BENDE MATARAM JILID 35 IBU! AKU PULANG
SEKALI
MENJEJAK TANAH SANGAJI TERBANG MELINTASI mereka. Lalu menghadang di depannya.
Dan melihat pemuda itu, orang-orang terperanjat sampai berjingkrak. Hampir
berbareng mereka membentak. "Siapa?" "Kalian bilang, Otong
Damarwijaya kena jebak. Apakah dia Ki Tunjungbiru?" "Kau siapa?"
"Aku muridnya." "Ngacau!" mereka membentak dan dengan
serentak mereka menyerang berserabutan. "Nanti dulu!" Sangaji mundur.
"Aku benar-benar ingin memperoleh keterangan." Namun mereka tak mendengarkan
ucapan Sangaji. Serangan bertambah gencar dan berbahaya. Terpaksa Sangaji
menangkis. Sekali membalikkan tangan, tenaga mereka kena dipunahkan.
"Kalian tadi membicarakan perkara Otong Damarwijaya. Aku kenal dia.
Masakan aku tak boleh minta penjelasan?" kembali Sangaji menegaskan.
"Kalau kau mau membunuh, bunuhlah kami cepat-cepat!" bentak seorang
berperawakan tinggi ramping. "Mengapa aku harus membunuh kalian?"
Sangaji heran. Tadi mereka melihat gerakan Sangaji yang asal-asalan. Meskipun
demikian mereka mati kutu dengan berbareng. Kalau saja bermaksud jahat, mereka
bukan merupakan lawan yang berarti. Dan memperoleh pertimbangan demikian, orang
itu lalu maju dan membungkuk hormat. "Otong Damarwijaya adalah kakak
sepergu-ruan kami berempat. Beliau memang terkenal dengan julukan Ki
Tunjungbiru. Kalau kau mengaku murid Ki Tunjungbiru, masakan kami berempat
tidak kenal? Karena adik seperguruan Ki Tunjungbiru hanya empat orang. Hasan,
Kolil, Martak dan aku si Ali Item." Barulah Sangaji mengerti, apa sebab
mere-ka tiba-tiba menyerang.
Segera
ia bersikap memperbaiki kesalahannya. Menyahut dengan suara rendah.
"Sesungguhnya, tak berhak aku mengaku menjadi murid Ki Tunjungbiru. Dia
tak pernah memberi ajaran padaku. Hanya saja, dia per-nah memberi petunjuk-petunjuk
berolah semadi. Dua belas kata jumlahnya. Tenangkan pikiran-lupakan perasaan-kosongkan
tubuh-mu-salurkan hawa-matikan hati-hidupkan semangat. Bukankah
begitu?" Mendengar kata-kata Sangaji, mereka memekik heran. Setelah saling
pandang, sekonyong-konyong mereka datang merubung. "Itulah ilmu semadi
perguruan kami yang tiada bandingnya," seru yang berperawakan pendek
dengan girang. Dialah yang bernama Hasan. Tetapi kalau kau pernah menerima
petunjuknya, apa sebab tak pernah memberi-tahukan kepada kami?" Kalau
dibandingkan dengan ilmu saktinya, sudah barang tentu ilmu petunjuk Ki
Tunjungbiru masih kalah jauh. Tetapi Sangaji seorang pemuda yang mulia hati. Ia
tak sam-pai hati membuat mereka tersinggung kehor-matannya atau mengecewakan
hati mereka. Apalagi dalam hati pemuda itu, senantiasa menaruh hormat kepada Ki
Tunjungbiru. Maka dengan takzim ia berkata, Ki Tunjungbiru seorang pahlawan
yang berjiwa besar dan luhur budi. Dalam kesibukannya betapa dia sempat
mengabarkan hal itu kepada kalian." Setelah berkata demikian, segera ia
mem-perkenalkan namanya. Kemudian minta keterangan tentang Ki Tunjungbiru.
"Sebenarnya kabar itu kurang jelas juga," kata Ali ltem. "Dia
dikabarkan bertemu dengan sahabat lamanya. Namanya Malawir. Kamipun kenal orang
itu. Meskipun dia bukan termasuk golongan kami yang berani mengangkat senjata
melawan Belanda, tetapi ia berpihak kepada kami. Sudah banyak kali ia berjasa
kepada kami. Kecuali melindungi orang-orang gagah yang memasuki kota Cirebon,
diapun membantu menyediakan perbekalan-perbekalan. Tapi hari itu, rupanya dia
lagi naas. Selagi menerima kunjungan Otong Damarwijaya, mendadak rumahnya kena
sergap. Meskipun tidak gampang-gampang kena dikalahkan, akhirnya tertangkap
juga. Kabarnya dia kini dibawa ke daerah barat." Mendengar kabar itu, hati
Sangaji terperan-jat sampai berjingkrak. Sesungguhnya, sudah satu minggu
lamanya Ki Tunjungbiru dengan tujuh orang pengikut Sultan Kanoman yang berontak
melawan Belanda, berdiam di rumah Malawir untuk menghadang pasukan Belanda yang
hendak mengadakan pameran kekuatan senjata di kota Cirebon. Malawir berasal
dari Kuningan. Semenjak kanak-kanak ia kenal apa arti perjuangan rakyat
menuntut keadilan. Karena itu tak segan-segan ia ikut membantu perjuangan
rakyat Jawa Barat melawan Belanda. Terhadap Ki Tunjungbiru ia selalu menaruh
hormat dan mengagumi. Memang nama Ki Tunjungbiru sangat terke-nal di daerah
barat, sebagai seorang pejuang gaib yang pantang menyerah. Dari mulut ke mulut
namanya dinyanyikan orang. Tak terke-cuali golongannya yang mempunyai darah
perajurit dalam tubuhnya. Itulah sebabnya, ia merasa memperoleh suatu
kehormatan besar tatkala pahlawan itu mengunjungi rumahnya. Apalagi Ki
Tunjungbiru menyatakan pula hen-dak berdiam untuk beberapa hari lamanya.
"Apakah kau bisa menerima aku?" Ki Tunjungbiru menegas. "Mengapa
tidak? Aku ini adalah musafir tak bermodal yang kebetulan memperoleh tempat
untuk bermukim di sudut tanah ini. Bumi dan langit ini, adalah milik
kita," sahut Malawir dengan penuh semangat. "Tapi aku membawa tujuh
orang." "Kau boleh membawa seratus! Dua ratus orang! Apa bedanya?
Asal saja rumahku ini bisa menampung sejumlah itu.
Cuma
saja... kepala kampungku bukan manusia baik-baik. Dia begundal Belanda sampai
ke bulu-bulu-nya. Kita harus berhati-hati." "Hm... apakah dia lebih hebat
daripada engkau?" "Eh, apakah aku ini? Aku ini makin tua makin jadi
manusia keropos. Lainlah halnya dengan dirimu. Kau bertambah kuat dan
perkasa." "Mana bisa?" sahut Ki Tunjungbiru dengan tertawa riuh.
"Aku termasuk golongan manu-sia yang kalah perang. Mana bisa aku menjadi
manusia mirip kata-katamu?" Mereka terus berbicara perihal suka duka
perjuangan bangsa. Teman-teman Ki Tunjung-biru yang diterima dengan ramah hati
dan kelapangan dada, sebentar saja sudah merasa menjadi satu keluarga besar.
Mereka ikut pula menyumbangkan sepercik pengalamannya. Demikianlah pada hari
pameran kekuatan senjata, Ki Tunjungbiru keluar bersama tujuh orang kawannya.
Mereka pulalah yang meng-adakan kekacauan sehingga menerbitkan suatu bentrokan
senjata. Waktu itu, Sangaji dan Titisari berada pula di tempat itu. Hanya saja
mereka tak melihat Ki Tunjungbiru karena kerumunan manusia. Menjelang malam
hari, Ki Tunjungbiru balik ke pondoknya. Ketujuh kawannya tiada se-orangpun
yang gugur atau terluka. Bahkan mereka nampak kian bersemangat. Pandang mata
mereka berkilatan penuh ketegaran hati. Mereka disambut dengan gembira oleh
Malawir sendiri di pintu pagar. Kata orang itu, "Kalian pulang dengan
selamat. Itulah yang kami harapkan. Aku ikut menyatakan syukur sedalam-dalamnya."
Ki Tunjungbiru hendak segera menyahut. Mendadak saja ia seperti memperoleh
suatu firasat kurang beres. Sebagai seorang ahli tata semadi, pendengarannya
menangkap tata suara Malawir yang tertekan-tekan. Alisnya terus saja berdiri.
Menegas, "Kau kenapa?" MALAWIR TAK SEGERA MENJAWAB. Tubuh-nya nampak
bergetar. Sekonyong-konyong ia meloncat bergulungan ke tanah sambil berte-riak,
"Lari! Rumah penuh bangsat!" Hampir berbareng dengan teriakannya,
ter-dengarlah suara berisik. Dan muncullah sepu-luh dua belas orang dari
pojok-pojok halaman. Mereka melontarkan senjatanya dengan ber-bareng ke arah
Malawir. Malawir telah bergulungan serendah tanah. Karena itu ia bebas dari
sambaran senjata, la tak takut. Dengan gagah ia berdiri dan berseru nyaring,
"Kalian sudi menjadi anjing-anjing Belanda. Bagus! Jangan harap aku bisa
berbuat begitu." "Malawir bangsat! Biarpun anjing, tapi kami anjing
terhormat. Sebaliknya kau membiarkan dirimu jadi anjing orang gelandangan.
Apakah itu bukan anjing buduk?" sahut seorang yang berawakan pendek
gendut. "Biarpun aku anjing buduk, tapi aku bisa cari makanku sendiri.
Bagaimana dengan kau? Biarpun jadi kepala kampung, tapi monyongmu tak bakal
kemasukan nasi kalau tidak menjilat-jilat pantat Belanda dulu. Kau bisa bilang
apa?" Dengan menjerit kepala kampung itu terus melontarkan belatinya.
Anak
buahnya segera pula bergerak. Di sini teranglah, betapa besar pengaruh
pemerintahan Belanda pada waktu itu. Mereka sudah bersedia menjadi hamba dan
pembantu-pembantu yang boleh dipercaya. Melihat Malawir dalam bahaya, Ki
Tunjung-biru terus melesat melindungi. Ketujuh kawannya merabu dengan berbareng
pula. Ternyata anak-buah kepala kampung tidak hanya sepuluh duabelas orang.
Sebentar saja halaman rumah Malawir hampir terpenuhi. Meskipun demikian, hati
Ki Tunjungbiru tiada keder sedikitpun. Bagi dia, mereka masih merupakan makanan
empuk belaka. Kawan-kawannyapun demikian pula. Dengan penuh semangat, mereka
menyerang dengan gesit dan cekatan. Sebentar mereka menerjang ke depan,
kemudian bergerak merabu kaki. Mereka semua adalah pejuang-pejuang yang
berpengalaman. Mendengar percakapan antara Malawir dan kepala kampung, dengan
sekilas saja sudah bisa memperoleh kesim-pulan. Ternyata sepeninggal mereka,
Malawir kena gerebeg. Karena kalah jumlah, ia kena ditawan dan dipaksa untuk
menjebak mereka. Tetapi dasar Malawir keturunan seorang pera-jurit, tak sudi
dia berkhianat. Dalam keadaan terjepit, masih bisa ia memberi peringatan
berbareng melindungi diri. Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-ko-nyong
muncullah satu peleton pasukan Belanda dari balik pagar. Pasukan itu terus
melepaskan senjata bidiknya. Menyaksikan itu Ki Tunjungbiru meluap amarahnya.
Terus saja ia memaki dalam hati. Benar-benar jahat kepala kampung jahanam itu.
Rupanya sudah semenjak beberapa hari ini, dia mengintai aku. Tetapi kepala
kampung itu masih juga mau bersandiwara. Mendadak saja ia menjerit kaget sambil
mundur. Lalu mengarah kepada Malawir sambil berteriak menyesali, "Malawir,
kaulah yang cari mampusmu sendiri. Coba, kalau kau siang-siang sudah menurut
kata-kataku, masakan kau perlu diurus militer Belanda segala. Sekarang jalan
untuk memberi ampun padamu, benar-benar tertutup. Betapapun juga, masakan aku
sampai hati melihat kamu menjadi bangkai di depan mataku..." Mendengar
ucapan kepala kampung, Ma-lawir terhenyak sejenak. Mendadak tertawa
bergelak-gelak. Lalu berkata nyaring pula, "Ambik! Kau ular berbisa iblis!
Biarpun kau mengaku malaikat, masakan mataku buta?" Malawir benar-benar
tak kuasa lagi mena-han amarahnya. Napasnya lantas saja menja-di tersengal-sengal.
Dadanya turun naik de-ngan cepat. Kemudian berputar ke arah Ki Tunjungbiru.
"Kawan-kawan seperjuangan. Kalian larilah. Biarlah hari ini aku mengadu
nyawa. Matipun aku rela..." Sehabis berkata demikian, Malawir benar-benar
tak takut mati. Ia terus menyerbu untuk membuktikan ucapannya. Hanya saja, ia
berlaku nekad. Gerak-gerik membabi buta. Meskipun ia bisa menjatuhkan beberapa
orang yang menghadang serbuannya, namun tubuhnya tak bebas pula dari hantaman
senjata lawan. Sebentar saja tubuhnya telah berlumuran darah. Sudah barang
tentu Ki Tunjungbiru dan kawan-kawannya tak tinggal diam.
Mereka
sadar, akan sandiwara kepala kampung. Mereka tahu, bahwa semenjak siang-siang
kepala kampung sudah mengatur persiapan dan jebakan. Karena itu, begitu melihat
ke-adaan kawannya yang benar-benar hendak mengadu nyawa, mereka mencoba
mendesak lawan-lawannya untuk bisa menolong. Tetapi maksud itu tak
gampang-gampang bisa diwu-judkan. Kecuali antek-antek kepala kampung memegat
arah tujuannya, pasukan kompeni yang menembak dari belakang punggung mulai
merangsak pula. Kemudian terjadilah suatu adegan yang membuat Ki Tunjungbiru
tak bisa berkutik. Dari dalam rumah, muncullah isteri Malawir dan empat orang
anggota keluarganya. Itulah anak-anaknya. Mereka digiring keluar dengan ancaman
senjata. Tangan mereka diikat dan mukanya biru pengab. Terang sekali, bahwa
mereka habis kena hajar. Ambik terus berkata lantang, "Malawir! Nyawamu
sudah di ambang pintu. Sekalipun begitu, aku masih memberi kesempatan. Kau
menyerah tidak? Kalau tetap nekad, isteri dan anak-anakmu akan kusembelih
dahulu sebe-lum kau terkapar mampus." Kena ancaman demikian, Malawir yang
sudah kalap terhenyak sejenak. Sekonyong-konyong tertawa berkakakan. Menyahut
lantang sambil menyemburkan ludah. "Ambik! Kau bisa mengapakan isteri dan
anak-anakku. Kau cuma besar mulut. Kalau kau berani, hayoooo... cobalah
buktikan ancamanmu." Di luar dugaan si kepala kampung benar-benar
membuktikan ucapannya. Dengan tangannya yang perkasa ia mencekuk anak Malawir
yang paling kecil. Terus ia membantingnya ke lantai. Ia merebut pedang salah
seorang. Kemudian menetak leher anak yang tak berdosa itu dengan sekali tebas.
Melihat adegan yang tak terduga itu, semua yang menyaksikan menjerit kaget. Ki
Tunjungbiru tak terkecuali pula. Dengan menggertak gigi ia hendak melesat. Tapi
tahu-tahu, punggungnya telah kena ancaman beberapa batang laras senjata. Begitu
me-noleh, ia terus diringkus oleh sepuluh orang serdadu sehingga tak dapat
berkutik lagi. Pada saat itu, terdengarlah gerung Malawir. Orang itu terus
melesat melompati si kepala kampung. Orang-orang yang berada di depan-nya kala
itu seperti kehilangan tujuan. Mereka tertegun melihat kepala kampung melakukan
penyembelihan di luar dugaan. Itulah sebabnya seperti seorang yang terbebas
dari belenggu Malawir berhasil menghampiri si kepala kampung. Si kepala kampung
terperanjat. Terbebasnya Malawir dari hadangan anak-buahnya berada di luar
dugaannya. Seketika itu juga pucatlah wajahnya. Tadi ia hanya bermaksud
menunjukkan kegarangannya untuk merebut simpati militer Belanda. Ia yakin bisa
berbuat selelu-asa-leluasanya dengan tak usah takut akan kena balas Malawir.
Tak tahunya perhitungan meleset sama sekali. Keruan saja ia jadi ke-labakan.
Sedetik itu, ia menyiratkan pandang kepada pasukan Belanda untuk minta
pertolongan. Tapi pada saat itu mereka lagi sibuk meringkus Ki Tunjungbiru
dengan kawan-kawannya. "Malawir! Malawir!" Dan Ambik mundur setengah
langkah. "Marilah kita bicara. Lihat! Isteri dan anak-anakmu yang lain
jatuh ping-san tak sadarkan diri. Kalau tidak kau tolong cepat-cepat, mereka
bisa mati semua." Pada saat itu, penglihatan Malawir sudah kabur oleh deru
hatinya. Dengan berteriak tinggi ia melompat menerkam Ambik menya-betkan
pedangnya. Pedang itu mengenai pun-dak. Namun Malawir seperti memperoleh
kekuatan gaib. Tanpa mengeluh sedikitpun, ia menyerbukan diri. Dan diserbu
dengan cara demikian, Ambik seperti kehilangan daya. Apalagi, hatinya sudah
jadi kecut karena me-rasa salah, la kena tendang perutnya. Lantas dadanya.
Lantas pinggangnya. Begitu tubuhnya meliuk, pedangnya terlepas dari
genggamannya. Tangan Malawir terus merebut pedang itu. "Malawir! Malawir!
Marilah kita berbicara!" masih saja ia sempat berteriak.
Tetapi
Malawir sudah kalap. Dengan satu sabetan, leher Ambik menggelundung di lantai.
Sementara itu, anak buah Ambik seperti tersadar. Mereka terus maju menghujani
se-rangan maut. Seketika itu juga, tubuh Malawir jadi rontang-ranting.
Sekalipun demikian, Malawir tak sudi mengaduh kesakitan. Ia seperti kehilangan
ingatan. Dengan berputar ia menatap lawan-lawannya. Lalu berjalan menghampiri
mayat anaknya. Kena tatapan penglihatannya, orang-orang mundur satu langkah.
Bulu kuduk mereka menggeridik. Mereka tak bergerak lagi. Dengan demikian,
Malawir bisa menghampiri mayat anaknya. "Oyok! Oyok!" terdengar suara
Malawir setengah merintih. Ia terus merangkul tubuh anaknya. Sudah barang tentu
tubuhnya kena siram darah anaknya. Namun ia tak memedulikan. Benar-benar
gerak-geriknya bagaikan seseorang yang sudah kehilangan kewarasan otak.
Mendadak saja ia seolah-olah teringat se-suatu. Serentak ia berdiri dan
menyambar pe-dangnya lagi. Lalu menyerbu lawan-lawannya. Pada saat itu, seluruh
tubuhnya telah tertu-tupi darah sehingga mirip hantu merah yang muncul di malam
hari. Dan oleh kesan itu, mereka yang tadinya memusuhinya seperti terpaku.
Itulah sebabnya pula, korban jatuh lagi. Seorang demi seorang kena ditewaskan
dan dirusak tubuhnya. Lambat laun ia kehabisan tenaga juga. Maklumlah seluruh
tubuhnya sudah terkoyak-koyak. Sebentar saja ia jatuh tertelungkup di atas
lantai. Kawan-kawan Ki Tunjungbiru terharu bukan main menyaksikan kesetiaan dan
keperwiraan Malawir. Mereka mencoba merenggutkan diri dari ringkusan pasukan
Belanda. Namun tenaga mereka tak mengizinkan untuk bisa berbuat banyak. Salah
seorang lalu menyiratkan pandang kepada Ki Tunjungbiru seraya berteriak nyaring
minta pertimbangan. "Otong Damarwijaya! Bagaimana?" Ki Tunjungbiru
menarik napas panjang. Menyahut sedih. "Di saat seperti ini, janganlah
kita menjadi kalap. Umur kita berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan masih
mengizinkan kita menje-nak napas... kita masih bisa berbuat yang lain."
Setelah berkata demikian, ia mengarahkan pandangannya kepada keluarga Malawir.
Berseru nyaring. "Malawir! Kau seorang laki-laki sejati. Kalau umurku
masih panjang, akan kupersembah-kan sisa hidupku untuk keluargamu. Aku me-lihat
keberanian dan sifat kepahlawananmu yang patut jadi suri tauladan untuk ditiru.
Ka-rena itu terimalah hormatku..." Belum habis dia berkata, mulutnya sudah
kena tampar seorang sersan yang berada di dekatnya. Setelah itu, dia dibawa
pergi ber-sama kawan-kawannya.
BEGITU
KENA DITAWAN-KI TUNJUNGBIRU DAN KAWAN-KAWANNYA mengalami siksaan dan
kekejaman-kekejaman di luar ke-manusiaan. Ia digantung, dirangket, direndam,
dibakar, disakiti dan dilukai. Makan minumnya dikurangi pula. Kompeni Belanda
mencoba mengorek ke-terangan sebanyak-banyaknya mengenai ge-rakan pemberontakan
Sultan Kanoman. Ia dipaksa untuk menunjukkan di manakah beradanya pusat gerakan
itu. Namun ia mem-bisu seribu bahasa. Dalam diri pahlawan Banten itu mengalir
getah sakti Dewadaru dan madu lebah Tunjungbiru. Kecuali itu mahir dalam olah
semadi dan tata napas. Tak mengherankan, bahwa kekuatan tubuhnya melebihi
manusia lumrah, kulitnya seperti kebal dari senjata. Setiap kali kena luka
sebentarnya saja sudah pulih kembali. Kurangnya makan minum tiada mengganggu
kesehatan dan kesegaran jas-maninya. Lebah madu sakti yang dihisapnya semenjak
bertahun-tahun yang lalu, cukuplah menjadi sumber tenaga hidup yang tiada habis-habisnya.
Sebaliknya, tidaklah demikian halnya de-ngan keadaan teman-temannya. Dalam
bebe-rapa hari saja, dua orang telah mati. Yang lainnya hampir tak dapat
bergerak lagi dari tempatnya. Menyaksikan hal itu, Komandan Kompi terus saja
mengancam. Kalau dia berani melarikan diri, teman-temannya akan dihabisi
nyawanya. Dan ancaman itu bukanlah merupakan ancaman kosong melompong.
Mengingat kekejamannya, kompeni bisa mewujudkan. Sebenarnya dia bisa minggat
dengan mu-dah, apabila menghendaki. Meskipun perke-mahan dijaga sangat rapat,
tapi ilmunya yang tinggi pasti bisa membebaskan diri. Sebaliknya mengingat
nasib teman-teman seperjuangannya, terpaksalah dia menyabarkan diri menunggu
saat yang baik. Oleh kebandelannya, kompeni kini menggu-nakan akal baru. Keselamatan
anak isteri Malawir dipertaruhkan di hadapannya. Kalau dia masih saja bersikap
membungkam, nyawa mereka akan dilunasi. Dia jadi mendongkol dan bingung.
Teringat-lah dia betapa setia dan perwira almarhum Malawir. Orang semacam dia
patut dikenang dan dihormati. Dia sudah berani mengorban-kan segalanya. Masakan
anak isterinya akan dibiarkan hidup tanpa perlindungan?
Sebaliknya
kalau sampai dia berbicara ba-nyak tentang rahasia-rahasia gerakan
pem-berontakan, bukankah sia-sia belaka arti pe-ngorbanan Malawir? Kecuali itu,
dimanakah dirinya lantas berada? Dia akan ditertawakan sejarah. Seluruh
orang-orang gagah di penjuru tanah air ini akan mengutukinya sebagai seorang
pengkhianat. Jangan lagi di akhirat, di duniapun rasanya tiada lagi tempat
untuk menginjakkan kakinya. Malam itu ia mondar-mandir dalam kamar tahanannya.
Hampir menjelang fajar hari, belum juga ia memperoleh keputusan. Tengah ia
bergelut dengan dirinya sendiri, terdengarlah suatu suara di luar kemah.
"Kau dipanggil kepala jaga. Biarlah penjagaan kugantinya," kata
seorang dengan bahasa Belanda. Kepala jaga pada malam itu seorang Ambon.
Namanya Mattulesi. Dia berpangkat sersan. Anak buahnya terdiri dari suku
Maluku, Manado dan Sulawesi. Dia terkenal berani, te-gas, gagah dan teliti.
Karena itu, anak buahnya termasuk pasukan terpilih dan dapat dipercaya.
"Kau dari peleton mana?" tegur penjaga pintu kemah. Suaranya meninggi
suatu tanda bahwa dia menaruh curiga. Sebagai jawaban-nya, terdengarlah suara
gedebukan. Kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian seragam kompeni. Dialah
Sangaji. Ki Tunjungbiru yang berada dalam kurungan heran melihat kedatangannya,
la sampai terbungkam mulutnya dan tak dapat membuka mulut dengan segera.
"Aki! Aku datang," kata Sangaji dengan gembira. "Penjagaan bukan
main rapatnya. Aku dan empat adik seperguruanmu sampai perlu meringkus beberapa
penjaga. Kami se-mua menyamar." "Siapa adik seperguruanku?"
sahut Ki Tunjungbiru setelah terhenyak sejenak. "Hasan, Kolil, Martak dan
Ali Item." "Ah! Mereka datang juga?" Ki Tunjungbiru berbimbang-bimbang.
"Kompeni yang mem-bawa aku ini, bukan sekelompok serdadu murahan. Mereka
semua beradat semberono. Di manakah mereka kini?" "Mereka berada di
luar. Mari kutolong dahu-lu." Ki Tunjungbiru seperti tak mendengar kata-kata
Sangaji. Wajahnya nampak gelisah. Bertanya lagi, "Kau bisa menemukan kemah
ini. Apakah mereka sudah datang siang-siang?" "Kami datang
bersama-sama. Terpaksa kami membekuk seorang serdadu untuk mem-peroleh
keterangan di mana Aki ditahan." Ki Tunjungbiru tak bergembira mendengar
ujar Sangaji. Ia bahkan menghela napas dan meruntuhkan pandangan di kejauhan.
Dan Sangaji jadi perasa. Inilah untuk yang pertama kalinya, ia melihat orang
yang dihormati tertawan lawannya. Dahulu ia pernah melihat Mustapa dan Nuraini
tersekap dalam kerangkeng. Karena dia belum sadar siapakah Mustapa sebenar-nya,
maka kesan hatinya hanya menaruh belas kasihan dan rasa tak adil. Sebaliknya
terhadap Ki Tunjungbiru adalah lain. Terhadap orang tua itu, dia berhutang
budi. Selain itu diam-diam ia mengagumi sepak-ter-jangnya yang luhur. Orang tua
itu sama sekali tak memedulikan kepentingan diri. Sebaliknya mengabdikan
seluruh hidupnya kepada kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pengabdian itu
pulalah, dia kini tertawan tersekap dan terkerangkeng bagaikan binatang. Pemuda
itu jadi ikut bersakit hati. Tak dikehendaki sendiri, ilmu saktinya yang
meresap dalam dirinya terbersit dengan men-dadak. Terus saja ia menghampiri
terali besi dan hendak dipatahkan dengan sekaligus. Di luar dugaan,
sekonyong-konyong Ki Tunjung-biru berkata menyanggah. "Kau mau apa?
Meskipun ilmuku kini bera-da jauh di bawah ilmu saktimu, tetapi apabila
kukehendaki rasanya tak sukar aku mematahkan dua tiga terali besi ini."
Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, Sangaji tercengang, la jadi menebak-nebak.
Menegas, "Apakah ada sesuatu yang kurang beres?" Ki Tunjungbiru
tersenyum. "Tolonglah dahu-lu anak-isteri Malawir. Kalau kau berhasil
me-lepaskan mereka, aku berjanji akan mematah-kan terali ini."
"Tetapi di manakah mereka?" "Itulah soalnya. Aku sendiri mana
bisa tahu di mana mereka berada. Barangkali mereka disekap di sebelah. Mungkin
pula tidak." Sangaji yang berotak sederhana jadi bi-ngung. Gugup ia
berkata, "Hari sudah hampir pagi. Di manakah aku akan menemukan mereka.
Lebih baik Aki keluar dahulu. Lantas kita cari perlahan-lahan." Ki
Tunjungbiru tersenyum pahit. Ia mere-nungi Sangaji. Lalu berkata mengesankan,
"Anakku, sahabatku Malawir telah rela me-ngorbankan nyawanya demi aku.
Anak isteri-nya kini tertawan dan tersiksa. Yang seorang mati kena sembelih.
Masakan aku akan membiarkan mereka mengutuki nasibnya yang buruk? Hm... kalau
saja aku mempunyai sayap, sudah semenjak tadi petang aku bekerja."
"Perkemahan ini tidak melebihi satu hektar luasnya. Apakah
kesulitannya?" "Ah! Kau pernah dibesarkan di tengah tang-si, masakan
kau tak bisa mengerti kecerdikan musuh? Mereka bukan goblok. Tahu, kalau anak
isteri Malawir merupakan tawanan yang berharga, masakan mereka tak menjaganya
rapat-rapat? Kalau saja mereka ditawan pada satu tempat, itulah mudah. Tetapi
kalau di-pisah-pisah, inilah soal lain. Kau akan ber-hadapan dengan satu
batalion serdadu dengan pedang dan senapannya. Sebab andaikata kau berhasil
membebaskan seorang di antara mereka, belum tentu peleton-peleton lainnya bisa
kauingusi dengan mudah. Apakah kau mampu menghadapi mereka dengan
sekaligus?" Ki Tunjungbiru menekan-nekan tiap katanya. Mendadak alisnya
meninggi lalu berkata, "Hai! Di manakah anak Adipati Sureng-pati? Dialah
mungkin bisa memecahkan soal ini." Pertanyaan Ki Tunjungbiru yang tak ter-duga-duga
itu, benar-benar mengagetkan hati Sangaji. Secara wajar, teringatlah dia kepada
Titisari dan cara perpisahnya. Lantas saja ia menjadi lesu. Tiba-tiba
terdengarlah suara letusan senapan dikejauhan. Sebentar kemudian disusul dengan
terompet tanda bahaya. Dan suara berteriakan sambung-menyambung dari tenda ke
tenda. Mendengar kesibukan itu, Ki Tunjungbiru tersenyum pahit. Dengan pandang
memaklumi dia berkata, "Kau tahu maksudku? Kau bisa berhasil memasuki
tenda ini. Tetapi penjaga-penjaga lainnya bukan seperti arca batu. Sebentar
saja mereka sadar akan suatu kepincangan. Anakku! Pergilah! Mereka pasti datang
ke mari. Pergilah!" Sangaji bukanlah seorang pemuda tolol da-lam arti
sebenarnya. Hanya saja otaknya ter-lalu sederhana, karena hatinya sangat mulia.
Ia mengira, semua peristiwa dalam dunia ini berjalan sangat sederhana pula. Ia
memasuki per-kemahan militer Belanda dengan tujuan membebaskan Ki Tunjungbiru.
Maka serdadu-serdadu yang diduganya menjadi perintang tujuannya disingkirkan
dengan mudah berkat ilmu saktinya. Tak tahunya, setelah bertemu dengan Ki
Tunjungbiru ia menghadapi soal yang sama sekali tak terlintas dalam benaknya.
Ki Tunjungbiru ternyata emoh dibebaskan, sebelum keluarga Malawir memperoleh
kebebasannya pula. Hasan, Martak, Kolil dan Ali ltem mempunyai pikiran lain
pula. Begitu mereka mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji tentang
nasib keluarga Malawir, terus saja mereka hendak membuat jasa. Tanpa
memperhitungkan kemampuan diri, mereka menggerayangi tenda-tenda perke-mahan.
Mereka boleh dimasukkan dalam deretan orang-orang tangguh. Tetapi ketangguhan
mereka sama sekali belum bisa dibandingkan dengan ilmu sakti Sangaji. Untuk
menghadapi beberapa serdadu penjaga perkemah-an, mereka harus berkelahi keras.
Keruan saja sepak-terjang mereka lantas saja ketahuan. Seperti diketahui,
kepala jaga pada malam hari itu seorang Ambon bernama Mattulesi. Ia berpangkat
sersan. Begitu mendengar letusan senjata, terus saja ia melompat keluar sambil
menyambar senapannya. Langsung ia menuju ke tenda tahanan Ki Tunjungbiru dengan
diikuti empat orang serdadu. Mendadak ia melihat dua orang serdadu rebah tak
berkutik di tanah. Kecurigaannya dan kemarahannya meledak tak terkendalikan
lagi. Tangkas ia menghunus pedangnya dan membabat tenda. Bret! Dan tenda
perkemahan terbelah menjadi dua. Waktu itu Sangaji maju mendekati terali besi.
Ki Tunjungbiru terkejut sampai berkata setengah membentak. "Kau mau apa?
Sekali kau berani menyen-tuh terali ini, aku akan mengadu nyawa
de-nganmu." Sangaji ternganga. Ia tak dapat mengerti arti ucapan itu. '
"Aki! Mari kita lari?" "Ah, anak tolol!" keluh Ki
Tunjungbiru. "Lari ke mana? Kalau aku lari, bukankah anak isteri Malawir
bakal celaka, Aji! Lihat belakang!" Ilmu sakti Sangaji benar-benar susah
terukur lagi. Semenjak tadi ia tahu, bahwa musuh telah berkerumun di depan
tenda. Tapi ia tak memedulikan. Pikirannya terkacaukan oleh pertanyaan Ki
Tunjungbiru tentang Titisari dan keadaan orang tua itu sendiri. Dan begitu
pedang Mattulesi menikam tenggorokannya, ia hanya cukup membalikkan tangannya.
Tahu-tahu pedang dan tubuh Mattulesi terpental ke luar tenda. "Awas ada
bangsat di dalam!" masih sempat Mattulesi berteriak, la jatuh bergedebukan
di rerumputan. Begitu dia berdiri, ia melihat tenda runtuh berantakan. Empat
serdadu yang mengikuti dari belakang terpental ke luar pula dan melayang
bagaikan layang-layang putus. Mereka jatuh jungkir balik mencium-cium tanah.
Sangaji tak menyia-nyiakan waktu lagi. la sadar akan bahaya. Terus saja ia
menjejak tanah dan melesat ke luar melalui robekan tenda. Di luar tenda, hari
sudah terang tanah. Se-luruh perkemahan nampak dengan nyata. Serdadu-serdadu
yang disentakkan oleh tanda bahaya, lari berserabutan ke luar. Mereka membawa
senjatanya masing-masing, tetapi belum menembak karena arah bidikannya belum
terang. Hasan, Kolil, Martak dan Ali ltem terkepung rapat. Melihat keadaan
mereka, hati Sangaji tergetar. Inilah bahaya, pikirnya. Dia sendiri bisa
menyelamatkan diri dengan mudah. Te-tapi bagaimana mereka? Pada saat itu
sadar-lah dia, apa sebab Ki Tunjungbiru tak sudi dibebaskan mengingat
keselamatan keluarga Malawir. Segera ia bergerak hendak menolong. Mendadak saja
ia melihat Mattulesi telah mengisi senapannya. Sersan Ambon itu ter-nyata
seorang kosen. Meskipun Sangaji tadi tak berniat mencelakai, namun sebenarnya
tenaga lemparannya cukup mematahkan kaki dan lengan seseorang. Nyatanya
Mattulesi sama sekali tak terluka. Sadar akan bahaya, Sangaji terus
me-nubruknya. Tangannya menyambar laras senapan. Inilah suatu tipu yang
berbahaya. Sebab sedetik kasep, Mattulesi sudah dapat memetik pelatuknya. Dan
kalau senapannya sampai meletus, biarpun Sangaji memiliki ilmu sakti akan
tertembus juga dadanya. Sebaliknya Mattulesi boleh kosen, tapi menghadapi
tenaga samberan Sangaji, ia mati kutu. Tenaga jasmaniahnya mendadak saja
seperti macet. Tahu-tahu tubuhnya terguncang dan terpental sepuluh dua puluh
meter. Senapannya patah berantakan. Saat yang baik itu dipergunakan Sangaji
untuk mengarahkan perhatiannya kembali kepada Hasan dan kawan-kawannya. Sebat
luar biasa ia melompat dan menghantam pagar serdadu yang mengurung mereka.
Aki-batnya bukan main. bagaikan angin puyuh, tenaga Sangaji menyibakkan mereka
dengan sekaligus. "Lari!" teriak Sangaji setengah memerintah. Hasan
dan kawan-kawannya kena pengaruh guncangan tenaga Sangaji pula. Tapi begitu
mendengar teriak Sangaji, mereka seperti tersadar. Terus saja mereka memutar
tubuh. "Cepat! Biarlah aku melepaskan kuda-kuda mereka," kata Sangaji
lagi. Pemuda itu mendadak teringat akan cerita pengalaman gurunya Wirapati dan
Jaga Sara-denta tatkala mereka menyerbu perkemahan militer di Jatibarang.
Dahulu, perhatian kompeni bisa dialihkan kepada hingar-bingar kuda-kuda yang
lari berebutan karena kena serangan. Demikian pulalah kali ini. Sangaji yang
memiliki ilmu sakti warisan Bende Mataram kala itu melontarkan tenaga pukulan.
Seketika itu juga, serdadu-serdadu yang kena tenaga pukulan merasa diri
tertindih suatu hawa bergulungan ribuan kati beratnya. Mereka terguncang mundur
atau terpaku di tempatnya tanpa bisa berkutik. Dan pada saat itu, Sangaji
melesat ke kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda mereka. Kekacauan segera
terjadi dengan cepat. Di seberang sana, sekelompok serdadu mulai melepaskan
tembakan sambil membu-nyikan terompet tanda bahaya. Betapapun juga, Sangaji
menjadi sibuk, la tak takut pada macam serangan mereka. Namun peluru-peluru
mereka adalah lain. Maka di dalam keriuhan letupan senapan, dengan sebat ia
melarikan diri tanpa arah tertentu. Serdadu-serdadu yang sebentar terbebas dari
tekanan tenaga sakti, mulai mengejar dan menembakkan senapannya. Dari tenda ke
tenda muncullah laras-laras senapan yang kini telah memperoleh arah bidikan.
Syukur, Sangaji tak menjadi gugup. Dalam kerepotan-nya, mendadak timbullah
akalnya. Ia kini me-nyerang tenda-tenda perkemahan. Seketika itu juga, tenda
seperti teraduk. Seperti layar perahu kena badai, tenda-tenda perkemahan
terjebol dan kabur bergulungan menutupi penglihatan para serdadu. Mereka
tertahan untuk sementara. Tapi yang lain bisa bergerak dengan leluasa. Inilah
bahaya, pikir Sangaji. Pemuda itu akhirnya bergelisah juga. Se-konyong-konyong
ia melihat sebuah tenda yang terpencil. Tenda itu berada di lereng gun-dukan.
Keadaannya sunyi lengang. Tak terjaga dan rapih. Diam-diam Sangaji heran.
"Apakah ini tenda komandan?" Sangaji menebak-nebak. "Bagus!
Sekiranya yang berada dalam tenda itu komandan mereka, bukankah bisa kubuat
sandera?" Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melesat dengan sebat.
Dan bagaikan seekor burung elang, ia menyusup ke dalam tenda. Begitu mendarat,
hampir saja ia bertubrukan dengan seorang gadis yang belum rapih pa-kaiannya.
Keruan ia kaget sampai mundur selangkah. "Ha... sudah kuduga. Kalau bukan
engkau, siapa yang mampu membuat kegaduhan ini," kata gadis itu dengan
lembut. Dan dialah Sonny de Hoop. Untuk sedetik dua detik Sangaji tertegun, la
seperti kehilangan dirinya. "Baiklah! Aku sudah berada di sini. Kalau kau
mau menangkap... tangkaplah!" Akhirnya ia berkata seperti menyerah.
"Hm ..." dengus Sonny. "Lekaslah kau ganti pakaian!" Setelah
berkata demikian, Sonny memutar tubuh sambil tersenyum manis. Dan sebelum
Sangaji bisa menebak maksudnya, ia telah melemparkan seperangkat pakaian
preman. "Itulah pakaianku sendiri yang sering kuke-nakan dalam perjalanan.
Kukira cukup untukmu," katanya lagi. "Tunggulah aku! Biar kutemui
mereka..." Segera terdengar suara berisik diluar tenda. Itulah seorang
perwira yang mendatangi tenda Sonny dengan beberapa serdadu. "Sonny!
Apakah engkau melihat seorang yang mengenakan pakaian seragam?" tanya
perwira itu dengan bahasa Belanda. "Aku hanya mendengar orang berlari
lewat di seberang," jawab Sonny de Hoop. "Lang-kahnya terdengar
sangat cepat, sehingga tatkala aku melongok ke luar tiada lagi nam-pak
bayangannya. Apakah dia yang membuat kegaduhan ini?" "Ya. Ke mana
arahnya?" perwira itu mene-gas. "Ke sana!" Dengan berteriak
panjang ia memberi aba-aba. "Mari! Tangkap kuda dan cari!" Mereka
lantas saja berlari-lari menjejak arah kiblat yang ditunjukkan Sonny. Sebentar
saja suara mereka lenyap. Dan kesunyian dalam tenda terjadi lagi. Sangaji dapat
menguasai -diri. Dengan berindap ia mengintip dari celah tenda. Begitu melihat
mereka kena dikecohkan Sonny, cepat ia memeriksa pakaian preman yang diberikan.
Pakaian itu ternyata pakaian pria. Hanya saja potongannya model wanita. Percaya
bahwa Sonny bermaksud hendak melindungi, tanpa ragu-ragu ia mengenakannya.
Mendadak ia mencium keringat pemiliknya. Tak dikehendaki sendiri, hatinya
tergetar, la jadi ragu-ragu. Pikirnya dalam hati: Selama bergaul dengan
Titisari, belum pernah aku mengenakan pakaian samarannya. Masakan aku kini
harus mengenakan pakaian Sonny? Menimbang, bahwa ia harus bisa lolos dari
kepungan kompeni, segera ia menanggalkan pakaiannya sendiri. Kemudian dengan
cepat ia mengenakan pakaian pemberian Sonny. "Apakah engkau sudah berganti
pakaian?" Sonny minta keterangan dari luar tenda. "Ya," sahut
Sangaji gugup. "Aku boleh masuk?" "Sebentar lagi" "Eh,
kau bilang sudah berganti pakaian, masakan aku tak boleh masuk?" terdengar
Sonny berkata dengan setengah tertawa. "Potongan celanamu agak sesak
untukku." "Ah, yang benar saja!" Sonny tak percaya.
"Masuklah! Kau boleh memeriksa sendiri. Bagian perut agak sesak."
Sonny memasuki tenda. Begitu melihat Sangaji kerepotan mengkaitkan kancing, ia
tertawa geli. "Hampir dua tahun kau pergi dan perutmu ternyata bertambah
besar. Pastilah engkau memperoleh kegembiraan dalam perjalanan." Sangaji
kebingungan. Tak tahu dia, bagai-mana harus menjawabnya. Akhirnya dia ha-nya
tertawa meringis. Berkata sejadi-jadinya, "Barangkali karena aku sering
banyak makan daging." "Makan? Mana bisa makan begitu meme-gang
peranan penting dalam hidupmu. Kukira karena engkau telah menemukan mustika
hatimu. Bukankah begitu?" Hati Sangaji tercekat. Diam-diam ia me-ngeluh.
Sebagai seorang jujur dan berwatak sederhana, ia segera mengaku kebenaran
tu-duhan Sonny. Untuk mengelak atau menang-kis ia tak mempunyai kesanggupan.
Karena itu, ia segera mengalihkan pembicaraan. Ber-kata sulit, "Apakah
ayahmu di sini?" "Ya. Dialah komandan batalyon ini. Sebentar lagi dia
ke mari. Kau tunggulah. Pastilah dia amat gembira melihat kedatanganmu,"
sahut Sonny. Tak usah dikatakan lagi, hati "Sangaji benar-benar
terperanjat. Pertemuan kali ini jauh berlainan daripada pertemuan di depan
benteng batu. Meskipun dahulu ia berada di pihak kompeni, namun masih bisa
diterangkan apa sebabnya. Sebaliknya kali ini tidak. Dialah justru yang
memusuhi kompeni dengan menggerayangi perkemahan. "Sonny! Kali ini tak
dapat aku bertemu de-ngan ayahmu," katanya tergagap-gagap. "Kenapa
begitu?" Sonny menyahut cepat. "Kujamin, bahwa beradamu di sini tidak
bakal diketahui siapa saja. Seumpama saja mereka mengetahui beradamu di sini,
aku dan ayahku bisa menerangkan apa sebabnya. Akan kureka bahwa kejadian ini
merupakan suatu salah paham belaka. Kukatakan kepada mereka, bahwa engkau
datang dengan bermaksud hendak menemui aku dan ayah. Tapi kepergok pasukan
penjaga sehingga menerbitkan suatu kecurigaan dan berakhir dengan suatu
kegaduhan. Bukankah cukup beralasan?" Benar Sangaji berotak sederhana,
tetapi kali ini dia tak bisa menerima dalih itu. Rencana itu kurang sempurna
hanya saja ia tak pandai menunjukkan kekurangannya. Untuk menunjukkan tidak
setuju ia mundur dua langkah sambil menggoyang-goyangkan tangan berulang kali.
"Hm," dengus Sonny. Tiba-tiba ia menatap Sangaji dengan pandang
sungguh-sungguh. Berkata agak keras, "Semenjak kami bertemu dengan engkau
di benteng batu dahulu, Ayah sudah menaruh curiga. Masa dua tahun, benar-benar
merubah jiwamu. Kau ternyata bergaul dengan manusia-manusia liar. Kau sendiri,
nampaknya menjadi jagoan pula. Ka-rena itu, engkau harus bertemu dengan Ayah.
Kalau menolak, aku akan berteriak." Watak Sangaji semenjak dahulu mudah
ter-singgung. Kalau saja Sonny bersikap lunak seperti dahulu, pastilah dia akan
luluh hatinya. Tapi kali ini, Sonny bersikap keras. Entah benar-benar demikian
pengucapan hatinya atau tidak, namun hal itu menusuk hati pemuda itu. Seketika
itu juga, Sangaji berdiri tegap. Dan dengan tenang ia menyahut. "Baik. Kau
berteriaklah! Memang aku harus berkata yang benar terhadapmu. Hari ini aku
menjadi musuhmu. Akulah yang membuat kekacauan ini. Akulah yang mencoba hendak
membebaskan semua tawanan ayahmu. Kalau sekarang engkau hendak membelenggu aku,
belenggulah aku! Serahkan aku kepada ayahmu dan aku takkan menyesal. Seorang
laki-laki kalau sudah berani menggerayangi tangsi militer, masakan masih
memikirkan keselamatan nyawanya." Tidak biasanya, pemuda itu bisa
berbicara demikian lancar dan banyak. Entah apa sebabnya, dalam dadanya terasa
ada suatu tenaga bergelembungan. Sebaliknya mende-ngar kata-kata Sangaji, Sonny
tertawa manis dan menarik. Sama sekali ia tak memperoleh kesan sekelumitpun.
"Aku memang seorang pemuda bebal. Mengapa engkau mentertawakan aku?"
Sa-ngaji mendongkol. "Mengapa aku tak boleh tertawa? Justru engkau begini
menjadi galak, teringatlah aku waktu engkau memaki-maki aku di tengah lapangan
dahulu," kata Sonny manis. "Ter-hadap Jan de Groote, Tako Weidema dan
lain-lainnya itu, aku tak peduli. Apa sebab engkau dahulu mendamprat aku habis-habisan?
Memang, kau gemar menjadi aku. Selamanya kau menganggap aku sebagai musuhmu,
sebagai perintangmu. Karena aku kau tuduh merintangi usahamu menjadi jagoan.
Baiklah! Biarlah kau menganggap aku sebagai musuhmu. Tetapi aku tidak. Dan
kalau kau sekarang bilang tak memikirkan keselamatan nyawamu lagi, bagaimana
dengan keselamatan ibumu?" Mendengar kata-kata Sonny de Hoop, hati Sangaji
tercekat. Mendadak saja teringatlah dia kepada ibunya. Hatinya menjadi luluh
sebagian. "Kau kira di manakah ibumu kini?" kata Sonny lagi.
"Dia tak berada lagi jauh di kampung. De-ngan bantuan Ayah, akhirnya aku
memper-oleh sebuah rumah yang tak jauh dari rumah-ku. Kakakmu Mayor Willem
Erbefed sangat senang pula. Karena dengan demikian, ibumu tak perlu merasa
kesepian. Hampir tiap hari aku mengawani." Mendengar ujar Sonny itu
diam-diam Sangaji mengeluh. Pikirnya sibuk, Ibu berada di Jakarta seorang diri.
Malah kini berdiam di dekat rumah Sonny. Bukankah berarti, bahwa ibu dan anak
berhutang budi? Teringat kepada Titisari, pandang wajahnya menjadi layu dengan
tak setahunya sendiri. Ia lantas menunduk ke tanah. Sonny de Hoop
mengamat-amati dengan saksama. Begitu memperoleh kesan tertentu, ia tertawa
perlahan. "Sebenarnya apakah sih senangnya hidup merantau tak keruan? Kau
dahulu bilang hen-dak menuntut dendam kematian ayahmu. Apakah sudah
kaulaksanakan?" Sangaji menggelengkan kepala. Semangat-nya jadi runtuh.
"Nah, tuuuu... sudah kusangka. Kau masih saja membawa adatmu yang
kekanak-kanak-an. Kau merantau tanpa tujuan. Meninggalkan ibu kandungmu seorang
diri. Hasilnya hanya bergaul dengan orang-orang tak keruan. Memang semenjak
dahulu aku tahu kau ingin jadi seorang jagoan. Kalau tidak, masakan engkau
berlatih siang malam tak kenal lelah." Sonny menyesali. Kemudian
meninggikan suaranya. "Karena itu, diam-diam Ayah hendak memasukkan kau
berdinas militer. Entah karena usaha Ayah ataukah memang nasibmu yang baik,
engkau bisa diterima pihak atasan. Gubernur Jenderal yang mengenal engkau
semenjak berumur empat belas tahun menghadiahimu pangkat letnan. Bukankah
bagus? Kakak angkatmu Mayor Willem Erbefeld sampai menlonjak-lonjak kegirangan.
Nah, Letnan Sangaji! Terimalah hormatku!" Habis berkata demikian, Sonny de
Hoop mundur dua langkah dan siap hendak mem-beri hormat. Sebaliknya Sangaji terperanjat
bukan main sampai berjingkrak. Katanya de-ngan suara meninggi. "Apa? Aku
menjadi letnan VOC?" "VOC tiada lagi," sahut Sonny cepat.
"Ka-barnya kau akan ditetapkan dalam batalyon satu di bawah panji-panji
Bataafshe Republiek. Terang?" "Tapi Sonny... tak dapat aku menjadi
seorang letnan," kata Sangaji gugup. "Aku tak mempunyai bakat
militer." "Kau bisa melawan kepungan laskar Pangeran Bumi Gede dan
satu kompi militer Belanda. Masih pulakah engkau bilang tak mempunyai bakat.
Lantas apakah hasilmu berlatih jadi jagoan semenjak bertahun-tahun,"
tangkis Sonny de Hoop. Untuk berdebat, janganlah orang meng-harap Sangaji akan
menang. Jangan lagi ber-lawanan dengan Titisari atau orang seperti Sonny de
Hoop yang berpendidikan baik, ba-rangkali berlawanan berdebat dengan seorang
dusunpun yang berbekal ketangkasan ber-bicara takkan mendapat tempat. Karena
itu mulutnya lantas saja terbungkam. Tapi hatinya berpikir keras, la merasa
diri benar-benar menghadapi kesulitan. Kalau mesti harus menjadi seorang
militer Belanda, bagaimana dia kelak akan menerangkan terhadap kedua gurunya
dan orang-orang yang dihormati? Teringat betapa Gagak Seta seorang pejuang
gigih dan kakek gurunya bekas seorang pejuang pula, hatinya mengeluh.
Terlebih-lebih tatkala ia membayangkan tokoh Titisari yang selalu berada dekat
dalam hatinya. "Kau selamanya beragu dalam mengambil tiap keputusan,"
kata Sonny de Hoop dengan tertawa manis. "Mandilah dahulu, agar otakmu
menjadi jernih." Sonny kemudian memberi isarat mata. Di belakang ruang
duduk ternyata terdapat se-katan ruang untuk kamar mandi. Sebenarnya tidaklah
kena disebutkan sebagai kamar mandi, karena isinya hanya dua tiga tong air.
Hanya saja ruangnya tertutup rapat sehingga merupakan sebuah kamar mandi
benar-benar yang berada dalam sebuah kamar tidur. "Kau berdiam diri,
itulah suatu tanda bahwa hatimu bergembira dengan diam-diam," kata Sonny
lagi. "Betapa hatiku takkan ikut senang. Menurut Ayah dan kakak angkatmu
dalam beberapa tahun saja kau bakal bisa mencapai pangkat mayor. Karena bakatmu
baik. Kecakapanmu melebihi orang pula. Nah, mandilah dahulu. Kalau sudah, masih
ingin aku berbicara lagi denganmu." Sangaji mencoba mengasah otaknya.
Tim-bullah keputusannya hendak melarikan diri. Tapi manakala teringat kepada
ibunya, akal-nya selalu saja menumbuk suatu kegagalan. Makin dipikirkan,
keadaan hatinya makin menjadi gelisah. Dalam pada itu, matahari mulai
merangkak-rangkak di ufuk timur. Terompet tanda appel terdengar melengking
menusuk telinga. Di antara suara berisik dan derapnya sepatu, terdengarlah
suara langkah menghampiri tenda. Hati Sangaji tercekat. Cepat ia menyelinap ke
dalam ruang kamar mandi seraya membawa pakaian seragamnya. "Tak usahlah
kau berkecil hati. Aku takkan mengabarkan beradamu di sini kepada Ayah. Asal
saja kau selalu bersikap manis ter-hadapku dan jangan sampai menerbitkan suatu
suara!" ujar Sonny de Hoop tenang-tenang. Jantung Sangaji memukul keras
dan secara wajar ia memasang kuping. Dan tak lama kemudian terdengarlah suara
derap kaki me-masuki tenda. Dialah Mayor de Hoop koman-dan batalyon yang sedang
berkemah di perba-tasan Cirebon. "Ayah," Sonny menyambut dengan
manis. "Kabarnya Ayah akan segera berangkat ke Jakarta. Benarkah
itu?" "Ya," jawab Mayor de Hoop singkat. Ia nam-pak tak
bergembira. Sambil menghempaskan diri di atas kursi, ia berkata,
"Perjalanan kita kali ini nampaknya sia-sia belaka, dua kali aku diutus
menyelesaikan suatu tugas. Tapi dua-duanya berhenti di tengah jalan. Yang
pertama urusan pemberontakan kerajaan Yogyakarta. Siapa mengira mendadak
pemerintah berubah haluan. Dan yang kedua perkara pemadaman pemberontakan
Sultan Kanoman. Kali inipun aku diharuskan pulang dahulu ke Jakarta. Agaknya
ayahmu tak mempunyai rejeki bisa naik pangkat setingkat lagi." "Ah,
Ayah!" potong Sonny dengan tertawa menghibur. "Keberanian dan
ketangkasan Ayah menghadapi semua tugas terkenal di seluruh divisi. Karena itu
Ayah tak perlu berke-cil hati. Ayah masih mempunyai kesempatan besar lagi di
kemudian hari." "Hm," dengus Mayor De Hoop. "Siapa bilang
aku terkenal tangkas. Kalau benar demikian, masakan perkemahan sampai kena
digera-yangi penjahat." Mendengar ujar Mayor De Hoop, Sangaji menahan
napas. "Dalam suatu peperangan kejadian demi-kian sudahlah lumrah. Karena
itu, tidaklah selayaknya Ayah berpikir demikian. Ayah se-orang militer yang
gagah perkasa. Itulah terang sekali. Tiada seorangpun yang bakal
membantah." Mayor de Hoop tertawa. Tertawa kosong. "Kau benar,
anakku," katanya. Kemudian mengalihkan pembicaraan. "Sekarang aku
hendak membicarakan suatu hal yang pasti akan membuatmu bergembira. Sangaji
berada tak jauh dari perkemahan kita. Rupanya anak itu dalam perjalanan pulang
ke Jakarta-." Kaget Sonny mendengar perkataan Mayor De Hoop. "Sangaji
berada di dekat perkemahan? Apakah maksud Ayah?" tungkas Sonny dengan suara
meninggi. "Meskipun belum terang, tetapi salah seorang temannya yang kena
tangkap menyebut namanya." Mayor De Hoop seperti tak mengindahkan ucapan
puterinya. "Entah apa maksudnya ia menyusup ke mari. Mungkin pula sangat
rindunya hendak bertemu dengan-mu. Terang sekali, bahwa ucapan ayahnya
bermaksud lain. Hati Sony jadi tak enak sen-diri. Namun ia cerdik dan cukup
tabah. De-ngan tenang ia memekik genit. Katanya manja, "Ah, Ayah! Kalau
benar ingin bertemu denganku, masakan perlu menyelundup se-gala." Ayahnya
tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Diluaran, bukankah ayahmu
terkenal bengis?" "Baik, baik!" potong Sonny cepat. "Kalau
aku bertemu dengan dia, akan kubisiki bagaimana caranya apabila ingin bertemu
denganku." Untuk kesekian kalinya, ayahnya tertawa terbahak-bahak lagi.
Berkata, "Sangaji kini ternyata tumbuh menjadi seorang pemuda gagah dan
pintar. Ia sangat berguna bagi jalannya pemerintahan. Kalau saja aku bisa
bertemu dengan dia, pastilah dia akan kuajak berbicara. Gubernur Jenderal Van
Wiese membutuhkan pembantu-pembantu yang cakap untuk bisa mengerti apa kemauan
rakyat Cirebon. Menurutnya pantas gerakan militer seyogyanya dipimpin seorang
bumiputera yang bisa dipercaya (Bubarnya VOC di Indonesia mengakibatkan suatu
pergantian pengurus pula di negeri Belanda, dewan pengurus (bewindhebpers)
dibubarkan Herren XXVII diganti dengan sebuah panitia bernama: Comite de
zakenvan de Oost Indische handel en be zittingen ). Dan kelak aku akan
mengusulkan anakku Sangaji. Bukankah dengan demikian, Sangaji akan lebih berbahagia
daripadaku sendiri? Ia akan mempunyai ke-sempatan besar untuk membuat
jasa." Diam-diam Sonny memperhatikan wajah ayahnya. Selang beberapa saat
kemudian, ia berkata mencoba, "Dua tahun lamanya, Sangaji merantau tak
keruan tujuan. Dan waktu dua tahun agaknya bisa pula merubah perangainya.
Seumpama dia sudah biasa hidup merdeka dan menolak kemauan Ayah yang baik ini,
apakah tindakan Ayah terhadapnya?" Mayor de Hoop meruntuhkan pandang ke
tanah. Menjawab, "Aku sendiri tetap berada di pihakmu. Sangaji adalah suamimu
dan de-ngan sendirinya anakku pula. Yang kukawatir-kan hanyalah keputusan
komisi Mr. Neder-burgh dan Dirk Hogendorp. Kalau mereka mempunyai pendapat lain
untuk kita tiada pilihan lagi, anakku. Seumpama komisi 7 orang memerintahkan
menangkap Sangaji, akupun tak bisa berbuat lain." "Itulah
kejam!" potong Sonny dengan suara agak gemetaran. Mayor de hoop mengangkat
pundak seraya menatap puterinya. "Hidup ini kadangkala sangat kejam. Dan
tiap orang berhak mem-pertahankan macam kebahagiaannya sendiri. Karena itu tak
jarang sejarah mencatat suatu kejadian yang tak ketemu nalar. Pernahkah engkau
mendengar seorang tua makan anak-nya sendiri? Semuanya itu terjadi manakala
seseorang terdorong ke pojok, anakku." "Tapi Sangaji apakah
seorang-penjahat yang benar-benar harus disingkirkan?" "Tatkala dia
berada di benteng batu dahulu, apakah hanya aku seorang yang melihatnya?"
Hati Sonny mengeluh. Ia masih merasa bersyukur, karena tak segera
memberitahukan beradanya Sangaji dalam tendanya. Dalam pada itu ayahnya berkata
lagi, "Karena itu... satu-satunya jalan apabila dia pulang ke Jakarta,
harus cepat-cepat kuambil menantu. Bukankah itu kabar menggirangkan bagimu? Dan
begitu dia masuk menjadi keluarga kita, maka pada semenjak saat itu dia berada
di bawah pengawasan langsung komisi 7 orang." Sonny menundukkan muka.
Hatinya girang bukan kepalang mendengar rencana ayahnya. "Hanya saja, anak
itu mengacau di sini," Mayor de Hoop menghela napas. "Siapa?
Sangaji?" "Mudah-mudahan bukan..." Mayor de Hoop meruntuhkan
pandang ke meja. Tangannya meraih cangkir hendak dituangi air teh. Tiba-tiba
tenda tergetar lem-but. Samar-samar terdengar suara angin menggeser di belakang
ruang sekatan. "Siapa yang berada di dalam?" Mayor de Hoop menegur.
Kemudian menatap wajah puterinya mencari kesan. "Ayah menegur siapa?"
Sonny berkata. "Idiih... Ayah menyangka aku menyembunyi-kan Sangaji di
sini? Benar-benar Ayah kena pengaruh laporan penjahat yang menyebut
namanya." Kecerdikan Sonny de Hoop tak bisa melawan Titisari. Ia boleh
menganggap diri cukup cerdik, tapi ternyata mengandung lubang kelemahan. Coba
kalau saja yang dihadapi bukan ayah kandungnya sendiri pastilah sudah terbuka
rahasianya. Wajah Mayor de Hoop berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa
terbahak-bahak. Sebagai seorang komandan batalyon yang sudah kenyang digodok
pengalaman pekerjaannya, sudah barang tentu mengetahui belaka apa yang
disembunyikan dalam hati puterinya. Seumpama saja puterinya tadi bangkit lantas
menjenguk ruang belakang oleh tegurannya dan kemudian memperlihatkan wajah heran,
pastilah dia tak mempunyai alasan untuk ber-curiga. "Hawa dan angin di
sini memang jauh ber-lainan dengan Jakarta atau daerah pedalam-an. Angin di
sini datang dan pergi antara tiada dan ada," kata Mayor de Hoop dengan
masih tertawa gelak. "Memang otakku lagi bermu-rung sehingga kesan laporan
penjahat itu terlalu meresap dalam hati..." Betapapun juga Sonny kenal
watak ayah-nya. Ia sudah bisa menebak sebagian. Karena itu diam-diam ia
bersyukur atas sikap ayahnya dan menyesali kesembronoan Sangaji. "Sekarang
telah kuperintahkan agar mem-perkuat penjagaan," kata Mayor de Hoop.
"Daerah di sini memang termasuk daerah bergolak. Untung, kita berhasil
menangkap salah seorangnya. Orang itu ternyata bandel dan cukup berani serta
tabah. Berulangkali kita cecer dengan pertanyaan-pertanyaan, namun masih saja
membisu. Baik, biarlah kita hajar dahulu dia sampai mau memberi keterangan yang
benar. Kalau tidak, jangan salahkan kita. Dia terpaksa kita lunasi. Apa pikirmu
anakku?" Terhadap siapa saja yang kena tangkap, Sonny tak menaruh
perhatian. Dengan kesan kosong ia menyahut sembarangan saja. Seba-liknya dalam
dirinya sedang merumunkan soal perkawinan dengan Sangaji. "Apakah Ayah
sudah memberi kabar ibu Sangaji?" Sonny mengalihkan pembicaraan.
"Semenjak aku melihat, aku telah mengi-rimkan kabar lewat pos militer. Kau
tak usah berkecil hati. Aku tanggung satu tahun lagi, aku bakal memperoleh
cucu." Wajah Sonny berubah hebat. Pipinya lantas saja menjadi merah dadu.
Sebaliknya ayahnya tertawa gembira sambil bangkit dari kursi. Ia lantas pergi
meninggalkan tenda. Dan hati Sonny lega bukan main. Keringat yang membasahi
tubuhnya disapunya perlahan. Segera ia mengenakan pakaian bersih dan terus
berseru nyaring, "Aji! Kausaksikan sendiri, betapa baik hati Ayah. Karena
itu kurasa tak perlu lagi kau bersembunyi seperti kelinci." Tetapi di
dalam ruang kamar mandi tiada suara. "Aji! Ayah sudah pergi," kata
Sonny dengan tertawa. "Kau mandilah dahulu. Apakah airnya cukup?"
Masih saja tiada suara dari dalam kamar mandi. "Aji! Kau dengar suaraku?"
kata Sonny. Suaranya berubah heran menebak-nebak. Apabila tiada suara jawaban
ia mengkerutkan alis. Kemudian menghampiri dinding ruang kamar mandi. Ingin ia
menyibakkan tirai penutupnya, namun hatinya masih beragu. Berkata mencoba,
"Aji! Aji! Kau lagi apa?" Benar-benar dari dalam ruang kamar mandi
tiada suara. Dan sampai di sini habislah ke-sabarannya. Hatinya jadi curiga.
Terus saja ia menerkam tirai sekatan dan menyibakkan. Dan benar-benar Sangaji
tiada lagi dalam ruang kamar mandi. Bukan main herannya. Segera matanya
menjelajah menyelidiki. Dan tenda seberang sana nampak robek terbelah menjadi
dua. Te-rang sekali, Sangaji telah lolos dari pengamat-annya. Ia meruntuhkan
pandang dan melihat suatu coretan. Segera ia membaca. "Terima kasih atas
pertolonganmu. Kelak kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu dan
berbicara sebebas-bebasnya." Hati Sony mendongkol, terlebih-lebih tatkala
melihat seperangkat pakaiannya ngelumpruk di pojokan. Terus saja ia keluar
tenda mencari keterangan. Tetapi serdadu-serdadu yang dijumpainya tiada melihat
pemuda yang dike-hendakinya. la jadi berputus asa. Dan begitu memasuki tendanya
kembali, ia membanting dirinya di atas tempat tidur. Sangaji sendiri waktu itu
telah berada jauh di luar perkemahan. Dengan ilmu saktinya ia lari kencang,
balik ke pondokan. Waktu itu matahari sudah sepenggalah tingginya. Penduduk
sudah semenjak tadi keluar dari rumahnya masing-masing. Banyak di antara mereka
yang berpapasan dengan Sangaji. Tapi jangan diharap mereka mampu menangkap bayangannya.
Mereka hanya merasa seperti ada sesuatu yang melintasi. Begitu menoleh, sama
sekali telah kehilangan pengamatan sehingga mereka mengucak-ucak matanya dengan
penuh heran. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa sebentar saja sudah sampai
di pondokan. Segera ia berpamit dan terus melanjutkan perjalanannya ke barat.
Dalam hatinya, ia hendak mendahului gerakan batalyon Mayor de Hoop agar dapat
menemui ibunya dan mengambil tindakan cepat. Maklumlah, tadi malam benar-benar
meru-pakan suatu pengalaman hebat baginya. Tanpa disadari penuh-penuh ia telah
menen-tukan pilihan di pihak mana dia berdiri. Ter-ingat akan ibunya yang masih
berada di Jakarta dan berada dalam lindungan keluarga Mayor de Hoop, hatinya
tergetar dengan tak setahunya sendiri. Tak terasa ia membedalkan kudanya makin
lama makin kencang. Willem seekor kuda jempolan. Ia bisa men-capai 200 km dalam
sehari. Itulah sebabnya dalam tiga empat hari saja kota Jakarta sudah nampak
terbentang di depan penglihatan. Dan melihat kota Jakarta, pemuda itu lupa
kepada semua persoalannya oleh rindunya kepada ibunya. Di batas kota ia
berhenti di atas gundukan tanah. Di sinilah dahulu ia bertemu dengan Willem
Erbefeld. Sungainya masih seperti dahulu. Tenang dan agak keruh. Gua tempat ia
menyembunyikan Willem Erbefeld dari pengejaran pasukan Mayor de Groote masih
tetap utuh. Melihat gua itu teringatlah dia pula kepada kasih sayang kakak
angkatnya. Tak terasa ia menambatkan kudanya, ke-mudian berenung-renung seorang
diri. Kala itu senja sudah mendatang. Matahari mulai merangkak-rangkak ke
barat, seolah-olah hanya berlaku beberapa detik, maka hari mulai meremang.
Kemudian bintang-bintang bergetar lembut, berserakan di seluruh angkasa.
Seluruh alam mulai pula menceritakan pengalamannya masing-masing. Dua tahun
meninggalkan kota Jakarta, alangkah banyak peristiwa-peristiwa yang dialami
pemuda itu. la kini bukan lagi Sangaji dua tahun yang lalu. Sebaliknya tumbuh
men-jadi seorang pemuda gagah perkasa dan sakti di kolong dunia. Hanya saja
persoalan-per-soalan yang dihadapi amat rumit. Tiba-tiba ia tersadar dari
lamunannya, bahwa keinginan untuk segera menemui ibu-nya membuat Sangaji
tergesa-gesa meng-hampiri kudanya, kota Jakarta sudah keli-hatan berada di
depan. Hati Sangaji makin berdebar-debar. Willem membawanya lari menuju ke
Jakarta. (Bersambung) ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 35 IBU! AKU PULANG di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 35 IBU! AKU PULANG"
Post a Comment