BENDE MATARAM JILID 13 TITISARI SI GADIS MANJA
SANGAJI
tertegun. Sekarang tahulah dia apa arti suatu pukulan dengan disertai ilmu
sakti. Panembahan Tirtomoyo yang bukan anak kemarin sore, bisa rebah kena
pukulan itu. Lalu ia membayangkan diri sendiri. Seumpama dia yang kena pukulan
demikian, bagaimana akibatnya tak dapat ia bayangkan. Bulu kuduknya lantas saja
mengeridik.
“Aki!
Apa Aki sudah sembuh?” tanyanya.
Dengan
tersenyum, Panembahan Tirtomoyo menggelengkan kepala.
“Jika
aku tak berhasil menemukan sesuatu ramuan dedaunan, belum tentu aku bisa
mempertahankan diri dalam satu malam ini saja.”
Sangaji
terperanjat sampai air mukanya berubah. Gugup ia minta penjelasan. “Ramuan
dedaunan apa saja itu?”
“Entah
di sini akan kuperoleh, aku tak bias memastikan. Mengingat waktu sependek ini,
bila tidak suatu keajaiban ... pasti... aku ...”
“Cobalah
jelaskan! Aku akan berusaha mencari ramuan dedaunan itu.” Desak Sangaji keras.
Panembahan
Tirtomoyo mengawasi pemuda itu lama-lama. Akhirnya dengan menghela napas dia
menuruti kehendaknya.
“Ambilkan
sesobek kertas. Aku akan menulis beberapa catatan jenis daun. Cobalah cari di
toko-toko tabib atau toko obat Tionghoa. Jika untungku baik, kamu akan berhasil
menemukan.”
Segera
Sangaji menyehatkan selembar kertas sobekan dan sebatang alat tulis. Dengan
gemetar Panembahan Tirtomoyo menulis beberapa nama jenis daun, kemudian
diserahkan kepada Sangaji.
“Nah—kusertakan
doaku kepadamu,” bisik Panembahan Tirtomoyo.
Sangaji
terus melompat ke luar pintu. Setelah menutup rapat, ia memasukkan catatan itu
ke dalam saku. Tiba-tiba tangannya menyentuh lipatan kertas si pemuda kumal.
Segera ia merogohnya ke luar sambil berpikir,
“Ah!
Hampir saja aku lalai lagi.”
Cepat
ia membuka lipatannya dan terus dibaca, la heran ketika membaca bunyi
tulisannya. Tadinya dia mengharapkan akan bisa mengetahui nama si pemuda kumal,
mendadak saja di luar dugaan tulisan itu berbunyi, Apakah kamu sudah mandi?
“Eh!
Apa maksudnya.” Sangaji mencoba menduga-duga. Mengingat, bahwa sahabatnya itu
senang bergurau, akhirnya dia tersenyum seorang diri. la menganggap lucu dan
ingin sekali berjumpa dengannya untuk mencubit punggungnya.
Sambil
memasukkan lipatan kertas itu ke dalam sakunya kembali, bergegas ia ke luar
losmen. Ia mencoba mencari rumah-rumah obat dan tabib-tabib tertentu. Tetapi
ramuan obat yang dikehendaki Panembahan Tirtomoyo tak dapat diketemukan. Masih
dia berusaha mencari dukun-dukun di pedusunan sekitar kota, namun usaha itu
sia-sia belaka. Pada petang hari dia kembali ke losmen dengan hati lemas.
Segera ia melaporkan usahanya yang tak berhasil kepada Panembahan Tirtomoyo.
Panembahan
Tirtomoyo nampak suram wajahnya. Dengan memaksa diri dia berkata, “Sebenarnya
ramuan obat itu mudah kau peroleh. Kalau tadi aku berkata sukar, sesungguhnya
aku sadar kalau orang-orang gagah di kadipaten tadi takkan membiarkan diriku
bisa mendapat ramuan itu. Mereka pasti tahu, akupun menderita luka.”
“Alangkah
jahatnya!” seru Sangaji dengan muka merah padam. Tetapi setelah berkata
demikian, ia insyaf akan arti itu. Perlahan-lahan, air mukanya berubah menjadi
pucat. Kemudian menangis melolong-lolong seperti anak kecil.
Panembahan
Tirtomoyo tertawa untuk membesarkan hati si anak muda. la tahu, anak muda itu
berhati bersih dan polos. Karena ikut berduka-cita dia sampai menangis demikian
rupa. Maka orang tua itu berkata menghibur.
“Bocah,
kenapa menangis? Apa perlu menangis? Aku kan belum mati. Lihat, aku masih sehat
walalfiat.”
Perlahan-lahan
Sangaji menoleh kepada orang tua itu. Dilihatnya Panembahan Tirtomoyo tetap tertawa dengan pandang berseri-seri. Malahan
orang tua itu lalu menyanyikan tembang Dandanggula. Beginilah bunyinya:
Ingsun
ngidung rumeksa ing wengi
Teguh
ayu luputa ing lara
Kang
luput bilahi kabeh Jim setan datan purun
Paneluhan
tan ana wani
Miwah
panggawe ala
Gunane
wong luput
Agni
temahan tirta
Maling
arda tan ana ngaraha mami
Guna
dudu pan sirna
Sakehing
lara pan samya bali
Kening
ama tan samya miruda
Welas
asih pandulune
Sakehing
braja luput
Kadya
kapuk tibanireki
Saliring
wisa tawa
Satru
kroda nutut
Kayu
angker lemah sangar
Suhing
landak guwane wong lemah miring
Dadya
pakipon merak.
“Aku
berlagu menjaga malam hari
Sekalian
penyakit kembali semua
Agar
teguh luput dari semua penyakit
Sekalian
hama surut mundur
Yang
salah celaka
Kasih-sayang
penglihatannya
Jin
setan dau
Sekalian
penyakit luput
Juga
mantran tenung tak berani
Apabila
runtuh tak ubah kapuk
*)
Terjemahan bebas.
Termasuk
semua pakarti jahat Semua bisa jadi tawar Api akhirnya menjadi air Lawan yang
bergusar melaju Maling tiada mengarah kami Pohon angkar tanah yang sangar Ilmu
sakti hilang dayanya Semua lumpuh tak ubah goa landak Berubah menjadi tempat
pemandian Burung merak.
Waktu
itu petanghari telah berganti suasana malam. Maka suara lagu Dandanggula itu
yang diungkapkan oleh seorang berusia tua, terasa besar pengaruhnya. Meskipun
Sangaji tak mengerti lagu itu, tetapi hatinya seperti tersayat. Tak disadari
sendiri, air matanya meleleh lagi.
“Nah
bocah! Itu lagu pujian. Kupanjatkan doa kepada Ulahi, agar aku terhindar dari
marabahaya. Sekarang tinggalkan aku seorang diri, biar aku berjuang mengkikis
ilmu jahat ini,” ujar Panembahan Tirtomoyo. Setelah itu, dia duduk bersemedi di
atas pembaringan.
Sangaji
tak berani mengganggu. Hati-hati ia ke luar dari kamar dan duduk termenung
merenungi malam. Pikirannya melayang ke udara bebas tanpa tujuan.
Mendadak
selagi dia termenung-menung, datanglah seorang pelayan menghampiri padanya
seraya menyerahkan sepucuk surat. “Dari siapa?” tanya Sangaji heran.
“Pemuda
semalam yang datang ke mari. Dia berpakaian kumal seperti pengemis,” sahut si
pelayan.
“Benar
dia?” seru Sangaji gembira sampai melompat berdiri. Hatinya girang luar biasa.
Awan hitam yang menutupi hatinya lantas saja buyar berderai. Dengan serta-merta
ia hendak lari ke luar, tetapi si pelayan berkata kalau pemuda itu sudah
meninggalkan losmen.
Sangaji
segera memberi persen. Setelah pelayan mengundurkan diri, ia membuka surat itu.
Apakah
kamu sudah membaca lipatan kertas? riah, sekarang pergilah ke pantai. Aku
menunggu di sana. Ada sesuatu hal yang sangat penting untuk kubicarakan.
“Ah!”
Sangaji gembira. “Tahulah aku sekarang. Sebelum aku bertemu dengannya, aku
disuruhnya mandi dahulu. Ih, anak nakal!”
Teringat,
kalau sahabatnya itu kumal pula, ia jadi tertawa geli. Siapa menyangka, si
pemuda kumal tahu arti kebersihan. Untuk menyenangkan sahabatnya, lantas saja
dia memasuki kamar mandi. Memang sore hari tadi, dia belum membersihkan badan.
Selesai
mandi, ia memasuki kamar. Jika dilihatnya Panembahan Tirtomoyo berhenti
bersemedi, segera dia memberitahukan tentang sahabatnya itu.
“Dia
memanggil aku kakak. Karena umurnya kira-kira dua tiga tahun lebih muda
daripadaku, maka akupun tak menaruh keberatan,” kata Sangaji mengesankan.
Panembahan
Tirtomoyo mengernyitkan dahi. la berpikir. Sejurus kemudian bertanya,
“Bagaimana cara kamu berkenalan dengan dia?”
Sangaji
segera menuturkan riwayat perkenalannya. Sampai sebegitu jauh, dia belum
mengenal namanya.
“Ih!”
potong Panembahan Tirtomoyo. “Tadi pagi, aku menyaksikan bagaimana cara dia
mempermainkan anak buah sang Dewaresi. Aku mempunyai kesan buruk.
Gerak-geriknya mencurigakan. Ilmu apa yang digunakan, belum dapat kuterka
sampai sekarang. Tetapi lebih baik kamu jaga-jaga diri...”
Tak
senang hati Sangaji mendengar orang tua itu mencela sahabat barunya. Segera ia
mempertahankan, “Dia seorang yang bertabiat bagus. Tak mungkin dia
mencelakaiku.” Panembahan Tirtomoyo menghela napas.
“Sudah
berapa lama kamu berkenalan dengan dia?” “Tiga hari yang lampau.”
“Nah.
Bagaimana bisa disebut sebagai suatu persahabatan sejati? Kamu belum kenal dia.
Sedangkan dia memiliki kecerdasan otak melebihi kau. Ketika dia menghendaki
nyawamu, kamu baru sadar setelah terbaring di dalam liang kubur. Sadarkan
dirimu!”
Tetapi
Sangaji tetap ngotot. Dan bila dia sudah ngotot, mana bisa dia dikalahkan.
Dahulu dia berani mempertaruhkan jiwa, tatkala mempertahankan Kapten Willem
Erbefeld di hadapan Gubernur Jendral Belanda.
Panembahan
Tirtomoyo yang agaknya sudah dapat mengenal tabiatnya, lalu mau mengalah.
Dengan
tertawa dia berkata, “Baiklah, kamu berangkat.”
“Terima
kasih, Aki,” sahut Sangaji gembira. “Sahabatku itu cerdas otaknya. Siapa tahu
dia bisa menolong mencarikan obat ramuan yang kita butuhkan.”
Orang
tua itu mengangguk dan memperdengarkan tertawanya. Sangaji mengira, kalau dia
bergembira mendengar buah pikirannya. Itulah sebabnya ia tegar hati, tatkala
melintasi jalan Kota Pekalongan.
Malam
itu adalah malam bulan gede. Bulan tersembul di udara biru kelam. Sinarnya
lembut tak menjemukan. Bintang-bintang bergetar lembut memenuhi udara. Di sana
nampak se-leret awan putih berjalan berarak-arak.
Sangaji
terus saja menuju ke tepi pantai. Ombak laut bergemuruh pada malam bulan gede.
Karena itu, perahu-perahu nelayan jarang menampakkan diri. Suasana pantai sunyi
sepi. Sangaji berputar-putar mencari sahabatnya. Mengira, kalau sahabatnya itu
mungkin berada di sekitar tempatnya berada, maka dia berteriak.
Tetapi
sekian lama dia berseru, sahabatnya tidak menampakkan batang hidungnya, la
lantas duduk di atas sebuah batu karang.
Barangkali
dia belum datang, pikirnya. Memikir demikian ia kemudian melepaskan pandang ke
laut. Teringatlah dia kepada riwayat pertemuannya dengan Ki Tunjungbiru. Itulah
saat-saat yang mendebarkan hati. Mendapat pengertian, bahwa manusia ini tidak
hanya mengutamakan tenaga jasmaniah belaka, ia jadi bersyukur telah menghisap
getah sakti pohon Dewadaru. Itu bukan suatu mantran gaib, tapi sama
kesaktiannya. Setidak-tidaknya bisa menolong keperkasaan tubuhnya.
Selagi
dia melayangkan pikirannya balik ke Jakarta, pendengarannya menangkap suatu bunyi
suara, la menoleh. Dilihatnya seorang perempuan duduk seorang diri tak jauh
daripadanya. Perempuan itu kira-kira berumur 17 tahun, la mengenakan potongan
pakaian semacam sari India. Serba putih dan berkilauan.
Sangaji
heran. Pikirnya, mengapa seorang gadis berkeluyuran seorang diri di pantai? Apa
begini kebiasaan penduduk Pekalongan pada malam bulan purnama? Ah, mungkin
begitu. Dasar aku yang dangkal pengalaman ...
Sangaji
tak pernah menduga buruk terhadap sesuatu yang serba baru. Maka sebentar saja dia
tak menghiraukan keadaan gadis itu. Dan kembali dia melemparkan pandang ke
tengah laut. Sekonyong-konyong ia mendengar suatu suara yang telah dikenalnya
baik-baik.
“Sangaji!
Kemarilah!”
Sangaji
menoleh. Hatinya memukul. Bukankah itu suara si pemuda kumal. Tetapi ia tak
melihatnya. Mengira, kalau sahabatnya sedang bergurau, maka dia lalu berseru,
“Adik kecil! Kamu di mana?”
“Aku
di sini,” terdengar jawaban.
Sangaji
menoleh, la melihat gadis itu menoleh kepadanya. Agaknya diapun men-dengar
suara sahabatnya. Tetapi di luar dugaan, gadis itu berkata, “Aku di sini.
Kema-rilah.”
Suara
si gadis itu adalah suara sahabatnya si pemuda kumal. Sangaji heran sampai
berjingkrak.
Gadis
itu kemudian berdiri tegak. Menegur, “Aku di sini. Mengapa kamu tak kemari? Tapi
aku bukan adik kecil, melainkan Titisari. Hai, kamu tak mengenalku lagi?”
Gadis
itu kemudian mendekati. Sangaji menentang matanya. Benar! Wajahnya adalah wajah
sahabatnya. Seketika itu juga, Sangaji berdiri terbengong-bengong. Bagaimana
mungkin, sahabatnya yang kumal kini berubah menjadi seorang gadis begini cantik
jelita?
Titisari
lantas saja tertawa riang. Berkata mengesankan lagi, “Akulah Titisari.
Benar-benarkah kamu tak mengenalku lagi?” “Kau ... kau ...” Sangaji
tergegap-gegap.
“Aku
Titisari. Hanya saja aku bukan laki-laki seperti yang kau sangka. Sebenarnya
aku seorang perempuan,” potong Titisari dengan tertawa riang. “Salahmu sendiri,
mengapa kau mengira aku seorang laki-laki. Salahmu sendiri, mengapa kau
berkenalan denganku. Salahmu sendiri, mengapa kau memanggilku, adik kecil...”
Sangaji
masih saja tersumbat mulutnya. Dasar dia tak pandai berbicara.
“Eh,
kenapa?” tegur Titisari. “Kamu belum percaya, kalau aku sahabatmu? Coba,
sekiranya kita berada di restoran, pasti kamu akan segera mengenal caraku
mengerumuti penganan.”
Mendengar
ujar itu, Sangaji lantas saja teringat pada empat bongkah daging yang
dikantongi dari pendapa istana. Tanpa berbicara lagi, dia merogoh, sakunya dan
menyerahkan empat potong daging goreng itu. Tapi sayang, daging goreng itu
tidaklah sesegar tadi siang.
Titisari
tertawa senang melihat Sangaji mengangsurkan oleh-oleh. Katanya, “Darimana
kauperoleh daging itu?”
“Tadi
siang aku mengunjungi rumah si pemuda ningrat. Kuteringat padamu yang doyan
makan, maka aku menyembunyikan beberapa potong daging untukmu. Tapi ...
sepertinya tak dapat kaumakan, karena tidaklah sesegar tadi. Biarlah kubuang.”
“Jangan!”
sahut Titisari. Terus saja ia menyambar empat potong daging goreng itu dan
digerumuti sambil duduk berjuntai di atas batu karang. Sangaji mengamat-amati
sahabatnya itu. Titisari sedang menggerumuti daging. Nampaknya sangat lezat
baginya. Mendadak ia melihat gadis itu menangis tersedu-sedu. Ia terperanjat.
Terdorong oleh hatinya yang penuh belas-kasih, lantas saja melompat mendekati.
“Mengapa
kau menangis?”
“Bagaimana
aku tak boleh menangis? Semenjak kanak-kanak, aku kehilangan ibu. Ayahku tak
pernah memperhatikan diriku. Dia hanya menekuni kepentingan diri sendiri. Kini
aku bertemu dengan seorang yang begitu memperhatikan aku. Mengapa aku tak boleh
menangis?”
Air
mata gadis itu jelas sekali nampak mengalir sangat derasnya. Ia meraba dadanya
dan menarik sehelai sapu tangan putih bersih. Sangaji mengira, kalau dia akan
mengusap air matanya. Tak tahunya, sapu tangan itu dikembangkan di atas batu.
Kemudian sisa daging goreng ditaruh di atasnya sambil berkata, “Biarlah
kusimpannya. Esok pagi masih bisa kumakan ...”
“Buang
saja! Besok aku beli yang baru!” sahut Sangaji, karena teringat keadaan
sahabatnya yang dahulu nampak miskin.
“O,
tidak! Tidak! Daging oleh-olehmu ini jauh berlainan rasanya daripada daging
pembelian,” bantah Titisari. Tiba-tiba saja dia tertawa riang.
Sangaji
heran. Pikirnya, baru saja dia menangis begitu deras, mendadak bisa tertawa
riang.
Inilah
tabiat yang aneh. Tetapi ia tak menunjukkan rasa herannya.
“Eh,
apa perlu kamu mengundangku?” Dengan mengalihkan perhatian. “Kau bilang ada
sesuatu hal yang penting yang mau kaubicarakan.”
“Bukankah
pertemuan ini penting? Dengan memperkenalkan diriku, kamu takkan lagi menyangka
aku seorang laki-laki. Tetapi kamu tak boleh memanggilku adik kecil lagi, tapi
Titisari. Hai, apakah menurut pendapatmu tidak penting?”
Sangaji
tersenyum mendengar lagak-Iagu-nya. Lantas berkata, “Kamu ini bisa bergurau
juga. Siapa mengira kamu sebenarnya seorang gadis begini cantik.”
“Benarkah
aku cantik?”
“He-e.”
Sangaji mengangguk.
“Kau
bohong! Coba cantikku seperti apa?”
Sangaji
berpikir sejurus.
“Seperti
bidadari.”
“Nah
tuuuu... Sekarang ketahuan kebohong-anmu,” sahut Titisari sambil tertawa riang.
“Aku tidak bohong. Kamu benar-benar cantik jelita seperti bidadari.” “Betul?
Kau pernah melihat bidadari?”
Sangaji
terperanjat. Tak disangkanya, si gadis bisa membantah begitu. Memang mana ada
seorang yang. pernah hidup di dunia ini bertemu dengan bidadari. Istilah
bidadari itu hanyalah terdapat dalam dongeng-dongeng warisan belaka. Tetapi ia
masih mencoba.
“Biarpun
aku tak pernah bertemu, tapi aku pernah mendengar dongeng tentang bidadari.
Ibuku seringkali mendongeng tentang bidadari-bidadari kahyangan.
Bidadari-bidadari itu sangat cantik. Seseorang akan jatuh pingsan, apabila
sekali melihat kecantikannya.”
“Benarkah
itu? Karena kau bilang, aku secantik bidadari, mengapa kamu tidak pingsan?”
Sangaji
merah mukanya. Tatkala itu, angin laut menyapu rambut si gadis. Seketika itu
juga terciumlah bau harum. Sangaji terkejut. Hatinya bergetaran. Lalu ia
mempunyai perasaan yang belum pernah dialami.
“Aji
... eh biarlah aku memanggilmu Aji,” kata Titisari. “Aku tahu, kamu seorang
yang berhati mulia. Andaikata aku ini seorang pemuda melarat atau seorang gadis
jelek, pasti sikapmu tak berubah. Kalau seseorang melihat diriku dalam pakaian
begini bersih dan lantas tertambat, itulah lumrah. Tapi kamu tidak. Kamu pernah
melihatku dalam pakaian seburuk-buruknya dan kotor, namun sikapmu tidak
berubah. Kamu tetap menghargai. Ontuk itu, perkenankan aku menyatakan rasa
penghargaanku terhadapmu. Sekarang, aku akan menyanyikan sebuah lagu untuk-mu.
“Apakah
tidak bisa esok hari saja?” potong Sangaji. “Sekarang ini, aku harus menemukan
suatu ramuan obat untuk Aki.”
Kemudian
ia menuturkan riwayat pertemuannya dengan Panembahan Tirtomoyo sampai orang tua
itu terluka parah. Titisari mendengarkan dengan cermat. Kemudian dengan menarik
napas dia berkata, “Pantas, kulihat kamu tadi begitu sibuk memasuki kampung dan
dusun. Tak kuduga, kamu sedang mencari ramuan obat.”
“Jadi
kamu telah mengetahui kesibukanku tadi?” “Mengapa tidak?”
“Kalau
begitu ... kalau begitu ... bolehkah aku pinjam kudamu si Willem barang
sebentar? Aku akan keluar kota untuk mencari obat. Orang-orang jahat di
kadipaten itu agaknya telah merampas semua obat yang kita butuhkan.”
Titisari
menatap wajah Sangaji.
“Aji!
Mengapa kau berkata begitu? Mengapa kau menggunakan istilah pinjam? Bukankah
kuda itu adalah kudamu sendiri? Akulah sebenarnya yang meminjam.”
“Kuda
itu telah kuberikan kepadamu.”
“Apakah
kaukira, aku benar-benar mau meminta kudamu? Sama sekali tidak. Aku hanya
menguji hatimu. Tentang obat itu, memang takkan kauperoleh di sekitar tempat
ini...”
Sangaji
menundukkan kepala. Hatinya bingung. Pikirannya pepat. Mendadak gadis itu
berkata, “Kamu mengharapkan bantuanku?”
Sangaji
menegakkan kepala. Girang ia menyahut, “Tentu! Tentu!”
“Nah panggillah
namaku dulu. Titik!”
Sangaji tergugu. Dan
Titisari tertawa riang.
Kesannya manis luar biasa.
“NAMAMU
TITISARI. Mengapa aku harus memanggilmu Titik?” Sangaji minta penjelasan.
“Namaku
yang lengkap berbunyi Endang Retno Titisari. Kamu boleh memanggil singkatan
namaku.”
“Mengapa?”
Titisari
menatap wajah Sangaji. Ia melihat kesan wajah si pemuda sangat sederhana.
Tahulah dia, kalau Sangaji belum mempunyai pengalaman pergaulan dengan wanita.
Diam-diam ia bersyukur dalam hati. Lantas saja ia menggurui, “Tidak selamanya
orang memanggil seseorang selengkap-lengkapnya. Umpamanya dia bernama Sri
Kilatsih atau Mayangsari dan orang memanggilnya Sri atau Sari. Orang bernama
Kartamijaya atau Sangaji. Dan orang memanggilnya si Karta atau Aji. Mengapa
terjadi demikian, tak tahulah aku. Barangkali manusia ini kerdil dengan waktu.
Barangkali juga suatu ungkapan karsa manusia, ingin menelan semuanya
secepat-cepatnya.”
“Tak
mau aku menjadi seorang manusia yang terlalu tergesa-gesa karena nafsu,” tukas
Sangaji sungguh-sungguh.
“Aku
mau memanggilmu Titisari. Bukankah kamu bernama Titisari? Bukan Titik atau
Sari?” Titisari tertawa. Ia senang mendapat kesan pribadi Sangaji yang begitu
sederhana dan jujur.
“Baiklah.
Kau boleh memanggil namaku sesuka hatimu. Kau boleh memanggil Titi. Boleh pula
Sari atau Retno atau Endang. Pokoknya, aku sekarang mau menyanyi.” Katanya
memutuskan.
Setelah
berkata demikian, Titisari kemudian menyanyikan lagu tembang. Bibirnya yang
tipis bergerak lembut dan suaranya benar-benar merdu dan mengharukan.
Sangaji
heran sampai terhenyak. Pikirnya, bocah ini aneh perangainya. Pikirannya
bergerak cepat seperti arus air. Sebentar berbicara begini, lantas saja
berubah. Mendadak saja terus menyanyi tanpa mempedulikan pertimbangan orang
lain. Tetapi ia senang mendengarkan lagu Titisari. Meskipun ia tak mengenal
lagu Jawa, namun ia bisa merasakan keindahannya oleh keselarasan irama, nada
dan suara.
“Tembang
ini namanya Kinanti,” tiba-tiba Titisari berkata. “Kamu mengenal bunyi
bait-baitnya, tidak?”
“Aku
bisa mendengarkan jelas kalimat-kalimatnya, tetapi terus terang saja aku kurang
mengerti,” sahut Sangaji. “Kamu seakan-akan lagi menceritakan tentang seorang
gadis anak raja Dwarawati yang lagi merindukan seorang kesatria pegunungan
bernama Irawan. Siapakah nama gadis itu?”
Titisari
tertawa. Menjawab tak ragu, “Namanya Titisari.” “Ah!”
“Benar!
Kau boleh minta penjelasan kepada sembarang orang yang mengenal cerita wayang.
Puteri raja Dwarawati itu bernama Titisari. Dia kelak kawin dengan seorang
kesatria jantan yang lahir di pegunungan. Kesatria itu bernama Bambang Irawan.”
Sangaji
diam menimbang-nimbang. Sekonyong-konyong saja, hatinya bergoncang. Mau ia
menduga, kesatria pegunungan yang bernama Bambang Irawan itu, diumpamakan
dirinya sendiri. Karena pikiran itu, wajahnya terasa menjadi panas. Cepat-cepat
ia melayangkan pandangnya ke arah laut untuk mengusir kesan yang bukan-bukan.
Titisari
sendiri waktu itu lagi bercerita.
“Menurut
Ayah, cerita itu menggambarkan angan sejarah kemanusiaan, agar orang tidak
begitu membedakan antara golongan ningrat dan golongan rakyat secara
berlebih-lebihan. Lihatlah, meskipun Titisari itu puteri seorang raja akhirnya
dia kawin juga dengan seorang laki-laki dari pegunungan. Lihatlah pula
contohnya pahlawan kita Untung Surapati.
Meskipun
ayah-bunda Gntung Surapati tak keruan asalnya, tapi dia bisa kawin dengan
puteri Patih Nerangkusuma Raden Ayu Gusik Kusuma.”
Sangaji
pernah mendengar sejarah pahlawan Gntung Surapati dari mulut Willem Erbefeld.
Karena itu hatinya cepat tertarik. Kesan hatinya yang bernada yang bukan-bukan,
lambat-laun tersapu bersih dari perbendaharaan rasanya. Tetapi setelah
mende-ngarkan cerita Titisari beberapa waktu lamanya, teringatlah dia kepada
Panembahan Tirtomoyo.
“Titisari!
Belum pernah aku pergi melintasi Jawa Tengah. Kota Pekalongan inipun belum
kukenal sudut-sudutnya. Tentang cerita Bambang Irawan dan Gntung Surapati, tak
dapatkah kauceritakan di kemudian hari? Aku akan mendengarkan perlahan-lahan
agar meresap dan merasuk dalam darah dagingku. Sekarang ini kita harus berdaya
secepat mungkin untuk menemukan obat ramuan buat Panembahan Tirtomoyo.”
“Mengapa
tergesa-gesa? Ayam pun belum tidur lelap,” sahut Titisari tak peduli. “Lebih
baik kita menyewa sebuah perahu, lantas berlayar di atas lautan menikmati angin
laut dan cerah alam. Lihat, bulan bersinar cerah.”
“Panembahan
Tirtomoyo berkata, ia bisa tewas kalau aku tak berhasil menemukan obat ramuan
yang dikehendaki dalam waktu dua belas jam,” Sangaji mencoba menjelaskan.
“Tak
usahlah kaucemas hati. Aku tanggung, kamu akan memperoleh obat itu.”
Semenjak
bertemu dan berkenalan dengan Titisari yang dulu menyamar sebagai seorang
pemuda, Sangaji sudah mengagumi kepandaian dan kecerdikannya. Kecuali itu ia
menaruh kepercayaan penuh padanya. Itulah sebabnya, begitu ia mendengar
Titisari berkata dengan sungguh-sungguh, hatinya menjadi lega. Katanya dalam
hati, aku percaya, dia pasti telah mendapat akal dan yakin benar bisa
mendapatkan obat untuk Panembahan Tirtomoyo.”
Mendapat
keyakinan demikian, lantas saja dia melayani si cantik yang manja. Ternyata
Titisari benar-benar mencari sampan untuk disewa dalam semalam suntuk. Kemudian
ia memasuki perkampungan memborong ikan-ikan laut bermacam jenis.
Dengan
gembira ia memasaknya di tengah laut sambil berbicara tiada hentinya. Ia
mengisahkan cara menggantung si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek
dan Maling. Juga diterangkan bagaimana akalnya, ia mengganggu si Kartawirya
ketika Sangaji sedang bertempur melawan Sanjaya.
“Bagus!”
seru Sangaji gembira. “Kamu dapat mempermain-mainkan beberapa jago begitu
gampang.”
“Apa
susahnya mempermain-mainkan mereka. Mereka sebangsa jago-jago konyol tidak
berharga,” sahut Titisari gembira. Tangannya lantas berserabutan karena
gembiranya.
Tak
terasa bulan mulai condong ke barat. Hari telah melampaui larut malam.
Gelombang laut kian terasa kuat. Dengan acuh tak acuh arusnya datang berdeburan
melanda pantai. Tangan Titisari tiba-tiba bergerak dan menggenggam tangan
Sangaji erat-erat. Berkatalah dia setengah berbisik, “Mulai malam ini, tidak
ada yang kutakuti lagi...”
“Takut?
Apa yang kautakuti?” Sangaji heran.
“Ayahku
seorang laki-laki kejam dan bengis. Tak sudi dia kuikuti. Kamu pasti mau
kuikuti, bukan?”
“Tentu!”
Sangaji menyahut cepat. Pandangnya sungguh-sungguh dan meyakinkan orang. “Kamu
tahu, hatiku begini gembira. Belum pernah aku mendapatkan kegembiraan hati
seperti sekarang ini...”
Mendengar
ucapan Sangaji yang bernada sungguh-sungguh, puaslah hati Titisari. Tanpa
mempedulikan tukang perahu lagi, ia menyandarkan tubuhnya ke dada Sangaji. Dan
tangannya meremas kuat-kuat. Sangaji membiarkan dirinya direbahi tubuh si
gadis. Tapi tatkala ia mencium harum wewangian dari rambut si gadis, hatinya
mendadak jadi berdegupan. Ketika tangannya kena diremas kuat-kuat, jantungnya
berdenyutan. Tetapi ajaib! Tanpa disadari sendiri, tangannya membalas meremas
pula.
“Aji!”
sekonyong-konyong Titisari berbisik. “Pernahkah kamu belajar melintasi lautan?”
Sangaji
teringat kepada nasibnya dua belas tahun yang lalu, ketika dipaksa pergi
berlayar bersama ibunya ke Jakarta dengan seorang laki-laki bernama Kodrat. Dua
tahun yang lalu, diapun pernah berlayar melintasi lautan menuju Pulau Edam
dengan Ki Tunjungbiru. Tetapi kalau dikatakan berpesiar, tidaklah kena. Karena
pengalaman melintasi lautan itu, terjadi dengan tak dikehendaki diri.
“Dua
kali aku pernah berlayar di tengah lautan, tetapi karena terpaksa.”
“Jika
begitu, kamu belum pernah merasakan indahnya lautan?” tukas Titisari.
“Apa
sih indahnya lautan?” Sangaji minta keterangan.
“Seperti
malam ini. Apakah hatimu tak merasa gembira?”
Ditanya
demikian, Sangaji terkejut. Memang hatinya sedang bergembira. Tetapi kalau
dikatakan terjadi karena indahnya lautan, tidaklah kena. la merasa gembira oleh
sesuatu perasaan aneh yang belum pernah dialaminya.
“Hai,
apa hatimu tak merasa gembira?” Titisari mengulang pertanyaannya lagi sambil
menegakkan tubuh.
Gugup
Sangaji menjawab dengan anggukan kosong. “Aku gembira sekali. Benar-benar
gembira sampai terasa dalam dasar hati.”
“Bagus!
Itulah yang kuharapkan. Akupun bergembira pula. Hanya sayang, kita akan
berpisah dengan lautan ini yang membuat hati kita mendapat suatu kegembiraan.”
“Mengapa?”
Sangaji terkejut. Ia mengira, Titisari hendak mengambil selamat berpisah.
“Bukankah
sebentar lagi kita harus mencari obat. Nah, kautahu sekarang ... orang-orang
tua kerapkali pandai mengganggu kegembiraan hati orang-orang muda.”
Sangaji
tersentak. Diingatkan perkara Panembahan Tirtomoyo, ia jadi girang hati. Cepat
ia menyahut, “Ah! Ke mana kita harus mencari obat ramuan itu?”
“Apa
kamu mengira, orang-orang yang ada di kabupaten Pekalongan merampas semua
obat-obatan yang kaubutuhkan?”
“Kurasa
begitu.”
“Jika
begitu, kita pergi ke kadipaten.”
“Tak
dapat kita pergi ke sana,” tukas Sangaji cepat. “Kalau kita ke sana samalah
halnya ular mencari gebuk!”
“Habis?
Apa kamu sampai hati membiarkan Panembahan Tirtomoyo cacat seumur hidup?
Bukankah dia yang berani mengorbankan nyawa untuk melindungi dirimu?
Jangan-jangan luka itu bisa membahayakan nyawanya, sehingga kamu hanya akan
menemukan mayatnya belaka ...”
Tubuh
Sangaji bergetaran. Jantungnya berdenyut. Semangatnya terbangun. Dengan mata
berkilatan ia berkata, “Aku akan pergi, meskipun harus mengantarkan nyawaku.
Tetapi kuharap kamu jangan turut serta.”
“Jangan
turut serta? Mengapa?”
Sangaji
terdiam. Memang ia tak mendapat alasan untuk memperkuat kata-katanya. Maka ia
menatap wajah Titisari dengan pandang menebak-nebak.
“Aji!”
kata Titisari. “Aku tahu, kenapa kamu melarang ikut serta. Tetapi andaikata kau
mendapat bencana, apa kau kira aku akan dapat hidup seorang diri?”
Mendengar
kata-kata si gadis, hati Sangaji jadi terharu.
Ingin
ia memeluk karena girangnya. Gntung waktu itu Titisari berkata lagi, “Aku kini
memanggilmu Aji. Biarlah begitu. Kelak kalau perlu aku akan memanggilmu dengan
sebutan kakak atau kangmas. Bukankah usiamu lebih tua dari padaku?”
Sangaji
tersenyum. Tanpa meladeni ucapan Titisari ia lantas berkata, “Ayo, kita pergi
bersama.”
Mereka
lalu memberi perintah tukang perahu berlabuh. Begitu perahu menempel di tepi
pantai, keduanya segera meloncat dan lari menuju ke kadipaten seperti sedang
berlomba. Mereka memasuki pekarangan dengan meloncati dinding.
“Hebat!”
kata Titisari. “Kamu bisa bergerak begitu gesit dan ringan.”
Sangaji
merah mukanya mendapat pujian itu. Meskipun demikian, hatinya senang. Ia
menangkap pergelangan tangan Titisari dan dibawanya berendap di belakang
gerombolan tetanaman. Dengan hati-hati ia memasang pendengaran.
Tidak
lama kemudian, terdengarlah derap langkah berbarengan. Mereka melongok serata
tanah dan melihat dua orang penjaga sedang berjalan sambil tertawa berkakakkan.
“Kautahu
kenapa nDoromas Sanjaya mengurung gadis itu di rumah sebelah itu?” kata seorang
di antara mereka. Yang lain lantas mendengus, “Ah, seperti kanak-kanak kemarin
sore. Buat apa lagi, kalau bukan ...” ia tak meneruskan, tapi lantas tertawa
panjang. “Memang perempuan itu amat cantik. Benar-benar cantik seperti seorang
yang dilahirkan bidadari. Barangkali gadis itu cantik semenjak dalam kandungan
ibunya.”
“Hai
... berhati-hatilah! Janganlah kau memuji begitu terang-terangan. Sekiranya
ndoromas Sanjaya mendengar bunyi pujian-mu, bisa terjadi kakimu dikutungi
sebelah ... Dasar kau buaya bangkotan!”
Mendengar
percakapan mereka, Sangaji menduga-duga, “Siapakah gadis yang dikurung Sanjaya
di dalam rumah samping itu? Apa dia tunangan Sanjaya? Kalau benar-benar
tunangan Sanjaya, pantas dia menolak kawin dengan Nuraini. Ah, kalau begitu
Sanjaya tak dapat dipersalahkan. Tapi mengapa tunangannya dikurung? Apakah
Sanjaya dienggani gadis itu? Atau ... atau ...
Apakah
ini yang dikatakan orang sedang dipingit?”
Kedua
orang penjaga yang berjalan mendatang itu, kian mendekat. Yang berbicara
pertama kali membawa lentera dan yang kedua membawa sekeranjang makanan dan
minuman. Yang membawa keranjang makanan dan minuman berkata lagi sambil tertawa
gelak,
“nDoromas
Sanjaya memang aneh. Dia mengurung gadisnya, tapi takut pula gadisnya mati
kelaparan. Lihat! Sudah begini malam, masih saja beliau menyuruh mengantarkan
seberkat makanan.”
“Kalau
tidak begitu, masakan beliau mempunyai harapan untuk merebut hati si gadis?”
sahut yang membawa lentera. “Hanya saja memang harus kuakui pula, kalau selama
hidupku belum pernah aku melihat gadis secantik itu ...”
Mereka
lantas lewat dengan berderapan. Suara tertawanya masih saja terdengar berisik.
“Aji,” bisik Titisari, “Ayo kita lihat gadis cantik. Ingin aku melihat
bagaimana gadis cantik itu ...” “Buat apa? Lebih baik kita mencari obat,” kata
Sangaji.
“Aku
ingin melihat si gadis cantik dulu. Bagaimana sih cantik itu?” Sangaji heran.
“Apa sih faedahnya melihat perempuan?”
“Bukan
aku ingin melihat perempuan, tapi aku ingin melihat cantik,” Titisari mendengus
cepat. Sangaji terhenyak. Sebagai seorang pemuda yang sederhana dan kurang
pengalaman, tak tahulah dia sifat khas seorang gadis. Kalau seorang gadis sudah
sadar akan arti kecantikan dirinya, akan cepat tertarik jika mendengar kabar
tentang kecantikan gadis lain. Hatinya belum lagi puas, sebelum melihat dan
menaksir-naksir kecantikan gadis lain dengan kecantikan dirinya sendiri.
Sekiranya dirinya jauh lebih cantik daripada gadis lain, keinginannya malahan
lebih besar untuk segera melihatnya.
Kadipaten
Pekalongan ternyata berhalaman luas sekali. Banyak sekali terdapat lika-liku
jalan seolah-olah suatu jalanan rahasia dalam sebuah benteng militer. Mereka
tiba di sebuah pekarangan lebar. Di sana terdapat sebuah gedung gelap yang
merupakan rumah samping. Sebuah pohon mangga raksasa berdiri tegak melindungi
atapnya. Itulah sebabnya, maka gedung itu nampak berahasia dan angker.
Kedua
penjaga itu ternyata mengarah ke gedung tersebut. Seorang pelayan segera
menyambut kedatangan mereka. Sebentar mereka berbicara kasak-kusuk dan tak lama
kemudian pintu depan dibuka. Kedua penjaga lalu masuk.
Titisari
ternyata seorang gadis yang cerdik. Cepat ia memungut sejumput kerikil dan ditimpukkan
ke lentera orang. Berbareng dengan padamnya lentera, secepat kilat ia menarik
lengan Sangaji dan diajaknya melompat memasuki pintu. Si pelayan dan kedua
penjaga tidak menyangka buruk. Mereka mengira, lentera kejatuhan bongkahan batu
atap. Maka sambil mendongak ke atap dan mengutuk kalang kabut, mereka lantas
sibuk menyalakan. Mereka saling menolong, sehingga tubuhnya jadi membungkuk.
Itulah sebabnya, mereka tak mengetahui sama sekali masuknya Titisari dan
Sangaji yang dapat melesat begitu cepat dan tidak bersuara.
Titisari
dan Sangaji cepat-cepat menyembunyikan diri dengan hati-hati pula. Mereka
menghadang masuknya dua orang penjaga di sudut tembok. Dalam gedung amat gelap,
maka mereka tak usah khawatir akan keper-gok.
Tatkala
kedua penjaga memasuki gedung sambil membawa lentera, segera mereka menguntit
dengan berjingkit-jingkit. Ternyata gedung itu beruang. Hawanya dingin meresap
tulang. Terasa pula angin luar menggerumiti kulit.
Tak
lama kemudian, kedua penjaga itu membuka sebuah pintu dan nampaklah dua orang
tahanan yang disekap di dalam kamar. Samar-samar nampaklah mereka seperti
laki-laki dan perempuan. Salah seorang penjaga segera memasang lentera dan
mengangkat tinggi-tinggi. Lentera itu mirip seperti tongkat obor yang menyala
gede. Sekarang nampaklah dengan jelas, siapakah mereka yang terkurung.
Sangaji
terperanjat. Ternyata mereka adalah Mustapa dan Muraini yang tadi siang
dikabarkan meninggalkan penginapannya karena mendapat undangan seseorang yang
tak dikenal. Mustapa kelihatan sedang marah, sedang Nuraini duduk di sampingnya
sambil menundukkan kepala.
“Nah—apa
kabar? Bilanglah terus-terang, apakah pangeran itu senang pada anakku atau
tidak? Apa perlu memperlihatkan kekuasaannya sampai-sampai kami berdua
mengalami siksaan dan hinaan begini macam?”
“Siksaan?
Hinaan?” Kedua penjaga itu menyahut hampir berbareng. Yang membawa makanan lalu
berkata keras, “Jika nDoromas Sanjaya bermaksud menyiksa kalian, masa begini
larut malam memerintahkan kami berdua mengantarkan makanan? Dimanakah ada seorang
tahanan mendapat perlakuan begini manis, sekiranya kalian menganggap diri
menjadi tahanan?”
Kata-kata
penjaga itu masuk akal, sehingga Sangaji sendiri mulai sibuk menduga-duga.
“Sekiranya Sanjaya berniat menahan mereka, pastilah dia takkan memperlakukan
mereka begini baik. Eh—lantas? ... Hm, sebenarnya Sanjaya senang kepada Nuraini
atau tidak?”
Sangaji
seorang pemuda yang jujur bersih dan sederhana. Otaknya yang sederhana tak
dapat menebak kelicinan dan kelicikan hati seseorang, la mengira, kisah
perjalanan hidup manusia dalam dunia ini berjalan secara wajar.
Terdengar
Mustapa membentak, “Cuh! Kaukira macam apa aku ini, sampai tampangmu bisa menipu
kami? Kuakui, memang aku kurang waspada. Tapi jangan berharap, aku akan kena
kalian jebak dalam perangkap. Majikanmu mengirimkan sekeranjang makanan pada
larut malam. Coba jawab, buat apa?”
Didamprat
demikian rupa, kedua penjaga itu saling memandang. Mereka terkejut atas
ucapannya sendiri, dikirimkan sekeranjang makanan di tengah malam membuktikan
betapa majikannya menaruh perhatian besar kepada mereka yang ditahan. Tak
tahunya, kini Mustapa mengembalikan persoalan itu kepada mereka dengan tak
terduga-duga. Mereka tak kuasa memberi penjelasan mengapa majikannya
memerintahkan mengirim sekeranjang makanan di tengah malam. Sebagai seorang
yang cukup umur tahulah mereka, sekeranjang makanan itu mempunyai arti penting
dalam suatu permainan tertentu.
Dalam
pada itu, terdengarlah suara pelayan yang tadi berada di luar gedung. Dia
berseru keras, “nDoromas Sanjaya.”
Sangaji
dan Titisari terkejut. Cepat-cepat ia memipitkan diri ke dinding dan dengan
hati-hati mencari tempat persembunyian yang agak terlindung.
Segera
terdengarlah suara Sanjaya membentak kepada kedua penjaga.
“Kudengar
Tuan Mustapa menyesali kamu, kenapa? Apakah kamu ingin kupatahkan batang leher
kalian sekaligus?”
Mendengar
bentakan Sanjaya, kedua penjaga itu ketakutan sampai lentera yang dipegangnya
jadi bergoyangan. Mereka lalu menjawab, “Sama sekali hamba tak mengganggu
sehelai rambutnya pun.” “Pergi!”
Seperti
berebutan, mereka berdua lari berserabutan keluar. Tetapi sampai di luar pintu,
mereka saling pandang dan saling tertawa tanpa suara. Heran, Sangaji
menyak-sikan perangai mereka. Sebagai seorang pemuda yang jujur bersih dan
sederhana tak dapat ia mengerti macam permainan demikian. Sebaliknya Titisari
yang cerdik segera dapat menebak permainan itu. Terang sekali, pekerti mereka
itu telah diatur sebelumnya, agar meredakan amarah Mustapa dan agar mendapat
hati.
Dalam
pada itu, Sanjaya lalu menghampiri Mustapa setelah melihat pintu telah tertutup
rapat. Kemudian berkata dengan suara merendah, “Paman, silakan duduk di atas
bangku itu! Aku ingin menyampaikan sepatah dua patah kata. Pastilah Paman salah
paham terhadapku.”
“Apalagi
yang hendak kaubicarakan?” bentak Mustapa garang. “Terang-terangan kamu telah
mengurung kami seperti pesakitan. Apa artinya ini?” Suara Mustapa terdengar
gemetaran menahan amarah. Dan Sanjaya menyahut dengan suara merendah dan luar
biasa sabar,
“Maafkan
aku. Sama sekali tidak ada maksudku mau menghina Paman atau sengaja mengurung
Paman sebagai pesakitan. Hati dan perasaanku pun tak enak menyaksikan keadaan
Paman. Karena itu dengarkan kata-kataku barang sebentar.”
“Hm!”
dengus Mustapa dengan mata melotot. “Kauboleh bergadang dan mengelabui
anak-anak ingusan, tapi jangan harapkan sesuatu dariku. Apa aku tak mengenal
sifat-sifat dan perangai orang-orang ningrat yang pandai bermain pura-pura?”
Sanjaya
mencoba meyakinkan, tapi setiap kali ia membuka mulut, Mustapa selalu
menyekatnya dengan dampratan-dampratan keras pedas. Namun Sanjaya tak pernah
memperlihatkan pandang menyesal atau mendongkol. Dia bahkan tertawa manis luar
biasa.
Nuraini
rupanya mengetahui kesulitan Sanjaya, lalu dia menengahi, “Ayah! Coba dengar
dulu apa yang mau dikatakan.”
“Hm!”
Sanjaya
ternyata cerdik. Begitu mendengar suara Nuraini, lantas saja ia berkata,
“Biarlah disaksikan dia juga. Malam ini aku berkata, kalau aku senang kepada
puterimu.”
Mendengar
ucapan Sanjaya, Nuraini menundukkan kepala.
Kedua pipinya memerah jambu. Dan Titisari yang berada di dekat Sangaji mencubit
siku si pemuda sam-pai hampir terjingkat.
“Tapi
mengapa kamu mengurung kami?” bentak Mustapa.
“Inilah
yang mau kuterangkan,” kata Sanjaya sabar. “Seperti Paman ketahui, aku ini
termasuk keluarga seorang pangeran yang mempunyai aturan-aturan tertentu dalam
kalangan rumah tangga. Jika orang mendengar kabar, kalau aku akan
memperisterikan seorang gadis yang kuketemukan di tengah jalan, alangkah akan
menghebohkan. Barangkali tidak hanya ayahku semata yang marah, tetapi Sri
Sultan pun akan ikut berbicara.”
“Hm!
Masa begitu?”
“Pernahkah
Paman mendengar kisah seorang laki-laki dari Jepara bernama Prana-citra?
Pranacitra dulu adalah seorang penyabung ayam yang berhasil memikat hati Rara
Mendut, gadis pingitan Adipati Wiraguna. Dan apa akibatnya? Mereka berdua kena
bunuh dan raja tidak berusaha menghalang-halangi perlakuan buruk itu.”
“Baik.
Lantas sekarang kau mau apa?” Mustapa mulai bersabar. Agaknya ia dapat menerima
alasan Sanjaya yang berbicara begitu wajar dan masuk akal.
Wajah
Sanjaya berubah cerah. Mulailah dia berbicara lagi meyakinkan si orang tua.
“Sekarang
aku minta dengan sangat agar Paman berdiam beberapa hari dulu di sini, sampai
kami pulang ke Yogyakarta,” katanya. “Seperti Paman ketahui, tempat tinggalku
di daerah Bumi Gede. Aku sendiri bernama Sanjaya. Beberapa hari ini, kami semua
berada di Pekalongan untuk menyelesaikan sesuatu urusan negara. Begitu kami
mendapat penyelesaian, segera kami berangkat pulang. Paman akan kubawa serta.
Apa ini bukan suatu rencana yang baik? Sekalian Paman bisa merawat luka-luka
Paman.”
“Lantas?”
“Untuk
sementara Paman akan kutempatkan di suatu dusun atau di sebuah rumah pinggiran
untuk beberapa bulan lamanya. Setelah orang-orang mengetahui, Paman adalah
termasuk keluarga baik-baik yang menetap di sebuah kampung, aku kelak akan
datang melamar. Dengan begitu, kita semua akan dapat menghindarkan sesuatu
kesan yang buruk.”
Mustapa
diam menimbang-nimbang. Dahinya berkerinyit dan mencoba mencari kepu-tusan
secermat-cermatnya. Sanjaya agaknya tahu menduga gejolak benaknya. Ia kemudian
berkata lagi, “Peristiwa ini, kalau dibiarkan liar akan menyangkut kedudukan
dan kehormatan ayahku. Seringkali aku menyalahi ayahku, karena aku memang
nakal. Ayahku pernah juga ditegur Sri Sultan dan Gusti Patih. Maka kali ini,
jika Sri Sultan mendengar warta tentang maksud perkawinanku yang berkesan liar,
pasti akan digagalkan. Karena itu, kupinta dengan sangat agar Paman
merahasiakan rencana dan perhubungan kita ini?”
Mendengar
ucapan Sanjaya, Mustapa menegakkan kepala. Kembali ia bergusar. Meledak.
“Eh,
kamu berbicara menuruti pertimbangan dan kemauanmu sendiri. Sekiranya kau telah
mengawini anakku, apakah harus main bersembunyi selama hidupnya?”
“Jangan
keburu nafsu dulu, Paman! Tadi telah kukatakan, aku akan melamar gadismu
setelah Paman menetap di suatu tempat tertentu. Mungkin pula, Ayah akan
mengatur cara pelamaran yang terhormat. Tapi, sementara ini, perhubungan dan
rencana kita harus dirahasiakan benar-benar. Jika sampai bocor, akan gagallah
semuanya ...
Wajah
Mustapa berkerinyut.
“Telinga
kiriku mau mendengar kata-katamu itu. Tapi yang kanan mana mau percaya penuh
semua keteranganmu. Aku ingin berbicara dengan ayah bundamu. Kalau kau segan
pada ayahmu, nah panggillah ibumu. Ini perkara perkawinan. Perkawinan adalah
suatu perkembangan hidup yang maha penting dan menentukan bagi seorang
perempuan.”
Sanjaya
tersenyum. Menjawab sabar, “Ibuku tak dapat kuganggu pada tengah malam begini.”
“Esok
hari kan masih ada waktu?”
“Selama
di Pekalongan ini, ibuku tak dapat diganggu. Dia sibuk melayani ayah dan
teta-mu-tetamu. Maafkan.”
“Kalau
begitu, enyahlah dari sini. Biar kamu berbicara melambung setinggi langit tak
bakal kudengarkan lagi,” sahut Mustapa. la menyambar sebuah mangkok dan
dilemparkan ke atap hingga hancur berantakan.
Nuraini
terkejut menyaksikan sikap ayahnya. Wajahnya berubah menjadi keruh. Nampak
sekali hatinya jadi berduka. Maklumlah, semenjak ia bertanding melawan Pangeran
Sanjaya, hatinya telah tertambat. Karena itu hatinya amat bersyukur, ketika
mendengar kata-kata Sanjaya yang berjanji hendak melamar padanya dengan cara
terhormat. Mendadak di luar dugaannya, ayahnya mengambil sikap bermusuhan.
Sanjaya
sendiri tak mempedulikan sikap garang Mustapa. Dengan merendahkan diri ia
memunguti pecahan mangkok dan dikumpulkan menjadi seonggok.
“Dengan
sangat menyesal, terpaksa aku tak dapat menemani Paman lebih lama lagi. Selamat
malam.” Cepat ia mengundurkan diri dan berjalan . meninggalkan kamar, la tak
mempedulikan Mustapa dan Nuraini lagi.
Sangaji
yang menyaksikan sikap Sanjaya, sibuk menimbang-nimbang. Pikirnya, Sanjaya
sudah berbicara terus-terang dan wajar. Sebagai seorang anak ningrat dan hidup
di dalam kalangan ningrat pasti mempunyai kesulitan-kesulitan tertentu. Sayang,
Mustapa tak mau mengerti. Maka ia berkata dalam hati, baiklah kubujuknya dia
...
Mendapat
pikiran demikian, segera ia hendak muncul dari persembunyiannya. Tapi tiba-tiba
Titisari menarik lengannya dan diajaknya keluar mengikuti Sanjaya.
Di
luar gedung Sanjaya memanggil dua orang penjaganya.
“Apakah
Ibu sudah beradu?”
“Belum.
Tadi kulihat beliau mondar-mandir di dalam kamar,” jawab seorang di antara
mereka. “Barangkali menunggu nDoromas.”
Dengan
berdiam diri, Sanjaya berjalan mengarah ke sebuah gedung yang berada di sisi
gedung Kadipaten sebelah kanan. Sangaji dan Titisari terus menguntit dengan
diam-diam.
Sanjaya
menolak daun pintu rumah dan masuk ke dalam kamar. Dengan cepat pula Sangaji
dan Titisari lari ke jendela dan mengintip dari sela-sela jari-jari jendela. Mereka
ingin melihat dan mendengarkan percakapan Sanjaya dan ibunya.
“Bu!”
mereka mendengar Sanjaya memanggil ibunya.
Seorang
wanita setengah umur keluar dari belakang kelambu dan datang menyambut Sanjaya.
Sangaji dan Titisari cepat-cepat beralih ke daun pintu dan mendekam di sana
sambil menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat ibu Sanjaya duduk di atas
kursi kayu jati. Wajah ibu Sanjaya ternyata masih menarik. Kulitnya kuning
langsat. Bentuk mukanya menyedapkan.
Di
dalam kamar terang-benderang, sehingga Sangaji dan Titisari dapat melihat raut
muka ibu Sanjaya sejelas-jelasnya. Ternyata di atas mulutnya tersembul sebuah
tahi lalat-hitam cukup terang. Matanya menyala jernih. Bibirnya tipis dan
rambutnya panjang hitam legam. Perawakan tubuhnya tinggi semampai dan padat.
Pakaiannya sederhana dan kesannya tidak tinggi hati. Umurnya kurang lebih empat
puluh tahun.
“Ibu!
Mengapa Ibu belum juga tidur?” kata Sanjaya sambil memegang pergelangan tangan
ibunya. Kemudian ia memelukkan tangan ibunya ke lehernya. Nampak sekali, betapa
manja Sanjaya terhadap ibunya. “Bukankah aku berada di sini? Mengapa Ibu
bersedih hati? Lihatlah, aku tetap sehat tak kurang suatu apa ...”
“Di
kota orang, kamu membuat kekacauan. Kalau sampai terdengar ayahmu, apa yang
terjadi? Apalagi kalau gurumu mendengar lagak-lagu dan perangaimu, ... kamu...
kamu... ah, pastilah hebat akibatnya. Gurumu seorang yang berwatak berangasan.
la tak takut kepada semua. Meskipun kamu berusaha berlindung di belakang
benteng kasultanan, dia tak peduli.”
“Ibu!
Tahukah Ibu, siapakah Pendeta yang datang dalam arena tadi siang?” Sanjaya
memotong.
“Pendeta?”
“Dia
tadi kuundang pula hadir di pendapa kadipaten. Kuperkenalkan pula dia kepada
tetamu-tetamu undangan Ayah.”
“Siapa
dia? Dan apa hubungannya dengan perbuatanmu tadi siang?”
“Dia
datang melerai pergumulanku melawan si pemuda tolol. Dia bernama Panembahan
Tirtomoyo. Dia mengaku, kakak guruku ...”
“Ih,”
Ibu Sanjaya terkejut. “Sanjaya, hati-hatilah! Aku pernah melihat gurumu
membunuh beberapa orang tanpa mengejapkan mata, jika dia sedang marah.
Benar-benar aku takut kepadanya ...”
Sanjaya
menegakkan tubuhnya. Dengan heran ia minta penjelasan.
“Pernahkah
guru membunuh orang? Kapan dan mengapa?”
Ibu
Sanjaya tidak menjawab. Ia melemparkan pandang ke arah pintu dengan mata
merenung-renung. Kemudian berkata pelahan, “Peristiwa itu sudah lama lampau ...
lama sekali ... Kenapa gurumu membunuh orang, aku sudah lupa ...”
Sanjaya
tak mendesak lagi. Kini ia bersikap gembira dan berkata penuh kekanak-kanakan.
“Ibu
tahu kakak guruku mendesak padaku, agar menyelesaikan urusanku dengan si
buntung kaki. Aku berjanji hendak menyelesaikan dengan sebaik-baiknya, asal
saja si buntung kaki mau diatur.”
“Apakah
kamu sudah membicarakan hal itu dengan ayahmu? Jika ayahmu telah' mengizinkan,
alangkah akan baik jadinya,” potong ibunya.
Sanjaya
tertawa gelak. Menjawab cepat, “Ibu, Ibu memang berhati mulia dan lembut. Tapi
semenjak siang tadi telah kuperdayakan si buntung kaki dengan gadisnya. Aku
berpura-pura mengundang mereka menghadiri pesta.
Tak
tahunya mereka kukerangkeng di gedung sebelah ini. Nah, biarpun Panembahan
Tirtomoyo menjelajah ke seluruh dunia, tak bakal dia dapat menemukan mereka.”
Sangaji
yang mengintip di luar pintu terkejut. Hatinya lantas saja menjadi mendongkol.
Hatinya bergolak. Dengan geram ia berkata dalam hati, ah kukira kamu berbicara
sungguh-sungguh dengan Paman Mustapa. Tak tahunya, kamu sangat licin, licik dan
jahat!
Ibu
Sanjaya pun tak menyetujui akal licik puteranya. Ia menegor, “Kamu telah
mempermainkan anak dara seseorang dan mengurungnya juga. Apa maksudmu? Nah,
bebaskan mereka! Berilah uang bekal agar bisa pulang ke kampung halamannya.”
Sangaji
sependapat dengan kata hati ibu Sanjaya. Pikirnya dalam hati, hati ibunya jauh
lebih baik daripada anaknya. Pendapatnya benar-benar adil.
Tetapi
Sanjaya seperti tak mendengarkan. Suara tertawanya dinaikkan.
“Ibu,
Ibu belum tahu masalahnya. Orang seperti dia, tak membutuhkan uang dan tidak
tahu juga arti uang. Jika dia kulepaskan, dia bisa berbahaya. Mulutnya akan
diumbar dan mencanangkan kabar berita tak keruan jun-trungnya perkara diriku.
Kalau sampai terdengar guru, urusan bisa runyam.”
“Habis?
Apa kamu mau mengurung mereka seumur hidupnya?” potong ibunya. Tetapi Sanjaya
tetap saja tertawa.
“Tadi
telah kucoba membujuk ayah si gadis, agar mau berdiam di suatu tempat. Aku
bilang, beberapa bulan lagi aku akan melamar anaknya. Nah, kalau dia mau mendengar
kata-kataku, biarlah gadisnya menunggu lamaranku sampai menjadi nenek-nenek.”
Setelah
berkata demikian, Sanjaya tertawa terbahak-bahak. Dan Sangaji yang berada di
luar pintu, heran menyaksikan perangainya, la mendongkol berbareng terkejut. Ia
mencoba mengamat-amati Sanjaya. Pikirnya, benarkah dia Sanjaya kawanku
sepermainanku dulu?
Makin
lama hatinya makin mendongkol. Tiba-tiba saja, ia tak dapat lagi menguasai
hatinya. Serentak ia bangkit hendak menggempur daun pintu. Mendadak suatu
tangan halus menangkap pergelangan tangannya sambil berbisik. “Sabar Aji...”
Halus
dan merdu suara itu. Ia terkejut dan melihat Titisari menyanggahnya dengan
pandang manis luar biasa. Ia jadi sadar atas kecerobohannya. Cepat-cepat ia
menguasai nafsunya yang hampir menyentak cepat. Kemudian mengintip lagi.
“Si
kaki buntung itu benar-benar licin,” kata Sanjaya. “Telah kucoba membujuknya,
tetapi tetap saja dia bersitegang. Bahkan hampir-hampir aku kehilangan
kesabaranku. Nah, biarkan dia mengeram dalam kamar lembap itu. Kalau perlu
sebulan dua bulan. Aku ingin tahu, akhir permainannya ...”
“Sanjaya!”
tegor ibunya halus, “kulihat anak gadisnya manis, cantik dan cemerlang.
Gerak-geriknya halus dan sopan. Menurut penda-patku, tidak ada celanya. Baiklah
aku yang membicarakan halnya dengan ayahmu. Percayalah, Ayah pasti akan
mendengarkan tiap patah kataku. Dengan begitu, persoalanmu akan bisa
diselesaikan.”
“Ih!
Mengapa Ibu berbicara yartg bukan-bukan?” potong Sanjaya. “Ingat Bu, kita ini
termasuk keluarga apa? Bagaimana aku bisa mengawini seorang gadis jalanan? Ayah
sering berkata kepadaku, aku akan dicarikan jodoh dengan keluarga ningrat yang
sepadan dengan kedudukan Ayah. Ayah berjanji akan berusaha berbesan dengan
Gusti Patih. Kalau mungkin salah seorang puteri Sultan. Sayang ... Ayah kini
berlawanan dengan Sri Sultan. Sekiranya ...”
“Sekiranya
apa?”
“Aku
akan bisa menjadi salah seorang menantu Sultan.”
Ibu
Sanjaya menarik napas panjang. Tetapi ia tak berkata lagi. Matanya kemudian
nampak suram. Ia berduka mendengar kata-kata anaknya.
“O
ya ...” Sanjaya mengalihkan pembicaraan. “Tadi kudengar, si tua buntung itu
hendak berbicara dengan Ibu. Jika sudah berbicara dengan Ibu, baru dia percaya
pada semua omonganku.”
“Bagus?
Tetapi jangan harap, aku akan membantumu mempermain-mainkan dia. Tak baik
akibatnya.”
Sanjaya
meloncat dari tempat duduk dan berjalan mondar-mandir sambil tertawa geli.
Sangaji dan
Titisari mempunyai kesempatan
untuk mengamati ibu
Sanjaya lebih teliti
lagi.
Perempuan
itu benar-benar berhati mulia. Pandangannya jernih. Matanya cemerlang.
Hidungnya
tajam, suatu tanda kalau dia berhati tegas dan jujur. Tetapi mereka tak dapat
memastikan, apakah dia permaisuri Pangeran Bumi Gede atau salah seorang
selirnya. Tetapi andaikata dia seorang selir, sikapnya yang agung dan hatinya
yang mulia itu tak mengurangi kewibawaannya. Sekarang mereka mengamat-amati
gerak-gerik San-jaya. Alangkah jauh berbeda. Pemuda itu nampak licin, licik dan
terlalu sadar akan kedu-dukannya. Memikirkan tentang perangainya, tiba-tiba
saja tubuh Sangaji bergemetaran. Agaknya hawa amarahnya meluap ketika teringat
nasib Mustapa dan gadisnya yang terang-terangan sedang dipermain-main-kannya.
Titisari
segera menekan pundak kawannya dan dibawanya menjauhi pintu. Bisiknya, “Ayo,
kita mencari obat. Apa gunanya rnempedulikan dia.”
Sangaji
terkejut. Menjawab hampir gagap, “Tahukah kau di mana obat itu tersimpan?”
“Ayo, kita cari.”
Sangaji
kecewa. Hatinya ragu. Maklumlah, halaman kadipaten ini begitu luas dan banyak
gedungnya. Di manakah dia akan dapat menemukan obat ramuan yang dikehendaki
Panembahan Tirtomoyo. Tetapi ia tak sempat berpikir terlalu lama, Titisari
telah menariknya pergi melintasi halaman.
Orang
itu kini menjadi kaget dan ketakutan, karena tajam belati Titisari terasa
digaritkan kelengannya.
Bulan
waktu itu sedang terselimuti awan. Halaman kadipaten nampak semu dan
samar-samar. Cepat mereka mengarah ke sebuah gedung. Sekonyong-konyong mereka
men-* dengar langkah terantuk-antuk batu. Tak lama kemudian terdengarlah suara
mengomel.
“Tamu!
Tamu! Sampai berjenggot... ya sampai pun ubanan, masa orang-orang gede itu
ingat menaikkan pangkat... Ih!”
Cepat
mereka meloncat ke belakang gerombol pohon kemuning dan bersembunyi. Selagi
Sangaji mau mengamat-amati laki-laki itu, mendadak saja Titisari meloncat
menyongsong orang itu.
Orang
itu berdiri tegak tercengang-cengang. Ia tak berkutik sedikit pun. Matanya
tajam mengawasi Titisari. Maklumlah, dia diancam sebuah belati.
“Siapa
kau?” bentak si gadis.
Orang
itu kini menjadi kaget dan ketakutan, karena tajam, belati Titisari terasa
digaritkan ke lengannya. Segera ia menjelaskan, dia adalah salah seorang
pegawai Pangeran Bumi Gede bagian keuangan.
“Bagus!
Kamu menjadi pengurus umum, bukan?” kata Titisari.
Orang
itu mengangguk.
“Jika
begitu, tentu kamu tahu di mana disimpannya obat-obatan untuk persediaan
majikan dan tetamu undangan lainnya?”
“Memang
majikanku membawa obat-obatan yang diperlukan. Bahkan semenjak tadi siang,
beliau memberi perintah menguras habis semua obat-obatan dalam kota ini untuk
persediaan para tetamu. Dalam hari-hari belakangan ini, Pangeran Bumi Gede akan
mempunyai tamu undangan luar biasa banyaknya. Obat-obatan bermacam-macam ramuan
sangat dibutuhkan.”
“Bagus!
Sekarang tunjukkan di mana obat-obatan itu disimpan!” potong Titisari garang.
“Majikan sendiri yang menyimpang. Aku ... aku ...” “Majikan yang mana?”
“Majikan
ya majikan!”
Titisari
menangkap lengan orang itu dengan tangan kirinya, kemudian digencet ke belakang
punggung sambil mengancamkan pisaunya.
“Kau
bilang tidak?” gertaknya. “Sungguh mati, aku tak tahu ... di mana majikan
menyimpan obat-obatan itu ...”
“Majikan
yang mana?”
“Majikan
... majikan ... anak Pangeran Bumi Gede ... nDoromas ... nDoromas ...”
Titisari
memuntir lengan orang itu, sampai merintih kesakitan, la tak berani berteriak,
karena belati Titisari telah menempel urat lehernya.
“Kenapa
kautadi bilang majikan ya majikan ...?” bentak Titisari.
“Sungguh
mati ... sungguh mati, aku tak tahu perkara obat-obatan itu ...” orang itu
merintih ketakutan.
Titisari
tak mempedulikan penderitaan orang. Lengan yang telah dipuntir ke punggung,
disodokkan ke atas. Keruan saja terdengarlah suara gemeretak. Dan lengan orang
itu patah sekaligus. Orang itu hampir saja berteriak, jika Titisari tidak
cepat-cepat menyumbat mulutnya dengan saputangannya. Maka beberapa detik
kemudian, orang itu rebah pingsan tak sadarkan diri.
Sangaji
terperanjat. Sama sekali tak diduganya, kalau Titisari bisa berbuat sekejam
itu. Tetapi ia tak berkata sepatah katapun juga. Ia hanya mengawasi dengan hati
tercengang-cengang, setelah rasa terkejutnya terkikis tipis.
Titisari
tak membiarkan orang itu roboh pingsan lebih lama lagi. Segera ia menotok
tulang iga-iganya. Ketika orang itu menggeliat sadar, cepat ia membangunkan.
Kemudian terdengarlah bentaknya, “Kau bisa berbicara yang benar tidak? Jika
mungkir lagi, lenganmu yang sebelah akan kupatahkan juga.”
Orang
itu lantas saja menangis. Ia menjatuhkan diri dan bersimpuh di hadapan si gadis
yang begitu cantik jelita tapi kejam.
“Dengan
sebenarnya Nona ... sama sekali aku tak mengetahui sekelumit pun tentang
obat-obatan itu,” ia merintih.
Titisari
rupanya dapat mempercayai omongannya. Tetapi suaranya masih bengis.
“Berdiri!
Dan sekarang pergilah menghadap majikanmu! Bilang, kamu tadi jatuh ke parit
sampai lenganmu patah. Bilang juga, kamu telah berusaha mencari obat patah
tulang di seluruh kota, tetapi tak berhasil karena tidak ada. Kamu pasti akan
diberi obat itu.”
Orang
itu segera berdiri. Tatkala mau berjalan, tiba-tiba Titisari berkata,
“Eh,—tunggu dulu.” Belum lagi orang itu menoleh, mendadak dadanya disodok
sampai lontak darah.
“Nona
...” orang itu terengah-engah. “Apa dosaku ... apakah kesalahanku, hingga nona
menyiksaku tanpa perkara?”
“Bilang
juga pada majikanmu ... dadamu perlu obat bubuk untuk mengobati luka dalam,”
kata Titisari tak mengindahkan.
Membentak,
“Cepat pergi! Tapi awas! Jika kamu main gila, akan kupatahkan batang lehermu.
Aku akan mengikutimu sejarak empat langkah. Kaudengar?”
Orang
itu mengangguk, la telah membuktikan, bagaimana gadis cantik itu
bersungguh-sungguh. Kalau ia berani berlaku sembrono, pasti nona itu akan
membuktikan ucapannya tanpa ragu-ragu lagi. Itulah sebabnya ia memutar tubuhnya
sambil terbatuk-batuk darah.
Selangkah
demi selangkah, orang itu berjalan. Tubuhnya nampak bergemetaran. Kadang-kadang
ia sempoyongan. Tetapi Titisari benar-benar kejam, la dorong orang itu,
sehingga mau tak mau harus memaksakan diri agar berjalan lebih cepat lagi.
Tatkala
itu Sanjaya masih berbicara dengan ibunya, la heran melihat pegawai keuangan
ayahnya datang menghadap pada waktu larut malam.
“Hai,
ada apa?” ia bertambah-tambah heran sewaktu melihat hambanya bermandikan peluh
dan nampak kesakitan. Orang itu menerangkan mengapa memberanikan diri menghadap
padanya, seperti yang dipaksakan Titisari. Air matanya bercerocosan keluar,
karena berusaha menahan sakit.
“Berilah
dia obatnya!” sahut ibu Sanjaya penuh iba.
.
Sanjaya menaikkan alis. Dahinya berke-rinyut.
“Semua
persediaan obat untuk tetamu undangan disimpan Yuyu Rumpung, penase-hat sang
Dewaresi. Pergilah menghadap padanya!”
“nDoromas!
Bagaimana orang semacam hamba bisa mendapat obat daripadanya?”
Sanjaya
diam menimbang-nimbang, kemudian menulis surat. Setelah surat itu diberikan
pada hambanya, ia segera mau menutup pintu kamar. Agaknya dia tak senang
diganggu oleh siapapun juga pada hari jauh malam.
Orang
itu membungkuk-bungkuk hormat. Ingin ia menyembah beberapa kali, tapi lengannya
tak dapat digerakkan. Maka terpaksalah dia mengundurkan diri sambil menundukkan
kepala.
“Terima
kasih ... terima kasih, nDoromas.”
“Pergilah
kepadanya selekas mungkin, sebelum dia tidur,” kata ibu Sanjaya. “Setelah
sembuh, baru kamu boleh menghaturkan terima kasih.”
Hamba
Pangeran Bumi Gede segera berlalu dari gedung. Belum lagi melangkah sejauh
sepuluh langkah, pundaknya telah ditempel Titisari. Sekali lagi, sebilah belati
mengancam punggungnya. Terdengar kemudian si gadis mengancam dengan setengah
berbisik, “Cepatlah menghadap Yuyu Rumpung malam ini juga!”
Orang
itu mencoba menguatkan diri. Baru beberapa langkah berjalan, tubuhnya terhuyung
hampir roboh, la merintih, tetapi Titisari segera mengancam lagi, “Sebelum kamu
mendapat obat itu, jangan harap nyawamu selamat. Kau dengar?”
Bukan
main kagetnya hamba Pangeran Bumi Gede itu. Dengan menggigit bibirnya,
dipaksanya kakinya berjalan selangkah demi selangkah. Dunia di depannya seolah
berputar kontrang-kantring, tetapi ia menguatkan diri. Keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya pucat lesi dan berkerinyut.
Ia
berjalan memasuki lorong gedung yang merupakan jembatan penyambung antara
gedung dan gedung. Di sana terdapatlah banyak penjaga dan pelayan-pelayan yang
selalu bersiap menunggu perintah dan pekerjaan. Mereka heran melihat si pegawai
keuangan berjalan tertatih-tatih dengan diiringkan seorang gadis cantik dan
seorang pemuda. Menyangka bahwa mereka termasuk tetamu undangan atau salah satu
sanak keluarga tetamu undangan, maka mereka pun bersikap diam.
Setibanya
di depan kamar Yuyu Rumpung, seorang pelayan segera menyambut dengan sikap
hormat. Tatkala ditanyakan dimanakah Yuyu Rumpung berada, pelayan itu menjawab
dia lagi menghadiri rapat rahasia di ruang depan dengan Pangeran Bumi Gede.
Mendengar keterangan si pelayan, hamba Pangeran Bumi Gede itu nampak
bergemetaran karena hampir kehabisan tenaga.
Sangaji
menjadi iba menyaksikan penderitaannya. Segera ia datang menolong dan
membimbing tubuhnya yang benar-benar telah kehilangan tenaga.
Mereka
lantas saja memasuki ruang depan. Dua orang penjaga segera menyongsong dan
menegor keras.
“Berhenti!
Siapa kamu?”
“Aku
hendak menemui Tuan Yuyu Rumpung. Katakan aku Pengurus Istana,” jawab hamba
Pangeran Bumi Gede seraya mengangsurkan surat Sanjaya. Melihat surat Sanjaya,
dua penjaga itu mundur. Tapi tatkala melihat Sangaji dan Titisari segera mereka
mau menegor. Hamba Pangeran Bumi Gede cepat-cepat memberi penjelasan, “Mereka
keluarga tetamu undangan.”
Titisari
tetap bersikap tenang. Matanya yang tajam, dengan cepat mengenal siapa dua
penjaga itu. Mereka adalah Setan Kobar dan Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek.
Sebaliknya mereka tak mengenal Titisari yang pernah menggantung diri mereka di
atas pepohonan beberapa hari yang lalu di pinggiran kota Cirebon. Maklumlah,
Titisari kini berdandan sebagai gadis. Tapi jika pandang mereka bertemu dengan
Sangaji, mendadak saja mereka maju serentak terus mau menyerang.
Titisari berlaku
cepat luar biasa.
Belum lagi mereka
bisa berbuat sesuatu,
iga-iganya kena terhajar dua kali
berturut-turut. Tanpa dapat berkutik, mereka kena dilemparkan ke tanah dan
jatuh terkapar tak kuasa bangun.
Sangaji
kagum menyaksikan kehebatan si gadis. Ia berada di dekat si gadis, namun tak
melihat gerakannya yang begitu gesit dan cepat. Lantas saja teringatlah dia
pada kejadian dulu di restoran Cirebon, ketika kawan-kawan Kartawirya kena
dirobohkan begitu mendadak ketika mau mencuri kudanya. Diam-diam ia memuji di
dalam hati, ah, hebat ilmu Titisari. Pastilah mereka dulu kena juga serangan
Titisari yang begini cepat dan berbahaya. Eh, macam ilmu apa yang dimilikinya?
Sangaji
adalah pemuda yang dibesarkan di kota besar yang jauh di daerah barat. Dia tak
mengenal macam ilmu-ilmu sakti yang terdapat di daerah Jawa Tengah. Sebenarnya
Titisari lagi menggunakan suatu ilmu sakti yang terkenal dengan sebutan Aji
Pangabaran. Aji Pangabaran adalah suatu ilmu rahasia, yang dapat digunakan
untuk melenyapkan tenaga orang dengan sekali serang. Jika si pemilik Aji
Pangabaran mempunyai Aji Munduri, akan celakalah orang yang diserang. Tak ampun
lagi akan bisa dirontokkan semua tulang rusuknya. Gntung bagi dua hamba-sahaya
sang Dewaresi itu. Agaknya Titisari hanya memiliki Aji Pangabaran dengan
jurus-jurusnya yang khas, sehingga dengan demikian tidak membahayakan nyawanya.
“Ssst!
Kau lagi memikirkan apa?” tegur Titisari sambil tertawa, manakala melihat
temannya merenung-renung. la meloncat menghampiri Setan Kobar dan Cekatik gelar
Simpit Ceker Bebek. Kedua orang itu didepak bergulingan ke arah gerombolan
tetanaman. Kemudian diringkus erat-erat dan mulutnya disumbat dengan robekan
kain. Setelah itu ia mendorong maju tubuh hamba Pangeran Bumi Gede sambil
berkata memerintah, “Masuk!”
Begitu
hamba Pangeran Bumi Gede memasuki ruangan, ia sambar lengan Sangaji dan dibawa
melompat ke atas atap. Dengan hati-hati ia merayap mendekati penglari jendela
dan mengintip dari sana.
Dalam
ruangan kadipaten, nampak terang-benderang. Meja penuh hidangan dan kursi-kursi
penuh sesak dengan tetamu-tetamu undangan. Sangaji terperanjat dan ciut
hatinya, tatkala melihat siapa mereka yang berada di dalam ruangan itu.
Ternyata mereka adalah tetamu-tetamu tadi siang yang telah memperlihatkan
kepandaiannya masing-masing.
Tepat
di depan hidungnya, duduk sang Dewaresi yang didampingi Yuyu Rumpung. Orang tua
botak yang nampak kurang segar. Suatu bukti, benturan Panebahan Tirtomoyo masih
meninggalkan bekas dalam tubuhnya. Di sampingnya duduk lima belas orang sakti
lainnya. Abdulrasim dari Surabaya. Putut Tunggulnaga, Sawungrana, Glatikbiru,
Wirya-dikun, Somakarti, Wongso Cldel, Joyokrowak, Orang-aring, Trunoceleng,
Kejong Growong, Munding Kelana, Banyak Codet, Sintir Modar dan Gajah Banci. Dan
di dekat seseorang yang berdandan mentereng duduklah Mayarsewu dan Cocak Hijau.
Sangaji
mengamat-amati orang yang berdandan mentereng. Nampak sekali orang itu besar
sekali perbawanya. Romannya cakap, matanya sipit, dan mulutnya senantiasa
menyungging senyum. Karena dia belum kenal siapakah dia, maka perhatiannya
mengarah kepada Yuyu Rumpung yang tadi siang mengadu kekuatan dengan Panembahan
Tirtomoyo. Melihat orang begitu nampak kesakit-sakitan, ia berkata dalam hati,
nah, rasakan ini. Mengapa kamu gegabah mencoba kekuatan Panembahan Tirtomoyo.
Tetapi
teringat Panembahan Tirtomoyo menderita luka hebat pula, hatinya jadi getar
juga.
Tatkala
itu, hamba Pangeran Bumi Gede telah menyerahkan sepucuk surat Sanjaya kepada
Yuyu Rumpung. Orang tua botak itu mengamat-amati. Kemudian dengan
tertatih-tatih ia berjalan menghadap orang yang berdandan mentereng. Dengan
membungkuk hormat ia berkata minta penjelasan, “Maaf, mengganggu sebentar.
Apakah tulisan ini guratan tangan putra paduka?” Ternyata orang yang berdandan
mentereng itu, Pangeran Bumi Gede. la mengamat-amati surat Sanjaya dan
mengangguk membenarkan.
“Berilah
obat yang diminta!”
Yuyu
Rumpung menoleh kepada seorang pemuda berdandan serba putih. Dia adalah salah seorang
anggota rombongan Banyumas.
“Pergilah
ke kamarku dam ambillah beberapa obat,” kata Yuyu Rumpung. la menulis nama-nama
ramuan obat dan diberikan kepada pemuda itu. Lalu berkata lagi, “Berikan obat
itu kepadanya!”
Pemuda
itu mengangguk sambil menerima surat Yuyu Rumpung dan dengan memberi isyarat
kepada hamba Pangeran Bumi Gede, terus saja berjalan keluar ruang pertemuan.
Melihat
hamba Pangeran Bumi Gede sudah berhasil menemui Yuyu Rumpung, Sangaji amat
gembira. Segera ia membisiki Titisari, “Yuk, kita ikuti mereka ...?”
Titisari
tertawa perlahan sambil menggelengkan kepala. Rambutnya melajang berputar dan
ujungnya mengenai leher sampai ber-geridik karena geli.
Sangaji
tak mau berbantahan dengan Titisari. Melihat Titisari enggan berangkat, lantas saja
ia bergerak mau meloncat turun dari atap. Mendadak Titisari menangkap tangannya
kuat-kuat. Kemudian diulurkan perlahan-lahan ke bawah.
Sangaji
sadar akan kekeliruannya-. Ah? Aku sembrono. Bukankah mereka yang berada dalam
ruang pertemuan orang-orang sakti? Sekiranya tadi aku meloncat turun dengan
begitu saja, masakan mereka takkan melihat aku.
Kewaspadaan
dan sikap cermat itu, memberi pengalaman baru baginya. Jelas, ia kalah
berpengalaman dengan Titisari. Maka untuk kesekian kalinya, ia merasa takluk
pada si gadis.
Hati-hati
ia menguntit hamba Pangeran Bumi Gede yang berjalan sempoyongan di samping si
pemuda berbaju putih. Tatkala menoleh ke belakang mau menengok Titisari, ia
terkejut. Ternyata Titisari belum berkisar dari tempatnya semula. Gadis itu
masih saja mendekam di atas atap. Bahkan perhatiannya kini nampak
bersungguh-sungguh.
Titisari
memang seorang gadis yang nakal dan berani. Begitu ia mendapat kesan tertentu
tentang pertemuan orang-orang sakti di ruang kadipaten, hatinya lantas
tertarik. Segera ia mempertajam pendengarannya dan perhatiannya ditumpahkan
penuh-penuh. Tatkala melihat Sangaji berhenti mengawasi dirinya, dengan
terpaksa ia memberi isyarat kepada kawannya itu agar berjalan terus. Dia
sendiri mau tetap berada di tempatnya.
Kala
itu, ia melihat seorang laki-laki kurus jangkung yang sudah berkeriputan mulai
berbicara. Suaranya agak parau, tapi tajam luar biasa. Dialah Cocak Hijau yang
duduk di atas kursi di samping Pangeran Bumi Gede.
“Saudara-saudara,
apa pendapat kalian mengenai keperkasaan Panembahan Tirtomoyo? Kemudian
bagaimana pendapat kalian, tentang munculnya orang itu di kota Pekalongan?
Apakah dia secara kebetulan saja berada di Pekalongan atau mempunyai maksud
tertentu?”
“Peduli
apa dia datang dengan sengaja atau kebetulan di Pekalongan?” teriak seorang.
“Dia telah berkenalan dengan gebukan Yuyu Rumpung. Jika tidak mampus, pastilah
akan cacat sumur hidupnya.”
Titisari
lalu mengamat-amati orang itu. Ternyata dia adalah Abdulrasim jagoan dari
Surabaya. Orangnya berperawakan agak tinggi. Tubuhnya padat penuh otot-otot.
Matanya tajam luar biasa dan gerak-geriknya gesit.
Tiba-tiba
sang Dewaresi tertawa perlahan, tetapi getarannya memenuhi ruang pertemuan.
Kemudian berkata dengan kata-kata yang ditekankan agar berwibawa, “Belum pernah
aku melewati perbatasan Banyumas mengarah ke timur. Tetapi aku pernah mendengar
kabar tentang kesaktian orang-orang yang bermukim di sekitar Gunung Lawu.
Panembahan Tirtomoyo memang terkenal namanya. Siapa yang tidak mengenal dia,
sewaktu menjadi pembantu utamanya Raden Mas Said, Kanjeng Gusti Pangeran
Mangkunegoro, kala bertempur sengit melawan kompeni dan Kanjeng Sultan
Mangkubumi 1? Sekarang kita semua bisa melihat, menyaksikan dan membuktikan
betapa perkasanya dia. Coba, ia kena pukulan Yuyu Rumpung, namun masih bisa
tegak berdiri bahkan tersenyum manis.”
“Siapa
bilang?” potong Cocak Hijau. “Aku berani bertaruh, dia akan cacat seumur
hidupnya.”
“Itu
betul?” sahut Abdulrasim. “Tinju Yuyu Rumpung bukan sembarang tinju. Sekali
kena gablokan Yuyu Rumpung, orang itu pasti tak dapat lagi mempertahankan
napasnya untuk satu hari saja ...”
Yuyu
Rumpung yang nampak kesakitan menyambung dengan suaranya yang keras parau.
“Hihihaaa
... Cocak Hijau dan Abdulrasim, benar-benar bisa menina-bobokkan orang. Aku dan
dia masing-masing merasakan suatu penderitaan. Bagaimana kita bisa berbicara
tentang menang dan kalah?”
“Tidak,”
Cocak Hijau menyahut. “Biar bagaimana, dia bakal bercacat. Sebaliknya kamu
tidak.”
“Betul!
Kamu hanya membutuhkan beristirahat beberapa hari saja, lalu sehat kembali dan
bangun segar-bugar seperti raksasa menggeliat dari tidur lelap,” Abdulrasim
menguatkan.
Pangeran
Bumi Gede yang selama itu memperhatikan pembicaraan mereka, segera menengahi,
la mengambil sikap bijaksana dengan mempersilakan mereka menikmati hidangan dan
minuman. Kemudian berkatalah dia dengan suara nyaring, halus dan meresapkan.
“Tuan-tuan
telah memerlukan datang di kota ini, semata-mata oleh undangan kami. Gntuk
perhatian ini, perkenankan kami mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya. Kami tahu dan sadar, kedatangan Tuan-tuan bukan disebabkan
oleh undangan kami semata, tetapi karena Tuan-tuan sadar akan kewajiban yang
lain. Yakni, hendak berjuang menuntut keadilan. Inilah keuntungan besar bagi
Gusti Patih Danureja II. Hidup!”
Orang-orang
yang mendengar kalimat tata penyambutan Pangeran Bumi Gede demikian merendah
dan penuh sopan, cepat-cepat bersikap merendah diri pula. Kegarangannya lantas
saja pudar.
“Sang
Dewaresi biasa hidup mulia di daerah Banyumas. Yuyu Rumpung seorang penasehat
sang Dewaresi yang jarang terdapat dalam pergaulan adalah juga seorang
bijaksana.” Kata Pangeran Bumi Gede lagi, “Cocak Hijau, Manyarsewu, Abdulrasim
dan pendekar-pendekar sakti lainnya bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan sekalian
adalah raja-raja tak bermahkota di daerah Tuan-tuan masing-masing. Orang luar
takkan mudah dapat bertemu dengan Tuan-tuan sekalian. Meskipun demikian,
tuan-tuan kini sudi melangkahkan kaki untuk saling bertemu dan berkenalan di
dalam ruang sesempit ini. Bagaimana hati kami tidak akan bangga. Meskipun kami
baru untuk pertama kali ini bertemu pandang dengan Tuan-tuan, tapi kami telah
yakin akan kesanggupan Tuan-tuan sekalian. Tuan-tuan adalah golongan
pejuang-pejuang keadilan. Semuanya bersedia membantu usaha kami. Inilah suatu
keuntungan besar bagi kami dan negara.”
Pangeran
Bumi Gede lalu tertawa riang. Matanya berkilat-kilat. Terang sekali, ia
bergembira sampai ke dasar hatinya.
“Jika
paduka memberi perintah sesuatu kepada kami, kami tak bakal menolak. Itulah
pasti,” sahut Cocak Hijau. Yang lain-lain ikut pula mengamini. Kemudian
terdengarlah
Manyarsewu
menyambung, “Nah, berilah perintah! Kami akan bekerja. Hanya saja apa yang kami
khawatirkan ialah, tenaga kami terlalu kerdil untuk dapat memenuhi
perintah-perintah paduka. Karena itu kami mohon maaf sebesar-besarnya dan
semoga paduka sudi melimpahkan doa restu.” Sehabis berkata demikian, ia tertawa
panjang dan kuat sampai tubuhnya bergoncang-goncang.
Mereka
semua adalah pendekar-pendekar sakti yang memiliki kecakapan dan kesaktian
masing-masing. Mereka belum saling mengenal, karena itu dalam hati mengharapkan
suatu pekerjaan yang sulit dan besar agar mendapatkan nama. Sikapnya garang
berwibawa untuk mencari muka.
Pangeran
Bumi Gede menyambut pernyataan mereka dengan mengangkat cawan minuman keras.
Sambil mempersilakan meneguk, dia berkata, “Kami telah mengundang Tuan-tuan
sekalian atas nama Gusti Patih Danurejo. Sudah barang tentu, kami menaruh
kepercayaan besar terhadap Tuan-tuan sekalian. Kami berjanji tidak akan
menyembun-yikan atau merahasiakan sesuatu pekerjaan yang bagaimana besar dan
penting sekalipun. Semuanya akan kami beberkan di depan Tuan-tuan sekalian.
Sebaliknya kami percaya kalau Tuan-tuan tak akan menceritakan kembali kepada
orang lain tentang apa yang bakal Tuan-tuan dengar dan lihat. Dengan demikian
akan menghindarkan fitnah-fitnah pihak-pihak tertentu ...”
Semua
orang mengangguk berbareng. Mereka tahu apa maksud Pangeran Bumi Gede. Dengan
sungguh-sungguh ditekankan, mereka harus dapat merahasiakan sesuatu perkara
besar dan penting.
“Apakah
paduka ingin membeberkan suatu perkara rahasia yang penting mengenai negara?”
teriak Manyarsewu.
Pangeran
Bumi Gede memanggut sambil meneguk cawan minuman keras.
“Ah!
Jika begitu, kami harap paduka tidak sangsi lagi menilai kami semua. Tenangkan
hati paduka dan percayalah, kami setidak-tidaknya bukan kanak-kanak kemarin
sore yang bisa menjual omongan sampai ngiler.”
Pangeran
Bumi Gede mendehem. Dengan tenang ia meletakkan cawannya. Kemudian memperbaiki
letak duduknya sambil menyiratkan pandang kepada sekalian yang hadir.
“Tuan-tuan!
Dengarkan!...” ia berkata.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 13 TITISARI SI GADIS MANJA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 13 TITISARI SI GADIS MANJA"
Post a Comment