BENDE MATARAM JILID 45 MEMBOBOL PENJARA



Dua bulan lamanya, seluruh anggota Himpunan Sangkuriang mengeram diri di dalam gua Halimun. Selama itu, luka parah raja-raja muda sudah pulih seperti sediakala. Sedangkan Sangaji sudah memperoleh pengetahuan luas mengenai organisasi himpunan serta petunjuk-petunjuk yang berharga lewat mulut Tatang Sontani. Selama hidupnya, Sangaji senantiasa kagum kepada suatu kecendekiawanan seseorang. Maka diam-diam ia kagum pula kepada Tatang Sontani yang serba pandai. Pantaslah Tatang Sontani menjadi penasihat Ratu Bagus Boang bagian tata pemerintahan. Maka Sangaji tidak ragu-ragu melantiknya kembali sebagai penasihatnya. Malahan dalam hatinya sudah memutuskan hendak diangkat sebagai wakilnya penuh-penuh. Pada suatu hari, tiba-tiba Sangaji berkata lantang kepada sekalian raja muda. "Paman sekalian, sudah cukup lama kita mengeram di dalam tanah. Kini sudah datang waktunya kita menghirup udara segar." "Sekarang juga?" Tatang Sontani girang. "Di sini aku berhadapan dengan paman sekalian, tetapi aku kehilangan seorang pahlawan tiada taranya di jagat ini. ltulah Aki Tunjungbiru. Sekarang dia tersekap kompeni entah di mana. Masakan kita akan membiarkan rekan kita meringkuk terlalu lama?" "Bagus!" seru raja-raja dengan serentak. Dan serunya segera disambung oleh seluruh pasukan dengan gegap gempita, sehingga suasana menjadi panas. "Karena itu, mari kita keluar!" kata Sangaji lagi dengan semangat berkobar-kobar. "Hanya saja, yang belum sembuh lukanya, janganlah ikut bertempur! Pengawal panji-panji Kuda Semberani, Obor Abadi dan Bunga Mekar untuk sementara waktu menonton saja dari luar gelanggang. Lainnya ikut serta!" Dan begitu perintah Sangaji diteruskan Tatang Sontani, seketika juga suara sorak sorai membelah dinding gua Halimun. Segera Sangaji menjebol pintu batu yang beratnya ratusan kilo. Setelah pasukan panji-panji Garuda, Keris Sakti dan Bintang Kejora meruap keluar gua, ia menutupnya kembali. Semua yang menyaksikan kekuatan Sangaji kagum bukan main. Di antara mereka terdapatlah seorang laki-laki kuat yang dijuluki si raksasa hitam. la bernama Dudung Wiramanggala. la mencoba mengerahkan segenap tenaganya untuk mendorong pintu batu tersebut. Tapi jangan lagi berhasil, bergemingpun ti-dak. Maka diam-diam ia merasa takluk kepada Pemimpin Besamya sampai kebulu-bulunya. "Beliau masih berusia muda, namun kekuatannya bagaikan malaikat," serunya kagum luar biasa.

Dalam pada itu, Sangaji mendahului lagi dengan melalui pintu batu tersebut. Sekali mendorong terjebaklah batu raksasa itu. Karena khawatir akan kena terjebak lawan, ia melesat terbang ke atas sebuah batu panjang yang mencongak di atas jurang curam. Segera ia menjelajahkan matanya. Di timur Raja Muda Andangkara sudah mengatur pasukannya. la melewati pintu rahasia sebelah timur. Kemudian dengan berturut-turut, Raja Muda Dwijen-dra dan Ratna Bumi memimpin pasukannya keluar pula. Mereka bergerak dengan cepat dan tanpa bersuara sedikitpun. Tatang Sontani memimpin sisa-sisa pasukan pengawal panji-panji Himpunan Sangkuriang yang terbagi atas tiga bagian. Walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang, namun masih saja nampak keangkerannya. Mereka semua mengenakan pakaian seragam hitam, kelabu dan putih. Mereka berge-rak dengan gesit dan penuh semangat. Gerak-geriknya senantiasa dalam keadaan siaga bertempur dengan mendadak. Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang dan Walisana berada dibelakang Sangaji selaku pelindung. Sedangkan Otong Surawijaya ber-gerak mendahului sebagai pasukan penggem-pur. Tugas ini sesuai dengan wataknya yang berangasan. Namun ia tak berani meraba da-taran ketinggian, karena belum memperoleh perintah Sangaji: ltulah sebabnya, dengan tiba-tiba saja mereka berhenti bergerak sehingga suasana jadi sunyi senyap. Dengan berbisik, Sangaji membagi tugas. Katanya, "Musuh sudah memasuki wilayah kekuasaan kita. Karena itu, wajib kita mengha-launya pergi. Hanya saja, aku tidak menghen-daki terjadinya banyak korban. Manakala tidak terpaksa, janganlah melakukan suatu pem-bunuhan. Inilah pesanku yang harus kalian rasukkan ke dalam sanubari. la berhenti mengesankan. Dan Manik Angkeran yang selalu berada disampingnya sebagai tabib pribadi, memanggut-manggut menyetujui. "Sebentar malam, silakan Aki Andangkara memasuki daerah pertempuran dan sebelah timur! Paman Dadang Wiranata merabu dari tengah. Paman Otong Surawijaya dan Paman Walisana, silakan memimpin pasukan ma-sing-masing. Sedangkan untuk pasukan pen-dudukan, aku serahkan kepada kebijaksanaan Paman Tatang Sontani. Paman Tubagus Simuntang, dan aku sendiri, akan membantu Paman Ratna Bumi dan Dwijendra manakala sangat perlu," kata Sangaji dengan tegas. Semua raja muda membungkuk hormat de-ngan tiada suara. Dan sekali Sangaji melam-baikan tangannya, segera ia berbisik: "Saudara-saudara sekalian, berangkatlah!" Segera mereka bergerak menjadi tujuh jurusan, mengurung dataran ketinggian Gunung Cibugis.


Sedangkan Tatang Sontani yang memimpin pasukan pendudukan, membagi pasukannya menjadi empat bagian. "Paman Simuntang, marilah kita muncul dari lorong diseberang jurang dan menyerang dengan mendadak," ajak Sangaji. "Manik Angkeran, tinggallah dahulu merawat yang luka-luka." Manik Angkeran membungkuk hormat, sedang Tubagus Simuntang girang bukan main. ltulah suatu kehormatan besar baginya, bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang mendapat kepercayaan dan ketuanya untuk mendampingi. Segera mereka berdua kembali memasuki gua Halimun dan menerobos keluar melalui jalan rahasia yang dikehendaki. Mereka tiba disebuah lapangan terbuka. Itulah lapangan terbuka yang pernah dilintasi Sangaji tatkala mengejar Suryakusumah. Lawan temyata belum meninggalkan dataran ketinggian. Masih ada sisa beberapa pasukan yang ditinggalkan. Teranglah bahwa pemimpin penyerbuan benar-benar seorang ahli militer. Maka begitu melihat berkelebatnya sua-tu pasukan yang bergerak mendekati dataran, segera berteriak sambung menyambung. Malam perebutan kembali benteng dataran tinggi Gunung Cibugis, terjadi pada waktu bulan purnama. Dan di bawah sinar bulan cerah, berkelebatnya bayangan manusia lari pontang-panting ke sana-kemari dengan ber-teriak-teriak. Sangaji dan Simuntang bersembunyi di balik gugusan dinding. Mereka me-nunggu perkembangan keadaan. Tidak lama kemudian, Raja Muda Andang-kara menyerang dari arah timur. Dan Otong Surawijaya merabu tengah gelanggang. la dibantu sayap kiri dan sayap kanan yang berada dibawah pimpinan Raja Muda Dwijendra, Ratna Bumi dan Walisana. Sedangkan Dadang Wiranata dan tatang Sontani yang datang kemudian menempati daerah pendudukan. Mereka bertempur dengan semangat menya-la-nyala. Itulah sebabnya, sebentar saja musuh kena dilumpuhkan sama sekali. Sisa musuh yang menduduki dataran tinggi sebenarnya tidak banyak pula. Sebagian besar sudah turun gunung, sewaktu melihat semua bangunan hangus dimakan api. Komandan Kompeni Belanda dengan seluruh pasukannya tiada lagi.

la hanya berpesan agar menjaga daerah yang sudah direbut, sementara pasukannya sendiri hendak mengadakan pembersihan. Dengan demikian dataran ketinggian hanya di-jaga oleh laskar gabungan Kerajaan Banten. Tentu saja di antara mereka masih terdapat jago-jago tua. Namun mereka merupakan jago tiada artinya dibandingkan dengan keperka-saan para raja muda Himpunan Sangkuriang yang sudah pulih kembali kesehatannya. Dengan selintasan, lebih dari separoh kena dibi-nasakan. Dan lainnya hampir tertawan semua. Menyaksikan korban mulai jatuh, Sangaji segera tampil ke depan. Lantang ia berseru: "Saudara-saudara pendatang. Pada saat ini semua raja muda dan semua jago-jago dan pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang sudah berkumpul bersatu-padu. Kalian bukan lawan lagi. Menyerahlah? Kami akan meng-ampuni nyawa kalian." Sekonyong-konyong muncullah seorang pendeta berusia lanjut. la melesat sambil membentak, "Hai di sini ada seorang bangsat cilik. Siapa kau?" "Kurangajar!" maki Tatang Sontani. "Ketahuilah ini ketua kami yang baru. Gusti Sangaji." "Apa itu Gusti Sangaji segala. Cuh!" cemooh pendeta itu. "Lihat pedangku!" Hampir berbareng dengan perkataannya yang penghabisan, sebatang pedang yang bersinar tajam luar biasa, tahu-tahu sudah mengancam dada Sangaji. Di bawah sinar bulan yang terang benderang, Sangaji yang bermata tajam mengenal pedang itu. Benar-benar pedang pusaka Banten: Sangga Buwana, yang pernah dilaporkan Jajang dan Zakaria. Heran ia minta keterangan sambil mengelak. "Pedang Sangga Buwana milik Kerajaan Banten yang kemudian berada di tangan Edoh Permanasari. Mengapa bisa berada di tangan Tuan?" Pantasnya pendeta itu akan menyahut, tidaklah demikian. Dengan membisu ia mem-perhebat serangannya yang dilakukan bertubi-tubi. Sangaji kenal tajamnya pedang itu. Karena itu tak berani ia sembrono. Apalagi gerak tipu ilmu pedang pendeta itu, masih asing baginya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya. Berbareng dengan mengerahkan tenaga saktinya, ia menjepit punggung pedang. Tangan kirinya kemudian menebas pergelangan tangan. Di luar dugaan, pendeta itu sangat tangkas. Begitu pedangnya kena terjepit suatu tenaga raksasa, cepat-cepat ia menghantam dengan tangan kirinya. Bluk! Sangaji sengaja membiarkan dadanya kena pukul. Tenaga saktinya lantas saja bergerak dengan sendirinya. Dan pendeta itu terpental berjumpalitan dan bergulung-gulung di atas tanah. Begitu bangkit kembali, pedang Sangga Buwana ternyatalah masih tergenggam erat-erat dalam tangannya. Dadang Wiranata segera menerjang. la bermaksud mencegat larinya pendeta itu dengan sebatang golok. Namun sekali berkelebat, golok pusakanya kena terjang pedang Sangga Buwana. Malahan lengannya hampir-hampir saja kena terbabat puntung pula. Cepat ia mundur, untuk mengulangi suatu serangan kembali. Tetapi pendeta itu sudah ka-bur turun gunung.

Sangaji segera melesat memburu. Ingin ia menawan pendeta itu, apa sebab pedang pu-saka Sangga Buwana bisa berada di tangannya. Pada saat itu, tiba-tiba ia mendengar sua-ra jerit melengking. Hatinya terkesiap, karena ia mengenal suara jeritan itu. la menoleh. Di antara berkelebatnya sebatang pedang yang terpental di udara, nampaklah Manik Ang-keran menerjang maju dengan tangan kosong. Melihat Manik Angkeran dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi Sangaji terus menghampiri. Tiba-tiba ia disambut oleh suatu serangan serentak. Sedikit mengelak, Sangaji luput dari serangan itu. Tangannya menyam-bar dan dua orang penyerang kena ditangkapnya. Setelah dilemparkan ke samping, ia terus memburu menuruni lereng gunung. Di balik lereng itu, Manik Angkeran sedang bertempur melawan seorang berperawakan tinggi besar. Orang itu bersenjata sebatang kapak raksasa. Tujuan serangannya hendak membinasakan seseorang yang jatuh tertengkurap luka parah. Namun setiap kali kapaknya hendak membelah tubuh orang itu, selalu saja kena dirintangi Manik Angkeran. Lambat laun orang itu mendongkol. Kapaknya terus saja berputar ke arah Manik Angkeran. Karena Manik Angkeran tidak bersenjata, terpaksalah pemuda itu bermain mengelak sambil berusaha melindungi orang yang luka parah. Sekali melompat, Sangaji sudah tiba di depan mereka. Tangannya mengibas dan kapak raksasa tertahan di udara. "Berhenti!" katanya.  Orang itu tertegun sejenak. Kemudian kapaknya turun tiba-tiba dengan sangat deras. Sedikit mengelak Sangaji terluput dari serangan dahsyat. Tangan kirinya mengibas dan sasaran kapak raksasa meleset menghantam batu pegunungan. Begitu hebat tenaga orang itu, sampai mata kapaknya meliuk melingkar menjadi bulat. Sudah barang tentu, orang itu kehilangan keseimbangan. Lengannya terasa menjadi nyeri luar biasa seakan-akan tenaganya tidak sanggup mengangkat kapaknya kembali. Dan kesempatan sebagus itu dipergunakan Manik Angkeran sebaik-baiknya, terus saja ia menghantam kening orang itu. Tanpa ampun lagi, orang itu tewas setelah bergulungan menuruni lereng. "Kau tidak apa-apa, bukan?" Sangaji menegas. "Tidak. Terima kasih atas pertolonganmu," sahut Manik Angkeran. "Aku terpaksa membunuhnya, karena dia hendak membunuh saudara kita yang luka oleh pedang Sangga Buwana." "Hai! Apakah dia mencoba menghadang larinya pendeta itu?" "Aku kurang pasti," jawab Manik Angkeran. "Aku hanya melihat ia lari mendaki dengan membabi buta sambil memanggil-manggil namamu." "Memanggil-manggil namaku?" Sangaji heran. "Ya. Dan tiba-tiba ia berlintasan dengan larinya Paman Tatang Manggala." "Hai, Tatang Manggala?" Sangaji bertambah heran. "Apakah maksudmu pendeta itu?" "Ya! Siapa lagi kalau bukan Paman Tatang Manggala? Dialah adik seperguruan guruku yang mengabdikan diri kepada kerajaan Banten," kata Manik Angkeran dengan suara segan. Sangaji tertegun sejenak. Mendadak orang yang tertengkurap itu mengerang kesakitan. Ia seperti tersadar dan segera melompat meng-hampiri. Begitu mengenal mukanya, hatinya seperti terpukul. Sebab dialah pendekar Kosim yang lenyap tatkala ia sedang menghadapi barisan Jala Sutera Indrajaya.
Sesungguhnya setelah dapat mengatasi kaum penyerbu, hendak mengusut tentang lenyapnya Kosim. Tetapi berhubung keadaan tidak memungkinkan ditambah pula per-kembangan-perkembangan yang menyangkut dirinya, hampir-hampir pemikiran itu luput dari perhatiannya. Karuan saja begitu melihat Kosim terluka parah, gugup ia berkata memerintah kepada Manik Angkeran. "Manik Angkeran! Apakah masih ada hara-pan?" Semenjak Kosim menyebut-nyebut nama Sangaji, Manik Angkeran sudah menaruh per-hatian sehingga ia memberanikan diri untuk melindungi. Kini, jangankan sudah mendapat perintah Sangaji, seumpama tidakpun, ia akan bekerja sedapat mungkin untuk menolongnya. Maka terus saja ia bertindak cepat memben-dung mengalirnya darah. Temyata pedang Sangga Buwana hanya memapas pergelangan tangannya. Dengan terjadinya peristiwa itu, Sangaji gagal memburu Tatang Manggala yang kini sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Na-mun dengan lenyapnya Tatang Manggala, lumpuhlah semua perlawanan musuh. Mereka kena dibinasakan atau tertawan. "Mana anakku Sangaji? Mana dia?" tiba-tiba terdengar Kosim berseru tinggi. Rupanya dia te-lah memperoleh kesadarannya. Dan begitu sa-dar, teringatlah dia kepada pengucapan hatinya. "Ya, aku Sangaji," sahut Sangaji mendekat-kan diri. Kosim membuka matanya lebar. Ia ber-bimbang-bimbang. Sejenak kemudian barulah ia yakin. Terus ia berkata girang, "Anakku... saudaraku Sangaji... Aku mendengar kabar... kau sudah berhasil... syukurlah... Sekarang tak berani lagi aku memanggilmu dengan engkau atau saudara. Kau adalah ketua kami... raja kami... Karena itu, perkenankan aku..." sam-pai di situ, ia berusaha bangkit hendak mela-kukan sembah. "Paman Kosim!" Sangaji mencegah cepat-cepat. "Janganlah terlalu memegang peradatan teguh-teguh. Biarlah aku tetap memanggilmu Paman. Apa sih bedanya hari kemarin dan sekarang." "Tidak Gusti. Paduka adalah raja hamba." Kosim malah menjadi kukuh. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Sangaji mengnela napas. la seperti orang yang dipak-sa menempati dunia baru dengan tak dikehendaki sendiri. Dan dunia baru itu membuat dirinya seakan-akan kehilangan kebebasannya seperti sedia kala. Itulah disebabkan oleh kesederhanaan dan kemuliaan hatinya yang selamanya tidak pernah dihinggapi suatu angan-angan besar. "Gusti!" kata Kosim lagi memaksa diri. "Hamba dahulu tiba-tiba kena disergap orang tanpa dapat melakukan perlawanan. Hamba dibawa memasuki perkemahan. Ternyata... ternyata... kepergian Gusti Sangaji selama beberapa hari, membuat tunangan paduka gelisah. Ia minta bantuan ayahnya menjejak kepergian paduka... Bangsat tua yang membawa-bawa pedang itulah yang menunjukkan kemana paduka berada. Katanya, dia pernah mengadu tenaga dengan paduka disebuah pertapaan..." Mendengar keterangan Kosim, hati Sangaji tergetar. Memang ia sudah mempunyai prasangka tentang ikut sertanya kompeni Belanda mendaki Gunung Cibugis. Tetapi tidaklah menyangka menyangkut persoalan pribadi-nya. Ia hanya tahu bahwa kompeni memang mempunyai kepentingan dalam menghancurkan Himpunan Sangkuriang. Sekarang ternyata, kompeni datang karena dirinya. lnilah suatu masalah pelik lagi. Kalau ia sudah berpihak terang-terangan pada kaum pejuang Jawa Barat, betapa bisa kembali memasuki Jakarta dengan aman tenteram? Padahal ibu-nya masih berada di sana, tak ubah seorang tahanan yang dijadikan sandera  baginya. "Ah!" sekonyong-konyong Manik Angkeran terkejut. "Sekarang tahulah aku, apa sebab Paman Tatang Manggala tiba-tiba terlontar ke udara sewaktu hendak meringkus diriku. Ternyata Paduka yang menolong hamba dengan diam-diam..." "Manik Angkeran! Kau ikut-ikutan pula memanggilku dengan sebutan paduka segala?" "Mengapa tidak? Kalau raja-raja muda yang usianya dua kali lipat daripadaku memanggilmu gusti dan paduka seraya membungkuk sembah, apa alasanku untuk memungkiri? Lagipula Paduka benar-benar patut kusembah dan kupatuhi." Mendengar ujar Manik Angkeran, sekali lagi Sangaji menghela napas. Makin dirasakan makin terasa hatinya menjadi risih. Sekonyong-konyong teringatlah dia kepada ucapan Titisari di selatan Pekalongan. "Sekiranya? Engkau jadi raja... hm ... berapa jumlah per-maisurimu?" Waktu itu dia memotong dengan suara tinggi, "Raja? Raja apa? ..." Dan temya-ta ucapan Titisari mendekati suatu ramalan yang benar. Sekalipun dalam dirinya tiada ter-betik suatu pengucapan sebagai raja, tetapi kenyataannya ia kini disembah-sembah dan di sebut sebagai raja juga. Malam hari itu merupakan hari kemenangan Himpunan Sangkuriang untuk yang pertama kalinya, setelah memperoleh ketua yang baru. Maka tidaklah mengherankan, bahwa dalam tiap dada anggota Himpunan Sangkuriang tim-bullah suatu kepercayaan kokoh bahwasanya ketuanya yang baru itu membawa lambang kejayaan serta menjanjikan zaman keemasan. Pada keesokan harinya, mereka memba-ngunkan kembali gedung-gedungnya yang runtuh secara bergiliran. Tidak mengenal letih dan bersemangat gotong-royong. Dalam pada itu, para raja muda berkumpul menghadap Sangaji. Tiba-tiba Andangkara berdiri tegak dan berseru lantang. "Dengarkanlah hai laskar panji-panji Garuda! Aku adalah pemimpinmu yang meng-asuh kalian lebih dari dua puluh tahun. Tapi ketahuilah, bahwa panji-panji Garuda sesung-guhnya diilhami bendera sakti Himpunan Sangkuriang. Karena timbulnya suatu percek-cokan, aku membawamu memisahkan diri. Kini, Hjmpunan Sangkuriang sudah memperoleh ketuanya yang baru. ltulah Gusti Sangaji. Maka sudah sepantasnyalah, kita kembali ber-satu padu. Bersujud dan patuh kepada ketua kita. Karena itu barang siapa yang menye-butku dengan gusti aku kutuki dia. Kalau perlu kuhukum dengan tanganku sendiri. Aku hanyamenghendaki seorang saja yang berhak dise-but gusti. Itulah Gusti Sangaji. Atau sebutlah lebih mudah lagi, Gusti Aji. Siapa di antara kalian tidak mau menerima anjuran dan ajakanku ini, silakan pergi dari hadapanku!" Gcapan Andangkara di terima oleh suara sorak-sorai bergemuruh. Terdengar kemudian teriakan sambung-menyambung. "Hidup Gusti Aji! Hidup Gusti Aji!" "Bagus!" seru Tatang Sontani. "Akupun melarang siapa saja menyebutku dengan gusti. Sebaliknya aku hanya mengakui seo-rang gusti. Itulah ketua kita yang baru, hidup Gusti Aji!" Mendengar ucapan Tatang Sontani, raja muda lainnya tidak mau ketinggalan. Mereka-pun menganjurkan kepada laskarnya masing-masing agar menyokong pemyataan kedua raja muda tersebut. Maka suara sorak-sorai bertambah bergemuruh seumpama membelah angkasa. Mau tak mau, Sangaji terpaksa menyambut. "Aku sangat berbahagia, karena seluruh himpunan kini sudah kembali bersatu-padu seperti sedia kala. Beberapa hari yang lalu, aku menerima jabatan ketua karena terpaksa. Mengingat kita sedang menghadapi saat-saat genting. Kini musuh sudah terbasni. Sudah selayaknya, kuserahkan jabatan ketua kem-bali kepada para raja muda agar memilih ketua baru yang tepat. Di dalam Himpunan Sangkuriang banyak terdapat ksatria-ksatria gagah perkasa. Sebaliknya usiaku masih sa-ngat muda. Lagipula aku mempunyai per-soalan pribadi yang sulit untuk dibicarakan di sini. Dengan sesungguhnya, tak berani aku menduduki jabatan seagung ini." Raja muda Otong Surawijaya yang sela-manya berbicara tanpa tedeng aling-aling ) terus saja berteriak nyaring. "Gusti Aji! Setiap orang mempunyai per-soalan pribadi. Hamba percaya, bahwa per-soalan pribadi Paduka sangat rumit dan pelik. Namun hendaklah Paduka sudi memikirkan •keselamatan kami. Karena urusan jabatan ketua, kami terpecah-belah. Kami berantakan serta saling membunuh. Akhirnya, kami semua kini telah tunduk dan patuh kepada Paduka. Bila Paduka menolak, silakan Paduka memilih seorang ketua baru sebagai pengganti Paduka. Tetapi hmm tak peduli siapa dia, hamba Otong Surawijaya yang pertama-tama tak sudi tunduk kepadanya. Sebaliknya, apabila hamba yang Paduka pili... pastilah raja-raja muda lainnya betapa sudi tunduk kepada hamba ..." "Ya, Gusti Aji. Ucapan Otong Surawijaya benar belaka," sambung raja muda Walisana. "Kalau paduka menolak tugas penting ini, pastilah Himpunan Sangkuriang akan terpe-cah-belah lagi. Saling bermusuhan dan saling bunuh-membunuh. Manakala sudah terjadi begitu, apakah kami lalu harus memohon kembali bantuan Paduka?" Benar juga, pikir Sangaji. Setiap orang pasti mempunyai persoalan pribadi. Besar kecilnya persoalan itu, sesungguhnya tergantung kepada kedewasaan hatinya. Teringat akan persoalan itu berbagai masalah merasuk ke dalam benaknya. Titisari, Sonny de Hoop, ibunya, kompeni dan kini ditambah masalah Himpunan Sangkuriang. Dan teringat Titisari, teringatlah dia kepada sumpahnya di hadapan keris sakti Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Bahwasanya dia akan meng-amalkan warisan pusaka-pusaka itu untuk kebajikan sesama hidup. Bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dan teringat akan sumpah itu, lantas saja dia memperoleh ben-tuk keputusan. Katanya kemudian, "Baiklah jika paman sekalian begitu mempercayai aku, walaupun penghargaan itu sangat ber-lebflvlebihan. Hanya saja aku mempunyai beberapa syarat. Apabila syarat-syarat yang kuajukan ini dapat kalian terima, aku akan menerima jabatan ketua ini selama hayat dikandung badan." "Jangan lagi beberapa syarat, katakan sera-tus dua ratus syarat sekalipun, kami akan menerima dengan suara bulat," sahut mereka dengan berbareng. "Silakan nyatakan syarat itu di hadapan kami." "Begini," kata Sangaji sejurus kemudian. "Yang pertama, aku masih terlalu muda. Pengalamanku sangat dangkal. Karena itu, aku tidak menghendaki suatu perubahan dalam tata pemerintahan. Hari ini aku melan-tik raja muda Tatang Sontani sebagai wakilku untuk memegang tampuk pemerintahan. Dia seumpama diriku sendiri. Barang siapa yang membantah kebijaksanaannya, samalah hal-nya membangkang terhadap diriku." "Paduka bermaksud kebijaksanaan, bukan?" tungkas Otong Surawijaya. "Baik, aku menerima." "Keputusan paduka hamba junjung tinggi," kata raja muda Ratna Bumi yang selamanya pendiam sebagai bumi. Semua orang tahu, bahwa dialah petugas pelaksana hukum. Karena itu keputusannya, merupakan keputusan hukum pula. "Yang kedua," kata Sangaji lagi. "Musuh kita sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Bukan lagi laskar kerajaan. Sebab Ratu Fatimah sudah tiada lagi. Karena itu, kuharapkan agar selanjutnya kita menghapuskan dendam yang sudah lampau. Terhadap pembantu-pembantunya, marilah kita lupakan permusuhan itu." Mendengar syarat kedua itu, semua yang mendengar menjadi penasaran. Hal itu dise-babkan, karena di antara mereka banyak yang kena dibinasakan oleh begundal-begundal Ratu Fatimah. Bukan oleh senjata kompeni Belanda. Sebab, kompeni Belanda bertempur secara terang-terangan. Sebaliknya laskar kerajaan dengan begundal-begundalnya banyak yang menyerang secara menggelap. Dan tak kurang pula yang menggunakan racun. Tetapi setelah sibuk sebentar, akhirnya Otong Surawijaya berkata minta ketegasan. "Bagaimana kalau mereka yang mencari permusuhan? Seumpama mereka menyerang dari belakang atau menggunakan racun seperti biasanya." "Bila begitu, kita akan mengimbangi keadaan. Sekiranya mereka memaksa dan mendesak kita ke pojok, sudahlah semestinya apa-bila kita tidak menyerah dengan mentah-mentah," jawab Sangaji. "Bagus," seru Dwijendra. "Jiwa kami ada pada yang menyelamatkan. Bagaimana Paduka menghendaki, kami akan patuh." "Ya, benar," ujar Dadahg Wiranata. "Memang kalau dipikir-pikir, musuh kita sesungguhnya adalah kompeni Belanda. Siapa yang tak tahu, bahwa Ratu Fatimah sebenarnya hanya merupakan boneka semata? Baiklah, ketua kita tidak menghendaki penuntutan dendam terhadap mereka. Kukira, justru kebalikan dan keutuhan kita. Sebab kalau kita teruskan, memang jadi berlarut-larut. Masing-masing pihak akan jatuh korban." Setelah ucapan Dadang Wiranata direnungkan, mereka menerima syarat kedua tersebut. Maka Sangaji meneruskan saratnya yang ketiga. Katanya, "Sewaktu aku menerima jabatan ketua ini, tidak semua pemimpin-pemimpin himpunan hadir. Seperti Ki Tunjungbiru, Diah Kartika, Suryapranata dan Maulana Syafri. Karena itu, aku menghendaki kehadiran mereka agar aku mendengar keputusannya. Sekarang tiada lagi penasihat kita almarhum Ki Tapa. Aku mengusulkan Paman Tubagus Simuntang merangkap jabatan itu. Dia akan dibantu oleh Paman lnu Kertapati dan Sidi Mantera yang ternyata cakap melakukan tugas hubungan dengan dunia luar." Setelah syaratnya yang ketiga diterima pula, segera Sangaji berkata lagi. "Aku hendak memasuki kota Jakarta untuk menyongsong kehadiran Ki Tunjungbiru di tengah-tengah kita. Karena Beliau berada di dalam penjara, siapa-kah yang ikut aku membobol dinding penjara?" "Hamba ikut," sahut para raja muda dengan serentak. "Lawan kita sekarang bukanlah sembarang lawan," kata Sangaji. "Mereka memiliki senjata jarak jauh senapan dan meriam. Kecuali itu memiliki pula daerah kekuasaan dan laskar yang teratur rapi. ltulah sebabnya, kecuali Aki Andangkara dan Ratna Bumi semuanya menyertai aku. Aki Andangkara mengatur perlawanan seluruh Jawa Barat. Sedangkan Paman Ratna Bumi mengatur tata pemerintahan di atas dataran ketinggian ini. Paman Tatang Sontani untuk sementara biarlah menjadi penasihat umum." "Bagus! Bagus!" seru Otong Surawijaya girang. "Apanya yang bagus?" tungkas Tubagus Simuntang. "Kalau Ratna Bumi si pendiam menjaga gunung, kutanggung Gunung Cibugis ini bertambah seram," sahut Otong Surawijaya sambil tertawa berkakakan. "Terima kasih," kata Ratna Bumi. "Kuharapkan saja engkau bisa menjaga dirimu baik-baik. Terutama ketua kita yang baru. Sebab beliaulah jiwa kita." Dengan terharu Otong Surawijaya menjabat tangan Ratna Bumi. ltulah suatu peristiwa yang baru terjadi setelah melampaui masa perpecahan dua puluh tahun lebih. Demikianlah Ratna Bumi mengantarkan ketuanya sampai di kaki Gunung Cibugis. Di sana raja muda Andangkara berpisah untuk melakukan tugas pemusatan. Sedangkan Ratna Bumi segera mendaki kembali ke dataran tinggi Gunung Cibugis. Setelah memasuki lembah pegunungan, Sangaji hanya minta diiringkan beberapa puluh orang saja. Lainnya menempati sebagai pengawal dan sayap perjalanan. Hebat perjalanan itu. Laskar Himpunan Sangkuriang yang turun dari sarangnya, seo-lah-olah memenuhi persada bumi Jawa Barat. Andangkara membawa laskarnya melingkari Gunung Pangrango dengan tujuan memasuki lembah Pegunungan Bukit Tunggul. Dan dari sana hendak menuju ke Sukamandi. Ia berniat menghimpun kekuatannya melintasi gunung, sungai dan menyusur pantai. Dan Dwijendra yang menempati sayap kiri, menembus daerah Jasinga. Dari kota itu, ia hendak men-dekati kota Jakarta dari arah barat daya. Sedangkan Dadang Wiranata yang berada di sayap kanan, mengarah ke Kedunghalang lalu ke Cibarusa. Dia hendak menikam kota Jakarta dari arah selatan. Setelah rombongan Sangaji melintasi padang belantara kurang lebih seratus kilo meter panjangnya, mereka beristirahat di ping-gir petak hutan. Sampai malam hari, tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi menjelang larut malam, pendengaran Sangaji yang tajam luar biasa menangkap suatu bunyi derap kuda. Menilik gemuruhnya, pastilah berjumlah tidak kurang dari seratus orang. Segera ia berkata kepada Manik Angkeran yang selalu menyertainya. "Kau tetaplah di sini. Aku akan menyelidiki." Baru saja ia hendak melangkah, datanglah Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang de-ngan berbareng. Mereka berkata, "Gusti Aji! Di tengah malam begini, lewatlah suatu rom-bongan besar. Pastilah mereka musuh kita." Bersama dengan Tatang Sontani dan Tuba-gus Simuntang, Sangaji segera menyelidiki suara itu. Tidak lama kemudian seko-nyong-konyong ia memungut sebongkah tanah berpasir seraya berkata, "Darah! Hai, darah siapa yang tercecer sepanjang jalan ini?" Melihat darah. Sangaji terus memberi perin-tah pengejaran. Dengan matanya yang tajam dan berpengalaman, Tatang Sontani menemukan sebatang golok patah di atas tanah. la kaget setengah mati, setelah mengenal golok tersebut. "Bukankah ini golok buatan Muara-binuangeun?" Ia merenung sejenak. Lalu mengadakan suatu kesimpulan. Katanya lagi, "Kukira, mereka dijemput oleh rekan-rekannya yang mencemaskan perjalanannya." "Ah, masakan begitu?" tungkas Tubagus Simuntang. "Kakek tua beserta rombongan-nya meninggalkan Gunung Cibugis hampir satu bulan yang lampau. Kalau hari ini mereka masih berkeliaran di sini, bukankah suatu peristiwa yang menarik? Hai Sontani, bagaimana menurut pendapatmu? Mereka sedang melakukan apa?" Sangaji yang mengukur semua pekerti manusia menurut bajunya sendiri, tidak mengambil tindakan lebih jauh. Ia me-merintahkan kembali ke perkemahan. Pada hari kedua, perjalanan mulai melintasi lapangan terbuka. Kira-kira empat ratus meter di depannya, nampaklah suatu rombongan mendatangi. Sangaji yang bermata tajam luar biasa, segera dapat menangkap jumlah mereka. Mereka terdiri dari rombongan wanita yang dikawal oleh empat belas laki-laki bersenjata bidik. Begitu jarak mereka mendekat, seorang wanita yang mengenakan pakaian serba hijau mendadak berseru nyaring. "Hai! ltulah panji-panji bangsat Sangkuriang! Siagaa ... !" Dan rombongannya lantas saja menghunus senjatanya masing-masing. Melihat pakaian serta gerak-gerik mereka, Sangaji segera mengenalnya. Pastilah mereka anak-murid Edoh Permanasari. Mengapa mereka datang kembali, setelah turun mening-galkan Gunung Cibugis? Sayang di antara mereka tiada yang dikenalnya. Maka terpak-salah ia menegur dengan sopan. "Apakah kalian anak murid pendekar Edoh Permanasari?" Seorang wanita berperawakan tipis yang berumur kurang lebih empat puluh tahun, melompat ke depan sambil membentak. "Kau berhak apa bertanya kepada kami? Selama-nya kami bermusuhan dengan bangsat Sangkuriang. Hayo, kalian menyerah atau tidak?" "Maafkan, apabila kami membuatmu marah. Siapakah Tuan?" Sangaji menegas dengan suara rendah. "Kau bangsat cilik begini tak mengenal atu-ran. Siapa kau?" dampratnya. Tubagus Simuntang bergusar melihat keku-rangajaran perempuan itu. Sekali melesat, ia menjambret dua laki-laki yang menjadi pe-ngawalnya. Kemudian dilemparkan ke tanah tak ubah dua bola. Setelah itu kembali ke tem-patnya. Gerakan itu dilakukannya begitu cepat, sampai semua yang menyaksikan menjadi tercengang-cengang. Rombongan anak murid Edoh Permanasari memutar pengli-hatan. Dan mereka melihat kedua rekannya rebah di atas tanah tanpa dapat berkutik lagi. Pada saat itu terdengarlah suara Tubagus Simuntang penuh kedongkolan hati. "Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Orang yang kau sebut bangsat cilik ini adalah seorang pendekar yang tiada taranya di jagat ini. Jangan lagi kamu kurcaci-kurcaci picisan, aku sendiri takkan nempil. Dan beliau inilah yang kini memimpin seluruh anggota Himpunan Sangkuriang. Beliau raja kita. Gusti Sangaji. Kalian dengar? Nah, tokoh sehebat ini masih sudi bersikap merendah kepadamu, bukankah suatu penghormatan luar biasa?" Ucapan Tubagus Simuntang itu, membuat mereka terkejut. Mereka tadi sudah kagum melihat kecepatan serta kegagahan Tubagus Simuntang. Tapi ternyata dia mengakui bahwa tokoh di sampingnya jauh lebih tinggi kepan-daiannya daripada dia sendiri. Melihat kesung-guh-sungguhannya, pastilah dia tidak menjual suatu omong kosong. Katanya lagi, "Kalian anak murid Edoh Permanasari yang terkenal karena pedang Sangga Buwana. Tetapi dengan beberapa gebrakan saja, pedang Sangga Buwana sudah kena terampas ketua kami dari genggaman tangan gurumu. Nah, kalian mau bilang apa?" "Kau sendiri siapa?" Perempuan itu mene-gas. "Aku Tubagus Simuntang, raja muda yang senang berkeliaran di malam hari. Mengapa?" Mendengar nama itu, mereka semua meme-kik tertahan. Mereka kenal nama itu baik dari keterangan gurunya maupun rekan-rekan seperjuangannya, bahwasanya kebiasaan Tubagus Simuntang tidak pernah mengam-puni lawan yang sudah kena tangkap. Keruan saja dengan tak dikehendaki sendiri, mereka menoleh ke arah tubuh dua rekannya yang masih saja rebah tak berkutik. "Hm, kalian tak usah berkhawatir. Kali ini, aku mengampuni, karena semata-mata segan terhadap keagungan nama ketua kami Gusti Sangaji," kata Tubagus Simuntang. Mereka belum mau percaya. Empat orang segera menghampiri rekannya. Tiba-tiba ter-dengarlah suara kesiur angin halus lewat di sampingnya. Tahu-tahu dua orang rekannya sudah bisa bergerak. ltulah kepandaian ilmu sentil Tatang Sontani yang hampir sejajar tingkatannya dengan Adipati Surengpati. Meskipun berjumlah lebih sedikit tetapi melihat ilmu kepandaiannya bukan sembarangan, perempuan itu pandai melihat gelagat. Pikir-jiya, kalau sampai bergebrak pastilah tidak menguntungkan. Maka dengan menekan ke-angkuhannya, ia berkata dengan suara rendah. "Maafkan atas kelancangan mulut hamba. Hamba bernama Dedeh Sumanti, murid ketu-juh Edoh Permanasari. Hamba datang ke mari untuk menyusul guru hamba. Apakah Paduka dapat memberi keterangan?" "Tentu saja," tungkas Otong Surawijaya si mulut usil. Semenjak tadi, hatinya mendongkol menyaksikan perangai Dedeh Sumanti. Se-karang timbullah kejahilannya hendak membalas membuatnya mendongkol. Katanya dengan setengah tertawa. "Baiklah, kukatakan dengan terus terang saja. Edoh Permanasari benar-benar tidak tahu diri sampai berani mencoba-coba mendaki Gunung Cibugis dengan membawa anak-anak kurcacinya. Terpaksalah kita menawannya. Tunggulah barang de-lapan atau sepuluh tahun lagi, baru dia nanti kubebaskan. Tapi kalau hatiku masih mendongkol, biarlah kukutungi kedua belah tangannya. lngin aku tahu, apakah dia masih bisa bermain pedang." "Kalian jangan percaya omongan rekanku ini," potong Walisana yang tidak senang ber-gurau. "Dia senang berolok-olok. Ilmu sakti Edoh Permanasari sangat tinggi. Juga sekalian murid-muridnya tidak tercela. Masakan sampai bisa kita tawan. Mulai saat ini, antara golongan-mu dan golongan kami tidak lagi bermusuhan. Nah, pulanglah kembali ke perguruanmu. Pastilah gurumu sudah berada di perguruanmu." Mendengar keterangan Walisana yang ber-sungguh-sungguh, masih saja Dedeh Sumanti berbimbang-bimbang. Karena itu Tubagus Simuntang segera menguatkan keterangan rekannya. Katanya, "Rekan Otong Surawijaya memang suka berkelakar. Percayalah keteranganku ini. Demi keagungan nama ketua kami, masakan aku berdusta kepadamu." "Ah, kalian bangsat Sangkuriang, betapa bisa dipercaya? Kalian sudah biasa hidup dengan tipu muslihat yang licik. Apa yang kalian ucapkan, belum tentu hatinya begitu," dam-prat Dedeh Sumanti. Inu Kertapati dan Sidi Mantera menjadi gusar. Sekali mereka memberi tanda, laskar panji-panji Kuda Semberani dan Bunga Menyala terus saja bergerak mengepung dengan cepat. Dengan suara keras bagaikan guntur, Otong Surawijaya membentak. "Aku raja muda Otong Surawijaya! Kalau aku tak sanggup lagi mengendalikan diri, kalian anak kemarin sore dapat kuringkus dalam sedetik dua detik. Apakah kalian ingin aku membuktikan?" Mendengar suara guntur dan gerakan pengepungan yang begitu cepat dan rapi, hati anak-murid Edoh Permanasari tergetar. Gertakan pendekar itu agaknya tidak bergurau lagi. Tatkala itu terdengarlah suara Sangaji melerai. "Sudahlah, sampaikan salamku kepada gurumu." Setelah berkata demikian, ia mendahului berangkat mengarah timur laut. Dan sekalian laskar panji-panji berangkat pula mengiringkan. Melihat kepergian mereka yang rapi, cepat dan patuh, sekalian anak murid Edoh Per-manasari heran bukan main sampai terlongong-longong. Membayangkan betapa akan akibatnya apabila tadi benar-benar ben-trok, hati mereka menggeridik sendiri. Dalam pada itu, Walisana berkata kepada Sangaji setelah merenung-renung beberapa jam. Kemudian, "Gusti Aji! Edoh Permanasari sepatutnya, tidak mungkin terjadi salah jalan dengan anak-anak muridnya. Sebab biasanya, mereka saling memberi tanda atau sandi-sandi tertentu, meskipun kedudukannya berpencar-an. Sekarang anak muridnya yang lain ternyata kehilangan jejaknya. Pastilah terjadi sesuatu yang kurang beres. Bagaimanakah menurut pendapat Paduka?" Sangaji tidak menjawab dengan segera. Alasan Walisana sangat masuk akal. Apalagi teringat pada pedang Sangga Buwana yang tergenggam di tangan orang lain, benar-benar suatu hai yang mengherankan. Tidaklah mungkin terjadi, seorang pendekar membiarkan pedang pusakanya berpindah di tangan orang lain. Apalagi orang itu adalah seorang laki-laki. Sedangkan, tiap orang tahu, Edoh Permanasari paling benci kepada semua laki-laki di seluruh dunia, berhubung dengan riwayatnya. Memikir demikian, teringatlah dia kepada kompeni yang mempunyai kepenting-an besar dalam hai penghancuran Himpunan Sangkuriang. Dan kemudian pembasmian pada tiap macam pergerakan di seluruh wi-layah Jawa Barat. Melihat gelagatnya, mungkin sekali Edoh Permanasari kena tawan kom-peni Belanda. Tapi dengan cara bagaimana, itulah suatu soal yang masih penuh teka-teki. Ia tidak enak untuk membicarakan. Itulah di-sebabkan, Sonny de Hoop serta dirinya sendiri yang tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan pihak kompeni Belanda. Pada sore harinya, Tubagus Simuntang me-nemukan suatu hai yang aneh. "Benar-benar aneh!" katanya berulang kali. Ia lari ke sebe-rang jalan dan menyibakkan gerombol semak belukar. Dengan cepat ia minta sebuah alat penggali tanah. Kemudian dengan cekatan ia menggali tanah. Sebentar dengan disaksikan oleh berpuluh-puluh orang anggota Himpunan Sangkuriang, ia menemukan tumpukan bang-kai manusia. Setelah diperiksa, ternyata mereka semua adalah anak murid pegunungan Gunung Gembol, Gunung Gilu dan Gunung Kencana. Mereka mengenali seragam yang di-kenakan. Dan semuanya mati, karena ter-tembus peluru berondongan. "Mereka ditanam dengan sembarangan saja. Terang sekali mereka sengaja dihilangkan jejaknya oleh lawannya," kata Tubagus Simuntang seperti kepada dirinya sendiri. Setelah itu ia membungkam. Juga lain-lainnya termasuk Tatang Sontani, Walisana, Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Dan melihat mereka bersikap diam, Sangaji jadi perasa. Sebaliknya Otong Surawijaya yang bermulut jahil tidak tahan menguasai monyongnya. Terus saja menyeletuk, "Siapa yang mem-bunuh mereka, masa bodoh. Memang mereka musuh kita turun-temurun. Kalau saja mereka kini mampus tidak berkubur, sudahlah se-layaknya. Hanya saja pembunuhan begini ma-cam ini bisa menyangkut nama baik Himpunan Sangkuriang. Pastilah kita yang dituduh membunuh dan mengubur mereka dengan se-wenang-wenang." Tiba-tiba Manik Angkeran yang ikut pula memeriksa mayat-mayat itu berseru heran. "Inilah kejadian terkutuk. Rupanya mereka tertembak mati, setelah terkena racun. Atau paling tidak, mereka dibunuh setelah kehilang-an tenaga." Mendengar ucapan Manik Angkeran, semua orang terkejut sampai Tatang Sontani yang tenang berkata minta ketegasan. "Apakah kau pasti." "Mengapa tidak?" sahut Manik Angkeran yakin. Dan timbullah penyakit angkuhnya. "Aku murid tabib sakti Maulana Ibrahim, masakan salah lihat?" "Hm, kalau begitu... kita harus berhati-hati. Rupanya di belakang punggung kompeni Belanda bersembunyi lawan yang senang mer-acun dan menikam dari belakang," kata Tubagus Simuntang. "Ya, kompeni Belanda memang lawan kita. Tetapi mereka tidak pernah menggunakan racun terhadap kita," sambung Otong Sura-wijaya. Kemudian menatap Manik Angkeran. Katanya, "Manik Angkeran, apakah kau kenal macam racunnya?" Manik Angkeran memiringkan kepalanya. Dahinya berkerinyut. Sejenak kemudian baru menyahut, "Bahan ramuannya setidak-tidak-nya bercampur dari negeri luar." Sebenarnya itu bukan suatu jawaban, tetapi Otong Surawijaya tidak mau mendesak lagi. Ia hanya berkata kepada seluruh anggota. "Kalau begitu, kita harus selalu berjaga-jaga. Jangan menganggap remeh peristiwa ini. Juga minum dan makan kita." Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Hari sudah mendekati petang. Burung-burung su-dah mulai pulang ke sarangnya masing-masing. Namun mereka masih saja berjalan dengan tenang. Tiada seorangpun yang memi-kirkan di mana nanti akan berkemah. Itulah disebabkan oleh besar rasa percaya mereka terhadap ketuanya yang baru. Mendadak Manik Angkeran yang berjalan di depan bersama rombongan pendahulu, lari meng-hadap Sangaji sambil berteriak. "Dia dilukai ... anaknya mati pula di sam-pingnya. Terang ini suatu perbuatan keji!" "Siapa?" tungkas Tubagus Simuntang. - "Ah ya, bukankah aku dahulu datang mendaki Gunung Cibugis hendak mencari seorang laki-laki yang membawa anaknya perempuan? Dialah orangnya, tuanku. Dia berada di bawah jurang." Tubagus Simuntang tertegun sejenak. Ke-mudian berkata, "Coba, tunjukkan di mana dia berada." Di mulutnya ia berkata begitu, tetapi tubuh-nya sudah melesat jauh mendahului. Dan sebentar kemudian, dia balik kembali meng-hadap Sangaji. Dalam pada itu berkatalah Manik Angkeran. "Dia bernama Suhanda. Anaknya Rostika..." "Suhanda?" potong Sangaji. Hatinya terkejut serasa kena pukul. Dan tanpa menunggu Manik Angkeran menyelesaikan laporannya, ia sudah melesat seumpama terbang. Tatang Sontani, Walisana dan Otong Surawijaya me-nyusulnya dari belakang. Mereka berusaha hendak mengejar, namun makin lama jaraknya makin jauh. Diam-diam mereka meng-akui, bahwa tenaga sakti pemimpinnya yang baru itu benar-benar melebihi manusia lain yang "terdapat di kolong jagat ini. Jurang itu benar-benar bertebing curam. Di antara rerumputan dan semak-belukar, nam-paklah Inu Kertapati dan Sidi Mantra memeluk seorang laki-laki yang bernapas kempas-kem-pis. Melihat adegan itu, sekali melesat Sangaji sudah berada di antara mereka. Cepat ia me-meriksa pernapasan Suhanda dan Atika. Meskipun sangat lemah, masih bisa mereka bernapas. Segera ia mendukung mereka ber-dua dengan sekali peluk, lalu melesat menda-ki ke atas. Kemudian dengan hati-hati ia mele-takkan mereka berdua di atas batu. Dan tanpa menunggu perintah, Manik Angkeran terus memeriksanya. "Masih ada harapan, bisiknya. Hanya saja... di tenggorokannya terdapat segumpal darah yang menyekat pernapasan." Dengan mengerahkan tenaga beberapa ba-gian, Sangaji menolong mereka berdua, Atika tersadar terlebih dahulu. Anak perempuan itu terus menangis sambil melontakkan darah hi-tam. Manik Angkeran menjejali beberapa butir pemunah racun. Kemudian memeriksa ruas tulang-tulangnya. Ia bersyukur, karena masih utuh. Hanya terdapat beberapa tulang patah akibat suatu pembantingan. Namun tidak membahayakan jiwanya. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya yang terjadi pada diri Suhanda. Hampir seluruh tulang sambung pendekar itu, patah berantakan. Dan sekali teringatlah Sangaji kepada nasib gurunya, Wirapati yang pernah mengalami aniaya demikian pula. Hatinya menjadi gusar, cemas dan terharu. Benar-benar keji yang menganiayanya. Siapa-kah orang itu? Suhanda nampaknya cepat menguasai kesadaran pikirannya. Begitu habis menge-rang dengan wajah girang ia menatap muka Sangaji karena segera mengenalnya. Dengan menyemburkan gumpalan darah, ia mencoba berbicara. Tetapi sepertinya tidak begitu terang dan tersekat-sekat. "Sakit... semua ..." "Manik Angkeran!" potong Sangaji gugup. "Berilah obat penahan sakit." Dengan mengangguk kecil, Manik Angkeran merogoh sakunya. Suhanda memaksa diri untuk menoleh. Melihat Manik Angkeran menolong putrinya, ia tertegun sejenak. Ia me-manggut sebagai tanda ucapan terima kasih. Rupanya dia mengenali wajah Manik Angkeran, tatkala ia merampas Atika daripadanya oleh pikirannya yang kusut. Tatang Sontani segera menolong merasuk-kan obat penahan rasa sakit kepada Suhanda. Dan sejenak kemudian, benar-benar Suhanda dapat menguasai diri, terus berkata tersekat-sekat. "Kerajaan Banten ... di belakang Belanda ... Aku disiksa ... Ratu ... Kenaka ..." Singkat keterangan itu, tetapi sudahlah cukup terang benderang, sehingga hati Sangaji terasa terpukul palu godam. Sebab sekaligus ia menghadapi kenyataan dalam dua hai. Kompeni Belanda dan Ratu Kenaka. Terhadap kompeni, ia tiada mempunyai permusuhan pribadi. Hanya ia tahu, bahwa kedatangan kompeni Belanda di tanah airnya ialah dengan maksud menjajah dengan kedok perdagang-an. Sebaliknya terhadap Ratu Kenaka, ia sudah terlanjur memberi perintah agar bersikap tidak bermusuhan dengan sesama pendekar yang berpendirian serta berpaham lain, la mengalihkan perjuangan terhadap kompeni Belanda, karena tidak menyetujui bermusuhan dengan sesama bangsa. Tetapi kini, ia diha-dapkan oleh suatu masalah pelik yang tidak bisa dielakkan hanya oleh suatu angan-angan-nya pribadi." Dalam pada itu, malam sudah benar-benar tiba. Para anggota Himpunan Sangkuriang menyalakan perdiangan untuk melawan hawa pegunungan yang dingin. Mereka sudah biasa hidup di tengah alam terbuka. Karena itu, mereka dengan cekatan menyediakan makan malam serta minuman hangat. Tetapi Sangaji tidak mengindahkan semuanya itu. Perasa-annya, ia seperti tidak berada di antara mereka. Masalah yang dihadapi benar-benar me-musingkan ruang benaknya. Pemuda seusia itu yang dengan tiba-tiba memegang tampuk pimpinan tertinggi himpunan perjuangan ke-adilan, menghadapi soal pelik yang datangnya dengan tiba-tiba pula. Di hadapannya tergelar suatu perjuangan antara persoalan pribadi, ba-las dendam dan budi. Menghadapi persoalan demikian jangan lagi orang seusia dia walau-pun seorang yang sudah berpengalaman, pastilah tidak gampang-gampang mence-tuskan suatu keputusan. Maka tidaklah meng-herankan pula, bahwa beberapa kali anak muda itu menghela napas panjang. Aku datang mendaki Gunung Cibugis ha-nyalah semata-mata memenuhi suatu undang-an, pikirnya di dalam hati. Tak kuduga, aku harus muncul melerai mereka yang sedang bertarung. Kemudian, terpaksa aku berada di pihak himpunan. Ini suatu pemilihan terang-terangan yang berarti berhadapan dengan para pendekar yang berpaham lain di satu pihak dan kompeni Belanda di lain pihak. Lantas bagaimana persoalanku sendiri? Masih dapatkah aku pulang ke Jakarta menjumpai lbu dengan aman? Dan bagaimana pula Sonny de Hoop? Sekarang terjadi suatu kesukaran lagi. Suhanda dilukai demikian rupa oleh Ratu Kenaka. Kalau aku melarang mengadakan suatu tuntutan keadilan, pastilah Himpunan Sangkuriang akan terpandang lemah. Ini ber-arti suatu pengkhianatan terhadap pendiri himpunan, jabatan serta Himpunan Sangkuriang sendiri. Sebaliknya, kalau aku membiarkan penuntutan keadilan, pastilah akan terjadi suatu bunuh membunuh lagi yang akan ber-larut-larut entah sampai kapan berakhirnya. Bukankah ini menggampangkan operasi kompeni Belanda yang memang menghendaki ter-jadinya demikian? Benar-benar tidak gampang persoalan yang dihadapi Sangaji. lnilah suatu dunia yang tidak dikehendaki, tetapi yang harus dimasukinya. Agaknya Sangaji seperti ditakdirkan untuk memimpin seluruh himpunan perjuangan Jawa Barat, meskipun tidak dikehendakinya sendiri. Dan ia tidak bisa mengelaki dan seakan-akan dipaksa oleh keadaan untuk meng-hadapi dan mengatasi. Apakah kesukarankesukaran lainnya masih pula menunggu di depannya. Teringat akan Sonny de Hoop, ibu-nya dan Titisari, ia mengeluh. Tak terasa ia mengulangi ucapannya kepada Titisari di dalam hati, "Aku ini memang anak tolol. Se-olah-olah aku sudah disediakan suatu jalan yang harus kutempuh dan yang tidak ku-mengerti sendiri apa sebab aku harus menem-puhnya..." Tatkala tengah malam tiba dengan diam-diam, tiba-tiba suatu pikiran menusuk ke ruang benaknya. Di depan matanya se-akan-akan ia melihat dua gadis yang selalu menggoda kalbunya. Titisari dan Sonny de Hoop. Sonny de Hoop berada di dekat ibunya. Di belakangnya berbaris kompeni Belanda. Sebaliknya Titisari berdiri tanpa kawan. Tapi mendadak samar-samar nampaklah suatu barisan penuh. Setelah diamat-amati, ternyata laskar Himpunan Sangkuriang. Ya, ia terkejut dan ia sendiri kini, bahkan berada di antara Himpunan Sangkuriang! Sekarang di manakah letak kesukarannya? Kalau saja ibuku berada di sini, bukankah aku akan gampang meng-ambil suatu keputusan? Memperoleh pikiran demikian, suatu kese-garan meraba dirinya sangat nyaman. Terus saja ia menoleh. Tak jauh dari padanya, raja muda berkumpul dengan membungkam mu-lut. Di hadapannya tergelar sehelai tikar yang penuh dengan hidangan malam. Rupanya mereka tak sudi menyentuh makanan itu, karena pimpinannya tidak hadir. Melihat keadaan demikian, hati Sangaji jadi terharu. Segera ia mendatanginya. Karena ia sudah memperoleh suatu keputusan, wajahnya kelihatan segar. Berkata, "Hai, rriengapa mesti menunggu aku? Silakan!" Para raja muda berdiri membungkuk hor-mat. Terpaksa Sangaji membungkuk mem-balas hormat, kemudian mendahului duduk di atas tikar. Dengan anggukan kecil, mulailah hidangan malam ditanggapi. Begitu santapan malam selesai, Manik Angkeran melaporkan tentang keadaan Su-handa. Dia masih jauh dari harapan, namun terdapat sebintik keterangan yang mungkin menyibakkan tirai kegelapan. Dalam pikiran tak karuan, tiba-tiba ia berada di antara kompeni Belanda yang oleh seorang wanita kata Manik Angkeran katanya wanita itu pernah dikenalnya. Hanya siapa dia sebe-narnya, tak sudi ia menerangkan. "Apa lagi yang dikatakan?" Sangaji terkejut, ia tahu wanita siapa yang dimaksudkan. Itulah Sonny de Hoop. "Ia terlibat dalam suatu pertempuran segi tiga. Antara dia, pihak Ratu Kenaka dan kom-peni Belanda," Manik Angkeran meneruskan. "Tatkala ia kena pukul, wanita itulah yang menolong anaknya. Kemudian kompeni Be-landa mengampuni. Tetapi Ratu Kenaka tidak membiarkan dia pergi dengan selamat. Ia kena selomot racun dan tulang belulangnya dipatah-kan. Benar-benar Ratu Kenaka bergusar, me-nilik luka yang dideritanya. Apakah di sini terselip suatu dugaan, bahwa ia dikira hendak berkhianat? Menurut Kak Suhanda, mereka yang menyerbu Gunung Cibugis sesungguh-nya kena jebak akal licik kompeni dan Kerajaan Banten. Begitu mengira mereka sudah berhasil melumpuhkan Himpunan Sangkuriang, lantas saja kompeni dengan laskar Kerajaan Banten bergerak membas-minya. Sungguh sial! Dialah yang merupakan korban pertama tanpa perlindungan." "Ya, siapa yang tak tahu, bahwa kompeni dan Kerajaan Banten mempunyai kepentingan besar dalam hai penggerebegan itu? Itulah si tolol. Kami semua sudah semenjak lama me-ngetahui hai itu," kata si jahil Otong Surawijaya dengan bernafsu. "Cuma saja, mereka yang membanggakan diri sebagai pendekar Jawa Barat, benar-benar tolol setolol kerbau buduk!" Sangaji menghela napas. Terasa benar, betapa hebat jurang permusuhan itu antara pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang dan kaum penyerbu. Syukur di antara laporan Manik Angkeran tadi terselip suatu pendapat baru. Mungkin sekali Ratu Kenaka ingin mem-buat jasa dengan melukai Suhanda, karena mengira pendekar itu hendak berkhianat. Namun alasan demikian sangat lemahnya. Seba-liknya apabila apa yang dikatakan Suhanda benar, terdapat suatu hai yang meresahkan hatinya. Dia berkata, bahwa Sonny de Hoop menolongnya. Tapi kenapa Atika kena siksa pula? Apakah Sonny de Hoop dalam keadaan berbahaya pula? Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berkata: "Paman sekalian, pada fajar hari nanti aku hendak mendahului memasuki Kota Jakarta untuk menyelidiki persoalan ini. Aku hanya minta bantuannya Paman Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang. Sementara itu, Paman Walisana dan Otong Surawijaya membawa para anggota menyusul kami secara berturut-turut." Raja muda Walisana dan Otong Surawijaya segera membungkuk mengemban perintah. Karena hari sudah larut malam, mereka lalu bersiap-siap. Sangaji sendiri tidak menghen-daki beristirahat. Ia nampak bergelisah. Itulah sebabnya tidaklah mengherankan, bahwa sebelum fajar hari tiba ia sudah mengajak pendekar Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang berangkat. Tubagus Simuntang adalah seorang pen-dekar yang mempunyai kecepatan bergerak tiada bandingnya dalam dunia ini. Meskipun demikian, ia tak dapat menjajari Sangaji. Padahal ia sudah mengerahkan segenap tena-ga dan kepandaiannya. Sedangkan Tatang Sontani yang berkaki gesit dan cepatpun kalah beberapa tingkat dalam hai mengadu kegesit-an. Maka diam-diam mereka berdua benar-benar merasa takluk kepada pemimpinnya yang baru itu. Mereka berlari-Iari terus hampir sepanjang hari. Menjelang petang, sampailah mereka di batas kota Jakarta. Kini, tak berani mereka bergerak terlalu cepat agar tidak menarik per-hatian orang. Dan ternyata pada hari itu, tidak terjadi sesuatu. Tatkala mereka memasuki jalanan kota, segera mereka berpapasan dengan bangsa kulit putih yang mengenakan pakaian seragam dan preman. Sebenarnya hai itu tidaklah mengherankan, karena pada dewasa itu hampir seluruh Jawa sudah dikuasai kompeni Belanda, namun begitu dibandingkan dengan dua bulan yang lalu terdapat suatu perubahan yang agak menyolok. Mereka nampak sibuk dan bersikap rahasia, sehingga hai itu menarik perhatian Sangaji. Sampai di barat kota, mereka singgah di sebuah rumah makan Tionghoa. Tatang Son-tani sengaja berlagak pemurah seperti seorang pedagang besar yang baru saja memperoleh keuntungan di luar dugaannya sendiri. Tentu saja pelayan-pelayan rumah makan tersebut berebut menghambakan diri. Mereka semua bersikap hormat sekali. Dan Tatang Sontani berpura-pura minta penjelasan tentang keadaan kota, tempat-tempat bertamasya dan yang bersejarah. "Rupanya kompeni sedang bekerja keras untuk suatu pesta," kata Tatang Sontani asal berbicara saja. Tapi di luar dugaan, ucapannya ternyata tepat mengenai sasaran, sampai pelayan yang diajaknya berbicara terheran se-jenak. "Benar Tuan," kata pelayan itu. "Menurut kabar, itulah peristiwa penggantian pemerin-tahan." "Penggantian pemerintahan bagaimana? Kau maksudkan seorang Kepala Pemerintah baru?" "Bukan, bukan," sahut pelayan itu dengan cepat. "Agaknya Tuan-tuan bukan penduduk kota sampai tidak mendengar berita ini." "Mengapa?" Tatang Sontani menegas de-ngan sikap acuh tak acuh. "Buktinya Tuan tidak tahu," kata pelayan itu dengan tertawa. "Di negeri seberang terjadi suatu perubahan. Kabarnya Inggris hendak menggantikan pemerintahan di sini. Nah, bu-kankah suatu peristiwa yang penting. lnilah . saat yang kebetulan sekali bagi Tuan-tuan. Kalau Tuan-tuan belum memperoleh tempat penginapan, cepat-cepatlah mencari agar ti-dak kehabisan tempat." Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang adalah dua raja muda Himpunan Sangkuriang terkemuka yang sudah bertahun-tahun memimpin perjuangan. Tentu saja mereka me-ngetahui belaka tentang perubahan-perubah-an yang terjadi dan yang bakal terjadi menurut perhitungan politik. Sedangkan Sangaji pernah mendengar hai itu dari keterangan kakak angkatnya Willem Erbefeld tentang terjadinya suatu peperangan besar di daratan Eropa.. Timbulnya kekuasaan Napoleon Bonaparte, pastilah akan menggoncangkan kedudukan pemerintah Belanda di Indonesia. Waktu itu, sama sekali ia tidak tertarik pada soal-soal politik. Tapi kini ia berkesan lain berhubung dengan kedudukannya sebagai ketua him-punan. Apalagi ia mempunyai kepentingan langsung perihal pembebasan Ki Tunjungbiru. "Hai, bagaimana menurut pendapatmu?" kata Tubagus Simuntang seperti minta pertim-bangan. "Apakah kita turut menyatakan suatu kegembiraan atau tidak?" Pertanyaan demikian, benar-benar tidak ter-duga oleh para pelayan. Karena tak tahu bagaimana harus menjawabnya, mereka tertawa melebar dengan pandang bingung. Mereka tak pernah memikirkan hai itu. Tetapi begitu men-dengar bunyi pertanyaan itu, tiba-tiba saja te-rasa betapa sulitnya untuk menentukan sikap. Kalau tidak menyatakan bergembira, ia bisa bernasib buruk pada pemerintahan yang men-datang. Fitnah begini bukan mustahil akan ter-jadi, karena pastilah mulai kini akan terjadi, karena pastilah mulai kini akan banyak ber-keliaran orang-orang tertentu yang mengambil hati kepada Inggris yang bakal berkuasa. Se-baliknya apabila ikut menyatakan bergembira, pemerintah Belanda pada waktu itu masih berkuasa. Sekali kena tuduh seolah-olah pro Inggris, ia bisa diamankan di dalam penjara dengan segala akibatnya. Melihat mereka kebingungan, Tubagus Simuntang tertawa terbahak-bahak. Dasar wataknya masih liar, ingin ia menggodanya lagi, sekonyong-konyong pendengarannya yang tajam menangkap bunyi derap kuda mendatang. Segera ia melemparkan pandang ke jalan besar. Sembilan orang berkuda dengan cepat. Mereka berdandan sebagai pemburu menyan-dang senapan panjang dan panah. Gerak-geriknya tangkas berwibawa. Seorang di antaranya, mengenakan pakaian merah de-ngan kain leher putih. Tatkala Sangaji meng-amat-amati, hampir saja dia melompat me-negur. "Hai! Benarkah dia Titisari?" hatinya me-mukul. Dan jantungnya berdegupan. Namun pada saat itu juga, suatu sanggahan yang tak kurang hebatnya terjadi di dalam dadanya. Ah, tidak mungkin ia berada di sini. Dan ia jadi ter-mangu-mangu. Karena penglihatan itu datangnya dengan tiba-tiba dan kesan yang terjadi di dalam dirinya timbal balik serta saling bertentangan, tubuhnya bergemetaran. Dan hai itu tidak lu-put dari pengamatan kedua pengikutnya. "Apakah Paduka melihat sesuatu?" bisik Tatang Sontani. Sangaji berbimbang-bimbang sebentar. Kemudian memutuskan, "Biarlah kulihat lebih terang." Setelah berkata demikian, segera ia keluar halaman rumah makan. Tetapi sayang, ia tak berani berjalan terlalu cepat. Meskipun keadaan jalan sunyi lengang, namun ia harus berjaga-jaga terhadap penglihatan orang. Itulah sebabnya, ia hanya bisa mengikuti dari kejauhan. Beberapa saat kemudian, ia sudah kehilang-an pengamatan. Hatinya mengeluh. Mau ia berbalik ke rumah makan, tiba-tiba saja Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang sudah berada di belakangnya. Sebagai tokoh-tokoh perjuangan yang sudah mempunyai penga-laman, segera mereka mengetahui kesukaran pemimpinnya. Teringat, bahwa pemimpin ber-asal dari kota itu, mereka sudah dapat me-nebak sembilan bagian. "Paduka segan berlari-lari kencang di dalam kota ini. Tapi hamba tidak," kata Tubagus Simuntang. Begitu habis ia berkata, tubuhnya sudah melesat dua puluh langkah jauhnya. Dia adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu lari tiada bandingnya di jagat ini. Gerak-gerik-nya gesit dan cekatan. Maka tidak menghe-rankan, bahwa sebentar saja tubuhnya lenyap ditelan keremangan petang hari. Melihat Tubagus Simuntang berani bergerak begitu merdeka, timbullah suatu kenekatan di dalam hati Sangaji. Pikirnya di dalam hati, aku segan, karena mengingat kedudukanku. Tapi... mengingat perkembangan-perkembangan yang sudah terjadi, agaknya kompeni sudah tahu di pihak mana aku berada. Meskipun aku kini berlagak seperti penduduk kota yang manis, pastilah kompeni sudah mengetahui diriku kini. Kalau begitu...." Sehabis berpikir demikian, mendadak saja ia melesat bagaikan terbang. Terkejut adalah Tatang Sontani. Ia tak mengetahui perubahan sikap yang terjadi di dalam hati pemimpinnya. Maka begitu melihat pemimpinnya lari ken-cang segera ia tancap gas. Walaupun tidak dapat mengejar, namun penglihatannya tidak kehilangan bayangan tubuh pemimpinnya. Gntunglah, pada dewasa itu rumah pen-duduk kota Jakarta belumlah sepadat seka-rang. Kelompok rumah masih merupakan per-kampungan-perkampungan terpisah. Jalan-jalan tiada penerangan. Karena itu, penduduk kota segan keluar rumah menjelang malam tiba. Dengan demikian mereka bisa bergerak bebas. Kira-kira satu jam kemudian, Tubagus Simuntang sudah berbalik. Segera ia bertemu dengan Sangaji. Terus lapor, "Mereka mema-suki Gedung Tionghoa berhalaman luas...." Sangaji mengangguk, namun kakinya ma-sih saja melayang terbang. Cepat sekali ia melesatnya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di bawah pagar tembok, la tak berani berlaku gegabah, walau hatinya berderum berguruh. Hati-hati ia melompat dan bersemayam di balik mahkota pepohonan. Segera ia menem-bakkan penglihatannya. Dalam gedung sunyi lengang. Ia jadi keheranan. Pikirnya, masakan Tubagus Simuntang bisa salah lihat? Pastilah mereka berada di dalam gedung ini. Tetapi di manakah kuda-kuda mereka? la menunggu hampir satu jam di atas pohon itu. Tetap saja tiada terjadi suatu perubahan. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk di dalam benaknya. "Benar-benar aku ini tolol. Titisari adalah seorang gadis yang pintar luar biasa. Kalau dia tidak mau kutemui, masakan aku akan berhasil? Sebaliknya, pastilah dia sudah mengetahui beradaku semenjak lama. Dan diam-diam ia mentertawakan ketololanku ini..." Teringatlah dia dahulu, tatkala ia sedang mencari jejak Pangeran Bumi Gede. Mula-mula ubek-ubekan mencarinya. Kemudian oleh akal Titisari, ia diajak bersembunyi. Itulah akal yang paling baik untuk mencari orang yang sedang bersembunyi. Tegasnya bersembunyi dilawan dengan bersembunyi. Dan akal itu ternyata berhasil. Teringat akan hai itu, tidaklah mustahil bahwa Titisari sekarang mungkin sedang bersembunyi pula mengintai dirinya. Dengan pikiran demikian, Sangaji meloncat turun. Hatinya setengah mendongkol, sete-ngah kecewa, pedih dan geli. la segera me-manggil kedua pengikutnya. Katanya, "Pa-man! Mari ingin aku berbicara ..." Setelah berkata demikian; ia lari menda-hului. Waktu itu hari sudah benar-benar gelap. la tidak perlu khawatir lagi akan bertemu dengan orang. Larinya mengarah ke timur. Ternyata ia berhenti di dekat tanggul batu Rababa Tapa. "Paman!" katanya mulai. "Bukankah Gusti Ratu Bagus Boang yang mendirikan batu peringatan ini?" Kedua panglima Himpunan Sangkuriang se-menjak tadi penuh teka-teki. Mereka ber-segan-segan mendekati batu peringatan itu. Sikap mereka menghormat. Namun mende-ngar suara pemimpinnya yang baru, mereka segera mendekati. "Benar," sahut Tatang Sontani. "Tepatnya kami semua yang mendirikan sebagai suatu peringatan terakhir." "Dan di sinilah mula-mula aku mendengar nama Gusti Amat dari mulut dua orang ang-gota kita," kata Sangaji. "Mereka kemudian menyerahkan tiga pusaka Jawa Barat ke-padaku sebagai tanda ikatan persahabatan. Kotak berisikan segandeng buah Dewa Ratna, kalung berlian dan pedang Sokayana. Mereka berbicara atas nama Gusti Amat dan datang padaku atas nama Gusti Amat pula." la berhenti mengesankan. Kemudian menegas. "Paman! Sesungguhnya ilham itu datang dari mana? Bukankah Paman menerangkan, bahwa nama Gusti Amat sesungguhnya merupakan suatu perbuatan yang sudah disetujui oleh para Dewan Penasihat?" Mendengar pertanyaan Sangaji, Tatang Sontani tertegun sejenak. Sebentar ia memandang Tubagus Simuntang, lalu menyahut dengan takzim. "Benar perintah atas nama Gusti Amat itu, memang kami ketahui. Hanya darimana datangnya ilham itu, hamba masih belum memperoleh keterangan yang pasti." "Ketiga pusaka Jawa Barat atau katakan saja ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang itu dahulu disimpan oleh penasihat Maulana Syafri dan Suryapranata dengan ditilik langsung oleh penasihat Ki Tunjungbiru," sambung Tubagus Simuntang. "Maka besar dugaan hamba, bahwa ilham itu datang dari mereka bertiga." Sangaji berdiam beberapa saat lamanya. Ia mendongak ke atas seolah-olah sedang menentukan suatu kebulatan tekat. "Apakah Paman sekalian sudah bertemu atau berbicara dengan Beliau berdua?" "Mereka berdua seperti Ki Tunjungbiru. Sudah lebih dari sepuluh tahun tidak pernah berjumpa," mereka menyahut dengan berbareng. Mendengar keterangan kedua panglima itu, Sangaji mengernyitkan dahi. Dan kembali ia berdiam diri, beberapa saat lamanya. Kemudian dengan perlahan-lahan pandang matanya ke muka mereka. "Apakah Paman berdua pernah mendengar nama Titisari?" katanya. Suaranya terdengar menggeletar suatu tanda hatinya terguncang hebat. Dengan hati-hati Tatang Sontani menatap wajah Sangaji. Ia memperoleh kesan hebat yang terjadi dalam diri pemimpinnya yang berusia muda itu. Tapi apa itu, ia tak dapat me-nebak. la mencoba menggerayangi. Karena itu ia menoleh kepada Tubagus Simuntang untuk minta bantuan rekannya itupun tak beda dengan sikapnya. Maka akhirnya ia memberani-kan diri. Didahului dengan membungkuk hormat, ia berkata: "Hamba memang seorang manusia yang tiada guna. Semenjak Himpunan Sangkuriang terpecah belah, hampir setiap saat hamba berada di dataran ketinggian Gunung Cibugis. Mungkin rekan Tubagus Simuntang pernah mendengar nama itu karena tugasnya sebagai penghubung ke luar dan ke dalam." Mendengar perkataan Tatang Sontani, se-cara wajar Sangaji mengalihkan pandang kepada Tubagus Simuntang. Pendekar itu lan-tas berkata tegas. "Tentang maksud meng-haturkan ketiga pusaka Gusti Ratu Bagus Boang kepada Paduka, hamba mengetahui dengan jelas. Tetapi dengan sesungguhnya hamba menyatakan, bahwa nama itu belum pernah hamba dengan" Sangaji percaya kepada pernyataan mereka. Dan ia jadi yakin, bahwa Titisari memegang salah satu peranan penting. Tetapi peranan bagaimana itulah suatu soal yang sulit untuk diterangkan. Sebaliknya apabila hai itu hanya merupakan suatu dugaannya belaka peristiwa rangkaian terjadinya penyerahan ketiga pusaka Ratu Bagus Boang, benar-benar aneh dan mencurigakan. la merasakan sesuatu. Dan rasa itu berkelebatan seperti tumpuan bayangan dalam benaknya. Tapi apa itu, tak bisa ia menangkapnya. Dasar ia tak pandai mengungkap isi hatinya, maka mulut-nya membungkam dengan pikiran kabur. "Sayang, aku tadi tak dapat melihatnya de-ngan lebih tegas sehingga tak dapat kubuat pegangan," kata Sangaji seperti kepada dirinya sendiri. Sebagai pendekar-pendekar yang sudah kenyang makan garam, Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang sudah dapat menebak delapan bagian. Pastilah gadis tadi yang bernama Titisari. Tetapi siapa Titisari dan apa pula hubungannya dalam persoalan ketiga pusaka Ratu Bagus Boang inilah soal yang masih gelap. Menuruti deru hati, ingin mereka memperoleh keterangan lebih jelas. Namun mereka tak berani mendesak. Berkelebatnya bayangan Titisari tadi, me-mang benar-benar mengguncangkan hati Sangaji. Hal itu tidaklah mengherankan, karena peranan Titisari hampir memenuhi seluruh lubuk hatinya. "Ah, mungkin aku yang sudah menjadi linglung." Sangaji menghibur diri. "Masakan Titisari berada di Jakarta. Untuk apa? Dan siapa pula mereka tadi yang mengenakan pakaian berburu? Apakah Titisari mengalami peristiwa seperti dia pula menjadi Ratu tak bermahkota dengan tiba-tiba?" Memikir demikian Sangaji menjadi geli. Kemudian memutuskan, "Ah di dunia ini bukankah terdapat banyak orang yang sama rupa?" Oleh keputusan itu, hatinya jadi berlega. Terus saja ia berkata kepada Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang. "Paman! Sewaktu aku meninggalkan Jakar-ta, ibuku sama sekali tak mengetahui. Apakah kita masih mempunyai waktu untuk bersing-gah sebentar?" "Mengapa tidak?" sahut Tubagus Simuntang cepat. "Hamba kira laskar kita baru tiba menjelang fajar hari," kata Tatang Sontani. Mereka berjalan perlahan-lahan seperti penduduk kota yang sedang ke luar mencari angin. Aneh adalah Sangaji. Pemuda itu, se-menjak kakinya meraba batas kota Jakarta, ingin sekali menengok ibunya dengan segera. Hanya oleh rasa segan saja ia menahan diri. Tetapi kini, ia seperti ogah-ogahan . ltulah disebabkan oleh kesannya melihat bayangan Titisari. Dan pikirannya jadi penuh, sehingga seringkali ia terlongong-longong. CIntunglah, waktu itu malam hari. Dengan demikian, kesan mukanya tidak nampak oleh kedua panglimanya. Tatkala sampai di rumahnya, ia kaget. De-lapan serdadu menjaga rumahnya dengan me-nyandang senjata. Apakah artinya ini? Ia berhenti sebentar. Kemudian setelah memberi isyarat kepada dua panglimanya, ia memasuki halaman rumahnya seorang diri. Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang tak perlu mencemaskannya. Mereka kenal ke-tinggian ilmu sakti pemimpinnya. Apabila de-lapan serdadu itu sampai berani main gila, mereka semua bukan tandingnya. Sebaliknya pemimpinnya bisa merampungi mereka de-ngan gampang. Dengan pikiran demikian, me-reka berdua tinggal di luar rumah sambil berja-ga-jaga terhadap kemungkinan yang terjadi di luar perhitungan. Dalam pada itu, Sangaji telah memasuki rumahnya. Dari seorang Kopral ia memper-oleh keterangan, bahwa atas perintah Mayor de Hoop, ibunya dipindah di sebuah bangunan baru dekat lapangan kota. Sangaji memeriksa isi rumahnya. Benar-benar kosong. Hatinya memukul, tatkala kamar penyimpan pusaka-pusakanya kosong pula. Tapi percaya, bahwa kompeni tidakbakal mengganggu semua pusakanya karena tidak mengerti, hatinya tenteram kembali. Dan segera ia meninggalkan rumahnya, setelah memperoleh keterangan lebih jelas lagi tentang letak lapangan kota yang dimaksudkan. Ternyata rumah itu merupakan sebuah ba-ngunan baru, dengan pendapa luas perkasa dan mentereng. Tapi terlalu mentereng untuk tempat tinggal seorang janda seperti ibunya. Mungkin rumah itu dimaksudkan sebagai ha-diah perkawinannya dengan Sonny kelak. "Paman! Apakah Paman melihat sesuatu?" la minta pertimbangan kepada Tatang Sontani. "Rumah itu jauh lebih bagus dari tempat kediaman semula. Tepat sekali untuk kedia-man Paduka. Hanya saja letaknya begitu men-curigakan. Kecuali berada di tengah lapangan, letaknya berdekatan pula dengan tangsi kavaleri. Mudah-mudahan saja, kompeni bermaksud baik." "Kalau begitu, biarlah aku pergi dahulu," tiba-tiba Tubagus Simuntang memotong. Sebagai teman perjuangan yang sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya, ia me-ngerti ke mana arah perkataan Tatang Sontani. Maka dengan membungkuk hormat itu berkata pula kepada Sangaji. "Izinkan hamba mengatur teman-teman dahulu." Sebenamya Sangaji sudah merasakan sesu-atu yang kurang beres, Dan biasanya ia senan-tiasa lambat dalam hai mengambil suatu kepu-tusan. Tapi begitu mendengar ujar Tubagus Simuntang, ia seperti sudah dapat menebak seluruhnya. Maka ia mengangguk. "Kalau hamba boleh berkata dengan sebe-namya, bangunan ini lebih tepat apabila dibu-at sebagai rumah tahanan," kata Tatang Sontani sejenak kemudian, setelah rekannya pergi melakukan tugasnya. "Paling tidak, apa-bila seorang tawanan bermaksud melarikan diri, ia baru sanggup melintasi lapangan ter-buka terlebih dahulu." Sangaji tersenyum pahit. Bukannya ia tidak dapat menebak maksud Mayor de Hoop sesungguhnya, tapi teringat akan diri sendiri yang sebenarnya sudah semenjak lama men-jadi tawanannya, ia jadi tergugah begitu men-dengar ujar Tatang Sontani. Seketika itu juga, timbullah sifat kejantanannya. Terus saja ia berkata kepada Tatang Sontani. "Paman! Dalam segala hai Paman lebih pandai dari padaku." "Hamba tidak berani menerima pujian Paduka," potong Tatang Sontani dengan cepat. "Dalam segala hai, Paduka pasti sudah dapat menggerayangi maksud pemindahan ini ter-lebih dahulu daripada hamba. Soalnya, Paduka terlalu mulia serta agung budi, sehingga tak sampai menyatakan hai tersebut." "Tetapi dengan sesungguhnya, kali ini aku mohon pertolongan Paman." "Silakan meskipun Paduka memerintahkan hamba memasuki lautan api atau menyebe-rang lautan golok, hamba tidak akan mundur." "Bukan itu," kata Sangaji agak segan. "Aku mohon bantuan Paman untuk melihat-lihat gedung yang kita masuki petang hari tadi. Mudah-mudahan Paman dapat membantu aku memperoleh pegangan kuat." Bukan main girang hati Tatang Sontani memperoleh kepercayaan itu. Memang apa-bila menuruti hati serta kebiasaannya ia takkan meninggalkan gedung Tionghoa tadi sebelum memperoleh keyakinan pasti. Tapi karena mengingat ketuanya yang baru itu ter-lalu sangat teguh memegang tata santun sehingga membatalkan niatnya sendiri, ia ter-paksa mau mengalah. Kini, ia justru mendapat perintah. Maka begitu habis membungkuk hormat, segera ia melesat terbang seperti ba-yangan. Sangaji sendiri lantas saja meneruskan per-jalanannya. Dengan kebulatan tekat, ia me-nyeberang lapangan terbuka, kemudian men-jenguk pintu samping. Sekali pandang, ia melihat ibunya duduk menghadap meja panjang yang penuh dengan benda-benda gemerlapan. Namun ibunya nampak bersikap dingin. Perhatiannya lebih tertarik kepada sebuah benda yang selalu dipangku dan diusap-usap-nya. Itulah mata tombak karatan warisan almarhum ayahnya yang diterimanya dahulu dari gurunya Wirapati. Karena kesibukan hati-nya, ia sampai lupa menyampaikan kepada ibunya. Dan ia jadi menyesali diri atas kelalai-annya. Sonny de Hoop juga berada di situ. Terang, ia bermaksud menemani ibunya. Teringat la-poran Suhanda tentang beradanya gadis itu di sekitar lembah Gunung Cibugis,, suatu per-tanyaan besar merumun dalam benaknya. Biarlah aku menemuinya, katanya di dalam hati. Kalau ia merubah sikap apa boleh buat aku akan membawa Ibu pergi. Dengan langkah tenang ia memasuki ru-mahnya yang baru dari pintu.depan. Begitu muncul di ambang pintu, Sonny de Hoop bangkit dengan serentak dari tempat duduk-nya. Kemudian menyambut dengan terse-nyum manis. "Ibu," kata gadis itu. "Lihat! Dia akhirnya toh datang juga." Kemudian kepada Sangaji, "Hm... selamanya engkau membuat hatiku bi-ngung saja. Mengapa kau pergi tanpa pamit?" Seperti biasanya Sangaji tak pandai ber-bicara di depan Sonny. Ia hanya tersenyum, kemudian menghampiri ibunya yang meman-dangnya seolah-olah pertemuan itu terjadi dalam suatu mimpi buruk. "Biarlah aku pergi dahulu. Setelah kau mandi, aku akan kembali," kata Sonny de Hoop. Ia tak menunggu jawaban Sangaji. Dan sebentar saja, langkahnya sudah tak terdengar lagi. "Ibu! Darimana saja datangnya barang-barang ini?" Sangaji minta keterangan. "Mayor de Hoop berkata, bahwa engkau se-karang sudah menjadi seorang yang penting. Karena engkau sudah membuat jasa besar terhadap pemerintah, maka beliau mengumpul-kan hadiah untukmu," sahut Rukmini. Kemudian meneruskan dengan menghela napas. "Hm sebenamya, kita sudah biasa hidup dengan sederhana. Barang semahal ini, tidaklah penting ..." Sangaji mengerenyitkan dahi. Keterangan ibunya tentang ucapan Mayor de Hoop benar-benar mengandung duri tajam luar biasa. Ia sudah membuat jasa terhadap pemerintah Belanda? Inilah pemyataan yang aneh dan lucu. Dan segera ia dapat menebak maksud Mayor de Hoop sesungguhnya. Paling tidak delapan bagian. Tanpa disadari sendiri, ia menjelajahkan pandangnya. Benar-benar hebat perubahan-nya. Baik hiasan dinding maupun perabot rumahnya serba baru dan serba mahal. Bah-kan penghuni rumah kini bertambah dengan sembilan orang pelayan, terdiri empat laki-laki dan lima perempuan. "Menurut Mayor de Hoop, engkau kini sudah menjadi pemimpin tertinggi seluruh Jawa Barat. Karena itu, sudah sepatutnya kita men-diami rumah ini," katanya. "Aji, Ibu benar-benar menjadi bingung. Apakah artinya ini, anakku?" Katanya pula, "Mayor de Hoop akan berbicara denganmu dalam beberapa hari lagi..." Sangaji tercengang mendengar perkataan ibunya sebanyak itu. Maklumlah, Rukmini se-orang pendiam. Jarang sekali ia berbicara ber-kepanjangan. Meskipun Sangaji bukan Titisari yang memiliki otak tajam luar biasa, namun hatinya sibuk menduga-duga. Pastilah terjadi suatu peristiwa luar biasa, yang menggun-cangkan kesederhanaan hati ibunya. Maka segera ia hendak memberi penjelasan, namun ibunya menyuruhnya mandi dahulu. "Non Sonny akan datang kembali, setelah engkau mandi, Nah, mandilah dahulu. Pastilah kisahmu akan memakan waktu panjang," katanya. Sehabis mandi, Sangaji mengabarkan peng-alamannya mulai dari pertemuannya dengan Sidi Mantera sampai kepada peristiwa di dataran tinggi Gunung Cibugis. Rukmini menghela napas mendengar pe-ristiwa yang mengherankan itu. Katanya perla-han, "Itu semua adalah jasa dari kedua gurumu dahulu. Coba sekiranya engkau tak memperoleh bimbingannya, masakan engkau dapat melawan kegagahan mereka." Sudah barang tentu Rukmini tak tahu, bahwa kesaktian Sangaji sesungguhnya diperolehnya dari guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Kepan-daian Sangaji kini apabila dibandingkan dengan kesaktian kedua gurunya, jauh berada di atasnya. "Tetapi anakku..." kata Rukmini lagi sambil mengusap-usap tombak almarhum suaminya. "Kita sudah dipaksa nasib untuk tinggal di sini lima belas tahun lamanya. Jauh dari kampung halaman. Jauh dari sanak keluarga, pun Mayor de Hoop memperlakukan kita begini baik, sesungguhnya ingin aku pulang ke kampung halaman. Aku tahu kau bukannya seorang yang beranganrangan besar hendak menjadi seorang raja atau seorang jenderal kompeni. Pastilah kau akan senang bertempat tinggal di kampung halaman sendiri, walaupun sunyi sepi. Hanya urusan Nona Sonny, kurasa akan membuatmu sulit... Bukankah begitu?" Bukan main terkejut hati Sangaji mendengar ucapan-ucapan ibunya itu. la tak mengerti hatinya sendiri, apakah girang, terharu, curiga atau bersangsi. Yang terang, hatinya memukul. Itulah masalah pelik yang selalu merumun ketenangan hatinya. Kini ibunya sudah me-nunjukkan wama kartu, bukankah menjadi gampang? Terus saja ia berkata, "lbu! Ibu! Me-ngapa lbu tak berkata semenjak aku datang dahulu?" Setelah berkata demikian, ia memeluk ibu-nya erat-erat. Dan Rukmini membiarkan diriya dipeluk sampai anaknya puas. Kemudian berkata sambil mengusap-usap tombak karatan yang selalu dipangkunya. "Warisan ayahmu inilah yang membuka mataku. Kau lupa memberi kepadaku. Suatu hari, karena hatiku pepat memikirkan dirimu kulihat tombak ini. Oleh pertolongan seorang serdadu dari Jawa, ternyata terdapat tulisan gurumu Wirapati." "Tulisan Guru?" Sangaji heran. "Sebuah pesan," Rukmini menegaskan. "Bacalah! Bukankah ini suatu peringatan yang jujur?" Untung, berkat ketekunannya menyelami Ilmu sakti Kyai Kesambi dahulu (Suradira Lebur Dening Pangastuti) Sangaji telah pandai membaca huruf Jawa. Maka begitu membaca tulisan Wirapati yang tergurat pada tombak karatan itu, hatinya tergetar. Ayah Sangaji mati untuk apa? Sekedar membuktikan kepada anaknya, bahwa dia termasuk seorang laki-laki tulen. Dan aku mengharapkan, agar anakku, anak didikku mati pula sebagai laki-laki. Biarlah dia hidup satu hari asal hidup sebagai harimau. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya? Wirapati Benar, bisik Sangaji di dalam hati. Bukankah hidupku kini tak ubah seekor kambing yang kena dituntun ke sana ke mari? Ya, di mana aku sekarang ini? Tak terasa ia membayangkan gurunya Wirapati yang gagah perkasa. Dan secara wajar teringatlah dia pula kepada ucapan gurunya Jaga Saradenta: "... karena itu, engkau harus belajar mempunyai keputusan cepat, tegas dan tepat. Itulah senjatamu satu-satunya untuk mengarungi dunia yang lebar ini. Keputusannya ... keputusanmu... keputusanmu..." "Cobalah renungkan!" kata Rukmini. "Bunyi tulisan itu seolah-olah dialamatkan kepadaku, agar aku selalu menjagamu. Sungguh menye-sal, ternyata aku tak pandai menjagamu. Semua pusakamu kecuali kalung berlian dan buah sakti itu terbawa oleh Mayor de Hoop tatkala aku dipindahkan ke mari." Mendengar warta itu, Sangaji terkejut. Namun ia berusaha hendak menghibur hati ibunya. Belum lagi membuka mulut, ibunya berkata lagi. "lbu seorang bodoh, anakku. Tetapi menyaksikan perampasan itu, tahulah lbu bahwa engkau berada dalam kesulitan-. Kemudian selama beberapa hari ini, ia bersikap luar biasa terhadap lbu. Lihatlah emas, perak dan permata. Inilah hadiahnya. Benar ia berkata, bahwa semuanya ini demi' eratnya hubungan keluarga kita di kemudian hari, tetapi lbu berada di dekatnya hampir tiga tahun lamanya. Dan mengenal dia lebih dari tujuh tahun. Ibu rasa cukup mengenal baik sifatnya. Ibu rasa, pastilah ada sebab utama-nya yang beralasan. Cobalah jawab pertanyaan Ibu dengan setulus hatimu, apakah engkau senang manakala kuajak pulang ke kampung halaman?" "Tentu! Tentu! Mengapa tidak?" Sangaji me-nyahut cepat. "Tetapi Nona Sonny! Bukankah akan menyulitkan dirimu?" Sangaji tertegun sebentar. Tiba-tiba timbul-lah keputusannya. Katanya di dalam hati, dengan sebenamya aku menganggap Sonny tidak lebih dari seorang saudara. Sebaliknya dengan Titisari, aku mempunyai kisah sendiri. Biarlah kukatakan kepada Ibu, agar Ibu sendiri yang memutuskan. Setelah memperoleh keputusan demikian, segera ia menceritakan riwayat pertemuan dengan Titisari sampai ter-pisahnya kembali di perbatasan Cirebon. "Aji! Mengapa engkau tak pernah menceri-takan gadis pilihanmu itu," kata Rukmini setelah mendengarkan penuturan anaknya. "Semenjak datang di Jakarta, ada saja per-soalan yang harus kuhadapi sehingga belum memperoleh waktu yang baik. Selain itu, sesungguhnya aku takut membuat Ibu sedih." "Mengapa?" Rukmini menegas. "Mayor de Hoop bersikap sangat baik ter-hadap kita. Kita berdua dilindungi semenjak lama. Sonny pun bersedia pula menjadi isteri-ku. Masakan aku tak mengenal budi itu?" Rukmini menghela napas. Sejenak kemudi-an berkata, "Kita memang berutang budi kepadanya. Tetapi menurut tutur katamu, jasa Titisari tidak dapat ditebus dengan harta benda maupun semboyan-semboyan luhur belaka. Bukankah dia telah merebut jiwamu kembali, tatkala engkau luka parah. di benteng batu? Coba seumpama tiada Titisari, bukankah per-jodohanmu dengan Nona Sonny sia-sia belaka?" ia berhenti mengesankan.. Berkata lagi, "Dengan keluarga Mayor de Hoop, kita memang berutang budi. Tapi kepada Titisari, kita berutang jiwa. Ingat-ingatlah hai itu!" "Yang berutang jiwa hanya aku seorang. Bukan Ibu," bantah Sangaji. Rukmini tersenyum getir. Katanya, "Hm ... seumpama engkau tewas, masakan Ibu sudi hidup lama-lama lagi? Karena itu, ibupun ikut berutang jiwa pula." Sangaji hendak menghela napas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar se-orang menarik napas dari luar dinding. Tak ragu lagi, itulah napas Sonny de Hoop. Mau ia bergerak, tapi ibunya berkata lagi. "Aji! Mendiang kakekmu dahulu pernah berkata kepada lbu begini tatkala lbu mendapat lamaran ayahmu: 'Perkawinan memang suatu tataran yang baik, tetapi apabila bakal membuatmu sengsara, apa perlu kaumasuki?' Aku tahu kini, apa sebab kakekmu berkata begitu terhadap lbu. Sebenarnya, kakekmu agak menyangsikan ke-setiaan ayahmu. Maklumlah, ayahmu seorang berasal dari Pulau Bali. Sedangkan lbu seorang gadis Jawa. Kakekmu mengira, bahwa perkawinan itu akan berakibat buruk untukku. Ontunglah, prasangka kakekmu itu tidak ter-bukti. Ayahmu ternyata seorang laki-laki sejati." Sampai di sini, Rukmini sukar menuntaskan perkataannya. Tangannya, menggenggam tombak karatan itu, erat-erat. Tahulah Sangaji hati ibunya sedang terisi kenangan ayahnya. Maka ia tak mau mengganggunya. Sejenak kemudian Rukmini berkata, "Seka-rang, aku mau meminjam ucapan mendiang kakekmu itu untukmu. lngatlah Aji, engkau anakku seorang. lbu tahu, hatimu jauh berada di Jawa Tengah. Apabila hatimu senantiasa pepat, masakan lbu bisa tidur nyenyak dan makan enak?" Bukan main terguncang hati Sangaji. la seperti kehilangan diri sendiri, sehingga tak tahu apa lagi yang harus dilakukan. "lbu!" akhimya ia berkata seperti linglung. "Sepanjang perjalanan, aku seperti melihat bayangan Titisari. Mungkin sekali ia berada di sekitarku. Hanya saja, ia tak mau memper-lihatkan diri." "Kau berkata, Titisari berada di dekatmu?" Rukmini menegas. Sangaji berbimbang-bimbang. Namun ia menyahut juga, "Titisari seorang gadis pintar luar biasa. Semua yang tersembunyi, bagi-nya sangat cerah." Tetapi setelah berkata demikian, ia menyangsikan ucapannya sen-diri. Tak dikehendaki sendiri, ia kelihatan ter-mangu-mangu. "Kalau Titisari benar-benar berada di sekitar-mu seperti dugaanmu... hm... engkau benar-benar dalam suatu kesulitan besar," Rukmini mengeluh. "Nona Sonny mungkin dapat kau buat mengerti. Tapi ayahnya... inilah lain." "Mengapa begitu?" "Mungkin sekali, ia akan tersinggung kehor-matannya," sahut Rukmini. "Prajurit terlatih menjaga kehormatan kesatuannya. Karena itu, prajurit lekas saja tersinggung kehormatannya. Bukankah kakakmu Williem pernah berkata demikian berulang kali kepadamu. Lihatlah, sampai ibumu sebodoh ini masih sanggup menghafal." Sangaji adalah anak tunggal Rukmini. Tak mengherankan, bahwa ia menganggapnya sebagai hidupnya sendiri. Dahulu tatkala ia mendengar kabar pertunangan Sangaji dan Sonny de Hoop sudahlah timbul kesangsian-nya. Sebagai seorang wanita suku Jawa, sudah barang tentu ia mengharapkan agar memperoleh menantu berasal dari Jawa pula. Tetapi mengingat, bahwa Sangaji masih mem-butuhkan perlindungan, ia tak memperlihatkan suatu sanggahan. Teringat dirinya sendiri menerima cinta kasih seorang putera dari Pulau Bali, dia bersedia menerima pula ke-nyataan itu. Tetapi diam-diam ia mengetahui betapa sikap dingin Sangaji terhadap Sonny de Hoop. Terasa dalam naluri keibuannya Sangaji tak lebih seorang tawanan yang mencoba mengatasi rasa kalahnya. Sonny de Hoop seorang gadis tiada cela. Malahan lambat-laun tertanamlah benih kasih-nya. Tapi melihat anaknya bersikap dingin, mau tak mau ia jadi perasa pula. Maka ia mencoba menduga-duga. Dan begitu mendengar cerita anaknya yang menyebut-nyebut seorang gadis yang bemama Titisari dengan bersemangat, hilanglah sudah rasa sangsinya. Apalagi Titisari ternyata seorang gadis yang pernah merebut jiwa Sangaji. "Mayor de Hoop tidak hanya mempunyai kekuasaan kompeni, tapi ia menguasai kita berdua pula. Belum-belum ia sudah merampas pusaka milikmu. Aku khawatir, engkau kelak kena dirampas pula... Marilah kita pulang saja ke kampung halaman. Lihat, inilah warisan tombak ayahmu..." Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, Sonny de Hoop terdengar tiba di serambi de-pan. Maka cepat-cepat ia berkata lagi, "Temui-lah dia dan berbicaralah baik-baik. Bilang, bahwa engkau ingin menghadap ayahnya. Mudah-mudahan ayahnya memperkenankan kita pulang ke kampung halaman dengan aman damai..." Dengan membulatkan tekat, Sangaji berdiri dari tempat duduknya. Hatinya terasa ringan. Maka dengan langkah tetap ia berjalan ke se-rambi depan menyambut kedatangan Sonny de Hoop. Ternyata Sonny de Hoop datang dengan di-kawal oleh seorang sersan berusia tua. Sersan itu berkumis tebal. Matanya tajam berlindung di bawah alisnya yang tebal pula. Sekali pandang tahulah Sangaji, bahwa ser-san itu bukan orang sembarangan. Memper-oleh kesan demikian, diam-diam ia berjaga-jaga diri. "Taruhlah di meja!" perintah Sonny de Hoop. Dengan sikap hormat, sersan itu meletakkan bebannya di atas meja. Heran Sangaji, karena beban itu ternyata pusaka sakti Kyai Tunggul-manik, Bende Mataram dan pedang Sokayana yang tadi menyibukkan pikirannya. "Ayah kini tidak menganggapmu lagi se-bagai seorang pemuda tolol. Namun karena menjaga hal-hal yang tidak kauinginkan, Ayah perlu menyimpan semua pusakamu ini. Malam ini kami kembalikan dengan utuh. Periksa-lah dahulu barangkali engkau mengira Ayah memalsukan," kata Sonny de Hoop. Untuk mengenal ketiga pusaka sakti itu, Sangaji tidak membutuhkan waktu lama. De-ngan pandang, ia sudah mengenalnya. Hati-nya penuh syukur dan hampir saja menyata-kan rasa terima kasih. (Jntung waktu itu, Sonny de Hoop berkata lagi sambil menghela napas. "Selamanya engkau membuatku tidak mengerti. Sebenarnya bagaimana bisa terjadi begitu?" Mereka kemudian duduk di ruang depan. Setelah pembantu rumah menghantarkan minuman ringan, mulailah Sangaji mengum-pulkan semangat. Dengan mendengarkan kata-kata Sonny de Hoop tahulah dia sudah, bahwa beradanya di dataran ketinggian Gunung Cibugis bukan merupakan suatu raha-sia lagi. Teringat helaan napas Sonny yang tadi didengarnya di luar dinding tatkala ibunya se-dang memperbincangkan rencana pulang ke kampung halaman, timbullah sikap jantannya. Dasar ia seorang yang jujur dan berjiwa ksatria sejati, lantas saja berkata dengan tenang. "Sebenarnya tadinya aku hanya bermaksud memenuhi suatu undangan belaka. Kemudian aku menyaksikan mereka saling membunuh. Bukankah sayang? Alangkah baiknya, apabila mereka hidup rukun dan damai sebagai kawan senasib dan sebangsa ..." Sederhana sekali kata-kata Sangaji. Ontung, Sonny de Hoop sudah mengetahui persoalan-nya dan laporan-laporan militer yang didengarnya. Dengan demikian, ia dapat menang-kap keterangan Sangaji. Katanya kemudian, "Kau selamanya lambat dalam segala hai tidak pandai berbicara banyak. Tapi kali ini, engkau jadi luar biasa. Apakah kedudukanmu yang merubah dirimu?" Pertanyaan itu sama sekali tak terduga, se-hingga Sangaji jadi terbungkam. Sonny de Hoop sendiri agaknya tak bermaksud mem-peroleh jawaban. la meruntuhkan pandang ke alas meja, lalu berkata memerintah kepada Sersan yang tetap berdiri tegak di dekatnya. "Bawalah pusaka Tuan muda ini ke dalam!" Sersan itu mengangguk, kemudian mem-bawa ketiga pusaka sakti ke dalam. Setelah diserahkan kepada Rukmini, ia kembali ke se-rambi depan di sudut ruang samping. "Aji! Betapa alasan Ayah, hatimu pasti sakit sewaktu mendengar kabar hilangnya ketiga pusaka itu, bukan? Pastilah engkau sudah menuduh Kompeni merampas milikmu. Agak-nya benar juga," ujar Sonny de Hoop lembut. "Tiap prajurit selalu menyatakan diri, bahwa dia adalah penjaga dan pengatur keamanan. Padahal dialah sesungguhnya perusak keamanan. Kau percaya, tidak? Lihatlah dengan alasan demi menjaga dan mengatur keamanan, kerapkali dia perlu membunuh yang lain. Setidak-tidaknya membuat rugi yang lain. Nah, bukankah dia justru menjadi perusak keamanan? Maka teringatlah aku kepada ucapan seorang filsof Yunani kuna yang berkata begini: Kau tahu apakah sesungguhnya organisasi militer itu? Mereka tak lebih dari organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang. Kau percaya, tidak?" Sonny de Hoop tertawa lembut. Dan Sangaji bertambah berwaspada. Katanya di dalam hati, dia berkata, militer adalah organisasi pembunuh yang dilindungi undang-undang? Benarkah hatinya berkata begitu juga? Jangan-jangan ia hendak memancing aku... Teringatlah dia akan sepak-terjang prajurit-prajurit kompeni laskar Pangeran Bumi Gede maupun laskar Pangeran Ontowiryo. Semua-semuanya membunuh. Juga mereka yang menamakan diri golongan pendekar di seluruh jagat ini. Maka terasalah betapa pernyataan Sonny de Hoop tepat mengenai sasarannya. Namun, tak berani ia berlaku semberono. Hati-hati ia menatap wajah Sonny de Hoop. Siapa tahu, semua ucapannya mengandung duri. Sonny de Hoop meruntuhkan pandang. Lalu memandang wajah Sangaji. "Aji! Maafkan ayahku. Dengan sesungguh-nya, ia bermaksud baik sekali. Lihatlah semua pusaka milikmu dikembalikan dengan utuh." "Sonny! Ayahmu baik sekali." Dan selama-nya dia baik sekali terhadapku dan Ibu, masakan aku berani menuduh yang bukan-bukan?" sahut Sangaji. Terhadap Sangaji, Sonny de Hoop tiada per-nah menyangsikan semua ucapannya. Maka dengan penuh perasaan dia berkata, "Aku tahu dan aku percaya padamu. Semuanya itu terjadi, karena kemuliaan hatimu. Kau berkata tadi, bahwa kedatanganmu di dataran tinggi Gunung Cibugis semata-mata hendak mendamaikan semua pihak yang sedang ber-tengkar. Sebab hatimu yang mulia ingin melihat semua insan hidup damai. Kau ingin melihat ..." ia berhenti. Hatinya pilu dan pedih. Terasa sudah, bahwa antara dia dan Sangaji kini seperti telah terjadi suatu jurang pemisah. Suatu hal yang tidak dikehendakinya sendiri. Katanya lagi, "Kompeni sekarang memang bertugas untuk mengamankan seluruh daerah Jawa Barat. Kau sekarang sudah menjadi pe-mimpin tertinggi Himpunan Sangkuriang. Tiap patah katamu akan didengar dan dilakukan dengan patuh. Cobalah bujuk mereka agar hidup berdamai dengan kompeni. Dengan begitu jalan yang akan kita lalui menjadi rata seperti semula." "Tidak mungkin!" sahut Sangaji cepat. "Mereka bercita-cita justru hendak mengusir pemerintah Belanda dari bumi Jawa." Mendengar ucapan Sangaji, wajah Sonny de Hoop berubah hebat sampai pucat. Tanpa di-sadari sendiri, ia bangkit dari tempat duduknya sambil berkata dengan nada tinggi. "Kenapa kau mengucapkan kata-kata begi-tu? Kau bisa dianggap sebagai pemberontak." "Sonny! Mereka memang berkata dan ber-cita-cita begitu. Lalu aku harus berkata bagai-mana? Apakah aku harus memperkosa ucap-annya?" sahut Sangaji. "Mereka mempercayai aku. Meskipun hatiku enggan, tetapi aku tak menolak pula. Apakah menurut pendapatmu aku harus mengkhianati mereka?" Lama sekali Sonny de Hoop menatap wajah Sangaji. la nampak terkejut, gusar, kecewa dan pilu. Juga sersan yang duduk di sudut ruang depan. Akhirnya perlahan-lahan Sonny de Hoop duduk kembali dengan pandang lembut. Dan sersan itu terdengar melepaskan napas lega pula. Perlahan Sonny de Hoop berkata, "Semula aku tak percaya kepada semua kabar yang kudengar. Kemudian aku minta izin Ayah hendak membuktikan sendiri. Sekarang aku mendengar pula dari mulutmu sendiri. Apakah aku bisa mengingkari kesulitan ini?" Setelah berkata demikian, gadis itu nampak berduka dengan hati pilu. la melemparkan pandang jauh di sana. Kepada tiang-tiang pen-dapa, kepada wajah sersan yang menunduk, kemudian pada kegelapan malam. Namun penglihatan itu tidak merasuk dalam rasanya. Akhirnya setelah lama berdiam diri ia merun-tuhkan pandang ke bawah seraya berkata dengan berbisik. "Waktu engkau diketemukan Ayah di dalam medan perang dahulu, Ayah sudah bercuriga. Tetapi ia mendengarkan kata-kataku. Kemu-dian untuk kedua kalinya, engkau berada di perkemahan. Juga Ayah tidak mengusut lebih lanjut. Tetapi sekarang semua orang mende-ngar kabarmu. Sulitlah untuk meniadakan semuanya itu." la berhenti sebentar menghela napas. Sekonyong-konyong pandang mataya berkilatan,"Benarlah kata pepatah: Kalau suamimu menjadi raja, kau akan menjadi se-orang permaisuri yang muda. Tetapi bila suamimu menjadi setan, kaupun akan menjadi iblis. Nah, biarlah aku menjadi iblis." . Mendengar ucapan Sonny de Hoop, hati Sangaji terharu bukan main. Dasar hatinya lemah, lagi pula tidak terdapat suatu kesalahan pada diri Sonny, maka berkatalah dia dengan penuh perasaan: "Sonny...! Aku ini memang seorang yang tidak hanya tolol, tapi juga tidak tahu berterima kasih. Sekarang biarlah aku patuh kepada kehendakmu... " Tetapi setelah berkata demikian, suatu bayangan berkelebat dalam otak-nya. Segera ia dapat menguasai diri. Lalu berkata lagi, "Terhadapmu memang aku dapat berkata begini. Tetapi bagaimana dengan ayahmu yang memegang kekuasaan militer? Pastilah dengan alasan dinasnya, Beliau lebih mencintai kedudukannya daripada kepadamu atau kepadaku ..." "Ya benar," sahut Sonny dengan mengeluh. "ltulah sebabnya, aku dahulu tidak senang engkau menjadi semacam jagoan. Kau tahu sebabnya?" Sonny berhenti mengesankan. "Inilah jadinya. Karena demi mengabdi kepada apa yang dinamakan kehormatan diri dan cita-cita, kau dan aku mungkin berdiri di seberang menyeberang." "Janganlah berkata begitu, Sonny. Aku me-mang bersalah terhadapmu, tapi ayahmu bukan seorang jagoan. Beliau tidak mempe-rebutkan apa yang dinamakan suatu kehormatan diri." "Kau berkata apa?" potong Sonny de Hoop sengit. Berbareng dengan senyumnya pahit, ia meneruskan. "Kau berkata dia bukan terma-suk golongan jagoan? Kau salah, aku justru berkata begitu. Dialah termasuk pula seorang jagoan yang kebetulan mengenakan pakaian seragam." Sangaji menatap wajah Sonny de Hoop, lngin ia menangkap sasaran ucapannya, namun sebagai biasanya ia lambat dalam hai menebak maksud seseorang. Maka ia minta ketegasan, "Kau berkata Beliau seorang jagoan kebetulan mengenakan pakaian seragam?" "Ya, bukankah sudah terang?" sahut Sonny. "Seorang jagoan adalah seorang yang mengabdikan diri kepada kehormatan dan nama yang kosong. Dalam hidupnya ia hanya mendengarkan hatinya sendiri." "Ah, belum tentu. Seorang yang berbudi luhur..." "Mengapa belum tentu?" potong Sonny. "Seorang prajurit dididik untuk menang. Karena itu betapa dia mau mengalah? Kalau dia mau mengalah, dialah bukan seorang pra-jurit." Selamanya Sangaji tak pandai berdebat. Meskipun pada waktu itu ia sudah memper-oleh kemajuan yang lumayan, namun masih saja ia tak mampu mengatasi bentuk pem-bicaraan yang bersifat cepat. Maka mulutnya membungkam dengan mendadak. Dan seperti dahulu, ia lantas menjadi tokoh pendengarnya. Dalam suatu pertarungan seorang jagoan harus membunuh lawannya bilamana mau selamat. Seorang prajuritpun demikian. Cuma bedanya, seorang prajurit dilindungi undang-undang. Sebaliknya seorang jagoan tidak. Dia justru akan dikejar penuntutan balas dendam dan hamba undang-undang. Tapi pada hakikatnya setali tiga uang. Sangaji berdeham. Ingin ia memberi pan-dangan lain namun mulutnya memang tidak kuasa mengungkap rasa hatinya. la hanya berkata, "Tetapi Sonny... semuanya tergantung kepada pribadinya masing-masing. Seorang prajurit meskipun membunuh tetapi demi untuk keamanan umum. Sedangkan seorang jagoan hanya mengabdi kepada kepentingan diri sendiri... Inilah bedanya." Sonny de Hoop tertawa lembut. Katanya, "Ah, benar-benar engkau sudah berubah. Kau sekarang sudah pandai berbicara. Maka benarlah kata Ayah, bahwa engkau bukan se-orang pemuda tolol lagi..." Itulah suatu sindiran tajam. Kalau bukan Sangaji pastilah akan melahirkan suatu rente-tan perdebatan. Tapi Sangaji yang berhati damai, segera mengalihkan pembicaraan. "Sonny! Apakah engkau berhasil mem-bicarakan keluarga Mulawir kepada ayahmu? Kalau berhasil alangkah senang hatiku." "Benarkah hatimu senang?" Sonny de Hoop mencoba. "Tentu! Aku akan memaksamu untuk me-nerima rasa terima kasihku." "O, Sangaji... semenjak dahulu aku berkata, bahwa aku akan ikut senang hati manakala hatimu senang pula. Keluarga Mulawir sudah dibebaskan. Tetapi ayah tidak dapat membe-baskan Ki Tunjungbiru, meskipun hatinya sangat menyesal." "Mengapa?" "Perkaranya sudah terlanjur dilaporkan kepada atasan. Maka penyelesaiannya harus lewat saluran hukum pula." "Ya, aku tahu," sahut Sangaji dengan kepala kosong. Sejurus kemudian berkata, "Sonny! Apakah engkau mengerti di mana dia dise-kap?" "Penjara Glodok." Sangaji nampak prihatin. Mencoba, "Pastilah engkau dapat mengetahui keadaan penjara dengan jelas. Setidak-tidaknya melebihi pe-ngetahuanku, berhubung kedudukan ayah-mu. Senang dan bersyukur hati Sonny de Hoop mendengar bunyi kata-kata Sangaji. Sebagai anak seorang komandan, sering ia mendengar dan mengenal cara bergaul pembesar-pembe-sar militer. Makin tinggi pangkat dan jabatan-nya, makin mereka berhati-hati dalam setiap pembicaraannya. Itulah disebabkan karena kedudukan, tugas, jabatan serta kehormatan diri. Namun sikap hidup demikian tidak terdapat dalam diri Sangaji. Pemuda itu kini menjadi pemimpin tertinggi seluruh laskar perjuangan barat dan merupakan momok yang ditakuti kompeni. Sekalipun demikian, kata-katanya tidak berbeda tatkala ia baru mengenalnya. Itulah suatu tanda, bahwa hatinya tidak berubah terhadapnya. Maka terus saja gadis itu berkata menyahut, "Kau selamanya membuat hatiku bingung. Baiklah aku akan membantumu sebisa-bisaku. Kau pasti akan berusaha meno-long Ki Tunjungbiru. Selama dia masih di dalam penjara pastilah hatimu tidak tenang. Hanya saja, sudahkah engkau mempunyai da-ya upaya untuk mengatasi kemarahan Ayah?" Sangaji mengangguk. "Aku akan menghadap ayahmu. Aku tahu, ayahmu pasti akan menyatakan bermusuhan dengan tugasku. Karena itu aku akan minta ijin padanya untuk pulang bersama lbu ke kampung halaman." Mendengar kata-kata Sangaji, Sonny de Hoop tertegun. Wajahnya pucat. Tapi sebentar kemudian, berubah menjadi lembut. Dengan tersenyum ia berkata, "Memang kadang-kadang pernah aku berpikir tentang diriku sendiri. Andaikata aku ini bukan bangsa Belanda, juga bukan anak seorang Komandan Kompeni Belanda yang kebetulan bermusuhan dengan kedudukanmu sekarang alangkah senang dan gampang jadinya. Aku akan me-nyertaimu di mana saja kau berada. Sekarang, ternyata engkau akan pergi benar-benar. Dan aku akan menyertaimu juga, di mana engkau berada. Biar aku menjadi setan demi untuk-mu ... Bukan main terharu rasa hati Sangaji. Itulah suatu ucapan cinta kasih setulus-tulusnya. Kenyataan demikian tak dapat diabaikan dengan begitu saja. Selagi ia berpikir demikian, terdengar Sonny de Hoop berkata lagi, "Kau tadi minta keterangan tentang keadaan penjara, bukan?" Sangaji mengangguk. "Biasa saja," kata Sonny de Hoop. "Penjara di mana-mana saja dipimpin oleh seorang Ke-pala Penjara yang dibantu dengan pegawai-pegawai bawahannya. Hanya saja karena penjara Glodok dianggap sangat penting, penja-ganya diperkuat dengan serdadu-serdadu Kompeni yang dibantu pula oleh tamping-tampingnya yang sudah mendapat keper-cayaannya." "Tamping? Apakah itu?" "Orang yang terhukum untuk selama hidup dan sesudah mendapat kepercayaan diangkat oleh Kepala Penjara sebagai pembantu meng-urus tata tertib." Sangaji diam merenung. Penjara Glodok sudah sering dilihatnya. Kesannya seram dan menakutkan. Menurut kabar, tidak gampang seseorang mencoba mendekati dindingnya tanpa diketahui penjaganya. Sekiranya me-maksa diri menjebol pintunya, pastilah akan menimbulkan suatu perjuangan sengit. Memi-kir demikian, ia jadi gelisah. Bukankah laskar Himpunan Sangkuriang kini sedang dalam perjalanan mendekati penjara itu? Selagi berpikir demikian, sekonyong-ko-nyong nampaklah sinar api menyala tinggi di luar rumah. Kemudian terdengarlah suara hiruk-pikuk disusul pula dengan bunyi tanda bahaya. Cepat Sonny de Hoop keluar pendapa. Tiba-tiba ia berseru kaget, "Hai! Bukankah itu penjara Glodok? Sersan!" Ia menoleh ke serambi. Tetapi sersan yang tadi duduk di sudut ruang, tiada nampak batang hidungnya. Kapan ia meninggalkan ruang itu, berada di luar pengamatannya. Segera ia menyerunya. Namun meskipun di-ulanginya beberapa kali, tetap sersan itu tidak muncul. Setelah berbimbang-bimbang sejenak, cepat Sonny masuk ke dalam. Ia mencoba minta keterangan Rukmini. Tapi Rukmini tak dapat memberi keterangan. Juga semua pelayan yang berada di sekitar rumah. Sangaji kala itu tiada sabar lagi melihat nyalanya api yang hampak membumbung tinggi di udara. Teringatlah dia kepada Ki Tunjungbiru dan sekalian laskarnya. Apakah mereka sudah tiba di dalam kota dan terus menyerbu penjara?" Karena dirumun berbagai soal, Sangaji lan-tas berdiri tegak. Tatkala melihat Sonny kembali ke serambi depan, ia berkata cepat: "Sonny, maafkan aku ingin melihat." Dan berbareng dengan kalimatnya yang pengha-bisan, sekali melesat bayangannya sudah lenyap dari penglihatan. "Hai, hai! Tunggu dahulu!" teriak Sonny de Hoop, "Biarlah kita berangkat bersama." Mendengar teriak Sonny de Hoop yang ber-kesan gupuh, Rukmini lari ke serambi depan. Tetapi pada saat itu, baik Sangaji maupun Sonny de Hoop sudah tiada lagi. Pada saat itu Sangaji sudah berada di jalan. Ia melesat bagaikan terbang. Belum lagi memasuki daerah perkampungan Cina yang berada di depan, matanya yang tajam me-nangkap berkelebatnya sesosok bayangan yang menyongsong padanya. Melihat gerakan bayangan itu, pastilah bayangan seorang yang berkepandaian tinggi. Tiba-tiba pada detik itu terdengar bayangan tadi berseru, "Gusti Aji!" Sangaji berhenti dengan mendadak. Ia menoleh. Ternyata bayangan itu Tubagus Simuntang. Entah apa sebabnya hati Sangaji menjadi besar dan berbangga. Terus saja ia menyahut. "Paman!" "Ada kejadian ajaib," kata Tubagus Simun-tang setelah membungkuk hormat. "Maksud Paman penjara terbakar?" "Tidak hanya itu. Tetapi yang menyerbu bukan laskar kita," sahut Tubagus Simuntang. Seperti diketahui, Tubagus Simuntang minta ijin kepada Sangaji hendak melakukan tugas-nya. Semenjak zaman Ratu Bagus Boang, Tubagus Simuntang menduduki jabatan peng-hubung. Dalam melakukan tugasnya hendak menghubungi Dadang Wiranata, Dwijendra, Andangkara dan Otong Surawijaya pada malam itu, ia menjumpai suatu peristiwa yang menarik perhatiannya. Segera ia mengikuti perkembangan peristiwa itu. Begitu memperoleh kepastian, segera ia lari sekencang-kencangnya, hendak memberi laporan kepada ketuanya. Katanya kemudian setidak-tidaknya enam pendekar datang menyerbu penjara. "Untuk Ki Tunjungbiru?" potong Sangajj. "Terang sekali tidak. Mereka datang untuk membebaskan anak-anak muridnya yang lenyap tiada bekasnya setelah turun dari dataran ketinggian Gunung Cibugis." "Ah, apakah mereka kena tawan kompeni?" Sangaji heran. "Benar," sahut Tubagus Simuntang. "Dalam suatu pertarungan, rupanya masing-masing perguruan ada yang dapat meloloskan diri sehingga dapat memberi laporan kepada gurunya masing-masing. Nah, sekarang mere-ka semua datang dengan serempak. Hamba kira paling tidak enam pendekar turun tangan dengan berbareng. Ah, hebat! Pastilah akan merupakan suatu tontonan yang menarik." Benar juga. Waktu tiba di depan penjara, mereka berdua melihat berkelebatnya bebera-pa bayangan yang bergerak sangat cepat dan berani. Dengan berlompatan, bayangan itu menikam penjaga-penjaga yang sedang mengisi senapan bermesin bubuk. Penjara Glodok pada zaman itu, tidaklah seperti sekarang. Penjara tersebut dibangun untuk tempat mengurung penentang-penen-tang pemerintahan Belanda yang disegani. Itulah sebabnya, penduduk menyebutnya sebagai kandang negara. Seratus tahun yang lalu, pahlawan Ontung Surapati pernah dise-kap di dalam salah sebuah kamarnya yang berada di bawah tanah. Ternyata dia masih dapat membebaskan diri. Bahkan membawa lari pula 120 hukuman yang kemudian mengadakan perlawanan di luar kota Jakarta. Betapa tinggi kepandaian Ontung Surapati dapat dibuktikan dengan kenyataan terse-but. Oleh pengalaman itu, pemerintah Belanda memperbaiki bangunan Glodok. Sekarang ter-dapat sebuah menara tinggi yang terbuat dari balok-balok batu pegunungan. Tingginya kurang lebih 20 meter. Mempunyai kamar sel sebanyak 47 buah. Kamar-karhar tersebut yang disusun meninggi, khusus disediakan bagi musuh-musuh negara berkepandaian tinggi. Karena letak kamar-kamar itu bersusun tinggi, maka penglihatan itu lebih mirip sebuah menara penghias kota. Bagian dinding luar terbuat dari besi tebal berlapis baja putih. Apabila kena sinar mata-hari memantulkan cahaya yang menyilaukan. Sedangkan tangga yang menghubungkan kamar teratas, selalu bergerak. Kamar itupun merupakan sebuah kamar yang diperlengkapi dengan alat penggerak rahasia. Manakala di-gerakkan, dengan suara bergerit berputar dan turun ke dalam tanah. Kamar tersebut dinamakan kamar maut, karena tiada lubang angin sama sekali. Barangsiapa kena ditahan di dalam kamar tersebut, tiada harapan untuk bisa membe-baskan diri. Kecuali apabila mampu menjebol dinding besinya yang tebal luar biasa. Penjagaan berada di luar menara. Di atas gardu-gardu pengawas dengan dilindungi alat penerangan dan terali besi. Penjaganya diper-lengkapi dengan senapan bermesiu bubuk, panah, golok dan pedang. Malam itu selagi para penjaga berada di atas gardunya masing-masing, tiba-tiba nampaklah tujuh bayangan melesat melompati tembok luar. Terang sekali, mereka bukan orang sem-barangan. Dan baru saja para penjaga hendak mengadakan suatu reaksi, mereka telah me-nyergapnya tanpa berbimbang-bimbang lagi. Melihat robohnya semua penjaga yang bera-da di atas gardu penjagaan, Kepala Jaga lantas saja memukul lonceng tanda bahaya. Pem-bantunya melepaskan panah berapi di udara. Itulah sinar yang tadi terlihat oleh Sangaji dan Sonny de Hoop. Dan sebentar kemudian, bunyi sangkakala melengking di tengah malam. Tamping-tamping yang merupakan urat nadi, muncul dari lorong samping. Baru saja mereka mencongkakkan diri, terdengarlah angin tajam meniup semua lentera. "Ini bukan manusia. Siluman!" Mereka ber-teriak terkejut. Berbareng dengan teriakan mereka, suara gemerincing memekakkan telinga. Itulah suara rantasnya gerendel-gerendel dan terali sel. Dan muncullah orang-orang tahanan yang tersekap di dalam kamar menara. Ternyata mereka adalah para pendekar yang pernah menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis. Melihat munculnya mereka, hati Sangaji ter-getar. Berbagai pertanyaan berkelebatan dalam benaknya. Sekonyong-konyong dua bayangan berkelebat mendekati. Mereka datang dari arah yang bertentangan. Yang lain, sersan yang tadi mengawal Sonny de Hoop. Sangaji sudah menduga, bahwa sersan itu bukan sembarang orang. Namun tiada mengi-ra, bahwa ia memiliki kegesitan demikian, sehingga mampu menandingi Tatang Sontani. Sersan itu melambaikan tangatinya. Kemu-dian berjalan dengan cepat menuju ke selatan. Karena Sangaji menduga ada suatu berita ra-hasia yang akan disampaikan Sonny de Hoop lewat sersan itu, segera ia mengikuti. Otaknya memang lagi penuh dengan berbagai pertanyaan, maka kedatangan sersan itu diharap-kan akan membawa suatu kecerahan. Dengan gesit, sersan itu berjalan membeloki lorong-lorong kecil. Setelah kurang lebih lima kilometer berada di luar kota, ia berhenti me-mutar tubuh. Sangaji melayangkan penglihatan. Lapangan di depannya penuh dengan batu-batu ber-serakan. Dua bukit batu berdiri tegak di bela-kangnya. Melihat sersan itu memutar tubuh, Sangaji memberi tanda kepada Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang agar mundur. Dalam pada itu, sersan tersebut membungkuk hormat. Sambil membalas hormat, diam-diam Sangaji menebak-nebak dalam hati, apakah maksud orang ini? Apakah bermaksud hendak menjebak. Di sini tiada pembantunya. Kalau dia harus menghadapi tiga orang, terang sekali dia akan kalah. Tetapi melihat sikapnya, agaknya tiada bermaksud jahat. Selagi Sangaji sibuk menduga-duga, tiba-tiba sersan itu menggeram. Kedua tangannya terbuka bagalkan cakar lalu menubruk. Hebat serangannya. Jari tangan kirinya mirip cengkeraman harimau, sedangkan yang kanan tak ubah cakar seekor garuda. Kesepuluh kukunya nampak tajam dan berbentuk melengkung. Kecuali daya serangannya bertenaga hebat, cengkeramannya dapat mengambil jiwa dengan mudah. Cepat Sangaji menangkis dengan tangan kiri sambil berseru, "Apakah maksud Tuan sersan? Jelaskanlah dahulu. Masakan terus saja menyerang tanpa alasan?" Ternyata sersan itu tiada menggubris seruan Sangaji. Begitu tangan kirinya kena tangkis, tangannya yang kanan dengan cepat mengarah lambung. Hebat gerakannya sampai angin berkesiur tajam. "Apakah Tuan sersan benar-benar mengajak berkelahi," Sangaji menegas. Untuk yang kedua kalinya, sersan itu tidak mendengarkan seruan Sangaji. Bahkan gerakannya tambah menghebat. Kedua jari tangannya, menyerang saling menyusul. Yang satu mencakar yang lain mencengkeram berbareng mengait. Kemudian memagut dan menghantam. Dengan satu kali gerakan saja, sudah terjadi enam gaya serangan kilat. Melihat serangan itu, Sangaji tak berani berayal lagi. Dengan mengibaskan tangan, ia bertahan dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi, Suradira lebur dening pangastuti. Tenaga yang digunakan ialah ilmu Pancawara. Hebat tekanan tenaganya. Namun ilmu silat sersan itu, sangat ajaib dan aneh. Semua tipu muslihatnya sangat keji dan bercampur aduk. Ia memiliki ilmu sakti suci bersih dan kotor. Nyata sekali, bahwa dia mempunyai pengetahuan luas dan mahir luar biasa. Sangaji tetap melayaninya dengan ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi. Sampai sembilan puluh jurus, tiba-tiba cengkeraman sersan itu berubah menjadi suatu tinju. Lalu dengan deras menghantam dada Sangaji dari depan. Diserang secara mendadak, tetap saja Sangaji melayani dengan ilmu Kyai Kasan Kesambi. Ia menangkis dengan mengibaskan tangan. Sekaligus, ilmu sakti Pancawara menahan daya serangan. Kemudian dengan menggunakan tipu muslihat Mayangga Seta, tangan kiri Sangaji membelok. Dengan suatu lingkaran cepat, tangannya sudah menggablok punggung lawannya. Tetapi ia tidak menggunakan tenaga sakti. Karena itu, serangannya hanya menempel pada punggung. Sersan itu terhenyak sejenak. Wajahnya heran berbareng terkejut. Tahulah dia, bahwa Sangaji tidak bermaksud mencelakai. Malahan mengampuni jiwanya. Memperoleh pertimbangan demikian, ia meloncat ke samping sambil menatap wajah Sangaji. Sekonyong-konyong ia memberi isyarat kepada Tatang Sontani, meminjam pedang. Ternyata Tatang Sontani tidak menolak. Dengan menanggalkan pedangnya, ia datang menghampiri. Kemudian dengan hormat ia mengangsurkan dengan kedua tangannya. Menyaksikan Tatang Sontani bersikap hormat terhadap sersan itu, Sangaji heran bukan main. Apalagi Tatang Sontani meminjamkan pedangnya tanpa mengadakan sesuatu pembangkangan. Dalam pada itu pedang Tatang Sontani sudah terlolos dari sarungnya. Itulah suatu isyarat, bahwa serangan akan dimulai. Sersan itu memben tanda, agar Sangaji meminjam pula sebilah pedang dari Tubagus Simuntang. Tapi Sangaji menggelengkan kepala. Ia hanya mengambil sarung pedang dari tangan sersan itu dan hendak digunakan sebagai senjata pelawan pedangnya. Kemudian dengan tenangnya ia melintangkan sarung pedang itu di depan dada-nya suatu tanda bahwa serangan boleh dimulai. Tanpa segan-segan lagi, sersan itu menusukkan pedangnya dengan cepat. Menyaksikan betapa tepat dan cepat tusukannya, tahulah Sangaji bahwa lawannya memiliki ilmu pedang sangat tinggi. Maka sedikitpun tak berani ia berkhayal atau merendahkan lawan. Ternyata dugaannya tepat. Ilmu pedang sersan itu, jauh lebih tinggi daripada ilmu pedang Edoh Permanasari. Bahkan keperkasaannya sejajar dengan ilmu golok gabungan Kakek Begog dan Sianyer. Bagus! ia memuji dalam hati. Dan segera ia melayani dengan ilmu pedang guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik. Serangan sersan itu kadang-kadang cepat, lalu lambat dengan tiba-tiba. Tenaga tekanan-nya teratur rapi. Bila cepat, serangannya deras bagaikan badai. Manakala berubah lambat, tiba-tiba punah. Tetapi bahayanya jauh lebih dahsyat daripada serangan badai. Sebab tenaga gempurannya dipergunakan untuk meng-kait lawan tak ubah arus berputaran. Seseorang takkan dapat menguasai ilmu sakti demikian, apabila tenaganya tidak sempurna. Mengingat hal ini diam-diam Sangaji sayang akan kepandaiannya. la melayani dengan hati-hati sambil berpikir di dalam hati, "Kalau setengah tahun yang lalu aku bertemu dengan dia, aku bukan tanding-annya. Ilmu pedang Eyang Guru selama ini belum memperoleh tandingnya. Tapi menghadapi ilmu pedangnya, meskipun menggunakan ilmu sakti Mayangga Seta belum tentu bisa mengatasi." Untung, Sangaji kini memiliki ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Maka setiap kali, ia dapat mematahkan semua serangan lawan. Makin lama, Sangaji makin kagum dan sayang akan kepandaian sersan itu. Timbullah keputusan dalam hatinya ia tak mau mengalahkan dengan serangan pedang pula. Ia menunggu serangan lawan sekali lagi. Kemudian dengan jitu ia memutar sarung pedangnya berbalik. Lalu ditimpukkan dan tepat menyergap ujung pedang. Sebelum sersan itu sadar akan inti serangan Sangaji, tahu-tahu pedangnya telah masuk ke dalam sarung dengan tepat dan jitu. Dan berbareng dengan itu, tangan Sangaji menyambar tangannya. Kemudian dengan tersenyum Sangaji melompat ke samping sambil melepaskan tangkapannya. Apabila dikehendaki, dengan sedikit tenaga saja, pastilah pedang sersan itu dapat direbut-nya. Tetapi ia tidak menghendaki demikian. Ia bahkan berani mengambil risiko bahaya, Tipu demikian, sangat bahayanya. Apalagi ber-hadapan dengan seorang ahli pedang. Sedikit kurang cepat dan tepat, pergelangannya pasti akan terkutung sekaligus. Tak terduga, bahwa sersan itu ternyata tak mengenal terima kasih. Belum lagi kaki Sangaji mendarat di atas tanah, tiba-tiba sersan itu membuang pedangnya. Kemudian menghantam dengan dahsyat. Hebat hantaman itu. Suatu kesiur angin dahsyat datang bergulungan. Namun Sangaji tidak gugup. la bahkan ingin mencoba tenaga lawan. Dengan telapak tangan kanan, ia menyambut hantaman itu. Sedang telapak tangan kirinya mendorongkan tenaga sakti. Dan setelah itu kedua kakinya menginjak tanah dengan manis sekali. Dalam sekejap saja, tenaga pukulan sersan itu membanjir tak ubah air bah. Sangaji tidak menangkisnya. Dengan menggunakan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik guratan yang kedua belas, ia menampung semua tenaga pukulan lawan. Kemudian dengan tiba-tiba ia menghentak. Tenaga lawan yang sudah ditimbunnya, dilontarkan kembali. Hebat daya tolakan itu. Tak ubah gelombang pasang, tenaga himpunan sersan itu ditolak balik. Itu berarti, tenaga sakti sersan itu yang sudah berjumlah puluhan lipat. Betapa hebat daya tekanannya, tiada seorang di jagat ini yang memiliki tenaga sebesar demikian. Kalau tenaga tolakan kembali itu sampai menghantam suatu sasaran, meskipun seekor gajahpun akan hancur tulang-belulangnya. Benar-benar jiwa sersan itu berada di ujung maut. Sebab telapakan tangannya masih melekat pada tangannya Sangaji. Untunglah, tangan kiri Sangaji masih terbebas. Cepat, ia melontarkan sersan itu tinggi ke udara. Dan baru ia melepaskan tenaga timbunannya. Sersan itu terlontar ke udara seperti bola tendang. Sedangkan tenaga himpunan terus menghantam batu raksasa yang berada di kaki bukit. Maka terdengarlah suatu gemuruh bagaikan guntur hendak menggugurkan gunung. Batu raksasa yang kena bidik tenaga timbunan itu, sumpyur berantakan menjadi kerikil-kerikil tajam. Menyaksikan kejadian itu, baik Tatang Sontani maupun Tubagus Simuntang memekik kaget. Tadinya mereka mengira, bahwa adu kepandaian antara sersan itu dan ketuanya akan membutuhkan waktu yang lama. Tak tahunya, baru dalam beberapa saat saja sudah nampak siapa yang lebih unggul. Mereka terkejut sampai wajahnya berubah. Selama hidupnya, baru kali itu mereka menyaksikan suatu tenaga sakti demikian dahsyat. Tak mengherankan setelah habis rasa kagetnya mereka berdiri terlongong-longong oleh rasa tercengang. Dengan mulut terbuka, mereka mengawaskan tubuh sersan itu yang jungkir balik di tengah udara pada detik-detik kematian. Baru setelah sersan itu mendarat dengan selamat di atas tanah mereka tersadar kembali. Begitu menginjak tanah, sersan itu men-gangkat kedua tangannya di tengah dada membuat suatu sembah. Itulah suatu sembah keseragarhan anggota Himpunan Sangkuriang terhadap ketuanya. Kemudian berkata dengan suara rendah, "Hamba Maulana Syafri duta urusan luar, dengan ini menghaturkan sembah bakti ke hadapan Paduka. Terima kasih atas budi Gusti Sangaji. Meskipun hambamu begini kurang ajar berani mencoba-coba kesaktian Gusti Sangaji, namun Paduka masih mengampuni jiwa hamba. Hamba mohon maaf sebesar-besarnya." Mendengar ucapan sersan itu, Sangaji terkejut. la berpaling kepada Tatang Sontani. Kemudian kepada Tubagus Simuntang. Keduanya tersenyum. Melihat senyum mereka cepat Sangaji menghampiri Maulana Syafri lalu menjabat tangannya. Sebenarnya setelah Maulana Syafri mulai dengan serangannya, baik Tatang Sontani maupun Tubagus Simuntang terus saja me-ngenalnya. Itulah ilmu silat; milik khas rekan-nya, yang hilang sepuluh tahun lebih. Mereka hanya mengenal namanya, namun orangnya tidak pernah menampakkan diri. Di mana dia berada selama itu, sama sekali tiada kabarnya. Tak tahunya, dia malah menyamarkan diri dengan menjadi seorang sersan kompeni. Mereka tahu, bahwa hai itu dilakukan demi tujuan perjuangan Himpunan Sangkuriang hendak mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang, cepat memburu maju dan menggenggam kedua tangan rekannya erat-erat. Sambil mengamat-amati wajah rekannya yang kini nampak menjadi lebih tua, Tatang Sontani berkata: "Kak Maulana! Sungguh! Adikmu sangat merindukan dirimu." Dengan mesra Maulana Syafri memeluk Ta-tang Sontani sambil menyahut, "Adikku! Berkat perlindungan yang Maha Esa. Himpunan Sangkuriang kita diberkahi seorang pemimpin sepandai ini. Dan akhimya kita semua bisa ber-kumpul dan bersatu kembali seperti semula." "Kau hebat Kak Maulana," sambung Tuba-gus Simuntang. "Aku si tua bangka ini merasa takluk." "Hm ... di jagat ini siapa dapat menandingi kecepatan gerakmu, kecuali ketua kita yang baru?" memuji Maulana Syafri. Tubagus Simuntang beradat tak mau merasa kalah terhadap siapa saja. Tetapi melihat ilmu silat yang baru diperlihatkan Maulana Syafri tadi, diam-diam ia merasa takluk. "Kak Maulana dengan sesungguhnya kunyatakan kini sampai hari ini barulah aku Tubagus Simuntang benar-benar takluk kepadamu," katanya. Setelah itu ia membungkuk hormat. Cepat-cepat Maulana Syafri membalas hor-mat seraya menyahut, "Engkau berlebih-lebihan, adikku. Sebentar tadi, aku hanya memperlihatkan ilmu cakar ayam tak keruan juntrungnya. Coba sekiranya junjungan kita tidak berbudi luhur aku sudah terjengkang tak bemyawa lagi." "Bagus! Bagus!" sambung Tatang Sontani. "Tempat ini terletak tak jauh dari kota. Marilah kita mendaki bukit. Di sana jauh lebih aman." "Bagus!" sahut Tubagus Simuntang dan Maulana Syafri dengan berbareng. Mereka bertiga merupakan teman seper-juangan sehidup semati, semenjak puluhan tahun yang lalu. Seringkali mereka menghadapi saat-saat genting untuk menentukan hidup matinya. Maka tidaklah mengherankan, bahwa setelah berpisah lama pertemuan itu sangat mengharukan hati masing-masing. Segera mereka hendak bergerak, tiba-tiba ter-dengar Sangaji berkata, "Silakan Paman mendaki bukit. Aku hendak menjenguk Aki Tunjungbiru dahulu." Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang ter-sadar. Baru mereka hendak membuka mulut, Maulana Syafri mendahului berkata, "Tentang Ki Tunjungbiru, Paduka tak usah meresahkan. Pada saat ini, dia sudah berada di luar penjara." "Di luar penjara? Bebas maksudmu?" Sangaji heran. Maulana Syafri mengangguk. "Bagaimana mungkin? Apakah ..." Sangaji menegas. Dengan membungkuk hormat, Maulana Syafri menyahut: "Di samping hamba, masih ada seorang duta Himpunan Sangkuriang ber-nama Suryapranata. Dialah yang mengurus kebebasan rekan Ki Tunjungbiru." Maulana Syafri adalah duta kepercayaan Himpunan Sangkuriang. Semua kata-katanya bukan bergurau. Maka Sangaji percaya kete-rangan itu. Hanya saja kurang jelas. "Kabar ini memang membutuhkan kete-rangan yang lebih luas," kata Maulana Syafri yang sudah dapat menebak hati pemimpin-nya. "Kejadian ini bersangkut-paut sangat eratnya dengan seorang gadis yang paling pin-tar dalam zaman ini." "Seorang gadis yang pandai?" wajah Sangaji berubah hebat. Maulana Syafri membungkuk hormat seraya bersenyum. "Kau maksudkan... seorang gadis yang bernama..." Sangaji beragu. "Benar," sahut Maulana Syafri. "Menurut Ki Tunjungbiru, dia bernama Titisari dan ber-sangkut-paut sangat erat dengan Paduka." Kalau orang disambar geledek, tidaklah se-kaget hati Sangaji pada waktu itu. Sekujur tubuhnya sampai nampak bergemetar. Melihat pemimpinnya demikian, Tubagus Simuntang yang berwatak berangasan menduga jelek. Terus saja ia melompat menerkam kain leher Maulana Syafri. Seperti diketahui, kegesitan Tubagus Simuntang tiada lawannya di seluruh jagat. Maka sekali bergerak, Maulana Syafri mati kutu. "Tiap orang mempunyai persoalan pribadi," bentak Tubagus Simuntang. "Mengapa engkau membuat pemimpin kita bergusar. Meskipun ilmuku kalah jauh denganmu, tapi aku masih sanggup bergerak seharian penuh melawan dirimu." Menyaksikan salah paham itu, Sangaji segera melerai. Katanya gugup, "Paman Tuba-gus Simuntang! Paman Maulana Syafri justru membuat hatiku terharu." Mendengar ujar Sangaji, Tubagus Simun-tang tercengang. la menatap wajah pemimpin-nya untuk mencari ketegasan. "Baiklah mari kita mendaki bukit itu," kata Sangaji. "Paman Maulana! Berjanjilah, bahwa Paman akan mengabarkan semuanya. Sekali Paman menyembunyikan sepatah kata saja, aku tidak akan puas." Mereka berempat segera berlari-larian men- daki bukit. Sekeliling bukit merupakan lapangan terbuka. Sejauh mata memandang, hanya berkesan sunyi senyap. Seumpama ada orang mengintai pasti akan ketahuan. Maka itulah tempat seaman-amannya untuk saling mem-buka hati. ***

Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 45 MEMBOBOL PENJARA"

Post a Comment