusuknya tak patah. Hanya ia merasa
sakit bukan main. Cepat ia mengumpulkan tenaga, tanpa memikirkan jaket yang
menelungkup kepalanya, ia terus menyerang dengan jurus-jurus ajaran Wirapati
yang cepat gesit. Serangannya melalui bawah jaket dan berhasil mengenai lawan
sembilan kali berturut-turut. Inilah keistimewaan Wirapati yang dapat
menciptakan jurus pembalasan dengan menggunakan jaring tipu-muslihat musuh.
Hanya sayang, Sangaji belum mempunyai tenaga cukup sehingga jurus yang hebat
itu jadi kurang sempurna. Seumpama Wirapati sendiri yang menggunakannya, pasti
lawan yang kena hajar akan rontok tulang-belulangnya.
Si
pemuda ningrat, sebenarnya bukan seorang pemuda yang lemah. Hanya saja, ia tak
mengira Sangaji bisa melakukan serangan pembalasan selagi kepalanya
tertengkurap jaket. Gerakan tangan Sangaji tak nampak karena jaketnya sendiri.
Inilah namanya, senjata makan tuan. Mula-mula ia mengira Sangaji akan kelabakan
karena penglihatannya kena tertungkrap jaket, tak tahunya malah bisa
mempergunakan sebagai pelindung gerakan pembalasannya. Ia jadi kerepotan. Gugup
ia berlompatan dan menangkis sebisa-bisanya. Tujuh kali dia bisa menangkis serangan
Sangaji, tetapi pukulan yang kedelapan dan kesembilan benar-benar mengenai
telak. Tubuhnya sampai terjengkang. Syukur, ia tak kehilangan akal, dengan
melepaskan jaket, ia menjejak tanah dan berhasil melesat jauh.
Sangaji
membuang jaket yang menengku-rap kepalanya. Wajahnya agak pucat karena kaget.
Inilah pengalamannya yang pertama kali menghadapi lawan yang melakukan
tipu-muslihat. Ia mengira, kalau dalam suatu pertempuran akan berlaku
aturan-aturan berkelahi menurut tata-tertib jurus-jurus ajaran. Tak tahunya,
baru pertama kali ia berkelana ke luar daerah sudah menemukan lawan yang bisa
berlaku curang. Diam-diam ia merasa bersyukur, dirinya terlepas dari suatu
maraba-haya.
Sebaliknya,
si pemuda ningrat mendongkol hatinya, karena kena tendang serta pukulan
Sangaji. Segera ia melesat maju sambil mencengkeramkan jari. Serangannya
mengarah pada pundak Sangaji.
Sangaji
belum bersiaga. Ia masih berenung-renung memikirkan pengalamannya. Tahu-tahu ia
diserang lagi. Karena gugup ia hanya menangkis separuh tenaga. Dia terkejut
bukan main, tatkala dadanya merasa sakit kena tindih. Cepat ia mundur. Justru
ia mundur, si pemuda ningrat berhasil menumbukkan tangan kirinya ke dadanya.
Tak ampun lagi ia jatuh terjengkang sampai tangannya memegang tanah.
Melihat
dia jatuh, para penonton golongan bajul dan pengiring bertepuk tangan gembira.
Mereka tertawa dan bersuit-suitan. Si pemuda ningrat kemudian tertawa panjang
sambil berkata, “Dengan bekal kepandaian begini, kau mau menjadi pahlawan? Mana
bisa? Kuanjurkan, kau belajar sepuluh tahun lagi kepadaku sebelum melihat dunia
untuk yang kedua kalinya...”
Sangaji
tak pandai mengadu kecepatan Sdah. Dengan berdiam diri, ia mengumpulkan tenaga.
Dadanya memang terasa
sakit kena kimbukannya.
la mencoba mengatur
pema-pasannya.
Ketika
dirasanya agak enakan, segera ia bangkit lalu menyerang.
“Awas!”
ia berseru. Kali ini ia menggunakan jurus ajaran Jaga Saradenta, yang
mengutamakan mengadu tenaga. Itulah sebabnya, meskipun belum sempurna, ayunan
tinjunya mengeluarkan kesiur angin.
Pemuda
ningrat itu terkejut. Gugup ia merendahkan kepala dan dapat mengelak dengan
gampang. Di luar dugaan, serangan Sangaji tidak berhenti sampai di situ saja.
Sekonyong-konyong siku kanannya disodok-kan ke samping dan tangan kirinya maju hendak
membentur muka.
Terpaksalah
si pemuda ningrat menangkis dengan kedua tangannya. Mereka berdua bentrok
dengan hebatnya. Sangaji menang tenaga, tetapi si pemuda ningrat menang gesit
dan nampak sekali menang latihan. Itulah sebabnya, mereka jadi berimbang.
Begitu berbentrokan, kedua-duanya mundur selangkah dengan tubuh
bergoyang-goyang.
Sangaji
merasa, ia menang tenaga. Maka itu, cepat-cepat ia mengumpulkan tenaga lagi.
Kemudian mengadu tumbukan. Si pemuda ningrat terpaksa pula melayani. Dengan
begitu, mereka berdua lantas saja jadi berkutat.
Perlahan-lahan
tapi pasti, Sangaji berhasil mendorong lawannya. Diam-diam ia gembira. Ia sudah
memikirkan pula jurus berikutnya untuk meruntuhkan lawan. Tetapi tiba-tiba
tenaga lawannya hilang begitu saja. Tak ampun lagi tubuhnya lantas saja
terhuyung ke depan, karena tak sempat lagi menahan diri. Selagi ia terhuyung,
tangan lawannya melayang memukul punggungnya. Masih dia berusaha menangkis
dengan memutar tubuh. Tetapi lawannya bukan lawan bodoh. Begitu ia berpaling,
lantas saja kaki lawannya menendang lututnya.
Sangaji
jadi keripuhan. Tubuhnya tak dapat ditahannya lagi. la jatuh terbalik untuk
yang kedua kalinya. Tetapi kali ini, tubuhnya tak! sampai mengenai tanah.
Dengan cepat siku-nya disanggakan, lalu kakinya menjejak dada lawannya sangat
sebat.
Ternyata
lawannya dapat mengelakkan diri. Tetapi Sangaji mendadak saja bisa meneruskan
menyerang beruntun. Kali ini, dia menggunakan jurus-jurus ajaran Wirapati dan
Jaga Saradenta dengan berbareng. Itulah sebabnya, sekarang ia nampak tangguh
dan cepat. Jurus ajaran Wirapati dan Jaga Saradenta sangat berbahaya jika
dilakukan dengan berbareng. Apabila sekali mengenai tubuh lawan, bisa
memisahkan tulang-belulang. Untung Sangaji bukan seorang pemuda yang kejam. Ia
sadar, kalau dirinya tak mempunyai permusuhan mendalam dengan si pemuda
ningrat. Tujuan perkelahian itu, semata-mata hanya mendesak agar si pemuda mau
membayar pulang harga celana Nuraini.
Tetapi
lawannya berpikir sebaliknya. Melihat Sangaji bertempur dengan jurus-jurus yang
sangat berbahaya, lantas saja ia memikirkan suatu tipu-muslihat lagi. Ia
sengaja membuka dadanya, seolah-olah mengesankan tak dapat menjaga diri.
Sangaji
kena terjebak. Melihat dia membuka dada, tak sampai hati ia meneruskan
serangannya. Ia menarik tangannya. Kini hanya mengarah kepada lambung. Tak
tahunya, ini-lah kejadian yang diharap-harapkan lawannya. Begitu ia sembrono,
kedua tangan lawannya lantas saja bekerja. Yang sebelah kiri menyodok lengan
dan yang sebelah kanan menumbuk dada.
Sangaji
kaget. Cepat-cepat ia menarik kedua tangannya untuk melindungi dada. Mendadak
lawannya membatalkan pula serangannya. Kali ini hanya menyambar dan menangkap
pergelangan. Kemudian sambil menarik kuat ia melompat tinggi. Kakinya menjejak
paha Sangaji dan terus melesat ke udara berjumpalitan. Karuan saja, Sangaji
jatuh terbalik kena dorongan tenaga. Mukanya sampai mencium tanah begitu
panjang.
Mustapa
kala itu telah terbebat rapi. Kedua pergelangan tangannya, dapat digerakkan
sedikit meskipun nyeri luar biasa. Melihat Sangaji kena dirobohkan tiga kali
berturut-turut, ia merasa iba. Tanpa memikirkan dirinya sendiri, lantas saja ia
maju menolong membangunkan Sangaji. Ia tahu, Sangaji bukan lawan si pemuda
ningrat. Maka ia berkata menyabarkan, “Anak muda, jangan layani dia. Apa
gunanya berkelahi melawan seorang anak muda yang tak mempunyai harga diri?”
“Sangaji
roboh dengan kepala berputaran dan mata kabur. Ia tak mengira, diperlakukan
lawannya begitu kejam. Sedangkan tadi, ia berlaku memaafkan kepadanya. Kini,
timbullah dendamnya. Serentak ia merenggutkan diri dari tangan Mustapa kemudian
melompat maju.
“Eh
...! Kamu belum takluk juga?” seru si pemuda ningrat.
Sangaji
tak menyahut. Ia terus merangsak dengan sungguh-sungguh. Hebat kali ini, karena
dia tak sudi lagi memberi ampun.
“Bagus!”
seru si pemuda ningrat. “Tapi jangan salahkan aku! Aku terpaksa melayani-mu
dengan sungguh-sungguh. Nah mundurlah, sebelum terlanjur!”
“Bayar
pulang dahulu celana dia. Baru kita bicara,” sahut Sangaji.
Si
pemuda ningrat serta pengiringnya terpaksa tertawa geli, menyaksikan
ketololannya. “Hai! Nona itu kan bukan adikmu?” seru salah seorang pengiring.
“Mengapa ngotot?”
Sangaji
tak mendengarkan ocehan orang itu. Ia terus merangsak sambil mengancam lagi,
“Kamu bayar pulang tidak?”
“Eh,
sahabat!” sahut si pemuda ningrat. “Nampaknya kau mau mengadu nyawa. Buat apa?
Kalau aku kawin dengan gadis itu, apa kamu lantas bisa menjadi iparku?”
“Aku
bukan kakaknya. Mengapa kauhilang seolah-olah dia adikku?” damprat Sangaji.
Benar-benar
ia marah kali ini. Matanya melotot, sedang napasnya kembang-kempis.
“Bagus!
Kau mau jadi pahlawan? Majulah!” tantang si pemuda ningrat.
Mereka
jadi bertarung lagi. Kali ini Sangaji tak berkelahi dengan setengah hati.
Itulah sebabnya, lambat-laun si pemuda ningrat kena didesak mundur sampai
merasa keripuhan. Dia mencoba mengadu kegesitan, tetapi Sangaji bisa bergerak
dengan gesit berkat ajaran jurus-jurus Wirapati.
Pada
saat itu, penonton makin lama makin banyak. Mustapa yang memperhatikan me-reka,
jadi tak enak hati. la sadar, kalau polisi sampai datang urusan bisa bertambah
runyam. Lagi pula, ia tahu kalau di antara mereka terdapat pendekar-pendekar
sakti yang ikut pula memperhatikan jalannya pertempuran. Pandang mata mereka
luar biasa tajam. Di antara mereka ada pula yang membekali senjata rahasia.
Kalau saja mere-. ka tiba-tiba ikut campur dengan melepaskan senjata rahasia,
akan celakalah. Kalau mengenai si pemuda ningrat, bagaimana bisa dia bebas dari
suatu urusan besar. Sebaliknya kalau mengenai Sangaji, bagaimana mungkin dia
membiarkan pemuda itu berkorban untuk dirinya?
Mendapat
pikiran demikian, hati-hati ia menyelinap di antara penonton, la menaruh curiga
kepada segerombol penonton yang sikapnya luar biasa. Orang yang berdiri di
depan, berperawakan tinggi besar. Dia mengenakan kopiah putih seperti seorang
haji. Tapi pandangnya keruh mengingatkan pada raut-muka seorang algojo. Yang
berdiri di sebelah iurinya, seorang laki-laki berperawakan kurus. Orang ini
sudah berusia lanjut. Rambutnya hampir putih semua. Wajahnya berkerinyut.
Meskipun demikian, pandangnya berwibawa, flfeng berdiri di sebelah kanan,
seorang pemu-a berkumis tebal dan mengenakan pakaian *erba putih. Perawakan
tubuhnya kukuh. Dialah Kartawirya yang dulu mengancam Sangaji di dalam losmen.
“Manyarsewu!”
kata laki-laki kurus berusia tenjut. “Kamu datang dari Ponorogo ke mari,
semata-mata hendak memenuhi panggilan Pangeran Bumi Gede. Bocah ngganteng
berpakaian mentereng itu, putera Pangeran Bumi Gede. Apa kamu mau membiarkan
dia dirangsak habis-habisan pemuda tolol itu? Kalau sampai putera Pangeran Bumi
Gede ter-'kika, apa nyawa kita bisa selamat...?”
Manyarsewu
adalah seorang laki-laki Berperawakan tinggi besar yang mengenakan kopiah haji.
Mendengar kawannya berkata demikian, ia hanya tersenyum sambil menjawab, “Cocak
Hijau, kauusilan. Meskipun dia mampus di depan kita, paling-paling ayahnya cuma
mematahkan kakimu sebelah. Mustahil Pangeran Bumi Gede menginginkan nyawamu...”
Mustapa
terperanjat. Orang yang bernama Cocak Hijau itu berkata, kalau si pemuda
ningrat adalah putera seorang pangeran. Kalau begitu tak dapat disalahkan,
kalau dia menolak mengawini anakku, pikir Mustapa. Ah, jangan-jangan inilah
permulaan bencana. Kalau dia sampai dilukai pemuda itu, celaka. Di antara pengiringnya
terdapat orang-orang begini perkasa.
“Jangan
takut!” sambung Kartawirya. “Berani aku bertaruh, kalau putera Pangeran Bumi
Gede tak bakal bisa dikalahkan. Lihat!”
Manyarsewu
tertawa melalui dadanya. Menyahut, “Putera Pangeran Bumi Gede pasti bisa mentaksir
kekuatan lawan. Sepuluh tahun lamanya, kabarnya dia sudah mengenal
ber-macam-macam ilmu silat. Gurunya banyak. Akan sia-sia jadinya, kalau
sekali-kali dia tak mencoba ketangguhan ilmunya.”
“Itu
benar.” ujar Cocak Hijau. “Cuma saja, kalau kita bisa membuat jasa, akan baik
aki-batnya. Pasti kita akan mendapatkan keistimewaan, selama rapat
berlangsung.”
“Hihaa...
mana bisa beliau senang, seandainya kita datang membantu ...” Manyarsewu tetap
membandel. Mendadak Kartawirya mengalihkan pembicaraan.
“Eh,
Paman Manyarsewu dan Paman Cocak Hijau! Ilmu silat dari mana yang dipergunakan
putera Pangeran Bumi Gede? Coba tebak!”
Manyarsewu
dan Cocak Hijau tertawa hampir berbareng. Hampir berbareng pula mereka
menyahut, “Anak haram! Kau menguji kami! Ilmu silat yang dipergunakan terang
berbau daerah Gunung Lawu ... Benar, tidak?”
Kartawirya
terkejut. Mendadak wajahnya jadi agak pucat. Katanya minta penjelasan. “Apakah
gurunya pendeta gila yang bernama Hajar Karangpandan?” Mereka berdua tertawa
mendongak.
“Ah!”
Kartawirya benar-benar terkejut. Memang antara golongannya dengan Ki Hajar
Karangpandan mempunyai ganjelan dalam. Dua belas tahun yang lalu, anak buah
sang Dewaresi yang diutus mengawal Keris Tunggulmanik dan Bende Mataram, bisa
dirampas Ki Hajar Karangpandan. Rombongan yang terdiri dari dua puluh orang,
mati semua tiada seorangpun yang selamat.
“Ah,
tak mungkin! Tak mungkin!” seru Kartawirya. “Pendeta gila itu mempunyai sejarah
buruk terhadap sang Dewaresi. Dia seorang musuh bebuyutan kaum ningrat. Sedangkan
sang Dewaresi adalah sekutu Pangeran Bumi Gede. Bagaimana bisa Pangeran Bumi
Gede membiarkan puteranya berguru pada musuh kaum ningrat?”
Manyarsewu
menyahut, “Apa kaukira Dewaresi mempunyai hubungan baik dengan Pangeran Bumi
Gede? Eh, seperti kau tak mengenal peraturan dunia. Kalau saja sekarang mau
akur, semata-mata bukan karena tali persekutuan melainkan karena kepentingan
yang sama.”
“Apa
itu?”
“Masa
kau tak tahu? Pemimpinmu kepengin menjadi Bupati Banyumas yang syah. Sedangkan
Pangeran Bumi Gede mengharap bisa mendapat bantuannya untuk suatu tujuan
Jertentu.”
“Mana
bisa pemimpinku gila pangkat? Biarpun bukan seorang bupati, tapi kekua-saannya
melebihi seorang adipati mancanegara.” Kartawirya membela kehormatan
pemimpinnya.
Manyarsewu
dan Cocak Hijau tertawa melalui hidung. Sejurus kemudian berkata, “Baiklah
kalau begitu kehadiranmu di Pekalongan bukankah seaneh Ki Hajar Karang-pandan
menjadi guru putera Pangeran Bumi Gede?”
Kartawirya
diam menimbang-nimbang. Berbicara mengenai keanehan, memang kehadiran
pemimpinnya di Pekalongan untuk nemenuhi undangan Pangeran Bumi Gede susah
ditebaknya.
“Pendek
kata, Pangeran Bumi Gede bukan orang sembarangan. Kau tahu?” ujar Cecak Hijau.
“Beliau seorang pangeran yang pandai berergaul dan yang mempunyai hari depan
gemilang. Kalau sedari siang-siang kita bisa menyesuaikan diri, bukankah kita
bakal kebagian rejeki? Nah, lihat pertarungan mereka!”
Mereka
bertiga lantas saja melepaskan pandangannya ke arah gelanggang. Sangaji
ternyata merubah tata-berkelahinya. Kini dia tak bergerak banyak. Malahan
nampak seperti berajal-ajalan. Tubuhnya terjaga rapat, sehing-a ke mana saja si
pemuda ningrat hendak Imelepaskan serangannya selalu batal.
“Cocak
Hijau! Kau sudah tua bangkotan, coba tebak darimana asal tata-berkelahi anak
muda itu!”
Cocak
Hijau diam sejenak. Ia mencoba menebak. Tetapi ternyata sia-sia belaka.
Akhirnya
berkata, “Kelihatannya ilmunya kacau tak karuan. Pasti bukan seorang guru-nya”.
“Kau
tua bangkotan benar,” sahut Manyarsewu tertawa berkakakkan. “Melihat
gerak-geriknya dia ahli waris seorang guru yang mengutamakan tenaga jasmani.”
“Hai!
Bukankah hampir serupa dengan tata-berkelahinya si Kodrat dulu?” seru seseorang
dari jauh sana.
Mustapa
mengamat-amati orang yang berseru itu. Ternyata ia seorang laki-laki yang
berperawakan pendek buntet. Kepalanya botak. Berkumis putih agak tak
terpelihara. Dia mengenakan pakaian putih pula seperti Kartawirya. Meskipun
Mustapa belum mengenal siapa dia, tapi dengan cepat dapat menebak kalau dia
termasuk dari golongan Kartawirya anak-buah dari orang yang disebut sang
Dewaresi. Nampaknya dia lebih tangguh daripada Kartawirya. Mestinya
kepandaian-nyapun bukan sembarangan. Selagi dia berpikir, mendadak Kartawirya
melompat ke dalam gelanggang sambil berteriak dengki, “Ah, celaka! Kaulah bocah
yang main gila...!”
Semua
orang kaget. Mustapa sendiri sampai tersirat darahnya. Segera ia bersiap hendak
menolong Sangaji, jika Kartawirya terus menyerang. Tapi di luar dugaan,
Kartawirya bukan menyerang Sangaji, melainkan mengarah kepada pemuda yang
menggenakan pakaian kumal. Pemuda itu memekik terkejut. Terus dia lari
berputaran sambil memekik-mekik, “Ayo! Ayo! Ayo bermain tikus-tikusan!”
Sangaji
sedang menumpahkan seluruh perhatiannya, la heran, ketika mendengar suara yang
sudah dikenalnya. Itulah suara pemuda kumal yang dulu menjadi temannya makan di
restoran Nanking Cirebon. Tatkala ia mengerlingkan mata, hatinya terkesiap.
Pemuda ini sedang diuber-uber Kartawirya yang dulu mengancamnya di losmen
Cirebon. Perhatiannya jadi buyar, sehingga ia kena tendang lawannya.
“Berhenti
dulu!” ia berseru, sambil melompat ke luar gelanggang. “Aku hendak pergi
sebentar. Segera aku kembali.”
“Lebih
baik kau mengaku kalah ...” ejek lawannya.
Sangaji
tidak ada niat mau berkelahi mati-matian dengan si pemuda ningrat. Pikirannya
sedang kusut, karena memikirkan nasib pemuda kumal yang sedang diuber-uber
Kartawirya. Mendadak, sewaktu ia hendak mengejar Kartawirya, si pemuda kumal
nampak kembali sambil tertawa senang. Ia lariberputar-putar dengan mata
berseri-seri. “Ayo! Ayo! Ayo main tikus-tikusan!” Dan di belakangnya, nampak
Kartawirya menguber dengan muka penasaran.
Kartawirya
mencoba menubruk dengan sekuat tenaga. Tetapi si pemuda kumal ternyata sangat
gesit, la meloncat tinggi dan terus lari berputaran. Dan dia benar-benar dapat
bergerak segesit tikus. Karuan saja Kartawirya mendongkol bukan main sampai
dadanya serasa hampir meledak. Mulutnya lantas saja bekerja, la memaki kalang
kabut tak karuan juntrungnya.
Penonton
jadi tertawa bergegaran. Inilah permainan lain lagi yang tak kurang menarik
perhatian. Mereka bersorak-sorak gembira. Dan si pemuda kumal bertambah
gembira. Ia lari berlompat-lompatan. Sekarang gayanya seperti seekor kuda lagi
meloncati galah. Dan demikian Kartawirya tambah menjadi-jadi. Karena merasa
dipermainkan, serentak ia menghunus sebilah golok bermata cabang tiga. Ia terus
memburu sambil menyabetkan goloknya.
Seketika
itu juga, penonton jadi terdiam. Hati mereka tegang luar biasa karena
mence-maskan si pemuda kumal, bahkan kian edan-edanan. Dia lari berputar,
kemudian melesat dengan sekali melompat. Mendadak melesat kembali seolah-olah
mau menubruk dada. Karuan saja Kartawirya menjadi keripuhan. Masih dia
menyabetkan goloknya. Tapi pemuda kumal itu meloncat tinggi dan di luar dugaan
bisa mengemplang pipi pulang pergi, sehingga raut muka Kartawirya jadi merah
ungu seperti jantung babi.
“Ayo!
Ayo! Sekarang bermain kuda lumping!” teriak si pemuda kumal sambil tertawa
mengejek.
Ia
mencibirkan bibirnya sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Bangsat!
Jangkrik! Babi! Kambing! Itik! Iblis! Setan! Gendruwo! Kuda!” maki Karta-wirya
kalang-kabut. “Kalau aku tak berhasil membeset kulitmu, lebih baik kumakan
sendiri tulang-tulangku...!”
la
terus melejit, tetapi si pemuda kumal tak takut. Dia bahkan memperhebat
ejekannya sambil bersumbar-sumbar. Kemudian lari memasuki gelanggang. Tak lama
lagi menyusup di antara penonton dan muncul kembali seperti orang bermain
kucing-kucingan.
Penonton
yang kena disusupi, jadi bubar berderai. Tetapi mereka bergembira. Mereka
tertawa riuh bergegeran. Apa lagi jika menyaksikan Kartawirya makin lama makin
jadi kalap.
Pada
saat itu, muncullah tiga orang lagi yang memburu si pemuda kumal dengan
serentak. Perawakan mereka berbeda-beda. Yang seorang tinggi kurus bermuka
bopeng. Itulah dia si Setan Kobar. Yang kedua, berperawakan pendek gendut.
Dialah Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek. Dan yang ketiga seorang pemuda bernama
Maling. Merekalah dulu yang ter-gantung di atas pohon. Mereka berteriak-teriak
kacau, “Kurang ajar iblis kuda! Kauanggap apa sih kami ini, lantas kaugantung
di atas pohon?”
Mendengar
teriakan mereka, Sangaji terkejut. Barulah kini dia sadar, kalau kawannya itu
sebenarnya seorang pemuda bukan semba-rangan. Terang sekali, kalau dialah yang
menggantung ketiga orang itu seorang diri.
“Hebat!”,
puji Sangaji dalam hati.
Peristiwa
Kartawirya dan ketiga rekannya kena dipermainkan seorang pemuda kumal, masuk
dalam pembicaraan Manyarsewu dan Cocak Hijau. Manyarsewu sesungguhnya seorang
pendekar sakti dari Ponorogo. Ia sampai mendapat gelar Warok Ponorogo yang
disegani pendekar-pendekar sakti lainnya. Sedangkan Cocak Hijau sebenarnya
bernama Andi Malawa berasal dari Makassar. la menetap di Pulau Jawa setelah
kawin dengan seorang gadis dari Gresik. Semenjak itu dia mendapat gelar Cocak
Hijau, karena ilmu berkelahinya yang sangat gesit bagaikan seekor burung cocak.
Seringkali dia bertanding melawan pendekar-pendekar sekitar Gresik. Pernah pula
melawat ke Malang, Jombang, Mojokerto dan Kediri. Akhirnya bertemu dengan
Manyarsewu dan menjadi sahabat. Karena mereka berdua pernah mengadu kepandaian
dan di antara mereka tidak ada yang kalah atau menang.
“Eh,
Cocak Hijau!” kata Manyarsewu. “Kabarnya Kartawirya itu mempunyai gelar
Singalodra. Kenapa dia kena dipermainkan anak kemarin sore? Lihat laki-laki
berkepala botak, bertubuh pendek buntet itu! Dia Paman guru Kartawirya.
Kelihatannya, dia men dongkol dan malu.”
“Kaukenal
dia?” tanya Cocak Hijau.
“Orang
itu pernah keluyuran sampai ke daerah Ponorogo. Ilmunya hebat tak tercela.
Namanya Sidik Mangundirja gelar Yuyu Rum-pung. Kabarnya dia menjadi penasehat
sang Dewaresi.”
Mendengar
nama Yuyu Rumpung, Mustapa kaget. Diam-diam ia mengamat-amati orang berkepala
botak yang berkumis serabutan dan berperawakan pendek buntet. Pernah dia
berkeliling sampai ke daerah Banyumas.
Nama
itu tak asing lagi baginya. Dia terkenal sakti dan galak. Hanya saja, belum
pernah ia melihat orangnya. Yuyu Rumpung kelihatan gusar. Mukanya merah padam.
Tangannya meremas-remas. Dan Manyarsewu terdengar berkata lagi, “Dia gusar,
lihat! Maklum, keponakannya seperti bocah tiada guna sampai kena dipermainkan
bocah ingusan.”
Dalam
pada itu, perkelahian antara Sangaji dan si pemuda ningrat berhenti begitu
saja. Si pemuda ningrat nampak letih. Ia berhasil merobohkan Sangaji sampai
enam tujuh kali, tetapi benar-benar harus memeras keringat. Sebaliknya Sangaji
nampak masih segar-bu-gar. Ia masih bersedia melanjutkan perkelahian.
Mustapa
datang menghampiri dan berusaha membujuknya agar mengalah. Mula-mula Sangaji
enggan mendengarkan bujukan Mustapa, tetapi akhirnya dia menurut. Maklumlah,
tidak ada niatnya mau berkelahi mati-matian melawan si pemuda ningrat. Ketika
mereka berdua mau mengundurkan diri, terdengarlah suara ribut lagi.
Si
pemuda kumal datang berloncatan sambil membawa robekan kain putih. Dia tertawa
dengan pandang berseri-seri. Tak lama kemudian, nampaklah Kartawirya datang
memburu.
Pakaian
si pesolek kini berubah tak keruan macam. Kain dadanya robek, sedang lengan
bajunya buntung. Tahulah orang, kalau pemuda kumal itu telah merobek kain dada
dan lengan bajunya. Maka itu mereka tertawa riuh.
Kartawirya
marah bukan kepalang sampai warna mukanya biru pengab. Dengan sepenuh tenaga
dia melesat mengejar si pemuda kumal yang telah menghilang lagi di antara
penonton. Tak lama kemudian, datang pulalah ketiga rekannya yang
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjatanya. Mereka berusaha mengejar
si pemuda kumal secepat mungkin. Tapi terang, ilmunya kalah jauh sehingga
mereka mirip tuyul-tuyul belaka.
Semua
orang heran dan geli menyaksikan mereka uber-uberan tak keruan juntrungnya.
Akhirnya mereka tertawa berkakakkan seperti melihat badut. Berbareng dengan
itu, terde-ngarlah suara bentakan-bentakan dari arah timur. Dua regu polisi
datang menyibakkan penonton dengan menyabetkan cemetinya.
“Minggir!
Minggir! Raden Ayu Bumi Gede lewat!”
Semua
orang terkejut. Buru-buru mereka menyibakkan diri. Buat Kota Pekalongan,
kedatangannya seorang isteri pangeran adalah jarang terjadi. Itulah sebabnya
mereka ingin melihat kaya apa seorang isteri pangeran, seolah-olah dia bukan
termasuk golongan manusia yang doyan makan dan minum.
Mendengar
suara polisi dan melihat kesibukan orang, si pemuda ningrat mengeri-nyitkan
dahi. Terdengar ia menggerutu, “Siapa yang lapor aku berada di sini?”
Para
pengiringnya, tidak ada yang berani menjawab. Memang salah seorang di antara
mereka ada yang lari melaporkan peristiwa perkelahiannya dengan Sangaji.
Mendapat laporan itu, Raden Ayu Bumi Gede segera datang dengan berkendaraan
kereta berkuda.
Mustapa
mendongakkan kepala. Ingin ia mendapat penglihatan agak luas. Diapun ter-masuk
seseorang yang belum pernah melihat wajah isteri kaum ningrat tinggi. Selain
isteri-isteri kaum ningrat tinggi itu jarang sekali men-jengukkan diri di luar
rumah, merekapun tinggal di dua buah kota kerajaan belaka. Yakni Surakarta dan
Yogyakarta.
Tak
lama kemudian sebuah kereta berkuda empat datang bergeritan. Kereta itu
berhenti di pinggir lapangan. Beberapa pengiring lantas menghampiri dan membungkuk
hormat. Dari dalam kereta, terdengarlah suara seorang wanita, “Mana dia?
Panggil kemari! Mengapa dia berkelahi di sembarang tempat?”
Mustapa
mendengar suara wanita itu cukup terang. Mendadak sekujur badannya menggigil.
Mukanya pucat dan bibirnya bergetaran lembut. Pendengarannya seolah menangkap
suatu suara yang telah lama dikenalnya. Diam-diam ia berpikir keras, “Ih!
Mengapa dia? Apa benar dia? Masa dia?”
Tiba-tiba
dia tertawa perlahan mengejek dirinya sendiri. Pikirnya pula, hmm... kalau pikiran
sedang angot... mana bisa dia isteriku...
Waktu
itu Nuraini datang mendekati. Ia mencemaskan dirinya karena kelihatan berubah
wajahnya. Menimbang kalau dia lagi luka parah, ia mengira rasa sakitnya tak
terta-hankan lagi. Maka hati-hati Nuraini minta penjelasan, “Ayah,
istirahatlah! Mengapa ...?”
Mustapa
terkejut. Ia menoleh, lalu tersenyum pahit. Setelah itu penglihatannya
dilemparkan kembali ke arah kereta berkuda, la mulai berpikir keras lagi. Kesan
pende-ngarannya benar-benar mengejutkan hatinya.
Waktu
itu si pemuda ningrat telah menghadap ibunya. Nampak sekali, kalau dia manja
benar pada ibunya. Ia menjengukkan kepalanya ke dalam kereta sambil berbicara
tak begitu terang. Ibunya—yang disebut Raden Ayu Bumi Gede—terdengar pula
berbicara. Lamat-lamat dia berkata, “Mengapa berkelahi? Lihat, kau tak
mengenakan baju luar. Kalau sampai masuk angin, apa jadinya?”
”Ibu.
aku sedang bermain-main. Bukan berkelahi seperti Ibu sangka,” si pemuda ningrat
memberi keterangan.
Lengan
Raden Ayu Bumi Gede, nampak menjulur dari balik dinding kereta. Lengan itu
berwarna kuning manis dan berkesan bersih. Kemudian terdengar Raden Ayu Bumi
Gede berkata agak terang, “Pakailah bajumu! Mari kita ke Kadipaten! Ayahmu
sudah lama menunggu kehadiranmu.”
Mendengar
suara terang itu, kembali Mustapa terkejut sampai tubuhnya bergetaran. Tak
disadari sendiri, mulutnya berkomat-uml 'Ah, masa dia? Apa benar ada dua wanita
yang mirip suaranya di dalam pagutan hidup ini? Mana bisa!”
Nuraini
yang berdiri dekat padanya, kembali minta penjelasan, “Ayah berbicara dengan
siapa?'
Mustapa
terkejut. Gugup ia menjawab sambi tersenyum pahit seakan-akan mengejek dirinya
sendiri, “Ah, pikiranku sedang angot, anakku. Aku teringat kepada ibumu.”
Mendengar
keterangannya, Nuraini jadi perasa. Berkatalah dia menenteramkan, “Bukankah Ibu
telah lama meninggal dunia?”
Maksud
Mustapa hendak mewartakan tentang isterinya, tetapi Nuraini mengira dia sedang
membicarakan ibu kandungnya. Meskipun demikian, Mustapa tidak berusaha
menjelaskan. Kembali ia tersenyum pahit sambil menjenak napas.
Seorang
pengiring segera memungut jaket si pemuda ningrat yang dibuang Sangaji ke tanah
tatkala menungkrap kepalanya. Pengiring itu agaknya hendak membuat jasa di
hadapan Raden Ayu Bumi Gede. Dengan mata melotot ia mendamprat Sangaji.
“Kau
monyet kampungan! Lihat, kau membikin kotor jaket nDoromas.”
Sangaji
tak meladeni. Melihat sikap orang, pengiring itu memperoleh hati. Terdorong
oleh suatu keinginan hati agar mendapat pujian Raden Ayu Bumi Gede dan mengira
pula Sangaji seorang pemuda kampung yang tidak berkepandaian, pengiring itu
lantas saja meng-hampiri dengan membawa cambuk. Dengan sekuat tenaga ia
mengayunkan cambuknya hendak menghajar Sangaji sesuka hatinya. Tak tahunya,
Sangaji meloncat membela diri. De-ngan sebelah tangan ia menangkap lengannya,
kemudian tangannya menyapu sambil me-nyodokkan siku. Tak ampun lagi, si
pengiring yang malang itu jatuh roboh terguling. Sangaji nampaknya benar-benar
mendongkol bercampur dengki. Serentak ia merampas cambuk itu dan disabetkan
pulang balik ke muka si pengiring sampai babak belur berbentong-bentong.
Sebagian
penonton yang tadi kena gertak dan cemeti polisi, diam-diam memuji kebera-nian
Sangaji. Mereka bersyukur dalam hati, menyaksikan salah seorang pengawal kereta
berkuda kena hajar.
Tetapi
polisi-polisi yang lain, yang menjadi pula pengiring istri Pangeran Bumi Gede, dating
membela rekannya. Mereka lantas mengepung Sangaji dan menyerang setengah kalap
karena gusar. Sangaji tidak gentar. Dengan cekatan ia menangkap salah seorang
di antara mereka, lalu dilemparkan ke udara. Belum lagi orang itu jatuh ke
tanah, lainnya terlempar pula. Begitulah saling susul seperti bola keranjang
terjun dari udara ke udara.
Penonton
bersorak gembira, mengagumi keperkasaan Sangaji. Sebaliknya si pemuda ningrat
jadi penasaran. Segera ia melompat kembali ke tengah gelanggang sambil
membentak, “Hai! Kau masih saja berani ugal-ugalan di depanku?”
Terus
saja ia menyambar Sangaji yang sedang menerkam dua orang polisi. Sangaji tak
menjadi gugup. Cepat ia mendorong dua orang polisi itu sebagai perisai. Maka
celakalah nasib mereka berdua. Mereka kena hajar majikannya sendiri, sampai
berkaok-kaok kesakitan.
Si
pemuda ningrat semakin bertambah gusar. Lantas saja ia merangsak maju dengan
melepaskan jurus-jurus berbahaya. Sangaji mengelak dan membela diri. Dan
sebentar saja, mereka berdua bertempur kembali.
“Jangan
berkelahi! Tahan!” teriak Raden Ayu Bumi Gede dari dalam keretanya sambil
melongok ke luar jendela.
Agaknya
pemuda ningrat itu biasa dimanjakan ibunya. Ternyata ia tak mendengarkan
larangan ibunya, malahan menjawab, “Ibu! Biar kulabraknya bocah kampungan ini!”
la
lantas memperhebat tekanan. Terang sekali, maksudnya hendak mencari muka dan
memamerkan kepandaiannya pula kepada ibunya. Tetapi ia kecele. Sampai lebih
dari empat belas jurus, serangannya selalu saja kena digagalkan Sangaji. Itulah
sebabnya, kini ia benar-benar menumpahkan seluruh perhatiannya. Ia, merangsak
dan merangsak tiada henti. Akhirnya pada jurus ke delapan belas, ia berhasil merobohkan
Sangaji sampai dua kali berturut-turut.
Dalam
pada itu Mustapa tidak lagi menaruh perhatian kepada perkelahian itu.
Pandangannya lagi dipusatkan kepada Ibu si pemuda ningrat yang menjengukkan
kepalanya di jendela kereta. Ternyata Raden Ayu Bumi Gede seorang perempuan
yang berwajah manis luar biasa. Rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus.
Padang raut mukanya terang ben-derang, karena bermata cemerlang, beralis tebal
dan berhidung mungil. Di atas bibirnya bersemayam sebuah tahi lalat hitam menyolok.
Inilah suatu keselarasan yang jarang terdapat di kolong dunia. Dan begitu
Mustapa mengamat-amati wajah perempuan itu, lantas saja berdiri terpaku dengan
pandang mata tak berkedip.
Sangaji
kala itu, kena dirobohkan lagi. Tetapi ia emoh menyerah kalah. Bahkan kian lama
kian ngotot. Tubuhnya seolah-olah kian perkasa bagaikan sebuah patung besi.
Sekarang, ia tak bisa dirobohkan lagi. Gerak geriknya mantap dan berbahaya.
Si
pemuda ningrat heran sampai tercengang sebentar. Tak dapat ia menebak, mengapa
lawannya bertambah lama nampak bertambah kuat serta ulet. Kalau tadi ia
berhasil me-robohkan manakala kakinya mengenai sasaran, kini jatuh sebaliknya.
Beberapa kali ia melepaskan tendangan. Tetapi aneh! Sangaji tak bergeming.
Malahan terasa tenaganya kena terhisap. Ia tak mengerti khasiat pohon sakti
pohon Dewadaru yang telah mendarah daging dalam tubuh Sangaji. Seseorang yang
telah menghisap getah pohon itu, akan bertambah kuat dan kuat manakala tubuhnya
terus bergerak. Karena otot-ototnya lantas menjadi kejang dan aliran
darahnyapun semakin cepat. Darah ini seperti berdesakan mencari tempat dan
berusaha meruap keluar. Apabila tubuh kena pukulan, dengan sedirinya bebareng
mendesak melegakan diri. Itulah sebabnya, Sangaji tak mempan kena pukulan
betapa keraspun. Ia nampak seperti orang kebal yang tahan melawan tajamnya
senjata atau peluru.
Dalam
pada itu, si pemuda kumal dan Kartawirya nampak kembali berlari-larian
me-masuki gelanggang. Kali ini keadaan Kartawirya tambah korat-karit. Rambutnya
jadi awut-awutan dan wajahnya keruh seperti babi terpanggang. Goloknya yang
bercabang tiga nampak mentublas selembar kertas cukup besar yang tertera
sederet tulisan: “Babi ini dilelangkan.”
Dengan
demikian, terang-terangan Kartawirya dianggap sebagai seekor babi yang hendak
dilelangkan karena tiada guna. Sudah barang tentu, mereka yang dapat membaca
tulisan itu sekaligus tertawa berkakakkan. Sedangkan yang buta-huruf buru-buru
minta penjelasan. Apabila telah mendapat penjelasan segera mereka tertawa
bergegeran.
Si
pemuda kumal benar-benar hendak nsempermain-mainkan Kartawirya sepuas-puas
harinya, la lari bolak-balik sambil meloncat-loncat gesit. Tak lama kemudian,
ia me-ngduarkan segulung kertas lagi yang ada tulisannnya pula. Entah kapan ia
menulis, orang tak tahu. Hanya saja gulungan kertas itu lantas dipetang pada
sebilah tongkat semacam bendera. Dan di antara kibaran angin terbacalah
uksannya: “Minggir! Minggir! Babi hitam itu terlalu galak!”
Keruan
saja, penonton yang bisa membaca bertambah tertawa gelak. Mereka sampai
berlompat-lompatan ke udara karena geli bercampur kagum. Tak lama lagi munculah
Tiga badut lainnya. Merekalah si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek
dan Maling. Mefeka beriari-larian seperti sedang berlomba. pada pantatnya
masing-masing terpancang tali panjang seperti ekor. Pada ujungnya tertempel
selembar kertas pula, yang berkibar-kibar ke udara. Kertas inipun ada hurufnya
yang terbaca cukup terang: “Inilah anak-anak kuda binal.”
Manjarsewu
dan Cocak Hijau tercengang-cengang sampai berdiri bengong. Terang sekali,
mereka bertiga kena dirobohkan si pemuda kumal. Mukanya nampak benjut dan
gosong. Lantas saja mereka berdua sibuk menduga-duga tentang si pemuda kumal.
Sangaji
sedang bertempur dengan sengitnya melawan si pemuda ningrat, la tak mempunyai
kesempatan untuk melihat permainan badut-badutan itu. Lengannya kena dihajar
dua kali oleh lawannya. Tetapi segera ia dapat membalas dua kali pula dan kini
berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus gabungan ajaran Wirapati dan Jaga
Saradenta. Dia nampak tangguh, kuat, bengis, dan berbahaya. Si pemuda ningrat
sendiri lantas saja terpaksa mengeluarkan ilmu simpanannya yang berbahaya.
Dengan demikian, kedua-duanya terancam oleh suatu serangan yang bisa
mengakibatkan luka parah tak terlukiskan.
Manjarsewu,
Cocak Hijau dan Yuyu Rum-pung yang merasa diri sebagai, pendekar sakti, tahu
menjaga kehormatan diri. Mereka tak mau melerai atau mencampuri urusan. Hanya
saja mereka nampak mengkhawatirkan keselamatan si pemuda ningrat. Karena itu
nampak sekali, kalau mereka sedang bersiaga membantu si pemuda ningrat, apabila
benar-benar dalam keadaan berbahaya. Tetapi munculnya si pemuda kumal, sedikit
banyak mengganggu juga pemusatan perhatiannya. Apalagi Yuyu Rumpung. Orang tua
bertubuh pendek buntet itu merasa sebal, menyaksikan kemenakan muridnya kena
dipermainkan si pemuda kumal demikian rupa.
Makin
lama Sangaji kelihatan makin gagah. Hal ini tidak mengherankan. Getah Dewa-daru
kini benar-benar sedang bekerja. Getah sakti itu seolah-olah ikut bertempur
dengan sibuknya. Sebaliknya si pemuda ningrat nampak letih. Maklumlah, sebagai
seorang yang biasa hidup dimanjakan di dalam istana mungkin juga kurang
berlatih dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, lambat laun ia jadi terdesak.
Sekarang bahkan hanya bisa membela diri saja. Mendadak Sangaji melompat
menerkam. Cepat-cepat ia meninju sejadi-jadi-nya dengan maksud menahan
serangan. Tetapi Sangaji dapat berlaku sebat. Gerakannya lebih cepat. Dengan
tangan kanan ia membentur siku si pemuda ningrat. Berbareng dengan itu tangan
kirinya maju membekuk leher.
Si
pemuda ningrat benar-benar terkejut. Tak diduganya, kalau lawannya bisa berlaku
sehebat itu dalam saat-saat menunggu tenaga terakhir. Cepat-cepat ia meniru
gerakan Sangaji. Tangannya lantas juga membekuk leher. Dengan begitu kedua
pemuda itu saling berkutat mempertahankan batang lehernya.
Beberapa
waktu kemudian, keadaan mereka bertambah berbahaya. Masing-masing berusaha
hendak mematahkan tulang lengan dan tulang leher dengan berbareng. Tangan yang
satu mencekik dan yang lain memutar lengan.
Semua
orang yang memperhatikan pertarungan itu memekik kaget. Ibu si pemuda ningrat
yang berada di keretapun kelihatan pucat. Nuraini yang di dekat Mustapa pucat
pula.
Manyarsewu,
Cocak Hijau dan Yuyu Rumpung lantas saja berjaga-jaga siap menolong si pemuda
ningrat.
Tetapi
sejurus kemudian pertarungan antara Sangaji dan si pemuda ningrat berubah
de-ngan tiba-tiba. Dia diajak berkutat mengerahkan segenap tenaga.
Sekonyong-konyong dia menarik seluruh tenaganya, sehingga terasa menjadi
lenyap. Sangaji kaget. Sebelum sadar akan akibatnya, si pemuda ningrat
merenggutkan diri dan berhasil menggaplok muka Sangaji sampai kelabakan. Dan
benar-benar Sangaji terkejut kena gaplokan itu. Matanya sampai berkunang-kunang
dan kepalanya serasa berputaran. Untung dia tidak kehilangan akal. Secepat
kilat ia tata-berke-lahinya. Teringatlah dia pada ajaran Jaga Saradenta. Maka
tanpa ragu-ragu lagi ia menangkap pinggang lawannya dan di angkat ke udara.
Kemudian dengan mengerahkan tenaga ia melemparkan sekuat-kuatnya. Tetapi si
pemuda ningrat bukannya lawan yang lemah, la tahu bahaya. Begitu dirinya
terapung di udara, segera teringatlah jurus-jurus ilmunya. Sebelum tubuhnya
mendarat ke tanah ia menjejak keras. Seketika itu juga, tubuhnya melesat seperti
sebatang tombak terlem-parkan. Dengan cepat ia menyambar paha Sangaji dan
didorongnya sepenuh tenaga.
Kena
dorongan tak terduga itu, Sangaji roboh terguling. Melihat Sangaji terguling,
pemuda ningrat itu melesat lagi menyambar tombak salah seorang pengiringnya.
Kemudian menikam tubuh lawannya. Terang sekali, hawa pembunuhan mulai
berbicara. Itulah sebabnya penonton lantas saja mundur berserakan. Sebaliknya
di luar dugaan, Sangaji cukup berwaspada. Begitu melihat berkelebatnya mata
tombak, dengan gesit dia menggulingkan diri. Tetapi lawannya terus memburu
dengan menikamkan tombak tiada hentinya. Maka terpaksalah ia menjejak tanah
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Sekali melesat ia dapat berdiri tegak
berbareng dengan menghunus pedang hadiah Willem Erbefeld. Sekarang pertempuran
dilanjutkan dengari mengadu senjata masing-masing. Sangaji menggunakan ilmu
pedang ajaran Wirapati, sedangkan si pemuda ningrat menggunakan ilmu tombak
gaya Bali. Melihat gaya itu, Mustapa terkejut.
“Ah!”
ia komat-kamit. “Pemuda itu mengenal ilmu tombak Bali. Siapa gurunya?”
Suasana
gelanggang pertarungan kini benar-benar menjadi sibuk tegang. Banyak penonton
yang mundur ketakutan. Raden Ayu Bumi Gede sampai pula memekik-mekik menyerukan
pertolongan. Mendengar pekik Raden Ayu Gede, Cocak Hijau ingin membuat jasa.
Segera ia melesat ke dalam gelanggang pertarungan dan sekali depak berhasil
mementalkan pedang Sangaji sehingga terapung tinggi di udara.
Sangaji
terkejut bukan kepalang. Cepat ia mundur, tetapi kalah gesit. Tahu-tahu ia kena
hajar pundaknya. Hebat akibatnya. Selama berguru kepada Wirapati dan Jaga
Saradenta belum pernah ia bertemu pukulan sekuat itu. Kecuali kala kena terkam
Pringgasakti. Itulah sebabnya, lengannya lantas saja lumpuh tak dapat
digerakkan.
“nDoromas!
Minggir! Biar kutamatkan riwayat bocah itu, agar nDoromas bebas dari
gangguannya ...” kata Cocak Hijau.
Habis
berkata demikian, dengan gesit ia meloncat lagi dan menerjang. Sangaji tak
ber-daya mempertahankan diri. Masih dia berusaha menangkis, tetapi bagaimana
mampu melawan tenaga Cocak Hijau yang dahsyat, la berguling bergelimpangan di
tanah. Tatkala itu dalam sekilas pandang ia melihat telapak kaki Cocak Hijau
terjun hendak menginjak lehernya. Cepat ia bergulingan. Tetapi Cocak Hujau
lebih gesit lagi. Berbareng dengan datangnya bahaya, mendadak nampaklah sesosok
bayangan melesat ke dalam gelanggang. Kaki Cocak Hijau kena terbentur.
Masing-masing terpental satu langkah dan berdiri bergoyangan.
Cocak
Hijau terperanjat. Pembela Sangaji terperanjat pula. Mereka lantas saling
menga-mat-amati. Ternyata penolong Sangaji adalah seorang laki-laki berumur
kurang lebih 60 tahun. Rambutnya nampak putih dan sebagian kepalanya tertutup
oleh kopiah hitam. Mukanya licin, sama sekali tak berkumis atau berjenggot. Ini
menandakan, kalau orang itu gemar pada kebersihan. Pakaian yang dikenakan
warnanya agak kelabu.
“Apakah
Tuan yang bernama Cocak Hijau, pendekar dari Gresik?” kata orang itu. “Hari ini
aku yang rendah dapat berjumpa dengan Tuan, alangkah besar rejekiku.”
“Hm
... bagaimana berani kamu menyebut diriku sebagai pendekar Gresik,” sahut Cocak
Hijau dengan suara parau. “Namaku sebenarnya Daeng Malawa. Cuma orang usilan
saja yang menyebut diriku Cocak Hijau. Bolehkah aku mengenal nama Tuan dan
gelar Tuan?”
Orang
itu tersenyum manis. “Aku seorang pegunungan. Padepokanku berada di sebelah
selatan Gunung Lawu ...” jawabnya dengan takzim.
“Ih!”
potong Cocak Hijau terkejut. “Apakah Tuan yang di sebut Panembahan Tirtomoyo?
Ah, mataku buta sampai tak mengenal tingginya gunung dan dalamnya lautan.
Maafkan aku ...”
Mendengar
disebutnya nama itu, Manyarsewu dan Yuyu Rumpung ikut pula terperanjat. Hanya
mereka yang masih asing bagi pendengarannya tiada mempunyai kesan. Mereka hanya
kagum atas kegesitannya tadi. Diam-diam mereka memperhatikan warna dan potongan
pakaian yang dikenakan. Kesan mukanya dan pribadinya.
Sebaliknya,
Manyarsewu dan Yuyu Rum-pung nampak mengerinyitkan dahinya. Sudah lama mareka
mengenal nama itu. Suatu nama yang agung bersemarak melintasi gunung-gunung.
Bagaimana tidak? Panembahan Tirtomoyo adalah seorang saleh. Kecuali itu sakti
dan berwibawa besar. Pada jaman Perang Giyanti, ia adalah seorang pejuang ulung
di samping Raden Mas Said. Banyak sekali jasanya dalam sejarah kebangkitan
Kerajaan Mangkunegoro.
Dengan
tersenyum ramah, Panembahan Tirtomoyo menghampiri Sangaji dan berkata kepada
Cocak Hijau, “Sama sekali aku tak kenal bocah ini. Aku hanya tertarik pada
kemuliaan hatinya dan kegagahannya. Karena dorongan hati itu, aku memberanikan
diri terjun ke dalam gelanggang dengan maksud memohon ampun pada Tuan.”
Melihat
sikapnya yang sopan santun dan tahu merendahkan diri, semua orang lekas saja
terpikat. Cocak Hijau sendiri jadi segan pula. Dengan membungkuk hormat, ia
me-nyatakan persetujuannya.
Panembahan
Tirtomoyo membungkuk hormat juga dan menyatakan terima kasih beru-lang kali.
Tatkala memutar tubuh hendak meninggalkan gelanggang, mendadak pedangnya
bersinar tajam kepada si pemuda ningrat. Berkata angker, “Siapa namamu? Siapa
pula gurumu?”
Tatkala
si pemuda ningrat mendengar nama Panembahan Tirtomoyo, ia sudah menjadi
gelisah. Agaknya ia pernah mendengar nama itu. Segera ia hendak berlalu,
mendadak ia kena pandang. Gugup ia menjawab pertanyaan Panembahan Tirtomoyo,
“Aku putra Pangeran Bumi Gede. Nama guruku tak dapat kusebutkan di sini.”
“Hm!
Bukankah gurumu pendeta edan-edanan dari Karangpandan?” bentak Panem-bahan
Tirtomoyo.
Untuk
mempertahankan harga diri dan menutupi rasa gugupnya, si pemuda ningrat tertawa
cekikikkan. Ia hendak membelokan perhatian.
Tetapi
ia terkesiap ketika melihat pandang Panembahan Tirtomoyo yang menyala seperti
sebilah belati menusuk ulu hati. Maka kuncuplah hatinya dan segera ia
mengangguk.
“Hm!
Memang sudah kuduga, kamu murid adikku.” Kata Panembahan Tirtomoyo. “Bagus benar
kelakuanmu. Apa kau tak pernah menerima petuah gurumu? Apa kau tak per-nah
menerima pesan-pesan sumpah suatu perguruan?”
Pemuda
ningrat itu tampak berubah air mukanya. Benar-benar hatinya kuncup kena pandang
Panembahan
Tirtomoyo. Selagi dia kebingungan, mendadak ibunya memanggil, “Ayo pulang!
Apa
lagi yang kautunggu?”
Lega
hatinya mendengar panggilan itu. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk
meninggalkan lapangan. Tetapi teringat akan kata-kata Penembahan Tirtomoyo,
kalau gurunya adalah adiknya ia jadi cemas. Khawatir jika sepak terjangnya pada
hari itu terdengar oleh gurunya yang sok edan-edanan, segera ia mengubah
sikapnya yang keagung-agungan. Cepat-cepat ia membungkuk memberi hormat kepada
Panembahan Tirtomoyo seraya berkata takzim, “Paman mengenal guruku. Karena itu,
sudilah Paman datang berkunjung ke rumah pon-dokanku di kota ini. Ingin aku
mendengar petuah-petuah Paman yang lebih mendalam. Pasti ada guna-faedahnya
bagiku.”
Penembahan
Tirtomoyo bukanlah seorang anak kemarin sore. Ia seorang yang mempu-nyai
pergaulan luas dalam kalangan ningrat.
Maka
ia tahu pula arah lagak-lagunya. Dengan suara dingin ia menjawab, “Hm.”
Pemuda
ningrat itu benar-benar cerdik. Melihat gelagat kurang baik, segera ia
meng-hampiri Sangaji sambil membungkuk takzim. Berkata merendahkan diri,
“Saudara! Kalag tidak bertempur, pastilah kita berdua tak bakal saling
mengenal. Aku sangat mengagumi ilmu kepandaianmu. Maka itu, perkenankan pula
aku mengundangmu juga datang berkunjung ke pondokanku. Ini bukan rumahku, tapi
aku punya keleluasaan untuk menerima tamu undanganku. Maukah kau memenuhi
harapanku ini demi memperkokoh suatu persahabatan?”
Tetapi
Sangaji bukanlah seorang pemuda yang bisa menyesuaikan diri dengan suatu
perubahan pembicaraan. Hatinya terlalu sederhana dan utuh. Tanpa menjawab, ia
menuding kepada Nuraini sambil berkata, “Bagaimana soal perjodohanmu dengan
Nona itu?”
Keruan
saja si pemuda ningrat jadi tersipu-sipu. Cepat-cepat ia berusaha
menyembunyi-kan peristiwa itu di hadapan ibunya. Berkata mengesankan, “Hal itu
akan kita bicarakan bersama dengan perlahan-lahan.”
Mendengar
jawabannya, Mustapa menghampiri Sangaji dan menarik lengannya ber-bisik, “Anak
muda, mari kita pulang! Apa perlu melayani seorang bangsat kecil?”
Meskipun
diucapkan dengan berbisik, tetapi pemuda ningrat itu mendengar tiap patah
katanya dengan jelas. Menuruti tabiat dan harga dirinya, pasti ia akan
mengumbar rasa mendongkolnya. Tetapi ia nampak tersenyum seolah-olah hendak
memperlihatkan kesa-barannya. Semua orang tahu, kalau dia segan terhadap
Panembahan Tirtomoyo.
“Paman.”
Katanya sejurus kemudian kepada Panembahan Tirtomoyo. “Sampai di sini kita
berpisah. Benar-benar aku menunggu kunjungan Paman.”
Setelah
berkata demikian, cepat ia mengundurkan diri dan lari melompat ke dalam
kere-ta.
Segera
sais membentak kuda-kudanya dan kereta berangkat dengan bergeritan.
Panembahan
Tirtomoyo mendongkol menyaksikan sikap pemuda ningrat yang keagung-agungan itu.
Dahulu, Raden Mas Said yang terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa tak berani berlaku
keagung-agungan terhadapnya. Sekarang melihat sepak terjang pemuda itu, ia
merasa seperti diingusi terang-terangan. Tetapi sebagai seorang pendeta yang
saleh, lekas saja ia menenangkan diri. Kepada Sangaji ia lalu berkata ramah,
“Bocah. Kamu ikutlah denganku!”
“Aku
hendak menunggu sahabatku dahulu ...” sahut Sangaji. la melingukkan kepala
mencari sahabatnya si pemuda kumal. Mendadak saja si pemuda kumal telah berada
di depan-nya. Ia berkata sambil celingukan, “Jangan risaukan aku. Aku tak
kurang suatu apa... Aku nanti datang mencarimu. Apakah kamu telah membuka
lipatan kertasku? ...” setelah berkata demikian ia berlari menyusup di antara
penonton, karena mendengar langkah sera-butan.
Tak
lama kemudian, Kartawirya nampak mendatangi. Orang itu benar-benar sudah
bangkrut. Kumisnya yang tebal tinggal separo, seperti habis kena cabut.
Darahnya nampak masih mengental di sudut-sudut bibir dan hidungnya.
Sangaji tertawa
dalam hati. Tahulah
dia, kalau orang
itu kena diselomoti
sahabatnya. Tapi teringat pada
ancamannya kala di losmen Cirebon, segera ia membungkuk pada Pa-nembahan
Tirtomoyo untuk mencari perlindungan. Katanya dengan hormat, “Aki, terima kasih
atas bantuan Aki...”
Panembahan
Tirtomoyo tidak melayani upacara itu. Sebat ia menangkap pergelangan Sangaji,
kemudian dibawanya berlalu meninggalkan gelanggang. Cepat sekali jalannya,
se-hingga tahu-tahu sudah berada di jalanan kota sebelah timur.
Makin
lama makin cepat langkah Panembahan Tirtomoyo. Ia seperti hendak menguji
kecakapan Sangaji. Ketika menyaksikan napas Sangaji tetap berjalan dengan wajar
dan sama sekali tidak berangsur, diam-diam ia heran. Untuk mendapat keyakinan,
ia kini mengajak Sangaji berlari-larian. Mula-mula perlahan-lahan, lambat laun
kencang bagaikan angin.
Sangaji
pernah mendapat petunjuk-petunjuk yang berguna dari Ki Tujungbiru tentang
menguasai pernapasan. Itulah sebabnya, fa tetap dapat mengikuti larinya
Panembahan Tirtomoyo dengan napas wajar.
“Eh!”
Panembahan Tirtomoyo heran. “Dasarmu bagus! Mengapa kau tak dapat menga-lahkan
pemuda tadi?”
Tak
tahu Sangaji, bagaimana harus menjawab pertanyaan Panembahan Tirtomoyo. Karena
itu ia hanya tertawa panjang dengan kepala kosong.
“Siapa
gurumu?”
“Guruku
dua orang?” jawabnya. “Tetapi ada pula seorang yang memberi petunjuk tentang
laku bersemedi dan cara menguasai tenaga dan pernafasan.”
“Siapa
dia?” tanya Panembahan Tirtomojo cepat.
“Orang
menyebutkannya Ki Tunjungbiru. Tapi menurut guruku, dia bernama Otong
Darmawijaya asal dari Banten.”
Mendengar
nama itu, mendadak saja Panembahan Tirtomojo girang. Dengan menekam tangan
Sangaji, dia berkata,
“Engkau
beruntung, bocah. Bagus! Aku kenal siapa dia itu. Eh, siapa namamu?” “Sangaji.”
“Namamu
tak buruk pula.” Ujar Panembahan Tirtomojo. “Tahukah kau siapakah guru pemuda
ningrat tadi?” Sangaji menggelengkan kepala.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 11 SI PEMUDA KUMAL di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 11 SI PEMUDA KUMAL"
Post a Comment