BENDE MATARAM JILID 19 PUKULAN BESI TULANG
MENYAKSIKAN
kepergian Pringgasakti, Sanjaya berdiri tegak dengan hati ciut, bagaimana
tidak? Kini dia tak mempunyai andalan lagi untuk menghadapi Wirapati, Bagus
Kempong dan Sangaji. Yuyu Rumpung yang dijagoi terenggut tenaganya oleh pukulan
sakti Sangaji. Dia sendiri, sudah kehilangan tenaga himpun ilmu sakti Karimun
Jawa. Kini tinggal empat orang pembantunya yang belum boleh diandalkan. Yakni
Abdulrasim, Sawung-rana, Manyarsewu dan Cocak Hijau. Meskipun Wirapati dan
Bagus Kempong telah kehilangan senjata, tetapi pukulan sakti Sangaji tak boleh
dipandang ringan. Pringgasakti sendiri tak dapat melawannya. Memperoleh pikiran
de-mikian, mau tak mau ia harus memaksa diri menelan kenyataan pahit. Maka
dengan kepa-la menunduk ia berjalan melintasi lapangan menghampiri kudanya.
Ternyata kelima pendekar undangan ayahnya, pandai juga melihat gelagat. Merasa
tak ungkulan melawan pihak Wirapati, mereka cepat meninggalkan lapangan tanpa
memedulikan kehormatan diri.
"Aji!"
kata Wirapati setelah mereka mening-galkan lapangan. "Sungguh berbahaya!
Adik-angkatmu terdidik di tengah-tengah keluarga agung. Kau bisa memaafkan,
itulah baik. Tetapi untuk selanjutnya, engkau harus berhati-hati
menghadapinya."
Sangaji
menoleh. Belum dapat ia menangkap maksud gurunya. Karena itu, pandangnya tak
beralih.
Wirapati
tersenyum. Berkata, "Apakah kau kira sudah selesai persoalan kita pagi
ini? Hm, mereka seumpama angin laut, sebentar pergi sebentar datang pula dengan
tak ter-duga-duga. Apakah kau kira adik-angkatmu bekerja untuk kepentingan
diri? Hm, bagai-mana dia bisa menguasai pendekar-pendekar sakti begitu banyak.
Aku yakin bahwa di belakang punggungnya ada yang mengendalikan. Karena itu,
seumpama dia sadar akan kekeliruannya, tidaklah gampang-gampang dia membebaskan
diri dari orang yang me-ngendalikan."
Sangaji
mengerenyitkan dahi. Masih saja dia belum bisa mengerti. Wirapati yang mengenal
kesederhanaan otaknya, lantas saja mene-rangkan dengan sabar,
"Baiklah
kuberi tahu, bahwa adik angkatmu itu dipelihara oleh musuh besarmu."
"Siapa?"
"Siapa
lagi kalau bukan Pangeran Bumi Gede?"
Mendengar
gurunya menyebutkan nama Pangeran Bumi Gede, pemuda itu terperanjat. Bukankah
dia yang membunuh ayahnya? Teringat akan nasib ayahnya, tanpa disadari sendiri
seluruh tubuhnya menggigil.
"Akan
kucari dia! Akan kutuntut kekejamannya membunuh Ayah!" Sangaji meledak.
"Tetapi
apa
hubungannya dengan pusaka warisan Paman Wayan Suage?"
"Ah
bocah, dengarkan. Kematian ayahmu dahulu disebabkan pula karena memiliki pusaka
Pangeran Semono," sahut Wirapati cepat.
Pendekar
Bagus Kempong yang semenjak tadi berdiam diri, tertarik perhatiannya oleh
pembicaraan itu. Serentak dia minta keterangan, "Adikku Wirapati. Kau
membicarakan perkara pusaka Pangeran Semono. Apakah yang pernah dikabarkan oleh
guru kita sebagai warta takhayul?"
Wirapati
tertawa perlahan. Dengan meng-genggam tangan kakak seperguruannya erat-erat, ia
membawa berteduh di tepi lapangan.
"Biarlah
kuterangkan, apa sebab kakak menjumpai aku sedang bertempur melawan kerubutan
mereka."
Kemudian
berceritalah dia tentang pengala-mannya dua belas tahun yang lalu, tentang
peristiwa perebutan pusaka sakti Pangeran Semono sampai kembalinya ke daerah
Jawa Tengah. Setelah berpisah dengan Sangaji di batas kota Pekalongan, segera
ia berangkat dengan Nuraini ke Desa Karangtinalang. Dua hari lamanya ia
menunggu kedatangan Sa-ngaji. Karena iseng, diam-diam berangkatlah dia menjejak
pengalamannya dahulu tatkala bertempur melawan orang-orang Banyumas di tepi
sebuah petak hutan sebelah tenggara Desa Karangtinalang. la mencoba
mengingat-ingat tempat Wayan Suage dahulu disembunyikan di dalam semak belukar
untuk menghindari orang-orang dari Banyumas. Tetapi tempat itu susah ditemukan
lagi. Maklumlah, semuanya sudah berubah. Waktu itu hutan terbakar. Mestinya
semak belukar itu pun ikut terbakar pula. Memperoleh kenyataan demikian, segera
ia mencari sungai yang berlumpur.
Dahulu
dia menceburkan diri ke dalam su-ngai berlumpur itu agar dapat bebas dari
ancaman api. Ternyata sungai itu tak berubah. Hanya saja untuk menduga-duga di
mana Wayan Suage menyembunyikan benda pusaka Pangeran Semono adalah sulit
sekali. Timbul pulalah dugaannya, bahwa tiada mus-tahil Wayan Suage
menyembunyikan benda tersebut ke tempat lain.
Waktu
pulang ke pondok pada sore harinya, mendadak saja Desa Karangtinalang penuh
dengan laskar Pangeran Bumi Gede. la men-coba mencari Nuraini. Ternyata Nuraini
berpindah tempat juga. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu kedatangan Sangaji
di tempat lain. la yakin, bahwa kedatangan laskar Pangeran Bumi Gede pasti
mengenai benda warisan Wayan Suage. Karena itu, ia lebih tekun menebak-nebak di
manakah kiranya benda tersebut disembunyikan Wayan Suage. Tetapi usahanya
gagal. Tatkala pada hari itu dia mencoba menjenguk tepi sungai, para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede yang diperintahkan menjaga petak lembah sungai
memergoki. Dan terjadilah suatu pertempuran berat sebelah. Gntung, kakak
seperguruannya kala itu kebetulan lewat di daerah itu, sehingga ia memperoleh
bantuan.
"Dua
belas tahun kita berpisah ternyata kakak banyak berubah," kata Wirapati
sambil mengamat-amati Bagus Kempong. Tadi karena terlibat dalam suatu
pertempuran, ia tak sempat memperhatikan kakak-seperguruan-nya dengan saksama.
"Apakah
yang berubah?" sahut Bagus Kempong.
"Rambut
pelipismu sudah memutih. Jidat-mu bertambah pula dengan beberapa guratan.
Pastilah selama ini, kakak cukup sibuk dalam suatu darma perguruan kita. Hm,
aku berun-tung bisa hidup kembali dari suatu pengem-baraan dan kini dapat
berjumpa kembali dengan kakak... sungguh-sungguh aku..."
"Wirapati,
adikku," Bagus Kempong terharu mendengar luapan ucapan Wirapati yang
terbesit dari lubuk hatinya. "Memang kami semua berprihatin memikirkan
engkau yang tiada kabar beritanya. Kami semua diperin-tahkan turun gunung untuk
mencari beritamu.
Tetapi
engkau seperti terselimuti bumi, lenyap tiada bekas."
Mereka
lantas saja berpelukan erat. Dan Sangaji jadi perasa. Pikir anak muda itu,
"Dua belas tahun guru mengembara hanya untukku, dengan meninggalkan semua
yang dicintai. Alangkah besar budinya terhadapku. Budi besar setinggi gunung
itu, entah bagaimana caraku membalas..." Tak terasa, air mata anak muda
mengembeng pada gundu matanya. Mendadak saja, Wirapati berkata kepadanya.
"Kau
mengerti sekarang, bahwa api ben-cana itu dinyalakan oleh Pangeran Bumi Gede.
Dialah yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga orangtuamu. Dialah yang
membunuh orangtuamu dan akhirnya mencelakakan pamanmu, Wayan Suage. Dan dia
pulalah yang menaruhkan jurang dalam antara engkau dan adik angkatmu. Itulah
sebabnya kukatakan, bahwa engkau harus bersikap hati-hati terhadap
adik-angkatmu. Karena dia dididik dalam keluarga agung, yang terang-terang
menjadi musuh keluargamu."
Sekarang
barulah jelas bagi Sangaji maksud gurunya memperingatkan sikapnya terhadap Sanjaya.
Mengingat persahabatan orang tuanya, memang dia harus bisa bersikap memaafkan
dan lapang dada. Tetapi apakah Sanjaya memiliki pandangan dan sikap hidup
demikian, hanyalah setan dan malaikat-malaikat yang tahu.
"Guru,"
akhirnya dia berkata dengan hati-nya. "Apakah faedahnya memperebutkan
suatu pusaka yang bukan hakku? Pusaka Pangeran Semono itu entah kelak jatuh
kepa-da siapa, apa peduliku?"
Mendengar
ujar muridnya, Wirapati tertawa perlahan melalui dada. Teringatlah ia, bahwa
dahulu ia pernah mengucapkan kata-kata itu terhadap Wayan Suage dan Ki Hajar
Karang-pandan. Tak terduganya bahwa muridnya kini mewarisi sikapnya yang
perwira dan bersih sehingga mau tak mau ia jadi terharu juga.
"Aji!"
katanya menggurui, "Tak malu rasa-nya aku mempersembahkan terhadap guru
sebagai cucu-muridnya. Hanya saja, meng-ingat benda pusaka itu telah
merenggutkan nyawa orangtuamu dan pamanmu, alangkah akan sia-sia apabila engkau
bersikap dingin tak memedulikan. Lantas apakah arti korban ayah dan pamanmu?
Ingatlah, bahwa almar-hum pamanmu mempercayakan benda ke-ramat tersebut
kepadamu. Di alam baka be-tapa dia memperoleh ketenteraman, apabila engkau
mensia-siakan pesannya terakhir." Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan,
"Tentang siapa yang berhak memiliki pusaka tersebut, baiklah kita serahkan
kepada kakek-gurumu. Biarlah Beliau yang menentukan. Keputusan kakek gurumu tak
pernah salah."
"Adikku
Wirapati!" tiba-tiba Bagus Kempong menyahut.
"Benar-benar
aku merasa keripuhan men-dengar semua ujarmu. Engkau berbicara perkara pusaka
Pangeran Semono, pembi-nasaan orang-orang Banyumas dan kepen-tingan muridmu
memperebutkan benda ter-sebut. Eh, apakah pusaka itu benar-benar ada dalam
percaturan hidup ini?"
Wirapati
menoleh perlahan-lahan kepada kakak seperguruannya. Memang dahulu gu-runya
pernah mengabarkan adanya benda keramat itu. Tetapi sebagai benda keramat yang
benar-benar ada, betapa kakak sepergu-ruannya akan dapat dibuat mengerti serta
yakin? Karena itu dia berkata menegaskan, "Dua belas tahun lamanya aku
pergi tanpa berpamit Guru, meskipun bukan perkara benda keramat tersebut,
tetapi itulah yang menyebabkan. Apakah hal itu belum meyakinkan Kakak?"
"Hm,
melihat engkau begini sungguh-sung-guh, mestinya aku harus percaya. Tetapi
apakah kata guru nanti setelah mendengar kisah pengembaraanmu, inilah yang
sulit untuk meyakinkan."
"Ya,
aku tahu dan justru aku akan mengabarkan kepada Beliau. Apa kabar guru
kita?" "Ehm..." sahut Bagus Kempong. Kemudian lama ia tak membuka
mulut. Dan Wirapati jadi
cemas.
Dengan pandang tak berkedip ia mengawasi kakak-seperguruannya. Hatinya sibuk
menduga-duga. Maklumlah, dua belas tahun yang lalu gurunya sudah berusia 70
tahun lebih. Ia khawatir, kakak seperguruan-nya akan mengabarkan bahwa gurunya
sudah meninggal dunia.
Beberapa
saat kemudian, Bagus Kempong berkata, "Guru masih sehat wal-afiat. Bahkan
tubuhnya nampak kian segar bugar. Hanya saja, Beliau sudah meninggalkan urusan
du-nia. Sehingga kukhawatirkan bahwa kisah pengembaraanmu tiada didengarkan.
Bukan-kah hal itu akan membuatmu kecewa? Masa perjuangan selama 12 tahun,
bukanlah mu-rah."
Mendengar
jawaban Bagus Kempong, hati Wirapati lega seperti seseorang memperoleh seteguk
air dalam saat-saat dahaga kering. Lantas saja menyahut, "Meskipun
seumpama Guru tiada mendengarkan sepatah kataku, apa peduliku? Aku bisa hidup
dengan selamat dan bisa bertemu kembali dengan Guru, bukankah suatu karunia
yang mahal dibeli?"
Mata
Wirapati lantas saja jadi berseri-seri penuh syukur. Tetapi Bagus Kempong
nampak menundukkan kepala, sehingga mau tak mau ia sibuk lagi menebak-nebak.
"Adik
Wirapati! Bahwasanya engkau mengi-ra, aku bertambah putih rambutku karena
kesibukan bekerja adalah benar belaka. Ketahuilah setelah engkau pergi tiada
kabar berita—perguruan kita sering didatangi orang-orang sakti hendak menuntut
dendam!"
"Mengapa?"
Wirapati terkejut.
"Dua
belas tahun yang lalu, di lembah su-ngai ini kedapatan delapan orang lebih
tewas bekas teraniaya. Orang-orang mengabarkan, bahwa mereka pernah melihat
dirimu berada di antara hutan yang terbakar. Meskipun kami—saudara-saudara
seperguruan—sama sekali tiada percaya, bahwa engakaulah yang membinasakan
mereka, tetapi tuduhan anak-keluarganya kian lama kian keras. Sekarang-setelah
aku mendengarkan keterangan dari mulutmu sendiri bahwa itulah perbuatan
pendekar dari Karangpandan, aku bertambah yakin akan kebersihan dirimu."
"Ih!"
Wirapati terperanjat sampai berjing-krak. Tak kukira bahwa sepeninggalku,
pergu-ruan justru kena noda begini jahat. Lantas siapakah mereka yang
berkurang-ajar menda-tangi perguruan? Pikir Wirapati dalam hati.
Bagus
Kempong tertawa mendongak. Menjawab, "siapa yang datang, apa perlu
kau-ributkan? Perkaramu adalah perkara kita bersama. Kalau sekarang aku melihat
engkau datang dengan kebersihan hati, sudahlah suatu tebusan yang mahal
harganya. Dan legakan hatimu, bahwa saudara-saudaramu tetap berkukuh, bahwa
tuduhan itu tiada beralasan."
Mendengar
kata-kata Bagus Kempong, Wirapati jadi terdiam. Dan Sangaji jadi bertambah perasa.
Anak muda itu lantas saja berpikir lagi, ternyata Guru tidak hanya
mempersembahkan keperwiraannya belaka untukku, tetapi benar-benar telah
mengorbankan kehormatan perguruannya juga. Siapa mengira, bahwa kepergiannya
membawa pula suatu malapetaka sendiri. Memperoleh pikiran demikian, ia merasa
lebih kecil. Sebentar tadi ia resah memikirkan kepergian Titisari. Maklumlah,
ia kenal perangai dan watak Titisari yang manja dan agak liar. Dadanya penuh
dengan api. Apa yang dikatakan harus saja dilakukan tanpa pertimbangan. Kini,
entah ke mana perginya hanya setan-setan belaka yang tahu. Dan apabila
dibandingkan dengan kisah pengembaraan gurunya, alangkah sekerdil biji asam.
Diam-diam ia merasa malu sendiri. Lantas saja terdengarlah suara gurunya Jaga
Saradenta yang galak dahulu. "...Ih! Kau laki-laki, bukan perempuan.
Seorang laki-laki masakan takut mati segala!"
Mendadak
saja, Wirapati berkata kepada-nya, "Aji! Marilah cepat-cepat mendaki
Gunung Damar. Pertama-tama, ingin aku memperkenalkan engkau kepada guruku.
Kedua, ingin
benar
aku melihat kesehatan beliau. Tentang sahabatmu Titisari, perlahan-lahan bisa
kita urus. Aku percaya, meskipun perangai Adipati Surengpati bukan seperti
manusia lumrah, tetapi pasti tidak akan menyakiti puterinya. Kulihat tadi, dia
terlalu menyayangi."
Mendengar
ujar gurunya, Sangaji gugup. Karena waktu itu, justru dia lagi
memperban-dingkan persoalannya dengan kebesaran jiwa gurunya.
"Guru,
perkara Titisari tak usahlah Guru ikut memikirkan. Dia sudah pulang ke
rumahnya. Hatiku senang dan bersyukur. Yang penting sekarang aku harus ikut
Guru ke mana Guru pergi," kata Sangaji dengan terbata-bata.
Wirapati
puas mendengar ucapan muridnya. Segera ia memberi isyarat kepada Bagus Kempong,
untuk meneruskan perjalanan. Waktu itu, matahari telah condong ke barat. Angin
senja sudah mulai meraba tubuh.
Mereka
berjalan mengarah ke timur menyekat punggung pegunungan. Kiranya sifat Bagus
Kempong nampak keras di luartapi nampak panas di dalam. Di antara murid Kyai
Kasan Kesambi, dialah yang jarang benar bergurau. Wirapati dan Suryaningrat
dahulu agak segan kepadanya. Bahkan agak ketakut-takutan. Lebih takut
menghadapinya daripada kakak perguruannya yang tertua, Gagak Handaka dan
Ranggajaya. Padahal hubungan
kekadangan
mereka sangat erat melebihi saudara sekandung. Tatkala Wirapati menghilang
dengan tiba-tiba, diam-diam Bagus Kempong berduka tak terkatakan. Hanya
lahirnya saja ia berlaku tenang seperti tiada terjadi sesuatu. Ia minta izin
gurunya hendak menyelidiki daerah lembah Sungai Jali yang dikhabarkan
orang-orang pernah melihat adik-seperguruannya itu. Selama dua belas tahun,
terus-menerus ia menghisap berita dengan tak mengenal bosan. Mendadak saja,
pada hari itu ia bertemu dengan tak terduga-duga. Hatinya girang bukan
kepalang, namun masih saja ia menyembunyikan perasaan. Rasa girangnya tak
dibiarkan meluap-luap. Sekali-kali ditutupi dengan kata-kata keras dan
berwibawa. Dengan kata-kata kering dia berkata, "Wilayah lembah Sungai
Jali, ternyata luas juga. Dua belas tahun aku mencoba menjejakmu. Hm ..."
Wirapati
yang kenal akan pribadinya, segera mengetahui bahwa di balik kata-katanya yang
kering sederhana itu bersembunyi suatu luapan doa terima-kasih kepada Tuhan,
maka dia jadi terharu.
"Kangmas
Bagus Kempong! Apakah benar sanak-keluarga orang-orang Banyumas yang
dibinasakan Ki Hajar Karangpandan mencari balas kepada perguruan kita?
Peristiwa ini benar-benar membuat hatiku tiada enak sekali."
"Apa
sebenarnya yang terjadi dalam pertempuran itu?" potong Bagus Kempong.
Kembali
Wirapati menceritakan pengala-mannya sewaktu dia melindungi Wayan Suage dari
buruan orang-orang Banyumas yang menginginkan pusaka Pangeran Semono dan cara
Ki Hajar Karangpandan membinasakan mereka. Dia sendiri segera meninggalkan
Wayan Suage sewaktu hutan terbakar. Dengan demikian tiada berhasil pula
menyelamatkan pusaka keramat Pangeran Semono.
Setelah
mendengar penjelasan itu, Bagus Kempong minta keterangan pula tentang ben-tuk
pusaka keramat Pangeran Semono, yang dahulu dikabarkan gurunya hanya sebagai
dongeng belaka. Setelah Wirapati dapat me-nerangkan dengan jelas, diam-diam ia
mulai merenungkan. Akhirnya berkata dengan me-lepaskan endapan napas.
"Ih,
kiranya begitu. Apabila kami sudah mengetahui kejadiannya sejelas ini, pastilah
saudara-saudaramu bisa menentukan sikap tegas. Dan Guru tak usah pula menyekap
diri dalam bilik persemedian untuk mencari kebeningan dalam suatu kekeruhan
kedunia-wian. Hm, tapi seumpama engkau tiada pulang, pasti persoalan ini akan
mengganjel pada saudara-saudara seperguruanmu sepan-jang zaman."
"Ki
Hajar Karangpandan sebenarnya bukanlah manusia jahat, biadab atau seorang yang
ingkar
kepada sendi-sendi ksatrian. Bahkan dia seorang ksatria sejati yang menganggap
ringan nyawanya sendiri demi suatu hal yang diakui sebagai darma," kata
Wirapati.
Kemudian
ia menerangkan, betapa Ki Hajar Karangpandan berjuang merebut kesejahte-raan
keluarga Made Tantre dan Wayan Suage hanya untuk suatu perkenalan dalam masa
tak lebih dari satu jam belaka. Dan mendengar ujar Wirapati ini. Bagus Kempong
mengangguk-angguk dengan hatinya. Katanya dalam hati, hebat pendeta itu! Dan
kalau Wirapati bisa mengimbangi kebesaran jiwanya, bukanlah berarti pula
menjunjung nama Guru, nama perguruan dan saudara-saudaranya dengan sekaligus?
Lantas berkata memuji, "Baiklah, ternyata kepergianmu selama dua belas
tahun tidaklah sia-sia. Siapa mengira, bahwa engkau pergi dengan memikul papan
nama perguruanmu.
Hari
ini aku mengucapkan terima-kasih. la berhenti mengesankan. Meneruskan.
"Cara Ki Hajar Karangpandan membunuh sesama hidup sesungguhnya keji dan
ganas. Tetapi dia seorang laki-laki hebat. Tahukah ilmu apa yang
digunakan?"
"Mula-mula
aku heran mendengar gelora suaranya yang gemuruh."
"Itulah
ilmu Guntur Sejuta!" Bagus Kempong menyekat.
"Hanya
saja betapa tupai pandai berlompat, sekali-kali akan terjatuh juga. la mengira,
su-dah berhasil membinasakan semuanya. Tetapi sesungguhnya masih ada seorang
yang sela-mat."
"Siapa
dia?" Wirapati heran.
"Salah
seorang di antara mereka masih bisa menyenakkan napas. Siapa namanya, tiada
seorangpun dapat mengenalnya. Hanya saja sebelum melepaskan napasnya yang peng-habisan,
dia menyebut-nyebut namamu."
"Ah!"
Wirapati terperanjat. Teringatlah dia kepada peristiwa pengepungan dahulu.
Mere-ka mengancam dan menggertak. Sebagai murid keempat Kyai Kasan Kesambi
bagai-mana bisa menerima gertakan itu tanpa mem-balas. Tiada mustahil bahwa dia
pun mem-perkenalkan nama perguruannya untuk men-jaga kehormatan diri.
"Berita
beradu di antara mereka, lantas saja tersebar ke seluruh persada bumi. Tapi
kami semua tiada percaya, bahwa engkaulah yang membinasakan mereka begitu keji dan
ganas. Sepanjang pengetahuan kami, Guru belum pernah menurunkan ilmu Guntur
Sejuta. Tetapi bagaimana bisa kami meyakinkan mereka dengan alasan itu,"
kata Bagus Kempong dengan dahi mengerenyit. "Mereka yang datang kebanyakan
terdiri dari orang-orang daerah Banyumas. Namun lambat-laun, orang sakti dari
seluruh penjuru pada datang juga. Dari Ungaran, Bagelen, Maospati, Ponorogo,
Madura, Surakarta, Kediri dan Banyuwangi. Kejadian inilah yang membuat Guru dan
sekalian saudara-seperguruanmu keheran-heranan. Masakan mereka semua adalah
sanak-keluarga yang terbinasakan? Dua belas tahun lamanya, hal itu merupakan
suatu teka-teki besar. Dan pada hari inilah baru jelas.
Ternyata
di balik kedatangannya bersembu-nyilah sesuatu maksud. Penuntutan balas
di-alihkan hanya sebagai dalih belaka. Kiranya mereka,... tahukah engkau apa
maksud mere-ka sesungguhnya?"
Wirapati
diam menduga-duga.
"Orang-orang
Banyumas dahulu menge-pung Wayan Suage perkara pusaka Pangeran Semono, ... Ah!
Apakah mereka mengira, aku menggondol pusaka keramat Pangeran Semono."
Dengan
melemparkan penglihatan di jauh sana, Bagus Kempong menyahut, "Sekiranya
hari ini tak kudengar dari mulutmu tentang adanya pusaka Pangeran Semono,
sampai mati pun tiada jelas bagiku."
Wirapati
terdiam. Pikirnya, ya, aku pun dahulu berpikir demikian juga. Malah, ingin aku
melihat
bagaimana sikap Guru apabila aku mengisahkan tentang adanya pusaka keramat itu.
Tengah
Wirapati memikirkan tentang orang-orang yang datang berbondongan di
perguruannya dengan berpura-pura mengaku sebagai sanak keluarga orang-orang
Banyumas yang dibinasakan Ki Hajar Karangpandan sebagai dalih. Mendadak Bagus
Kempong berkata lagi, "Biarlah mereka datang lebih sering lagi, apapeduli
kita? Hanya saja, kemudian tahukah engkau siapa lagi yang datang pada hari-hari
ini?"
Wirapati
melengak ). Tak dapat ia menebak, sehingga terpaksa ia meninggikan alisnya. Dan
berkatalah Bagus Kempong, "Gtusan Sri Sultan Hamengku Buwono II."
"Sri
Sultan?" Wirapati terperanjat. Sangaji pun yang berjalan di belakangnya
ikut terpe-ranjat pula.
8)
melengak : tercengang-cengang.
"Meskipun
tidak terang-terangan, tetapi utusan Sri Sultan seringkali menjenguk perguruan
kita. Kemudian utusan-utusan Patih Danurejo pula. Seperti kauketahui, ibukota
kerajaan kini sedang meruncing. Antara keluarga garwa padmi83) dan para selir
seringkali timbul fitnah-fitnah dan bentrokan-bentrokan. Akhir-akhir ini bahkan
mulai pula timbul suatu pertempuran terang-terangan antara pihak Patih Danurejo
dan Sri Sultan. Dan semenjak itu, Guru lantas saja mengundurkan diri dari
persoalan keduniawian. Nampaknya Beliau sangat kecewa lalu menenggelamkan diri
dalam sanggar semadi. Beliau hanya muncul sekali satu tahun di hadapan
kita."
Mendengar
kabar itu, Wirapati jadi bere-nung-renung. Alangkah banyak perubahan yang
terjadi selama dia meninggalkan perguruan. Tak terasa terlontarlah
perkataannya, "Tak kusangka, bahwa kepergianku tanpa pamit itu membawa
suatu akibat demikian besar."
"Ah,
semua itu bisa terjadi di atas kemam-puan manusia," sahut Bagus Kempong.
"Siapa saja bisa dan pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang tak terduga
sama sekali."
Wirapati
menghela napas dalam.
"Sebenarnya,
apakah yang mendorong mereka untuk merebut pusaka itu? Bukankah pusaka tetap
sebagai benda mati?"
"Ha,
justru aku ingin memperoleh keterang-anmu, karena engkau telah memperoleh
kesempatan mengenal benda perebutan itu," sahut Bagus Kempong cepat.
Tentang
daya guna pusaka Pangeran Semono itu, sama sekali ia tak menaruh per-hatian. Ia
hanya mendengar suatu kabar bela-ka, bahwa barangsiapa memiliki kedua pusaka
tersebut akan sakti tanpa guru, kebal dari sekalian senjata dan kelak bisa
menguasai nusantara. Ia menganggap kabar itu sebagai dongeng kanak-kanak belaka
yang tak masuk akal. Tetapi oleh pertanyaan Bagus Kempong, sekonyong-konyong ia
teringat sesuatu. Cepat ia menoleh kepada Sangaji dan bertanya,
"Aji!
Kau dahulu pernah berkata kepadaku, bahwa engkau memperoleh kisikan beradanya
benda tersebut dari almarhum pamanmu. Benarkah itu?"
Sangaji
yang semenjak tadi berdiam diri, dengan gugup menjawab,
"Benar.
Tatkala paman hendak bertempur melawan laskar Pangeran Bumi Gede ia mem-bisiki
sesuatu kepadaku."
"Apa
katanya?"
"Begini,"
kata Sangaji mengingat-ingat. "Anakku, tak dapat aku berbicara
berkepan-jangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti terjadi. Tetapi
ingat-ingatlah pesanku ini! Sesampaimu di desa tempat engkau dilahirkan,
lekas-lekaslah engkau berangkat ke tenggara. Di sana engkau akan melihat
sepetak hutan dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar habis.
Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian
bekas-bekas
kelebatannya belum juga hilang. Di sana engkau akan melihat sebuah sungai
berlumpur yang melingkari hutan itu. Carilah di antara tebingnya suatu
penglihatan penuh batu-batu. Turunlah engkau ke bawah. Di dasar sungai itu,
engkau akan menemukan pusaka warisanmu. Dua buah jumlahnya. Kuwariskan
kedua-duanya pula kepadamu."
Sekonyong-konyong
berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, terdengarlah suatu gemeresak
mahkota daun kemudian berkelebatlah sesosok bayangan yang terus saja meluncur
ke tanah.
Wirapati
dan Sangaji terperanjat. Sekaligus Umbulah kecurigaannya. Dan hampir berba-reng
mereka terus meloncat hendak mengejar.
Mendadak
Bagus Kempong menyanggah dengan nyaring.
"Jangan
mau dikecohkan! Itulah akal memancing harimau dari sarangnya, lihat
seberang!"
Wirapati
dan Sangaji terheran-heran. Segera mereka menebarkan pandangnya, tetapi tiada
sesuatu yang mencurigakan. Diam-diam mereka berpikir, "Apakah salah
penglihatan?"
Bagus
Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Kecuali memperoleh
pendidikan menajamkan indera, diberi pula ajaran menggunakan pra rasa naluriah.
Rasa bagi Kyai Kasan Kesambi menjadi dasar sendi utama dalam menurunkan
ilmunya. Karena menurut pengertiannya ketajaman indera adalah suatu akibat
belaka. Wirapati sebe-narnya menerima pula ilmu itu. Hanya saja dia
meninggalkan perguruan selama dua belas tahun tanpa penilikan Guru. Karena itu
agak ketinggalan daripada Bagus Kempong. Maka itu, belum lagi habis
menduga-duga, Bagus Kempong telah berkata menggurui.
"Di
balik semak-semak itu, bersembunyi delapan orang. Mereka bersenjata semua.
Lihatlah gemerlap senjatanya." Dan kembali Wirapati dan Sangaji
terheran-heran. Mereka mengamat-amati barisan semak-semak, tetapi gemerlap
senjata sama sekali tak dilihatnya. Tetapi sekonyong-konyong terdengarlah suatu
desing suara. Sebatang anak panah menyibak udara. Kemudian muncullah tiga
orang, empat, lima dan akhirnya delapan kepala mencongakkan diri dari balik semak-belukar.
Dan barulah Wirapati dan Sangaji terperanjat. Sambil melesat mengelakkan diri
dari sambaran angin, diam-diam mereka mengagumi ketajaman rasa Bagus Kempong.
Ke delapan
orang yang bersembunyi
di balik belukar
itu, ternyata mengenakan kedok.
Yang
kelihatan hanya dua gundu matanya. Terang mereka, tak mau dikenali orang.
"Kangmas Bagus Kempong!" seru Wirapati kagum. "Benar-benar aku
merasa takluk!" Bagus Kempong seperti tak mendengarkan ucapannya. Dia
terus berteriak nyaring.
"Kawan
dari manakah yang berada di depan? Kami Bagus Kempong dan Wirapati anak murid
Kyai Kasan Kesambi menyam-paikan salam."
Namun
mereka yang mencongakkan diri dari balik semak-semak tiada menyahut sama sekali
seolah-olah tuli. Bahkan mereka terus bergerak mengepung. Tiba-tiba Bagus
Kempong terus saja sadar. Katanya setengah terperanjat, "Celaka! Mereka
hendak mem-bakar alang-alang! Kita akan dibakar hidup-hidup!"
Tepat
dugaan pendekar yang sudah berpe-ngalaman ini. Kira-kira lima belas langkah di
depan mereka, nampak api mulai menyala membakar alang-alang. Melihat nyalanya
api. Bagus Kempong tertawa dingin. Terus saja dia berjalan tanpa bersuara
menghampiri mereka. Tahu-tahu, tubuhnya melesat secepat kilat. Tiga orang
sekaligus kena disambarnya. Kakinya menendang dan ketiga-tiganya ter-pental di
udara.
Orang
keempat kaget setengah mati menyaksikan serangan Bagus Kempong menyambar betis.
Orang itu kena ditariknya dan dilemparkan pula ke udara.
Bagus
Kempong tiada berniat membunuh. Dia hanya hendak menunjukkan gigi belaka, agar
mereka tiada memandangnya terlalu ren-dah. Karena itu, orang keempat yang
dilem-
parkan
ke udara dibiarkan berjumpalitan dengan merdeka. Tetapi orang itu nampaknya
tiada mau mengerti akan kelapangan dada Bagus Kempong. Begitu kakinya menancap
di atas tanah, lantas saja melesat sambil menikam.
Bagus
Kempong tiada terkejut sama sekali. Memang, dia adalah salah seorang murid Kyai
Kasan Kesambi yang canggih. Ilmunya jauh di atas Wirapati. Sewaktu bertempur
melawan pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede, dia hanya mengiringi
maksud dan tujuan Wirapati. Karena itu dia hanya bertahan dan bermaksud
melindungi Wirapati belaka. Tapi kini, dia berkelahi dengan bisa mengambil
keputusannya sendiri. Maka begitu ia ditikam musuh, dengan sebat ia menangkap
lengan tanpa mengelak. Sikunya terus menyodok dan tahu-tahu orang itu jatuh
terkapar di atas tanah dengan melontakkan darah kental. Berbareng dengan
terkaparnya lawan, ia berseru kepada Wirapati.
"Lihat
di sana! Rupanya kita dihadang barisan yang berjumlah cukup banyak. Kita sudah
mentaati peraturan. Tapi mereka tak memedulikan. Karena itu, terjang!"
Wirapati
melepaskan pandang ke depan. Kira-kira lima puluh langkah di depannya,
berdirilah belasan orang yang berjalan mem-bentuk setengah lingkaran. Terang
sekali, mereka hendak mengepung rapat.
Waktu
itu matahari belum tenggelam. Karena itu senjata mereka nampak meman-tulkan
cahaya gemerlapan. Yang sebelah kiri bersenjatakan pedang dan yang kanan golok,
panah dan cempuling.
Tiba-tiba
seorang laki-laki yang menge-nakan kedok juga dan bertubuh tegap, menghunus
pedangnya dan memberi isyarat aba-aba agar berhenti. Kemudian dia maju tiga
langkah dan dijajari dua orang pada tiap sisinya. Orang itu membungkuk pendek
seba-gai tanda memberi hormat. Pedangnya di-tusukkan ke bawah.
Bagus
Kempong membalas hormat sekali, lalu berjalanlah dia maju. Ternyata Bagus
Kempong tak diusiknya. Mereka bahkan menyibakkan diri memberi jalan. Tetapi
begitu Bagus Kempong keluar dari kepungan, segera barisan menutup pintu lagi
sehingga Wirapati dan Sangaji kini terkurung di tengah-tengah. Serentak mereka
menghunus pedangnya dan ditelentangkan ke titik tengah.
"Apakah
kalian menghendaki Wirapati?" dengus Wirapati sambil tertawa dingin.
Ter-ingat, bahwa pedangnya telah kena dipatah-kan Adipati Surengpati, ia merasa
agak kuwa-lahan. Tetapi sebagai seorang pendekar, tak sudi ia memperlihatkan
kelemahannya. Itulah sebabnya dia berkata lagi, "Agaknya Tuan-tuan hendak
mengkerubut aku. Benar-benar Tuan-tuan menghargai aku sampai main
kerubutan."
Laki-laki
bertubuh tegap itu nampak berbimbang-bimbang. Sekonyong-konyong ia mengacungkan
ujung pedangnya ke tanah lagi sebagai tanda memberi jalan.
"Aji!
Berjalanlah engkau dahulu!" kata Wirapati kepada Sangaji.
Sangaji
terus melangkah maju. Tetapi baru saja melangkah mendadak sinar pedang
berkelebat. Tahu-tahu empat pedang telah mengancam dadanya. Karena terkejut,
Sangaji cepat mundur. Namun keempat pedang itu pun ikut bergerak. Malahan
ujungnya terus menggetar siap menikam.
Melihat
Sangaji terancam senjata, Bagus Kempong tiba-tiba meloncat masuk ke dalam
kepungan lagi dengan melintasi pagar manu-sia. Kedua tangannya lantas bekerja.
Dengan mengeluarkan tepukan, tahu-tahu empat pedang itu terpental ke udara.
Tepukan tangan empat kali beruntun itu, benar-benar luar biasa sampai keempat
pedang bisa terbang ke udara dengan berbareng. Dan belum lagi mereka tersadar
dari rasa terkejut dan kagum, tangan Bagus Kempong yang cekatan telah menyambar
pergelangan tangan laki-laki bertubuh tegap yang masih menggenggam pedang. Ia
heran sampai tercengang-cengang, karena pergelangan tangan itu begitu empuk dan
lunak. "Hai! Apakah dia seorang wanita,"
dia
berpikir sibuk. Tetapi dia terus bekerja. Kelima jarinya mencengkeram nadi
pergelangan. Dan pedang terlepas dari tangan dan jatuh dengan gemerincing. di
tanah.
Karena
senjata yang bertubuh tegap terlepas dari tangan, keempat orang yang
mendampingi mundur dengan berbareng. Tapi mendadak saja dari arah samping
berkelebatlah sinar pedang dan menusuk tiga kali beruntun. Itulah suatu
serangan pedang berbau ajaran Barat.
"Ilmu
pedang Kepatihan Danurejan...! Apakah mereka laskar Patih Danurejo?"
Diam-diam Bagus Kempong menduga. Ia menunggu tusukan yang penghabisan. Tatkala
ujungnya hampir menancap di dada, cepat luar biasa ia menyurutkan diri.
Tangannya memutar danterus menepuk ke datan pedang dengan dibarengi tusukan
jari.
Menepuk
sambil berputar serta menusukkan jari, nampaknya sederhana dan mudah dilakukan.
Tetapi sebenarnya ia lagi menggunakan ilmu sejati ajaran Kyai Kasan Kesambi.
Dalam kalangan pendekar, ilmu tenaga itu di sebut gendam. Seseorang untuk
memiliki tenaga gendam, harus menghimpun secara teratur paling tidak tiga tahun
lamanya. Sesat dan bersih tergantung belaka kepada ajaran yang ditekuni.
Ajaran
Kyai Kasan Kesambi tak pernah ter-lepas dari pokok soal. Yakni, mengutamakan
rasa kemanusiaan yang disenduknya dari ku-bangan rasa sejati. Geraknya lancar
halus ba-gaikan air, mengingat jasmaniah ini asalnya dari zat-zat air. Tetapi
barangsiapa kena ben-turannya akan tergetar seluruh sendi tena-ganya. Karena
betapa sakti orang itu, bukankah salah satu anasir yang menjadikan dia seorang
manusia berasal dari anasir air? Maka begitu pedang tadi kena sampok ) seketika
seluruh tubuhnya terasa menjadi lemah-lunglai dan seolah-olah terselimuti bulu
beleter ). Tahu-tahu, tak terasa pedang itu telah tercabut dari genggamannya.
Dia hendak bertahan, namun aneh! Mendadak saja tubuhnya limbung sampai
terhuyung ke belakang beberapa langkah. Terus saja terbanting di atas tanah
dengan melontakkan darah. Inilah kehebatan ilmu gendam perguruan Kyai Kasan
Kesambi, kekuatan badai yang susah dibayangkan.
Menyaksikan
kegagahan Bagus Kempong, orang yang bertubuh tegap tadi serentak memberi
aba-aba, "Mundur!" Suaranya nya-ring merdu. Terang sekali-dia seorang
wanita. Dan begitu mendengar aba-aba itu, semua yang mengepung memutar tubuh.
Tak usah menunggu waktu lama, tubuh mereka cepat menghilang di balik
semak-semak belukar.
Melihat
mereka lari mengundurkan diri, Bagus Kempong berdiri tegak dengan sikap
menghormat. Kemudian berseru nyaring, "Sampaikan sembah Bagus Kempong dan
Wirapati kepada Gusti Patih Danurejo. Dengan ini kami berdua memohon maaf
sebesar-besarnya atas kelancangan kami."
Yang
memimpin mereka tidak menjawab. Ia hanya menoleh, kemudian memberi senyum.
Setelah
itu lenyap dari penglihatan.
"Dia
seorang wanita!" tukas Sangaji. "Guru, siapakah dia?"
Wirapati
mengerenyitkan dahi. Dia menoleh kepada Bagus Kempong meminta keterangan.
Katanya,
"Apakah
mereka utusan Patih Danurejo?"
"Bukan!
Mereka utusan Sri Sultan," sahut Bagus Kempong.
"CItusan
Sri Sultan?" Wirapati menegas dengan heran.
"Tetapi
mengapa Kangmas berkata me-nyampaikan sembah kepada Gusti Patih Danurejo?"
"Pertama-tama
mereka mengenakan kedok semenjak semula. Hal itu berarti, bahwa mere-ka tak
ingin dikenal. Kedua, gerakan pedang mereka adalah tipu-tipu serangan Danurejan
yang berbau barat. Jadi terang sekali mereka memalsukan diri agar tiada
dikenal. Karena
itu
aku harus menghargai dan melindungi maksud mereka dengan menyebutkan sebagai
laskar Patih Danurejo."
"Dari
manakah Kangmas mengetahui, bahwa mereka utusan Sri Sultan? Apakah ada di
antara mereka yang kau ketahui?"
"Tidak,"
jawab Bagus Kempong. "Aku me-ngenal mereka, karena kepandaiannya masih
dangkal. Agaknya yang dikirimkan Sri Sultan ke wilayah Gunung Damar ini,
bukanlah jago-jago pilihan. Terang sekali, tugas mereka bukan untuk menggempur
lawan. Tetapi mungkin hanya bertugas menghisap berita atau pengintaian belaka.
Tadi sewaktu aku menepuk mereka, mendadak saja mereka mencoba bertahan. Lapis
tenaga pertahanan mereka lunak pula. Dan dalam dunia ini yang memiliki tenaga
gendam sejati hampir sama adalah guru kita dan almarhum Sri Sultan Hamengku
Buwono 1. Memang, untuk meniru-kan gerak-tipu ilmu perguruan lain adalah mudah.
Tetapi apabila sekonyong-konyong dipaksa untuk mengadu tenaga, mau tak mau
terpaksa berlindung ke bentengnya terakhir. Yakni dasar ajaran perguruannya
yang sejati. Pada saat itulah kedok mereka terbuka."
Mendengar
keterangan Bagus Kempong, tiba-tiba saja Sangaji merasa bahagia, la kagum dan
bangga atas keluhuran budi sesama perguruan gurunya. Dan dia termasuk salah
seorang anggotanya.
"Kangmas
Bagus Kempong!" kata Wirapati setelah berdiam sejenak. "Sebenarnya,
mereka tak bisa bertahan tatkala engkau menepuk pedangnya. Dengan demikian,
kedoknya takkan kauketahui. Memang menurut guru dahulu, ilmu warisan Sri Sultan
Hamengku Buwono 1 tak kalah hebatnya. Hanya saja, apabila masih dangkal bisa
membahayakan diri sendiri manakala bertahan terhadap suatu tenaga gendam yang
jauh di atasnya. Seperti tadi, andaikata Kangmas menganggap mereka sebagai
lawan benar, pastilah orang yang menyerang dari samping akan kena kau-rubuhkan
dengan sekaligus. Gntung, Kangmas hanya menggunakan beberapa bagian saja,
sehingga dia hanya lontak darah dan terjungkal selintasan." Ia berhenti
berpikir lagi. Tiba-tiba berkata penuh teka-teki. "Aneh! Benar-benar aneh!
Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah sahabat karib guru kita sewaktu
Perang Giyanti. Mengapa kini keturunannya mengganggu?"
"Eh,
apakah engkau lupa kepada kisah pe-ngalamanmu sendiri perkara pusaka Pangeran
Semono?" sahut Bagus Kempong. "Apakah engkau tak dapat menerka,
mengapa mereka memalsukan diri sebagai laskar Danurejan?"
"Ah!
Wirapati terperanjat. Suatu ingatan berkelebat dalam benaknya.
"Benar-benar mengherankan, bahwa Sri Sultan pun meng-inginkan pula pusaka
kramat itu.
"Setidak-tidaknya
garwo padmi atau salah seorang anggota kerajaan," potong Bagus Kempong.
"Hanya saja, mula-mula mereka salah duga. Kita dikiranya laskar Danurejan.
Mestinya mereka tahu, bahwa utusan Patih
Danurejan
berkeliaran di daerah lembah Sungai Jali. Lantas mereka mengikuti jejak.
Mungkin pula, diam-diam mereka telah mengetahui pula terjadinya pertempuran
antara kita dan pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tetapi apabila
mereka mendengar ucapan salamku, seketika berubahlah terkaannya." Meskipun
demikian, mereka tetap hendak minta keterangan lebih jelas lagi dari mulut
Sangaji.
Sangaji
terkejut, tak terduga sama sekali, bahwa ujarnya mengenai tempat penyim-panan
pusaka warisan Wayan Suage, telah kena diintip orang. Pastilah hal ini akan
masih ada ekornya, memperoleh pikiran demikian, dia merasa bersalah. Mendadak
saja. ia melihat lima batang pedang yang terlempar di atas tanah. Cepat ia
membungkuk dan hendak menjamahnya.
"Jangan
pegang senjata mereka!" kata Bagus Kempong. "Siapa tahu hulu pedang
ter-ukir namanya. Bila sampai demikian, tak bisa lagi kelak kita berpura-pura
tak tahu menahu."
Terhadap
kepandaian Bagus Kempong, diam-diam Sangaji kagum luar biasa. Karena itu ia tak
membantah atau mencoba memper-oleh keterangan. Ia percaya, pastilah paman-nya
itu telah mempunyai perhitungan jauh.
"Marilah
kita pergi saja!" kata Bagus Kempong lagi.
Dengan
berdiam diri, Wirapati dan Sangaji mengikut' Bagus Kempong. Mendadak saja,
mereka mendengar suara kuda. Tatkala menoleh, ternyata Willem dan kuda putih
Titisari tertambat pada sebuah pohon. Sangaji terus saja berseru girang.
"Willem!
Eh... siapakah yang mengan-tarkan?"
Karena
masih terpengaruh sepak terjang Adipati Surengpati dan luapan girang gurunya,
Sangaji sampai lupa kepada kudanya. Kini sekonyong-konyong berada di depannya.
Pastilah ada seseorang yang sengaja mengantarkan jasa-jasa baik. Siapa dia?
Sangaji tahu, bahwa si Willem tak gampang bisa didekati seseorang yang belum
dikenalnya. Memperoleh pikiran demikian, sekaligus ia menduga kepada Titisari.
"Apakah dia selama ini mengikutinya dengan diam-diam?"
Sebaliknya
Bagus Kempong tak tahu, bahwa Sangaji membawa kuda. Begitu melihat kegirangan
Sangaji, alisnya terus saja terangkat. Pikirnya, anak ini berhati sederhana,
tetapi agak sembrono. Kuda dan pesan warisan pusaka yang sedang diperebutkan
agaknya tiada meresap dalam hatinya benarbenar. Tetapi ia tak berkata.
Sebaliknya, Wirapati yang kenal akan tabiat kakak-seper-guruannya, terkejut
melihat kesan mukanya. Dengan sekali pandang, tahulah dia apa arti tergeraknya
deretan alis. Maka dengan menarik napas dia berkata kepada muridnya.
"Aji!
Ambillah kudamu!"
Sangaji
terus saja melompat menghampiri kudanya. Kemudian, berkatalah Wirapati kepada
Bagus Kempong.
"Agaknya,
kita terpaksa berpisah lagi."
"Mengapa?"
Bagus Kempong terkejut ber-bareng heran.
"Muridku
sama sekali belum memperoleh pengalaman dalam percaturan hidup. Ia begitu
semberono mengucapkan kata-kata terakhir Wayan Suage di tengah lapang terbuka.
Seumpama nasi sudah menjadi bubur, biarlah aku mengejar kelalaian ini. Bawalah
dia menghadap Guru dahulu. Aku akan mencari kedua pusaka warisan itu sampai
ketemu. Dengan begitu, muridku tak mensia-siakan pesan terakhir seseorang yang
telah menaruhkan kepercayaan besar terhadapnya."
"Wirapati!"
Bagus Kempong memotong dengan raut muka sungguh-sungguh. Kemu-dian dengan
menggenggam tangannya erat-erat ia meneruskan, "Ikrar saudara seperguruan
kita selamanya berbunyi hidup-mati bersama sampai akhir zaman. Tentang maksudmu
mencari pusaka warisan itu, mengapa tidak kita lakukan bersama-sama? Kesalahan
muridmu itu pun tiada terlalu besar."
Kering
kata-kata Bagus Kempong, tetapi mengandung ungkapan rasa yang susah untuk
dilukiskan. Maka dengan terharu Wirapati terus menyahut.
"Kangmas
Bagus Kempong, tak berani aku meminta kepadamu agar ikut memikul kewa-jiban
ini. Sebaliknya, mendengar ujarmu, tak berani pula aku menolak. Dengan begitu,
teri-malah ucapan terima kasihku. Kangmas berkata muridku tiada melakukan
kesalahan terlalu besar, apa maksudmu?"
Sambil
menguraikan genggaman tangan-nya, Bagus Kempong tertawa perlahan. Dengan
pandang berseri-seri ia berkata, "Tepatlah amanat Guru tentang dirimu.
Itulah sebabnya engkaulah yang dipilih guru menjadi ahli waris perguruan
kita."
"Hai!"
Wirapati terkejut.
"Benar."
Bagus Kempong mengesankan.
"Apakah
alasan Beliau?"
"Dengarkan,
kata beliau. Berbicara tentang mutu ilmu yang kaumiliki kini, mungkin engkau
kalah setingkat dengan saudara-saudara seperguruanmu. Maklumlah, selama itu
engkau merantau tiada kabar berita sepuluh tahun lebih. Tetapi seorang ahli
waris Kyai Kasan Kesambi mempunyai kewajiban berat. Seseorang tidak cukup hanya
mengutamakan ilmu-warisan belaka untuk menjadi ahli-waris-nya. Tetapi terutama,
jiwa besar, jujur dan pengalaman yang luas. Syarat inilah yang kelak menjadi
sendi utama untuk memperkembangkan ilmu warisan Guru," ia berhenti
mengesankan. Meneruskan, "dengan berbekal jiwa besar, jujur dan pengalaman
luas, engkau akan sanggup melayani kemukjizatan sesuatu ilmu lebih mendalam
lagi. Guru yakin, bahwa kejujuran dan kebersihan hatimu kelak akan dapat
mengatasi noktah-noktah hati yang ren-dah jahat. Setelah itu, engkau akan maju
lagi satu langkah dengan tanpa kausadari sendiri, karena engkau kelak akan bisa
mengusir pen-jajah dan menegakkan negara. Itulah cita-cita guru. Apabila kelak
engkau bisa mewujudkan, alangkah menggirangkan dan membesarkan hati. Hal itu
berarti, bahwa engkau telah berhasil menunaikan kewajiban azas perguru-an.
Itulah sebabnya, Guru lebih mengutama-kan keadaan jiwa untuk menjadi ahli
warisnya. Kemudian baru bakat. Tentang kebesaran jiwa, bagaimana kami berempat
dapat menandingimu. Engkau pun memiliki bakat yang jauh lebih bagus daripada
kami. Soalnya, karena engkau agak lama merantau. Tapi kami yakin, apabila
engkau telah kembali ke perguruan, engkau akan bisa melampaui kami
berempat."
Mendengar
ujar Bagus Kempong, Wirapati terperanjat sampai berjingkrak. Dengan
menggeleng-gelengkan kepala berbareng dengan menggoyangkan tangan, dia berkata
nyaring setengah gugup.
"Tidak!
Tidak! Bagaimana aku bisa menjadi ahli-waris guru. Guru berbicara demikian,
semata-mata oleh rasa rindunya terhadapku. Hm, kemampuanku tak dapat menandingi
sekalian saudara seperguruan." "Wirapati! Itu semua adalah amanat
Guru." "Baik. Andaikata benar, aku pun tak berani menerimanya."
Bagus
Kempong tersenyum. Berkata me-maklumi. "Ucapanmu ini pun menunjukkan
kejujuran dan kebesaran jiwamu. Engkau merasa diri rendah, itulah bagus. Memang
saat ini demikianlah keadaanmu, sehingga belum sanggup menilai kesalahan
muridmu. Muridmu memang masih hijau, sehingga semberono dalam mengungkapkan
sesuatu hal. Tetapi dikatakan melakukan kesalahan besar, tidaklah kena. Karena,
orang yang melompat dari mahkota daun tadi bukankah temannya berjalan?"
"Temannya
berjalan?" Wirapati keheran-her-anan. Terang sekali ia tadi melihat
sesosok tubuh melesat turun dari pohon. Gerak-geriknya cekatan dan gesit.
Meskipun tidak jelas jenisnya, tetapi masakan dia Titisari?
Bagus
Kempong seperti dapat menebak kesibukan hatinya. Dengan tepat ia berkata,
"Siapa lagi kalau bukan dia? Diapun yang menambatkan kuda. Mampaknya gadis
itu menaruh perhatian besar terhadap muridmu, sehingga ia berani memikul
akibatnya dengan sengaja membuat suara gemeresak. Pastilah dia bermaksud
memberi peringatan, karena di balik belukar bersembunyi orang-orang terten-tu
yang lagi mengintai perjalanan kita. Aku pun mula-mula menaruh syak kepadanya.
Mendadak kudengar langkahnya yang ringan dan gerakan tangan seolah-olah
menuding. Itulah salah satu jurus ilmu Karimun Jawa yang sering dibicarakan
Guru. Hanya saja, dia mengubah kibasan tangan dengan gerakan menuding."
Mendengar
keterangan Bagus Kempong, Wirapati benar-benar merasa takluk. Pikirnya,
benar-benar maju pesat ilmu Kangmas Bagus
Kempong.
Dalam satu detik, dia bisa menebak lawan atau kawan. Berbareng pula mengku-
mandangkan
aba-aba sandi. Bukankah kecerdasan otaknya jauh lebih cekatan dan cerdas
daripadaku? Betapa aku bisa menerima pencalonan guru menjadi ahli warisnya?
Terang sekali, guru berkata demikian karena rindu semata-mata kepadaku.
Memang
ketangkasan berpikir Bagus Kem-pong benar-benar mengagumkan. Bahkan apabila dia
mau mengutarakan dengan sebe-nar-benarnya, hati Wirapati bisa menjadi kecil.
Sebab sesungguhnya, jauh-jauh Bagus Kempong telah mengetahui bahwa di belakang
mahkota daun bersembunyi seseorang. Seper-ti diketahui dia sudah memiliki ilmu
rasa sejati. Meskipun panca inderanya belum bekerja, rasa sejatinya telah
mengkisiki. Ia mendengar pula tata-napasnya. Sebagai salah seorang murid Kyai
Kasan Kesambi yang telah menerima pula ajaran menyelami ilmu sesuatu perguruan
lainnya, sekaligus pikirannya bekerja. Teringatlah dia nada tata napas itu.
Bukankah tata-napas yang dimiliki Adipati Surengpati dan puterinya tatkala
mengadu kepandaian dengan Sangaji? Pada saat itu pula, ia mendengar gemeresek
belukar tak jauh dari pohon. Maka begitu Titisari melesat turun ke tanah,
dengan sengaja ia berseru kepada Wirapati dan Sangaji agar melepaskan
perhatiannya ke arah lain. Ia berseru seolah-olah Titisari termasuk salah
seorang dari mereka yang mengintai di balik belukar. Dengan demikian ia memberi
kesan pula kepada mereka yang mengintai, bahwa Titisari bukan termasuk salah
seorang rombongannya. Inilah yang dinamakan ilmu sekali menepuk dua lalat mati.
Tengah
Wirapati sibuk mengagumi ketang-kasan Bagus Kempong, terdengarlah Sangaji
berteriak nyaring, "Guru! Lihat! Lihat dia menyediakan tiga ekor
kuda!"
Wirapati
terus saja melesat menghampiri sebatang pohon yang terukir dengan beberapa
deret huruf. Bunyi huruf itu, "di depan patroli kompeni."
"Hai!
Benar-benar dia." Dengus Wirapati "... patroli kompeni? Mengapa
kompeni berke-luyuran sampai di wilayah ini?"
Sangaji
terus membagi kuda tunggangan. Bagus Kempong memperoleh seekor kuda hitam.
Terang sekali itulah salah seekor kuda pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi
Gede. Entah dengan cara bagaimana, Titisari ternyata bisa merampasnya. Dan kuda
putih ditunggangi Wirapati. Sangaji sendiri tetap berada di atas punggung
Willem.
"Peringatan
ini, baiklah kita perhatikan," kata Bagus Kempong. "Agaknya Patih
Danurejo benar-benar berhasrat merebut pusaka sakti itu sampai minta bantuan
kom-peni. Inilah suatu kesalahan. Dengan menge-rahkan tenaga kompeni berarti
memberi kesempatan kompeni pula untuk mengenal daerah-daerah yang bersembunyi
di balik pegunungan."
Semenjak
di Jakarta, Wirapati sudah mem-buktikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa
Patih Danurejo bekerjasama dengan kompeni untuk dapat memenangkan
per-soalannya. Hal itu bukanlah suatu kabar baru. Yang diherankan ialah bahwa
dalam waktu yang hampir bersamaan, ia menjumpai dua kekuatan besar yang
nampaknya saling bersaing. Daerah lembah Kali Jali benar-benar merupakan ajang
pertempuran yang sebentar atau lama akan meletuskan suatu pertempuran
menentukan. Terhadap Patih Danurejo, ia memperoleh kesan buruk pertama-tama
sepak-terjang Pangeran Bumi Gede dan beker-jasamanya dengan kompeni. Karena itu
diam-diam ia mengkhawatirkan pihak utusan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang
tadi kena dilukai kakak seperguruannya beberapa orang di antaranya.
"Nampaknya,
jejak kita sudah mereka ketahui," kata Wirapati. "Kita kembali ke
tepi sungai atau meneruskan perjalanan ke Gunung Damar sama saja bahayanya.
Aji! Kalau kelak bertemu dengan Titisari, sam-paikan salamku kepadanya."
Mendengar
gurunya menyebut nama Titisari, berserilah mata Sangaji. Tetapi tak berani
membuka mulut. Memang, ia sudah menduga bahwa tentang beradanya tiga ekor kuda
di tempat itu adalah berkat jasa Titisari. Samar-samar dia bisa menebak maksud
gadis pujaannya itu, agar cepat-cepat meninggalkan daerah yang dianggapnya
berbahaya.
"Benar,"
sahut Bagus Kempong. "Kita pasti menjumpai rintangan-rintangan perjalanan.
Mengingat pesan almarhum yang dirahasia-kan, sebaiknya janganlah kita
memperlihatkan diri apabila tidak terpaksa. Hm, hampir saja aku kesalahan
tangan."
Nyata
sekali, Bagus Kempong merasa menyesal karena melukai utusan Sri Sultan meskipun
tidak dengan sengaja. Diam-diam Sangaji berpikir, "Paman hanya menggunakan
tenaga selintasan saja. Tujuannya tidak melu-kai lawan. Semata-mata
mempertahankan diri. Mereka terluka, karena kesalahannya sendiri. Meskipun
demikian Paman begitu ber-duka. Alangkah mulia dia. Kelak, aku pun akan meniru
dia. Jika tak terpaksa, jangan sekali-kali menggunakan ilmu Kumayan Jati."
Memperoleh pikiran demikian, mendadak teringat dia bahwa ia belum mengabarkan
tentang ilmu Kumayan Jati kepada gurunya. Serentak berkatalah dia hati-hati,
"Guru! Maafkan kelalaianku. Karena Guru tadi masih sibuk . berbicara
dengan Paman, tak berani aku mengganggu. Sesungguhnya, aku hendak mengabarkan
bahwa di tengah perjalanan bertemulah aku dengan seseorang yang mena-makan diri
Gagak Seta. Meskipun aku belum berani mengangkat guru kepadanya sebelum
memperoleh ijin Guru, tetapi aku telah meneri- 1 ma delapan bagian ilmunya.
Untuk ini..."
"Aji!
Tahukah engkau azas perguruan kita?" potong Wirapati. "Semenjak
kanak-kanak, aku diwajibkan menghafal tujuh deret kalimat hingga meresap dalam
lubuk hati. Yakni, menghormati Tuhan semesta alam, bumi kelahiran, orang tua,
guru, saudara tua, pergaulan dan sesama hidup. Mengapa selain Tuhan, bumi
kelahiran, orang tua, guru dan saudara tua, aku diharuskan menghormati
pergaulan dan sesama hidup pula? Karena sekalian satwa alam ini adalah ayat
Tuhan itu sendiri. Gagak Seta adalah seorang dari angkatan tua yang setaraf
dengan kakek-gurumu. Hanya bertemu saja dengan dia, sesungguhnya merupakan
suatu kehormatan besar. Apalagi sampai menurunkan suatu ilmu. Apabila engkau
tidak berkenan dalam hatinya, meskipun engkau lahir sampai tujuh kali, takkan
orang tua itu demikian murah hati terhadapmu. Karena itu, di kemudian hari
apabila engkau dapat bertemu kembali dengan dia, sampaikan pula hormatku
kepadanya. Hendaklah engkau menekuni ilmu warisannya dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, kau tak mensia-siakan jerih payahnya. Aku sendiri berharap,
mudah-mudahan engkau bisa mengambil manfaatnya, sehingga di kemudian hari
engkau bisa menciptakan suatu ilmu gabungan antara ilmu perguruanku dan
ajarannya. Syukur pula, apabila engkau bisa mengambil sari-sari ilmu gurumu
Jaka Saradenta. Karena gurumu sesungguhnya adalah murid almarhum Kyai Haji
Lukman Hakim."
Betapa
gembira hati Sangaji, tak terperikan mendengar ucapan gurunya. Gurunya ternyata
tiada bersakit hati atau menyesali. Tapi bahkan menganjurkan pula. Inilah di
luar dugaannya. Sesungguhnya apabila dia se-orang pemuda yang encer otaknya,
mestinya sudah dapat menebak keadaan hati gurunya semenjak tadi. Sebab apabila
gurunya tiada menyetujui, pastilah dia akan kena tegur, tatkala habis bertempur
melawan Pring-gasakti. Bukankah dia bertahan dan melawan kegagahan iblis itu
dengan ilmu ajaran Gagak Seta? Ternyata kakak seperguruannya, guru-nya tiada
pula menaruh keberatan. Bahkan tiba-tiba ikut berkata, "Sangaji! Kulihat
gerakanmu masih menemukan suatu rintangan tertentu. Tunggulah sampai engkau
meng-hadap kakek gurumu. Siapa tahu, engkau bisa memperoleh suatu
petunjuk-petunjuk yang berharga."
Arah
perjalanan mereka kini berubah lagi. Tepat bersamaan dengan tenggelamnya
mata-hari, mereka menghadap ke arah barat daya. Sangaji mengikuti Guru dan
pamannya tanpa minta keterangan. Seluruh hatinya benar-benar takluk kepada
keluhuran budi mereka berdua. Pada suatu desa, mereka berhenti mengisi perut di
sebuah kedai. Memang semenjak pagi hari tadi, mereka hampir melalaikan
kepentingan jasmaninya. Itulah sebabnya, meskipun hidangan yang disajikan
sangat sederhana, mereka menelannya dengan lahap.
Dalam pada
itu malam hari
telah merangkak dengan
diam-diam. Sekonyong-konyong
terdengarlah
beberapa orang berlari-lari melintasi jalan. Salah seorang melihat mereka dan
dengan gugup melambaikan tangan,
"Raden(suatu
sebutan semacam tuan)!, masuklah kekampung! Serdadu-serdadu kompeni mulai
membunuh orang."
"Membunuh
orang? Mengapa?" sahut pemi-lik kedai dengan muka berubah.
"Siapa
yang tahu? Kabarnya mereka me-maksa penduduk agar menunjukkan Desa
Karangtanggung, Singajaya, Gowong dan entah apa lagi. Siapa sudi berkeluyuran
begini malam hari sepanjang lembah Kali Jali. Salah-salah matilah digigit
ular."
Setelah
berkata demikian, orang itu terus saja menghilang di balik perkampungan.
Seperti teman-temannya, ia mengira memper-oleh keamanan apabila sudah
bersembunyi dalam kampung.
"Raden!
Nampaknya Raden tak beruntung. Di depan serdadu-serdadu kompeni yang kabarnya
begitu jahat. Aku sendiri terpaksa menutup warung," kata pemilik kedai
kepada Wirapati, Bagus Kempong dan Sangaji. Benar-benar ia nampak gugup, hingga
tangannya gemetaran.
Selamanya,
anak murid Kyai Kasan Kesambi benci bukan kepalang kepada istilah serdadu.
Maklumlah, Kyai Kasan Kesambi adalah bekas pejuang penentang penjajah. Dahulu
ia merupakan salah seorang pembantu kepercayaannya Pangeran Mangkubumi 1 dalam
Perang Giyanti. Karena itu, sikap hidupnya ini ditanamkan dalam lubuk hati
sekalian murid-muridnya. Meskipun demikian, Kyai Kasan Kesambi melarang keras
melakukan pembunuhan terhadap kompeni apabila tidak terpaksa. Soalnya, karena
bagaimanapun alasannya melaksanakan pembunuhan adalah suatu perbuatan yang
berlumuran darah. Sebaliknya jika sudah terlanjur demi membela keamanan, dia
tak pernah mengomeli. Malah seringkali dipuji. Ia hanya memberi saran agar
lebih berhati-hati. Jika bersua dengan petroli kompeni yang berjumlah dari 20
orang lebih baik menyingkir. Tetapi, kalau jumlahnya tak lebih dari 15
orang—apabila berbuat sewe-nang-wenang tehadap rakyat— bolehlah mencoba-coba
mengadu untung.
Kini,
Bagus Kempong dan Wirapati men-dengar sepak terjang serdadu-serdadu kom-peni.
Keruan saja, darahnya langsung men-didih serentak mereka melompati kudanya dan
mengaburkan ke arah utara. Sangaji pun tak mau ketinggalan. Dengan menunggang
Willem, ia bisa gampang mengejar mereka berdua. Hanya saja hatinya agak segan
ber-lawan-lawanan dengan kompeni. Maklumlah, hampir lima tahun, ia manja di
dalam tangsi Belanda di Jakarta.
Kira-kira
dua pai jauhnya, terdengarlah kesibukan-kesibukan di depan sana. mereka
mendengar jerit ngeri. Cepat-cepat mereka mengeprak kudanya. Apabila sudah
dekat dengan gemas mereka melihat dua orang ser-dadu Bumiputera sedang
menghajar seorang anak berumur 10-12 tahun. Terdengar mere-ka membentak-bentak.
"Kau
mau tidak mengantarkan kami?"
Anak
itu tak kuasa membuka mulutnya. Kedua orang tuanya mencoba membela.
"Lepaskan dia! Biar kita berdua menjadi penunjuk kalian."
Mendengar
ujar mereka, kedua serdadu itu tertawa mendongak hampir berbareng. Men-dadak
saja anak itu terus diangkat ke udara dan ditendang dijungkir-balikkan. Sudah
ba-rang tentu anak itu menjerit kesakitan selagi masih berjungkir-balik di
udara. Begitu jatuh tengkurap di atas tanah, serdadu yang lain menyambarnya dan
ditendang lagi ke udara. Kini mengarah ke dalam barisan. Serdadu-serdadu yang
lain segera menyambutnya dan dilemparkan pula ke udara seperti bola keranjang.
Melihat
sepak terjang mereka, darah Sangaji mendidih juga. Teringatlah dia akan
nasibnya dahulu tatkala diperlakukan demi-kian oleh Mayor de Groote. Maka
dengan gusar ia terus
melabrak
maju. Tapi belum sampai ia sempat menerjang, ternyata guru-nya sudah turun
tangan. Anak murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat itu dengan tangkas meloncat
dari kudanya selagi kakinya belum menginjak tanah, tangannya sudah menyambar.
Seorang serdadu yang lagi sibuk hendak menyambut anak malang itu, tiba-tiba
saja terjungkal di tanah dengan memuntahkan darah. Sedangkan si anak terus
dilemparkan perlahan kepada Bagus Kempong.
Melihat
Wirapati menyerbu dengan men-dadak, serdadu-serdadu yang lain terperanjat.
Mendadak terdengar pekik pemimpin regu, "Hai! Bukankah mereka ini yang
kita cari?"
Berbareng
dengan pekikannya pemimpin regu itu terus menusukkan bayonetnya. Dia adalah
seorang sersan. Meskipun hari remang-remang gelap, nyata sekali bahwa dia
seorang Belanda.
"Guru,
awas!" Teriak Sangaji terkejut. "Hm," dengus Wirapati tenang.
"Kausaksikan bagaimana gurumu menghajar serdadu-serdadu. Empat tahun di
Jakarta, tangan gurumu tersekap dalam kantong celana demi keselamatanmu."
Dengan
tertawa Wirapati menghadapi serangan sersan Belanda itu. Bayonet tinggal
belasan centi saja dari dadanya. Mendadak tangan kirinya membalik dan terus
menangkap laras senapan. Berbareng dengan itu, tangannya menyodok. Laras
senapan yang berbayonet itu membalik 180 derajat oleh tepukan tenaga dorong.
Belum lagi sersan itu sadar akan artinya, dadanya tertembus bayo-netnya
sendiri. Dengan sekali menjerit ia ter-jungkal di tanah tanpa berkutik lagi.
Menyaksikan
ketangkasan Wirapati, ser-dadu-serdadu lainnya berteriak-teriak menyerbu rapat.
Mereka bersenjatakan pedang dan tombak. Nyata sekali, bahwa dalam suatu patroli
hanya serdadu bangsa Belanda saja yang bersenjatakan senapan. Lainnya yang
berbangsa Bumiputera hanya bersenjatakan pedang panjang, tombak atau penggada.
Tanpa
bicara lagi, Sangaji terus meloncat turun dari kudanya. Cepat ia rebut pedang
salah seorang serdadu. Dengan tenaga sakti ilmu Kumayang Jati, ia memutar
pedang itu secepat kitiran. Dua kali ia membabat dan dua serdadu kena tebas.
Melihat
gelagat buruk, serdadu-serdadu yang lain terus melarikan diri dengan
tung-gang-langgang. Lari mereka berpencaran. Meskipun demikian, mereka masih
sempat pula melampiaskan dendamnya pada rakyat yang tadi dipaksa ke luar dari
rumah. Karena itu, banyak di antara penduduk yang kena tikaman pedang atau
kemplang penggada. Sehingga suara jerit ketakutan dan kesakitan mengiang ke
udara.
Bagus
Kempong yang lagi menolong si anak, mendidih darahnya melihat sepak terjang
begundal-begundal kompeni Belanda. Dengan berteriak nyaring ia berkata,
"Jangan biarkan mereka lari berpencaran!"
Berbareng
dengan teriaknya, ia lari melesat ke jurusan barat menghadang empat serdadu.
Sekali bergerak, keempat serdadu itu jatuh berdeburan di atas tanah. Maklumlah,
mereka tiada memiliki suatu kepandaian yang berarti. Bagi Bagus Kempong
merupakan makanan empuk belaka.
Dalam
pada itu, Sangaji berkelahi pula dengan penuh semangat. Hatinya tidak
segan-segan lagi melabrak sekalian serdadu, karena gemas menyaksikan kekejaman
menghajar seorang anak. Dengan pedang rampasannya ia merangsak. Dengan tinjunya
yang bertenaga ia menghajar kalang kabut.
"Bagus!"
puji Wirapati gembira. Ia tak me-ngira, bahwa muridnya mau berkelahi juga
melawan golongan kompeni. Sekonyong-konyong ia melihat seorang serdadu berewok
menyerang dari timur. Cepat ia menangkis dan dengan sekali gempur, sedadu itu
jatuh tertelungkup. Tetapi mendadak saja, tahu-tahu serdadu itu melesat dan
berhasil menangkap pergelangan tangan Sangaji.
Sangaji
terperanjat. Tanpa berpikir lagi, ta-ngannya terus menghantam dengan jurus ilmu
sakti Kumayan Jati. Serdadu itu menggeliat mundur tiga langkah sambil terpekik
heran. Kemudian dengan gerakan aneh, ia menyerang lagi. Kali ini lebih dahsyat
dan tangkas. Tangan Sangaji kena ditangkapnya dan terus ditarik maju.
Bagus
Kempong dan Wirapati heran menyaksikan keperkasaan serdadu itu. Tenaga Sangaji
bukanlah suatu tenaga dorong murahan. Setiap pukulannya mengandung tenaga ilmu
Kumayan Jati. Namun serdadu itu kuat bertahan seolah-olah kebal dari suatu
pukulan betapa sakti pun. Mereka terperanjat, tatkala melihat lengan Sangaji
kena tangkap pula.
Maka
tanpa berpikir lagi, Bagus Kempong melesat maju sambil melontarkan gempuran.
Serdadu itu kaget. Ia tahu bahaya. Cepat ia melepaskan cengkramannya dan
menangkis gempuran Bagus Kempong. "Plak!" Bagus Kempong terkejut
bukan kepalang. Ia merasa tenaga pukulan lawan begitu kuat bagaikan gugurnya
sebuah bukit batu. Tubuhnya sam-pai tergeliat mundur.
Sebaliknya
serdadu itu pun tak tahan menangkis gempuran Bagus Kempong. la tergeliat sampai
tubuhnya berputar kemudian kabur dan lenyap di gelap malam.
"Jangan
kejar! Berbahaya," Bagus Kempong berteriak memperingatkan.
Wirapati
terkejut. Paras Bagus Kempong ternyata pucat lesi, terang sekali terluka tiada
enteng. Cepat Wirapati membopongnya. Se-baliknya, Sangaji nampak duduk
bersimpuh di atas tanah. Lengannya berdarah terkena cengkeraman serdadu tadi.
Maka cepat-cepat ia menyalurkan napas dan darahnya, agar terhindar dari suatu
kemungkinan terkena racun.
"Tolong
muridmu dahulu!" bisik Bagus Kempong lemah. Dia sendiri terus duduk
menenangkan diri di atas tanah.
Waktu
itu, Wirapati melihat tiga orang ser-dadu sedang datang mengepung Sangaji.
Dengan
sebat Wirapati menyambar senja-tanya. Sekali tusuk, dua orang mati ter-jungkal.
Lainnya segera melarikan diri. Tetapi Wirapati sedang marah. Pedang rampasan
terus ditimpukkan dengan sekuat tenaga. Agaknya hatinya bergejolak hebat karena
marah melihat kakak seperguruannya terluka oleh akal licik seorang serdadu.
Tenaga lontarannya kuat luar biasa sehingga mem-bawa suara mendesing. Maka
terdengarlah suara gedebrukan. Serdadu itu mati tertancap lontaran pedang
seperti terpantek di atas tanah.
Wirapati
lantas menolong muridnya dan dibawa berdiri menghampiri Bagus Kempong. Pada
waktu itu para serdadu sudah meninggalkan kampung. Bagus Kempong masih
memejamkan mata mengatur perna-pasannya. Kemudian, merogoh sebutir ra-muan obat
buatan gurunya, wajahnya yang tadi pucat perlahan-lahan bersemu merah kembali.
"Tenaga
pukulan luar biasa kuat," katanya lemah berbarengan dengan menyenakkan
mata. Mendengar kakak seperguruan sudah dapat berbicara tenang, hati Wirapati
lega bukan main. Meskipun demikian, belum berani ia mengajak berbicara lebih
banyak lagi.
"Apakah
orang itu benar-benar mening-galkan kita?" Bagus Kempong menegas dengan
lemah.
"Ya,
bagaimana keadaan Kangmas?"
"Tak
usahlah kau bercemas hati," sahut Bagus Kempong. Tangannya menggapai
pun-dak Wirapati. Dengan memejamkan mata ia merenung-renung. Sejenak kemudian
ia mem-buka matanya kembali sambil berkata, "Tak dapat aku menebak siapa
dia. Terang sekali ia seorang pendekar yang menyamar sebagai serdadu murahan
dengan menyembunyikan maksud-maksud tertentu. Melihat dia hendak menculik
Sangaji, pastilah dia mengincar pula pusaka keramat. Aih, tak kukira begini
besar pengaruh pusaka keramat Pangeran Semono. Baiklah... marilah kita pulang
ke gunung, kita minta keterangan Guru dari cabang kesaktian manakah orang
itu."
Mendengar
ujar Bagus Kempong, tahulah Wirapati bahwa kakak seperguruannya meng-hendaki
agar dia membatalkan maksudnya mengambil pusaka warisan. Mengingat di antara
mereka yang memperebutkan pusaka sakti terdapat orang-orang sakti. Sedangkan
kakak seperguruannya terluka pula, maka ia menerima baik saran itu. Cepat ia
memapah Bagus Kempong dan dengan hati-hati di-dudukkan di atas pelana kuda. Ia
sendiri terus melompat naik di belakangnya. Dengan demikian, ia dapat memeluk
tubuh kakak-seperguruannya. Sangaji sendiri, tak perlu memperoleh bantuan.
Pemuda itu sudah bisa menguasai diri. Meskipun demikian, Wirapati minta
keterangan kepadanya, "Sangaji! Bagaimana dengan lukamu?"
Dengan
menggelengkan kepala Sangaji menjawab, "Hanya luka tak berarti. Anehnya
tubuhku merasa jadi panas."
Mereka
menderapkari kudanya perlahan-lahan menuju ke timur kembali. Sampai di Desa
Salatiyang mereka berhenti di sebuah gardu penjagaan. Khawatir sisa
serdadu-serdadu tadi masih berusaha mengejarnya, maka Wirapati menutup pintu
gardu dengan selembar sarung. Setelah itu ia mendampingi kakak-seperguruannya
mengatur tata-napas. Sekali-kali ia meraba kening muridnya pula yang berubah
menjadi panas seperti seseorang terserang penyakit demam.
Menjelang
tengah malam, Bagus Kempong sudah pulih sebagian tenaganya. Ia berjalan
mondar-mandir melemaskan urat tulangnya. Kemudian berkata, "Wirapati,
adikku! Selama hidupku kecuali guru belum pernah kukete-mukan seorang jago
seperkasa orang tadi."
Wirapati
mendengarkan kata-kata kakak-seperguruannya dengan cermat. Tapi sewaktu ia
menggempur serdadu itu, nampaknya begitu lemah. Dengan sekali gempur, ternyata
ia rebah. Setelah dipikir-pikir pulang balik, sadarlah dia bahwa orang itu
sebenarnya hanya berpura-pura untuk mengincar mangsa yang dikehendaki. Merasa
berhasil mengungkap mangsa yang dihendaki, dengan mati-matian ia mencoba hendak
mempertahankan. Sayang sekali baik Wirapati, Sangaji maupun Bagus Kempong tidak
begitu mengamat-amati bentuk tampangnya. Maklumlah, kecuali hari gelap, dalam
suatu pertempuran seru bagaimana sempat pula memperhatikan perawakan lawan
seorang demi seorang. Samar-samar mereka hanya teringat, bahwa orang itu
berperawakan agak pendek. Mukanya penuh bulu.
Diam-diam
dia berpikir dalam hati. Kangmas Bagus Kempong lebih kuat dari-padaku, meskipun
demikian kena dilukai. Hm, pastilah bukan orang sembarangan. Dia pun mengincar
Sangaji. Aih, agaknya pesan terakhir Wayan Suage yang diungkapkan Sangaji,
sudah bukan menjadi suatu rahasia lagi. Jangan-jangan, dia pun termasuk salah
seorang yang menyelundup dalam barisan utusan Sri Sultan, sehingga dapat
mendengar kata-kata Sangaji. Bagus! Jika bangsat itu berani datang kembali
dengan mengancam nyawa Sangaji, biarlah aku mengadu nyawa. Karena ini, segera
ia berkata kepada Bagus Kempong, "Kangmas, apakah keadaan badanmu sudah
pulih kembali?"
Persaudaraan
seperguruan mereka sudah dipupuk semenjak kanak-kanak, sehingga suatu isyarat
mata atau suatu gerakan tangan sudah cukup untuk saling memahami kehendak hati
masing-masing. Maka Bagus Kempong lantas saja bisa menerima, bahwa
adik-seperguruannya mengkhawatirkan keadaannya.
"Aku
hanya hendak melemaskan urat belikat belaka."
Setelah
berkata demikian, kembali ia duduk bersemadi menenangkan hati. Ia duduk dekat
Sangaji. Teraba oleh suhu tubuh Sangaji yang agak tinggi, ia menyenakkan mata.
Sebentar ia memperhatikan paras pemuda itu, kemudi-an memejamkan mata kembali.
Sebagai se-orang pendekar yang berpengalaman tahulah dia dengan sekali pandang,
bahwa luka Sangaji meskipun teraba oleh sesuatu racun tidak akan membahayakan
nyawa.
Dalam
gardu itu lantas saja terselimuti suatu kesenyapan. Angin mendesir lembut
meraba kain sarung yang terpancang menjadi tirai. Bulan di luar nampak
remang-remang. Suasana damai terasa meraba sekitar lembah pegunungan. Wirapati
jadi bermenung-menung. Dua belas tahun yang lalu, seringkali dia lewat sekitar
Dusun Salatiyang. Meskipun kini belum berubah, tetapi pengalamannya sehari tadi
mempunyai kesan tertentu. Daerah lembah Gunung Damar yang dahulu aman tenteram,
ternyata mulai dikunjungi orang-orang tertentu yang mengandung maksud jahat.
Selagi
ia bermenung, mendadak saja kain sarung yang terpancang di depannya
menggelembung lembut seperti teraba suatu tangan. Tajam ia mengamat-amati.
Benar juga. Perlahan-lahan sarung itu tersingkap. Kemudian muncullah kepala
seseorang men-jenguk ke dalam. Ia bersangsi dan mau men-duga, bahwa orang itu
mungkin seorang pe-ronda kampung atau salah seorang penduduk. Mungkin pula
seorang pengembara yang kebetulan lewat. Tetapi aneh! Mengapa pendengarannya
yang tajam tiada mendengar langkahnya. Memperoleh pertimbangan ini, ia jadi
curiga. Cepat ia bersiaga menghadapi kemungkinan.
Orang
yang menyingkap sarung itu, seorang laki-laki berperawakan tinggi tipis. Ia
menge-nakan baju dan celana pendek. Tangannya menggenggam cambuk, mirip seorang
sais. Begitu melihat siapa yang berada di dalam gardu, terus mundur dengan
tertawa melalui hidung.
Melihat
gerak-gerik orang itu. Wirapati yakin bahwa maksudnya tidak baik. Hatinya
menjadi mendongkol, mendengar nada tertawanya dan kekurangajarannya. Tatkala
sarung itu turun dan bergelombang ke luar, ia membarengi dengan menyodokkan
tangan dengan tenaga gendam.
Seketika
itu juga, tirai sarung itu terbang dan tepat mengenai dada. Laki-laki itu kaget
sampai memekikkan suara. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh
tertengkurap. Ia mencoba tertatih-tatih bangun. Begitu dapat berdiri tegak
mendadak saja berlari kabur sambil berteriak, "Bangsat! Ajal kalian sudah
di depan mata, masih berani berlagak sok pendekar?"
Bagus
Kempong sudah tentu mengetahui peristiwa itu, tetapi dia tetap tak bergerak
dari tempatnya. Sebaliknya Wirapati terus berkata kepadanya, "Sejiwan
sudah berada di depan. Apakah kita tidak berangkat saja?"
Tidak!"
sahut Bagus Kempong cepat dan tegas. "Malam ini biarpun badai turun dengan
dahsyat, kita tak perlu meninggalkan tempat ini. Esok pagi biarlah kita
berangkat bersama dengan merangkaknya matahari."
Mendengar
kata-kata Bagus Kempong, Wirapati dengan cepat dapat memahami. Se-mangat
keperwiraannya lantas saja berkobar-kobar. Katanya bergelora, "Ya, benar.
Jarak perjalanan ke Sejiwan tinggal enam-tujuh pai. Betapapun kita berdua tak
becus menghadapi mereka masa harus merosotkan papan nama perguruan. Masakan di
kaki Gunung Damar, kita masih menempuh perjalanan pada malam hari untuk menghindari
mereka?"
"E-hm."
Bagus Kempong berdehem. "Jejak kita terang sudah ketahuan orang-orang
ter-tentu. Biarlah mereka menyaksikan bagai-mana cara murid Kyai Kasan Kesambi
meng-hadapi ajalnya."
Sangaji
mendengarkan ucapan guru dan pamannya dengan jelas. Gurunya sama sekali tiada
menyinggung dirinya. Pamannya pun demikian, seolah-olah dia tidak termasuk
hitungan. Di sini ternyata, bahwa guru dan pamannya tak menginginkan dia
terlibat dalam kesukaran. Bahkan mereka bersiap-sedia, mengorbankan nyawa bila
perlu demi menjaga keselamatan dirinya. Tetapi bagai-mana dia mau diperlakukan
demikian? Meski-pun dia tahu maksud baik guru dan paman-nya, tetapi diam-diam
ia sudah mengambil keputusan,
"Jika
orang semalam datang kem-bali mengganggu Guru dan Paman karena menginginkan
diriku, biarlah aku mengadu nyawa."
Keesokan
harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Waktu itu matahari telah sepenggalah
tingginya. Angin meniup sejuk membawa hawa pegunungan. Mereka meneruskan
perjalanan dengan berkendaraan kuda. Bagus Kempong tak membutuhkan bantuan
tenaga Wirapati, meskipun kesehatan dan tenaganya belum pulih seperti
sediakala. Itulah sebabnya pula, kudanya hanya dibiarkan berjalan
perlahan-lahan.
Baru
saja melampaui dua pai, mereka telah disusul satu rombongan berkuda. Tidak jauh
di sana, kira-kira seratus langkah di depan mereka berdiri empat penumpang kuda
pula yang bersiaga menghadang di tepi jalan. Dengan demikian, mereka terjepit
dari belakang dan depan.
Dengan
sikap tak memedulikan, Bagus Kempong lewat di depan mereka. Sedangkan
Wirapati
menjajari di sampingnya dengan waspada. Mereka yang menghadang ternyata terdiri
dari seorang kakek, seorang wanita muda yang cantik dan dua perwira yang
mengenakan pakaian seragam.
Wanita
muda itu memegang pedang pan-jang dan dengan isyarat mata ia memberi pe-rintah
kepada si kakek agar menghadang dengan melintangkan kudanya. Kedua perwira yang
mendampingi ikut pula melintangkan kudanya sambil tersenyum-senyum
meren-dahkan.
Wirapati
terus saja lari mendahului Bagus Kempong, sedangkan Sangaji menjaga di
belakang. Dengan menahan gejolak hati, Wirapati memberi hormat dari atas
kudanya. Kemudian menyapa,
"Terimalah
hormat kami berdua. Bagus Kempong dan Wirapati anak murid Kyai Kasan Kesambi.
Tuan-tuan telah mengunjungi daerah kami dan ternyata kami lalai meng-adakan
penyambutan. CJntuk kelalaian kami harap dimaafkan. Sekiranya Tuan-tuan
berla-pang dada, dapatkah kami mengetahui nama-nama Tuan yang mulia?"
Wanita
muda itu hanya tersenyum belaka sebagai balasan. Sedangkan kedua perwira yang
mendampingi, meludah ke tanah.
Kemudian
si kakek yang berambut gimbal membalas dengan kasar.
"Siapa
sudi menerima hormatmu. Cukup serahkan saja bocah itu dan kami takkan
mempersulit kalian berdua."
"Bocah
ini adalah murid kami. Dan kami adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Biarlah beliau
yang memutuskan. Lagi pula apakah keuntungannya Tuan membawa murid kami.
Sekiranya Tuan membutuhkan petunjuk atau keterangan tentang tempat-tempat yang
Tuan kehendaki, lebih berhasil apabila membawa kami berdua," sahut
Wirapati yang dengan menahan marah. Tetapi di dalam hati dia sibuk
menimbang-nimbang, terang sekali mereka mencari perkara. Sangaji hendak
dibawanya supaya bisa dipaksanya menunjukkan pusaka warisan. Hm, Kangmas Bagus
Kempong menderita luka tak enteng. Tetapi masa aku harus menyerah mentah-mentah
di daerahku sendiri?
Tengah
dia sibuk menimbang-nimbang, Kakek itu berkata dengan nada merendahkan.
"Pikirlah
masak! Kakakmu seperguruan ter-luka berat. Bocah itu pun kurang sehat. Tinggal
kau seorang diri. Masa kamu mampu melawan kami?"
"Apakah
kamu akan mengadu jumlah banyak?" Wirapati tak sabar lagi. Dengan pan-dang
tajam ia melepaskan kata-kata tajam pula.
"Bagus!
Telah lama aku mendengar kabar, bahwa murid-murid Kyai Kasan Kesambi tak gampang-gampang
bisa diruntuhkan.
Pagi
ini biarlah kita mencoba-coba, seru Kakek itu sambil mencabut tongkat galih
pohon
jambe
). Tongkat itu bentuknya seder-hana tetapi berkepala ular dan terus
diputar-putar sehingga mengeluarkan suara berdesing.
Di
antara anak murid Kyai Kasan Kesambi, Wirapati adalah salah seorang murid yang
ahli dalam menggunakan senjata panjang. Dia terkenal dengan sebutan Aria Sada
Lanang ). Tatkala menerima ajaran ilmu senjata ia diperkenalkan oleh gurunya
tentang berma-cam-amcam aliran yang menggunakan senjata sebagai sendi
kekuatannya. Maka pengetahuannya tentang perguruan-perguruan yang mengajar ilmu
senjata cukup luas.
Demikianlah,
tatkala melihat bentuk senjata kakek itu hatinya jadi tercekat. Teringatlah
dia, bahwa gurunya pernah memperkenalkan adanya suatu aliran yang berpusat di
sekitar Gunung Liman, yang mahir menggunakan tongkat berkepala ular sebagai
senjatanya yang ampuh. Cara bertahan dan menyerang aliran Gunung Liman agak
berbeda dengan ajaran gurunya. Tetapi lebih ganas dan keji. Sebab kecuali
dilumurui racun jahat, tiap jurusnya tak memberi kesempatan kepada lawan untuk
bernapas barang sekejap pun. Cikal bakal aliran itu bernama Hewa. Apakah Hewa
suatu sebutan atau gelar, gurunya tak dapat menjelaskan. Memperoleh ingatan
ini, Wirapati mencoba menguasai diri. Seperti diketahui, dia diajar untuk
menghormati angkatan tua oleh gurunya, maka segera ia berkata penuh hormat.
"Apakah
Kakek berasal dari Gunung Liman? Barangkali Kakek kenal dengan seorang sakti
bernama Hewa, sampaikan salamku."
Mendengar
kata-kata Wirapati, Kakek itu terperanjat. Tak pernah diduganya, bahwa Wirapati
semuda itu sudah mempunyai penge-tahuan luas sehingga mengenal asal-usulnya.
Sesungguhnya Kakek itulah yang di sebut He-wa. Namanya yang lengkap, Hajar
Sandihewa. Jabatannya ketua aliran sakti dari Gunung Liman. Kedatangannya ke
Gunung Damar ialah atas undangan Patih Danurejo dan dijanjikan akan memperoleh
upah besar apabila berhasil membawa pulang pusaka sakti
Pangeran
Semono. Beberapa bulan lamanya ia mencoba mengumpulkan berita. Selama itu, tak
pernah ia memperkenalkan namanya atau memperlihatkan macam kepandaiannya. Tak
tahunya, baru saja ia muncul telah dikenal oleh seorang pemuda layak cucunya.
Karena itu, terpaksa ia menjawab, "Legakan hatimu. Akulah sendiri yang
bernama Hewa. Lengkap-nya Hajar Sandihewa."
"Golongan
kalian selamanya tak pernah berhubungan atau bergaul dengan kami dalam
percaturan hidup. Mengapa tiba-tiba Kakek berada di Gunung Damar? Apabila kami
pernah melakukan suatu kesalahan, tolong berilah penjelasan."
Hajar
Sandihewa tersenyum merendahkan, mendengar ucapan Wirapati.
"Memang
antara golonganku dan golongan-mu tak pernah terjadi suatu permusuhan. Aku pun
pernah mendengar berita, tentang kegagahan anak murid Kyai Kasan Kesambi.
Tetapi kedatanganku kemari sesungguhnya hanya menginginkan bocah itu agar
memberi keterangan tentang pusaka Pangeran Semono."
Terdengarnya
ia berbicara pantas. Tetapi nadanya berat dan mendesak. Bahkan dengan lambaian
tangan, ia memberi aba-aba kepada rombongan yang mengikuti dari belakang agar
mengepung lebih rapat. Terang sekali, ia hendak memutuskan perkara itu dengan
suatu kekerasan.
Mau
tak mau, Wirapati mendongkol menyaksikan sikapnya. Karena itu mendadak saja, ia
berkata kaku.
"Seumpama
aku bersitegang dan menolak kehendakmu apakah yang akan kaulakukan?"
"Ilmu
Kyai Kasan Kesambi termasyur di seluruh jagad. Siapa yang tak kenal? Aku pun
termasuk salah seorang di antara mereka yang tak berani meremehkan anak
muridnya. Kebetulan sekali, kudengar kakak seperguru-anmu terluka dan bocah itu
keracunan.
Kesempatan
ini sangat baik untuk kupergu-nakan memaksa kau dengan mengandalkan jumlah
banyak. Seumpama kau membandel, akan kami persilakan engkau pergi dengan bebas.
Hanya saja, kakakmu dan bocah itu harus kutahan."
Heran
Wirapati mendengar kata-kata Hajar Sandihewa yang hendak mempergunakan
kesempatan itu untuk kepentingannya. Nyata sekali, betapa rendah budinya.
Karena itu, tak ada guna faedahnya berlaku hormat kepada-nya. Maka serentak ia
menegakkan kepala dan membentak, "Bagus! Jika begitu, terpaksa aku
memberanikan diri mencoba-coba ilmu sakti dari Gunung Liman. Tapi andaikata
engkau terpaksa mengalah satu dua jurus ter-hadapku, bagaimana
selanjutnya?"
"Jika
aku kalah, sudah tentu kami beramai-ramai akan maju mengkerubut," sahut
Hajar Sandihewa dengan tertawa riuh. "Habis inilah suatu kesempatan bagus
yang belum tentu kuketemukan dalam sepuluh tahun. Sebaliknya, andaikata
tiba-tiba saudara-saudara seperguruanmu secara kebetulan berada di sini, kalian
boleh mengkerubut kami. Dengan demikian, bukankah adil?"
Terang
sekali, Kakek itu tahu—Wirapati hanya seorang diri, namun ia mencoba men-cari
kata-kata imbangan dengan mengumpa-makan anak murid Kyai Kasan Kesambi
tiba-tiba datang. Maksudnya hendak mempertahankan kehormatan dirinya sebagai
seorang dari angkatan tua. Sebaliknya, Wirapati jadi sadar bahwa tiada gunanya
mengadu mulut lagi. Tetapi hatinya sibuk memikirkan keselamatan kakaknya
seperguruan dan Sangaji yang lagi terserang sesuatu racun. Cepat ia berpikir,
biarlah kubekuknya dia untuk kujadikan sandera memaksa kawan-kawannya
mengadakan kerubutan. Dengan cara mengancam nyawanya, bukankah kawan kawannya
terpaksa membatalkan maksudnya hendak mengkerubut aku dan Kangmas yang sedang
terluka parah? Memperoleh keputusan itu, segera ia meloncat dari kudanya dengan
enteng sekali. Kemudian, ia meminjam pedang Sangaji hadiah Willem Erbefeld.
Berkata menantang, "Mari! Kau adalah tamuku. Silakan menyerang
dahulu."
Hajar
Sandihewa dengan gesit melompat turun dari kudanya. Mendadak saja terus
menyerang dengan keji dan ganas. Benar-benar serangannya tak mengenal ampun dan
segan-segan. Wirapati dengan cepat mengelak tiga kali beruntun-runtun sambil
berpikir dalam hati, hari ini aku bertempur dengan keselamatan Kangmas,
perguruan dan Sangaji. Jika aku sampai gugur, rasanya tak sia-sia hidupku di
dunia. Tapi, hm. Sangaji belum memenuhi tekadnya hendak membalas dendam
ayahnya. Apakah dia harus tewas dalam pertempuran ini.
Pada
saat itu ia melihat tongkat Hajar Sandihewa menyambar dahsyat. Segera ia
menangkis dan mencoba mengadu tenaga. Terlintaslah suatu pikiran. Biarlah aku
berpura-pura kalah tenaga. Dengan begitu, dia berpikir tak perlu minta bantuan
teman-temannya.
Apa
yang terlintas dalam benaknya segera dilakukan. Begitu ia terbentur tongkat
Hajar Sandihewa, ia mundur tergeliat. Karuan Hajar Sandihewa yang tadi beragu
menghadapi anak-murid Kyai Kasan Kesambi, menjadi girang dan berbesar hati.
Ha,
katanya anak-murid Kyai Kasan Kesambi hebat tak terkalahkan. Ternyata hanya
berilmu dangkal. Tenaganya tak mele-bihi pekerja kampungan. Tahulah aku
se-karang, mungkin orang-orang itu hanya me-ngibul belaka, pikirnya. Setelah
itu berseru kepada kawan-kawannya! "Kalian tak usah membantu. Biarlah aku
membereskan bocah ini seorang diri."
Secepat
kilat ia menyodokkan tongkatnya. Wirapati menangkis dengan susah payah.
Sekali-sekali ia menyerang juga, tapi nampak sekali tak berdaya. Karena itu,
hati Hajar Sandihewa kian menjadi besar. Sekaligus tim-bullah angan-angannya
hendak mempergu-nakan kesempatan ini untuk mengangkat nama. Maka dengan tertawa
riuh meren-dahkan lawan, ia menyambar pulang-balik bagaikan burung sikatan.
Meskipun dia
bergerak demikian cepat,
namun tiap serangannya
selalu kena ditangkis
lawan.
Memperoleh kenyataan itu, hatinya jadi panas. Dengan menjejak tanah, ia hendak
mengadu kegesitan. Tongkatnya terus menyambar, menyodok, memukul, menebas dan
memotong jurus tangkisan dan serangan.
Wirapati
terus bermain mundur. Otaknya yang cerdas dan penglihatannya yang tajam, segera
menyelami ilmu Gunung Liman. Dan tak usah lama, ia telah memperoleh
kesim-pulan. Benar gerak-gerik Hajar Sandihewa cepat, ganas dan ruwet. Tetapi
banyak me-ngandung lubang kelemahan. Tetapi ia masih belum mau membalas. Ia
menunggu sampai lawannya dimabukkan semangat menang yang berlebih-lebihan. Pada
saat yang ditung-gu-tunggu sewaktu Hajar Sandihewa mulai bertempur dengan
membentak-bentak, segera ia merubah tata-berkelahinya. Kemudian ber-kata,
"Hajar Sandihewa! Apakah hanya ini ilmu kepandaianmu? Hm, bagaimana kau
berani berkeluyuran memasuki wilayah Gunung Damar hanya dengan berbekal ilmu
kepandaian murahan begini. Lihat pembalasanku!"
Mendadak
saja pedang Wirapati berputar seperti kitiran, kemudian mengalun tinggi-ren-dah
bagaikan gelombang laut merabu daratan. Hajar Sandihewa kena dilihatnya. Terus
saja ujungnya menusuk dan di tengah jalan tangan kirinya menyodok tulang rusuk.
Tak ampun lagi. Hajar Sandihewa runtuh ke tanah sambil berteriak tinggi. Belum
lagi ia sempat bangkit kembali, gagang pedang Wirapati telah menyodok tulang
lehernya. Seketika itu juga, kakinya terus berlutut dan ia jatuh menu-lungkupi
bumi.
"Hai,
Hajar Sandihewa! Lihat! Mestinya beginilah gerakanmu!" kata Wirapati.
Terus saja ia menirukan gerakan lawan. Pedangnya bergetar lembut dan
menghamburkan pantul-an gelombang pendek. Tiba-tiba menusuk empat puluh lima
kali pada tubuh Hajar Sandihewa.
"Waduh!"
teriak Hajar Sandihewa. Seluruh tubuhnya menjadi pedih dan nyeri. Ia kagum luar
biasa. Pikirnya, sekalipun dia tak berkisar dari tempatnya, aku pun takkan
sanggup menusuk sampai melebihi lima kali. Tapi dia bisa menghamburkan satu
serangan 45 kali tusukan dengan sekaligus. Biarlah aku menjadi muridnya,
kepandaianku masih selisih jauh ... hm ... mataku lamur sampai tak bisa menilai
ketangguhannya.
Melihat
Hajar Sandihewa kena dijatuhkan, kawan-kawannya yang mengepung serentak turun
dari kudanya dan siaga menyerbu. Cepat Wirapati mengancamkan pedangnya ke
teng-gorokan Hajar Sandihewa sambil membentak.
"Lekas
kalian enyah dari Gunung Damar.
Begitu
kalian lenyap dari penglihatan, Hajar Sandihewa akan kubebaskan."
Dengan
mengancam keselamatan nyawa Hajar Sandihewa, Wirapati mengira mereka akan
terpaksa tunduk kepada kehendaknya. Tak terduga, wanita cantik yang tadi
memberi isyarat mata kepada Hajar Sandihewa agar melintangkan kudanya,
menegakkan pedang-nya ke udara sambil berseru nyaring, "Kawan-kawan serbu!
Tawan mereka yang terlukai"
"Siapa
berani maju selangkah, akan kubunuh Hajar Sandihewa!" gertak Wirapati.
Siapa
mengira, ternyata wanita cantik itu tiada menggubris ancamannya. Dengan memutar
pedangnya, ia malahan mendahului menerjang. Sudah barang tentu bawahannya ikut
pula menerjang. Seperti wanita itu, mere-ka tak memedulikan keselamatan Hajar
Sandihewa.
Sesungguhnya,
wanita muda itu adalah salah satu keluarga ningrat di Yogyakarta. Puteri
siapakah dia, sejarah tak memperke-nalkan. Dia adalah pemimpin pasukan penyerbu
itu. Tujuannya hendak menculik Sangaji untuk memperoleh keterangan tentang pusaka
Pangeran Samono. Hajar Sandihewa merupakan jago undangan belaka. Syukur dia
bisa berhasil memenuhi undangan dengan janji upah besar. Apabila tidak, matipun
tak menjadi soal.
Keruan
saja dalam hal ini, Wirapatilah yang jadi keripuhan. Rencananya sekaligus
gagal. Dengan cepat tahulah dia, bahwa Hajar Sandihewa tak dapat dibuatnya
suatu sandi-wara. Membunuhnya pun tiada guna. Tatkala melihat delapan orang
hendak menyerang Bagus
Kempong
yang masih duduk bercokol di atas kudanya, cepat ia berkisar hendak menghadang.
Tetapi dia kena dilibat tujuh orang yang menyerang dari samping. Terpaksa ia
mempertahankan diri dan berusaha memusnahkan. Hatinya jadi gelisah. Apalagi
dari arah lain, menyerbu suatu gerombolan yang sedang mengepung Sangaji.
"Aji!
Apakah kamu belum bisa bergerak?" tanyanya lantang. Belum lagi Sangaji
men-jawab, mendadak terdengar Bagus Kempong berseru lantang.
"Suryaningrat!
Mengapa masih menong-krong di atas pohon? Apalagi yang kautung-gu? Tolong
kakakmu!"
Mendengar
seruan Bagus Kempong, Wira-pati heran. Apakah kakaknya seperguruan lagi main
gertak? Ternyata untuk kesekian kalinya, ia kagum kepada ketajaman indera
kakaknya seperguruan. Karena berbareng dengan kalimat seruan yang penghabisan,
sekonyong-konyong terdengarlah suatu suitan nyaring di udara. Seseorang melesat
dari mahkota daun sambil berteriak nyaring.
"Kangmas
Wirapati! Baik-baikkah engkau? Aku benar-benar rindu padamu!"
Seorang
pemuda berperawakan tinggi tegap, turun di atas tanah dengan mencabut pedang.
Dialah Suryaningrat anak murid Kyai Kasan Kesambi kelima. Dia tadi bersembunyi
di balik pohon yang berada kira-kira dua puluh langkah dari medan pertempuran.
Dan Bagus Kempong bisa mendengar pernapasannya. Itulah suatu tanda betapa tajam
ilmu panca-inderanya.
Mendengar
suara Suryaningrat, sudah ba-rang tentu Wirapati girang bukan main. Dengan hati
meluap-luap ia menyambut.
"Suryaningrat!
Engkaukah itu?"
Suryaningrat
tertawa nyaring. Dalam pada itu pedangnya bergetar lembut dan tiba-tiba
menerjang gerombolan yang datang me-nyerang Bagus Kempong, tubuhnya melesat ke
sana ke mari bagaikan bayangan.
Dan
terdengarlah suara gemelontangan. Ternyata pedang mereka yang menyerang
terenggut dari tangannya masing-masing.
Wanita
muda yang memimpin penyerbuan terperanjat menyaksikan kegesitan lawan. Cepat ia
membagi anak buahnya agar mem-bendung. Dengan demikian ia bisa leluasa menawan
Sangaji atau Bagus Kempong. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Sangaji yang
dikiranya telah punah tenaganya oleh suatu racun, ternyata bisa pula
melontarkan tenaga dahsyat sekali dua kali.
Sedangkan
pemuda yang datang membantu itu, bergerak luar biasa gesit. Belum lagi ia
sempat mengatur perlawanan, pedangnya sendiri kena dilontarkan ke udara.
Wirapati
kagum bukan kepalang menyak-sikan kegesitan dan ilmu pedang Suryaningrat.
Diam-diam ia girang. Katanya dalam hati, ah, agaknya ilmu Mayangga Seta sudah
diturunkan kepada Suryaningrat dan kini dirubah menjadi sendi ilmu pedang.
Kemudian berseru nyaring, "Bagus! Guru sudah berhasil mencip-takan ilmu
pedang Mayangga Seta."
Sesungguhnya
ilmu pedang yang dimainkan Suryaningrat adalah sendi-sendi ilmu Mayangga Seta
yang sudah diturunkan kepada sekalian muridnya dua belas tahun yang lalu,
tatkala Wirapati sedang menempuh perjalanan ke daerah Barat. Jurusnya hanya
meliputi empat belas macam. Gerakannya sederhana. Tetapi mengandung tenaga
getar yang dahsyat dan perubahan-perubahan bidang gerak yang susah diduga. Dua
belas tahun yang lalu, tatkala Wirapati tiada kembali ke perguruan, Kyai Kasan
Kesambi segera memanggil sisa muridnya, la merundingkan kemungkinan sendi-sendi
ilmu Mayangga Seta untuk dijadikan dasar penciptaan ilmu pedang. Mula-mula Kyai
Kasan Kesambi memperoleh kesulitan-kesulitan, karena ilmu Mayangga Seta
sebenarnya adalah suatu ilmu pelipatan diri. Tetapi ternyata kini, semua
kesulitan bisa diatasi. Suryaningrat sudah
dapat
mempertunjukkan kehebatannya. Dan tiada seorang jago pun undangan Patih
Danurejo mampu mengadakan suatu perlawanan dalam tiga gebrakan.
Karena
kagumnya. Wirapati sampai melon-cat mundur ke luar gelanggang. Dengan cer-mat
ia menonton bagaimana Suryaningrat me-mainkan pedangnya. Dengan hanya
melon-tarkan lima jurus serangan belaka, tujuh belas orang jaguan undangan
Patih Danurejo, kena dilukai. Lebih mengherankan lagi, bahwa senjata mereka
masing-masing tiba-tiba saja terlepas dari tangan.
"Mundur!"
seru wanita muda itu. Segera ia melompat ke atas kudanya dan kabur ke utara.
Begundal-begundalnya
ikut pula lari tunggang-langgang berpencaran.
Wirapati
kemudian membebaskan Hajar Sandihewa. Senjata tongkatnya yang runtuh di tanah
dipungutnya dengan hormat dan diselipkan ke pinggang pemiliknya. Sudah barang
tentu, wajah Hajar Sandihewa merah karena malu. Cepat-cepat ia lari dan kabur
tanpa keblat.
Dalam
pada itu, Suryaningrat telah me-nyarungkan pedangnya kembali. Kemudian
menghampiri Wirapati dan berkata penuh girang sambil menggenggam tangan.
"Kangmas
Wirapati, apakah engkau jatuh dari langit?"
"Betapa
rinduku kepadamu."
"Suryaningrat!
Kau sudah begini besar. Tubuhmu tumbuh menjadi tegap tinggi," sahut
Wirapati tertawa. Tatkala mereka berpisah dahulu, Suryaningrat lagi berusia 17
tahun. Selang dua belas tahun, ia berubah menjadi seorang pemuda masak yang
gagah dan ganteng. Maka dengan menggandeng tangannya, Wirapati membawa ke arah
Sangaji. Pemuda itu yang masih terganggu kesehatannya itu, dengan memaksakan
diri turun dari kudanya.
"Siapa
dia?" Suryaningrat heran.
"Dialah
kemenakan muridmu. Namanya Sangaji."
"Ah!
Dialah yang menolong muridku Retno-ningsih?" Suryaningrat terbeliak.
"Pantas! Meskipun terkena racun, tinjunya masih dahsyat."
Kini,
Wirapatilah yang jadi keheran-heranan. Tanyanya menegas, "Engkau seperti
sudah mengenal dia."
"Aku
kenal namanya, karena muridku yang memperkenalkan," ujar Suryaningrat.
Kemu-dian dia menjelaskan mengapa tiba-tiba bisa datang ke tempatnya.
Sesungguhnya, waktu itu dia menerima kabar bahwa muridnya ber-ada di Desa
Gebang. Segera ia menyusul, karena mengkhawatirkan keselamatannya. Dugaannya
benar. Di tengah jalan ia bertemu dengan Sondong Majeruk yang mengabarkan bahwa
Gusti Retnoningsih hampir saja kena bahaya. Gntunglah, dia ditolong oleh
seorang pemuda yang bernama Sangaji. Sebagai anak murid Kyai Kasan Kesambi yang
diajar meng-hargai budi, segera ia menyusul jejak Sangaji untuk menyatakan
terima kasih. Di luar dugaan, ia melihat kakaknya seperguruan ter-ancam bahaya.
Ia heran kakaknya seperguru-an itu memperoleh seorang pembela yang gagah berani
sepak terjangnya. Sama sekali tak diduganya, bahwa pembela kakaknya
seperguruannya adalah Wirapati. Maka ia bersembunyi di atas pohon agar bisa
menga-mat-amati lebih cermat lagi. la heran, menga-pa gerak gerik penolong itu
mengingatkannya kepada kakaknya seperguruan Wirapati. Baru saja ia hendak
mencongakkan diri. Bagus Kempong sudah bisa mencium dirinya.
"Betapa
pun cermat engkau bersembunyi, Kangmas Bagus Kempong sudah mengetahui
keberadaanmu semenjak tadi. Aku sendiri sa-ma sekali tak tahu," potong
Wirapati dengan tertawa. "Suryaningrat!" sambung Bagus Kem-pong.
"Kakakmu ternyata kian segar-bugar. Rupanya belum berumah-tangga pula.
Hm-bukankah kita dahulu mengira, dia bersembunyi untuk memelihara seorang
bidadari?"
Suryanignrat
tertawa cekikikan. Mau tak mau Wirapati tertawa juga kemalu-maluan. Kata Bagus Kempong
lagi, "Tetapi tahukah engkau adikku Wirapati? Sebentar lagi, engkau bakal
mempunyai adik-ipar. Karena itu pulangmu adalah kebetulan sekali. Pertama-tama,
kita sudah bersiap sedia merayakan hari ulang tahun guru yang ke-83. Setelah
itu ikut pula mengecap sepotong paha ayam malam perayaan perkawinan
Suryaningrat. Bukankah bagus?"
"Hai
Bagus! Bagus! Bagus sekali!" seru Wirapati girang sambil bertepuk-tepuk
tangan. "Siapakah mempelai wanitanya? Pastilah seorang puteri
jempolan."
Muka
Suryaningrat merah-padam sampai tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Buru-buru Bagus Kempong menolong, "Calon adik-iparmu adalah puteri
kesayangan Kanjeng Pangeran Arya Panular. Siapa namanya, baiklah kita tak usah
tergesa-gesa minta keterangan."
"Wah...
kalau begitu apabila Suryaningrat berani nakal seperti dahulu, dia bisa
dikeroyok keluarga Sri Sultan," sahut Wirapati.
Bagus
Kempong tersenyum. Mendadak wajahnya berubah muram dan nampak lesu. Katanya
setengah berbisik* "Calon adik-ipar-mu terkenal dengan nama Gusti Ayu
Kistibantala. Apalah itu namanya yang benar, tak tahulah aku. Tetapi dia
seorang puteri yang berjiwa ksatria. Seringkali dia ikut dalam pasukan-pasukan
keamanan. Hm—mudah-mudahan saja puteri berkedok yang kita jumpai kemarin
petang, bukan dia."
Wirapati
terkesiap. Terloncatlah perkataan-nya, "Apakah dia seorang wara
prajurit?" Bagus Kempong mengangguk.
"Tetapi
dara yang kita jumpai, kepandaian-nya masih dangkal. Kurasa bukan diajeng
Kistibantala. Bila benar dia, celakalah aku. Orang bisa menuduh aku membela
engkau dan tak mau memihak Suryaningrat dengan melindungi kekasihnya. Betapa
seorang kakak-seperguruan bisa berlaku kurang adil."
Wirapati
terdiam. Diam-diam ia khawatir, "Jangan-jangan puteri yang berkedok
kemarin adalah kekasih Suryaningrat." Tetapi Surya-ningrat nampak ayem.
Pemuda itu berkata tenang-tenang sambil tertawa perlahan, "Terima kasih
terima kasih atas perhatian Kangmas sekalian. Kangmas sekalian cukup cerdik dan
cerdas. Hanya satu hal yang mungkin belum pernah diperhitungkan."
"Apakah
itu?" Wirapati menungkas.
"Kata
orang, seorang calon mempelai sudah jauh-jauh hari dipingit. Nah, legakan hati
Kangmas sekalian. Dua hari yang lalu, aku datang dari Yogya. Itulah sebabnya
aku mendengar kabar tentang beradanya muridku di Gebang."
"Ah!"
Bagus Kempong tersentak girang. Pa-ras mukanya berubah seketika itu juga.
"Nah, marilah kita angkat tangan dalam hal ini."
Buru-buru
Suryaningrat menolak maksud itu. Segera ia menghampiri Sangaji dan terus meraba
lengannya, la bermaksud hendak membalas budi dengan menolong mengusir racun.
Tetapi ia heran benar, karena lengan Sangaji ternyata tiada luka.
"Kangmas
Wirapati!" serunya kagum. "Terang sekali bekas cengkeraman ini
mengandung racun. Tetapi muridmu sama sekali kebal dari racun."
Suryaningrat
tak tahu, bahwa Sangaji per-nah menghisap getah sakti pohon Dewadaru. Karena
itu kebal dari segala racun. Kalau semalam badannya menjadi panas, adalah
disebabkan karena cengkeraman itu merubah letak urat-uratnya.
Wirapati
segera datang pula memeriksa. Begitu melihat lengan Sangaji, dengan sebat ia
lantas bekerja. Suryaningrat tak mau ketinggalan. Dengan ilmu ketabiban yang
diperoleh
dari
gurunya, ia mengurut-urut letak urat. Sebentar saja Sangaji telah pulih
kembali.
"Hm,
semenjak kemarin petang kita senanti-asa diuber-uber suatu ketegangan, sampai
melalaikan dia," kata Wirapati penuh sesal.
"Siapakah
orangnya yang bisa melukai Kangmas Bagus Kempong?" tanya Surya-ningrat
heran.
Wirapati
tak segera menjawab, la segan ter-hadap kakaknya seperguruan yang terang kena
dilukai. Tetapi Bagus Kempong dengan dada terbuka menyahut, "Orang itu
memiliki tenaga pukulan besi sampai bisa menembus tulang. Nanti kita tanyakan
kepada Guru. Dan bahwasannya Sangaji masih bisa bertahan dan hanya salah urat,
bukankah berarti lebih tangguh daripadaku sendiri?"
Suryaningrat
tercengang sejenak. Kakaknya yang satu itu selamanya tak pernah memuji orang.
Dia jarang berbicara dan tak pernah bergurau. Setiap perbuatan dan kata-katanya
mengandung kesungguhan. Itulah sebabnya, lantas saja ia menyiratkan pandang
kepada Sangaji. Kemudian kepada Wirapati.
"Jika
demikian, tak sia-sialah Kangmas Wirapati meninggalkan perguruan selama itu.
Dia sudah menemukan ahli warisnya."
Sambil
berbicara mereka melanjutkan per-jalanan. Karena Sejiwan sudah di depan mata,
maka belum lagi lewat luhur telah sampai. Sepanjang perjalanan Wirapati nampak
gembira, meskipun agak prihatin juga mengingat luka Bagus Kempong. Maklumlah,
dua belas tahun lamanya dia meninggalkan perguruan seperti terenggut dewa
sakti. Kini bisa kembali tanpa kurang suatu apa. Diam-diam ia membayangkan
betapa girangnya dapat bertemu kembali dengan saudara-saudara seperguruannya,
terutama gurunya yang dipuja sepanjang zaman.
Sampai
di atas gunung, mereka melihat di luar pagar perguruan empat ekor kuda
ter-tambat pada pohon-pohon kelapa. Keempat kuda itu terang bukan milik
perguruan. Maka terloncatlah perkataannya, "Hai, kuda siapa ini?"
"Marilah
kita lewat belakang. Agaknya kita mempunyai tamu," kata Suryaningrat.
"Di se-rambi belakang kita lebih tenang memperbin-cangkan orang yang
menyamar sebagai ser-dadu yang melukai Kangmas Bagus Kempong. Siapa tahu,
Kangmas Gagak Handaka dan Kangmas Ranggajaya kebetulan berada di
belakang."
Rupanya,
diam-diam Suryaningrat mencoba meraba-raba asal-usul orang yang menyamar
sebagai serdadu itu. Tetapi, tetap ia tak ber-hasil.
Rumah
perguruan mereka berada di atas dataran sebuah bukit. Bukit itu bernama
Kalinongko. Lengkapnya orang menyebut dengan Gunung Damar Kalinongko. Tanahnya
terdiri dari bongkahan batu dan tanah liat. Karena itu apabila hujan, licinnya
bukan kepalang.
Sambil
memapah Bagus Kempong, Sur-yaningrat mendahului berjalan. Sedangkan Wirapati
berjalan di belakangnya diikuti Sangaji. Sebentar-sebentar Wirapati
mene-rangkan kesan kanak-kanaknya kepada mu-ridnya. Tatkala tiba di dapur,
semua penghunipadepokan ) jadi sibuk. Pertama-tama melihat Bagus Kempong pulang
dengan terluka parah. Kedua, kembalinya Wirapati setelah hilang tiada
kabar-beritanya selama dua belas tahun lebih. Para cantrik, pembantu rumah
tangga dan pelayan-pelayan girang bukan main. Mereka segera merubung menanyakan
kesehatannya. Seorang pelayan bernama Wirasimin yang melayani Wirapati semenjak
kanak-kanak menangis kegirangan. Tanpa segan-segan lagi terus saja dia memeluk
dan mencium kakinya. Tatkala Wirapati menanyakan tentang gurunya, cepat ia
menjawab.
"Sang
Panembahan masih dalam semadi. Apakah perlu hambamu membangunkan?"
Wirapati segera menyanggah. Dengan berjingkit-jingkit ia memasuki ruang tengah
dengan
diikuti
Sangaji. Mereka langsung ke paseban dan mengintip tiap kamar saudara-saudara
seperguruannya.
"Dimanakah
Kangmas Gagak Handaka dan Kangmas Ranggajaya? Apakah mereka sedang turun
gunung?"
"Mereka
sedang menemui tamu di paseban," jawab Wirasimin.
"Eh,
tamu macam apakah sampai mereka menemui dengan berbareng?" Wirapati heran.
"Semuanya empat orang. Galaknya bukan main. Tampangnya seperti tukang
landeng."
Tatkala
itu, Suryaningrat telah menidurkan kakaknya seperguruan, kemudian bergegas
mencari Wirapati. Begitu mendengar kakak-nya minta keterangan tentang tamu yang
datang segera ia memberi penjelasan.
"Mereka
mengaku sebagai hamba kadipaten Bumi Gede. Dan memperkenalkan diri dengan nama,
Manyarsewu, Sawungrana, Abdulrasim dan Cocak Hijau,"
Mendengar
nama mereka. Wirapati terper-anjat. Begitu pulalah Sangaji. Ih, cepat benar
mereka menyusul, pikirnya.
"Eh,
mengapa mereka bisa-bisa berada di sini?" Wirapati menegas.
"Katanya
anak Pangeran Bumi Gede terluka. Mereka minta pertanggungan jawab," kata
Suryaningrat dengan tertawa. "Kangmas Wirapati! Semenjak engkau
meninggalkan perguruan, kita seringkali dibuat sibuk oleh tetamu-tetamu yang
kurang terang asal-usul-nya. Tetapi kebanyakan mereka cepat-cepat mengundurkan
diri apabila telah berhadapan dengan Kangmas Gagak Handaka. Barangkali mereka
segan, berhadapan dengan pribadi Kangmas Gagak Handaka."
"Mengapa
tidak?" sahut Wirapati cepat.
"Pribadi
Kangmas Gagak Handaka seperti Sultan Agung. Tenang penuh perwira."
Setelah
berkata demikian, timbullah rasa rindunya kepada kakaknya seperguruan yang
tertua itu. Maka ia mengintip dari belakang sintru ). Dilihatnya Gagak Handaka
dan Ranggajaya sedang menghadapi keempat tamunya. Gagak Handaka mengenakan
jubah pertapaan. Meksipun dia bukanlah seorang pendeta, tetapi dandanannya
sedang meniru gurunya. Dia kini sudah nampak sebagai seorang ayah. Wajahnya
bercahaya tenang dan sabar seperti sediakala. Hanya saja, rambut pelipisnya
sudah memutih. Perawakan tubuhnya agak kegemuk-gemukan. Namun tetap gagah
perkasa. Sedangkan Ranggajaya tetap seperti dahulu. Perawakan tubuhnya tinggi
tipis. Bulu jenggotnya hampir memenuhi mukanya sehingga jadi seorang berewok.
Pandang matanya tajam berwibawa. Dia adalah seorang yang selalu
bersungguh-sungguh, sehingga nampak kini menjadi lebih tua daripada Gagak
Handaka.
"Kalau
kakakku berkata satu adalah satu, berkata dua adalah dua. Masa kalian tak
per-nah mendengar watak Gagak Handaka?" katanya dengan suara keras.
Diam-diam
Wirapati berpikir, tabiat Kang-mas Ranggajaya yang keras dan kasar ternya-ta
tidak berubah. Mengapa dia membentak tamunya? Pastilah ada alasannya.
Memperoleh
pikiran demikian, segera ia mengalihkan pandang kepada tamunya. Tak usah lama,
segera ia mengenal siapa mereka. Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan
Abdulrasim berdiri sejajar dengan wajah te-gang. Cocak Hijau yang berwatak
berangasan segera berkata kepada Gagak Handaka se-olah-olah tidak mendengarkan
ucapan Rang-gajaya.
"Jika
Gagak Handaka sudah berkata demi-kian, bagaimana kami berani menganggap sepi.
Hanya saja, tolong kami diberitakan kapan kedua adik seperguruan Tuan
datang!"
Mendengar
Cocak Hijau menyinggung dirinya, Wirapati terkejut. Hm, kedatangan mereka
benar-benar perkara diriku. Pastilah mereka menghendaki Sangaji. Mereka hanya
hendak
memperoleh
kepastian, apakah aku dan Sangaji sudah berada di pertapaan. Apabila sudah
memperoleh kepastian, hm— bukankah lebih mudah untuk merencanakan suatu
perlawanan tertentu? pikirnya.
Tatkala
itu Ranggajaya berkata keras lagi. "Meskipun kepandaian dan ilmu sakti kami
berlima jauh dibandingkan dengan perguruan-perguruan ternama lainnya, tetapi
dalam hal pengertian apa yang dinamakan kebajikan dan keadilan, rasanya tidak
pernah ketinggalan. Berkat gelaran yang diberikan masyarakat, maka kami berlima
terkenal dengan gelar para pandawa. Padahal gelar tersebut amat memalukan.
Sebenarnya tak berani kami menerimanya...."
Wirapati
tersenyum geli mendengar kata-kata kakak-seperguruannya yang kedua itu. Dua
belas tahun tak bertemu, ternyata Kangmas Ranggajaya yang sok uring-uringan
sudah begini pandai berbicara. Dahulu dalam satu hari, belum tentu dia
berbicara sepatah katapun jua. Rupanya semua memperoleh kemajuan, kecuali aku,
pikir Wirapati.
Dalam
pada itu terdengar Ranggajaya berkata lagi, "Dan kalau kami telah dibebani
gelar seberat itu, meskipun merasa diri tak sanggup, sedapat mungkin harus juga
mengimbangi. Karena itu dalam setiap gerak-gerik kami, selalu kami perhitungkan
dan jangan sampai berbuat sesuatu hal yang kurang pantas. Bagus Kempong dan
Wirapati adalah adik-seperguruan kami yang paling halus perasaannya. Tak
mungkin mereka berdua melukai seorang tanpa alasan yang kuat."
"Nama
murid-murid Kyai Kasan Kesambi yang gilang-gemilang siapa yang tak pernah
mendengar?" tungkas Cocak Hijau, "Karena itu, apa perlu anak murid
Kyai Kasan Kesambi meniup-niup diri sendiri. Bukankah nama anak murid Kyai
Kasan Kesambi sangat besar seperti bunyi guntur meledak di siang hari?"
Mendengar
kata-kata Cocak Hijau yang bernada mengejek dan menyindir, wajah Ranggajaya
berubah tegang. Katanya cepat, "Sebenarnya kalian bermaksud apa
mengun-jungi pesanggrahan kami? Katakanlah terus terang!"
Cocak
Hijau hendak membalas mendam-prat, mendadak saja Manyarsewu yang lebih bisa
mengendalikan diri berkata mendahului.
"Anak-murid
Kyai Kasan Kesambi apabila berkata satu pastilah satu. Berkata dua pasti-lah
dua. Tetapi masakan mata kami berempat salah lihat? Kami berempat waktu itu
lagi mendampingi majikan kami, nDoromas Sanjaya yang kena pukulan tinju cucu
murid Kyai Kasan Kesambi."
"Cucu
murid?" Ranggajaya heran.
"Tiba-tiba
saja kami diserbu." Manyarsewu tak mengindahkan.
"Sepuluh
orang di antara kami dilukai."
"Siapa
yang melukai?"
"Hm,
biarpun muka anak-murid Kyai Kasan Kesambi ditutupi dengan berewok tebal
masakan kami tak mengenal gaya pu-kulannya?"
Mendengar
ucapan Manyarsewu, Wirapati terkejut sampai tubuhnya bergetaran.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat di dalam benaknya. Seketika
berpikirlah ia, apakah bukan dia yang menya-mar sebagai serdadu?
"Selamanya
tak pernah kami menyamar," bantah Ranggajaya, "Kami dididik berjiwa
ksa-tria. Menang dan kalah bukanlah suatu soal utama bagi perguruan kami."
"Bagus!"
seru Cocak Hijau tinggi. "Menye-rang di waktu kami sedang tidur lelap,
apakah itu suatu perbuatan ksatria? Bagus Kempong! Wirapati! Hm... benar-benar
ksatria-ksatria jempolan!"
Di
belakang pintu angin, Suryaningrat men-dadak saja menjadi gusar. Tak senang
hatinya
mendengar
orang mengejek dan menyindir kakak seperguruannya. Rasanya lebih rela ia kena
tampar daripada mendengar ejekan demikian terhadap kakak sepergurannya. Cepat
ia menoleh kepada Wirapati. Tetapi
Wirapati
tetap tenang. Diam-diam dia berpikir dalam hati, ... Kangmas Wirapati
benar-benar menjadi ksatria yang sabar dan tenang. Pantas guru selalu memuji
padanya dan percaya kepada kebijaksanaannya.
Waktu
itu Ranggajaya nampak berdiri tegak. Dengan suara lantang ia membentak,
"Dua belas tahun lebih adikku Wirapati le-nyap dari padepokan. Engkau
telah menyebut namanya. Mudah-mudahan, dia bisa pulang dengan selamat. Inilah
kabar gembira bagi kami. Tapi tentang tuduhan itu, nanti dulu! Semenjak adikku
hilang dari padepokan, orang terus menerus menuduh yang bukan-bukan
terhadapnya. Dahulu orang menuduh dia melakukan pembunuhan keji terhadap
sepasukan laskar dari Banyumas. Kini, kalianpun datang-datang terus menghu-jani
tuduhan-tuduhan keji, seolah-olah dia melukai rekan-rekanmu yang sedang tidur
pulas. Baiklah! Aku Ranggajaya dan Gagak Handaka mati dan hidup bersama dengan
Wirapati dan Bagus Kempong. Apabila kalian mencari permusuhan dengan mereka
berdua, timpakan kepadaku! Mereka berdua tiada di sini, dan anggaplah aku
mewakili mereka. Terus terang saja kepandaianku masih kalah jauh daripada
mereka berdua. Karena itu,untunglah bahwa kalian hanya berhadapan dengan aku."
Cocak Hijau
yang berwatak brangasan
beta-pa tahan mendengar
sumbar Ranggajaya.
Terus
saja dia berdiri tegak dan dengan mata melotot dia membentak.
"Hari
ini, aku Cocak Hijau, berani mendaki Gunung Damar tanpa mengukur kekuatan diri
sendiri. Pastilah aku ditertawakan sekalian pendekar seluruh pelosok tanah air.
Tetapi Cocak Hijau bukanlah makhluk yang berkem-ben ) sutera. Mati hidup apa
perlu dipersoalkan, demi piutang yang belum terbayar. Sepuluh orang di antara
kami, bakal hidup cacat karena pukulan anak-murid Kyai Kasan Kesambi yang
terkenal bajik. Dalam sewaktu pertempuran, mati atau luka-luka bukanlah menjadi
soal. Tetapi anak murid Kyai Kasan Kesambi memukul lawan dengan cara licik.
Mula-mula diselomoti obat bius, kemudian merusak sendi tulang belulang dalam
keadaan setengah sadar. Apakah itu suatu laku seorang ksatria?" Setelah
berkata demikian terus saja ia melangkah maju.
Semenjak
tadi, Gagak Handaka berdiam saja. Kini apabila melihat Ranggajaya dan Cocak.
Hijau
akan bergerak benar-benar, ia menyanggah dengan tangannya. Kemudian berkata
dengan tersenyum, "Kalian datang ke mari dengan tetap menuduh kedua adikku
seperguruan berbuat sesuatu hal yang kotor dan keji. Kudengar kalian
menyebut-nyebut pula Wirapati salah seorang adik seperguru-anku yang menghilang
dua belas tahun yang lalu. Baiklah, jika demikian, pastilah adikku itu sebentar
lagi akan tiba di padepokan. Kuharap kalian bersabar barang sebentar menunggu
kedatangannya. Pada saat itulah kalian dan kami bisa menentukan siapakah yang
benar-benar bersalah."
Abdulrasim,
pendekar dari Madura—yang mengepalai mereka, mendadak saja membuka mulut.
"Manyarsewu!
Cocak Hijau! Sawungrana! Baiklah kita mendengarkan saran pendekar Gagak
Handaka. Mari kita duduk dengan te-nang-tenang. Manaka a Bagus Kempong dan
Wirapati belum pulang ke gunung, bagaimana kita bisa memperoleh keterangan yang
benar. Tetapi ketahuilah hai pendekar Gagak Han-daka yang kami hormati,
sesungguhnya kami mengalami suatu kejadian yang sangat menusuk hati. Biarlah
kami terangkan lebih jelas lagi, agar Tuan memperoleh gambaran.
Kemarin
pagi, kami berempat habis mengadu senjata dengan kedua adik-seperguruan Tuan.
Oleh suatu peristiwa ganjil, terpaksa kami berpisah. Kami membawa pulang
nDoromas Sanjaya putra Pangeran Bumi Gede yang terluka parah. Malam itu, kami
beristirahat dengan sepuluh pendekar undangan lainnya dalam suatu pesanggrahan.
Tak
tahunya,
malam itu pesanggrahan kami digerayangi orang."
"Orang
itu menyebar bius, sehingga kami tidur pulas. Tetapi untunglah, kami tidaklah
selemah dugaannya. Lapat-lapat, kami berem-pat melihat sesosok tubuh yang
mengenakan muka samaran. Terang sekali, dia adalah anak-murid Kyai Kasan
Kesambi. Orang itu dengan kejinya mematahkan sendi tulang-tulang rekan-rekan
kami. Terus sesumbar dengan melepaskan pukulan khas ajaran perguruan
Tuan."
"Pukulan
keluaran perguruan kami, bukan-lah suatu ajaran yang sulit dan rahasia. Setiap
orang apabila mempunyai kepandaian sedikit, pasti bisa menirukan," potong
Gagak Handaka.
"Benar!
Tetapi apabila bukan anak-murid Kyai Kasan Kesambi, mengapa bisa
meng-ungkat-ungkat peristiwa perkelahian kemarin pagi?" menungkas
Abdulrasim dengan cepat.
"Dia
mengejek kami dengan mengatakan, bahwa kami berlindung di balik kedatangan
Adipati Surengpati dan iblis Pringgasakti."
"Adipati
Surengpati?" Gagak Handaka ter-kejut.
"Nah,
Tuan pun terkejut pula. Sesungguh-nya apabila bukan dia, masakan mengetahui
suatu peristiwa kemarin pagi tatkala Adipati Surengpati muncul dengan
tiba-tiba. Karena hal ini menyangkut pula tentang nama Adipati Surengpati, maka
perkenankan kami meng-hadap Kyai Kasan Kesambi. Kyai Kasan Kesambi adalah
seorang tokoh tertinggi pada zaman ini. Tiap ksatria di seluruh jagat
me-ngagumi dan percaya kepadanya. Kami ingin memperoleh peradilannya. Masakan
orang tua itu akan berlaku berat sebelah karena mem-bela muridnya."
Meskipun
kata-kata pendekar Abdulrasim sangat beralasan dan agak segan-segan, tetapi
sebenarnya bernada mendesak. Sudah barang tentu, Ranggajaya dapat menangkap
maksudnya. Jawabnya tenang, "Guruku sedang bersemadi. Sampai sekarang
belum keluar dari pertapaan. Lagi pula, perkara keduniawian diserahkan kepada
Kangmas Gagak Handaka. Kecuali, apabila tetamu itu adalah seorang tokoh penting
pada zaman ini, mungkin guruku sudi menemui."
Terang
sekali maksud ucapan Ranggajaya anak-murid Kyai Kasan Kesambi yang berwatak
angkuh itu hendak berkata kepada mereka, bahwa mereka belum berharga untuk
dapat menemui gurunya. Karuan saja Cocak Hijau yang berangasan dan mudah
tersinggung sekaligus berdiri tegak sambil tertawa dingin. Berkata tajam,
"Sungguh! Semua peristiwa
.dalam
dunia ini nampaknya terjadi dengan kebetulan. Baru saja kami datang, gurumu
Kyai Kasan Kesambi lantas saja menutup pintu karena sibuk bersemadi. Bagus!
Tetapi masakan utang nyawa harus disudahi sampai begini saja, karena Tuan rumah
beralasan sedang bersemadi? Cuh!"
Mendengar
ucapan Cocak Hijau yang tajam itu cepat-cepat Manyarsewu mengedipi mata agar
menguasai diri. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Seketika itu juga, Ranggajaya
terus saja membentak karena tersinggung.
"Jadi
kaumaksudkan guruku sengaja berdalih bersemadi karena takut menghadapi
tampangmu?"
Cocak
Hijau adalah seorang pendekar ber-adat kaku dan kukuh. Meskipun seorang
berangasan-sekali menentukan sikap-tak sudi mengalah. Maka dengan tertawa
melalui hidung ia menentang pandang Ranggajaya dengan mata tak berkedip.
Dalam
keadaan demikian, betapa Gagak Handaka terkenal sebagai pendekar sabar dan
pendiam, tertusuk juga hatinya mendengar nama baik gurunya direndahkan
seseorang. Semenjak menjadi murid Kyai Kasan Kesambi, belum pernah ia mendengar
dan melihat seseorang menghina gurunya dengan ucapan-ucapan kasar. Maka dengan
menahan diri dia berkata, "Kalian datang dari jauh dengan mengenggam tujuan
beralasan. Tetapi kami
tak
ingin menyusahkan kalian. Silakan pergi saja dengan selamat!" Setelah
berkata demikian, dengan sengaja ia mengibaskan lengan bajunya. Seketika itu
juga, angin keras menyambar ke depan. Pendekar Abdulrasim, Sawungrana,
Manyarsewu dan Cocak Hijau sekonyong-konyong terjengkang ke belakang. Ternyata
kibasan lengan pendekar Gagak Handaka yang nampaknya halus, dan ringan saja, di
luar dugaan membawa suatu tenaga tindasan yang keras luar biasa. Abdulrasim,
Sawungrana, Manyarsewu dan Cocak Hijau bukanlah sekelompok pendekar murahan.
Tetapi kena sapu kibasan lengan Gagak Handaka dada mereka menjadi sesak. Terasa
napasnya nyaris putus. Cepat-cepat mereka menghimpun tenaga hendak bertahan,
tetapi angin kibasan Gagak Handaka cepat datang-nya dan menghilang pula dengan
cepat. Segera himpitan tenaga yang menindas dada lenyap tak berbekas. Dengan
lega, mereka bisa menghirup napas kembali.
Wajah
Abdulrasim dan Sawungrana nampak merah membara karena malu. Sedangkan
Manyarsewu dan Cocak Hijau menjadi pucat kuyu. Sungguh tak terduga, bahwa Gagak
Handaka benar-benar sakti. Andaikata Gagak Handaka berniat jahat, sekali
mengibaskan lengannya untuk yang kedua kalinya, pastilah mereka akan terluka
parah. Salah-salah bisa mampus seketika itu juga. Diam-diam bulu romanya
menggeridik tak setahunya sendiri. Sekarang sadarlah mereka, bahwa pendekar
yang bersikap tenang, sabar dan halus gerak-geriknya itu memiliki suatu
kepandaian yang susah diukur.
Di
antara keempat pendekar undangan Pangeran Bumi Gede, Mayarsewu tergolong salah
seorang pendekar yang jujur. Serentak ia membungkuk sambil berkata penuh
hormat.
"Terima
kasih atas kemurahan Tuan Gagak Handaka. Perkenankan kami mengundurkan
diri."
Dengan
membungkuk hormat pula, Gagak Handaka membalas.
"Terima
kasih pula atas kunjungan Tuan-tuan. Entah kapan, kami akan memerlukan
mengunjungi Tuan diistana Bumi Gede sebagai pembalasan."
Waktu
itu Manyarsewu, Abdulrasim, Sawungrana dan Cocak Hijau sudah bergerak
mengundurkan diri. Gagak Handaka segera pula mengantarkan mereka sampai ke
seram-bi depan.
"Sudahlah!
Tak perlu Tuan mengantarkan kami," kata Manyarsewu. Diam-diam ia kagum dan
menaruh hormat kepada Gagak Handaka. Ternyata Gagak Handaka tidak hanya tinggi
ilmu kepandaiannya, tetapi juga amat sopan santun. Oleh sikapnya itu, rasa
permusuhannya sekonyong-konyong lenyap dua pertiga bagian.
Selagi
mereka saling mengucapkan kata-kata merendah, masuklah Suryaningrat dengan
tergesa-gesa. Kemudian berkata kepada Gagak Handaka, "Kangmas! Kangmas
Bagus Kempong dan Wirapati telah kembali. Kangmas Bagus Kemong luka parah. Dia
kena pukul seorang laki-laki berperawakan pendek tegas dan bermuka berewok.
Kudengar mereka membicarakan tentang laki-laki berewok itu, barangkali kita
bisa memperoleh keterangan."
Mendengar
ujar Suryaningrat, Gagak Handaka dan Ranggajaya terperanjat.
"Bagus
Kempong terluka? Benarkah itu?"
Gagak
Handaka dan Ranggajaya benar-benar terperanjat sehingga berubahlah wajah
mereka. Segera mereka menoleh kepada tetamunya. Dengan agak gugup Gagak Handaka
berkata, "Silakan Tuan-tuan menunggu. Mereka ternyata sudah datang. Bagus
Kempong bahkan terluka."
Abdulrasim,
Sawungrana, Manyarsewu dan Cocak Hijau saling memandang. Meskipun tiada saling
berkata, mendadak saja mereka bisa percaya kepada keterangan Gagak Handaka.
Melihat dan menyaksikan sikap Gagak Handaka yang tenang dan sabar kini mendadak
bisa menjadi agak gugup, pastilah bukan suatu permainan sandiwara. Dan apabila
Bagus Kempong benar-benar terluka oleh seseorang yang bermuka berewok,
bukankah
tuduhan mereka jadi tak beralasan? Daripada akan menanggung malu dan mungkin
pula akan menghadapi hal-hal yang kurang enak ditambah tingkatan kepandaiannya
yang tak nempil bila dibandingkan dengan kepandaian anak-anak murid
Kyai
Kasan Kesambi,serentak mereka mengambil keputusan untuk cepat-cepat
meninggalkan padepokan. Setelah saling memberi isyarat, Abdulrasim terus
berkata.
"Tak
usahlah kami mengganggu Tuan-tuan lebih lama lagi. Rupanya Tuan-tuan lagi
mem-peroleh kesibukan dan biarlah kami melapor-kan peristiwa ini kepada atasan.
Bagaimana kelak diputuskan terserahlah yang berwenang."
Setelah
berkata demikian, Abdulrasim men-dahului keluar halaman dengan diikuti ketiga
rekannya. Gagak Handaka dan Ranggajaya menunggu sampai mereka lenyap di bawah
gundukan tanah, kemudian mereka berkata berbareng kepada Suryaningrat minta
kete-rangan.
"Suryaningrat!
Kakakmu Wirapati benar-benar telah kembali pulang ke gunung? Di manakah
dia?"
Suryaningrat
heran. Ternyata kedua kakak-nya seperguruan benar-benar merindukan Wirapati,
sampai seolah-olah tak memper-hatikan keadaan Bagus Kempong yang terluka oleh
sesuatu pukulan dahsyat.
Waktu
itu Wirapati telah muncul dari balik pintu angin. Segera ia lari menyongsong
Gagak Handaka dan Ranggajaya.
"Kangmas
Gagak Handaka! Kangmas Ranggajaya! Aku datang kembali!" serunya terharu.
Gagak
Handaka adalah seorang yang sa-ngat mengutamakan Yudanegara ). Meskipun hatinya
terguncang melihat adik sepergu-ruannya yang hilang tiada kabar berita selama
dua belas tahun, masih saja dia bersikap penuh tata cara. Dengan memanggut
kecil ia menyambut menguasai diri.
"Wirapati,
adikku! Selamat, selamat! Akhir-nya engkau kembali juga."
Sebaliknya,
Ranggajaya yang beradat kaku, mendadak saja terus berkata sambil me-nerkam
lengan.
"Wirapati!
Keempat orang itu menfitnah dirimu begitu kurangajar. Bukankah kamu tidak
melukai rekan-rekan mereka dengan cara licik? Hm, pastilah kau telah mendengar
semua tuduhannya. Heran! Ternyata kau jauh lebih sabar daripadaku sendiri.
Benar-benar tepat pujian Guru terhadapmu. Engkau calon seorang pendekar besar
pada zaman yang akan datang."
"Peristiwa
itu sulit untuk diterangkan. Dengan sungguh-sungguh kukatakan, bahwa aku sama
sekali tak melakukan perbuatan terkutuk itu. Kangmas Bagus Kempong pun tidak.
Bahkan dia menjadi salah seorang kor-ban di antara mereka. Dia pun kena pukulan
orang bermuka berewok yang gerak-geriknya sangat samar-samar dan susah
ditebak."
Gagak
Handaka dan Ranggajaya girang mendengar ujar Wirapati. Dengan demikian tak
sia-sialah mereka mempertahankan kebersihan namanya. Meskipun demikian,
Ranggajaya masih minta ketegasan, "Orang-orang Banyumas, bukan pula kau
yang membinasakan?"
"Seorangpun
aku tidak membunuhnya. Meskipun dalam keadaan terjepit masih saja aku tak
melupakan ajaran guru. Bahwasanya murid Kyai Kasan Kesambi dilarang keras
membunuh sesama bangsa apabila tidak ter-lalu terpaksa."
"Bagus!"
seru Ranggajaya girang. "Hm, dua belas tahun kami terus-menerus dikeroyoki
urusan pembunuhan itu. Tetapi aku yakin, bahwa bukan kau yang melakukan
pem-bunuhan itu. Sekarang ternyata benar belaka."
Setelah
itu, Gagak Handaka minta keterangan tentang diri orang bermuka berewok yang ..
memukul
Bagus Kempong. Segera Wirapati menerangkan dengan sejelas-jelasnya. Tetapi baik
Gagak Handaka atau Ranggajaya tidak juga dapat menebak siapakah orang itu yang
memiliki pukulan dahsyat sampai bisa melukai Bagus Kempong.
"Biarlah
nanti kita minta petunjuk guru, setelah beliau selesai bersemadi,"
akhirnya Gagak Handaka memutuskan. Kemudian ia membawa sekalian adik-adiknya
seperguruan menjenguk Bagus Kempong. Mendadak di tengah jalan ia melihat
Sangaji. Heran ia menoleh kepada Wirapati minta penjelasan.
"Ah,
hampir lupa aku." kata Wirapati ter-sipu-sipu. "Sesungguhnya, aku
telah mem-punyai seorang murid."
"Murid?"
Gagak Handaka dan Ranggajaya menyahut berbareng.
"Ya,"
Wirapati menjawab dengan agak segan. Kemudian dengan singkat ia mengi-sahkan
riwayat perjalanannya sampai bertemu dengan Sangaji.
"Bagus!
Bagus!" kata Gagak Handaka dan Ranggajaya berbareng pula. "Kita kini
mem-punyai seorang kemenakan murid."
"Kabarnya
Dimas Suryaningrat mempunyai murid pula," Wirapati minta ketegasan.
"Ya," ujar Ranggajaya. "Dan sudah barang tentu seorang bidadari
pilihan."
Mendengar
ujar Ranggajaya, Suryaningrat merah mukanya. Mereka lantas saja tertawa
berkakakan. Gagak Handaka terus menggan-deng Sangaji dan diajaknya pula masuk
ke dalam. Sebagai seorang pendekar, dengan cepat ia mengetahui bahwa Sangaji
bukanlah seorang pemuda sembarangan. Cepat ia mengamat-amati, kemudian
tersenyum se-nang sambil berkata, "Sangaji! Tenaga jas-manimu luar biasa
kuat. Apakah gurumu benar-benar hanya seorang belaka?"
Semenjak
ikut mengintip di belakang pintu angin, diam-diam Sangaji telah mengagumi
pribadi Gagak Handaka yang agung dan bijak-sana. Maka begitu ia memperoleh
pertanyaan dengan mendadak, sekaligus berubahlah mukanya.
"Paman!"
katanya sulit. "Selain Guru, aku masih mempunyai seorang guru lagi.
Namanya Jaga Saradenta. Tetapi kecuali mereka berdua, sesungguhnya di tengah
jalan aku berjumpa dengan seorang tokoh sakti. Meskipun aku belum mengangkatnya
sebagai guru, tetapi dia..."
"Baiklah...
kelak engkau bisa dengan perla-han-lahan menerangkan hal itu semua kepada
sekalian paman-pamanmu," tungkas Gagak Handaka. Pendekar yang agung
pribadinya itu tahu, bahwa Sangaji agak susah hendak menjelaskan. Terasa pula
bahwa anak muda itu bersikap hendak membela diri. Maka cepatcepat ia
mengalihkan pembicaraan. "Kabarnya kota Jakarta amat ramainya. Pastilah
jauh berlainan dengan keadaan di gunung. Biasa-kanlah hidup sunyi di atas
gunung ini. Pastilah, kelak engkau akan memperoleh keindahannya di tengah
kesunyian..."
*
* *
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 19 PUKULAN BESI TULANG di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 19 PUKULAN BESI TULANG"
Post a Comment