BENDE MATARAM JILID 20 HADIAH ULANG TAHUN KYAI KASAN KESAMBI
Mereka
memasuki kamar Bagus Kempong. Waktu itu Bagus Kempong sedang melakukan semadi.
Dengan tekun ia mengatur pernapasannya. Tanpa berbicara lagi, Gagak Handaka
dengan Ranggajaya terus saja menempelkan tangannya masing-masing ke dada dan
punggungnya. Kemudian dengan berbareng mereka menyalurkan anasir hawa lewat
lubang urat syaraf dan urat tali jantung. Seperti diketahui, jasmaniah ini
terbagi tiga anasir. Yakni: anasir api, bumi dan air. Masing-masing memiliki
kadar gaib, yang selaras dan seimbang, hanya dalam saat-saat tertentu ketiga
anasir itu bergolak oleh suatu pengaruh dari luar. Seseorang yang mengalami
pergolakan bahan pokok ini, harus secepat mungkin bisa mengendalikan diri.
Apabila tidak, kesehatannya akan terganggu. Setidak-tidaknya akan menderita
penyakit urat syaraf yang sulit untuk dikembalikan seperti sediakala.
Sebagai
anak murid Kyai Kasan Kesambi, Gagak Handaka dan Ranggajaya diajar mene-kuni
asal bahan bagan manusia. Seringkali Kyai Kasan Kesambi merasukkan
istilah-istilah anasir air, bumi, api ke dalam ingatannya. Sedangkan anasir
angin atau hawa selalu ditaruh di belakang ketiga anasir tersebut seolah-olah
suatu lampiran belaka yang tidak begitu penting. Memang, anasir hawa atau angin
terjadi oleh suatu akibat pergeseran (percampuran) ketiga anasir itu. Karena
itu, Kyai Kasan Kesambi menitikberatkan ajarannya kepada penguasaan ketiga anasir
pokok. Seseorang yang sudah mahir menguasai ketenangan ketiga anasir tersebut,
takkan gampang-gampang bisa terperosok ke dalam anasir angin yang penuh
melagukan hawa nafsu, hawa amarah dan nafsu-nafsu kehendak lainnya. Sebaliknya,
dia akan memperoleh manfaat besar karena sari-sari anasir ketiga tersebut akan
saling terjalin merupakan benteng maha dahsyat. Tetapi apabila benteng itu
sekali kena terpecahkan oleh suatu arus hawa dari luar, maka yang terpenting
ialah mengimbangi arus desakan hawa itu dengan perlahan-lahan. Kemudian dengan
teratur pula mengusirnya pergi.
Demikianlah,
apabila Gagak Handaka dan Ranggajaya dengan berbareng menyalurkan anasir hawa
dari sari-sari pergerakan ketiga anasir bumi, air dan api. Seketika itu juga,
dalam diri Bagus Kempong terasa segar hangat. Perlahan-lahan racun hawa yang
menggoncangkan daya tahan anasir tiga kena didesak mundur. Tak sampai satu jam
lamanya, kesehatannya lantas saja pulih kem-bali. Butir-butiran keringat yang
berasal dari tumpuan anasir hawa merembes, keluar lewat sumsum, tulang, darah,
urat-urat, daging, kulit dan rambut.
"Ih!"
Gagak Handaka mengerenyitkan kening sambil melepaskan tangannya. "Apabila
aku tiada memperoleh bantuan Ranggajaya dan engkau sendiri, belum tentu aku
dapat mengusir tenaga racunnya yang tersekam dalam tubuhmu."
Bagus
Kempong masih belum berani berbicara, hati-hati ia menarik napas dan memeriksa
ruas-ruas tulang sambung. Apabila benar-benar tiada gangguan lagi, baru dia
berkata: "Selama hidupku selain Guru, baru kali itulah aku berhadapan
dengan seseorang yang memiliki tenaga pukulan maha dahsyat. Memang tadinya sama
sekali aku tak mengira, karena melihat dia kena dipukul Wirapati sekali rebah.
Mendadak saja tatkala aku mengadu tenaga, suatu dorongan dahsyat menusuk urat
nadi. Cepat-cepat aku hendak bertahan diri, tapi nampaknya telah kasep. Namun
andaikatapun aku bersiaga sebelumnya, tenaga orang itu benar-benar bukan
tandinganku."
Gagak
Handaka meninggikan alis. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menebak asal usul
orang itu dengan titik tolak bekas pukulannya. Tetapi tetap saja, teka-teki itu
tak dapat dipe-cahkannya. Ranggajaya yang masih sibuk mengusap keringatnya
sekonyong mendengus.
"Apakah
dia berberewok?"
Bagus
Kempong dan Wirapati mengiakan dengan berbareng.
"Hm,"
dengusnya lagi. "Terang-terangan dia bermuka berewok, meskipun demikian
kalian kena tuduh. Apalagi, seumpama orang-orang itu pernah mengenal
tampangku."
Ranggajaya
mukanya berbulu juga, sehing-ga oleh ujarnya itu sekalian saudara-saudara
seperguruannya tertawa terbahak-bahak. Sangaji sendiri meskipun merasa diri
dari angkatan muda diam-diam ikut tertawa pula. Pikirnya, pamannya seorang ini
nampaknya angker dan keren, tetapi pandai pula berke-lakar meskipun bernada
sungguh-sungguh.
Malam
harinya, mendung padepokan Gunung Damar telah tersapu bersih. Maklumlah
Wirapati telah kembali dan kesehatan Bagus Kempong sudah pulih. Semenjak sore
hari, mereka duduk berkumpul memperbin-cangkan orang berberewok yang memiliki
pukulan sakti itu. Mereka
mengingat-ingat
tokoh-tokoh yang pernah diperkenalkan gurunya dan membawa-bawa pula tokoh utama
pada zaman itu, tetapi tetap belum memperoleh kata sepakat. Terasa benar, bahwa
asal usul orang itu tersekap di balik halimun kabut tebal yang susah ditembus.
Karena membawa-bawa nama tokoh-tokoh sakti pada zaman itu, mendadak saja
Sangaji terus berkata: "Paman sekalian. Sebenarnya dengan tak sengaja, aku
telah menerima ilmu Kumayan Jati dari Paman Gagak Seta. Meskipun aku tiada
mengangkatnya sebagai guru."
"Hai!
Gagak Seta?" Gagak Handaka terkejut. Terus saja ia meraih tangannya dan
didekapkan dengan hangat ke dadanya. Berkata mengesankan. "Anakku!
Berbahagialah engkau! Berbahagialah! Engkau seperti dihampiri malaikat Jibril
yang datang mengkaruniai suatu ilmu maha sakti. Mengapa engkau bersegan-segan?
Apabila engkau telah menjadi murid Paman Gagak Seta, kedudukanmu sejajar dengan
kami."
Mendengar
ujar Gagak Handaka, Sangaji terkejut sampai tak terasa menarik tangannya. Ia
merasa, di balik kata-kata itu pamannya menegurnya dengan tajam. Tetapi
sebenarnya, Gagak Handaka berkata dengan jujur dan setulus-tulusnya. Dalam
kebimbangannya, cepat ia menyiratkan pandang kepada gurunya untuk mencari
kesan. Tetapi Wirapati memandangnya dengan manis sekali. Juga Ranggajaya, Bagus
Kempong dan Suryaningrat. Oleh pandang mereka ia seperti terpaku. Wajahnya
berubah hebat.
"Sangaji!"
kata Wirapati. "Tentramkan hatimu. Benar-benar pamanmu tiada mencelamu.
Bahkan aku pun sendiri menyesal, mengapa engkau tiada cepat-cepat mengangkat
beliau sebagai guru. Coba andaikata engkau telah mengangkat beliau sebagai
guru, pastilah engkau akan diwarisi sekalian ilmu saktinya. Pada zaman ini,
beliau termasuk salah seorang tokoh maha sakti di samping Adipati Sureng-pati,
Kebo Bangah dan guru kami."
"Guru!
Tak berani aku berbuat demikian," potong Sangaji gugup. "Budi Guru
terhadapku sebesar Gunung Semeru. Apabila aku tiada memperoleh asuhan Guru,
apakah arti aku ini dalam percaturan hidup? Tidak! Tidak! Guru adalah pelita
hidupku. Guru adalah seumpama mercu suar hidupku. Bagaimana aku berani
mengambil sesuatu keputusan dengan melalaikan Guru, meskipun andaikata
malaikatpun datang menawari aku kunci surga. Meskipun aku harus menyeberangi
lautan pedang, apabila Guru yang menitahkan aku pun takkan menyesal dan
beragu."
Bukan
main hebat kesan ucapan Sangaji yang dilepaskan dari hati setulus-tulusnya,
bagi pendengaran sekalian anak murid Kyai Kasan Kesambi. Seperti diketahui,
anak murid Kyai Kasan Kesambi diajar untuk menghargai jiwa luhur di atas
segalanya. Maka begitu mendengar ucapan pemuda itu, seketika mereka berdiri
serentak. Bahkan Suryaningrat yang berperasaan halus, terus saja memeluknya dan
menciumi dengan hati terharu.
"Anakku,
anakku!" katanya berbisik, "Berbahagialah engkau! Karena engkau
dilahirkan sebagai seorang ksatria sejati." Kemudian kepada Wirapati,
"Andaikata aku mempunyai seorang murid begini tinggi nilainya, biarpun
usiaku dikurangi dua puluh tahun, tiada kusesalkan. Ah, benar-benar tak tersia-sia
keper-gianmu ke daerah barat. Kangmas Wirapati telah menemukan suatu butir
mustika yang paling berharga pada zaman ini."
Gagak
Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong dengan berbareng mengucapkan selamat pula
kepada Wirapati. Sedangkan Sangaji sendiri, terlongoh-longoh keheranan
menyaksikan perangai dan sikap mereka. Pemuda yang berhati sederhana itu jadi
bi-ngung.
"Pantas!
Pendekar-pendekar tadi menyebut majikannya kena pukul cucu murid guru. Alihkan
anakku sendiri, Sangaji. Siapa yang mengira?" kata Ranggajaya penuh
semangat. Kemudian ia minta keterangan tentang diri majikan para pendekar yang
mengunjungi padepokan tadi siang.
Mereka
semua bersikap terbuka hatinya. Maka lambat laun Sangaji dapat menguasai diri
dan segera memberi keterangan. Bahkan ia tak kepalang tanggung lagi. Dikisahkan
riwayat hidupnya dengan sejelas-jelasnya. Wirapati pun ikut menguatkan,
menambahi dan membubuhi sehingga pembicaraan itu menjadi lancar sedap serta
mengasyikkan. Tak terasa, larut malam
telah
dilalui. Tetapi masih saja mereka tak mau melepaskan diri dari rangkaian
cerita. Bahkan, manakala kisahnya mulai menyinggung warisan Pangeran Semono
yang berupa Bende Mataram, Keris Kyai Tunggulmanik dan Jala Korowelang.
Seketika wajah mereka berubah menjadi tegang. Betapa tidak? Kecuali cerita
khayal itu benar-benar ada, mereka semua terlibat semenjak dua belas tahun yang
lalu. Wirapati menghilang dari padepokan Gunung Damar karena munculnya
peristiwa pusaka Pangeran Semono. Juga saudara-saudara seperguruan-nya direcoki
orang terus menerus perkara pusaka itu. Dan oleh peristiwa perebutan pusaka itu
pula, akhirnya gurunya lantas menyekap diri dalam pertapaan bertahun-tahun
lamanya.
Sampai
matahari terang benderang, mereka masih sibuk memperbincangkannya. Baik Bagus
Kempong, Wirapati dan Sangaji tidak menghiraukan lagi rasa lelahnya setelah
melalui perjalanan malam panjang. Dengan sungguh-sungguh dan senang hati mereka
memberikan keterangan-keterangan dan kesaksian-kesaksian semua peristiwa yang
dialami. Hal itu membuat Gagak Handaka, Ranggajaya dan Suryaningrat berpikir
keras.
Demikianlah
setelah lima hari mereka ber-kumpul dan berbicara maka datanglah saat yang
mendebarkan hati. Biasanya sepuluhhari sebelum hari ulang tahun, guru mereka
berkenan keluar dari pertapaan untuk menemui sekalian muridnya. Hari itu, jatuh
pada hari Jumat Pahing. Sepuluh hari lagi, Kyai Kasan Kesambi akan merayakan
hari ulang tahunnya yang ke-83. Tepat waktu matahari lagi mengintip di ufuk
timur, Kyai Kasan Kesambi terdengar mendehem tiga kali. Orang tua itu berkesan
gembira dan syukur, karena selama menyekap diri dalam perse-madian telah
memperoleh suatu ilham sebagai bahan penciptaan ilmunya yang kelak akan
menggoncangkan dunia. Ilmu itu bersumber kepada kodrat alam yang selalu
bergerak dan berasa. Kelak ia menamakan ilmunya: Sukma Buwana Langgeng. Orang
tua itu sengaja menggunakan istilah buwana dan bukan bawana sebagai lazimnya
yang pernah di dengar orang semenjak lama. Karena dia hendak membedakan secara
tegas antara pengertian buwana dan bawana. Buwana adalah kegiatan gaib (dalam),
sedangkan bawana adalah gelar. Gntuk memperjelas kedudukan istilah itu dia
menggambarkan, bahwa Buwana diperintah oleh Hyang Ismaya. Sedangkan Bawana
diperintah Hyang Manikmaya. Di kemudian hari, dia berhasil pula menciptakan
ilmu-ilmu sakti bersumber pada kodrat gerak dan rasa seperti: Cundamani ),
Lumembak Kumambang, Rasa Sejati-sejatinya Rasa, Tulis tanpa papan dan Papan
tanpa tulis, Terang tiada cahaya, Sangkan-paran ), Trisakti dan sebagainya.
Dengan diketemukan kunci pengertian gaib itu, kini dia tiada merasa segan
menghadapi ilmu-ilmu sakti lainnya semenjak zaman dahulu sampai pada dewasa
itu. Tak usahlah dia malu dibandingkan dengan ilmu-ilmu sakti pendekar-pendekar
Mangkubumi 1, Sultan Agung, Panembahan Senopati, Kebo Bangah, Pangeran Samber
Nyawa, Kyai Haji Lukman Hakim, Gagak Seta atau Adipati Surengpati. Maka pagi
hari itu, dengan dada lapang ia hendak menemui murid-muridnya.
Dengan
mengibaskan tangan kanannya seperti gerak lambaian tangan wajar, ter-bukalah kamar
persemadiannya. Sekonyong-konyong ia menjumpai suatu penglihatan yang nyaris
tak dipercayai sendiri. Benarkah yang berdiri di depan ambang pintu adalah
Wirapati muridnya keempat yang menghilang selama dua belas tahun lebih. Segera
ia menguncak-uncak kedua matanya agar bisa melihat dengan tegas. Dan pemuda
yang berdiri di depannya benar-benar adalah Wirapati.
Dalam
pada itu, Wirapati terus saja me-nubruk kedua lututnya dan dengan suara parau
berkata sambil menyembah.
"Guru!
Muridmu keempat menghaturkan selamat."
Gagak
Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat berturut-turut pula
menghaturkan sembah takzim. Hampir berjanji mereka berkata: "Guru!
Wirapati telah kembali pulang ke pangkuan Guru...
"Kyai
Kasan Kesambi adalah seorang perta-pa yang berperawakan tinggi tegap. Umurnya
kini
telah
mencapai 83 tahun. Dan hampir 60 tahun, dia menyekap diri di atas pegunungan
jauh dari persoalan dunia. Karena itu dia di sebut sebagai seorang pertapa
suci. Hatinya bebas dan tiada terikat oleh semua bentuk masalah dunia. Meskipun
demikian, karena hubungannya dengan kelima muridnya bagaikan ayah dan
anak-anak, maka begitu melihat munculnya Wirapati mendadak saja terus
memeluknya dan menciumnya dengan air mata berlinangan.
Kelima
muridnya dengan cepat menyedia-kan pakaian bersih dan menolong pula
mem-bersihkan badannya. Sambil membiarkan sekalian kelima muridnya menyatakan
kasih sayangnya, ia terus saja berwawan-sabda de-ngan muridnya keempat,
Wirapati. Wirapati sendiri bisa membawa diri. Agar tiada me-risaukan hati orang
tua yang baru saja menyekap diri dalam pertapaan semadinya, ia hanya
mengisahkan riwayat perjalanan selama dua belas tahun dengan singkat. Sama
sekali tak menyinggung tentang pusaka warisan Bende Mataram yang menjadi pokok
soal atau tentang orang berewok yang memukul Bagus Kempong. Katanya kemudian,
"Guru! Siswa terlalu lancang, karena mengambil murid tanpa seijin
Guru."
"Ha,
ha, alangkah lucu ujarmu," tukas Kyai Kasan Kesambi.
"Engkau
jauh terpisah dariku, masa menunggu sampai ada keputusanku? Eh, masa Kasan
Kesambi mempunyai murid yang tak dapat mengambil keputusan dengan cepat?"
Wirapati
lantas berlutut. Berkata lagi, "murid siswa adalah seorang pemuda
sederhana. Dia seorang anak petani dan tiada berpendidikan..."
"Ih,
apa bedanya? Biarpun seorang petani, bukankah manusia juga? Gurumu ini kaukira
berasal dari mana? Gurumu ini dilahirkan di gunung dan selamanya menjadi orang
gunung. Janganlah engkau bermodal pikiran terlalu sempit. Andaikata muridmu
seorang yang tumpul otaknya, apakah celanya. Yang penting ialah dasar hatinya.
Suatu kepandaian bisa dicari dan dipelajari, tetapi dasar hati adalah suatu
pembawaan."
Diam-diam
Wirapati bergembira mendengar ucapan gurunya. Memang ia sengaja meren-dahkan
diri untuk memperoleh pandangan gurunya. Begitu ia mendengar tiap-tiap kata
gurunya, masih ia mencoba, "Tetapi Guru murid siswa, tidaklah hanya siswa
seorang. Dia pun murid Jaga Saradenta. Anak murid almarhum Kyai Haji Lukman
Hakim. Dan akhir-akhir ini menerima ajaran ilmu sakti dari seorang tokoh liar
Gagak Seta..."
"Apa
kauhilang? Gagak Seta seorang tokoh liar?" damprat Kyai Kasan Kesambi,
"Eh, me-ngapa pikiranmu mendadak menjadi sempit? Memandang rendah martabat
seseorang merupakan suatu kesalahan terkutuk. Liar, sesat dan benar suci adalah
surut berlalu. Semua tidak tetap dan tergantung kepada kebutuhan seseorang
semata. Seseorang yang tadinya terkenal suci dan suatu kali berlaku sesat, dia
sekaligus menjadi seorang yang ter-sesat. Sebaliknya, meskipun dia terkenal
liar tetapi berbuat kebajikan, dialah seorang laki-laki sejati."
Kali
ini Wirapati benar-benar girang bukan kepalang. Menurut lazim, seorang guru
merasa kehormatannya tersinggung apabila muridnya tiba-tiba mengangkat guru
lain. Bahkan tiada jarang, muridnya disuruh membunuh diri dengan istilah
mengembalikan sekalian ilmu yang pernah diberikan. Tetapi Kyai Kasan Kesambi
seorang tokoh maha besar pada zaman itu, ternyata mempunyai pendirian hati yang
benar-benar luas dan tak terperikan. Tidak hanya ia memaklumi, bahkan segera
menyuruh Wirapati bangkit berdiri sambil berkata: "Cucu muridku menjadi
muridnya pula, anak murid almarhum sahabatku Kyai Haji Lukman Hakim adalah
suatu karunia yang menggembirakan. Sama sekali tak terduga, bahwa sebagian
kecil ilmu saktinya bisa bergabung pada tubuh cucu murid Kasan Kesambi. Coba
seumpama ia bisa bangun dari liang kuburnya, pasti ia akan menutup kembali
matanya dengan aman tentram. Dan pendekar sakti Gagak Seta, sudah lama aku
kenal dirinya. Aku pun kagum kepada ilmu saktinya. Orangnya jujur pula, hanya
tabiatnya aneh. Dia seperti burung rajawali yang datang pergi sesuka hatinya
sendiri. Meskipun sepak terjangnya aneh, tetapi ia bukanlah manusia bermartabat
rendah. Orang seperti dia, boleh menjadi sahabat sehidup semati."
Diam-diam Gagak
Handaka, Ranggajaya, Bagus
Kempong dan Suryaningrat
berpenda-pat,
bahwa
gurunya benar-benar amat kasih kepada Wirapati. Sampai-sampai meskipun
lagak-lagu Gagak Seta berkesan liar menurut tata pergaulan lumrah dan merupakan
momok yang sangat ditakuti orang, dipujinya serta dia pun bersedia mengangkat
sahabat sehidup-semati.
Kyai
Kasan Kesambi terus saja memerintah-kan memanggil Sangaji. Waktu itu Sangaji
baru saja pulang mandi dari sungai yang mengalir melingkari padepokan. Begitu
mendengar dipanggil kakek gurunya, segera lari memasuki rumah dengan gugup. Di
ruang tengah, ia melihat keempat paman dan gurunya duduk menghadap meja panjang
dengan santapan pagi. Dan tepat menghadap padanya, matanya tertumbuk pada
seorang laki-laki berambut dan berkumis putih. Raut mukanya bersih bening dan
perawakan tubuhnya tegap tinggi. Dialah Kyai Kasan Kesambi yang menyambut
kedatangannya dengan pandang berseri.
"Suatu
kesatuan tenaga yang dahsyat," kata Kyai Kasan Kesambi. "Hanya saja
kurang la-tihan sehingga belum bisa menyelaraskan dan menserasikan. Cucuku,
siapakah namamu? Bolehkah aku mengenal namamu?"
Suara
Kyai Kasan Kesambi diucapkan de-ngan lembut seperti berbisik. Tetapi tiap-tiap
kata seolah-olah dapat menembus tulang sumsum. Hal itu membuktikan, bahwa
per-bawa Kyai Kasan Kesambi luar biasa kuat. Tenaga gendamnya susah diukur lagi
atau dijajaki. Sangaji pernah bertemu dengan dua orang tokoh lainnya yang
kedudukannya se-tingkat dengan Kyai Kasan Kesambi. Yang pertama, pendekar sakti
Gagak Seta. Yang kedua ayah Titisari, Adipati Surengpati. Terhadap kedua orang
sakti itu, dia mempu-nyai kesan-kesan tertentu.
Pribadi
Gagak Seta, berkesan semberono dan agak liar. Tetapi penuh dengan pengucap-an
seorang ksatria sejati. Tabiatnya aneh. Susah diraba dan susah pula dilayani.
Meskipun demikian hatinya terbuka dan bukan merupakan seorang ksatria yang
angkuh dan sombong. Berbeda dengan kesan Adipati Surengpati. Ksatria itu
mempunyai perbawa menakutkan. Sepak terjangnya liar, galak dan bengis, la mudah
tersinggung dan bisa mengambil keputusan tanpa dipikirkan panjang lagi.
Sebaliknya, terhadap Kyai Kasan
Kesambi—Sangaji
mempunyai kesan lain dari-pada mereka berdua. Orang tua itu benar-benar
memancarkan rasa suci. Perbawanya sejuk menentramkan hati. Matanya bercahaya
seolah-olah emoh terlibat oleh suatu duka cita. Terhadap sarwa benda yang
dilihatnya terasa sekali betapa dia selalu memantulkan rasa kasih sayang. Maka
pantaslah, murid-muridnya terkenal sebagai ksatria-ksatria luhur budi dan
agung.
"Cucu
murid bernama Sangaji. Dengan ini menghaturkan sembah," terus saja Sangaji
berlari memeluk kedua betisnya.
Menyaksikan
betapa Sangaji menghaturkan sembah dengan hati setulus-tulusnya, hati Kyai
Kasan Kesambi runtuh seketika itu juga. Dengan penuh kasih sayang ia
membangun-kan seraya berkata, "namamu Sangaji? Alang-kah bagus nama itu.
Sangaji dari asal kata Sang Aji. Aji adalah ratu. Karena itu, hatimu harus pula
secemerlang mustika ratu."
Kena
raba Kyai Kasan Kesambi, Sangaji ter-peranjat. Pada saat itu, seluruh tubuhnya
mendadak terasa hangat segar. Suatu hawa hangat menyusup lewat ketiaknya dan
terus berputaran meraba urat-uratnya. Tahulah ia, bahwa orang tua itu diam-diam
menolong menyempurnakan tata peredaran darahnya yang masih saja merupakan
penghalang besar apabila sedang menghimpun tenaga lewat napas. Beberapa saat
kemudian, setelah dia tegak berdiri, Kyai Kasan Kesambi berkata setengah heran.
"Hebat!
Darimanakah engkau memperoleh tenaga murni sebagus ini?"
Tanpa
segan-segan lagi Sangaji terus saja menuturkan perjalanan hidupnya mulai
berte-mu dengan Wirapati sampai memperoleh petunjuk-petunjuk dari Ki Tujungbiru
dan mendapat warisan ilmu Kumayan Jati dari Gagak Seta. Hanya pengalamannya
terhadap Adipati Surengpati, sama sekali ia tak menyinggungnya.
"Hm," dengus Kyai Kasan Kesambi sambil mengurut-urut jenggotnya. "Petunjuk ksatrian
Banteng
itu tidaklah buruk. Apabila engkau benar-benar menekuni ajarannya tata laku
bersemadi akan besar faedahnya." la berhenti seperti lagi
menimbang-nimbang. Tadi tatkala dia merasukkan hawa murni ke dalam tubuh si
anak, ia mendapat perlawanan hebat sampai tangannya tergetar. Diam-diam ia
mencoba menebak teka-teki itu. Bertanyalah dia mencoba, "Kecuali mereka
berdua, pernahkah engkau memperoleh sesuatu ilmu dari seseorang yang sifatnya
menghisap?"
Memperoleh
pertanyaan itu, mendadak saja teringatlah Sangaji kepada daya sakti getah pohon
Dewadaru. Maka berceritalah dia seje-las-jelasnya tentang pengalamannya yang
aneh. Mendengar pengalaman Sangaji, seka-lian murid Kyai Kasan Kesambi kecuali
Wi-rapati jadi sibuk memperbincangkan. Ternyata Kyai Kasan Kesambi tiada asing
akan kesak-tian pohon tersebut. Meskipun belum pernah melihat, tetapi sebagai
seorang mahaguru yang berpengetahuan luas, dia bisa mene-rangkan dengan
sejelas-jelasnya. Bahkan lebih jelas daripada keterangan Sangaji atau Ki
Tunjungbiru sendiri.
Tengah
mereka berbicara sambil bersantap, masuklah seorang cantrik dengan
tergesa-gesa.
"Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegoro I dan Kanjeng Pangeran Arya Ngabehi
mengirimkan serombongan utusan untuk menghaturkan oleh-oleh kepada sang
Panembahan," katanya.
"Aha,
apakah sudah waktunya aku meneri-ma segala hadiah istana untuk hari ulang
tahunku yang kedelapan puluh tiga?" sahut Kyai Kasan Kesambi dengan
tertawa. "Gagak Handaka, cobalah lihat macam pesalin apakah yang
dihadiahkan kepadaku!"
Segera
Gagak Handaka mengundurkan diri dari meja bersantap dan bergegas ke paseban.
Suryaningrat yang masih berbau kanak-kanak, ikut pula sibuk. Terus saja dia
mengikuti kakaknya seperguruan yang tua.
"Eh!
Bukankah mereka utusan dari putera-putera almarhum Sultan Hamengku Buwo-no
I?" tegur Ranggajaya. "Apakah mungkin pula ada sebuah pesanan dari
bakal mertua Kanjeng Pangeran Panular?"
Mendengar
godaan Ranggajaya, kecuali Sangaji semuanya jadi tertawa berbareng. Muka
Suryaningrat merah padam. Meskipun demikian tetap saja dia mengikuti Gagak
Handaka menjenguk paseban.
Terlihatlah
di paseban dua orang laki-laki bermuka buruk berdiri tegak bagaikan patung. Di
belakangnya berdiri pula sekelompok pengiring kurang lebih berjumlah sepuluh
orang. Mereka semuanya mengenakan pakaian prajurit, kecuali dua orang tersebut.
"Terimalah
hormat hamba yang rendah. Hamba berdua bernama Kasan dan Kusen. Dengan ini
menghaturkan sembah kepada ksatria Wirapati yang telah pulang dengan
selamat." Gagak Handaka dan Suryaningrat heran mendengar bunyi kata-kata
mereka.
Menghaturkan
sembah kepada Wirapati yang baru saja pulang? Meskipun demikian, mereka berdua
lantas saja membalas hormat sambil mempersilakan duduk.
"Masuklah!"
kata Gagak Handaka kemu-dian. Diam-diam ia mulai memperhatikan keadaan mereka
berdua. Benarkah mereka bernama Kasan Kusen? Kasan-Kusen adalah nama dua
ksatria pada zaman Majapahit. Biasanya nama itu dikenakan oleh dua orang
saudara sekandung yang kembar. Melihat tampang mukanya, sama sekali mereka jauh
berbeda. Terang sekali, mereka bukanlah saudara sekandung. Yang bernama Kasan,
bentuk wajahnya mirip telur itik. Keningnya terdapat bekas luka sangat panjang
sampai mencapai tepi mulut. Hidungnya gede dan bermulut lebar, sedangkan yang
bernama Kusen mempunyai potongan muka bulat. Kedua pipinya melembung dan penuh
ben-tong-bentong bekas penyakit cacar. Alis dan bibirnya tebal. Melihat kesan
muka berdua, masing-masing berusia lebih dari 50 tahun.
"Tuan
berdua datang bukankah atas nama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara
1 dan Kanjeng Pangeran Arya Ngabehi? Bagaimana keadaan beliau berdua?
Sebenarnya
guru kami, tidak berani menerima bingkisan dari keluarga raja. Betul leluhur
beliau berdua adalah sahabat karib guru kami, tetapi kedudukan masing-masing
jauh berbeda," kata Gagak Handaka merendah.
Tetapi
Kasan dan Kusen bersikap dingin seolah-olah tiada mendengarkan. Yang berna-ma
Kasan lantas saja mengeluarkan daftar barang hantaran dan dipersembahkan kepada
Gagak Handaka dengan kata-kata kaku.
"Yang
mengutus kami berdua perkenankan menghaturkan selamat atas kedatangan ksa-tria
Wirapati dan dengan ini menghaturkan bingkisan tak berharga kepada anak
muridnya yang bernama Sangaji. Kami semua berharap sangat memperoleh
petunjuk-petunjuknya yang berharga."
Mendengar
kata-kata ulangan yang ditekan-kan, Gagak Handaka meninggikan alisnya. Terang
sekali kedatangan mereka bukan untuk gurunya, tetapi untuk Wirapati dan
Sangaji. Wirapati baru beberapa hari datang ke padepokan. Mengapa mereka telah
mengetahui? Bahkan mereka mengenal nama murid Wirapati. Sekaligus timbulah
kecurigaannya. Jangan-jangan mereka datang untuk memperoleh keterangan tentang
pusaka Bende Mataram. Tetapi sebagai tuan rumah dengan menekan perasaannya
sendiri, ia berkata mencoba. "Sebenarnya, Tuan-tuan sekalian utusan
siapa?"
"Periksalah
barang bingkisan ini dahulu," Kasan menyahut tak memedulikan.
Tak
senang hati Gagak Handaka melihat sikap tamunya. Tetapi tatkala melihat barang
bingkisan yang ditebarkan di atas meja ia menjadi terkejut. Ternyata barang
bingkisan itu berjumlah kurang lebih 150 macam. Dan semuanya terdiri dari emas,
intan atau berlian. Barang-barang demikian bukan main tinggi harganya pada
dewasa itu. Agaknya yang mengutus mereka, sengaja memilihkan barang-barang yang
berharga untuk sesuatu maksud tertentu.
Gagak
Handaka benar-benar jadi sibuk. Segera ia berkata kepada Suryaningrat,
"Coba panggillah kakakmu Wirapati! Bukankah bingkisan ini untuknya?"
Mendengar
ujar Gagak Handaka, tiba-tiba saja Kasan dan Kusen terus saja membungkuk sambil
berkata, "Tak usah tergesa-gesa. Kami akan pergi dahulu. Kelak saja pada
hari ulang tahun guru Tuan, kami akan datang kembali untuk menerima
petunjuk-petunjuk."
Setelah
berkata demikian, mereka mengun-durkan diri. Dan sekalian orang-orangnya terus
saja mengiringkan.
"Hai
Tuan!" seru Suryaningrat. "Apakah artinya ini?"
"Hm,
bukankah sudah jelas?" sahut Kasan tanpa menoleh. Diperlakukan demikian,
Suryaningrat merasa tersinggung. Segera ia hendak mengejar, tetapi Gagak
Handaka mencegah cepat.
"Biarlah
mereka pergi. Kita usut hal ini de-ngan perlahan-lahan," katanya. Kemudian
ia memanggil beberapa cantrik untuk mengurus bingkisan tersebut. Dan
bersama-sama de-ngan Suryaningrat ia bergegas menghadap gurunya. Terus saja ia
melaporkan tentang rombongan tamu yang mencurigakan. Kemu-dian terpaksa ia
mengutarakan semua pe-ngalamannya menjaga pertapaan selama gurunya bersemadi.
"Guru!"
ia mulai. "Orang-orang yang men-coba memperoleh keterangan tentang
pem-bunuhan orang-orang Banyumas dua belas tahun yang lalu, ternyata mempunyai
maksud lain yang jauh lebih penting. Yakni, hendak mencoba mencari jejak pusaka
Bende Ma-taram. Ternyata pusaka tersebut benar-benar ada. Karena peristiwa
pusaka itu pulalah, maka adinda Wirapati sampai meninggalkan perguruan selama
ini."
Habis
berkata demikian, segera ia menoleh kepada Wirapati. Dan mau tak mau Wirapati
segera menuturkan riwayat perjalanannya dengan sejujur-jujurnya.
"E-hm,"
tukas Kyai Kasan Kesambi. "Meskipun pusaka yang kaukatakan itu belum tentu
pusaka Bende Mataram tetapi pastilah kita bakal kebanjiran tamu. Kalian bakal
jadi sibuk..."
Ulasan
Kyai Kasan Kesambi ternyata benar. Semenjak hari itu, secara berturut-turut
pade-pokan Gunung Damar kebanjiran tamu tak diundang. Mereka datang dengan
dalih meng-hantarkan barang bingkisan untuk hari ulang tahun Kyai Kasan
Kesambi. Ada pula yang terang-terangan menerangkan, bahwa keda-tangannya hendak
bertemu dengan Wirapati dan Sangaji.
"Guru!"
kata Sangaji kepada Wirapati pada suatu hari. "Terang sekali kedatangan
mereka adalah untukku, karena kesalahanku dahulu membuka rahasia pesan almarhum
Paman Wayan Suage di tengah lapangan terbuka. Tak kukira, bahwa kehadiranku ke mari
akan membuat susah Eyang Guru dan sekalian paman. Bagaimana baiknya... apakah
aku harus mengambil pusaka warisan itu dahulu dan kemudian kuserahkan kepada
Eyang-Guru? Bukankah Eyang Guru belum yakin, bahwa kedua pusaka tersebut adalah
pusaka Bende Mataram? Dengan kedua pusaka ada pada tangan Eyang Guru,
terserahlah eyang-guru hendak mengadili..." la berhenti sejenak menunggu
pertimbangan gurunya.
Waktu
itu Wirapati sedang mengaduk kapur dinding. Hari itu ia hendak mengapur dinding
bersama dengan Suryaningrat, agar pade-pokan kelihatan bersih. Dan begitu
mendengar ujar muridnya, seolah-olah ia memperoleh ilham. Katanya kemudian,
"aha, bagus penda-patmu. Sekiranya kedua pusaka itu telah berada di sini,
kita sekalian bisa menentukan sikap. Jika bukan pusaka Bende Mataram maka
selesailah persoalannya. Apabila memang benar-benar pusaka Bende Mataram
masakan eyang gurumu akan membiarkan pusaka tersebut terampas dari tanganmu.
Sebab, engkau adalah hak warisnya."
Sehabis
berkata demikian, pandang mata Wirapati berseri-seri. "Sudahlah, tenangkan
hatimu! Aku akan membicarakan hal itu de-ngan sekalian paman-pamanmu..."
Pada
saat itu, tiba-tiba terdengar Surya-ningrat berseru, "Kangmas Wirapati!
Cepatlah engkau mengaduk kapur!" Lalu dengan tertawa ia menyambung lagi,
"siapakah yang suruh Kangmas pandai mengapur dinding.
Heh,
Aji! Barangkali baru hari ini kauketahui, bahwa gurumu pandai mengapur
dinding..." "Aku pun akan mencoba-coba belajar me-ngapur," sahut
Sangaji.
"Tak
usah. Lebih baik kau memimpin sekalian cantrik-cantrik menebang pohon untuk
kayu bakar!"
Hari
itu sekalian anak murid Kyai Kasan Kesambi sibuk mengapur dinding dan meng-atur
rumah tangga. Sedangkan Sangaji de-ngan rajinnya mematahkan beberapa pohon
dengan ilmu Kumayan Jati. Hal itu membuat gempar seluruh penduduk pertapaan,
sampai-sampai Kyai Kasan Kesambi berkenan menyaksikan. Sudah barang tentu
Sangaji jadi ersipu-sipu. Maklumlah, tadi dia hanya bermaksud sekedar melatih
diri merubah tata peredaran darah sebagai titik tenaga dorong, setelah
memperoleh penyempurnaan dari eyang gurunya dahulu hari.
Pada
malam harinya, Wirapati segera be-runding dengan sekalian saudara-saudara
se-perguruannya hendak mengambil kedua pusa-ka warisan Bende Mataram.
Sebenarnya mereka tidak menyetujui sebelum memperoleh izin gurunya. Tetapi
mengingat suasana bertambah hari bertambah gawat, mereka jadi menyetujui.
Bahkan mereka berharap, agar kedua pusaka keramat itu kelak bisa merupakan
hadiah ulang tahun gurunya yang ke-83.
Dengan
dalih hendak mengatur penyambut-an tamu di gunung, Wirapati mohon restu dari
Kyai Kasan Kesambi. Kemudian berangkatlah dia turun gunung dengan diantarkan
sekalian saudara seperguruannya. Selagi mereka ber-pisahan di kaki gunung,
mendadak datanglah Sangaji dengan berkata nyaring. "Paman! Apakah artinya ini?"
Sangaji
menyerahkan sebuah lencana terbuat dari perak dan sehelai panji-panji kecil,
kepada Gagak Handaka. Tatkala Gagak Handaka memeriksa lencana dan panji-panji
itu, kedua alisnya
terus
saja terangkat. Keningnya berkerut-kerut dan terloncatlah perkataannya.
"Hai,
bukankah ini lencana tanda pengenal utusan Kanjeng Pangeran Arya Blitar? Blitar
bukan dekat. Ini adalah suatu kehormatan tak kecil artinya."
"Sebaiknya
apabila Kanjeng Pangeran Arya Blitar datang, Guru sendiri kelak yang harus
menyambut," sambung Ranggajaya. Mereka kemudian cepat-cepat memberi
laporan kepa-da Kyai Kasan Kesambi.
Seminggu
kemudian tepat pada hari ulang tahun Kyai Kasan Kesambi datanglah Kanjeng
Pangeran Arya Blitar dengan dua belas pengiringnya.
"Ksatria
sakti itu kabarnya tak pernah menginjak daerah Jawa Tengah. Mengapa dia bisa
mengetahui hari ulang tahun seorang pendeta tak berarti?" kata Kyai Kasan
Kesambi menebak-nebak setelah memperoleh laporan datangnya tamu agung. Segera
ia memanggil Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong dan membawa mereka ke
paseban. Ia nampak gopoh, sehingga tak melihat ketidak-hadiran muridnya yang
keempat Wirapati.
Maka
terlihatlah seorang laki-laki gagah berpakaian hitam. Lengan dan celananya
pan-ang dengan ditutupi kain pembebat bagaikan dodot. Nyata sekali bahan
pakaiannya terbuat dari kain sutra yang mahal harganya. Dia berdiri gagah.
Wajahnya sabar, tenang dan berwibawa, tidaklah memalukan, apabila dia terkenal
sebagai keluarga yang memusuhi pemerintah Belanda. Namanya termasyhur di
seluruh tanah air dan disegani pula. Di belakangnya terdiri dua belas
pengiringnya, yang diketuai oleh ksatria lndrajaya dan Indrasakti. Kedua
ksatria itu berasal dari Pulau Sumatera.
Berulang
kali Kyai Kasan Kesambi mengu-capkan terima kasih sambil mengangguk tanda
hormat. Sedangkan Gagak Handaka segera memimpin adik-adik seperguruannya
membuat sembah berdiri. Dan dengan gopoh pula Kanjeng Pangeran Arya Blitar
membalas hormat mereka sambil berkata, "Nama Kyai Kasan Kesambi sangat tenarnya
bagaikan bintang kejora bergetar di angkasa raya. Masa kami berani menerima
hormat sang Panembahan dan sekalian anak muridnya."
Dan
baru saja mereka dipersilakan duduk, masuklah seorang pelayan yang mengabarkan
bahwa di luar padepokan terdapat lima orang tetamu. Mereka memperkenalkan diri
sebagai tokoh ksatria yang datang dari pinggang Gunung Muria. Mereka sengaja
datang hendak mengucapkan selamat ulang tahun ke-83, Kyai Kasan Kesambi.
Pada
waktu itu, nama Arya Lumbung Ami-sena dari Gunung Lawu, Arok Kudawa Neng-pati
dari Bulukerto, ksatria Watu Gunung dari Gunung Tangkubanprahu dan Adipati
Sosro-kusuma dari Pesantrenan sangat tenar, melebihi ksatria sakti lainnya.
Masing-masing memiliki anggota yang disebutnya siswa. Kemudian selain mereka,
terhitung pula sang Dewaresi dan Kyai Wuker dari Bangil. Selanjutnya barulah
anak buah Putut Pranolo dari Gunung Muria. Demikianlah apabila dibandingkan,
tataran cikal bakal siswa-siswa dari Gunung Muria (Putut Pranolo) samalah
derajat dengan Gagak Handaka. Begitu pula tataran sang Dewaresi dan Kyai Wuker.
Bahkan mereka ini pun, tingkatannya tak melebihi Wirapati. Meskipun demikian,
Kyai Kasan Kesambi sangat ramah dan bersikap merendahkan diri. Segera dia
berkata menyambut, "Ksatria Putut Pranolo datang pula. Biarlah aku sendiri
yang mempersilakan duduk."
Putut
Pranolo dengan keempat muridnya dengan tersipu-sipu membungkuk hormat dan
segera memasuki paseban. Kanjeng Pangeran Arya Blitar ikut berdiri menghormati
pula, tetapi hanyalah mengangguk kecil. Setelah itu datanglah orang-orang dari
Banyumas. Pemekaknyawa dari Tuban, Lio Bun Tan dari Cirebon dan beberapa
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang berturut-turut menyatakan ingin
mengucapkan selamat ulang tahun.
Sebenarnya
tetamu-tetamu yang datang dengan bermaksud menghaturkan selamat hari ulang
tahun, tidaklah lazim pada zaman itu. Tahun yang lalu, hari ulang tahui Kyai
Kasan Kesambi hanya dirayakan dalam lingkungan sendiri. Siapa mengira, banwa
hari ulang tahun kali ini begitu banyax dacunjungi tetamu-tetamu dari jauh dan
bahkan masih asing pula. Keruan para anak murid Kyai Kasan Kesambi jadi repot
melayani. Persediaan kursi tak cukup lagi.
Gagak
Handaka dan ketiga adik seperguruannya jadi bingung. Sangaji kemudian terpak-sa
membongkar batu-batu pegunungan dan ditaruh di paseban sekedar sebagai
kursi-kursi darurat. Meskipun demikian, masih saja kurang cukup. Maka
terpaksalah tempat duduk yang disediakan hanya untuk para pemimpin belaka.
Sedangkan para siswanya harus berdiri atau duduk di atas batu-batu. Cangkir dan
piring habis pula. Terpaksa pulalah, Sangaji dan sekalian pamannya menyediakan
tempu-rung-tempurung sebagai mangkok.
Diam-diam
Suryaningrat mengedepi Bagus Kempong agar masuk ke dalam kamar.
"Kangmas
Kempong, bagaimana kesan Kangmas? Adakah suatu tanda-tanda yang
mencurigakan?"
"Agaknya
kedatangan mereka sudah saling berjanji dahulu. Setidak-tidaknya, masing-masing
mempunyai rencana tertentu," kata Bagus Kempong dengan tenang.
"Benar.
Kedatangan mereka tiada sungguh-sungguh hendak menghaturkan selamat hari ulang
tahun kepada guru. Terang sekali dengan dalih itu, mereka menyembunyikan maksud
hati masing-masing."
"Apakah
engkau bisa membaca maksud mereka?" Bagus Kempong berganti bertanya.
Suryaningrat adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang kelima. Meskipun sikapnya
masih berbau kekanak-kanakan, tetapi otaknya cerdas dan cekatan. Dalam
kebanyakan hal, ia pandai mengambil kesimpulan dengan cepat dan tepat. Hal itu
disebabkan, karena dia memiliki pembawaan prarasa yang kuat. Maka menjawablah
dia. "Kukira mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat hari ulang
tahun. Juga bukan mengungkat-ungkat peristiwa pembunuhan orang-orang Banyumas
dahulu. Tetapi kedatangan Kangmas Wirapati dan Sangaji yang membawa-bawa
dongengan pusaka warisan Bende Mataram, bukankah suatu peristiwa yang amat
menarik?"
"Ah
betul," puji Bagus Kempong. Seko-nyong-konyong beralih, "di manakah
anak Sangaji kini berada? Bawalah dia masuk ke dalam dan jangan perkenankan
sembarangan muncul di paseban. Mengingat pengalamanku dahulu, di antara mereka
pasti ada yang lagi mengincar dirinya."
Suryaningrat
terus saja keluar kamar dan memanggil salah seorang ketua siswa. Setelah
menyampaikan perintah agar membawa Sangaji masuk ke dalam, dia kembali
meng-hadap Bagus Kempong. Berkata lagi minta pertimbangan. "Apakah yang
harus kita lakukan kini?"
Bagus
Kempong adalah seorang ksatria yang tenang sikapnya, berhati-hati dan
senantiasa berwaspada. Tak sembarangan dia bertindak menuruti ungkapan
pemikiran yang meletus dengan mendadak apabila hatinya belum yakin. Maka
setelah merenung-renung sejenak, dia berkata mengandung keputusan,
"'Biarlah kita berlaku hati-hati dahulu dan jangan ceroboh menentukan
sikap. Asalkan kita bersatu-padu, kekuatan kita takan mengecewakan. Anak murid
Kyahi Kasan Kesambi sudah terlalu sering mengalami gelombang badai, masakan
takut menghadapi mereka?"
Suryaningrat
jadi ikut berpikir pula. Jumlah mereka kini tinggal empat orang, tetapi masih
mempunyai Sangaji yang memiliki ilmu sakti tak beda dengan mereka. Di samping
dia, masih ada pula Kyai Kesambi yang ilmu kepandaiannya sudah mencapai
tingkatan kesempurnaan. Hanya saja, dia harus mempertimbangkan usianya yang
sudah tua. Dalam menghadapi suatu kekerasan yang maha besar, sedapat mungkin
orang tua itu harus berada di luar garis. Betapa tinggi ilmunya tetapi usianya
yang sudah tua itu tak mengizinkan otaknya terlalu keras bekerja.
Cukuplah
sudah, dia memberi petunjuk-petunjuk saja yang akan diselesaikan oleh anak
muridnya. Oleh pertimbangan ini, Suryaningrat nampak berpikir makin keras.
Sadarlah dia, bahwa urusan hari ini tidaklah gampang diselesaikan dengan begitu
saja. Maklumlah, jumlah mereka sangat besar dan nampaknya seia-sekata dalam
satu tujuan tertentu. Dapatkah dia berlima menandingi mereka? Bagaimanapun juga
akibatnya, anak murid Kyai Kasan Kesambi akan mempertahankan pamor perguruan.
Namun sulitnya bukan kepalang.
Dalam
pada itu Gagak Handaka dan Ranggajaya berdua, terus mendampingi gurunya tanpa
beristirahat. Diam-diam mereka bercuriga juga dan mencoba menebak maksud
kedatangan para tamu. Menyaksikan tamu datang tiada berputusan, mereka jadi
bertam-bah heran. Belum lagi mereka berhasil menebak maksud kedatangan mereka,
kem-bali lagi penjaga padepokan datang melapor.
"Gusti
Ayu Kistibantala datang atas nama Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono II. Beliau
datang dengan tiga puluh pengiring dengan membawa bingkisan raja."
Suryaningrat
yang mendengar bunyi lapor-an itu, terus saja keluar dari kamar. Keruan saja
Bagus Kempong, Gagak Handaka, Ranggajaya tersenyum memaklumi. Hati siapa tak
tergerak mendengar kekasih yang dirindukan tiba pula tanpa diundang. Sudah
barang tentu muka Suryaningrat merah padam. Sikapnya mendadak saja jadi kaku.
"Mari,
mari kita berdua menyambut dia," ajak Bagus Kempong.
Gusti
Ayu Kistibantala, ternyata seorang wanita yang berperawakan padat berisi, gagah
dan berwibawa. Perbawanya tak kalah dengan seorang pria. Tatkala melihat
Suryaningrat, terus saja kepalanya menunduk. Pandang matanya berseri-seri.
Wajahnya menjadi merah jambu. Suatu tanda, bahwa hatinya ikut berbicara.
Segera
Bagus Kempong maju dengan memberi hormat serta mempersilakan masuk ke paseban.
Suryaningrat sendiri, sikapnya makin kaku. Tak berani dia memandang kekasihnya.
Tetapi
tatkala sekalian tamu berdiri memberi hormat, diam-diam ia mencuri pandang.
Secara kebetulan pula, Gusti Ayu Kistibantala menoleh. Begitu pandang mereka
bertemu, masing-masing tergetar hatinya. Tiba-tiba Ranggajaya berdehem. Keruan
saja mereka berdua jadi tersipu-sipu. Tertawalah Rangga-jaya dan terus saja berkata,
"Eh, tak kukira bahwa dehemku mengejutkan kalian. Mari kupilihkan tempat
duduk sebaik-baiknya."
Suryaningrat
tercekat hatinya, la khawatir, kakaknya seperguruan akan mencarikan sebuah
tempat duduk panjang yang sengaja diperuntukkan baginya. Bukankah dia lantas
akan merupakan pengantin di tengah para tamu? Tetapi, ternyata kakaknya
seperguruan hanya bergurau belaka. Dengan begitu tenteramlah hatinya. Tatkala
melihat pengiring kekasihnya yang berjumlah tiga puluh orang, hatinya jadi
bersyukur. Katanya dalam hati, dia membawa tiga puluh pengiring. Apabila
terjadi suatu kekerasan, masakan dia tak mau membantu kita?
Begitulah
dalam setengah hari saja, tetamu dari berbagai daerah datang tak berkeputusan.
Nama Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya sangat tenar dalam pergaulan luas. Namun
kedatangan para tamu ini benar-benar luar biasa dan tidak sewajarnya. Anak-anak
murid dan sekalian cantrik Gunung Damar jadi repot luar biasa.
Persiapan-persiapan perjamuan sama sekali tiada. Karena harus menyuguh tamu,
mau tak mau mereka terpaksa hanya menyediakan semangkok nasi dengan sedikit
sayur dan tempe godok. Berulang-ulang kali Gagak Handaka atas nama gurunya
menyatakan diri sangat menyesal, karena tak mampu menghidangkan sesuatu yang
lebih baik lagi.
Tatkala
itu Ranggajaya dan Bagus Kempong memperhatikan tetamu-tetamu mereka. Mereka
melihat para pemimpin atau ketuanya bisa menghargai diri sendiri tanpa membawa
senjata. Tetapi diantara anak murid atau pe-ngiringnya dengan diam-diam
menyembu-nyikan senjata di balik baju dan kainnya. Hanya anak murid Purut
Pranolo dan pengi-ring-pengiring Pangeran Arya Blitar dan Gusti Ayu
Kistibantala yang benar-benar datang dengan bertangan kosong.
Ranggajaya
yang berwatak keras, mendongkol menyaksikan mereka yang diam-diam menyembunyikan
senjata. Ini adalah suatu perbuatan rendah dan kotor. Mestinya mereka harus
meninggalkan senjata mereka tatkala hendak mendaki gunung. Meskipun demikian,
ia tak bisa berbuat lain kecuali menelan kenyataan pahit.
Maklumlah,
mereka adalah tamu. Dan Kyai Kasan Kesambi tiada mengadakan peraturan
menanggalkan senjata apabila hendak mene-mui dirinya. Hal itu hanya diserahkan
kepada pertimbangan keluhuran budi masing-masing belaka.
Hadiah-hadiah
dan bingkisan-bingkisan mereka pun hanya terdiri dari barang-barang lumrah yang
mudah diperoleh di pasar terbuka atau kedai-kedai jalan. Hadiah dan bingkisan
demikian tidaklah pantas dipersembahkan kepada Kyai Kasan Kesambi yang
termasyhur sebagai guru besar pada zaman itu. Hanya bingkisan dari Kanjeng
Pangeran Arya Blitar dan Gusti Ayu Kistibantala saja yang benar-benar di nilai.
Atas nama Sri Sultan Hamengku Buwono II, Gusti Ayu Kistibantala membawa satu
peti penuh dengan 200 macam barang. Kecuali itu, masih ada pula 10 potong jubah
pertapaan, dari bahan sutra Tionghoa.
"Jubah
pertapaan ini adalah hasil pekerjaan para dayang. Meskipun karya sangat kasar,
tetapi oleh dorongan hati yang sembrono, kami memberanikan diri mempersembahkan
sebagai bingkisan ulang tahun sang Panembahan," kata Gusti Ayu
Kistibantala.
Senang
sekali Kyai Kasan Kesambi mendengar kata-kata Gusti Ayu Kistibantala. Dengan
tertawa ia menyahut, "Almarhum ayahanda Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono
11, adalah sesembahanku pada zaman Perang Giyanti. Sekarang puteranya masih
ingat memberi anugerah jubah pertapaan kepada seorang pendeta tak berarti yang
bermukim di pinggang Gunung Damar. Benar-benar suatu anugerah tak ternilai
harganya."
Dalam
pada itu, Suryaningrat yang banyak tipu muslihatnya, melihat para tetamu sering
melihat keluar paseban seolah-olah menunggu kedatangan jagonya. Diam-diam ia
jadi heran dan curiga. Pikirnya, bala bantuan yang mana lagi yang mereka
tunggu? Celakalah keadaan guru. Karena tak mengira bakal tertumbuk suatu
permusuhan dalam selimut, sampai tak sempat memberi kabar kepada sahabat
sejatinya. Seumpama guru mengerti akan mengalami peristiwa demikian masakan
sahabat-sahabatnya seperti Paman Gagak Seta, Adipati Surengpati dan Kebo Bangah
tak diundang hadir. Dengan kehadiran tiga tokoh sakti itu, tidaklah perlu
menggubris sepak terjang mereka.
Sekonyong-konyong
Bagus Kempong mem-bisiki, "Suryaningrat! Apakah kakakmu Wira-pati belum
ada kabar beritanya?',
Memperoleh
pertanyaan itu, Suryaningrat terperanjat. Pikirnya, ya, mestinya Kangmas
Wirapati harus sudah datang. Dia telah pergi selama satu minggu. Masakan belum
sampai ke tujuan? Dengan berpikir demikian, ia menggelengkan kepala.
Bagus
Kempong nampak menghela napas panjang. Berkata dengan berbisik, "mereka
datang untuk dia. Dengan membawa pusaka Bende Mataram atau tidak, pastilah
mereka akan menerbitkan gara-gara sebagai alasan untuk mengompres keterangan
dari mulut kakakmu dan Sangaji. Yah, urusan sudah jadi begini, terpaksa kita
lawan mereka sekuat tenaga."
Di
antara kelima murid Kyai Kasan Kesambi, pribadi Bagus Kempong adalah selalu
bersungguh-sungguh. Jarang sekali dia bergurau. Dan apa yang telah terucapkan
pasti mempunyai alasan kuat. Boleh jadi, mereka semua akan mengalirkan darah di
atas padepokan yang mendidik dan membesarkannya. Di antara para tamu, apabila
satu lawan satu kecuali Pangeran Arya Blitar, mungkin tiada yang mampu
menandingi anak murid Kyai Kasan Kesambi. Tetapi perbandingan mereka adalah
satu lawan 40. Maka bergegas Suryaningrat mengajak Bagus Kempong masuk ke dalam
kamar lagi. Kemudian memanggil pula Sangaji. Bagus Kempong menurut ajakan
adiknya yang bungsu, karena adiknya ini kerap kali mempunyai akal dan tipu
muslihat.
"Kangmas
Bagus Kempong," ia berkata, "sebentar apabila terjadi suatu
kekerasan, biarlah kita berusaha satu melawan satu. Hanya saja mereka nampaknya
mempunyai tujuan yang sama. Dalam suatu kebutuhan yang sama pastilah mereka
akan melakukan keroyokan, apabila kita mencoba melawan."
"Ujar
Dimas Suryaningrat sedikit pun tak salah," sahut Bagus Kempong.
"Hanya saja kuusutkan agar Sangaji meninggalkan gunung. Mereka datang
untuk dia. Dengan hilangnya dia, tujuan mereka jadi sia-sia. Siapa tahu, mereka
lantas saling menyalahkan dan kemudian terbit suatu permusuhan. Dengan
demikian, darah kita ada harganya untuk kita percikkan di atas bumi."
Mendengar
Bagus Kempong berkata demikian, Sangaji jadi terkejut. Terus saja dia menyahut.
"Paman! Manakala sekalian Paman tewas berlumuran darah, masakan aku akan
ngacir meninggalkan gunung? Meskipun aku bukan berasal dari Gunung Damar,
tetapi guruku diasuh di pertapaan ini."
"Anakku
yang baik," tukas Suryaningrat, "ucapanmu, senang aku mendengarkan.
Tetapi engkau harus bisa berpikir lebih jauh. Jika engkau sampai tewas pula di
sini, siapa lagi yang akan membalaskan dendam kami?"
Sangaji
tergugu mendengar kata-kata Sur-yaningrat. Memang dia pun tak pandai berde-bat
atau mengemukakan pikiran dengan ce-pat. Maka sekaligus terbungkamlah mulutnya.
"Kangmas
Bagus Kempong," kata Surya-ningrat sejurus kemudian, "aku mempunyai
akal untuk menghadapi mereka. Hanya saja terlalu keji dan berbahaya."
"Coba
katakan, kudengarkan," perintah Bagus Kempong.
"Begini.
Kita masing-masing mengincar seorang lawan tertentu. Sekali gebrak, kita harus
dapat menawannya dalam satu jurus. Dengan menawan mereka, kawan-kawan mereka
takkan sembarangan bergerak."
Bagus
Kempong diam menimbang-nimbang. Pikirnya, sekali gebrak harus bisa menawan?
Kalau gagal, besar bahayanya...
"Kangmas
Bagus Kempong, janganlah takut gagal" Suryaningrat seakan-akan bisa
mem-baca hati. "Biarlah kita menggunakan ilmu Pamekak Manikem!"
Mendengar
Suryaningrat mengucapkan nama ilmu itu, sekujur badan Bagus Kempong jadi
meremang. Sangaji yang belum mengenal ilmu itu, jadi keheran-heranan. Terus
saja dia bertanya, "Ilmu apakah itu?"
Dengan
beragu Suryaningrat memandang Bagus Kempong untuk minta pertimbangan. Melihat
Bagus Kempong masih saja diam ter-paku, lantas saja dia berkata menerangkan.
"Anak
Sangaji, sebenarnya ilmu Pamekak Manikem ini tak boleh kukabarkan kepadamu.
Tetapi menimbang, bahwa engkau termasuk golongan kami, biarlah kuterangkan
kepa-damu. Hanya saja, janganlah berharap bahwa salah seorang dari kami akan
mengajari. Sebab, ilmu tersebut sangat keji."
Sesungguhnya
ilmu Pamekak Manikem tersebut adalah ciptaan Ranggajaya. Gerakan-nya mencengkeram,
menangkap dan menu-bruk. Ciptaan itu berdasarkan ilmu ciptaan Kyai Kasan
Kesambi yang bernama, ilmu Pamekak Nyawa. Jurusnya terdiri dari 14 macam. Dan
merupakan ilmu perguruan Gunung Damar yang berbahaya dan sangat hebat. Tetapi
Ranggajaya yang berdarah muda, masih pula menambahi dengan tujuh jurus. Tatkala
dia memperlihatkan ilmu cip-taannya kepada gurunya, ternyata hanya disambut
dengan anggukan kecil belaka.
Memperoleh
kesan, bahwa gurunya hanya mengamini belaka, Ranggajaya mengira bah-wa ilmu ciptaannya
kurang sempurna. Maka dengan bertekun dia memperlengkapi dan menguatkan
titik-titik kelemahannya. Bebera-pa bulan kemudian dia mempertunjukkan kembali
di depan gurunya. Namun sekali lagi Kyai Kasan Kesambi tidak begitu bersemangat
menyambut
ciptaannya. Dengan menghela napas, orang tua itu berkata: "Ranggajaya!
Tujuh jurus ciptaanmu adalah jauh lebih berbahaya daripada ilmu Pamekak Nyawa.
Biarlah kunamakan Ilmu Pamekak Manikem. Hanya saja, titik seranganmu mengarah
pada ping-gang dan bawah perut. Siapa yang kena kau-cengkeram, akan habislah
keturunannya. Karena itu aku menamakan Manikem. Apakah ilmu ciptaanku yang
berterus terang, kurang cukup kuat, sehingga engkau perlu membuat lawan tak
bisa berkutik selama-lamanya?"
Keringat
Ranggajaya terus saja merembes keluar setelah mendengar celaan gurunya, la
hendak membuang ilmu ciptaannya. Tetapi seminggu kemudian, saudara-saudara
seperguruannya dipanggil gurunya. Kata orang tua itu, "Tujuh jurus ilmu
ciptaan Ranggajaya adalah hasil karya tak mudah. Dengan tak mengenal lelah, ia
berusaha menciptakan suatu ilmu sebagai penambah ilmu Pamekak Nyawa. Sebenarnya
sangatlah sayang untuk dibuang dengan begitu saja, karena ilmu ciptaannya itu
akan merupakan ilmu tunggal dalam jagat ini. Bolehlah kalian minta belajar
kepadanya. Hanya saja, ilmu itu jangan kalian pergunakan di sembarang tempat,
apabila tiada terpaksa benar. Sebab orang yang kena cengkeraman ilmu ciptaan
Ranggajaya, akan hancur benih keturunannya."
Gagak
Handaka, Bagus Kempong, Wirapati dan Suryaningrat lalu mempelajari ilmu
terse-but dengan pedoman gurunya. Selamanya belum pernah mereka menggunakan
ilmu tersebut. Hari itu, keadaan sangat memaksa, maka Suryaningrat teringat
akan ilmu itu. Meskipun demikian, Bagus Kempong masih beragu.
"Benar
ilmu Pamekak Manikem akan meng-hancurkan bibit keturunan, tetapi aku mempunyai
akal. Kita pilih saja, mereka yang sudah tua, atau yang menjadi pendeta."
Bagus
Kempong tersenyum, sedang Sangaji lantas jadi ikut berpikir dengan sibuknya.
"Engkau
sangat nakal dan pandai mencari akal," ujar Bagus Kempong sejurus
kemudian.
"Baiklah,
apabila kita terjepit, atas usulmu akan kami lakukan jurus-jurus ilmu Pamekak
Manikem."
Setelah
memperoleh keputusan, mereka berdua terus membisiki rencana itu kepada Gagak
Handaka dan Ranggajaya. Mereka berdua diam-diam terperanjat, tetapi dengan
diam-diam mereka mulai memilih sasaran juga. Hanya Sangaji seorang yang tak
dapat melakukan jurus-jurus ilmu Pamekak Mani-kem, karena sama sekali buta.
Tetapi dalam hatinya ia berjanji hendak berjuang sekuat tenaga untuk mengusir
bahaya.
Sehabis
makan dan pelayan telah member-sihkan meja, Ranggajaya yang menciptakan ilmu
Pamekak Manikem jadi tak enak sendiri. Segera ia mempersilakan Gagak Handaka
untuk memperoleh pertimbangan. Katanya, "Keadaan kita agaknya memang
terjepit, sehingga mau tak mau kita harus memikirkan menggunakan ilmu itu.
Tetapi masakan ilmu sekejam itu terpaksa digunakan pada hari ulang tahun guru
yang ke-83? Bukankah akan mengotori usia guru yang suci? Cobalah Kangmas carikan
jalan yang lebih sempurna lagi!"
Memang
dalam hati, Gagak Handaka beragu juga. Maka setelah merenung sebentar suatu
bayangan berkelebat dalam benaknya. Terus berkata, "Ranggajaya! Bukankah
Wirapati sudah satu minggu meninggalkan perguruan?"
Diingatkan
tentang kepergian Wirapati, hati Ranggajaya tergerak. Segera ia mengetahui
maksud kakak seperguruannya. Ya, seumpa-ma Wirapati telah berada diantara
mereka, kesulitan ini akan dapat diselesaikan. Karena Wirapati akan bisa
memberi penjelasan. Apabila dia datang membawa pusaka Bende Mataram, gurunya
pun akan bisa bertindak bijaksana, suatu pertempuran bisa dihindarkan dengan
lebih gampang.
Cepat
ia memanggil Bagus Kempong dan Suryaningrat. Lalu dikabarkan tentang diri
Wirapati yang sudah satu minggu belum pulang ke gunung.
"Andaikata
Wirapati sudah berada di sini, tak usahlah kita berusah-payah lagi. Apa
pen-dapatmu kalau salah seorang di antara kita menyusul dia?"
Bagus
Kempong dan Suryaningrat me-nyetujui pendapatnya. Hanya saja, siapa yang harus
menyusul, inilah soalnya. Mereka semua tak boleh meninggalkan paseban,
mengingat gawatnya suasana. Kecuali itu, mereka tak mengetahui tempat tujuan
Wirapati dengan sejelas-jelasnya. Satu-satunya orang yang bisa menyusul
Wirapati dengan cepat adalah Sangaji sendiri. Teringat akan saran Bagus Kempong
bahwa Sangaji harus meninggalkan gunung apabila nanti terbit suatu pertempuran,
Suryaningrat lantas berkata: "Baiknya anakku Sangaji saja yang menyusul.
Bukankah ini suatu alasan yang bagus pula untuk menjauhkan dia dari persoalan
gawat? Kita tak usah bercemas hati lagi memikirkan keselamatannya. Demikian,
kita bisa bertempur dengan lebih tenang dan mantap."
Ranggajaya
dan Bagus Kempong menyetujui pendapat itu. Maka Sangaji terus saja dipanggilnya
dan diperintahkan turun gunung menyusul Wirapati. Mereka sendiri terus kembali
ke paseban menemui tetamunya kembali.
Dalam
pada itu, di paseban telah terjadi suatu perubahan. Gagak Handaka yang sela-ma
itu hanya bersikap membisu dan seolah-olah tiada pedulian atas kehadiran para
tetamu yang datang tiada diundang, seko-nyong-konyong mengambil tindakan di
luar dugaan. Dengan berdiri tegap, ia mem-bungkuk tiga kali dan terus berkata
nyaring.
"Tuan-tuan
yang mulia, para sahabat perkenankan kami atas nama guru meng-haturkan terima
kasih atas kehadiran Tuan-tuan sekalian pada hari ulang tahun ke-83 guru kami.
Seluruh penghuni perguruan Gunung Damar amat gembira dan berbesar hati. Hanya
saja, sayang dalam pelayanan kami kurang memuaskan dan terlalu sederhana. Untuk
itu, kami mohon dimaafkan. Memang kehadiran Tuan-tuan sekalian di luar dugaan
kami. Guru sendiri, tiada berencana memberi kabar kepada Tuan-tuan sekalian.
Sebaliknya, kami pun sadar bahwa kedatangan Tuan-tuan sekalian ini, kecuali
hendak mengunjungi hari ulang-tahun Guru, ingin pula mendengar kabar tentang
diri adik kami seperguruan Wirapati. Adik kami seperguruan Wirapati lenyap dari
perguruan selama 12 tahun. Dia datang dengan membawa kabar yang menggemparkan
Tuan-tuan sekalian. Yakni, membawa pusaka warisan Bende Mataram yang semenjak
zaman bahari sudah menjadi pembicaraan ramai dan menjadi bahan perebutan pula.
Sebenarnya, pada bulan depan kami akan mengundang Tuan-tuan sekalian. Kemudian
adik kami seperguruan Wirapati akan kami persilakan untuk me-nerangkan tentang pusaka
warisan tersebut. Karena itu, kedatangan Tuan-tuan sekalian pada hari ini pasti
akan kecewa. Betapa tidak?
Pertama
kali, adik kami seperguruan belum bersiaga untuk memenuhi kehendak Tuan-tuan
sekalian. Kedua, kami semua mempersiapkan diri untuk mengatur perjamuan
tersebut. Baiklah kita mundurkan beberapa waktu dahulu, sementara ini, untuk
mengganti kekecewaan Tuan-tuan sekalian, kami semua bersedia mengantarkan
Tuan-tuan sekalian berkeliling menikmati pemandangan Gunung Damar yang berdiri
megah semenjak zaman dahulu di antara bukit-bukit Geger Menjangan, Jambu dan
Sundoro Sumbing."
Hebat
kata-kata Gagak Handaka. Terdengar sederhana dan wajar, tetapi sebenarnya
lang-sung menikam tenggorokan mereka. Pertama secara tidak langsung ia
menegaskan, bahwa Kyai Kasan Kesambi dan sekalian anak-muridnya sebenarnya
sudah dapat menebak maksud mereka sesungguhnya di balik bingkisan dan
ucapan-ucapan selamat. Kedua, mencegah mereka memaksa Wirapati menerangkan
rahasia pusaka warisan Bende Mataram. Ketiga, menitik-beratkan kepada arti hari
ulang tahun. Karena itu apabila ada yang membuat keruh akan berarti sengaja
menerbitkan permusuhan. Dengan demikian apabila anak-murid Kyai Kasan Kesambi
mengambil tindakan, adalah wajar.
Seketika
itu juga, para tetamu nampak gelisah. Nyatalah kini, bahwa kedatangan mereka
benar-benar bukan untuk mengucap-kan kata-kata selamat hari ulang tahun kepada
guru besar Kyai Kasan Kesambi, tetapi hendak memperoleh keterangan tentang
berita pusaka Bende Mataram. Meskipun mereka tiada bersekutu, tetapi tujuan
kedatangannya adalah sama. Hanya
saja
mereka tak berani bertindak ceroboh, mengingat nama perguruan Kyai Kasan
Kesambi termasyhur di seluruh Nusantara. Masing-masing takut menanggung
akibatnya apabila dengan terang-terangan hendak menerbitkan bibit permusuhan.
Tetapi seumpama mereka seia-sekata dalam suatu tindakan, rasanya ada juga yang
berani tampil ke muka sebagai pembukaan jalan. Maklumlah, jumlah mereka
melebihi seratus orang. Masakan mereka tak bisa merobohkan Kyai Kasan Kesambi dengan
sekalian anak muridnya, andaikata sampai terjadi suatu pertumpahan darah. Maka
beberapa saat, mereka saling memandang minta pertimbangan. Akhirnya, saling
berbisik menyatakan gerutu hatinya.
Setelah
mereka saling berbisik dan ber-bicara, tampillah seorang laki-laki
berpera-wakan pendek gemuk. Dia bercambang agak tebal. Matanya bulat dan
wajahnya berkesan keruh. Dialah pendekar undangan Pangeran Bumi Gede berasal
dari Blora yang datang dengan membawa enam pendekar undangan lainnya. Namanya
Wongso Udel, seorang sakti yang ternama di daerahnya. Kedatangannya entah
sepengetahuan Pangeran Bumi Gede entah atas kehendak sendiri, tidaklah terang.
Dengan membusungkan dada agar bisa mem-peroleh suara nyaring, ia berkata
lantang,
"Rekan
Gagak Handaka yang kami hormati. Rasanya tak perlu lagi, kami main
bersembu-nyi-sembunyian. Biarlah kami berkata dengan terus-terang. Maksud
kedatangan kami yang pertama, memang untuk ikut merayakan hari ulang tahun guru
besar Kyai Kasan Kesambi. Di samping itu, kami ingin mencari keterangan tentang
tempat persembunyian pusaka Bende Mataram. Kami sadar, bahwa permintaan itu
sangat pantas, mengingat pusaka itu bukan milik perguruan Gunung Damar atau
milik siapapun juga. Tetapi milik umum. Katakanlah, milik dunia. Berikanlah
kami kesempatan untuk mengadu untung. Atas budi Tuan, kami takkan melupakan.
Jika di kemudian hari ada perkembangannya, bukankah nama-nama Tuan akan
tercantum sebagai tokoh-tokoh percaturan negara?"
"Bagus!
Bagus! Setuju!" Terdengar suara sokongan dari beberapa penjuru.
Suryaningrat,
murid kelima Kyai Kasan Kesambi yang masih berdarah muda, mendongkol mendengar
suara mereka. Lantas saja dia meledak.
"Bagus!
Pantas! Pantas! Inilah tamu yang pantas dihormati."
Mendengar
kata-kata Suryaningrat, pendekar Wongso Odel terperanjat. Sebentar ia menjadi
bingung hendak menentukan sikap. Kemudian berkata seolah-olah minta
kete-rangan, "Apakah ada yang kurang pantas?"
"Hm
semula aku mengira, kalian datang semata untuk menghaturkan atau mengucapkan
selamat ulang tahun Guru. Mendadak saja aku heran, sewaktu menyaksikan dan
melihat di antara kalian ada yang membawa senjata. Apakah kalian hendak membawa
hadiah senjata kepada Guru?" sahut Suryaningrat. "Timbulah kini
pertanyaanku, beginikah tamu-tamu yang harus kuhormati?"
"Lihatlah
yang terang! Lebarkan matamu dan tebarkan penglihatanmu!" Wongso Udel
meledak. "Seorang anak muda janganlah membiasakan diri gampang menuduh.
Buktikan di antara kami, siapakah yang membawa senjata?"
"Bagus!
Memangnya aku tak mampu mencari bukti!" ejek Suryaningrat. Dan berbareng
dengan ucapannya, terus saja Suryaningrat menyambar dua orang tetamu sekaligus.
Dalam satu gerakan, pinggang kedua orang itu kena ditarik. Seketika itu juga,
jatuhlah dua golok pendek bergeroncangan di atas lantai dari pinggang mereka.
Melihat jatuhnya senjata, semua yang hadir jadi terbungkam. Dengan gugup
pendekar Wongso Udel berkata gagap, "Ya... ya... benar! Senjata! Tapi...
maksud mereka... apakah salahnya menggunakan senjata, seumpama kakakmu
seperguruan Wirapati tak sudi menjelaskan tempat beradanya pusaka warisan
itu."
Menggigillah
tubuh Suryaningrat karena menahan marah. Sewaktu hendak mendamprat, tiba-tiba
terdengarlah suara bersahutan dari tiga penjuru, kemudian menyerukan salam,
"Assalamualaikum..."
Suara
seruan mereka terdengar sangat nyaring, terang dan berkumandang, padahal tubuh
mereka belum nampak. Keruan saja para tetamu yang hadir terperanjat. Karena
apabila seseorang belum mencapai ilmu sakti sedemikian tinggi, tidaklah mampu
bersuara dari jauh seolah-olah hanya berhadap-hadapan saja. Maka seperti saling
berjanji, mereka bercelingukan mencari arah datangnya.
"Kami
datang berempat," seru mereka lagi. "Lumbung Amiseno dari Gunung
Lawu, Warok Kudawenengpati dari Bulukerto, Watu Gunung dari Gunung Tangkubanperahu
dan Adipati Pesantrenan Sosrokusumo. Kami datang untuk mengucapkan selamat hari
ulang tahun Kyai Kasan Kasambi."
Mendengar
ucapan mereka, Kyai Kasan Kesambi lalu membalas seruan dengan ilmu Peliritan
untuk mencapai jarak jauh.
"Silakan!
Silakan datang! Kami akan menyambut kedatangan Tuan-tuan bersama anak murid
kami."
Nampaknya
suara itu diucapkan dengan wajar belaka tetapi bisa menembus lapisan alam,
sehingga mengejutkan sekalian tetamu. Mereka semua lantas saja berhati ciut.
Kanjeng
Pangeran Arya Blitar yang selama itu berdiam diri, mendadak saja berdiri sambil
berseru girang.
"Benar-benarkah
mereka datang? Jika begitu, kedatanganku kemari bukanlah sia-sia."
Pangeran
ini pun memiliki ilmu Peliritan, sehingga dapat berbicara seakan-akan
berhadap-hadapan saja. Keruan, para tetamu yang menyaksikan kesaktian itu
diam-diam kagum dalam hati. Sebaliknya waktu itu Gagak Handaka, Ranggajaya,
Bagus Kempong dan Suryaningrat lantas berpikir, apakah tokoh-tokoh sakti itu
pun datang untuk kepentingan pusaka Bende Mataram? Apabila benar, teranglah
sudah bahwa pusaka Bende Mataram benar-benar ada dan bukan meru-pakan dongeng
belaka. Mengingat tanda-tan-danya, agaknya tak gampang kita dapat
menyelesaikan.
"Kalian
datanglah segera! Aku Arya Blitar berada pula di sini..." seru Kanjeng
Pangeran Blitar lagi.
Tak
lama kemudian, munculan empat orang yang tiba di halaman paseban hampir
berbareng. Yang datang dari arah utara berperawakan tinggi semampai. Dialah
Adipati Pesantrenan Sosrokusumo. Orangnya berkumis, pandang matanya berkilatan.
Suatu tanda, bahwa dia telah memiliki ilmu sakti yang sukar diraba tingginya.
Yang
datang dari arah barat, berperawakan pendek ketat. Rambutnya sudah hampir
memutih semua. Dia mengenakan pakaian hijau muda dan memperkenalkan diri dengan
nama Watu Gunung. Melihat bentuk dan pakaiannya serta namanya orang lantas
mem-bayangkan sebuah batu berlumut.
Yang
datang dari arah timur dua orang, Perawakan mereka tinggi besar dan seram.
Mereka mengenakan pakaian pendeta daerah dan bangga pula akan pakaiannya. Nama
mereka Lumbung Amiseno dan Warok Kudawanengpati.
Begitu
melihat Kyai Kasan Kesambi menyongsong sampai di halaman, mereka terus saja
berdiri menghormat, kata mereka hampir berbareng: "Selamat! Selamat! Kami
percaya, Tuan akan bisa hidup 200 tahun lagi!"
Kyai
Kasan Kesambi membalas hormat dengan takzim kemudian memperkenalkan kepada
sekalian tetamu yang berada di paseban. Karena jumlah tetamu sangatlah banyak,
maka setelah mengambil tempo agak lama, barulah mereka duduk pada suatu tempat
dekat Kanjeng Pangeran Arya Blitar. Maklumlah, meskipun mereka bukan keturunan
orang ningrat, tetapi tingkatan mereka sejajar dengan Kanjeng Pangeran Arya
Blitar.
Diam-diam
Suryaningrat memperhatikan keadaan tetamunya kembali. Kemudian berpikir, mereka
sekarang tak lagi mengarahkan perhatiannya ke luar. Apakah mereka inilah yang
ditunggu-tunggunya?
Tentang
siapakah Adipati Pesantrenan, Watu Gunung, Lumbung Amiseno dan Warok
Kudawanengpati, semua anak-murid Kyai Kasan Kesambi pernah mendengar kabarnya
dari gurunya.
Mereka
adalah sesama-perguruan dan sengaja bermukim di tiga penjuru dalam mengabdi
cita-cita masing-masing. Guru mereka dahulu, konon kabarnya seorang sakti dari
Gunung Semeru bernama Resi Buddha Wisnu. Nama itu pernah mengguncangkan
pendekar-pendekar ulung pada zamannya. Dikabarkan bahwa Resi Buddha Wisnu
pernah menyeberang Pulau Bali dengan hanya berkendaraan setangkai daun
alang-alang. Pernah membunuh seekor naga di telaga Rengel Tuban seorang diri
dengan bersenjatakan sepotong kain sutra. Dan termasyhur ilmu ketabibannya
pula. Karena itu, meskipun orang belum pernah menyaksikan—murid-muridnya yang
berjumlah empat orang tersebut kabarnya sakti pula. Mereka telah mewarisi
kepandaian gurunya. Maka namanya disegani dan dimalui segenap orang di seluruh
Nusantara.
Jarang
sekali mereka menampakkan diri dalam pergaulan umum, apabila tiada sesuatu
alasan penting yang memaksa mereka keluar dari pertapaan masing-masing. Kali
ini, mereka bahkan datang berbareng dengan men-dadak. Keruan saja, peristiwa
demikian gam-pang ditebak. Mau tak mau memaksa sekalian anak murid Kyai Kasan
Kesambi meninggikan kewaspadaan. Sebentar lagi permainan pasti akan dimulai dan
dengan hati-hati mereka menunggu sambil bersiaga.
"Hari
ini padepokan Gunung Damar kebanjiran tetamu. Sama sekali tak terduga, bahwa
rekan Lumbung Amiseno, Watu Gunung, Kudawanengpati dan Adipati Pesantrenan sudi
melelahkan diri mengunjungi pertapaan orang tak berarti," kata Kyai Kasan
Kesambi dengan tertawa merendahkan diri.
Apabila
ditinjau tentang perbedaan umur mereka dengan Kyai Kasan Kesambi paling tidak
selisih 20-30 tahun. Namun Kyai Kasan Kesambi menyebut mereka sebagai rekan.
Suatu bukti, bahwa Kyai Kasan Kesambi seseorang yang begitu kokoh memegang tata
cara umum dan bahkan bersedia merendahkan diri. Tetapi merekapun bisa membawa
diri. Dengan agak segan-segan, mereka berbicara dan tiada berani membawa sikap
angkuh.
"Kyai
Kasan Kesambi! Kalau menurut usia, kami berempat terhitung angkatan muda
daripada Kyai Kasan Kesambi. Dengan begitu, sebenarnya setingkat dengan anak
murid perguruan Gunung Damar. Sebaliknya mengingat nama guru kami Resi Buddha
Wisnu yang pernah menduduki tempat teratas dalam percaturan zaman yang telah
lampau, maka kami atas namanya pula ingin memperoleh keterangan yang terus terang
kepada Kyai Kasan Kesambi. Kami mengharap, semoga Kyai Kasan Kesambi jangan
merasa tersinggung."
Tabiat
Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya senang berterus terang. Itulah sebabnya, begitu
mendengar kata-kata tetamunya, segera ia berkata: "Apakah kedatangan empat
orang sakti dari tiga penjuru ini, mempunyai kepentingan dengan tibanya murid
kami yang keempat Wirapati setelah merantau dari pertapaan selama dua belas
tahun?"
"Benar,"
sahut Lumbung Amiseno. "Inilah celakanya, mengapa dahulu kami berempat menyanggupkan
diri untuk memenuhi pesan terakhir guru kami Resi Buddha Wisnu. Yang pertama,
kami diwajibkan untuk dapat mendengarkan dimanakah pusaka Bende Mataram berada.
Dan yang kedua, bagaimana asal mula pusaka Bende Mataram tersebut diketemukan.
Sebab bagi kami, pusaka tersebut merupakan mustika yang paling berharga dan
bernilai. Pusaka tersebut bahkan merupakan jiwa kami, mercu suar kami, matahari
kami dan akhirnya lambang kejayaan tanah air. Konon ditambahkan bahwa pada
pusaka warisan itulah diselipkan suatu rahasia besar untuk dapat mengatur
kesejahteraan tanah air. Itulah sebabnya tolonglah
kami
memperoleh keterangan tersebut. Hal ini bukan berarti, kami berempat kemaruk
kekuasaan. Melainkan semata-mata untuk memenuhi janji guru. Kyai Kasan Kesambi,
pasti mengerti arti pesan seorang guru."
Halus
dan cukup sopan kata-kata pendekar Lumbung Amiseno. Tetapi dibalik itu terasa,
betapa dia mengadakan desakan tajam. Suryaningrat yang berdarah panas karena
usianya masih muda, lantas saja menjawab dengan lantang.
"Paman
Lumbung Amiseno! Menurut pengakuan Paman sendiri, kedudukan kami berlima adalah
sederajat serta setingkat dengan paman sekalian. Karena itu, tak usahlah Guru
kami bersusah payah menjawab pertanyaan dan permintaan Paman. Cukuplah kami,
Suryaningrat, murid termuda guru kami, Kyai Kasan Kesambi."
"Eh!
Engkau hendak berkata apa?" damprat pendekar Watu Gunung yang merasa diri
ber-usia lebih lanjut.
"Kakakku
seperguruan Wirapati, memang telah datang kembali ke perguruan setelah
menghilang dua belas tahun lamanya. Tetapi alasan kepergiannya bukanlah karena
hendak merebut atau karena ingin memiliki pusaka Bende Mataram. Selama hidup,
kami semua memperoleh didikan dan diasuh Guru. Meskipun bodoh, namun tak berani
membohong atau menjual omongan yang bukan-bukan. Karena itu tenangkan hatimu,
bahwa apa yang kukatakan adalah benar belaka. Mengenai pertanyaan di manakah
kini pusaka Bende Mataram tersebut berada dan asal mula diketemukan pusaka
tersebut, memang kakakku Wirapati mengetahui. Tetapi ketahuilah paman sekalian,
bahwa pusaka tersebut sebenarnya sudah menjadi milik seseorang dan tiada
seorangpun di dunia ini yang berhak memaksa agar menyerahkan dengan begitu
saja. Siapa yang mewarisi pusaka tersebut, terus-terang saja, kakakkupun
mengetahui. Namun sebagai seorang ksatria, tidak akan dia sudi menerangkan.
Mengingat kesan ancaman paman-paman sekalian dan tetamu lainnya. Meskipun
dipenggal kepalanya atau teraduk isi perutnya, kakakku Wirapati pasti takkan
mau membuka mulut. Itulah pernyataan kami."
Dengan
jawaban yang cukup lantang, jelas dan terus terang itu, pendekar sakti Lumbung
Amiseno jadi beragu.
Diam-diam
hatinya tergetar juga mendengar suara Suryaningrat yang penuh semangat dan
tiada gentar menghadapi segala.
"Hong
Wilaheng," tiba-tiba Warok Kudawa-nengpati menyahut, "nampaknya apa
yang dikatakan tiada berdusta. Hm, lalu bagaimana ini cara menyelesaikan?"
Semua
tetamu terdiam dengan pikirannya masing-masing. Setelah hening beberapa saat
lamanya. Adipati Pesantrenan Sosrokusumo berkata minta keterangan.
"Baiklah.
Kami sudah mendengar keterangan pendekar Suryaningrat, sekarang per-kenankan kami
bertemu dan berbicara de-ngan pendekar Wirapati yang manakah orangnya?"
Mendengar
pertanyaan Adipati Pesantenan, tetamu lainnya seperti tergugah. Ya semenjak
tadi, mereka belum diperkenalkan dengan anak murid Kyai Kasan Kesambi yang
keempat. Kyai Kasan Kesambi yang semenjak tadi belum melihat Wirapati,
diam-diam seperti diingatkan pula. Tadinya ia mengira, bahwa muridnya yang
keempat itu barangkali sibuk mengurusi pekerjaan belakang. Tetapi meng-ingat
kesibukan di paseban, masakan dia tinggal mendekam di dapur.
Ranggajaya
yang selama itu hanya berdiam diri, tampil ke muka dan berkata, "Terus
terang saja, adikku seperguruan Wirapati tiada berada di sini."
"Ha!"
gumam sekalian tetamu. Mereka sa-ling memandang dan menggerutu. Di antara para
siswa atau pengiring mereka terdengar suara menuduh. "Siang-siang dia
sudah melarikan diri. Dia seorang pengecut..."
"Apakah
salahnya?" Ranggajaya seperti bisa menebak perasaan mereka masing-masing.
"Dunia ini cukup lebar, dan manusia sebagai penghuni dunia bebas pula
bergerak ke mana saja dia hendak pergi. Apakah ada undang-undangnya melarang
seseorang bepergian? Apakah ada
undang-undang
yang mewajibkan adikku Wirapati harus menemui kalian? Apakah ada undang-undang
yang mengharuskan adikku Wirapati memberi keterangan dan meluluskan permintaan
kalian? Cobalah katakan! Kami ingin mendengar!"
Ranggajaya
selama beberapa tahun belakangan ini sudah pandai berbicara dan berdebat
sebagai suatu kemajuan. Dan begitu mendengar kata-katanya, sekalian yang hadir
terbungkam.
"Bagus!
Bagus!" seru Lumbung Amiseno mendongkol. Dalam hatinya, ia mengakui
kebenaran ucapan Ranggajaya. Tetapi masakan kepergiannya kali ini akan sia-sia
belaka? Maka mau tak mau, ia mencoba juga hendak memaksa. Katanya lagi,
"Biara kami bukan dekat. Kau tahu, bahwa kami datang dari jauh. Apakah
jahatnya hendak ikut mendengar tentang berita munculnya pusaka Bende Mataram?
Bukankah pusaka itu bukan pula haknya perseorangan?"
"Menurut
kabar, almarhum Resi Buddha Wisnu adalah seorang sakti bagaikan Buddha sendiri.
Anak muridnya pun telah mewarisi seluruh kepandaiannya. Mengapa mesti
memperebutkan suatu warisan pusaka yang belum tentu ada gunanya. Dengan
menggunakan kedua belah tangan saja, paman sekalian sudah bisa malang melintang
ke seluruh penjuru tanah air tanpa tandingan. Karena itu pernyataan Paman amat
mengherankan," kata Ranggajaya menyindir.
Disindir
demikian, wajah Lumbung Amiseno berubah menjadi merah. Dengan sulit ia
mem-pertahankan diri.
"Nanti
dahulu! Janganlah engkau buru-buru menuduh yang bukan-bukan. Sama sekali, kami
tiada serakah untuk memiliki pusaka Bende Mataram itu. Hal ini kami lakukan
semata-mata untuk memenuhi pesan almarhum guru kami."
Gagak
Handaka yang diam memperhatikan keempat pendekar sakti, tiba-tiba berkata
mengejek. "Benarkah ucapanmu?"
"Mengapa
tidak?"
"Hm,
seumpama adikku Wirapati saat ini memperlihatkan pusaka Bende Mataram tersebut,
benar-benarkah Paman tiada sudi memiliki? Guru Paman sudah lama menutup mata.
Apakah Paman akan memendam pusaka tersebut ke dalam kuburan guru Paman sebagai
pernyataan bakti Paman sekalian?"
Pendek
kata-kata Gagak Handaka, tetapi mengenai tepat ke lubuk hati empat pendekar
sakti tersebut. Sekaligus Gagak Handaka tiada percaya akan kata-katanya yang
nampaknya manis merdu. Bahkan dengan halus membuka kedok mereka sesungguhnya,
bahwasanya mereka memang ingin mengangkangi pusaka Bende Mataram. Dengan arti
kata, mereka serakah, tamak dan kemaruk keduniawian.
Keruan
saja, Lumbung Amiseno yang selamanya mengagul-agulkan diri sebagai seorang pendeta
dan untuk memperkuat kesan dia selalu mengenakan pakaian pendeta, bukan main
gusarnya mendengar ucapan Gagak Handaka. Karena tiada tahan menelan ejekan itu,
dia menggempur meja. Seketika itu juga, sebuah meja besar berkaki empat patah
berantakan kena gempurannya. Ternyata tenaganya sangat besar dan mengagumkan,
sehingga mengejutkan sekalian tamu. Kemudian membentak, "Sudah lama kami
mendengar ilmu Kyai Kasan Kesambi yang sakti tiada terlawan. Sudah lama kami
mendengar kabar keper-wiraannya dan kehebatannya. Hanya saja, belum pernah kami
membuktikan benar-tidaknya. Hari ini, biarlah kami mencoba memberanikan diri
menguji ilmu Kyai Kasan Kesambi di hadapan para ksatria di seluruh jagad ini.
Mari kita bertempur menguji diri!"
Mendengar
tantangan Lumbung Amiseno, seketika itu juga gemparlah sekalian yang hadir.
Mereka semua tahu, Kyai Kasan Kesambi termasyhur semenjak 60 tahun yang lalu.
Dan termasuk salah seorang tokoh utama dari tujuh orang sakti pada zaman itu.
Lawan-lawannya dahulu sebagian besar sudah meninggal dunia. Betapa tinggi
ilmunya, bagi dunia luar hanya tersiar sebagai suatu berita atau dongeng
mengagumkan. Kalau kelima muridnya saja sudah
bisa
mengguncangkan dunia, apalagi gurunya. Namun begitu, pertimbangan itu masih
merupakan teka-teki belaka.
Kepandaiannya
yang sesungguhnya belum pernah disaksikan sekalian tamu yang hadir. Kecuali
kelima muridnya. Itulah sebabnya tantangan Lumbung Amiseno terhadap Kyai Kasan
Kesambi, membersitkan suatu kegem-biraan dalam hati mereka masing-masing.
Diam-diam mereka berdoa, semoga terjadilah adu kepandaian itu. Dengan demikian
tak sia-sialah kehadirannya dari jauh. Karena mereka pasti akan menyaksikan
cara bertem-pur seorang tokoh wahid pada zaman itu. Maka dengan tegang mereka
melemparkan pandang kepada Kyai Kasan Kesambi, menunggu-nunggu penentuan
sikapnya.
Tak
terduga, Kyai Kasan Kesambi hanya tersenyum selintasan. Dia tetap duduk dengan
tenang. Sama sekali tak bersuara atau berniat membalas tantangan itu,
seolah-olah tiada mendengar.
"Ilmu
sakti Kyai Kasan Kesambi tiada bandingannya di seluruh dunia. Kami berem-pat
merasa bukan tandingan Kyai Kasan Kesambi," kata Lumbung Amiseno lagi.
"Hanya karena terpaksa, kami mengajukan suatu tantangan. Dalam suatu
pertengkaran antara dua golongan, apabila tiada diselesaikan dengan mengadu
kepandaian, pastilah susah diselesaikan. Nah, marilah kita mulai. Untuk
menghormati Kyai Kasan Kesambi yang kedudukannya berada di atas tingkatan kami,
biarlah kami berempat melawan Kyai Kasan Kesambi berbareng."
Mendengar
kata-kata Lumbung Amiseno, para tamu lainnya yang bersikap di luar garis
menggerutu dalam hati, ih, enak benar suara mulutmu. Kau licin dan licik!
Meskipun ilmu Kyai Kasan Kesambi setinggi langit, namun seseorang yang sudah
berusia lanjut belum tentu tahan melawan tenaga persatuan.
Gagak
Handaka yang tadi menyalakan api kemarahan Lumbung Amiseno lantas berkata
lantang.
"Hari
ini adalah hari ulang tahun guru kami yang ke-83. Bagaimana beliau boleh
bergebrak dengan tetamu..."
Tepat
sekali alasan itu. Tetapi bagi tamu yang mengharap-harap jadinya suatu
pertempuran, menuduh dalam hati. Ah, ternyata anak didik Gunung Damar tak
berani meneri-ma tantangan anak-murid Resi Buddha Wisnu...
Di
luar dugaan, Gagak Handaka meneruskan kata-katanya, "kalian berkata, bahwa
tingkatan guru kami berada di atas tingkatan kalian. Karena itu, apabila
benar-benar bergebrak melawan kalian, dunia luar akan mendesas-desuskan suatu
berita, bahwa seorang dari angkatan tua mau menang sendiri dengan menghina
angkatan muda. Tetapi anak murid Resi Buddha Wisnu sudah menantang, terpaksalah
anak murid Kyai Kasan Kesambi tampil ke muka. Sebagai tuan rumah, sudah
selayaknya mengiringkan ke-hendak tetamunya. Kalian berempat, kami pun
berempat."
Kembali
para hadirin gempar mendengar ujar Gagak Handaka yang gagah berani. Mereka
saling berbisik dan saling meramalkan akhir pertempuran nanti.
Anak
murid Resi Buddha Wisnu bukan pendekar-pendekar sembarangan. Mereka sakti,
tangguh dan pandai. Melawan salah seorang di antaranya, belum tentu menang.
Apalagi melawan tenaga gabungan, pikir mereka.
Gagak
Handaka bukan pula seorang yang tak tahu melihat gelagat, la tahu bahwa anak
murid Resi Buddha Wisnu bukan merupakan lawan enteng dan murahan. Dalam hal
keuletan dan ketabahan, jauh melebihi semua anak murid Gunung Damar. Kalau
seorang melawan seorang, ia yakin dirinya bisa memenangkan. Hanya saja ia harus
memperhitungkan tenaga Bagus Kempong, yang baru saja sembuh dari lukanya.
Melihat ketangguhan lawan, belum tentu bisa memenangkan apabila harus memeras
tenaga jasmaniah berlebih-lebihan. Suryaningrat, mungkin tak bisa memenangkan.
Tetapi dia bisa mengadu kegesitan bergerak. Dengan
mengandalkan
kegesitannya, pastilah dia takkan bisa terpukul jatuh sampai dia sendiri dapat
membantu.
Sudah
barang tentu, Lumbung Amiseno yang sudah berpengalaman bisa menimbang-nimbang
kekuatannya sendiri. Memang selama hidupnya, belum pernah salah seorang di
antara saudara seperguruannya mengadu kekuatan melawan anak murid Kyai Kasan
Kesambi. Tetapi sekilas pandang tahulah dia, bahwa anak murid Kyai Kasan
Kesambi tak boleh dipandang enteng. Apalagi berada di dekat gurunya. Masakan
orang tua itu akan membiarkan anak muridnya menanggung malu di hadapan para
tetamu. Pastilah dia akan ikut mempertahankan pamor perguruan. Kalau tidak ikut
bertempur, setidak-tidaknya memberi nasihat atau membantu dengan diam-diam.
Inilah bahaya! Maka terpaksa dia berkata menyabarkan diri.
"Jika
Kyai Kasan Kesambi tak sudi menerima tantangan kami, biarlah kami mengadu
keuletan dengan anak murid Gunung Damar. Kami akan bertempur seorang melawan
seorang dalam empat babak. Kalah dan menangnya akan ditentukan dalam tiga
babak."
Pandai
dan licin Lumbung Amiseno. Kata-katanya langsung mempunyai dua keuntungan. Yang
pertama, dengan terus terang meminta agar Kyai Kasan Kesambi jangan ikut
campur. Kalau sudah menyetujui, masakan akan menarik kata-katanya di depan para
ksatria. Kedua, ia yakin, bahwa ketiga saudara seperguruannya pasti bisa
memenangkan anak murid Gunung Damar andaikata dia sendiri sama unggul melawan
Gagak Handaka. Ketiga, saudara seperguruannya pasti bisa memperoleh tiga
kemenangan. Setidak-tidaknya dua kemenangan, sudah cukup.
"Bagus,"
tiba-tiba Suryaningrat menyahut, "seorang melawan seorang, memang pantas.
Tetapi betapa pun juga, jumlah kita berlebih seorang, yakni guru kami. Karena
itu, sebaiknya kita maju berbareng. Pertama-tama, jumlahnya seimbang. Kedua,
bisa memperoleh penyelesaian jauh lebih cepat."
"Setuju!"
Ranggajaya menguatkan, "sekiranya anak murid Gunung Damar kalah, biarlah
adikku Wirapati menerangkan di mana pusaka Bende Mataram berada. Andaikata
sudah berada di tangannya, biarlah kami suruh menyerahkan. Sebaliknya, apabila
anak murid Resi Buddha Wisnu sudi mengalah, kami persilakan membawa
teman-teman, sahabat, handai taulan yang berpura-pura datang menghaturkan
selamat hari ulang tahun, agar cepat-cepat turun gunung."
Sekalian
anak murid Gunung Damar tahu akan arti tantangan Suryaningrat yang diperkuat
Ranggajaya. Kyai Kasan Kesambi mempunyai ilmu simpanan yang diberi nama,
Pancawara. Nama pancawara diambil dari istilah taufan dahsyat yang sanggup
mengguncangkan segala. Sewaktu masih muda, Kyai Kasan Kesambi pernah mempunyai
penga-laman diserang badai. Seluruh dusun sekitar Gunung Damar hancur berderai.
Rumah sepanjang Desa Loano, Sejiwan, Maron, Kali-nongko, Karangjati tersapu
bersih oleh badai yang datang tiba-tiba. Setelah badai reda, ia berdiri tegak
memandang bukit-bukit yang berdiri mengelilingi Gunung Damar. Heran ia, melihat
bukit-bukti itu tetap berdiri di tempatnya. Sama sekali tiada goyah atau
terguncang. Mestinya, bukit-bukit itu sudah seringkali mengalami badai dahsyat.
Ia heran pula memikirkan kedahsyatan dan kecepatan badai. Dia datang bergemuruh
bergulungan dan hilang pula dengan suatu kecepatan yang mengagumkan. Tiba-tiba
saja, ia memperoleh suatu ilham. Dengan tekun ia mempelajari dua sifat yang
bertentangan. Yang pertama, gesit, bergemuruh, bergulungan dan dahsyat. Yang
kedua, tenang, tegak, anteb dan ulet. Maka beberapa bulan lamanya, ia menekuni.
Dan akhirnya terciptalah suatu ilmu bertahan dan menyerang yang sangat dahsyat.
Untuk memperingati titik tolak terciptanya ilmu tersebut, maka mengambil nama,
Pancawara. Kebetulan sekali, ilmu itu harus dikerjakan oleh lima tenaga dengan
berbareng (Panca = lima, wara = badai).
Lima
unsur kekuatan alam itu, manakala dipergunakan oleh seorang akan sangat bagus.
Sebab tenaganya bisa berubah menjadi tenaga seorang sakti kelas utama. Jika
dilakukan oleh dua orang, akan merupakan tenaga gabungan sekuat empat orang
sakti. Manakala ditambah seorang lagi, menjadi enam belas tenaga sakti.
Ditambahkan seorang lagi, menjadi tiga puluh
dua
tenaga sakti. Dan apabila lima orang maju berbareng, merupakan tenaga gabungan
dari enam puluh empat orang sakti. Samalah kekuatannya de-ngan 10 ekor gajah
yang sedang mengamuk. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya.
Kini,
Wirapati tiada hadir. Tetapi dengan empat orang saja, tenaga gabungan mereka
akan berubah menjadi 32 tenaga sakti. Itulah sebabnya, Suryaningrat berani
menerima tan-tangan bertempur melawan empat orang sekaligus. Dengan
demikian—dalam hal tenaga—anak murid Kyai Kasan Kesambi tak usah khawatir.
Padahal pada zaman itu, tokoh-tokoh yang terhitung sakti tiada melebihi 30
orang jumlahnya. Seumpama, anak-murid Kyai Kasan Kesambi dikerubut 100 tetamu,
belum tentu bisa dikalahkan dengan gampang. Mengingat semua yang hadir belum
dapat digolongkan tokoh-tokoh kelas satu.
Lumbung
Amiseno ternyata seorang pendeta yang cerdik dan pandai berpikir. Begitu
melihat nyala mata Suryaningrat yang berapi-api dan suaranya penuh semangat, ia
jadi curiga. Maka cepat-cepat ia berseru nyaring. "Kurang baik? Kurang
baik?" Tetapi kekurangan dalam hal apa, dia sendiri kurang terang. Hanya
perarasanya yang menyuruh mulutnya berteriak demikian, sambil menggeleng-geleng
kepala. Sebaliknya, mereka berdua mengira, Lumbung Amiseno gentar menerima
tantangan. Betapa boleh begitu? Bukankah sikap demikian akan menurunkan pamor
anak murid Buddha Wisnu? Maka dengan mengandalkan keberanian dan tenaga
sendiri, terus saja mereka maju berbareng seraya membentak. "Coba
terimalah pukulan ini."
Serangan
mereka datang dengan tiba-tiba dan tak terduga sama sekali, meskipun baru
tinggal menunggu nyala apinya. Gesit dan tangkas adalah Gagak Handaka dan
Ranggajaya, begitu mereka melihat bahaya, terus saja mereka melontarkan tenaga
gabungan. Suatu benturan dahsyat terjadi. Hebat akibatnya. Warok Kudawanengpati
dan Watu Gunung terpental sampai sepuluh langkah. Wajahnya berubah menjadi
pucat lesi. Kemudian duduk terjongkok sambil melontarkan darah segar.
Sebaliknya
Gagak Handaka dan Ranggajaya tetap berdiri dengan tenang bagaikan dua bukit
yang mengelilingi perguruan Gunung Damar. Mereka sendiri heran atas tenaga
sendiri yang begitu dahsyat. Memang selama mereka menjadi murid Kyai Kasan
Kesambi, belum pernah sekali juga menggunakan tenaga gabungan ilmu Pancawara.
Karena itu belum bisa menilai kedahsyatannya. Maka begitu melihat hasilnya,
kepercayaan akan tenaga sendiri kian kuat.
"Bagus!
Bagus! Tapi kurang baik," seru Lumbung Amiseno dengan terperanjat. Para
hadirin lainnya terperanjat pula. Sama sekali mereka tak menduga bahwa
anak-murid Resi Buddha Wisnu bisa diruntuhkan dalam satu gebrakan saja. Maka
mereka yang diam-diam berdoa untuk kemenangan anak-murid Resi Buddha Wisnu
merasa seperti terdorong ke pojok.
Tetapi
anggapan, bahwa anak-murid Resi Buddha Wisnu bisa dikalahkan dengan gampang
adalah terlalu tergesa-gesa. Karena tak lama kemudian, Warok Kudawanengpati dan
Watu Gunung telah bangun kembali dengan tegap. Terus saja mereka menggabungkan
diri dengan dua saudara perguruan lainnya. Lalu mengambil tempat tertentu
dengan menduduki segi gerak tiga penjuru.
Seketika
itu juga, teganglah suasana paseban. Masing-masing sedang bersiaga memasuki
gelanggang. Mendadak saja selagi ke-adaan menjadi hening sunyi terdengarlah
suara tersekat-sekat dari bawah tanjakan.
"Eyang!
Paman! Guru kena hantaman dari belakang! Lihat!"
Semua
tetamu di paseban terkejut sampai tak terasa mereka menoleh hampir berbareng.
Mendadak saja Bagus Kempong dan Surya-ningrat terus melesat ke luar paseban
sambil berteriak mengandung kecemasan.
"Sangaji?
Siapa yang kena hantaman dari belakang?"
Memang
yang datang ialah Sangaji. Dengan memapah seseorang, ia lari mendaki tanjakan.
Mukanya penuh keringat dan darah. Setelah menyibakkan para tetamu terus saja ia
berlutut di
hadapan
Kyai Kasan Kesambi seraya berkata tersekat-sekat! "Eyang....! Rupanya Guru
kena pukulan keji dari belakang...!"
Gagak
Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat terperanjat bukan kepalang.
Karena yang dipapah Sangaji ada-lah Wirapati. Wajahnya pucat lesi bersemu
kuning. Matanya meram. Tubuhnya bermandikan darah.
*
* *
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 20 HADIAH ULANG TAHUN KYAI KASAN KESAMBI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 20 HADIAH ULANG TAHUN KYAI KASAN KESAMBI"
Post a Comment