BENDE MATARAM JILID 34 PULANG KE JAKARTA
Bagus
kempong segera memerintahkan para cantrik mempersiapkan suatu perjamuan.
Tamu-tamu padepokan Gunung Damar dipersilakan memasuki ruang dalam, karena
serambi depan telah rusak. Mereka membungkam seribu bahasa. Kesan pertempuran
tadi benar-benar hebat merumun dalam otak mereka masing-masing. Mereka yang
sedikit banyak menganggap dirinya tergolong manusia-manusia gagah, jadi malu
sendiri. Dibandingkan dengan ilmu kepandaian Kebo Bangah dan Gagak Seta
bagaikan bumi dan langit. Untung mereka mempunyai hubungan baik dengan Sangaji.
Bahkan pernah pula ikut menyumbangkan kebajikan kepadanya. Diam-diam mereka
bisa menghibur diri. Ditengah perjamuan itu setelah lama merenung-renung.
Sangaji mengisahkan semua pengalamannya kepada Kyai Kasan Kesambi dan sekalian
paman-pamannya. Mendengar kisah aneh yang berada di luar kemampuan manusia,
semua yang mendengar jadi tercengang-cengang dan takjub. "Baiklah,"
kata Kyai Kasan Kesambi. "Kalau diurut Ki Hajar Karangpandanlah yang
berjasa. Coba, kalau dia tidak membawa dua benda pusaka Bende Mataram, di dunia
ini mataku yang sudah lamur tidak akan melek. Kukira ilmu kepandaian yang
dicapai manusia kini merupakan puncak-puncak kesanggupan dan kemampuan
zaman." "Tetapi kalau aku yang dikatakan berjasa, tidaklah benar!"
sahut Ki Hajar Karangpandan. "Sebaliknya Ki Jaga Saradenta dan murid Kyai
Kasan keempatlah yang besar jasanya dalam mengasuh dan mendidik Sangaji menjadi
manusia besar di kemudian hari." Menyinggung nama Wirapati, Sangaji segera
teringat akan nasib gurunya. Dia menoleh kepada paman gurunya Gagak Handaka dan
Ranggajaya. Mereka cepat-cepat berdiri dan membungkuk hormat kepada Kyai Kasan
Kesambi. Kemudian mengabarkan tentang obat pemunah yang diketemukan Sangaji
pula. Betapa besar bahagia Kyai Kasan Kesambi tak terperikan. Perlahan-lahan ia
mengelus-elus jenggotnya dan tertawa penuh perasaan. Matanya berseri-seri
memandang atap rumah. "Ah! Betapa hebat orang menyangkal, ternyata yang
Maha Pengasih tahu membalas budi. Wirapati bakal hidup kembali seperti sedia
kala." Orang tua itu segera memeriksa obat pemunah, la manggut-manggut
puas penuh yakin. Segera ia memerintahkan menggotong Wirapati keluar dari
kamar. Dan begitu mereka melihat keadaan Wirapati, semua jadi terharu. Jaga
Saradenta menangis perlahan. Terisak-isak ia berkata, "Kau harus bisa
pulih seperti sediakala. Kau harus melihat dan ikut menyaksikan kehebatan
muridmu Sangaji. Dia bukan bocah tolol seperti sangkaku semula..." Jaga
Saradenta pernah menjadi kawan seperjuangan dekat dengan Kyai Kasan Kesambi
dalam Perang Giyanti. Oleh suatu hal yang tidak terduga-duga ia bisa bertemu
kembali, setelah menyekap diri menjadi Gelondong Segaluh. Hanya saja, ia belum
memperoleh kesempatan untuk berbicara banyak. "Ki Jaga Saradenta!"
sahut Kyai Kasan Kesambi. "Meskipun mataku sudah lamur, tapi aku segera
mengenalmu. Ah, dunia ini memang aneh. Siapa menyangka, bahwa engkau mempunyai
perhubungan rapat dengan muridku Wirapati. Selama dalam perantauan, apakah dia
pernah berbuat di luar angger-angger kesusilaan?" "Tidak! Tidak! Dia seorang
laki-laki sejatii Dan kalau Kyai Kasan mengira dia senang membawa adatnya
sendiri, tidaklah benar. Malahan akulah orang yang tak tahu adat. Dalam
kebanyakan hal, dia suka mengalah terhadapku," kata Jaga Saradenta dengan
penuh semangat. Kyai Kasan Kesambi segera bekerja. Obat pemunah itu ternyata
dibagi tiga. Yang satu untuk diminumkan. Yang kedua untuk diborehkan. Dan yang
ketiga untuk penyambung tulang-tulang patah. Setelah itu, Wirapati dibebat erat
dan diletakkan hati-hati di atas tempat tidurnya kembali, la masih saja belum
bisa bergerak, walaupun telah memperoleh kesadarannya kembali. "Dalam dua
bulan lagi kalau tiada halangan ia sudah bisa pulih kembali," kata Kyai
Kasan Kesambi yakin. Perjamuan malam itu dilanjutkan hampir mendekati fajar
hari. Jaga Saradenta segera mengisahkan perhubungannya dengan Wirapati. Ki
Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Ki Hajar Karangpandan dan para murid Gunung
Damar tak mau kalah menyumbangkan kisahnya masing-masing yang berhubungan
dengan Sangaji. Sangaji sendiri setelah melihat keadaan gurunya, berdiam diri.
Justru ia berdiam diri, teringatlah dia kepada Titisari dan ibunya yang masih
berada di daerah barat. Di belakang kursinya duduk Wirasimin dengan bersimpuh.
Kalau tadi sore ia masih meragukan kesanggupan Sangaji, kini ia berbalik
mendewakan. Ia selalu siap meladeni kebutuhan anak muda itu. Dan kalau kisah
para pendekar menyinggung keadaan Sangaji, ia menumpahkan seluruh perhatiannya
sampai mulutnya ternganga-nganga. Kadang-kadang ia menyambung, "Ah! Di dunia
ini mana ada suatu riwayat ajaib melebihi riwayat hidup Gus Aji..."
Sebagai puncak perjamuan itu, Sangaji mengeluarkan kedua pusaka sakti di atas
meja. Para pendekar hanya melihat saja selintasan. Mereka sadar tiada
keuntungannya apabila memiliki kedua pusaka tersebut, mengingat tenaga sendiri
tak mencukupi untuk berlatih menurut bunyi ukiran keris Kyai Tunggulmanik.
Sebaliknya para cantrik yang masih penuh angan-angannya, segera merubung meja
dengan nafsu. Mereka baru kendor nafsunya, tatkala Kyai Kasan Kesambi berkata
kepada Sangaji. "Aji! Meskipun engkau membawa-bawa kedua pusaka itu,
tidaklah berbahaya lagi. Sebab segera para pendekar akan sadar, bahwa mereka
takkan bisa memperoleh hasilnya, manakala tenaga jasmaninya tidaklah seperti
yang kaumiliki. Itu disebabkan engkau berhasil melebur tenaga sakti getah
Dewadaru, ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati oleh cekikan pendekar Bagas
Wilatikta. Sebaliknya, apabila kedua pusaka ini sampai jatuh di tangan Kebo
Bangah atau Adipati Surengpati akan lain halnya. Barangkali di dunia ini bakal
ada cerita lain lagi." Keesokan harinya, Ki Hajar Karangpandan yang biasa
hidup liar segera berpamitan hendak kembali ke padepokannya. Ia pergi bersama
kakak seperguruannya Panembahan Tirtomoyo. Ki Tunjungbiru pun hendak meninggalkan
padepokan pula. Ia menyerahkan sisa madu Tunjungbiru yang mempunyai kasiat
ajaib kepada Kyai Kasan Kesambi untuk mempercepat sembuhnya Wirapati. Sedangkan
Jaga Saradenta masih tinggal di pertapaan. Ia memutuskan hendak menunggu
Wirapati sampai sembuh. "Perkara perjodohanmu sangat gawat, anakku."
kata Panembahan Tirtomoyo. "Kau harus selalu waspada dan bijaksana.
Meskipun kata-kata pendekar Gagak Seta benar, tetapi kau harus pandai
membebaskan hatimu. Kesejahteraanmu sendiri itulah yang harus kauperhatikan."
"Itu benar!" sambung Ki Hajar Karangpandan. "Jodoh adalah urusan
Tuhan. Kalau kau pandai menyerahkan diri ke haribaannya, dia akan memilihkan
jodohmu yang benar. Tetapi semenjak itu, janganlah kau menyianyiakan
isterimu." Mendengar, ucapan kedua pendekar itu tentang perjodohan
Sangaji. Kyai Kasan Kesambi melengak. Sebagai seorang tua yang berpengalaman,
ia menduga cucu muridnya mempunyai persoalan rumit. Namun ia tak berkata
apa-apa. Demikianlah kedua pendekar itu meninggalkan padepokan Gunung Damar. Ki
Tunjungbiru yang pendiam tak lama kemudian berangkat pula. Sangaji mengantarkan
sampai di kaki gunung. "Apakah Aki akan terus langsung berangkat ke
Jakarta?" Sangaji menegas. "Tentu saja, anakku." Jawab Ki
Tunjungbiru. "Aku dilahirkan di daerah barat. Pada sisa hidupku, aku bisa
berharap tinggal di sana sampai mati. Kaupun akan ke Jakarta pula, bukan?
Baiklah aku nanti mengunjungi ibumu. Akan kuceritakan semua pengalamanmu.
Meskipun kau belum berhasil menuntut dendam kematian ayahmu, ibumu pasti gembira
mendengar kabarmu. Bagi seorang ibu, bakal melihat anaknya pulang sudah
merupakan suatu karunia besar. Bisa-bisa ia bertambah umur." Terharu
Sangaji mendengar ucapan Ki Tunjungbiru. Ia jadi diingatkan kepada masalahnya
sendiri. Benaknya lantas menjadi kacau. Karena tak pandai mengutarakan bunyi
hati sendiri, ia tegak seperti batu. Sewaktu bayangan Ki Tunjungbiru lenyap di
langit barat, tak disadarinya sendiri ia menarik napas panjang. "Semua
meninggalkan aku. Semua yang baik hati dan luhur budi." Ia mengeluh kepada
diri sendiri. "Apakah aku bisa bertemu kembali dengan mereka?"
"Teringat akan hal itu, ia jadi makin bersedih hati," kemudian
perlahan-lahan ia kembali ke padepokan. Ternyata padepokan nampak sunyi sepi.
Eyang dan paman gurunya tak berada lagi di luar. Gurunya pun demikian. Mereka
telah memasuki kamar peristirahatannya. Yang mengisi kesunyian, hanyalah para
cantrik belaka. Mereka bekerja memperbaiki serambi dan dinding yang jebol.
Pohon-pohon patah yang menutupi halaman mereka singkirkan sambil menimbuni bumi
yang amblong. Tak terasa dua bulan telah lewat dengan diam-diam. Selama itu
Sangaji menerima petunjuk-petunjuk dan warisan ilmu kepandaian dari Kyai Kasan
Kesambi. Ilmu Mayangga Seta dan puncak-puncak ilmu perguruan Gunung Damar telah
dipahami pula. "Sangaji pandai menghibur diri." Untuk melupakan
kerisauan hatinya, ia berlatih pada siang dan malam hari penuh. Hanya di
saat-saat tertentu, ia membantu eyang gurunya menyembuhkan gurunya dengan
tenaga saktinya. Fatimah pun mendapat gilirannya pula. Dengan demikian,
ingatannya kepada Titisari agak berkurang. Fatimah pulih dengan cepat.
Tenaganya kini bahkan makin bertambah berkat tenaga sakti Sangaji. Ia sudah
mulai berlatih lagi menekuni ilmu kepandaiannya di bawah pengawasan gurunya
Suryaningrat. Wirapati pun sudah memperoleh kesehatannya kembali. Ia
seolah-olah bangun kembali dari liang kubur. Tubuhnya nampak kuat dan perkasa.
Pandangnya berseri-seri di antara wajahnya yang bersih suci. Ia selalu bersama
Jaga Saradenta, membicarakan pengalamannya dan Sangaji. Apabila mendengar kabar
tentang kemajuan Sangaji, ia nampak berbahagia. Senyumnya puas luar biasa. Ia
merasa diri telah sampai pada puncak kemampuan dalam menunaikan tugas yang
dipikulnya selama itu. Sangaji sendiri tak mau berpisah dari dia. Anak muda itu
bisa membawa diri. Tak pernah ia membicarakan tentang kemajuan-kemajuannya.
Kecuali apabila dia sedang berlatih. Juga masalah yang sedang dihadapi tak
pernah pula disinggungnya. Namun betapapun juga, akhirnya Wirapati mendengar
juga. Ini terjadi sewaktu gurunya itu mendadak teringat kepada anak Adipati
Surengpati. Belum lagi Sangaji memberi keterangan, si sembrono Jaga Saradenta
sudah membeberkan peristiwa yang disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Maka
terpaksalah Sangaji meriwayatkan kisah perhubungannya. Dan mendengar hal itu,
wajah Wirapati nampak suram. "Jadi engkau harus kembali ke Jakarta?"
tanyanya penuh perasaan. Sangaji mengangguk. "Hebat! Sungguh hebat
persoalanmu," katanya lagi perlahan. Ia tak mengerti sendiri bagaimana
penyelesaiannya kelak. Sebagai seorang guru yang sudah bergaul semenjak Sangaji
masih menjadi pemuda tanggung, ia tahu belaka keadaan hati muridnya. Pemuda itu
hanya menganggap Sonny de Hoop sebagai kawannya bermain. Sebaliknya terhadap
Titisari, agaknya Sangaji mempunyai pengucapan naluriah yang lain. Tetapi dia
harus berani menemui Sonny. Sebagai seorang guru, sudah tentu ia mengharap
muridnya berhati jantan dan berwatak ksatria sejati. Dan seorang ksatria harus
bisa mengatasi kepentingannya sendiri demi panggilan nilai-nilai hidup. Dia pun
pernah memberikan contohnya. Memikir demikian, tak terasa ia menghela napas.
"Ocapan seorang laki-laki memang tak ternilai harganya." Akhirnya dia
berkata. "Lainlah halnya, apabila Sonny ternyata mengingkari janji..."
ia berhenti merenung-renung. Lalu menegakkan kepala seraya minta ketegasan.
"Kapan engkau berangkat?" Sesungguhnya semenjak ia berpisah dari Ki
Tunjungbiru segera ia ingin berangkat. Tetapi bukan untuk Sonny melainkan oleh
rasa rindunya kepada ibunya. Maka begitu mendengar pertanyaan Wirapati, ia
seperti tergugah. Menjawab singkat, "Sekiranya guru mengizinkan, esok pagi
aku akan berangkat." "Aku sudah sehat kembali. Kau tak perlu lagi
memikirkan aku. Dua tiga bulan lagi aku akan pulih seperti sedia kala,"
kata Wirapati dengan tertawa gelak. "Ha—bagus!" sambung Jaga
Saradenta. "Meskipun kepandaianku kini tak nempil dengan ilmu
kepandaianmu, tapi aku masih berani menggerembengimu. Nah, berangkatlah! Aku
tak menginginkan engkau masih menjadi anak tolol. Sekiranya kau kelak jadi
orang, jenguklah kuburanku kalau aku sudah tak bernyawa lagi. Saat itulah kau
baru benar-benar bebas dari pengawasanku." Sangaji tahu, gurunya yang satu
itu berwatak uring-uringan dan keras hati. Namun diantara bunyi bait
kekerasannya, sesungguhnya bersembunyi suatu rasa cinta kasih mendalam. Karena
itu, tak terasa ia menitikkan air matanya begitu mendengar ucapannya. Ia segera
duduk bersimpuh menyembah. "Eh, apa artinya ini?" damprat Jaga
Saradenta. "Aku menghendaki engkau jadi seorang laki-laki yang tegak
perkasa. Bukan sebagai makhluk yang hanya pandai main sembah dan
berpura-pura." Wirapati tertawa panjang. Dengan menepuk pundak Sangaji ia
berkata: "Tentang hal ini, biarlah aku nanti membicarakan dengan eyang
gurumu. Kau sekarang berkemaslah! Dan kelak kalau bertemu dengan ibumu,
sampaikan salamku dari jauh. Akupun akan titip oleh-oleh sedikit untuk ibumu
..." Wirapati kemudian memasuki kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah
mata tombak yang sudah berkarat. Itulah mata tombak yang ditemukan, sewaktu dia
singgah di rumah keluarga Sangaji di Karangtinalang. "Menurut Nuraini,
inilah mata tombak almarhum ayahmu. Sewaktu dipergunakan untuk melawan
gerombolan orang-orang Banyumas, benda ini ternyata selamat dari lautan api
yang membakar rumahmu." Diingatkan tentang peristiwa keluarganya dan
mendengar pula asal-usul mata tombak yang sudah berkarat itu, Sangaji tergetar
hatinya. Tatkala menerima benda itu, ia gemetaran. Maka hatinya bertambah
terharu. Terus saja ia menangis terisak-isak. "Hm, sudah! Sudah!"
kata Jaga Saradenta. "Dunia ini tak cukup hanya kau tangisi belaka. Kau
mau pulang kepangkuan bunda kini. Lebih baik engkau memikirkan bagaimana caramu
hendak menggembirakan hati ibumu. Sebaliknya kalau datang-datang lantas
menangis, ibumu akan rontok hatinya." Sebenarnya di balik kegarangannya,
orang tua itu bersedih hati akan berpisahan dengan muridnya. Namun sebagai
seorang tua yang sudah banyak pengalamannya, tak sudi ia memperlihatkan
kesedihan hatinya. Sangaji sendiri tak pandai berbicara. Apalagi hendak
mengutarakan keadaan hatinya. Karena itu setelah isaknya berhenti, ia hanya
diam berlongong-longong. Wirapati selamanya bersikap lembut kepadanya. Melihat
muridnya dalam kesulitan ia segera berkata mengalihkan pembicaraan. "Nah,
sekarang berkemaslah! Aku akan menghadap eyang gurumu!" Terhadap gurunya
yang bersikap lembut, Sangaji memujanya sebagai dewa, meskipun ilmu
kepandaiannya kini jauh melampauinya. Maka dengan memaksa diri, ia bangkit dan
memasuki kamarnya untuk berkemas-kemas. Keesokan harinya, Sangaji menghadap
eyang gurunya. Orang tua itu telah mendapat keterangan jelas tentang persoalan
cucu muridnya. Namun dia tak berkata sepatah katapun. Ia hanya memberi
pangestu. Setelah itu memberi isyarat kepada sekalian murid-muridnya agar mengantarkannya
turun gunung. Pagi hari itu sangatlah cerahnya. Sarwa alam terang benderang.
Angin menyanyi di sepanjang deret tetanaman. Gunung Sumbing nampak gagah
perkasa di antara bukit-bukit yang mengelilingi pertapaan Gunung Damar. Di
seberang menyeberang jalan, terdengarlah suara gemericik air meraba sawah dan
ladang yang telah mulai menghijau. Di udara awan putih nampak berarak-arak di
antara tirai biru yang melingkupi segenap cakrawala. Namun semuanya itu tak
dapat merasuk ke dalam lubuk hati Sangaji. Hati Sangaji penuh rasa haru.
Tatkala dia harus berpisah dari kedua gurunya serta paman-paman gurunya, hampir
saja ia menangis. Jaga Saradenta lalu menghampiri dan membentak. "Ah, anak
tolol! Apakah engkau berpikir, bahwa selama hidupmu kami semua harus menyertaimu?
Memang, dahulu hari kau bersama kami memasuki wilayah Jawa Tengah. Kini kau
sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan dengan
seorang diri, seperti waktu kau dilahirkan di dunia. Seperti kelak saatnya kau
kembali kepangkuan hidup, engkau hanyalah seorang diri tanpa teman dan tanpa
penasihat. Karena itu engkau harus belajar mempunyai keputusan cepat, tegas dan
tepat. Hidup ini tak ubah gelanggang perkelahian. Kau akan diajak dan didorong
untuk berkelahi. Dan satu-satunya senjata untuk menentukan segala hal, adalah
keputusanmu. Lamanya hanya sedetik dua detik. Kalau kau selalu beragu, kalau
kau tak mempunyai suatu keputusan, kalau kau selalu kasep menentukan suatu
sikap, engkau akan digulung dan dipilin-pilin. Ah, tolol! Kulihat engkau pandai
bertempur sewaktu melawan pendekar besar Kebo Bangah. Dan engkau menang.
Siapakah yang menentukan kemenanganmu ini? Itulah keputusanmu yang cepat, tegas
dan tepat. Karena itu, hayo tegakkan kepalamu! Di depanmu tergelar banyak
persoalan yang pelik. Dan semuanya menunggu keputusanmu. Mati atau hidup, bukan
soal. Kalau kau mati, matilah sebagai ksatria. Karena semuanya ini hanya
tergantung kepada keputusanmu belaka, maka eyang gurumu hanya memberimu
pangestu. Kau mengerti? Nah, berangkatlah dengan genderang dada laki-laki
tulen!" Hebat kata-kata Jaga Saradenta sampai semua yang mendengar ikut
tergetar hatinya. Memang kadangkala, guru yang sok uring-uringan itu bisa
menemukan butir-butir mustika dunia yang tak ternilai harganya. Itulah disebabkan,
karena ia sendiri sesungguhnya berat berpisahan dengan muridnya. Kata katanya
yang garang berwibawa itu, lebih membidik dirinya sendiri. Tak mengherankan,
bahwa setelah berkata demikian, napasnya jadi tersengal-sengal. Sangaji
terhenyak di atas punggung Willem. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak saja ia melihat Jaga Saradenta menarik
cempulingnya, kemudian dihantamkan ke paha Willem. Kalau ia mau mengelak atau
menangkis, mudahnya seperti membalik tangan sendiri. Karena kini, ilmu
kepandaiannya tiada taranya dalam jagat. Tetapi ia tak berani
menghalang-halangi gerakan gurunya. Tahu-tahu, Willem melompat tinggi di udara
dan melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari gendewanya. Selama hidupnya,
Willem tak pernah diperlakukan dengan kasar. Maka tak mengherankan, begitu kena
cempuling, binatang itu kaget setengah mati. Mengira ia kena marah majikannya,
terus saja melesat membabi buta. Tak mau lagi ia mengambil jalan besar.
Sebaliknya, menerjang sawah dan ladang dan larinya kian nubras-nubras
sejadi-jadinya. Untung, Sangaji kini bukan Sangaji satu tahun yang lampau. Ilmu
saktinya sudah hampir mencapai suatu tataran kesempurnaan. Dengan tangkas ia
menjepit kudanya dengan kedua kakinya sambil mulutnya membujuk halus. Tangannya
menepuk-nepuk lembut. Dan sejenak kemudian, Willem kena dikuasainya lagi.
Tetapi bayangan kedua guru dan paman-paman gurunya telah lenyap dari
penglihatan. Perlahan-lahan ia mengarahkan Willem mengambil jalan besar. Di
dekat pengempangan sawah, ia turun dan memeriksa paha Willem. Ternyata binatang
itu tiada luka. Terang gurunya tadi tidak bermaksud menyakiti Willem. Karena
itu ia sangat masgul. Di dalam hati, ia menyesali diri sendiri yang perlu
diperlakukan demikian oleh gurunya. "Guru sangat kasih kepadaku." Ia
berkata di dalam hati. Melihat hatiku lemah ia terpaksa melakukan suatu hal
yang bertentangan dengan kemampuannya sendiri. Tak terasa ia menghela napas.
Mau ia melompat ke atas kudanya lagi, tiba-tiba terdengarlah suatu suara gemeresek.
Ia kini memiliki pancaindera yang luar biasa tajam. Dahulu saja, pendengarannya
bisa menangkap napas Fatimah yang menggeletak di antara tebing sungai. Kali
inipun demikian pula. Ia menoleh cepat. Dan berbareng dengan itu, ia mendengar
suara menggeru. "Hai tolol! Kau ini memang benar-benar anak siluman! Sudah
kutunggu sekian lamanya, masih juga kau tak mau datang? Dasar laki-laki. Apa
kubilang dulu? Semua laki-laki seluruh dunia ini memang busuk!" Sangaji
melengak. Itulah Fatimah, gadis angin-anginan yang kini sudah sembuh kembali
seperti sediakala, duduk berjuntai di tepi pengempangan sawah. Tubuhnya
terlindung rumpun padi setinggi kanak-kanak, karena itu tidak segera tampak.
"Kau sudah berada di sini sepagi ini?" Sangaji heran menebak-nebak. "Kau
ini gendeng, berpura-pura tak tahu atau tolol?" Teringat akan watak
Fatimah, Sangaji segera bersedia meladeni. Maka ia menjawab menyenangkan.
"Aku memang tolol." "Ia, kau memang tolol," sahut Fatimah
cepat. Mendadak suaranya meninggi. "Hai! Masih saja kau tak mendekat?
Benar-benar kau anak siluman!" Seperti kanak-kanak takut kena gablok,
Sangaji menghampiri terbata-bata. Kalau menuruti hatinya, mau ia tersenyum
geli. Tapi terhadap gadis angin-anginan itu, tak berani ia berbuat begitu.
Hatinya terlalu mulia, sehingga takut akan menyakitkan hatinya. "Aku tahu,
kau bakal pergi. Karena itu aku menghadang di sini. Dan kulihat penyakit
gendengmu kumat lagi. Masakan kau membiarkan kudamu lari menubras-nubras sawah?
Sawah siapa yang kau rusak tadi? Memangnya kau ini tuan besar? Iddiiih ... tak
tahu malu." Tak berani Sangaji menerangkan apa sebab kudanya sampai lari
menubras-nubras. Ia malu kepada dirinya sendiri. Ia mencoba, "Guru dan
paman-paman guru hanya sampai di perbatasan lembah dan selanjutnya aku akan meneruskan
perjalanan seorang diri." "Kau tak usah ngomong perkara tetek-bengek.
Dahulu hari kau pernah bilang ibumu mirip aku. Apakah kau terkenang
ibumu?" "Tentu." Sahut Sangaji cepat sambil duduk di sampingnya.
"Hanya saja kau lebih cantik." "Ih! Kau ini memang anak siluman.
Memangnya aku cantik?" "Ya. Kau cantik." "Ibumu sudah tua.
Kenapa kau persamakan dengan aku?" "Aku bilang kau lebih
cantik," Sangaji gugup. Fatimah melengos. Tiba-tiba berkata, "Kau mau
kuracuni tidak? Bilang!" Peralihan pembicaraan itu bukan main cepatnya,
sampai Sangaji jadi kelabakan. Dasar ia tak pandai berbicara, maka tak pandai
pula menggerayangi hati gadis angin-anginan itu dengan cepat. "Racun
bagaimana?" ia minta keterangan. "Racun ya racun. Kau mau
tidak?" potong Fatimah. Belum lagi Sangaji bisa menebak, gadis itu
mengeluarkan sebuah mangga muda. Berkata, "Dahulu hari kau menggeletak di
tanah seperti siluman sekarat. Tapi aku senang, karena kau mau menggerogoti
manggaku. Tadinya kau takut, jangan-jangan mangga itu kuracuni. Kenapa kau akhirnya
mau menerima pemberianku?" Diingatkan perkara mangga itu, teringatlah
Sangaji pada waktu kena cekik Bagas Wilatikta. Itulah yang pertama kalinya ia
berkenalan dengan Fatimah. Maka setelah melongong sejenak, ia menjawab:
"Kalau tak salah ... bukankah engkau sudah memakannya sebagian?"
"Bagus!" Fatimah bergembira. Terus ia menggerogoti mangga itu
sebagian. Kemudian diberikan kepada Sangaji seraya berkata, "Sekarang kau
berani makan mangga ini tidak? Awas, kali ini benar-benar ada racunnya."
Sangaji terhenyak kalau menuruti hati sudah barang tentu ia akan menolak
pemberian itu. Tetapi hatinya sedang pepat. Lagi pula, semenjak pertemuannya
dahulu ia tertarik kepada sepak-terjang Fatimah yang lucu dan tak terduga-duga.
Maka dengan lapang hati, ia menerima pemberian itu. Ia tahu, gadis itu cuma
menggertak. Tetapi andaikata benar-benar beracun betapapun takkan bisa
mengatakan dia. Sebab kecuali ilmu kepandaiannya kini sudah hampir mencapai
puncak kesampurnan, kesaktian getah Dewadaru membuat tubuhnya tak mempan dari
segala bisa dan racun. "Darimana kau memperoleh mangga ini?" Sangaji
bertanya iseng sambil menggerumuti mangga. "Dari mencuri atau membegal,
kau peduli apa?" sahut Fatimah tak senang. Tetapi diam-diam ia bersyukur
melihat Sangaji memakan mangganya. "Dahulu kau hampir mampus. "Dan
kau kuberi mangga. Kemudian kau tolong aku dari liang kubur, bukankah aku wajib
memberimu mangga pula?" Ia berhenti mencari kesan. Kemudian tiba-tiba
menaikkan suaranya. "Hai! Di manakah kawanmu yang galak dahulu?"
Sangaji tahu, yang dimaksudkan Fatimah adalah Titisari. Justru oleh pertanyaan
tak terduga-duga itu, semangatnya terasa nyaris kabur. Tak setahunya sendiri,
ia berhenti mengunyah. Dan melihat keadaannya, Fatimah tertawa
terpingkal-pingkal. "Baru saja aku bertanya, nyawamu sudah terbang ke
langit. Masakan kau takut aku bakal merebutnya?" Sangaji menundukkan
kepala. Dengan suara dalam ia menyahut, "Dia meninggalkan aku."
"Ah, masakan begitu? Hm "siapa percaya mulut laki-laki. Semua
laki-laki di seluruh dunia ini busuk. Bukankah kau yang meninggalkan dia?"
Sangaji tergugu. Sekalipun tidak demikian, tetapi mirip pula. "Nah
"kenapa tak menjawab? Huuuh... dasar anak siluman. Karena itu, aku benci
padamu. Aku benci! Sana, pergi! Dan kalau kau tak mau pergi, akulah yang pergi!"
damprat Fatimah. Dan benar-benar ia melompat dan lari meninggalkan. Keruan
saja, Sangaji jadi gugup. Ingin ia menerangkan persoalannya, tetapi terhadap
gadis demikian apakah ada gunanya. Namun ia berteriak juga: "Fatimah!
Kenapa kau benci padaku?" "Aku benci atau tidak, apa pedulimu?"
sahut Fatimah sambil lari. Sangaji benar-benar tak tahu apa yang harus
dikatakan. Ia berdiri terlongong-longong. Tiba-tiba teringatlah dia kepada
tutur kata gadis itu sendiri, bahwa kekasihnya meninggalkannya pula. Bahkan setelah
mencaci, menghina dan menghajarnya. Tetapi siapa kekasihnya itu, sampai kini
belum terang. "Agaknya setiap kali ia bersentuhan dengan persoalan yang
mirip dengan persoalannya, dia jadi benci kepada segalanya. Sampai-sampai
akupun dibencinya pula. Baiklah. Memang Sangaji patut dibenci dan dikutuk! Ia
berkata bermurung-murung kepada dirinya sendiri. Seolah-olah orang terbangun
dari kelelahan, ia berjalan tertatih-tatih menghampiri Willem. Dalam benaknya
terjadi suatu rumun suara kacau-balau. Bayangan Titisari lantas saja tercetak
kuat dalam ingatannya. "Titisari! Aku tahu, kau menderita. Tetapi aku
seorang laki-laki. Aku harus bisa menetapi janji, betapapun bertentangan dengan
suara hatiku. Kau tahu, bukan?" la bergumam seorang diri sambil menaiki
kudanya. Tetapi justru ia berkata demikian, wajah Titisari nampak kian jelas.
Mendadak ia merasa seperti ada seorang yang mengamat-amati. Cepat ia menoleh.
Ternyata pancainderanya yang luar biasa tajam, tidak membohongi. Ia melihat
Fatimah berdiri tegak di kejauhan. Gadis itu, kemudian mendatangi dengan
tingkah acuh tak acuh. "Kau marah padaku?" katanya setelah berada
dalam jarak sepuluh langkah. Suatu kebahagiaan tiba-tiba terasa merayap dalam
tubuh Sangaji. Apa sebabnya dia mempunyai perasaan demikian tak tahu ia
menerangkan. Terus saja ia menggelengkan kepala dengan wajah berseri. "Aku
memang laki-laki busuk," akhirnya pemuda itu berkata. "Siapa bilang?
Kau manusia yang paling baik. Manusia siluman yang pernah kukenal. Kau jauh
berlainan dengan manusia yang tak keruan juntrungnya," potong Fatimah.
"Kau lain pula dengan kelakuan kekasihku yang banyak perempuannya."
"Siapa dia?" "Kau tak pernah menghajar, mencaci atau menghina
kawanmu yang galak itu, bukan?" Fatimah seperti tak mendengar pertanyaan
Sangaji. "Tidak." "Nah, itulah bedanya dengan kekasihku yang
jahanam." "Apakah dia bengis terhadapmu?" "Tidak cuma
bengis. Memang dia laki-laki edan. Dia setan dan iblis." "Siapakah
kekasihmu itu?" "Kekasihku ya kekasihku. Kau mau apa?" Ditanya
demikian. Sangaji kelabakan. la mencoba mengalihkan pembicaraan. "Pastilah
kekasihmu itu seorang yang hebat. Setidak-tidaknya dia ..." "Dia
bukan pemuda lagi. Kau ingin tahu?" Sangaji berbimbang-bimbang. Mau ia
menyahut, tiba-tiba Fatimah berkata lagi. "Seorang laki-laki yang dikerumuni
perem-puan banyak, bukankah seorang raja?" "Raja?" Sangaji
terbelalak. "Apakah dia se-orang raja? Raja apa?" "Raja ya
raja." "Eh..., maksudku dia bertahta di mana?" "Kau ini
usilan seperti perempuan," damprat Fatimah "Apakah seorang raja mesti
membutuhkan tahta kerajaan? Idih!" Sangaji kian terheran-heran. Hatinya
lantas sibuk menebak-nebak. "Otakku memang tumpul. Aku tak mengerti
maksudmu." "Siapa bilang kau punya otak? Bukankah semenjak dahulu aku
memanggilmu si tolol?" Fatimah menyengir. "Baiklah. Kau bawalah
dahulu kawanmu yang galak itu kepadaku. Nanti kuperkenalkan siapakah kekasihku.
Kau bisa tidak membawa kawanmu yang galak itu kepadaku?" "Tentu.
Mengapa tidak?" "Baik. Kutunggu engkau di padepokan Gunung Damar.
Kakakku sudah pulang. Dia baru saja sembuh. Tenaganya belum pulih benar, Ia
butuh rawatan. Aku tahu kakakku adalah gurumu. Karena itu sebenarnya kau harus
memanggilku bibi." Dahulu Titisari dipaksanya memanggilnya bibi. Itupun
sebenarnya suatu sendau-gurau. Tak tahunya, kalau dihubungkan dengan kedudukan
Sangaji, benar juga. Maka Sangaji lalu membungkuk sambil berkata, "Baik
Bibi. Hatiku kini menjadi tenteram." Hatinya memang benar-benar menjadi
ten-tram. Dalam pada itu, Fatimah girang bukan kepalang, Ia tertawa penuh
kemenangan. Di luar dugaan ia melompat maju sambil menjewer kuping Sangaji.
Katanya, "Nah sekarang berangkatlah! Bawalah kawanmu yang galak itu
kepadaku! Kalau kau sampai menyia-nyia-kan, aku akan membencimu tujuh
turunan." Entah apa sebabnya, tiba-tiba seleret cahaya berkelebat dalam
benak Sangaji. Ia seperti memperoleh semangat hidupnya kem-bali. Dadanya jadi
lapang dan suatu rasa bahagia merayap hangat ke seluruh tubuhnya. Fatimah
sendiri lantas membalikkan tubuh. Dengan acuh tak acuh ia berjalan mengarah
padepokan, la tak peduli kepada segala, se-olah-olah seorang dewi dari jagat
lain yang tak mempunyai sangkut-paut dengan persoalan dunia. Ia berjalan
menyusur pematang, memetik setangkai padi atau menguber-uber kupu. Penglihatan
ini menggugah lubuk hati Sangaji untuk cepat-cepat berangkat ke Jakarta.
"Dia berkata aku harus membawa Titisari kepadanya." Katanya kepada
diri sendiri. "...Kalau ini terjadi, alangkah senang. Biarlah aku ke
Jakarta menemui Ibu. Ibu akan kubu-juk agar mau pulang ke kampung. Kemudian aku
akan minta izin Sonny, mencari Titisari. Mustahil Sonny tak mengizinkan."
Dalam hati anak muda itu, masih saja ia menganggap Sonny sebagai kawan. Karena
itu hatinya kini jadi riang. Segera ia melompat ke punggung Willem dan
membedalkan ) kuda itu ke arah barat. Willem seekor kuda jempolan. Tanpa
me-ngenal lelah ia berlari secepat angin melintasi kali dan desa-desa. Belum
lagi matahari tenggelam di barat, desa Karangtinalang telah nampak di depan.
Itulah desa, di mana majikannya dilahirkan. Dusun yang merubah jalan hidup.
Sangaji singgah sebentar di kampung hala-mannya. Ia berjalan mengitari halaman.
Teringat akan tombak berkarat, hatinya di-amuk kembali oleh gelombang perasaan
yang tergetar tak menentu. Takut akan berlarut-larut, cepat ia meneruskan
perjalanan. Deru hatinya hendak segera berjumpa dengan ibunya kian keras dan
menyala-nyala. Pada hari ketiga, samar-samar ia melihat gua tempat pertemuannya
yang pertama kali dengan gurunya Gagak Seta. Mendadak ia seperti melihat
berkelebatnya bayangan. Waktu itu, matahari telah semu. Suasana jagad hanya
remang-remang. Namun hal itu tiada merupakan perintang yang berarti bagi
ketajaman inderanya. Perawakannya seperti Titisari. Apakah benar dia berada
dalam gua? Pikirnya dengan dada sesak. Terus saja ia menyemplak kudanya. Tetapi
tatkala tiba di depan gua, keadaannya sunyi sepi. Cepat ia turun dari kudanya
dan memasuki gua. Hidungnya mencium angus perdiangan. Karena itu tak ragu-ragu
ia melesat ke luar dan terus berdiri di ketinggian. Namun ke mana
penglihatannya tiba, tiada tanda-tandanya pernah diinjak manusia. "Masakan
aku bisa salah?" ia tercengang-cengang. Dengan bersungut-sungut ia kembali
ke gua. Terang sekali di dalamnya terdapat bekas api perdiangan. Meskipun
apinya sudah padam, namun angusnya masih menyebar suatu bau hangus. Malam itu
ia bermalam di dalam gua. Teringat kepada pertemuannya dengan Gagak Seta,
teringat pulalah ia kepada Titisari. Gadis itulah yang besar sumbangannya
membentuk dirinya menjadi manusia lain. Kalau saja tiada Titisari, masakan
Gagak Seta sudi berkenalan dengan dia. Ia bergelisah bukan kepalang. Sampai
larut malam ia diombang-ambingkan oleh angan-angannya sendiri. Mendekati fajar
hari tak terasa ia tertidur. Dan angan-angan yang mempunyai pengucapannya
sendiri, lalu mereka-reka dalam benak anak muda itu. Titisari nampak kembali
menjenguk gua. Seperti biasanya, Titisari seorang gadis lincah, nakal dan
setengah liar. Ia gemar menggoda. Demikian pulalah kali ini. Dengan
berjingkit-jingkit, ia menghampiri Sangaji dan menyelimutinya dengan cinta kasih
penuh. "Kau bilanglah kepada Sonny, bahwa engkau lebih kasih padaku,"
bisiknya. "Bukankah semuanya ini terletak kepada keputusanmu? Kalau kau
takut kepada ayah-nya... kalau kau takut kepada pembicaraan orang, mari kita
mencari tempat lain! Masakan jagat ini hanya sebesar telapak tanganmu?"
Geragapan Sangaji terbangun. Di atas dadanya terasa ada lengan bergerak
menyusur. Cepat ia hendak menangkap. Tetapi lengan itu segera lenyap, ternyata
lengan itu seekor ular sawah. Dia termasuk ular yang tak berbisa. Kalau tidak
tak mungkin binatang itu bisa mendekati tubuh Sangaji yang penuh dengan getaran
tenaga sakti getah Dewadaru. Menjelang terbitnya matahari, Sangaji meneruskan
perjalanannya kembali. Di sepanjang jalan ia menebarkan penglihatannya. Namun
Titisari yang selalu memenuhi benaknya, tiada nampak batang hidungnya.
Bayangannyapun tiada. Ia lesu dengan sendirinya. Tujuh hari kemudian sampailah
dia di per-batasan Kasultanan Cirebon. Waktu itu mata-hari hampir tenggelam di
balik gunung. Burung-burung mulai mengungsi di rimbun mahkota daun. Udara
kelihatan bersungut-sungut. Awan hitam berarak-arak di sepanjang pantai. Itulah
sebabnya pula, angin laut mengamuk dengan kuatnya. Penduduk di
seberang-menyeberang jalan bersikap dingin terhadap segala. Melihat orang berkuda,
tidak menarik perhatiannya. Hal itu ada sebabnya. Kasultanan Cirebon merupakan
daerah lalu lintas kompeni. Sangaji membiarkan Willem berjalan seenaknya. Dia
sendiri nampak lesu. Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mende-ngar
bunyi tertawa. Ia terperanjat. Itulah bunyi suara yang sangat dikenalnya. Terus
saja ia membedalkan kudanya. Mau ia memanggil namanya, tapi segera dibatalkan.
Sebab tak jauh dari padanya, nampak suatu pertarungan adu mulut. "Itulah
Titisari. Benarkah dia di sini?" Sangaji setengah percaya. Ia
mengucek-ucek matanya. Dan kali ini dia tak bersangsi lagi. Benar-benar
Titisari! Gadis yang selamanya merumun dalam ingatannya. Titisari dikepung enam
orang laki-laki, Manyarsewu, Cocak Hijau, Abdulrasim, Sawungrana, Wongso Gdel
dan Munding Kelana pendekar dari Inderamayu. "Kami ini bukannya sebangsa
pendekar yang tak tahu aturan, Nona." Teriak Cocak Hijau nyaring.
"Tetapi engkau keterlaluan. Kenapa mengacau keadaan kami? Kau meng-adu
domba antara kami dan pihak pendekar Kebo Bangah. Kenapa engkau begitu
jahat?" "Siapa jahat? Aku atau kamu?" potong Titisari. "Aku
bilang, Dewaresi memang dibunuh Sanjaya. Apakah salahku?" "Justru
itulah engkau membuat onar. Kau mengoceh tak keruan tanpa bukti." "Siapa
bilang tanpa bukti? Ha, suruhlah Pangeran Bumi Gede menghadap padaku! Aku
tanggung dia bakal puas." "Jadi Nona bisa membuktikan?" Cocak
Hijau menyabarkan diri. "Kalau begitu marilah ikut kami." Tetapi
Titisari tertawa nakal. Menjawab tajam, "Yang butuh bukti, aku atau
dia?" Cocak Hijau menggeram. Habis kesabaran-nya. Meledak, "Pangeran
Bumi Gede bukart budak!" "Bagus! Dan bilang padanya, Titisari bukan
pula seorang budak." Cocak Hijau adalah seorang pendekar bera-ngasan.
Terus ia merabu sambil membentak. "Kalau begitu, aku terpaksa menghajarmu."
"Hm. Kau bisa mengapakan aku?" Titisari tertawa. Titisari sekarang
bukan Titisari satu tahun yang lalu yang dahulu bisa dikerubut dan dipermainkan
di serambi Kadipaten Pekalongan. Berkat bantuan tenaga sakti Sangaji di dalam
benteng batu, tenaganya kini melebihi tenaga sang Dewaresi. Kecuali itu ilmu
Ratna Dumilah dan ilmu-ilmu sakti lain-nya warisan Gagak Seta, sudah dipahami.
Kalau hanya dikerubut enam orang, kesang-gupannya masih berada di atasnya.
Itulah sebabnya Sangaji tak perlu mengkhawatirkan. Tenang-tenang ia turun dari
kudanya dan datang menghampiri dengan diam-diam. Dalam pada itu, Cocak Hijau
telah menum-buk batu. Begitu dia merabu, Titisari mengelak dengan gampang.
Tahu-tahu suatu pukulan menghantamnya telak, la kena dijungkir balikkan dalam satu
gebrakan saja. Sudah barang tentu kawan-kawannya kaget. Serentak mereka
mengepung dan menyerang berbareng. Dengan lincah Titisari berkelit. Tangan
kirinya menyambar. Terus mereka menyerang dari arah bertentangan. Masing-masing
kebagian gaplokan pulang balik. "Apa kubilang? Kalian bisa mengapakan
aku?" katanya nakal sambil tersenyum. "Kalian tahu, jurus apa tadi
namanya? Itulah jurus menghalau gerombolan anjing buduk." Keruan saja
mereka berkaok-kaok men-dongkol. Maklumlah, mereka betapapun ter-golong pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede yang biasa malang-melintang tanpa tandingan. Kini
menghadapi seorang gadis saja, mereka tiada guna lagi. Sangaji tersenyum geli
mendengar ujar Titisari. Pikirnya, Titisari masih saja nakal. Dalam selintasan
saja, pemuda itu bisa menebak sebagian peristiwa itu. Agaknya Titisari sengaja
menyebarkan berita kematian sang Dewaresi. Teranglah maksudnya. Ia hen-dak
menggiring Kebo Bangah kepada Pange-ran Bumi Gede. Inilah bahaya bagi
masing-masing pihak. Mereka diancam suatu perpecahan hebat. Kalau saja sampai
bertarung kedua-duanya bisa mati. Paling tidak, Pangeran Bumi Gede akan kena
dicekuk Kebo Bangah. Bukankah hal itu berarti menolong anak muda itu menuntut
dengan kematian ayahnya. Memperoleh pikiran, demikian, Sangaji jadi terharu.
Kembali ia berpikir, benar-benar Titisari selalu memikirkan kepentinganku.
Meskipun berpisah, ingatan-nya selalu kepadaku. Semua dikerjakan demi untukku
semata.... Tatkala itu, Manyarsewu kena gaplok kem-bali. Ia terhuyung tiga
langkah. Belum lagi ia berdiri tegak, Titisari melemparkan pendekar Abdulrasim.
Yang lain-lainnya kena dijungkir balikkan dan jatuh bergedebrukan saling
tindih. "Manusia-manusia macam begini, masakan mampu melindungi Sanjaya
terhadap pen-dekar Kebo Bangah," Titisari berkata nyaring. "Mestinya
kamu harus tahu diri. Dewaresi bukan nyawa murahan. Pamannya pasti akan
menuntut dendam." Belum lagi lenyap suara Titisari, mendadak saja
terdengar suatu bentakan. "Kenapa Dewaresi? Kenapa Dewaresi?" Suatu
bayangan berkelebat memasuki ge-langgang, dan terus berdiri tegak menghadap
Titisari. Itulah pendekar Kebo Bangah. Tatkala itu, sinar bulan mulai meraba
persada bumi. Meskipun masih remang-remang, wajah Kebo Bangah yang keruh dan
kacau nampak de-ngan jelas. Ia berdiri dengan pandang kebi-ngungan. Pandang
matanya selalu berteka-teki. Dahinya berkerut-kerut seolah-olah menghadapi
masalah berat yang berkerumun tiada hentinya. Pendekar besar itu bukan lagi
seperti dahu-lu. Akibat pukulan sakti Sangaji, urat syarafnya tergetar tak
karuan. Meskipun tenaga saktinya kini berlipat ganda oleh suatu perkembangan
ajaib, namun dia tak dapat menggunakan kewarasan otaknya. Yang selalu melekat
dalam ingatannya, hanyalah kesan sebelumnya dan sesudah bertanding melawan
Sangaji. Yakni, pusaka Bende Mataram dan sang Dewaresi. Itulah sebabnya setelah
turun gunung ia berkelana tak tentu tujuannya dengan membawa dua kesan yang
selalu memburunya. Yang pertama, kesan yang menakutkan. Dan yang kedua, suatu
kesan yang mengungkapkan rasa cinta-kasih tak ter-hingga. Ia menjenguk benteng
tua, medan pertempuran, pesanggrahan-pesanggrahan dan semua kota yang pernah
dimasuki sang Dewaresi. Dan menjelang petang hari itu, sampailah dia di batas
kota Cirebon. Titisari tak menduga jelek padanya, la tak tahu perubahan
mendasar yang terjadi dalam diri pendekar besar itu. Seperti biasanya ia senang
mengumbar adatnya sendiri. Begitu melihat Kebo Bangah berada di depannya, terus
saja ia memperoleh bahan berharga untuk memuaskan hatinya. "Paman Kebo
Bangah!" serunya melengking. "Kau mencari Dewaresi? Tanyalah
mereka!" "Kenapa aku harus bertanya kepada mere-ka-mereka?" Kebo
Bangah bingung. "Aku bilang, tanyalah mereka. Kau dengar tidak?"
Keruan saja para pendekar yang baru saja tertatih-tatih bangun, mencelos hatinya
begitu mendengar anjuran Titisari. Mereka semua tahu, otak Kebo Bangah tak
sewaras dahulu. Kecuali itu, kesaktiannya tak terlawan lagi. Celakanya pula,
mereka habis kena gempur Titisari. Tulang belulangnya terasa nyeri luar biasa.
"Di mana Dewaresi? Aku disuruh bertanya kepada kalian," Kebo Bangah
menghampiri. Seolah-olah saling berjanji, mereka men-jawab serentak.
"Perkara pembunuhan itu, kami tak turut campur. Tanyalah dia! Dia yang
tahu segalanya!" Mendengar jawaban itu, Kebo Bangah berdiri
termangu-mangu. Kemudian menoleh kepada Titisari sambil berkata bingung.
"Hai! Kenapa aku harus bertanya kepadamu?" Betapapun juga, Titisari
adalah seorang gadis yang memiliki otak cemerlang pada zaman itu. Begitu
melihat keadaan Kebo Bangah, sudahlah dapat ia menebak delapan bagian. Hanya
saja dia tak sampai mengira, bahwa Kebo Bangah tak waras otaknya. "Kebo
Bangah! Kau mau bertanya apa padaku?" Kebo Bangah mengerenyitkan dahi.
Lalu menyahut, "Mereka menyuruh aku bertanya padamu mana Dewaresi? Mereka
bilang perkara pembunuhan. Apakah engkau mem-bunuh Dewaresi?" Titisari
tertawa nakal! Sifatnya yang senang menggoda, lantas saja timbul dengan
men-dadak. Berkata, "Siapa suruh dia sok gagah. Apakah kalau sudah
menerima warisanmu, dia bisa malang-melintang seenaknya sendiri? Hm... mana
bisa? Di sini masih ada Gagak Seta dan muridnya." "Apa kau bilang?
Jadi engkau membunuh anakku?" Kebo Bangah meledak. Titisari tertawa
senang. Terhadap Kebo Bangah, memang dia tak begitu senang. Dahulu pendekar
itu, hampir saja memaksa dirinya menerima lamaran sang Dewaresi. Sekarang ia
melihat, pendekar itu sedang kacau pikirannya, la menduga, pendekar itu jatuh
bangkrut melawan kegagahan pasukan kasultanan. Dan inilah suatu kesempatan baik
untuk membalas rasa sebalnya dahulu. Berkata nyaring, "Salahmu sendiri, kenapa
kau ikut-ikutan berpijak pada Pangeran Bumi Gede. Rasakan kini akibatnya.
Majikanmu kena digempur pasukan Ontowiryo. Kau bisa apa?" "Hai, mana
Dewaresi?" Kebo Bangah se-olah-olah tak mendengarkan kata-kata Titisari.
"Kaukah yang membunuh?" Kembali lagi Titisari tertawa senang.
Menyahut, "Kalau benar aku yang membunuh, kau bisa apa?" Mendengar
ucapan Titisari, Kebo Bangah menggerung hebat. Tiba-tiba ia melompat dan kedua
tangannya menerkam dada. Titisari masih saja tertawa hahahihi. Sama sekali ia
tak memedulikan ancaman Kebo Bangah. Dalam hati ia akan mencoba menge-lak cepat
atau mencoba-coba menangkis. Pikirnya, aku telah paham ilmu petak Paman Gagak
Seta dan sedikit mewarisi tenaga sakti Sangaji. Masakan aku tak mampu mengelak
atau menangkis. Akan tetapi baru saja dia berpikir demikian, mendadak terdengar
suara kaget. "Titisari! Minggir!" Itulah suara peringatan Sangaji.
Suara yang dia kenal yang selalu dirindukan. Dan berbareng dengan ingatannya
itu, ia mendengar kesiur angin pukulan Kebo Bangah yang dahsyat luar biasa. Dan
pada saat itu juga dari sisinya melesat pula suatu angin gempuran' yang memapak
pukulan Kebo Bangah. Segera sadarlah dia, bahwa Sangaji hendak menolong
dirinya. Dan pada saat ia hendak melompat menghindari, pukulan Kebo Bangah telah
menghantam pundaknya. Untung, meskipun agak kasep, tangkisan Sangaji masih bisa
memencengkan dan mengurangi tenaga pukulan Kebo Bangah. Benturan tenaga dahsyat
itu mengguncangkan keseimbangan tubuh Titisari. Gadis itu kena terdorong
mundur. Belum lagi ia tahu apa yang akan dilakukan, tiba-tiba jatuhlah dia tak
sadarkan diri. Kebo Bangah kaget kena tangkisan itu. Walaupun otaknya tak
waras, tetapi ingatan-nya seperti mengingatkan sesuatu. Terus saja ia menjerit
dan lari jungkir balik tak keruan jun-trungnya. Sangaji tak memedulikan Kebo
Bangah lagi. Segera ia melompat menghampiri Titisari. Ke-mudian menyambar
tubuhnya dan dibawa lari melompati punggung Willem. Kuda jempolan itu lantas
saja melesat secepat kilat. Ia seperti tahu, majikannya memperoleh kesukaran.
Sangaji terus memapah Titisari sambil mengurut-urut dadanya. Ia membiarkan
kudanya lari semaunya sendiri. Tatkala menoleh ke belakang, pendekar-pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede nampak berjalan perlahan-lahan mengarah ke timur.
Mereka semua kenal kegagahan Sangaji. Untuk melawan mereka merasa diri tak
mampu. "Titisari, Titisari!" Sangaji memanggil-mang-gil dengan hati
cemas. Tetapi gadis itu tak berkutik. Karena itu, hati Sangaji bertambah cemas.
Ia meraba hidungnya, jalan napasnya terasa lemah. Meskipun demikian, pemuda itu
seperti memperoleh harapan tak ternilai har-ganya. Cepat ia menarik kendali
Willem, kemudian turun ke tanah. "Titisari diletakkan di atas pangkuannya.
Lalu ia menyalurkan tenaga saktinya lewat nadi. Sebentar saja, Titisari memperoleh
kesadarannya kembali. "Titisari! Bagian mana yang terasa sakit?"
Sangaji bertanya dengan penuh perhatian. "Bagian mana yang sakit?"
Titisari meng-ulang perlahan. "Cobalah terka! Bukankah engkau sudah
menjadi orang luar biasa? Ayahku sendiri segan padamu." Mendengar jawaban
Titisari, Sangaji ter-henyak. Berkata, "Kau maksudkan aku..."
"Cobalah terka!" potong Titisari manis. Mendengar bunyi suara
Titisari yang manis, pemuda itu seperti terhibur hatinya. Menyahut, "Kau
tadi kena pukulan langsung. Kukira pundakmu yang sakit." Titisari
menggelengkan kepala. Matanya bersinar-sinar menatap pemuda itu. "Apakah
lenganmu?" Sangaji menebak. Kembali lagi Titisari menggelengkan kepala.
"Apakah urat syarafmu tergetar akibat ban-tuan tenaga?" Sangaji
mencoba. Untuk ketiga kalinya, Titisari mengge-lengkan kepalanya. Dan melihat
gelengan kepala itu, Sangaji menarik napas. Berkata seperti menyerah.
"Titisari! Aku memang tolol! Jangan lagi aku mengerti keadaanmu, apa yang
telah dan akan kuperbuat sendiri, aku tak mengerti." "Justru karena
engkau tolol itulah aku senang padamu" potong Titisari. Bukan main
girangnya pemuda itu mende-ngar bunyi perkataan Titisari. Dasar ia tak pandai
berbicara, ia jadi bungkam seribu bahasa. "Hai, tolol!! Mengapa engkau berdiam
diri?" tegur Titisari. "Bukankah engkau harus bisa menebak rasa
sakitku? Kalau tidak, jangan harap engkau bisa menyembuhkan aku."
"Katakanlah! Kau tahu, aku ini seorang tolol!" "Hm, apakah
pukulan Kebo Bangah terlalu hebat?" "Semenjak ia berubah ingatan,
tenaga sak-tinya berlipat ganda. Paman Gagak Seta sendiri hampir tak mampu
menangkis pukul-annya." "Berubah ingatan?" Titisari tak mengerti
mengerenyitkan dahi. Kemudian meneruskan dengan yakin. "Biarkan dia
memiliki tenaga dahsyat, ia tak bakal menang melawan tenagamu. Buktinya, mana
dia sekarang?" "Tetapi... tadi aku nyaris kasep memapak
pukulannya." "Justru begitu, aku jadi teringat siapa yang melukai
aku." "Siapa?" "Engkau," sahut Titisari cepat.
"Aku?" Sangaji tercengang-cengang. Secara wajar, ia segera
mengingat-ingat benturan tenaga tadi. Memang benar, ia hanya mampu mengirimkan
tenaga dua bagian karena arus pukulan Kebo Bangah teraling tubuh Titisari.
Meskipun kasep datangnya, tetapi tenaga pukulan Kebo Bangah bisa dikurangi.
Karena itu tak mungkin, Titisari jatuh tak sadarkan diri karena pukulannya.
Tetapi tatkala ia hendak membantah tiba-tiba, Titisari berkata: "Memang
engkaulah yang memukul aku. Pukulan Kebo Bangah bisa mengapakan aku?
Paling-paling hanya meremukkan tulang-tulangku. Tetapi pukulanmu, benar-benar meresap
sampai ke ulu hati. Kalau saja engkau mau menggendongku selama hidupmu, aku
akan sembuh dengan sendirinya." Mendengar ucapan Titisari, bukan main
ter-haru hati Sangaji. Terus saja ia mendekapnya dan hampir menciumnya.
"Kau ingin kugendong selama aku masih hidup? Baiklah aku akan
menggendongmu selama hayatku masih di kandung, badan," bisik Sangaji.
"Aji!" bisik Titisari dengan suara parau. "Kau tahu... selama
itu aku selalu memikirkan dirimu. Kalau aku mimpi, engkaulah yang selalu
memenuhi benakku. Kukunjungi rumah orang tuamu. Kujenguk gua pertemuan kita
dengan Paman Gagak Seta dahulu. Kususuri jalan yang pernah kita lalui
dahulu..." "Jadi... jadi... engkaukah dahulu, yang berkelebat ke luar
gua?" Titisari mengangguk lemah. "Mengapa engkau tak mau menemui
aku?" Sangaji menegas. Titisari merapatkan matanya. Wajahnya jadi pucat.
Dan ia kehi-langan kesadarannya sendiri. "Titisari Titisari!" Sangaji
cemas. Dengan penuh rasa terharu, ia segera menyalurkan tenaga saktinya.
Kemudian dengan perlahan-lahan ia mencari rumah penginapan. Dua hari dua malam,
Sangaji merawat luka Titisari. Dan selama itu Titisari terus berbicara tak
berkeputusan. Pada hari ketiga, ia berbelanja ke pasar. Membeli dua ekor ayam
dan sepuluh butir telur. "Kau masih perlu beristirahat. Biarlah aku makan
di luar," sanggah Sangaji. "Aku hendak memasak untukmu. Apakah kau
tak sudi lagi makan masakanku?" sahut Titisari. "Tentu saja aku akan
selalu senang makan masakanmu. Tetapi pada saat ini engkau perlu merawat
dirimu. Kalau kau sudah sehat kembali, aku bahkan akan ikut membantu membumbui
masakanmu." "Hm, Kau bisa apa? Lagi pula, kalau menunggu sampai aku
sembuh kembali... barangkali kau sudah..." dan sehabis berkata demikian
terus saja ia memasuki dapur pengi-napan. Sangaji tak kuasa menyanggahnya lagi.
Terpaksalah dia duduk seorang diri di dalam kamarnya. Di luar dugaan, Titisari
datang kembali. Dengan berdiam diri ia duduk di samping Sangaji. Kemudian
berbaring di atas pembaringan. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia tertidur
sampai matahari lewat atap rumah. Seorang pelayan datang menghampiri Sangaji
dan memberi tahu bahwa makan siang sudah tersedia lengkap. Sangaji segera
membangunkan Titisari. "Kau mau mengajak aku makan?" Titisari tertawa
riang. "... Kau tadi bilang akan makan di luar. Mari kita mencari suatu
rumah makan besar yang kaya masakannya." Tanpa membantah Sangaji menuruti
perin-tahnya. Pikir anak muda itu, tadi pagi dia ingin memasakkan sesuatu
untukku. Aku menolaknya. Dan ia lantas tidur. Kini ia mengajak aku makan di
luar. Rupanya ia selalu berusaha mengiringkan kehendakku. Baiklah mulai saat
ini aku takkan menghalang-halangi semua perbuatannya. Mereka memasuki pasar dan
terus menuju ke utara. Di kejauhan nampaklah sebuah rumah makan besar yang
cukup mentereng. Itulah rumah makan besar "Nanking" tempat
pertemuannya yang pertama kali. "Mari kita mengambil jalan lewat pagar
samping," kata Titisari. Tanpa menunggu jawaban, gadis itu terus meloncati
pagar. Sangaji tak mengerti maksudnya tetapi ia menurut. Setelah tiba di
pekarangan, Titisari langsung memasuki ruang dalam. Ternyata ruang itu penuh
dengan manusia. Sekarang tahulah Sangaji apa sebab Titisari mengajak lewat
pagar. Rupanya pemilik rumah makan sedang mengadakan suatu pesta, sehingga hari
itu menutup rumah makannya. "Semua minggir!" berkata Titisari sambil
tertawa. Ia maju ke depan. Semua orang yang mengunjungi pesta, kaget berbareng
heran. Mereka semua berjumlah empat lima puluh orang, terbagi dalam tiga
bagian. Mereka saling memandang. Mau mereka menyangka sedang ketamuan se-orang
gila. Tetapi melihat kecantikan Titisari mereka jadi bersangsi. Titisari tak
memedulikan pandang mereka. Ia menghampiri seorang tetamu yang sedang berdiri
hendak berpidato. Tanpa tahu apa kesalahannya, ia kena dijambret Titisari.
Terus diangkat dan dibanting ke lantai. Keruan saja ia berkaok-kaok kesakitan.
Tamu-tamu lainnya jadi sibuk menebak-nebak. "Aku bilang, kalian harus
minggir! Mengapa kalian tak menghiraukan?" Sudah barang tentu ruang pesta
jadi kacau-balau. Tuan rumah yang bertanggung jawab kepada keselamatan tamunya,
lantas saja berteriak. "Panggil polisi! Panggil polisi!" Tak lama
kemudian terdengarlah suara se-patu berderapan. Empat orang anggota polisi
datang dengan diiringkan dua belas tukang pukul. Mereka bersenjata lengkap.
Titisari tak mengenal takut. Bahkan ia menyambut mereka dengan tertawa. Baru
saja salah seorang anggota polisi hendak membuka mulut, gadis itu sudah melesat
dari tempatnya. Tahu-tahu enam belas orang itu kena bagian gaplokan pulang
balik. Senjata mereka kena dirampasnya dengan gampang dan dilontarkan ke atap.
Tuan rumah ketakutan setengah mati. Segera ia hendak lari, tetapi Titisari
sudah berhasil mencekuknya. Dengan pandang berapi-api, gadis itu mengancamkan
goloknya. Karena takutnya, tuan rumah sampai jatuh berlutut sambil berbicara
lancar. "Nona... eh, Nona besar... apakah Nona besar menghendaki uang?
Sabarlah aku akan menyediakan, asal saja Nona besar mengam-puni diriku..."
"Siapa menghendaki uangmu?" bentak Titisari dengan tertawa. "Aku
hanya menginginkan engkau menemani kami makan dan minum." Mendengar
jawaban Titisari, tuan rumah sampai tak mau mempercayai pendengaran-nya
sendiri. "Nona besar..." "Mari duduk!" Titisari memotong.
Terus saja ia menarik tuan rumah duduk di belakang meja sambil memberi isyarat
kepada Sangaji agar duduk pula di sampingnya. "Kalianpun duduk dengan
baik-baik!" perin-tah Titisari kepada para tamu dan empat anggota polisi
bersama dua belas tukang pukul. "Hai! Kenapa tak mau duduk?" Kena
bentakan itu, mereka cepat-cepat duduk. Karena gugup dan ketakutan mereka jadi
berdesak-desakan sehingga empat lima kursi jatuh terbalik-balik. "Kamu
semua bukankah manusia-manusia kenal kesopanan? Mengapa duduk tak keruan
sehingga saling berjubel seperti lalat?" tegur Titisari tajam. Dan kembali
mereka saling mendorong hendak mencari tempat serapi mungkin. Dan sejenak
kemudian mereka telah duduk dengan tenang dan rapi. Hanya saja mereka tak
berani berkutik seperti orang hukuman. Titisari tak memedulikan mereka. Dengan
lahap, ia menggerumuti semua masakan dan menenggak habis hampir semua macam
minuman yang berada di atas meja. Sangaji sendiri sudah berjanji pada dirinya
sendiri, takkan mencegah atau membantah kehendak Titisari. Ia segera pula
mengiringkan semua perbuatan kekasihnya. "Sebenarnya untuk apa kau
mengadakan pesta ini" tiba-tiba Titisari bertanya kepada tuan rumah.
Lambat laun tuan rumah tidak begitu ketakutan lagi menghadapi Titisari. Dengan
hati-hati ia menjawab, "Sebenarnya aku lagi mengawinkan anakku."
"Ah, bagus! Mana pengantinnya? Coba, suruhlah ke luar! Aku ingin melihat
mereka." "Anakku yang perempuan. Baru saja dia berganti
pakaian," kata tuan rumah gugup. "Kau bilang apa? Aku perintahkan dia
ke-luar, mengapa sibuk tak keruan?" bentak Titi-sari sambil menancapkan
belatinya di atas meja. Melihat berkelebatnya belati, tuan rumah kaget. Dengan
terpaksa ia menyuruh memanggilkan anaknya. Dan tak lama kemu-dian keluarlah
pengantin perempuan dengan pakaian tidur yang belum teratur rapih. "Eh...
masakan belum lagi petang hari, su-dah mengenakan pakaian tidur?" tegur
Titisari. "Karena gugup, ia mengenakan pakaian sekenanya saja. Harap
dimaafkan," sahut yang disuruh memanggil pengantin perem-puan. Titisari
menghampiri pengantin perempuan yang berdiri gemetaran. Kemudian menoleh kepada
tuan rumah seraya berkata, "Anakmu cantik dan cukup molek. Mengapa ayahnya
seperti babi? Barangkali ini bukan anakmu." Mendegnar ujar Titisari, tuan
rumah jadi tersipu-sipu. Namun karena takut, ia tak berani membantah. Dasar ia
gemuk tak ubah seekor babi. Sebaliknya tamu-tamu lainnya merasa geli
menyaksikan peristiwa itu. Hanya saja mereka tak berani tertawa. Titisari
melepaskan cincin berliannya, lalu diangsurkan kepada pengantin perempuan.
"Kau pakailah cincinku ini sebagai suatu kenang-kenangan. Dan semenjak hari
ini, sebutlah aku sebagai nenekmu!" Yang mendengar jadi heran dan sibuk
menebak-nebak lagi. Tetapi Titisari tak memedulikan, la menuang sebotol minuman
keras ke dalam mangkok. Diangsurkan mangkok itu kepada tuan rumah. Berkata
memaksa, "Anakmu jadi pengantin. Nah, hor-matilah dia dengan satu mangkok
minuman ini!" "Tapi... tapi... aku tak begitu kuat minum," tuan
rumah khawatir. "Eh! Kau ini banyak mulut. Kau minum, tidak?" bentak
Titisari garang. Dengan gemetaran terpaksalah tuan rumah menghabiskan minuman
itu. Mukanya jadi merah pengap, namun ia tak berani menge-luarkan perkataan
satu patahpun. Sampai hampir menjelang petang hari Titisari berada dalam pesta
itu. Tuan rumah sudah tak keruan macamnya, la jatuh terje-rambap di atas
lantai, karena terlalu mabuk. Sedangkan tamu-tamu lainnya meringkuk bagaikan
tawanan. Setelah pulang di penginapan, Titisari minta pendapat Sangaji katanya
nakal. "Aji! Bagus tidak permainanku tadi?" "Kau membuat orang
takut. Pesta yang mestinya riang gembira, jadi keruh tak keru-an," sahut
Sangaji. "Baiklah. Temani aku nanti menculik pe-ngantin lelakinya sekarang
aku ingin melihat pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik."
Sangaji segera mengeluarkan dua buah pusaka saktinya. Gadis itu lalu membawanya
pergi. Ia mandi di laut dan mengaduk-aduk kedamaian toko-toko yang berada di
seberang menyeberang jalan. Kira-kira menjelang pukul sepuluh malam, ia
mengembalikan kedua buah pusaka sakti itu. Katanya kemudian, "Mari.
Sekarang tiba waktunya menculik pe-ngantin laki-laki." "Hendak kauapakan?"
"Dia hendak kucencang di tegalan dahulu sampai esok pagi." "Apa
salahnya?" Sangaji heran. "Bukankah engkau sudah cukup membuat hati
orang berkebat-kebit?" "Salahnya sendiri, mengapa mereka bisa kawin
sebelum aku kawin." Mendengar alasan Titisari, Sangaji bertam-bah heran.
Kata-kata itu seperti mengandung suatu maksud besar. Tetapi ia tak sanggup
menangkapnya dengan cepat. Dalam pada itu Titisari telah melesat pergi.
Terpaksa Sangaji mengikuti dari belakang, dengan berdiam diri. Hati pemuda itu
jadi sedih pilu. Pikirnya, masakan Titisari berubah ingatannya? Tak usah
menunggu lama, maka Titisari sudah membuktikan ucapannya. Ia menyeret pengantin
laki-laki seperti seekor anjing kena jerat. Sepanjang jalan ia mengancam.
"Awas! Kau jangan mengeluarkan bunyi apa pun. Kalau kau berani membuka
mulut, aku akan mencekikmu. Tahu?" , Tanpa dapat berkutik, pengantin
laki-laki yang tak tahu apa dosanya diikat erat-erat di pinggir lapangan.
Setelah itu Titisari berkata membujuk, "Kau tak usah takut. Esok pagi, kau
bakal dibebaskan orang. Malam harinya kau boleh menemui isterimu. Bukankah
belum kasep?" Pengantin laki-laki yang malang itu, manggut-manggut
terpaksa. Tapi masih ia berusaha bertanya, "Mengapa besok malam aku baru
bisa menemui isteriku?" "Kau ini memang kerbau goblok," bentak
Titisari. "Malam ini isterimu akan kucencang juga di tengah pasar. Dia
akan kubuat pingsan satu hari penuh. Nah, bukankah itu suatu lelucon
bagus?" Sangaji yang berjanji pada dirinya sendiri takkan mencegah semua
perbuatan Titisari, akhirnya tak tahan juga. Dengan lembut ia menarik tangannya
dan berkata hati-hati. "Titisari! Kau sudah cukup mempermainkan seisi
rumah. Apakah engkau belum puas?" "Puas? Mana bisa aku puas. Kau
harus selalu menemani aku. Sebab setelah aku sem-buh, kau pasti akan
meninggalkan aku untuk menemui bakal isterimu. Dan semenjak itu kau pasti akan
selalu menemani Sonny. Aku tak percaya, dia akan mengizinkan engkau menemani
aku bermain-main. Bukankah waktunya sangat sempit? Lewat satu hari berarti
kurang satu hari. Karena itu aku akan bermain-main berlipat ganda. Agar
kegembi-raan satu hari jadi selama dua hari. Kalau empat hari lagi engkau akan
meninggalkan aku... aku bakal memperoleh kegembiraan delapan hari. Karena itu,
aku akan bermain-main dalam hari cerah dan malam hari. Kau harus menemani aku.
Aku tak sudi tidur. Kau mengerti, Aji! Tiap detik sangat besar artinya bagiku.
Engkau takkan mence-gah maksudku ini, bukan? Biarlah aku tak beristirahat.
Kalau lukaku akan jadi parah, bukankah berarti engkau akan tetap men-dampingi
aku?" Bukan main terharu hati Sangaji mendengar ujar Titisari. Sekarang
tahulah dia, apa sebab perbuatan Titisari begitu aneh dan luar biasa. Ternyata
dalam hati gadis itu, tak mau berpisah dengan dia. Saat perpisahan yang mesti
harus terjadi, hendak dipergunakan sebaik mungkin. Dia mau diajak berjaga
terus, siang dan malam. Memperoleh pikiran demikian pemuda itu lalu memegang
tangan Titisari erat-erat. "Titisari! Otakku memang tumpul. Aku dungu.
Goblok dan tolol! Sampai detik ini benar-benar aku belum mengerti maksudmu.
Kalau begitu, biarlah aku selalu menemanimu. Aku akan... aku akan... aku
akan...." Sangaji tak sanggup meneruskan perkataannya. Hatinya sangat pilu
dan terharu, akhirnya ia jadi terdiam dengan tiba-tiba. Tak tahu ia, apa yang
hendak dilakukan. Titisari lalu berdiam diri. la memandang Sangaji. Kemudian
merenungi. Dan tiba-tiba setitik air mata menggelinding dari kelopak matanya.
"Memang akulah anak sial," katanya seje-nak kemudian dengan suara
parau. "Dahulu, tatkala ibuku meninggal kata orang ayah sa-ngat membenci
diriku. Aku selalu disesalinya. Karena akulah yang dianggap menjadi pem-bunuh
ibuku." "Akulah anak celaka dan anak sial yang tak kebagian
rejeki." Ia berhenti mengesankan. Meneruskan, "Tatkala aku sudah
menjelang dewasa, seringkali aku mendengar Ayah * berdendang dan menangis
sendiri. Seringkali pula aku diajak mengenangkan riwayat bunda... dan sudah
barang tentu aku tak mengerti... Dan setelah aku benar-benar jadi dewasa, ayah
tak mau berpisah dariku meskipun satu langkahpun. Aneh! Hidup ini memang aneh!
Dari benci berubah menjadi kasih. Dari riang gembira berubah menjadi berduka
cita. Mengapa pula aku harus berpisah darimu, hanya Hidup sendiri yang
tahu." Sangaji kian jadi terharu. Sama sekali tak diduganya, bahwa Titisari
demikian besar rasa cintanya kepadanya. Diam-diam ia berpikir dalam hati.
"Pantaslah, sepak terjangnya luar biasa dalam dua tiga hari ini. Bagaimana
kalau dia kutinggalkan? Dalam kesepiannya, pastilah dia akan kembali pulang ke
Karimunjawa. Hanya ayahnyalah satu-satunya orang yang bisa menemaninya.
Meskipun ayahnya belum tentu mengerti keadaan hatinya, tetapi beta-papun juga
dia adalah ayah kandungnya. Tetapi kalau ayahnya meninggal... siapa lagi yang
akan menemaninya?" Memperoleh ingatan demikian, Sangaji jadi berkecil
hati. Ia dekap tangan Titisari erat-erat. Lalu berkata dengan suara gemetaran.
"Titisari... Kalau begitu, walaupun langit • ambruk, aku akan selalu
menemuimu di mana saja engkau berada." Titisari nampak gemetaran pula
mendengar ucapan Sangaji. Namun ia tak berkata lagi. Ia nampak menundukkan
kepala. Pandang matanya meredup. Kemudian berkata hati-hati. "Tetapi
bagaimana dengan Sonnymu?" "Aku bertunangan dengan dia, di luar
kehendakku. Masakan aku harus merasa selalu berhutang kepadanya?"
"Kau maksudkan... tak memedulikan Sonny lagi?" Titisari menegas
berbimbang-bimbang. "Aku akan menemanimu selama hidupku," sahut
Sangaji tegas. Dan mendengar kete-gasan Sangaji, Titisari tak sanggup lagi
me-nguasai diri. Ia lalu memeluk Sangaji dengan girangnya. Sangajipun
memeluknya pula. Dan dalam sejenak mereka saling berdiam diri, mendengarkan
denyut jantung masing-ma-sing. "Tetapi bagaimana dengan ibumu?"
tiba-tiba Titisari bertanya. "Aku akan membawanya pulang ke kam-pung ke
Desa Karangtinalang. Kau mau bukan, berdiam di sebuah desa sepi itu?"
"Tentu, tentu! Bawalah aku ke ujung dunia dan aku takkan membantah,"
sahut Titisari cepat bersemangat. "Tetapi guru-gurumu bagaimana?"
"Kedua guruku sangat kasih padaku. Mereka akan bisa memaklumi. Apalagi
guru kita Gagak Seta dan Eyang Kasan Kesambi. Beliau berdua adalah tokoh besar
dalam zamannya ini. Dalam hati mereka, pastilah menginginkan aku menjauhi
perkampungan Belanda." Mereka berdua merasa sangat berbahagia. Hati mereka
sangat melekat, seolah-olah tiada lagi sesuatu kekuatan di jagat ini yang mampu
memisahkannya. Selagi demikian pendengaran Sangaji yang tajam melebihi manusia
lumrah, mendengar suatu langkah perlahan lewat dengan cepatnya di seberang
lapangan. Titisari melihat berkele-batnya sesosok bayangan. Melihat gerakannya,
terang bukan manusia biasa. Mereka berdua lalu mengejar. Bayangan itu
berlari-lari menuju ke barat. Mereka mengikuti sampai ke luar batas Kasultanan
Cirebon. Lima belas kilometer lagi, tibalah mereka di sebuah desa. Bayangan itu
hendak membelok ke tikungan, kemudian berhenti dengan mendadak. Ternyata tak
jauh dari desa itu, nampak perkemahan kompeni Belanda yang dijaga sangat rapat.
Tatkala bayangan itu melesat ke pinggir jalan, Sangaji dan Titisari telah
menghadang di depannya. "Siapa?" Bayangan itu membentak. Mendengar
suara bentakan itu, Sangaji tak sangsi lagi. Itulah suara yang sudah lama
dikenalnya. Terus ia membungkuk hormat seraya menyahut. "Aki... inilah
Sangaji. Dan ini teman ber-jalanku ... eh, ... Titisari dahulu." Titisari
membungkuk hormat pula, karena orang itu ternyata Ki Tunjungbiru. "Ah!
Mataku memang sudah lamur. Kau baru sampai di sini?" Ki Tunjungbiru
keheran-heranan bercampur girang. Seperti diketahui, Ki Tunjungbiru
meninggalkan padepokan Gunung Damar tiga bulan yang lalu. Ia mengira, Sangaji
segera pula berangkat ke Jakarta mengingat persoalannya dahulu. Tak tahunya,
Sangaji baru sampai di Cirebon pada waktu itu. Ia mau menduga, barangkali
Sangaji sudah sampai di Jakarta dan hendak balik kembali ke Gunung Damar. Teringat
akan perjalanan yang sangat jauh itu ia membatalkan dugaannya sendiri.
"Baru dua minggu ini aku meninggalkan padepokan. Apakah Aki sudah sampai
di tem-pat tujuan?" "Mari kita berbicara," bisik Ki Tunjungbiru.
Dan hati-hati ia membawa Sangaji dan Titisari berlindung di balik rumpun
belukar. "Seluruh Jawa Barat kini jadi kancah nera-ka," ia mulai.
"Tadinya kita mengira, sesudah VOC bubar negara akan aman. Tak tahunya,
kini Kompeni mengarahkan perhatiannya ke Banten. Hubungan Banten dengan pedagang-pedagang
Inggris membuat Belanda gelisah. Banten akan ditaklukkan benar-benar. Mana bisa
begitu? Meskipun seringkali kita kalah, masakan kita akan membiarkan diri jadi
budak Belanda. Tidak! Selama gunung masih tegak berdiri, selama lautan masih
mengirimkan debur gelombang, kita akan melawan. Melawan terus! Biar bagaimana
akibatnya." "Belanda mau bikin apa?" Sangaji minta keterangan.
"Ah, anak tolol!" Ki Tunjungbiru tertawa mendongkol setelah heran
sejenak. "Kalau Banten bisa ditaklukkan, seluruh Jawa ini bisa berada
dalam genggamannya, dia bisa membuat apa saja sekehendaknya. Kita semua akan
dijadikan pekerja rodi! Kita dipaksanya memacul, menebang pohon dan menanam
rempah-rempah dan membayar hutang-hutangnya dan memperkaya tuan-tuan besar di
seberang lautan. Masakan kau belum bisa berpikir sejauh itu?"
"Masakan begitu?" Sangaji masih saja belum mengerti. Ki Tunjungbiru
menghela napas. Sambil merenungi wajah Sangaji ia berkata lagi. "Semenjak
dahulu aku tahu, kau berhati mulia. Semua orang kau anggap semulia hatimu. Kau
terlalu sederhana. Sampai-sam-pai menganggap percaturan dunia ini berjalan
menurut bunyi perasaanmu... Baiklah! Pergilah kau ke Jakarta, hidup berkumpul
dengan kompeni. Aku akan berada di luar. Pada saat ini, semua orang gagah di
seluruh tanah air bangkit mengangkat senjata. Kudengar ada beberapa di antara
mereka kena tangkap. Aku akan melihatnya. Dan sekiranya mampu, akan kucoba
membebaskan sampai bertemu kembali!" Dan setelah berkata demikian, Ki
Tunjungbiru melesat pergi. Heran berbareng kaget Sangaji melihat kepergian Ki
Tunjungbiru dengan mendadak. Ia merasa diri seperti kena salah. Maka ia mau
mengejarnya, tiba-tiba lengannya kena tarik. Itulah Titisari yang semenjak tadi
berdiam diri. "Kau mau ke mana?" tanyanya lembut. "Aku hendak
menolong orang-orang gagah yang kena tangkap. Masakan aku tinggal bertopang
dagu?" "Hm. Kau dikatakan sebagai anak tolol. Apa perlu mengikuti
dia?" Sangaji tak lekas menjawab. Ia seperti lagi sibuk menimbang-nimbang.
Sejenak kemudi-an berkata, "Titisari! Otakku memang tumpul. Semua orang
berhak memanggil aku si tolol. Apakah bedanya?" "Tapi aku tak
mengijinkan," sahut Titisari cepat. Sangaji tertawa meringis. Mencoba
meng-ingatkan, "Bukankah engkau memanggilku anak tolol juga?"
"Aku boleh memanggilmu sesuka hatiku. Karena engkau adalah milikku."
Dalam hal adu mulut, betapa Sangaji bisa menang daripada Titisari. Maka ia
mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apakah kita menyusul Aki
Tunjungbiru?" "Hm. Aku bilang, kau dikatakan sebagai anak tolol. Dan
aku betapa bisa rela. Dia mau bermusuhan dengan Belanda, apakah pedulimu?"
"Tapi... masakan aku hanya jadi penonton belaka?" Sangaji mencoba
memberi kesan. Titisari tertawa perlahan. Alisnya yang lentik menegak. Dan
berkata seperti kepada dirinya sendiri. "Eh, semenjak kapan kau berubah
ingatan hendak bermusuhan dengan Belanda? Kalau benar-benar demikian, itulah
hebat!" "Bermusuhan? Aku tidak bermusuhan. Hanya saja aku takkan
membiarkan mereka membuat susah Aki dan orang-orang yang kuhormati dan
kukasihi. Siapa yang memusuhi mereka, bukankah berarti musuhku pula?"
"Lalu bagaimana dengan Sonny?" "Sonny...? Sonny? ... Itulah
lain," Sangaji bergap-gap. "Baiklah. Memang menurut penglihatanmu,
Sonny bukan bangsa Belanda. Dia bidadari entah dari kahyangan mana.
Hm...." Diingatkan demikian, Sangaji terperanjat. Dan kembali lagi ia
merasa diri kena salah. Setelah berdiam sejenak, akhirnya berkata mencoba.
"Entahlah... aku memang tolol. Otakku benar-benar dungu." "Nah,
kau bilang begitu lagi," Titisari memo-tong sengit. "Hayo... temani
saja aku menculik pengan-tin perempuan! Bukankah lebih menggembi-rakan daripada
engkau dikatakan sebagai anak tolol tiada guna?" Titisari tak menunggu
jawaban. Ia terus melesat pergi memasuki batas kota kembali. Dan sisa malam
itu, benar-benar dia memper-oleh kesenangan. Ia jadi mencincang pengan-tin
perempuan. Kemudian mengajak Sangaji berbicara dan berbicara. Sangaji sendiri
hanya bersikap meladeni. Pikirannya kusut memikirkan kesan perte-muannya dengan
Ki Tunjungbiru. Meskipun demikian ia bercemas hati pula memikirkan kesehatan
kekasihnya. "Titisari!" akhirnya dia berkata. "Kau sudah
bermain-main satu malam suntuk dan sudah banyak berbicara. Sekarang tidurlah
untuk beristirahat barang selintasan." "Apakah engkau sudah bosan
mende-ngarkan suaraku?" "O, tidak-tidak! Tapi kesehatanmu!"
"Hm. Tidur adalah soal gampang. Sebulan dua bulan lagi, bukankah masih ada
kesem-patan untuk tidur?" "Apakah engkau akan berjaga terus sampai
satu dua bulan?" Sangaji terbelalak. "Aku akan berjaga terus sampai
tahun depan. Sampai dunia kiamat. Kenapa?" Titisari menyahut cepat.
"Aku lagi bertemu dengan kau. Dan aku tahu, kau bakal pergi. Masakan aku
akan tidur? Tidak! Orang dungulah yang akan berbuat begitu. Karena itu aku akan
berbicara terus sampai hatiku tak mau berbicara lagi." Sangaji menghela
napas. Hatinya lagi-lagi terharu. Berkata penuh iba, "Baiklah. Aku akan
menemanimu." Dan benar-benar Titisari tak sudi beristira-hat. Tiga hari
tiga malam dia terus bermain-main, berbicara dan bersenda-gurau. Dan pada hari
keempat, mendadak kota Cirebon diributkan oleh suatu peristiwa lain. Penduduk
kota beramai-ramai membersihkan rumah dan pekarangan. Polisi-polisi kota
memerintahkan pula membersihkan jalan de-ngan hardikan-hardikan garang.
Titisari yang usilan segera menghampiri seorang pekerja paksa dan bertanya
minta keterangan. "Kenapa mesti membersihkan rumah, pekarangan dan jalan?
Apakah hari ini ulang tahun Sultan?" "Sultan mana yang kuasa
memerintah kami?" sahut orang itu tak senang. "Kalau kau ingin tahu,
inilah gara-gara perintah jenderal petak. Kompeni yang dikirim ke Jawa Tengah
hendak lewat di sini. Kabarnya Belanda hendak mengadakan pembersihan pula di
sini. Kulihat kau bukan penduduk Cirebon. Nah, enyahlah kalau mau
selamat!" "Mendongkol hati Titisari mendengar ucap-annya. Tetapi ia melihat
orang itu bersungut-sungut. Nampaknya tak senang hati melakukan perintah
polisi. Menurut hatinya bukan dia pergi menjauhi, sebaliknya menghampiri
seorang agen polisi. Tanpa berkata sepatahpun dia terus menjambretnya. Kemudian
membentak, "Kau manusia khianat yang tak kenal malu. Apa hebatnya bisa
memaksa orang bekerja demi membuat senang majikanmu. Apakah yang kau
ben-tak-bentak bukan bangsamu sendiri?" "Keruan saja rombongan polisi
lainnya jadi sibuk. Dengan serentak mereka maju hendak menolong. Tetapi
semuanya kena dirobohkan Titisari dengan mudah. Dan orang yang mem-beri
keterangan tadi berdiri tegak keheran-he-ranan. Sama sekali tak diduganya,
bahwa seorang gadis bisa merobohkan serombongan polisi dengan mudah. "Kau
siapa Nona?" dia mencoba bertanya dengan suara nyaring. Titisari masih
mendongkol mendengar ucapannya tadi. Maka ia menyahut: "Kalau kau mau
selamat, enyahlah dari sini!" Orang itu bertambah ternganga-nganga melihat
polisi-polisi jatuh bergelimpangan seperti barang ringsek, ia jadi ketakutan
kena salah. Maka diam-diam ia memundurkan diri di belakang kerumunan orang.
Pada petang harinya, benar-benar kompeni lewat kota Cirebon. Suara genderang,
terompet dan derap kuda berkumandang ke seluruh penjuru. Penduduk kota,
laki-laki perempuan, besar kecil berbondong-bondong mencongakkan diri di tepi
jalan. Mereka berdesak-desakan, himpit-menghimpit dan merupakan pagar manusia
yang tak tertembus oleh penglihatan. Mereka nampak riang-gembira dan
bersorak-sorai memuji kegagahan kompeni. Dan mendengar sorak-sorai itu,
Titisari jadi uring-uringan. "Masakan penduduk kota ini jadi kambing
semua?" katanya mendongkol. "Hm... tidak semua begitu, Nona. Lihat
saja! Sebentar lagi bakal ada keramaian," terdengar suatu suara di
belakangnya. Titisari menoleh. Ia melihat seorang laki-laki berberewok
mengenakan pakaian hitam. Melihat pandang matanya yang tajam, terang dia bukan
orang sembarangan. Orang itu membalas pandang Titisari dengan tenang dan
berwibawa. Kemudian tersenyum pendek. Berkata, "Keberanianmu tadi siang
menjungkir-balikkan serombongan polisi benar-benar mengagumkan kami. Sepak
terjang itu sendiri bisa menggugah semangat kami. Karena itu, sebentar lagi
akan ada keramaian. Nona mestinya harus melihat tontonan itu." Setelah
berkata demikian, orang itu lantas pergi, la beringsut-ingsut dalam kerumunan
manusia dan sebentar lagi telah hilang dari pengamatan. "Aji! Kau tahu
orang itu?" kata Titisari. "Bagaimana aku tahu?" Sangaji
menyahut. "Hm... kau ini benar-benar tolol. Dia bukankah bangsamu juga?
Cuma saja, dia emoh hidup bersama bangsa Belanda dalam jagat ini. Kau
tahu?" Sangaji melengak. Teringat akan dirinya sendiri yang sedang hendak
melakukan per-jalanan ke Jakarta untuk menemui Sonny de Hoop, ia tiba-tiba jadi
perasa. Betapa otaknya sederhanapun, akhirnya ia sadar kena sindir Titisari.
Keruan saja hatinya jadi sibuk sendiri. Waktu itu di seberang sana terdengar
suara genderang raksasa yang ditabuh sangat berisik. Pagar manusia lalu
berteriak-teriak, "Sudah datang! Sudah datang!" Yang mendengar
teriakan itu, cepat-cepat memanjangkan lehernya. Tak usah menunggu lama maka
mereka segera melihat pasukan berseragam berbaris rapi. Rombongan pertama
terdiri dari satu kompi berkuda. Seorang serdadu yang kelihatan perkasa,
membawa panji-panji kebesaran kompeni. Di sampingnya berkibar pula, bendera
kebangsaan Belanda: merah - putih - biru. Kemudian di belakang mereka berbaris
satu peleton pasukan genderang yang membunyikan genderangnya masing-masing.
Bukan main gemuruhnya. Belum lagi lenyap kehebatan mereka, di-susul pula oleh
dua pasukan besar yang terdiri kira-kira 100 orang. Mereka bersenjata lengkap.
Sepatu mereka berderap gagah menetaki alas jalan. Yang berada di depan, membawa
bendera. Semua berjumlah empat-puluh helai. Dan melihat berkibarnya bendera,
pagar manusia lantas saja bersorak-riuh. "Hebat! Kau rasakan tidak,
kehebatan mereka?" kata Titisari dengan mendongkol. Sangaji tak menjawab.
Kata-kata Titisari tak ubah sebuah belati menikam ulu hatinya.
Sekonyong-konyong di tengah keriuhan itu, nampaklah empat orang berkelebat
melintasi jalan. Kepala Peleton lantas membentak. "Hai, anjing! Apakah
matamu lamur? Minggir!" "Kami bukan anjing, bukan lamur. Kalianlah
anjing-anjing yang menggerogoti tulang-tulang kami." Salah seorang dari
mereka membalas mem-bentak. "Anjing! Kau bilang apa?" Kepala Peleton
itu lalu melompat sambil mencabut pedangnya. Berbareng dengan gerakannya,
berkeredeplah sebuah benda. Tahu-tahu sebilah belati menancap di dada Kepala
Peleton itu. "Inilah anak Cirebon! Ayo! Serbu!" teriak penyerangnya.
Kepala Peleton itu terjungkal di atas jalan. Dan selanjutnya arak-arakan itu
jadi kacau balau. Di antara jerit penduduk kota yang berjubel menonton gerakan
tentara itu, muncullah beberapa orang bersenjata yang terus menerjang barisan.
Ternyata ucapan laki-laki berberewok tadi benar belaka. Tidak semua penduduk
kota Cirebon bersemangat kambing. Rata-rata mereka bekas anak buah Mirza
pemimpin pembrontak Kasultanan Cirebon yang pernah membuat geger VOC. Mereka
golongan pem-berani dan mempunyai semangat tempur yang tinggi. Begitu melihat
salah seorang temannya terlibat dalam suatu perkelahian, mereka terus menyerbu
berbareng dengan tak memedulikan akibatnya. Keruan saja, kompeni jadi
kelabakan. Dengan tergesa-gesa mereka mengisi sena-pannya masing-masing. Tetapi
lagi-lagi mere-ka kalah cepat. Beberapa di antara mereka tewas seketika itu
juga. Tatkala senapan-senapan mereka mulai bisa ditembakkan, korbannya jatuh
pada penduduk kota. Seketika itu juga, ramailah orang berde-sakan mencari
selamat. Kanak-kanak banyak yang mati terinjak-injak. Jerit ketakutan dan
rintih kesakitan berbauran di segala penjuru. Titisari yang masih tebal rasa
kekanak-kanakannya, tak mengenal takut menyaksikan peristiwa itu. Dia bahkan
menemukan suatu kegembiraan lain lagi. Dengan menerkam lengan Sangaji, dia
berkata nyaring: "Aji! Kau dulu pernah bertempur melawan pasukan Belanda
di kubang batu. Apakah kau kini masih berani memperlihatkan taringmu? Hayo,
pungutlah beberapa butir batu. Tahu-tahu berkedeplah sebuah belati terus menancap
di dada kepala peleton pasukan kompeni itu. "Inilah anak Cirebon! Hayo!
Serbu!" Teriak penyerangnya. Sambitkan batu-batu itu. Kutanggung menjadi
tontonan yang menarik." Sangaji tak membantah ajakan Titisari. Da-sar dia
merasa takluk semenjak dahulu. Maka dengan cepat ia memungut beberapa butir
kerikil. Lalu disambitkan bertaburan. Hebat akibatnya. Tenaga saktinya yang
luar biasa kuat melontarkan batu-batu itu tak ubah letusan peluru. Empat ekor
kuda kena tertembus kepalanya. Setelah binatang-binatang itu berjingkrakan
tanpa ampun lagi lalu mati terjengkang. Keadaan berubah menjadi kalut.
Pertempuran perseorangan kini berbalik menjadi pertempuran berondongan. Kompeni
bermata gelap. Senapan mereka membabi buta. Pasukan tempurnya berbareng
menyerang pula. Tak mengherankan, korban penduduk sangat besar jumlahnya.
Titisari dan Sangaji lambat laun kena desak larinya pagar manusia. Meskipun
mereka memiliki tenaga sakti melebihi manusia lum-rah, akhirnya terseret juga.
Mereka berdua terdorong-dorong dari pojok ke pojok. Tatkala matahari nyaris
tenggelam di barat, mereka telah berada pada suatu tempat yang terlin-dung
semak belukar. "Hebat! Hebat! Itulah baru tontonan yang
menggembirakan!" kata Titisari nyaring. "Ya hebat,1' sahut Sangaji
lesu. la tak ber-gembira sama sekali. Bahkan kelihatan pri-hatin, mengingat
korban penduduk sangat banyak. Cirebon pada tahun itu mengalami suatu
pemberontakan besar. Seperti diketahui, sultan yang memerintah daerah adalah
keturunan Falatehan yang semenjak abad tujuh belas diakui kedaulatannya oleh
kompeni. Kemudian pada tahun 1797, terjadilah suatu perubahan yang menusuk hati
rakyat. Sultan meninggal. Dan kompeni emoh mengangkat Sultan Kanoman menjadi
penggantinya. Hal ini ada sebabnya, Sultan Kanoman hendak merubah tata
pemerintahan yang memberi keleluasan terlalu besar kepada orang-orang Tionghoa.
Karena akibatnya, golongan Tionghoa main peras dan menghisap kekayaan penduduk.
Maka terjadilah suatu pemberontakan. Kompeni dan residen tak kuasa mema-damkan.
Akhirnya Gubernur Jenderal mengi-rimkan Nicolas Engelhard untuk mengatasi
kekeruhan itu. Dan demikianlah, pada hari itu Nicolas tiba di Cirebon dengan
membawa 1000 serdadu. Gntuk menggertak rakyat, se-ngaja ia mengadakan hari
pameran senjata dan kekuatan militer. Tak tahunya, pameran senjata itu kena
dikacaukan laskar rakyat yang menyerang dengan berani dan mendadak. Keruan
saja, pada malam hari itu kompeni mengadakan perondaan dan pemeriksaan. Semua
jalan-jalan dipenuhi dengan peleton bersenjata lengkap. Rumah-rumah penginap-an
digeledahnya. Merasa diri tak aman, Titisari segera mengajak Sangaji keluar
lapangan. Mereka berdua terus menunggang Willem menuju ke Barat. "Kau
takut tidak, mati bersamaku di tengah jalan?" kata Titisari menggoda.
"Kau bilang apa?" Sangaji mengirik ping-gangnya dari belakang. Sambil
tertawa geli, Titisari menyahut: "Habis, apa kau sangka calon isterimu
tidak berada di antara kompeni?" Mendengar ujar Titisari, hati Sangaji
terkesiap. Mendadak saja, timbullah suatu kepahitan dalam kalbunya. Suatu
perasaan tajam menusuk ulu hatinya. Apakah itu, ia sendiri tak bisa mengerti.
Akhirnya diam-diam ia menghela napas. Lalu berkata, "Baiklah! Mari kita
terjang perkemahan kompeni." Kini Titisarilah yang berganti terkesiap.
Seperti seorang guru mempertimbangkan ulangan muridnya, ia menyahut hati-hati.
"Kau hendak mencari mati, itulah bukan tujuanku. Tapi kalau kau tak takut
mati bersamaku di tengah jalan karena suatu kecelakaan, itulah jawaban yang
menyenangkan hatiku." Setelah berkata demikian, ia terus membe-dalkan
Willem bertambah cepat. Itulah sebab-nya, sebentar saja mereka berdua telah
melin-tasi perbatasan Cirebon. Dan malam itu kembali lagi Titisari kumat
adatnya, la tak sudi beristirahat. Ada-ada saja yang dikerjakan. Dengan Sangaji
ia menculik beberapa pen-duduk golongan Tionghoa dan dilemparkan ke tengah
sawah. "Kau tahu, apa sebab rakyat Cirebon berontak?" katanya memberi
keterangan kepada Sangaji. "Mereka kena tindas dan kena peras orang-orang
Tionghoa. Karena itu, kalau saja rakyat Cirebon mengetahui perbuatan kita ini,
mereka akan senang." Sangaji yang berhati mulia dan berotak sederhana
menjawab, "Tetapi masakan semua orang Tionghoa berhati kejam?"
"Kau mau mencari yang kejam? Baiklah. Esok pagi kau akan kubawa
berkeliling mene-mui mereka. Tapi awas! Kalau kau sampai kena lirik
gadis-gadisnya, kau akan kugaplok." Sangaji tercengang mendengar ucapan
Titisari. Namun ia bersikap diam. Tenaga jas-maninya meskipun kuat luar biasa,
akhirnya terasa lesu juga karena sudah hampir lima hari lima malam tak
memicingkan mata barang sedikitpun. Lainlah halnya dengan Titisari. Bagi
seorang wanita, cinta adalah seluruh hidupnya. Demi mengabdi cintanya, ia
seperti memperoleh tenaga gaib. Gerak-geriknya terus segar-bugar. Menjelang
pagi harinya, ia mengajak mandi di sebuah kali. Dan tak lupa, mulutnya terus
nerocos tiada hentinya. Akhirnya hari keenam mulai merangkak-rangkak memasuki
lembaran kemanusiaan. Matahari kala itu telah muncul di udara. Seluruh alam
terbangunkah. Burung-burung mulai mencari mangsanya. Di udara bebas mereka beterbangan.
Berkicau dan bercumbu. Dan Titisari masih saja berkecimpung di dalam sungai.
"Aji! Daripada kau terlongong-longong di pinggiran, nyemplunglah ke
mari!" serunya. Semenjak dahulu, Sangaji tak begitu pandai berenang, la
mengenal arus sungai berkat ajaran Titisari. Tak mengherankan, bahwa ia enggan
menerima ajakan itu. Sahutnya, "Kau mandilah sepuas-puasmu! Biar aku
menunggu di sini!" "Kau menolak ajakanku? Baiklah! Kau duduklah di
situ. Ingin kutahu, sampai kapan kau betah tak mandi." Sangaji seperti tak
menggubrisnya, la mundur mencari rimbun pohon. Lalu bersender pada batangnya
sambil mengawasi gerak-gerik Titisari. Di luar kemauannya sendiri ia jadi
berpikir yang bukan-bukan. Teringat betapa besar cintanya gadis itu, teringat
pulalah dia kepada Sonny. "Alangkah besar perbedaan mereka."
Diam-diam ia berkata dalam hati. "Titisari se-orang gadis alam. Wataknya
bebas merdeka dan tak pedulian. Sebaliknya Sonny... dia per-nah berbuat apa
untukku? Tetapi kalau aku begitu saja tak memedulikannya, dimanakah lantas
letak harga diriku?" Teringatlah dia, barisan kompeni kemarin petang yang
memenuhi jalan-jalan kota Cirebon. Melihat kegarangannya, pantaslah kalau
mereka bisa menaklukkan laskar-laskar daerah yang kurang teratur dan disiplin.
Sekonyong-konyong muncullah Ki Tunjungbiru di hadapannya, la datang bersama
sepasukan laskar rakyat yang tanpa ragu-ragu lagi menyerang pasukan kompeni.
Maka terjadilah suatu pertempuran seru. Tatkala mereka kena terdesak, datanglah
suatu bantuan yang tak terduga-duga. Itulah anak buah Gagak Seta yang dipimpin
Sondong Majeruk, kepala desa yang dahulu dikenalnya di Desa Gebang sewaktu
Dewaresi hendak menculik Sekar Ayu Retnaningsih. "Di manakah Guru?"
Sangaji minta kete-rangan. "Lihat! Itulah dia!" sahutnya cepat sambil
menuding. Sangaji menoleh dan melihat Gagak Seta sedang melesat menerkam
mangsanya. Pemuda itu melongokkan kepalanya ingin melihat siapakah yang
diserang gurunya. Tiba-tiba hatinya terkesiap. Itulah Sonny de Hoop yang duduk
di atas kuda di tengah barisan kompeni. Tak dikehendaki sendiri, ia memekik
tinggi. Dan mendengar pekikannya, Gagak Seta mengurungkan serangannya, la
melesat menghampiri sambil membentak. "Kau manusia jahanam! Dalam kulit
dagingmu masakan kau menggembol nyawa Belanda?" Belum lagi bisa menjawab,
Gagak Seta telah menggaploknya pulang balik, la terperanjat dan geragapan
mundur. Wajahnya terasa panas. Tatkala menjenakkan mata, sinar matahari yang
tajam merangsang mukanya. Sangaji terus mengucak-ucak matanya. Entah berapa
lama dia tertidur, tetapi melihat mata-hari telah berada di atasnya paling
tidak sudah pukul satu tengah hari. Geragapan ia bangun. Sekitarnya sunyi
senyap. Matanya meruntuhkan pandang ke sungai, Titisari tiada lagi berada di
sana. Hatinya terkesiap. Gugup ia menghampiri Willem yang terikat rapi tak jauh
daripadanya. Tahulah dia, itulah perbuatan Titisari. Tetapi apa sebab dia
berbuat begitu, ia menduga-duga. Tak usah ia berpikir lama atau ia menemukan
secarik ker-tas tergantung di tepi pelana. Aji! Hampir enam hari engkau tak
meme-jamkan mata barang sebentarpun. Pastilah engkau sangat penat. Nah,
tidurlah sepuas-puasmu. Dahulu aku mengira, engkau sangat kasih padaku dan
berani berkorban serta berbuat apa pun untukku. Ternyata selama ini engkau
hanya melayani kemauanku semata. Bertepuk sebelah tangan, apakah senang-nya?
Pergilah, Aji! Pergilah! Carilah jalanmu sendiri! Aku akan mencoba begitu juga
dan biarlah aku menyanyi untukmu di sepanjang jalan ... Cinta untuk wanita
benar-benar adalah seluruh hidupnya. Melihat Sangaji tertidur, Titisari mengira
pemuda itu tak mengimbangi deru hatinya. Ia tak mau mengerti dan tak mau tahu,
apa yang sedang dipikirkannya. Dan demikianlah dengan hati hancur luluh, ia
pergi tanpa pamit. Sudah barang tentu, Sangaji terperanjat bukan kepalang
setelah membaca surat itu. Hatinya terasa seolah-olah terenggut sampai seluruh
tubuhnya menjadi dingin. Mendadak saja, ia seperti berubah ingatannya. Tak
dike-hendaki sendiri ia berteriak memanggil: "Titisari! Tunggu! Kau salah
paham! Dalam hidupku, hanya engkaulah yang mengisi hatiku!" Sangaji
sekarang, bukanlah Sangaji dua tahun yang lalu. Kesaktiannya tak terlawan lagi
dalam zaman itu. Kini, hatinya meledak. Karuan saja, suaranya yang disertai
tenaga sakti bergelora tak ubah guntur bergulungan. ia melesat memasuki kota sambil
memukuli dirinya sendiri. Hatinya memaki-maki sepan-jang jalan, menyesali
keteledorannya, la berputar-putar dari tempat ke tempat lain. Semua penginapan
diaduknya. Juga rumah-rumah Tionghoa dan perkampungan yang dicurigainya. Karena
gerakannya sangat gesit tak seorangpun mengira, bahwa dia manusia lumrah yang
terdiri dari darah dan daging. Akhirnya menjelang petang hari, deru hatinya
mulai mereda. Perlahan-lahan ia kembali ke tepi sungai. Mau ia menduga, bahwa
Titisari lagi mempermainkan dirinya. Tetapi sampai petang hari Titisari
benar-benar tak menampakkan batang hidungnya. Dengan hati luluh ia duduk
bersimpuh di tepi sungai. Seluruh tenaganya seperti terlolosi. Dengan pandang
nanar, ia merenungi arus sungai dan meredup berbareng dengan lenyapnya sinar
matahari. "Titisari! Kau tahu, aku ini seorang pemuda tolol. Kalau saja
aku mengerti hatimu, masakan aku sampai tertidur seperti kerbau?" ia
menyesali diri sendiri. Willem yang ikut tersiksa sepanjang hari, bergerak
berputaran mencoba merenggutkan tali pengikat. Teringat akan binatang itu,
Sangaji menghampirinya. Kemudian ia ber-jalan tanpa tujuan sambil menggenggam
tali kekang. Setiap kali ia melihat kerumunan orang, ia segera menghampiri
mencari Titisari. Namun usahanya sia-sia belaka. Demikian pada suatu hari, ia
tiba di sebuah kecamatan. Waktu magrib, nampaklah sebuah desa terlindung di
dekat petak rimba yang sangat lebat. Di belakang rimba itu berdiri sebuah bukit
panjang. Di sisinya tergelar petak-petak sawah yang sedang menghijau. Kesannya
aman tenteram. "Meskipun dusun ini sangat terpencil, tetapi kalau hidup di
samping Titisari alangkah senang," pikir pemuda itu. ia menghampiri sebuah
rumah bertangga bambu. Belum lagi ia memasuki pekarangan, pendengarannya yang
tajam mendengar tangis seorang wanita, la jadi keheranan. Masakan di tengah
kedamaian ini ada suara tangis, ia menduga-duga. "Agaknya pemilik rumah
ini sedang berduka cita. Tak dapat aku mengganggunya. Baiknya aku mencari
penginapan lain saja." la memu-tuskan dalam hati. Tetapi yang berada dalam
rumah mende-ngar tapak Willem. Dengan gerakan meng-hentak, daun pintu
terjeblak. Dan muncullah seorang wanita tua berambut ubanan dengan menggenggam
sebatang tongkat besi. Perawakan wanita itu kurus tipis. Punggung-nya
melengkung kena makan usianya yang sudah lanjut. Dia berdiri dengan kaki
terbuka. Lalu berteriak nyaring, "Majikan anjing! Aku sudah bilang,
suamiku baru saja mati. Tubuhnya belum lagi kering. Masakan aku tak kau beri
kesempatan untuk membayar segala hutang suamiku? Kau tahu, aku tak punya
apa-apa. Yang kumiliki hanya seorang cucu perempuan. Kalau kau mau merampas dia
untuk membayar hutang suamiku, biarlah selembar nyawaku kuserahkan kepada-mu.
Sangaji heran. Ia segera tahu, bahwa wanita tua itu salah duga. Maka
cepat-cepat ia melompat turun sambil membungkuk hor-mat. Berkata hati-hati,
"Nenek. Aku hanyalah seorang pelancong yang kebetulan tersesat di sini.
Niatku tadi hendak bermalam di sini. Kalau nenek lagi mempunyai suatu urusan,
biarlah aku mencari tempat penginapan lain." Wanita tua itu memandangnya
dengan hati limbung. Begitu yakin tetamunya bukan manusia yang dibencinya,
segera ia meletak-kan tongkat besinya. Kemudian membalas hormat dengan takzim.
"Maafkan aku, Tuan. Mataku memang sudah lamur. Mulutku lagi nerocos tak
keruan pula," katanya penuh sesal. "Kalau Tuan tidak jijik, silakan
menginap di sini. Hanya saja, aku tak bisa menyediakan sesuatu yang
pantas." Sangaji mengucap terima kasih, lalu ia me-ngeluarkan segenggam
uang dan diserahkan kepada wanita tua itu. Sewaktu hendak memasuki rumah,
matanya melihat seonggok rumput muda yang berada di pojok serambi depan.
"Siapakah yang mencari rumput itu?" tanyanya. Wanita tua itu yang
tengah bersyukur karena kejatuhan rejeki tak terduga, segera menjawab dengan
gembira. "Itulah Neneng, cucuku perempuan. Sedianya rumput itu kami
sediakan untuk kuda majikan. Tapi bangsat itu terlalu memuakkan. Kalau kuda
Tuan membutuhkan biarlah rumput itu kupersembahkan kepada Tuan." Setelah
berkata demikian, ia menghampiri onggokan rumput. Sangaji segera menyang-gah,
la sendiri lantas membawa rumput itu. Kemudian barulah dia memasuki rumah.
Ternyata rumah itu bersih sekali. Karena itu rasa heran Aji bertambah-tambah.
Dan baru saja ia duduk, didengarnya suara derap beberapa kuda memasuki
pekarangan. Empat orang yang bercokol di atas kudanya masing-masing terdengar
membentak-bentak. Sangaji mengintip dari celah dinding. Ternyata yang datang
seorang bertubuh kekar dengan tiga orang serdadu Indo. Orang itu lantas
membentak dengan bengis: "Hai bangsat janda Karim! Kau bayar tidak
tunggakan suamimu lima ringgit? Kalau tidak, serahkan cucu perempuanmu!"
Yang berada di sampingnya itu, pula ikut berbicara: "Kau dengar? Majikanmu
sudi mengampuni. Tapi aku, tidak. Kau serahkan atau tidak, cucu perempuanmu bakal
jadi gundikku." Gertakan itu dibarengi dengan lecutan ce-meti memukul atap
rumah. Kena lecutannya, empat buah genting runtuh dengan berisik. Wanita tua
itu tidak meladeni gertakan mereka. Dengan tertatih-tatih ia memasuki kamar dan
terdengar ia berkata pedih. "Neng! Larilah kau lewat pintu belakang!
Bersembunyilah di dalam rimba, ini, aku mempunyai uang hadiah dari tamu kita.
Bawalah dan jadikan bekal hidupmu. Aku sendiri sudah malas hidup kelamaan di
jagat ini..." Segera terdengar suara seorang gadis. "Nek! Mari kita
mati bersama. Untuk apa aku memperpanjang umur? Ayah bundapun tiada
lagi..." "Lari! Lekaslah lari! Kau jangan ikut kese-tanan!"
Hardik neneknya dengan memban-ting-banting kakinya. "Cepat, agar tak
terlam-bat! Majikan bangsat itu ternyata membawa tiga serdadu sewaan."
Hampir berbareng dengan titik ucapan itu, nampaklah seorang gadis berbaju hijau
keluar dari kamar. Gadis itu menggenggam tangan neneknya erat-erat. Mukanya
kuyu dan kelopak matanya tergenangi sepercik air mata. Dan melihat gadis itu,
hati Sangaji terkesiap. Ternyata raut muka gadis itu mengingatkan kepada kesan
muka Nuraini. "Lepas, lepas!" neneknya menyesali. "Biarlah aku
menghadapi mereka, sementara kau lari lewat pintu belakang! Cepatlah!"
Tetapi pintu depan telah kena dobrak dari luar. Dan berbarengan dengan
menjeblaknya pintu, keempat penunggang kuda itu melom-pat hampir berbareng ke
ruang dalam. Mereka terus saja mengepung kedua perempuan itu. Dan majikan yang
bertubuh kekar itu lalu memukul si perempuan tua. la menjambak rambut dengan
tangan kanan, sedang tangan kirinya menangkap pinggang Neneng hendak
dipeluknya. Neneng ketakutan. Sekujur tubuhnya menggigil sehingga kehilangan
sebagian tenaganya. Mau ia menjerit, tapi mulutnya seperti terbungkam. Sangaji
mengamat-amati keempat penung-gang kuda. Melihat dandanannya ketiga ser-dadu
itu, terang bukan serdadu gadungan. Ia jadi teringat kepada keterangan
Titisari, bahwa orang itu di Cirebon berbuat sewenang-wenang terhadap penduduk.
Mereka berani berbuat demikian, karena memperoleh perlindungan kompeni. Tentu
saja dalam hal ini, uang yang banyak berbicara. Dengan sebat seorang serdadu
berhasil memeluk pinggang Neneng. Dengan mata berkilatan, ia berkata mengguruh.
"Janda Karim! Kau tadi dengar sendiri penawaran majikanmu. Beliau menghendaki,
kau cepat-cepat membayar hutang suamimu yang sudah mampus. Malam ini, biarlah
cucumu kami buat barang tanggungan. Kalau kau sudah membayar tunggakan itu,
cucumu bakal kami bebaskan. Kapan dia dibebaskan, tergantung kepada
kesungguhanmu memba-yar hutang. Nah, bilanglah terima kasih kepa-da majikanmu.
Karena kau tak usah memba-yar bunganya...!" Setelah berkata demikian,
dengan penuh kemenangan serdadu itu menyeret Neneng ke luar. Nenek itu lantas
saja memekik tinggi. Dengan menyambar tongkat besinya, ia terus mengejar.
Kemudian menikam sekenanya. Serdadu itu berkelit sambil mencabut sebuah
penggada. Dengan sebat ia memukul tongkat si nenek. Tentu saja perempuan tua
itu tak tahan mengadu tenaga. Dengan suara bergelontangan tongkat besinya jatuh
ke lan-tai, la mau menyambar lagi. Tetapi serdadu lainnya menendang tulang
rusuknya hingga ia roboh terjengkang. "Eh—tua bangka. Kau banyak
bertingkah! Apakah kepalamu ingin kupecah di sini?" ben-tak serdadu itu
dengan garang. Namun perempuan tua itu seperti kalap. Lupa pada tenaga sendiri,
ia nekat hendak merebut cucu perempuannya. Ia terus merangkak-rangkak memungut
tongkat besinya. Sedianya ia hendak mengemplang sekenanya. Tapi belum lagi
tongkat besinya kena raba, tangannya telah diinjak sampai tulangnya berbunyi
bergemeletakan. Meskipun demikian, ia tak sudi mengaduh. Bahkan kenekatannya
kian menjadi-jadi. Di luar dugaan, ia lalu menubruk dan menggigit kaki. Keruan
saja serdadu yang kena gigit me-ngiang-ngiang seperti anjing kena gebuk. Untung
kawannya segera menolong. Dengan tak mengenal kasihan, rahang Nenek
ditendangnya. Dan kena tendangan itu, Nenek terguling. Mulutnya sekaligus
mengeluarkan darah kental. Belum lagi ia bisa bangun, serdadu yang kena
gigitannya lalu menetaki kepalanya dengan penggadanya. Sampai di situ habislah
sudah kesabaran Sangaji. la merasa diri tak dapat hanya menjadi penonton
belaka. Dasar hatinya sedang murung. Dengan gesit ia mencekik kedua serdadu itu
dan dilemparkan ke luar rumah. "Hai! Siapa kau!" bentak sang majikan
berbareng dengan serdadu pengawalnya. Kedua orang itu lantas saja menikam
Sangaji tak menghiraukan ancaman itu. Sekali tangannya membalik, tahu-tahu
kedua orang itu jatuh berjungkir balik mencium tanah. Berempat mereka saling
bertubrukan dan saling tindih. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baik-nya oleh
Nenek. Perempuan tua itu lalu mem-buru mereka dan menggigit mereka
bergan-ti-ganti sampai mulutnya berlumuran darah. Bukan main berisiknya orang
mereka. Tatkala hendak membalas memukul, Sangaji menen-dangnya. Dan kembali
lagi mereka berempat terbang ke udara dan jatuh terjerembap bagaikan
layang-layang putus. "Sekarang pergilah tuan-tuan. Cepat, sebelum aku
marah benar-benar. Dasar kamu semua bangsa penghisap darah bangsaku.
Enyah!" gertak Sangaji. Tanpa menyahut mereka merangkak-rangkak bangun.
Dan menghampiri kudanya seperti lagi berlomba. Belum lagi sampai sebuah benda
bergemerincing menyambar tengkuk mereka. "Kau terimalah uangmu lima
ringgit!" teriak Sangaji nyaring. "Tapi awas! Mulai hari ini ja-ngan
kalian ganggu rumah ini. Kalau sampai selembar rambut nenekku runtuh di tanah,
keluarga kalian akan kucabuti nyawanya se-orang demi seorang." Sangaji
sengaja hendak menciutkan sema-ngat mereka, sehingga ia menggunakan suara
gunturnya. Tak mengherankan, hati mereka bertambah kecut. Dengan memberanikan
diri mereka memunguti uang lima ringgit dan cepat-cepat menghilang dari
penglihatan Sangaji. Melihat mereka kabur dan teringat akan kata-katanya
sendiri, pemuda itu jadi puas dan terhibur. Selama hidupnya baru kali itulah ia
menggunakan kata-kata tajam luar biasa. Dan secara kebetulan jatuh kepada
mereka pula. Kalau saja Titisari berada di situ, bukankah dia jadi berbesar
hati? Gadis itu takkan lagi menyangsikan dirinya seakan-akan hatinya berada di
pihak kompeni. Tidak enteng luka perempuan tua itu. Namun melihat kepergian
mereka, ia jadi bersemangat serta bersyukur. Tanpa menghi-raukan tata tingkat
pergaulan umum, tiba-tiba dia duduk bersimpuh di hadapan Sangaji seraya
menyembah. Cucunya perempuan tak mau ketinggalan. Gadis itu berlutut dan
bersembah pula kepada Sangaji sambil menyusuti darah neneknya yang terus
bercucuran dari mulut dan kepalanya. "Nek, berdirilah!" Sangaji
gugup. "Aku se-muda ini betapa berani menerima sembahmu." Perempuan
tua itu lalu berdiri. Dengan mengisyaratkan cucunya perempuan, . ia segera
meladeni tetamunya. Tak peduli selu-ruh tubuhnya terasa nyeri luar biasa, ia
memerlukan menyediakan air teh. "Tuan! Minumlah teh kami," katanya
sete-ngah memohon. "Tentu akan kuminum," sahut Sangaji melegakan hati
Neneng berdiri tegak tak jauh dari meja. Dengan tersenyum manis ia ikut
mempersilakan tamunya minum teh. Kemudian ia memperkenalkan diri.
"Sebenarnya apa sebab mereka menggang-gu Nenek?" Sangaji minta
keterangan. Perempuan tua itu lalu mengisahkan riwa-yatnya. Bahwa di daerahnya
masih terdapat orang-orang yang berbuat sewenang-wenang terhadap kaum tani.
Dengan kekayaan yang mereka miliki dapatlah dikuasai perekonomian daerah itu.
Demikianlah maka mereka menghisap dan memeras tenaga kaum tani untuk
mengenyangkan perut sendiri. Dengan kekuasaan uangnya, mereka menyewa
tukang-tukang pukul, polisi dan kompeni. Lalu menguasai sawah dan ladang.
Mereka pulalah kelak yang menciptakan sistem ijon dan tanam paksa. Dengan
begitu, kaum petani seperti jadi binatang-binatang piaraan mereka. Suami nenek
itu yang bernama Karim adalah salah satu korban mereka di antara puluhan ribu
petani yang hidup dari sawah dan ladangnya. Waktu mudanya, Karim termasuk
golongan priyayi di daerah itu. Karena merasa gaji tak mencukupi ia mencoba
hidup bertani. Di desa itu ia mulai mengadu untungnya. Dibelinya sebidang tanah
dan beberapa petak sawah. Tetapi seperti nasib petani-petani lainnya, lambat
laun ia terlibat dalam hutang. Hal itu terjadi apabila musim panen jelek atau
apabila sawahnya terlanda banjir. Dan semenjak itu hidupnya gali lubang tutup
lubang. Anggota keluarganya jadi berantakan. Anaknya laki-laki lalu merantau.
Akhirnya mendaf-tarkan jadi serdadu. Bagaimana kabarnya, hanya setan yang tahu.
Kini tinggal cucunya perempuan satu-satunya. Namanya Rochaya. Panggilannya
Neneng. "Anak ini agaknya bernasib malang," kata perempuan tua itu
bersedih hati. "Emaknya pergi mengikuti suaminya. Dia kuambil semenjak
belum bisa beringus." Setelah berkata demikian ia merenungi Neneng. Berkata
lagi, "Belum lagi ia mene-mukan jodohnya, kakeknya sudah masuk liang
kubur." Selanjutnya, Sangaji tak memerlukan keterangan lagi. Orang yang
datang bersama tiga serdadu tadi, terang sekali adalah si lintah darat. Ia
sengaja menagih hutang di waktu perempuan tua itu belum habis masa duka
citanya. Pikirnya, kalau dia bisa membuatnya bingung dan terdesak, bukankah
bakal menyerahkan cucu perempuannya sebagai barang tanggungan? Kalau saja
Sangaji tak datang di rumah itu, rencana jahat orang itu akan berhasil.
Karenanya betapa perempuan tua itu tak merasa berhutang budi kepadanya? Katanya
berulang kali mengesankan, "Besok pagi berkelilinglah ke dusun ini. Tuan
akan segera tahu, berapa banyak sudah gadis-gadis yang kena disereti manusia
jahanam itu!" Dan mendengar ujar perempuan tua itu, Sangaji menghela
napas. Sesudah makan malam, perempuan tua itu lalu membersihkan sebuah kamar.
Kemudian Neneng Rochaya mengantarkan Sangaji me-masuki kamar sambil membawa
segelas air teh. "Seringkali hawa sangat panas di malam hari," katanya
dengan suara empuk. "Tuan orang asing. Pastilah Tuan takkan tahan
menghadapi hawa panas. Kalau Tuan nanti membutuhkan air teh lagi, tak usah Tuan
segan-segan. Bangunkanlah aku! Apakah Tuan ..." "Janganlah panggil
aku tuan," potong Sangaji. "...panggillah aku, kakak atau
abang!" Neneng Rochaya memalingkan pandang. Tatkala mukanya menatap
Sangaji kembali, matanya bersinar-sinar. Berkata setengah berbisik,
"Apakah aku pantas memanggil begitu terhadap seorang tetamu?" Sangaji
tertawa. Menyahut, "Akupun mem-punyai seorang adik angkat yang mirip
de-nganmu. Namanya Nuraini. Diapun berasal dari Jawa Barat." Setelah
berkata demikian, sekonyong-ko-nyong suatu ingatan menusuk benaknya. Terus saja
ia keluar kamar dan berkata kepada nenek Rochaya. "Nek! Apakah Neneng
mempunyai seorang kakak perempuan?" Perempuan tua itu menggelengkan kepala
dengan pandang heran berbareng menebak-nebak. "Mengapa?" katanya.
"Dia mirip dengan adik angkatku." "Dialah cucuku perempuan
satu-satunya." Perempuan tua itu menegaskan. Sangaji kembali ke kamarnya
dan tak ber-bicara lagi. Dan malam itu ia bergulang-guling tak dapat memejamkan
mata. Kesannya sete-lah berpisah dari Titisari terlalu banyak dan saling
mengendapkan. Hatinya murung, lesu dan kehilangan kegembiraan. Melihat Neneng
Rochaya ia agak terhibur. Tetapi bila teringat akan nasib keluarga itu, ia jadi
ikut prihatin. Kira-kira waktu subuh, pendengarannya yang tajam mendengar
langkah kaki belasan meter jauhnya. Lalu ia mendengar pula suatu ucapan,
"Otong Damarwijaya kena jebak dua hari yang lalu. Menurut dugaan ia dibawa
ke Jakarta. Mari cepat! Kalau nasib baik, dia masih bisa kita tolong."
Mendengar orang menyebut nama Otong Damarwijaya. Hati Sangaji terkesiap. Ia
terus membuka jendela dan melesat ke luar. Dengan cepat ia menyusul mereka. Orang-orang
yang belum dikenal itu ber-lari-lari mengarah ke barat. Sama sekali me-reka tak
mengetahui sedang dikuntit Sangaji. Mereka lari terus hingga lima enam pai
jauh-nya. Di depan sana terlihat suatu perkemahan. Itulah perkemahan militer
yang dijaga sangat rapat. ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 34 PULANG KE JAKARTA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 34 PULANG KE JAKARTA"
Post a Comment