BENDE MATARAM JILID 14 WAYAN SUAGE
MELIHAT
SIKAP PANGERAN BOMI GEDE YANG sungguh-sungguh, semua yang hadir jadi tegang.
Titisari yang berada di atas atap ikut tegang pula. Rahasia apakah yang hendak
dibeberkan Pangeran Bumi Gede?
“Hari
ini tanggal 26 Juli tahun 1804 Masehi,” Pangeran Bumi Gede mulai, “Kami dan
Tuan-tuan sekalian hidup dalam masa kerajaan yang terpecah menjadi dua.
Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Tak usahlah kami berbicara panjang lebar,
adanya dua kerajaan itu menjadi sumber pertengkaran terus-menerus tiada
hentinya sampai akhir zaman. Tuan-tuan pun pasti mengetahui juga apa sebabnya.
Karena di dunia ini tidak ada dua matahari muncul bersama di angkasa. Bila ada,
yang satu harus lenyap. Bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?”
Mereka
yang hadir adalah sebangsa jagoan tukang-tukang pukul. Tak bisa mereka berpikir
yang bukan-bukan. Karena itu mereka membungkam seribu bahasa. Hanya sang
Dewaresi seorang yang tak dapat menebak ke mana arah tujuan Pangeran Bumi Gede.
Meskipun demikian, belum berani dia membuka suara karena persoalan belum jelas.
“Sejarah
zaman dahulu sudah memberi contoh berulang kali,” kata Pangeran Bumi Gede lagi.
“Tatkala kerajaan Erlangga terpecah menjadi dua kerajaan, Jenggala dan Daha—
maka dunia melahirkan seorang tokoh bernama Ken Arok. Dia mendirikan kerajaan
tunggal bernama Singasari. Ketika timbul lagi suatu
persaingan—Jayakatwang—datanglah sang Wijaya menumbangkan dan merombak apa yang
sudah usang. Berdirilah kerajaan Majapahit yang aman sentosa. Dan tatkala Majapahit
ditandingi oleh sebuah kerajaan Islam:—Bintara, muncullah Sultan Hadiwijaya
yang membangun kerajaan baru bernama Pajang. Begitulah sejarah sudah berkata
kepada Tuan-tuan sekalian—bahwasanya di dalam satu negara takkan mungkin
diperintah oleh dua orang raja. Bahwasanya matahari yang tersembul di angkasa
adalah tunggal tiada tandingannya. Inilah hukum alam.”
Tiba-tiba
Manyarsewu yang berangasan berteriak. “Apakah Pangeran Bumi Gede mengumpulkan
kami semua agar kami membantu paduka menggempur dua kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta? Meskipun kami bukan sebangsa cecurut yang takut mati, tapi rasanya
kami semua akan mengecewakan harapan paduka. Apakah arti kami ini bila
dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dua kerajaan yang tak terhitung
jumlahnya? Jangan lagi paduka berharap bisa membangun negara baru bersandarkan
tenaga kami semua, mencoba menggempur salah sebuah kerajaan itu pun takkan
becus. Sebab kami ini bukan golongan serdadu yang pandai mengatur siasat dan
memimpin pasukan. Lainlah halnya, kalau paduka hanya mengharapkan tenaga kami
untuk menggarong atau merampok.”
Mendengar
teriakan Manyarsewu yang berbicara tanpa pembungkus, mau tak mau mereka tertawa
gelak, meskipun banyak di antaranya tidak menyetujui. Pangeran Bumi Gede
bersikap tenang. Ia seolah-olah telah menduga akan mendapatkan teguran
demikian. Dengan senyum ia berkata seraya membungkuk. “Ah! Mana berani kami
me-mimpikan membangun sebuah kerajaan baru di siang hari bolong? Lagipula,
apakah benar Tuan-tuan yang hadir ini bangsa perampok dan penggarong?”
Sekali
pun kata-kata Pangeran Bumi Gede diucapkan dengan nada halus, tajamnya tak
kurang dari tajam sebilah belati. Seketika itu juga, rasa harga diri yang lain
bangun serentak. Tak mau mereka digolongkan sebangsa perampok atau penggarong.
Itulah sebabnya, pandang mereka lantas saja melototi si sembrono, Manyarsewu.
Tetapi
Pangeran Bumi Gede segera mengambil sikap bijaksana. Dengan meneguk cawan
minuman keras, ia berkata, “Tuan-tuan! Marilah kita kuras habis minuman yang
telah disediakan tuan rumah. Apabila Tuan-tuan setuju, kami akan meneruskan
berbicara.”
“Berbicaralah!
Berbicaralah!” terdengar suara anjuran serentak.
Mata
Pangeran Bumi Gede berkilat-kilat. Yakinlah dia, bahwa semua yang hadir ada
pada pihaknya. Asal saja dia bisa membawa diri tak usah diragukan hasilnya.
Tenaga mereka bisa diharapkan sepenuh-penuhnya. Maka dengan hati-hati ia
berkata, “Tuan-tuan, maafkan kami apabila ada kesan kata-kata kami seolah-olah
kami hendak memimpikan membangun sebuah kerajaan baru. Sebenarnya bukan itu
maksud kami.”
“Berbicaralah
sebebas-bebas Paduka!” teriak Cocak Hijau, “Tadi Paduka hendak membeberkan
rahasia penting mengenai negara. Nah, kami belum mendengar.”
Pangeran
Bumi Gede tersenyum. Kemudian mulai, “Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, lahirlah
seorang perwira muda bernama Sutawijaya. Konon dikabarkan, dia adalah anak
Lembu Peteng, Sultan Hadiwijaya yang dipungut sebagai anak-angkat Ki Ageng
Pemanahan. Dia seorang manusia lumrah yang tak beda sekelumit pun dengan kita
semua. Hanya saja, di kemudian hari dialah pendiri kerajaan Mataram. Lantas
saja dia terkenal dengan gelar Panembahan Senopati. Seluruh dunia memuji
kegagahannya. Sepak terjangnya mengagumkan. Apa yang dijangkau tak pernah
gagal. Bintangnya terus menanjak dan menanjak amat cerah. Tuan-tuan, inilah
soal yang hendak kami ke-mukakan.”
“Apakah
dia mempunyai rahasia besar yang patut kita bicarakan?” kata Manyarsewu
memotong.
“Tergantung
kepada cara berpikir Tuan-tuan sekalian,” jawab Pangeran Bumi Gede cepat.
“Baiklah kami kemukakan beberapa soak Seperti kata sejarah sendiri, dia
mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tak guna. Penakut dan
keperempuan-perempuan. Ketika dia dipilih menjadi jago kerajaan Pajang untuk
memusnahkan Arya Penangsang, sekujur badannya gemetaran. Bahkan dikabarkan, dia
sampai menangis. Tetapi karena anjuran Ki Ageng Pemanahan, tugas itu dilakukan
juga. Demikianlah, maka dia memperoleh hadiah sebatang tombak sakti bernama
Kyai Pleret. Dan dengan Kyai Pleret itulah, dia berhasil membunuh Arya
Penangsang yang sakti dan tangguh. Tuan-tuan, itulah tataran mula-mula dia
dikenal sejarah. Dia dilantik menjadi hamba kerajaan dengan gelar Raden Ngabehi
Lor ing Pasar. Kemudian bersahabat dengan putera mahkota Pangeran Benowo.
Berontak melawan Sultan Hadiwijaya dan akhirnya berhasil mendirikan kerajaan
Mataram yang tak terkalahkan. Tuan-tuan, apakah Tuan-tuan tak merasakan sesuatu
yang ganjil?”
“Ganjil?”
mereka mengulang sepatah kata itu hampir berbareng. Kemudian mereka saling
memandang dengan kepala menebak-nebak.
“Ya—ganjil!
Benar-benar ganjil!” Pangeran Bumi Gede menguatkan. Kemudian memberi
keterangan, “Marilah kita periksa lagi lebih cermat! Sutawijaya mula-mula
dikenal sebagai seorang pemuda tiada guna. Menurut pantas, jangan lagi dia.
Sekalipun Sultan Hadiwijaya sendiri takkan ungkulan bertanding melawan Arya
Penangsang. Mengapa si bocah ingusan mendadak bisa menang perang?”
“Menurut
sejarah, Arya Penangsang mati berdiri kena tusuk tombak Kyai Pleret!” sahut
Manyarsewu.
“Benar.
Tetapi apakah tumbangnya Arya Penangsang karena semata-mata oleh tuahnya tombak
Kyai Pleret? Apabila tombak Kyai Pleret benar-benar dapat mengatasi ketangguhan
Arya Penangsang, mengapa Sultan Hadiwijaya tidak turun tangan sendiri? Baiklah,
andaikata Sultan Hadiwijaya emoh turun tangan sendiri berhubung dengan
kedudukannya, pastilah orang-orang sakti di Pajang bisa diminta bantuannya
meminjam tenaga.”
Persoalan
ini belum pernah terlintas dalam benak mereka, sehingga mereka jadi terhenyak.
Lantas saja mereka sibuk menduga-duga hendak mengungkap teka-teki itu. Akhirnya
Cocak Hijau berkata nyaring. “Barangkali Sutawijaya adalah satu-satunya orang
sakti kala itu.”
“Heh—Cocak
Hijau! Bukankah tadi sudah dikatakan, kalau Sutawijaya adalah seorang pemuda
yang mula-mula dikenal tidak memiliki suatu keistimewaan sedikit pun?” damprat
Manyarsewu. “Dia seorang pemuda tak berguna, kaudengar?”
Didamprat
demikian, Cocak Hijau jadi kelabakan. Segera ia berpaling kepada Pangeran Bumi
Gede. kemudian berkata, “Baiklah, mari kita akui, bahwa Sutawijaya seorang
sakti. Tetapi apakah Sultan Hadi-wijaya yang terkenal dengan nama Jaka Tingkir
di waktu mudanya, kurang sakti? Seperti Tuan-tuan ketahui, dia pernah ditusuk
keris Setan Kobar. Tetapi baru saja, ujung keris Setan Kobar hendak menyentuh
tubuhnya, mendadak saja si penusuk jatuh terkapar di tanah. Apakah Ki Ageng
Pemanahan kurang sakti? Apakah Ki Jurumartani kurang sakti? Mereka adalah
tokoh-tokoh sakti pada zaman itu. Sebaliknya kesaktian Arya Penangsang
sesungguhnya tidak terlawan. Bahkan mertuanya, Sunan Kudus segan pula
kepadanya,” ia berhenti mengesankan. “Tuan-tuan yang hadir di sini, bukan pula
orang-orang sembarangan. Taruh kata, Tuan-tuan hidup pada zaman itu. Kemudian
salah seorang di antara Tuan-tuan kami beri tombak Kyai Pleret, sebagai senjata
pamungkas, melawan Arya Penangsang. Sudahkah Tuan-tuan akan bisa menang? Apakah
tombak Kyai Pleret sudah bisa dibuat pegangan teguh? Tuan-tuan minta bantuan
seratus ribu prajurit? Baiklah, kami berikan. Tetapi... andaikata hancurnya
Arya Penangsang bisa ditentukan oleh jumlah prajurit, tentulah Sultan
Hadiwijaya sudah pula mengambil tindakan demikian.”
Orang-orang
jadi tegang. Mereka dipaksa berpikir keras. Titisari yang berada di atas atap,
ikut pula mencoba memecahkan teka-teki itu.
Tentang
permusuhan antara Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang, sudah lama ia mengenal
dari tutur-kata sejarah. Ayahnya sering memperbincangkan keperkasaan Arya
Penangsang dengan kuda hitamnya bernama Gagakrimang. Kedua tokoh itu memiliki
keis-timewaan-keistimewaannya sendiri. Kerapkali mereka bentrok dan saling
berbenturan. Masing-masing memiliki pusaka sakti. Pusaka Arya Penangsang
berwujud sebilah tombak bernama Kyai Pleret.
Arya
Penangsang pernah mencoba membunuh Sultan Hadiwijaya dengan keris Setan Kobar,
tetapi gagal. Keris Setan Kobar yang pernah menghisap darah Sunan Prawoto,
Pangeran Hadiri dan beberapa tokoh kerajaan Bintara, ternyata tak mampu
membunuh Sultan Hadiwijaya. Sebaliknya, sudah semenjak lama Sultan Hadiwijaya
berusaha menyingkirkan lawannya dari percaturan dunia. Osaha inipun sia-sia
belaka. Andaikata tombak Kyai Pleret benar-benar merupakan senjata mutlak
pemusnah kesaktian Arya Penangsang, mestinya Sultan Hadiwijaya sudah lama
menyingkirkan lawannya. Mengapa mesti menunggu lahirnya seorang pemuda bernama
Sutawijaya? Mengapa Sutawijaya akhirnya berhasil membunuh Arya Penangsang
dengan tombak itu? Sesungguhnya, peristiwa tersebut merupakan teka-teki besar.
Dengan diketengahkan persoalan itu oleh Pangeran Bumi Gede, lantas saja jadi
menarik hati.
“Tuan-tuan!”
kata Pangeran Bumi Gede lagi. “Pernahkah Tuan-tuan mendengar dongeng pertemuan
ajaib antara Sutawijaya dengan seorang aneh pada malam hari men-jelang
pertempuran yang menentukan? Sudah tentu dongeng ini tidak pernah tertulis
dalam sejarah. Sebab baik si penulis sejarah, maupun Sutawijaya sendiri
merahasiakan peristiwa pertemuan itu sebagai sesuatu hal yang dirahasiakan demi
keselamatan negara.
Orang-orang
menegakkan kepala dengan berdiam diri. Mereka menajamkan pendengaran dan
berusaha duduk tenang-tenang, agar tidak mengganggu pengucapan Pangeran Bumi
Gede. Itulah sebabnya ruang kadipaten jadi sunyi-tegang. Titisari yang berada
di atas mengendapkan diri. Hati-hati ia menguasai pernapasannya agar bebas dari
pengamatan pendengaran mereka. Maklum, sedikit ia berkutik pastilah mereka akan
mengetahui kehadirannya ditengah kesunyian demikian.
“Malam
menjelang pertempuran yang menentukan itu, diam-diam Sutawijaya keluar dari
perkemahan.” Pangeran Bumi Gede mulai bercerita. “Ia bermaksud hendak minggat.
Ya— bagaimana dia mampu melawan kesaktian Arya Penangsang? Sedangkan para wali
sendiri tidak ada yang berani menyanggupkan diri. Ketika itu, bulan tidak ada
di langit. Malam jadi gelap-gulita. Mendadak saja, dia dihampiri oleh sesosok
bayangan serba hitam. Perawakan bayangan itu, tinggi besar. Tegap perkasa dan
tangguh. Ia memberikan tiga buah pusaka dengan berdiam diri. Kemudian membisiki
sesuatu. Apakah yang dibisikkan, tidak ada seorang pun yang pernah hidup di
dunia ini mengetahui bunyinya. Saat Sutawijaya bertanya siapakah dia—bayangan
itu menjawab, “Aku adalah Semono.” Bayangan itu lantas melesat dan lenyap
begitu saja seperti tertelan kabut.”
“Semono?”
Mereka berteriak hampir berbareng.
“Ya—Semono.”
“Siapakah
Semono itu?” Manyarsewu mendesak dengan bernafsu.
Pangeran
Bumi Gede menaikkan pundak sambil menjawab, “Bagaimana aku harus meneruskan?
Orang yang hidup sezaman dengan Sutawijaya, tak mampu pula mengabarkan. Di
kemudian hari orang hanya mengenal nama Semono itu sebagai Pangeran Ganggeng
atau Pangeran Semono, karena tahta kerajaannya berada di negara Mono. Tetapi
Pangeran Semono hidup pada zaman ribuan tahun yang lalu. Meskipun demikian
orang tidak menyangsikan.”
“Kenapa?”
“Karena
ketiga pusaka yang diberikan kepada Sutawijaya itu cukup menjadi saksi.”
“Pusaka apakah itu?” Manyarsewu kian bernafsu.
“Yang
sebuah berwujud jaring, bernama, Jaka Korowelang. Yang kedua sebuah bende.
Kelak
terkenal dengan nama Bende Mataram. Dan yang ketiga sebilah keris, bernama
Tunggulmanik. Dengan bersenjata ketiga buah pusaka itulah, Sutawijaya bisa
merajai seluruh kepulauan Nusantara. Kelak ketiga pusaka itu diberikan kepada
cucunya—Sultan Agung. Tapi sayang, pada pertengahan usia Sultan Agung, mendadak
saja ketiga pusaka itu musna tak keruan beradanya.”
Orang-orang
yang mendengar kisah itu jadi ikut kecewa dan menyesali.
“Tentang
asal mula ketiga pusaka itu dan nama Semono, pernah kudengar dongengnya.”
Pangeran Bumi Gede meneruskan. “Begini, ribuan tahun yang lalu hiduplah seorang
pangeran bernama Jayakusuma. Dia adalah adik kandung seorang raja yang
memerintah negeri Jawa Timur. Sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban
meng-hadap raja sekali seminggu. Ini suatu tanda, bahwa dia tetap berbakti
terhadap raja dan negara. Mula-mula kewajiban itu dipenuhi. Tetapi kemudian
terjadilah suatu perubahan. Sudah hampir satu tahun lamanya, dia mangkir. Raja
jadi keheran-heranan. Segera dikirimlah suatu utusan untuk menyelidiki.
Ternyata Pangeran Jayakusuma sakit hati terhadap raja.
“Apakah
yang menyebabkan Paduka sakit hati?' utusan raja minta penjelasan. 'Apakah Raja
kurang menaruh perhatian terhadap Paduka?'
Mula-mula
Pangeran Jayakusuma enggan menceritakan. Tetapi setelah didesak berulang kali,
akhirnya dia menerangkan sebab-musababnya. Sudah semenjak lama dia menaruh
cinta kepada bibinya sendiri bernama Endang Retno Dyan Sulasniwati. Cintanya
berbalas juga. Hanya sayang, puteri itu adalah bibinya sendiri. Baik dia jadi
bersedih hati. Kesedihan hatinya memuncak, ketika bibinya itu dipinang oleh
putera Bhatara Loano—Sang Anden Loano. Kakaknya meluluskan. Dan semenjak itu
Endang Retno Dyan Sulasniwati dikawinkan dengan Anden Loano dan dibawa pulang
ke negeri Loano. Karena sakit hati, Pangeran Jayakusuma mencari alasan untuk
menyesali sikap kakaknya. Ia mencari kegemaran lain sebagai perintang hati.
Pada suatu hari ia men-dapat seekor burung gemak dan semenjak itu, sibuklah dia
memelihara burungnya. Itulah sebabnya, tak dapat lagi ia memenuhi kewajiban.
Demikianlah!—ketika
penjelasan Pangeran Jayakusuma dihadapkan kepada raja, segera ia dipanggil.
Raja merasa diri terhina. Masa harga seorang raja jauh lebih rendah daripada
seekor burung gemak. Pangeran Jayakusuma berkata, kalau burung gemaknya itu
bukanlah sembarang burung. Pernah suatu kali diadu bertanding melawan seekor
harimau. Harimau . itu mati dipatuknya.
Raja
kian marah. Dengan serta merta, ia menjatuhkan hukuman. Ketika mendengar
penjelasan lagi tentang pekerti Pangeran Jayakusuma yang menaruh hati kepada
bibinya, kemarahan raja tak terkendalikan lagi. Pangeran Jayakusuma diusir dari
negeri.
Dengan
membawa burung gemaknya, Pangeran Jayakusuma meninggalkan negeri. Adiknya
perempuan bernama Dewi Kusuma-ningsih yang amat kasih padanya, ikut menyertai
ke mana perginya. Demikianlah, maka mereka berdua merantau tanpa tujuan. Sepanjang
jalan mereka bertapa agar mendapat kesaktian-kesaktian ajaib. Mereka berhasil
pula menciptakan berbagai ragam tata-berkelahi. Dan sebagai sendi pencaharian
hidupnya, Pangeran Jayakusuma memper-sabungkan burung gemaknya yang tak
terkalahkan.
Pada
suatu hari sampailah mereka di sebelah selatan Bukit Jambu. Hari sangatlah
terik dan sudah beberapa hari mereka tak melihat dusun dan pedesaan. Makan dan
minumnya jadi tak teratur. Bagi Pangeran Jayakusuma, penderitaan itu tidak
mengusik hatinya. Maklumlah, dia sadar akan arti ke-pergiannya. Sebaliknya bagi
Dewi Kusumaningsih, benar-benar merupakan siksaan lahir batin.
Karena
menanggung haus tak tertahankan lagi, Dewi Kusumaningsih jatuh tersimpuh di
atas bumi, Pangeran Jayakusuma segera melesat hendak berusaha menemukan sebuah
dusun. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dengan bersusah hati, kembalilah dia
mendapatkan adiknya. Kemudian—untung-untungan—ia mencabut keris pusakanya
bernama Panubiru dan ditancapkan ke tanah. Tatkala ditarik, sekonyong-konyong
menyemburlah sebuah mata air menanjak tinggi ke udara. Oleh rasa terharu, ia
meloncat-loncat gembira, sambil berseru “Dewi! Dewi! Hidup! Hidup!”
Adiknya
segera diteguki air, lantas dia sendiri. Alangkah segar dan nikmat. Karena
besarnya rasa terima kasih, ia lantas berkata, “Adikku! Apabila dikemudian hari
tempat ini menjadi sebuah dusun atau desa, aku mem: berinya nama, Banyu Urip.”
Demikianlah—semenjak
itu berdirilah sebuah desa bernama Banyu Grip. Pangeran Jayakusuma sendiri
bermukim di bawah rindang lima batang pohon jati. Kelak diberi nama, Jati
Pandowo.
Pada
suatu hari ia mendengar kabar, bahwa tempat beradanya bibinya—Endang Retno Dyan
Sulasniwati—tak jauh dari padepokannya. Bibinya ternyata masih setia padanya.
Meskipun ia telah dikawin sang perwira Anden Loano, tetap saja ia menolak untuk
hidup sebagai suami-isteri. Berita itu sudah barang tentu menggembirakan dan
mengharukan Pangeran Jayakusuma. Segera ia mau berangkat menjenguk ke Loano.
Sayang, adiknya—Dewi Kusumaningsih—selalu saja ingin menyertai. Maka dicarilah
akal untuk membebaskan diri. Ia menemui seorang sakti bernama Kyai Manguyu.
Ditantangnya bersabung dengan pertaruhan adiknya perempuan. Kyai Manguyu
menyanggupi, dengan kesaktiannya ia mencipta seekor burung gemak dari palu
besi. Sebaliknya, Pangeran Jayakusuma tidak bersungguh-sungguh hendak mencari
kemenangan. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan burung gemaknya dapat
dikalahkan. Dengan demikian ia akan menyerahkan adik perempuannya dengan
terhormat.
Harapannya
terkabul. Burung gemaknya yang bernama Kebrok dapat dikalahkan. Dengan
demikian, Dewi Kusumaningsih diserahkan kepada Kyai Manguyu sebagai isterinya.
Setelah
berhasil menyerahkan adiknya kepada seorang terhormat, berangkatlah dia ke
Loano. la berhasil menemui kekasihnya dan bercumbu rayu layaknya sepasang
suami-isteri. Permainan itu dilakukannya pada setiap malam. Ketika matahari
mulai muncul di timur, cepat-cepat ia meninggalkan Loano dan berangkat pulang
ke Jati Pandowo.
Tetapi
lambat-laun, sang perwira Anden Loano mengetahui permainan itu. Pada suatu
malam Pangeran Jayakusuma dihadang. Dan timbullah suatu pertarungan seru. Anden
Loano tak dapat menandingi kesaktiannya. Segera ia lari ke Gunung Gede mengadu
kepada ayahnya. Ayahnya yang bernama Ki Buyut Singgela mencoba-coba mengadu kesaktian.
Diapun tak dapat ungkulan. Karena sedih, ia menceburkan diri ke dalam sungai.
Niatnya hendak mati, daripada menanggung malu dan hina. Tetapi arus sungai
membawa dia tersangkut pada boro Kyai Bodo.
Ketika
telah diketahui soalnya. Kyai Bodo membawanya menghadap kepada Kyai Ganggeng.
Dan Kyai Ganggeng membawanya pula menghadap seorang pangeran yang bertahta di
Semono. Mereka minta pertolongan.
Pangeran
Semono berkenan menolongnya. Tetapi dia hanya mengirimkan salah seorang abdinya
bernama Lawa Hijau yang diberinya sebilah keris bernama Caranggesing. Keris
inilah yang kelak di sebut orang keris Kyai Tunggulmanik. Di samping itu masih
ada pula dua pusaka lainnya. Yakni, Jala Korowelang dan Bende Mataram.
Pertarungan
antara Mapatih Lawa Hijau dan Pangeran Jayakusuma berlangsung sangat sengitnya.
Kedua-duanya sakti dan tidak ada yang kalah atau menang. Mereka bertempur
sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Pada hari kedelapan, Mapatih Lawa Hijau
terpaksa mengeluarkan ketiga pusakanya. Ketika Pangeran Jayakusuma melihat
ketiga pusaka itu, keluarlah keringat dinginnya. Dengan sekuat tenaga, ia
berusaha melarikan diri. la merubah diri menjadi seekor kelabang. Tetapi Lawa
Hijau segera pula merubah diri menjadi seekor laba-laba raksasa. Sudah barang
tentu Pangeran Jayakusuma heran dan terkejut. Sama sekali tak diduganya, kalau
lawannya sangat sakti. Cepat ia merubah diri pula menjadi seekor tikus. Mapatih
Lawa Hijau merubah diri menjadi seekor kucing.
Melihat
kesigapan lawan, gugup ia melarikan diri dan bersembunyi di dalam kendi
pratala. Mapatih Lawa Hijau segera menutup kendi itu rapat-rapat. Setelah itu,
ia membawa tawanannya pulang menemui Kyai Ganggeng, Kyai Buyut Singgela dan
Kyai Bodo. Kyai Buyut sangat bergembira. Dengan menyatakan terima kasih, ia pulang
ke Gunung Gede dan menyerahkan soal itu kepada Kyai Ganggeng.
Kyai
Ganggeng minta penjelasan kepada Mapatih Lawa Hijau cara dia menaklukkan
Pangeran Jayakusuma. Mapatih Lawa Hijau memperlihatkan ketiga pusakanya. Kyai
Ganggeng kemudian mengambil keris pusaka Caranggesing. Ia berniat hendak
mencoba kesaktian Pangeran Jayakusuma. Syukur bisa membunuhnya. Dengan demikian
ia akan memperoleh nama dan jasa.. Tetapi Mapatih Lawa Hijau memperingatkan,
kalau Pangeran Semono tidak mengizinkan membunuh Pangeran Jayakusuma. Sayang,
Kyai Ganggeng tidak mendengarkan. Dengan dada menyala-nyala, ia membanting
kendi pratala. Seketika itu juga, Pangeran Jayakusuma berdiri seperti batu
karang di hadapannya. Kedua ksatria itu lantas saja bertarung gesing. Dan
Pangeran Jayakusuma bersenjata keris kerajaan Majapahit, Kyai Panubiru.
Sekarang
Kyai Ganggeng jadi terkejut. Sama sekali ia tak mengira, kalau Pangeran
Jayakusuma benar-benar seorang ksatria sakti tak terlawan, la mencoba menusuk
dan meni-kamkan keris pusaka Caranggesing. Tetapi -tidak ada selembar bulu roma
Pangeran Jayakusuma yang bisa dirontokkan.
“Ih!
Pantas kamu berani maling seorang puteri. Kamu memang seorang jantan sejati.
Tetapi, mengapa kamu bisa ditaklukkan Mapatih Lawa Hijau dengan keris
Caranggesing? Padahal aku pun bersenjata keris Caranggesing juga.”
Pangeran
Jayakusuma tertawa sambil menungkas, “Apa kau bilang? Aku ditaklukkan Lawa
Hijau? Sama sekali tidak! Aku ditawan, karena kena tipu-muslihat. Kalau kau tak
percaya, boleh kalian berdua maju berbareng. Nah, tikamkan Caranggesing ke
dadaku sampai kaujera.”
Hm...
benar-benar sombong ksatria ini, pikir Kyai Ganggeng. Kemudian berkata, “Yang
sakti bukan hanya kamu seorang di dunia ini. Tikamkan keris pusakamu ke dadaku.
Ingin aku merasakan tuahnya keris pusakamu yang kauagul-agulkan.”
Pangeran
Jayakusuma segera menikamkan keris Panubiru. Tetapi keris itupun tidak mempan.
Dengan demikian mereka berdua terus bertempur tak berketentuan. Akhirnya,
kedua-duanya mati kehabisan napas.
Mapatih
Lawa Hijau kemudian membawa Caranggesing kembali menghadap Pangeran Semono.
Dengan takzim Pangeran Semono mendengarkan kisah pertarungan antara Pangeran
Jayakusuma dengan Kyai Ganggeng. Akhirnya Pangeran Semono berkata,
“Caranggesing dan Panubiru sebenarnya adalah jodohnya. Sudah barang tentu,
mereka yang menggunakan kedua pusaka itu takkan dapat merebut kemenangan.
Sekarang kedua pusaka itu telah menemukan jodohnya. Keduaduanya telah
meninggal. Karena itu, ingat-ingatlah pesanku ini. Di kemudian hari, apabila
aku telah mekrat aku akan mewariskan kedua pusaka itu kepada siapa saja yang
berhak mewarisi. Barangsiapa dapat memiliki kedua pusaka itu akan kusyahkan
sebagai ahli waris tanah Jawa. Karena tanah Jawa adalah milikku. Bende Mataram
dan Jala Korowelang akan pula ikut mengirimkan. Karena itu, pemiliknya akan
sakti. Suaranya bagaikan guntur, kegesitannya melebihi kilat, kekuatannya
melebihi tenaga raksasa. Dia adalah laksana matahari yang bersinar tunggal di
atas persada bumi....” Pada zaman dahulu banyak diceritakan tentang
musnahnya
tokoh-tokoh sakti. Diantaranya Kyai Gede Senggala. Sedangkan Lawa Hijau
dikabarkan tetap hidup sepanjang zaman.”
Sampai
di sini, Pangeran Bumi Gede berhenti bercerita. Dengan mata berkilat-kilat ia
mencari kesan. Orang-orang terdiam seperti tersekap. Sang Dewaresi yang bisa
berpikir lantas saja dapat menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia
memuji kecerdikannya.
“Tanah
Jawa adalah milikku, pesan Pangeran Semono kepada Mapatih Lawa Hijau,” kata
Pangeran Bumi Gede mengesankan. “Orang tak berhak memperebutkan. Orang tak
berhak pula saling berebut. Hanya kepada barangsiapa yang dapat mewarisi ketiga
pusaka tanah Jawa, dialah yang berhak memiliki tanah Jawa sebagai ahli waris.
Tahukah Tuan-tuan, di manakah ketiga pusaka kini berada?”
Mendengar
pertanyaan itu, orang-orang mulai sadar. Lapat-lapat mereka mulai bisa menebak
maksud Pangeran Bumi Gede. Masing-masing berpikir dalam hati, ah, kiranya dia
mengundang orang-orang tertentu untuk diajaknya mencari jejak ketiga pusaka
yang telah diciumnya... Tetapi apakah ketiga pusaka itu benar- benar ada di
dunia ini?
Pangeran
Bumi Gede berkata lagi, “Dengan ketiga pusaka itu, sejarah membuktikan kalau
Sutawijaya bisa menumbangkan Arya Penangsang. Dengan ketiga pusaka itulah,
mendadak saja Sutawijaya bisa mempunyai pribadi kuat, sehingga orang-orang rela
bersujud dan mengabdi padanya. Dengan ketiga pusaka itulah, dia berhasil
menjadi pendiri kerajaan Mataram yang tak terkalahkan. Sebagai orang yang
berbakti kepada leluhur, kerajaannya yang baru dinamakan Mataram: mengambil
alih nama kerajaan Jawa pada zaman dahulu.”
“Ketiga
pusaka itu kemudian diwariskan kepada Sultan Agung yang kelak menjadi salah
seorang raja yang angker dan keramat. Sayang—pada pertengahan usia—mendadak
saja ketiga pusaka itu hilang dari istana. Orang mengabarkan, kalau ketiga
pusaka itu dicuri bupati Madura. Ada pula yang mengatakan, ketiga pusaka itu
jatuh ke tangan Belanda. Seorang bupati istana yang lagi bangkrut, berhasil
mencurinya dan dijual kepada Gubernur Jendral Yan Pieters Zoon Coen. Benar
tidaknya, siapakah yang dapat menerangkan. Tapi menilik gelagatnya, mirip juga.
Bukankah Sultan Agung bisa dikalahkan oleh Gubernur Jendral itu di medan perang
Jawa Barat?”
“Bintang
istana kerajaan Jawa lantas saja menjadi pudar. Terbitlah kekacauan di
mana-mana. Mula-mula pemberontakan Trunojoyo. Lantas peristiwa Pangeran Puger.
Dia mendirikan kerajaan baru, Kartasura namanya. Lantas pemberontakan Tionghoa.
Belum genap tiga turunan, pecahlah suatu persaingan baru. Kerajaan Yogyakarta berdiri
bagaikan matahari kembar. Kini—kedua kerajaan itu— menghadapi perpecahan
Mangkunegoro. Dan di Yogyakarta... tahukah Tuan-tuan sepak-ter-jang Pangeran
Notokusumo? Semuanya itu... ya semuanya itu, tidak akan terjadi, apabila salah
seorang daripada raja-raja yang bertahta memiliki ketiga pusaka Pangeran Semono
pemilik kerajaan Tanah Jawa.”
Mendengar
kata-kata Pangeran Bumi Gede, sang Dewaresi yang bisa berpikir benar-benar
kagum akan kecerdikan dan kelicikannya. Titisari yang berada di atas atap diam-diam
ikut pula memuji. Pikirnya, hebat Pangeran ini! Dengan menitikberatkan
pembicaraan pada kekeramatan ketiga pusaka sakti Pangeran Semono, orang-orang
sudah bisa diajak mengambil kesimpulan, bahwa raja-raja yang bertahta di
Surakarta dan Yogyakarta adalah tidak syah. Tanpa menyinggung persoalannya,
lantas saja dan bisa menganjurkan bahwa segala bentuk pemberontakan melawan
raja adalah syah. Benar-benar mengagumkan! Jika kelak timbul
pemberontakan-pemberontakan liar, bukankah dia bisa memboncengkan kepentingan
diri?”
“Tuan-tuan
yang hadir di sini adalah golongan pejuang-pejuang keadilan. Semuanya akan
bersedia mengorbankan kepentingan diri demi menuntut keadilan. Karena itu
dengan tak segan-segan kami mengemukakan persoalan ini kepada Tuan-tuan
sekalian,” kata Pangeran Bumi Gede dengan pandang berkilat-kilat. “Perkenankan
kami bertanya kepada Tuan-tuan, apabila negara terus berada dalam kekacauan,
siapakah yang akan menjadi korban utama? Bukankah rakyat jelata yang tak tahu
apa arti negara dan pemerintahan?”
Tak
setahunya sendiri, orang-orang mengangguk.
“Karena
rakyat kini hidup miskin dan terombang-ambing oleh nafsu hati perseorangan,
bukankah tidak ada jalan lain kecuali mengundang Tuan-tuan sekalian yang
dilahirkan oleh alam sebagai tokoh-tokoh pejuang penegak keadilan?”
“Kami
bukan golongan yang memimpin tahta kerajaan di siang hari bolong. Jika ada
kesan demikian, sebenarnya adalah jalaran dari suatu perjuangan mencari
dasar-dasar landasan penegak keadilan. Tuan-tuan yang hadir bukan orang-orang
sembarangan yang bisa diperkuda tanpa alasan tertentu. Tetapi Tuan-tuan adalah
golongan warga-negara yang bisa diajak berbicara dan berpikir. Kini rakyat
Tuan-tuan mengalami pancaroba. Kini negara dalam keadaan goyah. Karena
soko-guru sejati tidak ada yang sedang berkuasa. Bila Tuan-tuan meragukan
keterangan kami ini, nah pergilah menghadap raja. Tanyakan, mana ketiga pusaka
tanah Jawa. Jika dia menjawab tidak ada, tanyakan juga, mengapa dia lantas saja
duduk di atas tahta kerajaan seolah-olah ahli waris yang syah? Harus Tuan-tuan
ketahui, bahwa Sultan Hamengku Buwono 11 pada waktu ini berusaha mengangkat
diri menjadi penguasa tunggal. Semuanya yang tidak mendengar kata hatinya,
disingkirkan. Anehnya, mengapa dia mendengarkan tiap-tiap kata isteri-isterinya?
Kalau perempuan sudah mulai ikut berbicara dalam tata-pemerintahan, apakah yang
dapat disumbangkan?”
“Sultan
Hamengku Buwono II sedang berusaha mengembalikan tata pemerintahan seperti pada
zaman Panembahan Senopati atau Sultan Agung. Mana bisa dia berbuat begitu? Kita
semua akan dibentuk menjadi kawula Jawa Sejati, sedangkan dia tidak memiliki
pusaka Tanah Jawa...”
“Pangeran
Bumi Gede!” tiba-tiba Manyarsewu memotong. “Tak peduli siapa yang menjadi raja,
tetapi apakah ketiga pusaka Tanah Jawa itu benar-benar pernah ada di dunia
ini?”
“Di
sini hadir pula yang mulia sang Dewaresi dan Tuan Pendekar Yuyu Rumpung.
Sepuluh— dua belas tahun yang lalu, kami pernah mendengar kabar, kalau sang
Dewaresi pernah berhasil merampas ketiga pusaka Tanah Jawa itu dari Cirebon dan
kemudian membawanya pulang. Tetapi, kami mendengar kabar kalau ketiga pusaka
itu hilang di tengah jalan.”
Mendengar
keterangan Pangeran Bumi Gede, semua yang hadir mengarah kepada sang Dewaresi.
Pandang mata mereka lantas saja menjadi tegang. Setengah dari mereka mulai
berpikir, ini hebat! Kalau sang Dewaresi benar-benar mengangkangi ketiga pusaka
Tanah Jawa itu, apakah Pangeran Bumi Gede bermaksud mengajak kita beramai-ramai
mengkerubut? Belum lagi mereka mendapat ketegasan, sang Dewaresi nampak berdiri
dengan sikap garang. Ia melemparkan pandang tajam kepada Pangeran Bumi Gede.
Kemudian berkata, “Kata-kata Paduka sepatah pun tidak ada yang salah. Memang
benar, pusaka Tanah Jawa itu pernah kami miliki... dan hilang dirampas orang.
Kebetulan sekali selama dua hari di sini, kami pernah melihat ilmu
tata-berkelahi putera paduka. Tata-berkelahi itu mengingatkan kami kepada
ketiga pusaka Tanah Jawa. Perkenankan kami bertanya, di manakah itu pendeta
gila Hajar Karang -pandan?”
Semua
orang yang mendengar ucapan sang Dewaresi jadi keheranan. Untuk kesekian
kalinya, mereka dipaksa sibuk menduga-duga. Tatkala Pangeran Bumi Gede hendak
menjawab, sekonyong-konyong masuklah seorang laki-laki berpakaian serba putih.
Dialah salah seorang anggota Banyumas yang diperintah Yuyu Rumpung mengantarkan
si pegawai Pangeran Bumi Gede mengambil ramuan obat.
Orang
itu pucat lesi! Pipinya bengkak biru. Dengan napas terengah-engah ia menghadap
Yuyu Rumpung, “Ma... ma... ma... maling! Awas... maling!”
SANGAJI
yang mengikuti si pegawai Pangeran Bumi Gede dan si pemuda berpakaian putih
untuk mengambil ramuan obat, kala itu telah meninggalkan gedung pertemuan.
Jalan di halaman kadipaten ternyata berlika-liku. Penerangan tidak ada pula,
sehingga ia harus mendekati si pegawai tak lebih dari selangkah. Ia meniru cara
kerja Titisari. Dihunuslah belatinya dan diancamkan ke punggung si pegawai,
karena khawatir dipermainkan.
Si
pemuda berpakaian putih yang berjalan di depan telah sampai di sebuah kamar
tempat penyimpan obat-obatan. Ia mendorong pintu kamar, kemudian memasuki
sambil menyalakan obor. Ternyata di dalam kamar itu penuh dengan obat-obatan
yang nampak berserakan di atas meja. Sangaji segera menyarungkan belatinya.
Kini ia melayangkan pandang ke seluruh ruang kamar. Botol dan guci-guci tempat
penyimpan obat berdiri berleret-leret pula di sepanjang dinding.
“Hm—pantas
di Pekalongan tidak ada obat-obatan lagi. Jahanam-jahanam itu benar-benar telah
menguras habis semua obat-obatan yang berada di dalam kota.”
Si
pemuda berpakaian putih rupanya mengerti perkara jenis ramuan obat. la
me-nyontak lima macam ramuan obat-obatan dan kemudian diberikan kepada si
pegawai istana setelah membungkusnya rapih.
Tetapi
Sangaji tidak dapat menahan sabar lagi. Begitu ia melihat si pegawai istana menerima
ramuan obat, segera disambarnya dan dimasukkan ke dalam saku. Orang itu tak
mampu berkutik. Meskipun demikian, ia cerdik. Pikirannya lantas saja bekerja.
Dengan
sedikit membungkuk ia mempersilakan Sangaji berjalan mendahului bersama si
pemuda berpakaian putih. Dia sendiri memperlambat langkahnya. Tatkala si pemuda
berpakaian putih dan Sangaji sudah berada di luar kamar, sekonyong-konyong ia
meng-gabrukkan daun pintu sambil memadamkan obor. Pintu dengan cepat
dikuncinya, lantas mulutnya bekerja.
“Awas!
Maling! Maling!”
Si
pemuda berpakaian putih, ternyata bukan seorang pemuda goblok. Memang dia murid
Yuyu Rumpung. Begitu mendengar teriak si pegawai istana, ia terkejut dan heran.
Secepat kilat ia berputar dan menubruk Sangaji.
Sangaji
sendiri kurang berwaspada. Ia terkejut dan mendongkol mendengar teriakan si
pegawai istana. Dalam gusarnya ia menjadi terburu nafsu. Serentak ia berputar
dan menubruk daun pintu. Dengan sepenuh tenaga ia menghajar pintu. Hebat
akibatnya. Daun pintu tergempur sampai somplak. Penuh sengit ia menyerang si
pegawai istana dan melampiaskan kegusarannya seperti banjir membobol bendungan.
Si pegawai istana kena gempurannya dan roboh terpelanting tak berkutik lagi.
Tetapi selagi ia mengumbar amarahnya, si pemuda berpakaian putih sudah berhasil
merampas bungkusan ramuan obat dan dilemparkan asal terlempar saja.
Rasa
dongkol Sangaji kian memuncak. Dengan mata berkilat-kilat ia berputar menyambar
si pemuda berpakaian putih. Tetapi si pemuda berpakaian putih, ternyata licin.
Begitu berhasil merampas bungkusan ramuan obat, ia segera melarikan diri. Sudah
barang tentu Sangaji tidak membiarkan dia bisa melarikan diri seenaknya.
Tubuhnya lan-tas saja melesat mengejarnya.
Si
pemuda berpakaian putih mendengar ke siur angin. Gugup ia mengendapkan tubuhnya
sambil memutar diri. Kemudian menyerang dengan sapuan kaki.
Sangaji
bertambah mendongkol, la menyerang lebih sengit. Dua kali ia berhasil
menggaplok muka si pemuda. Tapi si pemuda ternyata bandel. Masih saja dia
berusaha menghindarkan diri sambil memberondong pukulan. Terpaksalah Sangaji
melepaskan jurus ajaran Jaga Saradenta. Si pemuda kena disampok dan dipukulnya
sampai terpental berjumpalitan. Ternyata ia roboh pingsan tak ingat batang
hidungnya.
Segera
Sangaji kembali memasuki kamar. Dengan meraba-raba ia mengumpulkan ramuan obat
menurut ingatannya sewaktu si pemuda berpakaian putih mengambil beberapa jenis
ramuan. Tatkala kakinya menyentuh tubuh si pegawai istana yang masih saja tak
berkutik, darahnya meluap lagi. Dengan hati masih gregeten, ia mendupaknya
keras hingga bergulingan. Hatinya jadi puas. Segera ia bekerja. Tapi kini, ia
jadi kebingungan.
“Eh...
yang mana tadi?” ia mencoba mengingat-ingat. Karena sadar akan bahaya, ia
segera mengambil keputusan cepat. Pikirnya, biar Aki sendiri nanti yang memilih
jenis ramuannya. Sekarang kuambil semuanya saja...
Memikir
demikian, ia mengantongi semua ramuan obat yang tadi berada di depan si pemuda
berpakaian putih. Setelah itu, cepat-cepat ia keluar kamar. Mendadak saja,
selagi ia berada di luar sesosok bayangan berkelebat menubruk padanya. Belum
lagi ia sadar apakah yang harus dilakukan, kepalanya kena gempur, la
terpelanting ke belakang dan tengkuknya menghantam tiang dinding. Seketika itu
juga, matanya berkunang-kunang. Napasnya sesak dan tubuhnya sekonyong-konyong
menjadi lemas tak berdaya. Ia jatuh pingsan...
Bayangan
yang memukulnya tidak memperhatikannya. Dengan menggenggam perge-langan tangan
seorang perempuan, bayangan itu terus melesat pergi. Ternyata bayangan itu—
Mustapa yang sedang melarikan diri dari kurungan. Ia berhasil membohongi
penjaga. Dengan dalih minta dibebaskan dari kurungan karena hendak berbicara
dengan Sanjaya, ia dapat menghampiri penjaga dan memukulnya sampai pingsan.
Kemudian dengan membimbing Nuraini, ia segera melarikan diri. Mendadak saja
selagi melintasi gedung tempat penyimpan obat-obatan terpapaslah dia dengan
Sangaji. Mengira, kalau Sangaji adalah pula salah seorang penjaga yang sedang
beronda, tanpa berpikir lagi lantas saja mengayunkan bogem mentahnya. Sangaji
yang sama sekali tidak menduga buruk, kena dipukulnya rebah. Setelah itu ia
melompat dinding kadipaten dan lenyap di tengah malam.
Dan
pada saat itu, si pemuda berpakaian putih telah pulih kesadarannya. Sekeliling
dirinya gelap pekat. Mengira, bahwa si maling sudah kabur segera ia menguatkan
diri. Lantas larilah dia memasuki gedung pertemuan menghadap Yuyu Rumpung.
Titisari
terkejut mendengar kata-kata aduan si pemuda berpakaian putih. Tanpa berpikir
panjang lagi, segera ia menjejak atap gedung dan meloncat turun ke tanah.
Gerak-geriknya gesit dan cekatan. Meskipun ia melompat dari tempat tinggi,
namun tidak menimbulkan suara. Tetapi mereka yang berada di dalam gedung
pertemuan bukan orang-orang sem-barangan. Begitu ia nampak berkelebat, Cocak Hijau
tiba-tiba saja telah menghadang di depannya. Segera menegor, “Siapa kau?”
Titisari
sadar akan bahaya. Ia tahu, di dalam kabupaten terdapat orang-orang sakti.
Orang yang menghadang padanya bukan orang-orang sakti. Orang yang menghadang
padanya bukan pula orang picisan. Karena itu ia harus mencari akal untuk dapat
membebaskan diri. Sekonyong-konyong ia tersenyum, kemudian tertawa manis.
“Sudah
larut malam begini, masih saja pada berbicara. Apa yang mereka bicarakan?”
sahutnya berlagak menjadi salah seorang anggota keluarga tetamu undangan. Akal
ini ternyata mempan. Cocak Hijau berbimbang-bimbang. Tanpa berkedip ia
merenungi si gadis. Kepalanya sibuk menebak-nebak dan menduga-duga. Lama ia
berdiri terhenyak. Kemudian berkata agak lunak.
“Mengapa
kau berada di sini?”
“Apakah
ada yang aneh? Fajar hari bukankah hampir tiba? Kudengar tadi kentung subuh
bertalu di kejauhan.”
Karena
perhatiannya tadi terpusat pada tutur-kata Pangeran Bumi Gede, tak dapat Cocak
Hijau mengingat-ingat apakah kentung subuh benar-benar sudah berlalu. Tanpa
disadari ia menengadah melihat udara, seakan-akan lagi bertanya kepada alam
apakah benar-benar waktu fajar hampir tiba.
Di
ambang pintu orang-orang berkumpul berjubel mengawasi mereka berdua. Titisari
mempergunakan kesempatan itu, untuk berlalu. Tenang-tenang ia berputar
mengung-kurkan para tetamu dan berjalan dengan langkah pelahan.
“Paduka
Pangeran Bumi Gede!” Cocak Hijau berteriak, “Apakah Nona ini termasuk salah
seorang anggota keluarga paduka?”
“Bukan,”
jawab Pangeran Bumi Gede sambil menggeleng kepala.
“Hm,”
geram Cocak Hijau. Kecurigaannya timbul sampai ke benak. Masih dia mencoba
mencari keyakinan dengan melontarkan pertanyaan nyaring kepada tetamu-tetamu
undangan lainnya. “Apakah Tuan-tuan yang “ hadir pernah mengenal Nona itu?”
Serentak
mereka menjawab, “Sama sekali tak kenal.” “Jadi bukan sanak keluarga Tuan-tuan
sekalian?”
Mereka
tidak menjawab. Sikap ini sudah cukup jelas bagi Cocak Hijau untuk menentukan
sikap. Maka dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya lantas saja melesat terbang.
Tahu-tahu ia sudah berada di depan Titisari.
'Tunggu
Nona. Hari belum lagi terang tanah. Mari kita bersama-sama berjalan menghirup
udara sejuk...,” kata Cocak Hijau. Terus ia mengulur tangan kanannya hendak
menangkap pergelangan. Tiba-tiba—serba luar biasa— berubah gerakannya. Kini
dengan kurangajar tangannya hendak menerkam dada Titisari.
Titisari
kaget bukan main. Sebenarnya, ia bermaksud berpura-pura tidak mengerti ilmu
tata-berkelahi. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Cocak Hijau bukan anak
kemarin sore. Dengan sekali pandang, tahulah dia kalau Titisari mengerti ilmu
tata-berkelahi. Dengan sengaja pula, dia hendak membongkar kedok si gadis
dengan satu kali gerak saja. Yakni hendak menerkam buah dada. Maka mau tak mau
Titisari terpaksa membuka kedoknya.
Cepat
luar biasa, ia menyentil pergelangan tangan Cocak Hijau. Inilah ilmu khas milik
si gadis yang mengejutkan Cocak Hijau pula. Pergelangan tangan jago tua itu,
ternyata tergetar oleh suatu tenaga dorong yang sangat tajam.
Gugup
Cocak Hijau menarik tangannya. Dengan begitu loloslah dia dari bahaya. Sebab
waktu itu, Titisari akan melancarkan suatu serangan aneh lagi. Diam-diam ia
heran menyaksikan ilmu tata-berkelahi si gadis. Mereka yang menyaksikan gerakan
kilat itu, terkejut dan heran pula.
“Eh,
Nona! Sebenarnya kau, siapa? Siapa pula gurumu?” Cocak Hijau mencoba mencari
keterangan.
Titisari
berlagak bodoh. Ia seperti tak merasa melakukan pembelaan diri. Sambil tertawa
manis ia menyahut, “Kita menghirup udara sejuk di mana? Di tepi laut atau di
pinggir kota?”
Kembali
Cocak Hijau terhenyak heran. Ia mengira, si gadis tak mendengar kata-katanya.
Tapi masa, kata-kata yang diucapkan keras pula tak mampu menembus pende-ngaran
si gadis. Maka ia mengulang.
“Sebenarnya
kau siapa? Siapa pula gurumu? Kaudengar tidak pertanyaanku?”
Tapi
Titisari tetap tertawa manis. Sama sekali tidak ada kesan, ia telah melakukan
sesuatu yang mengejutkan jago-jago tua yang berkumpul di ruang kadipaten.
Manyarsewu
yang berangasan tak sabar lagi. Lantas saja ia ikut menghampiri sambil
mendamprat, “Eh Nona! Masa Nona secantik kamu, bertelinga tebal? Kaudengar
tidak, kata-kata rekanku tadi?”
“O...
apa dia sedang berbicara?” sahut Titisari seraya menaikkan tertawanya.
Manyarsewu
menatap wajah si gadis. Mendadak saja ia seperti teringat sesuatu. Dengan
pandang heran, ia menoleh kepada Cocak Hijau sambil berkata nyaring, “Cocak
Hijau! Apa matamu yang sudah tua, kini mulai lamur?”
Mendengar
tegoran Manyarsewu, Cocak Hijau tercengang. Berseru minta penjelasan. “Apakah
maksudmu?”
“Ah,
benar-benar kaulamur,” sahut Manyarsewu sambil tertawa berkakakkan. “Bukankah
dia yang menyamar tadi pagi menjadi seorang pemuda berpakaian kumal?”
Sekali
lagi Cocak Hijau tercengang-cengang. Pandangannya tak berkedip meng-amat-amati
si gadis mulai dari ujung rambut sampai ke mata kaki, kemudian dari mata kaki
ke ujung rambut. Cepat sekali dia mengenal perawakan tubuh Titisari. Lantas
saja, hawa amarahnya meluap. Sambil menuding Yuyu Rumpung, pandang matanya
menentang lebar kepada Titisari.
“Kranjingan!
Yuyu Rumpung, dialah manusianya yang mempermain-mainkan bocah asuhanmu tadi
pagi. Kauingat? Nah, biarlah kutolong membasuh coreng mukamu!” bentaknya.
Mendengar
seruan Cocak Hijau, mana bisa Yuyu Rumpung menerima budi orang. Benar-benar ia
terhina terang-terangan di depan Pangeran Bumi Gede. Segera ia berdiri tegak
dan hendak menyerbu ke halaman. Tetapi tubuhnya masih bergemetaran, sehingga
geraknya Jadi sempoyongan. Insyaf akan keadaan tubuhnya yang belum sehat
kembali dan khawatir pula luka dalamnya akan membayakan nyawanya, maka mau tak
mau ia menahan diri. Meskipun demikian, nampak sekali betapa ia gusar hati,
sampai mukanya pucat lesi.
Dalam
pada itu, Cocak Hijau sudah memperoleh pegangan. Ia tak ragu-ragu lagi. Dengan mementang
kedua tangannya, ia menubruk. Titisari cukup berwaspada. Ia tahu, dirinya
berada di dalam sarang harimau. Begitu melihat serangan Cocak Hijau, terpaksa
menjejak kaki membebaskan diri. Tetapi di luar dugaan, Manyarsewu ikut pula
menerjang. Rekan Cocak Hijau itu tak rela membiarkan si gadis bisa bergerak
leluasa. Teringat akan kemampuannya mempermain-mainkan anakanak sang Dewaresi
begitu mudah tadi pagi, ia mengkhawatirkan bisa pula mempermain-mainkan Cocak
Hijau. Kalau sampai terjadi begitu, bukankah akan runtuh pamor rekannya. Maka
ia segera merintangi dan sekali bergerak tangannya sudah menyambar pergelangan
tangan sambil membentak. “Ha iblis! Kau mau ke mana?”
Titisari
kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau Manyarsewu bisa bergerak
sehebat itu. Tahu-tahu pergelangan tangannya telah kena terkam. Namun ia tak
kekurangan akal. Cepat sekali otaknya yang cerdik bekerja secara wajar. Dengan
dua jari tangan kanan ia menotok gundu mata Manyarsewu.
Heran!
Hampir-hampir luput dari pengamatan bagaimana Manyarsewu menangkis, mendadak
saja pergelangan tangan kanan Titisari telah tertangkap erat.
“Ah
begini macam,” teriak Titisari kaget.
“Begini
macam bagaimana?” Manyarsewu membalas bertanya.
“Macam
kampungan.”
“Kampungan?
Apa yang kampungan?” Manyarsewu heran.
“Kamu
berdua sudah begini tua bangka. Mengapa main keroyokan pada seorang gadis?
Sudah
pantas aku menjadi cucumu, tapi heran kau masih bisa berlaku kurang ajar.
Apakah ini perlakuan seorang ksatria, menangkap pergelangan tangan seorang
gadis di depan umum? Apakah ini bukan kampungan?”
Manyarsewu
benar-benar terperanjat. Memang, umurnya sudah bukan muda lagi. Kecuali itu,
dia seorang sakti yang terkenal di seluruh daerah Jawa Timur. Kalau untuk
menangkap seorang gadis sebelia Titisari dengan cara mengkerubut, rasanya
memang kurang jantan. Mau tak mau ia melepaskan pergelangan tangan si gadis
sambil membentak seram,
“Masuk
ke dalam...!”
Tak
dapat Titisari membantah perintah Manyarsewu. Terpaksa ia menurut dan masuk ke
ruang kadipaten dengan langkah perlahan.
“Manyarsewu!”
kata Cocak Hijau. “Jangan berkecil hati. Aku salah seorang sahabatmu yang lahir
di Makasar. Perkara sopan-santun tata pergaulan di Jawa, apa peduliku? Biar
nanti kucacati tubuhnya. Dia mau apa?”
Setelah
berkata demikian, Cocak Hijau terus saja melangkah menghampiri Titisari hendak
membuktikan ucapannya. Tetapi Manyarsewu menyanggah.
“Jangan
terburu-nafsu! Tanyakan dahulu, siapakah guru dan ayah-bundanya! Lantas siapa
pula yang memberi perintah dia sampai berani mengintip pembicaraan kita.”
Cocak
Hijau tak mendengarkan saran dan sanggahan Manyarsewu. Hatinya masih
mendongkol, karena tadi ia kena dipermain-mainkan Titisari. Dua kali
berturut-turut serangannya kena dielakkan dengan mudah. Pikirnya, kalau dia
sampai bisa lari, mana dapat aku mengejarnya. Gerak-geriknya benar-benar
gesit....
Lantas saja tangannya menyambar hendak menggaplok.
Tetapi Titisari mengelak cepat.
Dengan
begitu, tiga kali berturut-turut ia selalu membentur udara kosong. “Hm—kau mau
mengadu kepandaian?” tantang Titisari setengah mengejek. “Kalau mau adu
kepandaian, bilang dong!”
“Apa
kau bilang? Kau menantang aku?” bentak Cocak Hijau.
Tapi
Titisari tak mengindahkan. Pandangnya melayang kepada orang-orang, kemudian
berkata seperti mengadu.
'Tuan-tuan,
aku tak pernah bermusuhan dengan dia. Jika dia bersikap garang, bagaimana nanti
jadinya kalau tanganku sampai kena melukai dia?”
Bukan
main gusar hati Cocak Hijau. Cepat ia melangkah maju sambil memiringkan kepala
seolah-olah tak percaya pada pendengarannya sendiri.
“Kau
bilang apa? Kau bilang, aku akan bisa kaulukai?” dampratnya.
Kembali
Titisari bersikap dingin seakan-akan tak mengambil pusing. Ia berkata lagi
kepada mereka yang hadir.
“Ah—jika
ia masih saja bersikap galak, terpaksa aku mengadu kepandaian di depan
Tuan-tuan sekalian.”
“Setan!
Iblis!” maki Cocak Hijau. “Benar-benar kamu menantangku?”
Titisari
tak mempedulikan. Tadi ia telah mengenal gerakan-gerakan tubuh Cocak Hijau. Ia
melihat orang itu kurang gesit. Karena itu ia mau mengadu kecerdikan dan
mempergunakan kelemahan lawan untuk dapat membebaskan diri.
“Tuan-tuan
menjadi saksi, bagaimana dia memaksaku untuk mengadu kepandaian. Karena
Tuan-tuan sudah menjadi saksi, maka sekali lagi aku minta bantuan Tuan-tuan
agar menjadi saksi pula dalam tata mengadu kepandaian ini. Bila nanti aku salah
tangan sehingga melukainya, bukan aku bermaksud jahat terhadapnya. Tetapi
semata-mata karena terdesak belaka,” katanya dingin.
Cocak
Hijau adalah seorang pendekar dari Gresik yang dulu berasal dari Sulawesi.
Selama hidupnya, dia berkelana mengadu kepandaian dan selalu menang. Namanya
tenar dan disegani orang di seluruh Jawa Timur. Mendadak saja, pada hari itu ia
kena direndahkan demikian rupa oleh si gadis di depan tetamu-tetamu undangan.
Sudah barang tentu, darahnya meluap dan dadanya bergetar seperti mau meledak.
Mukanya merah padam dan sebentar berubah menjadi pucat lesi, karena menahan
deru amarah yang meluap-luap.
Sebaliknya
mata Titisari nampak berkilat-kilat. Sama sekali ia tak gentar menghadapi Cocak
Hijau jago Jawa Timur yang sedang meluap, amarahnya. Sesungguhnya, itulah yang
diharapkan. Jika seorang terlalu mengumbar amarahnya, ia akan kehilangan
pengamatan diri. Tak jarang seorang jago jatuh di bawah perlawanan seorang
musuh lemah yang bisa menggunakan kecerdikan.
“Tuan-tuan!
Aku mau bertanding mengadu kepandaian secara ksatria. Kalau dia minta berkelahi
secara kampungan, sudahlah—aku menyerah kalah. Bagaimana menurut pendapat
Tuan-tuan? Apakah dia kira-kira mau menerima perjanjian ini?”
“Hai!
Hai! Hai?” damprat Cocak Hijau tergegap-gegap. “Kamu bicara melantur tak
keruan! Kauanggap apa aku ini? Perlihatkan kepandaianmu. Kalau aku seorang tua
tak dapat membuatmu puas, biar kutumbukkan kepalaku ini ke dinding.”
“Bagus!”
sahut Titisari gembira. Kemudian tata-lagu nada suaranya beralih. “Begini,
kalau berkelahi secara kampungan, setiap orang bisa berbuat begitu. Karena
pokoknya asal menang. Tapi kemenangan begitu adalah murah. Sebaliknya aku
mengharapkan kemenangan sejati.”
“Cepat
bilang!” Cocak Hijau tak sabar lagi.
'Tenang
Tuan, aku takkan minta padamu agar mengikat kedua kaki dan tanganmu,” sahut
Titisari cepat. “Aku hanya minta kamu membawa minuman keras. Lantas kejarlah
aku! Tangkaplah aku! Seranglah aku semaumu! Kalau minuman itu sampai tumpah,
kau kalah. Nah, cepat benturkan kepalamu ke dinding!”
Cocak
Hijau kena terbakar hatinya. Maklumlah, dia bukan orang sembarangan. Kini kena
direndahkan demikian rupa. Demi menjaga kehormatan diri, maka tanpa pikir lagi
ia menyambar dua cawan dan diisi minuman keras penuh-penuh.
“Bagus!”
puji Titisari, 'Itu namanya laki-laki sejati. Sekarang—marilah kita adu
kepandaian...”
Benar-benar
Titisari seorang gadis cerdik. Dengan mengadu ketajaman lidah, akhirnya ia bisa
memaksa lawan untuk tunduk pada peraturan-peraturan tata-berkelahi yang
dikehendaki. Dengan demikian, kegarangan dan kebebasan gerak Cocak Hijau bisa
dikurangi. Mereka yang hadir adalah golongan jago-jago dan pendekar-pendekar
sakti. Melihat usia si gadis masih muda belia dan Cocak Hijau yang sudah
terkenal sebagai seorang pendekar sakti, memang sudah sewajarnya apa bila si
jago tua memberi keleluasaan padanya. Tetapi kini mereka terkejut menyaksikan
kegesitan si gadis di luar dugaan orang.
Waktu
itu Cocak Hijau mulai menyerang. Ia menggunakan kedua kakinya berganti-ganti
jika menyerang. Gerak-geriknya terbatas dan nampak sekali bagaimana kedua cawan
yang tergenggam dalam tangannya sangat mengganggu. Langkahnya panjang dan
bertenaga. Sebaliknya gerak-gerik Titisari ringan tak bersuara. Kakinya lincah
dan cekatan. Apa yang mengejutkan mereka ialah cara dia bergerak menghindari
serangan lawan. Tubuhnya tetap tegak. Kedua kakinya pun berdiri kencang. Tetapi
dengan menekan-nekankan ibu jari kaki, ia melesat gesit seperti seekor ikan mengibaskan
ekornya. Inilah suatu gerakan indah yang sukar dipelajari orang. Bila guru si
gadis bukan orang sakti luar biasa, pastilah takkan bisa mewariskan kepandaian
demikian hebat.
Makin
lama serangan Cocak Hijau makin mengguntur. Kedua kakinya bergerak cepat dan
menerbitkan kesiur angin. Meskipun Titisari bebas mempergunakan kaki dan
tangannya, ia tak dapat bergerak lebih banyak daripada menangkis dan
menghindari. Bahkan daerah geraknya kian menjadi sempit.
Titisari
tak gugup. Kini ia melesat mencari ruang gerak lebih lebar sambil melepaskan
serangan-serangan jari. Kadang-kadang ia nampak berusaha membentur siku lawan,
agar minuman keras yang berada dalam cawan kena ditumpahkan.
“Bocah
ini benar-enar hebat!” pikir Manyarsewu di luar gelanggang. “Sebenarnya siapa
gurunya? Melatih tata-gerak segesit itu, tidak gampang... Tetapi, tak usah lama
dia bakal kena dijatuhkan Cocak Hijau...”
Yuyu
Rumpung yang menyaksikan perkelahian itu berpikir lain. la terganggu, karena
luka dalamnya. Mengingat luka dalamnya, sekaligus teringatlah dia kepada
Panembahan Tirtomoyo yang kena dilukai pula. Itulah sebabnya dengan cepat dia
bisa mendugaduga mengapa si gadis datang memasuki kadipaten.
“Ah!
Pastilah dia datang bersama si pemuda tadi pagi mencuri obat untuk si tua...”
Teringat
akan laporan muridnya perkara si pencuri obat, ia jadi gelisah sendiri. Ingin
ia keluar dari ruang kadipaten dengan diam-diam, tetapi kesempatan yang bagus
belum nampak. Kalau ia meninggalkan gelanggang pertarungan sebelum Cocak Hijau
menjatuhkan si gadis, bukankah berarti menghina kawan serikat? Maka mau tak mau
ia menahan diri sebisa-bisanya...
Sangaji
kala itu telah sadar kembali. Yang mula-mula diingatnya ialah ramuan
obat-obatan yang baru diambilnya. Ia menggapai sakunya. Bungkus ramuan obat masih
utuh. Hatinya jadi lega. Sekarang ia mencoba mengingat-ingat siapa tadi yang
membentur dirinya begitu tiba-tiba. Bayangkan tadi begitu cepat geraknya. Tidak
juga berniat jahat. Sekiranya berniat jahat, mana bisa dia dibiarkan hidup.
Bukankah tadi dia jatuh pingsan kena benturannya. Mendapat pertimbangan itu,
Sangaji lantas sibuk menduga-duga. Pikirnya, kalau begitu, pasti dia bukan
termasuk golongan orang-orang yang berkumpul di kadipaten. Lantas siapa dia?”
Mendadak
teringatlah dia, kalau bayangan tadi seperti membimbing seorang perempuan. Mau
ia menduga,—itulah Mustapa dan Nuraini. Baikiah kutengok dia. Sekiranya
benar-benar dia, syukurlah. Tetapi kalau bukan, bagaimana aku akan membiarkan
mereka terkurung dan terhina, pikirnya.
Memikir
demikian lantas saja ia lari mengarah ke gedung tahanan. Ternyata gedung itu
dalam keadaan gelap gulita. CIntung ia pernah memasuki gedung tersebut. Dengan
demikian— sekalipun meraba-raba—sampailah dia ke tempat di mana dia dengan
Titisari mengintip permainan Sanjaya sebentar tadi.
Ruang
itu lengang hening. Sangaji berjongkok sambil membelalakkan mata. Ia tak
melihat sesuatu, sehingga timbullah kecurigaannya, mau ia menduga, kalau ia
salah jalan. Maka cepat ia berdiri hendak berlalu. Sekonyong-konyong ia
mendengar rintih orang. “Siapa? Paman Mustapa?” bisiknya. Orang yang merintih
tidak mendengarkan tegur-sapanya. Rintihnya kian naik dan sebentar kemudian
berubah menjadi nada erangan. Khawatir, kalau Sanjaya mungkin menganiaya
Mustapa, maka ia menghampiri dengan hati-hati. Sewaktu berada selangkah di
depan orang itu, mendadak terlihatlah sinar terang menembus gelap gedung.
Terkejut ia mundur dan memipit dinding sejadi-jadinya.
Sebentar
saja, terdengarlah derap langkah mendekati pintu gedung. Kemudian masukiah tiga
orang mengiringkan seorang perempuan setengah umur. Dialah ibu Sanjaya.
Sangaji
heran melihat kedatangan ibu Sanjaya. “Mau apa dia menjenguk kamar tahanan
Mustapa?” la mencoba bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi ia benar-benar tak
dapat menebak maksud ibu Sanjaya.
“Apakah
mereka dikurung dalam gedung ini?” terdengar Ibu Sanjaya minta keterangan pada
ketiga pengiringnya.
“Ya,”
jawab ketiga pengiringnya hampir berbareng dengan takzim.
“Sekarang
bebaskan mereka!” perintah Ibu Sanjaya.
Ketiga
opsir itu terkejut. Mereka saling pandang. Nampak sekali mereka
berbimbang-bimbang.
“Kalian
takut pada nDoromas Sanjaya? Jika Sanjaya bertanya mengapa mereka kalian
bebaskan, bilang kalau akulah yang memberi perintah,” kata Ibu Sanjaya dengan
suara tetap.
Mendengar
bunyi ucapan Ibu Sanjaya, mereka bertiga tiada alasan lagi untuk beragu. Segera
mereka masuk, mendadak nampaklah tiga orang penjaga menggeletak di lantai. Yang
dua tidak berkutik. Yang seorang lagi mengerang-erang. Nampak sekali mukanya
babak belur matang biru.
Ibu
Sanjaya agaknya melihat nasib ketiga penjaga itu. Segera ia menghampiri sambil
meraba-raba urat nadi dan pernapasannya.
“Mereka
kena pukul dan roboh tak sadarkan diri,” katanya terharu. Kemudian menghampiri
yang mengerang sambil bertanya, “Mana mereka yang dikurung?”
Dua
pengiring ibu Sanjaya lantas saja memeriksa kamar tahanan. Ternyata Mustapa dan
Nuraini tidak ada lagi. Segera mereka mendepak penjaga yang mengerang-erang
sambil membentak, “Bangun! Kaudengar pertanyaan Raden Ayu?”
Penjaga
yang mengerang kesakitan itu mendadak saja jadi sadar kena depakan mereka.
Matanya terbelalak. Begitu pandangnya melihat mereka, berusahalah dia
menguatkan diri. Tetapi nampaknya ia kesakitan benar-benar, sehingga usahanya
gagal. Maka dia hanya mencoba berbicara gagap, “Lari...! Lari...!”
Ketiga
pengiring ibu Sanjaya rupanya ingin mengambil hati junjungannya. Mereka
bergerak mau mendepak si penjaga lagi agar mendapat keterangan lebih jelas.
Tetapi Ibu Sanjaya cepat-cepat menyanggah, “Dia sudah kesakitan. Mengapa kalian
tak mencoba menolong?”
Halus
teguran Ibu Sanjaya, tetapi benar-benar mengenai telak perbendaharaan hati,
sehingga ketiga pengiringnya buru-buru memperbaiki sikap. Sekarang mereka
berebutan menolong si penjaga, meskipun hatinya enggan luar biasa.
“Bawalah
mereka ke kamarku,” perintah Ibu Sanjaya. Kemudian ia meninggalkan gedung
dengan kepala menunduk. Hatinya penuh sesal menyaksikan peristiwa demikian.
Tetapi ia tak berkata sepatah kata pun.
Perlahan-lahan
Sangaji keluar dari dinding persembunyiannya, la bertambah kagum kepada
kemuliaan ibu Sanjaya. Karena rasa kagum, ia membayangkan bentuk tubuh dan
wajahnya. Mendadak saja, teringatlah dia kepada ibunya. Rasa rindu setahunya
membakar dirinya. Sudah berapa bulan dia meninggalkan Jakarta! Ibu! Ibu pun
berhati mulia seperti ibu Sanjaya, bisiknya pada diri sendiri.
Sebentar
saja ia telah berada di pekarangan. Karena bulan bersinar kian terang, segera
ia memipit dinding agar sedikit terlindung. Ia bermaksud hendak mencari
Titisari. Ingin membujuk si gadis agar tidak mengintip pembicaraan orang
berlarut-larut. Apa perlu? Bukankah ramuan obat telah diperolehnya? Menolong
nyawa Panembahan Tirtomoyo adalah yang terpenting.
Baru
saja ia tiba di belakang gedung ibu Sanjaya, sekonyong-konyong terasalah kesiur
angin menyambar padanya. Secepat kilat ia mengelakkan diri. Kini ia benar-benar
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Maka begitu melihat bayangan berkelebat
menyerang padanya, segera dia memapaki dengan jurus Jaga Saradenta. Tangan
bayangan itu kena disambarnya.
“Auh!”
rintih bayangan itu, lantas saja roboh di atas tanah.
Sangaji
terkesiap. Sama sekali tak diduganya, bahwa ia bisa merobohkan orang begitu
gampang. Tatkala ia menajamkan mata, hatinya berdegupan. Ternyata bayangan itu
adalah Mustapa. Tadi siang, kedua pergelangan tangannya kena dipatahkan Sanjaya
dan belum pulih seperti sediakala. Itulah sebabnya, begitu kena bentrok lantas
saja kehilangan daya tahan.
“Paman
Mustapa!” kata Sangaji setengah memekik.
“Siapa
kau?”
“Aku
Sangaji. Akulah pemuda yang melawan si pemuda ningrat tadi siang...”
Mustapa
berdiri tertegun. Tadi dia sudah berhasil melarikan diri bersama Nuraini.
Begitu tiba di luar pekarangan, segera ia menghantarkan puterinya ke penginapan
di mana mereka berdua menginap. Setelah itu ia balik kembali ke kadipaten
dengan maksud ingin mengintip ibu si pemuda ningrat. Semenjak ia bertemu
pandang dengan ibu Sanjaya, hatinya gelisah bukan main. la menduga sesuatu dan
hatinya takkan lega sebelum mendapat keyakinan.
Tiba
di luar tembok kadipaten, cepat ia meloncati. Mendadak ia melihat berkelebatan
Sangaji. Karena terlalu bersikap waspada dan selalu bersiaga, ia mengira
Sangaji salah seorang penjaga. Dengan demikian, dua kali Sangaji disangkanya
sebagai seorang penjaga keamanan kadipaten. Karena itu, segera ia melontarkan
serangan sebelum kakinya menginjak tanah. Tapi kali ini, Sangaji bukan makanan
empuk baginya. Pemuda itu telah mendapat pengalaman diserang orang dengan
tiba-tiba. Secara wajar, ia kini selalu berwaspa-da dan bersiaga.
“Mengapa
kamu ada di sini?” tanya Mustapa tersekat-sekat. Terasa benar, betapa
terperanjat pula dia.
“Aku
mencari obat. Panembahan Tirtomoyo dilukai orang di kadipaten. Secara kebetulan
aku melihat Paman dikurung si pemuda ningrat di dalam gedung itu. Maka aku
bermaksud menolong Paman.”
Mustapa
jadi terharu mendengar kata-kata Sangaji yang begitu sederhana.
“Mengapa
kamu menaruh perhatian begini besar terhadapku?”
“Mengapa... Entahlah,” sahut Sangaji, “Tetapi Paman bukan orang salah...
bukan pula pesakitan. Mengapa mesti dikurung?... Paman, dengan tak sengaja aku
menyambar perge-langan tangan Paman yang terluka tadi siang. Biarlah
kubebatkan.”
Sangaji
lantas saja meraih tangan Mustapa. Dan entah mengapa, Mustapa membiarkan si
bocah berbuat sesuka hatinya.
“Anak
muda! Sebenarnya kau siapa? Siapa pula orang tuamu?”
“Aku
datang dari jauh,” jawab Sangaji. “Ayahku dulu bertempat tinggal di sebuah desa
di Jawa Tengah. Aku sendiri hidup di Jakarta dengan Ibu.”
“Siapa
nama ayahmu?” kata Mustapa seperti mendesak.
“Dia
orang berasal dari Bali. Namanya Made Tantre.”
“Siapa?
Made Tantre?” ulang Mustapa. Dan tiba-tiba tubuhnya bergemetaran. “Di mana
ayahmu dulu pernah bertempat tinggal?”
“Di
sebuah desa, Karangtinalang, namanya...”
“Oh!”
Mustapa terkejut. Mendadak saja, kepalanya mendongak ke angkasa. Kemudian
seperti berbisik kepada dirinya sendiri, terdengar ia berbicara... “Dewa
Agung... Dewa Agung... benarkah ini anakmu?”
Lantas
saja tangannya yang sebelah menerkam pergelangan tangan Sangaji erat-erat.
Sangaji jadi keheran-heranan. la merasakan tangan Mustapa bergemetaran.
Tiba-tiba Mustapa mengalirkan air mata dan menetesi lengan. Sangaji jadi
menebak-nebak, “Hai... mengapa? Apakah aku mengingatkannya kepada salah seorang
anaknya yang sudah lama meninggal dunia?” Mendapat pikiran demikian Sangaji
kemudian berkata, “Paman masuk ke halaman kadipaten lagi. Apakah ada sesuatu
yang harus Paman lakukan? Biar tenagaku masih ingusan, aku akan membantu Paman
sebisa-bisaku...”
“Ibumu
bernama Rukmini, bukan?” Mustapa seperti tak mendengarkan ucapannya. “Dia masih
berada di sampingmu atau... atau... sudah pulang ke asal?”
Kembali
Sangaji keheran-heranan, sehingga balik bertanya.
'*'Apakah
Paman kenal Ibu? Ibu kini berada di Jakarta. Jauh di barat sana...”
Hati
Mustapa tergoncang keras. Ia menerkam tangan si bocah kian erat, seolah-olah
takut terlepas.
“Paman,
biarlah aku membebat tangan Paman dulu,” kata Sangaji.
Tetapi
Mustapa tetap memegang tangan Sangaji erat-erat. Ia seperti seorang yang tengah
menemukan sesuatu yang berharga dan tidak ingin kehilangan lagi. Terdengar ia
berbisik penuh haru. “Ah bocah! Kamu telah menjadi begini besar... begini
besar...”
Ia
menarik napas panjang dan berkata lagi. “Sekarang... biar langit ambruk menimpa
tubuh, apa yang kutakuti lagi. Bocah! Melihat dan meraba dirimu lantas saja
teringatlah aku kepada almarhum ayahmu... Ya, begini ini... ya seumurmu ini,
kami berdua mulai merantau meninggalkan Pulau Bali tanah leluhurmu...”
Sangaji
jadi semakin heran.
“Paman
kenal ayahku pula?”
“Ayahmu
adalah saudara-angkatku,” Mustapa memberi keterangan. “Kami berdua telah
mengangkat saudara sewaktu hendak berangkat merantau meninggalkan kampung
halaman. Semenjak itu ayahmu dan aku selalu bersama... runtang-runtung bagaikan
saudara sekandung tunggal rahim...”
Sehabis
berkata demikian, ia lantas menangis sedih. Teringatlah dia kepada nasib buruk
yang merenggutkan. Itulah pula sebabnya, tak sanggup ia meneruskan
kata-katanya.
Tak
tahunya sendiri, Sangaji ikut mengalirkan air mata. Memang, dia seorang pemuda
yang jujur sederhana. Hatinya polos dan penuh kemanusiaan. Sama sekali tak
diketahuinya, kalua Mustapa sebenarnya adalah Wayan Suage sahabat almarhum
ayahnya.
Waktu
itu, Wayan Suage terpaksa ditinggalkan Wirapati karena hutan tiba-tiba terbakar,
la dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba tubuhnya terasa sangat panas seperti
terselomoti bara. Itu disebabkan karena tumbangnya pohon jati yang sedang
terbakar hebat dan runtuh menimpa gerumbul belukar tempat persembunyiannya.
Tetapi ia tak berdaya. Darah yang mengucur ke tanah sudah terlalu banyak.
Meskipun Wirapati hampir berhasil menyumbat lukanya dengan bebat potongan baju,
namun tenaganya sebagian besar telah hilang. Lagipula hatinya terlalu sedih
memikirkan nasib keluarga dan sahabatnya. Tiba-tiba saja, ia seperti teringat
sesuatu. Terasa kedua tangannya masih menggenggam erat-erat ketiga pusaka
keramat hadiah Ki Hajar Karang-pandan. Kemudian entah kekuatan darimana
asalnya, sekonyong-konyong pikirannya menjadi jernih. Suatu tenaga ajaib mendorong
padanya, la berontak. Direnggutkan semua dahan dan ranting yang melibat
dirinya. Dengan sekali renggut, bebaslah dia dan kemudian menggelinding
bergulingan.
Udara
kala itu panas bukan kepalang. Asap tebal menutupi seluruh penglihatan dan api
berjilatan sejadi-jadinya. la terus bergulingan tanpa tujuan dengan menggenggam
ketiga pusaka keramat. Dalam hati, ia mendengar suara pelannya sendiri. “Biar
bagaimanapun pusaka ini harus kusampaikan kepada Sanjaya dan Sangaji. Harus
kusampaikan...! Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...!”
Tiba-tiba
ia terperosok ke dalam tebing curam. Ketiga pusaka keramat yang tergenggam
erat-erat terbanting ke bawah. Dia sendiri lantas pula terbanting ke bawah.
Kepalanya terbentur batu dan tubuhnya tercebur ke dalam sungai berlumpur.
Itulah sungai berlumpur yang pernah diceburi Wirapati pula, tatkala
menghindarkan diri dari ancaman pohon tumbang yang sedang terbakar
menyala-nyala.
Entah
sudah berapa hari ia tak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, dirinya sudah
berada di atas dipan beralaskan tikar compang-camping. Seorang anak perempuan
berumur kira-kira lima tahun duduk di dekatnya seperti sedang menjaganya. Tak
lama kemudian datanglah seorang laki-laki setengah umur menghampiri. Laki-laki
itu bersikap manis dan selanjutnya merawat dirinya dengan rajin dan penuh
perhatian.
Dua
bulan lamanya ia terbaring di atas dipan. Selama itu ia telah mengetahui dari
sang penolong tentang dirinya. Ternyata kebakaran makin lama makin meluas.
Pemerintah segera mengerahkan pekerja-pekerja untuk bergotong-royong mencegah
kebakaran. Mula-mula kurang mendapat perhatian. Tetapi setelah pemerintah
menjanjikan bidang-bidang tanah hutan bekas kena bakar, lainlah halnya. Orang
lantas saja datang dari segenap penjuru hendak menyumbangkan tenaga. Dengan
demikian kebakaran bisa lekas terpadamkan.
Laki-laki
penolong Wayan Suage adalah pula termasuk salah seorang pekerja sukarela. Dia
berasal dari Garut yang datang merantau ke Jawa Tengah hendak mengadu nasib.
Sedang si bocah perempuan itu adalah anaknya bernama Nuraini.
Satu
tahun lagi ia merawat diri. la menyambung kakinya yang buntung dengan bambu.
Setelah biasa berjalan dengan kaki buntung, barulah ia merasa diri telah sembuh
benar. Kemudian ia mencoba mencari jejak isterinya dan keluarga sahabatnya. Sudah
barang tentu, usahanya sia-sia belaka. Maklumlah, kala itu Rukmini dan Sangaji
sudah berada di Jakarta. Sedang isteri dan anaknya sudah pula digondol seorang
pangeran di perbatasan timur daerah kerajaan Yogyakarta.
Ia
balik kembali ke rumah penolongnya. Ia merasa berhutang budi, maka berjanjilah
dia di dalam hati hendak membantu penghidupan sang penolong sekuasa-kuasanya.
Tatkala penolong itu mati karena sakit, ia merawat Nuraini seperti anak
kandungnya sendiri. Dan semenjak itu, ia mengajak Nuraini merantau dari daerah
ke daerah sambil berusaha memperoleh kabar anak-isteri dan keluarga sahabatnya.
Hampir
empat belas tahun dia terenggut dari bumi keluarganya dan selama merantau
usahanya untuk memperoleh titik-titik berita tentang keluarga sahabat dan
anak-isterinya, sia-sia belaka.
Sekali-sekali
dalam perantauannya, ingin ia lekas mati atau membunuh diri. Untung, dia masih
merasa bertanggung jawab terhadap kebahagiaan Nuraini puteri penolongnya. Lagi
pula, hatinya takkan lega sebelum bertemu dengan anak-isteri serta keluarga
Made Tantre. Mendadak saja—secara kebetulan—sekarang ia bertemu dengan putera
sahabatnya. Bagaimana ia tak menjadi terharu? Karena itu ia terus menangis dan
membiarkan diri menangis sepuas-puas hati.
Selama
itu, Sangaji masih saja berdiri tertegun. Tak tahu dia, apa yang harus
dilakukan selain ikut menyumbangkan air mata. Tiba-tiba teringatlah dia kepada
Titisari yang mungkin masih mengintip pembicaraan orang-orang dari atap rumah.
Teringat akan Titisari, perlahan-lahan ia mencoba menarik tangannya. Tetapi
genggaman Mustapa masih saja erat.
“Sangaji!
Kamu bernama Sangaji bukan?” bisik Mustapa tiba-tiba.
Sangaji
mengangguk kosong.
“Mulai
sekarang panggilah aku Paman Suage. Aku Wayan Suage sahabat almarhum ayahmu...”
Kembali
Sangaji mengangguk kosong. Maklumlah, ingatannya waktu itu melayang penuh-penuh
kepada Titisari.
“Kau
tadi bilang hendak mencari obat. Apakah sudah kaudapatkan?”
“Sudah,”
jawab Sangaji. “Hanya saja... aku masih perlu menengok sahabatku.” “Siapakah
sahabatmu? Sekarang di mana dia?”
Sangaji
hendak memberi keterangan. Mendadak teringatlah dia, kalau sahabatnya seorang
gadis. Apa kata Wayan Suage terhadap dirinya, jika mendengar dia sedang ber
jalan bersama dengan seorang gadis di larut malam menjelang fajar hari? Bila
Wayan Suage menduga yang bukan-bukan, agaknya tidaklah terlalu salah. Karena
itu ia tergugu.
Untung
Wayan Suage tiada mengurus lebih jauh, karena tiba-tiba pula ia teringat kepada
urusannya sendiri hendak melihat Raden Ayu Bumi Gede.
“Baiklah,”
katanya, “Tengoklah sahabatmu dulu dan jaga dirimu baik-baik.”
Sangaji
kini malahan tercengang mendengar ucapan si orang tua. Tetapi ia girang. Dengan
begitu, tak usahlah dia berkepanjangan memberi penjelasan tentang siapa
sahabatnya itu.
“Aku
nanti akan mencari Paman.”
Wayan
Suage merenungi dirinya. Lama ia berdiam diri, kemudian berkata seperti
memutuskan, “Tak usah. Belum tentu aku pulang ke penginapan.”
Sangaji
adalah seorang pemuda yang berotak sederhana. Mendengar jawaban Wayan Suage,
tak ada keinginannya untuk mengetahui sebab-musabab orang tua itu berkata
demikian, la tak mau pula menduga-duga, mengapa Wayan Suage yang sudah dapat
membebaskan diri mendadak saja balik kembali ke kadipaten.
Setelah
berpisah, Sangaji terus mengarah ke halaman induk gedung. Mendadak saja sebelum
kakinya menginjak batas halaman, ia melihat sesosok tubuh berkelebat
menghampiri dirinya.
“Siapa?”
tegur orang itu. Belum lagi Sangaji menjawab orang itu terus menyerang.
Sangaji
cepat-cepat menggerakkan tangan dan segera menangkis. Berbareng dengan gerakan
itu, ia terkejut. Di tengah cerah bulan, ia mengenali wajah Sanjaya si pangeran
muda.
Sanjaya
terbangun dari tempat tidurnya, tatkala pintu kamarnya diketuk ketiga pengiring
ibunya. Begitu menerima laporan, cepat ia mengenakan pakaian dan bergegas ke
luar halaman, la memasuki kamar ibunya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut.
Setelah mendengar berita bagaimana Mustapa dan Nuraini membebaskan diri dari
kamar tahanan bukan main terkejutnya. Hm... Ibu! Kau tak tahu urusan besar!
Hatimu terlalu lemah! Sekiranya mereka masih terkurung, Ibu akan membebaskan
juga. Tapi sekarang...? Jika guru mendengar perbuatanku ini, bagaimana aku
harus membela diri? pikirnya.
Cepat
sekali ia melesat ke halaman. Niatnya ingin mengejar larinya Mustapa dan
Nuraini. Di luar dugaan, ia bertemu dengan Sangaji. Sekarang, rasa sesalnya
ditumpahkan kepada pemuda itu. la hendak minta ganti kerugian tambah bunganya.
Maka ia menyerang dengan dahsyat dan berbahaya.
Sangaji sebaliknya
berusaha meloloskan diri.
Ingin sekali ia cepat-cepat mengisiki
Titisari.
Kemudian
kabur dari kadipaten. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan tata-menge-lakkan
diri.
Tetapi
Sanjaya terus melibasnya, sehingga ia tak bisa mendapat kesempatan. Bahkan
ruang geraknya makin lama jadi makin sempit. Mau tak mau, ia memaksa diri untuk
mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Dengan demikian, pertempuran antara kedua
pemuda itu jauh lebih seru daripada tadi siang di tengah gelanggang.
Dalam
pada itu pertandingan adu kepandaian di ruang kadipaten antara Titisari dan
Cocak
Hijau
mendekati puncak-puncak penyelesaian. Manyarsewu mengira, kalau Cocak Hijau
akan bisa merebut kemenangan dengan mudah. Sekalipun si gadis cukup lincah dan
gesit. Tak tahunya, tiba-tiba Titisari memperlihatkan tata ilmu berkelahi aneh
yang mengejutkan.
Gadis
itu mengeluarkan sapu tangan pembungkus sisa daging goreng pemberian Sangaji.
Sambil bergerak lincah mengelakkan diri, ia mengebutkan sapu tangan. Sisa
daging yang dibungkusnya rapi, terpelanting dan melesat menyambar cawan arak.
Yang lain mengarah mata lawan.
Cocak
Hijau jadi kelabakan. Ingin ia menghindari serangan Titisari yang mengarah
cawannya. Tetapi segumpal daging lainnya akan mendarat ke matanya. Sebaliknya
jika membiarkan matanya kena serang, cawannya kena gempur. Dalam kerepotannya,
ternyata ia bisa mengatasi dengan suatu kehebatan mengagumkan. Dengan sekali
gerak ia mengendapkan diri sambil menghindarkan cawan dari serangan gumpalan
daging. Tetapi kemudian terjadilah, suatu serangan lain di luar dugaan.
Sekonyong-konyong
Titisari menyerang dengan mengembangkan sapu-tangannya seolah-olah hendak
menangkap kepala.
Dengan
begitu, Cocak Hijau dihujani serangan berantai tiga macam berturut-turut. Dua
macam serangan kena dielakkan. Kini menghadapi serangan ketiga. Benar-benar
sapu tangan mengarah kepalanya. Cepat kakinya menyapu, mendadak saja serangan
sapu-ta-ngan itu ternyata suatu tipuan belaka. Titisari membiarkan
sapu-tangannya kabur tak ter-kendalikan. Berbareng dengan itu, serangannya yang
sungguh-sungguh tiba. Kedua tangannya menyodok dan menggaplok dari arah
bertentangan. Masih pula diiringi dengan tendangan mengarah dada.
Karena
serangan berantai itu dilakukan begitu cepat dan tanpa selang, Cocak Hijau
meskipun gagah akhirnya gugup juga. Tak sempat lagi ia menangkis dengan kaki,
maka terpaksa ia menangkis. Titisari tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Sengaja ia mengadu tenaga dan membenturkan tangannya. Walaupun tangannya merasa
sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena ditumpahkan. Cepat ia
melesat mundur sambil berseru,”Tolong, bersihkan lantai!”
Merah
padam muka Cocak Hijau mendengar ejekan Titisari. Lambat-laun berubah bermuram
durja karena menahan rasa malu berbareng mendongkol.
Walaupun
tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam cawan kena
ditumpahkan. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berseru.
“Kau
licin, Nona. Ayo, bertanding lagi,” ia menantang.
Titisari
tersenyum sambil mundur selangkah. “Eli—apakah seorang tua akan melanggar
janji?” “Hm,” dengus Cocak Hijau. Tapi benar-benar ia merasa mati kutu.
Sebaliknya Manyarsewu yang sudah bersahabat dengan Cocak Hijau menjadi
penasaran. Dasar wataknya berangasan, lantas saja dia berteriak nyaring.
“Bangsat cilik! Kau licin seperti belut. Siapa sebenarnya gurumu? Suruh dia
keluar!”
“Saat
ini Beliau tidak ada di sini. Tenang-tenangkan hatimu, esok biarlah kukisiki.
Tapi jangan kamu mencoba lari ngacir!” Titisari tertawa panjang.
Sekonyong-konyong ia me-ngungkurkan semua yang hadir dan hendak berlalu.
“Selamat tinggal. Sekarang, biarlah aku pergi menemui guru.”
Tetapi
mana bisa Manyarsewu diperlakukan demikian. Entah bagaimana gaya gerakannya,
tiba-tiba saja tubuhnya telah melesat dan menghadang di ambang pintu seperti
malaikat pencabut nyawa.
Titisari
terperanjat menyaksikan kehebatan Manyarsewu. Sama sekali tak diduganya, kalau
orang seumur dia bisa bergerak secepat itu. Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia
menguasai diri. Pikirannya disuruhnya bekerja lagi, sampai dahinya mengkerut.
“Mau
apa kau menghadangku?” ia minta penjelasan dengan tenang. Terang—ia berlagak
menguasai suatu ketenangan luar biasa.
“Bukankah
aku tadi ingin minta penjelasan, siapa sebenarnya gurumu? Kamu belum memberi
tahu, karena itu mana bisa berlalu seenakmu sendiri?” sahut Manyarsewu garang.
“Mengapa
kau ingin mengetahui guruku?” Titisari membalas bertanya.
“Ingin
aku tahu, mengapa gurumu mengirimkan kamu kemari mengintip kami.”
Sepasang
alis Titisari yang bagus menegak. Tak berkedip ia mengawasi Manyarsewu.
Kemudian menjawab, “Hm, jadi kau mengira aku dikirim guru ke mari?”
“Anak
kecil pun segera dapat menduga. Siapa mau percaya seorang gadis ingusan berani
keluyuran memasuki kadipaten di tengah malam begini?”
“Jika
aku tak sudi menerangkan siapa guruku, kau mau apa?” “Kau harus memberi
keterangan, Nona. Lebih cepat lebih baik.”
“Hm—apakah
kau cukup berharga untuk mendengar nama guruku?” dengus Titisari.
Manyarsewu
gusar bukan main direndahkan demikian. Sekaligus darahnya meluap, sampai
tubuhnya bergemetaran. Sebaliknya Titisari tak mempedulikan. Cepat ia
menyapukan pandangannya. Dibelakangnya berdiri para tetamu undangan yang
mengawasi dirinya dengan pandang tak berkedip. Di sebelah kanan adalah dinding
panjang dengan pintu keluar. Sedang sebelah kirinya sama sekali tidak ada pintu
atau jendela. Diam-diam ia mengeluh dalam hati, karena tidak ada harapan untuk
mencoba menerobos keluar dengan mengandalkan kegesitan tubuh.
“Nona!
Apakah aku harus memaksa dirimu agar mau mendengarkan tiap patah pertanyaan
orang tua?” ancam Manyarsewu garang.
“Kamu
bertanya dan aku tak sudi menjawab, apa salahnya? Minggirlah sedikit. Nanti aku
terpaksa pergi pula dengan paksa. Bukankah akan merusak perkenalan ini?”
“Hm,”
dengus Manyarsewu, “Kaumau pergi, pergilah asal mampu.”
“Baik.
Tapi kau jangan serang aku,” sahut Titisari cepat. Terang sekali, ia mau
menggunakan kecerdikannya.
Manyarsewu
kena dibakar hatinya. Cepat menyahut, “Hanya untuk mencegatmu— bocah cilik—apa
perlu menurunkan tangan?”
“Bagus!”
seru Titisari gembira. “Seorang laki-laki sejati takkan menarik kata-kata yang
sudah diucapkan. Kau tadi mau mengenal guruku, bukan? Sekarang lihat, siapa
yang berdiri di pojok itu.”
Manyarsewu
kaget. Cepat ia menoleh. Titisari lantas saja melesat menerobos pintu. Memang
ia sengaja hendak menggunakan saat Manyarsewu mengalihkan perhatian.
Tetapi
Manyarsewu bukanlah seorang jago murahan. Baru saja Titisari berkelebat,
tahu-tahu kepalanya sudah menghadang tepat di depan dada si gadis. Syukur
Titisari cukup berwaspada lagi lincah.
Cepat
ia mundur sehingga dadanya tak usah kena sentuh. Dan Manyarsewu melototi sambil
tersenyum lebar.
Sekarang
si gadis benar-benar merasa mati kutu. Tiga kali berturut-turut ia mencoba
mengadu kegesitan dan akal. Semuanya dapat digagalkan oleh Manyarsewu dengan
mudah.
Cocak
Hijau yang menyaksikan keripuhan si gadis, jadi tertawa berkakakkan.
“Hai
belut cilik! Kau tahu siapa Manyarsewu? Dia seorang besar berasal dari
Ponorogo. Karena itu jangan kauharap kau bisa mengakali. Hayo, cepat mengaku
kalah saja.”
Setelah
berkata demikian, ia berlalu meninggalkan ruang kadipaten. Yuyu Rumpung yang
sudah lama mencari kesempatan segera pula meninggalkan ruang pertempuran. Ia
mengarah halaman besar sebelah timur. Kemudian ia menengok kamar tempat
penyimpan obat. Mendadak saja hidungnya mencium asap ramuan obat bercampur
baur. Buru-buru ia menyalakan pelita. Alangkah kaget, ramuan obat-obatan yang
berada dalam kamar nampak berhamburan. Dan di sana menggeletak si pegawai
Pangeran Bumi Gede di atas lantai tanpa berkutik sedikit pun.
Terbangkitlah
hawa amarahnya. Pandangnya berkisar ke taman kadipaten. Dengan sekali pandang,
terlihatlah dua bayangan sedang bertempur seru. Itulah Sanjaya dan Sangaji yang
sedang berkutat mengadu kepandaian.
Dalam
hal ilmu tata-berkelahi, Sangaji kalah daripada Sanjaya. Berkali-kali ia kena
gempur. Sebentar saja ia kena diundurkan dan dihajar habis-habisan. Tetapi
Sangaji memiliki tenaga alam berkat getah pohon sakti Dewadaru. Makin ia
dipaksa mengerahkan tenaga, makin jadi segar-bugar. Itulah sebabnya, ia masih
saja bisa bertahan dengan tak kurang gesit.
Yuyu
Rumpung heran menyaksikan tenaga jasmani si pemuda. “Jelas-jelas ia kena gempur
habis-habisan, namun tenaganya masih tetap utuh. Apa dia memiliki ilmu siluman?
Ah, masa bocah sebelia itu mempunyai ilmu mantran begitu, pikirnya.
Teringat
akan ramuan obatnya yang kena dihambur-hamburkan si pemuda, lantas saja
meledaklah dendamnya. Meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, tapi saking
mendongkolnya ia tak mempedulikan akibatnya. Segera ia menjejak tanah dan tiba
di gelanggang pertarungan.
Yuyu
Rumpung adalah salah seorang penasehat sang Dewaresi dan menjadi guru-besar
anak-buah sang Dewaresi pula. Ia seorang sakti dan perkasa. Kalau tidak, masa
dia kuasa melukai Panembahan Tirtomoyo.
“Hai,
bangsat anjing!” makinya. “Siapa yang suruh kamu menghambur-hamburkan ramuan
obat-obatanku? Cepat bilang!”
Sangaji
tengah bertempur mati-matian melawan Sanjaya. Karena itu ia tak memperduli-kan
siapa yang datang. Tetapi begitu mendengar suara Yuyu Rumpung lantas saja ia
mengenal siapa dia. Teringat akan luka dalamnya Panembahan Tirtomoyo yang
sangat parah, sekaligus meluaplah darahnya. Memang ia menaruh dendam dan benci
kepada Yuyu Rumpung yang telah melukai penolongnya dengan cara curang. Lantas
saja ia melompat meninggalkan Sanjaya dan langsung menyerang si jago tua dari
Banyumas itu.
“Bagus!
Kiranya kamu si ular tua mencari gebug,” dampratnya.
Yuyu
Rumpung sudah bersedia bertempur. Maka begitu ia melihat serangan, sebat luar
biasa ia menanggapi. Tangannya berkelebat hendak membekuk lengan. Di luar
dugaan, tenaga alam si bocah yang benar-benar sakti, bisa membebaskan diri.
Bahkan terus menjulur hendak mengemplang kepala. Cepat-cepat ia mengelakkan
kepala sambil mengibaskan tangan.
Jago
tua dari Banyumas ini meskipun luka dalamnya belum sembuh benar, kepandaiannya
berlipat sekian kali dari pada Sangaji. Sudah barang tentu bisa berbuat
sekehendak hatinya pada si bocah yang kalah pandai, kalah pengalaman, kalah
cerdik dan kalah dalam segalanya, la membiarkan si bocah berbesar hati untuk
sementara. Tetapi begitu serangan si bocah tiba untuk yang kedua kalinya, ia
berpura-pura gagal menangkis. Tiba-tiba kakinya menggaet dan ditarik sekuat
tenaga. Keruan saja Sangaji roboh sekaligus. Kepalanya terbentur tanah. Dan
sebelum bisa berkutik, tahu-tahu punggungnya telah kena tindih.
Titisari
yang menghadapi Manyarsewu tengah keripuhan pula. Sekian lamanya ia mengadu
kegesitan, namun usahanya senantiasa gagal. Sebaliknya Manjarsewu kalau
menghendaki dengan mudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Namun di
ha-dapan Pangeran Bumi Gede, Jago Ponorogo itu ingin memperlihatkan sedikit
kepandaian-nya. Ia Sengaja mempermain-mainkan si gadis.
Titisari
akhirnya jadi putus asa. Namun ia masih mencoba. “Manyarsewu!” katanya lembut,
“Asal aku dapat menerobos keluar, kau-takkan mengganggu diriku bukan?”
“Boleh
coba.”
“Berjanjilah!”
“Asal
kau dapat menerobos bebas, aku akan menyerah kalah,” Manyarsewu berjanji.
Titisari
menarik napas panjang seakan-akan sedang bersedih. :
“Sayang...
sungguh sayang?”
“Apa
yang kausayangkan?” Manyarsewu heran.
“Ayahku
hanya mengajari aku jurus-jurus menyerang memasuki goa. Coba aku diajari
jurus-jurus menyerang keluar, pasti kamu tak berdaya seperti kelinci tengkurap
dalam gua harimau.”
“Eh...
kamu terlalu berbangga kepada kepandaian ayahmu. Jangan kausangka aku berada di
bawah ayahmu. Kau bilang, ajaran jurus ayahmu bakal bisa menerobos kepunganku?”
“Ya,
mengapa tidak? Jurus menerjang gua itu akan tepat sekali buat merobohkanmu.
Meskipun kuakui gerak-gerikmu gesit, tetapi jika dibandingkan dengan keahlian
ayahku takkan nempil.”
Manyarsewu
beradat berangasan. Begitu ia mendengar kata-kata merendahkan dirinya,
sekaligus meluapkan kegusarannya, la percaya pada kemampuan diri, mana bisa
namanya ditaruh di bawah nama seseorang. Keruan saja ia membentak garang, “Hm—
tutup mulutmu! Kau bilang ayahmu sudah mengajarimu ilmu menerjang masuk gua?
Bagus! Nah, kau berada di luar pintu. Jika kamu bisa menerobos masuk, kamu bisa
membakar kumis dan jengkolku.”
Orang-orang
yang ikut mendengar percakapan itu, diam-diam ikut menebak. Ilmu menyerang
memasuki gua dan ilmu menyerang keluar gua, apa bedanya. Bukankah setali tiga
uang? Tapi tadi mereka melihat si gadis bisa memperlihatkan ilmu tata-berkelahi
yang aneh-aneh. Kini mereka pun percaya, si gadis memang benar-benar memiliki
ilmu aneh yang khas. Itulah sebabnya, mereka jadi menaruh perhatian.
Manyarsewu
kemudian menggeser tempat. Ia sekarang berada di ruang kadipaten, sedang
Titisari lantas saja berada di luar. “Manyarsewu!” kata Titisari nyaring. “Kamu
seorang tua benar-benar tolol. Mengapa tak takut bakal jatuh pamormu,
menghadapi seranganku kali ini.”
“Jangan
perang mulut. Biarpun kau memiliki ilmu aneh-aneh, apa yang kutakuti? Hayo
cepat serang!” tantang Manyarsewu penasaran.
“Kau
minta kuserang? Baik, tapi tadi kau berjanji takkan mengusik diriku, apa bila
aku bisa membebaskan diri.”
“Boleh
coba, tapi jangan melamun dan mimpi dulu. Hayo mulai!” teriak Manyarsewu.
“Bagus!
Awas!” ancam Titisari.
Si
gadis lantas saja berputaran seakan-akan mau melancarkan serangan dahsyat.
Manyarsewu yang mengira si gadis bakal mengeluarkan serangan mendadak yang
aneh, benar-benar memusatkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba saja di luar
dugaan, si gadis bukannya menyerang. Tapi lantas saja melesat pergi. Maklumlah,
dia sudah berada di pintu apa perlu menyusahkan diri untuk menerobos ke dalam.
Bukankah maksudnya mau membebaskan diri dari pencegatan Manyarsewu? Karuan saja
Manyarsewu mendongkol sekali sampai ia melongo.
“Selamat
tinggal,” seru si gadis girang.
Manyarsewu
tak dapat berkutik. Ia kalah janji, takkan mengusik si gadis lagi jika bisa
membebaskan diri dari pengawasannya. Tak peduli si gadis menggunakan akal
bulus, tapi ia benar-benar bisa terbebas.
Sang
Dewaresi yang hadir di situ tak senang menyaksikan tata berkelahi si gadis yang
menggunakan akal bulus. Ia seorang yang berpengaruh di Banyumas. Sebagai
seseorang yang berpengaruh, biasa ia menyaksikan undangan untuk menyaksikan
suatu pertandingan pilihan yang pantas disuguhkan padanya. Itu pun
kadang-kadang masih dikajinya pula. Maka itu, mana bisa kini ia disuguhi
permainan macam begitu. Kedudukan dan kehormatan dirinya tersinggung sekaligus.
Itulah sebabnya, lantas saja ia tampil ke muka mengulur tangan:
Dengan
meraup segenggam kacang goreng, ia menghujani Titisari dengan sentilannya.
Segenggam kacang goreng itu lantas saja terbang mengaung-ngaung memburu si
gadis. -
Waktu
itu Titisari telah merasa senang. Ia sudah pula mengira, bisa berlalu dengan
bebas.
Mendadak
ia mendengar suara aungan. Cepat ia menoleh. Tahu-tahu barisan kacang telah
menyerang kepala dan kakinya. Cepat ia mengendapkan diri berbareng meloncat
tinggi, la heran dan kaget. Justru pada saat ia heran dan kaget, barisan kacang
goreng datang menyerang bertubi-tubi bagaikan rombongan lebah.
Barisan
kacang goreng yang ada menyambar lewat di depannya, tapi lantas berbalik cepat
mengancam dada. Keruan saja, si gadis mundur cepat seraya meloncat tinggi. Tapi
kacang goreng yang lain menyambar pula punggung. Maka terpaksalah ia
berloncatan mundur dan mengelak ke samping berturut-turut. Sewaktu serangan
kacang goreng habis, tahu-tahu ia sudah berada kembali di tengah ruang
kadipaten. Ternyata ia kena giring dengan tanpa sadar.
“Mengapa
kamu kembali Nona?” terdengar sang Dewaresi bertanya.
Titisari
menatap orang itu. Segera ia kenal siapa dia. Pikirnya, orang inilah yang tadi
melontarkan pertanyaan dahsyat kepada Pangeran Bumi Gede tentang si Pendeta Ki
Hajar Karangpandan. Ia nampak gagah dan garang. Ternyata ia benar-benar gagah.
Tetapi ia tak sudi memperlihatkan rasa kagumnya. Dengan pandang garang ia
berkata mengejek.
“Kepandaianmu
menyentil kacang goreng benar-benar hebat. Sayang hanya dipergunakan untuk
menggiring seorang perempuan.”
“Aku
hanya menyentil sambil lalu. Tidak ada niatku ingin menggiring Nona. Adalah
kesalahan Nona sendiri, mengapa Nona justru bisa tergiring memasuki ruang
dalam. Bukankah Nona tadi sudah bebas merdeka? Mengapa tak cepat-cepat melesat
pergi?”
“Kalau
begitu, biarkan aku pergi,” sahut Titisari cepat.
“Aku
takkan merintangi. Cuma, terangkan dulu siapa nama ayahmu. Kau tadi begitu
membanggakan ayahmu.”
“Hm,”
dengus si gadis. Lantas saja ia tersenyum nakal. Menjawab, “Aku khawatir jika
menyebutkan nama ayahku. Semangat jantanmu lantas terbang tak keruan.”
Sang
Dewaresi bukanlah seperti sikap Manyarsewu atau Cocak Hijau. Sikapnya
kening-rat-ningratan, agung dan berwibawa, la pandai menguasai diri. Itulah
sebabnya, ia tetap berdiri
tenang
diejek si gadis. Sama sekali ia tak menghiraukan, sehingga tak mudah kena jebak
akal licin. Ia menoleh kepada hadirin seraya berkata, “Siapakah yang sudi
mewakili aku menyerang Nona ini dalam sepuluh jurus? Aku akan bisa menebak
siapa ayah atau gurunya yang mangajari ilmu berkelahi kepadanya.”
Pendekar
Madura—Abdulrasim—lantas saja meloncat memasuki gelanggang. Ia seorang
laki-laki berperawakan langsing. Gerak-geriknya cekatan dan gesit. Pandang
matanya tajam. Sikapnya tak pernah beragu.
“Biarlah
aku yang mewakili Tuan. Dalam sepuluh jurus pasti aku akan bisa menolong Tuan
membongkar rahasianya,” katanya dengan suara ditekan-tekan.
Sehabis
berkata demikian, dengan sekali gerak ia telah menyerang si gadis. Tetapi
Titisari tetap berada di tempatnya, la tak mau menangkis, karena merasa takkan
ungkulan. Lagi pula ia andaikata menangkis serangan orang, bukanlah tata ilmu
berkelahinya akan kelihatan?
Abdulrasim
terkejut melihat si gadis tak bergerak. Cepat-cepat ia menarik serangannya yang
hampir mengenai sasaran yang dikehendaki.
“Tangkislah
dan jaga diri! Jangan persalahkan jika tanganku sampai mengenai dirimu. Aku
sudah memberi peringatan,” bentaknya.
Benar-benar
ia seorang laki-laki yang tetap pada keputusannya. Tadi ia mau menyerang
lambung. Tapi si gadis tetap tak mau meladeni. Cepat ia berpikir, biar kuserang
buah dadanya. Masa dia akan membiarkan buah dadanya kuremas pencet.
Memikir
demikian, serangannya yang kedua segera ditujukan ke arah buah dada. Titisari
terkejut. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berteriak terpaksa.
“Baiklah.
Aku akan melayani kamu bertempur selama sepuluh jurus. Tapi apa janjimu, bila
kau tak dapat menebak siapa guruku?”
“Kauboleh
pergi dengan bebas. Aku yang menanggung.”
“Hm—mana
bisa aku percaya pada mulut kalian. Dua kali berturut-turut aku direcoki.
Kalian bukan laki-laki sejati.”
“Nona,”
sang Dewaresi menyahut. “Aku adalah Dewaresi. Dengan namaku, aku akan memegang
janji. Jika aku tak dapat menebak siapa guru atau ayah yang mengajarimu ilmu
tata berkelahi, aku akan menjamin kebebasan-mu. Jika Dewaresi sudah berjanji
dia akan menepati biar pun akan berakibat runyam.”
Titisari
mau mempercayai orang itu.
“Baik
kamu boleh mulai.”
“Bagus!
Awas! Sepuluh jurusku itu buka main-main, Nona. Untuk kedua kalinya aku memberi
peringatan kepadamu,” sahut Abdulrasim.
Jago
Madura itu lantas saja menyerang. Ia menyapukan kakinya, kemudian dengan
beruntun ia menghujani tinju. Itulah pukulan khas Madura yang berbahaya.
Titisari
terkesiap juga melihat macam serangan jago Madura itu. Akan tetapi ia tak
gugup. Cepat ia berkisar dari tempat dan segera memapaki serangan itu dengan
serangan pula. Hebat akibatnya, la kena dipentalkan, namun dirinya bebas dari
tangkapan atau pukulan telak.
“Bagus!”
puji sang Dewaresi. “Itulah gaya pertahanan Kyai Haji Lukman Hakim dari Cirebon.”
Kembali
Abdulrasim melancarkan serangan berbahaya. Kali ini si gadis telah mendapat
pengalaman. Tak mau ia mengadu tenaga. Tadi ia kena dipentalkan. Kini ia
melesat gesit dan menerobos rantai serangan bertubi. Ia berhasil membebaskan
diri. Dan Abdulrasim mendongkol menyaksikan macam serangannya kena dielakkan.
Sang
Dewaresi mulai heran. Gumamnya, “Hai! Bukankah itu gaya serangan Pangeran
Samber Nyawa?”
Orang-orang
yang mendengar ulasaan sang Dewaresi turut pula menebak-nebak. Lantas saja
mereka berkasak-kusuk saling membicarakan.
Abdulrasim
lantas berpikir, aneh gadis ini. Dia bisa lolos dari seranganku. Biarlah agak
kudesaknya dengan keras.
Memutuskan
hendak menggunakan tenaga keras, maka Abdulrasim menggenang bagaikan harimau.
Kemudian meloncat mengarah dada, lambung, tengkuk, kaki dan lengan sekaligus.
Orang-orang yang menyaksikan berseru kaget mengkhawatirkan si gadis.
Titisari
sendiri terkesiap. Hatinya ciut. Mendadak saja ia menjejak bumi dan melesat
berputaran seperti terbang. Kemudian mundur berjumpalitan sambil mengibaskan
tangan. Ontuk ketiga kalinya ia luput dari ancaman maut. Tetapi jantungnya
memukul keras.
Sang
Dewaresi jadi sibuk menduga-duga menyaksikan gaya pertahanan Titisari.
Pikirnya, sungguh mengherankan. Gadis ini memiliki bermacam ragam tata
berkelahi. Bukankah ini tadi gaya pertahanan Pangeran Blitar? Eh, bagaimana
bisa campur aduk tak keruan? Apakah dia sengaja berbuat begitu untuk
menyembunyikan ilmu berkelahinya yang sejati?
Dalam
pada itu Abdulrasim menjadi penasaran. Tiga serangannya kena dielakkan. Kini
tinggal tujuh jurus serangan. Kalau sampai gagal, mau tak mau ia akan
kehilangan pamor di hadapan Pangeran Bumi Gede. Sekarang ia bertambah garang.
Tak mau lagi ia bersikap berbelas-kasih. Seperti badai melanda pantai ia terus
menyerang empat jurus sekaligus. Dan Titisari— meskipun keripuhan—dapat
mengelakkan diri dengan bermacam ragam ilmu menangkis. Sebentar ia menggunakan
jurus gaya Pangeran Purboyo, jurus gaya Ronggo Prawirodirjo, kemudian berubah
cepat dengan jurus gaya pertahanan Untung Surapati dan Mangku Bumi I.
Mau
tak mau Abdulrasim terpaksa berkerut-kerut. Pikirnya, celaka! Tinggal tiga
jurus. Biarlah kudesaknya bercampur aduk. Masa aku gagal membongkar rahasianya.
Abdulrasim
benar-benar mendongkol dan gusar. Teringat akan harga diri, mendadak saja
timbullah watak mau menang sendiri. Pandangnya lantas saja menjadi bengis
kejam. Tadi ia masih menyayangkan si gadis, karena usianya yang muda dan
kejelitaannya yang menawan. Kini soalnya berkisar tentang nama. Mana ia mau
mengalah? Maka ketiga jurus penghabisan terus saja dilakukan dengari kejam dan
bengis. Sudah barang tentu, orang-orang yang mengenal bahaya tak terasa nyaris
memejamkan mata.
Titisari
benar-benar gugup, la tak dapat berpikir lama atau berkesempatan berpikir.
Sebat luar biasa, ia berjumpalitan dan melesat kian kemari. Kemudian berputar
hendak menghindarkan diri. Tetapi jurus yang penghabisan tiba-tiba menghadang
tiap gerakannya. Ia mengeluh. Hatinya lantas mencelos.
“Tak
kuduga, kalau aku akan mati di sini,” keluhnya. Saat itu cengkeram Abdulrasim
sudah hampir mendarat di botak kepalanya. Titisari benar-benar sudah tak mampu
menghindar dan mengelak. Mendadak saja, di luar kemauannya sendiri, meletuslah
ilmu berkelahinya yang sejati. Itulah suatu kejadian di luar pemeriksaannya
yang tadi bisa disembunyikan baik-baik. Maklumlah, ia dalam keadaan terjepit.
Siapa saja yang berada dalam saat demikian akan berlaku seperti dia.
Cepat
ia mengendapkan diri. Kepalanya agak ditarik ke belakang. Kemudian mema-paki
dada orang dengan sikunya. Dengan demikian ia bertahan sambil menyerang.
Ternyata
Abdulrasim hanya menggertak belaka. Sebat luar biasa ia menahan serangan
telaknya. Mendadak saja gerakan tangannya berubah. Dengan suatu tenaga dahsyat
ia menyambar lambung si gadis. Masih saja si gadis bisa menjejak mundur, tetapi
Abdulrasim kemudian berhenti di tengah jalan, sambil berkata menuding. “Sang
Dewaresi, apa sudah cukup jelas?”
“Terang
benderang. Nah—tolong ucapkan!”
Dengan
tubuh tegak seperti tonggak mati, Abdulrasim berkata, “Nona... gurumu adalah
Pringgasakti.”
Waktu
itu Titisari itu nyaris kehilangan tenaga. Ia terhuyung beberapa langkah.
Karena itu tak sempat ia mendengarkan atau meladeni ucapan Abdulrasim.
Sebaliknya orang-orang yang mendengar ucapan Abdulrasim, mereka terperanjat
bukan main.
“Pringgasakti!”
mereka mengulang.
Nama
Pringgasakti sudah lama dikenal orang. Dia seorang iblis yang pernah merajalela
di zaman Perang Giyanti dan pemberontakan Tionghoa di Pekalongan. Tetapi banyak
di antara mereka yang belum pernah melihat orangnya. Karena itu mereka jadi
ragu-ragu. Serentak mereka saling pandang. Kemudian menyiratkan pandang kepada
Abdulrasim dan sang Dewaresi.
“Pringgasakti?”
mereka bertanya bersera-butan.
“Ya,”
sahut Abdulrasim. “Bukankah begitu, sang Dewaresi?”
“Nona
itu memang murid Pringgasakti. Apakah Pringgasakti ayahnya pula?” dengus
Dewaresi was-was.
Titisari
sedang mengatur napas, berbareng mengumpulkan tenaga. Karena itu, tak berani ia
bersuara atau bergerak, la tahu orang-orang sedang menaksir-naksir dirinya.
Agar pemusatan pikirannya tak terganggu, ia memejamkan mata. Mendadak saja, ia
mendengar pekik panjang. Tubuhnya menggigil, karena ia mengenali suara itu.
“Aji!”
ia kaget. “Mengapa?”
Suara
pekik itu, memang jerit Sangaji yang kena disakiti Yuyu Rumpung. Mula-mula ia
hanya ditindih dan dikangkangi. Mana bisa dia menyerah begitu saja tanpa
melawan. Biar pun merasa diri tak unggul, namun ia berontak juga. Tetapi Yuyu
Rumpung memang gagah, apalagi dia sedang gusar. Dengan gregetan ia menghajar
Sangaji kalang kabut, kemudian menerkam tengkuk. Tangannya lantas dikembangkan
dan ditumblaskan sekuat tenaga.
Panembahan
Tirtomoyo yang sakti kena dilukai dengan gempurannya, apa lagi Sangaji si bocah
kemarin sore. Bagi dia adalah makanan empuk bagaikan kelinci yang bisa
dipilin-pilinnya sesuka hati. Gntung, luka dalamnya masih belum sembuh benar.
Karena itu, tenaganya belum pulih seperti sediakala. Meskipun demikian sisa
tenaganya yang bergolak di dalam tubuh jauh berlipat ganda hebatnya daripada
tenaga Sangaji.
Keruan
saja Sangaji kesakitan kena terkam jari-jari Yuyu Rumpung. Entah dari mana
datangnya, mendadak saja ia mendapat tenaga luar biasa kuatnya. Serentak ia
berontak sekuat-kuatnya, sehingga dapat terlepas dari cengkeraman Yuyu Rumpung.
Kemudian ia menggelinding bergulungan. Tatkala Yuyu Rumpung memburu dengan
menendangkan kaki, mati-matian ia menangkapnya. Karena hebatnya tenaga lawan,
tubuhnya terus terpelanting berputaran. Tapi rangkulannya tetap melengket tak
terenggangkan. Dalam seribu kesulitannya, teringatlah dia pada pengalamannya
lima enam tahun yang lalu tatkala dihajar kalang kabut oleh Mayor de Groote.
Karena terjepit dan tak sudi menyerah, ia merangkul betis dan menggigit sekuat
tenaga. Kali ini pun tanpa berpikir ia terus menggigit. Hebat, akibatnya. Yuyu
Rumpung kesakitan sampai menjerit tinggi sambil berputaran. Kemudian
melemparkan tubuh Sangaji dengan sisa seluruh tenaganya.
Sangaji
terlempar sejauh sepuluh langkah. Ia jatuh bergulungan. Seluruh tubuhnya sakit
dan nyeri bukan main. Takut akan diuber lawan, cepat-cepat ia mengumpulkan
tenaga dan lari sejadi-jadinya.
Dalam
hal. lari, ia menang gesit daripada
Yuyu
Rumpung. Apalagi waktu itu, Yuyu Rumpung dalam keadaan kurang sehat dan nyaris
kehabisan tenaga. Itulah sebabnya, ia tak tersusul. Malahan, Yuyu Rumpung
nampak duduk numprah di atas tanah dengan napas tersengal-sengal.
Sangaji
tak perduli. Ia terus lari dan lari. Mendadak teringatlah dia, ... Ibu Sanjaya
seorang yang berhati mulia, mungkin dia mau melindungi. Mendapat ingatan
demikian, terus saja ia menuju ke gedung agung. Ternyata kamar Raden Ayu Bumi
Gede dalam keadaan terang benderang oleh sinar pelita. Dengan merangkak-rangkak
Sangaji masuk dan bersembunyi di belakang almari besar. Ia terus mendekam,
kemudian menjelajah matanya. Mendadak ia melihat suatu pemandangan aneh.
Jendela
besar yang berada di sebelah timur terpentang lebar. Di dekat tempat tidur, ibu
Sanjaya rebah tak berkutik menelungkupi kursi. Seorang laki-laki mencoba
membangunkan. Dengan hati-hati, laki-laki itu memapahnya dan didudukkan
baik-baik di atas kursi besar. Jantung Sangaji berdebar-debar, karena laki-laki
itu ternyata Wayan Suage.
Mengapa
dia berada pula di sini? pikir si bocah menduga-duga. “Apakah dia menyakiti ibu
Sanjaya karena hendak membalas dendam perlakuan Sanjaya terhadapnya?
Tak
lama kemudian, ibu Sanjaya nampak tersadar. Tiba-tiba merangkul Wayan Suage
sambil berkata, “Sekarang jangan tinggalkan aku lagi. Aku tak takut. Cepat
bawalah aku pergi! Aku akan mengikutimu, biarpun sampai di ujung dunia. Kalau
kau mati, aku pun akan mati. Biarlah kita jadi setan atau iblis, asal kita tak
berpisah lagi.”
Wayan
Suage terus mendekap ibu Sanjaya dan dibawa ke dadanya. Sangaji bertambah
heran.
Hatinya
lantas goncang tak tahu mengapa.
Sesungguhnya
setelah berpisah dengan Sangaji, Wayan Suage terus mencari gedung ibu Sanjaya.
Sebentar ia mengintip dari luar jendela. Ia mendengar suara Sanjaya sedang
berbicara dengan ibunya minta keterangan tentang dirinya yang mendadak bisa bebas
dari tahanan. Ibunya menyesali dan menganjurkan agar tidak mengusiknya lagi.
Tetapi Sanjaya menyahut, “Ibu terlalu lemah hati. Kalau guru sampai mendengar
peristiwa ini, apa jadinya?”
Anak
muda itu terus keluar pintu dan bermaksud hendak mencegat. Ia menggerutu
sepanjang jalan dan berniat takkan pulang kembali sebelum dapat menangkap
tawanannya.
Wayan
Suage mengeluh dalam hati. Hatinya berduka bukan kepalang. Mendadak saja
timbullah amarahnya. Terus saja ia merenggutkan jendela. Pintu dijeblaknya dan
ia melompat masuk.
Raden
Ayu Bumi Gede terkejut bukan main, sampai menjerit tertahan. Sebentar ia
tertegun, “Siapa kau?”
Wayan
Suage tersenyum pahit. Dengan mata tanpa berkedip dan napas memburu, ia
mengawasi Raden Ayu Bumi Gede. Pandangnya tak berkisar dari tahi lalat yang
tersungging di atas mulut.
Menghadapi
orang yang memandang dirinya tanpa berkedip, hati Raden Ayu Bumi Gede jadi
cemas. Tanpa disadari ia mundur sambil mengulangi pertanyaannya.
“Kau
siapa?”
Kembali
Wayan Suage tersenyum pahit. Tapi kali ini dia mau membuka mulut. Jawabnya
dengan suara yang dikuasai, “Hamba bernama Mustapa yang dikurung anak Nyonya.”
Raden
Ayu Bumi Gede terkejut. Tetapi kecemasan hatinya lantas pudar. Dengan menunduk
ia berkata, “Anakku memang salah. Dia menyusahkan kalian.”
Wayan
Suage tidak menanggapi. Matanya lantas mengelana ke seluruh ruang kamar. Di
dinding saja tergantung sebatang pedang panjang. Itulah pedang Sanjaya yang
selalu dibawanya ke mana dia pergi. Dan didekatnya tergantung gambar Sultan
Hamengku Buwono II. Melihat gambar itu, Wayan Suage tersenyum pahit. Kemudian
berkata dengan nada suara sedih. “Hujan terlalu deras. Rupanya pada hari
penobatan Sultan Yogya ini, kita tak boleh bekerja terlalu lama. Itulah
kesalahan kita, tak tahu menghormati hari besar, Mari kita menyembelih ayam dan
memasak kopi hangat...”
Raden
ayu Bumi Gede terkejut sampai mukanya pucat, tatkala mendengar ucapan Wayan
Suage. Tubuhnya lantas gemetaran. Kakinya menjadi lemas dan perlahan-lahan ia
duduk terhenyak di atas kursi. Dengan pandang menyelidiki ia mengamat-amati
Wayan Suage. Kemudian berkata gagap, “Kau berkata... berkata apa?”
“Aku
berkata, hujan terlalu deras. Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogya ini,
kita tak boleh bekerja terlalu lama. Itulah kesalahan kita. Tak tahu
menghormati hari besar. Mari kita menyembelih ayam dan memasak kopi hangat...”
Tiba-tiba
saja, seluruh anggota tubuh Raden
Ayu
Bumi Gede lemas kehilangan tenaga. Sebab kata-kata itu adalah kalimat
percakapan antara suaminya—Wayan Suage—dan Made Tantre pada hari penobatan
Sultan Hamengku Buwono II dua belas tahun lalu.
“Kau...
kau siapa?” tanyanya bergemetaran. “Kenapa kamu bisa menirukan kalimat
percakapan antara suamiku dan saudara-saudaraku...”
Raden
Ayu Bumi Gede sesungguhnya adalah Sapartinah, isteri Wayan Suage. Dua belas
tahun yang lalu rumah tangganya yang aman damai hancur berantakan oleh suatu
malapetaka, la dan anaknya dibawa lari oleh Pangeran Bumi Gede. Dua tiga tahun
lamanya, ia menunggu kabar berita suaminya. Tetapi sama sekali tak pernah
didengarnya. Bahkan Pangeran Bumi Gede pernah membawanya menjenguk bekas
rumahnya dan tanda-tanda hidupnya sang suami pun tiada. Ia percaya, Wayan Suage
telah meninggal dunia. Karena merasa diri tidak bersanak keluarga, maka ia
membiarkan diri mengikuti Pangeran Bumi Gede. Lagi pula, sikap dan perlakuan
Pangeran Bumi Gede sangat baik terhadap dirinya. Malahan lantas saja pangeran
itu mendidik dan mengasuh Sanjaya seperti anak kandungnya. Sebagai seorang ibu,
hatinya lantas saja luluh menyaksikan perlakuan sebagus itu terhadap anaknya.
Beberapa bulan kemudian, tak dapat ia menolak bujukan Pangeran Bumi Gede,
akhirnya dia diambil selir terdekat.
Sepuluh
tahun lamanya ia jadi selir Pangeran Bumi Gede. Dan perlakuan serta sikap, sang
Pangeran tidak berubah. Nampak sekali, betapa besar cinta sang Pangeran
terhadapnya. Ia dimanjakan dan dirawat dengan cermat. Tak mengherankan kalau
perawatan yang baik itu membuat keadaan dirinya makin sehat dan montok. Dia
ibarat intan yang belum tergosok. Maka begitu intan itu kena gosok, lantas saja
bersinar cemerlang. Itulah sebabnya, banyak para pangeran membicarakan
kecantikan dan kejelitaan dirinya. Mereka pada menginginkan nasib baik Pangeran
Bumi Gede.
Sebaliknya
badan Wayan Suage yang menanggung penderitaan batin dan jasmani, makin lama
makin nampak tua. Rambutnya mulai nampak memutih. Raut mukanya agak kisut,
kakinya buntung. Kesegaran masa muda hilang. Karena itu tak mengherankan jika
Sapartinah tidak dapat mengenal dirinya.
Mendadak
Wayan Suage berkata lagi seperti kepada dirinya sendiri. “Ah, dapur kita harus
satu saja. Apa perlu mesti memasak masing-masing?”
Sekarang
Sapartinah tiada ragu demi mendengar tata-kata kalimat itu. Sebab kali-mat yang
diucapkan Wayan Suage itu adalah kalimatnya sendiri pada Wayan Suage sewaktu
mau mulai memasak ayam.
“Kau...
kau Suage?” tanyanya tersekat-sekat.
Wayan
Suage memandangnya sedih. Menjawab setengah parau, “Tinah! Aku adalah Wayan
Suage... suamimu...”
Mendengar
pengakuan itu, tubuh Sapartinah seperti terbanting. Ia jatuh menelungkupi
kursi.
Ternyata
Sapartinah tak pernah melupakan suasana damai dalam rumah tangganya dahulu.
Benar
saja—sebagai selir—dia dihormati, dihargai, dirawat dan dimanjakan oleh siapa
saja,
tetapi
hatinya senantiasa kosong. Dia bisa hidup di tengah-tengah desa dan dilahirkan
sebagai perempuan desa pula. Jiwanya bebas seperti tetumbuhan tumbuh di tengah
alam. Karena itu, tidak gampang ia kena dipincuk oleh kesenangan serba benda
yang cemerlang. Tata hubungan suami-isteri antara dia dan Pangeran Bumi Gede
diikat oleh peraturan-peraturan tertentu juga. Mana bisa jiwanya yang bebas ria
mau diikat oleh tata-hidup demikian. Tetapi setiap kali timbul suatu
pemberontakan, teringatlah dia akan nasibnya yang tidak bersanak keluarga.
Teringat akan anaknya, ia terhiburlah. Seumpama Pangeran Bumi Gede tidak
menolong dirinya, apa yang akan terjadi tak dapat ia bayangkan.
Sangaji
yang berada di kamar tak mengetahui latar belakang kisah itu. Ia hanya
merasakan suatu kegoncangan hati yang tak dimengerti sendiri apa sebabnya. Lama
ia merenungi mereka dan heran mendengar kata-kata ibu Sanjaya yang diucapkan
penuh semangat.
Wayan
Suage nampak mengelus-elus rambut isterinya dengan mulut tergugu. Sedang
Sapartinah terus mendekapnya makin erat, seakan-akan takut akan kehilangan
lagi.
“Suage!
Mengapa diam saja? Bukankah kamu benar-benar Suage?” kata Sapartinah. “Ya, ...
aku Suage. Percayalah, aku Suage. Bukan setan atau iblis.” “Nah, marilah kita
pergi. Apa yang kita takuti lagi?”
Wayan
Suage hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah suara Sanjaya di luar kamar.
“Ibu! Apa anak edan masuk di sini? Bu...! Bu...! Ibu berbicara dengan siapa?”
Suara
Sanjaya itu seperti geledek di siang hari. Hebat akibatnya. Selain mengejutkan,
membangunkan pula mimpi Sapartinah.
Sungguh!
Entah dari mana datangnya pertimbangan itu, tiba-tiba saja dia sadar kalau
dirinya bukan lagi kepunyaannya sendiri seperti tiga belas tahun yang lalu,
tatkala nasib merenggutkan dari Dusun Karangtinalang.
Hendak
melarikan diri bersama Wayan Suage begitu saja dari istana Pangeran Bumi Gede?
Bagaimana mungkin! Dia kini adalah isteri syah seorang pangeran yang merawat
dirinya dengan cinta kasih yang besar. Bahkan anaknya, diakuinya pula sebagai
anak kandung. Dengan begitu, dirinya sendiri kini adalah milik Pangeran Bumi
Gede dan anak kandungnya. Terhadap anak kandungnya, dia sudah menyerahkan
dirinya semenjak lama. Yakni, tatkala ia memutuskan mau menjadi selir Pangeran
Bumi Gede, demi nasib anaknya di kemudian hari. Dan terhadap Pangeran Bumi
Gede, meskipun lambat jalannya karena terganggu oleh kesan-kesan lama, akhirnya
tanpa disadari sudah merasa diri menjadi bagian hidupnya. Maklumlah, dengan
Pangeran Bumi Gede ia hidup berumah tangga lebih lama daripada Wayan Suage.
Tiga belas tahun! Sedangkan dengan Wayan Suage tujuh-delapan tahun. Kesan-kesan
berumah tangga yang dulu, lambat-laun menjadi suatu kenangan belaka. Makin
lama, malahan makin terkikis dan terkikis. Itulah sebabnya, ia tak cepat-cepat
mengenal wajah Wayan Suage.
Tetapi
ia tahu, Wayan Suage masih berhak merasa diri menjadi suaminya. Pertimbangan
norma-norma rasa bergelora hebat dan membenarkan sikapnya. Meskipun nasibnya
pontang-panting dan cacat kaki pula, pastilah dia tak mau tinggal diam sebagai
penonton di luar garis. Sungguh! Sapartinah menghadapi suatu persoalan tak
gampang dan harus diselesaikan secepat-cepatnya.
“Bu!
Ibu sudah tidur?” teriak Sanjaya lagi.
“Tidak,”
Sapartinah menjawab gugup.
“Mengapa
tak menyahut?”
Sapartinah
tertegun. Mendadak pikirannya berkelebat, lantas menjawab, “Kau tadi mencari
seseorang, kan? Aku lagi memeriksa kamar...”
“Lantas?”
“Mana
dia?”.
Sanjaya
diam seperti lagi menimbang-nimbang. Mendadak berkata, “Biarlah aku
memeriksanya sendiri.”
“Carilah
dulu di luar, barangkali dia berada di kamar lain!”
Sanjaya
heran. Suara ibunya seperti orang meminta. Tetapi dia tak membantah. Dengan
berdiam diri ia meninggalkan serambi kamar.
Lega
hati Sapartinah, setelah langkah Sanjaya terdengar makin menjauh. Dengan
berbisik dia berkata kepada Wayan Suage. “Anak kita sudah menjadi dewasa. Kau
telah melihat, bukan?”
“Ya.
Bahkan sudah terlalu dewasa,” sahut Wayan Suage pahit dingin.
“Kau
tak merasa bersyukur?”
“Bersyukur
kepada siapa?”
Sapartinah
terdiam. Menghadapi pertanyaan itu, ia menemukan sesuatu hal yang sulit. Dan datangnya
sekonyong-konyong pula. Ya, Wayan Suage harus merasa bersyukur terhadap siapa?
Terhadap Tuhan yang memberikan nasib baik? Dengan sendirinya harus berterima
kasih kepada Pangeran Bumi Gede. Dan kejadian ini alangkah pahit bagi Wayan
Suage.
Sekarang—dengan
tiba-tiba saja, ia merasa jadi manusia lain yang berdiri di suatu tempat yang
jauh dari Wayan Suage. Seolah-olah ada jurang dalam dan lebar yang menyekatnya.
Tiga belas tahun ia sudah menyerahkan diri demi kepentingan si anak. Bahkan dia
mau berbuat apa saja demi kebahagiaannya sampai mau menjadi selir. Mana bisa
Wayan Suage diajak seperasaan dan sepikiran dengan dia? Mana bisa Wayan Suage
menerima jasa itu? Lantas saja ia merasa diri bersalah.
“Aku
memang seorang pengecut lagi bodoh...” ia berkata berbisik dan perlahan-lahan
ia melepaskan diri dari dekapan Wayan Suage.
Mendadak,
di luar kamar terdengar suara Sanjaya lagi.
“Ibu!
Ibu berbicara dengan siapa?”
Sanjaya
memang telah menaruh curiga kepada ibunya, tatkala mendengar suaranya. Dasar ia
cerdik dan berhati licin. Maka berpura-puralah dia berjalan menjauhi, kemudian
meloncat balik dengan meringankan tubuh. Dengan demikian, tapak kakinya tidak
terdengar oleh pendengaran ibunya.
Wayan
Suage terkejut. Tahulah dia, kalau Sanjaya akan memasuki kamar. Cepat ia
mengundurkan diri dan bergerak ke arah jendela, la hendak melompati, tiba-tiba
matanya melihat berkelebatnya seseorang. Terpaksa ia membatalkan niatnya.
Sapartinah
segera menuding ke arah almari besar. Maksudnya menyarankan agar berlindung di
baliknya. Terharu Wayan Suage melihat sikapnya. Memang ia tak rela meninggalkan
isterinya dengan begitu saja. Masih ingin ia berbicara lama lagi. Kalau mungkin
sampai besok pagi. Itulah sebabnya, segera ia melangkah ke balik almari.
Mendadak, nampakiah Sangaji berdiri tegak memipit dinding. Wayan Suage
terkejut, terlebih-lebih Sapartinah sampai ia menjerit tertahan.
Mendengar
suara Sapartinah, Sanjaya terkejut. Takut ibunya kena ganggu orang, segera ia
mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar. Tetapi di dalam kamar kosong tidak
ada orang lain kecuali ibunya. Ternyata Wayan Suage telah ditarik Sangaji ke
balik lemari.
Sanjaya
mengamat-amati ibunya yang berparas pucat lesi. Kedua kelopak matanya penuh
percikan air mata pula. Hatinya bercekat.
“Ibu!
Apa yang terjadi?” tanyanya gugup.
“Tidak!
Tidak!” Sapartinah bergeleng kepala. “Hanya malam ini hatiku tidak tenteram.”
“Mengapa? Apakah karena aku?”
Sapartinah
menunduk. Dan Sanjaya menjadi perasa. Dengan
kasih-sayang besar, ia menghampiri dan merangkulnya. Kemudian membiarkan
kepalanya merebahi dada ibunya.
“Ibu!
Sekarang aku berjanji, takkan main gila lagi. Pengalaman hari ini cukup memberi
pelajaran padaku. Kuminta Ibu jangan bersusah hati lagi. Mengapa aku begini
buruk tabiatku?”
“Pergilah
tidur. Hari sudah begini larut malam,” potong ibunya. Sanjaya menegakkan tubuh
sambil berkata mengalihkan pembicaraan. “Ibu! Apa benar-benar tidak ada orang
masuk kemari?” “Siapa?” hati Sapartinah berdetak.
“Seorang
anak edan. Dia lolos dari kepungan kita.”
Sanjaya
berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju ambang pintu. Mendadak ia mendengar
napas orang di belakang almari. Tetapi ia bersikap seakan-akan tidak
mengetahui. Hanya saja matanya mengerling, kemudian berbalik menghadap ibunya
seraya berkata, “Anak kerbau itu pandai berkelahi. Tadi siang Ibu kan sudah
menyaksikan.”
“Hm,”
dengus ibunya. “Mengapa mesti berkelahi?”
Sanjaya
menghampiri dinding dan menurunkan batang pedangnya. Kemudian dilolos-nya dan
dibolak-balikkan.
“Ibu!
Meskipun anak kerbau itu pandai berkelahi, tak usahlah ibu mencemaskan aku. Aku
bisa menjaga diri. Lihat!” kata Sanjaya. Lantas saja ia memperlihatkan
jurus-jurus ilmu pedang.
Sapartinah
memaksa diri untuk melihat setiap perubahan tata berkelahinya. Tiba-tiba
parasnya pucat. Ternyata Sanjaya mendekati dinding almari. Kemudian menikam.
Sapartinah
kaget bukan kepalang. Saking kagetnya, ia terhuyung hampir jatuh pingsan.
Tetapi ternyata Sanjaya mengurungkan tika-mannya. Dengan menarik pedangnya, ia
berkata menyesali, “Ah Ibu! Mengapa Ibu melindungi orang?”
Ia
meletakkan pedangnya di atas meja dan menolong ibunya. Matanya tak berkisar
dari arah almari. Perlahan-lahan Sapartinah dapat menguasai diri. Saat melihat
almari tetap utuh tidak kurang suatu apa, ia beriega hati.
“Ibu!
Mengapa Ibu membohongi aku? Kata Ibu, aku ini anak kandungmu. Mengapa Ibu
merahasiakan sesuatu terhadapku?”
“Sanjaya!
Kau memang anak-kandungku. Mengapa menuduh Ibu bohong padamu?” sahut Sapartinah
tergagap-gagap. Tetapi di dalam hatinya, ia mengakui kebenaran tuduhan anaknya.
Maka berpikirlah dia, aku bermimpi yang bukan-bukan, seolah-olah dia bisa
kubawa berjalan ke mana aku pergi seperti tiga belas tahun yang lalu. Mana bisa
terjadi begitu. Rasanya sulit pula aku memberi penjelasan. Tapi biar bagaimana,
Wayan Suage adalah ayahnya. Aku wajib mempertemukan. Apakah aku akan tetap
berada di istana atau mengikuti ayahnya, itu bukan soalnya...
Setelah
berpikir demikian, Sapartinah berkata, “Sanjaya! Ibu berbesar hati, karena
mendengar kabar kalau otakmu cerdas. Nah, sudah semenjak lama Ibu mempunyai
teka-teki. Maukah kamu menolong memecahkan?”
Sanjaya
tertegun. Ia mengamat-amati wajah ibunya dengan kepala menebak-nebak. Menduga,
kalau ibunya mempunyai soal pelik yang membutuhkan bantuannya, maka ia lantas
saja mengangguk.
“Dengarkan!”
kata Sapartinah sambil mempersilakan anaknya duduk di hadapannya, la tak berani
mengerling ke almari. Malahan lantas menggeser tempat duduknya sehingga agak
membelakangi.
Wayan
Suage kala itu dalam keadaan tak keruan. Hatinya bergoncang keras, sampai tak
terasa menggenggam tangan Sangaji keras-keras. Memang waktu itu dia berpikir,
aku sudah berpisah dengan dia selama tiga belas tahun. Keadaan diriku rusak.
Penghidupanku rusak pula.
Sebaliknya,
dia menjadi isteri seorang pangeran. Hidupnya mulia. Anaknya hidup mulia pula.
Mana bisa dia akan kubawa hidup merantau dari satu tempat ke tempat lain? Dia
sekarang lagi berteka-teki. Apakah dia lagi berusaha mencelakaiku dengan
memberi perintah sandi kepada anaknya?
Dalam
pada itu Sanjaya telah duduk di hadapan ibunya. Kemudian terdengarlah
Sapartinah berkata, “Ada seorang perempuan dusun. Ia kawin dengan seorang
laki-laki sego-longannya selama lebih kurang tujuh-delapan tahun. Dalam
perkawinannya itu, ia mempunyai seorang anak laki-laki umur enam atau tujuh
tahun. Mendadak pada suatu hari, datanglah suatu malapetaka hebat. Suaminya
hilang tak keruan dan dikabarkan telah tewas. Ia sendiri bersama anaknya,
ditolong oleh seorang pangeran yang luhur budi. Pangeran itu merawat dan
mengasuh anaknya seperti anak-kandung sendiri. Sedangkan terhadap dia, sangat
menaruh perhatian. Meskipun demikian, ia tak mau dikawin pangeran itu. Karena
kesan-kesan lama masih saja membekas dalam kenangannya. Tetapi setelah tiga
tahun lebih, akhirnya mau diperisteri. Maklumlah, pangeran itu sikapnya tiada
tercela. Lagi pula, anaknya diangkat pula sebagai seorang anak golongan
ningrat. Bagi perempuan itu kepentingan diri sudah tak menjadi per-soalan
hidupnya. Karena itu, bagaimana ia tak terharu menyaksikan perkembangan nasib anaknya.
Coba, andaikata perempuan itu tak bertemu dengan sang pangeran atau menolak
diperisteri, belum pasti anaknya bisa hidup lebih lama dari lima tahun.
Sekiranya tidak mati kelaparan, akan hidup terlarat-Iarat. Bagaimana pendapatmu
Sanjaya?”
“Ini
aneh! Apa perempuan dusun itu cukup berharga menjadi isteri seorang Pangeran,
sampai pula mengangkat derajat si anak dusun?”
Sapartinah
tidak menjawab. Tetapi terasa dalam hati, kalau ucapan anaknya adalah benar.
Kalau dipikir, anaknya bisa dijual mahal—sehingga Pangeran Bumi Gede bersedia
memberikan jasa-jasa baiknya, bila dibandingkan dengan perempuan ningrat
sendiri. Bukankah banyak perempuan-perempuan cantik yang melebihi
kecantikannya? Bukankah pula banyak perempuan-perempuan yang derajatnya jauh
lebih tinggi dari-padanya? Kalau saja bukan suatu nasib, kalau saja tiada
mempunyai latar belakang suatu peristiwa, pastilah dirinya tidak cukup berharga
untuk menjadi isteri Pangeran Bumi Gede, meskipun hanya menjadi seorang selir.
“Perempuan
dusun itu hidup selama tiga belas tahun dengan pangeran itu. Hitunglah, sepuluh
tahun! Karena dia mau diperisteri setelah tiga tahun dari peristiwa malapetaka.
Dan selama hidup berumah tangga dengan pangeran itu, ia dirawat baik-baik,
dididik, diperhatikan dan tak pernah diingatkan, bahwa dirinya adalah seorang
perempuan dusun. Bahkan, anaknya diangkat menjadi ahli warisnya,” sambung
Sapartinah. “Sekarang, mendadak pada suatu hari, suaminya yang dikira tewas itu
muncul kembali. Perempuan itu roboh pingsan karena terkejut, terharu dan
girang. Ia terkejut, karena bertemu dengan seseorang yang telah lama
dianggapnya mati dan yang mempunyai pertalian erat dengan darah dagingnya. Ia
terharu, karena menyaksikan keadaan suaminya. Kini dia telah cacat, raut
mukanya rusak dan kabarnya hidup tak keruan, la girang, karena teringat oleh
kesan-kesan lama dan sejarah berumah tangga. Tetapi setelah itu, ia mempunyai
pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan-pertimbangan akal yang
bertentangan dengan ucapan rasa. Nah, inilah soalnya. Sekarang kutanyakan
kepadamu, apakah perempuan itu akan kembali kepada suaminya yang lama atau
tidak?”
Hebat
bunyi pertanyaan itu, sampai Sanjaya menegakkan kepala. Dengan berdiam diri, ia
mengamat-amati ibunya. Dahinya berkerinyit, seolah-olah sedang berusaha membaca
latar belakang persoalan yang membuat ibunya mengemukakan teka-teki demikian.
Wayan
Suage yang bersembunyi di belakang almari, tercekat pula hatinya. Tanpa merasa,
tubuhnya gemetaran. Tahulah dia, kalau perempuan itu adalah riwayat Sapartinah
sendiri tatkala terenggut oleh suatu malapetaka terkutuk. Sebaliknya Sangaji
tak mengerti latar belakang kisah mereka. Meskipun demikian, ia ikut pula
berpikir keras. Maka di dalam kamar itu, tiba-tiba suatu ketegangan terjadi
dengan dahsyatnya.
Mendadak
Sanjaya berkata dengan penuh iba. “Ibu! Tidurlah! Biarlah besok kujawab.”
Sapartinah menghela napas.
“Nah,
apa kubilang. Bukankah kamu kusuruh tidur pula? Sekarang, pergilah tidur! Biar
Ibu sendiri yang memecahkan teka-teki itu. Entah mengapa, malam ini Ibu belum
mau tidur. Hatiku tak tenteram...”
“Apakah
Ibu menghendaki pemecahan masalah itu sekarang juga?” Sanjaya heran. Ia
menunggu kesan. Ketika Sapartinah tetap berdiam diri, ia berkata, “Baiklah
kutolong memecahkan.”
“Aku
bukan menghendaki suatu pemecahan. Tetapi jawabanmu.”
“Baik
biar kujawab. Andaikata aku si perempuan dusun itu, aku takkan kembali ke
suamiku yang lama.”
“Mengapa?”
Sapartinah memotong cepat dengan suara bergetar. Paras mukanya berubah pula. “Apa
keuntungannya?” sahut Sanjaya. “Ibu! Tiap makhluk berhak menuntut
kebahagiaannya masing-masing. Tentu saja suatu kebahagiaannya menurut naluri
jasmaniah yang sah. Perempuan dusun tadi—karena suatu nasib baik—bisa
diperisteri seorang pangeran. Bukankah itu suatu karunia Ilahi? Anaknya ikut mengecap
suatu kebahagiannya pula. Suaminya, bersikap baik pula. Apalagi yang diminta
perempuan dusun itu? Martabat, kehormatan diri, kemuliaan, cinta-kasih—
ya—kukira telah terpenuhi. Dan sekarang apa keuntungannya lantas berbalik
kembali kepada si suami lama? Apakah ia harus hidup bergelandangan tak
berketentuan? Apakah anaknya akan diajaknya pula menanggung azab penderitaan?
Ibu! Hidup ini tidak hanya cukup berlandaskan tumpuan perasaan-perasaan belaka.
Seumpamanya perempuan itu kembali kepada suaminya yang dahulu, apakah suaminya
itu dapat memberikan kebahagiaan lain? Kalau perempuan dusun itu masih
terkenang kepada kesan-kesan suaminya dulu tatkala sudah menjadi isteri seorang
pangeran, pasti pula ia akan terkenang kesan-kesan sang Pangeran manakala ia menjadi
isteri suaminya dulu!
Bagaimana
tidak? Sedangkan terhadap pergaulan selama tujuh-delapan tahun dengan suaminya
dulu saja masih begitu tertanam, apalagi dengan pangeran yang sudah hidup
berumah tangga selama tiga belas tahun. Ibu! Bukankah perempuan dusun itu hanya
terkenang kepada kesan-kesan lama tatkala hidup berumah tangga dalam keadaan
damai dan memenuhi syarat? Kata orang, kenangan yang mengesankan adalah
kenangan yang mengasyikkan. Bukan kenangan-kenangan yang penuh azab
penderitaan. Tetapi sekarang... ternyata suaminya yang dulu itu bukan seperti
yang dulu... Menurut Ibu, keadaan tubuhnya cacat dan rusak. Hidupnya tak
berketentuan semacam orang gelandangan dan... Bu!... Bu! Mengapa?”
Sanjaya
terkejut bukan main. Ia melihat ibunya jatuh terkulai di atas kursi. Cepat ia
meraih dan merangkulnya.
“Ibu!
Ibu sakit? Biar kupanggilkan tabib-tabib kadipaten!” bujuk Sanjaya.
Tiba-tiba
Sapartinah menegakkan kepala. Parasnya pucat luar biasa. Kemudian dengan suara
menggeletar ia berkata, “Sanjaya... Tahukah kamu, siapakah yang memberikan nama
padamu?”
Sapartinah
terus saja menangis. Air matanya terus bercucuran deras tak terkendalikan. “Ibu!...
Ibu... Ibu... Apa yang sedang Ibu pikirkan? Lihat! Aku sehat walafiat...
Tentang gadis itu, janganlah Ibu turut campur. Biarlah aku sendiri yang
menyelesaikannya,” bujuk Sanjaya. la mengira, kalau ibunya terlalu memikirkan
dirinya.
Perlahan-lahan
Sapartinah menegakkan kepala. Tampak sekali, bagaimanapun ia berusaha menguasai
diri. Kemudian berkata setengah berbisik, “Sanjaya! Tahukah kamu siapa yang
memberi nama padamu? Dia bernama Wayan Suage?”
“Siapa
Wayan Suage?”
“Ayahmu.”
“Ah—Ya.”
Sanjaya setengah tertawa. “Bukankah ia sudah meninggal dunia, menurut Ibu? Nah,
bahwasanya namaku berasal dari dia, apakah yang harus dipikirkan dan
dipersoalkan?”
“Karena...
Karena perempuan dusun itu adalah Ibu. Dan dia...?” Sapartinah terga-gap-gagap.
Tak
terasa ia menoleh ke arah almari. Mendadak saja—entah kapan munculnya— Wayan
Suage telah berdiri di samping almari.
Sanjaya
terkejut bukan kepalang. Cepat ia menyambar pedangnya sambil membentak. “Kau?
Kau bersembunyi di sini? Keparat!”
Dengan
sebat ia menikam. Wayan Suage meloncat ke samping dan berusaha menangkis
sedapat-dapatnya. Tetapi ia terus dikejar dan dihujani tikaman bertubi-tubi.
Sapartinah memekik tinggi, la mencoba berdiri dan menubruk. Tetapi tubuhnya
seakan-akan kehilangan tenaga dan ia jatuh terkulai. Dan pada saat itu,
mendadak melesatlah sesosok bayangan. Ia membentur sikunya ke pergelangan
tangan Sanjaya sambil membentak, “Kamu sudah bertemu dengan ayahmu. Mengapa
menikam tak karuan?”
Bayangan
itu ternyata Sangaji. Begitu ia melihat Wayan Suage dalam bahaya, ia tak
memikirkan kepentingan dirinya lagi. Cepat ia melesat dan mencegat tikaman
Sanjaya.
Sanjaya
kena dibentur pergelangan tangannya. Munculnya Wayan Suage dan Sangaji
benar-benar mengejutkan hatinya, meskipun dia tahu kalau di belakang almari
bersembunyi seseorang. Tadinya ia mengira Sangaji seorang belaka. Tak tahunya,
orang yang dicari-carinya. Yakni, Mustapa. Tatkala ia mau membalas benturan
Sangaji, mendadak ia melihat ibunya jatuh terkulai setelah memekik tinggi.
Kecuali itu, ia mendengar ucapan Sangaji, sehingga tak setahunya sendiri ia
jadi berdiri tertegun.
Wayan
Suage waktu itu telah berdiri tegak di hadapan Sapartinah. Dengan napas
terengah-engah, ia berkata, “Tinah! Terima kasih! Kamu telah mengutarakan
kesulitanmu. Kamu telah mengutarakan pula keguncangan perasaanmu. Aku pun
memaklumi! ... Baiklah, marilah kita timpakan kesalahan ini kepada nasibku yang
buruk. Ya buruk! Buruk! Buruk! ...” ia berhenti sebentar. Matanya merah
membara, karena hatinya terlalu pedih dan menggigit. “Aku tak menyalahkanmu,
Tinah... Sepatutnya pula aku berterima kasih kepadamu... dan... dan terimakasih
kepada... Ah andaikata dia bukan Pangeran Bumi Gede, saat ini aku bersedia
bersimpuh di hadapannya, karena dia telah merawat istri dan anakku. Tapi
kebetulan dia adalah Pangeran Bumi Gede. Dia adalah musuhku dan musuh
sahabatku. Karena dia, kakiku buntung! Karena dia pula, sahabatku Made Tantre
tewas...!”
Terkejut
hati Sangaji, tatkala mendengar nama almarhum bapaknya disinggung. Mau ia minta
penjelasan lebih jelas lagi, mendadak Wayan Suage menerkam pergelangan
tangannya sambil berkata mengajak.
“Mari,
anakku... Milik satu-satunya yang masih ada di dunia ini, adalah engkau... Ah
Made Tantre! Made Tantre! Aku beririhati kepadamu, karena kamu telah menutup
mata. Karena kamu mempunyai seorang isteri tulen! Karena kamu mempunyai anak
seperti dia... Mari anakku! Mari! Mari! Kamu adalah milikku satu-satunya...”
Belum
lagi Sangaji sadar apa yang harus dilakukan, mendadak saja tubuhnya kena tarik
kuat.
Tahu-tahu,
ia telah dibawa melesat melompati, jendela.
Sanjaya
tak dapat berkutik. Waktu itu ia melihat tubuh ibunya bergemetaran dan pucat
lesi.
Akhirnya
roboh tak sadarkan diri.
“Ibu,”
ia memekik dan mencoba menyadarkan. Ibunya tetap kehilangan kesadarannya.
Mendadak timbullah api kemarahannya. Semuanya ini adalah gara-gara laki-laki
itu, pikirnya. Lantas saja ia berteriak, “Penjaga! Bunyikan lonceng tanda
bahaya. Ada bangsat masuk kadipaten! Cepat! Dan tangkap bangsat itu!...
Tangkap...!”
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 14 WAYAN SUAGE di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 14 WAYAN SUAGE"
Post a Comment