BENDE MATARAM JILID 44 GUSTI AMAT



Tatang Sontani dan Andangkara saling memandang. Setelah kaum penggerebeg mengangkat kaki, tiba-tiba mereka berseru dengan berbareng: "Kami atas nama seluruh anggota Himpunan Sangkuriang menghaturkan rasa terima kasih setinggi-tingginya kepa-da tuanku Sangaji yang maha besar ..." Dan dalam sekejap mata saja, di depan Sangaji berlututlah ratusan orang dengan caranya masing-masing. Mereka berdesak-desakan seolah-olah takut tiada memperoleh tempat. Sudah barang tentu penghormatan sebesar itu, benar-benar mengejutkan hati Sangaji yang sederhana. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah sekali juga ia mengalami peris-tiwa demikian. Apalagi di antara mereka terda-pat pula Andangkara adik Panembahan Tunjungbiru. Itulah sebabnya, cepat-cepat ia berlutut membalas hormat pula. Tetapi karena dua kali berturut-turut ia menjumpai suatu peristiwa yang berada di luar keadaan hatinya yang asli, ia menjadi gugup dengan tiba-tiba. Keringat dinginnya merembesi seluruh tubuhnya, sehingga ia jadi bergoyangan. Manik Angkeran yang pada saat itu sudah berada di sampingnya, segera menyangganya bangun dan empat orang anggota Himpunan Sangkuriang cepat-cepat menghampiri siap memberi bantuan. "Bawalah tuanku Sangaji ke kamarku, biarlah beliau beristirahat. Siapa saja kularang datang mengganggu Beliau," kata Tatang Sontani dengan nyaring. Empat orang anggota segera membungkuk memberi hormat. Kemudian dengan didampingi Manik Angkeran, Sangaji dipersilakan beristirahat di dalam kamar. Namun baru saja berjalan, ia sudah memperoleh kesadarannya kembali. Segera ia berputar menghampiri Tatang Sontani untuk menolong luka yang dideritanya. "Tidak! Tidak! Kenapa tuanku mesti terburu-buru," ujar Tatang Sontani. "Biarlah kesegaran tuanku pulih kembali. Kami kira belum kasep." "Ya, biarlah tuanku beristirahat dahulu," Dadang Wiranata menguatkan. Sangaji tahu, bahwa di antara mereka Dadang Wiranata yang menderita paling berat. Itulah disebabkan, karena dia menderita luka parah empat kali berturut-turut. Mula-mula kena racun. Kemudian mengadu pukulan sakti dengan Tatang Sontani. Setelah itu mendapat gempuran dari Suryakusumah. Dan yang keempat tatkala ia mencoba membalas menyerang Suryakusumah. Namun ia tak memedulikan keadaan dirinya sendiri. Hati Sangaji yang mulia seketika menjadi terharu. "Aku tak menderita sesuatu," kata Sangaji meyakinkan. "Sebaliknya kalian benar-benar menderita luka parah karena suatu serangan keji. Biarlah aku menolong kalian. Lebih cepat, lebih baik." "Luka kami sudah berangsur menjadi baik," tungkas Simuntang. "Biarlah tuanku beristirahat dahulu." "Mengapa kalian memanggilku dengan se-butan tuanku? Aku yang masih muda belia begini, masakan pantas menerima sebutan de-mikian?" "Ha, sebentar lagi kami akan menjadi bawahanmu. Duduk di hadapanmu tanpa seizinmu, masakan kami akan berani?" ujar Tatang Sontani dengan sungguh-sungguh. "Tuanku," kata Dadang Wiranata menguatkan. "Singgasana Ratu Bagus Boang, kecuali tuanku, siapa lagi yang pantas mendudukinya?" "Tidak! Tidak! Sekali-kali jangan berpikir begitu?" Sangaji menolak dengan terbata-bata. Untuk mengalihkan pembicaraan itu, segera ia menyingsingkan lengan menolong mereka yang menderita. Manik Angkeran dengan sendirinya ikut serta. Malahan dalam penyembuhan dan perawatan, dialah yang memegang peranan. Sedangkan Sangaji merupakan sumber pengembalian tenaga sakti mereka. Hampir delapan hari, mereka berdua bekerja siang dan malam. Dan selama itu, Sangaji memberi penjelasan siapakah Manik Angkeran. Seperti mereka, mula-mula dia tak menge-tahui riwayatnya dengan jelas. Tetapi begitu teringat akan nama Fatimah, ia sudah dapat menebak delapan bagian dengan jitu sekali. Pada hari kesembilan, selagi Sangaji memberi bantuan tenaga sakti kepada Dadang Wiranata, Ratna Bumi dan Dwijendra tiba-tiba terdengarlah suatu lonceng tanda bahaya dari arah timur laut. Otong Surawijaya dan Tatang Sontani terkesiap. Lonceng tanda bahaya sela-manya tak pernah dipukul orang, kecuali apa-bila keadaan benar-benar membahayakan. Maka diam-diam Tatang Sontani berpikir, "Apakah kawan-kawan Alang-alang Cakrasasmita masih berpenasaran, sehingga mereka datang kembali?" Yang berada di situ adalah jago-jago Himpunan Sangkuriang yang sudah banyak makan garam. Meskipun hatinya gelisah namun di hadapan Sangaji sama sekali tak kentara. Mereka bahkan bersikap terlalu tenang. Segera Tatang Sontani memberi isyarat kepada beberapa pengawal pendapa agung agar mencari keterangan. Tapi pada saat itu, lonceng yang berada di sebelah selatan dan barat, terdengar bertalu pula. "Apakah terjadi suatu penyerbuan kembali?" Sangaji minta keterangan. "Tuanku tak perlu bercemas hati," kata Tubagus Simuntang. "Di antara anak buah raja muda Andangkara masih banyak terdapat jago-jago tangguh. Kalau hanya menghadapi bangsa kurcaci, apalah artinya?" Akan tetapi bunyi lonceng tanda bahaya ternyata makin lama makin gencar. Itulah suatu tanda, bahwa musuh yang menyerbu-dataran ketinggian Gunung Cibugis tidak boleh dipandang remeh. "Biarlah aku melihatnya..." Akhirnya Tatang Sontani berkata sambil tertawa "Hm, apakah benar-benar Himpunan Sangkuriang lagi naas, sehingga kena serbu orang-orang luar yang tak keruan juntrungnya? Tuanku Sangaji tenang-tenanglah tuanku di sini." Kesehatan Tatang Sontani belum pulih benar. la masih terpincang-pincang. Meskipun demikian, suaranya tetap gagah berwibawa. Diam-diam Sangaji berpikir, rasanya tidak-lah mungkin mereka datang kembali untuk membuat perhitungan. Tetapi kalau bukan mereka, lantas siapa? Apakah terdapat golongan-golongan Iain yang memasuki pihak Himpunan Sangkuriang? Ya, pastilah yang datang ini terdiri dari golongan lain. Mereka mengetahui, pihak Himpunan Sangkuriang sedang menderita luka parah. Bukankah ini suatu kesempatan bagus untuk mengadakan suatu penggerebegan? Terang sekali jago-jago Himpunan Sangkuriang takkan mampu me-ngadakan perlawanan, meskipun mereka yang menyerbu terdiri dari kurcaci-kurcaci tak berarti. Kalau memaksa diri samalah halnya dengan menyerahkan nyawa sendiri. Pada saat itu, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi letusan di kejauhan. la terperanjat. Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Itulah Kompeni Belanda. "Hai! Mengapa mereka sampai datang pula kemari?" Seorang yang menderita luka parah datang menerobos memasuki kamar peristirahatan. Mukanya penuh darah dan dadanya teriubang dalam. Begitu memasuki kamar, segera ia berseru tersekat-sekat. "Musuh... menyerang... dari tiga jurusan... Rekan-rekan tak sanggup bertahan... senjata bidik..." "Siapa mereka?" potong Otong Surawijaya. lngin orang itu meneruskan berbicara, tetapi tubuhnya lantas roboh terjengkang. Cepat Manik Angkeran menghampiri hendak meno-long. Tetapi nyawanya keburu lenyap, dan dalam pada itu, suara tembakan sambung menyambung kini terdengar makin jelas. Sekonyong-konyong dua orang berlari masuk lagi. Sangaji kenal mereka. Itulah Zaka-ria dan Jajang. Mereka luka parah. Tangan kanan Zakaria terpapas buntung, sedangkan dada Jajang berlobang. Paras muka mereka pucat bagaikan mayat dan seluruh tubuhnya bermandikan darah. Meskipun terluka parah, namun mereka bersikap tenang. Teringatlah Sangaji, betapa mereka berdua mengotot mati-matian sewak-tu mencoba menahannya. Sekarang mereka terluka parah. Terang lawan mereka tidak me-ngenal ampun. Dan mestinya sangat kejam. "Raja muda Tatang Sontani, Otong Surawi-jaya dan junjungan kami sekalian... orang-orang yang menyerbu terdiri dari berma-cam-macam golongan. Selain kompeni Be-landa, nampak pula pasukan dari Kerajaan Banten," kata mereka setelah membungkuk. "Ha, masakan kompeni sampai berani pula menginjak pada dataran ketinggian Gunung Cibugis? Benar-benar sial," seru Tatang Sontani. "Pemimpin mereka seorang tua yang me-ngenakan jubah pendeta. Ia bersenjata pedahg Sangga Buwana dan didampingi oleh dua orang lagi yang pukulannya dahsyat luar biasa," kata Zakaria lagi. Mendengar nama pedang pusaka disebut-sebut, Sangaji terkejut. "Apakah benar-benar pedang Sangga Buwana? Kalian tak salah lihat?" Tatang Sontani menegas. "Sewaktu kami berdua mencoba menahan serbuan mereka, kedua pedang kami kena ter-tebas seperti terajang tak terduga, lengan dan dada kami berdua ikut pula tertetas," ia ber-henti. Kemudian berputar menghadap Sangaji. Seperti saling berjanji, mereka membungkuk dengan berbareng lalu berkata, "Tuanku Sangaji... ampunilah perbuatan kami berdua. Karena salah sangka, hampir saja kami berdua menghancurkan pekerjaan tuanku yang maha besar dan maha penting... ampunilah kami..." Dan tiba-tiba mereka jatuh terjengkang. Mereka tewas hampir berbareng pula. Pemandangan demikian, bagi Tatang Son-tani, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Smuntang dan Walisana adalah suatu kejadian yang biasa. Sama sekali mereka tiada memperlihatkan suatu kesan. Sebaliknya Sangaji menjadi terharu. Itulah disebabkan, karena kesederhanaan serta kemuliaan hatinya. Dengan Jajang dan Zakaria, ia hahya kenal melalui suatu pertarungan. Hatinya gemas, karena berdua begitu membandel serta men-jengkelkan hatinya. Namun demikian dalam hatinya ia sudah mengampuni. Itulah sebab-nya, begitu menyaksikan nasib mereka berdua yang harus mati juga ia merasa sayang. Pada saat itu Dwijendra dan Ratna Bumi memasuki ruang kamar dengan ditandu oleh anak-buah masing-masing. Melihat kedatang-an mereka berdua, Otong Surawijaya yang beradat berangasan terus saja menggere-meng. "Benar-benar kita sial, sampai-sampai begundal-begundal Kerajaan Banten berani mendaki Gunung Cibugis. Kompeni yang biasanya mengeram dalam kandangnya, kali ini mengapa begini berani menjual kepalanya di sini? Hm... aku bersumpah selama hayat masih dikandung badan, takkan aku hidup berbareng dengan mereka di kolong langit ini..." Belum lagi selesai ia berbicara, Andangkara masuk pula ke ruang dengan tongkat. Kata Andangkara kepada Sangaji, "Anakku Sa-ngaji, kau tak usahlah ikut merasakan kesi-bukan kami ini. Memang benar-benar kurang ajar... budak-budak Kerajaan Banten berani mencoba-coba melabrak kemari..." Mendengar ucapan Andangkara, Tatang Sontani mengkerutkan dahi. Dia adalah seo-rang yang berwatak saksama dan hati-hati. Maka diam-diam ia berpikir di dalam hati, laskar kerajaan Banten, mungkin masih bisa ditahan di lereng gunung. Tetapi menghadapi kompeni yang bersenjata bidik adalah soal lain. Celakalah, kita semua mati tidak, hidup pun belum. Di antara para raja muda Himpunan Sang-kuriang, Tatang Sontani berkedudukan yang paling tinggi. Ia seorang pendekar yang luas pengetahuan dan penglihatannya, Andangkara dan rekan-rekannya yang sederajat bukan pula berarti lebih rendah pengetahuannya daripada dia. Mereka adalah jago-jago yang sudah banyak mengalami pasang surutnya suatu perjuangan serta sudah masak tergodog oleh bahaya-bahaya besar. Dan selamanya mereka bisa mengatasi atau menghindari dengan ca-ranya masing-masing. Tapi kali ini, mereka semua merasa mati kutu. Musuh ternyata menyerang dengan besar-besaran, sedangkan mereka masih saja lumpuh oleh parahnya, meskipun sudah agak mendingan daripada sebelum kena tolong Sangaji dan Manik Ang-keran. Karena itu mereka sadar, bahwa ajalnya sudah berada di ambang pintu. Terhadap Sangaji, meskipun belum pernah menyatakan kata sepakat dengan bersama, namun dalam hati, mereka sudah meman-dangnya sebagai Pemimpin Besarnya tak ubah Ratu Bagus Boang pendiri Himpunan Sangkuriang. Maka dengan tak disadari sendiri, mereka mengharapkan bantuan pikir-an anak muda itu untuk dapat mencarikan jalan mengatasi bahaya kehancuran, seperti yang sudah diperlihatkan sewaktu menghadapi kaum penyerbu. Sebaliknya, pada saat itu Sangaji pun se-dang memeras otaknya. Ia tahu, bahwa ilmu saktinya lebih tinggi dari pada mereka semua. Tapi hatinya yang sederhana meragukan kemampuan akal pikirannya sendiri. Mereka semua menghadapi jalan buntu dan belum memperoleh jalan keluar. Apalagi dirinya yang selamanya disebut sebagai anak tolol oleh guru dan Titisari. Betapa ia berani merasa diri lebih unggul daripada mereka. Tak terasa ia menyesali Suryakusumah yarig mencelakai mereka semua dengan cara curang. Dari teringat kepada Suryakusumah, tiba-tiba sesuatu ingatan menusuk di dalam benaknya. Terus saja ia berkata, "Ah ya ... mari kita bersembunyi di dalam gua di sebe-rang lapangan. Pastilah musuh tak bisa mengetahui dengan segera. Andaikata mereka akhirnya mengetahui juga, setidak-tidaknya mereka tidak mudah memasuki gua tersebut." Sangaji mengira, bahwa usulnya merupakan suatu pendapat yang jitu. Itulah sebabnya, suaranya bersemangat. Di luar dugaan mereka menyambut usul itu dengan saling pandang serta bersikap dingin. Meskipun tidak melepaskan sepatah katapun, tetapi Sangaji yang perasa seolah-olah sadar bahwa usulnya tidak dapat mereka lakukan. Maka ia berkata meyakinkan lagi, "Seorang laki-Iaki sejati harus pandai melihat keadaan. Kita menderita luka parah. Untuk menyingkiri sementara waktu, bukannya berarti memerosotkan derajat kita. Nanti manakala sudah sembuh seperti sedia kala, kita muncul kembali untuk menggempur mereka habis-habisan." "Pendapat tuanku Sangaji sangat bagus," kata Tatang Sontani kemudian. Ia memanggil seorang pengawal. Memberi perintah, "Hantarkan tuanku Sangaji ke benteng Halimun!" "Hai! Bukankah kita semua menyingkir di dalam gua itu bersama-sama?" potong Sangaji tercengang. "Tuanku pergilah mendahului, sebentar lagi kami semua menyusul," sahut Tatang Sontani. "Hai! Apa artinya ini?" serunya lantang. Ia menimbang-nimbang sebentar. Terasa di dalam hati, mereka enggan meninggalkan Markas Besar. Lantas saja ia berkata, "Paman sekalian, aku Sangaji meskipun aku bukan anggota Himpunan Sangkuriang, tetapi sedikit-sedikit sudah pernah hidup senasib sepenanggungan dengan paman sekalian. Memang belumlah boleh dianggap sebagai sahabat sehidup semati. Namun apabila aku mengajak menyingkir ke dalam gua bukan semata-mata demi keselamatan aku seorang sedangkan paman-paman tidak sudi, rasanya akupun tidak seharusnya takut mati." "Tuanku Sangaji, janganlah salah paham," tungkas Tatang Sontani gugup. "Soalnya, karena kami dilarang memasuki gua Halimun itu. Siapa saja yang berani memasuki gua Halimun, kecuali Pemimpin Besar kami, akan dihukum mati. Di antara kami sekarang, hanyalah tuanku dan saudara Manik Angkeran yang bukan termasuk anggota himpunan. Karena itu, larangan itu tidak berlaku bagi tuanku dan saudara Manik Angkeran." Mendengar penjelasan itu, Sangaji heran. Diam-diam timbullah suatu pertanyaan di dalam hatinya: Apa sebab gua Halimun menjadi larangan besar bagi setiap anggota himpunan, sampai pula mereka raja-raja muda tidak berani melanggar? Mau ia menyatakan pertanyaan itu, tiba-tiba terdengarlah suara pertempuran bertambah dekat. Suara tembakan dan sorak sorai menjadi lantang dan keras. Kadangkala melengkinglah seseorang yang kena tikaman maut pastilah yang berte-riak melengking itu anggota Himpunan Sangkuriang. Maka siapa saja tidak ragu-ragu, bahwa pihak lawan memperoleh kemenangan di segala bidang. Sangaji terpengaruh oleh suara berisiknya pertempuran itu, sehingga perhatiannya berubah. Katanya di dalam hati, tidak lama lagi musuh tiba di dataran ini dan pastilah mereka semua dalam bahaya. Gua Halimun adalah satu-satunya jalan. Memperoleh keputusan demikian, ia bertanya: "Apakah peraturan larangan memasuki gua Halimun, tidak dapat diubah?" Dengan muka muram, Tatang Sontani menggelengkan kepala. Kemudian menundukkan kepala. Selagi Sangaji hendak menyelidiki apa sebab Tatang Sontani begitu berahasia, mendadak terdengarlah suara Raja Muda Dwijendra yang selama itu berdiam diri. Katanya, "Saudara-saudaraku, teman-temanku seperjuangan, dengarkan aku hendak berbicara. Saat ini selagi kita bisa berbicara sebenarnya Himpunan Sangkuriang sudah tenggelam bersama kita beberapa hari yang lalu. Tapi berkat ilmu sakti tuanku Sangaji yang tinggi, Himpunan Sangkuriang terhindar dari suatu malapetaka. Terhindar dari kemusnahan. Itulah sebabnya, aku kini menyatakan diri entahlah kalian setuju atau tidak, hendak mengabdikan diri kepadanya sebagai balas jasa. Rasanya, aku tidak malu mengusulkan dia sebagai pengganti junjungan kita Ratu Bagus Boang yang lenyap digulung sejarah. Sekarang kalau Pemimpin Besar kita, Gusti Sangaji memberi perintah kepada kita untuk menyingkirkan diri ke gua Halimun, aku akan mendahului berangkat. Karena Beliau kini sudah kuanggap sebagai Pemimpin Besar Himpunan Sangkuriang yang kelak akan membina hidup dan matinya himpunan kita. Nah, bagaimana pendapat kalian?" Sebenarnya Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Tubagus Simuntang, Walisana, Ratna Bumi dan Andangkara sudah mempunyai niat untuk mengangkat Sangaji sebagai pengganti Gusti Ratu Bagus Boang. Hanya saja masing-masing merasa segan, berhubung di antara mereka sudah lama terjadi suatu perpecahan. Sekarang Dwijendra menyatakan hai itu sebagai pembuka jalan. Sudah barang tentu, serentak mereka me-nyetujui. Malahan mereka lantas menyokong dengan suara bulat. Sebaliknya, begitu Sangaji mendengar suara pernyataan mereka, dengan gugup ia menolak dengan menggoyang-goyangkan tangan. Katanya dengan wajah berubah hebat. "Tidak! Tidak! Sewaktu paman-paman memanggilku dengan menggunakan istilah tuanku, hatiku risih bukan main. Sekarang, paman-paman bahkan hendak mengangkat aku untuk men-duduki kursi pimpinan tertinggi ... ah, betapa mungkin! Lihatlah, paman sekalian! Aku masih muda belia! Lagipula tiada pengalamanku sekelumitpun tentang tata pemerintahan. Ya, bagaimana aku harus berani menduduki tahta pimpinan yang begitu agung dan mulia. Karena itu, aku terpaksa menolak usul paman-paman sekalian." "Aku adalah adik Ki Tunjungbiru," kata Andangkara. "Engkau pernah berkata kepadaku, bahwa engkau menganggap kakakku itu sebagai Akimu sendiri. Menurut pantas, engkau harus memanggil aku dengan sebutan Aki pula. Namun aku memanggilmu dengan tuanku. Malahan kini, aku akan mulai menyebutmu sebagai Gusti. Ya, Gusti Sangaji! Sebab engkaulah memang junjungan kita pada masa datang." "Apakah aku tidak mempunyai hak suara yang patut tuanku dengar?" ujar Tubagus Simuntang. "Himpunan Sangkuriang sudah terlalu lama hidup tanpa pimpinan. Akibatnya saling bentrok dan saling memfitnah. Malahan saling membunuh pula. Kini muncullah Tuan di tengah-tengah kami. Dan kami semua setuju dan benar-benar bersedia tunduk serta patuh kepada tuanku." Mendengar ucapan kedua raja muda itu, hati Sangaji terharu bukan main. Bukan karena mereka bersikap merendah dan menjunjung tinggi dirinya, tetapi sikap kerelaan serta ketulusan hatinya demi kesejahteraan Himpunan Sangkuriang di kemudian hari. Namun masih saja ia berbimbang-bimbang. Di dalam benaknya, teringatlah dia kepada tokoh yang menamakan diri Gusti Amat. Inilah saat yang sebaik-baiknya untuk minta penjelasan. Tetapi kala itu, suara tembakan dan kegaduhan pertempuran sudah berada di ambang dataran ketinggian Gunung Cibugis. Rasanya tidaklah mungkin lagi ia menerima penjelasan yang diperlukan. Dalam pada itu terdengarlah suara Raja Muda Walisana dan Ratna Bumi si pendiam. "Tuanku! Menghadapi saat-saat genting, seorang laki-laki harus dapat berpikir cepat dan mengambil keputusan yang bijaksana. Kami semua sudah mengambil suatu keputusan yang tak pernah terjadi semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Karena itu, kami kira tidak ada alasan kita lagi yang bisa menumbangkan keputusan kami dengan suara bulat itu." "Ya, benar," sahut raja-raja muda lainnya. Sangaji merasa diri terdesak. Menimbang, bahwa keadaan sangat genting, ia bersedia membatalkan pertanyaan tentang diri Gusti Amat. Pikirnya di dalam hati, biarlah jabatan ini kuterimanya dahulu. Perlahan-lahan aku akan minta penjelasan tentang Gusti Amat. Dan setelah memperoleh pikiran demikian, segera ia berkata memutuskan. "Baiklah. Paman-paman sekalian begitu menghargai diriku. Kalau aku menolak, rasanya aku justru merugikan pendiri Himpunan Sangkuriang ini. Biarlah sementara waktu aku menjabat kursi pimpinan seperti kehendak paman-paman sekalian. Tetapi manakala bahaya sudah terlampui, aku mohon agar paman sekalian memilih seorang pandai yang tepat menduduki jabatan ketua kalian." Mendengar keputusan Sangaji, sekalian raja muda bersorak berbareng. Dan sorak mereka disambung oleh para pengawal yang berada di luar pintu. Sebentar kemudian sorak itu sam-bung menyambung dan akhirnya mengguruh ke angkasa seumpama dataran ketinggian Gunung Cibugis bergetar seperti hendak gempa bumi. Benar-benar hebat pengaruh sorak itu. Musuh sudah berada di ambang pintu. Bahaya besar sedang mengancam, namun mereka seakan-akan tidak menghiraukan karena hatinya penuh syukur dan girang luar biasa. Maklumlah, semenjak lenyapnya Gusti Ratu Bagus Boang, Himpunan Sangkuriang hidup tanpa pimpinan lagi. Masing-masing raja muda malah saling memisahkan diri. Lalu berdiri sendiri. Akhirnya saling bermusuhan serta bunuh membunuh. Dan sekarang, se-orang pemimpin besar muncul dengan tak ter-duga. Hebat wibawanya sampai raja-raja muda yang biasanya tak sudi tunduk kepada siapa saja, bersedia bertekuk lutut mengabdikan diri. Inilah pemimpin Besar yang dijanjikan sejarah. Masa depan Himpunan Sangkuriang yang gemilang, rasanya sudah nampak jelas terbayang di hadapan sekalian anggota himpunan. Memperoleh perasaan demikian semua orang anggota himpunan yang berjumlah ribuan orang, bertekuk lutut sambil bersembah menghadap pintu Gedung Markas Besar. Tak peduli mereka berada di bawah naungan panji-panji masing-masing. Mereka nampak ikhlas. Bahkan Andangkara adik Ki Tunjungbiru yang pantas menjadi Aki Sangaji bertekuk lutut pula sambil bersembah kepada Sangaji. Mereka semua menyerukan suatu pengakuan dengan serentak: "Hidup raja kami, Gusti Sangaji! Gusti Sangaji! Gusti Sangaji!" "Silakan semua bangun!" kata Sangaji de-ngan gugup. Kemudian karena sangat memikirkan keselamatan seluruh anggota him-punan dia berkata memerintahkan kepada Tatang Sontani. "Paman Tatang Sontani, se-karang perintahkan sekalian anggota himpunan agar memundurkan diri ke dalam gua Halimun. Bawa semua perbekalan. Dan musnahkan semua bangunan yang berada di atas dataran ketinggian ini!" Dengan membungkuk Tatang Sontani meneruskan perintahnya. Dan dengan tertib sekali pasukan panji-panji yang kini bernaung di bawah panji besar Himpunan Sangkuriang, bergerak memasuki gua Halimun dengan semangat berkobar-kobar di dalam dadanya. Setelah mereka menghilang di dalam gua, barulah para raja-raja muda ditandu masuk. Kini tinggal beberapa orang saja yang bertugas membumihanguskan semua bangunan yang berada di atas dataran ketinggian. Api berkobar-kobar menyala memenuhi dataran. Dan lawan yang berhasil memasuki dataran tidak berani mendekat, walaupun jumlahnya besar. Bahkan kompeni yang bersenjata bidik, tidak berdaya menghadapi api. Setelah pasukan yang menunaikan tugas akhir selesai, mereka memasuki gua pula. Lantas saja pintu-pintu penghubung ditutup atau diputuskan. Maka mereka berpisah dari dunia luar. Sekarang meskipun seekor semut-pun tak dapat memasuki. Sebab antara gua dan seberang dataran menghadang suatu jurang dalam dan tebingnya yang tinggi curam. Kebakaran itu berlangsung sampai lima malam lamanya. Markas Besar Himpunan Sangkuriang dahulu, didirikan atas perintah Ratu Bagus Boang pada zaman Ratu Fatimah mulai berpengaruh di dalam Kerajaan Banten. Umurnya hampir mencapai seratus tahun. Sekarang musnah dengan cepat tinggal tum-pukan puing-puingnya belaka. Siapa saja akan menjadi terharu apabila teringat sejarahnya. Namun demikian, setiap anggota meman-dangnya dengan penuh ikhlas. Karena runtuh-nya gedung bersejarah itu adalah atas perintah pemimpin besarnya yang baru. Dengan begitu terasalah, betapa berwibawa Sangaji dan beta-pa patuh mereka kepada semua perintah-perintahnya. lnilah suatu kejadian yang ajaib. Mimpipun tak pernah, bahwa anak muda yang dahulu terkenal tolol dan anak seorang janda miskin, bisa menduduki tahta kewibawaan demikian tinggi. . Setelah api padam, musuh mencoba membongkar tumpukan puing-puing. Mereka me-nemukan puluhan anggota Himpunan Sangkuriang yang sudah mati terbakar. Sebenarnya mereka semua sudah tewas sebelum terbakar. Mereka dilemparkan ke dalam api, untuk me-ngelabui lawan. Benar juga, lawan mengira bahwa yang mati adalah para pemimpin Himpunan Sangkuriang, karena berputus asa. Maklumlah, muka mereka tak dapat dikenali lagi. Maka setelah memperoleh kesimpulan demikian, dengan puas lawan meninggalkan dataran ketinggian Gunung Cibugis dengan perasaan puas. Dalam pada itu, Tatang Sontani dengan rekan-rekannya sudah menempatkan kedudukan pasukan-pasukan bawahannya. Ternyata yang disebut gua Halimun, benar-benar merupakan sebuah lapangan luas yahg terlindung oleh pagar tebing tinggi dengan jalan-jalan rahasianya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar batu penuh bekal makanan. Meskipun dimakan oleh dua puluh ribu manusia, tidak akan habis selama dua bulan. Di dalam gua tersebut semua anggota Himpunan Sangkuriang hidup menurut petunjuk pemimpinnya masing-masing. Mereka sangat tertib dan tidak berani bergerak dengan sembarangan, karena tahu bahwa gua Halimun merupakan daerah larangan serta dipandang keramat. Hanya para raja muda pada setiap kali datang mengunjungi Sangaji yang sudah merupakan pemimpin besar mereka. Dengan hati terbuka, Sangaji mengisahkan riwayat hidupnya sampai datang ke dataran ketinggian Gunung Cibugis. Seperti diketahui, ia tak pandai bercerita. Namun di hadapan mereka, ia memaksa diri agar dapat bercerita sebanyak mungkin. Dan usahanya sedikit banyak membawa hasil juga. Setidak-tidaknya jauh lebih baik daripada biasanya. "Satu hal yang kini hendak kupinta keterangan dari sekalian," akhirnya dia berkata mengesankan. "Manakala aku sudah menerima penjelasan, hatiku akan tenteram dan lebih mantap." "Apakah itu?" sahut raja muda dengan serentak. "Siapakah sebenarnya yang disebut Gusti Amat? Menurut keterangan, beliaulah yang menduduki kursi pimpinan. Karena itu, aku berniat hendak mengembalikan kedudukanku kini kepada Beliau." Tatang Sontani, Dadang Wiranata, Tubagus Simuntang, Andangkara dan raja-raja muda lainnya saling berpandangan. Mereka seperti kehilangan sesuatu yang terenggut dengan tiba-tiba. Lalu, setelah melalui keheningan beberapa saat lamanya, Andangkara berkata kepada Tatang Sontani. "Sontani! Hayolah, kau mewakili kami semua memberi keterangan kepada junjungan kita. Dengan begitu, awan gelap akan tersapu untuk selama-lamanya!" Mendengar ucapan Andangkara, raja-raja muda lainnya segera menyokong. Maka dengan takzim Tatang Sontani menghadap Sangaji. Kemudian berkata menerangkan. "Gusti Sangaji! Himpunan Sangkuriang ini didirikan oleh almarhum Ratu Bagus Boang. Seperti diketahui, Ratu Bagus Boang adalah salah seorang putera mahkota Kerajaan Ban-ten. Hanya sayang, ia tidak dapat naik tahta, berhubung kelemahan hati Sultan tua. Dan akhirnya tahta kerajaan jatuh kepada Ratu Fatimah seorang janda bekas isteri letnan VOC." "Ya, aku tahu," potong Sangaji. "Baik," Tatang Sontani menyahut cepat. Meneruskan, "Himpunan Sangkuriang kami terbagi menjadi dua sayap yang diduduki oleh enam orang raja muda. Merekalah: Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Ratna Bumi, Dwijendra, Andangkara dan Walisana. Kemu-dian Tubagus Simuntang menempati sebagai penghubung seumpama leher kita. Sedangkan para penasihat, terdiri dari almarhum Ki Tapa, Maulana Syafri, Suryapranata, Ki Tunjungbiru, hamba sendiri dan Diah Kartika." "Diah Kartika?" Sangaji kaget. "Ya, apakah Gusti Sangaji kenal dia?" Sangaji diam menimbang-nimbang. Kha-watir akan mengganggu jalannya keterangan, ia hanya mengangguk kecil. Kemudian berkata, "Teruskan!" "Semula, sewaktu Gusti Ratu Bagus Boang masih hidup, keadaan kita bersatu padu. Tetapi setelah beliau hilang tiada kabarnya, mulailah para raja muda memisahkan diri. Masing-masing mempunyai panji, lambang kekuasaannya, Obor Menyala, Kuda Sembra-ni, Keris Sakti, Bintang, Garuda dan Bunga Merekah. Hambapun tidak luput dari segala kesalahan. Hamba sengaja menduduki Ge-dung Markas Besar sebagai pusat pemerinta-han. Mereka boleh saling tikam dan boleh saling memusnahkan, namun takkan mungkin mereka berani memusnahkan Gedung Markas Besar sebagai lambang kejayaan Himpunan Sangkuriang. Demikianlah keyakinan hamba." "Eh, mengapa tak berterus terang saja?" tungkas Otong Surawijaya. "Kau mengharap agar kita semua mampus, bukan? Lalu kau akan mengumpulkan sisa-sisa anak buah kita. Dengan begitu kau akan dicatat sejarah seba-gai seorang raja muda yang memiliki seluruh pasukan panji-panji, memang kau hebat!" "Otong! Apakah kau tak bisa menutup mulutmu," tegur Dwijendra. "Dia sudah kita percayai untuk mewakili mulut kita. Nah, de-ngan begitu tak berhak kau membuka mulut-mu ... Otong Surawijaya hendak mendamprat lagi-. Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa di hadapannya kini sudah ada seorang pemimpin besarnya. Maka mau tak mau ia membatalkan niatnya sendiri. "Pada suatu hari Ki Tunjungbiru datang ke-pada hamba," Tatang Sontani meneruskan. "Dia datang atas nama seluruh raja-raja muda, katanya. CIntuk mengatasi perpecahan, dia mengusulkan agar membentuk seorang ketua himpunan bayangan.". 'Pemimpin bayangan bagaimana?' hamba minta keterangan. Untuk mengatasi penyakit kanak-kanak yang terjangkit di segala bidang. Bukankah perpecahan dan perebutan kekuasaan dengan segala kuman-kumannya adalah suatu penyakit kanak-kanak?' katanya. 'Kalian boleh hancur, tetapi tidak boleh membawa hancur Himpunan Sangkuriang. Semata-mata disebabkan suatu nafsu besar hendak menduduki tahta pengganti Gusti Ratu Bagus Boang. Itulah sebabnya, aku mengusulkan seorang pemimpin atau ketua bayangan, seumpama bendera putih kita. Betapapun besar jurang kehancuran, namun apabila salah seorang raja muda menggunakan bendera putih tersebut, masing-masing harus memundurkan. Barang siapa melanggar pantangan itu, semua raja muda akan datang menghancurkan.' 'Apakah maksudmu, semua raja muda boleh menggunakan nama ketua bayangan itu?' hamba minta keterangan. 'Demi persatuan atau tujuan ke dalam, boleh. Tetapi ke luar, akan diselenggarakan oleh penasihat Maulana Syafri,' kata Ki Tunjungbiru. Dan nama ketua bayangan itu, kita sebut dengan Gusti Amat. Nama itu seumpama sebuah jembatan penghubung antara raja muda yang satu dengan yang lainnya. Umpamanya raja muda Otong Surawijaya selalu bentrok dengan hamba. Tapi pada suatu hari, markas besar terancam bahaya. Hamba membutuhkan bantuannya demi keselamatan Himpunan Sangkuriang seluruhnya. Untuk datang sendiri, tidaklah mungkin. Leher hamba bisa dikutungi. Tetapi manakala hamba mengirimkan sehelai kartu undangan atas nama Gusti Amat, maka dia akan datang memenuhi semata-mata mengingat nama Himpunan Sangkuriang." Sangaji mendengarkan uraian Tatang Son-tani dengan saksama. Tiba-tiba teringatlah dia kepada peristiwa di luar kota Jakarta. "Beberapa kawan datang ke rumahku atas perintah Gusti Amat. Siapakah yang memegang peranan Gusti Amat itu?" "Sudah hamba terangkan, bahwa urusan luar akan diperankan oleh penasihat Maulana Syafri. Dia berhak menggunakan atau memerankan nama Gusti Amat, setelah mendapat persetujuan dari Dewan Penasihat yang terdiri dari, hamba sendiri, Suryapranata, Ki Tunjungbiru dan dia sendiri. Dan semua sepak ter-jangnya atau setiap keputusan Dewan Penasihat akan diteruskan kepada raja-raja muda untuk diketahui. Dengan demikian, setiap raja muda akan bisa memeriksa sepak terjang Dewan Penasihat pula yang bertindak atas nama Himpunan Sangkuriang." Mendengar penjelasan itu, hati Sangaji kagum bukan main. Terasa dalam hatinya, bahwa Himpunan Sangkuriang benar-benar merupakan suatu organisasi yang tertib dan berwibawa. Maka ia menegas lagi, "Jadi Gusti Amat benar-benar bukan nama seseorang?" "Bukan," mereka menyahut hampir serentak. Sangaji diam merenung-renung. Sejenak kemudian berkata memutuskan. "Paman sekalian. Tadinya, aku berani menerima jabatan ketua himpunan karena bersandar kepada nama agung itu. Kelak aku akan mengembalikan kepadanya. Ternyata nama itu hanyalah semacam nama sebutan belaka. Meskipun demikian, aku tetap mengharap kepada paman sekalian agar di kemudian hari mencari seseorang yang benar-benar pandai dan benar-benar tepat sebagai ketua paman sekalian." "Tetapi apakah bedanya antara Gusti Amat dan Gusti Sangaji?" tungkas Tatang Sontani. "Ada bedanya," seru Otong Surawijaya. "Bedanya Gusti Amat hanya suatu nama bayangan, sedangkan Gusti Sangaji benar-benar ada." "Ya, benar," kata Dadang Wiranata. "Kali ini kau bisa berkata benar." Mendengar perkataan Dadang Wiranata, rekan-rekannya tertawa bergegeran. Memang, selamanya Otong Surawijaya hanya merupakan tukang damprat. Tapi kali ini, benar-benar bermata tajam. Maka diam-diam mereka menyetujui pendapatnya. ***

Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 44 GUSTI AMAT"

Post a Comment