BENDE MATARAM JILID 37 SONNY DE HOOP
YANG
membentur pedang Edoh Permana-sari dengan tenaga dahsyat, adalah Sangaji.
Pemuda itu lagi disibukkan oleh rumun otaknya, mula-mula tidak menaruh
perhatian lagi pada semua yang terjadi dalam gelanggang. Sampai tiba-tiba ia
melihat Sidi Mantra jatuh bergelimpangan di tanah. Kemudian keterangan tentang
jarum Gunung Gilu yang berbisa. Mendengar dan menyaksikan betapa hebat racun
jarum itu, ia mengerutkan kedua alisnya. Sebagai murid Wirapati, ia diajar
membenci semua macam senjata racun. Apalagi yang berwujud senjata bidik.
Teringat betapa seng-sara gurunya akibat kena racun, darah ksatrianya terbangun
dengan serentak. Melihat Edoh Permanasari hendak menghabisi nyawa Sidi Mantra,
ia memungut batu dan menyentilnya dengan tenaga dua bagian. Pedang Edoh
Permanasari yang turun deras ke bawah, terpental ke udara dan tertancap separuh
dalam tanah. Dengan demikian betapa dahsyat tena-ga Sangaji tak dapat
dibayangkan lagi. Sedang ia mengira Edoh Permanasari bakal kabur oleh peristiwa
itu, enam jarum beracun menyambar Inu Kertapati. Dalam dirinya mengalir ilmu
sakti Mayangga Seta warisan Kyai Kasan Kesambi yang sudah mendarah daging
dengan ilmu sarwa sakti lainnya. Dahulu sebelum memperoleh ajaran ilmu Mayangga
Seta ia sudah dapat menangkap suara napas Fatimah tatkala kena aniaya di
seberang lapangan. Apalagi kini. Dengan tak bersusah payah ia bisa menangkap
jumlah enam batang jarum yang berdesingan. Ilmu melepas jarum Edoh Permanasari
sangat terkenal kecepatannya. Tapi ilmu membidik senjata rahasia ajaran
pendekar Gagak Seta lebih cepat lagi. Begitu terlepas dari tangan Sangaji
keenam batang jarum Gunung Gilu runtuh tersebar di tanah. Baik Edoh Permanasari
maupun Inu Kertapati, tertegun seperti kena pukau. Edoh Permanasari kabur dan
Inu Kertapati mene-barkan penglihatannya mencari tempat ber-adanya penolongnya.
Dan pada saat itu, Sangaji muncul dari tempat persembunyian-nya. Waktu itu
fajar hari masih berselimut tirai tebal. Inu Kertapati hanya melihat sesosok
ba-yangan yang datang menghampiri dengan tiba-tiba. Dengan terbata-bata ia
menyong-song. "Siapa Tuan yang sudi mengulurkan tangan menolong nyawa
kami?" Sangaji tidak mengindahkan kata-kata penyambut itu. Mengingat
ucapan Edoh Per-manasari, ia mengkhawatirkan keadaan Sidi Mantra, maka ia
menyahut, "Bagaimana keadaan Paman Sidi Mantra?" Mendengar kata-kata
Sangaji, Inu Kertapati tertegun. Ia nyaris tak percaya kepada pen-dengarannya
sendiri. Bukankah itu suara Sangaji. Ia berkata mencoba, "Apakah Tuan...
eh... Saudara Sangaji?" "Ya... Itulah aku." Kalau orang
menemukan sebutir berlian, tidaklah segirang rasa Inu Kertapati pada saat itu.
Hatinya terharu, lega dan bangga. Seperti kanak-kanak memperoleh hadiah
sebatang cokelat ia melompat dan menggandeng tangan Sangaji. "Bagaimana
engkau bisa datang ke sini?" katanya. "Marilah kita periksa dahulu
lukanya Paman Sidi Mantra!" ajak Sangaji. Sidi Mantra kala itu tidak berkutik
lagi. Napasnya kempas-kempis dan berada dalam keadaan lupa ingat. Buru-buru Inu
Kertapati menyalakan api. Ternyata kaki Sidi Mantra menjadi bengkak dan bersemu
hitam hangus. Inu Kertapati memekik tertahan, la melihat sebatang jarum
menancap di bawah lutut Sidi Mantra. Sebagai seorang pendekar yang sudah
kenyang merasakan asinnya garam, segera mengetahui betapa jahat racun jarum
Gunung Gilu. Tak kusangka begini ganas racunnya, pikir-nya dalam hati. Hanya
sebatang, namun cukup kuat merenggut nyawa orang semacam Sidi Mantra. Teringat
betapa Edoh Permanasari mene-barkan beberapa batang jarum kepadanya, ia
menggeridik tak setahunya sendiri. Mendadak dengan acuh tak acuh Sangaji
mencabut jarum itu dengan tangannya. Keruan saja ia kaget dengan berseru,"Jangan
raba!" Ia tak mengetahui, bahwa dalam tubuh Sangaji mengalir getah sakti
Dewadaru dan Madu Tunjungbiru penolak dan pelawan segala bisa di dunia betapa
jahatpun. Dengan tenang, Sangaji mengurut kaki Sidi Mantra. Kemudian ia
mendorong bisa jarum Gilu ke ujung kaki. Sebentar saja, bisa yang sudah
bercampur dengan darah merembes ke luar melalui lubang keringat dan menetes ke
tanah dengan warna hitam. Semenjak kena diurut Sangaji, perasaan Sidi Mantra
menjadi enteng. Ia sadar kembali dengan begitu saja. Dan tatkala semua racun
yang mengeram dalam dirinya merembes ke luar, perasaan kakunya lenyap. Dengan
mata kepalanya sendiri ia menyaksikan betapa bisa jarum Gilu menetes ke tanah.
Berbareng de-ngan rasa ngerinya, ia heran dan kagum meli-hat penolongnya. Mau
ia berkata, mendadak suatu hawa yang nyaman luar biasa membanjir bagaikan air
bah merayap memasuki semua jalan darahnya. Seketika itu juga, seluruh
perasaannya menjadi segar bugar, bengkaknya hilang. Terus saja ia melompat
bangun sambil berseru, "Saudara Sangaji! Ilmu malaikat ini kau peroleh
dari mana?" Dengan air mata berlinangan, Sidi Mantra membungkuk membuat
sembah. Hatinya ter-haru sampai dadanya terasa menjadi sesak. Semenjak menjadi
pemuda tanggung, ia sudah mendengar tentang dahsyatnya jarum berbisa dari
Gunung Gilu. Sepanjang pendengarannya belum pernah ada seorangpun yang bisa
hidup kembali apabila kena bisa racun berbisa itu. Kecuali bisa mendapat ampun
dari pembidik-nya. Karena itu ucapannya terhadap Sangaji benar-benar tidak
berlebih-lebihan. Katanya lagi setelah menyusut air mata. "Saudara dengan
mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa benar kata-kata pendekar
Tunjungbiru. CJntuk zaman ini tiada manusia lain lagi yang melebihi
kesaktianmu. Sungguh. Demi Tuhan, maka benar-benarlah engkau yang pantas
memiliki kalung berlian pusaka Kerajaan Banten. Aku sekarang mati-pun
puas." Setelah berkata demikian ia membungkuk hormat lagi. Lalu berkata
kepada Inu Kerta-pati, "Kertapati! Salah tidak apa yang kuka-takan
ini?" Inu Kertapati mengangguk seraya melirik pedang Sokayana yang
tergantung di ping-gang Sangaji. Dengan sungguh-sungguh ia menyahut, "Kita
berdua ini rasanya pantas menjadi kerbau-kerbau sembelihan. Saudara Sangaji
pasti sudah berada di sini semenjak tadi. Tapi kita sama sekali tak mengetahui.
Apakah pantas kita mempunyai telinga yang begini enak-enak bercokol di kepala?
Pedang Sokayana berada di tangan Saudara Sangaji, samalah halnya seekor kuda
perang mene-mukan majikannya yang tepat." Tak biasa Sangaji menerima
pujian yang dirasakan berlebih-lebihan segera ia berkata mengalihkan
pembicaraan. "Paman! Siapakah sebenarnya Edoh Per-manasari? Ke mana dia
pergi? Mengingat dia , masih sempat menyerang Paman Inu Kerta-pati sewaktu
hendak kabur, pastilah dia bisa berbuat di luar dugaan kita untuk melampias-kan
rasa kecewanya." "Ah, ya!" Inu Kertapati dan Sidi Mantra
menyahut hampir berbareng. "Dia seperti iblis. Sebentar datang, sebentar
hilang. Ke mana perginya hanya setan yang tahu." "Mari!" ajak
Sangaji. Dan begitu menjejak-kan kaki, tubuhnya musnah dari penglihatan. Inu
Kertapati dan Sidi Mantra kagum luar biasa. Setelah saling memandang mereka
segera menancap gas. Mereka termasuk go-longan pendekar utama, namun demikian
tak mampu melihat bayangan Sangaji meski sekelebatpun. Hati mereka bertambah-tambah
menjadi kagum. Diam-diam mereka merasa takluk. Terpaksalah mereka membuang rasa
kehormatan diri dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya: "Saudara Sangaji!
Saudara Sangaji." Lucu kedengarannya. Mereka memanggil Sangaji saudara.
Sebaliknya Sangaji memanggilnya paman. Namun mereka tak memperdu-likan
kejanggalan itu. Rupanya teriakan mereka terdengar oleh Sangaji. Pemuda itu
yang sebenarnya tidak berniat memamerkan kemampuannya segera melambatkan
larinya. Sebentar kemudian Inu Kertapati dan Sidi Mantra sudah datang
menyusulnya. Dan mereka bertiga berlari-lari-an sepanjang pantai ke jurusan
barat. Luar biasa anak ini, pikir Inu Kertapati. Selama hidupku baru kali ini
aku menyaksikan suatu tenaga ajaib. Masalah napasnya sama sekali tak terdengar
mengangsur seolah-olah berjalan menikmati alam fajar hari. Mereka terus
berlari-larian sampai hampir mendekati fajar hari. Tiba-tiba mereka melihat
sebuah kampung nelayan terbakar hebat. Apinya berkobar-kobar kena ayun angin
laut. Anehnya tiada terdengar suara manusia, seakan-akan sebuah kampung tiada
berpeng-huni. "Paman! Nampaknya terjadi sesuatu hal yang tidak
beres," kata Sangaji. "Ya... ya... ya..." Mereka menyahut dengan
menjenakkan napas. Mereka bertiga meng-hampiri kampung dan melihat suatu peman-dangan
yang mengerikan. Tua-muda, laki-laki perempuan, kanak-kanak sampai
keter-nak-ternaknya mati bergelimpangan dengan tubuh cerai berai. Melihat
pemandangan ini, Sangaji mengerutkan kedua alisnya. "Perbuatan siapa
ini?" Inu Kertapati dan Sidi Mantra segera memeriksa. Mendadak mereka
saling berte-riak, "Lihat! Lihat!" Sangaji menghampiri suatu kelompok
mayat yang merupakan suatu keluarga. Tubuh mereka membengkak dengan warna
hitam. Juga seorang bayi berumur tujuh bulan. "Bukankah ini akibat bisa
jarum siluman betina itu?" teriak Sidi Mantra bergusar. Sangaji berdiri
tertegun beberapa waktu lamanya. Kedua alisnya tiba-tiba mengke-rut hebat.
Sekonyong-konyong suatu gelombang suara bagaikan guntur keluar dari mulutnya.
Inu Kertapati dan Sidi Mantra bukan orang lemah. Namun seperti kena dorong
suatu te-naga dahsyat, mereka terlempar dua puluh langkah. Suara itu melambung
dan mengalun tinggi menyusup udara seperti gerakan seekor naga mulai terbang.
Lautan api yang sedang me-musnahkan perkampungan disibakkan berte-baran. Bumi
tergetar dan pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai bergoyangan. Dan
rumah-rumah nelayan itu akhirnya meluruk berguguran.... Selama hidupnya baru
untuk yang pertama kali itu, Sangaji memperlihatkan rasa marah-nya. Itupun
sebenarnya tak disengajanya. Yang terasa di dalam dirinya adalah suatu
kegon-cangan hati oleh kesan suatu penglihatan yang menusuk darah ksatrianya.
Ia ingin berteriak menggugat terjadinya peristiwa itu. Dan berteriaklah dia.
Saling menyusul. Akibatnya hebat. Ilmu saktinya yang tersekam dalam lubuk
hatinya bergolak dahsyat. Meluap-luap dan akhirnya meruap tiada terbendung
lagi. Belum habis gelombang teriakan yang pertama sudah disusul yang kedua yang
ketiga dan seterusnya. Ia merasakan suatu kelegaan dan berhenti dengan
mendadak. Inu Kertapati dan Sidi Mantra tadi tak berkesempatan menutup
telinganya. Syukur, mereka bukanlah orang lemah. Ilmu kepandaiannya sebanding
dengan pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Namun masih saja mereka
tak kuasa mempertahankan diri. Setelah terpental dua puluh langkah mereka jatuh
bergulingan. Cepat-cepat mereka.duduk bersila mengatur napas. Tak urung
tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat lesi. "Saudara Sangaji! Ini ilmu
apa?" seru Sidi Mantra dengan bergetar. Sepanjang hidupnya baru kali itu
ia menyaksikan ilmu sakti demikian, hingga mengira Sangaji adalah penjelmaan
Dewa Wisnu. Katanya lagi penuh rasa kagum, "Suara tantanganmu benar-benar
tak ubah jerit seratus ribu ekor gajah dengan berbareng." Ia mengira
Sangaji melepaskan teriakkan tantangan terhadap Edoh Permanasari. Inu Kertapati
yang sudah berhasil mengua-sai diri, meloncat bangun dan berkata kagum pula,
"Hebat! Sungguh hebat! Dengan suara bergelora demikian seseorang akan bisa
me-nguasai seluruh Nusantara. Karena setiap orang akan mendengarkan tiap
titahnya. Sau-dara Sangaji! Engkaulah manusianya yang benar-benar tepat
memimpin kami." Sangaji tak menyahut seolah-olah tak mendengar suara
mereka. Hatinya pepat meli-hat mayat-mayat tak berdosa bergelimpangan di antara
reruntuhan perkampungan. Dengan berdiam diri ia membuat lubang besar. Kemudian
mengumpulkan mayat-mayat itu dan menguburnya dengan penuh hormat. Sudah barang
tentu Inu Kertapati dan Sidi Mantra tak mau ketinggalan. Walaupun mere-ka bukan
manusia-manusia penjilat, tapi mereka bekerja seperti berebutan oleh rasa
bangga dan berbesar hati. Ini disebabkan karena mereka merasa takluk dan kagum
luar biasa terhadap Sangaji. Tidak mengherankan bahwa pekerjaan mengubur
mayat-mayat itu rampung berbareng dengan tibanya pagi hari. Mereka balik memasuki
kota Jakarta de-ngan berjalan. Setelah lama berdiam diri, akhirnya Inu
Kertapati membuka mulut. "Sekarang pastilah Saudara mengetahui
alasan-alasan kami datang membawa barang hantaran. Tetapi legakan hatimu bahwa
tiada maksud kami menyuap dirimu. Hal itu terber-sit dari suatu ketulusan hati
nurani seluruh rakyat Jawa Barat. Begini." Ia berhenti mengesankan.
Sejenak kemudian meneruskan, "Semenjak Sultan Tua mengawini janda Fatimah,
bekas istrinya seorang letnan kompeni, timbullah rasa tidak puas di kalangan
rakyat Banten. Rasa tidak puas ini bertambah hari bertambah meluas sampai
meruap di luar batas kerajaan, tatkala Ratu Fatimah menggulingkan tahta
Kerajaan Sultan Tua. Barangkali engkau pernah mendengar pula tentang sepak
terjang Ratu Fatimah yang berada di luar batas kesopanan." Sangaji
mendengar sejarah Ratu Fatimah hanya selintasan tatkala mengintip pem-bicaraan
pendekar Toha dan Kosim di dekat unggun batu Rababa Tapa. Hanya saja ia sangsi
akan kebenarannya. Karena itu ia tak menyahut. Sebaiknya bagi rakyat Jawa Barat
tidaklah asing. Maka oleh diamnya Sangaji, Inu Kertapati menganggapnya sudah
menger-ti. Segera ia berkata melompat, "Ratu Bagus Boang mempersatukan
segenap pendekar dari seluruh penjuru. Tetapi Ratu Fatimah ternyata siluman
cerdik. Ia meminta bantuan kompeni serta mengerahkan sekalian murid-nya.
Muridnya ditebarkan ke dalam tubuh laskar pejuang rakyat Banten untuk
ditu-gaskan menggempur dari dalam. Sedangkan kompeni menggencet dari luar.
Betapa hebat sepak terjang murid-murid Ratu Fatimah bisa dilihat dan diukur
dari sepak terjang serta ketangkasan Edoh Permanasari. Padahal dia termasuk
golongan murid termuda. Selain itu, Ratu Fatimah memecah pula golongan
pen-dekar. Ia menguasai pendekar-pendekar yang hidup di sekitar Serang sampai
Teluk Pela-buhan Ratu. Dari daerah sekitar Cibinong sampai Majalengka. Dan dari
daerah sekitar Sukabumi sampai Cibatu. Itulah hampir selu-ruh Jawa Barat, Bisa
dibayangkan betapa sempit daerah gerak pasukan Ratu Bagus Boang. Melihat
kenyataan ini Ratu Bagus Boang berduka. Kemudian beliau mencoba mendekati
pendekar sakti murid Resi Budha Wisnu. Tapi gagal." "Siapa?"
Sangaji terkejut sewaktu mende-ngar disebutnya nama Resi Budha Wisnu.
"Dialah pendekar sakti Watu Gunung. Mengapa? Apakah Saudara Sangaji kenal
tokoh sakti itu?" Sangaji berbimbang-bimbang sejenak, lalu mengangguk.
Memang ia kenal tokoh sakti itu. Dialah yang datang bersama-sama Warok Kuda
Wanengpati, Adipati Pesantenan dan Lumbung Amisena dari Jawa Timur di
pade-pokan Gunung Damar. Dia pernah mengadu kekuatan dengan Gagak Handaka dan
Rang-gajaya. Kemudian dalam keadaan luka akibat adu tenaga, merasakan bogem
mentah Sangaji di sebelah selatan Magelang. Mengingat kedatangannya di Gunung
Damar bertalian dengan peristiwa pusaka sakti Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik,
Sangaji mengerenyitkan dahi. Betapa seder-hana hatinya, timbullah suatu dugaan
dalam benaknya. Dia menolak ajaran Ratu Bagus Boang. Kemudian memerlukan datang
ke Gu-nung Damar dengan saudara-saudara seper-guruannya untuk mencoba merebut
pusaka Bende Mataram. Apakah dia mempunyai cita-cita sendiri untuk mempersatukan
segenap pendekar Jawa Barat. Untuk tujuan tertentu? Jangan-jangan dia seperti
Pangeran Bumi Gede yang bercita-cita merebut tahta kera-jaan. Tiba-tiba
terdengar suara Inu Kertapati berkata lagi, "Bagus! Jika engkau sudah
me-ngenal tokoh itu, setidak-tidaknya akan me-ngurangi kesukaran kami di
kemudian hari. Sebab pada waktu ini, dialah musuh kami yang utama.
Gerak-geriknya sukar diduga. Berapa banyak korban rakyat kita yang mati di
tangannya, tak terhitung lagi. Belum lagi bisa dan racun yang ditebarkan Ratu
Fatimah. Belum lagi yang tewas berguguran menghadapi laras senapan
kompeni." la berhenti sejenak. Meneruskan dengan suara rendah,"Selagi
pihak kami terancam malapetaka, Ratu Bagus Boang dikabarkan musnah tiada jejak.
Berita ini benar-benar mengejutkan hati segenap orang gagah. Seperti sebuah
perahu layar kehilangan tiang agung, kami berjuang tanpa tenaga dorong. Dan
perjuangan macam begini berarti menambah jumlah korban. Karena itu harapan kami
kini hanya kepadamu." "Ya hanya kepadamu," Sidi Mantra
me-nguatkan. "Kau mempunyai ilmu sakti tak ubah malaikat, masakan akan
membiarkan kami menjadi bangkai-bangkai anjing." Semenjak tadi Sidi Mantra
membungkam mulut. Tapi sekali berbicara kata-katanya tajam. Itulah yang membuat
Edoh Perma-nasari menjadi kalap. "Saudara Sangaji" katanya lagi.
"Biarpun umurku sudah melampui setengah abad dan engkau pantas menjadi
cucuku tapi aku akan memanggilmu saudara. Peduli apa? Malahan sebentar lagi aku
akan bisa memanggilmu Gusti Aji. Engkau tadi kusembah, karena engkau penolong
jiwaku. Sekarang patutlah aku bersembah, karena engkau akan menjadi
junjunganku." Setelah berkata demikian, benar-benar membuat sembah. Keruan
saja Sangaji mengelak dengan tersipu-sipu. Inu Kertapati rupanya mempunyai
pengli-hatan tajam. Semenjak tadi ia mengamat-amati pribadi Sangaji. Melihat
kesederhanaan dan kemuliaan hatinya, segera ia menyetujui perbuatan rekannya.
Terus saja ia bersimpuh menghadap Sangaji dan membungkuk serendah tanah.
Berkata: "Kami datang membawa barang hantaran rakyat kepadamu dengan dalih
memohon per-tolonganmu untuk membebaskan Ki Tun-jungbiru semata. Itulah tidak
benar seluruhnya. Sebab di samping itu, kami atas nama rakyat Kerajaan Banten
memohon padamu agar membebaskan seluruh rakyat Jawa Barat dari penindasan
kompeni dan tindak sewenang-wenang sisa-sisa pengaruh Ratu Fatimah. Sekiranya
engkau tidak mau mengabulkan hal ini, biarlah aku mati kering di sini serata
tanah. Setelah berkata begitu, menelungkup men-cium tanah. Melihat perbuatan
Inu Kertapati, mula-mula Sidi Mantra heran. Dasar ia perca-ya kepada kecerdasan
kawannya, ia merasa perlu menambahi kata-katanya yang tajam. Katanya,
"Kamarudin sudah mengorbankan keluarganya semata-mata menunaikan tugas rakyat
yang dipikulkan di atas pundaknya. Masakan aku tak rela pula mengorbankan
selembar jiwaku. Saudara Sangaji! Biarlah aku membungkuk begini sampai tulang
belakangku habis digerogoti anjing, menunggu kata-kata keputusanmu."
Mendengar kata-kata dan perbuatan mere-ka, hati Sangaji yang sederhana menjadi
bi-ngung. Bergaul dengan para pendekar sema-cam mereka, bagi Sangaji bukan
asing lagi. Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan, berkelahi mati-matian
lima hari lima malam semata-mata perkara pantat. Kemudian mengadu betah-betahan
tidak kawin. Dan Inu Kertapati serta Sidi Mantra adalah rekan Ki Tunjungbiru.
Bukan mustahil mereka akan membuktikan ucapannya benar-benar. Ini disebabkan
selain sepak terjang golongan pendekar semacam mereka sangat aneh, juga mereka
bekerja bukan untuk kepentingannya sendiri. Sangaji sadar, bahwa di belakang
punggung mereka tergelar suatu gelanggang perjuangan rakyat yang sedang mengadu
hidup dan matinya. Mau tak mau Sangaji menghela napas pan-jang. Teringat kepada
percakapan Inu Ker-tapati dan Edoh Permanasari, ia jadi perasa. Mereka
sesungguhnya datang dengan barang mustika rakyat Jawa Barat oleh petunjuk Ki
Tunjungbiru. Dan Ki Tunjungbiru mempunyai saham sangat besar dalam dirinya.
Itulah getah sakti pohon Dewadaru. Tidak hanya itu. Pendekar Banten itu tak
segan-segan pula mengadu nyawa mulai dari Cibinong—Peka-longan Kubangan batu
dan padepokan Gunung Damar tanpa pamrih. Dan sekarang oleh petunjuk mereka
datang padanya dan rela pula bersimpuh serta menyembah seperti budak-budak tiada
guna. Masakan sampai hati hendak mengecewakan harapan orang tua itu? Tetapi
bagaimana dengan persoalannya sendiri? Di hadapannya terbentang masalah Sonny
de Hoop dan Titisari yang meramalkan sesuatu malapetaka terkutuk. Dan menerima
persembahan rakyat Jawa Barat, bukanlah berarti melibatkan diri dalam persoalan
baru yang maha besar? Dalam sekejap saja otak Sangaji sudah dirumun suatu
persoalan baru yang tidak gampang-gampang diputuskan secara se-rampangan saja.
la sekarang mengeluh dalam hati. Dalam kebimbangan dan kebingungannya mendadak
tangannya menyentuh hulu pedang Sokayana. la terkesiap. Pedang inipun mempunyai
kesaktian semacam kesaktian Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dan teringat
kedua pusaka warisan itu, teringat pulalah dia kepada sumpahnya di benteng batu
setelah selesai menekuni rahasia guratan keris Tunggulmanik. Bukankah dia
berjanji hendak mengamalkan ilmu sakti tiada tara itu untuk kebajikan sesama
hidup? Tak disadari pula ia seperti mendengar suara gurunya Jaga Sara-denta
kala dia hendak kembali ke Jakarta. "Ah, anak tolol! Karena itu engkau
harus belajar mempunyai keputusan yang cepat, tegas dan tepat. Sebab hidup ini
bagaikan gelanggang perkelahian. Kau akan diajak dan didorong untuk berkelahi.
Kini kau sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan
hidup seorang diri..." Teringat akan kata itu, teringatlah dia kepada
semua gurunya yang telah berani menge-sampingkan persoalan pribadi. Oleh
pikiran itu terus saja ia menguatkan diri. Dengan menegakkan kepala ia berkata,
"Paman! Bangunlah! Baiklah hal ini kupikirkan dahulu dengan
perlahan-lahan." Lemah dan penuh bimbang bunyi keputusan Sangaji. Tetapi
ini bukan suatu ramalan di kemudian hari. Ilmu sakti Bende Mataram dan Kyai
Tunggulmanik menjanjikan pewarisnya akan merubah otaknya menjadi cerdas luar
biasa tegas dan gagah tak terlawan. Kebimbangannya itu disebabkan karena dalam
usia muda sudah dihadapkan suatu persoalan yang maha berat dan maha pelik.
Kelak setelah memperoleh pengalam-an-pengalaman keputusannya bahkan akan
mengejutkan dan menggegerkan pendekar-pendekar tua yang sudah kenyang makan
garam. Tetapi Sidi Mantra tak mau mengerti persoalan rumit yang sedang dihadapi
anak muda itu. Dengan masih membungkuk ia berkata nyaring. "Tidak! Selama
barang hantaran rakyat belum engkau terima dengan keikhlasan hatimu, biarlah
aku mati membungkuk seperti binatang." Sangaji jadi kuwalahan. Terpaksa ia
men-jawab, "Paman Sidi Mantra, pedang Sokayana telah bergantung di
pinggangku dan sedikit banyak ibuku telah berhutang budi kepada Paman
Kamarudin. Bukankah berarti sudah kuterima penuh?" Itulah Sangaji. Dia
seorang pemuda yang harus dipaksa, sehingga akhirnya harus me-masuki dunia yang
tidak dikehendaki sendiri. "Bagus! Begitulah baru benar. Ucapan se-orang
laki-laki berharga seribu gunung. Biarlah aku bersembah lagi untuk
kata-katamu," seru Sidi Mantra puas. la benar-benar menyembah lagi
kemudian menegakkan badan dengan mata berseri-seri. Sebaliknya Inu Kertapati
masih saja menelungkup mencium tanah. Sangaji jadi tak mengerti. "Paman
Kertapati! Apakah kata-kataku kurang terang?" Inu Kertapati 1 tak segera
menjawab. Dan setelah Sangaji mengulangi ucapannya, ia berkata, "Sama
sekali aku tak menyangsikan kemuliaan hatimu. Hanya saja seumpama seekor burung
baru bersayap sebelah!" "Mengapa begitu?" "Dua hari lagi
kami akan mengadakan suatu himpunan besar. Engkau sudi datang tidak."
Sangaji berpikir sejenak kemudian menyahut, "Bangunlah dahulu! Masakan
berbicara dengan bertiarap?" "Berilah aku keputusanmu dahulu!"
Sedih hati Sangaji diperlakukan begitu. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah aku
datang. Di mana?" "Barat Daya." "Di manakah itu?"
"Gunung Cibugis," sahut Inu Kertapati. Setelah berkata demikian, ia
melompat ba-ngun. Sangaji menjadi sibuk lagi. Teringatlah dia kepada
pembicaraan Toha dan Kosim di ung-gun batu Rababa Tapa seminggu yang lalu.
Mereka harus datang di suatu tempat di Barat Daya. Juga penunggang kuda yang
dilihatnya di luar kota. Mendadak suatu pikiran menusuk benaknya. Terus saja ia
berkata, "Paman sekalian. Aku pernah mendengar suatu nama, Gusti Amat.
Tolong berilah keterangan padaku, siapa sebenarnya beliau yang mulia itu!"
Inu Kertapati dan Sidi Mantra tercengang sejenak. Mereka saling memandang.
Kemu-dian Inu Kertapati menjawab, "Biarlah sampai di sini kita berpisahan.
Kami tak berani mem-beri keterangan. Tetapi dua hari lagi, engkau akan mengerti
sendiri." Setelah berkata demikian, membungkuk hormat. Sidi Mantrapun
begitu juga. Kemudian mereka pergi mengambil jalannya. Tak terasa Sangaji
menghela napas, la sadar persoalan baru bakal dihadapi lagi. Dengan
merenung-renung ia mengawasi kepergian mereka. Setelah itu barulah ia ingat
pulang. Pagi sudah tiba benar-benar. Langit cerah. Anginpun terasa riang.
Mengingat membawa pedang tak berani ia melalui keramaian kota. Segera ia
menjejak tanah dan seperti terbang melintasi tepi kota. Sebentar saja tibalah
dia di depan rumahnya. Keesokan harinya pada pagi hari, Sonny datang. Inilah
untuk yang pertama kalinya gadis Indo itu datang berkunjung semenjak ia tiba
kembali di Jakarta. Sonny de Hoop mengenakan pakaian serba merah. Kulitnya yang
putih nampak menjadi menyolok. Bersih terawat dan berkesan ce-merlang.
Rambutnya terurai panjang. Kemi-lauan oleh minyak wangi dan sinar matahari.
Hidungnya yang mancung kelihatan tegas. Bibirnya bergincu. Alisnya bercelak.
Matanya bening. Semua itu menambah keserasian tubuhnya yang molek, montok lagi
padat. Seperti biasanya ia lincah dan polos hati. Begitu melihat Sangaji, terus
saja ia berkata, "Hallo! Kau bawalah senapanmu! Mari kita berburu!"
Terhadap Sonny de Hoop selamanya Sangaji menganggapnya sebagai kawan bermain.
Selain tak pandai berbicara, sikapnya dingin. Sonny de Hoop mengenal hal itu.
Karena itu tak bersakit hati, sewaktu Sangaji hanya mengangguk sebagai
jawabannya. Lainlah halnya dengan Rukmini. Meskipun ia seorang perempuan dusun
yang sederhana, tetapi ramah. Dengan pandang terang ia menyambut bakal
menantunya di serambi depan. Ia terus membawanya masuk dengan menggandeng
tangan. Menggandeng tangan bagi adat barat tiada lazim dilakukan, kecuali apa
bila hati sedang diamuk asmara. Tetapi manusia di manapun juga tahu apa arti
menggandeng tangan. Itulah tanda suatu penerimaan dengan hati terbuka. Karena
itu hati Sonny de Hoop me-rasa bahagia kena gandeng Rukmini. "Ibu, Sangaji
hendak kuajak berburu. Kukira ia sudah cukup beristirahat. Boleh tokh,
Ibu?" Rukmini tertawa. Tertawa untuk membuat senang dan membesarkan hati
sendiri. Buat Rukmini, Sonny de Hoop masih nampak seba-gai majikannya. Meskipun
ia tahu gadis Indo itu bakal menjadi menantunya, dalam hati tetap merasa rendah
diri. "Jangan lagi Sangaji, akupun menjadi milik Nona. Masakan mesti minta
ijin segala? Jiwa kami berdua, siapakah yang memelihara?" Bagi hati
Rukmini yang sederhana, hutang budi berada di atas jiwanya sendiri. Karena itu
ucapannya keluar dari ketulusan hatinya sendiri. Sudah barang tentu Sonny de
Hoop tak enak mendengar pernyataan itu, meskipun diam-diam hatinya senang.
Bukankah berarti Sangaji menjadi miliknya? Teringat cara Sangaji menyia-nyiakan
radang birahinya di perkemahan dahulu, ia jadi terhibur. Namun dia menyahut,
"Mana bisa Ibu dan Sangaji menjadi milikku? Baik aku maupun ibu berdua
milik Tuhan. Ya tokh?" Rukmini tertawa. Melihat Sonny mengena-kan pakaian
begitu mentereng, ia merasa sayang. Maka ia berkata: "Sayang nona, kalau
pakaian sebagus itu untuk pergi berburu. Lebih baik, ajaklah Sangaji
melihat-lihat kota. Mumpung udara terang." Sudah beberapa hari ini udara
Jakarta terus cerah setelah dikerumuni hujan hampir sepuluh hari. Hawa yang
lembap terasa menjadi hangat. Berpesiar dalam hari demikian, memang
menyenangkan. Sonny de Hoop sendiri sebenarnya tiada berniat berburu
sungguh-sungguh. Itulah hanya suatu dalih belaka. Semenjak ia men-dahului
ayahnya tiba di Jakarta, ia hanya mempunyai satu harapan. Dalam kesepiannya ia
akan memperoleh kesempatan menggugah rasa birahi Sangaji. Sonny de Hoop berumur
dua tahun lebih tua daripada Sangaji, sudahlah wajar apabila perkembangan masa
birahinya jauh lebih cepat daripada Sangaji. Apa lagi ia berdarah barat dan beradat
polos serta terbuka pula. Sudah semenjak dua tahun yang lalu ia membangunkan
jembatan birahi. Tapi ja-ngankan ia bisa berharap yang bukan-bukan, sebuah
ciuman belum pernah diperolehnya. Kini ia memutuskan hendak bertekad,
mem-bawanya ke dunia itu. Begitu Sangaji datang berkunjung, terus saja ia
hendak memasang jala. Ternyata Sangaji tak pernah muncul. Tak mengherankan ia
jadi uring-uringan. Sebenarnya dia ini manusia, atau batu karang? la
mendongkol. Sonny de Hoop bu-kannya seorang gadis murahan. la mempu-nyai
kecantikan lembut yang jarang dimiliki bangsanya sendiri. Ia seorang gadis
terpelajar pula. Banyak pemuda-pemuda yang gandrung padanya. Malahan sering
pula opsir-opsir jejaka memberanikan diri melamarnya. Namun semua itu dijauhi
dan ditolaknya dengan tegas. Itulah sebabnya ia menjadi heran sendiri, apa
sebab dirinya bisa tertambat pada seorang pemuda Bumiputra yang berhati beku.
Dalam kebanyakan hal ia bersikap mengalah. Setia menunggu masa kepergiannya.
Menyusul ke Jawa Tengah. Bersedia menyerahkan diri pada sembarang waktu dan
sembarang tempat. Namun masih saja ia menumbuk batu. Hati siapa yang tidak
mendongkol? Untunglah dia seorang pelajar. Dalam kemendongkolannya, masih
sanggup ia ber-pikir. Katanya di dalam hati, enam tahun saya mengenal dia. Selama
itu belum pernah bergaul rapat. Tak mengherankan, ia belum dapat merasukkan
diriku menjadi bagian hidupnya. Biarlah mulai sekarang aku membuat
rencana-rencanaku sendiri di luar tata pengamatan orang-orang tua. Bukankah
kemudian hari aku bakal menjadi miliknya dan dia sebaliknya. Kalau tidak
kumulai sekarang, menunggu kapan lagi. Sangaji akan kuajak berburu, berenang,
bersampan, berpacu kuda, mengail atau bermain kartu. Masakan dia akan tetap
tidur? Mustahil dia manusia yang terdiri dari darah daging tidak tersadar apa
arti kegairahan hidup. Memikir demikian timbullah semangatnya. Bahkan radang
birahinya kian menyala-nyala. Dan begitulah pada hari itu ia datang mengajak
berburu. "Sangaji bisa berkelana selama dua tahun ini. Masakan masih
tertarik kepada pengli-hatan-penglihatan di dalam kota," katanya nyaring.
"Tetapi sekiranya menurut Ibu hari ini bagus untuk berpesiar di dalam
kota, biarlah kuajaknya ke pantai." "Ha... itulah lebih bagus,"
Rukmini menye-tujui. Kemudian berseru kepada Sangaji. "Aji! Kaukenakanlah
pakaian yang baik!" Sangaji muncul dengan pakaian berburu dengan
menyandang senapan. Ia kelihatan gagah dan agung. Itulah disebabkan tenaga
sakti yang mengeram dalam dirinya, sehingga wajahnya nampak segar dengan
pandang mata tajam luar biasa. "Ibu berkata apa?" la menegas kepada
ibu-nya... "Berpakaianlah yang baik. Nona Sonny tak jadi berburu. Kau
diajak berpesiar di dalam kota. Kemudian ke pantai. Mau tidak?" Ujar
Rukmini. "Ke mana saja baik," sahut Sangaji setelah berdiam diri
selintasan. la menyiratkan pan-dang kepada Sonny. Gadis itu tersenyum
menyiasati. Katanya lagi merasa, "Apakah pa-kaianku kurang serasi?"
Dengan tak usah menunggu komentar, segera ia masuk ke kamarnya kembali berganti
pakaian. Seperempat jam kemudian ia dan Sonny telah berada di jalan. Mereka
berkuda dengan perlahan-lahan. Pada dewasa itu, bepergian dengan menunggang
kuda adalah lazim. Kebanyakan, penduduk bahkan berjalan kaki, sedang kereta
berkuda hanya untuk yang kaya, para pembesar pemerintahan dan tuan-tuan tanah.
Sonny de Hoop nampak senang dan berba-hagia. Itulah untuk pertama kalinya ia
berkuda berjajar dengan Sangaji tanpa diganggu oleh orang lain. Dahulu dia
sering bepergian dengan Sangaji, tetapi bersama-sama ayahnya atau rombongan
pemburu. Sangat jauh bedanya dengan pagi itu. Ia merasa dunia seolah-olah
disediakan untuk dirinya seorang. Tak mengherankan pandang matanya
berseri-seri. Dan hal itu membuat kecantikannya semakin bertambah saja.
"Lutung kita dahulu sudah pandai menang-kap perintahku, kau masih ingat tidak?"
ia mulai berbicara. Tentang lutung hadiah Ki Tunjungbiru, sudah dilihatnya
kembali sewaktu Sonny membawanya ke benteng batu. Karena itu ia lantas
mengangguk. "Apakah hendak kau bawa berpesiar?" ia berkata.
"Tidak. Pagi ini tak kubiarkan diriku diganggu siapa saja," sahut
Sonny de Hoop. Setelah berkata demikian, ia kemudian membicarakan perkara
lutung itu bagaimana cara ia mendidiknya dan merawatnya. Sangaji mendengarkan
dengan berdiam diri. Hatinya berperihatin, teringat padanya yang mem-berinya
lutung itu. Dialah Ki Tunjungbiru yang tertawan oleh Mayor de Hoop dan sekarang
entah di mana disekapnya. Sekonyong-konyong Sonny de Hoop berkata mengalihkan
pembicaraan, "Sangaji! Mengapa engkau dahulu meninggalkan aku dengan
menjebol tenda?" Diingatkan perkara itu, hati Sangaji terkejut. Dasar ia
tak pandai berbicara, maka ia menyahut sebenarnya, "Aku takut kepada
ayahmu." Sonny de Hoop tertawa. Katanya, "Meskipun andaikata Ayah
memergoki dirimu, dia takkan menyusahkan dirimu. Kau percaya tidak?"
"Mengapa begitu?" "Sewaktu engkau membobol keluar, ma-sakan
tenda tidak bergerak? Meskipun halus seperti angin lalu, namun sudah cukup
mem-bangunkan rasa curiga Ayah. Ia memandang padaku. Syukur ia tidak berniat
menyelidiki aku sampai melit," ujar Sonny de Hoop. Hati Sangaji memukul
sampai wajahnya berubah. Diam-diam ia menyesali kesem-beronoannya. "Apakah
ayahmu mengetahui, sewaktu aku berada dalam tendamu?" Berbicara tentang
pengalaman itu, Sonny de Hoop yang berhati polos menjadi gemas. Dengan mata
membelalak ia mendamprat. "Bagus ya! Kau pergi saja tanpa pamit."
Dasar Sangaji tak pandai berbicara, ia lantas merasa diri bersalah. Maka dengan
sungguh-sungguh ia menyahut, "Itulah suatu kejadian yang memalukan sampai
tak berani aku minta maaf." "Suatu kejadian yang memalukan?"
Sonny de Hoop mendongkol. "Aku justru..." Ia tak meneruskan. Wajahnya
berubah menjadi merah muda. Betapa polos hatinya, ia seorang gadis. Lalu
cepat-cepat ia mengalihkan, "Ayah mendamprat aku habis-habisan. Meskipun
sampai kini ia tak pernah lagi menying-gung-nyinggung soal itu. Tapi kukira dia
sudah dapat menebak dengan jitu." Sangaji menjadi perasa. Ia
mengamat-amati wajah Sonny de Hoop hendak mencari kesan. Gadis Indo itu cantik
tiada cela. Dalam pakai-annya yang berwarna merah, ia nampak bersemarak.
Ayahnya menaruh curiga kepada Sangaji. Tetapi mengingat perhubungannya dengan
putrinya, ia tidak mau bertindak. Sebab Sonny adalah anak satu-satunya.
Tiba-tiba gadis itu berkata di luar dugaan. "Sangaji sebenarnya kita ini
sudah bertu-nangan belum?" Sangaji tergetar hatinya. Ia bukan seorang
pemuda tolol sebenarnya. Nalurinya sebagai seorang laki-laki tahu dan sadar ke
mana tujuan ucapan Sonny de Hoop. Teringat ba-gaimana cara Sonny de Hoop
menanggapinya di tenda dahulu, wajahnya terasa menjadi panas. Buru-buru ia
menyahut, "Waktu itu... waktu itu aku lagi disibukkan urusan..."
"Sebenarnya apakah kepentinganmu de-ngan tawanan itu sampai-sampai engkau
begitu bersungguh-sungguh?" potong Sonny de Hoop. Sangaji merasa diri
terdesak ia harus berkata dengan sebenarnya. Tetapi waktu itu mereka berada di
tengah kota. Maka ia berkata, "Sonny! Di sini kita tidak dapat berbicara
dengan leluasa. Bagaimana kalau kita ke pantai?" "Bagus! Mengapa
tidak semenjak dahulu?" sahut Sonny de Hoop bergembira. Itulah untuk pertama
kalinya Sangaji yang memegang peranan. Biasanya kegiatannya datangnya dari dia.
Hatinya lantas menjadi bahagia, ia mendahuluinya dengan memacu kudanya. Karena
itu pada tengah hari mereka telah tiba di tepi pantai. "Hayo sekarang
berceritalah!" seru Sonny de Hoop tegas, la amat berbahagia, sehingga
wajahnya menjadi segar bugar. Dengan sengaja ia merebahkan diri di atas
rerumputan, yang terlindung oleh dua batang pohon mangga yang bermahkota
rimbun. Kemudian rebah terlentang menatap atap udara yang terlalu cerah. Waktu
itu gemuruh ombak tiada begitu mengganggu pendengaran. Meskipun kemudian ia
berkata manja, "Kau dekat-dekatlah duduk di sini, agar aku dapat
mendengarkah tiap patah katamu." Sangaji tidak menolak.. Dengan hati tawar
ia duduk di samping dada Sonny de Hoop. Kemudian mengisahkan riwayat
pertemuan-nya dengan anak buah Ki Tunjungbiru dan sebab-musababnya ia ikut
serta menggera-yangi perkemahan kompeni. "Engkau begitu memperhatikan
orang itu. Apa sebab?" tungkas Sonny de Hoop. "Sebab, baik aku maupun
engkau sendiri, pernah berhutang budi kepadanya," sahut Sangaji.
"Aku?" Sonny de Hoop terkejut sampai ia menggeliat. "Kau tak
mengenalnya?" . "Aku hanya mendengar ada beberapa tawanan dalam
detasemen. Tetapi siapa mere-ka, masakan aku pernah melihatnya." Ya benar,
pikir Sangaji. Sonny datang ke Jawa Tengah semata-mata ikut ayahnya. Masakan
dia mencampuri pekerjaan ayahnya. Memperoleh pikiran demikian ia kemudian
berkata, "Sonny! Lutung kita sudah sebesar bocah bukan?" Sonny de
Hoop tertawa geli. Ia menggoyang lengan Sangaji sambil menungkas. "Engkau
berbicara tak keruan juntrungnya. Apa sih hubungannya lutung kita dan dia?
Mungkin akibat perjalananmu yang panjang, pi-kiranmu lelah." Dan setelah
berkata demikian ia menyandarkan kepalanya pada dada Sa-ngaji. Pemuda itu
terkejut mau ia menolak men-dadak hidungnya mencium wewangian rambut Sonny de
Hoop. Hatinya tergetar. Di saat itu teringatlah dia kepada Titisari. Dahulu
Titisari sering pula merebahkan diri di atas dadanya. Dan hatinya merasa nyaman
luar biasa. "Sonny, dengarkan dahulu," ia mencoba mengalihkan kesan.
"Aku justru hendak membicarakan perkara binatang itu. Sebab dialah yang
memberi lutung itu." "Dia siapa?" Sonny de Hoop menggeliat.
"Itulah tawanan ayahmu." Mendengar ucapan Sangaji, Sonny de Hoop kini
benar-benar terkejut. Ia nyaris tak mempercayai pendengarannya sendiri. Mau ia
membuka mulut, mendadak Sangaji berkata lagi. "Tatkala engkau kena culik
Pringgasakti, siapakah yang merebut nyawamu dengan mati-matian. Meskipun
peranan kedua guruku tidak boleh diabaikan, tetapi dialah yang mengatur
semuanya. Waktu itu malam hari dan engkau dalam keadaan terkejut. Maka tidaklah
mengherankan, bahwa engkau tak mengenalnya." "Tetapi dahulu engkau
pernah mengenalnya dalam hutan Tanggerang." "Ah," Sonny de Hoop
berseru perlahan. "Kuingat sekarang. Bukankah dia yang berada di antara
kedua gurumu tatkala aku mencari padamu untuk menyampaikan berita ancaman
almarhum Mayor de Groote?" "Ya benar," Sangaji bersemangat.
"Karena itu, masakan kita akan membiarkan dirinya dalam keadaan
sengsara?" Sonny de Hoop meruntuhkan pandang ke bawah. Sejenak kemudian ia
menatap wajah Sangaji dan hatinya tertarik melihat kekasih-nya begitu
bersemangat. Selama enam tujuh tahun bergaul, belum pernah ia melihat Sangaji
dalam keadaan demikian. Menurut pendapatnya pemuda itu tak ubah sebuah pelita
tanpa nyala. Dan selama itu ingin ia menyalakan. Hanya saja ia belum
memper-oleh kesempatan. Keruan saja hatinya bersyukur. Suatu harapan yang hanya
dike-tahui gadis itu sendiri menyerah dalam dadanya. Lantas saja ia berkata,
"Dahulu hari, akupun menceritakan pengalamanku yang mengerikan itu kepada
Ayah. Ayah sangat bersyukur dan ingin membalas jasa. Sayang aku tak bisa
menerangkan siapa dia, kecuali kedua gurumu." la berhenti sebentar.
Matanya tak beralih dari wajah kekasihnya yang mengharapkan pengertiannya.
"Kau berkata pula, pernah berhutang budi kepadanya? Dalam hal apa?"
"Itulah Dewadaru." "Dewadaru? Apakah itu?" Sangaji tak
pernah bisa membohong. Dan dengan singkat ia menceritakan kembali beta-pa ia
dahulu menemukan kesukaran sampai akan berputus asa sewaktu menyelami
ajaran-ajaran kedua gurunya. Kemudian ia dibawa Ki Tunjungbiru ke Pulau Edam
untuk menghisap getah pohon Dewadaru. Tentang daya sakti getah Dewadaru, tak
banyak ia menerangkan. Ia hanya berkata, semenjak itu merasa menjadi manusia
baru. Itulah dise-babkan pula, ia memperoleh warisan ilmu tata semedi yang
tinggi. Selama itu Sonny de Hoop mengamat-amati wajah Sangaji. Pemuda itu bukan
main sema-ngatnya sampai terasa berkobar-kobar. Dan lambat-laun terasalah dalam
hati, bahwa ia dibutuhkan. Memperoleh kesan demikian, ia menjadi bersyukur.
Terus saja ia berkata, "Sangaji! Apakah hatimu senang apabila Ayah
membebaskannya?" "Tentu! Dia lebih berharga daripada jiwaku sendiri,"
sahut Sangaji setengah bersorak. Sonny de Hoop tahu, itulah jawaban
berlebih-lebihan. Tetapi dia sudah memu-tuskan hendak membuat hati kekasihnya
senang dan merasa puas. Barangkali itulah gerbang pembuka jalan untuk mengetuk
pintu hatinya. Maka ia berkata, "Biarlah kucobanya untuk membicarakannya
dengan Ayah. Aku akan bekerja demi hatimu. Jika engkau menjadi senang akan
kebebasannya, hatiku puaslah sudah. Tetapi seandainya aku mengalami kegagalan,
apakah yang hendak kaulakukan?" "Gagal? Mengapa gagal?" Sangaji
kaget. Se-telah berbimbang-bimbang sejenak ia berkata, seperti meyakinkan
dirinya sendiri. "Tidak Sonny! Kau takkan mengalami kega-galan."
Sonny de Hoop tersenyum. Pada saat itu ia mengharapkan sebuah ciuman. Tetapi
Sangaji bukanlah orangnya untuk dapat diharapkan demikian. Menurut kata
hatinya, ia menjadi kecewa. Namun wanita mempunyai kesabaran hakiki. Maka ia
berkata, "Siapakah namanya?" "Ki Tunjungbiru," sahut
Sangaji singkat. Sonny de Hoop tak berkata lagi. Teringat Sangaji tadi tak menolak
ia menyandarkan kepalanya pada dadanya. Kali ini pemuda itu tidak mengadakan
reaksi pula. Maka ia sudah harus merasa puas. Waktu itu matahari sudah condong
ke barat. Hawa mulai terasa sejuk. Angin sudah datang waktunya untuk
berceritera. Ia membawa arus laut sehingga menjadi bergelombang. Sonny de Hoop
merenungi garis cakrawala dengan pikiran menumbuk diri. Semenjak pagi hari
perutnya belum kemasukan sesuatu, tetapi ia tak merasa lapar. "Sangaji!
Engkau tak lapar?" tanyanya lem-but. Sangaji seorang pemuda berperawakan
kokoh. Seluruh tubuhnya penuh dengan tenaga sakti. Kalau tidak makan untuk dua
tiga hari, tenaganya tak bergeming. Karena itu menyahut dengan sungguh-sungguh.
"Tidak." Mendengar jawaban itu hati Sonny de Hoop merasa berbahagia.
Ia mengira keadaan hati pemuda itu seperti keadaan hatinya sendiri yang penuh
gumpalan-gumpalan perasaan yang tak terungkapkan. Maka ia berkata be-rani,
"Sangaji! Kita sudah bertunangan, apa sebab engkau tak mendekapku? Aku
adalah milikmu." Hati Sangaji terkesiap, la teringat pembi-caraan tadi.
Dan ia tak boleh mengecewakan. Lagi pula Sonny de Hoop adalah tunangannya yang
syah, betapapun ia mempunyai, alasan-alasan tertentu yang membuat hatinya beku.
Sebagai seorang kesatria sejati tak boleh ia hanya mendengarkan hatinya
sendiri. Memikir demikian ia hendak bergerak memeluk. Sekonyong-konyong ia
mendengar suara gedu-brakan yang kemudian disusul dengan bentakan-bentakan.
"Sonny! Kau mendengar tidak?" kata Sangaji. Panca indera Sonny de
Hoop tentu saja tidaklah setajam Sangaji. Namun setelah menajamkan pendengaran,
ia mendengar suara kesibukan juga. Ia menegakkan badan dan pandangannya
mengarah ke tenggara. Kira-kira tiga ratus meter dari tempatnya ber-teduh
adalah bekas-bekas kampung Cina yang terbakar pada seabad yang lampau. Meskipun
bangunannya tiada lagi, namun sebuah kelenteng masih nampak tegak di antara
reruntuhan tembok. "Mari!" ajak Sangaji. Sonny de Hoop tahu,
kekasihnya ke-ranjingan ilmu berkelahi. Maka ia membiarkan diri kena tarik.
Mula-mula ia dibawa lari. Mendadak merasa dirinya terangkat. Dan tanah di
bawahnya kelihatan lari berbalik. Ia menoleh dan melihat pohon-pohon bergerak
pula. "Sangaji! Ini ilmu apa? Apakah ini kau per-oleh dari Ki Tunjungbiru
pula?" Dahulu ia melihat Sangaji berada di kubang batu sewaktu ikut ayahnya
memasuki gelang-gang pertempuran. Hanya saja ia tidak menyaksikan betapa
Sangaji bertempur menghalau musuh-musuhnya. "Sonny. Jangan bersuara! Kita
bukankah lagi mengintip orang bertempur?" bisik Sangaji. Sonny de Hoop
cepat dibuat mengerti dan ia membiarkan dirinya dibawa terbang kekasihnya.
Waktu berada di balik reruntuhan, ia melihat tiga orang lagi bertempur seru di
atas atap kelenteng. Sangaji mengamat-amati mereka. Yang lagi berhadap-hadapan
mengenakan pakaian se-ragam putih, yang berperawakan tinggi besar berlencana
gambar pedang silang dengan bin-tang. Dan yang berperawakan ramping berlencana
gambar pedang silang dengan garuda. Dan yang berdiri di sampingnya seorang
perempuan berparas lembut. "Pasong Grigis!" kata laki-laki yang
berpe-rawakan ramping. "Kau sungguh keterlaluan. Meskipun kita dari
golongan lain, tetapi kita bernaung di bawah satu bendera. Mengapa engkau
berbuat ganas terhadapku?" Orang yang disebut Pasong Grigis tertawa
terbahak-bahak. Sampai tubuhnya bergon-cang-goncang. Sambil mengusap jenggotnya
yang lebat ia menyahut, "Suhanda! Besok kita harus mendaki Gunung Cibugis,
tetapi masih saja engkau kena rengek perempuan siluman itu. Apakah engkau
pantas dihidupi?" "Rostika meskipun dia dahulu murid Edoh Permanasari
kini sudah menjadi istriku. Mengapa engkau berbicara tak keruan?" ger-tak
Suhanda. Pasong Grigis tertawa terbahak-bahak kem-bali. Katanya, "Edoh
Permanasari mengizin-kan anak muridnya kawin dengan seorang anggota himpunan
Sangkuriang. Masakan dia begitu baik hati?" ia mengesankan. Kemudian
meneruskan dengan suara penuh kemenang-an, "Sekarang kau main asmara di
dalam kelenteng. Apakah di rumahmu sendiri kurang nyaman?" "Pasong
Grigis dengarkan!" bentak Suhan-da. "Engkau salah seorang pemimpin
laskar Dwijendra sampai mengintip pembicaraan orang dari atas kelenteng,
sudahlah sangat tercela. Apa lagi ternyata engkau menembak bagian yang salah
pula. Namun mulutmu sudah mengoceh tak keruan." "Biarlah aku yang
menerangkan." Tiba-tiba Rostika menolong perkataan suaminya. Setelah itu,
ia membuat tanda sembah kepada Pasong Grigis. Kemudian berkata, "Semuanya
akulah yang salah, sehingga menerbitkan salah paham ini. Aku membawa Kak
Suhanda ke mari untuk mengelabui gerak guruku Edoh Permanasari. Sebab aku
hendak menyampaikan pesan." "Apakah itu?" Rostika
berbimbang-bimbang sebentar. Lalu menyahut, "Biarlah kukatakan dengan
sebe-narnya. Guruku berketetapan hendak merebut kembali pusaka Jawa Barat yang
kini berada di tangan anak seorang kompeni. Aku menganjurkan agar suamiku
melindungi anak itu dari keganasan guruku." Sangaji terkesiap mendengar
kata-kata itu, meskipun ia sudah mendengar selintasan dari mulut Edoh
Permanasari sendiri sewaktu mengadu mulut dengan Inu Kertapati dan Sidi Mantra
ia segera menajamkan pendengaran. "Apakah sebab engkau menjadi baik
hati?" dengus Pasong Grigis. Rostika tidak segera menjawab. Ia masgul
melihat kesangsian Pasong Grigis. Katanya mencoba meyakinkan, "Ada pepatah
yang berbunyi begini: Kalau suami menjadi raja, engkau menjadi permaisuri. Bila
pilihanmu ternyata setan, bersedialah memasuki nera-ka!—Aku memang murid Edoh
Permanasari. Tuhan justru memperjodohkan aku dengan seorang anggota himpunan
Sangkuriang, musuh utama kakek guruku turun-tumurun. Tapi aku tidak menyesal.
Hatiku dan diriku semenjak itu kuhadapkan kepadanya. Aku ingin membuat suamiku
berbahagia. Sekarang terjadi sesuatu yang menyangkut kepentingan suamiku.
Masakan aku tinggal diam saja?" "Bagus! Kau bisa membuat jasa kepada
suamimu, masakan tak dapat pula membuat jasa terhadap gurumu. Kau memang
perem-puan siluman berkepala dua!" bentak Pasong Grigis. Dan setelah
membentak demikian, ia melesat menghantam Rostika. Dengan meme-kik kaget,
Rostika mengelak ke samping! Te-tapi karena serangannya itu sangat cepat dan
datangnya dengan tiba-tiba, pundak kirinya terpukul juga. Meskipun tenaga
pukulan itu jadi berkurang namun masih dapat merobek baju. Pada saat itu,
Suhanda menghantam de-ngan sepenuh tenaga. Pasong Grigis segera menyambut
dengan tak kurang dahsyatnya. Dengan satu suara keras, tubuh kedua orang itu terhuyung
ke belakang. Hampir berbareng dengan itu, debu dan pasir menyiprat beter-bangan
dan dengan suatu suara gemuruh tembok kelenteng bagian depan roboh berguguran.
Dalam gerakan itu, masing-masing meng-gunakan tenaga sepenuh-penuhnya. Keras
melawan keras. Beradunya kedua tenaga tersebut mempunyai akibatnya sendiri.
Setelah terhuyung mundur, mereka jatuh ke tanah. Atap kelenteng yang sudah
berumur lebih dari seabad lantas saja rontok berantakan. Rostika yang pundaknya
kena pukulan, meloncat turun pula. Melihat suaminya berhadap-hadapan lagi
dengan Pasong Grigis, ia tak menghiraukan keselamatan diri. Terus saja ia
melesat mendampingi suaminya. Matanya yang tajam bersinar lembut nampak menyala
berkilatan. Ia melihat Pasong Grigis dan suaminya, berdiri tegak seperti
patung, la tahu, masing-masing menderita luka dalam. Mereka memejamkan mata,
dan sedang mengatur pernapasan. Dan tidak lama kemu-dian, mereka bersama-sama
pula memuntah-kan darah segar. Pada detik itu, terdengarlah salah seorang anak
memanggil-manggil ibunya. "Mak... Mak!" Rostika menjadi gelisah,
namun tak berani berkisar dari tempatnya. Sejenak kemudian, seorang anak
perempuan kurang lebih berumur tiga tahun tersembul "dari reruntuhan atap.
Anak itu berusaha merayap ke luar. "Ah, anak itu!" seru Sonny de
Hoop. Seruan itu mengejutkan semuanya. Baik yang sedang mengadu nyawa maupun
Sangaji sendiri. Akan tetapi Sonny de Hoop tidak memeduli-kan kesan mereka. Ia
keluar dari tempat per-sembunyiannya dan lari menghampiri si bo-cah.
"Jangan takut! Jangan takut! Mari kuto-long," bujuknya. Pasong Grigis
menjenakkan matanya meli-hat seorang gadis Indo Belanda memasuki gelanggang
pertempuran, ia tercengang seje-nak. Kemudian menjadi curiga. Rostika adalah
anak murid Edoh Permanasari. Dan Edoh Permanasari murid Ratu Fatimah. Semua
orang tahu, Ratu Fatimah bekerja sama dengan Belanda. Pada saat itu ia merasa
dirinya kejeblos kolam perangkap yang sudah diatur. Memikir demikian ia tertawa
berkakakan sambil berseru, "Baik! Baik!" Setelah berseru demikian ia
melompat mundur. Di luar dugaan ia mengibaskan tangan menyerang Sonny de Hoop.
Rostika kaget. Ia jadi sibuk. Sebagai cucu murid Ratu Fatimah ia mempunyai
sejarah perhubungan yang baik dengan pemerintah Belanda. Hanya saja ia tak
berani melindungi warga Belanda di depan Pasong Grigis, meng-ingat kedudukan
dan perhubungan suaminya. Selagi ia berbimbang-bimbang Pasong Grigis memekik.
Tubuh Pasong Grigis jungkir balik tiga kali berturut-turut. Tatkala berdiri
tegak suatu hawa hangat menusuk dalam jalan darahnya. Pasong Grigis tercengang.
Dadanya terasa nyaman luar biasa. Tahulah dia, bahwa seseorang menolong
menyembuhkan luka dalamnya sambil menangkis serangannya. Itulah suatu ilmu
kepandaian yang susah diukur betapa tingginya. Segera ia membungkuk hormat
seraya berkata, "Pendekar besar yang bersembunyi, perkenankan aku
menghaturkan terima kasih." Setelah berkata demikian, ia menjejak tanah
mundur berjumpalitan. Dalam sekejap mata ia hilang dari penglihatan. Sungguh!
Dalam sekejap saja Rostika menghadapi suatu kejadian yang mengherankan. Ia
merasa bersyukur. Pasong Grigis telah pergi. Hal itu berarti bahaya tiada lagi.
Hanya saja ia tak tahu, apa yang menyebabkan Pasong Grigis pergi dengan cara
demikian. Tatkala menje-lajahkan matanya ia melihat seorang pemuda lagi menolong
suaminya menyalurkan jalan darahnya. Ia menjadi bertambah heran. Akhirnya ia
menghampiri Sonny de Hoop sambil berkata lembut, "Nona kau siapa?"
Tanpa menoleh Sonny de Hoop menyahut, "Kau tolonglah suamimu! Anak ini
biar aku yang menolong. Apakah dia anakmu?" "Ya" "Siapa
namanya?" Mendengar suara Sonny de Hoop yang ra-mah dan berkesan tulus
hati, Rostika menya-hut tanpa ragu-ragu, "Astika" "Akh nama
manis," tungkas Sonny de Hoop. Lalu membujuk si anak. "Astika! Mari
kutolong keluar, ya? Satu-dua-tiga, hup!" Astika ternyata tak takut,
melihat seorang Indo Belanda. Apalagi ibunya berada di dekat-nya. Ia menurut
saja tatkala dirinya kena angkat Sonny de Hoop. Seluruh tubuhnya kena rontokan
atap dan dinding. Dan dengan iba, Sonny de Hoop membersihkannya dengan membujuk-bujuk.
Tiba-tiba ia berkata kepada Rostika, "Hai! Kena apa suamimu tak kau
tolong? Dia kan muntah darah?" "Dia sudah ditolong. Eh... siapa dia
apakah dia teman Nona?" sahut Rostika. Sonny de Hoop menoleh, la melihat
Sangaji sedang menolong Suhanda. Dan oleh per-tanyaan Rostika wajahnya menjadi
merah muda. Menjawab agak sulit, "Nanti tanyalah kepadanya sendiri."
Sangaji waktu itu sedang menyalurkan ilmu saktinya kepada Suhanda. Walaupun tak
dapat mengobatinya, tetapi tenaga saktinya penuh dengan getah sakti Dewadaru
dan madu Tunjungbiru yang dapat memunahkan racun dan menyembuhkan luka dalam
dengan cepat. Tadi tiada niatnya hendak memperlihatkan diri. Hatinya sedang
disibukkan oleh mereka yang sedang bertempur mengadu nyawa. Mereka sesama
golongan, apa sebab bertem-pur begitu hebat hanya soal Rostika. Terasa sekali
bahwa pertempuran itu mempunyai latar belakang yang berdasar kuat. Tetapi latar
belakang apakah itu, Sangaji tak kuasa menebak. Selagi ia sibuk menduga-duga,
tiba-tiba Sonny de Hoop memekik dan terus saja keluar dari persembunyiannya.
Hampir saja ia me-nyesali kesemberonoannya. Tetapi apabila ia mengetahui alasan
Sonny de Hoop yang tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, hati-nya mendadak
terasa menjadi hangat. Pada detik itu, Pasong Grigis menyerang Sonny de Hoop
karena salah duga. Ia terkesiap. Terus saja ia mengibaskan lengan menangkis. Untung
dia tadi mendengar kalimat percakap-an yang pertama kali tentang Gunung
Cibugis. Meskipun masih samar-samar, dapatlah ia menduga bahwa mereka segolongan
dengan pendekar Inu Kertapati dan Sidi Mantra. Maka sambil menangkis ia
menyalurkan hawa saktinya yang menolong pula menyembuhkan luka dalam. Syukur,
Pasong Grigis dapat dibuatnya mengerti. Setelah pergi, segera ia menghampiri
Suhanda yang masih saja tegak bagai tugu. Suhanda kelihatan pucat napasnya
berjalan sangat perlahan. Cepat ia membuka kancing kemejanya dan melihat bekas
lima jari melesak pada dadanya. Benar-benar menghe-rankan, apa sebab Pasong
Grigis menghenda-ki nyawanya, kata Sangaji di dalam hatinya. Tak berani
berkhayal lagi, ia segera menyalurkan tenaga saktinya. Hatinya penuh dengan
tandatanya. Kurang lebih setengah jam Suhanda telah memperoleh kesehatannya
kembali delapan bagian. Dengan wajah berseri-seri ia menyi-ratkan pandang kepada
Sangaji, Sonny de Hoop, Rostika dan anaknya. Kemudian mem-bungkuk hormat kepada
Sangaji dan berkata: "Tuan penolong, bolehkah aku mengenal tuan? Ilmu
sakti tuan begini hebat luar biasa." Sonny de Hoop yang bangga bukan
kepa-lang terhadap kemampuan Sangaji yang dapat menyembuhkan Suhanda begitu
cepat, terus saja menyahut dengan polos, "Dia bernama Sangaji"
Mendengar nama itu, baik Suhanda maupun Rostika kaget sampai berjingkrak. Wajah
mereka berubah hebat. Mereka saling memandang seolah-olah lagi minta pendapat
masing-masing. Kemudian Suhanda menegas: "Apakah Tuan tinggal di..."
"Ya," Sangaji menjawab singkat. "Akh!" Suhanda setengah
memekik. Tiba-tiba berkata kepada Rostika. "Tika! Temani Nona ini!"
Setelah membungkuk hormat kepada Sonny de Hoop, ia membawa Sangaji menyen-diri
ke pantai. Kemudian berkata mulai, "Apakah Tuan yang disebut anak
Kompeni?" "Panggillah aku saudara, seperti cara memanggil Paman Inu
Kertapati dan Sidi Mantra." "Akh, kalau begitu benarlah Tuan. Eh...
Saudara yang disebut anak Kompeni," tungkas Suhanda. "Sebenarnya aku
bukan anak seorang Kompeni." "Jika bukan apa sebab engkau di sebut
begitu?" "Ibuku tinggal di lingkungan perumahan Kompeni. Mungkin
itulah yang menyebabkan." "Ha... sekarang menjadi agak terang,"
ujar Suhanda berlega hati. Sebab barang hantaran itu menjadi heboh di antara
mereka, lebih-lebih Edoh Permanasari yang ingin merebut kembali pusaka Jawa
Barat pedang Sokayana. Melihat Suhanda yang masih tampak beragu terhadap
dirinya, Sangaji mengerutkan dahi, sebentar ia berpikir, kemudian berkata
meyakinkan. "Tetapi tinggal dalam lingkungan kompeni belum tentu menjadi
pengikutnya bukan?" Mendapat keterangan itu Suhanda meng-angguk mantap.
Kini Sangaji benar-benar mengerti bahwa barang hantaran itu menjadi rebutan beberapa
pihak, karenanya ia segera meninggalkan tempat itu untuk mempersiapkan diri
menjaga kemungkinannya yang terjadi, ia sadar bahwa perjuangannya masih
panjang. Tentang Edoh Permanasari hendak ber-usaha merebut pedang Sokayana,
sedikit banyak Sangaji telah mengetahui. Meskipun alasan sesungguhnya masih
samar-samar bagiannya. Sekarang ia mendengar kata-kata, Menjadikan heboh di
antara mereka. Siapakah yang dimaksud dengan mereka ini? Tatkala ia hendak
minta penjelasan, Suhanda meneruskan berkata sambil merenggut lencananya.
"Saudara Sangaji. Lihat! Inilah lencana kami. Lencana anggota Himpunan
Sangkuriang. Lencana pedang silang dengan tanda garuda. Inilah tanda pengenal
golongan kami." "Yang kau lawan bertempur tadi, menge-nakan lencana
begitu juga." "Ah, ya," sahut Suhanda dengan rasa kece-wa.
"Diapun anggota Himpunan Sangkuriang. Hanya saja dari golongan lain."
Ia berhenti merenung-renung. Sejurus kemudian mene-ruskan, "semenjak
pemimpin kami hilang tiada beritanya, Himpunan Sangkuriang ter-pecah belah
menjadi beberapa golongan. Kami saling bersaingan dan akhirnya saling
bermusuhan. Apa yang dikerjakan dari go-longan kami, belum tentu memperoleh
perse-tujuan golongan lainnya. Begitu juga sebalik-nya. Dengan demikian,
seringkali kami berla-wanan tak keruan juntrungnya." "Apakah kalian
bertempur mengenai pe-dang pusaka Sokayana?" Sangaji mencoba. "Ya dan
tidak." Otak Sangaji tidaklah secerdas Titisari. Selamanya tak pernah ia
bisa memecahkan suatu teka-teki atau sesuatu masalah yang tidak cukup gamblang.
Karena itu, ia mene-gas, "Ya dan tidak, bagaimana?" Suhanda tertawa
perlahan melalui dadanya. Menjawab, "Tadi kukatakan, bahwa barang hantaran
itu menjadikan heboh di antara mereka. Itulah mereka dari golongan kami yang
lain. Sudah semenjak lama, persatuan kami dirusak oleh berita-berita fitnah dan
suatu kecurigaan terkutuk. Mereka semua tahu, bahwa pusaka-pusaka peninggalan
pemimpin kami jatuh kepada golongan kami. Itulah berarti pula, bahwa golongan
kamilah yang mendapat kepercayaan pemimpin kami semenjak dahu-lu hari. Sesuatu
hal yang menimbulkan rasa cemburu mereka. Karena pusaka-pusaka sakti Jawa Barat
itu seumpama jiwa himpunan kami, maka tidaklah berlebih-lebihan apabila mereka
senantiasa mengamat-amati gerak-gerik kami. Celakanya... ia berhenti tak
meneruskan. Wajahnya berubah hebat seolah-olah dalam hatinya terjadi suatu
pergulatan untuk menentukan suatu keputusan." Melihat kesukaran Suhanda,
hati Sangaji jadi tak enak sendiri. Terus saja ia berkata, "Sudahlah,
jangan memaksa diri. Tadi aku mendengar selintasan tentang tuduhan-tuduhan
lawanmu. Dia tak senang kepadamu karena memperis-terikan salah seorang bekas
anggota Kerajaan Banten. Agaknya dia tak mau sudah, sebelum memperoleh
keputusan siapa diantaramu berdua yang menang dan yang kalah." Mendengar
ucapan Sangaji, Suhanda menarik napas panjang. Katanya perlahan, "Dia
bernama Pasong Grigis. Sebenarnya dia bukan seorang manusia jahat. Semuanya ini
terjadi, karena dalam tubuh himpunan kami sudah terjadi suatu luka yang dalam.
Baiklah kuceritakan saja semuanya yang sudah terjadi. Siapa tahu akan menjadi
bahan baik bagimu di kemudian hari. Bukankah engkau akan datang pula ke Gunung
Cibugis?" "Ya, aku sudah berjanji kepada Paman Inu Kertapati dan
Paman Sidi Mantra." "Bagus! Beginilah, aku baru merasa puas.
Sekarang, meskipun seribu geledek me-nyambar diriku, takkan aku mundur biar
se-langkahpun". Suhanda gembira. Kemudian dengan bersemangat ia berkata,
"Saudara Sangaji, tadi sudah kuterangkan, bahwa di antara kami terjadi
suatu perpecahan hebat semenjak pemimpin kami hilang tiada beri-tanya.
Sementara itu, permusuhan antara himpunan kami dan murid-murid Ratu Fatimah
kian hari kian meningkat. Ratu Fatimah benar-benar seorang lawan yang licin
luar biasa. Dari depan ia menggempur bersama dengan kekuatan kompeni. Dari
be-lakang ia menebarkan hamba sahaya dan murid-muridnya untuk mengacau dan
me-lumpuhkan sendi kekuatan kami. Itulah sebabnya, betapa benci Pasong Grigis
ter-hadapku begitu ia mengenal isteriku sebagai salah seorang bekas murid Ratu
Fatimah. Meskipun Rostika, isteriku sudah menjadi orang lain, betapa dapat aku
membuat Pasong Grigis dan anggota-anggota golongan lain mau mengerti. Mereka
semua mencurigai aku, termasuk teman-temanku. Dan dengan sendirinya memusuhi
golongan kami, anak-anak pasukan panji-panji Garuda. Celaka-nya... justru
pusaka-pusaka Jawa Barat jatuh kepadamu. Engkau yang dikabarkan sebagai anak
kompeni. Kompeni yang bekerja sama dengan golongan Ratu Fatimah musuh kami
turun-temurun. Tapi sekarang... setelah men-dengar ketegasanmu, hatiku menjadi
lapang. Apalagi, engkau hendak pergi pula ke Gunung Cibugis. Justru inilah
tujuan kami apa sebab pusaka Jawa Barat kami persembahkan kepadamu. Kami tidak
hanya mengharapkan suatu penyelesaian perpecahan kami ini dengan segera, tetapi
mengharapkan pula kebangunan Himpunan Sangkuriang kami kembali seperti
sediakala." "Saudara Suhanda!" potong Sangaji. "Ha-rapanmu
terlalu berlebih-lebihan." "Tidak! Masakan Ki Tunjungbiru bisa
salah?" Suhanda menungkas cepat. "Ki Tunjungbiru bukanlah manusia
yang tak becus mengenal manusia bertulang bagus. Dia seumpama bermata dewa,
yang bisa melihat hari kemudian jauh sebelumnya. Kau percaya, tidak? Tiga belas
tahun yang lalu, dia sudah memberi kabar kepada himpunan kami, bahwasanya dia
sudah menemukan seorang anak bertulang bagus yang dapat diharapkan tenaganya
bagi kebangunan kami kembali. Dan bertambah hari, bertambah yakinlah dia,
sehingga semenjak itu ia senantiasa menilik dan mengikuti anak harapannya. Dan
aku sekarang yakin, bahwa anak itu pastilah Saudara sendiri." Kalau orang
mendengar seribu geledek, tidaklah sekaget Sangaji tatkala mendengar kata-kata
Suhanda. Benarkah keterangan itu? Kalau benar, alangkah hebat! Tiba-tiba saja,
dia seperti dihadapkan pada suatu cermin besar mengingat-ingat kembali semua
sepak terjang Ki Tunjungbiru yang pendiam dan saleh. Tiga belas tahun yang
lalu, ya tiga belas tahun yang lalu, selagi ia menghadapi jalan buntu untuk
menyelami rahasia jurus Wirapati dan Jaga Saradenta, tiba-tiba muncullah Ki
Tunjungbiru. Dan itulah riwayat pertemuannya yang pertama. Kemudian ia dibawa
menyeberang laut. Dibawa menghisap getah sakti pohon Dewadaru. Dipenuhi dengan
kisah tentang sejarah penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya mencemaskan.
Benarkah ayahnya mati karena kena hisap pohon Dewadaru ataukah hanya suatu
cerita khayal dengan tujuan berencana? Lantas memberi petunjuk cara bersemadi
dan kemudian mengikuti perjalanannya ke Jawa Tengah dan selalu bersedia
melindungi. Apakah semuanya itu sudah masuk dalam rencana kerjanya?"
Teringat betapa Ki Tunjungbiru selalu me-nyaksikan dan selalu hadir pada
tiap-tiap perkembangan ilmu saktinya, hati Sangaji jadi tergetar, la lantas
merasa diri menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan sepakter-jang Ki
Tunjungbiru yang sukar diduga dan dijajaki. Benar ilmu saktinya kini jauh lebih
tinggi daripadanya, tetapi sepakterjang Ki Tunjungbiru yang memiliki lapangan
luas dan jauh, alangkah besar luar biasa. Ki Hajar Karangpan yang pernah
bertanding lima hari lima malam, kini berkesan jadi kerdil. Bahkan gurunya
Gagak Seta dan pendekar-pendekar sakti yang pernah dijumpainya bukan pula
pantas dibandingkan dengan ke-luarbiasaan Ki Tunjungbiru. Sekarang sadarlah dia
apa sebab Ki Tunjungbiru dipuja sebagai seorang pahlawan Jawa Barat yang tiada
taranya dalam sejarah. Ia mempunyai cara kerja sendiri dan memiliki jalannya
sendiri pula. Memperoleh kesan demikian, dengan tak terasa terloncatlah
perkataannya. "Aki Tunjungbiru memang seorang pahla-wan tiada tara. Tapi
kalau dia mengharapkan aku dapat membangun kembali himpunan pejuang Jawa Barat
seperti yang dikehendaki adalah mustahil. Benar-benar mustahil! Aku seorang
diri masakan mampu berbuat demi-kian. Seumpama aku malaikat atau dewa sak-tipun
tidaklah mungkin dapat menjangkau setiap jengkal tanah yang tergelar di persada
bumi Jawa Barat. Mustahil! Sungguh mustahil!" "Mengapa
mustahil?" tungkas Suhanda. "Di belakangmu berdiri Ki Tunjungbiru
beserta kawan-kawan seperjuangan yang berjumlah ribuan orang. Mengapa
mustahil?" Selamanya, Sangaji tak pandai berdebat. Namun ia masih mencoba.
"Aki Tunjungbiru jauh lebih besar dari-padaku. Sekiranya pekerjaan itu
dapat dilakukan, pastilah dia sudah bekerja. Mengapa mesti mengharapkan
tenagaku. Aku rasa, ada sesuatu yang kurang tepat." "Tidak! Tidak!
Sama sekali tidak!" bantah Suhanda dengan cepat. Dalam tiap perjuang-an,
nyala api adalah dasar dan sumber tenaga yang mahapenting. Sudah semenjak
pemimpin kami hilang tiada berita, kami kehilangan api perjuangan. Kehilangan
api daya gerak. Kini api itu telah diketemukan kembali oleh Ki Tunjungbiru. Itulah
api hidup yang bersemayam dalam dadamu!" la berhenti mengesankan.
Meneruskan, "seumpama perjuangan jagat luar ini adalah kegiatan kodrat
tubuh maka kami adalah angan-angannya. Dan engkau adalah sumber geraknya.
Seseorang boleh mempunyai angan-angan setinggi bintang dan seluas samudera,
tapi tiada geraknya adalah seumpama orang tidur dengan mimpi indah semata.
Orang boleh berangan-angan hendak menghirup semangkuk air teh, tapi lumpuh
tiada gerak, betapa mungkin semangkuk air teh itu akan tiba di tepi bibirnya?"
Mendengar uraian Suhanda, hati Sangaji yang sederhana jadi mati kutu. Ingin ia
men-coba mengemukakan pendapatnya, namun ia tak pandai menemukan kata-katanya.
Karena itu ia jadi gelisah sendiri. Setelah tergugu be-berapa saat lamanya,
akhirnya ia berkata juga. "Saudara Suhanda! Aku seolah-olah kau persamakan
dengan pemimpin kalian yang sejati. Betapa mungkin?" Suhanda
berbimbang-bimbang sebentar. Wajahnya yang tadi penuh keyakinan, nampak terjadi
suatu perubahan. Tapi hanya sesaat. Setelah itu menyahut, "Mengapa Saudara
Sangaji! Pemimpin kami yang hilang tiada beritanya adalah seorang yang tiada
bandingnya di kolong langit ini. Tapi kalau Ki Tunjungbiru sudah menjatuhkan
pilihannya pada dirimu, pastilah ada alasannya yang kuat. Kami tidak beragu lagi.
Sebab dialah satu-satunya anggota himpunan kami yang kenal dan mengenal
pemimpin kami yang hilang itu." "Bagus!" seru Sangaji dengan
gembira. Semenjak ia mendengar nama pemimpin perjuangan Jawa Barat, hatinya
sudah ter-tarik. Ingin ia memperoleh keterangan, sia-pakah dia sebenarnya.
Namun selalu gagal. Kini ia mendengar Suhanda membicarakan-nya dengan hati
penuh. Sepercik harapannya timbul. Terus saja ia minta keterangan. "Dia
bernama Gusti Amat, bukan? Siapakah dia sebenarnya?" Suhanda terhenyak
sejenak. Ia merenungi wajah Sangaji seakan-akan sedang menye-lidiki lubuk
hatinya. Lalu berkata dengan hati-hati. "Apakah Inu Kertapati dan Sidi
Mantra tidak menjelaskan?" Sangaji menggeleng kepala. "Dalam urutan
kedudukan, mereka berdua berada di atasku. Kalau mereka berdua tidak
menjelaskan, betapa mungkin aku dapat ber-buat begitu." "Mungkin
mereka alpa tiada waktu." "Tidak, bukan begitu. Soalnya, tidak
sem-barang orang mengenal peribadi Gusti Amat. Kukira, seperti aku merekapun
hanya menge-nal nama beliau yang mulia." Sangaji kecewa, namun tak mau ia
mende-sak. Selagi demikian, Suhanda mengangsur-kan sebuah benda terbuat dari
logam. Ka-tanya, "Kosim dari pasukan Obor Abadi tak dapat datang
menghaturkan surat undangan. Besar sekali kemungkinannya, ia terlibat dalam
suatu urusan. Tanda pengenal ini diti-tipkan kepadaku agar aku menghaturkannya
kepadamu. Inilah tanda pengenal himpunan kami yang syah. Dengan tanda pengenal
ini, saudara dapat datang pergi ke Gunung Cibugis dengan leluasa. Sebaliknya,
meski-pun seseorang mempunyai surat undangan khusus tapi tiada tanda pengenal
semacam ini, jangan berharap dapat menghampiri gunung itu. Dia akan gagal atau
mati di te-ngah jalan. Itu disebabkan, musuh kami ter-lalu banyak dan sukar
diduga. Sehingga kami harus selalu berwaspada. Saudara Sangaji akan datang ke
sana. Pastilah engkau akan mengerti sendiri kelak, siapakah musuh-musuh yang
kami maksudkan." Sampai di sini, habislah sudah pembicaraan Suhanda.
Dengan berlega hati, ia membawa Sangaji kembali menghampiri Rostika dan Sonny
de Hoop. Segera ia memperkenalkan Rostika dan anaknya. Dan setelah berbicara
selintasan, cepat-cepat ia minta mengundurkan diri seakan-akan ada sesuatu yang
memburunya. "Orang itu aneh gerak-geriknya," kata Sonny de Hoop.
"Dia berbicara apa kepada-mu?" Sangaji tak pernah dapat berbohong.
Gntung, sewaktu hendak memberi keterangan, Sonny de Hoop sudah beralih
perhatiannya. Memang bagi gadis itu, yang maha penting adalah diri Sangaji dan
masalah hubungannya dengan dirinya sendiri. Peristiwa-peristiwa lain yang tidak
bersangkut-paut dengan kepentingannya, tidaklah masuk ke dalam perhatiannya. Ia
tadi hanya merasa dirugikan dengan dibawanya Sangaji menyendiri di tepi pantai.
Dan ia bersedia untuk menggerembengi. "Sangaji! Engkau sudah
memperlihatkan ilmu saktimu yang tinggi kepadaku. Tapi be-lum pernah sekali
juga memperlihatkan nyala hatimu kepadaku. Mengapa?" katanya kesal.
Sangaji jadi perasa. Dengan lembut ia mem-bimbing Sonny de Hoop berjalan
perlahan-lahan menghampiri kudanya. Waktu itu matahari sudah merayap rendah di
barat. Angin laut membawa hawa sejuk ke darat. Udara cerah dan menyenangkan.
Segar serta menggairahkan. Itulah waktu yang sebaik-baiknya untuk seseorang
yang hendak menumpahkan gelora rasa kasihnya. Namun hati Sangaji tiada berada
di situ.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 37 SONNY DE HOOP di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 37 SONNY DE HOOP"
Post a Comment