BENDE MATARAM JILID 15 SI IBLIS PRINGGASAKTI



LONCENG TANDA BAHAYA LANTAS SAJA MEMECAHKAN kesunyian alam. Waktu itu hari hampir menjelang fajar-hari. Seleret awan cerah mulai mengambang di udara timur. Angin dingin mulai pula menebarkan diri menusuki segala penjuru.

Sangaji terus dibawa lari oleh Wayan Suage. Tetapi tiba-tiba saja Yuyu Rumpung telah menghadang di depannya.
“Anak tolol! Apa dia gurumu?” bentaknya. “Jangan harap kamu bisa kabur.”
Sehabis membentak demikian, terus saja dia menyerang. Tangan kanan Sangaji masih tergenggam erat-erat, maka terpaksalah dia menangkis dengan tangan kiri. Sudah barang tentu, tak kuasa ia menahan serangan Yuyu Rumpung, tubuhnya terus saja terpental dan terlepas dari genggaman tangan Wayan Suage.

Wayan Suage terkejut. Ia tahu, orang yang menghadangnya itu bukan orang lemah. Meskipun demikian, tak mau dia mengalah. Ia seperti seorang yang tengah memperebutkan suatu benda berharga dan tidak mau kehilangan. Itulah sebabnya, begitu melihat tubuh Sangaji terpental daripadanya, lantas saja ia membalas menyerang. Sayang, pergelangan tangannya kena dipatahkan Sanjaya kemarin siang. Karena itu, tak dapat ia menggunakan tinjunya dengan leluasa. Tatkala Yuyu Rumpung hendak menyambut serangannya dengan suatu gempuran, cepat-cepat ia menarik dan menyusulkan sikunya.

Yuyu Rumpung terkejut. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya ia berhasil mengelakkan diri.
Meskipun demikian, lengan kanannya masih juga kena tersodok.
“Eh! Bukankah kamu si buntung tadi siang?” teriak Yuyu Rumpung. Rupanya dia mengenal si Mustapa yang mencanangkan gadisnya kemarin siang. Heran ia menduga-duga mengapa orang itu berada di halaman kadipaten. Mendadak teringatlah dia akan sikap Sanjaya tatkala didesak Panembahan Tirtomoyo. Sebagai seorang benggolan kawakan, lantas saja ia dapat menebak. Dengan tertawa lebar ia berkata meneruskan, “Bagus-bagus! Apakah gadismu berada pula di sini?”

Wayan Suage tak mempedulikan ejekan orang itu. Ia tahu, dirinya takkan sanggup melawan. Cepat ia menoleh ke arah Sangaji yang telah berdiri tegak. Kemudian sambil menyambar pergelangan tangan Sangaji, ia berkata gugup. “Anakku! Jangan layani dia, yang lain-lain akan segera tiba.”

Sekali lagi Sangaji kena dibawa lari dengan tak dikehendaki sendiri. Tapi kali ini, ia membantu mempercepat langkah. Maklumlah, sebenarnya dia takut kepada Yuyu Rumpung. Maka dengan menggenggam pergelangan tangan Wayan Suage, ia lari mendahului.

“Hai! Kalian mau kabur ke mana?” bentak Yuyu Rumpung. Orang tua itu segera mengejar. Tetapi dalam hal kecepatan bergerak, ia kalah gesit dengan Sangaji. Maka ia ketinggalan beberapa langkah. Meskipun demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya hendak menyusul. Dalam hati, ia takkan membiarkan buaiannya kabur seenaknya sendiri.

Sangaji dan Wayan Suage telah tiba di pagar dinding kadipaten. Seperti telah bermufakat, mereka meloncat berbareng dan hinggap di atas dinding. Kemudian menghilang di balik sana. Yuyu Rumpung memaki-maki kalang-kabut. Maklumlah, dia tak berani meloncat dinding karena mengkhawatirkan luka dalamnya yang belum sembuh benar seperti sediakala.

Dalam pada itu di ruang kadipaten terjadilah suatu perubahan yang menggemparkan. Titisari telah kena dikurung jago-jago undangan Pangeran Bumi Gede. Mereka semua ingin mendengar pengakuan Titisari tentang hubungannya dengan si iblis Pringgasakti.

“Nona,”  bentak  Abdulrasim  jago  dari  Madura.  “Sekalipun  kamu  licin  melebihi  belut,  tapi tak dapat kau mengingusi aku. Nah— bukankah kamu murid Pringgasakti?”

Titisari kala itu dalam keadaan gelisah setelah mendengar pekik Sangaji. Kecuali itu, ia sedang menguasai pemapasannya. Tetapi orang-orang tak mempedulikan keadaan dirinya. Syukur, otaknya cerdik. Segera ia menenangkan hati, sehingga tidak nampak perubahan mukanya.

“Kalian berkata, kalau aku murid Pringgasakti? Siapakah Pringgasakti itu?” katanya dengan suara acuh tak acuh.

Abdulrasim tertawa lebar sambil mendamprat, “Nona—jangan harap kamu bisa mempermainkan aku. Meskipun kamu memungkiri kenyataan itu sampai jungkir-balik, bagaimana kamu bisa jungkir balik? Bukankah jurusmu tadi....”

“Kamu mengacau-balau!” potong Titisari cepat. “Sekali aku belum kenal siapa itu Pringgasakti. Apakah dia iblis? Setan atau bangsat?”
Mendengar kata-kata Titisari, Abdulrasim kini jadi tercengang-cengang. Bagaimana tidak? Orang boleh berbohong atau berpura-pura memungkiri siapa nama gurunya. Tetapi ia takkan mencaci-maki nama gurunya di depan umum. Tetapi terang sekali, jurus Titisari tadi adalah jurus ajaran Pringgasakti yang sudah lama terkenal semenjak beberapa tahun yang lalu. Pikirnya, masa aku bisa salah menebak. Sang Dewaresi ikut pula menguatkan pendapatku. Maka dengan hati-hati ia minta penjelasan.

“Eh Nona! Benarkah kau bukan murid Pringgasakti?”
“Hm,” dengus Titisari. “Kuakui, memang aku mengenal nama itu. Tetapi kepandaian Pringgasakti belum cukup berharga untuk kusujudi.”

“Ataukah dia ayahmu?” tiba-tiba sang Dewaresi ikut berbicara.
“Ayahku? Cuh!” Titisari meludah. “Bagaimana mungkin aku anak seorang jahanam.
Bukankah dia seorang iblis yang sudah terkenal sejak aku belum lahir sebagai seorang perusak keadilan dan kemanusiaan? Ah— kalian pasti sudah lama mengetahui. Kalianpun sudah pula mendengar kabarnya, bagaimana dia mengkhianati gurunya dengan mencuri sebuah kitab pusaka. Bukankah dia tadinya murid Kyai Hasan Bafagih yang bermukim di Cibesi?”

Sekarang, orang-orang yang mendengar ucapan Titisari jadi berbimbang-bimbang. Mereka mulai percaya, kalau Titisari bukan murid atau anak Pringgasakti. Tetapi masa seorang gadis semuda itu dapat mengetahui sejarah Pringgasakti begitu jelas, jika tidak mempunyai hubungan dekat? Mereka jadi sibuk menduga-duga dan saling berpandang-an.

Sekonyong-konyong Abdulrasim menggeser tubuhnya. Mau tak mau ia harus mengakui kekalahannya. Katanya dengan hormat, “Nona, hitunglah aku telah bisa kaukalahkan. Dengan terus-terang aku kagum kepadamu. Sekarang perkenankan aku minta penjelasan tentang namamu.”

Titisari tertawa perlahan.
“Namaku Titisari. Lengkapnya, Endang Retno Titisari” “Siapakah nama ayahmu?”
“Hm! Bukankah kamu hanya ingin mengetahui namaku belaka?”

Terpaksa Abdulrasim membungkam mulut. Tak dapat lagi ia mendesak, karena telah kalah berjanji. Sebagai seorang tokoh kenamaan, enggan ia berkutat melawan seorang gadis di depan orang banyak. Kini tinggal seorang belaka yang masih mampu menahan si gadis. Yakni, sang Dewaresi. Maklumlah, orang itu telah ikut campur berbicara. Mau tak mau ia harus mengulurkan tangan.

“Nona,” katanya takzim. “Seorang demi seorang telah kaujatuhkan. Kini perkenankanlah aku menguji diri melawan Nona.”

Titisari  mengamat-amati  sang    Dewaresi  yang  berpakaian  serba  putih.  Teringatlah  ia  akan gerombolan orang-orang anak-buah Kartawirya. Pikirnya, apa ia pemimpin me-reka?

“Kaki-tanganmu bukan main banyaknya, sampai ada yang tersesat di Cirebon, malahan terpaksa ada yang harus kugantung di atas pohon. Baiklah, malam ini aku minta maaf kepadamu atas kelancanganku,” kata Titisari.

Sang Dewaresi tertawa. “Apakah Nona telah berjumpa dengan mereka? Kalau mereka sampai kena Nona gantung di atas pohon, jelas sekali kalau mereka menyerah kalah karena kagum atas kecantikanmu.”

Mendengar kata-kata sang Dewaresi, muka Titisari menjadi merah jambu. Tetapi ia dapat menguasai diri. Menyahut dingin, “Jika mereka benar-benar takluk padaku karena semata-mata kagum pada kecantikanku... hm... mengapa kamu tak membantuku? Lihat, aku dikepung manusia-manusia tua bangka.”

Sang Dewaresi tergugu. Tak dapat ia cepat-cepat menjawab, karena kata-kata Titisari di luar dugaannya. Dengan tajam ia mengamat-amati wajah si gadis. Terasa dalam hatinya, kalau gadis yang berdiri di hadapannya itu benar-benar gadis yang cerdik dan tajam mulut. Dia pandai dan berani melakukan suatu perbuatan apa pun juga demi kepentingannya hendak membebaskan diri. Bukankah kata-katanya tadi berarti menerima pengakuannya secara terbuka dan melontarkan kembali padanya dengan tak usah bersegan-segan lagi?

Tapi diam-diam sang Dewaresi mengakui, Titisari memang gadis cantik luar biasa. Tubuhnya padat, gesit dan otaknya cerdas. Kalau tadi ia bermaksud mengejek, kini hatinya benar-benar jadi tertambat. Mendadak timbullah niat jahatnya. Katanya dalam hati, gadis ini meskipun memiliki otak setinggi langit, masa aku tak dapat mengalahkan. Biarlah kudesak dan kupeluknya di depan orang banyak. Ingin kutahu, apa yang akan dilakukannya.

“Nona! Kau tadi bicara apa?” katanya mengalihkan pembicaraan.

Waktu itu Titisari telah menggeserkan tubuhnya, la bermaksud mau segera meninggalkan ruang kadipaten. Tatkala mendengar kata-kata sang Dewaresi, dengan tersenyum dia menjawab, “Aku mau pergi. Kaulihat, mereka mau menangkapku. Entah apa maksudnya. Kamu mau membantuku menghalang-halangi maksud mereka, bukan?”

“Ah, Nona minta bantuanku? Itu perkara mudah, asal saja Nona mau menjadi muridku dan taat pada setiap perintahku.” Titisari menaikkan alisnya. Kemudian dengan tersenyum ia menjawab, “Kauingin mengambilku menjadi muridmu?”

“Ya, bahkan kuangkat pula menjadi pem-bantuku.”
“Ha—andaikata aku menjadi muridmu, apa perlu kamu mengangkatku pula sebagai pem-bantumu?”

“Agar selalu berdekatan denganku.”
Merah muka Titisari mendengar ujar sang Dewaresi. Sebagai seorang gadis yang cerdik, tahulah dia maksud sang Dewaresi.

“Jika aku menolak menjadi muridmu, apa yang akan kaulakukan?” ia masih mencoba mengadu untung.
“Hm... bukankah aku mempunyai kebebasan untuk berbuat sekehendakku?” Sang Dewaresi tersenyum nakal.

Titisari terhenyak, la tahu, musuhnya kali ini tidak gampang dapat diakali. Lagi pula mendengar caranya berbicara, pasti bisa juga membuktikan ucapannya. Maka ia mengasah otak.

“Baiklah. Aku mau menjadi muridmu, tetapi kamu harus membuktikan kepandaianmu di depan mataku.”

“Bagus!”       seru    sang   Dewaresi      girang. Memang itulah maksudnya sebenarnya hendak menantang Titisari dengan terang-terangan di depan orang banyak, la ingin meme-luknya dan menciumnya sepuas hati.

Titisari seolah-olah tidak mengerti apa maksudnya. Tetapi sebenarnya ia cerdik, la sadar, kalau ia takkan bisa membebaskan diri apabila mengadu kepandaian secara wajar. Mau tak mau ia harus menggunakan akal setindak demi setindak sambil menunggu perkembangannya.

“Nah—macam kepandaian apakah yang mau kauperlihatkan padaku, agar aku mau menjadi muridmu?”
“Kemarilah! Tak usahlah kau takut aku akan menyerang.”
“Kau bicara apa?” sahut Titisari seperti seorang gadis linglung. “Apa kamu akan dapat memenangkan aku tanpa menyerang?”

Sang Dewaresi tertawa. Tahulah dia, lawannya benar-benar cerdik dengan memutar balikkan tiap-tiap kata kalimat untuk mengambil suatu keuntungan. Tetapi di depan Pangeran Bumi Gede, tak sudi ia memperlihatkan segi-segi kekerdilan hati. Bahkan ia sengaja hendak memamerkan sedikit kepandaiannya.

“Baiklah,” katanya mengalah. “Kamu ingin mengadu kepandaian? Dengan disaksikan oleh sekalian yang hadir, aku dapat menga-lahkanmu tanpa melontarkan serangan macam apa pun juga.”

Orang-orang yang mendengar ujar sang Dewaresi heran. Bagaimana dia dapat memenangkan pertandingan itu tanpa membalas menyerang? Apa dia dewa sakti? Abdulrasim yang pernah bertempur selama sepuluh jurus melawan Titisari berpikir dalam hati, alangkah sombong orang ini. Meskipun dia memiliki kepandaian setinggi langit, dapatkah ia membuktikan ucapannya? Aku yang terang-terangan menyerang dia dengan sepuluh jurus, hampir-hampir tak dapat berbuat banyak. Masa dia mampu mengalahkan tanpa membalas menyerang. Hm... coba kulihat, macam kepandaian apa yang dimiliki.

“Aku tak percaya, kamu dapat memegang janji. Semua mulut di sini hampir-hampir tidak ada yang dapat kupercayai,” kata Titisari sengit.

“Kamu boleh memukulku sepuluh kali tanpa kubalas, apa lagi menyerangmu,” sahut sang Dewaresi dengan tersenyum.

Hati Titisari terkesiap melihat senyum lawannya. Makin sadarlah dia, kalau lawannya mungkin bermaksud jahat kepadanya. Maka ia bersikap lebih hati-hati. Katanya lagi mencari keyakinan. “Selama hidupku aku tak pernah menaruh kepercayaan kepada seseorang yang banyak berbicara. Mungkin sekali kamu menggunakan ilmu siluman sehingga dapat memukulku sampai pingsan dengan sekali pukulan. Jika demikian halnya, bagaimana aku dapat membalas memukulmu sepuluh kali?”

“Jangan khawatir, Nona. Nah—ikatlah kedua lenganku,” kata sang Dewaresi sambil membuka ikat pinggangnya, lantas ditaruhkan di atas lantai. Kemudian ia menyilangkan kedua lengannya di atas punggung.

Titisari heran menyaksikan tata-laku lawannya. Pikirnya, benar-benarkah ia mau bertanding melawanku tanpa menggunakan kedua tangannya? Apakah dia bermaksud membantuku agar dapat memenangkan pertandingan? Dengan cara demikian, bukankah ia dapat kukalahkan tanpa merosotkan harga dirinya?

Mendapat     pikiran demikian, segera   ia mengikat kedua   lengan sang  Dewaresi erat-erat. Ternyata sang Dewaresi tidak berkutik atau berusaha mau meringankan kata-kata perjanjian.
Wajahnya berkulum senyum penuh rahasia, sehingga hati si gadis jadi bergeridik.
“Hai! Benarkah kamu mampu mengalahkan aku?” Titisari mencoba.
“Kata-kata seorang laki-laki sejati berharga seribu gunung,” tukas sang Dewaresi.


Titisari berpikir keras. Ia mencoba menebak arti senyum lawannya. Mendadak ia bercuriga. Pikirnya, kalau ia tak mempunyai pegangan kuat dapat memenangkan pertandingan, masa dia menurut saja kuikat kedua lengannya? Ih! Kalau sampai ia berhasil mencekukku, apakah... apakah...

“Bagaimana cara menentukan kalah-menangnya?” kata Titisari dengan cepat.
Tanpa berkata sepatah kata pun, sang Dewaresi menggaritkan ibu jarinya ke lantai. Kemudian ia berputar-putar sepanjang kakinya. Setelah diangkat, ternyata ibu jarinya berhasil menggarit sebuah lingkaran di atas lantai. Lantai kadipaten yang terbuat dari marmer tergarit sedalam ibu jari. Inilah suatu bukti, bagaimana ia memiliki tenaga yang sangat kuat. Diam-diam, semua yang hadir kagum padanya.

“Kita berdua bertempur di dalam lingkaran ini. Siapa yang keluar dari lingkaran, dialah yang kalah,” kata sang Dewaresi. Habis-berkata demikian, lantas saja ia memasuki lingkaran. Ia berdiri tegak seperti seorang pahlawan yang sanggup mengangkat gunung.

“Jika kita berdua sampai keluar lingkaran, bagaimana keputusannya?” Titisari minta keterangan.

“Apa kata Nona? Kita berdua?”
“Maksudku—seumpama aku kena kaulem-parkan keluar lingkaran, kemudian aku berhasil menyeretmu pula keluar sehingga dua-duanya keluar lingkaran, bagaimana keputusannya?” Sang Dewaresi tertawa panjang.
“Bagaimana mungkin Nona akan dapat melemparkan aku keluar lingkaran? Kamu boleh keluar lingkaran, tetapi aku takkan mungkin.”

“Seumpama sampai terjadi demikian?”
“Hitunglah aku kalah.”
“Baik! Jika kamu kalah, kamu takkan bakal menggangguku lagi bukan?” ,

“Tentu saja. Kamu boleh bedaku dengan merdeka. Tapi sebaliknya jika kamu bisa kukalahkan, kamu harus berjanji taat dan patuh pada tiap kemauanku. Orang-orang yang berada di sini menjadi saksinya.”

“Baik,” jawab Titisari. Kemudian ia memasuki lingkaran pertandingan. Suasana ruang kadipaten lantas saja menjadi tegang dan menarik. Semua orang sibuk menduga-duga, bagaimana cara sang Dewaresi bertempur melawan si gadis tanpa membalas menyerang dan bagaimana pula nanti akhir pertandingan itu.

Titisari lantas saja menyerang. Dengan gesit ia berputaran dan tiba-tiba menyerang pundak. Ternyata sang Dewaresi tidak berusaha menangkis. Ia hanya menancapkan kedua kakinya kuat-kuat agar tak kena dipentalkan. Dengan demikian serangan Titisari tiba dengan dahsyat. Dengan suara bergemeretak tinjunya mendarat di pundak. Tetapi kini, Titisari yang terkejut.

Ternyata sang Dewaresi seorang yang kebal dari senjata. Begitu pundaknya kena serangan, sekonyong-konyong muncullah suatu tenaga ajaib. Tinju Titisari kena dipentalkan membalik. Karuan saja Titisari berusaha sekuat tenaga menahan diri. Meskipun demikian, tubuhnya tergeser juga dari tempatnya dan hampir-hampir melintasi garis lingkaran.

Sang Dewaresi melihat kesempatan bagus. Segera ia mendesak, dan mau tak mau Titisari menjadi gugup juga. Untung ia cukup tenang. Dengan menjejakkan kaki ia meloncat melintasi garis desakan lawan, dan hinggap di seberang sana.

Sang Dewaresi benar-benar memegang janji. Ia tak mau menyerang, tetapi dia cerdik. Dengan bersenjata kekebalan tubuhnya, ia terus mendesak tanpa berhenti. Titisari sebaliknya tak berani melancarkan serangan seperti tadi. Ia sadar akan bahaya. Apabila berani melontarkan pukulan, pastilah dirinya akan kena dipentalkan balik. Itulah sebabnya ia hanya lari berputaran menghindarkan desakan lawan. Sekonyong-konyong ia berkata nyaring. “Di antara kita belum ada yang kalah dan menang. Aku akan keluar lingkaran, tetapi bukan karena kaudesak kalah atau kaulon-tarkan keluar. Semata-mata, karena aku ingin pergi. Kamu kan tidak akan mengejar? Bila kamu mengejar, berarti kamu kalah, karena kamu akan keluar dari lingkaran. Bukankah kau tadi berjanji, apabila kedua-keduanya keluar dari lingkaran engkau akan terhitung kalah dan tidak akan menggangguku lagi?”

Sang Dewaresi berdiri tegak tercengang-cengang. Alangkah cerdik gadis ini, pikirnya. Terang-terangan ia kena diakali. Sebaliknya Titisari tak memperdulikannya. Dengan tenang-tenang ia keluar dari ruang kadipaten. Hanya saja, tatkala kakinya hampir sampai pada tangga lantai, segera ia melesat pergi secepat-cepatnya. Ia tahu, bahwa di antara mereka bisa berbuat sesuatu hal untuk mencegahnya pada sembarang waktu. Dugaannya ternyata tepat. Belum lagi kakinya meraba halaman, sesosok bayangan telah berdiri tegak di hadapannya. Tak lama kemudian yang lain-lain datang pula. Dengan demikian untuk kesekian kalinya, ia kena terkurung. Diam-diam ia mengeluh dalam hati.

“Eh, mengapa kalian mengurungku?” katanya tajam.
“Nona! Kamu benar-benar cerdik dan licin melebihi belut. Seorang demi seorang dapat kauakali begitu mudah. Sekarang, baiklah kita semua maju berbareng. Kamu mau apa?”

Yang berkata demikian adalah Manyarsewu, sedangkan bayangan yang menghadangnya adalah Cocak Hijau. Kedua pendekar itu masih saja merasa penasaran terhadapnya. Maklumlah, mereka termasuk golongan pendekar sakti yang jarang ada bandingnya pada zaman itu. Kini—mendadak saja—bisa diper-main-mainkan dengan cara tidak wajar oleh seorang gadis muda belia. Siapa pun akan merasa mendongkol dan ingin menebus kekalahannya dengan cara lain.

“Bagus! Bagus!” seni Titisari nyaring. “Jadi kalian tua-tua bangka yang menyombongkan diri menjadi golongan pendekar-pendekar sakti hendak mengeroyok seorang gadis? Bagus!”
Mendengar dampratan Titisari, di antara mereka banyak yang merasa malu. Mereka jadi berbimbang-bimbang hendak melakukan niatnya. Tetapi Cocak Hijau lantas saja berteriak tajam. “Manyarsewu! Apa perlu mengadu mulut dengan dia! Semua tahu, dia anak iblis! Anak belut! Minggir! Biarkan aku seorang yang merampungkan.”

Titisari tak dapat lagi bergerak. Sekelilingnya adalah pagar manusia. Dan semuanya adalah tokoh-tokoh kenamaan. Melawan salah seorang di antara mereka belum tentu dapat menang. Apalagi melawan mereka dengan sekaligus. Sekalipun malaikat belum tentu mampu menumbangkan mereka dengan gampang.

Sekonyong-konyong di luar dugaannya, terjadilah suatu perubahan yang menggemparkan. Waktu itu terdengariah bunyi lonceng tanda bahaya. Mereka yang menguning lantas saja menegakkan kepala dan saling memandang.

Pangeran Bumi Gede segera memanggil penjaga untuk minta penjelasan. Belum lagi penjaga itu datang menghadap, terdengariah dua orang peronda malam datang dengan tergopoh-gopoh. Mereka berteriak sebelum tiba di ruang kadipaten.

“Gusti Pangeran Bumi Gede! Gedung kediaman Raden Ayu kebobolan...”
Berita itu sangat mengejutkan hati Pangeran Bumi Gede. Serentak ia mengumpulkan sisa penjaga dan diperintahkan memanggil seluruh pasukan pengawal. Keadaan lantas saja menjadi kacau.

Manyarsewu dan Cocak Hijau kemudian lari menghampiri Pangeran Bumi Gede. Tak lagi mereka menghiraukan si gadis. Yang lain-lain-nyapun ikut berlari-lari hendak membuat jasa.

Hanya sang Dewaresi seorang yang tak begitu memperdulikan. Hatinya telah terlanjur tertambat oleh kecantikan dan kecerdikan Titisari. Biar bagaimanapun juga, tak rela ia melepaskan dengan begitu saja.

“Eh, Nona! Kau tadi belum memperkenalkan nama ayahmu. Biarlah aku sedikit memaksa dirimu,” katanya nyaring sambil menghampiri.

Titisari terkesiap. Cepat ia menjejakkan kaki hendak kabur daripadanya. Tetapi bagaimana dia bisa melawan kegesitan sang Dewaresi. Tahu-tahu sang Dewaresi telah menghadang di depannya dengan tangan terbuka.

Titisari memekik kaget sambil melesat ke samping. Berkata menyesali, “Hai! Bukankah kamu telah berjanji takkan menggangguku lagi?”

Sang Dewaresi tertawa.
“Biarlah kali ini aku mengingkari kebiasaanku,” katanya.
“Kamu mengatakan, ucapan seorang laki-laki sejati seharga seribu gunung. Manakah buktinya? Orang semacam kamu ini pantaskah kusujudi sebagai guru?”
Merah padam muka sang Dewaresi mendengar ujar Titisari. Tetapi ia bertekad tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan bagus itu.
“Kamu boleh memaki diriku sepuas-puas hati, namun kamu tetap milikku. Kecuali jika mau menyebutkan siapakah ayahmu...”

“Hm...,” dengus Titisari. Ia menjelajahkan matanya hendak mencari penglihatan yang lebih luas lagi. Mendadak tak jauh daripadanya berdirilah sesosok bayangan. Itulah Abdulrasim pendekar dari Madura. Rupanya orang ini pun masih berpenasaran pula karena maksudnya hendak mengetahui nama ayah Titisari belum tercapai.

“Ya—Nona, aku menyokong ucapan sang Dewaresi,” katanya. “Mau tak mau kamu harus meluluskan permintaan kami. Karena bagaimanapun juga, takkan dapat kamu kabur dengan begitu saja.”

Meskipun mendongkol, Titisari terpaksa mengakui benarnya kata-kata itu.
“Baiklah! Aku akan memperkenalkan nama ayahku. Tetapi kalian yang harus berkata, aku hanya akan menunjukkan tanda pengenal,” katanya sambil menghela napas.

“Bagus!” mereka berdua menyahut hampir berbareng.
Titisari kemudian bergerak mengarah ke dinding kadipaten. Sebentar ia mendongakkan kepala, kemudian berkata, “Sekarang lihatlah dan tebaklah dengan cepat! Ingin kutahu apakah kalian ini pantas untuk mengenal nama ayahku.”

Sehabis berkata demikian, tangannya kemudian berputar-putar ke udara. Mendadak saja meninju udara. Sang Dewaresi menge-rinyitkan dahi. Terasa angin tajam menyambar dirinya. Meskipun tidak kuat, tetapi baju luarnya terkibar selintasan. Abdulrasim pun kaget tatkala mendengar kesiur angin. Mau ia menduga tengah kena serangan rahasia. Tetapi ketika kesiur angin itu tiada membawa tenaga, ia jadi heran.

“Nah, aku telah memperkenalkan nama ayahku. Kini terserah padamu belaka, apakah kalian berdua pantas untuk mengenal nama ayahku,” kata Titisari. Dan setelah berkata demikian, cepat ia menjejak tanah dan melesat melompati pagar dinding.

Sang Dewaresi terhenyak. Tanpa disadari ia bergumam, “Ah! Apakah benar dia puteri... Tetapi masa dia dibiarkan sampai di sini? Atau ... ayahnya berada pula tak jauh dari sini...? Ih, Urusan ini bisa jadi berantakan....”

“Apa kau bilang?” tungkas Abdulrasim dengan penuh nafsu.
“Hmm! Apakah engkau belum mengenal ilmu yang baru diperlihatkan tadi?” “Ilmu apa?”
Sang Dewaresi tersenyum merendahkan.

“Ilmu meninju udara kosong. Di seluruh dunia ini hanya dia seorang yang memiliki ilmu sakti itu.”
“Dia siapa?” Abdulrasim kian tak mengerti. “Ayah gadis itu.” “Siapa ayahnya?”

Dengan membalikkan badan, sang Dewaresi berjalan mengarah ke pendopo kadipaten. Kemudian berkata, “Kuperingatkan kepadamu. Mulai sekarang jangan sekali-kali kamu berani mengganggu sehelai rambutnya. Karena dia adalah puteri Adipati Karimun Jawa Surengpati.”

* * *


SETELAH MELOMPATI PAGAR DINDING— Titisari segera lari secepat-cepatnya, la tahu, bahwa salah seorang di antara mereka bisa mengusiknya lagi pada sembarang waktu. Tetapi ketika sekian lama tiada nampak bayangan orang, hatinya jadi lega. Kini ia mulai tenang dan bisa berpikir kembali. Teringatlah dia akan jerit Sangaji sewaktu dirinya masih terkepung rapat-rapat. Karena ingatan itu, hatinya tiba-tiba saja menggigil.

Apakah dia dalam keadaan bahaya? pikirnya.
Ia menghentikan langkahnya. Tanpa mengingat keselamatan diri, segera ia berbalik menuju ke kadipaten. Katanya di dalam hati, biar mereka merajang-rajang aku hancur berserakan, apa yang kutakutkan? Aku harus menolong Aji. Bagaimana pun akibatnya.

Sangaji sendiri waktu itu telah berada di rumah penginapan. Wayan Suage sibuk membebat lukanya dan dengan memberi isyarat ia menyuruh Nuraini berkemas-kemas.

Orang tua itu berduka bukan kepalang. Bagaimana tidak? Tiga belas tahun lamanya, ia tak melupakan anak dan isterinya barang sebentar pun. la merantau dari tempat ke tempat untuk mencari berita di mana mereka berada. Ia enggan bekerja atau berusaha mencari nafkah penghidupan tertentu seperti dahulu, karena kegembiraan hidupnya tiada. Mendadak di luar dugaannya sendiri, ia dapat menemukan mereka dan bertemu kembali pula. Tetapi di luar dugaannya pula, keadaan anak dan isterinya seperti kanak-kanak yang mimpi menggenggam berlian sebesar ibu jari dan menjadi kecewa ketika bangun di pagi hari.

Pada saat itu, ingin ia membunuh diri. Maklumlah, tiba-tiba saja di luar kemauannya sendiri, hatinya menyanyikan lagu kebencian yang meluap-luap. Ia benci mengutuk nasibnya. Ia benci dan mengutuk malapetaka yang menimpa dirinya. Ia benci dan mengutuk perubahan hati isteri dan anaknya. Akhirnya ia benci dan mengutuk pula dirinya sendiri. Gntung pada waktu gelombang kedukaan dan kebencian menindih dirinya, ia menemukan suatu mustika baru yang sangat berharga baginya. Yakni, Sangaji anak sahabatnya.

“Anakku,” katanya berbisik sambil membebat pergelangan tangannya. “Di sebelah selatan Karesidenan Pekalongan terletak sebuah desa aman damai. Desa itu bernama Karangtinalang. Kamu harus pergi ke sana, anakku. Menjenguk kampung halaman, rumahmu dan tempatmu dilahirkan. Di desa itu kamu akan menemukan sebuah halaman luas. Dahulu berdiri sebuah rumah panjang terbuat dari papan. Aku dan almarhum ayahmu-lah yang mendirikan.

Kini, rumah itu tidak ada lagi. Tetapi aku telah membangun sebuah rumah baru di atas tanah itu. Meskipun tidak sementereng dahulu, tetapi cukuplah sebagai bekal hidup tenteram. Jenguklah rumah itu!”

“Syukurlah kalau kamu sudi mendiami,” ia berhenti mengesankan. Tiba-tiba saja matanya merah berkaca-kaca. Meneruskan dengan suara parau. “Milikku satu-satunya di dunia ini hanyalah engkau seorang kini. Bibimu dan adik-angkatmu Sanjaya sudah jadi milik orang lain. Karena itu, rumah dan pekarangan yang berada di desa Karangtinalang adalah milikmu seorang. Dengan ini aku mewariskan pula kepadamu. Kelak, bila aku bertemu almarhum ayahmu di alam baka—akan kusampaikan kabar—bagaimana aku dapat berjumpa denganmu begini tiba-tiba dan tiada terduga sama sekali. Pasti ayahmu akan bergembira dan memuji padaku.”

Sampai di sini, tiba-tiba orang tua itu tersenyum bahagia, seolah-olah telah terbayang keadaan hati sahabatnya yang telah pergi untuk selama-lamanya tiga belas tahun yang lalu.

Sangaji seorang perasa dan berwatak sederhana. Melihat keadaan Wayan Suage, ia jadi bergelisah luar biasa karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak berani ia memandang Wayan Suage lama-lama, pandangnya segera dialihkan kepada Nuraini. Gadis ini pun membungkam mulutnya. Pikirannya sedang kalut. Sanjaya yang sudah berhasil mencuri hatinya, tak pernah terlupakan barang sebentar pun. Sebenarnya ingin ia berada di Pekalongan lebih lama lagi. Tetapi ia tak berani membantah kehendak ayah-angkatnya.

“Nuraini!” Tiba-tiba Wayan Suage berkata kepadanya. “Kamu harus menyertai Sangaji pulang ke kampung halamannya. Tunjukkan di mana rumahnya berdiri. Sampaikan pula kepada kepala kampung, bahwa rumah dan pekaranganku itu kuwariskan kepadanya.”

Nuraini menghadap padanya. Pandang matanya menebak-nebak. Ia menyiratkan pandang pula kepada Sangaji. Tatkala hendak memanggut, tiba-tiba matanya berkilatan. Katanya dengan suara tertekan, “Bukankah kita berangkat pulang ke kampung bersama-sama?”

Wayan Suage tersenyum pahit. Pandangnya tak terlepas daripadanya. Kemudian dengan menahan napas, ia menjawab, “Tidak, anakku. Aku masih mempunyai suatu urusan yang belum kuselesaikan.”

“Ayah mau ke mana?” Nuraini terkejut.
Kembali Wayan Suage menahan napas. Kemudian ia duduk menghempaskan diri di atas pembaringannya. Dengan pandang terharu ia membagi mata kepada Sangaji dan Nuraini. Lama ia berdiam diri seolah-olah lagi menimbang-nimbang suatu susunan kata-kata. Selagi mulutnya hendak berbicara, mendadak terdengarlah suara gemuruh di jalan. Itulah suara derap langkah pengiringpengiring Pangeran Bumi Gede yang sedang mencari padanya. Kaget ia menegakkan tubuh. Sekonyong-konyong ia melompat me-nerkam pergelangan tangan Sangaji sambil berkata mengeluh. “Ah, rupanya dewata tidak memberi kesempatan lebih lagi. Alangkah kikir hidup ini. Mari anakku, aku ingin menyampaikan sesuatu hal kepadamu.”

Ia membawa Sangaji keluar kamar. Kemudian berkata dengan berbisik, “Anakku, tak dapat aku berbicara berkepanjangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti terjadi. Tetapi ingat-ingatlah pesanku ini. Sesampaimu di desa tempat kamu dilahirkan, lekas-lekaslah berangkat ke tenggara. Di sana kamu akan melihat sepetak hutan, dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar habis. Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian bekas-bekas kelebatannya belum juga hilang. Di sana kamu akan melihat sungai berlumpur yang melingkari hutan itu. Carilah di antara tebingnya suatu penglihatan penuh batu-batu. Turunlah ke bawah. Di dasar sungai itu, kamu akan menemukan pusaka warisanmu. Dua buah jumlahnya. Kuwariskan kedua-duanya pula kepadamu.”

Sangaji pada saat itu seperti kehilangan dirinya sendiri. Maklumlah, dalam waktu sesingkat itu, ia memperoleh kesan-kesan luar biasa yang mengejutkan hatinya yang sederhana. Meskipun demikian—karena kesan kesungguhan Wayan Suage—masih ia mampu berkata, “Pusaka apa itu?”

“Hm,” dengus Wayan Suage. Ia melemparkan pandang ke arah jalan. Pengiring-pe-ngiring Pangeran Bumi Gede mulai mengepung penginapan. Sekaligus terjadilah suatu kegemparan. Baik pemilik rumah penginapan maupun yang menginap jadi terbangun terkejut. Mereka lari berserabutan keluar untuk mencari keterangan mengapa tiba-tiba rumah penginapan dikepung oleh para penguasa pemerintah. Melihat keadaan demikian, Wayan Suage mengambil keputusan cepat.

“Ingat-ingatlah saja jumlahnya. Kelak kamu akan mengerti sendiri. Sekarang tidak ada waktu lagi untuk menerangkan sejelas-jelasnya. Mari anakku, tolong ikatkan tombakku ke lenganku. Biar bagaimana, aku tak menyerah begitu saja terhadap mereka.”

Setelah berkata demikian, Wayan Suage memasuki kamar dan menyambar sebilah tombak yang sudah berkarat. Tombak itu segera diangsurkan kepada Sangaji.

“Carilah tali pengikat!” perintahnya. -
Mula-mula Sangaji tak mengerti maksud Wayan Suage. Tetapi ketika pandang matanya melihat kain pembebat yang melibat perge-langan tangan, segera ia dapat menebak maksudnya. Wayan Suage benar-benar telah mengambil keputusan hendak mengadakan perlawanan dengan mengadu nyawa. Karena pergelangan tangannya patah, maka ia hendak mengikatkan sebilah tombak pada lengannya.

Sebentar saja Sangaji telah menemukan tali pengikat dan segera bekerja dengan tekun. Tangkai tombak ditempelkan pada sisi lengan, kemudian dengan cekatan ia mengikatnya erat-erat.

“Anakku!” kata Wayan Suage dengan nada tegar. “Semasa mudaku, aku pandai bermain tombak ajaran pulau Bali. Ayahmu pun mahir pula. Dahulu dengan bekerjasama dengan ayahmu, aku pernah mengusir tujuh orang rombongan Banyumas sekaligus. Sekarang meskipun aku hanya seorang—belum tentu akan dirobohkan mereka dengan gampang.”

Mendengar Wayan Suage mengisahkan pengalamannya dahulu dengan almarhum ayahnya, hati Sangaji berdebar-debar. Ibunya tak pernah menceritakan tentang ayahnya. Barangkali bermaksud agar dia tidak terganggu kedamaian hatinya. Itulah sebabnya, tak mengherankan kalau ia ingin mengetahui dengan penuh nafsu. Sayang, tatkala ia hendak minta kisah ayahnya lebih banyak lagi, pasukan Pangeran Bumi Gede mulai memasuki halaman rumah-penginapan.

“Sangaji! Nuraini. Di sini kita terjepit. Mari kita mencari tempat yang lebih luas!” kata Wayan Suage nyaring.
“Agaknya kita telah terkepung, Paman,” sahut Sangaji.
“Benarkah kita telah terkepung?”
“Kudengar di belakang rumah suara berde-rapan,” sambung Nuraini cemas.

“Ah!” tukas Wayan Suage. Kemudian ia tertawa mendongak. Dengan membusungkan dada, lantas dia berkata, “Bagus! Mari anak-anak, kuajari bagaimana cara menerobos kepungan lawan, agar di kemudian hari kalian tak gampang menyerah tanpa perlawanan.”

Setelah berkata demikian,  dengan menjejak tanah ia melesat memasuki  halaman depan.
Sangaji dan Nuraini mengikuti tak jauh di belakangnya.

Kemarin siang Sangaji sudah melihat kepandaian Nuraini menjatuhkan semua lawan-lawannya. Karena itu ia percaya, kalau gadis itu akan bisa membawa diri. Juga terhadap kemampuan Wayan Suage, Sangaji tidak sangsi lagi. Bukankah sewaktu masih bernama Mustapa si tukang canang, dengan sekali dapat berhasil mementalkan dua orang laki-laki yang mencoba-coba mengadu nasib. Hanya kali ini, gerak-geriknya jauh lebih cekatan dan mantap. Di dekat pintu pagar ia disambut oleh dua orang prajurit yang mem-bekal pedang panjang. Tetapi dengan sekali gerakan, ia dapat mengemplang mereka berdua sekaligus dan terpental bergulingan di atas tanah. Peristiwa semudah itu membangunkan semangat tempur baginya.

Kepala pasukan yang datang mengepung rumah-penginapan adalah si gendut Danu-winoto yang pernah dihajar Panembahan Tirtomoyo. Orang itu dengan memaki-maki menghampiri Wayan Suage ketika melihat dua orang prajuritnya luka parah. Dengan menggunakan penggada, lantas saja ia merangsak. Tenaganya benar-benar hebat. Tiap geraknya menimbulkan kesiur angin. Tetapi Wayan Suage tidak gentar. Maklumlah, dalam hatinya telah terjadi suatu keputusan hendak mengadu nyawa. Setiap gerak-geriknya tiada ia ragu atau bercemas hati. Itulah sebabnya, ia dapat bergerak dengan gesit. Meskipun kakinya buntung, tiada mengurangi kesehatannya, la lantas menerjang si gendut Danuwinoto. Diluar dugaannya sendiri, ia berhasil merobohkan si gendut demikian gampang. Dengan sekali gerak, tombaknya yang telah berkaratan telah menusuk paha lawannya. Si gendut Danuwinoto berteriak seperti babi terjepit. Kemudian kabur dengan kaki terpincang-pincang. Pasukannya lantas ikut berlomba-lomba melarikan diri.


Seperti seorang pendekar Wayan Suage berdiri tegap di depan rumah penginapan. Hatinya lega dan tegar. Dengan menudingkan tombaknya, ia berkata kepada Sangaji, “Mereka semua adalah sebangsa cecurut. Mari kita mencari tempat yang agak luas. Tak lama lagi yang lain-lainnya akan datang juga. Dan tiada guna, kita melarikan diri. Bagaimanapun juga tidak akan mereka melepaskan kita. Hanya saja Sangaji dan kau Nuraini, apabila aku tiada kuat bertahan lekaslah kalian melarikan diri. Tanjaklah bukit di sebelah selatan itu! Di balik sana adalah dataran lembah. Jika tidak ada halangan, dalam sepuluh hari kalian akan tiba di Desa Karangtinalang.”

Waktu itu fajar hari telah tiba. Udara mulai cerah. Seleret sinar putih kekuning-kuningan menjengukkan diri di ufuk timur. Angin pagi hari menghembus sejuk dan melayang rendah. Sebenarnya hari akan melahirkan suatu tirai kedamaian. Sayang keadaan sekitar rumah penginapan tidak demikian. Bahkan sebentar saja seluruh penjuru Kota Pekalongan mulai disusupi berita pertempuran. Penduduk lantas saja datang berbondong-bondong menuju ke tempat pertempuran. Mereka seolah-olah sedang disuguhi suatu permainan olahraga yang menarik.

Wayan Suage ternyata memilih tempat sewaktu dia membuka arena pertandingan di Pekalongan. Pikirnya, aku mulai dari sini. Biarlah aku mati pula di sini. Apa perlu aku menyesalkan nyawaku, karena bukankah aku telah bertemu dengan anak-isteriku?

Tak lama kemudian pasukan Pangeran Bumi Gede telah datang lagi. Kali ini, pen-dekar-pendekar sakti ikut pula mengiringkan Pangeran Bumi Gede. Pangeran itu naik kuda. Dengan membawa tongkat ia memasuki gelanggang dan berhenti sekira lima puluh langkah dari Wayan Suage.

Wayan Suage lantas saja berdiri tegak di tengah lapangan. Ia seperti seorang dewa atau batu karang yang berkesan teguh dan angker. Pandangannya tajam dan tidak beragu. Diam-diam, Sangaji kagum padanya. Pikirnya, alangkah gagah dan perwira dia. Dia berkata pernah bertempur bahu-membahu bersama ayah menggempur musuh. Apakah ayah segagah dia pula? Memikir demikian, hatinya jadi berguncang.

Mendadak pada waktu itu muncullah dua orang laki-laki dari jurusan barat. Salah seorang dari mereka mengenakan pakaian pendeta. Rambutnya dibiarkan terurai panjang bagaikan seorang pahlawan zaman bahari. Melihat orang itu, Wayan Suage nampak terkejut. Sekonyong-konyong ia lari menghampiri sambil berseru nyaring, “Tuan Pendeta. Bukankah tuan Ki Hajar Karangpandan? Hari ini kita berjumpa kembali!”

Sangaji kaget mendengar Wayan Suage menyebutkan nama itu. Baru saja ia hendak mengamat-amati, mendadak saja matanya terpikat pada laki-laki yang lain. Tanpa menunggu waktu lagi, segera dia pun lari menyongsong. Serunya girang, “Aki! Ki Tunjungbiru! Mengapa Aki sampai datang pula ke sini?”

Kedua orang itu sesungguhnya Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru. Mereka adalah sahabat lama pada zaman Perang Giyanti. Pernah mereka bertanding selama lima hari lima malam semata-mata berebut kehormatan diri. Mereka sampai pula bersumpah tak akan kawin selama hidupnya untuk menentukan kalah-menangnya. Tiba-tiba dengan tak terduga-duga mereka bertemu di perbatasan Kota Pekalongan dan ber-sama-sama memasuki kota. Ki Hajar Karang-pandan memang bertujuan ke Pekalongan hendak menyusul muridnya. Sedangkan Ki Tunjungbiru dahulu pernah berjanji kepada Jaga Saradenta dan Wirapati ke mana mereka pergi, apabila telah memperoleh kabar tentang beradanya si iblis Pringgasakti. Agaknya dia telah memperoleh jejak dan cepat-cepat mengikuti tanda-tanda arah perjalanan Jaga Saradenta dan Wirapati seperti yang diatur dalam perjanjian mereka. Dengan mengikuti tanda-tanda itu sampailah dia ke batas daerah Pekalongan. Dan pada suatu hari dia bertemu dengan sahabat lamanya Ki Hajar Karang-pandan. Inilah suatu pertemuan di luar dugaannya. Dan sekali lagi ia bertemu pula dengan Sangaji. Meskipun beradanya Sangaji di Pekalongan tiada begitu mengherankan hatinya mengingat tanda-tanda arah yang ditinggalkan Jaga Saradenta dan Wirapati di sepanjang jalan, tetapi pertemuan itu sendiri sangat mengejutkan. Maklumlah, ia melihat si anak sedang dikurung sepasukan perajurit yang bersenjata lengkap. Ingin ia mendapat keterangan apa sebab-musababnya dan di mana pula kedua gurunya berada. Namun pada saat itu, ia mendengar suara Ki Hajar Karangpandan yang berkata sengit kepada Wayan Suage. “Tuan berkata apa?”

Wayan Suage tahu, bahwa pendeta itu lupa padanya. Maklumlah, selama dua belas tahun belum pernah berjumpa kembali biar sekalipun. Apa lagi keadaan dirinya kini jauh berubah daripada dahulu. Perawakan tubuhnya tidaklah sekekar dahulu. Raut mukanya penuh kisut dan kakinya buntung sebelah.

“Dua belas tahun yang lalu, bukankah Tuan pernah singgah di rumahku? Waktu itu hujan turun sangat deras. Kebetulan sekali kami memasak ayam ikut merayakan hari penobatan Sultan Hamengku Buwono H...”

“Hai!” Ki Hajar Karangpandan terkesiap. Tiba-tiba saja Wayan Suage memeluknya erat-erat. Tubuhnya menggigil. Gugup Ki Hajar Karangpandan menyambutnya. Tetapi dia masih saja bersangsi. Hal itu tiada mengherankan, karena dia memperoleh kesan-kesan hebat pada hari itu. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan sendiri bagaimana hutan tempat bersembunyi Wayan Suage terbakar habis.

Wayan Suage dapat memaklumi. Ingin ia memberi keterangan mengapa dia bisa selamat dan kini dapat pula berjumpa kembali. Tetapi keadaannya tak mengijinkan. Pangeran Bumi Gede telah siap memberi aba-aba pasukannya agar menyerbu berbareng. Tetapi bagaimanapun juga ia harus meyakinkan pendeta itu. Maka sekonyong-konyong ia mundur dan menikam Ki Hajar Karangpandan dengan tombaknya, sambil berseru, “Tuan Pendeta! Masih ingatkan Tuan, kepandaian apakah yang kami miliki bersama? Bukankah ini tikaman khas ajaran Bali?”

Ki Hajar Karangpandan terkejut. Gesit ia mundur, tetapi segera ia mengenal gerakan-gerakan Wayan Suage. Dengan terharu ia berseru, “Oh... saudara Wayan Suage. Bukankah engkau ayah Sanjaya? Meskipun jauh berkurang, aku pun mengajarinya pula beberapa jurus ilmu tombak Bali yang kucuri waktu kalian berkelahi melawan bangsat-bangsat Banyumas. Saudara Wayan Suage... ternyata masih hidup.”

Wayan Suage menarik serangannya. Ia tiada menanggapi ucapan Ki Hajar Karangpandan. Dengan melemparkan pandang kepada barisan Pangeran Bumi Gede ia berkata, “Tuan Pendeta! Di antara mereka terdapatlah musuhku yang melarikan isteri dan anakku. Aku hanya minta tolong kepada Tuan Pendeta... sampaikan sepatah kataku kepadanya. Kalau dia sudah berhasil membinasakan aku, sekali-kali jangan ganggu anak sahabatku.”

“Anak sahabatmu? Yang mana?” Ki Hajar Karangpandan heran.
Wayan Suage lantas saja meraih Sangaji yang berdiri tegak di samping Ki Tunjungbiru. Katanya kemudian, “Inilah dia. Dia anak almarhum sahabatku Made Tantre. Namanya Sangaji. Kepadanyalah aku menaruhkan seluruh harapanku.”

“Eh!” Ki Hajar Karangpandan terkejut bercampur heran. Dengan menuding dia berkata gemetaran, “Dia... dia... anak sahabatmu? Anak saudaraku Made Tantre? Di ma-nakah kamu menemukan dia?”

“Kalau dikatakan menemukan, tidaklah kena. Semalam, aku berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Sekarang... hm... mati pun rasanya puas....”

“Eh—kau berkata apa?”
“Aku hendak mengadu nyawa. Aku ingin mati di hadapan anak-isteriku. Dengan cara demikian aku akan menyampaikan kabar penghabisan kepada mereka, bahwa selama itu aku tak pernah melupakan barang sebentar pun.”

Tubuh Ki Hajar Karangpandan tiba-tiba menggigil. Suatu tanda bahwa ia mempunyai kesan hebat dalam dirinya. Sekilas pandang ia merenungi barisan Pangeran Bumi Gede. Kemudian beralih kepada Ki Tunjungbiru.

“Otong pendekar busuk! Setengah abad yang lalu kita pernah mencoba-coba mengadu kekuatan. Jahanam betul, kamu masih saja nampak awet muda. Nah hari ini, marilah kita berlomba lagi mengadu kekuatan. Kita berdua sanggupkah menghabiskan mereka? Mari kita atur begini. Siapa di antara kita yang bisa membunuh mereka lebih banyak, dialah yang menang.”

Ki Tunjungbiru tertawa gelak. Sahutnya, “Kau pendeta jahanam masih berani juga menantangku. Aku ingin tahu, apa kamu masih seperkasa dahulu. Jangan-jangan tulang-tulangmu sudah jadi reyot berkaratan....”

Kedua orang itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Sangaji heran melihat kelakuan mereka. Tapi ketika teringat riwayat mereka berdua sewaktu Ki Tunjungbiru membicarakan kisah pertengkarannya dengan Ki Hajar Karangpandan dan dalam Perang Giyanti, diam-diam ia jadi tersenyum.

Tahulah dia, meskipun mereka berkesan ugal-ugalan namun berhati jantan, dan berwatak kesatria sejati. Mereka berdua lantas saja lari berlomba menyerbu pasukan Pangeran Bumi Gede. Dengan sekali bergerak, tiba-tiba mereka melesat ke kiri dan ke kanan. Tahu-tahu empat orang prajurit Pangeran Bumi Gede kena dipentalkan ke udara dan dilemparkan ke luar gelanggang seolah-olah bola keranjang belaka. Empat orang prajurit itu lantas saja terguling pingsan dengan tak setahunya sendiri pula.

Luar biasa hebat cara mereka berdua menggebrak musuh. Tatkala prajurit-prajurit yang lain datang menyerbu hendak menuntut bela, mereka berdua dengan tertawa terba-hak-bahak menggebu dengan pukulan-pukulan dahsyat. Delapan prajurit sekaligus kena dilontarkan ke udara lagi. Sudah barang tentu, rekan-rekan mereka jadi mundur ketakutan.

Kegemparan lantas saja terjadi. Seorang laki-laki berperawakan kurus jangkung, berambut putih dan bermuka kusut tiba-tiba meloncat memasuki gelanggang. Dengan menggapai semua pasukan yang beroyokan mengundurkan diri, ia memberi aba-aba maju. Kemudian menghadang Ki Hajar Karangpandan seraya membentak.

“Bedebah! Pendeta dari mana sampai keluyuran kemari? Apa sudah bosan hidup?”
Ki Hajar Karangpandan tidak menggubrisnya. Segera ia bergerak lincah hendak menguji pemimpin prajurit itu. Dia menyangka pemimpin prajurit itu paling-paling hanya pandai menggembala orang. Tak tahunya, dia sebenarnya adalah Cocak Hijau pendekar dari Gresik yang berasal dari Sulawesi. Begitulah— secepat kilat mereka telah mengadu tinju. Dahsyat akibatnya. Bentrokan tangan mereka menerbitkan suara gemeretak. Dan masing-masing tergetar mundur tiga langkah.

Ki Hajar Karangpandan terkejut dan heran sehingga ia berkata dalam hati, hai! Kenapa di sini muncul seorang begini perkasa. Siapa dia?
Selagi Ki Hajar Karangpandan keheran-he-ranan, Cocak Hijau pun kaget bukan kepalang. Dia selamanya seorang yang percaya penuh pada kekuatan diri sendiri. Selama berada di Jawa Timur belum pernah ia menemukan tandingan seimbang kecuali melawan Manyarsewu. Di luar dugaannya pada pagi hari itu ia menemukan lawan berbahaya. Tetapi dia memang seorang yang berhati panas. Begitu ia merasakan tenaga getaran musuh yang kuat, ia segera mengerahkan tenaga tambahan.

Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan bukan pula makanan empuk baginya. Dia seorang pendekar yang sudah banyak makan garam.

Sekarang ia  bergerak dengan     hati-hati dan tak berani     menyerang   dengan sembarangan.
Dengan sabar ia melayani Cocak Hijau yang berdarah panas.

Di tempat lain Ki Tunjungbiru menghadapi Manyarsewu pendekar dari Ponorogo. Manyarsewu adalah rekan Cocak Hijau yang lebih berpikir dan bertindak hati-hati. Tak berani dia berlaku ceroboh menghadapi lawan. Tetapi Ki Tunjungbiru seorang pahlawan dari Banten yang pernah mengadu kekuatan melawan Ki Hajar Karangpandan selama lima hari lima malam. Ia seorang pendekar sakti yang pandai menguasai diri. Sehabis perang Banten, ia berkeliling menyusup-nyusup tak pernah menampakkan diri di tengah percaturan hidup. Ini adalah suatu latihan penguasaan diri yang bagus baginya. Di samping itu, ia pernah menghisap getah pohon Dewadaru yang mempunyai tenaga sakti. Bertahun-tahun tenaga sakti itu tersekap di dalam dirinya. Tenaganya makin lama makin menjadi dahsyat, karena selama berkelana tak pernah melalaikan latihan. Itulah sebabnya pula, begitu ia melihat lawannya yang bertempur dengan sabar dan hati-hati, segera dia dapat mengimbangi. Pikirnya, aku ingin tahu sampai berapa hari ia bertahan bertempur dengan cara begini.

Dengan demikian kedua orang itu telah menemukan lawannya yang seimbang. Masing-masing tak berani lagi berlaku sembrono. Tenaga pukulannya makin lama makin menjadi tajam dan menerbitkan kesiur angin.
“Otong!” tiba-tiba Ki Hajar Karangpandan berteriak nyaring. “Kamu pun rupanya menumbuk batu. Hayo kita berlomba lagi, siapa di antara kita yang bisa mengganyang lawan lebih dahulu.”

Sehabis berkata demikian, ia bersuit panjang. Dan dengan disertai tertawa berkakakan ia menyerang Cocak Hijau dahsyat. Gerak-gerakannya lantas menjadi aneh. Nampaknya tak teratur karena berserabutan. Tetapi di luar dugaan orang Cocak Hijau kena dimundurkan demikian gampang.

“Ih,” Cocak Hijau berteriak terkejut. Cepat ia menarik semua lengannya dan dilin-dungkan rapat di depan dadanya. Tetapi Ki Hajar Karangpandan seorang pendekar yang sudah berpengalaman. Sebat luar biasa ia mendesak musuh dan menurunkan tinjunya yang terkenal dahsyat mengarah pelipis. Cocak Hijau kena ditipunya. Orang itu dengan gugup memalingkan muka. Tak tahunya, siku Ki Hajar Karangpandan menyodok pinggang.

Cocak Hijau kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak tanah dan melompat mundur dengan berjungkir-balik. Ketika kakinya telah berdiri tegak di atas tanah, ia segera melolos senjata simpanannya berupa cempuling bercabang tiga.

Cocak Hijau sadar, kalau dia tak bisa menandingi pendeta itu dengan bertangan kosong. Maka begitu ia memperoleh kesempatan, segera dia menyerang kembali dengan jurus-jurus ajaran Bugis.

Orang-orang yang pernah mendengar kabar kesaktian pendekar Gresik itu, heran melihat dia bersenjata. Menurut kabar, belum pernah sekali juga Cocak Hijau melayani musuhnya dengan menggunakan senjata. Itulah suatu tanda, kalau lawannya kali ini bukan sembarang orang.

Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan tetap mengimbangi lawannya dengan bertangan kosong. Melihat caranya melayani lawan, bisa ia merobohkan dengan cepat dan mudah. Tetapi dia seolah-olah enggan berbuat begitu, la selalu mengelak gesit de-ngan sekali-kali melancarkan serangan mendadak. Agaknya ia mau merampas senjata lawan, agar kemenangannya mempunyai mutu lain.

“Hai Otong pendekar busuk!” serunya, “apakah kamu sudah bisa mengencingi musuhmu?”
Ki Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya memperdengarkan suara tertawanya tajam menusuk. Dan tahulah Ki Hajar Karangpandan, bahwa rekannya telah memasuki babak penghabisan untuk menentukan gempuran kemenangan terakhir.

Memperoleh kesan itu, lantas saja ia memperhebat tekanan. Ia meludahi Cocak Hijau, sehingga pendekar Gresik itu memaki-maki kalang-kabut. Bentaknya, “Sebenarnya kamu pendeta edan dari mana?”

Sudahlah menjadi tabiat Ki Hajar Karangpandan, apabila musuhnya mulai menilai dirinya, lantas saja dia menjadi edan-edanan. Dengan tertawa mendongak berbareng meludahi udara,


ia menjawab, “Kamu binatang sekurus cacing, apa ada harganya mengenal namaku? Aku datang dari udik. Dari padepokan Karangpandan. Namaku Ki Hajar Karangpandan. Nih, kamu monyet dari rnana sampai mau menjadi begundal seorang ningrat?”

“Bangsat!” maki Cocak Hijau. “Jadi kamu yang bernama Ki Hajar Karangpandan.” “Ya—kau mau apa?”
Cocak Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok bayangan berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan.
“Bagus!” Cocak Hijau tertawa. “Kemarin kami telah melukai seorang pendeta edan dari Gunung Lawu. Jadi dia pun kakak-seperguru-anmu?”
Ki Hajar Karangpandan terkejut. Bertanya, “Siapa?”
“Hm,” dengusnya. “Bagaimana bisa kamu memperbudak Cocak Hijau agar menyebut nama itu.”

“Bagus! Bagus! Siapa yang memaksamu buat mengabarkan nama kakak-seperguru-anku. Hari ini aku sudah mendengar namamu.' Nah, biar pula hari ini aku mengubur namamu.”

Dia lantas menyerang dahsyat. Cempuling Cocak Hijau yang menyambar-nyambar berdesingan, tak dihiraukan. Dengan suatu gerakan sebat, ia mendesak dan terus mendesak. Tiba-tiba merangsak dengan suatu kecepatan yang susah dilukiskan.

Cocak Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok bayangan berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan. Tatkala dia menoleh, ia heran. Karena yang membantu padanya ialah sang Dewaresi.

Sang Dewaresi sesungguhnya bermusuhan dengan Ki Hajar Karangpandan semenjak dua-tiga belas tahun yang lalu, sewaktu rombongan Banyumas sedang mengawal kedua pusaka sakti Pangeran Semono. Semalam, tatkala hendak berdebat dengan Pangeran Bumi Gede perkara senjata sakti itu, ia telah minta keterangan pula tentang Ki Hajar Karangpandan. Keruan saja, begitu ia mendengar lawan Cocak Hijau memperkenalkan namanya, terbangunlah ingatannya. Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba. Serentak ia menjejak tanah dan melesat memasuki gelanggang. Datangnya bertepatan tatkala Cocak Hijau akan mendapat bahaya.

Ki Hajar Karangpandan terkejut. Tetapi ia tak menjadi gugup. Dia hanya heran, mengapa di pagi hari itu ia bertemu dengan tokoh-tokoh pendekar yang tak boleh dipan-dang enteng. Dan belum lagi ia memperoleh jawaban, datanglah lagi seorang pendekar lain. Dialah Glatikbiru— pendekar kenamaan dari Banyuwangi.

Sang Dewaresi terkejut. Glatikbiru pun tak kurang-kurang kagetnya. Mereka berdua dengan serentak menurunkan sabetan tangannya hendak memotong pergelangan tangan. Ki Hajar Karangpandan takkan bisa diperlakukan demikian. Gesit ia menarik cengkram-annya dan menyodokkan tinju kirinya. Dengandemikian, ketiga orang itu lantas saja mengadu tenaga. Ketiga-tiganya mundur tiga langkah dan merasakan tangannya panas dan bergetar.

Sekarang Ki Hajar Karangpandan insaf, kalau ketiga lawannya tak boleh di pandang enteng. Tatkala melihat sang Dewaresi telah menggenggam bindi dan Glatikbiru tiba-tiba melolos golok, cepat ia menarik pedangnya. Kemudian dengan sekali tetak ia menikam pergelangan tangan. Sang Dewaresi menarik tangannya. Tak tahunya, tikaman Ki Hajar Karangpandan itu masih mempunyai ekornya. Tiba-tiba saja ujungnya meluncur ke arah dada Glatikbiru. Berbareng dengan elakannya mendadak pula Ki Hajar Karangpandan menikam dengan jurus lain ke arah betis Cocak Hijau. Dengan begitu ia melayani tiga orang dengan satu kali gerak. Inilah cara suatu perlawanan yang aneh dan mengagumkan.

Ki Tunjungbiru yang mengadu kekuatan tak jauh dari Ki Hajar Karangpandan mengalami pengeroyokan pula. Tadinya ia sudah berhasil menghajar Manyarsewu kalang-kabut. Ia sudah yakin, kalau akan memenangkan perlombaan. Tak tahunya tiba-tiba datanglah dua orang pendekar sakti yang lain. Mereka adalah, Abdulrasim pendekar dari Madura dan Sawungrana pendekar dari Surabaya.

Dua orang pendekar itu lantas saja merangsak dengan melancarkan serangan-serangan berbahaya. Ki Tunjungbiru heran. Celaka! Rupanya mereka akan menghabiskan tenagaku dahulu. Kemudian mengadakan pengkerubutan bersama. Baik! Akan kucoba sampai di mana kekuatan mereka, pikirnya.

Mendapat pikiran demikian, ia segera mengerahkan tenaga. Kemudian menggempur mereka bertiga dengan berbareng. Hasilnya mengejutkan lawannya belaka. Mereka tak pernah menduga, kalau lawannya ini memiliki tenaga sakti getah pohon Dewadaru yang dahsyat. Itulah sebabnya, begitu mereka kena gempuran, serentak terpental tujuh langkah seperti layang-layang putus.

Di tengah kesibukan itu, berdirilah enam orang yang mempunyai perhatian masing-masing yang jauh berbeda. Yakni, Pangeran Bumi Gede, Sanjaya, Yuyu Rumpung, Wayan Suage, Sangaji dan Nuraini.

Pangeran Bumi Gede tetap bercokol di atas pelana kudanya. Pandangnya tajam dan tak pernah beralih dari pada pertarungan antara para pendekar melawan Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru. Dia nampak selalu menggosok-gosok tongkatnya. Suatu tanda, bahwa dalam hatinya timbul suatu keputusan yang menentukan. Dia adalah seorang pangeran yang bisa bertindak cermat dan hati-hati jika mempunyai maksud dan tujuan. Tetapi pada suatu kali mendadak saja bisa pula berlaku kejam luar biasa. Waktu itu ia memberi isyarat kepada beberapa tamu undangan dan kepala pasukan. Kepada tetamu undangan ia minta bantuan agar melibat kedua orang sakti yang muncul dengan tiba-tiba. Dengan begitu kedua orang itu akan terlibat dalam suatu kesibukan yang tak gampang-gampang dapat membebaskan diri. Sedangkan kepada kepala pasukan ia memberi perintah rahasia agar menangkap Wayan Suage hidup atau mati. Bagi dia adalah suatu aib belaka, bahwasanya selirnya bisa digerumut orang. Dia sama sekali tak menyangka, kalau orang yang memasuki kamar selirnya sebenarnya adalah suaminya yang dahulu sengaja direnggutkan daripadanya.

Sanjaya berpikir lain. Masih saja ia berpenasaran terhadap si buntung yang mengejutkan hati ibunya dan membingungkan hatinya sendiri pula. Masa orang seburuk itu adalah ayah kandungnya? Benar ibunya belum berkata dengan terus terang, tetapi melihat kesan-kesan ibunya dan kata-kata Sangaji ia jadi berbimbang-bimbang. Ke-mudian ia merasa dirinya lagi dipermain-mainkan orang. Karena itu timbullah amarah-nya. Ia ingin menghajar si buntung dan si bocah edan sekaligus di hadapan ayahnya. Setelah itu ia memperoleh alasan kuat untuk menawan mereka. Dengan begitu, ia tak usah lagi berkhawatir terhadap gurunya yang ditakuti dan disegani. Karena ia terlalu terlibat pada soal itu, sama sekali ia tak mengetahui bahwa orang yang ditakuti itu berada di depan matanya.

Yuyu Rumpung mempunyai perhatian lain lagi. Si botak itu masih mendongkol terhadap Sangaji. Semalam ia kena digigit kuat-kuat oleh si bocah sehingga, meninggalkan bekas dalam. Hatinya menaruh dendam. Pagi ini di luar dugaannya, ia melihat si bocah berdiri di tengah lapangan yang semalam telah bisa kabur melompati dinding. Bagus kau bocah edan! Kamu mencari matimu sendiri. Diam-diamlah, tunggu sampai kamu bisa kuganyang hidup-hidup.

Di pihak lain, Nuraini berdiri termangu-mangu. Gadis ini benar-benar kebingungan menghadapi suatu perkembangan yang cepat dan di luar kemampuan otaknya. Hatinya telah kena direbut Sanjaya. Karena itu, begitu ia melihat Sanjaya muncul di lapangan, segera perhatiannya tertumpu padanya. Sanjaya datang menyerbu dengan diiringi pasukannya. Makin ia memperhatikan, hatinya bertambah gandrung. Ia seperti melihat gerak-geriknya seorang dewa yang lagi turun ke bumi.

Sangaji tak memperhatikan dirinya diincar Yuyu Rumpung. Seluruh hatinya lagi memusatkan diri kepada Ki Tunjungbiru yang dikeroyok tiga orang pendekar. Ia tahu ilmu berkelahinya tiada berarti apabila dibandingkan dengan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tetapi bagaimana dia bisa berdiam memeluk tangan belaka, melihat Ki Tunjungbiru dikeroyok orang.

Walaupun bagaimana akibatnya, dia akan membantu Ki Tunjungbiru sedapat-dapatnya. Tetapi sebelum dia maju membantu orang yang dipujanya, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat cepat lewat di depannya. Sebentar ia mengalihkan pandang, maka ia melihat Wayan Suage tiba-tiba merangsak lawan-lawan Ki Hajar Karangpandan.

Sesungguhnya, semenjak ia melihat Ki Hajar Karangpandan dikerubut tiga orang, hatinya jadi gelisah luar biasa. Dua kali ia merasa dilindungi pendeta itu. Yang pertama terjadi pada dua-tiga belas tahun yang lalu, tatkala dia dan almarhum sahabatnya dikerubut orang-orang dari Banyumas. Dan sekarang, di hadapan matanya pula ia melihat dewa penolongnya melindungi dirinya dengan membiarkan dirinya dikerubut orang. Sebagai seorang yang berjiwa kesatria, tak dapat ia menyusahkan orang semata-mata karena dirinya. Maka dengan tombak yang melengket di lengan kanannya ia menusuk sang Dewaresi.

Ki Hajar Karangpandan terkejut. Gugup ia mencegah, “Saudara Wayan Suage, jangan maju. Tak bisa kamu menandingi dia.”

Tetapi seruan itu kasep. Sebat luar biasa sang Dewaresi menyapu gagang tombak Wayan Suage sehingga patah menjadi dua. Kemudian dengan tangan kirinya ia menyodok iga-iga Wayan Suage sehingga roboh terguling.
Pada saat itu, mendadak terdengarlah derap kuda dengan disertai sorak-sorai. Pangeran Bumi Gede, ternyata berotak tajam. Begitu ia melihat para pendekar mau membantu dirinya untuk melibat Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru, lantas saja ia mengarah kepada Wayan Suage.

Cepat luar biasa kudanya telah sampai di depan Wayan Suage yang sudah roboh terguling. Tetapi tatkala tangannya hendak menyambar, sekonyong-konyong melesatlah sebatang pedang memotong pergelangan tangannya. Buru-buru ia menarik tangannya dan menoleh selintasan. Dan nampaklah seorang gadis berdiri tegak tak jauh dari-padanya. Segera gadis itu dikepung pasukannya. Tetapi seorang pemuda yang nampaknya ketolol- tololan maju membobol kepungan. Dialah Sangaji yang mengulurkan tangan membantu Nuraini.

Dengan segenap tenaga ia mengamuk dan berhasil melemparkan empat orang prajurit sekaligus. Kemudian dengan bersenjata sebatang pedang pula, ia menikam ke kiri-ke kanan untuk menggebu lawannya.

Pasukan yang mengepung lantas saja bubar berderai. Untung pada saat itu, Sanjaya datang menolong. Dengan segera keadaan jadi jatuh sebaliknya. Sangaji kena didesaknya, sedangkan Nuraini lantas saja berdiri tegak tidak mau membantu.

Melihat Sangaji dalam keadaan bahaya, Ki Tunjungbiru berusaha melindungi. Tetapi berkali-kali ia gagal mencoba membebaskan diri dari penggeroyokan. Maklumlah, lawan-lawannya adalah pendekar-pendekar sakti semua.

Mereka tak gampang-gampang bisa dimundurkan. Andaikata Ki Tunjungbiru bisa melukai, belum tentu lantas menyerah.
“Jangan khawatir, anakku. Aku datang,” tiba-tiba terdengar suatu suara.
Dalam keadaan terdesak, masih sempat Sangaji menoleh. Serentak ia akan bersorak gembira, karena yang datang ialah kedua gurunya, Jaga Saradenta dan Wirapati.

Seperti diketahui, mereka berpisah dengan Sangaji semenjak di perbatasan Cirebon. Mereka berdua hendak menyelidiki suatu keadaan yang mencurigakan. Maka sampailah mereka di Pekalongan setelah berhasil menghambat perjalanan anak-buah sang Dewaresi di sepanjang jalan.

Demikianlah—ketika melihat muridnya dikepung orang, segera mereka mengerti akan bahaya. Tanpa mencari penjelasan dahulu, lantas saja mereka menyerbukan diri. Karuan saja, kedatangan mereka berdua adalah laksana badai di tengah alam sunyi. Para prajurit yang mengepung Sangaji kena dilemparkan seorang demi seorang yang roboh pingsan bergulingan.

“Jangan hiraukan aku!” teriak Sangaji nyaring. “Tolonglah dahulu Aki Tunjungbiru dan dia...!
Jaga Saradenta dan Wirapati segera mengalihkan pandang. Mendadak mereka melihat dan mengenal Ki Hajar Karangpandan. Serentak mereka berteriak.
“Hai orang edan! Kaupun berada di sini?”
Ki Hajar Karangpandan menoleh. Tatkala melihat mereka berdua, tiba-tiba saja dia tertawa mengguruh seperti laku orang edan benar-benar. Sambil bersuit lantas ia meloncat menghampiri mereka. Sudah barang tentu pendekar yang mengeroyoknya segera memburunya. Tetapi kini mereka menghadapi tiga orang tangguh. Maka pertempuran jadi seimbang.

Syahdan, waktu itu Sanjaya lagi memusatkan perhatian terhadap lawannya. Mendadak ia mendengar suara tertawa gurunya. Ia menoleh dan heran melihat gurunya dikeroyok para tetamu undangan. Segera ia melompat mundur, sambil berteriak.
“Semua berhenti! Semua orang berhenti! Berhenti! Berhenti! Tuan-tuan berhenti!”

Ia terpaksa mengulangi teriakannya beberapa kali, baru maksudnya tersampai. Kemudian dengan takzim ia menghampiri Ki Hajar Karangpandan. Katanya, “Guru! Semua adalah orang kita.”
“Semua siapa?” bentak Ki Hajar Karangpandan.
Sanjaya sangat takut kepada gurunya. Memang dialah satu-satunya yang ditakuti dan disegani. Dengan gemetaran ia menjawab, “Marilah aku perkenalkan. Mereka adalah para tetamu undangan Ayah.”

“Siapa ayahmu?”
Sanjaya jadi terdiam, la tak mengerti, mengapa gurunya berkata demikian. Dengan menaikkan alis ia mengamat-amati gurunya. Kemudian mengalihkan pandang kepada Pangeran Bumi Gede. Tetapi belum lagi matanya melihat muka Pangeran Bumi Gede, mendadak terdengar gunanya membentak Wayan Suage yang masih jatuh tersungkur tak berkutik di atas tanah,

“Dialah ayahmu.”
“Apa?”
“Dialah ayahmu yang benar.” Ki Hajar Karangpandan mengulangi. Kemudian dengan melompati ia menyibakkan sang Dewaresi dan Cocak Hijau yang berada di depan Sanjaya, ia berkata nyaring, “Kamu anak edan! Kamu gila! Kamu badut! Dua belas tahun kamu berada di dalam pelukan orang jahat yang kauanggap sebagai ayahmu. Sekarang kamu telah bertemu dengan ayahmu sejati, mengapa kamu masih saja berdiri seperti orang linglung?”

Sanjaya sesungguhnya telah mendapat kesan aneh terhadap ibunya. Diapun ter-henyak pula ketika mendengar ucapan Sangaji sewaktu hendak membentur Wayan Suage. Walaupun dia belum percaya penuh, namun mengganggu pula hatinya. Kini ia mendengar ujar gurunya yang ditakuti dan disegani. Walaupun gurunya itu terkenal sebagai seorang pendeta yang kadang-kadang menunjukkan tingkah-laku kurang waras, tetapi setiap katanya bisa dipercayai. Tanpa merasa ia menoleh ke arah Wayan Suage yang terbaring di atas tanah. Alangkah hina kesan orang itu. Ia menggeletak di atas tanah seperti pesakitan. Pakaiannya kotor, raut-mukanya penuh kisut dan kakinya buntung sebelah. Kemudian ia berpaling kepada Pangeran Bumi Gede yang nampak gagah duduk di atas pelana kudanya. Pakaiannya serba indah dan mentereng. Lagi pula gagah, ganteng dan berwibawa.

Tak mungkin dia orang jahat. Selamanya dia bersikap agung dan baik kepadaku. Aku dimanjakan. Aku dianggapnya pula sebagai darah dagingnya sendiri. Tak pernah aku melihat, dia mengecewakan Ibu atau aku sendiri. Masa dia bukan ayahku? Hm... apakah orang-orang ini sedang mengujiku atau mempermain-mainkan aku? pikir Sanjaya.

Ia  memeras  otak.  Tanpa  merasa  lagi,  ia  merenungi  Wayan  Suage.  Pikirnya,  dia  ayahku?

Benarkah itu? Orang semiskin ini bagaimana bisa menjadi ayahku? Aneh! Sungguh aneh! Ia berhenti menimbang-nimbang. Mendadak suatu pikiran berkelebat menusuk benak. Ah! Apakah orang ini datang ke Pekalongan dengan membawa rencana-rencana tertentu yang sudah diperhitungkan masak-masak? Siapa tahu, dia sudah berhasil mempengaruhi guruku. Tetapi mengapa pula si bocah edan bisa menyebutkan dia sebagai ayahku? Ah, tidak. Bagaimanapun juga aku takkan mengikuti dia. Alangkah goblok andaikata aku mengorbankan kemuliaan dan kekayaannya dengan mengikuti orang miskin yang tak karuan tempat tinggalnya.

Setelah mendapat keputusan demikian, lantas saja ia berseru kepada gurunya, “Guru! Jangan dengarkan mereka. Guru kena perangkap yang sudah diatur sebelumnya. Sekarang, tolong tangkap orang hina itu! Dialah yang menerbitkan gara-gara tak karuan ini.”

Ki Hajar Karangpandan terbelalak ketika mendengar ujar Sanjaya. Tubuhnya menggigil, karena dadanya serasa mau meledak. Dengan tangan berserabutan ia membentak. “Apa kau bilang? Kau bilang aku kena perangkap? Hm. Benar-benar kamu binatang dan bukan manusia!”

Sang Dewaresi, Cocak Hijau dan Glatikbiru yang masih mendongkol kena disibakkan Ki Hajar Karangpandan ketika melihat dia lagi bercekcok melawan muridnya, segera mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Seperti telah berjanji, mereka bertiga menyerang dengan dahsyat dan sengit. Ki Hajar Karangpandan jadi mendongkol. Dengan terpaksa ia menangkis dan dengan demikian dia jadi bertempur lagi.

Sanjaya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa gurunya berada dalam bahaya. Sebab, ketiga orang itu bukan orang-orang sembarangan. Namun dia tetap berdiam diri buta tuli. Hal itu membuat Ki Hajar Karangpandan benar-benar marah. Dengan bersuit panjang ia mengajak rekan-rekannya menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, agar dia bisa menghukum muridnya.

Ki Tunjungbiru segera mengedipi Jaga Saradenta dan Wirapati. Orang-orang itu tidak lagi menunggu istirahat yang kedua kalinya. Segera mereka melompat membantu Ki Hajar Karangpandan. Tetapi pendekar-pendekar tetamu undangan Pangeran Bumi Gede tidak juga tinggal diam. Meskipun mereka bukan sekutu sang Dewaresi, Cocak Hijau atau Glatikbiru, namun mereka merasa diri menjadi kawan sepihak. Mereka terus saja merangsak bersama.

Sudah barang tentu, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati agak repot melayani mereka. Karena jumlah mereka jauh lebih banyak. Sedangkan tenaga Sangaji atau Nuraini bagaimana bisa diharapkan. Mereka berdua seolah-olah bocah yang belum pandai beringus jika dibandingkan dengan kegagahan para pendekar.

Sanjaya waktu itu tetap berdiam tegak di tempatnya. Meskipun ia.tak senang melihat sikap gurunya, tetapi hatinya kecut. Maklumlah, dia sangat takut kepada gurunya yang bisa berlaku edan-edanan. Maka begitu ia melihat gurunya kerepotan dikerubut para pendekar, diam-diam ia berdoa mudah-mudahan gurunya bisa dibinasakan. Dengan demikian soal yang menggelisahkan itu akan padam tanpa ekor lagi.

Tak lama kemudian Ki Hajar Karangpandan benar-benar kena desak. Lengannya kena dilukai sang Dewaresi. Tetapi ia tak gentar. Dengan memutar pedangnya ia menyabet kalang kabut. Nampaknya tiada teratur, tetapi mendadak dengan sebat menyabet gundul Cocak Hijau. Karuan saja si kurus tua buruburu menangkis dengan cempulingnya. Di luar dugaannya cempulingnya menjadi sem-plak, sehingga terpaksalah dia mundur ber-jempalitan.

“Berhenti!” tiba-tiba terdengar suara nyaring. Itulah suara Wayan Suage yang tiba-tiba berdiri dengan tertatih-tatih.

Entah mengapa, tiba-tiba saja orang-orang mundur berlompatan. Dengan demikian, Wayan Suage seperti berada di tengah arena.

“Berhenti!” dia berteriak lagi. Dengan menje-lajahkan matanya ia berkata lagi, “Tuan-tuan! Sebenarnya aku membuat susah Tuan-tuan sekalian. Soal ini adalah soalku pribadi. Aku akan menyelesaikan sendiri, dan biarkan pula aku menyelesaikan.”

“Hm!” dengus Cocak Hijau yang beradat berangasan. “Apa kau hendak menyerah?”
“Menyerah? Mengapa aku mesti menyerah kepada begundal Belanda? Bukankah kalian datang kemari untuk bersedia diperbudak Pangeran itu?”

Dengan lengan bergetaran ia menuding kepada Pangeran Bumi Gede yang masih saja bercokol di atas pelana kudanya.

“Orang itulah yang menerbitkan gara-gara. Dialah yang merubah suatu kedamaian menjadi suatu keonaran. Dan sekali lagi di sini, ia meletupkan suatu keributan-keributan lagi. Tapi Tuan-tuan! Ini adalah soalku. Dan biarkan aku menyelesaikan soalku sendiri. Tuan-tuan, minggirlah!”

Sehabis berkata begitu, mendadak saja ia melompat hendak menerkam Pangeran Bumi Gede. Orang-orang terkejut. Sama sekali mereka tak mengira, kalau Wayan Suage akan berbuat senekad itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi Gede tersenyum di atas kudanya sambil mengibaskan tongkatnya. Kemudian memberi isyarat kepada orang-orangnya agar meninggalkan gelanggang.

Dilihat sepintas lalu, ia seperti tak melayani Wayan Suage. Tetapi mendadak saja, Wayan Suage terjatuh terkulai sebelum kakinya mendarat ke bumi.

Di antara mereka, hanyalah Wirapati yang mengerti sebabnya, karena dia pernah memperoleh pengalaman. Cepat ia melesat meraih Wayan Suage.

“Saudara! Engkau... engkau...”
Pada saat itu, mendadak saja Wayan Suage menyenakkan mata. Orang yang hendak mati kerapkali mempunyai ingatan tajam dan jernih. Begitu melihat wajah Wirapati, tiba-tiba saja ia dapat mengenalnya.

“Hai... Bukankah kamu Tuan Penolong yang berteriak nyaring tatkala memasuki rumah kami?” “Siapa kamu?” Wirapati terkejut berbareng heran.

Wayan Suage tersenyum. “Aku adalah orang... yang Tuan tolong... Kakiku bukankah engkau yang menolong? Tapi kali ini... agaknya bisa yang merasuk dalam tubuhku tak dapat lagi Tuan tolong... auk!” Napas Wayan Suage lantas menjadi tersengal-sengal. Wirapati yang sudah mengenal hebatnya bisa Pangeran Bumi Gede mengeluh dalam hati. Mukanya lantas saja menjadi pucat.

“Tuan penolong... mana anakku? Mana anak sahabatku?... Sangaji!”
Pada waktu itu orang-orang telah merubung. Mereka nampak seperti orang-orang linglung yang telah kehilangan pikiran. Sangaji pun berada di antara mereka. Begitu mendengar namanya dipanggil cepat ia duduk bersimpuh di hadapan Wayan Suage.

“Benarkah engkau anakku?”
Sangaji adalah orang yang berhati sederhana dan jujur. Menghadapi pertanyaan itu, tak tahulah dia apa yang harus dilakukan. Syukurlah, Wayan Suage tak menunggu dia sampai menjawab. Orang tua itu dengan napas berkempas-kempis meneruskan berkata, “Kau tahu siapa tadi yang melepaskan senjata rahasia? Itulah musuhku dan musuh besarmu. Ayahmupun mati dengan cara begini. Ingat-ingatlah, anakku. Kamu harus pandai menjaga diri, sampai bisa membalaskan dendam ayahmu dan aku,” ia berhenti menarik napas. Meneruskan sambil memutarkan mata, “Tuan Pendeta! Tuan Penolong?”

Ki Hajar Karangpandan segera membungkuk.
Wirapati pun terus saja menyahut, “Engkau hendak berkata apa?” “Bolehkan aku berpesan sepatah kata saja kepada Tuan-tuan berdua?”

Ki Hajar Karangpandan lantas saja menyahut dengan cepat. “Berkatalah! Aku tahu engkau adalah laki-laki sejati. Aku akan mendengarkan tiap patah katamu.”


“Tuan-tuan... aku mempunyai seorang anak perempuan... aku akan mati dengan lapang dada... andaikata... andaikata eh mana anakku Sangaji?”
“Aku di sini, Paman,” sahut Sangaji dengan suara parau.
“Anakku... dahulu hari antara aku dan ayahmu pernah berjanji hendak mengikat suatu persahabatan sejati. Tapi hari ini, ternyata keadaannya mengecewakan... Sanjaya tidak lagi mengakuiku sebagai ayahnya. Dia seperti orang lain... tetapi aku masih mempunyai seorang anak perempuan. Meskipun ia hanya anak-angkat, tetapi ia seperti anak kandungku sendiri...

Anakku, kamu akan kuperjodohkan dengan dia... apakah... apakah... Tuan-tuan berdua, sudikah Tuan-tuan mewakili aku mengatur perjodohan mereka?”
“Aku adalah bibit semula yang menerbitkan gara-gara ini,” sahut Ki Hajar Karangpandang. “Sebelum ajalku sampai, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kehendakmu.”
Wayan Suage tersenyum. Matanya menutup rapat dan ia pulang kembali ke asalnya dengan tenteram. Sangaji berduka berbareng bingung.

Titisari seorang gadis yang baik terhadapku. Masa aku sampai hati meninggalkan dia untuk kawin dengan Nuraini? Lagipula... dengan disaksikan oleh kedua guruku, aku telah diper-tunangkan dengan Sonny puteri Major de Hoop. Apakah... apakah guruku yang berwatak ksatria akan membiarkan aku mengkhianati orang? Ah. Rasanya tidak mudah, pikir Sangaji.

Selama dia berkawan dengan Titisari, ia mempunyai kesan baik terhadap si gadis.
Orang-orang terkejut Sama sekali mereka tak mengira, bahwa Wayan Suage akan berbuat senekat itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi Gede tersenyum di atas kudanya sambil mengibaskan tongkatnya.

Meskipun terhadap Sonny ia tak pernah melupakan, tetapi terhadap gadis Indo itu kesannya hanya sebagai seorang sahabat akrab.
Wirapati sendiri bersikap diam. Ia tak berani bedaku lancang, karena tak tahu persoalannya dengan jelas. Dengan Wayan Suage ia hanya berkenalan selama setengah malam saja, yakni pada dua belas tahun yang lalu. Dengan sendirinya tak mengetahui pula bagaimana hubungannya antara Wayan Suage dan keluarga Sangaji. Kalau saja, ia sampai berjuang mati-matian mencari dan sampai akhirnya mengasuh Sangaji, adalah semata-mata karena suatu perjanjian belaka dengan si pendeta edan Ki Hajar Karangpandan.

Lainlah halnya dengan sikap Ki Hajar Karangpandan. Orang itu senantiasa merasa diri berdosa terhadap keluarga Made Tantre dan Wayan Suage. Semenjak meletusnya malapetaka dua belas tahun yang lalu, tak pernah ia melupakan barang sebentar pun untuk berusaha menebus kesalahannya. Meskipun terjadinya peristiwa itu sama sekali tak dise-ngajanya. Maka begitu ia bertemu dengan Wayan Suage, hatinya girang dan terharu bukan main. Mati-hidupnya lantas saja dianggapnya enteng. Dengan hati seikhlas-ikhlasnya segera ia menyediakan diri untuk menggebu lawan-lawan Wayan Suage. Tak peduli lawan itu adalah anak-buah ayah-angkat Sanjaya, muridnya sendiri atau anak Wayan Suage. Tetapi di luar kemauannya sendiri, justru pada pagi hari itu melihat maut merengut nyawa Wayan Suage. Bagaimana hatinya tak jadi bergoncang?

“Saudara!” keluhnya dalam hati. “Mengapa kamu tergesa-gesa pergi. Mestinya kamu harus mendengarkan dahulu jerih payahku menebus kesalahanku. Anakmu telah kudidik dan kuasuh sekuasa-kuasaku. Sedangkan terhadap keluarga sahabatmu, aku telah berhasil mengikat orang yang dapat kupercayai.”

Sedih luar biasa dia, menyaksikan cara mati Wayan Suage yang begitu berkesan hina. Mestinya tak usahlah dia mengalami kematian begini, seumpama Sanjaya sedikit mempunyai hati manusia, pikirnya. Dan memperoleh pikiran ini, mendadak saja timbullah api kemarahannya. Dan api kemarahannya itu di alamatkan kepada Sanjaya sambil menggerum ia berputar. Kemudian meledak dahsyat. “Binatang! Kamu bukan manusia. Benar-benar kamu

bukan manusia!”
Tetapi tatkala itu, Sanjaya tak nampak lagi batang hidungnya. Mereka semua memusatkan seluruh perhatiannya kepada Wayan Suage, sehingga tidak memperhatikan kapan pasukan Pangeran Bumi Gede mengundurkan diri dari lapangan. Mereka menduga, Sanjaya pun mundur bersama-sama pasukan ayah-angkatnya.

Ki Hajar Karangpandan masih saja terbakar hatinya. Nanar ia menjelajahkan pandang. Kerumun manusia yang tadi datang memenuhi tepi lapangan, belum semuanya bubar. Mereka masih berdiri bergerombolan. Ki Hajar Karangpandan menghampiri mereka dengan maksud menyelidiki. Siapa tahu, Sanjaya menyelinap di antara gerombolan manusia untuk mengintip keadaan mereka. Orang tua itu juga mau percaya, kalau Sanjaya menyelinap di antara gerombolan manusia untuk mengintip.

Dugaan Ki Hajar Karangpandan itu ternyata separuh benar. Sanjaya memang belum meninggalkan lapangan, la menyelinap di antara gerombolan manusia dan mengintip keadaan mereka. Inginlah dia mengetahui, apakah yang akan dilakukan mereka selanjutnya. Terhadap kematian Wayan Suage ia tak mempunyai kesan banyak, la hanya terkejut menjadi mendongkol dan ingin melihat kematian gurunya pada hari itu juga. Pikirnya, kalau dia masih saja hidup, di kemudian hari pasti akan menyusahkanku. Tetapi gurunya ternyata tak dapat ditewaskan oleh tetamu-tetamu undangan ayah angkatnya. Inilah yang membuat hatinya keder. Untuk kepentingannya pada hari depan, ia mengetahui apa yang akan dilakukan gurunya.

Mendadak saja, ia melihat gurunya menyelidiki tiap-tiap gerombol manusia. Sudah barang tentu hatinya kebat-kebit. Hati-hati ia mencoba mendekam dan berjalan mengendap-endap. Tetapi mata gurunya benar-benar tajam luar biasa. Ia seperti memiliki Ilmu Penciuman. Belum lagi ia sadar apa yang akan dilakukan, gurunya telah meloncat ke udara hendak menerkam gundulnya. Gntunglah pada saat itu, berkelebatlah sesosok bayangan.

Bayangan itu adalah seorang manusia berkepala gede, berambut panjang dan berkulit hitam mengkilat. Dengan menerbitkan kesiur angin, ia memapaki pukulan Ki Hajar Karangpandan yang terjun dari udara. Suatu bentrokan dahsyat tak dapat dihindarkan lagi.

Ki Hajar Karangpandan adalah seorang ahli yang sukar dicari tandingannya pada zaman itu. Tetapi begitu pukulannya kena bentrok, seketika itu juga ia terbang terbalik dan turun ke tanah dengan terhuyung tiga langkah, sedangkan yang menyerang, tetap berdiri tegak.

Bukan main heran Ki Hajar Karangpandan. Siapakah orang itu yang bisa mengundurkan dia sampai tiga langkah? Gntuk sekian tahun lamanya, ia selalu membanggakan ilmu pukulannya yang tak terlawan oleh tenaga apa pun juga. Tiba-tiba pada hari itu ia menemukan seorang lawan tangguh yang memiliki tenaga lebih kuat daripadanya. Cepat-cepat ia mundur dua langkah lagi untuk memusnahkan tenaga lawan.

“Hai, kamu iblis darimana?” bentaknya.
Manusia berkepala gede itu tertawa menyeringai, tapi ia tak melepaskan satu patah katapun juga. Ki Hajar Karangpandan lantas saja sadar, kalau musuhnya seorang yang tinggi hati dan angkuh. Tetapi dia pun tak kalah pula tinggi hati. Menduga, kalau orang itu pun adalah salah seorang pembantu Pangeran Bumi Gede yang tadi beramai-ramai mengkerubut dirinya, maka tak sudi lagi ia minta keterangan. Mendadak saja terjadilah suatu pemandangan yang mendirikan bulu-romanya. Sanjaya muncul di antara kerumun orang. Pemuda itu lantas saja membungkuk hormat kepada si kepala gede sambil berkata, “Guru! Diapun dahulu adalah guruku. Sayang, dia membela musuh dan meninggalkan murid. Apakah orang begitu, pantas untuk dihormati dan dihargai?”

Ki Hajar Karangpandan heran melihat sikap Sanjaya.
Hampir-hampir ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Sanjaya menyebut orang itu sebagai gurunya? Ini aneh! la mau menduga, bahwa muridnya itu akan main gila. Maklumlah, terhadap tabiat dan perangai muridnya, ia paham seperti mengenal buku-buku jarinya sendiri. Tetapi ketika mendengar ujar Sanjaya yang begitu menghina dirinya terang-terangan di depan orang asing, sadarlah dia seketika itu juga. Seperti belirang, hati dan jantungnya lantas saja terbakar sehingga dadanya serasa hampir meledak.

“Bedebah! Jahaman!” bentaknya.
Berbareng dengan bentaknya, ia meloncat hendak menerkam tengkuk muridnya. Namun sekali lagi, orang berkepala gede itu mema-paki pukulannya. Gntuk kedua kalinya, ia mengadu tenaga. Juga kali ini, ia kena dimundurkan tiga langkah.

Tetapi kali ini ia tak mau mengalah dengan begitu saja. Sebat luar biasa ia mulai menyerang dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang berkepala gede itu pun lantas saja mengibaskan tangan dan melayani gerak-gerik Ki Hajar Karangpandan tak kurang-kurang gesitnya. Tak lama kemudian, ia bahkan mulai membalas menyerang dengan hebatnya.

Ki Hajar Karangpandan sebenarnya mempunyai kepandaian yang jarang tandingannya pada zaman itu. Tetapi hatinya agak tercekat melihat lawannya memiliki tenaga jauh lebih perkasa. Maklumlah selama hidupnya, ia mau menang sendiri dan menganggap semua orang tak mampu menandingi dirinya. Tak tahunya ia menghadapi suatu kenyataan di luar dugaannya. Itulah sebabnya, hatinya jadi ciut dan menebak-nebak. Maka ia tak berani lagi melepaskan serangan. Gerak-geriknya kini berubah menjadi jurus-jurus mempertahankan diri. Kedua lengannya menyambar-nyambar rapat seperti kitiran dan melindungi dadanya rapat-rapat.

Mendadak saja ia mendengar suara orang berteriak. Itulah Jaga Saradenta yang datang bersama Ki Tunjungbiru.
“Hai pendeta edan! Berkelahilah dengan sungguh-sungguh! Musuhmu bukan manusia wajar. Ia seorang iblis. Namanya Pringgasakti,” teriaknya nyaring.
Ki Hajar Karangpandan terkesiap. Sebagai seorang tokoh pejuang di zaman Perang Giyanti, sudah barang tentu ia mengenal nama itu. Hanya saja, belum pernah ia melihat batang hidungnya. Karuan saja, hatinya bertambah ciut. Meskipun demikian, ia tak menjadi gugup. Cepat luar biasa ia menarik pedangnya dan terus saja membuka suatu serangan berantai.

Orang yang disebut Pringgasakti, sesungguhnya adalah Pringgasakti dahulu yang berkeliaran di sekitar Jakarta dan pernah menggabungkan diri dengan rombongan Pangeran Bumi Gede empat tahun yang lalu, tatkala pangeran itu sedang mengadakan pembicaraan dengan kompeni. Dahulu ia datang di Jakarta dengan adiknya Pringga Aguna. Tetapi dengan tak sengaja, Sangaji membunuh Pringga Aguna dengan pistol di tengah lapangan kala sedang bertempur melawan kedua gurunya. Itulah permulaan babak baru bagi langkah-langkah Pringgasakti selanjutnya. Dengan tekun ia menyelidiki sebab musabab kematian adiknya. Jenazahnya diperiksa dengan cermat. Ketika mene-mukan luka yang menyebabkan adiknya mati, bersumpahlah dia akan mencari si pembunuh sampai ketemu. Demikianlah, ia bertemu dengan Jaga Saradenta, Wirapati, Ki Tunjungbiru dan Sangaji yang sedang bermain sandiwara untuk mengelabui dirinya sampai ia rela melepaskan Sonny si gadis Indo yang hendak dijadikan kelinci percobaan mengompes keterangan. Karena takut kepada ancaman pendekar-pendekar Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi yang dahulu diperankan oleh Ki Tunjungbiru dan Wirapati, cepat-cepat ia meninggalkan Jakarta dan mengabdi kepada Pangeran Bumi Gede. Sebagai seorang yang cerdik lagi cerdas, Pangeran Bumi Gede lantas saja menerima pengabdiannya dengan tangan terbuka. Ia bahkan menyerahkan Sanjaya agar diasuhnya sebagai murid.

Beberapa bulan lamanya ia mengasuh Sanjaya, sambil menghisap-hisap berita. Siapa tahu, ia bisa menemukan si pembunuh adiknya. Dasar Sanjaya seorang yang cerdas, segera ia bisa menurunkan ilmu pukulan-pukulannya yang berbahaya dan khas. Ilmu pukulan itulah yang dilihat Sangaji, sewaktu Sanjaya bertempur melawan Nuraini dan Mustapa di gelanggang adu nasib.


Demikianlah, pada hari itu Pringgasakti keluar pula dari istana untuk mengawal Pangeran Bumi Gede dengan diam-diam. Mendadak saja ia mengenal Ki Tunjungbiru,
Jaga Saradenta, Wirapati dan Sangaji. Ia bersyukur dalam hati. Itulah sebabnya begitu ia melihat Ki Hajar Karangpandan hendak menghukum muridnya, segera dia tampil ke muka memapaki dengan menggunakan enam bagian tenaganya. Ternyata musuhnya tangguh luar biasa, sehingga hatinya jadi tercekat. Pikirnya, belum lagi mereka datang bersama aku bertemu dengan seorang lawan bukan sembarangan. Kalau aku tak bisa merobohkan dia sebelum mereka datang, alangkah akan bertambah sulit. Ia mencoba menggebu Ki Hajar Karangpandan. Tetapi lawannya benar-benar bukan makanan empuk. Dugaannya tepat. Jaga Saradenta dan Ki Tunjungbiru tiba-tiba saja telah datang dan segera memberi peringatan Ki Hajar Karangpandan.
“Ohooo...! Selamat bertemu kembali,” katanya nyaring. “Apa kabar pendekar Gagak Seta dan Kasan Kesambi? Mana mereka?”
Ki Hajar Karangpandan tak mengetahui peristiwa permainan sandiwara mereka. Itulah sebabnya, ia tak memperdulikan. Dengan menggetarkan pedangnya ia menyerang Pringgasakti bertubi-tubi.
Pringgasakti jadi tak bersabar lagi. Dengan gemas ia menangkis tiap serangan Ki Hajar Karangpandan dengan kesiur angin danlengannya yang kebal dari segala senjata. Dengan demikian, Ki Hajar Karangpandan mulai nampak keteter.

Sesudah bertempur beberapa saat, tangan Pringgasakti yang terkenal berbahaya dan kuat, menyambar cepat sampai Ki Hajar Karangpandan tak keburu menarik pedang-nya. Sekaligus terjadi suatu benturan dahsyat. Pedang Ki Hajar Karangpandan kena di-patahkan menjadi dua dan lengan pendeta itu terasa nyeri luar biasa.

“Mundur!” teriak Pringgasakti.
Namun Ki Hajar Karangpandan adalah seorang bekas pejuang terkenal bandel. Ia tak jera menghadapi lawan tangguh. Bahkan sambil melemparkan potongan pedangnya ia mundur sambil berteriak pula, “Mundur!”

Pringgasakti terheran-heran. Belum lagi ia sempat menduga maksud lawannya, tiba-tiba saja Ki Hajar Karangpandan telah menyerangnya dengan tangan kosong. Tenaganya luar biasa kuat, seolah-olah bumi jadi berderak-derak.

Ki Hajar Karangpandan kini bertempur dengan mengandalkan kegesitannya. Dahulu ia pernah mengejar rombongan Banyumas sepesat burung rajawali dan menggempur mereka seorang demi seorang di luar kemampuan manusia lumrah. Di antara mereka hanya Wirapati seorang yang pernah menyaksikan.

Itulah sebabnya begitu ia bertempur dengan menggunakan ilmu itu, semua yang menyaksikan jadi ternganga-nganga karena kagumnya. Dengan Ilmu Rajawali yang cepat dan sebat luar biasa, ia berputar-putar seperti angin dan timbul tenggelam di antara tangkisan-tangkisan dan serangan balasan Pringgasakti. Dan Sanjaya yang melihat dari luar gelanggang jadi kagum dan berkecil hati. Sama sekali tak diduganya, bahwa gurunya memang bukan orang sembarang. Sekarang sadarlah dia, bahwa apa yang pernah diberikan gurunya kepadanya, sebenarnya hanya sebagian kecil belaka. Memperoleh pikiran demikian, diam-diam dia mengkhawatirkan gurunya yang baru. Sesalnya bukan main mengapa tadi dengan terang-terangan ia menghina gurunya di depan Pringgasakti. Kalau saja Pringgasakti bisa dikalahkan gurunya, hukumnya apa yang bakal terjadi tak dapatlah dia membayangkan.

Pringgasakti sebenarnya bukan anak kemarin sore. la seorang yang sakti, kebal lagi pandai. Kalau tidak, bagaimana dia berani bertarung tujuh hari tujuh malam? Hanya saja, ia menjadi sibuk sekali menghadapi cara berkelahi Ki Hajar Karangpandan. Ia menambah tenaga dan memukul berserabutan. Namun tangannya tak pernah sekali juga menyentuh tubuh Ki Hajar


Karangpandan yang berkelebat tak hentinya. Malahan kedua tangan Ki Hajar Karangpandan dapat bekerja terus, menepuk, menyengkeram, menghantam dan membabat dengan disertai tenaga mantran yang dahsyat.
Makin lama pukulan Pringgasakti makin keras dan berbahaya, sedangkan gerakan Ki Hajar Karangpandan menjadi semakin cepat pula. Masing-masing bertempur dengan sungguh-sungguh dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Pringgasakti adalah seorang berpengalaman. Dalam hati, ia berani bertarung sampai tujuh hari tujuh malam. Ki Hajar Karangpandan juga bukan anak lagi belajar beringus. Diapun pernah bertempur mati-matian melawan Ki Tunjungbiru selama lima hari lima malam.

Jaga Saradenta jadi bergelisah. Sebagai seorang kawakan tahulah dia, kalau Ki Hajar Karangpandan bukan lawan Pringgasakti. Meskipun tak gampang-gampang dapat dikalahkan, tetapi untuk merebut kemenangan adalah sukar. Karena ia sangat benci kepada si iblis itu, diam-diam ia berdoa mudah-mudahan Ki Hajar Karangpandan dapat merobohkan. Serentak ia mencabut cempulingnya dan dilemparkan kepada Ki Hajar Karangpandan seraya berkata, “Hai pendeta edan! Sambutlah ini!”

Cempuling Jaga Saradenta bukan sebuah pusaka murahan. Selain terbuat dari bahan baja bercampur besi berani, pusaka itu bertuah pula. Menurut cerita, cempuling itu adalah hasil kerja seorang empu kenamaan pada zaman Panembahan Senopati. Banyaklah sudah jasanya menumpas musuh. Dalam Perang Giyanti, Jaga Saradenta sudah beberapa kali memperoleh faedahnya. Selamanya belum pernah terpisah dari tangannya seakan-akan nyawanya sendiri. Kini pusaka itu diberikan kepada Ki Hajar Karangpandan. Jika bukan mengharapkan sesuatu, mustahillah ia berbuat demikian.

Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan jadi berbesar hati mendapat bantuan Jaga Saradenta. Gerak-geriknya jadi bertambah mantap. Dengan bersiul panjang, ia menghan-tam Pringgasakti dengan suatu gerakan aneh. Gugup Pringgasakti memapaki pukulannya yang aneh. Mendadak saja berubah menjadi gerakan membabat dan menyodok perut.

Keruan saja Pringgasakti tak berani berlaku sembrono lagi. la tak berani menyambut pukulan itu. Dengan menjejak tanah ia mundur dan tahu-tahu sudah menggenggam sepotong senjata berbentuk alu. Entah terbuat dari apa alu itu, tetapi apabila digerakkan menerbitkan kesiur angin dan deru suara.

Sekarang—si iblis berani mengadu tenaga dan senjata, la menggebu terus-menerus tiada hentinya. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan cepat-cepat merubah ilmu cempulingnya. Sekonyong-konyong ia bergulingan di atas tanah dan menghantam kedua kaki musuh. Pringgasakti kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau pendeta itu bisa merubah tata-berkelahinya begitu cepat dan berbahaya. Gntuk meloloskan diri, terpaksa ia meloncat tinggi. Kemudian turun di atas tanah sambil membalas menyerang. Tetapi tahu-tahu Ki Hajar Karangpandan sudah merubah lagi ilmu berkelahinya, la kini melepaskan serangan berantai bagaikan gelombang pasang. Suara anginnya berderu-deru dan terus bergulung seperti arus laut melanda bumi.

Pringgasakti lantas saja menggenggam alunya erat-erat. Ia bermaksud hendak mengadu tenaga, karena tahu dengan pasti kalau ia menang tenaga. Jika tadi menggunakan sebelah tangan, kini ia menggunakan kedua tangannya. Hebat akibatnya. Sedang dengan sebelah tangan saja, pukulannya sudah sangat mengejutkan. Apa lagi kini tenaganya jadi berlipat. Di samping itu ia menggunakan pula tenaga pinggang. Nampaknya gerakannya sederhana, tetapi sebenarnya mengandung tenaga dahsyat yang susah dibendung. Kesiur anginnya saja sudah mampu merobohkan lawan seandainya lawan itu hanya bertenaga tanggung. Oleh karena itu, setiap kali Pringgasakti mengayunkan alunya, cepat-cepat Ki Hajar Karangpandan meloncat menghindari.

Sudah lewat  beberapa puluh      jurus,  angin  pukulan Pringgasakti         bertambah dahsyat dan dahsyat. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan nampak jadi sibuk. Gntung dia memiliki suatu kegesitan yang tak dapat ditandingi orang. Maka dengan mengandalkan kegesitannya, ia terus melawan sebisa-bisanya.

Tetapi ia tak cepat lagi menyerang seperti tadi. Ia terus mundur dan mundur. Tahu-tahu ia terdorong terus sampai terjepit di antara pohon-pohon yang berdiri di tepi lapangan. Ia terkesiap dan tak berdaya memusnahkan tenaga lawan. Ternyata si iblis berkelahi seperti orang edan. Tanpa berkedip ia terus merangsak dan benar-benar berniat hendak merenggut nyawa.

“Nah, apa yang akan kaulakukan? Sekarang kau mampus!” teriaknya nyaring sambil tertawa meriuh.
Semua orang terkesiap menyaksikan peristiwa itu. Sekonyong-konyong alu Pringgasakti menyambar dengan dibarengi suara bergemeretakan. Pohon yang berada di belakang Ki Hajar Karangpandan kena ditumbuk tumbang. Dan pada detik berbahaya itu—di luar dugaan orang— Ki Hajar Karangpandan masih keburu menggenjot tubuhnya dan melompat melewati kepala musuhnya. Anehnya, dalam seribu kerepotannya pendeta bandel itu masih saja bisa memaki musuhnya,

“Kau mampus sendiri! Nah, apa yang akan kaulakukan?” Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta terkejut bukan main. Mereka berdua mengira, kalau Ki Hajar Karangpandan tak dapat meloloskan diri lagi. Seperti telah berjanji, mereka menjejak tanah dan melesat memasuki gelanggang. Kedua tangan mereka terpentang mengancam punggung Pringgasakti untuk menolong nyawa Ki Hajar Karangpandan. Pada detik itu juga, mendadak saja Pringgasakti berputar dan menghantam serangan mereka dengan sekaligus. Dan sesungguhnya dia adalah seorang perkasa pada zaman itu. Patutlah dia disegani, dikagumi dan dikutuk orang. Dalam bentrokan adu tenaga itu, terlihatlah dengan jelas betapa besar tenaganya. Dia dikerubut dua orang. Meskipun demikian, tatkala saling berbentur kedua lawannya dapat dipentalkan terbalik sampai berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan dia sendiri hanya bergeser tempat setengah langkah. Maklumlah, waktu itu tenaganya baru saja dipusatkan menggempur kepala Ki Hajar Karangpandan yang ternyata dapat meloloskan diri.

“Hm,” ia mendengus, “orang-orang semacam kalian inilah yang akan merajai kepu-lauan Jawa? Bagaimana kalian berani menantangku. Jika kalian berdua bisa mempertahankan diri dari senjata andalanku dalam sepuluh jurus saja, aku akan mengakui kalian sebagai guruku.”

“Eh-eh” sahut Ki Hajar Karangpandan sambil tertawa merendahkan. “Benar-benar kamu ingin kami berebut bertiga?”
“Jangan lagi tiga orang. Seribu dewa suruhlah turun dari angkasa. Aku takkan mundur selangkahpun juga.”

Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta kenal akan kegagahan Pringgasakti. Akan tetapi begitu mereka mendengar ucapannya yang bernada sombong dan tak memandang orang, tanpa memperhitungkan akibatnya lantas saja mereka menyahut berbareng.

“Bagus! Mari kita mencoba bergebrak dalam sepuluh jurus.”
“Baik,” jawab Pringgasakti sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Bagaimana jika kalian tak dapat mempertahankan dalam sepuluh jurus?”

“Kalau tak dapat bertahan dalam sepuluh jurus, apa pedulimu?” sahut Jaga Saradenta yang berwatak uring-uringan. “Kalau aku mampus, apa kamu mau menangis?”
Pringgasakti lantas saja menjejak tanah tiga kali sambil berkumat-kamit membaca mantran. Kemudian membentak, “Bagus! Kau pendeta edan, minggirlah dahulu. Aku kan mengirimkan kawanmu ini ke neraka biar digerumuti setan.”

Setelah membentak demikian, ia mengeluarkan senjatanya yang lain berbentuk sebongkah batu baja. Batu baja bertali, ternyata senjata itu berbentuk semacam bandul-an. Kemudian ia mengayun-ayunkan berputaran sampai berbunyi berdengungan. Orang-orang yang


menyaksikan senjata aneh itu, pada kasak-kusuk membicarakan. Meskipun mereka bukan ahli-ahli tata-berkelahi, tapi tahu bagaimana akibatnya bila orang kena kemplang bandul batu baja. Seseorang yang tidak memiliki sekelumit kepandaian, akan hancur kepalanya jika kena sambit. Jangan lagi kena sambit, baru saja tergulung kesiur anginnya sudah bisa dirobohkan tanpa berkutik.

Ki Hajar Karangpandan sadar akan bahaya. Ia segera menyerahkan cempuling Jaga Saradenta kepada pemiliknya. Dia sendiri lantas mengeluarkan sepucuk senjata berbentuk bulan sabit. Sedangkan Ki Tunjungbiru diam-diam mengeluarkan senjata andalannya pula terbuat seperti penjalin dan berbentuk semacam tongkat panjang.

“Kalian sudah siap?” tantang Pringgasakti. “Nah, amat-amatilah sekelilingmu, karena sebentar lagi kalian akan berpisah untuk selama-lamanya dari semuanya.”

Tanpa berbicara lagi, Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta telah membuka serangan. Senjata mereka jauh berbeda, tetapi mempunyai tipu-tipu serangan yang hampir sama dan sejiwa. Dalam satu gebrakan, cempuling Jaga Saradenta mengarah mata, pelipis, hidung, tenggorokan dan dada. Sedangkan tongkat Ki Tunjungbiru, menyodok perut, menyabet pinggang, menusuk ketiak dan membabat kaki. Dengan demikian, Pringgasakti sudah terancam penuh-penuh. Tetapi Pringgasakti memang seorang yang tangguh. Kalau tidak, masa dia sanggup bertempur melawan guru Wirapati sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Dalam setiap pertempuran, belum pernah ia dikalahkan. Kecuali tatkala melawan Adipati Karimun Jawa Surengpati—ayah Titisari. la hanya cukup menggunakan tiga jurus. Pada jurus keempat, lawannya pasti sudah kena dirobohkan. Itulah sebabnya, ia tak memandang mata terhadap macam serangan lawan. Meskipun demikian, kali ini ia terkejut benar-benar. Sama sekali tak diduganya, bahwa dalam satu gebrakan saja lawannya telah mengancam seluruh tubuhnya yang berbahaya. Cepat ia memutar senjata ban-dringannya sambil menusukkan alunya. Dengan menerbitkan suara berdetakan ia menangkis dan mendesak lawan.

“Bagus!” teriak Ki Hajar Karangpandan. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Nah, tinggal lima jurus saja.”
Mendengar teriak Ki Hajar Karangpandan, Pringgasakti mendongkol bukan main. Dalam mengatakan sepuluh jurus tadi, maksud Pringgasakti adalah, jika mereka berdua sanggup mempertahankan serangannya dengan sepuluh jurus. Tetapi Ki Hajar Karangpandan yang berwatak edan-edanan itu, sudah menghitung jumlah serang-menyerang kedua belah pihak. Meskipun demikian, Pringgasakti yang tinggi hati tak mau cekcok berebut benar. Dengan sedikit menggerakkan tangan, batu bajanya lantas saja berputar kencang dan dengan suara mengaung-aung menyerang bertubi-tubi.

Benar-benar cepat dan diluar dugaan orang, cara Pringgasakti menyerang musuh-musuhnya. Tahu-tahu batu baja telah menerobos jaring-jaring pertahanan mereka dan kini menyambar dada. Jarak batu baja dengan dada mereka sudah terlalu dekat. Tak mungkin mereka bisa menghindar atau membebaskan diri. Sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru malah maju sambil menonjokkan tongkatnya. Serangan mengarah kepada urat nadi yang berada di bawah leher. Jika mengenai sasaran, meskipun Pringgasakti berkepandaian setinggi langit, akan punah semua kesaktiannya dan akhirnya akan hidup cacat selama-lamanya.

Sadar akan bahaya, Pringgasakti cepat-cepat menarik batu bajanya, la enggan mati berbareng dengan lawannya. Dengan demikian, masing-masing bebas dari ancaman bahaya.

Enam, tujuh, delapan, sepuluh ... Ya sepuluh jurus!” Teriak Ki Hajar Karangpandan. “Hai kau iblis edan!- Kedua kawanku telah berhasil menangkis sepuluh seranganmu. Sekarang kau mau apa?”

Dalam dua gebrakan itu, Pringgasakti tahu bahwa mereka bukan tandingannya. Ia tahu, bahwa jika bertempur sungguh-sungguh dalam sepuluh jurus pasti akan dapat merobohkan mereka. Sungguh mendongkolkan, mengapa pendeta edan itu sudah menghitung dua gebrakan

sejumlah sepuluh jurus. Dengan mata melolot ia berpikir, baik! Kau boleh mengumbar mulutmu. Biar kurobohkan dahulu mereka. Baru akan membungkam mulutmu.

Setelah memperoleh ketetapan demikian. Lantas saja ia menyerang Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta. Mereka lantas saja bertempur dengan seru. Ki Hajar Karangpandan jadi gelisah. Tahulah dia, bahwa Ki Tujungbiru dan Jaga Saradenta takkan mampu melawan kesaktian Pringgasakti. Andaikata dia sendiri ikut pula terjun dalam gelanggang pertarungan, belum tentu dapat menolong mereka.

Memang Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta waktu itu sudah mulai terdesak kalah. Setelah mendapat pengalaman getir, hati mereka jadi gentar. Tak berani lagi mereka menyambut serangan lawan secara berhadapan. Gerakan lawan terlalu cepat dan diluar dugaan. Maka mereka melayani Pringgasakti dengan cara lain. Dengan mengerahkan tenaga, mulailah mereka bergerak berputaran. Terang sekali mereka hendak menggempur lawan dari samping. Tetapi Pringgasakti bukan anak kemarin sore. Seketika itu juga, tahulah dia menebak maksud mereka. Senjata ban-dringnya lantas saja diputarnya kencang-kencang dan senjata alunya menggempur dari depan. '

Menyaksikan kehebatan Pringgasakti, Ki Hajar Karangpandan mengeluh. Tak dapat lagi ia tinggal diam. Meskipun tak ungkulan ia harus membantu secepat-cepatnya. Tetapi belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan yang terus saja merabu lawan. Itulah pendekar muda Wirapati yang sudah semenjak tadi berada di luar gelanggang memperhatikan pertarungan mereka. Ki Hajar Karangpandan jadi berbesar hati. Lantas saja dengan bersuit panjang, ia memutar senjatanya dan bergerak berputar dengan gesit.

Dengan demikian Pringgasakti dikerubut empat orang. Ternyata ia tangguh luar biasa.
Sadar akan bahaya, cepat-cepat ia merubah tata-berkelahinya. Tak berani lagi ia memandang rendah lawan-lawannya. Senjata alunya kemudian diangkatnya tinggi dan menggempur pundak Jaga Saradenta. Jaga Saradenta kaget bukan main. Tak sempat ia menangkis atau menghindar. Ia menutup mata menerima nasib. Sekonyong-konyong ia mendengar suara benda beradu. Ia menyenak mata dan melihat pedang Wirapati menangkis serangan si iblis. Hebat akibatnya. Pedang Wirapati meskipun tiada patah, tetapi melengkung menjadi bulan sabit. Dan lengannya terasa nyeri menusuk jantung. Terpaksa ia meloncat mundur sambil menarik napas dalam.

Sangaji yang berada di luar gelanggang gugup menghampiri gurunya. Tetapi ia didorong pergi.

“Minggir! Kamu bukan tandingannya,” kata gurunya. Setelah berkata demikian, gurunya meloncat lagi memasuki gelanggang. Dan diam-diam si bocah kagum, bagaimana gurunya dapat memulihkan tenaganya begitu cepat.

Sekarang ia memusatkan seluruh penglihatannya ke medan pertempuran. Ki Tun-jungbiru sedang melabrak maju. Bentuk dan perwujudan orang itu benar-benar mirip
Pringgasakti. Pantaslah—kedua gurunya dahulu—pernah menyangka dia si iblis Pringgasakti. Dan kedua gurunya, dengan gerak-geriknya yang aneh mengepung dari samping. Sedangkan Ki Hajar Karangpandan menyerang dengan berputaran. Pendeta edan itu mengandalkan kegesitannya. Ia bertarung seperti seekor Belibis yang timbul tenggelam di antara gelombang serangan lawan.

Tak lama kemudian Wirapati telah berhasil melibat kaki Pringgasakti. Ia menggaet dengan pedangnya yang sudah melengkung. Tetapi aneh. Meskipun ia menarik dengan sekuat tenaga, kaki Pringgasakti tak bergeming. Kulitnya sangat kebal. Malahan dengan tiba-tiba alu Pringgasakti sudah berkesiur menyambar mukanya.

Cepat-cepat ia menarik pedangnya dan menangkis sedapat-dapatnya. Ia berhasil membebaskan diri dari serangan si iblis, meskipun demikian lengannya jadi pegal kena tindih suatu tenaga dahsyat.


Selama hidupnya, baru kali ini Sangaji melihat kedua gurunya bertempur melawan musuh tangguh. Ia selalu mengagung-agungkan keperkasaan dan kesaktian kedua gurunya, tak tahunya pada hari itu dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan bagaimana mereka berdua jadi kerepotan melawan si iblis.

Pantaslah mereka dahulu agak ketakutan membicarakan kehebatan lawannya. Ki Tunjungbiru bahkan mengakui, kalau mereka bertiga belum tentu bisa melawan. Ternyata ucapannya benar. Bahkan memperoleh bantuan Ki Hajar Karangpandan yang cukup tangguh tak dapat juga memenangkan.

Selagi ia memusatkan seluruh perhatiannya, mendadak saja lengannya serasa ada yang menyentuh. Ia menoleh. Alangkah terkesiap hatinya, karena yang menyentuh lengannya adalah Yuyu Rumpung. Pendekar sakti penase-hat sang Dewaresi itu masih saja berpenasaran kepadanya, la ingin membekuk si bocah dan hendak diganyangnya mentah- mentah, karena gigitan si bogah masih saja terasa nyeri.

“Haaaa! Kau lari ke mana lagi?” Yuyu Rumpung menggeram.
Sangaji terlalu kaget, la melihat mata Yuyu Rumpung yang buas dan menakutkan. Liurnya nampak meruap ke bibirnya, sehingga menerbitkan kesan ngeri luar biasa. Tanpa dikehendaki sendiri, seluruh tenaganya seperti terlolosi.

Nuraini yang sedang menunggu jenazah ayah-angkatnya, melihat Sangaji dalam bahaya. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri ia memungut potongan pedang Ki Hajar Karangpandan yang tadi terpental jatuh tak jauh dari tempatnya. Kemudian ia menyambitkan sejadi-jadinya.

Yuyu Rumpung sebat luar biasa. Matanya tajam dan benar-benar seorang pendekar yang sudah berpengalaman. Begitu ia mendengar kesiur angin, cepat ia menarik tangannya yang sudah mencengkeram lengan Sangaji dan meloncat mundur. Sekarang rasa mendongkolnya diarahkan kepada si gadis. Dengan menjejak tanah ia menyerang. Tetapi si gadis tak gentar. Dengan sikunya ia menapaki. Sudah barang tentu ia kalah tenaga. CIntung Yuyu Rumpung masih dalam keadaan sakit. Tenaga tubuhnya tinggal sebagian. Meskipun demikian, si gadis kena dipentalkan sampai tujuh langkah.

Waktu itu Sangaji seperti telah terbangun dari rasa tak sadarnya. Melihat Nuraini dalam keadaan bahaya, ia datang membantu, meskinya hatinya gentar menghadapi si botak. Dengan demikian Yuyu Rumpung dikerubut dua orang.

Dalam lapangan itu lantas saja merupakan gelanggang pertempuran yang dahsyat. Masing-masing memperoleh tandingannya. Yang masih bebas adalah Sanjaya seorang.
Pemuda yang cerdik, licin dan licik itu, diam-diam mencari kesempatan sebagus- bagusnya, la melihat semua rekan gurunya telah terlibat dalam suatu pertempuran. Inilah saat sebaik-baiknya untuk menurunkan tangan. Diam-diam ia memasuki lapangan dengan membawa senjata jepretan berisikan butiran-butiran racun. Senjata jepretan itu adalah hasil peniruan senjata ayah-angkatnya Pangeran Bumi Gede. Barangsiapa kena bidiknya akan mati terjengkang seperti udang terbakar.

Hati-hati ia mengendap-endap maju. Korban pertama yang hendak diarahnya adalah gurunya sendiri. Yakni, Ki Hajar Karangpandan. Di seluruh dunia hanya dia seorang belaka yang ditakuti dan disegani. Jika orang yang ditakuti dan disegani sudah mampus, ia bisa hidup dengan senang dan bebas dari rasa was-was. Tetapi selagi ia hendak melepaskan peluru racunnya, mendadak berkelebatlah seorang gadis berpakaian putih bersih. Dialah Titisari—sahabat Sangaji.

Sanjaya tak kenal siapa dia. Hanya saja dia heran menyaksikan gerak-geriknya yang gesit dan berwibawa. Gadis itu dengan tak mengenal takut, lantas saja berteriak kepada Pringgasakti. “Abu! Masih berani kamu jual tampang di sini?'


Waktu itu Pringgasakti sudah berada di atas angin. Meskipun ia dikerubut empat orang pendekar sakti, ia bisa mempertahankan diri. Bahkan, makin lama makin bisa mengatasi dan akhirnya mulai pula merangsak membalas menyerang. Menurut pantas, ia takkan mempedulikan siapa saja yang datang mengganggu. Tetapi sungguh—aneh! Begitu ia mendengar ucapan si gadis, mendadak saja ia melompat undur. Ki Hajar Karangpandan, Wirapati dan Jaya Saradenta heran sampai tercengang-cengang. Mereka lantas saja menduga-duga siapakah itu. Memang keadaan mereka waktu itu sudah payah. Meskipun belum tentu dapat dirobohkan, tetapi untuk merebut kemenangan adalah sukar. Kedatangan si gadis yang bisa memberi kesempatan mereka untuk bernapas, benar-benar merupakan dewa penolong belaka.

Sanjaya yang sudah siap membidikkan senjata rahasianya heran. Pikirnya, siapakah dia yang bisa memberi perintah gurunya Pringgasakti agar berhenti berkelahi? Sebagai seorang yang cerdik, licik dan licin, tahulah dia menjaga diri. Cepat ia menyelinap kembali di antara gerombol manusia melihat gelagat.

Waktu itu Pringgasakti berdiri tertegun mengamat-amati si gadis. Meskipun tak kentara, tetapi raut-mukanya nampak berubah.

“Bagaimana adik bisa datang ke mari?”
Mendengar si iblis Pringgasakti memanggil adik terhadap seorang gadis muda belia, semua jadi keheran-heranan. Mereka bertambah sibuk menebak-nebak. Sebaliknya Titisari nampak tenang dan tiada kesan. Dengan pandang mata berwibawa ia merenungi wajah Pringgasakti.

Titisari sebenarnya sudah lama berada di sekitar lapangan. Sewaktu hendak kembali ke kadipaten mencari Sangaji, ia melihat Pangeran Bumi Gede menunggu kuda keluar jalan dengan diikuti semua pasukannya dan dua puluh orang tetamu undangannya. Sebagai seorang cerdik tahulah dia, bahwa di luar kadipaten terjadi suatu peristiwa yang penting. Meskipun demikian, masih saja dia memasuki kadipaten. Ketika dilihatnya Sanjaya ke luar kadipaten pula, dan semua kamar kosong tiada penghuninya, barulah ia mengejar mereka. Segera ia menyaksikan pertempuran itu. Hatinya lega, ketika dilihatnya Sangaji sehat wal'afiat. Bahkan anak muda itu siap pula bertempur. Diam-diam ia bersiaga memberi bantuan, apabila kawannya dalam keadaan berbahaya. Begitulah, dengan berturut-turut ia menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Hanya saja ia tak mendengar janji Ki Hajar Karangpandan hendak menjodohkan Sangaji dengan Nuraini. Tatkala hendak menghampiri mereka, mendadak ia melihat berkelebatnya Sanjaya.

Anak muda itu sedang berbicara dengan seseorang yang berada di tengah-tengah kerumunan manusia. Ia sadar, bahwa pemuda ningrat itu cerdik, licik dan licin. Karena itu ia curiga. Ketika ia mengenal siapa orang yang sedang diajaknya berbicara, sudahlah dia dapat menebak separoh bagian. Lantas saja ia bersembunyi menunggu perkembangan.

Orang itu adalah Pringgasakti, murid ayahnya yang melarikan diri dengan menggondol sebuah kitab pusaka. Ia mengenal orang itu dengan nama Abu. Melihat dia bertempur melawan rombongan Sangaji, segera ia dapat menempatkan diri. Begitu ia melihat Pringgasakti mulai dapat menguasai lawannya, lantas saja ia muncul dan dengan cerdik menggunakan pengaruh ayahnya.

“Hm,” dengusnya, “masih saja kamu berpura-pura dungu? Apakah kamu percaya, bahwa kamu dungu? Apakah kamu percaya, bahwa aku bisa bebas mengarungi lautan di luar pengetahuan ayah?”

Mendengar ujar Titisari, raut-muka Pringgasakti benar-benar jadi berubah. Dengan suara gagap ia berkata, “Apakah ayahmu berada di sini?'
“Kamu boleh menebak-nebak sesukamu,” sahut Titisari. “Legakan hatimu. Ayah masih berada di luar kota. Beliau telah menemukan jejakmu. Aku disuruhnya mendahului. Nah, sebelum Ayah melihatmu, lekaslah kamu kabur. Kalau tidak, kamu harus mengembalikan kitab pusakanya beserta bunganya.”

Pringgasakti berdiri tegak. Tubuhnya menggigil sebentar. Kemudian ia mencoba menguasai ketenangan. Berkata keras, “Kamu kelinci cerdik, janganlah membohongi kakakmu. Ayahmu tak berada di sini.”

“Bagus! Tapi mengapa aku bisa berada di sini? Bagaimana menurut pendapatmu?”
Pringgasakti diam menimbang-nimbang. Ia kenal ayah Titisari. Adipati Karimun Jawa itu bukan orang sembarangan. la seorang sakti, kebal, cerdik dan cerdas luar biasa. Seluruh dunia, hanya dia seorang yang dikagumi, ditakuti dan disegani. Ia bisa berada di mana saja sesuka hatinya. Ia timbul dan lenyap seperti iblis. Dan kekejamannya melebihi iblis juga. Sewaktu ia berhasil mencuri kitab pusakanya dan melarikan diri dari pulau

Karimun Jawa bersama adiknya, ayah Titisari melampiaskan amarahnya kepada segenap nelayan dan pegawai-pegawai kadipaten. Mereka dikutungi lengan dan kakinya dan diusirnya pergi. Semuanya berjumlah empat puluh orang yang jadi cacat tubuh sepanjang hidupnya. Sekarang ia mendengar dari Titisari, kalau Adipati Karimun Surengpati sedang mencari jejaknya. Jika sampai bertemu, bagaimana ia bisa melarikan diri lagi. Hukuman apa yang bakal ditanggung, tak dapatlah dibayangkan lagi. Si kejam itu akan menurunkan tangannya semau-maunya sendiri. Ia bisa dikutungi, diputuskan urat-nadinya, dicukil matanya atau dicabut lidahnya. Memikirkan ancaman hukuman ini, hatinya jadi keder sampai seluruh tubuhnya menggigil.

Guru adalah seorang yang keras hati dan keras kepala. Jika ia mempunyai tujuan, takkan dapat dilepaskan jika belum tercapai. Titisari adalah anak satu-satunya. Bagaimana bisa guru membiarkan dia merantau mengarungi lautan seorang diri? Hm... apakah benar guru berada tak jauh dari sini? pikirnya.

“Adik kecil!” akhirnya ia memutuskan. “Kali ini biarlah kita berpisah di sini untuk selama-lamanya. Meskipun aku murid murtad, aku masih menghormati ayahmu sebagai guru. Selama hidupku, dia akan kusembah sebagai dewaku juga. Karena hari ini aku tak dapat menemui, sudikah kamu mewakiliku menyampaikan sembah sujudku?”

Sehabis berkata begitu, kemudian ia menjejak tanah berjumpalitan. Dan sebentar saja bayangnya tidak nampak lagi. Semua orang kagum menyaksikan keperkasaan si iblis. Pantas semenjak Perang Giyanti orang segan kepadanya. Ternyata namanya tiada kosong melompong. Benar-benar ia manusia tangguh dan sukar dilawan.

Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan hendak menghampiri Titisari, mendadak saja mereka mendengar suara gedebukan orang lagi bertempur. Begitu menoleh, mereka melihat Sangaji dan Nuraini sedang dalam bahaya kena gempuran Yuyu Rumpung. Tanpa diminta lagi. Wirapati terus saja melesat menghampiri sambil mengirimkan bogem mentah. Tentu saja, Yuyu Rumpung yang masih kesakit-sakit-an terkejut mendengar kesiur angin, la sadar kalau lawannya kali ini bukan seempuk Sangaji. Maka cepat-cepat ia bergeser tempat. Tetapi serangan Wirapati bukan serangan murahan. Begitu serangannya yang pertama kena dihindari, lantas saja menyusullah serangannya yang kedua dan ketiga. Kena diberondong serangan berantai demikian, Yuyu Rumpung tak berdaya. Dasar ia masih luka, maka dengan gampang dia kena kemplang sehingga mundur terhuyung-huyung.

“Sangaji! Siapa orang ini?” Wirapati minta keterangan.
“Dialah yang melukai Panembahan Tirtomoyo dengan akal licik,” jawab Sangaji.
Wirapati tak kenal siapakah Panembahan Tirtomoyo, sehingga ia tak begitu mengindahkan.
Terus saja dia berkata, “Lain kali, jika kamu bersua dengan dia, lekas-lekaslah menyimpang.
Dia terlalu berbahaya bagimu.”

Sangaji mengangguk. Mendadak ia diham-piri Ki Hajar Karangpandan, “Apa kau bilang tadi?”
Pendeta edan itu terkejut, waktu Sangaji menyebut-nyebut kakak-seperguruannya. Ia ingin minta keterangan dengan jelas.
“Panembahan Tirtomoyo dilukai orang itu.”
“Di mana dia sekarang?”

“Dia di penginapan. Semalam aku mencoba mencari ramuan obat yang disembunyikan orang itu.”

Mendengar keterangan Sangaji, Ki Hajar Karangpandan lantas saja melesat mengepung Yuyu Rumpung. Ia tahu apa arti ramuan obat itu bagi kakak-seperguruannya yang lagi menderita luka. Sudah barang tentu, Yuyu Rumpung jadi keripuhan. Baru saja melawan Wirapati belum tentu dia bisa menang, apalagi dikerubut dua orang. Itulah sebabnya, begitu ia mencoba bergerak, Ki Hajar Karangpandan dan Wirapati sudah dapat menjungkirbalikkan, sehingga mukanya jadi babak belur.

“Keluarkan obatnya!” bentak Ki Hajar Karangpandan.
Yuyu Rumpung sangat mendongkol terhadap Sangaji. Dendamnya terhadap si bocah naik setinggi kuping. Dengan napas terengah-engah sambil melototi Sangaji, ia menyahut, “Dia telah mencuri semua ramuan obatku. Mengapa kalian hendak mengkerubutku yang tengah luka? Jika kalian ingin mencoba kepandaian, tunggulah barang dua tiga bulan lagi. Nah, itulah namanya pertandingan adil. Siapa yang mampus bukanlah soal penting.”

Mendengar ujar Yuyu Rumpung, Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan mengundurkan diri. Sebagai seorang ksatria, mereka tak sudi berlawanan dengan seseorang yang sedang menderita luka. Lagi pula, ramuan obat sudah berada di tangan Sangaji.

“Baik! Kamu boleh lari ngacir. Tapi awas, jika kamu berani mengusik bocahku, aku seorang tua takkan bakal melepaskanmu hidup-hidup. Biar kamu berada di ujung langit, pasti akan kucari untuk memperhitungkan untung rugi,” ujar Ki Hajar Karangpandan.

Meskipun hatinya mau meledak direndahkan demikian rupa oleh Ki Hajar Karangpandan mau tak mau Yuyu Rumpung terpaksa menelan bulat-bulat. Dengan dada mendongkol ia mengundurkan diri. Dia sadar, tak bisa ungkulan melawan mereka. Karena itu bagaimana dia berani mengumbar mulut. Tetapi diam-diam ia berjanji akan mengadu kepandaian melawan mereka di kemudian hari.

“Bocah,” kata Ki Hajar Karangpandan kepada Sangaji. “Kamu tadi bilang, Panembahan Tirtomoyo berada di penginapan. Dapatkah kamu menunjukkan di mana dia berada?”

Sangaji mengangguk, la hendak melangkah pergi, tiba-tiba mendengar seseorang mene-gor, “Hm...! Bagaimana kalian sampai hati meninggalkan jenazah sahabatmu?”

Mereka semua terkejut seperti tersengat lebah. Serentak mereka menoleh, dan nampaklah seorang laki-laki tua berjalan tertatih-tatih memasuki lapangan. Dia adalah Panembahan Tirtomoyo.

“Aki!” teriak Sangaji gembira. Lantas saja ia lari menghampiri sambil mengeluarkan bungkus obatnya. “Inilah obatnya. Entah benar entah tidak. Aku hanya mengambilnya dengan begitu saja...”

Panembahan Tirtomoyo menyambut Sangaji dengan gembira dan terharu. Bungkus obat itu lalu dibukanya, la memeriksanya sebentar.
“Hm... meskipun bercampur aduk, tetapi semua yang kubutuhkan terdapat di sini.”
Sangaji bergembira bukan kepalang sampai ia meloncat-loncat ke udara. Dasar ia seorang pemuda yang polos dan sederhana. Apa yang terasa di dalam hati, lantas saja dinyatakan tanpa segan-segan.

“Eh... Hajar! Muridmu seorang laki-laki sejati,” tegur Panembahan Tirtomoyo. “Dia seorang jempolan, sampai-sampai aku nyaris terungkap dalam jebakannya.”

Ki Hajar Karangpandan terdiam. Tetapi ia segera sadar akan arti teguran kakak-sepergu-ruannya. Dengan setulus hati ia membungkuk hormat kepada Jaga Saradenta dan Wirapati.

“Tuan pendekar sekalian, terimalah hormatku setulus-tulusnya. Aku bangga terhadap murid Tuan. Bahkan aku patut mengucapkan terima kasih pula. Hm, seumpama tiada Tuan-tuan sekalian, apakah arti hidupku ini. Aku akan dikutuk sejarah. Karena jasa Tuan sekalian, maka aku tak terlalu menderita malu apabila kelak aku bertemu dengan arwah ayah murid Tuan. Tentang muridku sendiri, tak usahlah dibicarakan. Juga bunyi tantanganku dua belas tahun yang lalu. Di sini dan pada hari ini, aku menyatakan takluk.”

Juga Saradenta dan Wirapati terkejut mendengar kata Ki Hajar Karangpandan. Mereka tahu, mengapa pendeta itu mengakui takluk. Semata-mata, karena muridnya mengecewakan hatinya. Mereka jadi bersyukur. Sebab dengan demikian tidaklah sia-sia masa perantauannya selama dua belas tahun di daerah barat. Tetapi Jaga Saradenta cepat-cepat berkata merendahkan diri.

“Eh—sang Pendeta! Biar bagaimanapun juga, kami belum puas, sebelum melihat murid kami dan murid Tuan mengadu kepandaian. Alasan Tuan, mengaku kalah belum meyakinkan kami sama sekali belum kami ketahui bagaimana tinggi rendahnya ilmu murid Tuan.”

“Tidak!” potong Ki Hajar Karangpandan. “Dengan ini benar-benar aku mengaku kalah. Marilah kita berbicara sebagai laki-laki! Dan dengarkan bicaraku.”
Mereka berbicara sambil berjalan menghampiri jenazah Wayan Suage. Sangaji membimbing Panembahan Tirtomoyo yang berjalan bertatih-tatih sambil menelan ramuan obat dengan ludahnya. Sekonyong-konyong ia melihat Titisari berdiri tegak di tengah lapangan. Hatinya girang bukan main, sampai ia mau lari menghampiri. Tetapi tatkala kakinya hendak bergerak, ia mendengar Ki Hajar Karangpandan.

“Laki-laki seluruh dunia tahu semua, bahwa dirinya dihidupi alam bukan semata-mata mencari makan-minum untuk memuaskan perut. Karena mereka sadar, bahwa dirinya bukan termasuk golongan binatang atau iblis. Kewajiban mereka sebagai darmanya sejati ialah, ikut serta memelihara kesejahteraan -jagat sekuasa-kuasanya. Karena itu pula, mereka mengutamakan jiwa luhur di atas segalanya,” ia berhenti sebentar mengesankan. Meneruskan, “Tuan pendekar sekalian berbicara atas dasar mengadu kepandaian? Cuh! Apakah arti ilmu pengetahuan, jika tidak didasari sari-sari hati sejati. Hm...! Biarpun andaikata, muridku memiliki ilmu setinggi langit, apakah artinya jika dibandingkan dengan murid Tuan yang memiliki jiwa luhur dan watak-watak ksatria sejati? Lihatlah, dia tahu menempatkan diri dan menempatkan persoalan. Sewaktu dia terlepas dari pengawasan gurunya, ia sudah kuketemukan berada di lapangan ini mempertaruhkan nyawa untuk ikut membela orang lemah sekuasa-kuasanya.”

“Sedangkan jika dibandingkan dengan para pendekar yang berkumpul di Pekalongan, kepandaiannya sama sekali tak sebanding.
Anak yang lagi belajar beringus tapi sudah memiliki jiwa begitu luhur, bukankah pantas kita junjung tinggi? Inilah seorang ksatria sejati,” ia berhenti lagi. Kemudian berkata dengan suara bergelora, “Tuan-tuan sekalian! Memompa segala bentuk kepandaian kepada seorang murid adalah jauh lebih mudah daripada menanamkan bibit watak ksatria sejati. Iblis pun dapat menyulap manusia goblok menjadi seorang yang ber-ilmu tinggi. Dan jika nilai manusia hanya didasarkan pada suatu taraf ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian belaka, apakah jadinya jagat ini. Semua laki-laki tahu, bahwa jagat ini bakal penuh dengan iblis dan setan! Karena itu terimalah hormatku atas jasa tuan pendekar berdua.”

Sampai di sini selesailah sudah persoalan yang berlarut sampai dua belas tahun. Jaga Saradenta dan Wirapati dinyatakan menang oleh Ki Hajar Karangpandan. Itulah saat yang diharapkan mereka berdua. Dengan demikian, terbacalah sudah jerih payahnya.

Mereka kemudian membimbing Panembahan Tirtomoyo berjalan besama-sama. Orang tua itu kemudian menerangkan mengapa dia tiba-tiba sudah berada di pinggir la-pangan. Semalam ia menunggu kembalinya Sangaji dengan hati gelisah. Ketika dia mendengar kesibukan penduduk kota membicarakan suatu pertempuran seru di lapang-an, dengan menguatkan diri ia pergi menjenguk. Ia melihat mereka sedang mengadu tenaga. Meskipun hatinya ingin membantu, tetapi kesehatan badannya tak mengizinkan.

“Yuyu Rumpung bukan orang sembarangan,” katanya. “Sekiranya dia tidak terluka secara kebetulan, tidak gampang-gampang dia kalian gebu pergi.”
Mereka kemudian duduk mengelilingi jenazah Wayan Suage, sedang Sangaji membawa Titisari duduk pula di antara mereka.

Ki Hajar Karangpandan nampak perasa menyaksikan duka-cita Nuraini.
“Nona,” katanya perlahan. Maukah Nona menceritakan tentang kehidupan ayah-angkat Nona selama beberapa tahun berselang?”

Nuraini menegakkan kepala. Dengan wajah bermuram ia berkata, “Selama delapan tahun lebih, dia mengajakku merantau tak tentu tujuannya. Belum pernah kami berdiam pada suatu tempat. Hanya sekali, dia pernah mengajakku menjenguk Dusun Karangtinalang, untuk memperbaiki reruntuhan rumahnya. Katanya, meskipun tidaklah sementereng dahulu, tetapi cukuplah baik untuk tempat tinggal. Meskipun demikian, dia tak mau mendiami rumah itu. Dia berkata kepadaku, hendak mencari keluarga Made Tantre dahulu...”

Tatkala mengucapkan nama Made Tantre, gadis itu bersuara setengah berbisik. Ia nampak segan-segan. “Bagaimana persoalannya, kamu sampai diambil sebagai anak-angkatnya?”

“Dahulu dia dirawat oleh almarhum ayahku.” Nuraini memberi penjelasan. “Setelah ayahku meninggal, aku dipungutnya sebagai anak-kandungnya sendiri. Aku senang menda-patkan perlindungannya. Sebagai ayah dia tak pernah mengecewakan hatiku. Hanya saja ia terlalu bersusah payah mencarikan jodohku yang sepadan menurut hematnya,” dan kembali ia bersuara perlahan. Mukanya lantas saja menjadi merah dadu.

Sambil berebahan Panembahan Tirtomoyo mendengarkan si gadis berbicara. Setelah menelan ramuan obat, ia merasa menjadi segar. Ingatannya melayang kepada si gadis sewaktu melayani Sanjaya dalam gelanggang adu-nasib. Lantas saja ia menyambung, “Eh— sebentar, Nona. Bolehkah aku bertanya kepadamu?”

Nuraini menoleh kepadanya. Ia tidak menjawab, tetapi pandang matanya bersinar, suatu tanda bahwa hatinya berkenan.
“Siapakah yang mengajarimu mengenal ilmu tata-berkelahi?”
“Semenjak berumur empat tahun aku diajari satu, dua jurus oleh ayahku. Anak-anak Jawa Barat mengenal ilmu berkelahi semenjak kanak-kanak, tak peduli apakah dia seorang laki-laki atau perempuan,” jawab Nuraini dengan terus-terang. “Tetapi ayah-angkatku memberi bahan-bahan sangat berharga pula. Dalam setiap perkelahianku aku selalu mengutamakan jurus-jurus ajaran ayah-angkatku yang jauh lebih perkasa daripada ajaran ayahku sendiri.”

“Hm,” dengus Panembahan Tirtomoyo sambil mengerinyitkan dahi. “Aneh! Aku melihatmu jauh lebih gagah daripada ayah-angkatmu sendiri, kenapa?”

“Barangkali dugaan Aki tidak terlalu salah. Memang aku pernah diajari seorang berilmu sebanyak tiga jurus. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu, tatkala aku diajak ayah-angkat merantau ke Jawa Timur.”

“Siapakah dia?” Panembahan Tirtomoyo menegas sungguh-sungguh.
“Aki, maafkan! Aku telah berjanji kepadanya tak akan membuka nama besarnya terhadap siapa saja. Sebenarnya beliau akan mewariskan seluruh ilmunya. Sayang, otakku tumpul dan tiada guna.”

Panembahan Tirtomoyo terdiam, la tak menegas lagi agar memperoleh keterangan. Tetapi ia masih berpikir terus memecahkan teka-teki itu. Selama Nuraini melayani Sanjaya, ia melihat si gadis menggunakan jurus aneh dan bagus luar biasa. Ia mencoba menebak-nebak siapakah pencipta jurus itu, namun ia tetap tak berhasil. Ia yakin, kalau si pengajar itu pasti seorang berilmu yang sangat tinggi dan tak ingin namanya dikenal. Setelah mendapat dugaan demikian, ia mengalihkan pembicaraan.
“Eh, Hajar! Bukankah kamu guru Sanjaya?”
Ki Hajar Karangpandan mengangguk malas seraya berkata, “Ah, tak pernah kuduga, kalau aku akan dikecewakan. Inilah akibat watakku yang sok ugal-ugalan. Sekarang aku memetik buah pakartiku sendiri. Andaikata aku selalu meniliknya, pastilah anak edan itu sedikit mempunyai keluhuran budi. Hm...!”

“Sejak kapan kau menjadi gurunya?”
“Tepatnya sembilan tahun sembilan bulan yang lalu,” jawab Ki Hajar Karangpandan. “Pada tahun itu juga aku telah menemukan dia secara kebetulan, yakni setelah ketinggalan tiga tahun.”

Sehabis berkata demikian, kemudian ia menghadap kepada Jaga Saradenta dan Wirapati.
“Aku hampir berputus asa. Maklumlah, aku mengira bernasib sial. Aku sudah merasa pasti, akan merasa kalah dalam gelanggang adu kepandaian. Pada suatu hari aku menjenguk kembali Desa Karangtinalang. Mendadak aku melihat ibu Sanjaya berada di depan rumahnya, dengan dikerumuni pengawal-pengawal hamba kerajaan. Terus saja aku kuntit dan akhirnya mendengar kabar bahwa ia diangkat menjadi selir Pangeran Bumi Gede.

Hm... sama sekali tak kuketahui, bahwa pangeran itulah yang menjadi pembunuh kedua sahabatku. Sekiranya aku tahu, bagaimana sudi aku berhubungan dengan dia semata-mata karena ingin mengambil murid anak-isteri sahabatku yang terkena malapetaka.”

“Yakinkah kamu, bahwa gurunya hanya kamu seorang belaka?” potong Panembahan Tirtomoyo.
“Memang aku tak menunggui dan menilik dia pada setiap harinya. Mengapa?” “Aku menemukan sesuatu yang aneh. Ada jurus-jurus yang belum kukenal.” “Eh... apa kamu sudah mengetahui?”

“Kemarin siang, secara kebetulan aku melihat muridmu sedang mengadu tenaga melawan Nona itu, sahabatmu dan Sangaji.”

“Inilah kegoblokkanku. Inilah kesem-bronoanku. Memang terang-terangan, aku diingusi,” kata Ki Hajar Karangpandan dengan suara mengguntur. Dan serentak dia berdiri sambil meledak lagi. “Sekarang kudis itu sudah mulai kucium dan kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Menurut katamu, kamu telah berada di pinggir lapangan semenjak tadi. Mestinya kamu tahu pula, siapakah yang sedang kita gempur bersama. Monyet itu memanggilnya guru dan bahkan mengadu agar aku dibinasakan. Karena aku dikatakan sebagai guru murtad!”

Teringat akan iblis Pringgasakti, mendadak saja teringatlah dia pula kepada Titisari. Serentak ia mengalihkan pandang. Jaga Saradenta dan Wirapati tak terkecuali.

“Hai Nona!” bentaknya. “Kudengar tadi iblis itu memanggilmu adik kecil. Sebenarnya kamu siapa?”
Perlahan-lahan Titisari berdiri. Tak senang ia mendengar pertanyaan Ki Hajar Karang-pandan yang bernada kasar.
“Kamu berbicara dengan siapa?” sahutnya angkuh.
* * *

Disclaimer !

Teks di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

Berlangganan Update via Email:

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 15 SI IBLIS PRINGGASAKTI"

Post a Comment