BENDE MATARAM JILID 38 PUKULAN BINTANG BERCACAH



DIMANAKAH letak Gunung Cibugis? Inilah suatu hal yang tak pernah terpikirkan dalam otak Sangaji. Dan sekarang, setelah pemuda itu bersiap-siap hendak berangkat jadilah suatu masalah yang pelik. Dahulu tatkala dia belajar di sekolah kom-peni ilmu bumi merupakan salah satu mata pelajaran yang penting. Maklumlah, sekolah tempat ia belajar adalah sebuah sekolah yang didirikan kompeni dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak kompeni. Karena ilmu bumi berhubungan erat dengan tugas hidup se-orang militer, maka ilmu itu merupakan mata pelajaran yang penting. Hampir nama seluruh kota sampai ke pelosok-pelosok desa terma-suk sungai dan gunungnya dijejalkan penuh-penuh dalam benak murid-murid. Itulah sebabnya, ia tidak menaruh perhatian khusus terhadap nama gunung tersebut. Pikirnya ia akan dapat menemukan nama gunung itu dengan mudah di dalam peta bumi. Tetapi setelah membuka-buka peta Jawa Barat, nama gunung itu tiada. Dengan saksama ia menyelidiki nama gunung-gunung di seluruh wilayah Jawa Barat. Mulai dari Gunung Gede, Aseupan, Karang, Pulasari, Gembol, Bentang sampai kepada Gunung Sawal dan Gunung Pojoktiga. Namun nama Gunung Cibugis, tiada. Ia menemukan sekelompok gunung-gunung yang menarik. Itulah Gunung Sanggabuwana, Halimun, Ken-deng dan Salak. Besar dugaannya, bahwa Gunung Cibugis mungkin berada di sekitar daerah itu. Tetapi mengingat waktunya sangat sempit, sedangkan arah kepastiannya belum diperoleh diam-diam ia menyesali kesemberonoannya sendiri. Andaikata Titisari berada di sampingku, biarpun mencari sebuah gua di dalam wilayah seluas ini, pastilah akan berhasil dengan cepat. Tapi Titisari sekarang... ia berkata dalam hati. Dan begitu teringat Titisari, semangatnya seperti lumpuh sebagian. Pikirannya lantas menjadi gelap. Kala itu rembang petang telah tiba dengan diam-diam. Segera ia berkemas-kemas. Ia sudah mengambil keputusan tidak membawa serta si Willem, agar tidak menimbulkan ke-curigaan orang. Juga senjata apa pun tidak dibawanya. Ia yakin kepada kesanggupan diri-nya. Tanpa senjata dan tiada berkuda, jauh lebih leluasa dan jauh lebih cepat.

Teringatlah dia, gurunya Gagak Seta, Kebo Bangah dan Adipati Surengpati dahulu pernah beradu lari semalam suntuk dalam jarak yang tidak dekat. Mereka tetap sehat walafiat tak kurang suatu apa. Ia belum pernah mencoba tenaga saktinya untuk berlari-lari kencang dalam jarak panjang. Tapi mengingat kesanggupan dirinya kini sudah melebihi kesaktian mereka, pastilah hal itu bukan merupakan suatu masalah yang tidak mungkin. Maka dengan berbekal keyakinan itu, berangkatlah dia meninggalkan kota Jakarta mengarah barat daya. Ia mengambil simpang-simpang jalan untuk menghindari penglihatan orang. Mula-mula hanya berlari-larian kecil. Setelah berada di luar kota, segera ia mengerahkan tenaganya dan melesat dengan mengerahkan ilmu saktinya yang tinggi. Meskipun boleh dikatakan hampir tak pe-nah berlatih, tapi ilmu lari Sangaji kala itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Tatkala hampir tepat tengah malam, ia sudah melalui jarak tiga ratus kilometer lebih. Kira-kira satu jam kemudian, hujan turun rintik-rintik. Segera ia berlindung di bawah pohon dan beristirahat di atas batu besar. Di atas, awan tebal menutupi udara. Tiada sebuah bintangpun nampak mencongakkan diri.

Nampaknya malam ini tiada harapan untuk melihat udara cerah. Kalau aku membiarkan diri menunggu perubahan udara, bukankah akan membuang-buang waktu saja? pikirnya. Dan memikir demikian, segera ia mengumpul-kan semangatnya. Kemudian berlari-lari lagi sambil menjelajahkan matanya yang sangat tajam. Seberang menyeberang jalan sunyi senyap. Angin dingin basah meniup keras. Kadang-kadang ia melihat kejapan pelita di kejauhan. Itulah kelompok-kelompok desa yang tertebar di tempat-tempat tertentu. Namun untuk berharap bertemu dengan seseorang di tengah malam begitu dingin, tidaklah mungkin terjadi. Sesudah berlari-lari cepat mengikuti jalan desa, ia tiba di persimpangan jalan. Teringat akan sepak terjang gurunya Gagak Seta, ia berhenti sebentar memeriksa sekelilingnya. Guru selalu meninggalkan tanda-tanda ter-tentu manakala dalam perjalanan. Juga paman-paman guru dan pendekar-pendekar lainnya. Entah tata-cara pendekar-pendekar Jawa Tengah berlaku pula di Jawa Barat sini entah tidak, pikirnya. Ia membiak-biak gerumbul semak dan memeriksa batang pohon. Benar saja. Pada sebuah batu besar ia menemukan gambar pe-dang silang dengan sebuah obor. Ia girang, karena tanda itu sesuai dengan tanda pengenal pendekar Kosim yang diterimanya dari Suhan-da. "Gambarnya mengarah ke selatan. Pastilah ini suatu petunjuk arah Gunung Cibugis." Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus membelok ke selatan. Pada fajar hari, ia tiba di sebelah utara Rangkasbitung. Sesudah mengisi perut, ia meneruskan perjalanannya lagi. Di tempat simpang tiga Kali Ci Ujung, Ci Simeut dan Ci Berang, diketemukan sebuah gambar obor menyala pula. Ia bertambah girang dan mera-sa pasti bahwa arah perjalanannya tidak salah. Maka dengan semangat penuh, ia menyusur lembah Kali Ci Berang. Dan tepat menjelang pagi hari, muncullah Gunung Endut di depan matanya. Di sebuah gundukan tanah, ia menemukan sebuah batu besar. Di sana ia merebahkan diri untuk beristirahat barang sebentar. Hawa di pegunungan jauh berlainan daripada hawa semalam, karena itu tidaklah mengherankan bahwa ia tertidur dengan perasaan tenang. Kira-kira matahari sepenggalan tingginya, Sangaji sudah selesai membersihkan dirinya. Perasaan tubuhnya segar bugar. Segera ia duduk di atas tanah hendak bersemadi mengumpulkan tenaga saktinya. Mendadak saja pendengarannya yang tajam luar biasa menangkap suara derap kuda memasuki jalan pegunungan. Gunung Endut ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gunung yang mempunyai arti. Apa sebab sepagi ini ada serombongan orang berkuda mendaki lerengnya? pikirnya, la bercuriga, dan membatalkan niatnya hendak bersemadi. Kemudian ia melesat ke belakang onggok batu menjenguk ke jalan. Cepat sekali larinya rombongan berkuda itu. Mereka memasuki petak hutan dan sebentar saja lenyap dari penglihatan. Sanga-ji segera menguntitnya dari jarak tertentu. Bagi dia yang sudah memiliki ilmu sakti tertinggi di dunia, tidaklah perlu khawatir akan ketahuan. Ternyata mereka menuju ke sebuah perta-paan yang terlindung oleh semak semak belukar. Lantas terdengar seorang di antara mereka berseru. "Kami berempat pengawal Kerajaan Banten ingin menghadap ke duli tuanku Maulana Ibrahim. Kami berempat memohon pertolong-an duli tuanku." Seruan itu melengking keras luar biasa. Suatu tanda bahwa tenaga sakti orang itu tak boleh diabaikan. Namun beberapa saat ia menunggu, tiada juga memperoleh jawaban yang dikehendaki. "Tuanku Maulana Ibrahim! Kami berempat menderita luka parah. Masakan tuanku akan membiarkan kami mati tiada liang kubur?" orang itu berseru lantang lagi. Sejenak lagi ia menunggu. Kemudian mem-beri isyarat kepada teman-temannya agar turun dari punggung kuda. Setelah itu, mereka berempat duduk bersimpuh seakan-akan hendak menghadap rajanya sendiri. "Tuanku Maulana Ibrahim!" serunya lagi. Tapi kali ini bernada minta belas-kasih. "Benar-benarkan tuanku sampai hati mem-biarkan kami mati begini hina?" Pintu pertapaan itu nampak bergerak-gerak. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian rapih. la menebarkan penglihatannya seperti sikap seorang pangeran, lalu berkata: "Sungguh sayang tuan-tuan. Kedatangan tuan-tuan sangat tidak tepat." "Janganlah memanggil kami dengan tuan-tuan," potong orang yang berseru tadi. "Kami berempat pantas menjadi hambamu." Terang sekali maksud orang itu. Dia hendak mengambil hati. Tetapi pemuda di hadapan-nya tampak bersikap dingin. Dengan suara angkuh dia menyahut. "Panembahan Maulana Ibrahim lagi berolah tapa untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Pintu biliknya terkunci rapat. Itulah suatu tanda bahwa dia tak dapat diganggu. Karena itu, carilah orang tua lain yang dapat membantu menyembuhkan luka kalian." "Sudah semenjak kemarin kami berangkat ke mari. Keselamatan nyawa kami tinggal ter-gantung kepada ilmu sakti tuanku Maulana Ibrahim. Karena itu, kami mohon ... kami mohon... pertolongannya." "Tetapi Panembahan sedang berolah tapa. Tak dapat dia diganggu-gugat." Mendengar ujar pemuda itu, mereka berempat menghela napas dengan wajah muram. Sejurus kemudian orang tadi masih mencoba berkata, "Siapakah nama Tuan yang mulia?" Pemuda itu tersenyum. Matanya berkilat. Hatinya senang, mendengar orang menghor-matinya demikian tinggi. Menyahut, "Aku adalah muridnya. Asalku dari Jawa Tengah. Namaku Manik Angkeran. Mengapa?" "Ah, tuanku Manik Angkeran! Kami berem-pat adalah pengawal-pengawal Kerajaan Ban-ten yang sial. Kami dilukai seseorang. Kalau tidak memperoleh pertolongan tuanku Maula-na Ibrahim, pastilah nyawa kami sebentar lagi melayang. Maka itu, tolonglah sampaikan hal ini kepada gurumu yang mulia." Manik Angkeran menimbang-nimbang se-bentar. Lantas berkata, "Siapakah nama ka-lian?" Mendengar perkataan Manik Angkeran, wajah mereka bercahaya dengan mendadak. Tak sia-sialah mereka main mengambil haf terhadap pemuda cilik itu. Lantas saja mereka berebutan memperkenalkan namanya. "Kami. Hamid, Syarif, Surian dan Brata. Bi-langkan saja kepada tuanku Maulana Ibra-him, kami berempat, murid-murid Tatang Manggala." Setelah berkata demikian, hampir berbareng mereka rebah tertelungkup. Dari mulutnya ter-bersit segumpal darah segar.

Terang sekali, mereka menderita luka tak enteng. Hanya saja luka apa yang membuat mereka melontakkan darah segar, tidaklah jelas. Sangaji yang bersembunyi tak jauh dari mereka, mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya timbul suatu teka-teki yang mena-rik. Siapakah yang disebut Panembahan Maulana Ibrahim itu? Nampaknya, dia bukan orang sembarangan. Kalau saja tidak memiliki ketenaran nama semenjak lama, tidak bakal pertapaannya dikunjungi tamu dari jauh. Dalam pada itu, pemuda yang bernama Manik Angkeran menghampiri mereka dengan pandang acuh tak acuh. Tiada nampak gopoh atau menaruh suatu perhatian yang berlebih-lebihan sehingga kesannya seperti seorang dokter perang yang sudah mempunyai pengalaman maha dahsyat. Katanya nyaring. "Kalian luka berat. Hayo, panggillah aku dahulu, paman yang baik budi! Dan aku akan menolong meringankan." Mendengar ucapan Manik Angkeran, Sangaji tersenyum. Pikirnya dalam hati, Adik cilik ini, keterlaluan. Sudah terang mereka dalam keadaan runyam, mengapa masih perlu mengolok-oloknya lagi. Teringatlah dia, sewaktu menderita luka berat di benteng batu dahulu. Titisari dalam keadaan bingung. Namun Fatimah tak memedulikan. Bahkan gadis angin-anginan itu memaksa Titisari agar memanggilnya bibi dahulu, sebelum bersedia membantu dengan segenap hati. Meskipun mendongkol Titisari memaksa diri untuk membuat senang gadis angin-anginan itu. Kemudian, semuanya jadi lancar. Dan teringat akan Fatimah, tanpa di-sadari sendiri ia jadi menaruh perhatian kepada pemuda Manik Angkeran. Gerak-gerik Manik Angkeran makin lama makin aneh juga. Meskipun tidak seliar Fatimah, tetapi paling tidak bisa dijajarkan. Melihat mereka tiada tanda-tanda meng-indahkan permintaannya, lantas saja memutar badannya sambil berkata: "Baik! Kalau tak mau memanggilku paman yang baik budi. Terserah kalian akan mati atau tidak." Setelah berkata demikian, ia masuk ke gubuk pertapaan.

Pintu ditutupnya rapat seumpama seekor lalatpun tak sanggup masuk. Celakalah mereka yang sedang menderita luka. Demi luka yang dideritanya, sesungguh-nya mereka bersedia untuk membuat senang si pemuda. Tetapi keputusan pemuda itu terlalu cepat. Mereka belum bisa mengadakan tanggapan secepat orang sehat, sehingga tak keburu mencegah rasa cemberutnya pemuda itu. Dengan demikian terasalah sudah, bahwa kesulitan yang mereka hadapi menjadi berganda. Hamid orang yang berseru lantang tadiberusaha menguasai diri. Dengan gemetaran ia mencoba menegakkan kepalanya. Kemudian hendak berseru memanggil Manik Angkeran. Namun yang keluar dari mulutnya adalah keruyuk darah berbutir-butir. Masih dicobanya hendak mengatasi. Tapi pada detik itu, ia jatuh terkapar di atas tanah. Hampir berbareng dengan kejadian itu, pintu gubuk pertapaan terbuka kembali. Manik Angkeran muncul dengan diikuti seorang cantrik ) memanggul sebatang cangkul pengaduk tanah. Melihat Hamid menggelepar di atas tanah, ia menghampiri. Tangannya bergerak-gerak dan tahu-tahu Hamid sudah dapat duduk kembali dengan tegak, darahnya yang tadi meruap dari mulutnya berhenti dengan mendadak. Dengan memanggut-manggut, Hamid me-nyatakan rasa terima kasihnya. Katanya, "Akhirnya tuanku sudi menolong hamba juga." "O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Aku hanya khawatir kau akan mati di depan pintu. Ini membuat susahku belaka. Sebab aku terpaksa harus menguburmu," sahut Manik Angkeran. "Tapi tuanku menolong juga. Buktinya, dadaku terasa menjadi ringan," Hamid tak bersakit hati. "O, tidak-tidak! Sama sekali tiada niatku hendak menolongmu. Kau menyebutku seba-gai tuanku, apa sih keuntungannya. Coba kau mau memanggil aku sebagai paman, aku takkan menolongmu separuh-paruh." Mendengar kata-kata Manik Angkeran, Hamid terhenyak sejenak. Menurutnya pantas, sebutan tuanku jauh lebih tinggi daripada sebutan paman. Sadar bahwa betapapun juga dia harus pandai membuat rasa puas bintang penolongnya, buru-buru ia memperbaiki diri. Kemudian dengan kata-kata merendah, ia berkata: "Baiklah. Engkau memang pamanku yang baik budi." "Siapa yang kesudian menjadi pamanmu? Aku hanya minta kau memanggilku paman yang baik budi." Kembali lagi Hamid terhenyak sejenak. Lalu berkata cepat, "Ya, ya Paman yang baik budi. Tolonglah aku." Mendengar perkataan Hamid, wajah Manik Angkeran berseri-seri dengan mendadak. Dengan mengulum senyum, lantas saja dia menyahut: "Aiii... anak yang manis. Mengapa tak sedari tadi. Baiklah, kalian akan kutolong meringankan penderitaan kalian." Setelah berkata demikian, ia melesat meng-hampiri mereka yang sedang menderita luka. Sangat gesit dan tangkas gerakannya. Hamid, Syarif, Suria dan Brata terus saja bisa duduk kembali dengan tenang. Meskipun dalam hati mereka mendongkol, namun diam-diam me-reka kagum akan kepandaian pemuda cilik itu. "Hai, Paman yang baik budi!" seru Suria. Ia seorang yang berbadan pendek, berkepala botak. Suaranya kasar melengking menusuk pendengaran. "Lihat! Senjata apa ini nama-nya?" Ia mengeluarkan sebatang baja, berben-tuk bintang bersegi tiga. Sekali menggerakkan jari-jarinya, baja berbintang itu melesat dan menancap pada tiang gubuk dengan suara mengaum. "Hai, anak yang manis!" seru Manik Ang-keran. "Kau bukan anak yang lemah. Apa sebab kau sampai terluka? Siapa yang melukaimu?" "Cabut dan perlihatkan senjata itu kepada gurumu.

Katakan, bahwa kami berempat kena dilukai pemilik senjata itu," sahut Suria dengan suara kasar. "Tak lama lagi pemilik senjata itu akan datang ke mari. Apabila gurumu mau mengobati kami, kami berempat pasti bersedia membantu melawannya." Manik Angkeran tertawa panjang. Alisnya bergerak-gerak. Maka nampaklah, bahwa dia seorang pemuda cerdik. Katanya lantang, "Kalian bisa apa terhadap pemilik senjata itu? Kalau kalian sudah mampu mengadakan per-lawanan yang berarti, masakan kena dilukai?" "Meskipun ilmu kami berempat sangat ren-dah, tapi setidak-tidaknya bisa mengganggu dia. Katakan kepada gurumu, bahwa kami berempat ini murid-murid Tatang Manggala," ujar Suria sulit. "Apa sih hubungannya dengan guruku sampai aku kau haruskan menyebut nama gurumu?" "Karena Tatang Manggala dan gurumu adalah sesama pembantu Ratu Fatimah." "Kau bilang apa? Fatimah?" Manik Angkeran terkejut. Parasnya lantas berubah. Belum lagi jelas apa sebabnya, sekonyong-konyong ia melesat dan menyerang mereka berempat dengan berbareng. Krak, krak, krak! Lengan mereka masing-masing kena dipatahkan. Setelah itu dengan sekali menjejak tanah, ia menyambar senjata bidik yang tertancap di tiang. Kemudian menghilang di balik pintu. Hamid, Syarif, Suria dan Brata bukan orang lemah. Namun mereka sedang menderita luka. Tenaganya rusak delapan bagian. Karena itu lengan mereka kena dipatahkan oleh si bocah sangat mudah. Seseorang yang kena dipatahkan lengannya demikian rupa, pasti akan mengerang. Dan hal itu adalah wajar. Tapi mereka tak berani mengerang, karena takut akan mempunyai akibat sendiri terhadap si pemuda yang ber-watak angin-anginan. "Suria! Biar bagaimanapun juga, berusahalah membuat senang bocah cilik itu!" Hamid menyesali. "Tuanku Maulana Ibrahim tak mungkin dapat diganggu-gugat. Dan satu-satunya bintang penolong kita, hanyalah bocah itu." "Ya, ya, ya, aku tahu. Tapi aku telah menga-pakan dia?" Suria membela diri. Memang mereka semua tahu, Suria sama sekali tidak mengusiknya. Masing-masing sadar, bahwa mereka harus pandai membawa diri kalau masih mengharapkan pertolongan-nya. Soalnya, karena watak pemuda itu demi-kian aneh. Apa yang menyebabkan sekonyong-konyong dia seperti kemasukan setan, hanya setan sendiri yang tahu.

Maka terpak-salah mereka menahan rasa nyerinya. Meski-pun mereka bukan tokoh sembarangan, tak urung keringat dingin merembes keluar berbu-tir-butir. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk ke dalam benak Hamid. Terus saja ia mengarah kepada si Badai dan berkata hati-hati. "Jang! Pastilah engkau sudah lama me-ngenal dia. Kami bersalah apa terhadapnya sampai dia mematahkan lengan kami?" Badai itu tersenyum panjang. Dengan suara menyalahkan ia menjawab, "Soalnya Tuan berani menyebut nama Fatimah." "Nama Fatimah?" Mereka berseru berba-reng. Mereka saling menyiratkan pandang tak mengerti. "Aku menyebut nama Ratu Fatimah," kata Suria. "Dia murid tuanku Maulana Ibrahim. Guru kami dan tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu Ratu Fatimah. Dengan begitu, kami termasuk keluarga sendiri. Apakah, apakah dia musuh Ratu Fatimah?" "O, bukan, bukan. Kalau dia musuh Ratu Fatimah, masakan sudi berguru kepada tuanku Maulana Ibrahim," tungkas badai itu. "Dia berasal dari Jawa Tengah. Siapa Ratu Fatimah itu, dia tak mengerti." "Tapi mengapa merasa tersinggung?" "Karena Tuan menyebut nama Fatimah. Justru Fatimah adalah nama kekasihnya. Tuan sekarang menyebutnya dengan ratu. Bukankah berarti memperolok-oloknya?" "Ah," mereka baru sadar. Kemudian Suria buru-buru berkata, "Kalau begitu, memang nasib kamilah yang lagi sial. Siapa tahu, bahwa kekasihnya bernama Fatimah. Seka-rang dia menyakiti kami Apakah ... apakah ..." "Dia boleh meremukkan tulang-tulang Tuan. Tapi kalau Tuan pandai mengambil hatinya, Tuan akan bisa dipulihkan kembali. Tuan percaya, tidak? Sebab dialah murid satu-satunya tuanku Maulana Ibrahim," ujar si badai. "Kami percaya. Kami percaya," mereka menyahut berbareng, meskipun belum tentu hatinya berbicara demikian. "Lekas sam-paikan kepadanya, bahwa tiada niat kami hendak memperolok-olokan dia. Kami bahkan akan hadir pada hari perkawinanan di kemudian hari." Badai itu menimbang-nimbang sebentar, kemudian masuk ke dalam gubuk. Mendengarkan dan menyaksikan seren-tetan peristiwa dengan percakapannya itu, hati Sangaji kian tertarik. Bisiknya dalam hati, "Fatimah? Apakah Fatimahku sendiri? Kalau benar-benar dia tunangan Fatimah, alangkah hebat nanti. Fatimah dahulu selalu merahasiakan siapakah pemuda yang meng-ganggu hatinya. Dia berkata seorang saja. Manik Angkeran seorang ahli obat-obatan. Sudah selayaknya apabila dikerumuni orang. Apakah ini maksudnya? Kalau benar demi-kian, hai-hai... dia bisa kumat wataknya ma-nakala kugodanya." Memikir demikian, perhatian Sangaji terha-dap Manik Angkeran naik setingkat. Di depannya seakan-akan tergelar pemandangan lembah Gunung Damar. Di sana ia berjumpa dengan Fatimah kembali. Lantas dengan serta merta ia akan menebak rahasia hati gadis angin-anginan itu. Alangkah lucu dan menggairahkan! Pastilah Fatimah akan mencak-mencak. Tapi kemudian... dia akan bertanya tentang Titisari. Bukankah dia berjanji kepada gadis itu hendak membawa serta Titisari me-nemuinya? Teringat akan janji ini hati Sangaji tergetar. Kira-kira menjelang tengah hari, terdengar derap kuda memasuki lembah pertapaan. Tiga orang yang mengenakan pakaian mahal turun tertatih-tatih dari kudanya. Dengan menekan dada, mereka berseru hampir berbareng di depan gubuk pertapaan. "Kami anak murid pendekar Malingping, mohon bertemu dengan tabib sakti tuanku Maulana Ibrahim." Habis berkata demikian, mereka berbatuk-batuk. Pada punggungnya nampak noda darah. Yang satu membalut kepalanya penuh darah kental. Suatu tanda, bahwa mereka semua terluka parah. Sebentar kemudian, Manik Angkeran mun-cul di ambang pintu dengan membawa buku dan alat tulis di tangan kirinya. Berkata memaklumi, "Panembahan Maulana Ibrahim tak dapat diganggu gugat. Dia sedang mema-suki tingkat olah tapa tertinggi. Silakan men-cari tabib lainnya. Kulihat luka kalian masih bisa bertahan dua tiga hari lagi." "Kami bertiga berasal dari Rancabali. Ra-tusan kilometer telah kami lalui untuk datang menghadap tuanku tabib sakti. Tenaga kami sudah terkuras habis. Lagi pula sekiranya di dunia ini ada tabib sesakti tuanku Maulana Ibrahim, masakan kami sampai datang ke mari." Manik Angkeran menghela napas. Ia sudah memutar badannya, hendak masuk ke gubuk, tatkala mereka bertiga memanggilnya buru-buru. "Adik! Tolonglah sampaikan maksud kami ini ..." Belum lagi habis perkataannya. Mereka nampak bergemetaran dan jatuh terkulai di tanah. Aneh juga kuda-kuda mereka-pun jatuh bergedebrukan dengan mengeluarkan busa. Tak dapat disangsikan, bahwa mereka termasuk kudanya benar-benar sudah kehilangan tenaga. Menyaksikan keadaan mereka timbullah rasa iba dalam hati Manik Angkeran. Ia hendak segera memeriksa, sewaktu tiba-tiba terdengar suara langkah dan derap kuda berbondong-bondong memasuki lembah pertapaan. Dari jauh, mereka sudah berseru beramai-ramai. "Tuanku Maulana Ibrahim ... mohon menghadap." Manik Angkeran mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggerutu. "Hampir empat tahun aku berada di sini. Selamanya lembah ini sunyi sepi. Tapi hari ini, kenapa mereka datang begini berbondong-bondong?" Setelah menggerutu demikian, berkatalah dia, lantang: "Kalian datang ke mari beramai-ramai. Apakah ada yang menyuruh?" Jumlah mereka dua belas orang. Terdiri dari berbagai-bagai golongan. Ada yang berpakaian saudagar, kepala kampung dan pegawai kerajaan. Semuanya menderita luka parah. Dan tatkala mendengar seru Manik Angkeran, dengan serentak memperlihatkan sebatang baja berbintang tiga pada tangannya masing-masing. "Hai, apakah artinya ini?" Manik Angkeran heran. "Senjata bidik ini bernama, kembang cacah bintang," sahut seorang berperawakan pendek tipis. "Pemiliknya seorang nenek-nenek bernama Karumbi. Dialah yang kita kenal dengan sebutan si bongkok dari Pegunungan Karumbi." Dengan tercengang Manik Angkeran mene-gas. "Apa hubungannya dengan kita di sini?" "Tanyakanlah kepada tuanku Maulana Ibrahim. Kami dilukai tanpa perkara. Lantas kami digebah, agar datang ke mari. Katanya dia minta tanggung jawab atas kematian pen-dekar Kamarudin anggota Himpunan Sang-kuriang." "Siapakah Kamarudin itu?" "Dialah anak menantu Nenek Karumbi." "Selamanya guruku tak pernah berurusan dengan perkara luar. Mengapa nenek itu minta tanggungjawabnya," tungkas Manik Angkeran. "Tanyakanlah kepada gurumu!" jawab orang berperawakan pendek tipis itu. Setelah berkata demikian, terus rebah tak berkutik. Hamid, pengawal kerajaan Banten seko-nyong-konyong nyeletuk. "Ha, tahulah aku Tuanku Maulana Ibrahim adalah pembantu utama Ratu... Ratu... eh... pembantu Kerajaan Banten. Dan Nenek Karumbi justru musuh utama Ratu ... Ratu..." dia tak berani menyebut nama Fatimah, karena takut mempunyai akibat sendiri terhadap pemuda berwatak angin-anginan itu. Lalu cepat-cepat mencari kata-kata lain. "Dan Nenek Karumbi justru musuh Kerajaan Banten. Tapi latar belakang apa yang menyebabkan nenek itu tiba-tiba minta pertanggungan jawab tuanku Maulana Ibrahim, hanya guru paman yang baik budi yang tahu." Mendengar Hamid masih menyebutnya sebagai paman yang baik budi, Manik Angkeran tersenyum puas. Katanya ringan, "Kalian dilukai oleh nenek itu. Rupanya dia lebih kuat daripada kalian. Kalau saja berniat hendak membunuh kalian, nampaknya mu-dah sekali. Tapi kalian dibiarkan hidup untuk beberapa hari agar bisa datang ke mari. Apa maksudnya?" "Justru itu, bangunkan guru paman yang baik budi. Kukira hanya tuanku Maulana Ibrahim sendiri yang dapat menebak teka-teki ini." "Sayang anak-anak yang manis. Pada saat ini, biarpun bumi berguguran tak berani aku mengganggunya." Selagi berbicara demikian, telah datang berturut-turut enam orang lagi. Mereka memohon bertemu dengan Maulana Ibrahim yang disebutnya sebagai tabib dewa. Caranya meminta bertemu bermacam-macam. Ada yang berbicara dengan sopan, bernada memerintah, merintih dan membisu. Semuanya ditolak oleh Manik Angkeran de-ngan kata-kata yang sama. Namun mereka tak mau pergi. Maka terpaksalah Manik Angkeran memberi perintah kepada dua orang badai agar menyediakan makanan sekadarnya. Dengan datangnya mereka berbondong-bondong ditambah lagi dengan adanya kisah latar belakangnya, membuat hati Sangaji kian tertarik. Meskipun otaknya tidaklah seencer Titisari, "tapi ia memiliki watak yang baik. Apabila menghadapi persoalan yang rumit, tak mau sudah sebelum mengerti dengan sejelas-jelasnya. Maka timbullah kekerasan hatinya hendak menyelidiki peristiwa itu sampai selesai. Perkara makan bukanlah merupakan soal sulit baginya. Kecuali kesempurnaan tubuhnya melebihi pendekar-pendekar sakti pada zaman itu, diapun membekal makanan kering. Dengan begitu, tak usahlah ia khawatir akan kelaparan. Menjelang petang hari, ia mendengar lang-kah ringan. Pendengarannya yang tajam me-nangkap suara degup jantung yang kurang beres. Lagi-lagi seorang terluka berat, pikir Sangaji. Ia melongokkan kepalanya. Gntuk herannya, ia melihat seorang wanita memapah seorang anak perempuan. Dan wanita itu adalah Rostika dan Atika, isteri dan anak Suhanda. "Apakah dia dilukai pula oleh nenek itu?" Ia menduga-duga. Lewat sejenak, terdengar Rostika berkata membujuk kepada anaknya. "Kau sekarang berjalan sendiri ya, Nak?" "He e," sahut Atika. Dan anak itu lantas melorot dari dukungan. "Bagus," kata Rostika dengan suara bersyukur. Ia seperti kehilangan suatu beban berat. Kemudian dengan suara setengah ber-putus asa, "Sekarang mudah-mudahan tabib sakti Maulana Ibrahim berada di rumah ..." Mendengar suara Rostika, hati Sangaji tergetar. Ingin dia menghampiri dan hendak menolongnya. Meskipun sama sekali tiada memiliki ilmu ketabiban, tetapi ia percaya akan tenaga saktinya. Sekonyong-konyong ia mendengar seru Manik Angkeran nyaring. "Kak Rostika! Benarkah Kak Rostika?" Mendengar seru Manik Angkeran, Rostika terhenti sejenak. Ia seperti lagi mengingat-ingat. Kemudian menyahut setengah memekik. "Ah ... Manik Angkeran! Bagus kau berada di sini." Dan setelah berkata demikian, ia mendatangi dengan mempercepat langkahnya. "Bukankah aku dahulu berkata hendak mencari seorang guru tersakti di dunia?" ujar Manik Angkeran seraya menyongsong. "Kau berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim. Nasibmu benar-benar bagus! Aku tahu ... aku tahu ... itulah yang kaumaksudkan dahulu. Dengan berbekal ilmu kepandaian Panembahan Maulana Ibrahim engkau tidak akan kehilangan muka di depan kekasihmu. Bukankah begitu?" seru Rostika dengan gembira. Tetapi berbareng dengan itu, ia berbatuk-batuk kecil. Darah segar meruap dari mulutnya. "Kau ... kau ... kena dilukai nenek tua?" Manik Angkeran terkejut. "Siapakah nenek itu yang berbuat sewenang-wenang terhadap-mu?" Gugup, Manik Angkeran memajang pundak Rostika sambil berkata: "Kak Rostika, marilah masuk ke dalam ... Bukankah ini keme-nakanku Atika?" Rostika memanggut kecil. Dengan tangan kanannya ia menggandeng lengan Atika. "Pundak dan lengan kirimu terluka berat ... Ah, selama dalam perjalanan engkau meng-gendong Atika dengan lengan kananmu, bu-kan? Hai, mengapa engkau disiksanya pula?" Rostika tak dapat menjelaskan. Ia terus berbatuk-batuk tiada hentinya. Dengan ber-jalan pelahan-Iahan ia dibawa masuk ke dalam gubuk. Melihat keakraban Rostika dengan Manik Angkeran, Sangaji bertambah heran. Pikirnya, kalau aku ingin mengetahui mereka dengan jelas, aku harus ikut-ikut pula menyamar sebagai seorang yang membutuhkan pertolongan tabib sakti Maulana Ibrahim. Memikir demikian, segera ia keluar dari persembunyiannya. Kemudian berjalan tertatih-tatih memasuki halaman pertapaan. Semua orang yang berada di situ menderita luka enteng. Karena itu, sama sekali tidak memperhatikan siapa lagi yang datang untuk minta pertolongan tabib sakti. Dengan demikian, Sangaji dapat menempatkan diri sesuka hatinya. Beringsut ingsut ia mendekati dinding samping dan dari balik dinding ia memasang telinganya tajam-tajam. Manik Angkeran sesungguhnya adalah tunangan Fatimah adik Wirapati. Ia mempu-nyai bakat baik untuk menjadi seorang tabib. Di depan tunangannya, ia menyatakan cita-citanya hendak menjadi seorang tabib sakti di kemudian hari. Pernyataan itu sebe-narnya agak berlebih-lebihan, tapi bukankah tiap laki-laki akan berbuat begitu di depan kekasihnya. Hanya sayangnya, pemuda itu berhadapan dengan Fatimah yang mempu-nyai watak angin-anginan. Mendengar pernyataan demikian, lantas saja gadis itu mengolok-oloknya sebagai orang linglung. Dan Manik Angkeran bersakit hati. Ia kemudian menghi-lang. Di dalam hatinya tak sudi ia menemui kekasihnya kembali sebelum membuktikan ucapannya. Dalam perantauannya ke Jawa Barat, ia menumpang di rumah Suhanda. Dari Rostika, ia mendengar kabar tentang kesaktian Maulana Ibrahim. Maklumlah, Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Dengan sendirinya mengetahui tokoh-tokoh sakti angkatan tua pada zaman Ratu Fatimah. Ia berangkat men-cari pertapaan Maulana Ibrahim dan berhasil diterima menjadi murid satu-satunya, karena bakatnya serta kemauannya yang baik. Maka ilmu pertabiban Manik Angkeran sekarang sudah jauh lebih tinggi daripada tabib-tabib ternama di seluruh kota di Pulau Jawa. Ia segera memeriksa pundak dan lengan Rostika. Setelah mendengar batuknya, ia berkata dengan pasti. "Kak Rostika. Rupanya tatkala engkau mengadu pukulan, musuh telah melukaimu sebelum engkau bergerak." Setelah berkata demikian, tangannya ber-gerak dengan tiba-tiba. Sangat cepat dan me-ngagumkan. Tahu-tahu darah yang meruap dari mulut Rostika berhenti dan rasa batuknya lenyap dari rongga dada. Kemudian ia memeriksa pundak dan lengan Rostika. Tiga batang baja berbintang segi tiga menancap pada sambungan tulang. Cepat ia mencabutnya. Ternyata tulang lengan Rostika patah tiga tempat. Dan tulang pundak remuk seperti tergilas. Benar-benar suatu luka yang mustahil untuk dipulihkan kembali. Tapi Manik Angkeran adalah seorang murid tunggal tabib sakti Maulana Ibrahim. Setelah memberi resep obat sambung tulang kepada dua orang badai, segera ia menyambung tu-lang-tulang yang patah pada beberapa tempat. Agaknya, untuk pertama kali itulah, Manik Angkeran menyambung tulang seseorang. Meskipun kurang cepat, namun setelah ber-tekun beberapa saat lamanya, ia berhasil menyambungnya dengan rapih. Segera ia membubuhi obat luka dan membalut lengan serta pundak Rostika. Lalu berkata, "Kak Rostika harus beristirahat baik-baik. Minumlah obat pulas ini. Dengan begitu, Kak Rostika takkan terganggu rasa sakit. Atika biarlah tidur di samping. Ia takkan mengganggu." "Manik Angkeran! Kau benar-benar menjadi orang lain," seru Rostika kagum. "Sesungguh-nya aku datang ke mari untuk mohon perto- longan Eyang Panembahan Maulana Ibrahim. Tapi ternyata kau sudah dapat menolong aku." "Kepandaian ini bukankah berasal dari Kak Rostika?" tungkas Manik Angkeran. "Coba kalau Kak Rostika dahulu tidak menunjukkan jalan baik, takkan mungkin aku datang ke mari untuk berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim." "Di manakah gurumu kini?" "Guru sedang bersemadi. Dia tak dapat diganggu-gugat." "Dan mereka bagaimana? Kulihat tadi, mereka menderita luka pula. Apakah mereka belum bertemu dengan gurumu?" Manik Angkeran menggeleng kepala. Dan melihat Manik Angkeran menggeleng kepala, wajah Rostika berubah menjadi pucat. Katanya penuh sesal. "Mereka datang terlebih dahulu daripadaku. Apa sebab aku engkau dahulukan?" "Salahnya sendiri Tak pernah mereka minta pertolongan padaku. Seumpama mereka terpaksa mati, itupun bukan urusanku." "Ah, adikku yang baik. Periksalah mereka dahulu sebelum gurumu turun dari semadinya." Waktu itu rembang petang telah lewat. Beberapa badai telah memasang pelita. Manik Angkeran mengatur tempat tidur untuk Rostika dan Atika. Setelah mengantar mereka ke bilik dan menyediakan makan malam, ia keluar ke serambi dengan membawa obor. Segera ia memeriksa luka mereka. Tapi tatkala ia memeriksa luka mereka, tak terasa ia ternganga-nganga keheranan. Makin ia mencoba mengerti, makin heranlah dia. Benar dia baru kali itu memeriksa seseorang yang menderita luka parah. Tetapi macam itu sendiri benar-benar merupakan suatu teka-teki yang ajaib. Luka yang mereka derita, masing-masing berbeda. Cara melukainya sangat aneh pula. Selama berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim belum pernah ia mendengar jenis luka semacam itu. Ada yang terluka jantungnya, tanpa merusak kulit dan urat penyambung. Ada pula yang menderita luka parah pada tiap urat dan nadinya. Terang sekali bahwa Nenek Karumbi mengenal ilmu ketabiban. Cara dia melukai mangsanya diatur demikian rupa, sehingga benar-benar menyulitkan cara pengobatannya. Ada lagi yang terserang paru-parunya de-ngan empat batang paku, sehingga menye-babkan dia terbatuk-batuk tiada henti dengan memuntahkan darah. Seorang lain, rusak tulang iga-iganya sampai berkeping-keping. Meskipun jantung dan paru-parunya utuh, tetapi betapa mungkin dapat disembuhkan kembali. Ada pula yang rusak bagian tubuh-nya yang penting tanpa menderita luka dan seorang lagi terus-menerus mencakari gundulnya tanpa dikehendaki sendiri. Manik Angkeran benar-benar terpaksa me-ngerutkan kening. Pikirnya dalam hati, biarpun aku disuruh memilih, tak mampu aku mengobati salah seorang di antaranya. Siapakah Nenek Karumbi itu? Mengapa dia begini jahat dan ganas? ' Memikir demikian, segera ia memasuki bilik Rostika sambil berkata, "Kak Rostika! Apakah engkau sudah tidur?" "Belum. Mengapa?" sahut Rostika dengan suara bening. "Boleh aku masuk?" "Masuklah! Aku adalah pasienmu sem-barang waktu kau boleh masuk." Dengan menarik tempat duduk, Manik Ang-keran terus berkata gopoh. "Kak Rostika, aku terpaksa membuat engkau kecewa. Dengan sebenarnya aku tak sanggup menolong mereka." "Adikku yang baik, mengapa? Kau tadi dapat menolong aku. Mereka terluka parah oleh tangan yang sama." "Benar. Tapi setelah kuperiksa, aku terpaksa menyerah. Sungguh-sungguh aneh!" kata Manik Angkeran dengan wajah tegang. Kemudian menceritakan dan menjelaskan luka mereka masing-masing. Setelah itu menegas. "Kak Rostika ... selama hidupku, baru kali ini aku menyaksikan tangan ganas dan keji. Engkau tak disiksa demikian berat, hatiku bersyukur bukan main. Tapi demi Tuhan ... mengapa nenek itu menyiksa mereka begitu rupa?" Dengan menarik napas panjang, Rostika tak segera menjawab. Ia merenungi anaknya yang tidur nyenyak. Rupanya Atika sangat penat oleh suatu perjalanan yang panjang. Begitu habis makan malam, lantas saja tertidur sewaktu direbahkan di atas tempat tidur. "Bagaimana kalau kita berbicara di luar bilik?" Rostika mencoba. "Ah ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Aku hanya memikirkan kepentingan sendiri. Mari!" Mereka duduk di ruang tengah. Setelah sejenak berpandang-pandangan, Rostika kembali menghela napas. Kemudian berkata, "Sesungguhnya kalau kita mau jujur, guruku lebih ganas dan lebih keji daripada perbuatan nenek dari pegunungan Karumbi itu. Nenek itu hanya melukai, tapi tidak membunuh. Bukankah berarti memberi kesempatan hidup?" "Tapi ... tapi ... dilukai demikian rupa samalah halnya dengan dibunuh sekali mati," potong Manik Angkeran bernafsu. "Penyiksaan ini bahkan lebih berat daripada pembunuhan. Sebab, luka itu sendiri tak mungkin dapat disembuhkan kembali." "Tidak, adikku. Benar engkau adalah murid tuanku Maulana Ibrahim, tapi aku yakin engkau belum mengenal kesaktian dan kemampuan gurumu benar-benar. Nenek itu sesungguhnya hanya membuat gurumu sibuk. Dia yakin, gurumu pasti dapat menyembuhkan kembali. Kalau tidak, masakan kita digebahnya agar datang ke mari?" Mendengar keterangan Rostika yang masuk akal, Manik Angkeran berbimbang-bimbang. Peristiwa ini memang aneh. Selama ia berguru kepada Panembahan Maulana Ibrahim baru kali ini mengalami suatu keja-dian pelik. "Memang aneh," pikirnya dalam hati. Dan tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ya memang aneh. Hamid tadi berkata, bahwa nenek itu minta pertanggunganjawab guruku. Nampaknya peristiwa ini mempunyai latar belakang yang belum kita ketahui." Dia hendak berbicara lagi, sekonyong-konyong masuklah seorang badai. "Gan! Dipanggil Panembahan," katanya. "Guru? Apakah ... apakah," Manik Angkeran terkejut. Terus saja ia meloncat dari tempat duduk sambil berkata kepada Rostika. "Kak Rostika tak biasanya guru turun dari persema-dian begini cepat ... Kau mengasolah dahulu! Esok pagi masih ada waktu. Sudahkah kau minum obat pulasmu?" Rostika mengangguk. Katanya, "Rasa sakit-ku sudah banyak berkurang. Kalau kau mem-butuhkan aku, engkau boleh masuk ke kamar pada sembarang waktu ..." Manik Angkeran mengangguk cepat. Kemu-dian bergegas masuk ke dalam, la berhenti di depan sebuah bilik tempat bersemadi. Terus berkata penuh hormat. "Guru! Muridmu menghadap ..." Sebagai jawaban, terdengarlah suara geme-resak. Sejenak kemudian Maulana Ibrahim menyahut, "Siapakah yang mengganggu aku di luar?" "Kurang lebih dua puluh orang datang berturut-turut ke mari semenjak pagi tadi. Sudah kuberitahukan bahwa guru tak bersedia menerima tamu, namun mereka tak mau pergi. Mereka menderita luka parah." "Tak peduli siapa mereka atau apa yang dideritanya, aku tak mau diganggu." "Ya," sahut Manik Angkeran cepat. "Tetapi luka mereka sesungguhnya sangat aneh." Setelah berkata demikian, segera ia menga-barkan keadaan luka mereka. Agaknya Maulana Ibrahim menaruh perha-tian terhadap laporan Manik Angkeran, meskipun ia masih tetap bercokol di dalam kamar persemadiannya. Apabila kurang jelas, segera ia memerintahkan Manik Angkeran memeriksa kembali luka orang yang dikehendaki. Kemudian diwajibkan memberi laporan sejelas-jelasnya. Dengan demikian kurang lebih dua jam la-manya, ia mondar-mandir sampai selesai memberi laporan terakhir. Dan berulang kali, ia mendengar gurunya menghela napas. Rupanya benar-benar gurunya memeras otak untuk menentukan gejala-gejalanya dengan tepat. Sesudah lama berdiam diri, akhirnya terde-ngar Maulana Ibrahim berkata memutuskan. "Hm ... kalau hanya demikian saja, masih belum dapat menyulitkan daku ... Tapi aku sedang malas untuk mengobati mereka. Nah, suruhlah mereka enyah dari sini sebelum ajalnya sampai." Manik Angkeran hendak bergerak melak-sanakan perintah, sewaktu ia mendengar seseorang berkata nyaring di belakangnya. "Tuan Maulana Ibrahim! Kau disebut se-orang tabib sakti yang saleh. Selain itu terkenal sebagai seorang pertapa yang tinggi-budi. Kalau kau sekarang menolak suatu tugas suci yang diberikan Tuhan, tiada gunanya engkau hidup sebagai tabib sakti." Yang berkata demikian adalah Suria. Ia tak sabar melihat mondar-mandirnya Manik Angkeran dan tak tahan menanggung luka parahnya yang makin lama makin terasa menjadi runyam, sehingga mengikuti Manik Angkeran masuk ke dalam gubuk dengan diam-diam. "Kau siapa sampai berani berbicara begitu terhadapku?" bentak Maulanan Ibrahim. "Aku murid Tatang Manggala." "Hm ... biarpun kau murid dewa sekalipun, apakah peduliku? Kau mampus atau tidak bukan urusanku. Pulanglah cepat-cepat. Barangkali masih sempat engkau bertemu dengan anak isterimu." Mendengar pernyataan Maulana Ibrahim, tubuh Suria menggigil. "Tuanku Ibrahim! Kau diancam seseorang. Diapun hendak datang ke mari. Kalau kau sudi mengobati aku sampai sembuh, bukankah aku dapat membantumu?" "Hm ... sekiranya benar, kau bisa menga-pakan dia? Kau akan mampus sebelum dapat bergerak." Suria mengeluh. Ia kini mulai merintih. Tatkala Maulana Ibrahim masih saja bersikap dingin, habislah sudah kesabarannya. Terus saja ia membentak sambil mengancam. "Baik, baik! Memang aku mau mampus. Tapi sebelum mampus, biarlah aku menikam ulu hatimu dahulu!" Pada saat itu, masuklah Hamid dengan ter-tatih-tatih. Mendengar kekasaran Suria, ia menghunus goloknya dan menuding dengan gemetaran. Bentaknya. "Kau bilang apa? Kau berani berkurangajar terhadap tuanku Maulana Ibrahim? Aku Hamid, meskipun tunggal seperguruan akan membunuhmu sebelum kau bergerak menghampiri pintu. Hayo cobalah! Cobalah, kalau mau merasakan tikamanku ..." Setelah berkata demikian, ia berputar menghadap kamar Maulana Ibrahim. Lalu duduk bersimpuh dan bersembah beberapa kali. Rupanya Suria mengerti akan kehendak teman seperguruannya. Pikirnya, ya betul... Maulana Ibrahim tidak mempan kena gertak dari sanjung puji. Tapi mungkin bisa luluh hatinya dengan cara menghambakan diri. Ia terus mencontoh sikap temannya. Dalam pada itu, Hamid berkata merendah. "Kami sekalian ini memang pantas disebut sekumpulan katak-katak bangkotan yang tak tahu diri. Pantaslah jika .tuanku tak sudi bersin-tuhan dengan kami. Tetapi di sini, kami menyaksikan kepandaian murid tuanku. Bila tuanku mengijinkan, biarlah dia yang mengobati kami. Soal sembuh atau tidak, tergantung kepada rejeki kami semata. Sebaliknya kalau tuanku memerintahkan kami agar mencari tabib lain ... hm ... di seluruh jagat ini, dimanakah ada seorang tabib yang melebihi tuanku. Sedangkan ditandingkan dengan murid tuanku saja takkan nempil." Suria memanggut-manggut. Dalam hati, ia memuji kecerdikan temannya seperguruan itu. Ia melihat paras Manik Angkeran berseri-seri. Rupanya kata-kata Hamid termakan dalam lubuk hatinya. Tapi diluar dugaan, terdengarlah suara Maulana Ibrahim sedingin es. "Muridku itu bernama Manik Angkeran. Berasal dari Jawa Tengah. Sedangkan aku datang dari Kerajaan Banten. Antara aku dan dia sesungguhnya tiada hubungan apa-apa juga, selain hubungan sebagai guru dan murid. Meskipun dia sudah mendekam di sini kurang lebih tiga tahun lamanya, tapi janganlah mengharap bahwa dia mampu mengobati luka kalian. Kalau tak percaya, tanyakanlah sendiri!" Seketika itu juga kepala Hamid dan Suria seperti terguyur air dingin. Semula mereka berharap penuh akan kemampuan bocah itu sampai mau memanggilnya sebagai paman baik budi. Tadi mereka menyaksikan sendiri, betapa bocah itu dapat menolong luka Rostika. Mereka tak tahu, bahwa luka yang diderita Rostika jauh berlainan daripada luka yang dideritanya. Hamid hampir berputus asa tatkala tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan batang baja berbintang segitiga. Kemudian dilemparkan ke dalam kamar Maulana Ibrahim. "Orang yang memiliki senjata inilah yang melukai kami. Diapun menggebah kami agar datang ke mari. Dia berkata pula hendak datang meminta pertanggungjawab tuanku." Baja berbintang segi tiga itu jatuh ber-kelontangan di dalam kamar. Lantas sepi tiada suara. Lama sekali dan baru terdengar Maulana Ibrahim menghela napas. "Manik Angkeran! Sudah kau periksa se-muanya yang luka?" sejenak kemudian Maulana Ibrahim menegas. "Sudah." "Hm, mengapa begitu lancang?" "Karena ... karena ... aku tak sudi melihat mereka mati di depan pertapaan guru," sahut Manik Angkeran sulit. "Hm," dengus Maulana Ibrahim. Ia seperti mau menerima alasan muridnya. Mendadak membentak, "Kudengar suara napas orang tidur di dalam bilikmu. Benarkah itu?" "Benar," sahut Manik Angkeran gugup. "Dia seorang wanita yang menderita penganiayaan pula." Belum lagi habis dia berkata, Hamid menimbrung. "Muridmu telah mengobatinya. Dan perem-puan itu kini bisa tidur nyenyak." Tempat tidur Maulana Ibrahim terdengar bergerak-gerak. Tahulah Manik Angkeran, bahwa gurunya bergusar mendengar kabar itu. "Manik Angkeran! Kau sudah pilih kasih. Maka kau boleh coba yang lain. Kalau sudah, suruhlah pergi. Juga perempuan itu! Aku tak menghendaki siapa saja berada di sini. Kau dengar? Nah, kerjakan. Lalu datanglah kau ke mari!" Mendengar perkataan Maulana Ibrahim, senanglah hati Hamid, segera ia menoleh kepada Manik Angkeran dan berkata sengaja dinyaringkan: "Kau obatilah aku dahulu!" "Huh!" dengus Manik Angkeran. "Terhadap wanita itu aku hanya menolong meringankan penderitaannya. Bukan mengobati dan me-nyembuhkan. Lagipula luka yang dideritanya tidaklah semacam yang kau derita. Kau jauh lebih parah. Entah aku berhasil menolongmu, tergantung kepada nasib baikmu belaka." Setelah berkata demikian, ia keluar ke se-rambi depan. Dua orang badai membantu menyalakan beberapa obor, sehingga halaman cukup diterangi. Berkatalah dia lagi: "Tuan-tuan! Aku masih muda dan pengala-manku masih sangat hijau. Luka tuan aneh luar biasa. Apakah aku mampu mengobati, tak tahulah aku. Sama sekali aku tak mempunyai pegangan. Mati dan hidup tuan tergantung kepada takdir." "Hai! Janganlah kau cerewet tak karuan. Lekas obati aku!" tungkas Hamid. "Kau?" Manik Angkeran mendongkol. "Be-lum lagi kau sembuh sudah lupa kepada paman yang baik budi. Kau kuobati atau tidak, bukankah terserah padaku?" Digertak demikian, Hamid segera sadar. Cepat-cepat ia merendah: "Ooo ... bukan begitu maksudku ... eh pa-man yang baik budi. Soalnya, karena aku sudah tak tahan lagi..." Memang pada saat itu, mereka semua sudah tak tahan menanggung penderitaannya. Seluruh tubuhnya terasa menjadi gatal, pegal, nyeri dan panas-dingin hampir berbareng mereka merintih-rintih. "Anak manis! Aku hanya menjanjikan mengurangi rasa sakit. Bukan untuk menyem-buhkan," seru Manik Angkeran. Tanpa berpikir panjang lagi, mereka meng-iakan dengan berbareng. Maklumlah, penderitaan mereka sudah tak tertanggungkan lagi. Seumpama disuruh minum racun demi mengurangi rasa sakit sebentar saja, merekapun takkan menolak. Manik Angkeran segera bekerja. Tadi ia berniat hanya untuk menolong meringankan, agar mereka dapat pulang kembali ke rumah-nya masing-masing. Tetapi sudah menjadi tabiat seorang tabib. Makin menemukan suatu gejala penyakit yang aneh, makin timbullah kemauannya hendak mengatasi. Samalah halnya dengan seorang ahli racun. Manakala ia mengenal suatu racun yang lebih dahsyat daripada mutu racunnya sendiri, timbullah rangsangannya hendak mengalahkan. Maka demikianlah halnya dengan Manik Angkeran. Ia berkutat mati-matian hendak meme-' nangkan macam penganiayaan si nenek dari pegunungan Karumbi. Apabila merasa tak mampu, segera ia lari masuk menghadap gurunya untuk minta petunjuk-petunjuk. Dengan dalih agar mereka segera mau pulang ke rumahnya masing-masing, apabila dapat disembuhkan ia berhasil menggugurkan ke-kerasan hati gurunya. "Baiklah. Kau mau mengobati sampai sem-buh? Itulah urusanmu. Tapi kau saksinya, bahwa sama sekali aku tak menyentuh mere-ka biar seorangpun," kata Maulana Ibrahim memutuskan. Manik Angkeran demikian bernafsunya, sehingga ia tak menginsyafi di balik arti kata-kata itu. Dan begitu memperoleh petun-juk, segera ia bekerja dengan giat. Sementara itu, Sangaji yang berada di samping rumah cepat-cepat berlindung di balik batu pegunungan yang berada di pojok halaman. Dari sana ia melihat peristiwa itu dengan seksama. Entah apa sebabnya, ia eng-gan meninggalkan tempat itu. Seakan-akan ia merasa diri diharuskan berada di situ sampai semuanya selesai. Kira-kira menjelang pukul tiga pagi, Manik Angkeran sudah selesai dengan pengobatan-nya. Orang-orang yang telah ditolongnya tidur bersengguran memenuhi halaman. Dengan kenyataan itu, benar-benar Manik Angkeran berhasil. Inilah suatu pengalaman yang maha dahsyat. Kejadian demikian tidak bakal bisa terulang lagi. Sekiranya tadi tiada timbul rangsangnya hendak mengatasi macam luka yang aneh, pastilah dia takkan mewarisi ilmu sakti Maulana Ibrahim yang tiada keduanya di dunia. Maka ia nampak puas. Pe-lahan-lahan ia pergi ke tempat pancuran yang berada di belakang rumah pertapaan dengan diikuti dua badai yang membawa obor semenjak tadi. Kalau saja Fatimah bisa menyaksikan kepandaian tunangannya, alangkah akan lain kesannya, pikir Sangaji senang. Dahulu dia berkata, tunangannya banyak kekasihnya dan berlagak seorang raja. Tentu saja. Sebagai seorang tabib pastilah dia dikerumuni orang, tak beda dengan seorang raja. Selagi memikir demikian, matanya yang tajam luar biasa melihat sesosok bayangan berkelebat dalam kegelapan. Bayangan itu berperawakan seorang laki-laki. Gerak-gerik-nya gesit. Segera ia menajamkan penglihatan. Dan oleh ilmu saktinya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan tenang ia melihat bahwa laki-laki itu berkumis lebat dan berjenggot panjang. Bayangan itu berkelebat memasuki hala-man depan, la seperti berputar-putar menje-nguk orang-orang yang menggeletak berte-baran di halaman, lantas menghilang mema-suki gubuk. "Mereka tadi membicarakan seorang nenek yang bertangan ganas dan keji. Tapi bayangan ini, terang seorang laki-laki. Siapakah dia?" Sangaji menduga-duga. Waktu itu Manik Angkeran sedang mencuci tangannya. Sekonyong-konyong ia mendengar suara rintih menyayatkan hati. Cepat ia lari ke halaman dengan diikuti dua badai. Dengan pertolongan obor ia memeriksa keadaan mereka. Beberapa orang di antaranya nampak berangsur-angsur menjadi baik. Tapi sebagian besar lainnya malah menjadi buruk. "Benar-benar aku tak mengerti," Manik Angkeran berkata kepada dirinya sendiri. "Terang sekali, keadaan mereka tadi sudah menjadi baik. Kenapa lukanya kini tambah parah? Lihat! Bukankah ini tanda-tanda bintul baru?" Dua orang badai di sampingnya segera menerangi dengan obornya. Mereka meng-iakan sambil memanggut-manggut. "Benar Gan," kata seorang. "Lihat pem-balutnya seperti kena potong." Cepat Manik Angkeran memeriksanya, la jadi tambah tak mengerti. Akhirnya terio-ngong-longong kebingungan. Melihat kebingungan Manik Angkeran, hati Sangaji yang mulai tergerak. Teringat gerakan bayangan tadi, ia sudah bisa menebak dela-pan bagian. Timbullah keputusannya hendak mengkisiki. Segera ia menginjak dahan ke-ring. Kemudian berkelebat lewat dinding sam-ping. Tatkala itu, dua badai yang membawa obor sedang membungkuk-bungkuk menerangi yang merintih-rintih kesakitan. Manik Ang-keran berada di sampingnya dengan pikiran gelap. Tiba-tiba ia mendengar suara dahan patah. Cepat ia menoleh. Dan pada saat itu, ia melihat bayangan Sangaji berkelebat. "Celaka!" seru Manik Angkeran setengah memekik. Berbareng dengan seruannya suatu ingatan menusuk benaknya. "Jangan-jangan dia melukai Kak Rostika pula." Memikir demikian ia segera melesat ke ambang pintu sambil berkata kepada dua badai, "Jagalah mereka! Dan nyalakan obor." Sampai di ambang pintu, ia melihat berkele-batnya sesosok bayangan keluar dari pintu biliknya. Ia kaget bercampur heran. Itulah bayangan gurunya. la mengucak-ucak matanya hendak men-cari keyakinan. Dan benar-benar adalah bayangan gurunya. Bahkan ia masih sempat melihat gurunya bergerak buru-buru me-masuki kamar semadinya. Melihat kenyataan itu, tak berani ia mengu-ber. Jantungnya berdegupan. Dan tiba-tiba saja timbullah darah kesatrianya. "Kalau guru sampai mengusik Kak Rostika, meskipun tiada tenaga akan kulawan dia sampai ajalku tiba," katanya di dalam hati. Berjingkat-jingkat ia mendekati bilik Rostika. Kemudian memanggil-manggil namanya. Rostika adalah murid Edoh Permanasari. Menurut pantas jangan lagi sampai dipanggil demikian nyaring, baru mendengar suara gemeresak yang mencurigakan pasti akan ter-bangun dengan sendirinya. Tetapi sudah sekian lama Manik Angkeran memanggilnya, tetap saja tiada jawaban. Dengan hati berdebar-debar, Manik Ang-keran memasuki bilik Rostika yang masih saja tidur dengan nyenyak di samping anaknya. Obat pulas memang menolong menyenyak-kan tidur. Tetapi tidaklah sehebat ini, pikir Manik Angkeran. la menajamkan penciuman. Dilongoknya mangkok bekas obat pulas. Ia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Maka hati-hati ia menyelidiki pernapasan Rostika dan Atika. Pernapasan Atika wajar seperti kanak-kanak lain yang tiada terganggu kesehatannya. Sebaliknya pemapasan Rostika terlalu halus, sehingga menimbulkan suatu teka-teki. Memperoleh teka-teki itu, Manik Angkeran memberanikan diri untuk meraba lengan Rostika. Sekonyong-konyong suatu hawa wangi merayap di udara. Suatu ingatan menusuk pikirannya, sehingga terloncatlah rasa kejutnya: "Ah! Celaka! Benar-benarkah guru menghendaki dia mati dalam tidurnya?" Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera lari mencari ramuan-ramuan obat tertentu. Kemudian dicekokkan ke dalam mulut Rostika. Sejenak ia menggoyang-goyangkan tubuh Rostika sambil memanggil namanya. "Siapa?" Rostika tersadar. "Ssst! Aku Manik Angkeran. Mari kita ke luar," sahut Manik Angkeran dengan suara tertahan. Mendengar suara Manik Angkeran yang berkesan gawat, Rostika segera bangkit de-ngan hati-hati. Setelah menyelimuti anaknya, ia mengikuti Manik Angkeran ke luar rumah. "Kak Rostika!" bisik Manik Angkeran setelah berada di tepi halaman pertapaan. "Kau tadi kena racun tidur yang dimasukkan ke dalam tubuhmu lewat urat. Sebenarnya engkau mempunyai permusuhan apa dengan guruku Panembahan Maulana Ibrahim?" "Apakah gurumu yang meracun aku?" Rostika bingung. "Kalau saja aku tidak menjengukmu, pasti-lah aku dan Atika akan kehilangan engkau untuk selama-lamanya..." Mendengar keterangan Manik Angkeran, Rostika tercengang-cengang berbareng bi-ngung. Dengan suara gap-gap ia berkata, "Sekiranya aku bermusuhan dengan guru-mu, masakan aku akan datang ke mari? Gurumu adalah angkatan tua. Kedudukannya sejajar dengan kakek guruku, Ratu Fatimah." "Ratu Fatimah?" Manik Angkeran memo-tong. Rostika terhenyak sejenak. Segera ia sadar. Lalu menyahut, "Ya ... Ratu Fatimah. Bukan Fatimahmu. Di dunia ini ribuan orang yang bernama Fatimah. Dan Ratu Fatimah itu adalah permaisuri dan penguasa tunggal Kerajaan Banten." "Oh ..." Manik Angkeran sekarang mengerti. Rostika sudah lama tahu, bahwa Fatimah adalah tunangannya Manik Angkeran. Pemuda itu dahulu sering membicarakan. Seumpama saat itu tidak dalam ketegangan, pastilah akan menjadi suatu pembicaraan yang menarik dan menggelikan. "Selama hidupku, belum pernah aku berhadapan muka dengan gurumu," Rostika malanjutkan. "Aku hanya mendengar kebe-saran namanya. Itulah yang dahulu kuanjurkan kepadamu, agar engkau berguru kepadanya, karena aku melihat bakatmu sangat bagus. Kau kini berhasil diterima menjadi muridnya. Hatiku bersyukur... sekarang kau berkata bahwa aku tadi diracunnya. Kalau benar, aku jadi tak mengerti... Apakah, apakah ..." "Kak Rostika! Percayalah, aku berkata de-ngan sesungguhnya. Sebab aku melihat bayangannya keluar dari bilikmu. Setelah aku memeriksa tubuhmu, kudapati racun menge-ram dalam dirimu." Manik Angkeran meya-kinkan. "Apakah engkau mau memberi ke-terangan dengan sebenarnya?" "Mengapa tidak? Kau telah menolong jiwaku. Masakan aku akan berdusta padamu?" Manik Angkeran berdiam sejenak. Kemu-dian memutuskan, "Mari kita mencari tempat yang baik." Setelah berkata demikian, ia membawa Rostika menjauhi halaman pertapaan. Pada sebuah pohon rindang ia berhenti menge-lanakan penglihatannya. Setelah yakin tidak bakal kena ganggu, ia berkata sambil mencari tempat duduk. "Kak Rostika. Kau sudah bersedia hendak memberi keterangan dengan sejujur-jujurnya. Benar, bukan?" "Tentu, tentu. O, adikku. Hampir empat tahun aku hidup bersuami-istri dengan kakakmu Suhanda. Dari luar nampaknya aman ten-tram, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Kami berdua selamanya merasa terancam bahaya pada tiap-tiap detik. Ini disebabkan, karena aku berasal dari keluarga Ratu Fatimah, sedangkan kakakmu adalah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Justru dua golongan itu merupakan musuh keturunan. Perkawinanku dengan kakakmu Suhanda, tidak dikehendaki oleh golonganku. Demikian pula sebaliknya. Kami berdua terpaksa memencilkan diri ..." Sampai di sini Rostika berhenti. Ia seperti tak sanggup meneruskan. "Apakah peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan masalah perkawinanmu?" Manik Angkeran menegas. "Manik Angkeran! Benar-benar otakmu cer-das. Nenek dari Karumbi meskipun berden-dam besar terhadap golongan kami, tapi ter-nyata dia tak sudi minta pertanggunganjawab kepada angkatan mudanya. Buktinya, dia hanya melukai. Dan tidak membunuhnya. Padahal sudah semestinya kita harus dibunuhnya." "Kak Rostika! Aku mungkin bisa cepat mengerti mengenai hal-hal ketabiban. Tapi dalam urusan luar, otakku tumpul." Rostika tersenyum. "Kalau begitu, biarlah aku bercerita yang urut agar engkau mengerti persoalan ini de-ngan jelas." Setelah berkata demikian, ia duduk di sam-ping Manik Angkeran. "Menurut kabar yang pernah kudengar, gurunya Panembahan Maulana Ibrahim, Tatang Manggala dan nenek dari pegunungan Karumbi adalah saudara seperguruan. Ma-sing-masing memiliki kepandaian yang berbe-da. Gurumu ahli dalam ilmu ketabiban. Tatang Manggala seorang ahli pemerintahan. Dan nenek dari pegunungan Karumbi seorang sakti pada zamannya. Entah apa sebabnya, mereka berpisahan dan mengambil jalannya masing-masing. Gurumu dan Tatang Manggala mengabdikan diri sebagai hamba Kerajaan Banten. Sedangkan Nenek Karumbi bermukim di atas pegunungan Karumbi. Meskipun jalan hidupnya berbeda, namun keluarga perguruan merupakan ikatan batin yang kuat. Kemudian pecahlah suatu pemberontakan, antara Ratu Fatimah dan Ratu Bagus Boang. Gurumu dan Tatang Manggala dengan sendirinya berada di pihak Ratu Fatimah. Dan Nenek Karumbi berada di pihak Ratu Bagus Boang. Tapi meskipun demikian masing-masing berjanji dalam hati tidak akan saling berkelahi secara langsung. Di luar dugaan, terjadilah suatu peristiwa yang menegangkan. Suami Nenek Karumbi gugur dalam suatu pertempuran sengit. Meskipun gugurnya suami Nenek Karumbi tidak boleh dipikulkan di atas pundak gurumu dan Tatang Manggala, namun mereka berdua kemudian memundurkan diri dari pemerintahan kerajaan sebagai per-nyataan ikut berduka-cita. Tatang Manggala kembali ke daerah asalnya di Malingping. Gurumu bermukim di atas Gunung Endut ini. Dan untuk berpuluh tahun lamanya, mereka bertiga hidup aman tenteram, meskipun nenek dari pegunungan Karumbi sangat menderita oleh peperangan itu." Sampai di sini Rostika berhenti sejurus. Kemudian meneruskan, "Ratu Bagus Boang hilang tiada beritanya dengan meninggalkan warisan perserikatan para pecinta pembela keadilan yang terkenal dengan nama: Himpunan Sangkuriang. Dan Ratu Fatimah sudah lama wafat ... Eh, kau senang tidak mendengar sejarah orang-orang tua ini?" "Tentu! Teruslah!" Manik Angkeran menya-hut cepat. "Bagus!" Rostika bersemangat. "Ratu Fatimah mempunyai seorang murid yang kini menjadi penggantinya. Dialah guruku. Nama-nya Edoh Permanasari. Dan nenek dari pegu-nungan Karumbi mempunyai seorang anak laki-laki bernama Kamarudin. Antara guruku dan pendekar Kamarudin terjadi suatu jalinan cinta-kasih semasa mudanya." Rostika berhenti lagi. Wajahnya merah dan ia menundukkan kepala. Dalam hati, segan ia membicarakan riwayat gurunya. Tapi karena sudah berjanji, ia menguatkan hati untuk melanjutkan. Katanya tak lancar, "Tapi agaknya, Tuhan tidak merestui per-hubungan itu. Entah apa sebabnya ... atau entah siapa di antara mereka berdua yang salah ... mereka berpisah dan saling berden-dam. Guruku waktu itu belum mencapai pun-cak ilmu perguruannya. Oleh dendam hati, ia bertekun sampai dua puluh tahun lamanya. Kemudian mulailah dia melampiaskan den-damnya. Dia membunuh dan mencelakai semua orang yang hidup terlalu rukun dalam keluarganya. Sebab guruku tak sudi melihat sepasang suami-isteri yang terlalu mesra atau sepasang muda-mudi yang berbahagia. Itulah sebabnya, semua murid-murid guruku tak diperkenankan hidup berkeluarga." "Ah tahulah aku kini, apa sebab engkau selalu merasa diri terancam. Karena engkau hidup berbahagia dengan kak Suhanda, bukan?" "Tidak hanya itu saja. Kakakmu Suhanda adalah anggauta Himpunan Sangkuriang." "Baik. Tapi apa sangkut-pautnya dengan nenek dari pegunungan Karumbi itu." Rostika menghela napas dalam. Menyahut: "Manik Angkeran! Meskipun semenjak aku menjadi isteri kakakmu Suhanda tidak tahu menahu lagi tentang urusan perguruanku, namun dalam hatiku tetap menghormati guruku Edoh Permanasari. Guruku boleh kejam dan berbuat sewenenang-wenang ter-hadap siapa saja, namun aku adalah muridnya. Betapapun juga, dia adalah mustika hatiku. Tapi ... tapi ... mendadak dalam bulan ini terjadilah suatu malapetaka yang menyedihkan. Oleh dendamnya yang sangat besar, guru jadi mata gelap. Keluarga Kamarudin dihabisi nyawanya sampai ke itik dan ayam-ayamnya." "Ih!" Manik Angkeran terkejut. "Tidak hanya itu saja, rumahnya dibakar. Isteri dan anak-anak pendekar Kamarudin setelah dibunuhnya, dirusak tubuhnya dan dilemparkan ke unggun api sehingga tak beda dengan binatang terpanggang," Rostika ter-engah-engah. "Sudahlah wajar, bahwa ibu pendekar Kamarudin turun dari pegunungan untuk membuat pembalasan. Meskipun demikian ... menghadapi aku murid Edoh Permanasari, dia tidak berlaku ganas seperti guruku tatkala menghancurkan anak isteri pendekar Kamarudin. Aku hanya dilukai sedangkan Atika sama sekali tak disentuhnya. Entahlah bila dia menghadapi gurumu kaum se-angkatannya. Rupanya dia minta pertang-gunganjawab gurumu. Sebab gurumu adalah penasihat dan pembantu almarhum Ratu Fatimah. Sedangkan guruku adalah murid Ratu Fatimah." Mendengar keterangan sejelas itu, Manik Angkeran jadi sibuk. Samar-samar ia seperti dapat menebak maksud gurunya apa sebab mereka yang sudah diobatinya dilukai kem-bali. Katanya perlahan. "Tahulah aku kini ... Aku hanya diizinkan untuk sekedar meringankan penderitaan mereka. Tapi aku berusaha keras hendak menyembuhkan. Guru tidak menolak, meng-ingat dasar tujuan hidup seorang tabib yang harus menolong sesama hidup sesuai dengan pengetahuannya. Tapi karena tidak menghen-daki akan terjadi sesuatu ketegangan, dia merusak kembali apa yang sudah kukerjakan dengan sebaik-baiknya. Rupanya guru segan dan menghormati nenek dari pegunungan Karumbi, berbareng mengulurkan rasa kasih sayang terhadapku. Bukankah yang penting di sini adalah ilmu cara mengobati luka yang aneh itu dan bukan siapa yang kuobati? Meskipun demikian andaikata Kak Rostika sampai tewas, selama hidupku aku akan menyesalinya." "Adikku ... engkau memang seorang anak yang luhur budi. Pantaslah engkau mewarisi ilmu ketabiban Panembahan Maulana Ibrahim yang kelak harus kauamalkan," kata Rostika dengan terharu. Senang Manik Angkeran mendengar pujian itu. Hatinya jadi puas. Setelah menikmati rasa puasnya, sejenak kemudian dia menegas, "Satu hal yang masih mengherankan aku, apa sebab kau dilukai bersama-sama mereka. Apakah Kak Rostika berada di antara mere-ka?" . "Secara kebetulan dan secara aneh sekali" jawab Rostika. "Betul mereka termasuk go-longan penentang-penentang Himpunan Sangkuriang, namun mereka terdiri dari alir-an-aliran bermacam-macam. Pengawal raja, pamong praja, polisi kerajaan, kepala kam-pung, pedagang, pendekar-pendekar bayaran dan pemilik-pemilik tanah kerajaan. Masing-masing mempunyai cara hidup dan kata-kata sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Namun mereka kena tergiring juga ... Baiklah kuceritakan mulai diriku sendiri." "Ya ingin aku tahu, bagaimana cara nenek dari Karumbi itu melukai dirimu," tungkas Manik Angkeran. Rostika memperbaiki letak duduknya, sete-lah menyiratkan pandang ke sekitarnya, berkata setengah berbisik: "Malam ini, sebenarnya aku harus berada pada suatu tempat bersama-sama kakakmu Suhanda." "Di mana?" "Sst! Ini adalah suatu rahasia besar. Dan janganlah aku kau desak untuk menyebutkan nama tempat itu. Engkaupun tiada kepenting-annya." "Baiklah" "Tempat itu adalah pusat markas besar Himpunan Sangkuriang. Malam ini kami harus datang dan berkumpul di sana. Kami sudah berkemas-kemas. Mendadak di atas tempat tidurku aku menemukan tanda sandi perguruanku. Gambar mahkota dengan perkataan: Kurnia. Itulah suatu perintah agar aku menghadap guru di Jasinga. Melihat per-intah itu, hatiku sedih bukan main. Dua hari yang lalu kakakku Suhanda terpaksa bertem-pur melawan sesama golongannya sema-ta-mata mengenai diriku. Aku dituduh teman segolongannya sebagai ular berkepala dua. Meskipun tidak seluruhnya benar, namun tidak salah pula. Tadi kuterangkan, bahwa hati kecilku tak dapat meniadakan guruku Edoh Permanasari. Hutang budiku sangat besar kepadanya." "Lantas?" "Dengan dalih hendak menitipkan Atika kepada bibiku yang bertempat tinggal di Tanggerang, aku berhasil membujuk kakakmu Suhanda agar berangkat terlebih dahulu. Aku berjanji padanya akan menyusul secepat mungkin dan tepat pada malam yang ditentukan. Hem ... tak kukira, bahwa aku akan menemui halangan ini," Rostika mengeluh. Meneruskan. "Setelah kakakmu Suhanda berangkat. Segera aku berangkat pula ke Jasinga. Setibaku di Jasinga aku menemukan suatu petunjuk, bahwa aku harus berkumpul di sebuah rumah kosong yang berada di tepi kali. Ci Berang. Hatiku mulai bergetaran. Aku sudah menduga delapan bagian, bahwa guru-ku bermaksud hendak menghukum diriku. Dengan menabahkan hati, aku membawa Atika mencari tempat itu. Dengan pertolongan seorang petani kudapati rumah kosong. Tapi begitu masuk, aku jadi keheranan. Di dalam rumah itu kujumpai 22 orang bersenjata lengkap dengan sikap berdiam diri. Tak se-orangpun kukenal dan tak kujumpai seorang-pun dari perguruanku. Mereka saling memandang dan kemudian mengawaskan daku dengan pandang curiga. Aku jadi tak enak sendiri. Takut salah alamat, segera aku minta maaf kepada mereka dan menerangkan bahwa kedatanganku adalah semata atas petunjuk seseorang. Mendengar perkataanku, mereka jadi tercengang-cengang. Lalu saling pandang lagi. Akhirnya saling berbicara. Rupanya sebelum aku datang, mereka tiada yang berkata-kata karena saling mencurigai." "Merekapun menerangkan, bahwa keda-tangannya semata-mata memenuhi panggilan berhubung tanda sandi yang diketemukan. Tadi kuterangkan, bahwa mereka berasal dari golongan aliran bermacam-macam dan memiliki tanda-tanda sandi sendiri yang sangat dirahasiakan. Tapi ajaibnya mereka datang ke rumah tersebut atas tanda sandi masing-masing yang diketemukan pada tem-pat-tempat tertentu. Siapakah yang sudah main gila ini?" "Meskipun kami tidak saling membuka hati, tapi kami tahu bahwa alasan kami keluar dari rumah semata-mata berhubungan dengan adanya musyawarah Himpunan Sangkuriang yang dimulai pada malam hari ini. Demi hal itu, mereka termasuk aku yang mempunyai kepentingan langsung, berani menghadapi bahaya. Ternyata pada malam hari itu, kami semua sudah kena dikelabuhi lawan. Sudah barang tentu, mereka mencak-mencak karena gusar. Tetapi sesudah berpikir panjang, mere-ka jadi bergeridik semua. Itulah disebaban pe-rihal tanda sandi. Kalau saja lawan yang main gila itu bukan seseorang dari angkatan tua, yang tahu seluk beluk golongan dan aliran kami, tidaklah mungkin dapat mengetahui tanda-tanda sandi masing-masing." "Selagi mereka sibuk berbicara, aku mendengar suara orang terbatuk-batuk di luar, pikirku apakah diapun termasuk seorang yang kena digiring ke rumah kosong itu? Aku sendiri waktu itu sudah memutuskan hendak segera berangkat." Di ambang pintu, aku melihat seorang nenek-nenek beruban yang terbatuk-batuk tiada henti. Perawakan nenek itu sedang. Bongkok dan nampak terganggu oleh penyakit batuknya. Disampingnya berdiri seorang anak laki-laki berumur kurang dari 11 tahun. Melihat nenek itu, aku mengurungkan niatku hendak segera berangkat. Ia kuberi jalan masuk dahulu. Sekarang kulihat, ia menggenggam sebuah tongkat dari baja putih pada tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya membawa serenteng kalung baja berbintang tiga. "Hai! Jadi dialah nenek dari pegunungan Karumbi?" potong Manik Angkeran dengan suara tegang. "Ya. la mengenakan pakaian kasar. Kesan-nya seorang yang miskin. Tapi anak laki-laki di sampingnya mengenakan pakaian bersih dan rapi. Kukira dialah anak pertama pendekar Kamarudin yang dikabarkan semenjak kecil dirawat neneknya. Di antara keluarga pendekar Kamarudin hanya dia seorang yang selamat dari malapetaka." "Hm..." Tak terasa Manik Angkeran melepas rasa sesal. "Dalam pada itu, nenek berbongkok tadi sudah masuk ke dalam ruang rumah." Rostika melanjutkan, "la terus terbatuk-batuk tiada hentinya. Tatkala melihat orang-orang yang berada di dalam rumah ia bergumam seorang diri: "Hanya dua puluh tiga orang. Coba tanyakan, apakah ada di antara mereka yang bernama Edoh Permanasari?" Si anak kecil kemudian berkata lantang. "Hai! Apakah di antara kalian ada yang bernama Edoh Permanasari?" "Mendengar seruan itu, hatiku bergidik bukan karena takut. Tapi ngeri menyaksikan betapa anak laki-laki seumur itu mengesankan suatu kumandang suara yang bernada dendam kesumat. Dendam kesumat oleh perbuatan.guruku." Tatkala nenek itu memasuki rumah, kecuali aku tiada yang menaruh perhatian. Sebab masing-masing sibuk dengan teka-teki yang sedang dihadapi. Tapi begitu mendengar suara anak laki-laki itu, mereka segera sadar. "Hai bocah ingusan! Kau bilang apa?" Salah seorang menegas. "Nenekku bilang, apakah ada di antara kalian yang bernama Edoh Permanasari?" "Kalian ini siapa?" Sebagai jawaban, nenek yang nampak kesakit-sakitan itu sekonyong-konyong ter-batuk-batuk keras dan melesat dengan me-ngirimkan tenaga pukulan maha dahsyat. Entah bagaimana cara dia bergerak. Tahu-tahu dadaku sudah terasa sesak. Ingin aku mengangkat tangan, tapi tenagaku seperti ter-lolosi. Tanpa kukehendaki sendiri, aku jatuh lunglai di atas tanah." "Meskipun aku kena pukulan, namun pi-kiranku masih bekerja. Aku dibingungkan oleh suatu peristiwa yang terjadi derlgan tiba-tiba dan di luar dugaan. Dalam pada itu kulihat nenek bongkok tadi melesat ke sana ke mari dengan menghantam serabutan. Luar biasa cepat gerakannya. Baik caranya menyerang, gerakan tubuhnya dan tenaga pukulannya. Dua puluh dua orang yang terdiri dari pendekar-pendekar kelas utama pada zaman ini, kena dirobohkan tanpa bisa mengadakan perlawanan sedikitpun. Mereka baru sadar setelah kena pukulan." Setelah ke-22 orang itu roboh tak berkutik, nenek bongkok itu kemudian menaburkan renceng baja berbintang tiga. Masing-masing mendapat bagiannya. Lenganku kebagian pula tiga batang baja. la mendekati aku. Terbatuk-batuk dan kemudian kudengar dia bergumam menyeru cucunya: "Mahmud! Biarlah lengannya yang sebelah utuh seperti sediakala. Sebab Edoh Permanasari hanya memiliki separoh tubuh-nya ..." "Setelah berkata demikian, perlahan-lahan ia keluar rumah dengan membimbing cucu-nya. Tapi tahu-tahu tubuhnya lenyap dengan sebentaran saja. Benar-benar hebat dan tak terduga gerakannya." Rostika menghela na-pas, sedang'Manik Angkeran terdiam seperti ada sesuatu yang memenuhi otaknya. Se-konyong-konyong dalam kesunyian itu, ter-dengar suara ranting kering patah. Hampir berbareng mereka berdua berputar menoleh. "Awas!" Rostika memekik terkejut. Manik Angkeran masih sempat melihat suatu bayangan menyerangnya. "Guru!" Ia memekik terkejut bercampur heran. Tapi belum habis ia menjenak napas dadanya kena terpukul sehingga ia jatuh ter-jongkok. Rostika menerjang sambil melontarkan pukulan. Tetapi pendekar wanita itu dalam keadaan luka. Lengan kirinya tak dapat digu-nakan. Begitu kena serangan balasan tak dapat ia menangkis. Dalam satu gebrakan ia jatuh terkulai dan tak dapat berkutik lagi. Waktu itu fajar hari hampir tiba. Suasana alam lebih terang daripada bulan purnama. Dengan jelas Manik Angkeran mengenal siapa penyerangnya. Benar-benar gurunya. Kumis-nya yang tebal serta jenggotnya yang panjang tak dapat disembunyikan dalam keremangan alam. Seketika itu juga, beratus ribu tanda tanya berkelebatan dalam benak pemuda Manik Angkeran. la melihat gurunya menghampiri Rostika yang sudah tak dapat berkutik. Dagu Rostika dipenyetnya sampai mulutnya yang mungil terpaksa terbuka. Kemudian gurunya mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya. Rostika sendiri kala itu sudah tak berdaya. Dia hanya bisa melihat gerak-gerik lawan tanpa dapat mengadakan suatu perlawanan. Tatkala orang itu mengeluarkan sebuah botol dan membuka tutupnya, hidungnya mencium suatu bau ramuan racun yang sangat jahat. Seketika itu juga, kepalanya terasa menjadi pusing. Dadanya sesak dan ingin melontak. Ingin ia bergerak. Tapi benar-benar sudah kehilangan tenaga. Satu-satunya gerakan yang dapat dilakukan hanya mengerling kepada Manik Angkeran. "Manakala racun dalam botol itu sudah ter-tuang di dalam mulutku, habislah sudah riwayatku. Kasihan Atika." Teringat Atika yang bakal menjadi anak yatim, hatinya menjadi pilu. Tapi dasar dia se-orang pendekar maka dalam keadaan terjepit masih sempat ia menyerahkan diri kepada takdir. Hatinya lantas saja menjadi tabah. Di luar dugaan, tatkala racun itu hampir dicekokkan ke dalam mulutnya, mendadak Manik Angkeran nampak meloncat bangun. Seperti kerasukan setan, pemuda itu melom-pat menubruk sejadi-jadinya. Orang itu terkejut. Dalam gugupnya ia melemparkan botol racunnya. Lalu bergerak hendak menangkis berbareng mendahului menyerang. Tetapi lompatan serta serangan Manik Angkeran terlalu sangat cepat dan bertenaga luar biasa besar. Tahu-tahu ia ter-lempar dengan berjungkir balik. Manik Angkeran sendiri kaget luar biasa atas tenaganya sendiri, la bertambah kaget dan heran sewaktu melihat korbannya. Ternyata orang itu berkumis dan berjenggot palsu. "Hai! Si ... sia ... siapa kau?" seru Manik Angkeran gugup. Tanpa mengeluarkan suara, orang itu terus lari tunggang-langgang turun gunung. Melihat kaburnya orang itu Manik Angkeran terpaku sejenak. Lalu menghampiri Rostika dan segera memeriksa lukanya. "Gntung! Serangannya tidak mengenai pun-dakmu. Bagaimana? Sakit?" katanya gugup. "Tidaklah sesakit kau kira. Aku baik-baik saja," sahut Rostika dengan suara lega. "Hanya saja ... tak kukira engkau memiliki ilmu sakti jauh lebih tinggi daripadaku. Tenaga lontaranmu benar-benar dahsyat seperti seorang pendekar kelas wahid." "Ya, ya, ya ... sebenarnya ... sebenarnya aku sendiri tak mengerti. Aku justru merasa seperti terlontarkan oleh suatu tenaga dorong dari belakang," ujar Manik Angkeran bingung. Itulah Sangaji. la melihat datangnya ba-yangan itu, meskipun perhatiannya terpusat pada percakapan Manik Angkeran dan Ros-tika. Pancainderanya yang tajam luar biasa, menangkap suatu gerakan. Hati-hati ia menoleh dan melihat guru. Sangaji menyeli-nap di belakang pohon, la mengira, dia datang untuk mengintip pembicaraan mereka. Tak tahunya, dia menyerang Manik Angkeran de-ngan sungguh-sungguh. Kemudian hendak mencekoki racun ke mulut Rostika. Melihat bahaya, hatinya yang mulia tak dapat tinggal diam. Terus saja ia mengirim tenaga dorong lewat ilmu saktinya tingkat tinggi. Begitu guru Manik Angkeran kena gempuran tenaganya lewat Manik Angkeran, lantas saja terjungkal. Ia memang gemas menyaksikan sepak terjang guru Manik Angkeran yang berkesan keji. Di luar dugaan, ternyata bayangan itu bukan guru Manik Angkeran setelah copot topengnya, la jadi berbimbang-bimbang hendak menghajar terus. Jangan-jangan dia salah seorang pendekar anggota Himpunan Sangkuriang yang datang kepertapaan untuk menyatroni Maulana Ibrahim yang ternyata berada di pihak lawan Himpunan Sangkuriang. Karena itu, melihat orang itu melarikan diri ia tak mengejarnya. Sebaliknya ia kembali menaruh perhatian kepada Manik Angkeran dan Rostika. Terasalah dalam hatinya bahwa peristiwa yang terjadi dalam pertapaan kian lama kian menarik. "Kak Rostika! Kurasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dalam pertapaan. Jangan-jangan orang itu telah mencelakai guruku pula," ujar Manik Angkeran gugup. "Kau tengoklah Atika. Aku sendiri akan menjenguk guru." Sehabis berkata demikian, seperti kera-sukan setan Manik Angkeran lari ke gubuk. Tiba di halaman, dia bertambah curiga. Dua badai yang tadi menyalakan obor, tak nampak batang hidungnya. Ia mencoba memanggil-manggil yang lain. Merekapun sepi. Pertapaan terasa menjadi kosong. Oleh kesan itu, tergopoh-gopoh ia melompat masuk ke gubuk langsung menuju ke kamar gurunya. Sangaji yang selalu berada tak jauh dari-padanya, terus menguntit dari belakang. Karena hari hampir terang, ia melesat ke atas atap. Dari sana ia mengikuti gerak-gerik Manik Angkeran sambil bersiaga. "Guru! Guru!" Manik Angkeran terus menerobos masuk ke dalam kamar. Hatinya mence-los tatkala, melihat gurunya terbaring di atas lantai tak berkutik lagi. Cepat ia melompat menghampiri dan segera memeriksa pemapasannya. Napas gurunya berjalan sangat lembut dan nadinya berdenyut lemah. Sekilas harapan melintas pada lubuk hati pemuda itu. Segera ia membuat ramuan obat tertentu dan terus dimasukkan ke dalam mulut gurunya. Pikirnya: "Benar-benar aneh! Guru teracun pula seperti kak Rostika. Aih, sungguh aku anak goblok. Pertapaan sudah kerasukan pengacau, semenjak tadi namun aku belum sadar." Dengan menggoyang-goyangkan tubuh gurunya, benaknya penuh dengan teka-teki yang susah memperoleh jawabannya. Tadinya ia menyangka, gurunyalah yang merusak pekerjaannya dengan merunyamkan keadaan orang-orang dan Rostika demi menghindari kemurkaan nenek dari Karumbi. Tapi setelah topeng orang itu kena dilucuti dan melihat gurunyapun rebah teracun, ia malah jadi pepat tak keru-keruan. Tak lama kemudian Maulana Ibrahim mem-peroleh kesadarannya kembali. Begitu melihat Manik Angkeran, segera bertanya. "Hai, apakah semuanya sudah terjadi? Alhamdulilah, akhirnya bencana dapat kita lampaui dengan bagus. Tepat pada rencana kita." Manik Angkeran heran bercampur bingung. Tak mengerti ia maksud.ucapan gurunya. Mau ia mengira, gurunya mengigau. Sekonyong-konyong gurunya berontak dari pelukannya. Dengan mata menyala ia berkata tinggi. "Hai! Hai! Kenapa justru kau yang menolong aku?" Mendengar ucapan gurunya ini, Manik Angkeran bertambah bingung. "Di manakah paman gurumu? Lekas bilang!" bentak gurunya. "Paman guru yang mana?" Manik Angkeran tak mengerti. "Dia ... Tatang Manggala yang mengenakan topeng raut mukaku." "Ah ..." Manik Angkeran kaget, sepintas lalu ia seperti sudah dapat menebak beberapa bagian. Tapi... tapi... ia tergagap gagap. "Tapi bagaimana?" "Dia tadi memukul aku... lalu akan mence-koki mulut Kak Rostika dengan racun. Karena itu dia kuserang dari belakang punggung. Dia jatuh. Topengnya terbuka... lalu... lalu lari turun gunung ..." "Anak tolol!" bentak Maulana Ibrahim. Ber-bareng dengan ucapannya, orang tua itu melompat berdiri dan menggampar pipi Manik Angkeran pulang balik sampai menjadi be-ngap. Tamparan itu benar-benar tidak terduga. Manik Angkeran tak bisa mengelak. Tak mengherankan, bahwa matanya menjadi berkunang-kunang dan serasa ia hampir jatuh pingsan. Tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang wanita. "Kau pengapakan adikku?" Dialah Rostika yang muncul di belakang Manik Angkeran dengan membawa pedang terhunus. Melihat kedatangan Rostika, bentaknya dan ancamannya, Maulana Ibrahim seperti tak menggubris. Mukanya nampak menyesal luar biasa. Sekali bergerak ia menerkam perge-langan tangan Manik Angkeran, kemudian dibawanya keluar ke serambi depan. Di sana ia menghempaskan diri di atas bangku panjang yang terbuat dari lonjoran bambu. "Memang sudah nasib... memang sudah nasib..." ia bergumam berulang kali. Sambil meraba kedua pipinya yang panas pedas, Manik Angkeran mengawaskan guru-nya. Hati dan benaknya jadi sibuk tak keruan. "Guru!" Akhirnya dia memberanikan diri untuk berbicara. "Benar-benar aku tak me-ngerti apa yang sudah terjadi." "Kau memang anak tolol dan sembrono. Justru kesemberonoanmu inilah yang me-rusak rencana kita berdua dengan sekaligus," Maulana Ibrahim menggerutu. Ia menghela napas dalam. Akhirnya setelah berdiam seje-nak, ia kemudian berkata agak sabar: "Baiklah ... apa boleh jadi. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesalpun tiada guna lagi," setelah berkata demikian mendadak pandangnya berubah menjadi lembut. Ia mengamat-amati kedua pipi Manik Angkeran dan berkata penuh perasaan, "Sakitkah kedua pipimu?" Sebenarnya, Manik Angkeran rnasih merasakan panas dan pedas, namun melihat perubahan gurunya dari bergusar menjadi sabar diam-diam ia bersyukur dalam hati. Maka sahutnya ringan: "Tak apalah guru menampar kedua pipiku. Muridmu yang tolol yang sudah merusak rencana kerja guru, patut menerima hukuman lebih berat lagi." "Tidak! Tidak! Akupun akan berbuat seperti engkau juga, sekiranya menghadapi soal ini," ujar Maulana Ibrahim di luar dugaan. "Du-duklah! Mana tadi yang kau sebut kakak?" Manik Angkeran tahu, dialah Rostika. Dengan mata ia memberi isyarat agar Rostika datang menghampiri. "Kau anak murid Edoh, bukan?" Maulana Ibrahim menegas. Rostika tak segera menjawab. Hatinya ma-sih penuh teka-teki. Namun demikian, ia me-nyarungkan pedangnya sambil mengangguk. "Hm." Maulana Ibrahim menghela napas dalam lagi. Setelah memerintahkan Rostika mengambil tempat duduk, ia berkata mulai: "Kau dilukai pula oleh seorang nenek dari pegunungan Karumbi, bukan? Dialah adik seperguruanku. Semasa mudanya, dia berna-ma Diah Kartika. Seorang wanita cantik jelita tak ubah bintang kejora." Meskipun dari angkatan muda, sedikit banyak Rostika sudah mendengar hal itu dari keterangan gurunya. Itulah sebabnya ia tidak menunjukkan suatu perubahan. Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan Maulana Ibrahim. Begitu menyebut nama Diah Kartika, mulutnya menyungging senyum manis dibarengi dengan nyala mata berseri. Tapi hanya sekejap. Setelah itu meredup kembali. "Kami bertiga mewarisi kepandaian guru yang dapat diandalkan. Aku mewarisi ilmu ketabiban. Tatang mewarisi ilmu tata pemerintahan. Dan Diah Kartika ilmu sakti tata berkelahi. Kami bertiga berjanji akan saling membahagiakan serta tidak mencampuri urusan kami masing-masing. Sekarang murid Ratu Fatimah merusak keluarga Diah Kartika. Itulah Edoh Permanasari. Sudah barang tentu tidaklah salah bila Diah Kartika menuntut dendam kepada kami berdua. Sebab kami berdua adalah penasihat-penasihat serta pembantu almarhum Ratu Fatimah." Mendengar kata-kata Maulana Ibrahim, tak terasa Rostika mengeluh dalam hati. Sepak terjang gurunya memang agak keterlaluan. Itulah gara-gara cerita asmara saja. "Nasib Diah Kartika memang kurang baik," Maulana Ibrahim melanjutkan. "Suaminya gugur dalam suatu pertempuran. Lalu kami berdua Tatang dan aku mengambil keputusan mengmundurkan diri dari semua kegiatan pe-merintahan. Demikianlah, maka Tatang kem-bali ke Malingping dan aku berada di sini me. lanjutkan amal hidupku. Gntuk berpuluh tahun lamanya, kami berdua aman tenteram. Meskipun dalam hati, kami ikut berduka-cita atas nasib Diah Kartika yang buruk. Aih ... tak tahunya, karena gara-gara Edoh Permanasari, kini kami berdua terdorong ke pojok," ia berhenti sebentar. Melanjutkan, "Sebelum orang- orang itu tiba di sini, Tatang Manggala sudah berada di dalam kamar, la memberitahukan tentang maksud Diah Kartika. Dengan dalih memasuki olah semadi, dapatlah aku berunding dengan Tatang. Kau tak pernah melihat paman gurumu, bukan?" Manik Angkeran menggelengkan kepala. "Bagus!" ujar Maulana Ibrahim cepat. "Sebenarnya bagus rencana itu. Buktinya kau tak pernah melihat pamanmu." "Rencana apa, guru?" Manik Angkeran minta keterangan. "Kami berdua sudah mengambil keputusan takkan mengobati apalagi menyembuhkan mereka yang menderita luka, demi kebaikan perhubungan kami bertiga. Sebab antara kami berdua dan Diah Kartika terjadi suatu jurang dalam di luar kemampuan kami sendiri. Itulah perkara perjuangan hidup. Kami berdua berada di seberang Ratu Fatimah. Diah Kartika berada di pihak Ratu Bagus Boang. Di luar dugaan kau sudah mengobati anak-murid Edoh Permanasari yang justru menjadi pokok persoalan. Sudah barang tentu, aku kena gugat Tatang Manggala. Sebab ada beberapa anak muridnya yang menderita luka. Bukankah anak-murid Tatang Manggala berbicara denganmu di depan kamarku?" "Benar. Merekalah Hamid dan Suria," sahut Manik Angkeran menyesal. "Maka terpaksalah aku berlaku adil. Kukisiki engkau bagaimana caramu menolong mereka. Setelah itu semalam aku merusaknya lagi. Rupanya Tatang Manggala minta keadilanku. Dengan menyamar sebagai diriku, diapun lantas meracun anak murid Edoh Permanasari. Tapi ... tapi ... engkau telah menolongnya kembali. Dengan demikian, timbullah amarah Tatang Manggala. Aku disuruh memilih: engkau kubunuh atau dia membunuh anak murid Edoh. Aku tak dapat memberi keputu-san dengan segera. Sebab kulihat antaramu dan anak-murid Edoh agaknya pernah terjadi suatu perhubungan mirip satu keluarga. Akhirnya setelah berjam-jam merenungkan hal itu, aku menemukan suatu jalan. Aku memberinya semacam racun yang dapat membius seseorang sampai lima jam lamanya. Waktu lima jam cukuplah sudah untuk mengelabui Diah Kartika. Sebab dia akan tiba tepat menjelang cerahnya matahari. Apabila dia melihat aku telah mati membunuh diri, pastilah hatinya sudah menjadi puas. Terlebih-Iebih apabila dia melihat pula mayat Tatang Manggala, murid-muridnya, orang-orang yang dilukai, anak-murid Edoh Permanasari dan engkau sendiri. Adikku seperguruan Diah Kartika memang aneh wataknya. Dia tidaklah bisa dipersamakan dengan manusia umum. Manusia berbuat begini, dia berbuat begitu. Manusia berpikir begini, dia berpikir begitu. Sekali dia memberi ancaman, takkan mau sudah, sebelum yang diancamnya mati ketakutan sendiri." "Apakah maksud guru, bibi tak pernah membunuh orang?" Manik Angkeran mene-gas. "Selamanya belum pernah ia membunuh orang. Tapi sering mengadakan pembunuh-an," sahut Maulana Ibrahim cepat. "Dengan jalan melukai?" "Tidak hanya itu. Yang terpenting, ia memaksa korbannya mati karena ketakutan sendiri." "Ah," Manik Angkeran dan Rostika kaget berbareng. "Dan mati demikian lebih tersiksa daripada dibunuhnya. Kami berdua tidak takut mati. Tapi hati kami benar-benar terharu, apabila maut kami datang dari tangan adikku seper-guruan yang kami sayangi semenjak masa mudanya." Diam-diam Manik Angkeran dan Rostika merasakan keharuan itu. Memang terasa sa-ngat menyedihkan, apabila orang tua itu ter-paksa harus mati oleh tangan adik seperguru-annya sendiri. "Apakah hal ini tidak dapat diterangkan?" Rostika mencoba. "Sebab terjadinya peristiwa ini bukankah akibat perbuatan guruku yang memang agak keterlaluan?" "Hm," dengus Maulana Ibrahim. "Kalau saja Diah Kartika adalah manusia lumrah yang bisa diajak berbicara, masakan kami berdua tidak mempunyai pikiran demikian?" "Sekarang belum lagi terang tanah," kata Manik Angkeran. la seperti menemukan suatu jalan sehingga suaranya jadi bersemangat. "Biarlah guru mengulangi minum obat racun pembius itu. Aku yang nanti akan menyem-buhkan kembali." "Macam ramuan racun tersebut belum per-nah kuajarkan kepadamu. Tetapi aku mem-punyai catatannya. Kelak engkau dapat mem-buat sendiri. Sekarang tak sempat lagi. Se-dangkan racun itu terbawa kabur paman gurumu. Bukankah engkau yang membuat paman gurumu kabur turun gunung?" Mendengar ujar gurunya, Manik Angkeran tergugu. Terpukulnya Tatang Manggala me-mang datang daripadanya. Tapi kalau dikata-kan dialah yang memukulnya sampai bisa jatuh jungkirbalik, tidaklah benar seluruhnya. Soalnya kini, sulit untuk diterangkan, Sangaji yang berada di atas atap tahu akan kesulitan itu. Ia menyesali diri apa sebab bertindak hanya menuruti luapan hati saja. Tapi siapa mengira, bahwa di dunia ini banyak terjadi suatu peristiwa yang sangat berbelit dan berada di luar kewajaran. Sangaji adalah seorang ksatria tulen. Semua gerak-geriknya, sepak-terjang serta pengu-capan hatinya selamanya berterus-terang. Gamblang terang tiada berbelit-belit. Karena itu ia mengukur semuanya dengan bajunya sendiri. "Aku ini memang anak tolol," pikirnya da-lam hati. "Baiklah mulai detik ini aku bersikap akan menonton sampai semuanya selesai." Memikir demikian, ia berjanji sepenuhnya. Janji bagi Sangaji tak ubah seperti suatu sumpah. Dan ia akan menepati janji itu, biar Manik Angkeran menjadi perasa kini. la se-olah-olah merasa diri menjadi pangkal akan terjadinya bencana. Selagi berenung-renung terdengarlah suara batuk di kejauhan, la melihat Rostika kaget sampai wajahnya menjadi pucat. Tatkala melemparkan pandang kepada gurunya, orang tua itu terus berkata: "Apa yang terjadi dengan diriku, kau tak usah memikir berkepanjangan, Manik Ang-keran! Kau adalah muridku satu-satunya. Aku hanya bisa mewarisi segebung buku catatan ilmu ketabiban dan racun. Ambillah nanti. Kusimpan di bawah tiang kanan tempat tidurku. Gali! Kelak amalkan." "Guru akan ke mana?" Manik Angkeran memotong. "Dengarkan! Sekarang tak ada tempo lagi. Lihat! Di tanganku ada sebuah pil. Inilah pil perguruan kami yang berisi racun tiada duanya di dalam dunia. Selama hidupku aku mencoba menyelidiki cara mengatasinya, tapi tak berhasil juga guru dahulu bersabda, siapa di antara kami bertiga merupakan sebab mu-sabab terjadinya suatu kesalahan, harus me-nelan pil ini..." "Bagus! Nah telanlah!" Terdengar suara menungkas. Dialah Nenek Karumbi. Diah Kar-tika. Batuknya tadi masih terdengar jauh. Tapi dengan tiba-tiba saja sudah berada di belakang punggung Manik Angkeran. Bisa dibayangkan betapa cepat gerakannya. Dengan tersenyum pahit, Maulana Ibrahim menelan pil itu tanpa berbicara meski sepatah katapun. "Hai! Kau telan benar-benar?" Diah Kartika berkata dengan berbatuk-batuk. "Diah! Kau masih seperti dahulu juga. Masih mau menang sendiri," sahut Maulana Ibrahim. "Bukankah aku dan Tatang sudah merasa takluk semenjak dahulu?" Batuk nenek dari pegunungan Karumbi bertambah-tambah sesak. Rostika bergidik. Teringat dia sewaktu batuk nenek itu bertam-bah menghebat. Sekonyong-konyong ia meng-ambil tindakan di luar dugaan. "Di antara kita bertiga, engkaulah yang me-warisi ilmu sakti guru. Sebab engkaulah satu-satunya murid perempuan," kata Maulana Ibrahim lagi. 'Tapi pernahkah engkau mendengar pesan guru?" Lagi-lagi Diah Kartika meningkatkan batuk-nya, ia meraih tangan cucunya. "Guru rupanya kenal benar akan watakmu. Ramalannya ternyata tepat. Kita berdua dila-rang keras untuk melawan meskipun hanya melawan berbicara. Guru berkata kepada kita berdua begini: Dalam hal ilmu sakti tata berkelahi kamu berdua takkan nempil melawan Diah. Juga dalam hal menggunakan racun serta menolak racun. Sekiranya di kemudian hari ia berbuat kelewat batas terhadap kamu berdua wakililah tangan gurumu. Telan pil ini. Meskipun kamu berdua bakal mati, namun nama perguruan kita akan tetap bersemarak. Kau tak percaya kehebatan dari ramuan racun pil yang kutelan ini? Hayo cobalah atasi! Kalau kau mampu Diah, aku akan menyembahmu seperti guru sendiri." Inilah suatu kejadian di luar dugaan Diah Kartika. Sebagai murid, ia kenal akan pil itu. Namun tak pernah mengira, bahwa pil itu sesungguhnya disediakan gurunya untuk menghadapinya. Dengan terbatuk-batuk, ia mengamat-amati wajah Maulana Ibrahim. Ta-hulah dia, Maulana Ibrahim benar-benar telah keracunan hebat. Sepanjang pengetahuannya, tak dapat ia mengatasi. Maka di dalam hatinya ia merasa sudah kalah. Ia boleh hebat dalam bidangnya, ia boleh sakti. Namun belum boleh dikatakan sebagai ahli waris ilmu gurunya penuh-penuh. Mau tak mau ia harus mengakui, pentingnya kerjasama antara saudara sesama perguruan. Samar-samar ia seperti dapat menangkap maksud gurunya sesungguhnya. Dia, Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala akan terpecah dan berpi-sahan berhubung dengan keahlian masing-masing yang berbeda. Namun tidak berarti dapat berdiri sendiri mewakili pamor perguruannya. Memperoleh pikiran demikian, dengan ter-batuk-batuk Diah Kartika berkata kepada cucunya. "Mahmud! Kau bersembahlah! Dialah eyang gurumu!" Sebagai seorang ahli racun tahulah dia, bahwa Maulana Ibrahim sudah keracunan hebat dan tak mungkin dapat tertolong. Maka dalam hati kecilnya ia mengakui, bahwa ilmu kepandaian gurunya berada di atas kepan-daiannya sendiri meskipun semenjak keluar dari rumah perguruan sudah mencoba me-ngembangkan dengan caranya sendiri sesuai dengan bakatnya. Demikianlah setelah menunggu Mahmud melakukan perintahnya ia berputar meman-dang alam. Dibimbinglah tangan cucunya. Kemudian dengan berbatuk-batuk ia berjalan. Nampaknya baru beberapa langkah. Tahu-tahu suara batuknya sudah berada sejauh se-Ieret cahaya di cakrawala. Betapa tinggi kepandaiannya dan betapa cepat gerakannya, benar-benar susah terukur. Tatkala itu kedua kaki Maulana Ibrahim mulai bergerak-gerak. Sebentar saja dia jatuh pingsan. Melihat keadaan gurunya, Manik Angkeran menangis menjerit-jerit. "Manik Angkeran!" Rostika berkata. "Tadi kudengar, kau tak boleh memikirkan keadaan gurumu dengan berkepanjangan. Kau diharuskan mengamalkan ilmu sakti gurumu. Cobalah tengok, macam buku apa yang diwariskan gurumu kepadamu." Mendengar kata-kata Rostika, Manik Angkeran tersadar. Segera ia masuk ke dalam kamar persemadian gurunya. Terus saja ia membongkar tempat tidur. Di bawah tiang tempat tidur sebelah kanan, ia melihat sebelah kanan, ia melihat sebuah lobang. Setelah dibongkar, terdapatlah segebung buku yang tersusun rapi dalam sebuah kotak terbuat dari besi. Dengan setengah berlari, ia membuka-buka lembarannya. Sepintas saja tahulah dia bahwa isinya mengenai rahasia ilmu ketabiban dan pemunahan racun-racun berbahaya. "Apakah tiada keterangan cara mengatasi racun yang ditelan gurumu tadi?" Rostika me-negas. Dengan gopoh Manik Angkeran mencoba membalik-balik. Tetapi mencari suatu resep di antara ribuan keterangan ilmu ketabiban dan racun, tidaklah mudah. Sementara itu, dia sudah tiba di serambi untuk menengok keadaan gurunya. Ternyata orang tua itu sudah tak bergerak. Manik Angkeran segera memeriksa urat nadi, jantung dan pernapasan. Semuanya berjalan sangat lemah. Hidup gurunya tinggal menunggu beberapa detik saja. Melihat ke-nyataan itu hati Manik Angkeran sedih bukan main. Kembali ia menangis menjerit-jerit sambil memeluk tubuh gurunya. Sekonyong-konyong, terdengar Rostika berkata tinggi. "Lihat punggung gurumu! Apakah ini... apakah ini bukan ..." Mendengar ujar Rostika, cepat Manik Angkeran membalik punggung gurunya. Samar-samar nampak suatu deretan kalimat yang tidak segera dimengertinya: Lihat hala-man 427 Jalu garis bawah halaman 14. Tanda-tanda penyeru halaman 47-19-245-24. Lantas pergi jauh, amalkan kebajikan. Membaca kalimat yang penghabisan itu, se-Ieret cahaya menggelinding dalam lubuk hati Manik Angkeran. Bukankah itu kalimat anjuran? Dasar ia seorang pemuda cerdik, lantas saja dapat menangkap artinya. Segera ia membalik-balik halaman 427. Kemudian halaman: 47 - 19 - 245 dan 24. la merenung sebentar. Menimbang-nimbang. Setelah kali-mat-kalimat yang mempunyai tanda-tanda garis bawah dan penyeru digabungkan, mem-punyai suatu deretan kalimat ramuan resep pemunah racun. Hatinya girang dan bersyukur. Terus ia membuka halaman 14. Di sana ternyata: tujuh jam terbangun kembali. Tak membutuhkan pengamatan istimewa. "Kak Rostika! Benar!" seru Manik Angkeran girang. "Guru rupanya sudah berhasil mene-mukan pemunah racun perguruannya sendiri. Ini berarti, bahwa sesungguhnya dialah yang berhak mewakili pamor perguruannya. Dia lebih menang daripada Bibi Diah Kartika atau Paman Guru Tatang Manggala." "Bagus!" Rostika bersorak girang pula. "Sudah kukira tadi sewaktu beliau menelan pil racun dengan mengulum senyum. Sekarang, lekaslah kaukerjakan! Aku sendiri akan segera berangkat." Teringat bahwa nenek dari pegunungan Karumbi itu bisa pergi datang seperti iblis, hati Manik Angkeran bergidik juga. Segera ia menyetujui keberangkatannya Rostika. Kemudian ia memapah gurunya ke dalam kamar. Benar saja. Baru saja ia rampung menelan-kan ramuan obat pemunah ke dalam mulut gurunya, Diah Kartika sudah terbatuk-batuk di belakang punggungnya. "Kau hebat bocah!" katanya kering. "Semua anak murid Tatang Manggala tiada berguna. Mereka pantas mati muda. Tapi kau agaknya kau bisa menolong gurumu. Itulah suatu nasib bagus bagi gurumu. Tapi semenjak ini, kau harus ikut aku mendaki pegunungan Karumbi." Pada saat itu, berbagai pikiran berkelebat dalam benak Manik Angkeran. Teringatlah dia kata-kata pesan gurunya: Tujuh jam terbangun kembali. Tak membutuhkan pengamatan istimewa. Lantas pergi jauh, amalkan kebajikan, Resep pemunah racun perguruannya ter-nyata diselip-selipkan di antara halaman-halaman tertentu. Ini berarti, bahwa gurunya tidak menghendaki saudaranya seperguruan mengetahui hal itu. Buktinya dia diperintahkan agar pergi jauh. Terang sekali maksudnya. Gurunya tidak menyetujui dia sampai kena bekuk bibi gurunya. "Bibi!" ia memberanikan diri. "Tak dapat aku mengikuti engkau." Diah Kartika terbatuk-batuk. "Apa sebab? Lihat cucuku ini tidak mem-punyai teman. Diapun tiada gurunya, seumpama berteman dengan salah seorang murid pamanmu Tatang Manggala yang ternyata tak berguna sama sekali." "Hm," dengus Manik Angkeran. Ia segera dapat menebak maksud bibi gurunya. Teringat bahwa anak itu adalah anak pendekar Kamarudin, timbullah pikirannya: Dia pasti bermaksud hendak mewariskan, seluruh ilmu saktinya, Melihat suatu kenyataan bahwa ilmu ketabiban guru tidak boleh diremehkan, maka timbullah niatnya hendak menawan aku. Dia bisa memaksa aku agar mewariskan ilmu guruku kepada bocah ini. Sebaliknya belum tentu, dia mengizinkan aku mempelajari ilmu saktinya. Memperoleh pikiran demikian dia membentak, "Bibi bukan orang baik-baik. Tak sudi aku ikut." "Di atas pegunungan segala yang kau sukai akan kusediakan dengan lengkap. Makan, mi-num, perlengkapan-perlengkapan ilmu keta-biban dan semuanya," tungkas Diah Kartika. "Marilah, kau ikut bibimu. Kutanggung engkau takkan terlantar hidupmu." Sekonyong-konyong Manik Angkeran me-mutar tubuhnya dan terus lari keluar ke halaman. Tapi baru saja menginjak halaman, nenek bongkok itu sudah menghadang di depannya. Manik Angkeran tercengang. Sekali lagi ia mencoba menerobos melesat melalui samping. Tapi seperti tadi, si nenek tua sudah menghadang di depannya. "Bocah! Namamu siapa? Hayolah ikut aku! Dengan pertolonganmu, ilmu perguruan kita akan manunggal seperti kakak guruku dahulu. Dan tidak terbagi-bagi menjadi tiga bagian," kata Diah Kartika membujuk. "Pamanmu Tatang Manggala, biarlah berada di luar. Tak perlu Mahmud belajar tata pemerintahan segala. Toh akhirnya cuma menjadi begundal boneka kompeni Belanda." Dihadang demikian, timbullah rasa gemas dalam hati Manik Angkeran. Terus saja ia mengayunkan tinju. Nenek dari pegunungan Karumbi tidak menangkis atau mencoba me-ngelak. Ia hanya meniup. Tapi akibatnya hebat luar biasa. Pergelangan tangan Manik Angkeran seperti kena tersambar besi. la kaget setengah mati. Tak dikehendaki sendiri, ia memekik kesakitan sambil meloncat mundur. "Tak berguna kau berusaha akan menjauhi aku," kata Diah Kartika. "Gurumu sendiri, ti-dak mampu. Kalau aku mau memaksa, guru-mu bisa kubawa ke pegunungan. Tapi melihat engkau mewarisi seluruh ilmu ketabiban gurumu, bukankah sudah cukup membawa dirimu saja. Lagipula kau lebih sesuai dengan umur cucuku. Dan gurumu ... biarlah menikmati sisa hidupnya. Aku berjanji takkan mengusik-usiknya lagi. Juga paman gurumu. Nah, bukankah beradamu di atas pegunungan Karumbi berarti membuat jasa besar terhadap guru dan paman gurumu?" "Bibi benar-benar bukan orang baik. Tak sudi aku ikut!" Jerit Manik Angkeran. Sekali lagi ia menghantamkan tinjunya. Tapi lagi-lagi ia kena tiup sampai terpaksa menjerit-jerit kesakitan. Sekonyong-konyong muncullah Rostika, dengan menggandeng Atika. Berkata nyaring, "Kau pengapakan dia?" Dengan memutar tubuh, Diah Kartika memelototi Rostika dengan kelopak matanya yang keriputan. "Aha, kiranya kau masih belum mati? Kau anak murid bangsat Edoh Permanasari sudah kubiarkan hidup, bukankah suatu karunia? Mengapa kini malah ikut mencampuri uru-sanku? Mari... mari ingin kumengerti apa sebab sampai hari ini kau masih bisa hidup bernapas." Betapapun juga, Rostika adalah anak-murid Edoh Permanasari. Meskipun merasa diri tak bakal menang, namun ilmu sakti warisan Ratu Fatimah bukan pula ilmu sakti ilmu picisan. Dengan pelahan-Iahan ia meletakkan Atika di atas tanah. Kemudian berkata kepada Manik Angkeran, "Adikku Manik Angkeran! Kalau aku sampai mati, bawalah Atika ke mana saja kau pergi. Kau berjanji?" Tepat pada saat Manik Angkeran mengang-guk, terdengar suara Diah Kartika menggun-tur. "Kurangajar! Kau anggap apa aku ini? Masakan aku akan membiarkan buyungmu tinggal hidup untuk kaubiarkan mengganggu ketenteraman kita? Mana bisa?" Dengan terbatuk-batuk sesak, Diah Kartika sudah akan bergerak. Sekonyong-konyong ia mendengar suara seorang wanita lain. "Rostika! Kenapa takut? Kau pengecut?" Terkejut dan girang rasa hati Rostika. Sebab ia segera mengenal suara itu. Terus saja dia berseru."Guru!" Dia memutar kepalanya. Namun tiada sesosok bayanganpun nampak di depan penglihatannya. Baru setelah melayangkan mata beberapa saat lagi, muncullah seorang wanita cantik setengah umur. Dialah Edoh Permanasari, pewaris ilmu sakti Ratu Fatimah. Di belakangnya berjalan empat orang muridnya. Semuanya terdiri dari wanita. Tadi sewaktu berbicara jaraknya masih jauh. Tapi begitu lenyap kumandang suaranya, orangnya sudah berada di halaman pertapaan. Betapa cepat gerakannya Edoh Permanasari, diam-diam Diah Kartika menaruh perhatian juga. Dua puluh tahun yang lalu, nama Edoh Permanasari tidaklah setenar sekarang. Hal itu disebabkan karena dia belum muncul dalam gelanggang percaturan. Tetapi setelah membuat suatu kegemparan dengan membunuh tiap orang yang tidak berkenan di hatinya, barulah namanya disebut orang. Dia lantas terkenal sebagai seorang iblis wanita dari Banten. Rostika segera berlutut di depan gurunya. Berkata takzim, "Guru masih nampak segar bugar." "Ya, tentu. Paling tidak, gurumu takkan mati oleh perbuatanmu yang tak senonoh." Rostika tak berani menegakkan kepalanya. Ia tahu ke mana tujuan kata-kata gurunya itu. "Rostika!" kata Edoh Permanasari. "Nenek bongkok tadi bertanya padamu, apa sebab kau masih bisa hidup bernapas. Nah hampiri-Iah dia! Bilang, dia mau apa?" Tanpa beragu sedikitpun, Rostika terus memutar menghadap Diah Kartika. Tadi memang ia sudah mengambil keputusan hen-dak melawan nenek itu sedapat-dapatnya. Kini di belakang berdiri gurunya. Keruan saja, hatinya bertambah tabah. Maka dengan lang-kah tenang ia menghampiri Diah Kartika. Nenek dari pegunungan Karumbi itu ber-batuk-batuk beberapa kali. Suatu tanda bahwa hatinya bergusar. Sekali mengerling ia berkata nyaring kepada Edoh Permanasari. "Hm... jadi kaulah pewaris Ratu Fatimah? Jadi kaulah pembunuh keluarga anakku. Bagus. Aku sudah menghajar muridmu. Lan-tas kau sekarang mau apa?" "Bagus sekali hajaranmu, sampai pundak dan lengannya belum pulih seperti sediakala," sahut Edoh Permanasari tajam. "Kau hajarlah sekali lagi sampai mampus. Itupun bukan urusanku." "Gurul" Rostika mengeluh dalam hati. Dia sangat sedih dan pepat. Benar-benar gurunya hendak menghukum dirinya, karena perka-winannya dengan Suhanda seorang anggota Himpunan Sangkuriang. Tak terasa air matanya bercucuran. "Aku tak bermusuhan langsung dengan dia. Sebaliknya kalau kau menyatakan takluk pula kepadaku, perkara ini kuhabisi sampai di sini saja," kata Diah Kartika. "Mahmud! Lihatlah yang betul! Dialah musuh keluargamu." Salah seorang murid yang berdiri di belakang Edoh Permanasari melesat maju sambil menarik pedangnya, la tak tahan mendengar gurunya direndahkan oleh seorang nenek keriputan.. "Kau nenek bosan hidup. Hayo lawanlah dahulu lda Kusuma!" Dengan berbatuk-batuk, Diah Kartika me-ngibaskan tangannya. Tiba-tiba saja pedang lda Kusuma sudah terpatah menjadi tiga bagian. "Ya, nampaknya sebatang besi karatan, Nek," sahut Mahmud. Bukan main terkejutnya lda Kusuma. Di dalam perguruannya, dialah murid tertua. Ilmu saktinya hanya dua tingkat di bawah gurunya. Tapi menghadapi seorang nenek reyot, ternyata sama sekali tak berdaya. Entah ilmunya tiada harganya atau entah ilmu sakti nenek itulah yang terlalu hebat. Dengan langkah perlahan, Edoh Per-manasari mendekati lda Kusuma. Kemudian dengan sekali sambar ia merenggut sarungpedang muridnya yang terbuat dari besi baja. Kena sambarannya, sarung pedang itu pecah berantakan berkeping-keping. Diam-diam Diah Kartika terkesiap menyak-sikan tenaga sakti Edoh Permanasari. Pikirnya, benar-benar tak boleh diremehkan ilmu kepandaiannya. Pantaslah, banyak pendekar-pendekar utama mati di tangannya. "Anakku sudah kau bunuh mati. Cucuku sudah kauhabisi sampai ludes. Tinggal se-orang ini," Diah Kartika tertawa terkekeh. "Anakku Kamarudin mungkin sekali enggan berlawanan denganmu. Hari ini terpaksa aku mengambil tindakan. Sayang kau bukan menantuku ..." Suatu hal yang paling dibenci oleh Edoh Permanasari ialah, apabila seseorang meng-ungkat-ungkat kembali peristiwa asmaranya dengan Kamarudin. Kini bahkan ibu Kamarudin sendiri yang berkata demikian. Keruan saja, ia terus membentak: "Keluarkan senjatamu!" Selama Rostika berguru, belum pernah menyaksikan gurunya bergebrak dengan orang. Dia hanya mendengar kabarnya saja-. Lawan gurunya kali ini adalah nenek dari pegunungan Karumbi yang sudah mempunyai nama besar semenjak mudanya. Tidaklah mengherankan, bahwa hatinya jadi berde-bar-debar. "Edoh! Kau murid Ratu Fatimah yang ter-masyhur memiliki pedang pusaka Banten— Sangga Buwana—hayo keluarkan! Ingin kuli-hat, tinggal berapa bagian ilmu sakti Ratu Cabul itu!" Ratu Fatimah pada masa remajanya, adalah isteri seorang letnan VOC. ) Kemudian dengan caranya sendiri berhasil memikat hati. Sultan Banten, sehingga bisa diangkat menjadi permaisuri. Dalam akhir hidupnya, diapun berhasil menggeser isteri calon raja (putera mahkota). Bahkan lantas menjadi permaisuri raja baru bekas anaknya. Karena itu, tidak mengherankan bahwa namanya sangat buruk di mata rakyat. Kalau ia kini dijuluki ratu cabul oleh Diah Kartika, sesungguhnya tidaklah terlalu salah. Namun sudah barang tentu, murid Ratu Fatimah tidak bisa menerima penghinaan itu. Apalagi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang benci kepada macam cerita asmara. Seketika itu juga, ia menggerung ber-gusar. "Sekalipun aku belum mewarisi seluruh ilmu kepandaian guru, namun cukup buat menyumpal mulutmu yang kotor. Kau percaya, tidak?" "Hm. Boleh coba!" sahut Diah Kartika de-ngan berbatuk-batuk. Sekali bergerak, tangan Edoh Permanasari sudah menggenggam sebatang pedang. Dan melihat pedang itu, Diah Kartika kecewa. "Pedang macam begitu bisa mengapakan aku? Mana pedang Ratu Fatimah?" "Gntuk membunuh binatang tua, masakan perlu mengotori pedang Kerajaan Banten?" Edoh Permanasari menyahut tajam. Dengan mata tak berkedip, Diah Kartika mengawasi ujung pedang, Sekonyong-konyong tongkat bajanya menyodok ujung pedang. Berbareng dengan itu, ia melesat ke samping. Edoh Permanasari bukannya lda Kusuma atau pendekar-pendekar anak murid Tatang Manggala yang mudah diingusi. Ia seorang wanita jantan pewaris ilmu kepandaian Ratu Fatimah yang termasyhur di seluruh Jawa Barat. Dengan memekik ia memutar pedang-nya. Tiba-tiba berkelebat dan pedangnya sudah menusuk pundak Diah Kartika. Dengan berbatuk-batuk Diah Kartika menggeser tubuhnya. Tongkat bajanya diang-katnya seakan-akan hendak menangkis, tapi benar-benar Edoh Permanasari bukan ma-kanan empuk baginya. Dia tak dapat dike-cohnya. Pewaris Ratu Fatimah itu sekonyong-konyong menggeser tubuhnya pula. Tahu-tahu sudah berada di belakang punggung dan terus menusuk. Tapi tanpa menoleh Diah Kartika menyabetkan tongkat bajanya ke belakang membentur punggung pedang. Trang! Keduanya sama-sama tokoh pendekar wanita tingkatan atas pada zaman itu. Setelah lewat empat lima jurus, masing-masing mengagumi lawannya. Sekonyong-konyong terdengar suara nya-ring. Itulah benturan hebat antara tongkat baja Diah Kartika dan pedang Edoh Permanasari. Dalam benturan itu, pedang Edoh Permanasari patah kena tenaga Diah Kartika. Kecuali si bocah Mahmud, semua yang menonton di luar gelanggang terkejut menyaksikan kejadian itu. Tongkat Diah Kartika adalah tongkat mustika. Nampaknya hanya terbuat dari baja putih. Tapi sebenarnya mempunyai bahan campuran lebih dari itu. Betapa tajam senjata lawan, begitu kena benturan pasti patah dengan sekaligus. Diah Kartika sadar akan tingkatan dirinya. Dia tak mau menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Edoh Permanasari agar mengaku kalah. Ia tahu meskipun Edoh Permanasari tingkatannya berada di bawahnya (sebab dia murid Ratu Fatimah) patahnya pedang bukan berarti kalah. Itu hanyalah suatu kecelakaan belaka. Maka dengan menekan tongkatnya ke tanah, ia berbatuk-batuk menunggu perlawanan selanjutnya. "Sudah kukatakan tadi, bahwa engkau ha-rus mengeluarkan pedang pusaka Sangga Buwana. Pedang karatan semacam tadi bisa berdaya apa terhadapku?" katanya tenang-tenang. "Benar. Tak kukira bahwa hantaman tenagamu sangat kuat. Pantaslah engkau disegani orang semenjak dahulu. Bukankah engkau yang terkenal dengan sebutan nenek bongkok dari pegunungan Karumbi murid sang perwira Sadewata?" Diah Kartika terus terbatuk-batuk se-olah-olah tidak menggubris ucapan Edoh Permanasari. Ia bersikap menunggu. Edoh Permanasari kemudian membuka baju luarnya ia menarik sebatang pedang yang terselip di pinggangnya. Pedang itu sama sekali tidak menarik. Nampaknya kuno dan tiada mempunyai perbawa apa pun juga. Selama hidupnya, Edoh Permanasari tak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga. Tapi kali ini, dia bersikap lain meskipun berhadapan dengan beberapa muridnya. Hal ini ada sebabnya. Tadi sewaktu menangkis ayunan tongkat nenek dari Karumbi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Namun ma-sih saja dia bergoyang-goyang. Itu suatu tanda, bahwa tenaganya masih kalah. Memikir demikian, hatinya bergidik. "Rostika, ke mari!" kata Edoh Permanasari kemudian. Rostika hendak bergerak, tiba-tiba mendengar Atika memanggil-manggil. "Ibu ...! Ibu ...!" Rostika menoleh. Melihat anaknya datang tertatih-tatih, segera ia berkata membujuk. "Atika! Kau dolan dengan paman Manik Angkeran! Tuuu dia!" Tanpa menunggu reaksi Atika, Manik Angkeran sudah datang menggendongnya. Gntung, Atika seorang anak penurut. Dahulu ia menurut saja tatkala digendong Sonny de Hoop, meskipun gadis itu seorang Indo Belanda yang berkulit menyolok. Rostika dibawa gurunya berteduh di bawah sebatang pohon yang berdiri di seberang per-tapaan. Setelah berdiri tegak beberapa saat, terdengar Edoh Permanasari berkata agak segan, "Rostika! Kau kawin dengan seorang anggota musuh kita turun-temurun. Cobalahberbicara terus-terang, apakah sebab musababnya." "Guru," sahut Rostika terputus-putus. "Aku seorang murid yang ... aku seorang murid ..." "Ida!" Edoh Permanasari memotong perka-taannya. Mendengar panggilan gurunya, Ida Kusuma datang dengan langkah tenang. Dia seorang murid tertua. Perawakan tubuhnya bagus tiada cela. Matanya tajam beralis lentik. Parasnya lembut seperti Rostika. Hanya warna kulitnya lebih putih seakan-akan dia mempunyai darah Tionghoa ). "Murid menghadap Guru," katanya lembut. "Adikmu ini mempunyai kesukaran untuk berbicara dengan terus terang. Cobalah bujuk agar dia bisa berbicara baik," kata Edoh Permanasari. Dengan menarik napas selintasart ia meno-leh kepada Rostika. Kemudian berkata kepada gurunya. "Rostika sudah beranak. Hanya sa-yang, suami pilihannya justru seorang lawan. Lagi pula kawin, bagi murid guru merupakan suatu pantangan. Kita patut menyesali." "Aku menyuruh engkau membujuk adikmu agar berbicara baik mengapa justru engkaulah yang berbicara begini banyak?" tungkas Edoh Permanasari tak senang. Ditegur gurunya, Ida Kusuma terdiam. Kembali ia menoleh kepada adik seperguruan-nya. Tatkala itu, Rostika sedang menundukkan kepala. "Cobalah kau berkata sebenarnya, apa sebab sampai kawin dengan seorang musuh," desak Ida Kusuma. Rostika berdiam menimbang-nimbang. Kemudian berkata menentang paras gurunya. "Guru! Rostika memang seorang murid yang tak tahan kena godaan sampai akhirnya berumah tangga dengan seseorang yang kebetulan menjadi anggota lawan. Namun selama ini, belum pernah Rostika mengkhia-nati perguruan. Juga suamiku tak pernah menyinggung-nyinggung hal itu. Bahkan dari fihak suamiku, seringkali kami memperoleh gangguan." "Hm" dengus Edoh Permanasari. "Kaupun kini merasa pula kami ganggu, bukan?" "Tidak! Aku justru mengharapkan bahwa pada suatu kali Guru akan mengampuni aku." Edoh Permanasari mengamat-amati wajah muridnya. Setelah beberapa saat berdiam diri, lantas berkata: "Rostika! Kaulah sebenarnya murid yang kuharapkan. Kaulah sebenarnya murid yang kelak akan kupercayai merawat pedang mustika kakek gurumu. Kau ingin kami terima kembali sebagai cucu murid Ratu Fatimah atau tidak?" Mendengar ujar gurunya yang tak terduga itu, pandang mata Rostika berseri-seri. Pada saat itu pikirannya melayang kepada suaminya. Pikirnya dalam hati, kak Suhanda mencintai aku tak pernah dia mengganggu gugat asal diriku. Bahkan selalu siap melawan gangguan dari golongannya sendiri. Kalau aku diterima kembali sebagai murid, aku akan dipersenjatai pedang mustika Sangga Buwana yang tak ada taranya. Dengan begitu, bukankah aku bisa menjaga diri tanpa bantuan siapapun juga? Memikir demikian terus saja ia menyahut, "Guru! Tak ada suatu kebahagiaan lain daripada bisa diterima sebagai murid guru kembali." "Bagus! Apakah sumpahmu?" "Biarpun diperintah Guru untuk menye-berangi lautan api Rostika takkan mundur." "Sebaliknya bila membangkang atau meno-lak, apakah yang akan kaulakukan?" "Guru boleh mencincang badanku sampai mati. Atau membunuh aku dengan siksaan macam apa saja," Rostika meyakinkan. "Baik. Mari, kau ikut aku!" perintah Edoh Permanasari. Dengan membimbing tangan Rostika, Edoh Permanasari membawanya mendaki ke sebuah gundukan yang berada di tengah lapangan terbuka. Di atas gundukan itu, ia berdiri tegak merenungi matahari yang lagi tersembul di udara. Sangaji yang selama itu berada tak jauh dari mereka berdua, menghadapi suatu kesukaran. Tak dapat lagi ia mendekati mereka berdua. Kecuali mereka berada di atas sebuah ketinggian di tengah lapangan terbuka, juga matahari sudah memancarkan sinarnya penuh-penuh. Lagi pula sekitar lapangan itu, berdiri beberapa murid-murid Edoh Permanasari yang dengan sendirinya menebarkan matanya. Edoh Permanasari ini seorang iblis perem-puan. Dia bisa membunuh tanpa mengedipkan mata, pikir Sangaji dalam hati. Teringatlah dia betapa iblis itu dengan serta merta membakar kampung berikut penghuninya tanpa memandang bulu. Tapi Rostika adalah muridnya. Pastilah dia bisa berpikir lain. Tadi dia menggandeng mesra. Betapa besar kesalahan Rostika menurut penglihatannya, masakan seekor macan betina akan sampai hati mengganyang anaknya sendiri. Pada saat itu, terbayanglah ketiga gurunya dalam benaknya Wirapati, Jaga Saradenta dan Gagak Seta. Mereka bertiga memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang. Dahulu pernah ia hampir melakukan suatu kesalahan besar terhadap Jaga Saradenta dan Wirapati. Itulah perkara Pringgasakti. Meskipun hanya suatu salah-sangka belaka, namun betapa besar cinta kasih gurunya dapat dilihat sewaktu hendak menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi tenteram. Ia melihat, Edoh Permanasari mendekati Rostika dan membisikkan sesuatu. Sangaji lantas saja menajamkan pendengarannya melalui ilmu saktinya yang paling tinggi. Betapa hebat ilmu sakti Sangaji dapat dibuk-tikan, bahwa pendengarannya masih saja bisa menangkap kata-kata Edoh Permanasari meskipun hanya diucapkan dengan berbisik dari jarak jauh. "Kau bunuhlah suamimu! Dan kau boleh pulang kembali ke perguruan seperti sedia-kala," kata Edoh Permanasari dengan suara angker. Mendengar perintah gurunya, sejenak Ros-tika terdiam. Kemudian dengan menundukkan penglihatan ke tanah ia menggeleng kepala. "Baik," Edoh Permanasari mempertim-bangkan selintasan. "Kalau kau tak mau membunuh suamimu, bunuhlah anak keturunannya." Sekali lagi Rostika menggelengkan kepala. Pada saat itu Edoh Permanasari mengangkat tangannya. Terang maksudnya, ia hendak menggablok kepala Rostika. Dan kalau sampai tangannya menggablok kepala Rostika, hilanglah nyawa murid itu. Tetapi tangan itu tidak bergerak juga. Tangan itu seperti me-nunggu. Rupanya masih memberi kesempatan kepada Rostika untuk mengambil keputusan. "Kau berkata tidak akan membangkang atau menolak perintahku. Manakah sekarang buktinya?" bentak Edoh Permanasari. "Guru," sahut Rostika setengah menangis. "Mereka berdua sudah menjadi darah da-gingku. Darah daging muridmu ..." Edoh Permanasari menimbang-nimbang sejenak dengan tangannya masih terangkat. "Baik. Sekarang begini saja. Malam nanti kau berada di samping suamimu di Gunung Cibugis, bukan?" Rostika mengangguk. "Bagus! Kubatalkan perintahku membunuh suami dan anakmu. Kau senang tidak?" kata Edoh Permanasari. Rostika tidak menyahut. Hatinya beragu. "Baik, kau tak menjawab," Edoh Perma-nasari memutuskan. "Tapi kau masih mau melakukan perintahku, bukan?" "Tentu, apabila tidak melanggar dasar-dasar kemanusiaan." "Eh, darimana kau memperoleh kotbah perkara kemanusiaan segala?" bentak Edoh Permanasari. Ia paling benci terhadap istilah itu seperti yang pernah dinyatakan kepada Inu Kertapati dan Sidi Mantera. Berkata meneruskan, "Baiklah ... itu urusanmu. Sekarang berangkatlah ke Gunung Cibugis. Bawalah tiga buah alat peledak. Pasang di antara mereka dan ledakkan." Mendengar perintah itu, paras Rostika berubah hebat. Memang perintah itu lebih ringan daripada melakukan perintah mem-bunuh suami dan anak kandungnya sendiri. Tetapi apabila hal itu dilaksanakan samalah artinya dengan membunuh hari kemudian suaminya. Maka terasalah kini dalam lubuk hatinya, bahwa dia kini bukan lagi Rostika pada zaman gadisnya. Ternyata tak di-sadarinya ia sudah menjadi sebagian hidup suaminya yang dicintainya. "Bagaimana?" Edoh Permanasari menegas. Rostika menggelengkan kepalanya. Tepat pada saat itu, tangan Edoh Permanasari turun dengan deras. Dan tubuh Rostika terkulai di atas tanah. Kaget bukan kepalang adalah Sangaji. Mau ia mengira, itulah suatu sandiwara belaka. Suatu sandiwara di hadapan murid-muridnya agar mengesankan sikap keadilan seorang guru. Ia bersangsi tatkala mendengar suara seram Edoh Permanasari, "Ida! Berangkat!" Paras muka Ida Kusuma berubah hebat. Dengan pandang bertanya-tanya ia segera meneruskan perintah gurunya kepada adik-adik seperguruannya. Kemudian berkata mencoba, "Guru! Terhadap seorang murid yang melanggar angger-angger perguruan memang sudah sepantasnya guru mengambil tindakan tegas." "Hm," dengus Edoh Permanasari. "Aku tidak memberi perintah padamu untuk membasmi keturunannya sekali, bukankah sudah pantas?" "Tentu, Guru. Tentu. Bahkan suatu karunia besar bagi Rostika. Di alam baka, Rostika pasti tahu berterima "kasih," sahut Ida Kusuma dengan suara menggeletar. Edoh Permanasari memutar tubuhnya. Lantas melesat diikuti murid-muridnya. Sebentar saja mereka semua tiada nampak lagi bayangannya. Manik Angkeran mengawaskan kepergian mereka dengan memeluk Atika erat-erat. la seperti kehilangan dirinya sendiri. Atika masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya itu. Dengan mata membelalak, gadis cilik itu mengikuti semua peristiwa yang terjadi di depan hidungnya tanpa berkutik. Barangkali pula ia merasakan suatu ketegangan. Maka ia bergerak merosot ke bawah sambil berseru menuding-nuding. "Ibu! Ibu!" Oleh seman itu, Manik Angkeran baru ter-sadar. Terus saja ia berlari cepat menghampiri tubuh Rostika yang sudah tak berkutik lagi. Melihat keadaan Rostika, ia memeluk Atika bertambah erat. Sesudah terpaku beberapa saat lamanya, Atika meronta turun dari gendongannya. Lalu menubruk ibunya sambil berteriak memanggil-manggil. Manik Angkeran segera memeriksa keadaan Rostika. Napas Rostika berjalan sangat lambat dan lemah sekali. Kepalanya remuk kena gablokan Edoh Permanasari. Tahulah dia, bahwa harapan untuk hidup kembali seperti sediakala tidaklah mungkin lagi. Maka dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, ia menyadarkan Rostika. Tidakiah sia-sia ia menjadi murid satu-satunya tabib sakti Maulana Ibrahim. Perlahan-lahan, Rostika menyenak-kan matanya. Melihat Manik Angkeran, bibirnya bergerak-gerak. Ingin mengucapkan sesuatu, namun yang terbersit dari perasaannya hanya butiran air mata yang tersembul berbintik-bintik. Cepat Manik Angkeran memijat urat nadi penghubung ruas kepala untuk menghilang-kan rasa sakit. Benar juga, Rostika terdengar berkata lemah, "Adikku... bawalah Atika kepa-da ayahnya... Ini ambil..." Tangan kanannya bergerak ke dadanya. Nampak kelima jarinya meraba-raba. Lalu berhenti. Dan kepalanya terkulai. Ia mati sebelum jari-jarinya mencapai maksudnya. Sebagai murid Maulana Ibrahim belum per-nah ia menyaksikan maut berpisah di depan hidungnya. Sebab semua yang minta perto-longan tabib sakti itu, pasti tertolong. Sudah barang tentu hal itu disebabkan karena Maulana Ibrahim sudi mengulurkan tangan manakala mereka yang bersangkutan dapat tertolong nyawanya. Kini dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan suatu malapetaka itu. Maut merenggut nyawa Rostika di dalam pelukannya. Hatinya kaget, pepat dan ngeri. "Ibu...! Ibu....!" Atika terus memanggil-manggil. Sekarang bahkan mulai menangis, karena merasa diacuhkan. Tersadarlah Manik Angkeran. Kak Rostika mengharap aku membawa Atika kepada ayahnya. Tangannya tadi seperti bergerak mencari sesuatu di atas dadanya, katanya dalam hati. Ia melihat sebuah kalung emas berleontin sebutir intan. Terus saja ia melepas kalung itu dari leher Rostika. Kemudian entah apa sebabnya tanpa berbicara lagi, ia menggendong Atika. Ia turun dari gundukan tanah terkutuk itu. Mula-mula berjalan seperti seorang linglung. Mendadak linglung benar. Ternyata ia berlari-lari kencang menubras-nubras semak belukar tanpa tujuan tertentu. Kini berganti Sangaji yang terlongong-longong dengan kepala bingung, heran, terkejut, pedih, kecewa dan geram. Melihat Rostika benar-benar mati dengan kepala remuk, ia jadi menyesali diri sendiri. Kalau saja tadi ia bersiaga menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi, pastilah ilmunya yang sangat tinggi itu dapat menolong nyawa Rostika. Tapi siapa mengira, Edoh Permanasari akan membunuh muridnya sendiri? "Perempuan itu benar-benar iblis terkutuk!" ia memaki dalam hati. Ia segera menggali liang kubur. Jenasah Rostika dikebumikan dengan berbagai pikiran yang saling datang dan pergi. Pada saat rasa geram menikam dadanya, kakinya menjejak tanah. Terus ia menjejak arah perginya Edoh Permanasari dengan berlari-lari kencang. Hampir setengah hari penuh, ia berlari-lari mengikuti jejak Edoh Permanasari. Namun bayangan Edoh Permanasari belum juga nam-pak tanda-tandanya. Tiba-tiba timbullah pikirannya. Edoh Permanasari seorang perempuan tidak sembarangan. Sebagai iblis ia melatih kewaspadaan jauh lebih cermat daripadaku sendiri. Sudah pasti pula lebih mengenal wilayah ini. Sebaliknya aku seorang asing mengembara di wilayah yang belum kukenal dengan baik. Aku hendak menguntit gerak-geriknya, jangan-jangan malah akulah yang kini dikuntit dan diamat-amati semenjak tadi. Memikir demikian, ia segera berhenti berte-duh di bawah sebuah pohon. Teringat, bahwa dalam sehari ini ia menemukan rentetan-ren-tetan peristiwa di luar dugaannya, ia jadi menyangsikan dirinya sendiri. Edoh Permanasari sangat licin. Juga semua yang terjadi di pertapaan sukar kutebak de-ngan sepintas lalu. Baiklah, aku menyesuaikan diri, katanya dalam hati. Tetapi dia bukan termasuk golongan manu-sia seperti Gagak Seta atau Ki Hajar Karang-pandan yang sewaktu-waktu bisa bersepak-terjang ugal-ugalan ). Dalam tubuhnya mengalir jiwa ksatria penuh-penuh. Pengucapan hatinya sangat jujur dan mulia. Ia mau menghadapi dunia dengan kewajarannya. Terang-terangan dan tak sudi dengan jalan berbelit-belit. Karena itu di dalam hal mengadu kecerdikan dan kelicinan, dia bukan tandingan manusia semacam Titisari, Sanjaya atau Edoh Permanasari. Tatkala itu pendengarannya yang tajam luar biasa mendengar suatu derap kuda di kejauhan. Tanpa berpikir panjang lagi, ia melesat mendekati. Sekonyong-konyong ia melihat beberapa bayangan berkelebat dan bersembunyi di belakang onggok batu. Cepat ia berhenti melayangkan pandangnya. Ternyata di tanah lapang seluas beberapa hektar sudah penuh dengan orang yang pada mendekam di atas tanah. ***

Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 38 PUKULAN BINTANG BERCACAH"

Post a Comment