BENDE MATARAM JILID 16 SENJATA RAHASIA
"Aku
berbicara denganmu," BENTAK KI HAJAR KARANGPANDAN dengan muka merah-padam.
"Kau
sangka apa aku ini, sampai kamu membentak-bentak seperti penyamun?"
"Apa
kaubilang?"
Tanpa
meladeni Ki Hajar Karangpandan, Ti-tisari lantas saja berputar hendak melangkah
pergi. Jaga Saradenta yang berwatak beranga-san, lalu berkata nyaring,
"Nona! Mengapa ka-mu bersikap tak menghargai orang-orang tua?"
"Hm!
Seseorang yang belum saling berkenalan dan tiada hubungan sanak-keluarga, lalu
membentak-bentak kepada seorang gadis belia di tengah lapangan dan di dekat
jenazah seorang, pantaskah di sebut orang tahu harga diri?"
Tajam
kata-kata si gadis, sehingga mereka semua terkejut dan merasa malu. Ki Hajar
Karangpandan sebenarnya tidak bermaksud menghina atau kurang tata-santun. Kalau
saja berbicara membentak-bentak penuh luapan amarah, adalah semata-mata kerena
teringat akan sepak terjang muridnya yang sangat menyakitkan hatinya.
Sebaliknya Sangaji yang berwatak sederhana, polos, dan jujur sama sekali tak
menyangka—bahwa Titisari berani mengadu ketajaman lidah mereka yang dihormati
dan dihargai. Itulah sebabnya, lantas saja ia ikut membentak.
"Titisari!
Jangan berkurangajar!"
Mendengar
tegoran Sangaji, gadis itu lalu menundukkan mukanya ke tanah, la seperti minta
maaf dan bersedia mengakui kesalahannya.
Wirapati
yang berwatak lebih lapang daripada kedua rekannya, kemudian berkata."Eh,
Nona. Sebenarnya aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu. Karena telah
menolong nyawa kami."
Wirapati
memang tiada bermusuhan dengan Pringgasakti. Kalau ia sampai ikut berkelahi,
adalah semata-mata karena ikrar setia kawan. Lagi pula, ia jujur. Dengan
sebenarnya ia merasa tak ungkulan melawan Pringgasakti. Sebaliknya Jaga
Saradenta tidaklah demikian. Si tua berangasan itu sudah menaruh dendam kesumat
terhadap si iblis semenjak zaman mudanya. Meskipun lawannya itu berilmu tinggi,
bagaimana ia sudi mengakui kelemahan diri. Serentak ia menyahut cepat,
"Eh, apa kau bilang? Gadis itu telah menolong nyawa kita? Mana bisa aku
sudi menerima budinya? Biar kita berkelahi sampai mampus, apa pedulinya?"
"Hm"
dengus Titisari. Hatinya kembali menjadi panas dan mendongkol melihat lagak
Jaga Saradenta. Katanya tajam, "Kamu berbicara perkara budi? Siapa pula
yang kesu-dian memberi budi kepadamu? Kalau aku mengusir si Abu, semata-mata
karena kepentinganku sendiri. Waktu itu aku melihat Sangaji dalam bahaya. Ingin
aku menolong dia, karena di antara semua ini hanya dia seorang yang kukenal
dengan baik. Nah, kalian mau bilang apa?"
"Sangaji?"
mereka mengulang serentak. Seperti saling berjanji mereka menoleh ke arah
Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu menjadi kikuk. Mereka seolah-olah
berkata kepadanya, "Hm... semenjak kapan kamu berkenalan dengan seorang
gadis?"
Dengan
agak gugup, lantas saja Sangaji membungkuk hormat terhadap mereka seraya
berkata, "Maaf... mestinya siang-siang aku harus sudah memperkenalkan. Dia
adalah sahabatku."
"Sahabatmu?"
Jaga Saradenta heran.
"Ya, sahabatku. Aku berkenalan dengannya
di tengah jalan."
"Eh,
begini gampang kamu mengikat persahabatan," gerutu Jaga Saradenta.
Mendadak
Panembahan Tirtomoyo tertawa terkekeh-kekeh. Katanya kepada Sangaji, "Anak
baik! Kemarin kamu berbicara mengenai seorang sahabat yang mempermain-mainkan
orang-orang Banyumas. Bukankah sahabatmu seorang pemuda? E-hem... apakah dalam
waktu semalam saja kamu menemukan seorang sahabat lain? Sahabat...
sahabat..."
Merah-padam
muka Sangaji mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo. Meskipun tak diucapkan dengan
terang, tetapi Sangaji merasa seperti diejek. Maklumlah, Titisari dikiranya
sahabat yang baru dijumpainya semalam belaka. Maka buru-buru, ia memberi
penjelasan siapakah Titisari sebenarnya.
Orang
itu lantas saja mengerinyitkan dahi dengan sungguh-sungguh. Teringatlah dia,
tatkala Titisari mempermainkan anak buah sang Dewaresi ia mempunyai kesan
buruk. Gerak-geriknya mencurigakan. Ilmu apa yang dipergunakan, belum dapat
diterkanya.
Sekarang
ia menyaksikan pula, bahwa si gadis mempunyai hubungan rapat dengan
Pringgasakti. Keruan saja diam-diam meningkatlah kecurigaannya. Dalam benaknya
ada sesuatu yang berkelebat, tetapi apakah itu ia belum mengerti.
"Anak
yang baik," katanya. Tetapi ia menelan kata-katanya yang hendak diucapkan.
Sebagai seorang pendeta yang saleh, ia berbeda jauh dengan adik-seperguruannya
Ki Hajar Karangpandan.
Tak
mau ia menyakiti hati atau menusuk perasaan orang. Tetapi Ki Hajar Karangpandan
yang masih terikat kuat kepada masalah keduniawian dengan segera tahu bahwa
kakaknya seperguruan telah mempunyai pendapat yang tak jadi diucapkan. Maka ia
berkata mendesak, "Kamu mau berkata apa? Berkatalah!"
Panembahan
Tirtomoyo bangkit tertatih-tatih. Ramuan obat yang baru saja ditelannya
benar-benar menolong kesehatannya dengan cepat. Dengan mata tajam ia merenungi
Titisari, tetapi mulutnya tetap terkunci rapat-rapat. Ia hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau
mau berkata apa?" desak Ki Hajar Karangpandan lagi.
Karena
desakan itu, akhirnya dengan menarik napas panjang ia berkata minta keterangan,
"Titisari... bukankah begitu namamu?"
Titisari
mengangguk. Ia nampak tenang tetapi sikapnya seperti seorang yang siap untuk
bertempur.
"Titisari!"
Panembahan Tirtomoyo melanjutkan. "Kami semua adalah orang-orang tua yang
sudah pikun. Tolong terangkan, apakah hubunganmu dengan Pringgasakti. Sebab
antara kami dan dia mempunyai tali persoal-an yang kuat, semenjak kamu belum
lahir."
Titisari
mendengus sekali. Kemudian menjawab, "Apakah Tuan-tuan sekalian mempunyai
hak mendesak aku agar memberi keterangan?"
Sangaji
yang selalu menghargai dan menghormati orang-orang lebih tua daripadanya,
terkejut mendengar ujar si gadis. Sekarang ia bisa membenarkan dugaan
Panembahan Tir-tomoyo bahwa sahabatnya memiliki sifat-sifat liar. Maka gugup ia
berkata mencoba, "Titisari! Baiklah kukenalkan siapakah mereka. Beliau
adalah Panembahan Tirtomoyo yang kukatakan padamu semalam. Kemudian... kemudian
beliau berdua itu adalah guruku. Sedangkan beliau ini, Ki Tunjungbiru
dan..."
"Dia
adik-seperguruanku. Namanya Ki Hajar Karangpandan. Dia seorang pendeta pula.
Hanya agak galak," sahut Panembahan Tirtomoyo.
Terhadap
Sangaji, gadis itu mempunyai kesan sendiri. Begitu ia mendengar ujar Sangaji,
sikapnya lantas menjadi lunak.
"Dengan
si iblis dan si jahanam itu, mestinya tak sudi aku berbicara." Mendengar
kalimat permulaan keterangan Titisari, mereka yang mendengar jadi heran
tertarik. Seleret cahaya terang, berseri pada wajah mereka masing-masing.
Mereka mulai berkesan baik terhadapnya. Dan tanpa disadari, mereka berdoa
mudah-mudahan Titisari tiada hubungan sanak-keluarga dengan iblis itu. Ini
semua demi kelancaran persahabatan Sangaji—anak-didiknya dan anak yang berkesan
baik. Dengan demikian, kan tidak akan sampai menerbitkan gelombang yang kurang
enak dalam dada mereka masing-masing.
"Aku
kenal dengan mereka semenjak masih berumur enam tahun," Titisari mulai.
"Mereka?"
Panembahan Tirtomoyo memotong.
"Ya,
mereka—Abu dan Abas. Entah di mana Abas sekarang berada. Mereka dulu berguru
pada ayahku. Tetapi mereka bukan membalas budi pada ayah. Bahkan air susu
dibalas dengan air tuba. Mereka mencuri kitab pusaka ayah. Karena peristiwa
itu, ibuku meninggal dunia dengan sedih. Maklumlah, kitab itu adalah kitab
pusaka turun-temurun dari keluarga kami."
Panembahan
Tirtomoyo mendadak sadar, bahwa iblis itu mestinya berjumlah dua orang yang
dahulu terkenal dengan sebutan Pringgasakti dan Pringga Aguna. Ki Hajar
Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati, mestinya juga tahu.
Hanya saja ia heran, mengapa mereka tak berkesan sesuatu tatkala menyinggung
nama Abas alias Pringga Aguna. Orang tua itu belum mengerti, bahwa Pringga
Aguna telah mampus di Jakarta. Sedangkan Ki Hajar Karangpandan yang berwatak
acuh-takacuh tak ambil pusing terhadap hal-hal yang membutuhkan pengamatan yang
seksama.
"Karena
hilangnya kitab pusaka itu juga, perangai ayah lantas berubah. Dia menjadi
pendiam luar biasa dan menjadi seorang pemarah," Titisari melanjutkan.
"Semua nelayan dan para pegawai dihukumnya kejam.
Sedangkan
terhadapku, ia tak memperhatikan lagi seperti dahulu. Jarang sekali ia
berbicara manis kepadaku dan sering bepergian entah ke mana. Barangkali
berusaha merebut kembali kitab pusaka kami. Karena itu dalam hatiku, aku selalu
berdoa semoga iblis itu bisa ter-bekuk lehernya. Sayang, aku telah berjumpa
dengan dia di sini. Sedangkan Ayah entah berada di mana kini. Sekiranya Ayah
mengetahui tempat beradanya, alangkah..."
"Siapakah
ayahmu itu, Nona?" Panembahan Tirtomoyo memotong lagi.
Gadis
itu menyiratkan pandang kepada Sangaji. Kemudian menjawab, "Ayahku seorang
adipati di kepulauan Karimun Jawa. Namanya Surengpati Mesgapati. Mengapa?"
Mendengar
nama Adipati Surengpati, mereka semua jadi terkejut. Wajah mereka berubah hebat
seperti seorang anak melihat momok yang menakutkan. Sangaji heran tak kepalang
menyaksikan perubahan mereka. Lantas saja dia jadi sibuk menebak-nebak.
Terhadap
Adipati Surengpati, sesungguhnya mereka semua mempunyai kesan setengah baik
setengah tidak. Sebagai pejuang-pejuang pembela bangsa, mereka kenal tokoh
Surengpati sebagai seorang ksatria anti Belanda. Dia dahulu berada di salah
satu istana keluarga ningrat di Yogyakarta. Tetapi karena bencinya terhadap
Belanda, ia memilih mengasingkan diri dan bermukim di seberang lautan. Karena
sikapnya itu, semua pejuang menaruh hormat kepadanya. Tetapi sebagai manusia
Adipati Surengpati terkenal sebagai seorang yang berwatak angkuh, tinggi-hati,
sombong, mau menang sendiri dan kejam. Terhadap para pejuang-pejuang bangsa, ia
bersikap merendahkan. Karena ia menganggap ilmunya jauh lebih tinggi daripada
semua manusia yang hidup di persada bumi ini. Gmurnya kini belum melampaui 50
tahun. Tetapi menurut kabar, ilmu kepandaiannya benar-benar patut dikagumi.
Kalau tidak masa seorang iblis semacam Pringgasakti sampai berguru kepadanya.
Dan kalau si iblis Pringgasakti saja sudah susah dilawan, mereka bisa
membayangkan bagaimana tinggi ilmu kepandaian Adipati Surengpati. Mereka sadar,
bahwa ilmu kepandaian Adipati Surengpati sudah mencapai suatu taraf yang susah untuk
dijajaki.
"Bagus-bagus,"
tiba-tiba Ki Hajar Karangpandan berkata setengah bersorak.
"Tulang-belulang boleh berserakan tapi tulang-belulang itu pada suatu kali
pasti berkumpul juga."
Mereka
semua heran mendengar ujar Ki Hajar Karangpandan, karena tak tahu maksudnya.
Melihat
mereka sibuk menebak-nebak arti kata-katanya, pendeta edan itu senang luar
biasa.
Lantas
saja dia berkata lagi, "Bukankah cukup terang? Lihat! Muridku yang murtad
berguru kepada iblis itu. Dan anak didik kalian—Sangaji—bersahabat dengan anak
guru si iblis. Ha, apakah bukan setali tiga uang?"
Jaga
Saradenta si penaik darah, serentak mendamprat, "Mana bisa begitu? Muridmu
murtad dan menjadi murid iblis. Muridku hanya berkawan dengan anak guru si
iblis. Di manakah ada titik persamaannya?"
"Eh—masa
kalian tak kenal siapakah Adipati Surengpati? Sekali muridmu berkawan dengan
anaknya, masa si Jangkrik Bongol akan membiarkan anak-didikmu luput dari
pengamatannya?"
Adipati
Surengpati memang mendapat sebutan gelar Jangkrik Bongol, karena dia seorang
pendekar yang ulet dan berani bertanding tak mengenal lelah kepada siapa saja,
seperti seekor jangkrik bongo. Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru, Wirapati
dan Jaga Saradenta kenal perangai Ki Hajar Karangpandan yang ugal-ugalan dan
edan-edanan. Tetapi dibalik ke-edan-edanan-nya itu, sesungguhnya ia seorang
pendekar yang cerdik. Dia pandai bertanding tenaga dan mengadu mulut. Sekiranya
tidak demikian, bagaimana dia bisa menjerat Jaga Saradenta dan Wirapati dalam
suatu perjanjian edan-edanan pula dengan memutar lidah belaka. Teringat akan
ini, sebenarnya Jaga Saradenta sudah jeri, tapi dia seorang pendekar yang
berangasan dan gampang naik darah. Karena itu bagaimana sudi membiarkan diri
dipilin orang.
"Apakah
kamu berani bertaruh denganku?" tantang Jaga Saradenta.
Mendengar
kata-kata bertaruh itu, hati Jaga Saradenta berdegupan. Maklumlah karena
terikat oleh suatu pertaruhan dahulu, terpaksalah ia meninggalkan rumah-tangganya
selama dua belas tahun. Apakah kali ini ia akan mengalami kepahitan itu lagi?
Meskipun ia mempunyai pikiran demikian, sebagai seorang ksatria lantas saja dia
membusungkan dadanya. Tetapi tatkala ia hendak berkata, mendadak Panembahan
mengalihkan pembicaraan.
"Hai!
Kalian ini terlalu memikirkan kepentingan diri. Bagaimanakah dengan jenazah
sahabat kalian ini? Apakah dia akan kalian biarkan terbaring di sini? Lihat,
semua penduduk Pekalongan mengawaskan kita semua."
Karena
ujar Panembahan Tirtomoyo, semua jadi terkejut. Ki Tundjungbiru yang
pendiam-pun, ikut tersadar. Sebagai seorang kesatria, tadi ia tertarik benar
kepada kata-kata Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta. Teringatlah dia
dahulu pada zaman Perang Giyanti. Juga di Kota Pekalongan inilah dia pernah
bertempur lima hari lima malam melawan si pendeta edan perkara pantat. Dan
akhirnya saling berjanji tidak akan kawin sepanjang hidupnya.
Mereka
kemudian duduk dengan takzim kembali. Ki Hajar Karangpandan segera menghampiri
Nuraini dan berkata dengan penuh perasaan.
"Bagaimana
menurut pendapatmu Nona? Di manakah ayah-angkatmu hendak kaukebu-mikan?"
Nuraini
benar-benar nampak berduka. Matanya berkaca-kaca. Dengan menunduk dia menjawab,
"Dia berasal dari Desa Karang-tinalang. Biarlah kubawanya pulang ke
kampung halamannya."
Mendengar
ujar gadis itu, semua jadi kaget. Sebab Desa Karangtinalang bukan dekat
letaknya. Belum tentu satu bulan bisa dicapai dengan perjalanan kaki. Segera
mereka membujuk Nuraini agar dikebumikan saja di Kota Pekalongan. Tetapi
Nuraini tetap kukuh. Katanya, "Ayah-angkatku berasal dari Bali dan
beragama Hindu. Menurut pantas jenazahnya harus dibakar. Kemudian abunya akan
kubawa pulang ke kampung halaman."
Teringat
akan upacara penguburan seseorang yang beragama Hindu, mereka jadi berpikir
lain dan menyetujui pendapat Nuraini. Mereka lantas saja bekerja. Sebagai
kesa-tria-kesatria yang sudah banyak berpengalaman, mereka dapat bekerja cepat.
Segera jenazah Wayan Suage dibawa ke luar kota dan dibakar di pinggir hutan.
Mereka menunggu sampai api padam. Dan apabila abunya telah diserahkan kepada
Nuraini, maka masing-masing berpamit hendak melanjutkan perjalanannya
masing-masing.
Panembahan
Tirtomoyo sudah hampir sembuh. Bersama Ki Hajar Karangpandan dan Ki
Tunjungbiru, mereka berangkat ke Timur menuju padepokannya. Sedangkan Jaga
Saradenta hendak pulang menjenguk kampung-ha-lamannya dahulu yang sudah lama
ditinggalkan. Baginya, tugas memenuhi perjanjian sudah diselesaikan dengan
baik.
"Engkau
pasti akan kembali dahulu ke Sejiwan, bukan?" tanyanya kepada Wirapati.
Pendekar
muda itu mengangguk. Kemudian berkata pula, "Pekerjaan kita sudah selesai.
Hanya saja, masih ada urusan lain. Anak-didik kita, bukankah akan menunggu
jenazahnya. Dengan demikian, kita tak boleh membiarkan dia bekerja seorang
diri. Karena itu, setelah kamu menjenguk kampung-halaman barang dua tiga bulan,
cepatlah menyusul ke Sejiwan! Sangaji akan kubawa ke sana dan biarlah kita
menunggumu di sana pula."
Mereka
berpisah dengan rasa haru dan gembira. Maklumlah, mereka sudah berkumpul dan
merasa senasib sepaham selama dua belas tahun. Rasa kawan lebih cenderung
kepada rasa saudara-sekandung belaka. Dan rasa gembiranya terjadi, karena
masing-masing akan melihat kampung halamannya yang sudah dirindukan semenjak
lama.
Wirapati
hendak menyertai Nuraini pulang ke Desa Karangtinalang. Ia memilih arah jalan
yang pernah dilalui dua belas tahun yang lalu, tatkala habis mengunjungi
padepokan Kyai Lukman Hakim di Cirebon. Sangaji dan Titisari hendak dibawanya
serta pula.
Mendadak
Sangaji teringat akan kudanya si Willem. Maka ia minta izin hendak mengambilnya
dahulu, kemudian akan menyusul secepat mungkin.
"Sangaji!
Selama hidupmu baru kali ini kamu menginjak daerah Jawa Tengah dengan sadar.
Pastilah kamu belum paham akan lika-liku jalannya menuju ke Karangtinalang.
Lebih baik, kamu langsung saja menuju ke Sejiwan. Kamu bisa lewat Semarang,
Magelang, kemudian mengambil jalan jurusan Kedungkebo. Sebelum kamu sampai di
Purworejo, tanyalah kepada salah seorang penduduk di mana letak Desa Loano. Dan
kamu pasti akan diantarkan sampai ke Sejiwan."
Tetapi
di luar dugaan, Sangaji menolak sarannya. Katanya, "Sebenarnya senang aku
boleh berjalan seorang diri sambil mencari pengalaman. Hanya saja aku harus
menjenguk kampung Karangtinalang."
"Mengapa?"
Wirapati dan Titisari minta keterangan berbareng. Kemudian Titisari meneruskan,
"Melihat Karangtinalang, mengapa mesti tergesa-gesa?"
"Ya,
mengapa begitu?" Wirapati menegas. "Kamu harus menghadap kakek-guru
dahulu.
Setelah
memperoleh nasehat-nasehatnya, barulah bersama-sama menjenguk kampung
Karangtinalang. lngat-ingatlah, kamu masih harus menempuh perjalanan lagi ke
timur untuk menuntut dendam kepada Pangeran Bumi Gede. Dan lawanmu itu bukan
lawan yang empuk. Nasihat-nasihat kakek-guru harus kauperhatikan
benar-benar."
Sangaji
menundukkan kepala. Kemudian berkata setelah berbisik, "Guru!
Sebenarnya... sewaktu aku berada dengan Paman Wayan Suage di pondokan, beliau
berpesan agar aku mencari dua pusaka warisanku yang dipendamnya pada suatu
tempat dekat Desa Karangtinalang."
Sangaji
kemudian menerangkan dengan jelas semua kalimat Wayan Suage tentang dua pusaka
yang disimpannya di dekat tebing sungai sebelah timur desa Karangtinalang,
sebagai pusaka warisan. Pusaka apakah itu, sama sekali dia tak mengerti.
Sebagai seorang yang berhati jujur dan sederhana, sebenarnya tiada nafsunya
untuk mewarisi pusaka segala. Ia hanya ingin melakukan pesan orang yang sudah
mati dengan sebaik-baiknya.
Mendengar
tentang dua pusaka itu, sebaliknya Wirapati jadi tertegun. Pada saat itu juga,
teringatlah dia kepada kejadian dua belas tahun yang lalu, tatkala sedang
menolong Wayan Suage. Dia pernah bertengkar mengenai pusaka itu yang
menerbitkan malapetaka belaka. Ia bahkan menyarankan diberikan kepada
gerombolan orang-orang Banyumas agar tak usah menanggung derita. Tetapi Wayan
Suage tetap mempertahankan, malah lantas mencurigai dirinya hendak merebutnya.
Maka teranglah, bahwa kedua pusaka itu pasti termasuk suatu persoalan yang
penting. Ki Hajar Karangpandan pun menyinggung pula tentang kedua pusaka itu,
tatkala hendak menetapkan suatu perjanjian.
Pendeta
itu menghendaki, barangsiapa menemukan kedua pusaka tersebut harus
mengembalikan kepada pemiliknya yang syah. Yakni, kepada anak-anak Wayan Suage
dan Made Tantre. Dan selama dua belas tahun, tak pernah lagi ia mempersoalkan
kedua pusaka tersebut. Ki Hajar Karangpandan pun tiada menyinggung-nyinggung
sama sekali. Mendadak saja kini persoalan kedua pusaka timbul lagi. Keruan
saja, hatinya jadi tegang kembali. Dasar ia berwatak usilan dan berjiwa seorang
kesatria besar. Apabila sudah mau bekerja tak mau pula bekerja
kepalang-tanggung. Maka mendengar tentang di mana beradanya kedua pusaka
tersebut, lantas saja timbullah keinginannya hendak menyelesaikan persoalan itu
sama sekali. Pekerjaan itu dipandangnya sebagai suatu kewajiban pula.
Hm,
biarlah pendeta edan itu lebih menghargai jerih payah kita berdua. Kalau kedua
pusaka itu bisa kukembalikan kepada yang berhak, bukankah aku dapat
memerintahkan dia membungkuk hormat dan menyembah tiga kali? Mendapat pikiran
demikian, terbesitlah kegembiraannya, pikir Wirapati. Segera dia menepis,
"Benarkah Wayan Suage mewariskan kedua pusaka itu kepadamu?"
Sangaji
mengulangi tiap kalimat Wayan Suage lagi tatkala berada di pondokan. Dan
diam-diam Wirapati merasa bersyukur. Sebab, jika kedua pusaka tersebut menjadi
milik Sangaji, bukankah benar-benar ia berhasil merebut kemenangan mutlak?
"Apakah
dia tidak menerangkan macam kedua pusaka itu kepadamu?" tanya Wirapati
lagi.
Sangaji
menggelengkan kepala. Memang Wayan Suage sama sekali tidak menerangkan
macamnya, karena waktu itu dia tak sempat lagi. Rumah penginapan sudah
terkepung rapat oleh pasukan-pasukan Pangeran Bumi Gede.
Sekonyong-konyong
Titisari menyahut, "Apakah itu bukan pusaka Pangeran Semono? Eh, mestinya
bukan. Pusaka Pangeran Semono berjumlah tiga."
"Engkau
berkata apa, Nona?" Wirapati menegaskan. Muka Titisari tiba-tiba nampak
terkesiap, seperti seorang yang kelepasan rahasia. Didesak Wirapati guru
Sangaji yang dihormati, terpaksa ia berkata lagi, "Aku hanya mengira...
barangkali pusaka Pangeran Se-mono."
"Mengapa
kamu bisa menduga demikian?"
"Semalam—waktu
kami berkeliaran di dalam halaman kadipaten mencari ramuan obat, aku tersesat
di serambi belakang. Kulihat mereka sedang berkumpul membicarakan suatu
rahasia. Karena besar rasa ingin tahuku, kuberanikan diri mengintip pembicaraan
mereka. Dan kudengar mereka membicarakan pusaka Pangeran Semono."
Tentang
pusaka Pangeran Semono semua pendekar yang bermukim di Jawa Tengah mengetahui
belaka. Wirapati mendengar pusaka keramat itu dari gurunya. Dan dahulu, karena
tertarik kepada persoalan pusaka tersebut ia sampai mengikuti rombongan penari
yang aneh dari Banyumas dan ternyata sedang memperebutkannya. Hanya saja tiada
rangsangnya hendak memiliki. Kalau saja ia menceburkan diri ke dalam persoalan
itu, sematamata hanya panggilan naluriahnya. Tak rela ia melihat kelaliman dan
kerusuhan bermain di depan kelopak matanya. Meskipun, sekarang persoalannya
adalah sama, tetapi panggilan hidupnya berseru lain. Besar hasratnya hendak
membahagiakan murid dan menentramkan arwah yang sudah pulang ke alam baka.
Titisari
terus saja menceritakan semua yang didengarnya semalam di ruang belakang
kadipaten. Tak lupa pula ia menggambarkan bagaimana sang Dewaresi mendesak
Pangeran Bumi Gede, tentang tempat beradanya Ki Hajar Karangpandan. Karena
itulah orang yang dahulu pernah merampas pusaka Pangeran Semono.
"Tetapi...
mereka menyebutkan jumlahnya tiga buah. Sebuah Jala, Keris dan Bende. Andaikata
benar... masa berada di tangan Wayan Suage selama itu, tanpa diketahui
orang?" kata Titisari menyatakan pertimbangannya.
Wirapati
menaikkan alis. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan tiap kata Titisari yang
menceritakan kembali pengalamannya semalam. Kemudian ia berpaling kepada
Sangaji.
"Apakah
Wayan Suage tidak menyebut macam bentuk pusaka itu?"
Sangaji
menggelengkan kepala sambil menjawab, "Waktu aku minta keterangan, ia tak
sempat lagi berbicara. Rumah penginapan telah terkepung rapat."
Kembali
Wirapati menaikkan alis. Dido-ngakkan kepalanya ke udara dan lama ia
tak-berbicara. Benaknya seolah-olah lagi berjuang merangkaikan semua
pengalamannya dan apa yang pernah didengarnya tentang pusaka Pangeran Semono.
"Baiklah.
Kamu boleh mengambil kudamu. Aku dan Nuraini akan berangkat dahulu. Aku akan
memberi tanda jalan bagimu, agar kamu mudah menyusul kami," kata Wirapati
memu-tuskan.
Mereka
lantas berpisah. Wirapati membimbing Nuraini yang dibawanya berjalan cepat
mengarah ke pegunungan yang berdiri berderet di sebelah selatan. Mereka akan
menempuh perjalanan yang panjang. Mungkin pula satu bulan belum tentu tiba di
Sejiwan. Maklumlah, waktu itu hutan rimba masih padat memenuhi persada
Pegunungan Sumbing-Sundoro-Dieng.
Sangaji
berdiri terhenyak untuk beberapa saat lamanya, la heran menyaksikan gurunya
begitu nampak tergesa-gesa. Mengapa mesti begitu, pikirnya. Otaknya yang
sederhana belum juga dapat menebak, bahwasanya pada dewasa itu semua orang
gagah sedang mengincar pusaka warisannya. Gntung dia mem-punyai seorang kawan
yang cerdik dan cerdas. Dan nampaknya akan setia mendampingi di mana saja dia
berada.
"Aji,"
kata kawan itu. "Ayo kita cepat-cepat pergi dan menyusul gurumu."
"Mengapa
cepat-cepat?" Masih saja ia minta keterangan.
Titisari
tidak menjawab. Dengan tersenyum lebar sambil menarik tangan, ia memperlihatkan
cahaya matanya yang berkilat-kilat.
"Kamu
memang seorang yang berhati mulia," katanya kemudian. "Itulah
sebabnya aku senang berkawan denganmu. Ayo! Ayo kita berjalan menyusuri pantai
mencari karang. Lantas menggarungi sawah mencangkul ladang. Nanti dua, tiga
bulan lagi baru menyusul."
"Eh!
Mengapa kamu berkata begitu?" Sangaji terkejut, la benar-benar nampak
tolol. Kemudian minta penjelasan cepat, "Titisari! Otakku memang bebal.
Maukah kamu menerangkan sejelas-jelasnya, mengapa kita harus cepat-cepat
menyusul guru? Apakah guru berangkat akan menempuh bahaya?"
"Ya
dan tidak," jawab Titisari berteka-teki. "Tetapi aku tak berani
bertaruh, bahwa gurumu itu telah memperoleh pegangan kuat untuk bertindak
secepat mungkin. Eh... apakah benar rejekimu begini besar?"
"Rejeki
apa?" ulang Sangaji. "Titisari! Mengapa kamu bicara tak karuan?"
"Sekiranya
kamu menjadi raja... hm... berapa jumlah permaisurimu?" Titisari tak
perduli. Dan Sangaji jadi blingsatan. Gugup dia memotong dengan suara tinggi.
"Raja? Raja apa? Raja kera?"
Titisari
tertawa nyaring dan terus lari menuju ke kota. Karuan saja Sangaji mau tak mau
harus memburunya seperti seorang sopir menancap gas.
"Hai!
Hai! Kau harus menerangkan! Kau berbicara tentang rejeki dan raja. Apa sih
maksudmu?"
"Aku
berkata sungguh-sungguh! Bukan main-main," sahut Titisari. Tetapi ia tak mau
memberi penjelasan. Bahkan larinya kian dipercepat.
Menjelang
senja hari, mereka telah tiba di penginapan. Pelayan penginapan girang melihat
datangnya Sangaji dan Titisari.
"Tuan
Muda baik-baik saja, bukan? Apa terlalu lelah? Boleh nanti hamba pijat."
Pelayan
itu mengira, Sangaji mendapat seorang teman berjalan semalam suntuk sebagai
lazimnya pemuda bongor pada zaman itu. Sebaliknya Sangaji tak berpikir sampai
sejauh itu. Otaknya lagi dikusutkan oleh ucapan Titisari yang terus
melengking-lengking tiada hentinya dalam pendengarannya. Dengan berdiam diri ia
melemparkan beberapa potong uang dan memerintahkan mengemaskan pakaiannya.
Karuan saja pelayan itu bergirang hati sampai mau meloncat-loncat seperti
anjing. Lalu mendobrak kamar melakukan perintah.
"Pendeta
tua tadi pagi keluar dari penginapan tanpa pamit. Karena kami memandang Tuan
Muda, kami biarkan dia pergi tanpa meninggalkan uang sepeserpun."
Sangaji
tahu, yang dimaksudkan pendeta tua itu adalah Panembahan Tirtomoyo yang
merendamkan diri semalam dalam pengaron. Serentak ia menyahut, "Hm...
bukankah kamar ini aku yang menyewa?"
"Bukan
perkara kamar, Tuan. Tetapi kami sudah terlanjur menyediakan masakan-masakan
yang empuk. Kami berbelanja sendiri, agar tak mengecewakan Tuan."
Sangaji
tahu, pelayan penginapan itu ingin menunjukkan jasa. Maka segera ia membayar
semua harga masakan beserta persenannya dan meninggalkan penginapan. Kembali
lagi si pelayan jadi bergirang hati. la mengantarkan tamunya sampai ke luar
jalan. Kemudian berkata takzim. "Sebentar lagi senja hari tiba. Di manakah
Tuan akan menginap. Apakah... apakah..." ia mengerling kepada Titisari
dengan berkulum senyum.
Merah
muka Sangaji mendengar dan melihat laku pelayan itu. Ingin ia mendamprat,
tetapi tidak menemukan kata-kata. Maklumlah, tak biasa ia mengumbar mulut. Maka
dengan berdiam diri ia berjalan di samping Titisari yang telah mendahului.
"Aji!
Mengapa tak kau puntir hidungnya?" tegur Titisari. Tiba-tiba ia
mengangsurkan segenggam uang. Katanya, "Ini. Dengan pelayan semacam itu, tak
perlu kamu bermu-rah hati."
Sangaji
terperanjat, karena uang itu adalah uang pembayaran penginapan, masakan dan
persen. Gugup ia berkata, "Kau... kau... "
"Aku
mengambilnya kembali dari kantung tanpa bunga. Apa salahnya?" potong
Titisari tanpa perasaan. Sangaji jadi terbungkam. Pikirnya, gadis ini
benar-benar mempunyai sifat-sifat liar. Tetapi pelayan itu memang pantas
dihukum demikian. Mendakwa seorang gadis suci sebagai bunga jalan adalah
keterlaluan.
Sebelum
petang hari tiba, si Willem telah diketemukan. Mereka meneruskan perjalanan ke
arah selatan. Pada waktu itu masa bulan purnama. Bulan telah tersembul di udara
berbareng dengan tenggelamnya matahari. Ombak laut berdebur dahsyat dan
meniupkan angin segar ke daratan.
Willem
ternyata seekor kuda yang gagah perkasa. Meskipun dibebani dua orang majikan,
langkahnya tetap kuat dan tegar.
"Aji!"
tiba-tiba Titisari berkata sambil mengibaskan rambutnya.
Sangaji
duduk di belakang punggung Titisari. Karena Titisari mengibaskan rambutnya,
pipinya kena geser sehingga darahnya jadi terkesiap, jantungnya lantas saja
berde-gupan. Tatkala hidungnya mencium harum wewangian yang membersit dari
rambut si gadis, mulutnya mendadak saja seperti tergagu.
"Hai!
Kau lagi melamunkan siapa? Nuraini?" tegur Titisari sambil tertawa.
Mendengar teguran itu, keruan saja Sangaji jadi terperanjat setengah mati.
Gugup ia menjawab, "Mengapa kamu mendakwa yang bukan-bukan?"
"Tadi
kamu berbicara perkara rejeki -dan raja. Sekarang perkara... Tak bisakah kamu
membicarakan yang lain?"
"Baik—kamu
tak suka membicarakan, justru aku ingin membicarakan," sahut Titisari
cepat. Bukankah gadis itu..."
"Mengapa?"
potong Sangaji. Cepat ia mengingat-ingat peristiwa pagi hari tadi, sewaktu
Wayan Suage meninggalkan pesan penghabisan kepada Ki Hajar Karangpandan dan
gurunya, Wirapati. Teringat, bahwa Titisari kala itu belum muncul hatinya agak
jadi tenang.
Titisari
tertawa perlahan sambil mendongakkan kepala.
"Belum
selesai aku berbicara, kenapa kamu begitu gugup? Aku hanya ingin menyatakan
kesan hatiku, bahwa mulai hari ini dia menjadi seorang anak yatim-piatu. Siapa
yang bakal melindungi?"
Mendengar
kata-kata itu, Sangaji bersyukur dalam hati. la jadi geli melihat
kegelisahannya sendiri. Lantas menyahut, "Dia yatim-piatu atau tidak, apa
peduliku?"
Sangaji
bermaksud mau membersihkan diri dengan kata-kata tajam. Tapi ia lupa, bahwa
gadis yang duduk di dekatnya adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik luar
biasa pada zaman itu. Kalau saja, ia berkata penuh perasaan seperti watak
aslinya, pastilah si gadis tiada menaruh curiga. Sebaliknya oleh kata-katanya
yang keras, Titisari jadi keheran-heranan. Dengan tiba-tiba saja raut muka
Titisari berubah hebat. Dahinya berkerinyit dan matanya membersitkan sedikit
air. Sangaji tak melihat perubahan itu, karena dia berada di belakang
punggungnya. Hanya saja ia melihat si gadis menundukkan kepala seakan-akan
sedang berpikir keras.
"Titisari...
apakah kata-kataku ada yang salah?" kata sangaji hati-hati.
"Tidak!
Kamu tak bersalah. Sama sekali tak bersalah," sahut Titisari dengan
berbisik. Kemudian memandang jauh ke depan. Dan lama ia berdiam diri.
Sangaji
jadi gelisah. Dasar ia berhati polos dan jujur, lantas saja merasa salah. Ia
menyangka dan percaya, bahwa Titisari sudah bisa menebak peristiwa tadi pagi.
Terhadap Titisari ia sudah merasa takluk semenjak bertemu di restoran Cirebon.
Tetapi kalau dikatakan ia menerima pesan Wayan Suage dengan sungguh-sungguh
adalah tidak benar. Maka ia berkata, "Nuraini memang patut dikasihani, la
tak berayah-bunda lagi. Tetapi antara aku dan dia tidak ada hubungan keluarga.
Apakah menurut pendapatmu, aku harus mendampingi pulang ke kampung halaman dan
mencarinya sampai... Titisari, kalau kemarin pagi aku berkelahi melawan Sanjaya
begitu mati-matian, sebenarnya aku mengharapkan agar dia tak disia-siakan
pemuda itu."
"Benarkah
itu?" tiba-tiba Titisari memotong dengan suara riang. "Ya,
mengapa?"
"Seumpama...
ada seseorang yang hendak memisahkan persahabatan kita ini, apa yang akan
kaulakukan?"
Sangaji
jadi tercengang-cengang mendengar ucapan Titisari. Dan bagaimana goblok pun
seorang pemuda, samar-samar pasti dapat menebak maksud hati seorang gadis yang
berkata demikian.
Dengan
suara bergetar ia menyahut, "Eh, kamu ini ngomong apa? Siapa yang akan
memisahkan kita?"
"Seumpama
gurumu?"
"Guruku
orang berbudi. Tak bakal mereka memisahkan kita."
"Gurumu
yang lain, begitu galak. Aku tak senang melihat congornya."
Sangaji
terkejut. Selamanya ia menghargai dan menghormati gurunya lebih daripada siapa
saja, mendadak Titisari berani men-congor-congorkan. Tentu saja, hatinya
ter-kesiap sampai sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Titisari!
Kaumaksudkan guruku Jaga Saradenta? Biarpun dia galak, tidaklah segalak seekor
binatang. Mengapa kamu..."
"Eh,
aku bersakit hati? Antara dia dan kamu memang ada hubungannya. Tapi denganku,
sama sekali tidak ada hubungan sanak-keluar-ga. Tetapi mengapa dia memandangku
seperti anak siluman? Kalau dia menyebutku setali tiga uang dengan iblis—karena
aku anak siluman dan adik Abu dalam suatu perguruan—apa salahnya aku menyebut
mulutnya sebagai congor? Orang boleh memakiku dengan istilah iblis, kenapa aku
tak boleh memaki dia dengan istilah congor?"
Sangaji
terdiam karena tak pandai berdebat. Meskipun bisa dibenarkan tata-sikap si
gadis, tetapi ia merasakan sesuatu yang kurang tepat. Hanya saja, tak pandai ia
mengungkapkan kesan rasa itu. Akhirnya dia berkata, "Kamu adalah sahabatku
yang tak terpisahkan. Kupinta janganlah berkata demikian terhadap guruku yang
kuhormati dan kujunjung tinggi. Lagi pula, dia tadi tak langsung menyebutmu
iblis. Dia hanya menirukan ucapan pendeta Ki Hajar Karangpandan untuk membela
diri."
"Baik.
Terhadapmu memang aku bersedia takluk buat selama hidupku," sahut
Titisari. "Hanya saja, gurumu itu tak terkesan baik kepadaku."
"Barangkali,
karena dia benci kepada Pringgasakti."
"Pringgasakti
bukan aku. Aku bukan Pringgasakti. Mengapa mesti dipersangkut-paut-kan? Nah,
andaikata dengan alasan itu dia memisahkan persahabatan kita ini, apakah yang
akan kaulakukan?"
Dengan
semangat berkobar-kobar Sangaji meledak.
"Aku
hendak menggenggam tanganmu dan kubawa menghadap padanya. Dan aku akan berkata,
Ini adalah Titisari. Dia bukan iblis atau keluarga iblis. Dia manusia
baik."
Terdorong
oleh semangatnya yang berkobar dalam dada, tanpa terasa ia menggenggam
pergelangan tangan Titisari dan ditarik ke dadanya.
Mula-mula
Titisari tersenyum geli menyaksikan laku Sangaji. Tapi mendadak hatinya
tergetar karena Sangaji begitu sungguh-sungguh.
"Aji!
Gurumu itu mungkin dapat kauberi pengertian. Tetapi terhadap pendeta gila yang
menyebutku iblis, belum tentu kamu berhasil," katanya perlahan.
"Titisari!"
suara Sangaji gemetaran. "Kalau dia hendak memisahkan kita... biarlah kita
minggat ke Jakarta."
"Kalau
dia tetap memburu?"
"Biarlah
kita mati. Apa kamu takut mati?"
Semangat
Titisari terbangun. Hatinya berdebar-debar, karena terharu mendengar ucapan
Sangaji yang sederhana tetapi sungguh-sungguh. Benar! Paling baik kita mati,
pikirnya. Apakah ada yang melebihi mati? Lantas ia menjawab, "Aji! Mulai
detik ini aku akan mendengarkan tiap patah katamu. Mati pun bukan soal bagiku.
Karena itu selama-lamanya kita tak akan berpisah."
"Memang!
Kita takkan berpisah untuk selama-lamanya. Sudah kukatakan kemarin malam di
pantai, bahwa kamu adalah seorang gadis yang termanis."
"Betulkah
itu?" Titisari tertawa nakal.
Muka
Sangaji terasa menjadi panas. Meskipun demikian ia mengangguk. Di waktu itu
semangatnya sedang berkobar-kobar dengan dahsyat, sehingga tak ingatlah dia
bahwa tunangannya di Jakarta masih setia menunggunya. Pemuda itu sama sekali
tak menduga^kalau Sonny de Hoop di kemudian hari akan me-rupakan sumber
keruwetan dan kesulitan tak terhingga.
Demikianlah perjalanan mereka lantas saja menjadi lancar. Bulan makin Nampak gede. Sinarnya
bersemarak menentramkan hati dan penglihatan.
Kira-kira
menjelang tengah malam, mereka berhenti mencari penginapan. Maklumlah, mereka
kini merasa capai karena semenjak kemarin benar-benar tidak tidur sekejap pun,
meskipun hati mereka girang luar biasa. Lagi pula tanda jalan yang dijanjikan Wirapati
takkan dapat terlihat pada malam hari.
Willem
dilepaskan dengan begitu saja. Dan mereka menghempaskan diri di atas tanah
kering, berselimut udara dan berbantal batu. Dinyalakan suatu perdiangan kecil
dan sebentar saja telah tertidur lelap.
Menjelang
pagi hari, angin meniup begitu tajam dan dingin. Suasana hening dan sunyi.
Mendadaklah terdengar suara sebongkah batu menggelinding ke bawah. Kaget mereka
menyepakkan mata dan seolah-olah sudah saling berjanji, pandang matanya saling
memberi isyarat. Perlahan-lahan mereka menegakkan kepala. Mereka melihat Willem
lagi menggaruk-garuk tanah. Mengira, suara tadi datangnya dari perbuatan si
Willem, mereka berbaring kembali. Perdiangan yang sudah lama padam, dibiarkan
tak menyala.
Waktu
subuh hampir lewat, kembali mereka terbangun oleh suara yang mencurigakan.
Kini, mereka benar-benar bersiaga. Serentak mereka menegakkan punggung dan
menjela-jahkan mata. Mereka melihat si Willem terbaring tak jauh daripadanya.
Binatang ini pun mendadak saja menegakkan kepala dan serentak bangkit
berderakan. Mereka kian jadi curiga. Hati-hati mereka mengadu punggung dan
memperhatikan sekelilingnya. Tetapi sua-sana menjelang fajar hari tetap hening
dan sunyi menyayat. Meskipun demikian, tak berani mereka lengah sedikit pun. Sampai
matahari timbul di udara, mereka tetap siaga.
Karena
tempat sekitarnya tidak ada mata air, mereka meneruskan perjalanan ke selatan
mengikuti tanda jalan yang ditinggalkan Wirapati.
"Titisari!
Apakah kamu mempunyai firasat diikuti seseorang?" Sangaji minta
pertimbangan.
"Tidak
hanya semalam," sahut Titisari. "Semenjak kita berpisah dengan
gurumu, perasaan itu telah kurasakan."
"Mengapa?"
"Kedua
pusaka warisanmu itu bukan sembarang pusaka."
"Masa
begitu?" Sangaji tak yakin. "Seumpama semalam ada orang jahat, kenapa
tidak mencuri si Willem?"
"Justru
itu, dugaanku kian kuat. Orang yang semalam menjenguk kita, bukan seorang
penjahat murahan atau maling kuda. Pastilah jejak kita akan diikuti, sampai
kamu berhasil meng-ambil pusakamu. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja kamu telah
terkepung rapat."
Mendengar
ulasan Titisari, bulu roma Sangaji menggeridik. Tetapi ia membungkam mulut.
Tatkala
matahari telah sepenggalah tingginya, mereka sampai di sebuah dusun agak ramai
yang berada di kaki Gunung Sumbing. Sangaji membeli seekor kuda putih untuk
Titisari. Dan mereka melanjutkan perjalanan lagi. Sebenarnya Titisari lebih
suka menunggang kuda berbareng. Tetapi Sangaji merasa kikuk oleh pandang orang
dan merasa kurang leluasa. Mau tak mau Titisari menerima alasan itu.
Tak
lama kemudian mereka sampai di sebuah sungai yang jernih airnya. Segera mereka
mencencang kudanya dan terjun ke dalam sungai.
Biarpun
Sangaji dibesarkan di Jakarta, belum pernah sekali juga berenang di laut atau
di sungai. Karena itu ia berdiri di tepian setinggi dada. Sebaliknya Titisari
terus saja menyelam di dasar sungai dan timbul di seberang sana. la berenang
gesit dan cekatan seperti seekor ikan.
Wajahnya
riang luar biasa.
"Aji!"
serunya. "Selama hidupku aku berada di antara air. Ayo kuajari kau
berenang."
Sangaji
menggelengkan kepala. Ia takut air. Sekiranya tak teringat semenjak pagi tadi
belum mandi, takkan gampang-gampang ia mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai.
Titisari
seorang gadis yang nakal. Segera ia menghampiri dan berkata nyaring.
"Idddiiih... anak laki-laki, masa tak bisa berenang?"
Belum
lagi Sangaji menangkis ejekannya. Mendadak ia menyelam. Sangaji bercelinguk-an
mencarinya, tapi gadis nakal itu lama tak muncul-muncul. Karuan saja, hati
Sangaji ber-debar-debar. Hampir saja ia mengira, Titisari hilang disambar buaya
atau mendapat bahaya lainnya, mendadak kakinya serasa dibetot orang. Kaget ia
meronta, tetapi ia kena seret terus. Ketika ia melihat, bahwa dirinya diseret
ke tengah, ia takut setengah mati.
"Hai!
Hai!" ia berteriak sambil memukuli air.
Pada
waktu itu, ia seperti terlempar berputaran dan Titisari muncul di permukaan
sambil tertawa nyaring. Karuan saja, Sangaji gelagapan sampai meneguk air beberapa
kali.
"Pukulkan
tanganmu dan jejakkan kakimu! Air sekelilingmu pandanglah sebagai
musuhmu!" teriak Titisari menasihati.
Mau
tak mau Sangaji tunduk pada nasihatnya, meskipun hatinya mendongkol bukan main.
Tetapi aneh setelah tangan dan kakinya berserabutan tak karuan juntrungnya,
tubuhnya tidak tenggelam lagi. Bahkan ia bisa berputar-putar dan maju
membungkuk-bung-kuk seperti katak bangkotan.
Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian mulai mengajar bagaimana
harus berenang. Setelah itu cara
mengatur napas.
Bagi
Sangaji pelajaran mengatur napas dengan memukul tangan dan kaki adalah mudah.
Pertama-tama ia mengenal ilmu tata-ber-kelahi dan ilmu pernapasan dari Ki
Tunjung-biru. Maka dua jam kemudian, ia sudah bisa berenang seperti seorang
ahli berenang kelas empat. Dia sudah bisa mulai berputar-putar mengikuti
Titisari ke mana gadis itu berenang. Dan lambat-laun ia mendapat suatu
kegembiraan baru yang belum pernah dirasakan selama hidupnya.
Dia
tak mengenal lelah sampai waktu luhur telah lewat. Sekarang Titisari yang jadi
repot. Sama sekali ia tak menduga kalau muridnya begitu giat dan tak mengenal
lelah. Maka cepat-cepat, ia berseru, "Aji! Apa kita mau tidur dan makan di
dalam air?"
"Kenapa?"
"Aku
lapar! Ayo tolong aku mencari ikan." Sehabis berkata demikian, cepat ia
menyelam dan menguber-nguber ikan sampai hampir menjelang senja. Mereka
kemudian berbaring di tepi sungai sambil membakar ikan. Titisari ternyata
pandai memasak. Dengan cekatan ia memetiki daun-daun dan dimasak menjadi sayur
berikan.
Sangaji
sudah memeras tenaga hampir sehari penuh dalam kubangan air, maka ia
menggerumuti masakan itu seperti kuda.
"Kalau
saja kita membekal nasi, alangkah sedap," katanya.
Mendapat
ingatan itu, lantas saja mereka berbelanja di dusun. Membekal beras dan bumbu.
Kemudian
melanjutkan perjalanan lagi.
Demikianlah,
empat hari telah dilampaui dengan senang dan tidak ada halangan. Hanya saja
pada malam hari, mereka selalu berjaga, karena suara yang pernah didengar
senantiasa berada di dekatnya. Pada hari kelima, langit hitam tebal. Lalu
terdengarlah suara dentuman guruh saling menyusul.
"Kamu
takut, Titisari?" tanya Sangaji.
"Dulu
aku pernah takut pada guruh. Dalam bayanganku, seolah-olah naga besar melingkar
dan menyusur mega hitam. Kini... apa lagi sekarang, sama sekali tidak
takut."
"Kenapa?"
"Karena
aku dekat denganmu. Biarpun guruh itu benar-benar seekor naga raksasa sakti,
aku tidak gentar. Karena apakah yang melebihi mati? Sekiranya naga itu menyerang,
pasti kamu melawan sekuasa-kuasamu dan kalau kamu terpaksa gugur, akupun akan
menuntut bela. Sekiranya aku bisa membunuh naga itu, aku akan mendaki gunung
setinggi-tingginya sambil memapah jenazahmu. Kemudian akan kubawa meloncat ke
jurang. Nah, dengan begitu kita akan selalu bersama dan tidak ada sesuatu
kekuatan apa pun juga yang akan memisahkan kita."
Hebat
pengaruh kata-kata itu yang diucapkan dalam suasana jagad dalam keadaan
remang-remang hampir hujan. Sangaji begitu terharu, sampai menekan pergelangan
tangan Titisari dan hampir saja diciumnya.
Hujan
benar-benar turun sangat derasnya. Mereka tak memedulikan. Terus saja mereka
melanjutkan perjalanan. Tapi tatkala malam hari tiba, mereka berteduh di sebuah
gua (sebenarnya lebih merupakan kubangan tebing gunung) dan cepat-cepat
mengeringkan pakaian. Titisari segera memasak air dan menanak nasi. Kemudian
membakar beberapa ekor ikan sungai.
Tatkala
hendak menyambal ikan itu akan dipenyetkan dalam sambel dengan jeruk pecel,
mendadak ia mendengar suara langkah di luar mulut gua. Belum lagi ia memberi
isyarat, Sangaji telah memipitkan diri di belakang dinding mulut gua. Tahu-tahu
di depannya muncul seorang laki-laki berkepala botak yang terus saja tertawa
menyeringai. Dialah Yuyu Rumpung penasihat sang Dewaresi.
"Hm...
begini besar rejekimu sampai masih bisa masak ikan segala," katanya.
Sangaji
terkejut setengah mati, sampai mulutnya tergugu. Sebaliknya Titisari lantas
saja mendamprat.
"Eh...
jadi baru malam ini kamu muncul terang-terangan. Rupanya hujan besar membuatmu
gagal menepati siasatmu. Kamu terpaksa membatalkan rencanamu menguntit kami,
bukan?"
"Hai
bocah edan! Siapakah kawanmu ini? Begini cantik. Apakah dia bisa diganyang pula
seperti ikan yang dibakar?"
Panas
hati Sangaji, mendengar ucapan Yuyu Rumpung yang menghina Titisari. Biarpun
sadar tenaga sendiri tiada unggulan, lantas saja ia menyerang.
Yuyu
Rumpung kini telah pulih kembali seratus persen, tetapi sembilan bagian telah
dimiliki. Karuan saja, begitu Sangaji melontarkan serangan dengan tertawa besar
ia menangkap pergelangan tangannya dan dilontarkan balik.
Tubuh
Sangaji terpental masuk ke dalam gua menubruk Titisari.
"Cepat
minggir!" serunya gugup, karena merasa tak dapat menguasai diri.
"Mengapa
mesti minggir?" sahut Titisari sambil menyambut. "Bukankah tidak ada
yang bisa melebihi mati?"
Karuan
saja, kena benturan tubuh Sangaji yang terpental karena dorongan tenaga Yuyu
Rumpung, Titisari terpelanting sampai menumbuk dinding gua. Meskipun demikian,
ucapannya menimbulkan semangat berjuang yang menyala dahsyat dalam dada
Sangaji.
"Bagus!
Tidak ada kekuatan manapun yang mampu memisahkan kita," seru Sangaji. Dan
terus saja dia kembali menyerang.
Ia
memang berwatak ulet, tabah dan tahan uji. Meskipun kena gempuran Yuyu Rumpung
setiap kali ia menyerang, masih saja dia tidak jera. Bahkan dia berusaha sekuat
tenaga agar bisa membobol mulut gua.
Titisari
pun tak tinggal diam. Hanya saja dia cerdik. Dengan cekatan ia menerkam kayu
pembakar dan hendak dipergunakan sebagai senjata, la tak memperdulikan
ikan-ikan yang sedang dibakarnya. Sekonyong-konyong berkelebatlah bayangan
putih. Bayangan putih itu, terus saja menyanggah maksud Titisari sambil
berkata, "Eh—eh, sayang Nona! Sayanglah pada ikan-ikan itu!"
Terus
saja bayangan putih itu sibuk menyalakan api dan menaruh ikan-ikan dengan
hati-hati di atas bara. Titisari heran berbareng terkejut. Dengan tajam ia
mengamat-amati bayangan putih itu. Ternyata ia adalah manusia yang berkulit
putih.
"Ai...
sayang-sayang! Rupanya Nona pandai membakar ikan! Teruskan membuat pecel lele!
Jangan pedulikan bangsa cecurut itu."
Mendengar
ucapan orang berkulit putih itu, sepercik harapan timbul dalam hatinya. Dasar
ia cerdik dan cerdas, lantas saja bisa menebak bahwa orang berkulit putih itu
bukan kawan Yuyu Rumpung. Pikirnya, di mulut gua Yuyu Rumpung berjaga-jaga
dengan kuat dan sedang mengadu tenaga dengan Sangaji. Bagaimana orang ini
tiba-tiba saja bisa melesat memasuki gua? Apa dia memiliki ilmu siluman?"
Mendapat
pikiran demikian lantas dia berkata mencoba.
"Perkara
membuat pecel lele, itu sih gampang. Tapi kawanmu itu mengotori gua dengan abu
tanah begini rupa."
"Kawan
yang mana?" dengus orang berkulit putih.
"Yang
botak itu."
"Hm...
orang seperti anjing kudisan itu, bagaimana bisa jadi kawanku? Suruh dia pergi
dan menjauhi gua. Bilang aku si jembel tua yang memerintahkan!"
Titisari
berbimbang-bimbang. Melihat Titisari berbimbang, orang berkulit putih itu
lantas berkata lagi, "Bilang, burung gagak berbulu putih yang
menghendaki."
Mendengar
ucapan orang berkulit putih itu, sekonyong-konyong mata Titisari menyala
berkilat-kilat. Serentak ia meloncat maju sambil membentak.
"Hai
botak tua! Kamu diperintahkan pergi menjauhi gua. Gagak Seta yang
perintah!"
Mendengar
nama Gagak Seta, benar saja Yuyu Rumpung lantas saja berdiri tegak. Mukanya
berubah hebat. Pucat dan ber-gemetaran.
"Apa
kau bilang?" katanya dengan suara tertahan.
Belum
lagi Titisari menjawab, Gagak Seta yang masih saja membungkuki ikan-ikan
bakaran menyahut.
"Kau
anjing, enyahlah cepat-cepat! Aku si jembel tua mau makan. Dan kau anak muda,
wakili aku menggaplok botaknya tujuh kali."
"Menggaplok?"
Sangaji menegas heran.
"Aku
bilang gaplok, gaploklah! Tak bakal dia berani membalas atau mampu
membalas."
Benar
juga. Tatkala Sangaji mencoba-coba meraba pipinya, si botak tak berani
berkutik. Maka ia benar-benar menggaplok. Kali ini lebih keras sampai mulut si
botak mengeluarkan darah. Dan pada gaplokan yang ke enam, tiba-tiba Titisari
berteriak, "Nanti dulu! Akupun tadi kena dipelantingkan, karena itu dia
harus membayar."
Setelah
berkata demikian, ia bukan lagi menggaplok tetapi menghantam dada Yuyu Rumpung
pulang-balik sampai pendekar itu meringis kesakitan.
"Bagus!
Bagus!" seru orang berkulit putih dengan gembira. "Kamu begitu
bersemangat dan aku senang melihat seorang yang bersemangat. Nah, sekarang
suruhlah dia pergi jauh-jauh!"
Tanpa
diperintah lagi, Yuyu Rumpung lantas mengundurkan diri, setelah membungkuk dua
kali. Sangaji heran luar biasa. Ia tahu, pendekar itu sangat galak dan ganas.
Mengapa tiba-tiba dia menjadi begitu jinak? Apakah orang yang lagi membungkuki
ikan itu majikannya?
"Hai
Nona kecil! Apa kamu akan membiarkan ikan-ikanmu terbakar hangus?" teriak
orang berkulit putih.
Sangaji
menoleh ke Titisari dan ia tercengang-cengang lagi melihat kawannya itu begitu
penurut. Percaya, kalau Titisari yang cerdik dan cerdas otak pasti sudah
menemukan sesuatu hal yang beralasan, segera ia datang membantu. Tetapi baru
saja, ia hendak berjongkok tiba-tiba orang yang menamakan diri Gagak Seta itu
menolaknya.
"Jangan
sampai kau sentuh ikan-ikan itu. Tanganmu akan mengotori dan merubah
selera."
Kena
dorong itu, Sangaji terkejut. Ia merasakan suatu tenaga dahsyat yang halus
sehingga tiba-tiba saja tubuhnya sudah kena digeser pergi sampai memepet
dinding. Teringat akan sikap Yuyu Rumpung yang tiba-tiba jadi jinak oleh suatu
gertakan saja dan ia sendiri merasakan pula tenaga orang itu begitu dahsyat,
mau tak mau ia harus bisa menempatkan diri.
"Paman!
Apakah benar-benar Paman doyan sambel lele?" tiba-tiba Titisari berkata
dengan suara riang dan ikhlas.
"Apa
kamu merasa kurugikan?"
"Tidak!
Sama sekali tidak! Aku hanya ingin minta ketegasanmu. Kalau Paman doyan ikan
lele, biarlah esok hari aku menangkap yang lebih banyak lagi. Dan aku akan
memasakkan Paman yang istimewa."
"Eh
Nona kecil! Aku singgah kemari karena kebetulan saja. Sewaktu aku lagi
mengutuki hujan tiba-tiba aku mencium bakaran ikan."
Dengan
cekatan Titisari melayani orang itu. Ia membakar terasi yang segera menusuk
hidung sangat tajam, sampai orang kulit putih itu mulutnya jadi berliur.
"Wah
cepat! Cepat!" orang itu menjerit-jerit. "Aku bisa mati
kausiksa."
Titisari
tertawa geli menyaksikan perangai orang kulit putih itu. Tatkala ia mendengar,
bahwa orang itu bernama Gagak Seta, teringatlah dia akan tutur-kata ibunya.
Orang itu pernah bertanding melawan ayahnya mengadu kepandaian. Masing-masing
tiada yang kalah atau menang. Tadi, sewaktu ia melihat orang bule bisa masuk ke
dalam gua seperti kelelawar sampai bisa menerobos penjagaan Yuyu Rumpung, ia
sudah curiga.
Karena
ciri khas pribadi Gagak Seta itu ialah warna kulitnya yang putih. Ayahnya
sering menyebutnya sebagai si jembel bule. Ia adalah salah seorang dari tujuh
tokoh sakti pada zaman itu. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua, Pangeran
Mangkubumi I. Ketiga, Adipati Surengpati. Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim.
Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bangah. Dan ketujuh, Raden Mas Said yang
terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa. Mengingat dia menduduki urut nomor lima,
bisa dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya bahkan kini, sesudah Pangeran
Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim dan Pangeran Samber Nyawa sudah wafat, ia
menduduki nomor urut yang ketiga. Sebenarnya nomor urut itu adalah tutur-kata
orang belaka. Andaikata keempat tokoh sakti itu saling bertempur mengadu
kepandaian tidak salah seorang yang bisa memperoleh tingkat tertinggi.
Masing-masing memiliki gegebengan sendiri yang sudah mencapai tingkat sempurna.
Waktu
itu Titisari selesai mempenyet tiga ekor ikan lele dan diserahkan dengan senyum
ikhlas kepada Gagak Seta. Ternyata Gagak Seta seperti orang sebulan tidak
makan. Begitu dia mencium bau ikan, terus saja tangannya menyambar dan dengan
serakah dijejalkan ke dalam mulutnya, la makan begitu bernafsu, sampai ketiga
ekor lele itu lenyap hingga ke tulang-tulangnya.
"Bukan
main! Bukan main!" serunya memuji. "Entah kau ini anak iblis, anak
setan atau anak malaikat! Tanganmu begitu sedap, sampai aku benar-benar merasa
takluk. Hai, bagaimana kamu bisa membuat ikan kali ini begini nikmat? Setua
ini, belum pernah aku merasakan suatu kenikmatan seperti hari ini."
Titisari
tertawa dan ia menyodorkan dua ekor ikan lagi yang sebenarnya adalah bagiannya
dan bagian Sangaji.
"Ah!
Bagaimana aku..." Gagak Seta menolak. "Kamu berdua belum
makan..." Tetapi mulutnya berkata demikian, tangannya sudah menyambar dan
sebentar saja dua ikan lele itu telah habis digerogoti. Setelah itu dia
berjungkir-balik sambil menekan perutnya.
"Hai
perut edan! Perut bangsat! Bagaimana kamu berani menggaglak milik orang!"
Mula-mula
Sangaji heran menyaksikan perangai orang itu. Berdiam diri ia beradu pandang
dengan Titisari. Tetapi begitu mendengar ucapannya, mau tak mau ia tersenyum
geli.
"Hai
anak muda!" tiba-tiba Gagak Seta berdiri tegak di depannya sambil merogoh
kantongnya, ia berkata lagi, "Kulihat tadi, kamu belum kebagian. Berapa
aku mesti bayar?"
"Aku
bukan seorang penjual makanan," jawab Sangaji sederhana. "Seumpama
aku pun seorang penjual makanan, terhadapmu tak bakal kuminta uang. Kamu
kuanggap sebagai sahabat."
"Eh,
mana bisa begitu? Malam ini hujan badai. Malam begini ini, enaknya makan serba
hangat dan minum."
"Aku
takkan mati kelaparan, karena tidak makan ikan lele sekali saja." Sangaji
tersenyum.
Gagak
Seta tertawa lebar. Dengan agak sungkan, ia berkata, "Inilah sulit. Selama
hidupku, tak pernah aku menerima budi seseorang. Meskipun aku seorang
jembel."
"Apakah
arti lima ikan lele? Lagi pula kami tidak membelinya. Kami hanya mengambil dari
sungai. Kalau kamu ingin membalas budi, nah lemparkan uangmu ke dalam
sungai."
Gagak
Seta terkekeh-kekeh. Mendadak Titisari menyambung.
"Kamu
tadi ingin menikmati minuman hangat pada malam hari begini? Bagus! Tunggulah
barang sebentar! Aku akan memasak kopi untukmu."
"Hai!
Hai! Jangan! Jangan! Bagaimana aku bisa menerima pemberianmu?" teriak
Gagak Seta. Tetapi sekali lagi mulutnya mengucap demikian, tangannya lantas
saja mengeluarkan tempurung usang dari dalam ikat pinggangnya dan terus
diangsurkan kepada gadis itu.
Titisari
tersenyum geli sambil mengerlingkan mata kepada Sangaji. "E-hem! Anak
muda!" kata Gagak Seta kepada Sangaji. "Apakah dia isterimu?"
Merah
muka Sangaji mendengar pertanyaan itu. Belum lagi dia menjawab, Gagak Seta
meneruskan. "Dia begitu pintar dan cekatan. Kau sangat beruntung! Hm... sekiranya
dulu ada yang sudi jadi istriku dan kemudian mempunyai anak gadis seperti dia,
tanggung kukantongi selama hidupku. Kau tak bakal bertemu, anak muda. Eh, siapa
namamu?"
Sangaji
hendak membuka mulut, tetapi sekali lagi Gagak Seta memotong.
"Kulihat
tadi kedua kudamu kehujanan di luar. Apa kamu mau membiarkan binatang-binatang
itu sakit perut?"
Teringat
akan kudanya, Sangaji terkejut. Ya, kedua kudanya tadi belum lagi diteduhkan ke
dalam gua. la hanya mencencangnya begitu saja di bawah mahkota dedaunan. Sama
sekali tak terpikirkan, kalau mahkota dedaunan belum tentu dapat melindungi
deras hujan turun terus-menerus tiada hentinya. Serentak ia meloncat dan
melesat ke luar gua. Hujan deras tak diacuhkan, Pakaiannya yang kotor kena debu
gua sewaktu berkelahi tadi, cepat jadi basah kuyup.
Gagak
Seta mengawaskan dengan meng-urut-urut jenggotnya yang berwarna kelabu. Berkata
kepada Titisari, "Apa dia suamimu?"
Tadi
Titisari mendengar Gagak Seta menegas kepada Sangaji tentang hubungannya. Gadis
itu ingin sekali mendengarkan jawaban Sangaji. Kini, di luar dugaannya dia pun
menghadapi suatu pertanyaan yang mestinya mudah, tapi tiba-tiba begitu sulit.
Sampai otaknya yang cerdaspun tak kuasa menjawab. Mau dia mengiakan, mendadak
saja jantungnya ber-degupan.
Gagak
Seta tidak mendesak. Ia hanya tertawa perlahan sambil berputar menghadap
padanya. "Anak muda itu seperti tabiatku."
"Apakah
yang sama?" Titisari menyahut sulit mengatasi perasaannya.
"Agak
ketolol-tololan, seperti masa mudaku. Mungkin otaknya bebal. Coba lihat!
Terhadap binatang saja, dia berani membiarkan dirinya kehujanan. Apakah
kekuatan tubuhnya jauh lebih kuat daripada kuda?"
Orang
tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh.
"Justru
demikian, aku senang berkawan dengan dia," Titisari membela.
"Hai!
Kawan?"
"Mengapa?
Kalau terhadap binatang saja dia begitu memperhatikan, terlebih-lebih terhadap
seorang manusia."
"Bagus!"
Gagak Seta tertawa menggelora.
"Mengapa
kamu tertawa?"
"Aku
ingin tertawa dan tertawalah aku. Siapakah yang melarang orang tertawa?"
Gagak Seta menyahut cepat. Kemudian berkata kepada dirinya sendiri.
"Alangkah untung kawanmu itu... eh suamimu... eh kawanmu. His! His!
Kurangajar mulut ini."
Tahulah
Titisari, bahwa orang tua itu sedang menggoda padanya. Sekaligus merahlah
mukanya dan hatinya jadi mendongkol. Hanya aneh, dalam hati kecilnya terbersit
rasa syukur yang membahagiakan. Tetapi seorang perempuan bukanlah perempuan,
apabila tak bisa main sandiwara. Maka dengan wajah cemberut ia mengangsurkan
tempurung Gagak Seta kepada pemiliknya kembali.
"Baik.
Terimalah harta-bendamu ini kembali. Aku tak mau memasakkan kopi bagimu."
"Hai!
Hai! Mengapa?" Gagak Seta terkejut.
"Tak
senang aku kauolok-olok."
"Siapa
yang mengolok-olok?"
"Kau
tadi ngomong apa?"
"Itu
kan mulutku. Dan mulutku bukan aku!"
Gagak
Seta membela diri sungguh-sungguh. Dan mau tak mau Titisari tertawa geli juga
dalam hati, menyaksikan perangai orang itu yang aneh. Pikirnya, memang benar
kata orang. Bahwasanya orang yang berilmu tinggi seringkali mempunyai
tabiat-tabiat dan kebiasaan-kebiasaan yang aneh serta edan-edan-an. Maka ia
mengurungkan niatnya dan segera ia membungkuki perdiangan memasak kopi.
Dalam
pada itu, Sangaji telah memasukkan kedua kudanya. Karena tiada tonggak atau
batu yang mencongakkan diri dari dinding gua, terpaksa ia menghunus pedang
pemberian Mayor Willem Erbefeld dan ditancapkan ke tanah dengan sekali tetak.
Kemudian ia mengikat kendali kedua kudanya sekaligus.
"Hai
anak muda! Apa kamu mau tidur bersama kuda?"
"Apakah
sekiranya mengganggu Paman?" balas Sangaji bertanya.
"Tidak!
Tidak! Sama sekali tidak!" Gagak Seta menyahut dan terus berbaring di
tanah. Sebentar saja ia mendengkur bagaikan babi hutan.
Heran
Sangaji mengamat-amati. Kemudian dengan berjingkat-jingkat ia menghampiri.
Sekali lagi ia memeriksa dan mengamat-amati. Dan benar-benar orang tua itu
tidur mendengkur.
Aneh,
pikirnya, la habis berbicara dengan suara kuat. Lalu dengan tiba-tiba bisa
tertidur begitu gampang. Ilmu apakah ini? Tertarik kepada tingkah-laku Gagak
Seta yang aneh itu.
"Kukira
dia benar-benar tidur," kata Titisari yakin. "Ayahku pernah
membicarakan tentang suatu ilmu penutup panca-indera yang bisa tahan terhadap
segala senjata tajam atau racun. Ilmu itu namanya Keyong Buntet. Aku sendiri
belum pernah menjumpai seseorang yang berilmu demikian. Tetapi mengingat dia
pernah bertempur berkali-kali melawan Ayah, pastilah ia bukan orang
sembarangan."
"Dia?"
Titisari
mengangguk.
"Apakah
perkaranya?" Sangaji minta keterangan.
"Itulah
soal orang-orang tua. Kamu kenal nama-nama tokoh sakti pada zaman ini? Yang
pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kemudian ayahku. Kemudian dia—Gagak Seta. Dan
keempat, Seorang tokoh dari perbatasan Jawa Barat. Nama gelarnya Kebo
Bangah."
Hai!
Apakah dia Gagak Seta yang pernah dibicarakan guruku? pikir Sangaji. Hatinya
terkesiap. Lantas saja dengan hormat ia menjauhi. Berkata pada Titisari
setengah berbisik, "Dulu aku pernah mendengar Ki Tunjungbiru
menyebut-nyebut namanya tatkala berjumpa dengan kedua guruku. Ah! Inilah
anehnya!"
"Apakah
di jagad ini ada sesuatu peristiwa yang kebetulan? Kenapa aku bisa berjumpa
dengan dia?"
Titisari
tidak menjawab. Dengan berdiam diri ia menyiduk air panas dengan tempurung
Gagak Seta. Kemudian menghampiri orang tua itu.
"Hai,
kau mau apa?" Sangaji terkejut.
"Ingin
kutahu, apakah benar-benar Gagak Seta dan apakah dia benar-benar memiliki ilmu
Keyong Buntet," sahut Titisari. "Sekiranya dia berilmu Keyong Buntet,
pastilah kulitnya tidak mempan dan dia pun tidak bergeming, sekiranya tidak
memiliki, pastilah dia bisa menghindari sebelum air mendidih ini menyiram
tubuhnya."
Dan
berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan ia menyiramkan air panas itu.
Sangaji terkesiap bukan kepalang. Mau ia meloncat mencegah sedapat-dapatnya.
Mendadak saja ia melihat suatu keanehan. Orang tua itu seperti tak mempunyai
rasa. la tetap tidur mendengkur dan tubuhnya tak bergeming.
Semenjak
kanak-kanak, Sangaji hidup di Jakarta dan bergaul rapat dengan kompeni-kompeni
Belanda. Sedikit banyak, cara berpikir orang-orang Barat terekam juga dalam
benaknya. Terhadap ilmu-ilmu sakti, tak pernah ia mendengar kabar. Kecuali
tatkala bertemu dengan Panembahan Tirtomoyo dan mendapat keterangan
daripadanya. Namun demikian, tak pernah ia yakin bahwa ilmu yang disebutkan
Titisari benar-benar bisa membuat kulit daging begitu kebal. Pikirnya, apakah
benar ilmu itu yang melindungi tubuhnya atau dia penjelmaan siluman?
Sambil
berjalan kembali ke perdiangan, Titisari berkata, "Aji! Barangkali kamu
belum pernah melihat wayang kulit."
"Ya.
Kenapa?"
"Kalau
kamu sekali melihat, kutanggung akan tertarik. Sebab di sana kamu akan mengenal
banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang disebut orang, Ksatria. Seorang ksatria
mengutamakan kegesitan yang kecerdasannya apabila bertempur melawan raksasa.
Dia cekatan dan berusaha jangan sampai kena sentuh. Itulah ilmu yang kita
pelajari dan kita kenal pula. Tetapi di samping itu, ada pula suatu ilmu
sebagai pagar diri. Yakni, ilmu kekebalan yang disebut ilmu Kedotan.
Barangsiapa memiliki ilmu itu tak gampang-gampang bisa dilukai senjata. Itulah
yang belum pernah kaukenal. Kau percaya tidak?"
Perlahan-lahan
Sangaji duduk berjongkok sambil mengamat-amati tubuh Gagak Seta. Berkata setengah
berbisik, "Pernah aku mendengar pengertian itu dari Panembahan
Tirtomoyo."
"Dan
kamu sangsi, bukan?"
"Ya."
"Sekarang
kamu telah menyaksikan kejadian aneh di depan matamu. Bagaimana
penda-patmu?"
Sangaji
tak cepat menjawab, la seperti lagi bergulat penuh selidik. Akhirnya berkata
sambil melepas napas.
"Titisari!
Entahlah! Otakku bebal dan aku merasa dungu. Bagiku... kalau aku sendiri belum
memiliki dan merasakan sendiri pula, rasanya aku belum bisa mengiyakan.
Entahlah... mengapa aku mempunyai pendapat demikian? Tak salah bukan?"
Titisari
meruntuhkan pandang ke perdi-angan. la membungkam. Meskipun otaknya cerdas luar
biasa, bagaimana dia bisa mengadili ucapan Sangaji yang dinyatakan dengan
jujur. Sangaji sendiripun tak pernah mengira kalau pernyataan itu dikemudian
hari akan terjadi. Dia tidak hanya memiliki ilmu semacam itu, bahkan akan
memiliki suatu ilmu tertinggi di jagad ini.
Waktu
itu, air telah mendidih benar-benar. Dengan cekatan Titisari mengaduk bubuk
kopi. Harum kopi mengasap ke seluruh ruang goa. Mendadak saja, hidung Gagak
Seta ber-gerak-gerak. Belum lagi Titisari selesai mengadukkan gula, orang tua
itu sudah melesat dan sekaligus menyambar tempurungnya.
"Harum!
Harum! Eh, Hidungku! Hm... kau percaya tidak anak muda? Hidungku ini nyaris
kupotong sendiri karena begitu galak."
Sangaji
dan Titisari terperanjat. Sama sekali mereka tak mengira, orang tua itu bisa
bangun dengan sekonyong-konyong. Tadi ia tak bergeming karena siraman air
panas. Tapi dengan hawa kopi hangat belaka, hidungnya bisa mengajak bangun. Ini
aneh dan menggelikan.
Mau
tak mau, kedua pemuda itu sibuk menduga-duga pribadi pendekar sakti tersebut.
"Ah,
Nona kecil! Benar-benar aku takluk padamu," kata Gagak Seta setelah
menghirup kopinya. "Hm, begini lezat. Sepuluh tahun lamanya aku pernah
mengaduk-aduk dapur istana Kasunanan dan Kasultanan. Tak pernah sekali juga,
aku menikmati kopi sehebat ini. Barangkali benar-benar kamu anak iblis."
Setelah
berkata demikian, ia tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian dengan mulut se-rabutan
ia mencoba menghirup habis kopinya.
Titisari
waktu itu membuat tiga tempurung kopi. Sebenarnya satu untuk Sangaji dan lain
untuknya sendiri. Tetapi ketika melihat keserakahan Gagak Seta, ia menyerahkan
kopinya. Bahkan Sangaji dengan hormat berbuat demikian juga.
"Hai!
Apa kalian akan menyuapku?" tegur Gagak Seta seperti uring-uringan. Tetapi
ia menerima juga suguhan. Dan dengan sekali hirup, ia menghabisi riwayat kopi
hangat pada malam hari itu.
"Hai!
Hai! Perutku!" Gagak Seta menyesali perutnya sendiri. Lantas ia
mengeluarkan seonggok tembakau dan seikat kelobot.
Dengan
penuh kepuasan, ia menggulung sebatang rokok raksasa dan disumpalkan ke dalam
mulutnya. Sangaji melompat ke perdiangan menolong menyalakan, kemudian duduk
dengan takzim di depannya.
"Hm,"
dengus Gagak Seta sambil mengepulkan asap ke udara. "Aku tahu, kalian
begini bersikap baik kepadaku karena mempunyai maksud yang tidak baik. Kalian
mau menyuapku, agar aku sudi mengajari sesuatu ilmu bukan?"
Sangaji
hendak membantah, mendadak ia melihat pandang mata Titisari memberi isyarat
kepadanya. Karena itu ia batal sendiri.
"Baiklah!
Tak mengapa. Aku telah menenggak kopi dan semua ikan kalian. Rasanya kurang
adil, jika aku tak membayar dengan sepantasnya. Nah, aku ingin kalian
memperlihatkan kepandaian macam apa kepadaku."
Sangaji
menoleh kepada Titisari minta pertimbangan. Gadis itu mengangguk kecil. Dan
mereka berdua lantas berdiri.
"Paman!"
tiba-tiba Titisari berkata, "Sama sekali tak kuduga bahwa Paman seorang
jahat."
"Jahat?"
Gagak Seta heran. "Paman berpura-pura tidur untuk mendengarkan pembicaraan
kami bukan?"
Sebentar
Gagak Seta terhentak. Kemudian menangkis, "Baik. Aku mendengar semua
pembicaraanmu, Apa salahnya?"
"Bagus!"
Titisari membalas. "Kami pun menyuguh seseorang sekedarnya, karena kami
hanya mempunyai beberapa ekor ikan lele, sambel dan kopi. Tapi Paman mengatakan
tidak baik. Manakah yang tidak baik."
Kembali
Gagak Seta terhenyak. Kemudian tertawa meledak.
"Iblis
kecil! Kau benar-benar licik!" serunya, "Baiklah, aku mengaku kalah.
Tetapi seumpama orang membayar, aku masih kurang satu lagi. Aku menggerogoti
ikan-ikanmu dan kalian sudah menagih bayarannya dengan menyiram air panas. Aku
telah menghirup habis kopimu... Nah, untuk ini aku belum membayar. Sekarang mau
kutebus dan kubayar hutang itu. Karena aku tak sudi berhutang budi pada
kalian."
"Paman
sudi membayar, juga baik. Tidak membayar pun, baik pula."
"Kenapa?"
"Sebab
dalam hal ini tidak ada jual-beli. Kalau aku menyiram air panas, bukan maksudku
menagih bayaran. Sama sekali tidak! Tapi semata-mata, karena ingin mendapat
keyakinan apakah Paman benar-benar tokoh sakti bernama Gagak Seta."
"Apa
ada yang bakal memalsu?" Gagak Seta memotong.
"Apa
ada Gagak Seta palsu?" Titisari tak mau mengalah.
"Di
manakah Gagak Seta palsu?" Gagak Seta tersinggung.
"Kalau
Paman sudah yakin tidak Gagak Seta palsu, mengapa Paman membicarakan perkara
palsu dan tulen?"
Untuk ketiga
kalinya, Gagak Seta
terhenyak, la mengamat-amati Titisari
secermat-cermat.
Kemudian
tertawa berkakakan.
"Belut
kecil! Benar-benar kamu seperti anak iblis!" serunya kagum. Kemudian
mengalihkan pembicaraan, "Baik! Nah, kamu anak muda, siapakah
namamu?"
Sangaji
yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian menjawab, "Namaku Sangaji. Dan
dia Titisari."
"Hm,
nama bagus! Kamu mau minta pelajaran ilmu apa? Bilang! aku akan mengajarimu
sejurus dua jurus sampai bisa."
Sangaji
diam berpikir. Tak tahu dia apakah yang harus dikemukakan. Dalam soal ilmu
kepandaian tata-berkelahi sesungguhnya pengetahuannya kurang luas. Maklumlah,
dia hanya menjadi murid Jaga Saradenta dan Wirapati dalam waktu empat tahun
saja.
Selama
itu—karena tergesa-gesa, kedua gurunya tak pernah memberinya pengertian tentang
macam ilmu yang berada di persada bumi ini.
"Paman
Gagak Seta." Tiba-tiba Titisari menolong dia berbicara. "Dia ini
seorang laki-laki yang sok uring-uringan. Dia gampang marah. Kalau dia kalah
bertanding melawanku, dia menggeremengi aku sepanjang hari sampai kupingku
ngeri dibuatnya."
"Hai!
Kapan aku pernah menggere-mengimu... ?" Sangaji memotong tergegap-gegap.
Tetapi kakinya terus digencet Titisari, sehingga tahulah dia bahwa kawannya itu
sedang mengarang cerita burung. Maka terpaksa ia membungkam mulut.
Gagak
Seta tertawa. Sebagai seorang tokoh sakti tahulah dia, bahwa gadis cilik itu
sedang mencari alasan untuk menutupi kedunguan Sangaji dalam lapangan ilmu
berkelahi. Tetapi ia berdiam membungkam mulut.
"Kulihat
gerak-gerik kalian, bukan seorang segoblok kerbau. Paling tidak, kalian sudah
pernah belajar berkelahi lima tahun. Sekarang, coba kalian bertempur! Ingin aku
melihat."
Titisari
segera mengajak Sangaji berkelahi. "Ayo, Aji! Kita bertempur."
"Bertempur?"
Sangaji berbimbang-bimbang.
"Ya.
Bertempur! Kalau kamu tak memperlihatkan seluruh kepandaianmu, bagaimana Paman
Gagak Seta sudi mengajarimu?"
Sangaji
menyahut setelah sejurus diam menimbang-nimbang.
"Tetapi...
kalau aku tak becus, janganlah menyalahkan guruku. Semua itu terjadi karena
ketololanku. Paman Gagak Seta, berilah aku petunjuk-petunjuk yang berguna
bagiku."
Gagak
Seta tersenyum menjawab, "Memberi petunjuk satu dua jurus, tak mengapa.
Tetapi memberi petunjuk lebih dari lima jurus, itu lain perkara."
Sangaji
heran mendengar jawaban orang itu. Tetapi belum sempat ia berpikir, mendadak
saja Titisari telah menyerangnya sungguh-sungguh.
"Awas!"
gertaknya.
Sangaji
benar-benar diserangnya bertubi-tubi. Karena tidak berniat berkelahi
bersungguh-sungguh, maka ia kena gebuk empat kali beruntun.
"Berkelahilah
yang sungguh-sungguh! Paman Gagak Seta bukan orang sem-barangan. Dia tahu, kamu
berkelahi dengan sungguh-sungguh atau tidak," bisik Titisari.
Karena
bisikan itu, terbangunlah semangat Sangaji. Maka ia terus saja menangkis si
gadis dan sekali-kali melepaskan serangannya. Dalam hal tenaga dan keuletan,
Sangaji menang jauh daripada Titisari. Maklumlah, selain watak asli, Sangaji
telah menghisap getah pohon Dewadaru. Gerakannya gesit dan kuat. Setiap
pukulannya mengandung per-bawa. Tetapi Titisari pun bukan seorang gadis
sembarangan. Dia anak Adipati Karimun Jawa Surengpati. Meskipun belum sempurna
setidak-tidaknya ia pernah mendapat didikan dan asuhan ayahnya. Karena itu,
gerak-geriknya luar biasa aneh dan gesit, la mengenal macam-macam ilmu. Tatkala
ia kena desak, mendadak saja dua tangannya ditarik seolah-olah meringkaskan
diri. Kemudian di luar dugaan, ia menyapu tubuh Sangaji dari bawah.
"Bagus!"
puji Gagak Seta gembira. "Kamu siluman cerdik."
Sangaji
kena hantam beberapa kali, tetapi ia belum mampu membalas. Maka ia mau mendesak
Titisari dengan sungguh-sungguh. Tenaganya berlipat ganda. Dalam tubuhnya
seakan-akan ada suatu bendungan air yang hendak membobol tanggul. Hanya sayang,
ia belum pandai menyalurkan. Itulah sebabnya, tenaga yang dahsyat hanya
tersekap dalam tubuh seperti air bergolak. Sekalipun demi-kian, ia nampak
bersemangat. Beberapa kali ia merangsak dan mendesak. Kini, Titisari benar-benar
repot. Seumpama bertempur benar-benar ia akan dapat dikalahkan Sangaji dalam
waktu tiga jam lagi. Maklumlah, tena-ganya takkan mampu menandingi tenaga getah
Dewadaru. Gagak Seta sendiri, diam-diam heran, pikirnya, anak goblog ini
seperti punya mukjizat. Eh, mukjizat apa yang dimi-likinya?
Sejalan
dengan pikirannya, ia melihat Titisari kena desak Sangaji sampai ke pojok.
Mendadak saja di luar dugaan, gadis itu me-ngeluarkan ilmu simpanannya ajaran
khas dari ayahnya. Itulah ilmu "Meninju Odara Kosong" yang terkenal
dengan sebutan "Ilmu Gora Mandala." Seseorang yang sudah mahir ilmu
ini akan dapat mementalkan seekor kerbau dari jarak dua puluh langkah._ Bisa
diba-yangkan betapa dahsyat ilmu ini. Konon pada zaman dulu, yang terkenal
memiliki
ilmu ini adalah pahlawan Majapahit Kasan-Kusen dan Adipati Jipang Panolan Arya
Penangsang. Mereka diceritakan bisa menggugurkan gunung dengan sekali hantam
dari jarak jauh.
Itulah
sebabnya, begitu Titisari mengeluar-kan ilmu dahsyat simpanannya, lantas saja
ia bisa mengatasi kekalahannya. Untung, dia belum mahir. Bahkan belum menguasai
sepertujuh bagian. Karena itu hanya dapat membuat Sangaji repot karena
gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang aneh luar biasa. Enam kali ia berhasil
menghantam tubuh Sangaji. Kemudian meloncat ke luar gelanggang sambil tertawa.
"Titisari,
kamu hebat!" Sangaji kagum. Matanya berkilat-kilat karena girang.
Waktu
itu Gagak Seta mengerenyitkan dahi.
"Ayahmu
memiliki ilmu kepandaian yang jarang ada tandingnya di jagad ini. Mengapa kamu
menghendaki aku mengajar dua tiga jurus kepadamu? Apa kamu mau
mengolok-olokku?" katanya dengan suara dingin.
Titisari
terperanjat. Pikirnya, darimana dia mengenal ilmu ayahku? Bukankah Ilmu Gora
Mandala ciptaan ayah sendiri? Sehabis berpikir demikian, segera ia bertanya,
"Paman! Apakah Paman kenal ayahku?"
"Mengapa
tidak?" sahut Gagak Seta dengan suara agak keras. "Dia iblis! Siluman
dari Ka-rimun Jawa. Sedangkan aku dijuluki orang Gagak Seta. Meskipun namaku
sebenarnya, Saring. Kami pernah bertempur setiap setahun sekali untuk menguji
kepandaian."
Titisari
heran. Sebagai anak Adipati Surengpati tahulah dia, bahwa ayahnya sangat
ditakuti orang. Ilmunya tinggi dan belum pernah bertempur melawan seseorang
melebihi tiga jurus. Karena itu diam-diam ia berpikir, dia pernah bertempur
beberapa kali melawan Ayah. Dia masih tetap segar bugar. Kalau tak memiliki
ilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa bertanding melawan Ayah. Kemudian ia
mencoba.
"Paman!
Bagaimana Paman bisa mengenalku?"
"Kalau
aku belum mengenalmu sebelumnya, bagaimana aku berani menyebut dirimu sebagai
anak iblis. Coba, larilah kamu ke danau. Jengukkan mukamu ke permukaan air.
Pandang matamu, bentuk mukamu dan alismu, bukankah seperti wajah siluman dari
Karimun Jawa? Apa lagi setelah melihat cara berkelahimu. Hm, meskipun belum
pernah aku berjumpa denganmu, tetapi ilmu Gora Mandala itu takkan muncul di
depan mataku, apabila bukan keluarga siluman dari Karimun Jawa. Di seluruh
jagad ini, hanya ayahmu yang memperdalamnya."
Titisari
mendongkol, mendengar Gagak Seta selalu menyebut ayahnya sebagai siluman,
tetapi ia tahu kalau sebutan itu sebenarnya adalah tata-sikap menghargai
ayahnya. Maka ia bisa berlagak tak menghiraukan.
"Paman
selalu menyebut ayahku sebagai siluman. Maksud Paman hendak berkata bahwa
ayahku hebat bukan?"
"Memang
ayahmu hebat!" sahut Gagak Seta dingin. "Tetapi dia bukanlah nomor
wahid di kolong langit ini."
Titisari
melompat kecil karena girang dan bangga, katanya nyaring.
"Kalau
begitu, Pamanlah orang nomor wahid di kolong langit ini."
"Itu
pun bukan," bantah Gagak Seta. "Pastilah kamu pernah mendengar, bahwa
di kolong langit ini ada tujuh orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti.
Bih! Inilah gelar berlebih-lebihan. Kami, Kyai Kasan Kesambi, Mangkubumi 1,
Pangeran Samber Nyawa, Kebo Bangah, Kyai Haji Lukman Hakim, ayahmu dan aku
adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging. Kami hanya
memiliki suatu kepandaian sedikit dan pada suatu kali pernah mengadu
kepandaian. Ternyata yang kami akui nomor satu ialah Kyai Kasan Kesambi. Dan
kedua Pangeran Mangkubumi 1."
"Siapakah
Kyai Kasan Kesambi?" Titisari minta keterangan.
"Apakah
ayahmu tak pernah membicarakan dia?" Titisari menggelengkan kepala.
"Aku
tahu," tiba-tiba Sangaji menyela.
Titisari
dan Gagak Seta menoleh padanya. Mereka nampak heran.
"Darimana
kamu tahu!" Titisari bertanya.
"Guruku
bernama Wirapati. Menurut guru, Kyai Kasan Kesambi adalah gurunya. Jadi dia
adalah kakek-guruku."
"Hai!"
Gagak Seta terperanjat. "Jika demikian, kalian ini minum air dari suatu
sumber hebat! Mengapa kalian minta pengajaran dari-padaku?"
"Benar
ayahku seorang berilmu tinggi, tapi dia terlalu angkuh," kata Titisari.
"Aku bahkan diusirnya pergi."
"Hai!
Hai! Siluman itu bertambah hari bertambah sesat!" maki Gagak Seta.
Titisari
tak senang mendengar Gagak Seta memaki ayahnya.
"Dia
adalah ayahku. Tak senang aku mendengar Paman memaki Ayah sebagai siluman
sesat."
Gagak
Seta tercengang mendengar teguran Titisari. Kemudian tertawa berkakakan sambil berkata,
"Bagus! Bagus! Inilah namanya si anak berbakti kepada orangtua. Tetapi
orang-tua menyia-nyiakan si anak."
Sehabis
berkata demikian, ia menoleh kepada Sangaji. "Hai anak tolol! Kamu mengaku
cucu-murid Kyai Kasan Kesambi. Tapi kamu tak dapat berkelahi dengan baik. Entah
kakekmu itu hendak mendidikmu sebagai pendeta atau memang kamulah yang
goblok."
"Akulah
yang goblok," sahut Sangaji.
Gagak
Seta terhenyak heran. Sebentar ia mengamat-amati pemuda itu. Kemudian berkata
sambil memanggut-manggut kecil.
"Tahulah
aku kini. Anak murid Kyai Kasan Kesambi sudi mengambilmu sebagai murid, karena
kamu seorang berhati jujur. Tapi sayang... menjadi seorang pendekar tidak hanya
mengutamakan kejujuran belaka, la harus sanggup mengatasi segala hal. Tidak
hanya yang nampak terang, tetapi yang busuk pun harus bisa melihat dan
mengatasi dengan sekali pandang. Bakatmu sangat miskin. Karena itu aku heran,
mengapa puteri seorang Adipati Karimun Jawa sudi berkawan dengan-mu.
Sangaji
tak bersakit hati. Dia malah tertawa. Titisari pun tidak tersinggung pula.
Dengan merendahkan diri dia menyahut, "Paman! Justru dia tolol, aku senang
bila dia bisa berkawan dengan Paman. Ayahku belum pernah melihat dia. Kelak
apabila melihatnya, pastilah kawanku ini bisa membanggakan diri sebagai teman
Paman Gagak Seta. Aku tanggung, ayahku akan segan begitu mendengar kawanku
menyebut nama Paman Gagak Seta."
"Iblis
kecil!" maki Gagak Seta. "Kepandaian ayahmu belum kauwarisi
sepersepuluh bagian. Tetapi sifat iblisnya telah kauwarisi seluruhnya. Apakah
aku begitu tolol sampai kena kausan-jung puji? Kau berdua tak pantas menjadi
kawanku. Yang satu goblog dan yang lain anak iblis. Selamat malam."
Sehabis
berkata demikian, dengan suatu kesehatan luar biasa ia menyambar tempurungnya.
Dan
tahu-tahu tubuhnya telah melesat ke luar gua.
Sangaji
tercengang-cengang sampai mulutnya terlongoh. Dia berdiri tertegun mengawasi
melesatnya Gagak Seta.
"Titisari!"
katanya sejurus kemudian. "Benar-benar dia seorang yang luar biasa.
Tabiatnya pun luar biasa pula."
"Sebenarnya
dia seorang yang baik hati. Hatinya mulia pula," sahut Titisari sambil
duduk terhenyak seperti menghempaskan diri. Tetapi sesungguhnya dia seorang
gadis yang cerdik luar biasa. Dengan ketajaman matanya, ia melihat kuping
Willem dan kawannya tegak. Suatu tanda, bahwa binatang itu melihat sesuatu.
Telah
diketahui bahwa ketajaman indera binatang jauh lebih tajam daripada indera
manusia. Maka ia menduga, kalau Gagak Seta belum meninggalkan gua
sungguh-sungguh. Mempunyai dugaan demikian lantas saja dia berkata seperti
menyesali diri.
"Aji!
Dengan sebenarnya kukatakan kepadamu, ilmunya lebih tinggi daripada Ayah.
Sayang, dia terlalu cepat meninggalkan kita..."
Sangaji
heran.
"Kamu
belum pernah menyaksikan macam kepandaiannya. Mengapa kamu bisa berkata
demikian?"
"Ayahku
sering berkata kepadaku."
"Apa
katanya?"
"Ayahku
berkata, bahwa pada zaman ini orang yang bisa mengalahkan dia hanya Paman Gagak
Seta seorang. Kyai Kasan Kesambi pun tak mampu. Sebab orang tua itu sudah
menarik diri dan hidup sebagai pertapa belaka. Sayang! Sungguh sayang!
Sekiranya kita bisa memperoleh warisan kepandaiannya, ayahku yang mengusirku
akan terkejut bila melihat ke-pandaianku. Pasti dia tak berani sembrono lagi
mengusirku."
Dugaan
Titisari benar-benar tepat. Gagak Seta belum meninggalkan gua. Memang tadi, ia
hendak meninggalkan gua. Tetapi hujan belum lagi reda dan ia tahu, kalau
sekitar tempat itu tidak ada gua lagi. Maka dia memepet dinding mulut gua
sambil memasang telinga. Inginlah dia tahu, apa yang dibicarakan anak iblis
itu. la yakin, bahwa Titisari dan Sangaji takkan mengetahui dirinya. Tetapi
orang pandai pun kadang-kadang bisa salah duga. la tak memperhitungkan tentang
kedua kuda anak-anak muda itu yang mempunyai indera jauh lebih tajam daripada
kodrat manusia. Maka ia kena dipermainkan Titisari.
Pikir
orang tua itu, eh—nampaknya Adipati Surengpati tak pernah mengagumi diriku. Tak
tahunya, di dalam hatinya ia menghormati dan menghargai aku. Siapa menyangka
demikian? la menjadi berbesar hati, bangga dan puas. Hatinya berubah menjadi
senang. Sama sekali tak diduganya pula kalau Titisari sebenarnya lagi
mereka-reka cerita.
"Aji!"
kata Titisari. "Kukatakan kepadamu, bahwa ayahku memang seorang pendekar
tiada bandingnya. Kau pasti sudah pernah mendengar kemasyhuran namanya."
"Ya.
Pernah aku mendengar nama ayahmu disebut-sebut Ki Tunjungbiru," sahut anak
muda itu dengan sungguh-sungguh.
"Hanya
sayang, aku belum pernah berguru kepadanya. Ilmu yang kutuntut daripadanya,
hanya sekelumit. Inilah kesalahanku sendiri. Semenjak kanak-kanak, aku senang
diman-jakan. Kurang rajin dan senang bermain-main mencari ikan 'dengan para
nelayan. Coba, kalau aku tidak begitu, pasti aku sudah bisa menghajar
orang-orang macam Yuyu Rumpung dan begundal-begundal Pangeran Bumi Gede."
Sampai di sini Titisari nampak bermu-rung. Pandangnya diruntuhkan ke tanah dan
seolah-olah dia benar-benar sedang berduka. Tapi sebenarnya dia lagi bermain
sandiwara. Kemudian meneruskan, "Tadi sewaktu aku bertemu dengan Paman
Gagak Seta, hatiku yang penuh sesal sekaligus bisa tersapu bersih. Kenapa?
Sebab aku berpengharapan bisa berguru kepadanya. Ilmunya lebih tinggi daripada
Ayah. Jika aku pulang membekal tiga, empat ilmunya saja sudah berani berlagak
di depan Ayah. Sayang... sungguh sayang! Apakah kata-kataku menyinggung
perasaan hati Paman Gagak Seta?"
"Titisari!
Perasaanku tak sehalus kamu. Sama sekali tak dapat menjelaskan, apakah kamu
tadi menyinggung perasaan Paman Gagak Seta," sahut Sangaji gugup sebab
anak muda itu melihat kedua mata Titisari nyaris menitikkan air mata.
"Ah!
Pasti aku telah menyinggung perasaannya. Baik kusadari maupun tidak. Sebab dia
adalah seorang pendekar yang berhati mulia. Jika tidak tersinggung perasaannya,
mengapa sampai meninggalkan kita?"
Titisari
nampak berduka benar. Mendadak saja dia menangis. Hebat permainan sandiwaranya.
Sebaliknya Sangaji jadi gugup benar. Dengan sekuasa-kuasanya, ia mencoba
menghiburnya dengan memeluk lehernya. Karena hiburan dan pelukan Sangaji itu,
tiba-tiba Titisari menjadi bersedih hati benar-benar. Tangisnya kian naik. Kali
ini benar-benar menangis terharu, karena merasa diri anak yatim-piatu. Ibunya
telah tiada dan ia berada jauh di rantau orang.
Gagak
Seta yang berdiri memepet dinding gua, menjadi tertarik hatinya. Orang tua itu
mengira, bahwa gadis itu lagi menangisi dirinya.
"Aji!"
kata Titisari tersekat-sekat. "Ayah pernah berkata kepadaku, bahwa Paman
Gagak Seta mempunyai suatu ilmu sakti tiada bandingnya di kolong langit ini.
Menurut ayah, ilmunya itu sangat disegani rekan-rekannya. Sampai Kyai Kasan
Kesambi dan Pangeran Mangkubumi segan pula kepadanya. Kabarnya Raden Mas Said
gelar Pangeran Samber Nyawa itu pun, takut kepadanya. Tapi ilmu apakah itu...
ah aku lupa. Hm... kalau kita berdua bisa mewarisi ilmu itu... o, betapa
goncang dunia ini. Ah... hm... ilmu apakah itu? Mengapa aku kini jadi
pelupa?"
Titisari
berlagak seperti menyesali kebebalan ingatannya. Sebaliknya Gagak Seta masih
belum juga sadar, bahwa dirinya lagi dipermainkan orang. Karena Titisari
terlalu memuja ilmunya dan memuji dirinya begitu berkali-kali dan nampak
bersungguh-sungguh, ia jadi tak kuat menahan hati. Lantas saja ia melesat
memasuki gua, sambil berkata menerangkan.
"Ilmu
itu bernama Kumayan Jati."
Titisari
terkejut bukan kepalang. Tetapi ia girang luar biasa. Segera menyahut, "Ya
benar! Benar!"
Sehabis
berkata demikian, ia berdiri dan melompat-lompat setengah menandak sambil
merangkul leher Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu jadi kelabakan. Ia
sudah terperanjat oleh kedatangan Gagak Seta kembali, kini ditambah dengan
tingkah-laku Titisari yang bisa berubah mendadak dari menangis jadi girang luar
biasa. Dia yang berhati polos dan jujur, bagaimana bisa mengerti permainan
sandiwara itu.
"Eh—ayahmu
bisa juga berkata terus-te-rang," kata Gagak Seta bersyukur dalam hati.
"Tadinya
kusangka, ia akan mengangkat diri menjadi seorang sakti nomor satu di kolong
langit ini, setelah Kyai Kasan Kesambi menarik diri dan Pangeran Mangkubumi I
wafat. Tak tahunya... eh kamu berdua... lekaslah memasak kopi lagi. Aku mau
tidur di sini."
Dan
belum lagi mendapat jawaban, orang tua itu lantas saja merebahkan diri,
sebentar kemudian angan-angannya telah amblas entah ke mana. Dengkurnya keras
luar biasa seakan-akan tidak memedulikan gunung gugur.
Titisari
segera mengambil bubuk kopi. Dengan kerlingan mata ia minta pertolongan Sangaji
agar membantunya menyalakan perdiangan. Ia sangat gembira, sampai pandang
matanya berkilat-kilat.
"Aji!
Bersyukurlah pada Dewa atau Tuhan atau siapa saja yang kausujudi,"
bisiknya. "Esok hari, kita akan menjadi orang lain... "
Waktu
itu telah jauh malam hujan agak reda. Kini angin meniup dengan kerasnya. Rasa
dingin menyelinap ke seluruh tubuh. Untung mereka dekat dengan perdiangan api
sehingga dingin angin itu membuat rasa menjadi aman.
Mereka
tiada berkata-kata lagi. Rasa kantuk mulai menggerumuti tubuh. Apabila Titisari
telah menyediakan kopi Gagak Seta, mereka berdua kemudian duduk saling
berdekatan. Dan tanpa dikehendaki sendiri, kedua-duanya telah tertidur lelap.
Keesokan
harinya, mereka terbangun hampir berbareng. Yang pertama dilihatnya adalah
tubuh Gagak Seta yang meringkas seperti landak. Dengkurnya masih saja kuat luar
biasa. Hanya saja anehnya, kopi yang disediakan semalam telah ludas. Pastilah
orang tua itu diam-diam telah bangun dan menikmati kopi hangat seorang diri.
Melihat mereka tidur, tak sampai hati dia mengganggu. Kemudian balik kembali
keperaduannya dan meneruskan impiannya di jagad lain.
Sangaji
segera melepaskan kedua kudanya, sedang Titisari terus saja menyelam ke dalam
sungai berburu ikan. la anak seorang adipati yang bermukim di tengah lautan.
Karena itu, sudah biasa bergaul dengan air.
Tatkala
Sangaji sedang asyik mengamat-amati kedua kudanya merenggut rerumputan,
sekonyong-konyong pundaknya terasa kena raba. Ia kaget luar biasa. Karena
sebagai anak murid Wirapati dan Jaga Saradenta, ia sudah diajar dan diasuh
meng-gunakan ketajaman pendengaran. Tapi si pendatang kali ini tidak dapat
tertangkap oleh pendengarannya. Suatu bukti bahwa ilmunya sudah mencapai taraf
kesempurnaan yang susah untuk dinilai. Waktu ia menoleh, dilihatnya Gagak Seta
berdiri merenungi dirinya.
"Eh,
bocah! Dalam hal kecerdikan dan bakat, kamu kalah jauh daripada kawanmu. Tapi
dalam hal kejujuran barangkali aku memilihmu, kawanmu itu mempunyai sifat-sifat
berbahaya. Tak bisa aku lekas-lekas percaya kepadanya. Karena itu, kemarilah!
Aku akan mewariskan suatu ilmu khusus bagimu," katanya.
Dengan
gembira Sangaji menghadap padanya. Kemudian Gagak Seta berkata melanjutkan,
"Sekarang cepatlah kamu bersumpah kepadaku, bahwa tanpa seijinku kamu
kularang mewariskan ilmu ini kepada siapa saja. Juga terhadap bakal isterimu
yang licin sebagai belut itu. Nah, bersumpahlah!"
Sangaji
yang sudah jadi bergembira, sekonyong-konyong nampak pudar. Pandang mukanya
jadi resah.
"Paman!
Aku tak dapat bersumpah demikian terhadapmu. Sebab kalau Titisari meminta agar
aku mengajarkan ilmu Paman, tak dapat aku menolak."
Tapi
ilmuku ini bukan ilmu murahan. Bakal berimu itu cerdik luar biasa dan mempunyai
s -at-sifat liar. Kalau kamu tak pandai menjaga diri, di kemudian hari kamu
bakal bisa ditak-lukkan dan disusahkan."
Sangaji
diam menimbang-nimbang. Sejurus kemudian menjawab, "Jika demikian, biarlah
Paman tak usah mengajariku. Tak ingin aku belajar sesuatu ilmu yang kelak akan
merisaukan hati. Biarlah Titisari jauh lebih gagah daripadaku."
"Hai!
Mengapa?"
"Sebab
kalau dia minta kuajari, tak dapat aku menolaknya. Inilah sulit. Aku akan
mengkhianati Paman. Sebaliknya kalau kutolak, rasanya kurang menyenangkan. Tak
sampai hatiku, melihat dia akan bermurung sedih karena aku."
Mendengar
keterangannya, Gagak Seta tertawa lebar. Gerutunya, "Anak goblok! Biar
otakmu bebal, hatimu mulia dan matamu tajam. Kau jujur sekali. Rasanya tak
gampang-gampang pula, bertemu dengan seorang pemuda seperti kamu. Baiklah!
Biarlah aku menyulapmu menjadi tandingan anak Adipati Surengpati Karimun
Jawa." la berhenti mengesankan diri. Meneruskan, "Kamu tahu, ayah
calon isterimu itu angkuh luar biasa. Ganas, kejam dan gagah perkasa.
Kegagahannya sebanding dengan Arya Penangsang pada zaman Kerajaan Bintara. Dia
merasa diri menjadi orang sakti nomor satu di jagad ini. Aha ... nah, biarlah
dia menyenakan mata. Kamu akan kuwarisi ilmuku Kumayan Jati. Tapi entah
kaumampu atau tidak. Sebab untuk bisa memiliki ilmu itu, kamu harus berani
bertapa paling tidak tujuh bulan..."
Sehabis
berkata demikian, dia lantas berputar sambil menekuk lutut. Kemudian tangannya
menyodok. Dan tiba-tiba sebatang pohon yang berdiri tegak dua puluh langkah di
depannya, patah berantakan. Dan dengan suara gemeretak, pohon itu tumbang
sekaligus.
Sangaji
kagum luar biasa. Hatinya bergetar. Dahinya pucat, karena terperanjat dan
tercekam suatu perbawa yang luar biasa kuat. Sama sekali tak disangkanya, kalau
dengan suatu sodokan yang nampaknya begitu sederhana bisa menumbangkan sebatang
pohon sebesar tubuhnya. Kalau saja itu seorang manusia, bisa dibayangkan
bagaimana akan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja insyaflah dia, apa arti
julukan dan gelar orang sakti itu. Benar-benar bukan suatu gelar kosong
melompong.
"Pohon
itu adalah suatu benda tak bergerak," Gagak Seta menjelaskan dengan
sederhana. "Jika dia manusia tidaklah semudah itu kena bidik. Sebab dia
bisa maju mundur, mengelak, meloncat tinggi atau mengendapkan diri. Karena itu,
tata-berkelahi Ilmu Kumayan Jati adalah lain daripada yang lain. Kamu harus
bisa mendesak musuh demikian rupa, sehingga dia tak dapat bergerak lagi
seolah-olah terdorong ke pojok. Kemudian kauhantam dengan pukulan itu. Kalau
dia bergerak hendak menangkis, nah itulah maksud pukulan Kumayan Jati
sesungguhnya. Sebab begitu dia menangkis, dia akan runtuh seperti tumbangnya
pohon tadi."
Sekali
lagi. Gagak Seta melontarkan pukulan Ilmu Kumayan Jati ke arah suatu pohon yang
lebih besar. Pohon itu pun lantas saja gemeretak patah berantakan dan tumbang
ke tanah.
"Tapi
Ilmu Kumayan Jati itu tidaklah hanya berupa suatu pukulan tunggal belaka.
Sekiranya hanya satu macam pukulan belaka, akan cepat diketahui lawan. Lalu
lawan akan berusaha menciptakan suatu daya pertahanan sehingga Ilmu Kumayan
Jati tidak berguna lagi. Sekarang lihat!"
Gagak
Seta memutar tubuh untuk yang ketiga kalinya. Tiba-tiba tangannya bergerak
seperti mengusap, ke arah sebatang pohon. Sehabis bergerak demikian, ia berdiri
tegak sambil tersenyum puas.
Sangaji
heran mengapa orang tua itu tersenyum puas. Dilihatnya pohon yang menjadi
sasaran bidiknya masih saja segar-bugar. Tidak nampak suatu perubahan. Ingin ia
minta penjelasan, tiba-tiba Gagak Seta berkata memerintah.
"Mengapa
berdiri tegak seperti batu? Dekatilah dan lihat!"
Dengan
kepala kosong, Sangaji menghampiri pohon itu. Sesampainya di depan pohon itu,
tak tahulah dia apa yang harus dilakukan.
"Dorong!"
Perintah Gagak Seta dari kejauhan.
Sangaji
mendorong pohon itu dengan telapak tangannya. Mendadak saja, pohon itu roboh
hancur berkeping seperti rapuh.
"Hai!
Mengapa begini rapuh?" serunya heran.
Gagak
Seta tertawa berkakakan.
"Kamu
masih belum percaya? Nah, cobalah pilih sebatang pohon yang terkuat!"
Di
seberang-menyebrang jalan, banyak terdiri batang-batang pohon liar. Maka dengan
mudah Sangaji bisa memilih pohon kuat sentosa. Ia mencoba memeriksa dengan
suatu dorongan dan depakan. Yakin, bahwa pohon itu tangguh sentosa, maka segera
ia berkata nyaring.
"Inilah
pilihanku."
"Bagus!
Sekarang minggirlah cepat dan sedikit menjauh!" perintah Gagak Seta.
Dengan
cepat Sangaji melompat ke samping. Ia berdiri tegak mengawaskan gerak-gerik
Gagak Seta yang sedang berputar mengayunkan tangan kemudian seperti tadi, ia
mengusapkan tangannya. Setelah itu berdiri tegak sambil tersenyum. Perintahnya,
"Periksalah!"
Dengan
kepala menebak-nebak dan jantung berdegupan, Sangaji menghampiri pohon itu.
Ternyata pohon itu sekaligus roboh berantakan begitu kena raba. Orat-uratnya
hancur seperti terhangus. Kulitnya remuk berkeping seperti abu. Sudah barang
tentu, anak muda itu heran terlongoh-longoh seperti kanak-kanak menonton
permainan sulap.
"Nah,
ke marilah!" perintah Gagak Seta. "Dengarkan kuberi kamu suatu
penjelasan."
Dengan
rasa takjub, kagum, hormat dan takluk, Sangaji datang menghampirinya. Orang tua
itu lantas saja memberi penjelasan.
"Itupun
adalah satu macam pukulan Ilmu Kumayan Jati. Pokoknya terbagi menjadi dua.
Pukulan
Keras dan pukulan Lemas. Kedua-duanya adalah pukulan mematikan. Setiap sasaran
yang kena bidik kedua macam ilmu itu, bisa kamu bayangkan bagaimana akibatnya.
Soalnya sekarang ialah, bagaimana cara memperoleh bidikan itu sampai dia tak
dapat bergerak. Caranya ialah, kita harus berusaha mem-pengaruhi, menjebak,
mengurung, mencekam, menangkap, menjaring, melibat dengan tata-berkelahi
bermacam ragam. Dan tata-berkelahi ini tidak boleh terlalu berbelit. Sederhana
saja tapi harus mengandung suatu siku-siku mata angin yang bisa merupakan
pedang penggiring atau cemeti pelipat. Dengan demikian, musuh bisa kita
kelabui. Ia mengira ilmu tata-berkelahi Kumayan Jati begitu sederhana. Tak
tahunya jika sekali kena libat, takkan gampang-gampang dia bisa membebaskan
diri. Nah, anakku! Masing-masing ragam tata-berkelahi kedua macam pukulan Ilmu
Kumayan Jati itu berjumlah sembilan. Jadi jumlah semuanya delapan belas jurus.
Ayunan lontaran enam jadi seluruhnya berjumlah dua puluh empat. Sanggupkah kamu
mentelaah Ilmu Kumayan Jati ini adalah semata-mata tergantung pada nasibmu
belaka. Sebab, orang takkan bisa mempelajari ilmu ini hanya mengandalkan
kecerdasan otak. Dan hanya dapat memperoleh kulitnya saja. Karena itu, orang
harus berani bertapa agar mendapat kekuatan alam yang mumi. Paling tidak tujuh
bulan. Kausanggup?"
Selama
hidupnya, Sangaji belum pernah berpuasa. Tentang istilah bertapa itu baru
didengarnya untuk yang pertama kali dari Panembahan Tirtomoyo. Maka begitu ia
mendengar tuntutan Gagak Seta, mulutnya bungkam seribu bahasa.
Gagak
Seta tidak mendesaknya lagi. Dengan sikap acuh tak acuh ia berkata, "Hai!
Mengapa kamu tergugu seperti katak? Biar kamu berdiam diri seribu hari, tahulah
aku kalau kamu takkan mampu menerima warisan ilmu ini. Hal itu bukan
kesalahanku. Aku sudah membuka tangan dan sekarang tergantung pada bakatmu
belaka. Bukankah aku berkata, bahwa bakatmu sangat miskin dan kalah jauh dari
anak iblis itu?"
Sehabis
berkata demikian, ia kemudian mengajari Sangaji cara mengatur dan menguasai
napas.
"Napas
itu adalah tali hidup. Meskipun napas itu bukan menentukan hidup dan matinya orang,
tetapi termasuk alat yang penting dan kuat."
"Apakah
Paman ingin berkata, orang bisa hidup tanpa napas?" Sangaji heran.
"Benar."
"Masa
orang bisa hidup tanpa napas?"
"Ah,
kau bocah tolol! Sewaktu kamu dulu di kandung ibumu dalam perut, apakah kamu sudah
bisa bernapas? Apakah kamu sudah mempunyai hidung dan jantung? Itulah suatu
bukti, kalau dalam diri manusia ini bersemayam suatu tenaga rahasia yang
menghidupi napas itu sendiri. Jika kamu bisa menemukan tenaga itu, kamu akan
bisa menguasai seluruh alam ini. Sekarang carilah tenaga itu, lewat
pernapasanmu. Jika kautekun, mudah-mudahan kamu berhasil."
Dua
jam kemudian, Sangaji bisa mengatur dan menguasai napas. Maklumlah, dia pernah
mendapat ajaran Ki Tunjungbiru. Tapi sewaktu menginjak ke tataran selanjutnya,
dia heran dan kaget. Ajaran tarikan napas Gagak Seta itu jauh berlainan dengan
ajaran tarikan napas Ki Tunjungbiru. Lagi pula mempunyai daya guna yang aneh.
Tiba-tiba saja, ia merasa dalam dirinya ada suatu tenaga yang bergolak. Itulah
tenaga getah pohon Dewadaru yang kena tersedot ke luar. Tenaga getah itu lantas
saja bergolak dan berputar bergulungan ke seluruh tubuh. Baik Sangaji dan Gagak
Seta sendiri tak pernah mengira, kalau daya guna ilmu napasnya bisa
membangunkan tenaga uapan getah sakti. Pemuda itu jadi kaget luar biasa.
Mukanya
lantas menjadi merah membara dan matanya jadi berkunang-kunang.
"Hai,
kamu kenapa?" Gagak Seta terkejut. "Kosongkan angan! Tebarkan
semangat! Jangan kaupusatkan seperti orang bersemedi."
Sangaji
ingin mengiyakan tetapi mulutnya seperti terkunci. Maka ia hanya mengangguk. Mukanya kian nampak makin membara.
Gagak
Seta menghampiri sambil memijit uratnya, la menggoncang-goncangkan tubuhnya.
Terasa keras bukan kepalang seperti sebongkah batu. Pikirnya, semua berjalan
lancar menurut bunyi ajaran. Tapi kenapa bocah ini? Bagaimana bisa sesat?"
Sebagai
seorang pendekar yang sudah mendapat gelar sakti, ia merasa terpukul melihat
kenyataan itu. Ingin ia mendapat jawabannya dan menyelidiki secermat-cermatnya.
"Sekarang
lepaskan semuanya! Tengadahkan mukamu ke angkasa. Buka mulutmu! Cepat!"
Suara
Gagak Seta agak menggeletar. Karena melihat anak muda itu biru pengap.
Perlahan-lahan Sangaji dapat menguasai diri. Dengan cermat ia mengikuti
petunjuk Gagak Seta. Tak lama kemudian, rongga dadanya menjadi lega. Ia bisa
bernapas seperti sediakala. Hanya terengah-engah seperti seseorang yang tengah
lepas dari cengkraman binatang galak.
Dalam
pada itu Gagak Seta mondar-mandir mencari kunci jawabannya.
"Apakah
kamu telah melepaskan semua anganmu?" tanyanya penuh selidik.
Sangaji
mengangguk.
"Telah
kautebarkan semangatmu?"
"Ya."
"Kau
kosongkan dirimu?" "Ya."
"Kausalurkan
semua deburan darahmu ke seluruh urat nadi?" Sangaji mengangguk.
"Aneh!"
ia bergumam. Ia yakin, kalau Sangaji menjawab dengan sebenarnya. Karena tadi,
ia telah memeriksanya. Pikirnya, ya, semua telah berjalan seperti semestinya.
Apakah yang mengganggu? Memang pada zaman dahulu orang hampir menyamakan Ilmu
Kumayan Jati dengan Ilmu Bayu Sejati. Meskipun bersumber sama, tetapi lakunya
jauh berlainan. Ilmu Bayu Sejati mengutamakan kekuatan urat nadi,
tulang-belulang yang bersandar pada napas. Tetapi Ilmu Kumayan Jati biarpun
mengutamakan tenaga napas, tetapi hanya bersifat sebagal penyalur. Napas itu
hanya dipergunakan sebagai pengungkap daya kekuatan yang terpendam." la
terus merenung. Tiba-tiba suatu pikiran berkelebat dalam benaknya.
"Eh
bocah tolol! Apakah kamu pernah mendapat pelajaran ilmu bernapas?"
Sangaji
mengiakan. Melihat pemuda itu mengangguk, seleret cahaya tersembul pada raut
muka Gagak Seta. Ia mau menduga, bahwa Sangaji pernah tersesat dalam pelajaran.
Maka ia menguji penuh selidik.
"Coba
bagaimana kamu melakukan ilmu bernapas itu!"
Sangaji
kemudian menghapal dua belas kata petunjuk bersemedi ajaran Ki Tunjungbiru.
Mendengar bunyi hapalannya, Gagak Seta yang sudah mempunyai dugaan yang
bukan-bukan jadi merenung-renung lagi.
"Siapa
yang mengajarimu bersemedi?" ia masih mencoba.
"Ki
Tunjungbiru."
"Siapa
dia?"
"Menurut
kabar, dulu dia bernama Otong Darmawijaya."
"Eh,
kau bilang apa?" Gagak Seta terkejut. Dahinya berkerenyit. "Apakah
dia belum mati? Ih! Benar orang itu belum tinggi ilmu bergumulnya, tetapi dia
memiliki tenaga ajaib.
Apakah...
apakah... kamu... hai, kenapa kamu mendapat ajaran daripadanya? Orang itu tak
gampang-gampang menerima murid."
"Dia
bukan guruku. Dan aku tak pernah pula berguru kepadanya." Sangaji
menerangkan. "Aku menerima petunjuknya berkat jasaku menyedot getah pohon
Dewadaru sebagai pembalas dendamnya."
"Getah
pohon Dewadaru? Apa itu?" Gagak Seta heran.
Sangaji
kemudian menerangkan dengan singkat tentang sifat pohon sakti itu menurut
pendengarannya saja tatkala Ki Tunjungbiru berbicara di dalam perahu dahulu.
Gagak Seta mendengarkan dengan penuh perhatian. Lantas berkata, "Eh!
Apakah di dunia ini ada suatu macam pohon ajaib-ajaib demikian rupa? Inilah
aneh!" ia berhenti menimbang-nimbang. Berkata lagi memutuskan,
"Baiklah! Coba ulangi lagi menarik napas menurut ajaranku. Kemudian
tirukan semua gerakanku."
Sangaji
segera melakukan ilmu menarik napas ajaran Gagak Seta, kemudian menirukan
gerakan selanjutnya. Waktu itu Gagak Seta menekuk lutut sambil meliukkan tubuh.
Tiba-tiba menyodok ke arah suatu pohon.
"Bidik!"
perintahnya.
Sangaji
cepat-cepat menyodok. Ternyata batang pohon yang berdiri di depannya bergoyang.
Mahkota
daunnya runtuh berhamburan.
"Bagus!
Bagus!" seru Gagak Seta kagum. "Inilah hebat! Tanpa bertapa kamu
sudah bisa menguasai setengah jurus Ilmu Kumayan Jati, meskipun lagi
menggoyang-goyang tupai!"
la
berjalan mondar-mandir kembali seperti sedang menghadapi satu soal yang belum
mendapatkan kunci jawabannya. Sekonyong-konyong kepalanya mendongak dan
berputar menghadap Sangaji.
"Aji!
Coba gempurlah aku!"
Sangaji
tadi heran menyaksikan pukulannya sendiri yang sudah mempunyai prabawa, sampai
hatinya tak mau percaya. Ia belum mendapat pegangan darimanakah asal tenaga
dorong sekuat itu. Tetapi diam-diam hatinya bangga dan bersyukur. Mendadak
Gagak Seta memerintahkan agar menggempur padanya.. Keruan saja, ia jadi bingung
berbimbang-bimbang. Pikirnya, mahkota dedaunan bisa kuron-tokkan. Apakah dia
yang terdiri dari darah dan daging bisa bertahan? Gagak Seta rupanya bisa
menebak kata hatinya. Maka orang tua itu berseru nyaring, "Pukulanmu lagi
bisa menggoyangkan pohon. Takkan mampu menewaskan aku."
Mendapat
penjelasan itu, anak muda itu jadi berlega hati. Segera ia menarik napas
menurut ilmu ajaran Gagak Seta. Tubuhnya meliuk, lutut ditekuk dan sambil
berputar ia menjodok. "Dak"
Gagak
Seta tergetar sedikit. Matanya menutup rapat.
Mulutnya
kemudian mengulum senyum. Katanya, "Eh—lumayan juga. Sekarang gunakanlah
ilmu tarikan napas yang pernah kautekuni. Dan gempurlah aku!"
Heran
Sangaji mengawasi orang tua itu. Hatinya beragu lagi. Apakah pukulanku tadi
salah, sehingga tidak ada pengaruhnya?— pikirnya sibuk. Ia tak tahu, kalau
pukulannya tadi seujung rambut pun tak berbeda dengan pukulannya yang pertama
sewaktu memukul pohon. Hanya saja, keputusan Gagak Seta mengumpankan diri
sendiri untuk memperoleh jawaban, adalah luar biasa. Jika tidak mempunyai pegangan
kuat, bagaimanapun juga takkan berani menerima pukulan Sangaji.
"Hai
tolol!" bentak Gagak seta. "Pukulanmu hebat! Tak beda dengan tadi.
Hanya saja belum bisa menewaskan aku! Kaudengar? Nah—jangan tergugu seperti
orang linglung!
Sekarang
kerjakan apa yang kuperintahkan tadi. Aku ingin mengetahui titik
perbedaannya." Puaslah hati Sangaji mendapat penjelasan ini. Diam-diam
hatinya kagum kepada orang-tua itu.
Benar-benar
hatinya merasa takluk. Apakah tubuhnya lebih kukuh daripada sebatang pohon? pikirnya
lagi. Tak sempat lagi ia menunggu jawabannya. Dalam dirinya terasa ada semacam
hawa hangat yang merayap memenuhi tubuhnya. Kemudian ia maju menggempur Gagak
Seta.
Hebat
suara itu. Tetapi Gagak Seta seperti tak merasakan sesuatu. Matanya merem-me-lek
seperti seseorang yang lagi menikmati makanan lezat.
"Telah
kuduga! Telah kuduga!" serunya girang. Kemudian ia tertawa berkakakan
sambil mendongakkan kepala.
"Bocah
tolol! Dengarkan penjelasanku! Apa yang pernah kaupelajari itu adalah bait-bait
Ilmu Bayu Sejati. Itulah suatu ilmu yang mengutamakan tenaga semata untuk daya
pertahanan. Apakah orang yang mengajarimu, pernah menerangkan nama ilmu
itu?"
Sangaji
bergeleng kepala.
"Ah!
Sekarang tahulah aku, mengapa kau begitu ulet, tabah dan makin lama makin gagah
tatkala kau tadi bertempur melawan calon isterimu. Itulah berkat ajaran ilmu
tarikan napas Bayu Sejati. Dasarnya adalah sama. Yakni bersandar pada tenaga
sakti kodrat manusia. Eh—eh ... bocah tolol! Siapa mengira, kamu mempunyai
tenaga sakti getah pohon Dewadaru. Itulah karunia alam yang hebat bukan
kepalang," kata Gagak Seta girang. Kemudian ia merebahkan diri ke tanah
dan berbaring merenungi angkasa.
"Sekiranya
di kemudian hari kau berhasil menjalin dua ilmu ini sebagai satu pengucapan,
alangkah kamu akan jadi gagah perkasa. Tapi sekarang—di bawah asuhanku— kamu
kularang mengingat-ingat ilmu ajaran yang lalu. Sebab lakunya jauh berlainan.
Ilmu ajaranmu dahulu, adalah ilmu buat perempuan, bukan buat laki-laki. kalau
kamu diserang, kamu hanya mampu bertahan. Sekiranya lawanmu menggenggam senjata
tajam, apakah kamu hanya menerima hajarannya belaka tanpa bisa membalas?
Eh—bocah tolol! Akhirnya kamu hanya jadi bakaran sate kambing!" ia
berhenti mengesankan. "Karena itu, meskipun kelak kamu mahir dengan ilmu
ajaran dahulu, paling-paling kamu hanya bisa menjadi seorang ahli olahraga
belaka. Paling-paling kamu hanya pandai meloncati jurang, memanjat pohon
seperti kera dan tahan berenang di lautan seperti ikan."
Gagak
Seta tertawa berkakakan. Sangaji jadi heran terkejut. Mula-mula ia memang agak
tersinggung mendengarkan ulasan orang tua itu yang begitu menusuk. Tetapi apa
yang dikatakan adalah benar. Teringatlah dia, bagaimana Ki Tunjungbiru pernah
mem-pamerkan kepandaiannya menangkap dua ekor kera, meloncat jurang dan
bersampan di atas lautan menembus derum angin dan gelombang. Dia pun hanya
mengesankan, bahwa ilmu ajarannya hanya berguna untuk membantu menelan ajaran
ilmu kedua gurunya.
"Memang
Ki Tunjungbiru hanya berkata, kalau ilmu itu adalah ilmu untuk bersemedi. Bukan
untuk berkelahi." Sangaji mencoba untuk mempertahankan.
"Bagus!"
Sahut Gagak Seta cepat. "Aku pun tak mencela ilmu itu. Tapi kau tahu apa
arti bersemedi itu? Semedi itu adalah perempuan waktu hamil. Dia tak bisa
bergerak cepat. Tak bisa makan terlalu kenyang. Tak bisa minum sebanyak
sediakala. Tak bisa tidur tengkurap atau miring terlalu lama. Pokoknya serba
kurang dan tanggung. Laripun dia tak mampu.
Apa
lagi berkelahi. Karena itu aku berkata, ilmu semedi itu adalah ilmu perempuan!
Kamu sakit hati?"
Sebenarnya
Sangaji mendongkol mendengar semua kata-kata Gagak Seta. Tapi karena kesannya
lucu, diam-diam ia tersenyum geli.
"Lantas?
Apakah yang harus kulakukan?" Ia mengalihkan pembicaraan.
"Berlatih
dan berlatih, tolol!" damprat Gagak Seta. "Rejekimu sudah terlalu
besar. Bahwasanya tanpa bertapa, kamu sudah memiliki tenaga sakti yang ajaib.
Dulu aku pun tak bisa memiliki suatu bekal seperti kamu. Aku cuma bisa
menghapal jurus-jurusnya belaka. Tenaga saktinya, harus kutempuh dengan bertapa
selama tiga tahun terus menerus."
Sangaji
tak berkata lagi. Ia memilih sebatang pohon yang berdiri tak jauh daripadanya.
Kemudian ia berlatih. Mula-mula ia mengatur napas dan memusatkan ke urat nadi
menurut ajaran Gagak Seta. Setelah itu menekuk lutut, berputar dan meliuk
tubuhnya. Lantas menyodok dengan menumpahkan seluruh tenaga napasnya yang
tersekam. Dan batang pohon di depannya lantas saja bergoyang-goyang.
"Hai!
Bocah tolol!" damprat Gagak Seta. "Mengapa mengoyang-goyangkan pohon?
Apa
kamu mau menangkap tikus? Kamu harus bisa menggempur musuh dengan sekali
pukulan. Bukan untuk mengitik-ngitik biar kegelian."
Sangaji
tertawa menyeringai. Mukanya merah kebiru-biruan karena tercekat hatinya.
Segera ia minta petunjuk-petunjuk.
"Dengar!"
kata Gagak Seta. "Sudah kukatakan tadi, kalau aku akan menyulapmu menjadi
tandingan anak siluman Karimun Jawa. Kamu harus sadar, bahwa bakal isteri-mu
itu cerdas otaknya. Bakatnya pun lebih besar daripadamu. Ia mengenal
bermacam-macam ilmu. Gerak-geriknya cekatan. Tapi hanya penuh gertakan-gertakan
belaka. Janganlah kamu sampai kena dipengaruhi. Tunggu saja, sampai dia memukul
benar-benar! Jika pukulannya tiba, nah— papakilah dengan pukulanmu. Dia pasti
kalah."
"Apa
hanya itu saja?"
"Apa
kau bilang?" bentak orang tua itu. "Sudah kukatakan ia memiliki ilmu
bermacam ragam. Gerak-geriknya, pasti sukar kauduga. Sekali kena pukul, dia
akan bisa membalas dengan ilmu tangkisan yang lain lagi. Sebab yang baru
kaupelajari ini, hanya satu macam ilmu saja. Di kolong langit ini, kamu akan
me-nemukan ratusan macam ilmu sakti."
Sangaji
diam merenung-renung. Sekarang ia merasa dirinya kecil. Tadinya ia mengira,
sesudah mendapat ilmu ajaran gurunya rasanya cukup buat bekal merajai orang.
Tak tahunya, ilmu sakti di dunia ini banyak ragamnya. Pantas, kedua gurunya tak
mampu mengalahkan Pringgasakti meskipun dikerubut empat orang.
"Sekarang
yang penghabisan," kata Gagak Seta.
"Sesudah
ini, tak mau lagi aku berbicara. Tadi kujelaskan, kalau kamu harus berusaha
menggiring lawan ke suatu pojok tertentu. Jepitlah dia dengan gerakan-gerakan
begitu rupa sampai dia tak mampu bergerak. Kemudian hantamlah dengan Ilmu
Kumayan Jati. Atau tunggu saja lawanmu sampai memukulmu. Begitu ia memukul,
sambutlah ia dengan suatu pukulan pula."
"Jika
demikian aku harus bisa bergerak cepat dan sebat," potong Sangaji.
"Tentu
saja, tolol!"
Sangaji
tertawa geli. Istilah tolol yang diucapkan orang tua itu terlalu sering,
lambat-laun terdengar sedap juga. Bagaikan seorang minta sambal dalam suatu
perjamuan makan.
"Telah
kukatakan kepadamu, kalau semua jurus ajaranku berjumlah delapan belas dan enam
ayunan. Pukulan keras ini terbagi menjadi sembilan. Tentu saja ada perubahan-perubahannya.
Setiap jurus aku beri nama, agar memudahkan ingatanmu yang tolol.
Kautahu?"
Sangaji
mengangguk.
"Bagus!
Seperti seorang belajar menari atau menabuh gender. Tiap-tiap bagian ada
namanya. Umpamanya dalam ilmu menabuh gender atau clempung terdapat
istilah-istilah, Jarik-Kawung, Kutut Belut, Gantungan, Petih, Ayu Kuning dan
sebagainya. Nama-nama itu boleh diciptakan sesuka hati oleh yang mengajar.
Pokoknya memudahkan untuk penelitian dan ingatan. Juga pukulan kuberi nama.
Yang kautekuni tadi kuberi nama, Cacing Gering. Kemudian perubahannya kuberi
nama, Congor Babi, Anjing Buduk, Sate Gangsir, Terpedo Kambing, Telur Kerbau,
Sambel Goreng... hai! hai! Mana isterimu? Aduh, aduh perutku! Perutku!"
Sehabis
berkata begitu, ia menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba jadi keruyukan. Lantas
lari berserabutan memasuki gua. Rupanya begitu menyebut jenis masakan, teringatlah
dia kepada masakan itu sendiri. Kebetulan sekali, semenjak tadi pagi perutnya
belum terisi sebutir nasi pun. Karuan saja, ia jadi blingsatan.
Mau
tak mau Sangaji tersenyum geli. Siapa mengira, orang sesakti dia, mempunyai
tabiat doyan makan dan menggelikan. Sebentar ia mengawasi larinya Gagak Seta
yang pontang-panting memasuki gua, kemudian segera dia berlatih.
Waktu
itu, Titisari telah mulai memasak di dalam gua. Ia tahu Gagak Seta sedang
menurunkan ilmu saktinya kepada Sangaji. Diam-diam ia bersyukur dalam hati. Ia
berdoa, moga-moga Gagak Seta berkenan menurunkan seluruh ilmu saktinya dan
Sangaji sanggup pula menerima warisannya. Untuk ikut menyatakan terima kasih,
dengan sungguh-sungguh ia memasak beberapa resep masakan yang istimewa.
Pikirnya, biarlah Paman Gagak Seta tahu, kalau kami tahu apa arti terima-kasih.
Tapi selagi ia membumbui beberapa ekor ikan dan sedang pula dibakar, di luar
dugaan asapnya meruap sampai ke luar gua. Tahu-tahu, Gagak Seta sudah berada di
sampingnya sambil mencak-mencak.
"Masakan
apa ini? Masakan apa ini?"
Belum
lagi Titisari dapat menjawab, tangannya sudah menyambar dua ekor ikan sekaligus
dan digerogoti sampai tulang-tulangnya.
"Bukan
main! Bukan main!" pujinya berulang kali. Mulutnya terus dijejali
penuh-penuh, sampai tak kuasa berbicara lagi. Sekaligus menghabiskan enam ekor
ikan sebesar lengan kanak-kanak.
Ketika
keenam ekor ikan tadi sudah habis dikunyahnya, barulah ia teringat kepada
Sangaji yang perutnya belum terisi sebutir nasi juga. Lantas ia berkata menyesali
diri sendiri.
"Ai!
Ai! Perut edan! Perut gendeng! Mana kawanmu si bocah tolol itu! Suruh berhenti
dulu! Masa mau berlatih sampai mati?"
Tetapi
Titisari hanya membalasnya dengan senyum. Bahkan tanpa berbicara ia menyodorkan
dua ekor ikan bakaran lagi. Gagak Seta jadi perasa, la jadi sungkan sendiri.
Meskipun demikian, tangannya menerima pemberian itu.
"Masakanmu
benar-benar hebat!" ia mengalihkan pembicaraan untuk menyembunyikan rasa
sungkannya. "Masakan apa ini namanya?"
"Sebenarnya,
kalau Paman agak bersabar sedikit, akan kumasakkan semacam masakan khas dari
Karimun Jawa," sahut Titisari seolah-olah menyesali.
"Ah!"
Gagak Seta terhenyak. Mendadak mulutnya berliur tak karuan. Dan mau tak mau,
Titisari geli juga menyaksikan pera-ngainya.
"Baiklah!
Biarlah aku menangkap beberapa ekor ikan lagi dan aku ingin mencoba masakan
Karimun Jawa."
"Tak
usah tergesa-gesa," potong Titisari membesarkan hati. "Aku percaya,
Paman pandai menangkap ikan. Tapi aku yakin Paman belum pandai memilih jenis
ikan."
Gagak
Seta diam menimbang-nimbang. Kemudian berkata mengakui.
"Ya,
benar. Bagaimana aku bisa melawanmu dalam hal memilih jenis ikan."
Titisari
kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Kulihat
muridmu tadi sudah bisa mematahkan batang pohon dalam sekali tumbuk."
Gagak
Seta menggelengkan kepala sambil berkata, "Belum! Belum bisa dia
mematahkan batang pohon. Paling-paling hanya menggoyang-goyangkan sampai
melengkung. Sebenarnya, dia harus sanggup mematahkan sebatang pohon sebesar
lengan dengan sekaligus. Mengingat ia telah memiliki rejeki besar dalam
dirinya."
"Apakah
itu?"
"Dia
memiliki semacam tenaga ajaib dalam dirinya. Katanya, itulah getah pohon sakti
Dewadaru," sahutnya sungguh-sungguh. "Pastilah kamu mengerti, bahwa
untuk memi-liki pukulan sakti, orang harus berlatih dulu sampai memiliki dasar
tenaga murni. Inilah dasar utama. Sebab sekali pun orang memiliki macam ilmu
silat yang sebagus-bagusnya, tetapi tidak ada tenaga di dalamnya adalah semacam
hembusan angin menyerak-nye-rakkan dedaunan. Itu tidak ada gunanya." Ia
berhenti dengan dahi berkerenyit seakan-akan berpikir keras. Tiba-tiba
bertanya, "Hai Nona kecil, apa dia suamimu?"
Titisari
adalah seorang gadis yang cerdas dan cerdik. Meskipun demikian, mendapat
pertanyaan Gagak Seta, ia terbungkam. Orang tua itu lantas tertawa
terbahak-bahak.
"Eh!
Eh! Apakah aku salah omong? Ah, akulah yang tolol! Bukankah kalian sedang
berpacaran melulu? Baiklah! Aku kenal watak ayahmu. Seumpama kamu sudah
menyetujui pemuda itu, dan ayahmu merintangi, aku tak bakal diam. Aku akan
tampil ke depan mengurus perjodohan kalian. Andaikata ayahmu menentang, biarlah
aku bertempur satu tahun sampai salah seorang mati."
Entah
apa sebabnya, Titisari bahagia mendengar kata-kata Gagak Seta. Hatinya
tiba-tiba menjadi senang dan tentram sampai air matanya hampir membersit dari
kelopak mata. Maka cepat-cepat ia menundukkan pandang ke tanah sambil mencari
sisa ikan lainnya, hendak dibakarnya dengan segera.
Gagak
Seta adalah laki-laki yang sudah banyak makan garam. Dengan sendirinya, tahulah
dia menebak keadaan hati si gadis. Maka dengan lancar ia berkata,
"Dengarkan, Nona manis. Bakal suamimu itu, meskipun bakatnya kalah jauh
daripadamu tetapi berkat getah sakti itu, dia kelak akan menjadi seorang
pendekar ajaib yang sakti luar biasa. Tadi kulihat keajaiban terpancar dari
dirinya. Apabila kemudian hari, ia bisa melebur kedua macam ajaran mengatur
napas dan menghimpun tenaga yang dimiliki, tubuhnya akan kebal dari segala.
Bahkan apabila kena serangan dahsyat, maka yang menyerang itu akan terpental
balik. Sekarang tinggal melatih dan memasaknya sampai kokoh benar. Siapa tahu,
kedua macam ilmu mengatur napas dan menghimpun tenaga akan bisa pula
membersihkan otot-otot urat saraf, sehingga pada suatu hari akan menjadi
seorang manusia yang cerdas luar biasa. Mengapa? Karena pada hakekatnya, Ilmu
Bayu Sejati dan Kumayan Jati itu seumpama sepasang suami istri yang saling
memberi rasa asmara."
Titisari
bersyukur dalam hati, mendengar tutur Gagak Seta. Ia percaya, kalau ketajaman
mata seorang ahli seperti yang cerdik, ia pandai menyembunyikan kesan hatinya.
Pandangnya tetap murung. Bahkan ia bisa berkata dengan nada Gagak Seta tak
mungkin salah. Tetapi sebagai seorang gadis kurang senang.
"Bagus!
Tapi dasar Paman berat sebelah. Seumpama dia menghinaku, apakah yang akan Paman
lakukan?"
Gagak
Seta hendak mengambil hati si gadis. Mengapa dia berlaku demikian, tidak
seorang-pun di dunia ini yang bisa menerangkan. Dia sendiri tak pandai membaca
perasaan hatinya. Yang terasa dalam hati ialah ia senang melihat Titisari,
seolah-olah gadis itu bagian dari dirinya sendiri. Barangkali karena tingkah
lakunya begitu lincah dan cekatan. Lagi pula bisa melayani dirinya. Kecuali itu
pandai memasak pula. Rasanya, dia segan mau berpisah daripadanya.
"Nona
manis! Janganlah kamu bersedih. Coba katakan, apa yang kaupinta? Seyogyanya aku
hanya mengajar bakal suamimu satu dua jurus semata?" katanya.
"Tidak!
Tidak!" Sahut Titisari cepat. "Bahkan Paman harus mengajarkan dengan
sungguh-sungguh. Syukur bisa menerima seluruh kepandaian Paman. Hanya saja,
Paman harus pula memberi ilmu simpanan kepadaku, yang bisa memenangkan
dia."
"Eh,
anak siluman. Kamu benar-benar licin seperti ayahmu."
"Baiklah.
Memang aku tak punya anak dan merindukan seorang anak selincah kamu. Rasanya tidak
ada ruginya, mengabulkan permintaanmu. Moga-moga dikemudian hari— kalau tulang
belulangku sudah rontok—kau sudi mengurusi." Ia berhenti mengesankan.
Meneruskan, "Bakatmu lebih baik daripada calon suamimu itu. Sebelum dia
bisa memahami semua ilmu yang kuberikan kepadanya, kamu akan kuberi suatu ilmu.
Aku percaya, kamu akan cepat mengerti sebelum dia paham ekornya. Ilmu itu
merupakan tenaga imbangan dahsyat dari Kumayan Jati.
Namanya,
Ratna Dumilah. Konon kabarnya—menurut cerita—ilmu itu berasal dari Sanghyang
Tunggal yang diberikan kepada putranya kedua, Sanghyang lsmoyo. Ilmu itu khusus
untuk melawan Ilmu Kumayan Jati yang diberikan Sanghyang Tunggal kepada
putranya ke empat, Sanghyang Manikmaya.
Tetapi
karena kalian berdua adalah calon suami-isteri, maka akan kubuat sedemikian
rupa sehingga kalian berdua tak bisa saling menyentuh dan melukai. Kau mengerti
maksudku?"
Sehabis
berkata demikian dan belum lagi Titisari membalas pertanyaannya, ia meloncat
dan bersilat berputaran cepat luar biasa. Gerak-geriknya cekatan, gesit luar
biasa sampai bisa mengaburkan penglihatan. Tapi anehnya, tidak menerbitkan
suatu tenaga dahsyat yang membahayakan. Setelah ia berhenti bersilat, Titisari
sudah bisa mengingat-ingat separah.
"Seluruhnya
berjumlah 36 jurus," kata Gagak Seta. 'Tetapi mempunyai silang perpecahan
tujuh sudut tiap jurus. Jadi berjumlah 7 x 36, ditambah dengan delapan penjuru.
Utara, barat, selatan, timur, kemudian tenggara, barat daya, timur laut dan barat
laut. Jadi keseluruhan berjumlah 7 x 36 x 8 = 1008 jurus pecahan. Meskipun
nampaknya tidak bertenaga, tetapi ilmu itu memiliki daya lingkaran rahasia dan
daya libatan rahasia. Dalam sekali putaran, ilmu itu membawa pengaruh hawa
tertentu. Sudut anginnya tajam luar biasa, bagaikan sebilah pedang. Karena
Ismoyo itu artinya dunia, maka gerakannya berputar terus menerus seperti arus
samudra dan arus angin yang mengitari jagad. Kau sudah paham?"
Titisari
lantas berdiri. Terus ia bersilat menirukan gaya Gagak Seta. Dasar otak terang
dan memiliki bakat keturunan yang luar biasa, hampir saja dia bisa melakukan
gerakan-gerakan Ilmu Ratna Dumilah dengan sempurna. Dia hanya membutuhkan
beberapa petunjuk dan penjelasan. Selang tiga jam, dia sudah hapal seluruhnya.
Tinggal memahirkan belaka.
Kala
itu, matahari hampir condong ke barat. Segera mereka teringat kepada Sangaji
yang masih saja berlatih di luar gua. Bergegas Titisari memanggilnya. Dan
ketika anak muda datang kepadanya, Titisari menyongsongnya dengan tertawa bangga.
"Aji!
Sekarang kau bisa memenangkan ilmumu. Makanlah! Aku akan mandi dahulu."
Setelah
berkata demikian, gadis itu benar-benar pergi mandi. Ia melompat ke sungai dan
berenang ke sana kemari dengan gembira.
"Bakal
isterimu itu cerdik luar biasa." Kata Gagak Seta menemani Sangaji makan.
"Ya,"
sahut Sangaji sederhana. "Tadi kulihat Paman sedang menurunkan suatu ilmu
begitu dahsyat. Kucoba melihat dari jauh. Mendadak penglihatanku kabur. Ilmu
apakah itu?"
Gagak
Seta tertawa. Ia tidak melayani pertanyaan Sangaji. Bahkan ia kemudian
merebahkan diri dan tidur mendengkur seperti babi hutan.
Tak
berani Sangaji mengganggunya. Sehabis makan, diam-diam ia melatih mengatur
napas menurut ajaran Gagak Seta. Tetapi seperti tadi pagi. Darahnya seperti
bergolak dengan sekonyong-konyong. Seluruh tubuhnya bergetar. Napasnya jadi
sesak dan matanya berkunang-kunang. Khawatir akan salah laku, cepat-cepat ia
membuka mulutnya sambil mengendorkan semangat. Dan perlahan-lahan ia bisa
menguasai diri lagi. Tapi dasar dia berwatak ulet dan tabah. Tak
gampang-gampang menyerah kalah. Sekali lagi ia mencoba dan mencoba. Dan setiap
kali ia merasa aliran darahnya terganggu cepat-cepat ia melepaskan semangat.
Begitulah ia berulangkali mencoba ilmu Gagak Seta. Mendadak saja, sekilas pikirannya
menusuk dalam benaknya. Cepat-cepat ia memperbaiki diri. Kemudian berlatih
mengatur napas
menurut
ajaran Ki Tunjungbiru. Dalam dirinya lantas timbul semacam hawa hangat yang
nyaman luar biasa. Hawa itu bergerak dengan halusnya dan meraba seluruh urat-uratnya.
Mendapat perasaan ini, ia gembira. Kemudian ia berpikir, kalau sekarang aku
menggabungkan ilmu ajaran Gagak Seta, apakah akibatnya? Hatinya berdegup hendak
mencobanya. Tetapi segera ia mengendapkan degupan hati dan dengan hati-hati, ia
menarik napas menurut ajaran Gagak Seta sedikit demi sedikit. Tiba-tiba ia
merasa ada suatu gumpalan hawa yang muncul dalam perutnya. Gumpalan hawa itu
makin lama makin membeku. Anehnya, kian lama kian mengembang. Tak lama
kemudian, hawa hangat menurut ajaran Ki Tunjungbiru menghampiri. Mendadak saja
tubuhnya berguncang hebat. Karena kedua hawa yang berlainan sifat itu saling
bertubruk dan hisap-menghisap. Kedua hawa itu lantas berputar- putar sambil
tarik-menarik sehingga memenuhi seluruh tubuh. Seperti diketahui, menurut Gagak
Seta ajaran Ki Tunjungbiru adalah ilmu bertahan diri. Itulah intisari dari Ilmu
Bayu Sejati. Sebaliknya, ajaran Gagak seta bersifat merangsak dan menghimpun
tenaga. Karena dasar tenaga Sangaji berpijak kepada kesaktian getah pohon
Dewadaru, maka kedua kekuatan yang berlainan sifat itu saling berebut hendak
mengambil bahan tenaga. Yang satu merangsak dan yang lain bertahan. Karena
dasarnya sama kuat, maka tenaga getah sakti Dewadaru lambat-laun terasa berubah
sebagai bola yang berputar-putar dan meluncur ke sana ke mari tiada tentu.
Andaikata Sangaji sudah bisa meluncurkan tenaga raksasa itu ke dalam
urat-uratnya, alangkah akan besar gu-na-faedahnya. Sayang, ilmu demikian belum
dimiliki. Karena itu, yang terasa dalam perutnya semacam bongkahan batu
mengganjel perut. Bongkahan itu kadang tersekam dalam pusat, kadang-kadang naik
menyodok ketiak dan menutupi rongga dada. Meskipun demikian, bongkahan hawa itu
tiada menyakiti dirinya seperti tadi. Dia hanya merasa geli dan bulu romanya
meremang kalang-kabut. Karena lambat-laun rasa geli itu menyeluruh sampai
bulu-bulunya, ia tidak tahan lagi. Cepat ia melepaskan kedua tenaga sakti yang
saling berbenturan. Di luar dugaan, begitu ter-lepas dari gangguan itu,
mendadak saja tubuhnya menjadi lemas tak berdaya.
Ia
kaget luar biasa. Tatkala sadar akan kecerobohannya, Titisari sedang memasuki
gua dengan membawa serenteng ikan. Gadis itu terperanjat ketika melihat muka
Sangaji berubah menjadi bersemu hijau. Cepat ia meraba pergelangan tangan dan
dengan berteriak agak keras ia mencoba membangunkan Gagak Seta.
"Paman!
Apakah yang salah?"
Sebenarnya
menurut pantas, orang yang sedang tidur berdengkur semacam Gagak Seta takkan
mendengar pekikan Titisari. Tapi Gagak Seta adalah seorang yang mahasakti pada
zaman itu. Hampir berbareng dengan kalimat Titisari yang penghabisan, ia sudah
meloncat bangun terus menyambar perge-langan tangan Sangaji.
"Anak
tolol!" makinya sungguh-sungguh. "Kamu mau bunuh diri? Bukankah sudah
kunasihatkan, agar tak mengingat-ingat ajaranmu yang dulu?"
Meskipun
mulutnya memaki kalang kabut. Tapi segera dia bekerja. Dengan bantuan tenaga
saktinya, ia dapat mengendapkan pengaruh getah Dewadaru yang dibangunkan oleh
Ilmu Bayu Sejati. Apalagi dikala itu Sangaji telah melepaskan pengaruh kedua tenaga
ajaran saktinya. Maka dalam beberapa saat, ia telah pulih kembali. Mukanya yang
bersemu hijau, kembali menjadi merah dan lambat-laun nampak segar seperti
sediakala.
"Apa
yang telah kaulakukan?" bentak Gagak Seta.
"Aku
mencoba membangunkan ajaran yang lalu dengan ajaran Paman," jawab Sangaji
gugup. "Goblok! Tolol!" maki Gagak Seta. "Otakmu tumpul. Kau
harus menginsyafi, tahu?"
"Ya,
memang otakku tumpul." Sangaji mengaku. Karena pengakuannya, mendadak
timbullah suatu iba dalam diri Gagak Seta. Mulutnya yang sudah siap-siap hendak
memaki lantas saja batal. Bahkan, timbullah rasa sayangnya. Sebentar kemudian
ia berkata menasihati.
"Memang,
aku berharap kamu bisa melebur kedua ilmu itu. Tapi, jangan sekarang! Sebab
masing-masing belum kaupahami benar, sehingga kamu belum punya pegangan titik
imbangnya. Coba kalau tidak cepat-cepat ketahuan, tubuhmu sudah hangus
terbakar. Karena dalam dirimu tersekam tenaga sakti yang dah-syat."
Titisari
mempunyai kesan tertentu terhadap Sangaji. Mendengar Gagak Seta memakinya, jadi
tidak senang hati. Menungkas, "Hai Paman! Kau mau merasakan kelezatan
masakan Karimun Jawa tidak?"
"Tentu
saja! Tentu saja!" Gagak Seta menebak-nebak.
"Nah,
tolong aku membersihkan ikan-ikan. Dan jangan lagi memaki muridmu di
hadapanku." Sebentar saja orang tua itu terhenyak. Kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Eh! Jadi, aku salah omong? Baiklah aku minta maaf. Ayo,
ayo kutolong."
Sangaji
jadi perasa. Dengan sungguh-sungguh ia memotong.
"Semua
ini akulah yang menerbitkan gara-gara. Biarlah Paman meneruskan tidur. Aku akan
membantu Titisari. Dan aku berjanji, aku tidak akan mengulangi kesem-bronoanku
semacam tadi."
Dengan
cekatan ia menyambar serenteng ikan-ikan tangkapan Titisari dan bergegas keluar
gua. Setelah itu, ia menyalakan perdiangan. Dan pada malam harinya, mereka
bertiga menggerumuti masakan Titisari yang benar-benar terasa lezat luar biasa.
"Kamu
ini memang anak iblis benar," kata Gagak Seta kagum. "Tanganmu
membawa kelezatan luar biasa. Selama hidupku baru kali inilah aku merasakan
masakan Karimun Jawa. Pantas, ayahmu betah tinggal di suatu kepu-lauan jauh di
seberang."
"Tak
usah Paman mengeranyangi milik orang kampung. Kami membekal beberapa ringgit.
Asalkan Paman setuju, kita meneruskan perjalanan mendekati perkampungan,
ayam-ayam dan itik-itik akan kita peroleh."
"E-hem.
Itu pun cara yang baik pula. Eh, ke mana sebenarnya tujuan kalian?"
Titisari mengalihkan pandang kepada Sangaji. Pemuda itu lantas menjawab.
"Ke
selatan. Ke Desa Karangtinalang. Di desa itulah, aku dahulu dilahirkan. Tapi
aku dibesarkan di Jakarta."
Gagak
Seta merenunginya, kemudian rrenguap lebar dan tanpa berpamitan ia memiringkan
tubuh dan merebahkan diri, belum lagi lima pernapasan, dia telah mendengkur
ribut. Dan mau tak mau kedua muda-mudi itu segera memilih tempat berbaring
masing-masing.
Menjelang
tengah malam, Titisari telah tertidur lelap. Tinggal Sangaji seorang diri yang
masih bolak-balik di atas tanah. Dengan berdiam diri ia merenungi perdiangan
yang masih menyala terang. Pengalamannya berlatih mengaatur napas sehari tadi
sangat mengesan dalam dirinya. Dasar wataknya ulet dan tabah, tak: dapat ia
menyerah kalah dengan kenyataan sehari tadi. la mencoba memecahkan persolannya.
Pikirnya, apa yang dikatakan Paman Gagak Seta benar belaka. Tapi mustahil ia
dapat merasakan apa yang kurasakan dalam diriku. Tetapi sewaktu kulepas,
tubuhku lantas saja terasa menjadi lemah lunglai.
Apakah
hal ini tidak disebabkan karena aku terus melepaskan tenaga dengan sekaligus?
Jika kukendalikan sedikit demi sedikit, apakah sama juga pengaruhnya? Baiklah
kucoba."
Mendapat
pikiran demikian, maka dengan diam-diam ia duduk bersila. Kemudian mengatur
napas menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Ketika sudah merasa kokoh, segera ia
menyedot napas menurut ajaran Gagak Seta. Mendadak saja terdengar Gagak Seta
menggerutu.
"Tolol!
Jangan terlalu banyak mencampur-adukan, perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit!"
Ia
terkejut bukan kepalang, karena sama sekali tak mengira pendengaran Gagak Seta
sedemikian tajam. Tapi diam-diam ia bergi-rang hati, karena Gagak Seta lebih
condong menasihati. Maka dengan tekun dan penuh semangat, ia menjalankan semua
nasihatnya. Napas yang tersedot terlalu kuat, cepat-cepat dikurangi sehingga
terasa enteng merata. Dan ajaib! Pengaruhnya tidak begitu tajam. Yang terasa
kini, seolah-olah ada selembar lapis hawa merata ke seluruh kulit dagingnya.
"Bagus!"
Gagak Seta setengah girang. "Sekarang coba pertebal! Tapi jaga jangan
sampai bergelombang. Sedikit bergelombang, kamu akan merasa pengaruhnya. Sebab
gelombang itu akan membeku dan menjadi gumpalan tenaga yang harus kaulepaskan
cepat-cepat."
Perlahan-lahan
dan hati-hati, Sangaji mencoba melakukan nasihat itu. Tetapi bagaimanapun juga,
dia belum mendapat pengalaman banyak. Keseimbangan antara tenaga napas ajaran
Ki Tunjungbiru dan ajaran Gagak Seta, belum dapat dikuasai. Maka di luar
kemampuannya sendiri, mendadak saja terasalah tenaga Kumayan Jati mendesak
tenaga Bayu Sejati. Sudah barang tentu Bayu Sejati berusaha mempertahankan diri
sebisa-bisanya. Karena itu, terjadilah suatu pergumulan yang menimbulkan riak
gelombang. Muka Sangaji lantas bersemu hijau. Waktu itu, perdiangan dalam gua
belum padam seluruhnya, maka warna hijau itu cukup terang bagi penglihatan
seorang ahli seperti Gagak Seta.
"Tolol!
Apakah kamu mau bunuh diri!" bentak Gagak Seta.
Bentakan
itu sangat dahsyat, sehingga Titisari terbangun sekaligus. Melihat Sangaji
dalam kesulitan, gadis yang cerdas itu cemas hatinya.
"Kendorkan
perlahan-lahan!" perintah Gagak Seta. "Terlebih dulu Kumayan Jati.
Kemudian Bayu Sejati cepat tarik!"
Sebagai
gadis yang terang otaknya. Titisari lantas bisa menebak persoalannya. Tanpa
disadari, terloncatlah ucapannya.
"Bagaimana
kalau Bayu Sejati yang ditambah?"
Sebenarnya,
ia tak tahu tentang sifat Bayu Sejati dan Kumayan Jati yang bertentangan. Ia
hanya menarik kesimpulan dari kata-kata Gagak Seta belaka, yang memerintahkan
agar menarik Kumayan Jati dan kemudian Bayu Sejati. Tapi memang dia ditakdirkan
sebagai seorang gadis yang sangat cerdas pada zaman itu. Ayahnya, seorang ahli
ilmu alam, ilmu falak, ilmu ukur, ilmu siasat perang dan tata-berkelahi. Dalam
hal ilmu tata-berkelahi, ia kurang menaruh perhatian, sehingga tak mau mewarisi
kepandaian ayahnya. Tetapi dalam hal ilmu-ilmu lainnya, ia hampir sejajar. Tak
bosan-bosannya ia mengadakan percobaan mencampur adukkan ramuan-ramuan
tertentu, sehingga ia ahli dalam hal membuat racun, membuat ramuan obat-obatan
dan memasak. Karena itu, begitu mendengar istilah Kumayan Jati dan Bayu Sejati
yang terlompat dari mulut Gagak Seta, sekaligus ia dapat menebak.
Sangaji
sendiri, sudah semenjak lama merasa takluk kepada kecerdasan Titisari, maka
begitu ia mendengar suaranya cepat-cepat ia melakukan sarannya tanpa was-was
lagi. Karena ajaran Ki Tunjungbiru telah terlatih masak dalam dirinya, maka tak
soal menambah atau mengurangi daya gunanya.
Bukan
merupakan sulit baginya. Hasilnya sungguh mengagumkan. Sebab dengan menambah
tenaga Bayu Sejati, dengan sendirinya ia melepaskan tekanan arus Kumayan Jati.
Dengan demikian kekuatannya jadi berimbang. Tetapi seperti dirasakan semula, ia
belum menguasai keseimbangannya. Sehingga menambah tenaga Bayu Sejati dan
terlalu melepaskan arus Kumayan Jati yang agak berlebihan, melahirkan suatu
per-paduan yang timpang. Seketika itu juga, warna mukanya yang tadi bersemu
hijau kini jadi menghitam.
"Apa
yang salah?" seru Titisari cemas.
Gagak
Seta merenungi. Kemudian berkata penuh selidik.
"Kaulakukan
saran bakal isterimu?"
Sangaji
hanya kuasa mengangguk.
Kembali
Sangaji mengendorkan tenaga Bayu Sejati dan menambah arus Kumayan Jati.
Tak
lama kemudian, seluruh tubuhnya merasa nyaman. Tetapi karena kedua tenaga sakti
itu belum bisa melebur menjadi satu dan ditambah pula dengan getah sakti
Dewadaru, maka tetap saja merupakan unsur yang selalu bertentangan. Sulitnya
ialah, karena tak dapat terlihat oleh indera mata. Sehingga keseimbangannya
hanya berdasarkan rasa belaka. Maka kembali ukuran arus Kumayan Jati terlalu
kuat. Seketika itu juga, seluruh tubuhnya menggigil dan mukanya berwarna hijau
tua sampai kelopak matanya hijau pengap pula. Segera Gagak Seta memberi aba-aba
dahsyat. "Lontarkan pukulan!"
Sangaji
mencoba bangun, tetapi tubuhnya seperti terpaku. Ia mencoba menggeliat. Lengannya
pun terasa menjadi kaku pula.
"Tambah
Bayu Sejati dan coba lontarkan pukulan!" teriak Titisari tegang. Ia tahu
kalau Sangaji lalai sedikit tubuhnya bisa kaku menjadi arca.
Karena
jerit Titisari, hati Sangaji terkesiap. Sesungguhnya bibit cinta kasih mulai
tersenyum dalam hati nuraninya. Dan orang tahu, apa arti cinta yang tumbuh
dalam hati seorang pemuda sebaya dia. Itulah cinta sejati yang berani berkorban
dalam segala hal. Maka dengan mati-matian, ia mengendorkan arus Kumayan Jati
dan menambah tenaga daya tahan arus Bayu Sejati. Begitu ia merasa mendapat
peluang, segera ia menggeliat dan melontarkan pukulan gaya Gagak Seta. Pukulan
itu dilontarkan dengan membabi buta dan tepat mengarah dinding gua. Maka
seketika itu juga, terjadilah suatu keajaiban luar biasa.
Gua
itu sekaligus runtuh berantakan dengan suara gemuruh.
"Bagus!
Hebat!" puji Gagak Seta. Tapi berbareng dengan itu, cepat-cepat ia
menolong keadaan Sangaji yang jatuh terkulai.
Setelah
pulih kembali, mulailah anak muda itu insyaf benar-benar. Karena bagaimanapun
juga, kedua unsur ilmu sakti itu masih saja berdiri sendiri. Sifatnya
bertentangan dan seo-lah-olah sedang berlomba. Mau tak mau ia harus
mendengarkan nasihat Gagak Seta agar melupakan ajaran Ki Tunjungbiru untuk
sementara sebelum mendapat jalan keluar.
"Paman!
Pukulan yang tadi kulontarkan, benar-benar mengagumkan. Aku hampir-hampir tak
percaya. Tetapi mulai sekarang, aku akan tunduk kepada setiap patah kata Paman
...
Gagak
Seta waktu itu masih saja memijat-mijat seluruh tubuhnya, la berdiam diri dan
se-patah kata pun tiada terbintik keluar dari mulutnya. Suasana dalam gua itu
lantas saja menjadi tegang luar biasa.
Kesokan
harinya, mereka meneruskan perjalanan mengarah selatan. Perjalanan mereka kini
mulai mengitari punggung Gunung Sumbing. Pemandangan seberang-menye-berang
sangatlah indahnya. Apa lagi, waktu itu habis hujan. Mahkota daun-daunan nampak
segar bugar. Dan sawah-sawah penduduk yang bermukim di atas pegunungan berkesan
meriahkan hati.
Gagak
Seta menunggang kuda putih, sedangkan Sangaji dan Titisari membebani punggung
Willem. Mereka cukup kenal kekuatan Willem, sehingga tak usah meragukan
kesanggupannya. Sepanjang jalan Titisari mengobrol tentang bermacam-macam resep
makanan sampai mulut Gagak Seta yang keranjingan makan enak, jadi meliur tak
keruan. Hatinya bertambah kepencut dan takluk kepada si gadis. Dengan demikian,
orang tua itu sama sekali tak sadar sudah menjadi tawanannya.
"Paman!"
tiba-tiba Titisari mengalihkan pembicaraan. "Mengapa semalam Sangaji begitu
sengsara mencoba memanunggalkan dua ilmu saktinya?"
Dalam
keadaan biasa, tak mungkin Titisari memperoleh jawaban. Tapi karena Gagak
Seta
sudah terlalu kepencut kepada masakannya, maka tak ingin dia menyakiti hatinya.
Segera orang tua itu meloncat ke tanah sambil meraup tiga butir batu. Kemudian
ia meloncat kembali ke atas kudanya, la membagi kedua batu kepada Titisari dan
Sangaji, sedangkan dia sendiri menggenggam sebutir.
"Batu
yang digenggam bakal suamimu itu seumpama ilmu Bayu Sejati. Yang kugenggam ini
seumpama Ilmu Kumayan Jati. Dan yang kaugenggam adalah getah sakti Dewadaru.
Getah sakti Dewadaru adalah dasar tenaga murni Sangaji, yang dahulu kucapai
dengan bertapa tiga tahun lamanya. Meskipun sifatnya berbeda, tapi dalam hal
ini ada persamaannya. Yakni suatu himpunan tenaga ajaib menurut kodrat
alam."
"Apakah
getah sakti Dewadaru itu, Paman?" potong Titisari. Dia belum pernah
mendengar tentang riwayat getah sakti itu. Maka Sangaji lantas saja memberi
penjelasan dan menceri-takan pengalamannya tatkala menghisap getah sakti pohon
Dewadaru di Pulau Edan. Dengan kening berkerut-kerut, Titisari mendengarkan
cerita Sangaji dengan sungguh-sungguh. Bulu kuduknya ikut meremang, tatkala
cerita Sangaji sampai pada perjuangan menghisap getah. Tanpa disadari
terlompatlah rasa kagumnya.
"Sungguh
ajaib! Masa di dunia ini ada semacam pohon demikian? Aji! Kenapa kamu tak
mengajakku ke sana? Aku mau menghisap seluruh pohon sampai perutku bulat
seperti perut babi!"
Seperti
diketahui, tatkala Sangaji menghisap getah pohon sakti Dewadaru, perutnya
lantas saja menjadi bulat penuh keputih-putihan dan Gagak Seta lantas saja
menyahut.
"Hai
iblis cilik! Tiga puluh tahun lagi, kalau kamu sudah kehilangan kelangsinganmu,
tanpa menghisap getah Dewadaru perutmu akan segemuk babi juga." Setelah
berkata demikian, orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Dan mau tak mau Sangaji
ikut pula tertawa. Titisari lantas saja menjadi dengki. Maklumlah, dalam
benaknya tak pernah dia percaya, kalau pada suatu kali kelangsingan dan kecantikan
tubuhnya bisa larut digulung umur.
"Baik,
baik!" katanya menggigit. "Biar aku kelak menjadi seekor babi, apa
pedulimu?" Kemudian cepat-cepat mengalihkan pembicaraan untuk mengelakkan
kesan yang tak enak baginya. Katanya, "Apakah pengaruh getah sakti Dewadaru
bagi muridmu itu? Bukankah tidak mengganggu?"
"E-hem."
Gagak Seta mendehem, la diam sebentar menimbang-nimbang. "Ilmu Bayu Sejati
dan Ilmu Kumayan Jati bersumber sama. Meskipun berlainan sifat, tapi pada
hakikatnya bersandar pada suatu tenaga mumi seseorang. Dalam hal ini tenaga
sakti Dewadaru. Dengan demikian, sesungguhnya getah Dewadaru merupakan bahan
yang diperebutkan. Mana yang lebih kuat, dialah yang menang."
"Tapi
mengapa, jika Sangaji mengendorkan dan melepaskan kedua unsur ilmu itu, lantas menjadi
lemah lunglai? Padahal getah Dewadaru masih tetap berada di dalam tubuh."
"Dewadaru
mempunyai sifat menghisap. Itulah sifatnya yang ajaib. Apabila dia telah
ditimbulkan, kemudian sandaran hisapan tiba-tiba menghilang, apakah bukan
lantas menghisap tenaga tubuh? Kau mengerti?"
Titisari
yang cerdas lantas saja dapat memahami. Sebaliknya, Sangaji yang berotak
sedikit bebal belum juga dapat mengerti. Maka segera dia minta penjelasan lagi.
"Ah
tolol!" damprat Gagak Seta. "Lihat! Bayu Sejati dan Kumayan Jati
saling berebut untuk mendapatkan tenaga Dewadaru. Sebaliknya, Dewadaru juga
menghisap kedua unsur ilmu sakti itu, karena sifatnya memang menghisap apa saja
yang bersentuh. Mendadak saja kamu melepaskan kedua ilmu saktimu. Karena
Dewadaru kehilangan sumber hisapan, bukankah lantas saja menghisap sekenanya
belaka? Dengan sendirinya yang menjadi sasaran adalah tenaga tubuhmu.
Jelas?"
Baru
Sangaji dapat memahami persoalannya. Sekonyong-konyong Titisari menimbrung.
"Paman
sudah tahu sifat masing-masing. Apakah tidak ada akal untuk melebur dan
menunggalkan?"
"Hm,
inilah yang masih menjadi soal bagiku," jawab Gagak Seta dengan jujur.
Sekiranya ayahmu berada di sini, pastilah bukan soal sulit lagi."
Titisari
menghela napas, ketika diingatkan akan kepandaian ayahnya. Sebentar ia
bere-nung-renung, kemudian berkata lagi, "Semalam Sangaji berhasil
menggempur dinding gua. Dia pun masih jatuh lunglai juga. Bukankah yang
dilontarkan adalah tenaga sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati?"
"Bukan!
Bukan! Sudah kuterangkan tadi kalau pokok dasarnya ialah berpijak pada
kesaktian getah Dewadaru."
"Ah,
tahulah aku!" jerit Titisari setengah girang. "Yang dilontarkan,
bukankah tenaga sakti getah Dewadaru?"
"Otakmu
memang terang," puji Gagak Seta. "Karena itu, aku menganjurkan kepada
bakal suamimu agar menggunakan salah satu ilmu sakti saja untuk menghemat
tenaga saktinya. Di kemudian hari jika sudah berhasil dilebur, itu lain halnya.
Jika
Kumayan Jati dan Bayu Sejati berhasil dilebur ke dalam getah sakti Dewadaru,
alangkah dahsyat hasilnya. Aku pun barangkali takkan tahan pukulannya."
"Kenapa?"
"Sebab
Dewadaru bukan lagi menjadi bahan, tetapi merupakan gudang penghimpun tenaga
sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati sekaligus," jawab Gagak Seta
sungguh-sungguh. "Itulah pula sebabnya, aku menganjurkan agar bakal
suamimu memupuk daya sakti Ilmu Kumayan Jati terlebih dahulu. Karena Kumayan
Jati, pada hakikatnya menghimpun tenaga murni. Sedangkan jurus-jurusnya adalah
ilmu pelontaran dan perangsangnya."
Tanpa
merasa, mereka telah memasuki lembah Gunung Sumbing sebelah selatan. Dusun
Kidang dan Arca sudah dilalui. Kini sudah mendekati Dusun Butuh. Mereka
kemudian mencari sebuah gubuk yang berada di luar desa. Di sanalah mereka
hendak berhenti dan beristirahat. Kebetulan sekali, gubuk itu menghadap ke
barat laut. Pemandangannya sangat indah. Di sana berdiri pegunungan Butak dan
Prahu yang samar-samar merupakan latar belakang kemegahan Gunung Sundara. Kali
Bregota yang bermata air di kaki Gunung Sumbing, terjun berdesakan melintasi
batu-batu alam yang mencongakkan diri di persada bumi. Seleret petak hutan
terhampar sepanjang tebingnya. Dan dengan sendirinya, angin yang turun dari
pinggang gunung terhisap bening sebelum sampai ke lembah. Terasa hawanya segar-bugar
menyegarkan pernapasan.
Sangaji
lantas saja memasuki tepi hutan hendak berlatih. Ilmu Kumayan Jati hendak
ditekuninya sungguh-sungguh. Ia telah mem-bekal tiga jurus pukulan sakti. Tapi
kali ini, dia tidak lagi membutuhkan sasaran batang pohon. Maksudnya hendak
memahirkan rahasia lika-liku jurusnya. Baru saja ia berlatih lima puluh kali,
keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Tetapi diam-diam ia bergirang
hati, karena terasa kedua lengan dan kakinya menjadi kokoh kuat. Ia kemudian
beristirahat di bawah rindang pohon sambil mensiasati letak rahasia ilmu sakti
itu.
Sekonyong-konyong
ia mendengar suara langkah berderapan. Terdengar suara seseorang. "Guru!
Kami kira sudah mendekati tempat tujuan."
Sejurus
kemudian terdengar jawaban. "Matamu awas juga. Hm, meskipun aku belum puas
menyaksikan ilmu larimu, tetapi jika dibandingkan dengan dulu ada kemajuannya
juga."
Sangaji
terperanjat, la kenal suara itu. Cepat ia mengintip. Dan benar juga. Dia adalah
Yuyu Rumpung yang sedang berjalan melintasi hutan dengan diiringkan empat orang
muridnya. Keempat murid Yuyu Rumpung itupun, telah dikenalnya, Yakni:
Kartawirya, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek, Setan Kobar dan Maling. Melihat
mereka, Sangaji mengeluh. Maklumlah dia seorang diri dan berada agak jauh dari pondokan.
Dan terhadap Yuyu Rumpung ia segan bukan main. Maka cepat-cepat ia melompat
menerjang gerombolan belukar dan lari sekuat-kuatnya.
Tetapi
Yuyu Rumpung bukan anak kemarin sore. Begitu melihat Sangaji lari seorang diri,
lantas saja dia membentak.
"Bangsat!
Kamu mau lari kemana?" setelah membentak demikian, terus saja dia lari
mengejar. Kini dia telah sembuh benar seperti sediakala. Karena itu tidak lagi
ia segan-segan seperti dulu. Kecuali itu, terhadap Sangaji bencinya setengah
mati. Pertama-tama gagal menangkapnya sewaktu berada di kadipaten Pekalongan
dan di alun-alun kena hajar kedua gurunya juga. Kemudian masih mendapat
rintangan dari Gagak Seta, sewaktu menyergap di guanya. Sekarang, dia mendapat
kesempatan bagus. Keruan saja, lantas memburu mati-matian.
Keempat
muridnya bukan pula orang sem-barangan. Merekapun mempunyai dendam. Teringatlah
mereka, bagaimana kawan pemuda itu menggantungnya di pohon dan
mem-permain-mainkannya di tengah lapangan di depan orang banyak. Itulah
sebabnya, seperti saling berjanji mereka serentak mengejar dan hendak
menghajarnya sampai mampus.
Sangaji
terus saja lari. Ia sadar akan bahaya. Tapi ketika sudah melintasi tebing kali,
pondok tempat Gagak Seta beristirahat sudah dekat. Pastilah Gagak Seta akan
mendengar suara perkelahiannya. Ia berharap akan mendapat bantuan.
"Bangsat!
Jangkrik! Babi!" Maki Yuyu Rumpung kalang kabut. "Kamu mau minggat ke
mana?"
Jarak
antara Yuyu Rumpung dan Sangaji sudah dekat. Maka dengan terpaksa, Sangaji
sekaligus berhenti. Cepat ia berputar dan menekuk lutut sedikit. Itulah gaya
lontaran pukulan Kumayan Jati ilmu sakti Gagak Seta.
Kartawirya,
Cekatik, Setan Kobar, dan Maling, sama sekali tak mengira, bahwa Sangaji akan
berhenti dengan tiba-tiba, meskipun itulah yang mereka harapkan. Karena itu,
mereka terus saja nyelonong. Pada saat itu, pukulan Sangaji tiba. Hebat
akibatnya, Setan Kobar, Maling dan Cekatik mencoba menangkis. Justru itulah
letak sasaran yang dikehendaki Ilmu Kumayan Jati. Maka begitu menangkis, mereka
terpental sepuluh langkah dan kedua lengan mereka patah sekaligus. Mereka jatuh
pingsan tak sadarkan diri.
Yuyu
Rumpung kaget bukan kepalang. Untung tadi, dia sempat menghindari. Meskipun
demikian, lengannya terasa panas juga. Sewaktu diperiksa, kulitnya lecet.
Sangaji
pun heran bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, bahwa Ilmu Kumayan Jati
begitu hebat. Padahal ia hanya menggunakan lima bagian tenaganya. Sebentar ia
ter-cengang-cengang. Ketika telah sadar kembali, segera ia meneruskan berlari
cepat-cepat.
"Awas!
Bocah itu mempunyai ilmu siluman."
Teriak
Yuyu Rumpung setinggi langit. "Kartawirya rawat saudara-saudaramu. Biar
kupegatnya sendiri, jahanam itu."
Kartawirya
tadi berada di pinggir sebelah utara. Ia hanya kena sambar angin pukulan
Sangaji karena itu selamatlah dia, meskipun lengannya pegal bukan main.
Dalam
pada itu, Yuyu Rumpung telah berhasil mencegat larinya Sangaji. Seperti
binatang galak, lantas saja ia menghadang dengan jurus yang mematikan.
Sangaji
terperanjat, tanpa berpikir lagi, terus saja ia menekuk lutut dan mengirimkan
pukulan Ilmu Kumayan Jati lagi.
Yuyu
Rumpung kaget. Selama merantau nampir seluruh kepulauan Jawa, belum pernah ia
melihat pukulan aneh semacam itu. ^telihat siku-siku gerakannya nampak
berbahaya, ia tak berani sembrono. Cepat ia berguling ke tanah. Inilah
pengalamannya yang pertama bertanding melawan seseorang sampai Dergulingan.
Tapi mau tak mau, ia harus ne-buat begitu jika ingin selamat.
Melihat
pukulan meleset, Sangaji segera sa£ar. Cepat ia berputar dan meneruskan nya.
Tapi Yuyu Rumpung dengan sigap terus melompat, berdiri sambil mengejar.
"Titisari!
Titisari!" teriak Sangaji ketakutan.
"Tolong
panggil Paman Gagak Seta. Aku dirampok orang."
Yuyu
Rumpung terkesiap mendengar Sangaji menyebut nama keramat itu, tapi kemudian ia
berpikir, eh masa Gagak Seta terus menerus berada di antara mereka. Dia laksana
angin yang sebentar datang dan pergi. Hm..., apa kamu mau menggertakku?
Mendapat pikiran demikian, lantas saja dia menggertak.
"Bangsat
cilik! Kau jangan jual lagak!"
Titisari
mendengar seruan Sangaji. Ia melongok dari pintu gubuk. Ketika melihat Yuyu
Rumpung datang menguber-uber Sangaji, timbullah watak nakalnya. Pikirnya, Paman
Gagak Seta lagi tidur mendengkur. Biarlah aku menguji ilmu Ratna Dumilah.
Kemudian berteriak membalas seruan Sangaji: "Aji! Janganlah takut lawanlah
dulu, nanti kubantu."
Sangaji
cemas, mengapa Titisari tidak minta bantuan Gagak Seta. Sebaliknya Yuyu Rumpung
girang dan bertambah yakin, kalau Gagak Seta sesungguhnya tidak ada di antara
mereka. Dengan tertawa lebar dia membentak.
"Hurdah!
Hurdah! Kalian Kelinci-kelinci muda, ayolah kemari. Kalian mau menggertakku,
jangan harap!"
Habis
membentak demikian, tenis saja Yuyu Rumpung merangsak cepat. Sangaji menjadi
gugup. Maklumlah, dia kenal dan tahu kegagahan lawannya. Tanpa berpikir lagi,
tiba-tiba tubuhnya berputar dan meliuk. Itulah jurus kedua ilmu Kumayan Jati.
Terus tangannya menyodok.
Yuyu
Rumpung sudah mendapat pengalaman. Tapi ia ingin mencoba kekuatan pukulan
pemuda itu. Maka ia hanya minggir satu langkah. Mendadak saja ia merasakan arus
angin sekuat batang balik menyodok dadanya. Gugup ia memiringkan tubuh. Tetapi
tak urung lengannya kena sambar dan panas bukan main. Tentu saja ia jadi
keheran-heranan. Pikirnya, baru beberapa hari aku berpisah dengan bocah ini,
mengapa ilmunya berubah begini hebat.
Sangaji
melihat lawannya mengelak, lantas saja mengulangi serangannya. Tapi kali ini
Yuyu Rumpung tak berani lagi mencoba-coba. Dengan meloncat ke samping, ia
mendamprat sambil merendahkan.
"Huh
bangsat kecil! Kamu hanya mempunyai satu jurus pukulan, jangan harap kau bisa
menaklukanku."
Sangaji
seorang pemuda yang jujur. Ia tak tahu, kalau Yuyu Rumpung agak jera dan
hati-hati, ia ingin benar mengetahui kekuatannya. Tanpa curiga dia menyahut.
"Aku
mempunyai tiga jurus. Meskipun demikian, kau tak mampu menangkis dan berani
mengadu tenaga." Setelah berkata demikian terus menyerang dengan jurus
ketiga.
Yuyu
Rumpung terkesiap. Tapi ia ingin melihat ketiga jurus lawannya. Begitu melihat
Sangaji berputar-putar melepaskan serangan, cepat ia melompat dan berhasil.
Dengan pukulan ini, lantas saja ia mengenal ketiga jurus Sangaji. Yang pertama
tatkala di tepi hutan, kemudian yang kedua dan ketiga yang baru dilontarkan.
Diam-diam ia bergirang. Pikirnya, asal cepat-cepat menjaga diri masakan bisa
kena pukulan. Mendapat pikiran demikian, tanpa ragu-ragu lagi ia merangsak.
Sangaji
jadi kerepotan. Berulang-ulang kali ia kena hajar, tetapi selalu saja kena
dielakkan. Lengannya lambat-laun jadi pegal juga. Meskipun demikian, seleret
cahaya terlintas dalam benaknya sebagai suatu pengalamannya yang berharga untuk
kemudian hari. Yakni mulai meresap peringatannya tentang maksud Gagak Seta
membuat sasaran pukulan sedemikian rupa sampai tak bisa bergerak. Mendapat peringatan
demikian, sadarlah dia akan arti jurus-jurus Ilmu sakti Kumayan Jati yang
berjumlah 24 jurus. Pikirnya, sambil berkelahi aku baru mendapat tiga jurus.
Seumpama seperempat bagian saja dari semua jurus Ilmu Kumayan Jati sudah
kukua-sai, Yuyu Rumpung bukan lagi lawanku yang berarti.
Titisari
tatkala itu menonton dari luar gelanggang. Ingin dia mengetahui, sampai di mana
kemajuan Sangaji. Begitu lambat-laun melihat Sangaji terdesak segera ia
berseru, "Aji! Ming-gir! Biar aku yang melawan."
Berbareng
dengan seninya, ia melompat memasuki gelanggang perkelahian. Tubuhnya gesit dan
melayang seperti seekor burung bangau. Begitu kakinya mendarat, lantas saja
tin-junya bekerja. Di luar dugaan, kedua kakinya ikut pula merangsak cepat luar
biasa. Itulah salah satu jurus Ilmu Ratna Dumilah.
Yuyu
Rumpung kaget. Cepat-cepat ia berkisar dan mundur beberapa langkah. Inilah
hebat, sebab selamanya, belum pernah ia kena desak mundur lawannya dalam satu
gebrakan saja. Sebaliknya Sangaji jadi bergirang hati. Diam-diam ia bersyukur
melihat kehebatan gadisnya. Maka ia melompat keluar gelanggang dan menjadi
penontonnya.
Titisari
ternyata lincah dan cekatan menggunakan Ilmu Ratna Dumilah. Hanya sayang, dia
belum mampunyai tenaga dasar murni. Andaikata dasar tenaga murninya seperti
Sangaji, Yuyu Rumpung dapat dijungkirkan dalam beberapa gebrakan saja. Karena
itu, sekalipun pukulannya sering mengenai sasarannya, tetapi lawannya belum
juga dapat dijungkalkan. Maklumlah, Yuyu Rumpung adalah penasehat sang Dewaresi
dan menjadi guru besar anak-anak buah Banyumas. Selain ilmunya hebat, kulitnya
kebal pula dengan senjata.
Beberapa
jurus kemudian, ia nampak dapat mendesak Titisari. Dua-tiga kali Titisari kena
hajar. Ontung hanya tersambar lintasan. Jika kena telak, sudah semenjak tadi ia
dijatuhkan, mengingat Panembahan Tirtomoyo saja tidak tahan menerima
pukulannya.
Dalam
pada itu Kartawirya sudah datang pula dengan memapah Cekatik, Setan Kobar dan
Maling bisa berjalan sendiri, meskipun kakinya pincang dan lengannya patah
sebelah. Mereka berdiri di pinggir gelanggang. Melihat gurunya menang, mereka
bergembira walaupun mukanya masih pucat lesi.
Sangaji
jadi resah. Mau tak mau ia harus segera membantu Titisari. Mendadak ia
mendengar Titisari berkata nyaring. "Hai setanbotak! Kamu begini kurang
ajar berani mendesakku. Apa kamu tak takut Gagak Seta?"
Yuyu
Rumpung tertawa terbahak-bahak, "Hm, kamu mau menggertakku? Jangan
harap."
"Kau
tak percaya Gagak Seta berada di sini?"
"Meskipun
dia berada di sini apa kau kira aku takut padanya?"
"Bagus!
Jadi kamu berani melawan Gagak Seta?" Titisari girang. Sebab dalam
hatinya, ia lagi mencari siasat memancing lawan agar menantang Gagak Seta yang
lagi tidur berdengkur dalam gubuk.
"Kamu
kira apa aku ini?" Damprat Yuyu Rumpung sengit.
"Bagus!
Jadi kamu tak takut, kalau tiba-tiba Gagak Seta muncul di depanmu?"
"Apa
yang kutakuti?"
"Kau
tak takut kegarangannya?"
"Bih!
Masa aku takut? Biarpun dia bule seperti Baladewa. Aku takkan bisa kejangkitan
bulenya? Ohooo..."
"Bagus!
Kamu menghina pamanku. Dia berada dalam gubuk!" gertak Titisari. Tetapi
Yuyu Rumpung
sudah yakin semenjak tadi, kalau
Gagak Seta tidak ada di antara mereka.
Itulah
sebabnya dia begitu berani. Maka dengan membusungkan dada, ia meledek.
"Kalau
benar, suruhlah dia keluar! Seribu Gagak Seta suruhlah mengkerubutku dan aku
takkan mundur selangkah pun juga."
Berbareng
dengan kalimatnya yang penghabisan, terdengar suara orang mendehem dari dalam gubuk.
Itulah dehem Gagak Seta yang terbangun oleh caci-cercanya. Maka terdengar suara
Gagak Seta nyaring.
"Nona
manis! Tolong hajar pipinya si Monyet meloncat parit terenggut Babi Buduk
kesodok Anjing Kencing!"
Titisari
heran mendengar ucapan Gagak Seta. Tapi dasar ia cerdas, mendadak saja tahulah
dia maksud orang tua itu. Bukankah Monyet melompat parit itu adalah nama jurus
Ilmu Ratna Dumilah yang berbunyi, Amangkurat Mas melintasi
perbatasan-perbatasan? Dan arti terenggut Babi Buduk adalah nama jurus dipegat
Opsir Belanda. Sedangkan istilah kesodok Anjing Kencing, maksudnya dihancurkan
Ontung Surapati. Hanya saja istilah-istilah nama jurus Ilmu Ratna Dumilah itu
diganti demikian rupa, agar tak diketahui lawan sambil menghinanya.
Titisari
jadi geli setelah dapat menebak maksud Gagak Seta. Waktu itu ia melihat, Yuyu
Rumpung sedang bersiaga hendak melancarkan serangan. Ia berbimbang-bimbang.
Pikirnya, dia menyuruhku menggunakan tiga jurus Ratna Dumilah dengan sekaligus.
Apakah dia sudah bisa menebak maksud lawan. Percaya kepada kehebatan ilmu Gagak
Seta, gadis itu lantas saja melancarkan serangan jurus pertama sebagai kelinci
percobaan. Hasilnya sungguh mengagumkan. Mendadak saja Yuyu Rumpung gugup
merubah jurus serangannya menjadi suatu pertahanan. Keruan saja, Titisari terus
memberondong dengan dua jurus berikutnya. Di luar kesadarannya sendiri
tangannya mendadak saja sudah menggaplok pipi kanan Yuyu Rumpung. Untung,
tangannya belum bertenaga. Meskipun demikian, sebagai pendekar besar Yuyu
Rumpung malu bukan main.
"Monyet!"
makinya. "Apa kamu sudah sekarat?"
Terdengar
suara Gagak Seta dari dalam gubuk, "Kuda Binal mendupak pantat, tercebur
dalam kubangan Kopi, kena sambar geledek Tikus, keserobot Babi Gering."
Titisari
jadi tertawa cekikikan mendengar kalimat-kalimat pengganti istilah jurus Ratna Dumilah.
Ia kini percaya benar, kalau orang tua itu dengan tepat dapat menebak kemauan
musuh, garis pertahanannya dan jurus-jurus serangannya. Maka tanpa ragu-ragu
lagi, ia terus mendesak.
Yuyu
Rumpung mendengar pula ucapan Gagak Seta. Ia sibuk menduga-duga. Maka begitu
melihat serangan Titisari, cepat ia bersiaga. Sebagai seorang pendekar kawakan,
ia tak menjadi gugup menghadapi macam serangan bagaimanapun hebat dan anehnya.
Hanya saja ia heran, mengapa dia tadi bisa kena tamparan. Padahal dia sudah
ber-siaga-siaga pula. Bahkan diam-diam sudah mempersiapkan suatu serangan
balasan. Apakah orang yang mengkisiki gadis itu mempunyai mata dewa, pikirnya
menebak-nebak.
Tapi
kali ini pun dia kena jebak pula. Jurus-jurus yang sudah dipersiapkan jadi
macet. Sebaliknya, gerakan Titisari seperti mempunyai mata. Dengan gesit, kedua
tangan dan kakinya berserabutan. Dan hati-hati Yuyu Rumpung melayani. Ia
mencoba berlaku seksama. Tapi aneh! Masih saja lututnya kena sapu. Meskipun tak
sampai jatuh, namun tubuhnya tergetar juga.
"Kurangajar!"
makinya kemudian berkata nyaring mengarah ke gubuk, "Tolong! Siapa orang
cendekiawan yang bersembunyi dalam gubuk?"
Sampai
sekian lama ternyata dia belum juga mengenal suara siapa yang bersembunyi dalam
gubuk. Sebaliknya, Gagak Seta tak mengindahkan. Waktu itu dia lagi
menggerayangi masakan Titisari yang sudah disiapkan di atas tanah. Dia makan
seperti kuda keranjingan. Menghantam daging, menggerogoti paha ayam. Mencicipi
sayur dan menyikat habis gorengan ikan sungai.
Yuyu
Rumpung jadi penasaran. Sebagai seorang penasehat sang Dewaresi yang berwibawa
di daerah Banyumas, ia merasa terhina. Maka dengan tak segan-segan lagi, ia
mendesak Titisari sampai keripuhan. Berkali-kali gadis itu terancam bahaya.
CJntung dia gesit, sehingga senantiasa dapat menghindari semua pukulan.
Sebaliknya, Sangaji jadi cemas. Tanpa mengukur kepandaian sendiri, ia melompat
kembali ke gelanggang.
"Sekarang
aku minta sambel goreng dan bergedel anjing," seru Gagak Seta dari dalam
gubuk.
Ternyata
sambil menikmati makanan, orang tua itu masih bisa juga memberi
nasihat-nasihat.
Titisari
segera tahu maksud Gagak Seta. Cepat
luar biasa, ia
mendorong Yuyu
Rumpung
ke suatu sudut tertentu. Kemudian ia memberi isyarat kepada Sangaji agar
memukulnya. Dan tanpa ragu-ragu lagi, Sangaji terus saja melontarkan pukulan
sakti Ilmu Kumayan Jati jurus pertama dan jurus kedua dengan sekaligus.
Yuyu
Rumpung terkejut luar biasa. Ia kenal, kehebatan pukulan Sangaji. Karena itu,
dengan mati-matian ia mengelak dan menjatuhkan diri bergulungan di atas tanah.
Setelah dapat berdiri kembali, segera ia berseru nyaring.
"Tuan
yang bersembunyi di dalam gubuk. Sudilah Tuan memperkenalkan nama Tuan, agar
aku tahu diri."
Tapi
sekali lagi, Gagak Seta tak mempedu-likan. Enak saja, dia menggerumuti makanan
sambil memberi petunjuk-petunjuk dari dalam dinding.
Titisari
dan Sangaji heran bukan kepalang. Semua jurus-jurus yang dianjurkannya selalu
tepat. Dia seperti sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan lawannya. Itulah
sebab-nya, kerjasama mereka bertambah yakin dan yakin.
"Bangsat!
Babi!" maki Yuyu Rumpung kalang kabut. Segera dia berusaha mendesak, tapi
selalu saja dapat digagalkan olehjurus-jurus kedua anak muda yang terpimpin
dari jauh. Kartawirya yang menonton dari luar gelanggang jadi penasaran pula.
Ingin dia membantu, tapi segan kepada gurunya. Sebab kalau dia terus
menceburkan diri dalam gelanggang tanpa seizinnya adalah bagai merendahkan
derajat sang guru. Karena itu, seperti cacing terinjak ia bergelisah seorang
diri.
Setelah
cukup menghajar Yuyu Rumpung pulang-balik, akhirnya Gagak Seta berkata,
"Nona manis! Tolong kisikkan kepada binatang itu, siapakah sebenarnya yang
berkata ini dan bilang, agar dia jangan berkisar dari tempatnya."
Mendengar
perkataan Gagak Seta, Titisari segera berkata sambil mendesak, "Hai kau
binatang botak! Tahukah siapa yang berada di dalam gubuk itu? Dialah Paman
Gagak Seta yang sudah kuberitahukan kepadamu terlebih dahulu. Dia minta agar kamu
jangan berkisar dari tempat."
Mendengar
ujar Titisari, Yuyu Rumpung masih saja belum percaya, la berbimbang-bimbang.
Dengan
mata melotot ia men-damprat.
"Hm...
kaukira apa aku ini, sampai bisa kaugertak?" Titisari hendak membalas
dampratan itu, mendadak ia mendengar Gagak Seta berkata nyaring.
"Nona
manis! Kemarilah sebentar! Dan biarkan anak tolol itu melayani anjing buduk
itu. Suruhlah menggempurnya dengan tiga jurus terus-menerus. Dan tak bakal dia
berani mendekat."
Benar
juga. Ketika Sangaji terus-menerus menggempur Yuyu Rumpung dengan tiga jurus
ilmu sakti Kumayan Jati, tak berani pendekar botak itu mendekati. Ia melompat
mundur dan berdiri dalam jarak sepuluh langkah. Dengan begitu, lambat-laun
pertempuran jadi berhenti sendiri.
Dalam
pada itu, Titisari datang memasuki gubuk. Dan tak lama kemudian, keluar lagi
dengan membawa sebatang tongkat terbuat dari baja putih ). Tongkat baja putih
itu berkilauan, tatkala kena pantulan surya. Dan itulah kelebihannya ketika
dibandingkan dengan tongkat yang terbuat dari kayu atau besi atau baja hitam.
Selain itu tidak ada keistimewaannya lagi. Meskipun demikian, ketika Yuyu
Rumpung melihat tongkat tersebut, lantas saja menjadi pucat lesi.
Tubuhnya
menggigil. Sangaji dan Titisari tidak heran lagi, mengapa Yuyu Rumpung kemudian
menjadi ketakutan. Mereka sudah menyaksikan tatkala Yuyu Rumpung kena gertak
Gagak Seta dalam gua dua hari yang lampau. Hanya saja, mereka tak mengira
pendekar botak itu sampai menggigil tubuhnya.
Paman
Gagak Seta berkata, "Kamu binatang disuruh memilih macam hukuman. Apakah
hukuman seperti di Gombong atau menerima pukulan kawanku ini," kata
Titisari.
Mendengar
ujar Titisari, Yuyu Rumpung sekaligus menjatuhkan diri di atas tanah. Ia
menyembah berulang-kali ke arah gubuk. Kemudian berkata minta dikasihani.
"Kasihanilah
hambamu. Jika paduka sudi mengampuni hamba, mulai detik ini takkan lagi berani
bertemu dengan paduka..."
Titisari
segera balik ke gubuk. Berapa saat lagi, ia datang kembali seraya berkata,
"Karena kamu berani berkata, maka Paman Gagak Seta memutuskan begini, kau
tetap belajar kenal dengan pukulan kawanku ini ditambah mulai detik sekarang,
jangan mengusik kami berdua. Jika melanggar dua larangan itu, nyawamu akan
dicabut dari sedikit demi sedikit. Nah, jawablah tanpa kata-kata! Suaramu
terlalu berisik."
Yuyu
Rumpung tahu arti kata mencabut nyawa sedikit demi sedikit. Yakni hukum picis,
biasanya orang yang kena hukum picis, tubuhnya diikat pada suatu pohon. Lantas
kulitnya dirusak. Setelah itu dikupas. Kemudian anggota tubuhnya dipagasi satu
demi satu. Isi perut dan jantungnya akan dikeluarkan dan baru ditikam sampai
mati. Karena itu, tubuhnya bertambah menggigil. Kejadian itu menunjukkan,
betapa berwibawa nama Gagak Seta di depan matanya. Padahal dia termasuk salah
seorang pendekar sakti undangan Pangeran Bumi Gede.
"Nah,
bagaimana?" gertak Titisari seraya mengacungkan tongkat Gagak Seta.
Tanpa
berani melepaskan sepatah kata, Yuyu Rumpung memanggut-manggut sambil mencium
tanah.
"Bagus!"
seru Titisari girang. Segera ia mengedipi Sangaji, agar melepaskan satu jurus
ilmu sakti Kumayan Jati. Tapi Sangaji berbimbang-bimbang. Anak muda yang jujur
hati itu, kemudian lari memasuki gubuk, berkata kepada Gagak Seta, "Paman!
Ampuni dia!"
"Apa
kau bilang! Ampuni?" bentak Gagak Seta. Selama bergaul beberapa hari itu,
belum pernah Sangaji mendengar dan melihat Gagak
Seta
membentak begitu garang. Biasanya orang tua itu, gemar bersenda-gurau dan
melucu. Karena itu, hatinya terkesiap dan samar-samar tahulah dia mengapa Yuyu
Rumpung bisa ketakutan setengah mati terhadapnya. Pastilah orang tua itu, di
saat-saat tertentu bisa berbuat kejam luar biasa.
"Ya...
aku memintakan ampun baginya," ujar Sangaji. "Karena memukul orang
tanpa perlawanan adalah suatu perbuatan pengecut."
"Hm,
kau tahu apa perkara pengecut dan tidak. Perkara perbuatan ksatria dan tidak.
Dia orang jahat! Sekiranya tidak ada aku, bagaimana bisa dia membiarkan kamu
hidup utuh? Pastilah tubuhmu akan dicincang dan dijadikan bergedel. Nah,
lakukan perintahku! Kau nanti tahu, siapakah dia sebenarnya."
Diingatkan
akan perangai Yuyu Rumpung, mau tak mau Sangaji harus mengangguk. Memang, orang
itu kejam luar biasa. Hampir saja dia mampus tatkala kena tindih di halaman
kadipaten Pekalongan dahulu. Teringat akan perlakuan orang itu terhadap
Panembahan Tirtomoyo, hatinya menjadi mendongkol pula. Karena itu, meskipun
hukuman Gagak Seta terasa kurang berkesan perwira baginya, setidak-tidaknya apa
yang dikatakan tentang dasar watak Yuyu Rumpung sebagian besar meyakinkan hatinya.
Perlahan-lahan
dia mendekati Yuyu Rumpung yang sudah berdiri tegak menunggu hukuman.
Benar-benar orang tua itu tak berani berkutik. Tapi matanya melototi penuh
kegusaran kepada Sangaji dan Titisari. Kartawirya pun yang berada di luar
gelang-gang, tak dapat berbuat sesuatu untuk meringankan hukuman guru besarnya.
Cekatik dan Maling, terpaksalah dia menyaksikan pelaksanaan hukuman itu.
"Hai manusia mencari gebuk!" kata Titisari girang. "Kamu sudah melukai Panembahan Tirtomoyo, kakek
kawanku itu. Kecuali itu, sudah untuk sekian lamanya menguber-uber dan mengusik
ketenteramannya. Dosamu sudah terlalu besar. Apa lagi berani menghina dan
menantang Paman Gagak Seta. Kalau saja, kepalamu masih bisa menancap di atas
lehermu, sudah merupakan suatu karunia besar."
Yuyu
Rumpung tak berani membalas. Hanya, kedua matanya melotot begitu hebat
seakan-akan mau copot. Hatinya geram bukan main seumpama tidak ada Gagak Seta,
entah apa yang akan dilakukan untuk men-cingcang kedua muda-mudi itu.
Titisari
kemudian memberi isyarat kepada Sangaji.
"Sekarang
hukuman akan dilakukan. Awas, jangan berani kamu mengelak. Paman Gagak Seta
mengintip dari balik dinding."
Terhadap
Gagak Seta, Yuyu Rumpung sudah takluk sampai ke bulu-bulunya. Tapi terhadap
Sangaji, bagaimana dia bisa mengaku kalah? Meskipun demikian, tak berani dia
membantah. Mau tak mau dia harus menerima semua perlakuan Sangaji dan Titisari.
Waktu
itu, Sangaji sudah meliukkan tubuh. Tadi, dia hendak menggunakan sebagian
tenaganya saja. Tapi karena mendengar ancaman Titisari bahwasanya Gagak Seta
mengintip dari balik dinding, terpaksa ia menggunakan seluruh tenaganya.
Lututnya lantas saja menekuk dan terlepaslah pukulannya. Dan hebat akibatnya.
Tubuh Yuyu Rumpung nampak bergo-yang-goyang, la seperti kebal dari pukulan
Kumayan Jati. Ia tersenyum menunggu kepu-tusan. Mendadak saja, dia Iontak darah
dan tubuhnya jadi sempoyongan. Dengan begitu, perlakuannya terhadap Panembahan
Tirtomoyo telah terbalas. Titisari jadi girang. Dengan bertolak pinggang ia
lantas berkata, "Itulah hukumanmu yang setimpal. Sekarang, enyah dan
jangan lagi berani mencoba mengganggu kami berdua."
Dengan
memaksakan diri, Yuyu Rumpung membungkuk ke arah gubuk sambil berkata,
"Terima kasih atas kemurahan Paduka..."
Setelah
itu melototi Sangaji dan Titisari. Kemudian berjalan tertatih-tatih
meninggalkan gelanggang bersama keempat muridnya yang sudah bangkit.
Titisari
kagum kepada daya tenaga pukulan Sangaji yang bisa merontokkan jantung Yuyu
Rumpung. Ia memuji dan girang menyaksikan kemajuannya. Tetapi tatkala menghadap
Gagak Seta, orang tua itu nampak bersungut-sungut.
"Mestinya,
kamu harus bisa merontokkan tulang-belulangnya," katanya menyesali.
"Tapi jika dibandingkan dengan tenaga pukulanmu kemarin, sekarang nampak
ada kemajuannya."
Mereka
bertiga kemudian menghadapi hidangan. Tadi Titisari sudah selesai memasak
hidangan-hidangan yang direncanakan untuk hari itu, kini tinggal sisa-sisanya
belaka, kare-na sebagian besar sudah disikat habis oleh Gagak Seta. Tetapi
kedua muda-mudi itu tak mengambil pusing, sebab hidangan itu memang sengaja
diperuntukkan baginya. Kalau Gagak Seta bisa terus menerus tertawan oleh suatu
hidangan-hidangan tertentu, dapat diharapkan sudi berada bersama mereka lebih
lama lagi. Artinya, mau tak mau ilmu Gagak Seta bisa dikorek sedikit demi
sedikit.
"Paman!"
ujar Titisari. "Yuyu Rumpung si binatang botak tadi terkejut setengah
mati, tatkala aku menyebutkan hukuman seperti Gombong. Mengapa?"
"Tentu
saja," sahut Gagak Seta sambil tertawa. Kalau kera buduk itu berani
membantah, aku akan memperlakukannya seperti tatkala di Gombong. Peristiwa itu
terjadi kira-kira pada lima belas tahun yang lalu. Kera buduk itu percaya
kepada suatu kepercayaan, bahwa seorang laki-laki bisa mempertahankan
kemudaannya, jika sekali-kali merusak kesucian gadis-gadis belasan
tahun..."
"Apanya
yang dirusak?" Titisari minta keterangan.
Titisari adalah
seorang gadis yang
polos. Umurnya lagi
menginjak delapan belasan
tahun.
Belum
banyak ia hidup dalam masyarakat, karena baru untuk pertama kalinya ini dia
hidup berpisah dari orangtua. Semenjak kanak-kanak, ia hidup di samping orang
tuanya jauh di seberang lautan. Sama sekali, ia tak mengenal arti pergaulan antara
pemuda dan pemudi. Dia hanya mendengar kabar, bahwa pada suatu kali orang mesti
kawin. Di Karimun Jawa pun seringkali dia melihat penduduk setempat saling
kawin dan kemudian mempunyai anak. Mengapa semuanya itu terjadi, otaknya yang
masih kanak-kanak belum sampai mempersoalkan. Dalam sehari-harinya, ia hanya
menekuni pelajaran-pelajaran dan pendidikan dari ayahnya. Tatkala ibunya
meninggal gara-gara perbuatan Abu dan Abas, hatinya lantas menjadi gelisah.
Ayahnya tidak lagi seramah dahulu. Dia, hanya nampak uring-uringan dan
menghajar semua pegawainya. Terhadap dirinya, tak lagi ayahnya menaruh
perhatian. Karena merasa sebal, lantas ia minggat. Pada saat itulah dia mulai
mengenal arti penghidupan sebenarnya. Pengalaman-pengalamannya cukup pahit
karena dia harus berjuang sendiri mencari sesuap nasi. Mula-mula dia
mengan-dalkan harta benda yang dibekalnya. Setelah habis, mulailah dia
menanggung sengsara. Kemudian bertemulah dia dengan Sangaji. Ia senang bergaul
dengan pemuda itu. Di luar kesadarannya sendiri, ia merasakan suatu kesedapan
rasa yang manis luar biasa. Perasaan naluriahnya lantas tumbuh tanpa diketahui
sendiri. Rasanya ia enggan berpisah dengan pemuda itu biar seujung rambut pun.
Tatkala
berpisah beberapa hari dengan Sangaji, hatinya terasa menjadi sepi. Maka
berpikirlah dia tentang pengertian suami-isteri. Menurut jalan pikirannya,
seorang isteri takkan pisah lagi dari suaminya. Karena tak ingin berpisah lagi
dari Sangaji, ia merasa dirinya menjadi isterinya. Dengan sendirinya Sangaji
adalah suaminya. Selebihnya dia masih gelap.
Gagak
Seta terdiam sejenak, ketika mendengar pertanyaan Titisari. Sulit ia
menjawabnya. "Kelak saja, jika kamu pulang kembali ke rumah tanyalah hal
itu kepada ibumu." "Ibu sudah lama meninggal," sahut Titisari.
"Oh..."
Gagak Seta terdiam lagi. Kemudian seperti memutuskan, "Baiklah... jika
demikian, beberapa tahun lagi kamu akan mengerti. Suatu kali, kalau aku
menghadiri perayaan perkawinanmu... pastilah kamu akan mengerti tanpa
penerangan lagi..."
Muka
Titisari jadi merah dadu. Bukan disebabkan soal khayal perhubungan
suami-isteri, tapi karena arti perkawinan itu sendiri. Ia malu terhadap
Sangaji, karena orang tua itu seolah-olah membongkar kehendak hatinya.
"Baiklah,
jika Paman tak sudi menerangkan," katanya.
Gagak
Seta menjadi lega hati mendengar ujarnya. Lantas meneruskan ceriteranya.
"Pokoknya,
si kera buduk itu mempunyai 45 gadis-gadis yang diperolehnya dari hasil
penyerobotan, paksaan dan ancaman. Mereka semua hendak dikawini. Kautahu?"
Samar-samar
Titisari mulai mengerti. Mendengar Yuyu Rumpung hendak mengawini 45 orang
gadis, hatinya menggeridik. Seumpama Sangaji isterinya sebegitu banyaknya,
pastilah dia tak terpandang lagi. Dan itu bukan tujuannya.
"Ih!"
serunya. "Bagaimana mengurusnya?"
"Bukan
diurusnya lagi. Hanya dikumpulkan belaka. Mereka tersiksa lahir batinnya. Coba
bayangkan, seumpama Sangaji mempunyai isteri sekian banyaknya, bagaimana
perasaan-mu?"
Titisari
terkejut. Terasa suatu kepahitan menggigit hatinya. Tanpa merasa, air matanya
jadi berlinang.
"Aku
mendengar kabar itu," Gagak Seta meneruskan. "Mula-mula kuanggap
sebagai dongeng. Ketika benar-benar terjadi, dia segera kubekuk dan kuhajar
sampai kepalanya botak. Setelah itu dia kusuruh telanjang. Kedua lengannya
kuikat erat dengan tongkat itu. Kemudian kupaksa mengantarkangadis-gadis itu
pulang kembali ke kampung halamannya dengan telanjang bulat.
Bisa
kaubayangkan bagaimana hatinya tersiksa oleh hukuman itu..."
Gagak
Seta tertawa gelak terkenang oleh peristiwa itu. Ujarnya lagi, "Hatiku belum
puas juga. Tubuhnya lantas kusiram air gula dan kuborehi ) daging mentah.
Setelah itu, ku-kerumunkan pula segenggam semut merah dan serangga. Sudah
barang tentu, dia mencak-mencak ribut tak keruan. Sebab seluruh tubuhnya lantas
saja menjadi gatal kena gigit semut merah dan panas diserang serangga..."
Sangaji
ngeri membayangkan hukuman itu. Sebagai seorang laki-laki dapatlah dia
merasakan bagaimana hebat siksaan batin Yuyu Rumpung tatkala melakukan hukuman
itu. Kecuali malu bukan main, tubuhnya tersengat hebat oleh bisa serangga dan
semut merah. Belum lagi, disoraki orang sepanjang jalan dan harus pula
mengantarkan pulang 45 orang gadis yang tempat tinggalnya berpencaran di
kotanya masing-masing. Tapi Titisari berkesan lain. Gadis itu bahkan bersyukur dalam
hatinya, mendengar kabar siksaan hati Yuyu Rumpung. Katanya setengah bersorak,
"Mestinya
dia harus Paman siksa berjalan terbalik. Nah, itu namanya baru pantas..."
"Tidak!
Tidak!" bantah Gagak Seta penuh kemenangan. "Hukuman itu lebih berat
daripada dihukum mati."
"Ah!
Apakah begitu?" gadis itu heran.
"Ya.
Dan dia kuancam lagi. Apabila sampai bertemu aku kembali, nyawanya akan kucabut
sedikit demi sedikit. Itulah sebabnya. Ia ketakutan setengah mati."
Titisari
diam seperti lagi memikirkan sesuatu.
"Tongkat
Paman seperti mempunyai keramat. Tahulah aku sebabnya, karena dia pernah
terikat erat-erat pada tongkat itu. Begitu melihat tongkat itu, lantas saja ia
teringat siapa pemiliknya. Tetapi... sebaliknya kejadian tadi merupakan soal
rumit bagi kami berdua. Bukankah kita tak bakal hidup bersama-sama untuk
selanjutnya? Aku tahu, pada suatu kali Paman pasti meninggalkan kami. Bagaimana
kalau dia kemudian membalas dendam dan melampiaskan amarahnya kepada
kami?"
Gagak
Seta tertawa terbahak-bahak sambil menyahut, "Otakmu memang cerdik seperti
iblis benar. Aku tahu maksudmu. Kau ingin aku mewariskan seluruh Ilmu Kumayan
Jati kepada bakal suamimu sampai bisa danberbareng memberi ilmu lain kepadamu.
Baiklah! Apa boleh buat, aku sudah kepincut dengan masakanmu. Nah, carilah
resep makanan dan masakan kira-kira seratus macam. Selama itu, kukira kalian
berdua sudah bisa menaklukkan orang-orang gagah di seluruh kepulauan Jawa
ini."
Mendengar
ujar Gagak Seta, Titisari girang luar biasa. Lantas saja ia menyambar
perge-langan tangan Gagak Seta dan dibawanya lari ke pinggir hutan. Di sana
Gagak Seta menurunkan dua ilmu sakti lagi kepadanya. Sedangkan kepada Sangaji,
ia mewariskan sembilan jurus ilmu sakti Kumayan Jati sekaligus dengan
pecahan-pecahannya. Dengan demikian, pada hari itu juga Sangaji sudah memiliki
ilmu sakti Kumayan Jati yang terbagi menjadi dua bagian. Yakni keras dan lunak.
Tetapi
mempelajari gaya jurus ilmu Kumayan Jati, bukanlah mudah. Sangaji diajar
melompat tinggi di udara. Di sana dia harus bisa berputar dan turun ke bawah
dengan melontarkan serangan. Menyerang dari atas mempunyai daya tekanan dua
kali lipat. Tatkala Gagak Seta memberi contoh, tanah yang jadi sasaran bidikan
sekaligus am-blong ) menjadi kubangan sedalam dua langkah seorang laki-laki.
Bisa dibayangkan bagaimana hebat tenaganya.
Untuk
memahami kesembilan jurus ilmu sakti Kumayan Jati ini, Sangaji membutuhkan
waktu sepuluh hari lamanya. Selama itu. Titisari melayani selera Gagak Seta
dengan secermat-cermatnya. Orang tua itu merasa puas dan tak habis-habisnya
memuji keahliannya.
Tujuh
hari kemudian, Sangaji mulai dapat menguasai pecahan-pecahannya kesembilan
jurus sakti Kumayan Jati. Memang Ilmu Kumayan Jati bukan ilmu sembarangan.
Nampaknya sederhana tetapi mengandung rahasia pukulan luar biasa bagusnya.
Kecuali itu, memiliki segi-segi bidikan yang dapat menyekat dan menguasai semua
penjuru bidang gerak. Inilah keistimewaannya.
Sesungguhnya
Ilmu Kumayan Jati adalah ilmu andalan Gagak Seta hasil dari ciptaannya sendiri.
Ilmu itu berdasarkan kunci sari-sari Ilmu Kawrastan, Pangabaran Sepi Angin,
Pemepesan, Bandung Bondowoso, Lebur-seketi, Gimeng, Lindupanon dan Narantaka.
Konon menurut cerita, ilmu-ilmu itu adalah milik Syanghyang Wenang, Syanghyang
Tunggal, Resi Abiyasa, Manikmaya, Hanuman, Gondomono, Drestarata, Kasipu, Resi
Seta,
Pandudewanata
dan Harjuna. Gagak Seta berhasil meleburnya menjadi satu. Setelah ditekuni
bertahun-tahun lamanya, ia berhasil menciptakan ilmu sakti luar biasa yang
diberinya nama, Kumayan Jati. Dulu ia mengadu kesaktian melawan Kyai Kesambi,
Kyai Haji Lukman Hakim, Pangeran Mangkubumi I, Adipati Surengpati, Kebo Bangah
dan Pangeran Samber Nyawa. Ilmu Kumayan Jati belum rampung diciptakan. Seumpama
sudah rampung pasti dia merebut gelar pendekar sakti nomor satu. Meskipun
demikian, ilmunya yang belum paripurna sudah memperoleh pujian hebat dari semua
yang hadir. Bahkan mereka semua mengagumi dan menyegani. Dengan demikian,
Sangaji merupakan seorang yang kejatuhan rejeki tak ternilai har-ganya. Karena
ialah satu-satunya orang sepanjang sejarah yang kelak dapat mewarisi Ilmu
Kumayan Jati seluruhnya.
Titisari
pun tercatat pula oleh sejarah sebagai seorang wanita suku Jawa satu-satunya
yang memiliki ilmu prajurit ). Dialah sebe^ narnya yang berhak mendapat julukan
Srikandi untuk yang pertama kalinya. Dari Gagak Seta ia mewarisi beberapa ilmu
sakti yang bercampur aduk. Yakni: Ilmu Pameling, Mundri, Panitisan,
Pranawajati, Pramanajati, Condobirowo, Pangabaran, Poncosona, Panra-wangan dan
Pengesanan. Dan dari ayahnya ia mewarisi ilmu siasat ilmu alam, ilmu falak dan
ilmu pelarutan.
Dalam
sebulan saja, mereka berdua sudah menjadi manusia-manusia baru. Mereka kini,
bukan lagi seperti sepasang muda-mudi yang dahulu. Tubuhnya menjadi kekar,
cekatan, gesit dan padat. Otaknya mendadak saja menjadi cerah dan terang.
Sangaji sendiri yang sering di sebut sebagai seorang pemuda tolol tiba-tiba
saja tersulap menjadi seorang pemuda yang cerdas. Inilah berkat pengkajian dan
usaha keseimbangan antara sari-sari Ilmu Bayu Sejati dan Kumayan Jati yang
bersandar pada daya sakti Dewadaru.
Pada
suatu hari, mereka telah berada dekat Dusun Karangtinalang. Selama bergaul satu
bulan itu, mereka selalu berpindah-pindah tempat mendekati tujuan. Gagak Seta
kini bersikap lain kepada Sangaji. Meskipun bukan seperti guru, namun sikapnya
lebih ramah daripada dahulu.
Waktu
itu sore hari, matahari hampir tenggelam di balik gunung. Gagak Seta memanggil
Sangaji
dan Titisari menghadap padanya. Orang tua itu kemudian berkata,
"Anak-anak! Kita sudah berkumpul lebih dari satu bulan lamanya. Sudah tiba
waktunya kita berpisah."
Mereka
berdua sudah barang tentu terkejut mendengar berita itu. Serentak Titisari
berkata tinggi.
"Paman!
Jangan Paman meninggalkan kami. Aku masih mempunyai beberapa resep masakan yang
harus Paman nikmati..."
"Anakku,"
kata Gagak Seta penuh kasih. "Ingat, tidak ada pesta yang tidak bubar.
Kautahu, biasanya aku tak pernah mengajar orang lain lebih dari tiga hari.
Tetapi terhadap kamu berdua, sudah melebihi satu bulan lamanya. Aku tak bisa
tinggal lebih lama lagi."
"Kenapa?"
Titisari minta keterangan dengan cemas.
"Ilmuku
akan kalian kuras habis..."
"Ah,
Paman! Paman seorang yang berbudi. Hati Paman begini mulia dan baik. Dahulu
pernah aku mendengar pepatah bahasa dari Ayah. Bunyinya begini, 'Sekali kamu
berbuat suatu kebajikan, pertahankan kebajikan itu selama hayatmu dikandung
badan', " kata Titisari mengambil hati. "Paman sudah menurunkan
kesembilan bagian ilmu sakti Kumayan Jati. Itu baru separuhnya. Jika
Paman
menurunkan yang sembilan jurus lagi, bukankah akan lengkap jadinya. Dengan
demikian, sejarah Paman ada bekasnya. Karena Sangajilah orang yang akan memupuk
dan mengagungkan ilmu Paman."
Gagak.Seta
tertawa terbahak-bahak sambil meludah ke tanah. Katanya tak senang hati,
"Janganlah kamu mendongeng tentang suatu kebajikan. Aku bukan orang
berbudi. Aku bekerja menurut kemauanku sendiri dan takkan membiarkan diriku
diperintah siapapun juga. Biar malaikat pun, apa peduliku. Sekarang aku mau
pergi dan pergilah aku."
Sehabis
berkata demikian, dengan sebat ia menyambar tongkatnya. Kemudian terus saja
bangkit dan pergi meninggalkan mereka.
Titisari
dan Sangaji bingung bukan kepalang. Mereka saling pandang dan tak tahu lagi,
apakah yang harus dilakukannya. Seperti saling memberi isyarat, mereka kemudian
lari menyusul. Tetapi Gagak Seta bukan orang sembarangan. Sekali berkelebat,
tubuhnya telah lenyap.
"Paman!
Paman!" teriak Sangaji. "Aku ' adalah muridmu... Sekian lama aku
mengabdi padamu belum pernah aku menyatakan sebagai muridmu. Kini dengan saksi
bumi dan langit, aku mengakui Paman sebagai guruku.
Dan
Paman sudah menurunkan ilmu sakti kepadaku. Sedangkan aku belum dapat membalas
budi. Paman! Dengarkan suaraku ini. Aku ingin membalas jasa dan budi Paman.
Katakan, apakah yang harus kulakukan!"
Sangaji
adalah seorang pemuda yang kukuh hati, sehingga tak gampang-gampang ia mengakui
seorang sebagai gurunya. Meskipun andaikata orang itu kepandaiannya melebihi
kedua gurunya. Dahulu dia pernah menolak pula kehendak baik Gagak Seta, tatkala
akan menurunkan ilmu saktinya dengan janji tidak diperkenankan berkabar kepada
Titisari. Itulah suatu bukti, kalau dia bukanlah seorang pemuda yang serakah
atau mudah kepencut. Tetapi kini, di luar dugaannya tiba-tiba menyebut diri
sebagai murid dan mengakui Gagak Seta sebagai gurunya. Hal itu membuktikan,
kalau dia benar-benar menaruh hormat kepada orang tua itu.
Tetapi
di luar dugaan pula, Gagak Seta mendadak muncul kembali sambil menggertak.
"Apa
kau bilang? Benar-benar aku mengajarmu rahasia ilmu sakti Kumayan Jati, tetapi
bukan karena aku sudi menerimamu sebagai murid dan aku sebagai gurumu. Tapi
semata-mata karena aku telah menggerogoti masakan kalian. Karena itu pula,
antara aku dan kalian tiada hubungan sama sekali sebagai murid dan guru. Nah,
selamat tinggal."
Sangaji
terperanjat mendapat jawaban demikian. Sebentar dia termangu-mangu, kemudian
dengan cepat terus saja hendak berjongkok melakukan sembah. Tetapi baru saja ia
menekuk lutut, sekonyong-konyong tubuhnya menjadi kaku. Ia melihat Gagak Seta
menyentilkan dua jari. Tahulah dia, bahwa orang tua itu sedang menyerangnya
dengan sentilan rahasia Ilmu Kumayan Jati yang bisa dibidikkan dari jauh.
Kemudian orang tua itu bersembah sambil berkata, "Ingat-ingatlah kejadian
ini. Di antara aku dan kamu tiada pernah menerima sembah sebagai suatu
peng-hormatan. Tadi kamu mau bersembah. Kini aku telah membalasnya. Jadi tiada
lagi hutang-piutang. Aku bukan gurumu dan kamu bukan muridku..."
Sampai
di sini Gagak Seta mengungkurkan Sangaji dan terus saja meloncat hilang sambil
menyentilkan jari. Seketika itu juga, Sangaji dapat bergerak. Ia heran
benar-benar menyaksikan perangai pendekar sakti itu. Tak tahulah dia, apa yang
harus dilakukan. Segera ia menoleh kepada Titisari untuk minta bantuan. Tetapi
gadis itu pun yang diakui cerdik luar biasa, hanya membungkam mulut. Nampak dia
sedang menghela napas panjang. Kesan mukanya muram mengibakan hati.
Di
luar dugaan, tiba-tiba terdengarlah suara Gagak Seta di kejauhan,
"Ih!" Dan tahu-tahu sudah muncul kembali di depan mereka.
"Awas!" katanya dengan pandang sungguh-sungguh. "Tabuan
Kelingking!"
Titisari
menghampiri orang tua itu. Tak tahu-lah dia, apakah maksud Gagak Seta.
Pandangnya menebak-nebak. Mendadak saja Gagak Seta menolak pundaknya, hingga
dia membungkuk tanpa dikehendaki sendiri. Dan kemudian dipentalkan sampai
mundur tujuh langkah.
*
* *
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 16 SENJATA RAHASIA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 16 SENJATA RAHASIA"
Post a Comment