BENDE MATARAM JILID 38 PUKULAN BINTANG BERCACAH
DIMANAKAH
letak Gunung Cibugis? Inilah suatu hal yang tak pernah terpikirkan dalam otak
Sangaji. Dan sekarang, setelah pemuda itu bersiap-siap hendak berangkat jadilah
suatu masalah yang pelik. Dahulu tatkala dia belajar di sekolah kom-peni ilmu
bumi merupakan salah satu mata pelajaran yang penting. Maklumlah, sekolah
tempat ia belajar adalah sebuah sekolah yang didirikan kompeni dan
diperuntukkan khusus bagi anak-anak kompeni. Karena ilmu bumi berhubungan erat dengan
tugas hidup se-orang militer, maka ilmu itu merupakan mata pelajaran yang
penting. Hampir nama seluruh kota sampai ke pelosok-pelosok desa terma-suk
sungai dan gunungnya dijejalkan penuh-penuh dalam benak murid-murid. Itulah
sebabnya, ia tidak menaruh perhatian khusus terhadap nama gunung tersebut.
Pikirnya ia akan dapat menemukan nama gunung itu dengan mudah di dalam peta
bumi. Tetapi setelah membuka-buka peta Jawa Barat, nama gunung itu tiada.
Dengan saksama ia menyelidiki nama gunung-gunung di seluruh wilayah Jawa Barat.
Mulai dari Gunung Gede, Aseupan, Karang, Pulasari, Gembol, Bentang sampai
kepada Gunung Sawal dan Gunung Pojoktiga. Namun nama Gunung Cibugis, tiada. Ia
menemukan sekelompok gunung-gunung yang menarik. Itulah Gunung Sanggabuwana, Halimun,
Ken-deng dan Salak. Besar dugaannya, bahwa Gunung Cibugis mungkin berada di
sekitar daerah itu. Tetapi mengingat waktunya sangat sempit, sedangkan arah
kepastiannya belum diperoleh diam-diam ia menyesali kesemberonoannya sendiri.
Andaikata Titisari berada di sampingku, biarpun mencari sebuah gua di dalam
wilayah seluas ini, pastilah akan berhasil dengan cepat. Tapi Titisari
sekarang... ia berkata dalam hati. Dan begitu teringat Titisari, semangatnya
seperti lumpuh sebagian. Pikirannya lantas menjadi gelap. Kala itu rembang
petang telah tiba dengan diam-diam. Segera ia berkemas-kemas. Ia sudah
mengambil keputusan tidak membawa serta si Willem, agar tidak menimbulkan
ke-curigaan orang. Juga senjata apa pun tidak dibawanya. Ia yakin kepada
kesanggupan diri-nya. Tanpa senjata dan tiada berkuda, jauh lebih leluasa dan
jauh lebih cepat.
Teringatlah
dia, gurunya Gagak Seta, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati dahulu pernah
beradu lari semalam suntuk dalam jarak yang tidak dekat. Mereka tetap sehat
walafiat tak kurang suatu apa. Ia belum pernah mencoba tenaga saktinya untuk
berlari-lari kencang dalam jarak panjang. Tapi mengingat kesanggupan dirinya
kini sudah melebihi kesaktian mereka, pastilah hal itu bukan merupakan suatu
masalah yang tidak mungkin. Maka dengan berbekal keyakinan itu, berangkatlah
dia meninggalkan kota Jakarta mengarah barat daya. Ia mengambil simpang-simpang
jalan untuk menghindari penglihatan orang. Mula-mula hanya berlari-larian
kecil. Setelah berada di luar kota, segera ia mengerahkan tenaganya dan melesat
dengan mengerahkan ilmu saktinya yang tinggi. Meskipun boleh dikatakan hampir
tak pe-nah berlatih, tapi ilmu lari Sangaji kala itu sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Tatkala hampir tepat tengah malam, ia sudah melalui jarak tiga
ratus kilometer lebih. Kira-kira satu jam kemudian, hujan turun rintik-rintik.
Segera ia berlindung di bawah pohon dan beristirahat di atas batu besar. Di
atas, awan tebal menutupi udara. Tiada sebuah bintangpun nampak mencongakkan
diri.
Nampaknya
malam ini tiada harapan untuk melihat udara cerah. Kalau aku membiarkan diri
menunggu perubahan udara, bukankah akan membuang-buang waktu saja? pikirnya.
Dan memikir demikian, segera ia mengumpul-kan semangatnya. Kemudian
berlari-lari lagi sambil menjelajahkan matanya yang sangat tajam. Seberang
menyeberang jalan sunyi senyap. Angin dingin basah meniup keras. Kadang-kadang
ia melihat kejapan pelita di kejauhan. Itulah kelompok-kelompok desa yang
tertebar di tempat-tempat tertentu. Namun untuk berharap bertemu dengan seseorang
di tengah malam begitu dingin, tidaklah mungkin terjadi. Sesudah berlari-lari
cepat mengikuti jalan desa, ia tiba di persimpangan jalan. Teringat akan sepak
terjang gurunya Gagak Seta, ia berhenti sebentar memeriksa sekelilingnya. Guru
selalu meninggalkan tanda-tanda ter-tentu manakala dalam perjalanan. Juga
paman-paman guru dan pendekar-pendekar lainnya. Entah tata-cara
pendekar-pendekar Jawa Tengah berlaku pula di Jawa Barat sini entah tidak,
pikirnya. Ia membiak-biak gerumbul semak dan memeriksa batang pohon. Benar
saja. Pada sebuah batu besar ia menemukan gambar pe-dang silang dengan sebuah
obor. Ia girang, karena tanda itu sesuai dengan tanda pengenal pendekar Kosim
yang diterimanya dari Suhan-da. "Gambarnya mengarah ke selatan. Pastilah
ini suatu petunjuk arah Gunung Cibugis." Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus
membelok ke selatan. Pada fajar hari, ia tiba di sebelah utara Rangkasbitung.
Sesudah mengisi perut, ia meneruskan perjalanannya lagi. Di tempat simpang tiga
Kali Ci Ujung, Ci Simeut dan Ci Berang, diketemukan sebuah gambar obor menyala
pula. Ia bertambah girang dan mera-sa pasti bahwa arah perjalanannya tidak
salah. Maka dengan semangat penuh, ia menyusur lembah Kali Ci Berang. Dan tepat
menjelang pagi hari, muncullah Gunung Endut di depan matanya. Di sebuah
gundukan tanah, ia menemukan sebuah batu besar. Di sana ia merebahkan diri
untuk beristirahat barang sebentar. Hawa di pegunungan jauh berlainan daripada
hawa semalam, karena itu tidaklah mengherankan bahwa ia tertidur dengan
perasaan tenang. Kira-kira matahari sepenggalan tingginya, Sangaji sudah
selesai membersihkan dirinya. Perasaan tubuhnya segar bugar. Segera ia duduk di
atas tanah hendak bersemadi mengumpulkan tenaga saktinya. Mendadak saja
pendengarannya yang tajam luar biasa menangkap suara derap kuda memasuki jalan
pegunungan. Gunung Endut ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gunung yang
mempunyai arti. Apa sebab sepagi ini ada serombongan orang berkuda mendaki
lerengnya? pikirnya, la bercuriga, dan membatalkan niatnya hendak bersemadi.
Kemudian ia melesat ke belakang onggok batu menjenguk ke jalan. Cepat sekali
larinya rombongan berkuda itu. Mereka memasuki petak hutan dan sebentar saja
lenyap dari penglihatan. Sanga-ji segera menguntitnya dari jarak tertentu. Bagi
dia yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia, tidaklah perlu khawatir
akan ketahuan. Ternyata mereka menuju ke sebuah perta-paan yang terlindung oleh
semak semak belukar. Lantas terdengar seorang di antara mereka berseru.
"Kami berempat pengawal Kerajaan Banten ingin menghadap ke duli tuanku
Maulana Ibrahim. Kami berempat memohon pertolong-an duli tuanku." Seruan
itu melengking keras luar biasa. Suatu tanda bahwa tenaga sakti orang itu tak
boleh diabaikan. Namun beberapa saat ia menunggu, tiada juga memperoleh jawaban
yang dikehendaki. "Tuanku Maulana Ibrahim! Kami berempat menderita luka
parah. Masakan tuanku akan membiarkan kami mati tiada liang kubur?" orang
itu berseru lantang lagi. Sejenak lagi ia menunggu. Kemudian mem-beri isyarat
kepada teman-temannya agar turun dari punggung kuda. Setelah itu, mereka
berempat duduk bersimpuh seakan-akan hendak menghadap rajanya sendiri.
"Tuanku Maulana Ibrahim!" serunya lagi. Tapi kali ini bernada minta
belas-kasih. "Benar-benarkan tuanku sampai hati mem-biarkan kami mati
begini hina?" Pintu pertapaan itu nampak bergerak-gerak. Kemudian
muncullah seorang pemuda berpakaian rapih. la menebarkan penglihatannya seperti
sikap seorang pangeran, lalu berkata: "Sungguh sayang tuan-tuan.
Kedatangan tuan-tuan sangat tidak tepat." "Janganlah memanggil kami
dengan tuan-tuan," potong orang yang berseru tadi. "Kami berempat
pantas menjadi hambamu." Terang sekali maksud orang itu. Dia hendak
mengambil hati. Tetapi pemuda di hadapan-nya tampak bersikap dingin. Dengan
suara angkuh dia menyahut. "Panembahan Maulana Ibrahim lagi berolah tapa
untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Pintu biliknya terkunci rapat. Itulah
suatu tanda bahwa dia tak dapat diganggu. Karena itu, carilah orang tua lain
yang dapat membantu menyembuhkan luka kalian." "Sudah semenjak
kemarin kami berangkat ke mari. Keselamatan nyawa kami tinggal ter-gantung
kepada ilmu sakti tuanku Maulana Ibrahim. Karena itu, kami mohon ... kami
mohon... pertolongannya." "Tetapi Panembahan sedang berolah tapa. Tak
dapat dia diganggu-gugat." Mendengar ujar pemuda itu, mereka berempat
menghela napas dengan wajah muram. Sejurus kemudian orang tadi masih mencoba
berkata, "Siapakah nama Tuan yang mulia?" Pemuda itu tersenyum.
Matanya berkilat. Hatinya senang, mendengar orang menghor-matinya demikian
tinggi. Menyahut, "Aku adalah muridnya. Asalku dari Jawa Tengah. Namaku
Manik Angkeran. Mengapa?" "Ah, tuanku Manik Angkeran! Kami berem-pat
adalah pengawal-pengawal Kerajaan Ban-ten yang sial. Kami dilukai seseorang.
Kalau tidak memperoleh pertolongan tuanku Maula-na Ibrahim, pastilah nyawa kami
sebentar lagi melayang. Maka itu, tolonglah sampaikan hal ini kepada gurumu
yang mulia." Manik Angkeran menimbang-nimbang se-bentar. Lantas berkata,
"Siapakah nama ka-lian?" Mendengar perkataan Manik Angkeran, wajah
mereka bercahaya dengan mendadak. Tak sia-sialah mereka main mengambil haf
terhadap pemuda cilik itu. Lantas saja mereka berebutan memperkenalkan namanya.
"Kami. Hamid, Syarif, Surian dan Brata. Bi-langkan saja kepada tuanku
Maulana Ibra-him, kami berempat, murid-murid Tatang Manggala." Setelah
berkata demikian, hampir berbareng mereka rebah tertelungkup. Dari mulutnya
ter-bersit segumpal darah segar.
Terang
sekali, mereka menderita luka tak enteng. Hanya saja luka apa yang membuat
mereka melontakkan darah segar, tidaklah jelas. Sangaji yang bersembunyi tak
jauh dari mereka, mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya timbul suatu teka-teki
yang mena-rik. Siapakah yang disebut Panembahan Maulana Ibrahim itu? Nampaknya,
dia bukan orang sembarangan. Kalau saja tidak memiliki ketenaran nama semenjak
lama, tidak bakal pertapaannya dikunjungi tamu dari jauh. Dalam pada itu,
pemuda yang bernama Manik Angkeran menghampiri mereka dengan pandang acuh tak
acuh. Tiada nampak gopoh atau menaruh suatu perhatian yang berlebih-lebihan
sehingga kesannya seperti seorang dokter perang yang sudah mempunyai pengalaman
maha dahsyat. Katanya nyaring. "Kalian luka berat. Hayo, panggillah aku
dahulu, paman yang baik budi! Dan aku akan menolong meringankan."
Mendengar ucapan Manik Angkeran, Sangaji tersenyum. Pikirnya dalam hati, Adik
cilik ini, keterlaluan. Sudah terang mereka dalam keadaan runyam, mengapa masih
perlu mengolok-oloknya lagi. Teringatlah dia, sewaktu menderita luka berat di
benteng batu dahulu. Titisari dalam keadaan bingung. Namun Fatimah tak
memedulikan. Bahkan gadis angin-anginan itu memaksa Titisari agar memanggilnya
bibi dahulu, sebelum bersedia membantu dengan segenap hati. Meskipun mendongkol
Titisari memaksa diri untuk membuat senang gadis angin-anginan itu. Kemudian,
semuanya jadi lancar. Dan teringat akan Fatimah, tanpa di-sadari sendiri ia
jadi menaruh perhatian kepada pemuda Manik Angkeran. Gerak-gerik Manik Angkeran
makin lama makin aneh juga. Meskipun tidak seliar Fatimah, tetapi paling tidak
bisa dijajarkan. Melihat mereka tiada tanda-tanda meng-indahkan permintaannya,
lantas saja memutar badannya sambil berkata: "Baik! Kalau tak mau
memanggilku paman yang baik budi. Terserah kalian akan mati atau tidak."
Setelah berkata demikian, ia masuk ke gubuk pertapaan.
Pintu
ditutupnya rapat seumpama seekor lalatpun tak sanggup masuk. Celakalah mereka
yang sedang menderita luka. Demi luka yang dideritanya, sesungguh-nya mereka
bersedia untuk membuat senang si pemuda. Tetapi keputusan pemuda itu terlalu
cepat. Mereka belum bisa mengadakan tanggapan secepat orang sehat, sehingga tak
keburu mencegah rasa cemberutnya pemuda itu. Dengan demikian terasalah sudah,
bahwa kesulitan yang mereka hadapi menjadi berganda. Hamid orang yang berseru
lantang tadiberusaha menguasai diri. Dengan gemetaran ia mencoba menegakkan
kepalanya. Kemudian hendak berseru memanggil Manik Angkeran. Namun yang keluar
dari mulutnya adalah keruyuk darah berbutir-butir. Masih dicobanya hendak
mengatasi. Tapi pada detik itu, ia jatuh terkapar di atas tanah. Hampir
berbareng dengan kejadian itu, pintu gubuk pertapaan terbuka kembali. Manik
Angkeran muncul dengan diikuti seorang cantrik ) memanggul sebatang cangkul
pengaduk tanah. Melihat Hamid menggelepar di atas tanah, ia menghampiri.
Tangannya bergerak-gerak dan tahu-tahu Hamid sudah dapat duduk kembali dengan
tegak, darahnya yang tadi meruap dari mulutnya berhenti dengan mendadak. Dengan
memanggut-manggut, Hamid me-nyatakan rasa terima kasihnya. Katanya,
"Akhirnya tuanku sudi menolong hamba juga." "O, tidak-tidak!
Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Aku hanya khawatir kau akan mati di
depan pintu. Ini membuat susahku belaka. Sebab aku terpaksa harus
menguburmu," sahut Manik Angkeran. "Tapi tuanku menolong juga.
Buktinya, dadaku terasa menjadi ringan," Hamid tak bersakit hati. "O,
tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Kau menyebutku
seba-gai tuanku, apa sih keuntungannya. Coba kau mau memanggil aku sebagai
paman, aku takkan menolongmu separuh-paruh." Mendengar kata-kata Manik Angkeran,
Hamid terhenyak sejenak. Menurutnya pantas, sebutan tuanku jauh lebih tinggi
daripada sebutan paman. Sadar bahwa betapapun juga dia harus pandai membuat
rasa puas bintang penolongnya, buru-buru ia memperbaiki diri. Kemudian dengan
kata-kata merendah, ia berkata: "Baiklah. Engkau memang pamanku yang baik
budi." "Siapa yang kesudian menjadi pamanmu? Aku hanya minta kau
memanggilku paman yang baik budi." Kembali lagi Hamid terhenyak sejenak.
Lalu berkata cepat, "Ya, ya Paman yang baik budi. Tolonglah aku."
Mendengar perkataan Hamid, wajah Manik Angkeran berseri-seri dengan mendadak.
Dengan mengulum senyum, lantas saja dia menyahut: "Aiii... anak yang
manis. Mengapa tak sedari tadi. Baiklah, kalian akan kutolong meringankan
penderitaan kalian." Setelah berkata demikian, ia melesat meng-hampiri
mereka yang sedang menderita luka. Sangat gesit dan tangkas gerakannya. Hamid,
Syarif, Suria dan Brata terus saja bisa duduk kembali dengan tenang. Meskipun
dalam hati mereka mendongkol, namun diam-diam me-reka kagum akan kepandaian
pemuda cilik itu. "Hai, Paman yang baik budi!" seru Suria. Ia seorang
yang berbadan pendek, berkepala botak. Suaranya kasar melengking menusuk
pendengaran. "Lihat! Senjata apa ini nama-nya?" Ia mengeluarkan
sebatang baja, berben-tuk bintang bersegi tiga. Sekali menggerakkan
jari-jarinya, baja berbintang itu melesat dan menancap pada tiang gubuk dengan
suara mengaum. "Hai, anak yang manis!" seru Manik Ang-keran.
"Kau bukan anak yang lemah. Apa sebab kau sampai terluka? Siapa yang
melukaimu?" "Cabut dan perlihatkan senjata itu kepada gurumu.
Katakan,
bahwa kami berempat kena dilukai pemilik senjata itu," sahut Suria dengan
suara kasar. "Tak lama lagi pemilik senjata itu akan datang ke mari.
Apabila gurumu mau mengobati kami, kami berempat pasti bersedia membantu
melawannya." Manik Angkeran tertawa panjang. Alisnya bergerak-gerak. Maka
nampaklah, bahwa dia seorang pemuda cerdik. Katanya lantang, "Kalian bisa
apa terhadap pemilik senjata itu? Kalau kalian sudah mampu mengadakan per-lawanan
yang berarti, masakan kena dilukai?" "Meskipun ilmu kami berempat
sangat ren-dah, tapi setidak-tidaknya bisa mengganggu dia. Katakan kepada
gurumu, bahwa kami berempat ini murid-murid Tatang Manggala," ujar Suria
sulit. "Apa sih hubungannya dengan guruku sampai aku kau haruskan menyebut
nama gurumu?" "Karena Tatang Manggala dan gurumu adalah sesama
pembantu Ratu Fatimah." "Kau bilang apa? Fatimah?" Manik Angkeran
terkejut. Parasnya lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya,
sekonyong-konyong ia melesat dan menyerang mereka berempat dengan berbareng.
Krak, krak, krak! Lengan mereka masing-masing kena dipatahkan. Setelah itu
dengan sekali menjejak tanah, ia menyambar senjata bidik yang tertancap di
tiang. Kemudian menghilang di balik pintu. Hamid, Syarif, Suria dan Brata bukan
orang lemah. Namun mereka sedang menderita luka. Tenaganya rusak delapan
bagian. Karena itu lengan mereka kena dipatahkan oleh si bocah sangat mudah.
Seseorang yang kena dipatahkan lengannya demikian rupa, pasti akan mengerang.
Dan hal itu adalah wajar. Tapi mereka tak berani mengerang, karena takut akan
mempunyai akibat sendiri terhadap si pemuda yang ber-watak angin-anginan.
"Suria! Biar bagaimanapun juga, berusahalah membuat senang bocah cilik
itu!" Hamid menyesali. "Tuanku Maulana Ibrahim tak mungkin dapat
diganggu-gugat. Dan satu-satunya bintang penolong kita, hanyalah bocah
itu." "Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi aku telah menga-pakan dia?"
Suria membela diri. Memang mereka semua tahu, Suria sama sekali tidak
mengusiknya. Masing-masing sadar, bahwa mereka harus pandai membawa diri kalau
masih mengharapkan pertolongan-nya. Soalnya, karena watak pemuda itu demi-kian aneh.
Apa yang menyebabkan sekonyong-konyong dia seperti kemasukan setan, hanya setan
sendiri yang tahu.
Maka
terpak-salah mereka menahan rasa nyerinya. Meski-pun mereka bukan tokoh
sembarangan, tak urung keringat dingin merembes keluar berbu-tir-butir.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk ke dalam benak Hamid. Terus saja ia mengarah
kepada si Badai dan berkata hati-hati. "Jang! Pastilah engkau sudah lama
me-ngenal dia. Kami bersalah apa terhadapnya sampai dia mematahkan lengan
kami?" Badai itu tersenyum panjang. Dengan suara menyalahkan ia menjawab,
"Soalnya Tuan berani menyebut nama Fatimah." "Nama
Fatimah?" Mereka berseru berba-reng. Mereka saling menyiratkan pandang tak
mengerti. "Aku menyebut nama Ratu Fatimah," kata Suria. "Dia
murid tuanku Maulana Ibrahim. Guru kami dan tuanku Maulana Ibrahim adalah
pembantu Ratu Fatimah. Dengan begitu, kami termasuk keluarga sendiri. Apakah,
apakah dia musuh Ratu Fatimah?" "O, bukan, bukan. Kalau dia musuh
Ratu Fatimah, masakan sudi berguru kepada tuanku Maulana Ibrahim," tungkas
badai itu. "Dia berasal dari Jawa Tengah. Siapa Ratu Fatimah itu, dia tak
mengerti." "Tapi mengapa merasa tersinggung?" "Karena Tuan
menyebut nama Fatimah. Justru Fatimah adalah nama kekasihnya. Tuan sekarang
menyebutnya dengan ratu. Bukankah berarti memperolok-oloknya?"
"Ah," mereka baru sadar. Kemudian Suria buru-buru berkata,
"Kalau begitu, memang nasib kamilah yang lagi sial. Siapa tahu, bahwa
kekasihnya bernama Fatimah. Seka-rang dia menyakiti kami Apakah ... apakah
..." "Dia boleh meremukkan tulang-tulang Tuan. Tapi kalau Tuan pandai
mengambil hatinya, Tuan akan bisa dipulihkan kembali. Tuan percaya, tidak?
Sebab dialah murid satu-satunya tuanku Maulana Ibrahim," ujar si badai.
"Kami percaya. Kami percaya," mereka menyahut berbareng, meskipun
belum tentu hatinya berbicara demikian. "Lekas sam-paikan kepadanya, bahwa
tiada niat kami hendak memperolok-olokan dia. Kami bahkan akan hadir pada hari
perkawinanan di kemudian hari." Badai itu menimbang-nimbang sebentar,
kemudian masuk ke dalam gubuk. Mendengarkan dan menyaksikan seren-tetan
peristiwa dengan percakapannya itu, hati Sangaji kian tertarik. Bisiknya dalam
hati, "Fatimah? Apakah Fatimahku sendiri? Kalau benar-benar dia tunangan
Fatimah, alangkah hebat nanti. Fatimah dahulu selalu merahasiakan siapakah
pemuda yang meng-ganggu hatinya. Dia berkata seorang saja. Manik Angkeran
seorang ahli obat-obatan. Sudah selayaknya apabila dikerumuni orang. Apakah ini
maksudnya? Kalau benar demi-kian, hai-hai... dia bisa kumat wataknya ma-nakala
kugodanya." Memikir demikian, perhatian Sangaji terha-dap Manik Angkeran
naik setingkat. Di depannya seakan-akan tergelar pemandangan lembah Gunung
Damar. Di sana ia berjumpa dengan Fatimah kembali. Lantas dengan serta merta ia
akan menebak rahasia hati gadis angin-anginan itu. Alangkah lucu dan
menggairahkan! Pastilah Fatimah akan mencak-mencak. Tapi kemudian... dia akan
bertanya tentang Titisari. Bukankah dia berjanji kepada gadis itu hendak
membawa serta Titisari me-nemuinya? Teringat akan janji ini hati Sangaji
tergetar. Kira-kira menjelang tengah hari, terdengar derap kuda memasuki lembah
pertapaan. Tiga orang yang mengenakan pakaian mahal turun tertatih-tatih dari
kudanya. Dengan menekan dada, mereka berseru hampir berbareng di depan gubuk
pertapaan. "Kami anak murid pendekar Malingping, mohon bertemu dengan
tabib sakti tuanku Maulana Ibrahim." Habis berkata demikian, mereka berbatuk-batuk.
Pada punggungnya nampak noda darah. Yang satu membalut kepalanya penuh darah
kental. Suatu tanda, bahwa mereka semua terluka parah. Sebentar kemudian, Manik
Angkeran mun-cul di ambang pintu dengan membawa buku dan alat tulis di tangan
kirinya. Berkata memaklumi, "Panembahan Maulana Ibrahim tak dapat diganggu
gugat. Dia sedang mema-suki tingkat olah tapa tertinggi. Silakan men-cari tabib
lainnya. Kulihat luka kalian masih bisa bertahan dua tiga hari lagi."
"Kami bertiga berasal dari Rancabali. Ra-tusan kilometer telah kami lalui
untuk datang menghadap tuanku tabib sakti. Tenaga kami sudah terkuras habis.
Lagi pula sekiranya di dunia ini ada tabib sesakti tuanku Maulana Ibrahim,
masakan kami sampai datang ke mari." Manik Angkeran menghela napas. Ia sudah
memutar badannya, hendak masuk ke gubuk, tatkala mereka bertiga memanggilnya
buru-buru. "Adik! Tolonglah sampaikan maksud kami ini ..." Belum lagi
habis perkataannya. Mereka nampak bergemetaran dan jatuh terkulai di tanah.
Aneh juga kuda-kuda mereka-pun jatuh bergedebrukan dengan mengeluarkan busa.
Tak dapat disangsikan, bahwa mereka termasuk kudanya benar-benar sudah
kehilangan tenaga. Menyaksikan keadaan mereka timbullah rasa iba dalam hati
Manik Angkeran. Ia hendak segera memeriksa, sewaktu tiba-tiba terdengar suara
langkah dan derap kuda berbondong-bondong memasuki lembah pertapaan. Dari jauh,
mereka sudah berseru beramai-ramai. "Tuanku Maulana Ibrahim ... mohon
menghadap." Manik Angkeran mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggerutu.
"Hampir empat tahun aku berada di sini. Selamanya lembah ini sunyi sepi.
Tapi hari ini, kenapa mereka datang begini berbondong-bondong?" Setelah
menggerutu demikian, berkatalah dia, lantang: "Kalian datang ke mari
beramai-ramai. Apakah ada yang menyuruh?" Jumlah mereka dua belas orang.
Terdiri dari berbagai-bagai golongan. Ada yang berpakaian saudagar, kepala
kampung dan pegawai kerajaan. Semuanya menderita luka parah. Dan tatkala
mendengar seru Manik Angkeran, dengan serentak memperlihatkan sebatang baja
berbintang tiga pada tangannya masing-masing. "Hai, apakah artinya
ini?" Manik Angkeran heran. "Senjata bidik ini bernama, kembang cacah
bintang," sahut seorang berperawakan pendek tipis. "Pemiliknya
seorang nenek-nenek bernama Karumbi. Dialah yang kita kenal dengan sebutan si bongkok
dari Pegunungan Karumbi." Dengan tercengang Manik Angkeran mene-gas.
"Apa hubungannya dengan kita di sini?" "Tanyakanlah kepada
tuanku Maulana Ibrahim. Kami dilukai tanpa perkara. Lantas kami digebah, agar
datang ke mari. Katanya dia minta tanggung jawab atas kematian pen-dekar
Kamarudin anggota Himpunan Sang-kuriang." "Siapakah Kamarudin
itu?" "Dialah anak menantu Nenek Karumbi." "Selamanya
guruku tak pernah berurusan dengan perkara luar. Mengapa nenek itu minta tanggungjawabnya,"
tungkas Manik Angkeran. "Tanyakanlah kepada gurumu!" jawab orang
berperawakan pendek tipis itu. Setelah berkata demikian, terus rebah tak
berkutik. Hamid, pengawal kerajaan Banten seko-nyong-konyong nyeletuk.
"Ha, tahulah aku Tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu utama Ratu...
Ratu... eh... pembantu Kerajaan Banten. Dan Nenek Karumbi justru musuh utama
Ratu ... Ratu..." dia tak berani menyebut nama Fatimah, karena takut
mempunyai akibat sendiri terhadap pemuda berwatak angin-anginan itu. Lalu
cepat-cepat mencari kata-kata lain. "Dan Nenek Karumbi justru musuh
Kerajaan Banten. Tapi latar belakang apa yang menyebabkan nenek itu tiba-tiba
minta pertanggungan jawab tuanku Maulana Ibrahim, hanya guru paman yang baik
budi yang tahu." Mendengar Hamid masih menyebutnya sebagai paman yang baik
budi, Manik Angkeran tersenyum puas. Katanya ringan, "Kalian dilukai oleh
nenek itu. Rupanya dia lebih kuat daripada kalian. Kalau saja berniat hendak
membunuh kalian, nampaknya mu-dah sekali. Tapi kalian dibiarkan hidup untuk
beberapa hari agar bisa datang ke mari. Apa maksudnya?" "Justru itu,
bangunkan guru paman yang baik budi. Kukira hanya tuanku Maulana Ibrahim
sendiri yang dapat menebak teka-teki ini." "Sayang anak-anak yang
manis. Pada saat ini, biarpun bumi berguguran tak berani aku mengganggunya."
Selagi berbicara demikian, telah datang berturut-turut enam orang lagi. Mereka
memohon bertemu dengan Maulana Ibrahim yang disebutnya sebagai tabib dewa.
Caranya meminta bertemu bermacam-macam. Ada yang berbicara dengan sopan,
bernada memerintah, merintih dan membisu. Semuanya ditolak oleh Manik Angkeran
de-ngan kata-kata yang sama. Namun mereka tak mau pergi. Maka terpaksalah Manik
Angkeran memberi perintah kepada dua orang badai agar menyediakan makanan
sekadarnya. Dengan datangnya mereka berbondong-bondong ditambah lagi dengan
adanya kisah latar belakangnya, membuat hati Sangaji kian tertarik. Meskipun
otaknya tidaklah seencer Titisari, "tapi ia memiliki watak yang baik.
Apabila menghadapi persoalan yang rumit, tak mau sudah sebelum mengerti dengan
sejelas-jelasnya. Maka timbullah kekerasan hatinya hendak menyelidiki peristiwa
itu sampai selesai. Perkara makan bukanlah merupakan soal sulit baginya.
Kecuali kesempurnaan tubuhnya melebihi pendekar-pendekar sakti pada zaman itu,
diapun membekal makanan kering. Dengan begitu, tak usahlah ia khawatir akan
kelaparan. Menjelang petang hari, ia mendengar lang-kah ringan. Pendengarannya
yang tajam me-nangkap suara degup jantung yang kurang beres. Lagi-lagi seorang
terluka berat, pikir Sangaji. Ia melongokkan kepalanya. Gntuk herannya, ia
melihat seorang wanita memapah seorang anak perempuan. Dan wanita itu adalah
Rostika dan Atika, isteri dan anak Suhanda. "Apakah dia dilukai pula oleh
nenek itu?" Ia menduga-duga. Lewat sejenak, terdengar Rostika berkata membujuk
kepada anaknya. "Kau sekarang berjalan sendiri ya, Nak?" "He
e," sahut Atika. Dan anak itu lantas melorot dari dukungan.
"Bagus," kata Rostika dengan suara bersyukur. Ia seperti kehilangan
suatu beban berat. Kemudian dengan suara setengah ber-putus asa, "Sekarang
mudah-mudahan tabib sakti Maulana Ibrahim berada di rumah ..." Mendengar
suara Rostika, hati Sangaji tergetar. Ingin dia menghampiri dan hendak
menolongnya. Meskipun sama sekali tiada memiliki ilmu ketabiban, tetapi ia
percaya akan tenaga saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar seru Manik
Angkeran nyaring. "Kak Rostika! Benarkah Kak Rostika?" Mendengar seru
Manik Angkeran, Rostika terhenti sejenak. Ia seperti lagi mengingat-ingat.
Kemudian menyahut setengah memekik. "Ah ... Manik Angkeran! Bagus kau
berada di sini." Dan setelah berkata demikian, ia mendatangi dengan
mempercepat langkahnya. "Bukankah aku dahulu berkata hendak mencari
seorang guru tersakti di dunia?" ujar Manik Angkeran seraya menyongsong.
"Kau berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim. Nasibmu benar-benar bagus!
Aku tahu ... aku tahu ... itulah yang kaumaksudkan dahulu. Dengan berbekal ilmu
kepandaian Panembahan Maulana Ibrahim engkau tidak akan kehilangan muka di
depan kekasihmu. Bukankah begitu?" seru Rostika dengan gembira. Tetapi
berbareng dengan itu, ia berbatuk-batuk kecil. Darah segar meruap dari
mulutnya. "Kau ... kau ... kena dilukai nenek tua?" Manik Angkeran
terkejut. "Siapakah nenek itu yang berbuat sewenang-wenang
terhadap-mu?" Gugup, Manik Angkeran memajang pundak Rostika sambil
berkata: "Kak Rostika, marilah masuk ke dalam ... Bukankah ini
keme-nakanku Atika?" Rostika memanggut kecil. Dengan tangan kanannya ia
menggandeng lengan Atika. "Pundak dan lengan kirimu terluka berat ... Ah,
selama dalam perjalanan engkau meng-gendong Atika dengan lengan kananmu,
bu-kan? Hai, mengapa engkau disiksanya pula?" Rostika tak dapat
menjelaskan. Ia terus berbatuk-batuk tiada hentinya. Dengan ber-jalan
pelahan-Iahan ia dibawa masuk ke dalam gubuk. Melihat keakraban Rostika dengan
Manik Angkeran, Sangaji bertambah heran. Pikirnya, kalau aku ingin mengetahui
mereka dengan jelas, aku harus ikut-ikut pula menyamar sebagai seorang yang
membutuhkan pertolongan tabib sakti Maulana Ibrahim. Memikir demikian, segera
ia keluar dari persembunyiannya. Kemudian berjalan tertatih-tatih memasuki
halaman pertapaan. Semua orang yang berada di situ menderita luka enteng.
Karena itu, sama sekali tidak memperhatikan siapa lagi yang datang untuk minta
pertolongan tabib sakti. Dengan demikian, Sangaji dapat menempatkan diri sesuka
hatinya. Beringsut ingsut ia mendekati dinding samping dan dari balik dinding
ia memasang telinganya tajam-tajam. Manik Angkeran sesungguhnya adalah tunangan
Fatimah adik Wirapati. Ia mempu-nyai bakat baik untuk menjadi seorang tabib. Di
depan tunangannya, ia menyatakan cita-citanya hendak menjadi seorang tabib
sakti di kemudian hari. Pernyataan itu sebe-narnya agak berlebih-lebihan, tapi
bukankah tiap laki-laki akan berbuat begitu di depan kekasihnya. Hanya
sayangnya, pemuda itu berhadapan dengan Fatimah yang mempu-nyai watak
angin-anginan. Mendengar pernyataan demikian, lantas saja gadis itu
mengolok-oloknya sebagai orang linglung. Dan Manik Angkeran bersakit hati. Ia
kemudian menghi-lang. Di dalam hatinya tak sudi ia menemui kekasihnya kembali
sebelum membuktikan ucapannya. Dalam perantauannya ke Jawa Barat, ia menumpang
di rumah Suhanda. Dari Rostika, ia mendengar kabar tentang kesaktian Maulana
Ibrahim. Maklumlah, Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Dengan sendirinya
mengetahui tokoh-tokoh sakti angkatan tua pada zaman Ratu Fatimah. Ia berangkat
men-cari pertapaan Maulana Ibrahim dan berhasil diterima menjadi murid
satu-satunya, karena bakatnya serta kemauannya yang baik. Maka ilmu pertabiban
Manik Angkeran sekarang sudah jauh lebih tinggi daripada tabib-tabib ternama di
seluruh kota di Pulau Jawa. Ia segera memeriksa pundak dan lengan Rostika.
Setelah mendengar batuknya, ia berkata dengan pasti. "Kak Rostika. Rupanya
tatkala engkau mengadu pukulan, musuh telah melukaimu sebelum engkau
bergerak." Setelah berkata demikian, tangannya ber-gerak dengan tiba-tiba.
Sangat cepat dan me-ngagumkan. Tahu-tahu darah yang meruap dari mulut Rostika
berhenti dan rasa batuknya lenyap dari rongga dada. Kemudian ia memeriksa
pundak dan lengan Rostika. Tiga batang baja berbintang segi tiga menancap pada
sambungan tulang. Cepat ia mencabutnya. Ternyata tulang lengan Rostika patah
tiga tempat. Dan tulang pundak remuk seperti tergilas. Benar-benar suatu luka
yang mustahil untuk dipulihkan kembali. Tapi Manik Angkeran adalah seorang
murid tunggal tabib sakti Maulana Ibrahim. Setelah memberi resep obat sambung
tulang kepada dua orang badai, segera ia menyambung tu-lang-tulang yang patah
pada beberapa tempat. Agaknya, untuk pertama kali itulah, Manik Angkeran
menyambung tulang seseorang. Meskipun kurang cepat, namun setelah ber-tekun
beberapa saat lamanya, ia berhasil menyambungnya dengan rapih. Segera ia
membubuhi obat luka dan membalut lengan serta pundak Rostika. Lalu berkata,
"Kak Rostika harus beristirahat baik-baik. Minumlah obat pulas ini. Dengan
begitu, Kak Rostika takkan terganggu rasa sakit. Atika biarlah tidur di
samping. Ia takkan mengganggu." "Manik Angkeran! Kau benar-benar
menjadi orang lain," seru Rostika kagum. "Sesungguh-nya aku datang ke
mari untuk mohon perto- longan Eyang Panembahan Maulana Ibrahim. Tapi ternyata
kau sudah dapat menolong aku." "Kepandaian ini bukankah berasal dari
Kak Rostika?" tungkas Manik Angkeran. "Coba kalau Kak Rostika dahulu
tidak menunjukkan jalan baik, takkan mungkin aku datang ke mari untuk berguru
kepada Panembahan Maulana Ibrahim." "Di manakah gurumu kini?"
"Guru sedang bersemadi. Dia tak dapat diganggu-gugat." "Dan
mereka bagaimana? Kulihat tadi, mereka menderita luka pula. Apakah mereka belum
bertemu dengan gurumu?" Manik Angkeran menggeleng kepala. Dan melihat
Manik Angkeran menggeleng kepala, wajah Rostika berubah menjadi pucat. Katanya
penuh sesal. "Mereka datang terlebih dahulu daripadaku. Apa sebab aku
engkau dahulukan?" "Salahnya sendiri Tak pernah mereka minta
pertolongan padaku. Seumpama mereka terpaksa mati, itupun bukan urusanku."
"Ah, adikku yang baik. Periksalah mereka dahulu sebelum gurumu turun dari
semadinya." Waktu itu rembang petang telah lewat. Beberapa badai telah
memasang pelita. Manik Angkeran mengatur tempat tidur untuk Rostika dan Atika.
Setelah mengantar mereka ke bilik dan menyediakan makan malam, ia keluar ke
serambi dengan membawa obor. Segera ia memeriksa luka mereka. Tapi tatkala ia
memeriksa luka mereka, tak terasa ia ternganga-nganga keheranan. Makin ia
mencoba mengerti, makin heranlah dia. Benar dia baru kali itu memeriksa
seseorang yang menderita luka parah. Tetapi macam itu sendiri benar-benar
merupakan suatu teka-teki yang ajaib. Luka yang mereka derita, masing-masing
berbeda. Cara melukainya sangat aneh pula. Selama berguru kepada Panembahan
Maulana Ibrahim belum pernah ia mendengar jenis luka semacam itu. Ada yang
terluka jantungnya, tanpa merusak kulit dan urat penyambung. Ada pula yang
menderita luka parah pada tiap urat dan nadinya. Terang sekali bahwa Nenek
Karumbi mengenal ilmu ketabiban. Cara dia melukai mangsanya diatur demikian
rupa, sehingga benar-benar menyulitkan cara pengobatannya. Ada lagi yang
terserang paru-parunya de-ngan empat batang paku, sehingga menye-babkan dia
terbatuk-batuk tiada henti dengan memuntahkan darah. Seorang lain, rusak tulang
iga-iganya sampai berkeping-keping. Meskipun jantung dan paru-parunya utuh,
tetapi betapa mungkin dapat disembuhkan kembali. Ada pula yang rusak bagian
tubuh-nya yang penting tanpa menderita luka dan seorang lagi terus-menerus
mencakari gundulnya tanpa dikehendaki sendiri. Manik Angkeran benar-benar
terpaksa me-ngerutkan kening. Pikirnya dalam hati, biarpun aku disuruh memilih,
tak mampu aku mengobati salah seorang di antaranya. Siapakah Nenek Karumbi itu?
Mengapa dia begini jahat dan ganas? ' Memikir demikian, segera ia memasuki
bilik Rostika sambil berkata, "Kak Rostika! Apakah engkau sudah
tidur?" "Belum. Mengapa?" sahut Rostika dengan suara bening.
"Boleh aku masuk?" "Masuklah! Aku adalah pasienmu sem-barang
waktu kau boleh masuk." Dengan menarik tempat duduk, Manik Ang-keran terus
berkata gopoh. "Kak Rostika, aku terpaksa membuat engkau kecewa. Dengan
sebenarnya aku tak sanggup menolong mereka." "Adikku yang baik, mengapa?
Kau tadi dapat menolong aku. Mereka terluka parah oleh tangan yang sama."
"Benar. Tapi setelah kuperiksa, aku terpaksa menyerah. Sungguh-sungguh
aneh!" kata Manik Angkeran dengan wajah tegang. Kemudian menceritakan dan
menjelaskan luka mereka masing-masing. Setelah itu menegas. "Kak Rostika
... selama hidupku, baru kali ini aku menyaksikan tangan ganas dan keji. Engkau
tak disiksa demikian berat, hatiku bersyukur bukan main. Tapi demi Tuhan ...
mengapa nenek itu menyiksa mereka begitu rupa?" Dengan menarik napas
panjang, Rostika tak segera menjawab. Ia merenungi anaknya yang tidur nyenyak.
Rupanya Atika sangat penat oleh suatu perjalanan yang panjang. Begitu habis
makan malam, lantas saja tertidur sewaktu direbahkan di atas tempat tidur.
"Bagaimana kalau kita berbicara di luar bilik?" Rostika mencoba.
"Ah ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Aku hanya memikirkan
kepentingan sendiri. Mari!" Mereka duduk di ruang tengah. Setelah sejenak
berpandang-pandangan, Rostika kembali menghela napas. Kemudian berkata, "Sesungguhnya
kalau kita mau jujur, guruku lebih ganas dan lebih keji daripada perbuatan
nenek dari pegunungan Karumbi itu. Nenek itu hanya melukai, tapi tidak
membunuh. Bukankah berarti memberi kesempatan hidup?" "Tapi ... tapi
... dilukai demikian rupa samalah halnya dengan dibunuh sekali mati,"
potong Manik Angkeran bernafsu. "Penyiksaan ini bahkan lebih berat
daripada pembunuhan. Sebab, luka itu sendiri tak mungkin dapat disembuhkan
kembali." "Tidak, adikku. Benar engkau adalah murid tuanku Maulana
Ibrahim, tapi aku yakin engkau belum mengenal kesaktian dan kemampuan gurumu
benar-benar. Nenek itu sesungguhnya hanya membuat gurumu sibuk. Dia yakin,
gurumu pasti dapat menyembuhkan kembali. Kalau tidak, masakan kita digebahnya
agar datang ke mari?" Mendengar keterangan Rostika yang masuk akal, Manik
Angkeran berbimbang-bimbang. Peristiwa ini memang aneh. Selama ia berguru
kepada Panembahan Maulana Ibrahim baru kali ini mengalami suatu keja-dian
pelik. "Memang aneh," pikirnya dalam hati. Dan tak terasa terloncatlah
perkataannya, "Ya memang aneh. Hamid tadi berkata, bahwa nenek itu minta
pertanggunganjawab guruku. Nampaknya peristiwa ini mempunyai latar belakang
yang belum kita ketahui." Dia hendak berbicara lagi, sekonyong-konyong
masuklah seorang badai. "Gan! Dipanggil Panembahan," katanya.
"Guru? Apakah ... apakah," Manik Angkeran terkejut. Terus saja ia
meloncat dari tempat duduk sambil berkata kepada Rostika. "Kak Rostika tak
biasanya guru turun dari persema-dian begini cepat ... Kau mengasolah dahulu!
Esok pagi masih ada waktu. Sudahkah kau minum obat pulasmu?" Rostika
mengangguk. Katanya, "Rasa sakit-ku sudah banyak berkurang. Kalau kau
mem-butuhkan aku, engkau boleh masuk ke kamar pada sembarang waktu ..."
Manik Angkeran mengangguk cepat. Kemu-dian bergegas masuk ke dalam, la berhenti
di depan sebuah bilik tempat bersemadi. Terus berkata penuh hormat. "Guru!
Muridmu menghadap ..." Sebagai jawaban, terdengarlah suara geme-resak.
Sejenak kemudian Maulana Ibrahim menyahut, "Siapakah yang mengganggu aku
di luar?" "Kurang lebih dua puluh orang datang berturut-turut ke mari
semenjak pagi tadi. Sudah kuberitahukan bahwa guru tak bersedia menerima tamu,
namun mereka tak mau pergi. Mereka menderita luka parah." "Tak peduli
siapa mereka atau apa yang dideritanya, aku tak mau diganggu."
"Ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Tetapi luka mereka
sesungguhnya sangat aneh." Setelah berkata demikian, segera ia
menga-barkan keadaan luka mereka. Agaknya Maulana Ibrahim menaruh perha-tian
terhadap laporan Manik Angkeran, meskipun ia masih tetap bercokol di dalam
kamar persemadiannya. Apabila kurang jelas, segera ia memerintahkan Manik
Angkeran memeriksa kembali luka orang yang dikehendaki. Kemudian diwajibkan
memberi laporan sejelas-jelasnya. Dengan demikian kurang lebih dua jam la-manya,
ia mondar-mandir sampai selesai memberi laporan terakhir. Dan berulang kali, ia
mendengar gurunya menghela napas. Rupanya benar-benar gurunya memeras otak
untuk menentukan gejala-gejalanya dengan tepat. Sesudah lama berdiam diri,
akhirnya terde-ngar Maulana Ibrahim berkata memutuskan. "Hm ... kalau
hanya demikian saja, masih belum dapat menyulitkan daku ... Tapi aku sedang
malas untuk mengobati mereka. Nah, suruhlah mereka enyah dari sini sebelum
ajalnya sampai." Manik Angkeran hendak bergerak melak-sanakan perintah,
sewaktu ia mendengar seseorang berkata nyaring di belakangnya. "Tuan
Maulana Ibrahim! Kau disebut se-orang tabib sakti yang saleh. Selain itu
terkenal sebagai seorang pertapa yang tinggi-budi. Kalau kau sekarang menolak
suatu tugas suci yang diberikan Tuhan, tiada gunanya engkau hidup sebagai tabib
sakti." Yang berkata demikian adalah Suria. Ia tak sabar melihat
mondar-mandirnya Manik Angkeran dan tak tahan menanggung luka parahnya yang
makin lama makin terasa menjadi runyam, sehingga mengikuti Manik Angkeran masuk
ke dalam gubuk dengan diam-diam. "Kau siapa sampai berani berbicara begitu
terhadapku?" bentak Maulanan Ibrahim. "Aku murid Tatang
Manggala." "Hm ... biarpun kau murid dewa sekalipun, apakah peduliku?
Kau mampus atau tidak bukan urusanku. Pulanglah cepat-cepat. Barangkali masih
sempat engkau bertemu dengan anak isterimu." Mendengar pernyataan Maulana
Ibrahim, tubuh Suria menggigil. "Tuanku Ibrahim! Kau diancam seseorang.
Diapun hendak datang ke mari. Kalau kau sudi mengobati aku sampai sembuh,
bukankah aku dapat membantumu?" "Hm ... sekiranya benar, kau bisa
menga-pakan dia? Kau akan mampus sebelum dapat bergerak." Suria mengeluh.
Ia kini mulai merintih. Tatkala Maulana Ibrahim masih saja bersikap dingin,
habislah sudah kesabarannya. Terus saja ia membentak sambil mengancam.
"Baik, baik! Memang aku mau mampus. Tapi sebelum mampus, biarlah aku
menikam ulu hatimu dahulu!" Pada saat itu, masuklah Hamid dengan
ter-tatih-tatih. Mendengar kekasaran Suria, ia menghunus goloknya dan menuding
dengan gemetaran. Bentaknya. "Kau bilang apa? Kau berani berkurangajar
terhadap tuanku Maulana Ibrahim? Aku Hamid, meskipun tunggal seperguruan akan
membunuhmu sebelum kau bergerak menghampiri pintu. Hayo cobalah! Cobalah, kalau
mau merasakan tikamanku ..." Setelah berkata demikian, ia berputar
menghadap kamar Maulana Ibrahim. Lalu duduk bersimpuh dan bersembah beberapa
kali. Rupanya Suria mengerti akan kehendak teman seperguruannya. Pikirnya, ya
betul... Maulana Ibrahim tidak mempan kena gertak dari sanjung puji. Tapi
mungkin bisa luluh hatinya dengan cara menghambakan diri. Ia terus mencontoh
sikap temannya. Dalam pada itu, Hamid berkata merendah. "Kami sekalian ini
memang pantas disebut sekumpulan katak-katak bangkotan yang tak tahu diri.
Pantaslah jika .tuanku tak sudi bersin-tuhan dengan kami. Tetapi di sini, kami
menyaksikan kepandaian murid tuanku. Bila tuanku mengijinkan, biarlah dia yang
mengobati kami. Soal sembuh atau tidak, tergantung kepada rejeki kami semata.
Sebaliknya kalau tuanku memerintahkan kami agar mencari tabib lain ... hm ...
di seluruh jagat ini, dimanakah ada seorang tabib yang melebihi tuanku.
Sedangkan ditandingkan dengan murid tuanku saja takkan nempil." Suria
memanggut-manggut. Dalam hati, ia memuji kecerdikan temannya seperguruan itu.
Ia melihat paras Manik Angkeran berseri-seri. Rupanya kata-kata Hamid termakan
dalam lubuk hatinya. Tapi diluar dugaan, terdengarlah suara Maulana Ibrahim
sedingin es. "Muridku itu bernama Manik Angkeran. Berasal dari Jawa
Tengah. Sedangkan aku datang dari Kerajaan Banten. Antara aku dan dia
sesungguhnya tiada hubungan apa-apa juga, selain hubungan sebagai guru dan
murid. Meskipun dia sudah mendekam di sini kurang lebih tiga tahun lamanya,
tapi janganlah mengharap bahwa dia mampu mengobati luka kalian. Kalau tak
percaya, tanyakanlah sendiri!" Seketika itu juga kepala Hamid dan Suria
seperti terguyur air dingin. Semula mereka berharap penuh akan kemampuan bocah
itu sampai mau memanggilnya sebagai paman baik budi. Tadi mereka menyaksikan
sendiri, betapa bocah itu dapat menolong luka Rostika. Mereka tak tahu, bahwa
luka yang diderita Rostika jauh berlainan daripada luka yang dideritanya. Hamid
hampir berputus asa tatkala tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Ia
merogoh sakunya dan mengeluarkan batang baja berbintang segitiga. Kemudian
dilemparkan ke dalam kamar Maulana Ibrahim. "Orang yang memiliki senjata
inilah yang melukai kami. Diapun menggebah kami agar datang ke mari. Dia
berkata pula hendak datang meminta pertanggungjawab tuanku." Baja berbintang
segi tiga itu jatuh ber-kelontangan di dalam kamar. Lantas sepi tiada suara.
Lama sekali dan baru terdengar Maulana Ibrahim menghela napas. "Manik
Angkeran! Sudah kau periksa se-muanya yang luka?" sejenak kemudian Maulana
Ibrahim menegas. "Sudah." "Hm, mengapa begitu lancang?"
"Karena ... karena ... aku tak sudi melihat mereka mati di depan pertapaan
guru," sahut Manik Angkeran sulit. "Hm," dengus Maulana Ibrahim.
Ia seperti mau menerima alasan muridnya. Mendadak membentak, "Kudengar
suara napas orang tidur di dalam bilikmu. Benarkah itu?"
"Benar," sahut Manik Angkeran gugup. "Dia seorang wanita yang
menderita penganiayaan pula." Belum lagi habis dia berkata, Hamid
menimbrung. "Muridmu telah mengobatinya. Dan perem-puan itu kini bisa
tidur nyenyak." Tempat tidur Maulana Ibrahim terdengar bergerak-gerak.
Tahulah Manik Angkeran, bahwa gurunya bergusar mendengar kabar itu. "Manik
Angkeran! Kau sudah pilih kasih. Maka kau boleh coba yang lain. Kalau sudah,
suruhlah pergi. Juga perempuan itu! Aku tak menghendaki siapa saja berada di
sini. Kau dengar? Nah, kerjakan. Lalu datanglah kau ke mari!" Mendengar
perkataan Maulana Ibrahim, senanglah hati Hamid, segera ia menoleh kepada Manik
Angkeran dan berkata sengaja dinyaringkan: "Kau obatilah aku dahulu!"
"Huh!" dengus Manik Angkeran. "Terhadap wanita itu aku hanya
menolong meringankan penderitaannya. Bukan mengobati dan me-nyembuhkan.
Lagipula luka yang dideritanya tidaklah semacam yang kau derita. Kau jauh lebih
parah. Entah aku berhasil menolongmu, tergantung kepada nasib baikmu
belaka." Setelah berkata demikian, ia keluar ke se-rambi depan. Dua orang
badai membantu menyalakan beberapa obor, sehingga halaman cukup diterangi.
Berkatalah dia lagi: "Tuan-tuan! Aku masih muda dan pengala-manku masih
sangat hijau. Luka tuan aneh luar biasa. Apakah aku mampu mengobati, tak
tahulah aku. Sama sekali aku tak mempunyai pegangan. Mati dan hidup tuan
tergantung kepada takdir." "Hai! Janganlah kau cerewet tak karuan.
Lekas obati aku!" tungkas Hamid. "Kau?" Manik Angkeran mendongkol.
"Be-lum lagi kau sembuh sudah lupa kepada paman yang baik budi. Kau
kuobati atau tidak, bukankah terserah padaku?" Digertak demikian, Hamid
segera sadar. Cepat-cepat ia merendah: "Ooo ... bukan begitu maksudku ...
eh pa-man yang baik budi. Soalnya, karena aku sudah tak tahan lagi..."
Memang pada saat itu, mereka semua sudah tak tahan menanggung penderitaannya.
Seluruh tubuhnya terasa menjadi gatal, pegal, nyeri dan panas-dingin hampir
berbareng mereka merintih-rintih. "Anak manis! Aku hanya menjanjikan mengurangi
rasa sakit. Bukan untuk menyem-buhkan," seru Manik Angkeran. Tanpa
berpikir panjang lagi, mereka meng-iakan dengan berbareng. Maklumlah,
penderitaan mereka sudah tak tertanggungkan lagi. Seumpama disuruh minum racun
demi mengurangi rasa sakit sebentar saja, merekapun takkan menolak. Manik
Angkeran segera bekerja. Tadi ia berniat hanya untuk menolong meringankan, agar
mereka dapat pulang kembali ke rumah-nya masing-masing. Tetapi sudah menjadi
tabiat seorang tabib. Makin menemukan suatu gejala penyakit yang aneh, makin
timbullah kemauannya hendak mengatasi. Samalah halnya dengan seorang ahli
racun. Manakala ia mengenal suatu racun yang lebih dahsyat daripada mutu
racunnya sendiri, timbullah rangsangannya hendak mengalahkan. Maka demikianlah
halnya dengan Manik Angkeran. Ia berkutat mati-matian hendak meme-' nangkan
macam penganiayaan si nenek dari pegunungan Karumbi. Apabila merasa tak mampu,
segera ia lari masuk menghadap gurunya untuk minta petunjuk-petunjuk. Dengan
dalih agar mereka segera mau pulang ke rumahnya masing-masing, apabila dapat
disembuhkan ia berhasil menggugurkan ke-kerasan hati gurunya. "Baiklah.
Kau mau mengobati sampai sem-buh? Itulah urusanmu. Tapi kau saksinya, bahwa
sama sekali aku tak menyentuh mere-ka biar seorangpun," kata Maulana
Ibrahim memutuskan. Manik Angkeran demikian bernafsunya, sehingga ia tak
menginsyafi di balik arti kata-kata itu. Dan begitu memperoleh petun-juk,
segera ia bekerja dengan giat. Sementara itu, Sangaji yang berada di samping
rumah cepat-cepat berlindung di balik batu pegunungan yang berada di pojok
halaman. Dari sana ia melihat peristiwa itu dengan seksama. Entah apa sebabnya,
ia eng-gan meninggalkan tempat itu. Seakan-akan ia merasa diri diharuskan
berada di situ sampai semuanya selesai. Kira-kira menjelang pukul tiga pagi,
Manik Angkeran sudah selesai dengan pengobatan-nya. Orang-orang yang telah
ditolongnya tidur bersengguran memenuhi halaman. Dengan kenyataan itu,
benar-benar Manik Angkeran berhasil. Inilah suatu pengalaman yang maha dahsyat.
Kejadian demikian tidak bakal bisa terulang lagi. Sekiranya tadi tiada timbul
rangsangnya hendak mengatasi macam luka yang aneh, pastilah dia takkan mewarisi
ilmu sakti Maulana Ibrahim yang tiada keduanya di dunia. Maka ia nampak puas.
Pe-lahan-lahan ia pergi ke tempat pancuran yang berada di belakang rumah
pertapaan dengan diikuti dua badai yang membawa obor semenjak tadi. Kalau saja
Fatimah bisa menyaksikan kepandaian tunangannya, alangkah akan lain kesannya,
pikir Sangaji senang. Dahulu dia berkata, tunangannya banyak kekasihnya dan
berlagak seorang raja. Tentu saja. Sebagai seorang tabib pastilah dia
dikerumuni orang, tak beda dengan seorang raja. Selagi memikir demikian,
matanya yang tajam luar biasa melihat sesosok bayangan berkelebat dalam
kegelapan. Bayangan itu berperawakan seorang laki-laki. Gerak-gerik-nya gesit.
Segera ia menajamkan penglihatan. Dan oleh ilmu saktinya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, dengan tenang ia melihat bahwa laki-laki itu berkumis
lebat dan berjenggot panjang. Bayangan itu berkelebat memasuki hala-man depan,
la seperti berputar-putar menje-nguk orang-orang yang menggeletak berte-baran
di halaman, lantas menghilang mema-suki gubuk. "Mereka tadi membicarakan
seorang nenek yang bertangan ganas dan keji. Tapi bayangan ini, terang seorang
laki-laki. Siapakah dia?" Sangaji menduga-duga. Waktu itu Manik Angkeran
sedang mencuci tangannya. Sekonyong-konyong ia mendengar suara rintih
menyayatkan hati. Cepat ia lari ke halaman dengan diikuti dua badai. Dengan
pertolongan obor ia memeriksa keadaan mereka. Beberapa orang di antaranya
nampak berangsur-angsur menjadi baik. Tapi sebagian besar lainnya malah menjadi
buruk. "Benar-benar aku tak mengerti," Manik Angkeran berkata kepada
dirinya sendiri. "Terang sekali, keadaan mereka tadi sudah menjadi baik.
Kenapa lukanya kini tambah parah? Lihat! Bukankah ini tanda-tanda bintul
baru?" Dua orang badai di sampingnya segera menerangi dengan obornya.
Mereka meng-iakan sambil memanggut-manggut. "Benar Gan," kata
seorang. "Lihat pem-balutnya seperti kena potong." Cepat Manik
Angkeran memeriksanya, la jadi tambah tak mengerti. Akhirnya
terio-ngong-longong kebingungan. Melihat kebingungan Manik Angkeran, hati
Sangaji yang mulai tergerak. Teringat gerakan bayangan tadi, ia sudah bisa
menebak dela-pan bagian. Timbullah keputusannya hendak mengkisiki. Segera ia
menginjak dahan ke-ring. Kemudian berkelebat lewat dinding sam-ping. Tatkala
itu, dua badai yang membawa obor sedang membungkuk-bungkuk menerangi yang
merintih-rintih kesakitan. Manik Ang-keran berada di sampingnya dengan pikiran
gelap. Tiba-tiba ia mendengar suara dahan patah. Cepat ia menoleh. Dan pada
saat itu, ia melihat bayangan Sangaji berkelebat. "Celaka!" seru
Manik Angkeran setengah memekik. Berbareng dengan seruannya suatu ingatan
menusuk benaknya. "Jangan-jangan dia melukai Kak Rostika pula."
Memikir demikian ia segera melesat ke ambang pintu sambil berkata kepada dua
badai, "Jagalah mereka! Dan nyalakan obor." Sampai di ambang pintu,
ia melihat berkele-batnya sesosok bayangan keluar dari pintu biliknya. Ia kaget
bercampur heran. Itulah bayangan gurunya. la mengucak-ucak matanya hendak
men-cari keyakinan. Dan benar-benar adalah bayangan gurunya. Bahkan ia masih
sempat melihat gurunya bergerak buru-buru me-masuki kamar semadinya. Melihat kenyataan
itu, tak berani ia mengu-ber. Jantungnya berdegupan. Dan tiba-tiba saja
timbullah darah kesatrianya. "Kalau guru sampai mengusik Kak Rostika,
meskipun tiada tenaga akan kulawan dia sampai ajalku tiba," katanya di
dalam hati. Berjingkat-jingkat ia mendekati bilik Rostika. Kemudian
memanggil-manggil namanya. Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Menurut
pantas jangan lagi sampai dipanggil demikian nyaring, baru mendengar suara
gemeresak yang mencurigakan pasti akan ter-bangun dengan sendirinya. Tetapi
sudah sekian lama Manik Angkeran memanggilnya, tetap saja tiada jawaban. Dengan
hati berdebar-debar, Manik Ang-keran memasuki bilik Rostika yang masih saja
tidur dengan nyenyak di samping anaknya. Obat pulas memang menolong
menyenyak-kan tidur. Tetapi tidaklah sehebat ini, pikir Manik Angkeran. la
menajamkan penciuman. Dilongoknya mangkok bekas obat pulas. Ia tak menemukan
sesuatu yang mencurigakan. Maka hati-hati ia menyelidiki pernapasan Rostika dan
Atika. Pernapasan Atika wajar seperti kanak-kanak lain yang tiada terganggu
kesehatannya. Sebaliknya pemapasan Rostika terlalu halus, sehingga menimbulkan
suatu teka-teki. Memperoleh teka-teki itu, Manik Angkeran memberanikan diri
untuk meraba lengan Rostika. Sekonyong-konyong suatu hawa wangi merayap di udara.
Suatu ingatan menusuk pikirannya, sehingga terloncatlah rasa kejutnya:
"Ah! Celaka! Benar-benarkah guru menghendaki dia mati dalam
tidurnya?" Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera lari mencari
ramuan-ramuan obat tertentu. Kemudian dicekokkan ke dalam mulut Rostika.
Sejenak ia menggoyang-goyangkan tubuh Rostika sambil memanggil namanya.
"Siapa?" Rostika tersadar. "Ssst! Aku Manik Angkeran. Mari kita
ke luar," sahut Manik Angkeran dengan suara tertahan. Mendengar suara
Manik Angkeran yang berkesan gawat, Rostika segera bangkit de-ngan hati-hati.
Setelah menyelimuti anaknya, ia mengikuti Manik Angkeran ke luar rumah.
"Kak Rostika!" bisik Manik Angkeran setelah berada di tepi halaman
pertapaan. "Kau tadi kena racun tidur yang dimasukkan ke dalam tubuhmu
lewat urat. Sebenarnya engkau mempunyai permusuhan apa dengan guruku Panembahan
Maulana Ibrahim?" "Apakah gurumu yang meracun aku?" Rostika
bingung. "Kalau saja aku tidak menjengukmu, pasti-lah aku dan Atika akan
kehilangan engkau untuk selama-lamanya..." Mendengar keterangan Manik
Angkeran, Rostika tercengang-cengang berbareng bi-ngung. Dengan suara gap-gap
ia berkata, "Sekiranya aku bermusuhan dengan guru-mu, masakan aku akan
datang ke mari? Gurumu adalah angkatan tua. Kedudukannya sejajar dengan kakek
guruku, Ratu Fatimah." "Ratu Fatimah?" Manik Angkeran memo-tong.
Rostika terhenyak sejenak. Segera ia sadar. Lalu menyahut, "Ya ... Ratu
Fatimah. Bukan Fatimahmu. Di dunia ini ribuan orang yang bernama Fatimah. Dan
Ratu Fatimah itu adalah permaisuri dan penguasa tunggal Kerajaan Banten."
"Oh ..." Manik Angkeran sekarang mengerti. Rostika sudah lama tahu,
bahwa Fatimah adalah tunangannya Manik Angkeran. Pemuda itu dahulu sering
membicarakan. Seumpama saat itu tidak dalam ketegangan, pastilah akan menjadi
suatu pembicaraan yang menarik dan menggelikan. "Selama hidupku, belum
pernah aku berhadapan muka dengan gurumu," Rostika malanjutkan. "Aku
hanya mendengar kebe-saran namanya. Itulah yang dahulu kuanjurkan kepadamu,
agar engkau berguru kepadanya, karena aku melihat bakatmu sangat bagus. Kau
kini berhasil diterima menjadi muridnya. Hatiku bersyukur... sekarang kau
berkata bahwa aku tadi diracunnya. Kalau benar, aku jadi tak mengerti...
Apakah, apakah ..." "Kak Rostika! Percayalah, aku berkata de-ngan
sesungguhnya. Sebab aku melihat bayangannya keluar dari bilikmu. Setelah aku
memeriksa tubuhmu, kudapati racun menge-ram dalam dirimu." Manik Angkeran
meya-kinkan. "Apakah engkau mau memberi ke-terangan dengan
sebenarnya?" "Mengapa tidak? Kau telah menolong jiwaku. Masakan aku
akan berdusta padamu?" Manik Angkeran berdiam sejenak. Kemu-dian
memutuskan, "Mari kita mencari tempat yang baik." Setelah berkata
demikian, ia membawa Rostika menjauhi halaman pertapaan. Pada sebuah pohon
rindang ia berhenti menge-lanakan penglihatannya. Setelah yakin tidak bakal
kena ganggu, ia berkata sambil mencari tempat duduk. "Kak Rostika. Kau
sudah bersedia hendak memberi keterangan dengan sejujur-jujurnya. Benar,
bukan?" "Tentu, tentu. O, adikku. Hampir empat tahun aku hidup bersuami-istri
dengan kakakmu Suhanda. Dari luar nampaknya aman ten-tram, tapi sesungguhnya
tidaklah demikian. Kami berdua selamanya merasa terancam bahaya pada tiap-tiap
detik. Ini disebabkan, karena aku berasal dari keluarga Ratu Fatimah, sedangkan
kakakmu adalah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Justru dua golongan itu
merupakan musuh keturunan. Perkawinanku dengan kakakmu Suhanda, tidak
dikehendaki oleh golonganku. Demikian pula sebaliknya. Kami berdua terpaksa
memencilkan diri ..." Sampai di sini Rostika berhenti. Ia seperti tak
sanggup meneruskan. "Apakah peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan
masalah perkawinanmu?" Manik Angkeran menegas. "Manik Angkeran!
Benar-benar otakmu cer-das. Nenek dari Karumbi meskipun berden-dam besar
terhadap golongan kami, tapi ter-nyata dia tak sudi minta pertanggunganjawab
kepada angkatan mudanya. Buktinya, dia hanya melukai. Dan tidak membunuhnya.
Padahal sudah semestinya kita harus dibunuhnya." "Kak Rostika! Aku
mungkin bisa cepat mengerti mengenai hal-hal ketabiban. Tapi dalam urusan luar,
otakku tumpul." Rostika tersenyum. "Kalau begitu, biarlah aku
bercerita yang urut agar engkau mengerti persoalan ini de-ngan jelas."
Setelah berkata demikian, ia duduk di sam-ping Manik Angkeran. "Menurut
kabar yang pernah kudengar, gurunya Panembahan Maulana Ibrahim, Tatang Manggala
dan nenek dari pegunungan Karumbi adalah saudara seperguruan. Ma-sing-masing
memiliki kepandaian yang berbe-da. Gurumu ahli dalam ilmu ketabiban. Tatang
Manggala seorang ahli pemerintahan. Dan nenek dari pegunungan Karumbi seorang
sakti pada zamannya. Entah apa sebabnya, mereka berpisahan dan mengambil
jalannya masing-masing. Gurumu dan Tatang Manggala mengabdikan diri sebagai
hamba Kerajaan Banten. Sedangkan Nenek Karumbi bermukim di atas pegunungan
Karumbi. Meskipun jalan hidupnya berbeda, namun keluarga perguruan merupakan
ikatan batin yang kuat. Kemudian pecahlah suatu pemberontakan, antara Ratu
Fatimah dan Ratu Bagus Boang. Gurumu dan Tatang Manggala dengan sendirinya
berada di pihak Ratu Fatimah. Dan Nenek Karumbi berada di pihak Ratu Bagus
Boang. Tapi meskipun demikian masing-masing berjanji dalam hati tidak akan
saling berkelahi secara langsung. Di luar dugaan, terjadilah suatu peristiwa
yang menegangkan. Suami Nenek Karumbi gugur dalam suatu pertempuran sengit. Meskipun
gugurnya suami Nenek Karumbi tidak boleh dipikulkan di atas pundak gurumu dan
Tatang Manggala, namun mereka berdua kemudian memundurkan diri dari
pemerintahan kerajaan sebagai per-nyataan ikut berduka-cita. Tatang Manggala
kembali ke daerah asalnya di Malingping. Gurumu bermukim di atas Gunung Endut
ini. Dan untuk berpuluh tahun lamanya, mereka bertiga hidup aman tenteram,
meskipun nenek dari pegunungan Karumbi sangat menderita oleh peperangan
itu." Sampai di sini Rostika berhenti sejurus. Kemudian meneruskan,
"Ratu Bagus Boang hilang tiada beritanya dengan meninggalkan warisan
perserikatan para pecinta pembela keadilan yang terkenal dengan nama: Himpunan
Sangkuriang. Dan Ratu Fatimah sudah lama wafat ... Eh, kau senang tidak
mendengar sejarah orang-orang tua ini?" "Tentu! Teruslah!" Manik
Angkeran menya-hut cepat. "Bagus!" Rostika bersemangat. "Ratu
Fatimah mempunyai seorang murid yang kini menjadi penggantinya. Dialah guruku.
Nama-nya Edoh Permanasari. Dan nenek dari pegu-nungan Karumbi mempunyai seorang
anak laki-laki bernama Kamarudin. Antara guruku dan pendekar Kamarudin terjadi
suatu jalinan cinta-kasih semasa mudanya." Rostika berhenti lagi. Wajahnya
merah dan ia menundukkan kepala. Dalam hati, segan ia membicarakan riwayat
gurunya. Tapi karena sudah berjanji, ia menguatkan hati untuk melanjutkan.
Katanya tak lancar, "Tapi agaknya, Tuhan tidak merestui per-hubungan itu.
Entah apa sebabnya ... atau entah siapa di antara mereka berdua yang salah ...
mereka berpisah dan saling berden-dam. Guruku waktu itu belum mencapai pun-cak
ilmu perguruannya. Oleh dendam hati, ia bertekun sampai dua puluh tahun
lamanya. Kemudian mulailah dia melampiaskan den-damnya. Dia membunuh dan
mencelakai semua orang yang hidup terlalu rukun dalam keluarganya. Sebab guruku
tak sudi melihat sepasang suami-isteri yang terlalu mesra atau sepasang
muda-mudi yang berbahagia. Itulah sebabnya, semua murid-murid guruku tak
diperkenankan hidup berkeluarga." "Ah tahulah aku kini, apa sebab
engkau selalu merasa diri terancam. Karena engkau hidup berbahagia dengan kak
Suhanda, bukan?" "Tidak hanya itu saja. Kakakmu Suhanda adalah
anggauta Himpunan Sangkuriang." "Baik. Tapi apa sangkut-pautnya
dengan nenek dari pegunungan Karumbi itu." Rostika menghela napas dalam.
Menyahut: "Manik Angkeran! Meskipun semenjak aku menjadi isteri kakakmu
Suhanda tidak tahu menahu lagi tentang urusan perguruanku, namun dalam hatiku
tetap menghormati guruku Edoh Permanasari. Guruku boleh kejam dan berbuat
sewenenang-wenang ter-hadap siapa saja, namun aku adalah muridnya. Betapapun
juga, dia adalah mustika hatiku. Tapi ... tapi ... mendadak dalam bulan ini
terjadilah suatu malapetaka yang menyedihkan. Oleh dendamnya yang sangat besar,
guru jadi mata gelap. Keluarga Kamarudin dihabisi nyawanya sampai ke itik dan ayam-ayamnya."
"Ih!" Manik Angkeran terkejut. "Tidak hanya itu saja, rumahnya
dibakar. Isteri dan anak-anak pendekar Kamarudin setelah dibunuhnya, dirusak
tubuhnya dan dilemparkan ke unggun api sehingga tak beda dengan binatang terpanggang,"
Rostika ter-engah-engah. "Sudahlah wajar, bahwa ibu pendekar Kamarudin
turun dari pegunungan untuk membuat pembalasan. Meskipun demikian ...
menghadapi aku murid Edoh Permanasari, dia tidak berlaku ganas seperti guruku
tatkala menghancurkan anak isteri pendekar Kamarudin. Aku hanya dilukai
sedangkan Atika sama sekali tak disentuhnya. Entahlah bila dia menghadapi
gurumu kaum se-angkatannya. Rupanya dia minta pertang-gunganjawab gurumu. Sebab
gurumu adalah penasihat dan pembantu almarhum Ratu Fatimah. Sedangkan guruku adalah
murid Ratu Fatimah." Mendengar keterangan sejelas itu, Manik Angkeran jadi
sibuk. Samar-samar ia seperti dapat menebak maksud gurunya apa sebab mereka
yang sudah diobatinya dilukai kem-bali. Katanya perlahan. "Tahulah aku
kini ... Aku hanya diizinkan untuk sekedar meringankan penderitaan mereka. Tapi
aku berusaha keras hendak menyembuhkan. Guru tidak menolak, meng-ingat dasar
tujuan hidup seorang tabib yang harus menolong sesama hidup sesuai dengan
pengetahuannya. Tapi karena tidak menghen-daki akan terjadi sesuatu ketegangan,
dia merusak kembali apa yang sudah kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Rupanya
guru segan dan menghormati nenek dari pegunungan Karumbi, berbareng mengulurkan
rasa kasih sayang terhadapku. Bukankah yang penting di sini adalah ilmu cara
mengobati luka yang aneh itu dan bukan siapa yang kuobati? Meskipun demikian
andaikata Kak Rostika sampai tewas, selama hidupku aku akan menyesalinya."
"Adikku ... engkau memang seorang anak yang luhur budi. Pantaslah engkau
mewarisi ilmu ketabiban Panembahan Maulana Ibrahim yang kelak harus
kauamalkan," kata Rostika dengan terharu. Senang Manik Angkeran mendengar
pujian itu. Hatinya jadi puas. Setelah menikmati rasa puasnya, sejenak kemudian
dia menegas, "Satu hal yang masih mengherankan aku, apa sebab kau dilukai
bersama-sama mereka. Apakah Kak Rostika berada di antara mere-ka?" .
"Secara kebetulan dan secara aneh sekali" jawab Rostika. "Betul
mereka termasuk go-longan penentang-penentang Himpunan Sangkuriang, namun
mereka terdiri dari alir-an-aliran bermacam-macam. Pengawal raja, pamong praja,
polisi kerajaan, kepala kam-pung, pedagang, pendekar-pendekar bayaran dan
pemilik-pemilik tanah kerajaan. Masing-masing mempunyai cara hidup dan
kata-kata sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Namun mereka kena tergiring
juga ... Baiklah kuceritakan mulai diriku sendiri." "Ya ingin aku
tahu, bagaimana cara nenek dari Karumbi itu melukai dirimu," tungkas Manik
Angkeran. Rostika memperbaiki letak duduknya, sete-lah menyiratkan pandang ke
sekitarnya, berkata setengah berbisik: "Malam ini, sebenarnya aku harus
berada pada suatu tempat bersama-sama kakakmu Suhanda." "Di
mana?" "Sst! Ini adalah suatu rahasia besar. Dan janganlah aku kau
desak untuk menyebutkan nama tempat itu. Engkaupun tiada kepenting-annya."
"Baiklah" "Tempat itu adalah pusat markas besar Himpunan
Sangkuriang. Malam ini kami harus datang dan berkumpul di sana. Kami sudah
berkemas-kemas. Mendadak di atas tempat tidurku aku menemukan tanda sandi
perguruanku. Gambar mahkota dengan perkataan: Kurnia. Itulah suatu perintah
agar aku menghadap guru di Jasinga. Melihat per-intah itu, hatiku sedih bukan
main. Dua hari yang lalu kakakku Suhanda terpaksa bertem-pur melawan sesama
golongannya sema-ta-mata mengenai diriku. Aku dituduh teman segolongannya
sebagai ular berkepala dua. Meskipun tidak seluruhnya benar, namun tidak salah
pula. Tadi kuterangkan, bahwa hati kecilku tak dapat meniadakan guruku Edoh
Permanasari. Hutang budiku sangat besar kepadanya." "Lantas?"
"Dengan dalih hendak menitipkan Atika kepada bibiku yang bertempat tinggal
di Tanggerang, aku berhasil membujuk kakakmu Suhanda agar berangkat terlebih
dahulu. Aku berjanji padanya akan menyusul secepat mungkin dan tepat pada malam
yang ditentukan. Hem ... tak kukira, bahwa aku akan menemui halangan ini,"
Rostika mengeluh. Meneruskan. "Setelah kakakmu Suhanda berangkat. Segera
aku berangkat pula ke Jasinga. Setibaku di Jasinga aku menemukan suatu
petunjuk, bahwa aku harus berkumpul di sebuah rumah kosong yang berada di tepi
kali. Ci Berang. Hatiku mulai bergetaran. Aku sudah menduga delapan bagian,
bahwa guru-ku bermaksud hendak menghukum diriku. Dengan menabahkan hati, aku
membawa Atika mencari tempat itu. Dengan pertolongan seorang petani kudapati
rumah kosong. Tapi begitu masuk, aku jadi keheranan. Di dalam rumah itu
kujumpai 22 orang bersenjata lengkap dengan sikap berdiam diri. Tak se-orangpun
kukenal dan tak kujumpai seorang-pun dari perguruanku. Mereka saling memandang
dan kemudian mengawaskan daku dengan pandang curiga. Aku jadi tak enak sendiri.
Takut salah alamat, segera aku minta maaf kepada mereka dan menerangkan bahwa
kedatanganku adalah semata atas petunjuk seseorang. Mendengar perkataanku,
mereka jadi tercengang-cengang. Lalu saling pandang lagi. Akhirnya saling
berbicara. Rupanya sebelum aku datang, mereka tiada yang berkata-kata karena
saling mencurigai." "Merekapun menerangkan, bahwa keda-tangannya
semata-mata memenuhi panggilan berhubung tanda sandi yang diketemukan. Tadi
kuterangkan, bahwa mereka berasal dari golongan aliran bermacam-macam dan
memiliki tanda-tanda sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Tapi ajaibnya
mereka datang ke rumah tersebut atas tanda sandi masing-masing yang diketemukan
pada tem-pat-tempat tertentu. Siapakah yang sudah main gila ini?"
"Meskipun kami tidak saling membuka hati, tapi kami tahu bahwa alasan kami
keluar dari rumah semata-mata berhubungan dengan adanya musyawarah Himpunan
Sangkuriang yang dimulai pada malam hari ini. Demi hal itu, mereka termasuk aku
yang mempunyai kepentingan langsung, berani menghadapi bahaya. Ternyata pada
malam hari itu, kami semua sudah kena dikelabuhi lawan. Sudah barang tentu,
mereka mencak-mencak karena gusar. Tetapi sesudah berpikir panjang, mere-ka
jadi bergeridik semua. Itulah disebaban pe-rihal tanda sandi. Kalau saja lawan
yang main gila itu bukan seseorang dari angkatan tua, yang tahu seluk beluk
golongan dan aliran kami, tidaklah mungkin dapat mengetahui tanda-tanda sandi
masing-masing." "Selagi mereka sibuk berbicara, aku mendengar suara
orang terbatuk-batuk di luar, pikirku apakah diapun termasuk seorang yang kena
digiring ke rumah kosong itu? Aku sendiri waktu itu sudah memutuskan hendak
segera berangkat." Di ambang pintu, aku melihat seorang nenek-nenek
beruban yang terbatuk-batuk tiada henti. Perawakan nenek itu sedang. Bongkok
dan nampak terganggu oleh penyakit batuknya. Disampingnya berdiri seorang anak
laki-laki berumur kurang dari 11 tahun. Melihat nenek itu, aku mengurungkan
niatku hendak segera berangkat. Ia kuberi jalan masuk dahulu. Sekarang kulihat,
ia menggenggam sebuah tongkat dari baja putih pada tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya membawa serenteng kalung baja berbintang tiga. "Hai! Jadi
dialah nenek dari pegunungan Karumbi?" potong Manik Angkeran dengan suara
tegang. "Ya. la mengenakan pakaian kasar. Kesan-nya seorang yang miskin.
Tapi anak laki-laki di sampingnya mengenakan pakaian bersih dan rapi. Kukira
dialah anak pertama pendekar Kamarudin yang dikabarkan semenjak kecil dirawat
neneknya. Di antara keluarga pendekar Kamarudin hanya dia seorang yang selamat
dari malapetaka." "Hm..." Tak terasa Manik Angkeran melepas rasa
sesal. "Dalam pada itu, nenek berbongkok tadi sudah masuk ke dalam ruang
rumah." Rostika melanjutkan, "la terus terbatuk-batuk tiada hentinya.
Tatkala melihat orang-orang yang berada di dalam rumah ia bergumam seorang
diri: "Hanya dua puluh tiga orang. Coba tanyakan, apakah ada di antara
mereka yang bernama Edoh Permanasari?" Si anak kecil kemudian berkata
lantang. "Hai! Apakah di antara kalian ada yang bernama Edoh Permanasari?"
"Mendengar seruan itu, hatiku bergidik bukan karena takut. Tapi ngeri
menyaksikan betapa anak laki-laki seumur itu mengesankan suatu kumandang suara
yang bernada dendam kesumat. Dendam kesumat oleh perbuatan.guruku."
Tatkala nenek itu memasuki rumah, kecuali aku tiada yang menaruh perhatian.
Sebab masing-masing sibuk dengan teka-teki yang sedang dihadapi. Tapi begitu
mendengar suara anak laki-laki itu, mereka segera sadar. "Hai bocah
ingusan! Kau bilang apa?" Salah seorang menegas. "Nenekku bilang, apakah
ada di antara kalian yang bernama Edoh Permanasari?" "Kalian ini
siapa?" Sebagai jawaban, nenek yang nampak kesakit-sakitan itu
sekonyong-konyong ter-batuk-batuk keras dan melesat dengan me-ngirimkan tenaga
pukulan maha dahsyat. Entah bagaimana cara dia bergerak. Tahu-tahu dadaku sudah
terasa sesak. Ingin aku mengangkat tangan, tapi tenagaku seperti ter-lolosi.
Tanpa kukehendaki sendiri, aku jatuh lunglai di atas tanah."
"Meskipun aku kena pukulan, namun pi-kiranku masih bekerja. Aku
dibingungkan oleh suatu peristiwa yang terjadi derlgan tiba-tiba dan di luar
dugaan. Dalam pada itu kulihat nenek bongkok tadi melesat ke sana ke mari
dengan menghantam serabutan. Luar biasa cepat gerakannya. Baik caranya
menyerang, gerakan tubuhnya dan tenaga pukulannya. Dua puluh dua orang yang
terdiri dari pendekar-pendekar kelas utama pada zaman ini, kena dirobohkan
tanpa bisa mengadakan perlawanan sedikitpun. Mereka baru sadar setelah kena
pukulan." Setelah ke-22 orang itu roboh tak berkutik, nenek bongkok itu
kemudian menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing mendapat
bagiannya. Lenganku kebagian pula tiga batang baja. la mendekati aku.
Terbatuk-batuk dan kemudian kudengar dia bergumam menyeru cucunya:
"Mahmud! Biarlah lengannya yang sebelah utuh seperti sediakala. Sebab Edoh
Permanasari hanya memiliki separoh tubuh-nya ..." "Setelah berkata
demikian, perlahan-lahan ia keluar rumah dengan membimbing cucu-nya. Tapi
tahu-tahu tubuhnya lenyap dengan sebentaran saja. Benar-benar hebat dan tak
terduga gerakannya." Rostika menghela na-pas, sedang'Manik Angkeran
terdiam seperti ada sesuatu yang memenuhi otaknya. Se-konyong-konyong dalam
kesunyian itu, ter-dengar suara ranting kering patah. Hampir berbareng mereka
berdua berputar menoleh. "Awas!" Rostika memekik terkejut. Manik Angkeran
masih sempat melihat suatu bayangan menyerangnya. "Guru!" Ia memekik
terkejut bercampur heran. Tapi belum habis ia menjenak napas dadanya kena
terpukul sehingga ia jatuh ter-jongkok. Rostika menerjang sambil melontarkan
pukulan. Tetapi pendekar wanita itu dalam keadaan luka. Lengan kirinya tak
dapat digu-nakan. Begitu kena serangan balasan tak dapat ia menangkis. Dalam
satu gebrakan ia jatuh terkulai dan tak dapat berkutik lagi. Waktu itu fajar
hari hampir tiba. Suasana alam lebih terang daripada bulan purnama. Dengan
jelas Manik Angkeran mengenal siapa penyerangnya. Benar-benar gurunya.
Kumis-nya yang tebal serta jenggotnya yang panjang tak dapat disembunyikan
dalam keremangan alam. Seketika itu juga, beratus ribu tanda tanya berkelebatan
dalam benak pemuda Manik Angkeran. la melihat gurunya menghampiri Rostika yang
sudah tak dapat berkutik. Dagu Rostika dipenyetnya sampai mulutnya yang mungil
terpaksa terbuka. Kemudian gurunya mengeluarkan sebuah botol kecil dari
sakunya. Rostika sendiri kala itu sudah tak berdaya. Dia hanya bisa melihat
gerak-gerik lawan tanpa dapat mengadakan suatu perlawanan. Tatkala orang itu
mengeluarkan sebuah botol dan membuka tutupnya, hidungnya mencium suatu bau
ramuan racun yang sangat jahat. Seketika itu juga, kepalanya terasa menjadi
pusing. Dadanya sesak dan ingin melontak. Ingin ia bergerak. Tapi benar-benar
sudah kehilangan tenaga. Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan hanya
mengerling kepada Manik Angkeran. "Manakala racun dalam botol itu sudah
ter-tuang di dalam mulutku, habislah sudah riwayatku. Kasihan Atika."
Teringat Atika yang bakal menjadi anak yatim, hatinya menjadi pilu. Tapi dasar
dia se-orang pendekar maka dalam keadaan terjepit masih sempat ia menyerahkan
diri kepada takdir. Hatinya lantas saja menjadi tabah. Di luar dugaan, tatkala
racun itu hampir dicekokkan ke dalam mulutnya, mendadak Manik Angkeran nampak
meloncat bangun. Seperti kerasukan setan, pemuda itu melom-pat menubruk
sejadi-jadinya. Orang itu terkejut. Dalam gugupnya ia melemparkan botol racunnya.
Lalu bergerak hendak menangkis berbareng mendahului menyerang. Tetapi lompatan
serta serangan Manik Angkeran terlalu sangat cepat dan bertenaga luar biasa
besar. Tahu-tahu ia ter-lempar dengan berjungkir balik. Manik Angkeran sendiri
kaget luar biasa atas tenaganya sendiri, la bertambah kaget dan heran sewaktu
melihat korbannya. Ternyata orang itu berkumis dan berjenggot palsu. "Hai!
Si ... sia ... siapa kau?" seru Manik Angkeran gugup. Tanpa mengeluarkan
suara, orang itu terus lari tunggang-langgang turun gunung. Melihat kaburnya
orang itu Manik Angkeran terpaku sejenak. Lalu menghampiri Rostika dan segera
memeriksa lukanya. "Gntung! Serangannya tidak mengenai pun-dakmu.
Bagaimana? Sakit?" katanya gugup. "Tidaklah sesakit kau kira. Aku baik-baik
saja," sahut Rostika dengan suara lega. "Hanya saja ... tak kukira
engkau memiliki ilmu sakti jauh lebih tinggi daripadaku. Tenaga lontaranmu
benar-benar dahsyat seperti seorang pendekar kelas wahid." "Ya, ya,
ya ... sebenarnya ... sebenarnya aku sendiri tak mengerti. Aku justru merasa
seperti terlontarkan oleh suatu tenaga dorong dari belakang," ujar Manik
Angkeran bingung. Itulah Sangaji. la melihat datangnya ba-yangan itu, meskipun
perhatiannya terpusat pada percakapan Manik Angkeran dan Ros-tika. Pancainderanya
yang tajam luar biasa, menangkap suatu gerakan. Hati-hati ia menoleh dan
melihat guru. Sangaji menyeli-nap di belakang pohon, la mengira, dia datang
untuk mengintip pembicaraan mereka. Tak tahunya, dia menyerang Manik Angkeran
de-ngan sungguh-sungguh. Kemudian hendak mencekoki racun ke mulut Rostika.
Melihat bahaya, hatinya yang mulia tak dapat tinggal diam. Terus saja ia
mengirim tenaga dorong lewat ilmu saktinya tingkat tinggi. Begitu guru Manik
Angkeran kena gempuran tenaganya lewat Manik Angkeran, lantas saja terjungkal.
Ia memang gemas menyaksikan sepak terjang guru Manik Angkeran yang berkesan
keji. Di luar dugaan, ternyata bayangan itu bukan guru Manik Angkeran setelah
copot topengnya, la jadi berbimbang-bimbang hendak menghajar terus. Jangan-jangan
dia salah seorang pendekar anggota Himpunan Sangkuriang yang datang kepertapaan
untuk menyatroni Maulana Ibrahim yang ternyata berada di pihak lawan Himpunan
Sangkuriang. Karena itu, melihat orang itu melarikan diri ia tak mengejarnya.
Sebaliknya ia kembali menaruh perhatian kepada Manik Angkeran dan Rostika.
Terasalah dalam hatinya bahwa peristiwa yang terjadi dalam pertapaan kian lama
kian menarik. "Kak Rostika! Kurasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi
dalam pertapaan. Jangan-jangan orang itu telah mencelakai guruku pula,"
ujar Manik Angkeran gugup. "Kau tengoklah Atika. Aku sendiri akan
menjenguk guru." Sehabis berkata demikian, seperti kera-sukan setan Manik
Angkeran lari ke gubuk. Tiba di halaman, dia bertambah curiga. Dua badai yang
tadi menyalakan obor, tak nampak batang hidungnya. Ia mencoba memanggil-manggil
yang lain. Merekapun sepi. Pertapaan terasa menjadi kosong. Oleh kesan itu,
tergopoh-gopoh ia melompat masuk ke gubuk langsung menuju ke kamar gurunya.
Sangaji yang selalu berada tak jauh dari-padanya, terus menguntit dari
belakang. Karena hari hampir terang, ia melesat ke atas atap. Dari sana ia
mengikuti gerak-gerik Manik Angkeran sambil bersiaga. "Guru! Guru!"
Manik Angkeran terus menerobos masuk ke dalam kamar. Hatinya mence-los tatkala,
melihat gurunya terbaring di atas lantai tak berkutik lagi. Cepat ia melompat
menghampiri dan segera memeriksa pemapasannya. Napas gurunya berjalan sangat
lembut dan nadinya berdenyut lemah. Sekilas harapan melintas pada lubuk hati
pemuda itu. Segera ia membuat ramuan obat tertentu dan terus dimasukkan ke
dalam mulut gurunya. Pikirnya: "Benar-benar aneh! Guru teracun pula
seperti kak Rostika. Aih, sungguh aku anak goblok. Pertapaan sudah kerasukan
pengacau, semenjak tadi namun aku belum sadar." Dengan menggoyang-goyangkan
tubuh gurunya, benaknya penuh dengan teka-teki yang susah memperoleh
jawabannya. Tadinya ia menyangka, gurunyalah yang merusak pekerjaannya dengan
merunyamkan keadaan orang-orang dan Rostika demi menghindari kemurkaan nenek
dari Karumbi. Tapi setelah topeng orang itu kena dilucuti dan melihat
gurunyapun rebah teracun, ia malah jadi pepat tak keru-keruan. Tak lama
kemudian Maulana Ibrahim mem-peroleh kesadarannya kembali. Begitu melihat Manik
Angkeran, segera bertanya. "Hai, apakah semuanya sudah terjadi?
Alhamdulilah, akhirnya bencana dapat kita lampaui dengan bagus. Tepat pada
rencana kita." Manik Angkeran heran bercampur bingung. Tak mengerti ia
maksud.ucapan gurunya. Mau ia mengira, gurunya mengigau. Sekonyong-konyong
gurunya berontak dari pelukannya. Dengan mata menyala ia berkata tinggi.
"Hai! Hai! Kenapa justru kau yang menolong aku?" Mendengar ucapan
gurunya ini, Manik Angkeran bertambah bingung. "Di manakah paman gurumu?
Lekas bilang!" bentak gurunya. "Paman guru yang mana?" Manik
Angkeran tak mengerti. "Dia ... Tatang Manggala yang mengenakan topeng
raut mukaku." "Ah ..." Manik Angkeran kaget, sepintas lalu ia
seperti sudah dapat menebak beberapa bagian. Tapi... tapi... ia tergagap gagap.
"Tapi bagaimana?" "Dia tadi memukul aku... lalu akan mence-koki
mulut Kak Rostika dengan racun. Karena itu dia kuserang dari belakang punggung.
Dia jatuh. Topengnya terbuka... lalu... lalu lari turun gunung ..."
"Anak tolol!" bentak Maulana Ibrahim. Ber-bareng dengan ucapannya,
orang tua itu melompat berdiri dan menggampar pipi Manik Angkeran pulang balik
sampai menjadi be-ngap. Tamparan itu benar-benar tidak terduga. Manik Angkeran
tak bisa mengelak. Tak mengherankan, bahwa matanya menjadi berkunang-kunang dan
serasa ia hampir jatuh pingsan. Tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang
wanita. "Kau pengapakan adikku?" Dialah Rostika yang muncul di
belakang Manik Angkeran dengan membawa pedang terhunus. Melihat kedatangan
Rostika, bentaknya dan ancamannya, Maulana Ibrahim seperti tak menggubris.
Mukanya nampak menyesal luar biasa. Sekali bergerak ia menerkam perge-langan
tangan Manik Angkeran, kemudian dibawanya keluar ke serambi depan. Di sana ia
menghempaskan diri di atas bangku panjang yang terbuat dari lonjoran bambu.
"Memang sudah nasib... memang sudah nasib..." ia bergumam berulang
kali. Sambil meraba kedua pipinya yang panas pedas, Manik Angkeran mengawaskan
guru-nya. Hati dan benaknya jadi sibuk tak keruan. "Guru!" Akhirnya
dia memberanikan diri untuk berbicara. "Benar-benar aku tak me-ngerti apa
yang sudah terjadi." "Kau memang anak tolol dan sembrono. Justru
kesemberonoanmu inilah yang me-rusak rencana kita berdua dengan
sekaligus," Maulana Ibrahim menggerutu. Ia menghela napas dalam. Akhirnya
setelah berdiam seje-nak, ia kemudian berkata agak sabar: "Baiklah ... apa
boleh jadi. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesalpun tiada guna lagi,"
setelah berkata demikian mendadak pandangnya berubah menjadi lembut. Ia
mengamat-amati kedua pipi Manik Angkeran dan berkata penuh perasaan,
"Sakitkah kedua pipimu?" Sebenarnya, Manik Angkeran rnasih merasakan
panas dan pedas, namun melihat perubahan gurunya dari bergusar menjadi sabar
diam-diam ia bersyukur dalam hati. Maka sahutnya ringan: "Tak apalah guru
menampar kedua pipiku. Muridmu yang tolol yang sudah merusak rencana kerja
guru, patut menerima hukuman lebih berat lagi." "Tidak! Tidak! Akupun
akan berbuat seperti engkau juga, sekiranya menghadapi soal ini," ujar
Maulana Ibrahim di luar dugaan. "Du-duklah! Mana tadi yang kau sebut
kakak?" Manik Angkeran tahu, dialah Rostika. Dengan mata ia memberi
isyarat agar Rostika datang menghampiri. "Kau anak murid Edoh,
bukan?" Maulana Ibrahim menegas. Rostika tak segera menjawab. Hatinya
ma-sih penuh teka-teki. Namun demikian, ia me-nyarungkan pedangnya sambil mengangguk.
"Hm." Maulana Ibrahim menghela napas dalam lagi. Setelah
memerintahkan Rostika mengambil tempat duduk, ia berkata mulai: "Kau
dilukai pula oleh seorang nenek dari pegunungan Karumbi, bukan? Dialah adik
seperguruanku. Semasa mudanya, dia berna-ma Diah Kartika. Seorang wanita cantik
jelita tak ubah bintang kejora." Meskipun dari angkatan muda, sedikit
banyak Rostika sudah mendengar hal itu dari keterangan gurunya. Itulah sebabnya
ia tidak menunjukkan suatu perubahan. Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan
Maulana Ibrahim. Begitu menyebut nama Diah Kartika, mulutnya menyungging senyum
manis dibarengi dengan nyala mata berseri. Tapi hanya sekejap. Setelah itu
meredup kembali. "Kami bertiga mewarisi kepandaian guru yang dapat
diandalkan. Aku mewarisi ilmu ketabiban. Tatang mewarisi ilmu tata
pemerintahan. Dan Diah Kartika ilmu sakti tata berkelahi. Kami bertiga berjanji
akan saling membahagiakan serta tidak mencampuri urusan kami masing-masing.
Sekarang murid Ratu Fatimah merusak keluarga Diah Kartika. Itulah Edoh Permanasari.
Sudah barang tentu tidaklah salah bila Diah Kartika menuntut dendam kepada kami
berdua. Sebab kami berdua adalah penasihat-penasihat serta pembantu almarhum
Ratu Fatimah." Mendengar kata-kata Maulana Ibrahim, tak terasa Rostika
mengeluh dalam hati. Sepak terjang gurunya memang agak keterlaluan. Itulah
gara-gara cerita asmara saja. "Nasib Diah Kartika memang kurang
baik," Maulana Ibrahim melanjutkan. "Suaminya gugur dalam suatu
pertempuran. Lalu kami berdua Tatang dan aku mengambil keputusan mengmundurkan
diri dari semua kegiatan pe-merintahan. Demikianlah, maka Tatang kem-bali ke
Malingping dan aku berada di sini me. lanjutkan amal hidupku. Gntuk berpuluh
tahun lamanya, kami berdua aman tenteram. Meskipun dalam hati, kami ikut
berduka-cita atas nasib Diah Kartika yang buruk. Aih ... tak tahunya, karena
gara-gara Edoh Permanasari, kini kami berdua terdorong ke pojok," ia
berhenti sebentar. Melanjutkan, "Sebelum orang- orang itu tiba di sini,
Tatang Manggala sudah berada di dalam kamar, la memberitahukan tentang maksud
Diah Kartika. Dengan dalih memasuki olah semadi, dapatlah aku berunding dengan
Tatang. Kau tak pernah melihat paman gurumu, bukan?" Manik Angkeran
menggelengkan kepala. "Bagus!" ujar Maulana Ibrahim cepat.
"Sebenarnya bagus rencana itu. Buktinya kau tak pernah melihat
pamanmu." "Rencana apa, guru?" Manik Angkeran minta keterangan.
"Kami berdua sudah mengambil keputusan takkan mengobati apalagi
menyembuhkan mereka yang menderita luka, demi kebaikan perhubungan kami
bertiga. Sebab antara kami berdua dan Diah Kartika terjadi suatu jurang dalam
di luar kemampuan kami sendiri. Itulah perkara perjuangan hidup. Kami berdua
berada di seberang Ratu Fatimah. Diah Kartika berada di pihak Ratu Bagus Boang.
Di luar dugaan kau sudah mengobati anak-murid Edoh Permanasari yang justru
menjadi pokok persoalan. Sudah barang tentu, aku kena gugat Tatang Manggala.
Sebab ada beberapa anak muridnya yang menderita luka. Bukankah anak-murid
Tatang Manggala berbicara denganmu di depan kamarku?" "Benar.
Merekalah Hamid dan Suria," sahut Manik Angkeran menyesal. "Maka
terpaksalah aku berlaku adil. Kukisiki engkau bagaimana caramu menolong mereka.
Setelah itu semalam aku merusaknya lagi. Rupanya Tatang Manggala minta
keadilanku. Dengan menyamar sebagai diriku, diapun lantas meracun anak murid
Edoh Permanasari. Tapi ... tapi ... engkau telah menolongnya kembali. Dengan
demikian, timbullah amarah Tatang Manggala. Aku disuruh memilih: engkau kubunuh
atau dia membunuh anak murid Edoh. Aku tak dapat memberi keputu-san dengan
segera. Sebab kulihat antaramu dan anak-murid Edoh agaknya pernah terjadi suatu
perhubungan mirip satu keluarga. Akhirnya setelah berjam-jam merenungkan hal
itu, aku menemukan suatu jalan. Aku memberinya semacam racun yang dapat membius
seseorang sampai lima jam lamanya. Waktu lima jam cukuplah sudah untuk
mengelabui Diah Kartika. Sebab dia akan tiba tepat menjelang cerahnya matahari.
Apabila dia melihat aku telah mati membunuh diri, pastilah hatinya sudah
menjadi puas. Terlebih-Iebih apabila dia melihat pula mayat Tatang Manggala,
murid-muridnya, orang-orang yang dilukai, anak-murid Edoh Permanasari dan
engkau sendiri. Adikku seperguruan Diah Kartika memang aneh wataknya. Dia
tidaklah bisa dipersamakan dengan manusia umum. Manusia berbuat begini, dia berbuat
begitu. Manusia berpikir begini, dia berpikir begitu. Sekali dia memberi
ancaman, takkan mau sudah, sebelum yang diancamnya mati ketakutan
sendiri." "Apakah maksud guru, bibi tak pernah membunuh orang?"
Manik Angkeran mene-gas. "Selamanya belum pernah ia membunuh orang. Tapi
sering mengadakan pembunuh-an," sahut Maulana Ibrahim cepat. "Dengan
jalan melukai?" "Tidak hanya itu. Yang terpenting, ia memaksa
korbannya mati karena ketakutan sendiri." "Ah," Manik Angkeran dan
Rostika kaget berbareng. "Dan mati demikian lebih tersiksa daripada
dibunuhnya. Kami berdua tidak takut mati. Tapi hati kami benar-benar terharu,
apabila maut kami datang dari tangan adikku seper-guruan yang kami sayangi
semenjak masa mudanya." Diam-diam Manik Angkeran dan Rostika merasakan
keharuan itu. Memang terasa sa-ngat menyedihkan, apabila orang tua itu
ter-paksa harus mati oleh tangan adik seperguru-annya sendiri. "Apakah hal
ini tidak dapat diterangkan?" Rostika mencoba. "Sebab terjadinya
peristiwa ini bukankah akibat perbuatan guruku yang memang agak
keterlaluan?" "Hm," dengus Maulana Ibrahim. "Kalau saja
Diah Kartika adalah manusia lumrah yang bisa diajak berbicara, masakan kami
berdua tidak mempunyai pikiran demikian?" "Sekarang belum lagi terang
tanah," kata Manik Angkeran. la seperti menemukan suatu jalan sehingga
suaranya jadi bersemangat. "Biarlah guru mengulangi minum obat racun
pembius itu. Aku yang nanti akan menyem-buhkan kembali." "Macam
ramuan racun tersebut belum per-nah kuajarkan kepadamu. Tetapi aku mem-punyai
catatannya. Kelak engkau dapat mem-buat sendiri. Sekarang tak sempat lagi.
Se-dangkan racun itu terbawa kabur paman gurumu. Bukankah engkau yang membuat
paman gurumu kabur turun gunung?" Mendengar ujar gurunya, Manik Angkeran
tergugu. Terpukulnya Tatang Manggala me-mang datang daripadanya. Tapi kalau
dikata-kan dialah yang memukulnya sampai bisa jatuh jungkirbalik, tidaklah
benar seluruhnya. Soalnya kini, sulit untuk diterangkan, Sangaji yang berada di
atas atap tahu akan kesulitan itu. Ia menyesali diri apa sebab bertindak hanya
menuruti luapan hati saja. Tapi siapa mengira, bahwa di dunia ini banyak
terjadi suatu peristiwa yang sangat berbelit dan berada di luar kewajaran.
Sangaji adalah seorang ksatria tulen. Semua gerak-geriknya, sepak-terjang serta
pengu-capan hatinya selamanya berterus-terang. Gamblang terang tiada
berbelit-belit. Karena itu ia mengukur semuanya dengan bajunya sendiri.
"Aku ini memang anak tolol," pikirnya da-lam hati. "Baiklah
mulai detik ini aku bersikap akan menonton sampai semuanya selesai."
Memikir demikian, ia berjanji sepenuhnya. Janji bagi Sangaji tak ubah seperti
suatu sumpah. Dan ia akan menepati janji itu, biar Manik Angkeran menjadi
perasa kini. la se-olah-olah merasa diri menjadi pangkal akan terjadinya
bencana. Selagi berenung-renung terdengarlah suara batuk di kejauhan, la
melihat Rostika kaget sampai wajahnya menjadi pucat. Tatkala melemparkan
pandang kepada gurunya, orang tua itu terus berkata: "Apa yang terjadi
dengan diriku, kau tak usah memikir berkepanjangan, Manik Ang-keran! Kau adalah
muridku satu-satunya. Aku hanya bisa mewarisi segebung buku catatan ilmu
ketabiban dan racun. Ambillah nanti. Kusimpan di bawah tiang kanan tempat
tidurku. Gali! Kelak amalkan." "Guru akan ke mana?" Manik
Angkeran memotong. "Dengarkan! Sekarang tak ada tempo lagi. Lihat! Di
tanganku ada sebuah pil. Inilah pil perguruan kami yang berisi racun tiada
duanya di dalam dunia. Selama hidupku aku mencoba menyelidiki cara
mengatasinya, tapi tak berhasil juga guru dahulu bersabda, siapa di antara kami
bertiga merupakan sebab mu-sabab terjadinya suatu kesalahan, harus me-nelan pil
ini..." "Bagus! Nah telanlah!" Terdengar suara menungkas. Dialah
Nenek Karumbi. Diah Kar-tika. Batuknya tadi masih terdengar jauh. Tapi dengan
tiba-tiba saja sudah berada di belakang punggung Manik Angkeran. Bisa
dibayangkan betapa cepat gerakannya. Dengan tersenyum pahit, Maulana Ibrahim
menelan pil itu tanpa berbicara meski sepatah katapun. "Hai! Kau telan
benar-benar?" Diah Kartika berkata dengan berbatuk-batuk. "Diah! Kau
masih seperti dahulu juga. Masih mau menang sendiri," sahut Maulana
Ibrahim. "Bukankah aku dan Tatang sudah merasa takluk semenjak
dahulu?" Batuk nenek dari pegunungan Karumbi bertambah-tambah sesak.
Rostika bergidik. Teringat dia sewaktu batuk nenek itu bertam-bah menghebat.
Sekonyong-konyong ia meng-ambil tindakan di luar dugaan. "Di antara kita
bertiga, engkaulah yang me-warisi ilmu sakti guru. Sebab engkaulah satu-satunya
murid perempuan," kata Maulana Ibrahim lagi. 'Tapi pernahkah engkau mendengar
pesan guru?" Lagi-lagi Diah Kartika meningkatkan batuk-nya, ia meraih
tangan cucunya. "Guru rupanya kenal benar akan watakmu. Ramalannya
ternyata tepat. Kita berdua dila-rang keras untuk melawan meskipun hanya
melawan berbicara. Guru berkata kepada kita berdua begini: Dalam hal ilmu sakti
tata berkelahi kamu berdua takkan nempil melawan Diah. Juga dalam hal
menggunakan racun serta menolak racun. Sekiranya di kemudian hari ia berbuat
kelewat batas terhadap kamu berdua wakililah tangan gurumu. Telan pil ini.
Meskipun kamu berdua bakal mati, namun nama perguruan kita akan tetap
bersemarak. Kau tak percaya kehebatan dari ramuan racun pil yang kutelan ini?
Hayo cobalah atasi! Kalau kau mampu Diah, aku akan menyembahmu seperti guru
sendiri." Inilah suatu kejadian di luar dugaan Diah Kartika. Sebagai
murid, ia kenal akan pil itu. Namun tak pernah mengira, bahwa pil itu
sesungguhnya disediakan gurunya untuk menghadapinya. Dengan terbatuk-batuk, ia
mengamat-amati wajah Maulana Ibrahim. Ta-hulah dia, Maulana Ibrahim benar-benar
telah keracunan hebat. Sepanjang pengetahuannya, tak dapat ia mengatasi. Maka
di dalam hatinya ia merasa sudah kalah. Ia boleh hebat dalam bidangnya, ia
boleh sakti. Namun belum boleh dikatakan sebagai ahli waris ilmu gurunya
penuh-penuh. Mau tak mau ia harus mengakui, pentingnya kerjasama antara saudara
sesama perguruan. Samar-samar ia seperti dapat menangkap maksud gurunya
sesungguhnya. Dia, Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala akan terpecah dan
berpi-sahan berhubung dengan keahlian masing-masing yang berbeda. Namun tidak
berarti dapat berdiri sendiri mewakili pamor perguruannya. Memperoleh pikiran
demikian, dengan ter-batuk-batuk Diah Kartika berkata kepada cucunya.
"Mahmud! Kau bersembahlah! Dialah eyang gurumu!" Sebagai seorang ahli
racun tahulah dia, bahwa Maulana Ibrahim sudah keracunan hebat dan tak mungkin
dapat tertolong. Maka dalam hati kecilnya ia mengakui, bahwa ilmu kepandaian
gurunya berada di atas kepan-daiannya sendiri meskipun semenjak keluar dari
rumah perguruan sudah mencoba me-ngembangkan dengan caranya sendiri sesuai
dengan bakatnya. Demikianlah setelah menunggu Mahmud melakukan perintahnya ia
berputar meman-dang alam. Dibimbinglah tangan cucunya. Kemudian dengan
berbatuk-batuk ia berjalan. Nampaknya baru beberapa langkah. Tahu-tahu suara
batuknya sudah berada sejauh se-Ieret cahaya di cakrawala. Betapa tinggi
kepandaiannya dan betapa cepat gerakannya, benar-benar susah terukur. Tatkala
itu kedua kaki Maulana Ibrahim mulai bergerak-gerak. Sebentar saja dia jatuh
pingsan. Melihat keadaan gurunya, Manik Angkeran menangis menjerit-jerit.
"Manik Angkeran!" Rostika berkata. "Tadi kudengar, kau tak boleh
memikirkan keadaan gurumu dengan berkepanjangan. Kau diharuskan mengamalkan
ilmu sakti gurumu. Cobalah tengok, macam buku apa yang diwariskan gurumu
kepadamu." Mendengar kata-kata Rostika, Manik Angkeran tersadar. Segera ia
masuk ke dalam kamar persemadian gurunya. Terus saja ia membongkar tempat
tidur. Di bawah tiang tempat tidur sebelah kanan, ia melihat sebelah kanan, ia
melihat sebuah lobang. Setelah dibongkar, terdapatlah segebung buku yang
tersusun rapi dalam sebuah kotak terbuat dari besi. Dengan setengah berlari, ia
membuka-buka lembarannya. Sepintas saja tahulah dia bahwa isinya mengenai
rahasia ilmu ketabiban dan pemunahan racun-racun berbahaya. "Apakah tiada
keterangan cara mengatasi racun yang ditelan gurumu tadi?" Rostika
me-negas. Dengan gopoh Manik Angkeran mencoba membalik-balik. Tetapi mencari
suatu resep di antara ribuan keterangan ilmu ketabiban dan racun, tidaklah mudah.
Sementara itu, dia sudah tiba di serambi untuk menengok keadaan gurunya.
Ternyata orang tua itu sudah tak bergerak. Manik Angkeran segera memeriksa urat
nadi, jantung dan pernapasan. Semuanya berjalan sangat lemah. Hidup gurunya
tinggal menunggu beberapa detik saja. Melihat ke-nyataan itu hati Manik
Angkeran sedih bukan main. Kembali ia menangis menjerit-jerit sambil memeluk
tubuh gurunya. Sekonyong-konyong, terdengar Rostika berkata tinggi. "Lihat
punggung gurumu! Apakah ini... apakah ini bukan ..." Mendengar ujar
Rostika, cepat Manik Angkeran membalik punggung gurunya. Samar-samar nampak
suatu deretan kalimat yang tidak segera dimengertinya: Lihat hala-man 427 Jalu
garis bawah halaman 14. Tanda-tanda penyeru halaman 47-19-245-24. Lantas pergi
jauh, amalkan kebajikan. Membaca kalimat yang penghabisan itu, se-Ieret cahaya
menggelinding dalam lubuk hati Manik Angkeran. Bukankah itu kalimat anjuran?
Dasar ia seorang pemuda cerdik, lantas saja dapat menangkap artinya. Segera ia
membalik-balik halaman 427. Kemudian halaman: 47 - 19 - 245 dan 24. la merenung
sebentar. Menimbang-nimbang. Setelah kali-mat-kalimat yang mempunyai
tanda-tanda garis bawah dan penyeru digabungkan, mem-punyai suatu deretan
kalimat ramuan resep pemunah racun. Hatinya girang dan bersyukur. Terus ia
membuka halaman 14. Di sana ternyata: tujuh jam terbangun kembali. Tak
membutuhkan pengamatan istimewa. "Kak Rostika! Benar!" seru Manik
Angkeran girang. "Guru rupanya sudah berhasil mene-mukan pemunah racun
perguruannya sendiri. Ini berarti, bahwa sesungguhnya dialah yang berhak
mewakili pamor perguruannya. Dia lebih menang daripada Bibi Diah Kartika atau
Paman Guru Tatang Manggala." "Bagus!" Rostika bersorak girang
pula. "Sudah kukira tadi sewaktu beliau menelan pil racun dengan mengulum
senyum. Sekarang, lekaslah kaukerjakan! Aku sendiri akan segera
berangkat." Teringat bahwa nenek dari pegunungan Karumbi itu bisa pergi
datang seperti iblis, hati Manik Angkeran bergidik juga. Segera ia menyetujui
keberangkatannya Rostika. Kemudian ia memapah gurunya ke dalam kamar. Benar
saja. Baru saja ia rampung menelan-kan ramuan obat pemunah ke dalam mulut
gurunya, Diah Kartika sudah terbatuk-batuk di belakang punggungnya. "Kau
hebat bocah!" katanya kering. "Semua anak murid Tatang Manggala tiada
berguna. Mereka pantas mati muda. Tapi kau agaknya kau bisa menolong gurumu.
Itulah suatu nasib bagus bagi gurumu. Tapi semenjak ini, kau harus ikut aku
mendaki pegunungan Karumbi." Pada saat itu, berbagai pikiran berkelebat
dalam benak Manik Angkeran. Teringatlah dia kata-kata pesan gurunya: Tujuh jam
terbangun kembali. Tak membutuhkan pengamatan istimewa. Lantas pergi jauh,
amalkan kebajikan, Resep pemunah racun perguruannya ter-nyata diselip-selipkan
di antara halaman-halaman tertentu. Ini berarti, bahwa gurunya tidak menghendaki
saudaranya seperguruan mengetahui hal itu. Buktinya dia diperintahkan agar
pergi jauh. Terang sekali maksudnya. Gurunya tidak menyetujui dia sampai kena
bekuk bibi gurunya. "Bibi!" ia memberanikan diri. "Tak dapat aku
mengikuti engkau." Diah Kartika terbatuk-batuk. "Apa sebab? Lihat
cucuku ini tidak mem-punyai teman. Diapun tiada gurunya, seumpama berteman
dengan salah seorang murid pamanmu Tatang Manggala yang ternyata tak berguna
sama sekali." "Hm," dengus Manik Angkeran. Ia segera dapat
menebak maksud bibi gurunya. Teringat bahwa anak itu adalah anak pendekar
Kamarudin, timbullah pikirannya: Dia pasti bermaksud hendak mewariskan, seluruh
ilmu saktinya, Melihat suatu kenyataan bahwa ilmu ketabiban guru tidak boleh
diremehkan, maka timbullah niatnya hendak menawan aku. Dia bisa memaksa aku
agar mewariskan ilmu guruku kepada bocah ini. Sebaliknya belum tentu, dia
mengizinkan aku mempelajari ilmu saktinya. Memperoleh pikiran demikian dia
membentak, "Bibi bukan orang baik-baik. Tak sudi aku ikut." "Di
atas pegunungan segala yang kau sukai akan kusediakan dengan lengkap. Makan,
mi-num, perlengkapan-perlengkapan ilmu keta-biban dan semuanya," tungkas
Diah Kartika. "Marilah, kau ikut bibimu. Kutanggung engkau takkan
terlantar hidupmu." Sekonyong-konyong Manik Angkeran me-mutar tubuhnya dan
terus lari keluar ke halaman. Tapi baru saja menginjak halaman, nenek bongkok
itu sudah menghadang di depannya. Manik Angkeran tercengang. Sekali lagi ia
mencoba menerobos melesat melalui samping. Tapi seperti tadi, si nenek tua
sudah menghadang di depannya. "Bocah! Namamu siapa? Hayolah ikut aku!
Dengan pertolonganmu, ilmu perguruan kita akan manunggal seperti kakak guruku
dahulu. Dan tidak terbagi-bagi menjadi tiga bagian," kata Diah Kartika
membujuk. "Pamanmu Tatang Manggala, biarlah berada di luar. Tak perlu
Mahmud belajar tata pemerintahan segala. Toh akhirnya cuma menjadi begundal
boneka kompeni Belanda." Dihadang demikian, timbullah rasa gemas dalam
hati Manik Angkeran. Terus saja ia mengayunkan tinju. Nenek dari pegunungan
Karumbi tidak menangkis atau mencoba me-ngelak. Ia hanya meniup. Tapi akibatnya
hebat luar biasa. Pergelangan tangan Manik Angkeran seperti kena tersambar
besi. la kaget setengah mati. Tak dikehendaki sendiri, ia memekik kesakitan
sambil meloncat mundur. "Tak berguna kau berusaha akan menjauhi aku,"
kata Diah Kartika. "Gurumu sendiri, ti-dak mampu. Kalau aku mau memaksa,
guru-mu bisa kubawa ke pegunungan. Tapi melihat engkau mewarisi seluruh ilmu
ketabiban gurumu, bukankah sudah cukup membawa dirimu saja. Lagipula kau lebih
sesuai dengan umur cucuku. Dan gurumu ... biarlah menikmati sisa hidupnya. Aku
berjanji takkan mengusik-usiknya lagi. Juga paman gurumu. Nah, bukankah
beradamu di atas pegunungan Karumbi berarti membuat jasa besar terhadap guru dan
paman gurumu?" "Bibi benar-benar bukan orang baik. Tak sudi aku
ikut!" Jerit Manik Angkeran. Sekali lagi ia menghantamkan tinjunya. Tapi
lagi-lagi ia kena tiup sampai terpaksa menjerit-jerit kesakitan.
Sekonyong-konyong muncullah Rostika, dengan menggandeng Atika. Berkata nyaring,
"Kau pengapakan dia?" Dengan memutar tubuh, Diah Kartika memelototi
Rostika dengan kelopak matanya yang keriputan. "Aha, kiranya kau masih
belum mati? Kau anak murid bangsat Edoh Permanasari sudah kubiarkan hidup,
bukankah suatu karunia? Mengapa kini malah ikut mencampuri uru-sanku? Mari...
mari ingin kumengerti apa sebab sampai hari ini kau masih bisa hidup
bernapas." Betapapun juga, Rostika adalah anak-murid Edoh Permanasari.
Meskipun merasa diri tak bakal menang, namun ilmu sakti warisan Ratu Fatimah
bukan pula ilmu sakti ilmu picisan. Dengan pelahan-Iahan ia meletakkan Atika di
atas tanah. Kemudian berkata kepada Manik Angkeran, "Adikku Manik
Angkeran! Kalau aku sampai mati, bawalah Atika ke mana saja kau pergi. Kau
berjanji?" Tepat pada saat Manik Angkeran mengang-guk, terdengar suara
Diah Kartika menggun-tur. "Kurangajar! Kau anggap apa aku ini? Masakan aku
akan membiarkan buyungmu tinggal hidup untuk kaubiarkan mengganggu ketenteraman
kita? Mana bisa?" Dengan terbatuk-batuk sesak, Diah Kartika sudah akan
bergerak. Sekonyong-konyong ia mendengar suara seorang wanita lain.
"Rostika! Kenapa takut? Kau pengecut?" Terkejut dan girang rasa hati
Rostika. Sebab ia segera mengenal suara itu. Terus saja dia berseru."Guru!"
Dia memutar kepalanya. Namun tiada sesosok bayanganpun nampak di depan
penglihatannya. Baru setelah melayangkan mata beberapa saat lagi, muncullah
seorang wanita cantik setengah umur. Dialah Edoh Permanasari, pewaris ilmu
sakti Ratu Fatimah. Di belakangnya berjalan empat orang muridnya. Semuanya
terdiri dari wanita. Tadi sewaktu berbicara jaraknya masih jauh. Tapi begitu
lenyap kumandang suaranya, orangnya sudah berada di halaman pertapaan. Betapa
cepat gerakannya Edoh Permanasari, diam-diam Diah Kartika menaruh perhatian
juga. Dua puluh tahun yang lalu, nama Edoh Permanasari tidaklah setenar
sekarang. Hal itu disebabkan karena dia belum muncul dalam gelanggang
percaturan. Tetapi setelah membuat suatu kegemparan dengan membunuh tiap orang
yang tidak berkenan di hatinya, barulah namanya disebut orang. Dia lantas
terkenal sebagai seorang iblis wanita dari Banten. Rostika segera berlutut di
depan gurunya. Berkata takzim, "Guru masih nampak segar bugar."
"Ya, tentu. Paling tidak, gurumu takkan mati oleh perbuatanmu yang tak senonoh."
Rostika tak berani menegakkan kepalanya. Ia tahu ke mana tujuan kata-kata
gurunya itu. "Rostika!" kata Edoh Permanasari. "Nenek bongkok
tadi bertanya padamu, apa sebab kau masih bisa hidup bernapas. Nah hampiri-Iah
dia! Bilang, dia mau apa?" Tanpa beragu sedikitpun, Rostika terus memutar
menghadap Diah Kartika. Tadi memang ia sudah mengambil keputusan hen-dak
melawan nenek itu sedapat-dapatnya. Kini di belakang berdiri gurunya. Keruan
saja, hatinya bertambah tabah. Maka dengan lang-kah tenang ia menghampiri Diah
Kartika. Nenek dari pegunungan Karumbi itu ber-batuk-batuk beberapa kali. Suatu
tanda bahwa hatinya bergusar. Sekali mengerling ia berkata nyaring kepada Edoh
Permanasari. "Hm... jadi kaulah pewaris Ratu Fatimah? Jadi kaulah pembunuh
keluarga anakku. Bagus. Aku sudah menghajar muridmu. Lan-tas kau sekarang mau
apa?" "Bagus sekali hajaranmu, sampai pundak dan lengannya belum
pulih seperti sediakala," sahut Edoh Permanasari tajam. "Kau hajarlah
sekali lagi sampai mampus. Itupun bukan urusanku." "Gurul"
Rostika mengeluh dalam hati. Dia sangat sedih dan pepat. Benar-benar gurunya
hendak menghukum dirinya, karena perka-winannya dengan Suhanda seorang anggota
Himpunan Sangkuriang. Tak terasa air matanya bercucuran. "Aku tak
bermusuhan langsung dengan dia. Sebaliknya kalau kau menyatakan takluk pula
kepadaku, perkara ini kuhabisi sampai di sini saja," kata Diah Kartika.
"Mahmud! Lihatlah yang betul! Dialah musuh keluargamu." Salah seorang
murid yang berdiri di belakang Edoh Permanasari melesat maju sambil menarik
pedangnya, la tak tahan mendengar gurunya direndahkan oleh seorang nenek
keriputan.. "Kau nenek bosan hidup. Hayo lawanlah dahulu lda Kusuma!"
Dengan berbatuk-batuk, Diah Kartika me-ngibaskan tangannya. Tiba-tiba saja
pedang lda Kusuma sudah terpatah menjadi tiga bagian. "Ya, nampaknya
sebatang besi karatan, Nek," sahut Mahmud. Bukan main terkejutnya lda
Kusuma. Di dalam perguruannya, dialah murid tertua. Ilmu saktinya hanya dua
tingkat di bawah gurunya. Tapi menghadapi seorang nenek reyot, ternyata sama
sekali tak berdaya. Entah ilmunya tiada harganya atau entah ilmu sakti nenek
itulah yang terlalu hebat. Dengan langkah perlahan, Edoh Per-manasari mendekati
lda Kusuma. Kemudian dengan sekali sambar ia merenggut sarungpedang muridnya
yang terbuat dari besi baja. Kena sambarannya, sarung pedang itu pecah
berantakan berkeping-keping. Diam-diam Diah Kartika terkesiap menyak-sikan
tenaga sakti Edoh Permanasari. Pikirnya, benar-benar tak boleh diremehkan ilmu
kepandaiannya. Pantaslah, banyak pendekar-pendekar utama mati di tangannya.
"Anakku sudah kau bunuh mati. Cucuku sudah kauhabisi sampai ludes. Tinggal
se-orang ini," Diah Kartika tertawa terkekeh. "Anakku Kamarudin
mungkin sekali enggan berlawanan denganmu. Hari ini terpaksa aku mengambil
tindakan. Sayang kau bukan menantuku ..." Suatu hal yang paling dibenci
oleh Edoh Permanasari ialah, apabila seseorang meng-ungkat-ungkat kembali
peristiwa asmaranya dengan Kamarudin. Kini bahkan ibu Kamarudin sendiri yang
berkata demikian. Keruan saja, ia terus membentak: "Keluarkan
senjatamu!" Selama Rostika berguru, belum pernah menyaksikan gurunya
bergebrak dengan orang. Dia hanya mendengar kabarnya saja-. Lawan gurunya kali
ini adalah nenek dari pegunungan Karumbi yang sudah mempunyai nama besar semenjak
mudanya. Tidaklah mengherankan, bahwa hatinya jadi berde-bar-debar. "Edoh!
Kau murid Ratu Fatimah yang ter-masyhur memiliki pedang pusaka Banten— Sangga
Buwana—hayo keluarkan! Ingin kuli-hat, tinggal berapa bagian ilmu sakti Ratu
Cabul itu!" Ratu Fatimah pada masa remajanya, adalah isteri seorang letnan
VOC. ) Kemudian dengan caranya sendiri berhasil memikat hati. Sultan Banten,
sehingga bisa diangkat menjadi permaisuri. Dalam akhir hidupnya, diapun
berhasil menggeser isteri calon raja (putera mahkota). Bahkan lantas menjadi
permaisuri raja baru bekas anaknya. Karena itu, tidak mengherankan bahwa
namanya sangat buruk di mata rakyat. Kalau ia kini dijuluki ratu cabul oleh
Diah Kartika, sesungguhnya tidaklah terlalu salah. Namun sudah barang tentu,
murid Ratu Fatimah tidak bisa menerima penghinaan itu. Apalagi Edoh Permanasari
adalah seorang wanita yang benci kepada macam cerita asmara. Seketika itu juga,
ia menggerung ber-gusar. "Sekalipun aku belum mewarisi seluruh ilmu
kepandaian guru, namun cukup buat menyumpal mulutmu yang kotor. Kau percaya,
tidak?" "Hm. Boleh coba!" sahut Diah Kartika de-ngan
berbatuk-batuk. Sekali bergerak, tangan Edoh Permanasari sudah menggenggam
sebatang pedang. Dan melihat pedang itu, Diah Kartika kecewa. "Pedang macam
begitu bisa mengapakan aku? Mana pedang Ratu Fatimah?" "Gntuk
membunuh binatang tua, masakan perlu mengotori pedang Kerajaan Banten?"
Edoh Permanasari menyahut tajam. Dengan mata tak berkedip, Diah Kartika
mengawasi ujung pedang, Sekonyong-konyong tongkat bajanya menyodok ujung
pedang. Berbareng dengan itu, ia melesat ke samping. Edoh Permanasari bukannya
lda Kusuma atau pendekar-pendekar anak murid Tatang Manggala yang mudah
diingusi. Ia seorang wanita jantan pewaris ilmu kepandaian Ratu Fatimah yang
termasyhur di seluruh Jawa Barat. Dengan memekik ia memutar pedang-nya.
Tiba-tiba berkelebat dan pedangnya sudah menusuk pundak Diah Kartika. Dengan
berbatuk-batuk Diah Kartika menggeser tubuhnya. Tongkat bajanya diang-katnya
seakan-akan hendak menangkis, tapi benar-benar Edoh Permanasari bukan ma-kanan
empuk baginya. Dia tak dapat dike-cohnya. Pewaris Ratu Fatimah itu
sekonyong-konyong menggeser tubuhnya pula. Tahu-tahu sudah berada di belakang
punggung dan terus menusuk. Tapi tanpa menoleh Diah Kartika menyabetkan tongkat
bajanya ke belakang membentur punggung pedang. Trang! Keduanya sama-sama tokoh
pendekar wanita tingkatan atas pada zaman itu. Setelah lewat empat lima jurus,
masing-masing mengagumi lawannya. Sekonyong-konyong terdengar suara nya-ring.
Itulah benturan hebat antara tongkat baja Diah Kartika dan pedang Edoh
Permanasari. Dalam benturan itu, pedang Edoh Permanasari patah kena tenaga Diah
Kartika. Kecuali si bocah Mahmud, semua yang menonton di luar gelanggang
terkejut menyaksikan kejadian itu. Tongkat Diah Kartika adalah tongkat mustika.
Nampaknya hanya terbuat dari baja putih. Tapi sebenarnya mempunyai bahan
campuran lebih dari itu. Betapa tajam senjata lawan, begitu kena benturan pasti
patah dengan sekaligus. Diah Kartika sadar akan tingkatan dirinya. Dia tak mau
menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Edoh Permanasari agar mengaku kalah.
Ia tahu meskipun Edoh Permanasari tingkatannya berada di bawahnya (sebab dia
murid Ratu Fatimah) patahnya pedang bukan berarti kalah. Itu hanyalah suatu
kecelakaan belaka. Maka dengan menekan tongkatnya ke tanah, ia berbatuk-batuk
menunggu perlawanan selanjutnya. "Sudah kukatakan tadi, bahwa engkau
ha-rus mengeluarkan pedang pusaka Sangga Buwana. Pedang karatan semacam tadi
bisa berdaya apa terhadapku?" katanya tenang-tenang. "Benar. Tak
kukira bahwa hantaman tenagamu sangat kuat. Pantaslah engkau disegani orang
semenjak dahulu. Bukankah engkau yang terkenal dengan sebutan nenek bongkok
dari pegunungan Karumbi murid sang perwira Sadewata?" Diah Kartika terus
terbatuk-batuk se-olah-olah tidak menggubris ucapan Edoh Permanasari. Ia
bersikap menunggu. Edoh Permanasari kemudian membuka baju luarnya ia menarik
sebatang pedang yang terselip di pinggangnya. Pedang itu sama sekali tidak
menarik. Nampaknya kuno dan tiada mempunyai perbawa apa pun juga. Selama
hidupnya, Edoh Permanasari tak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga. Tapi
kali ini, dia bersikap lain meskipun berhadapan dengan beberapa muridnya. Hal
ini ada sebabnya. Tadi sewaktu menangkis ayunan tongkat nenek dari Karumbi ia sudah
mengerahkan seluruh tenaganya. Namun ma-sih saja dia bergoyang-goyang. Itu
suatu tanda, bahwa tenaganya masih kalah. Memikir demikian, hatinya bergidik.
"Rostika, ke mari!" kata Edoh Permanasari kemudian. Rostika hendak
bergerak, tiba-tiba mendengar Atika memanggil-manggil. "Ibu ...! Ibu
...!" Rostika menoleh. Melihat anaknya datang tertatih-tatih, segera ia
berkata membujuk. "Atika! Kau dolan dengan paman Manik Angkeran! Tuuu
dia!" Tanpa menunggu reaksi Atika, Manik Angkeran sudah datang
menggendongnya. Gntung, Atika seorang anak penurut. Dahulu ia menurut saja
tatkala digendong Sonny de Hoop, meskipun gadis itu seorang Indo Belanda yang
berkulit menyolok. Rostika dibawa gurunya berteduh di bawah sebatang pohon yang
berdiri di seberang per-tapaan. Setelah berdiri tegak beberapa saat, terdengar
Edoh Permanasari berkata agak segan, "Rostika! Kau kawin dengan seorang
anggota musuh kita turun-temurun. Cobalahberbicara terus-terang, apakah sebab
musababnya." "Guru," sahut Rostika terputus-putus. "Aku
seorang murid yang ... aku seorang murid ..." "Ida!" Edoh
Permanasari memotong perka-taannya. Mendengar panggilan gurunya, Ida Kusuma
datang dengan langkah tenang. Dia seorang murid tertua. Perawakan tubuhnya
bagus tiada cela. Matanya tajam beralis lentik. Parasnya lembut seperti
Rostika. Hanya warna kulitnya lebih putih seakan-akan dia mempunyai darah
Tionghoa ). "Murid menghadap Guru," katanya lembut. "Adikmu ini
mempunyai kesukaran untuk berbicara dengan terus terang. Cobalah bujuk agar dia
bisa berbicara baik," kata Edoh Permanasari. Dengan menarik napas
selintasart ia meno-leh kepada Rostika. Kemudian berkata kepada gurunya.
"Rostika sudah beranak. Hanya sa-yang, suami pilihannya justru seorang
lawan. Lagi pula kawin, bagi murid guru merupakan suatu pantangan. Kita patut
menyesali." "Aku menyuruh engkau membujuk adikmu agar berbicara baik
mengapa justru engkaulah yang berbicara begini banyak?" tungkas Edoh
Permanasari tak senang. Ditegur gurunya, Ida Kusuma terdiam. Kembali ia menoleh
kepada adik seperguruan-nya. Tatkala itu, Rostika sedang menundukkan kepala.
"Cobalah kau berkata sebenarnya, apa sebab sampai kawin dengan seorang
musuh," desak Ida Kusuma. Rostika berdiam menimbang-nimbang. Kemudian
berkata menentang paras gurunya. "Guru! Rostika memang seorang murid yang
tak tahan kena godaan sampai akhirnya berumah tangga dengan seseorang yang
kebetulan menjadi anggota lawan. Namun selama ini, belum pernah Rostika
mengkhia-nati perguruan. Juga suamiku tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu.
Bahkan dari fihak suamiku, seringkali kami memperoleh gangguan."
"Hm" dengus Edoh Permanasari. "Kaupun kini merasa pula kami
ganggu, bukan?" "Tidak! Aku justru mengharapkan bahwa pada suatu kali
Guru akan mengampuni aku." Edoh Permanasari mengamat-amati wajah muridnya.
Setelah beberapa saat berdiam diri, lantas berkata: "Rostika! Kaulah
sebenarnya murid yang kuharapkan. Kaulah sebenarnya murid yang kelak akan
kupercayai merawat pedang mustika kakek gurumu. Kau ingin kami terima kembali
sebagai cucu murid Ratu Fatimah atau tidak?" Mendengar ujar gurunya yang
tak terduga itu, pandang mata Rostika berseri-seri. Pada saat itu pikirannya
melayang kepada suaminya. Pikirnya dalam hati, kak Suhanda mencintai aku tak
pernah dia mengganggu gugat asal diriku. Bahkan selalu siap melawan gangguan
dari golongannya sendiri. Kalau aku diterima kembali sebagai murid, aku akan
dipersenjatai pedang mustika Sangga Buwana yang tak ada taranya. Dengan begitu,
bukankah aku bisa menjaga diri tanpa bantuan siapapun juga? Memikir demikian
terus saja ia menyahut, "Guru! Tak ada suatu kebahagiaan lain daripada
bisa diterima sebagai murid guru kembali." "Bagus! Apakah
sumpahmu?" "Biarpun diperintah Guru untuk menye-berangi lautan api
Rostika takkan mundur." "Sebaliknya bila membangkang atau meno-lak,
apakah yang akan kaulakukan?" "Guru boleh mencincang badanku sampai
mati. Atau membunuh aku dengan siksaan macam apa saja," Rostika
meyakinkan. "Baik. Mari, kau ikut aku!" perintah Edoh Permanasari.
Dengan membimbing tangan Rostika, Edoh Permanasari membawanya mendaki ke sebuah
gundukan yang berada di tengah lapangan terbuka. Di atas gundukan itu, ia
berdiri tegak merenungi matahari yang lagi tersembul di udara. Sangaji yang
selama itu berada tak jauh dari mereka berdua, menghadapi suatu kesukaran. Tak
dapat lagi ia mendekati mereka berdua. Kecuali mereka berada di atas sebuah
ketinggian di tengah lapangan terbuka, juga matahari sudah memancarkan sinarnya
penuh-penuh. Lagi pula sekitar lapangan itu, berdiri beberapa murid-murid Edoh
Permanasari yang dengan sendirinya menebarkan matanya. Edoh Permanasari ini
seorang iblis perem-puan. Dia bisa membunuh tanpa mengedipkan mata, pikir
Sangaji dalam hati. Teringatlah dia betapa iblis itu dengan serta merta
membakar kampung berikut penghuninya tanpa memandang bulu. Tapi Rostika adalah
muridnya. Pastilah dia bisa berpikir lain. Tadi dia menggandeng mesra. Betapa
besar kesalahan Rostika menurut penglihatannya, masakan seekor macan betina
akan sampai hati mengganyang anaknya sendiri. Pada saat itu, terbayanglah
ketiga gurunya dalam benaknya Wirapati, Jaga Saradenta dan Gagak Seta. Mereka
bertiga memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang. Dahulu pernah ia
hampir melakukan suatu kesalahan besar terhadap Jaga Saradenta dan Wirapati.
Itulah perkara Pringgasakti. Meskipun hanya suatu salah-sangka belaka, namun
betapa besar cinta kasih gurunya dapat dilihat sewaktu hendak menjatuhkan
hukuman mati kepadanya. Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi
tenteram. Ia melihat, Edoh Permanasari mendekati Rostika dan membisikkan sesuatu.
Sangaji lantas saja menajamkan pendengarannya melalui ilmu saktinya yang paling
tinggi. Betapa hebat ilmu sakti Sangaji dapat dibuk-tikan, bahwa pendengarannya
masih saja bisa menangkap kata-kata Edoh Permanasari meskipun hanya diucapkan
dengan berbisik dari jarak jauh. "Kau bunuhlah suamimu! Dan kau boleh
pulang kembali ke perguruan seperti sedia-kala," kata Edoh Permanasari
dengan suara angker. Mendengar perintah gurunya, sejenak Ros-tika terdiam.
Kemudian dengan menundukkan penglihatan ke tanah ia menggeleng kepala.
"Baik," Edoh Permanasari mempertim-bangkan selintasan. "Kalau
kau tak mau membunuh suamimu, bunuhlah anak keturunannya." Sekali lagi
Rostika menggelengkan kepala. Pada saat itu Edoh Permanasari mengangkat
tangannya. Terang maksudnya, ia hendak menggablok kepala Rostika. Dan kalau
sampai tangannya menggablok kepala Rostika, hilanglah nyawa murid itu. Tetapi
tangan itu tidak bergerak juga. Tangan itu seperti me-nunggu. Rupanya masih
memberi kesempatan kepada Rostika untuk mengambil keputusan. "Kau berkata
tidak akan membangkang atau menolak perintahku. Manakah sekarang
buktinya?" bentak Edoh Permanasari. "Guru," sahut Rostika
setengah menangis. "Mereka berdua sudah menjadi darah da-gingku. Darah
daging muridmu ..." Edoh Permanasari menimbang-nimbang sejenak dengan
tangannya masih terangkat. "Baik. Sekarang begini saja. Malam nanti kau
berada di samping suamimu di Gunung Cibugis, bukan?" Rostika mengangguk.
"Bagus! Kubatalkan perintahku membunuh suami dan anakmu. Kau senang tidak?"
kata Edoh Permanasari. Rostika tidak menyahut. Hatinya beragu. "Baik, kau
tak menjawab," Edoh Perma-nasari memutuskan. "Tapi kau masih mau
melakukan perintahku, bukan?" "Tentu, apabila tidak melanggar
dasar-dasar kemanusiaan." "Eh, darimana kau memperoleh kotbah perkara
kemanusiaan segala?" bentak Edoh Permanasari. Ia paling benci terhadap
istilah itu seperti yang pernah dinyatakan kepada Inu Kertapati dan Sidi
Mantera. Berkata meneruskan, "Baiklah ... itu urusanmu. Sekarang
berangkatlah ke Gunung Cibugis. Bawalah tiga buah alat peledak. Pasang di
antara mereka dan ledakkan." Mendengar perintah itu, paras Rostika berubah
hebat. Memang perintah itu lebih ringan daripada melakukan perintah mem-bunuh
suami dan anak kandungnya sendiri. Tetapi apabila hal itu dilaksanakan samalah
artinya dengan membunuh hari kemudian suaminya. Maka terasalah kini dalam lubuk
hatinya, bahwa dia kini bukan lagi Rostika pada zaman gadisnya. Ternyata tak
di-sadarinya ia sudah menjadi sebagian hidup suaminya yang dicintainya.
"Bagaimana?" Edoh Permanasari menegas. Rostika menggelengkan
kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan Edoh Permanasari turun dengan deras. Dan
tubuh Rostika terkulai di atas tanah. Kaget bukan kepalang adalah Sangaji. Mau
ia mengira, itulah suatu sandiwara belaka. Suatu sandiwara di hadapan
murid-muridnya agar mengesankan sikap keadilan seorang guru. Ia bersangsi
tatkala mendengar suara seram Edoh Permanasari, "Ida! Berangkat!"
Paras muka Ida Kusuma berubah hebat. Dengan pandang bertanya-tanya ia segera
meneruskan perintah gurunya kepada adik-adik seperguruannya. Kemudian berkata
mencoba, "Guru! Terhadap seorang murid yang melanggar angger-angger
perguruan memang sudah sepantasnya guru mengambil tindakan tegas."
"Hm," dengus Edoh Permanasari. "Aku tidak memberi perintah
padamu untuk membasmi keturunannya sekali, bukankah sudah pantas?"
"Tentu, Guru. Tentu. Bahkan suatu karunia besar bagi Rostika. Di alam
baka, Rostika pasti tahu berterima "kasih," sahut Ida Kusuma dengan
suara menggeletar. Edoh Permanasari memutar tubuhnya. Lantas melesat diikuti
murid-muridnya. Sebentar saja mereka semua tiada nampak lagi bayangannya. Manik
Angkeran mengawaskan kepergian mereka dengan memeluk Atika erat-erat. la
seperti kehilangan dirinya sendiri. Atika masih terlalu kecil untuk mengerti
semuanya itu. Dengan mata membelalak, gadis cilik itu mengikuti semua peristiwa
yang terjadi di depan hidungnya tanpa berkutik. Barangkali pula ia merasakan
suatu ketegangan. Maka ia bergerak merosot ke bawah sambil berseru
menuding-nuding. "Ibu! Ibu!" Oleh seman itu, Manik Angkeran baru
ter-sadar. Terus saja ia berlari cepat menghampiri tubuh Rostika yang sudah tak
berkutik lagi. Melihat keadaan Rostika, ia memeluk Atika bertambah erat.
Sesudah terpaku beberapa saat lamanya, Atika meronta turun dari gendongannya. Lalu
menubruk ibunya sambil berteriak memanggil-manggil. Manik Angkeran segera
memeriksa keadaan Rostika. Napas Rostika berjalan sangat lambat dan lemah
sekali. Kepalanya remuk kena gablokan Edoh Permanasari. Tahulah dia, bahwa
harapan untuk hidup kembali seperti sediakala tidaklah mungkin lagi. Maka
dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, ia menyadarkan Rostika. Tidakiah
sia-sia ia menjadi murid satu-satunya tabib sakti Maulana Ibrahim.
Perlahan-lahan, Rostika menyenak-kan matanya. Melihat Manik Angkeran, bibirnya
bergerak-gerak. Ingin mengucapkan sesuatu, namun yang terbersit dari
perasaannya hanya butiran air mata yang tersembul berbintik-bintik. Cepat Manik
Angkeran memijat urat nadi penghubung ruas kepala untuk menghilang-kan rasa
sakit. Benar juga, Rostika terdengar berkata lemah, "Adikku... bawalah
Atika kepa-da ayahnya... Ini ambil..." Tangan kanannya bergerak ke
dadanya. Nampak kelima jarinya meraba-raba. Lalu berhenti. Dan kepalanya
terkulai. Ia mati sebelum jari-jarinya mencapai maksudnya. Sebagai murid
Maulana Ibrahim belum per-nah ia menyaksikan maut berpisah di depan hidungnya.
Sebab semua yang minta perto-longan tabib sakti itu, pasti tertolong. Sudah
barang tentu hal itu disebabkan karena Maulana Ibrahim sudi mengulurkan tangan
manakala mereka yang bersangkutan dapat tertolong nyawanya. Kini dengan mata
kepalanya sendiri, ia menyaksikan suatu malapetaka itu. Maut merenggut nyawa
Rostika di dalam pelukannya. Hatinya kaget, pepat dan ngeri. "Ibu...!
Ibu....!" Atika terus memanggil-manggil. Sekarang bahkan mulai menangis,
karena merasa diacuhkan. Tersadarlah Manik Angkeran. Kak Rostika mengharap aku
membawa Atika kepada ayahnya. Tangannya tadi seperti bergerak mencari sesuatu
di atas dadanya, katanya dalam hati. Ia melihat sebuah kalung emas berleontin
sebutir intan. Terus saja ia melepas kalung itu dari leher Rostika. Kemudian
entah apa sebabnya tanpa berbicara lagi, ia menggendong Atika. Ia turun dari
gundukan tanah terkutuk itu. Mula-mula berjalan seperti seorang linglung.
Mendadak linglung benar. Ternyata ia berlari-lari kencang menubras-nubras semak
belukar tanpa tujuan tertentu. Kini berganti Sangaji yang terlongong-longong
dengan kepala bingung, heran, terkejut, pedih, kecewa dan geram. Melihat
Rostika benar-benar mati dengan kepala remuk, ia jadi menyesali diri sendiri.
Kalau saja tadi ia bersiaga menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi, pastilah
ilmunya yang sangat tinggi itu dapat menolong nyawa Rostika. Tapi siapa
mengira, Edoh Permanasari akan membunuh muridnya sendiri? "Perempuan itu
benar-benar iblis terkutuk!" ia memaki dalam hati. Ia segera menggali
liang kubur. Jenasah Rostika dikebumikan dengan berbagai pikiran yang saling
datang dan pergi. Pada saat rasa geram menikam dadanya, kakinya menjejak tanah.
Terus ia menjejak arah perginya Edoh Permanasari dengan berlari-lari kencang.
Hampir setengah hari penuh, ia berlari-lari mengikuti jejak Edoh Permanasari.
Namun bayangan Edoh Permanasari belum juga nam-pak tanda-tandanya. Tiba-tiba
timbullah pikirannya. Edoh Permanasari seorang perempuan tidak sembarangan.
Sebagai iblis ia melatih kewaspadaan jauh lebih cermat daripadaku sendiri.
Sudah pasti pula lebih mengenal wilayah ini. Sebaliknya aku seorang asing
mengembara di wilayah yang belum kukenal dengan baik. Aku hendak menguntit
gerak-geriknya, jangan-jangan malah akulah yang kini dikuntit dan diamat-amati
semenjak tadi. Memikir demikian, ia segera berhenti berte-duh di bawah sebuah
pohon. Teringat, bahwa dalam sehari ini ia menemukan rentetan-ren-tetan
peristiwa di luar dugaannya, ia jadi menyangsikan dirinya sendiri. Edoh
Permanasari sangat licin. Juga semua yang terjadi di pertapaan sukar kutebak
de-ngan sepintas lalu. Baiklah, aku menyesuaikan diri, katanya dalam hati.
Tetapi dia bukan termasuk golongan manu-sia seperti Gagak Seta atau Ki Hajar
Karang-pandan yang sewaktu-waktu bisa bersepak-terjang ugal-ugalan ). Dalam
tubuhnya mengalir jiwa ksatria penuh-penuh. Pengucapan hatinya sangat jujur dan
mulia. Ia mau menghadapi dunia dengan kewajarannya. Terang-terangan dan tak
sudi dengan jalan berbelit-belit. Karena itu di dalam hal mengadu kecerdikan
dan kelicinan, dia bukan tandingan manusia semacam Titisari, Sanjaya atau Edoh
Permanasari. Tatkala itu pendengarannya yang tajam luar biasa mendengar suatu
derap kuda di kejauhan. Tanpa berpikir panjang lagi, ia melesat mendekati.
Sekonyong-konyong ia melihat beberapa bayangan berkelebat dan bersembunyi di
belakang onggok batu. Cepat ia berhenti melayangkan pandangnya. Ternyata di
tanah lapang seluas beberapa hektar sudah penuh dengan orang yang pada mendekam
di atas tanah. ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 38 PUKULAN BINTANG BERCACAH di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 38 PUKULAN BINTANG BERCACAH"
Post a Comment