BENDE MATARAM JILID 15 SI IBLIS PRINGGASAKTI
LONCENG
TANDA BAHAYA LANTAS SAJA MEMECAHKAN kesunyian alam. Waktu itu hari hampir
menjelang fajar-hari. Seleret awan cerah mulai mengambang di udara timur. Angin
dingin mulai pula menebarkan diri menusuki segala penjuru.
Sangaji
terus dibawa lari oleh Wayan Suage. Tetapi tiba-tiba saja Yuyu Rumpung telah
menghadang di depannya.
“Anak
tolol! Apa dia gurumu?” bentaknya. “Jangan harap kamu bisa kabur.”
Sehabis
membentak demikian, terus saja dia menyerang. Tangan kanan Sangaji masih
tergenggam erat-erat, maka terpaksalah dia menangkis dengan tangan kiri. Sudah
barang tentu, tak kuasa ia menahan serangan Yuyu Rumpung, tubuhnya terus saja
terpental dan terlepas dari genggaman tangan Wayan Suage.
Wayan
Suage terkejut. Ia tahu, orang yang menghadangnya itu bukan orang lemah.
Meskipun demikian, tak mau dia mengalah. Ia seperti seorang yang tengah
memperebutkan suatu benda berharga dan tidak mau kehilangan. Itulah sebabnya,
begitu melihat tubuh Sangaji terpental daripadanya, lantas saja ia membalas
menyerang. Sayang, pergelangan tangannya kena dipatahkan Sanjaya kemarin siang.
Karena itu, tak dapat ia menggunakan tinjunya dengan leluasa. Tatkala Yuyu
Rumpung hendak menyambut serangannya dengan suatu gempuran, cepat-cepat ia
menarik dan menyusulkan sikunya.
Yuyu
Rumpung terkejut. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya ia berhasil mengelakkan
diri.
Meskipun
demikian, lengan kanannya masih juga kena tersodok.
“Eh!
Bukankah kamu si buntung tadi siang?” teriak Yuyu Rumpung. Rupanya dia mengenal
si Mustapa yang mencanangkan gadisnya kemarin siang. Heran ia menduga-duga
mengapa orang itu berada di halaman kadipaten. Mendadak teringatlah dia akan
sikap Sanjaya tatkala didesak Panembahan Tirtomoyo. Sebagai seorang benggolan
kawakan, lantas saja ia dapat menebak. Dengan tertawa lebar ia berkata
meneruskan, “Bagus-bagus! Apakah gadismu berada pula di sini?”
Wayan
Suage tak mempedulikan ejekan orang itu. Ia tahu, dirinya takkan sanggup
melawan. Cepat ia menoleh ke arah Sangaji yang telah berdiri tegak. Kemudian
sambil menyambar pergelangan tangan Sangaji, ia berkata gugup. “Anakku! Jangan
layani dia, yang lain-lain akan segera tiba.”
Sekali
lagi Sangaji kena dibawa lari dengan tak dikehendaki sendiri. Tapi kali ini, ia
membantu mempercepat langkah. Maklumlah, sebenarnya dia takut kepada Yuyu
Rumpung. Maka dengan menggenggam pergelangan tangan Wayan Suage, ia lari
mendahului.
“Hai!
Kalian mau kabur ke mana?” bentak Yuyu Rumpung. Orang tua itu segera mengejar.
Tetapi dalam hal kecepatan bergerak, ia kalah gesit dengan Sangaji. Maka ia
ketinggalan beberapa langkah. Meskipun demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya
hendak menyusul. Dalam hati, ia takkan membiarkan buaiannya kabur seenaknya
sendiri.
Sangaji
dan Wayan Suage telah tiba di pagar dinding kadipaten. Seperti telah
bermufakat, mereka meloncat berbareng dan hinggap di atas dinding. Kemudian
menghilang di balik sana. Yuyu Rumpung memaki-maki kalang-kabut. Maklumlah, dia
tak berani meloncat dinding karena mengkhawatirkan luka dalamnya yang belum sembuh
benar seperti sediakala.
Dalam
pada itu di ruang kadipaten terjadilah suatu perubahan yang menggemparkan.
Titisari telah kena dikurung jago-jago undangan Pangeran Bumi Gede. Mereka
semua ingin mendengar pengakuan Titisari tentang hubungannya dengan si iblis
Pringgasakti.
“Nona,” bentak
Abdulrasim jago dari
Madura. “Sekalipun kamu
licin melebihi belut,
tapi tak dapat kau mengingusi aku. Nah— bukankah kamu murid
Pringgasakti?”
Titisari
kala itu dalam keadaan gelisah setelah mendengar pekik Sangaji. Kecuali itu, ia
sedang menguasai pemapasannya. Tetapi orang-orang tak mempedulikan keadaan
dirinya. Syukur, otaknya cerdik. Segera ia menenangkan hati, sehingga tidak
nampak perubahan mukanya.
“Kalian
berkata, kalau aku murid Pringgasakti? Siapakah Pringgasakti itu?” katanya
dengan suara acuh tak acuh.
Abdulrasim
tertawa lebar sambil mendamprat, “Nona—jangan harap kamu bisa mempermainkan
aku. Meskipun kamu memungkiri kenyataan itu sampai jungkir-balik, bagaimana
kamu bisa jungkir balik? Bukankah jurusmu tadi....”
“Kamu
mengacau-balau!” potong Titisari cepat. “Sekali aku belum kenal siapa itu
Pringgasakti. Apakah dia iblis? Setan atau bangsat?”
Mendengar
kata-kata Titisari, Abdulrasim kini jadi tercengang-cengang. Bagaimana tidak?
Orang boleh berbohong atau berpura-pura memungkiri siapa nama gurunya. Tetapi
ia takkan mencaci-maki nama gurunya di depan umum. Tetapi terang sekali, jurus
Titisari tadi adalah jurus ajaran Pringgasakti yang sudah lama terkenal
semenjak beberapa tahun yang lalu. Pikirnya, masa aku bisa salah menebak. Sang
Dewaresi ikut pula menguatkan pendapatku. Maka dengan hati-hati ia minta
penjelasan.
“Eh
Nona! Benarkah kau bukan murid Pringgasakti?”
“Hm,”
dengus Titisari. “Kuakui, memang aku mengenal nama itu. Tetapi kepandaian
Pringgasakti belum cukup berharga untuk kusujudi.”
“Ataukah
dia ayahmu?” tiba-tiba sang Dewaresi ikut berbicara.
“Ayahku?
Cuh!” Titisari meludah. “Bagaimana mungkin aku anak seorang jahanam.
Bukankah
dia seorang iblis yang sudah terkenal sejak aku belum lahir sebagai seorang
perusak keadilan dan kemanusiaan? Ah— kalian pasti sudah lama mengetahui.
Kalianpun sudah pula mendengar kabarnya, bagaimana dia mengkhianati gurunya
dengan mencuri sebuah kitab pusaka. Bukankah dia tadinya murid Kyai Hasan
Bafagih yang bermukim di Cibesi?”
Sekarang,
orang-orang yang mendengar ucapan Titisari jadi berbimbang-bimbang. Mereka
mulai percaya, kalau Titisari bukan murid atau anak Pringgasakti. Tetapi masa
seorang gadis semuda itu dapat mengetahui sejarah Pringgasakti begitu jelas,
jika tidak mempunyai hubungan dekat? Mereka jadi sibuk menduga-duga dan saling
berpandang-an.
Sekonyong-konyong
Abdulrasim menggeser tubuhnya. Mau tak mau ia harus mengakui kekalahannya.
Katanya dengan hormat, “Nona, hitunglah aku telah bisa kaukalahkan. Dengan
terus-terang aku kagum kepadamu. Sekarang perkenankan aku minta penjelasan
tentang namamu.”
Titisari
tertawa perlahan.
“Namaku
Titisari. Lengkapnya, Endang Retno Titisari” “Siapakah nama ayahmu?”
“Hm!
Bukankah kamu hanya ingin mengetahui namaku belaka?”
Terpaksa
Abdulrasim membungkam mulut. Tak dapat lagi ia mendesak, karena telah kalah
berjanji. Sebagai seorang tokoh kenamaan, enggan ia berkutat melawan seorang
gadis di depan orang banyak. Kini tinggal seorang belaka yang masih mampu
menahan si gadis. Yakni, sang Dewaresi. Maklumlah, orang itu telah ikut campur
berbicara. Mau tak mau ia harus mengulurkan tangan.
“Nona,”
katanya takzim. “Seorang demi seorang telah kaujatuhkan. Kini perkenankanlah
aku menguji diri melawan Nona.”
Titisari mengamat-amati sang Dewaresi yang
berpakaian serba putih.
Teringatlah ia akan gerombolan orang-orang anak-buah
Kartawirya. Pikirnya, apa ia pemimpin me-reka?
“Kaki-tanganmu
bukan main banyaknya, sampai ada yang tersesat di Cirebon, malahan terpaksa ada
yang harus kugantung di atas pohon. Baiklah, malam ini aku minta maaf kepadamu
atas kelancanganku,” kata Titisari.
Sang
Dewaresi tertawa. “Apakah Nona telah berjumpa dengan mereka? Kalau mereka
sampai kena Nona gantung di atas pohon, jelas sekali kalau mereka menyerah
kalah karena kagum atas kecantikanmu.”
Mendengar
kata-kata sang Dewaresi, muka Titisari menjadi merah jambu. Tetapi ia dapat
menguasai diri. Menyahut dingin, “Jika mereka benar-benar takluk padaku karena
semata-mata kagum pada kecantikanku... hm... mengapa kamu tak membantuku?
Lihat, aku dikepung manusia-manusia tua bangka.”
Sang
Dewaresi tergugu. Tak dapat ia cepat-cepat menjawab, karena kata-kata Titisari
di luar dugaannya. Dengan tajam ia mengamat-amati wajah si gadis. Terasa dalam
hatinya, kalau gadis yang berdiri di hadapannya itu benar-benar gadis yang
cerdik dan tajam mulut. Dia pandai dan berani melakukan suatu perbuatan apa pun
juga demi kepentingannya hendak membebaskan diri. Bukankah kata-katanya tadi
berarti menerima pengakuannya secara terbuka dan melontarkan kembali padanya
dengan tak usah bersegan-segan lagi?
Tapi
diam-diam sang Dewaresi mengakui, Titisari memang gadis cantik luar biasa.
Tubuhnya padat, gesit dan otaknya cerdas. Kalau tadi ia bermaksud mengejek,
kini hatinya benar-benar jadi tertambat. Mendadak timbullah niat jahatnya.
Katanya dalam hati, gadis ini meskipun memiliki otak setinggi langit, masa aku
tak dapat mengalahkan. Biarlah kudesak dan kupeluknya di depan orang banyak.
Ingin kutahu, apa yang akan dilakukannya.
“Nona!
Kau tadi bicara apa?” katanya mengalihkan pembicaraan.
Waktu
itu Titisari telah menggeserkan tubuhnya, la bermaksud mau segera meninggalkan
ruang kadipaten. Tatkala mendengar kata-kata sang Dewaresi, dengan tersenyum
dia menjawab, “Aku mau pergi. Kaulihat, mereka mau menangkapku. Entah apa
maksudnya. Kamu mau membantuku menghalang-halangi maksud mereka, bukan?”
“Ah,
Nona minta bantuanku? Itu perkara mudah, asal saja Nona mau menjadi muridku dan
taat pada setiap perintahku.” Titisari menaikkan alisnya. Kemudian dengan
tersenyum ia menjawab, “Kauingin mengambilku menjadi muridmu?”
“Ya,
bahkan kuangkat pula menjadi pem-bantuku.”
“Ha—andaikata
aku menjadi muridmu, apa perlu kamu mengangkatku pula sebagai pem-bantumu?”
“Agar
selalu berdekatan denganku.”
Merah
muka Titisari mendengar ujar sang Dewaresi. Sebagai seorang gadis yang cerdik,
tahulah dia maksud sang Dewaresi.
“Jika
aku menolak menjadi muridmu, apa yang akan kaulakukan?” ia masih mencoba
mengadu untung.
“Hm...
bukankah aku mempunyai kebebasan untuk berbuat sekehendakku?” Sang Dewaresi
tersenyum nakal.
Titisari
terhenyak, la tahu, musuhnya kali ini tidak gampang dapat diakali. Lagi pula
mendengar caranya berbicara, pasti bisa juga membuktikan ucapannya. Maka ia
mengasah otak.
“Baiklah.
Aku mau menjadi muridmu, tetapi kamu harus membuktikan kepandaianmu di depan
mataku.”
“Bagus!” seru sang Dewaresi girang.
Memang itulah maksudnya sebenarnya hendak menantang Titisari dengan
terang-terangan di depan orang banyak, la ingin meme-luknya dan menciumnya
sepuas hati.
Titisari
seolah-olah tidak mengerti apa maksudnya. Tetapi sebenarnya ia cerdik, la
sadar, kalau ia takkan bisa membebaskan diri apabila mengadu kepandaian secara
wajar. Mau tak mau ia harus menggunakan akal setindak demi setindak sambil
menunggu perkembangannya.
“Nah—macam
kepandaian apakah yang mau kauperlihatkan padaku, agar aku mau menjadi
muridmu?”
“Kemarilah!
Tak usahlah kau takut aku akan menyerang.”
“Kau
bicara apa?” sahut Titisari seperti seorang gadis linglung. “Apa kamu akan
dapat memenangkan aku tanpa menyerang?”
Sang
Dewaresi tertawa. Tahulah dia, lawannya benar-benar cerdik dengan memutar
balikkan tiap-tiap kata kalimat untuk mengambil suatu keuntungan. Tetapi di
depan Pangeran Bumi Gede, tak sudi ia memperlihatkan segi-segi kekerdilan hati.
Bahkan ia sengaja hendak memamerkan sedikit kepandaiannya.
“Baiklah,”
katanya mengalah. “Kamu ingin mengadu kepandaian? Dengan disaksikan oleh
sekalian yang hadir, aku dapat menga-lahkanmu tanpa melontarkan serangan macam
apa pun juga.”
Orang-orang
yang mendengar ujar sang Dewaresi heran. Bagaimana dia dapat memenangkan
pertandingan itu tanpa membalas menyerang? Apa dia dewa sakti? Abdulrasim yang
pernah bertempur selama sepuluh jurus melawan Titisari berpikir dalam hati,
alangkah sombong orang ini. Meskipun dia memiliki kepandaian setinggi langit,
dapatkah ia membuktikan ucapannya? Aku yang terang-terangan menyerang dia
dengan sepuluh jurus, hampir-hampir tak dapat berbuat banyak. Masa dia mampu
mengalahkan tanpa membalas menyerang. Hm... coba kulihat, macam kepandaian apa yang
dimiliki.
“Aku
tak percaya, kamu dapat memegang janji. Semua mulut di sini hampir-hampir tidak
ada yang dapat kupercayai,” kata Titisari sengit.
“Kamu
boleh memukulku sepuluh kali tanpa kubalas, apa lagi menyerangmu,” sahut sang
Dewaresi dengan tersenyum.
Hati
Titisari terkesiap melihat senyum lawannya. Makin sadarlah dia, kalau lawannya
mungkin bermaksud jahat kepadanya. Maka ia bersikap lebih hati-hati. Katanya
lagi mencari keyakinan. “Selama hidupku aku tak pernah menaruh kepercayaan
kepada seseorang yang banyak berbicara. Mungkin sekali kamu menggunakan ilmu
siluman sehingga dapat memukulku sampai pingsan dengan sekali pukulan. Jika
demikian halnya, bagaimana aku dapat membalas memukulmu sepuluh kali?”
“Jangan
khawatir, Nona. Nah—ikatlah kedua lenganku,” kata sang Dewaresi sambil membuka
ikat pinggangnya, lantas ditaruhkan di atas lantai. Kemudian ia menyilangkan
kedua lengannya di atas punggung.
Titisari
heran menyaksikan tata-laku lawannya. Pikirnya, benar-benarkah ia mau
bertanding melawanku tanpa menggunakan kedua tangannya? Apakah dia bermaksud
membantuku agar dapat memenangkan pertandingan? Dengan cara demikian, bukankah
ia dapat kukalahkan tanpa merosotkan harga dirinya?
Mendapat pikiran demikian, segera ia mengikat kedua lengan sang Dewaresi erat-erat.
Ternyata sang Dewaresi tidak berkutik atau berusaha mau meringankan kata-kata
perjanjian.
Wajahnya
berkulum senyum penuh rahasia, sehingga hati si gadis jadi bergeridik.
“Hai!
Benarkah kamu mampu mengalahkan aku?” Titisari mencoba.
“Kata-kata
seorang laki-laki sejati berharga seribu gunung,” tukas sang Dewaresi.
Titisari
berpikir keras. Ia mencoba menebak arti senyum lawannya. Mendadak ia bercuriga.
Pikirnya, kalau ia tak mempunyai pegangan kuat dapat memenangkan pertandingan,
masa dia menurut saja kuikat kedua lengannya? Ih! Kalau sampai ia berhasil
mencekukku, apakah... apakah...
“Bagaimana
cara menentukan kalah-menangnya?” kata Titisari dengan cepat.
Tanpa
berkata sepatah kata pun, sang Dewaresi menggaritkan ibu jarinya ke lantai.
Kemudian ia berputar-putar sepanjang kakinya. Setelah diangkat, ternyata ibu
jarinya berhasil menggarit sebuah lingkaran di atas lantai. Lantai kadipaten
yang terbuat dari marmer tergarit sedalam ibu jari. Inilah suatu bukti,
bagaimana ia memiliki tenaga yang sangat kuat. Diam-diam, semua yang hadir
kagum padanya.
“Kita
berdua bertempur di dalam lingkaran ini. Siapa yang keluar dari lingkaran,
dialah yang kalah,” kata sang Dewaresi. Habis-berkata demikian, lantas saja ia
memasuki lingkaran. Ia berdiri tegak seperti seorang pahlawan yang sanggup
mengangkat gunung.
“Jika
kita berdua sampai keluar lingkaran, bagaimana keputusannya?” Titisari minta
keterangan.
“Apa
kata Nona? Kita berdua?”
“Maksudku—seumpama
aku kena kaulem-parkan keluar lingkaran, kemudian aku berhasil menyeretmu pula
keluar sehingga dua-duanya keluar lingkaran, bagaimana keputusannya?” Sang
Dewaresi tertawa panjang.
“Bagaimana
mungkin Nona akan dapat melemparkan aku keluar lingkaran? Kamu boleh keluar
lingkaran, tetapi aku takkan mungkin.”
“Seumpama
sampai terjadi demikian?”
“Hitunglah
aku kalah.”
“Baik!
Jika kamu kalah, kamu takkan bakal menggangguku lagi bukan?” ,
“Tentu
saja. Kamu boleh bedaku dengan merdeka. Tapi sebaliknya jika kamu bisa
kukalahkan, kamu harus berjanji taat dan patuh pada tiap kemauanku. Orang-orang
yang berada di sini menjadi saksinya.”
“Baik,”
jawab Titisari. Kemudian ia memasuki lingkaran pertandingan. Suasana ruang
kadipaten lantas saja menjadi tegang dan menarik. Semua orang sibuk
menduga-duga, bagaimana cara sang Dewaresi bertempur melawan si gadis tanpa
membalas menyerang dan bagaimana pula nanti akhir pertandingan itu.
Titisari
lantas saja menyerang. Dengan gesit ia berputaran dan tiba-tiba menyerang
pundak. Ternyata sang Dewaresi tidak berusaha menangkis. Ia hanya menancapkan
kedua kakinya kuat-kuat agar tak kena dipentalkan. Dengan demikian serangan
Titisari tiba dengan dahsyat. Dengan suara bergemeretak tinjunya mendarat di
pundak. Tetapi kini, Titisari yang terkejut.
Ternyata
sang Dewaresi seorang yang kebal dari senjata. Begitu pundaknya kena serangan,
sekonyong-konyong muncullah suatu tenaga ajaib. Tinju Titisari kena dipentalkan
membalik. Karuan saja Titisari berusaha sekuat tenaga menahan diri. Meskipun
demikian, tubuhnya tergeser juga dari tempatnya dan hampir-hampir melintasi
garis lingkaran.
Sang
Dewaresi melihat kesempatan bagus. Segera ia mendesak, dan mau tak mau Titisari
menjadi gugup juga. Untung ia cukup tenang. Dengan menjejakkan kaki ia meloncat
melintasi garis desakan lawan, dan hinggap di seberang sana.
Sang
Dewaresi benar-benar memegang janji. Ia tak mau menyerang, tetapi dia cerdik.
Dengan bersenjata kekebalan tubuhnya, ia terus mendesak tanpa berhenti.
Titisari sebaliknya tak berani melancarkan serangan seperti tadi. Ia sadar akan
bahaya. Apabila berani melontarkan pukulan, pastilah dirinya akan kena
dipentalkan balik. Itulah sebabnya ia hanya lari berputaran menghindarkan
desakan lawan. Sekonyong-konyong ia berkata nyaring. “Di antara kita belum ada
yang kalah dan menang. Aku akan keluar lingkaran, tetapi bukan karena kaudesak
kalah atau kaulon-tarkan keluar. Semata-mata, karena aku ingin pergi. Kamu kan
tidak akan mengejar? Bila kamu mengejar, berarti kamu kalah, karena kamu akan
keluar dari lingkaran. Bukankah kau tadi berjanji, apabila kedua-keduanya
keluar dari lingkaran engkau akan terhitung kalah dan tidak akan menggangguku
lagi?”
Sang
Dewaresi berdiri tegak tercengang-cengang. Alangkah cerdik gadis ini, pikirnya.
Terang-terangan ia kena diakali. Sebaliknya Titisari tak memperdulikannya.
Dengan tenang-tenang ia keluar dari ruang kadipaten. Hanya saja, tatkala
kakinya hampir sampai pada tangga lantai, segera ia melesat pergi
secepat-cepatnya. Ia tahu, bahwa di antara mereka bisa berbuat sesuatu hal
untuk mencegahnya pada sembarang waktu. Dugaannya ternyata tepat. Belum lagi
kakinya meraba halaman, sesosok bayangan telah berdiri tegak di hadapannya. Tak
lama kemudian yang lain-lain datang pula. Dengan demikian untuk kesekian
kalinya, ia kena terkurung. Diam-diam ia mengeluh dalam hati.
“Eh,
mengapa kalian mengurungku?” katanya tajam.
“Nona!
Kamu benar-benar cerdik dan licin melebihi belut. Seorang demi seorang dapat
kauakali begitu mudah. Sekarang, baiklah kita semua maju berbareng. Kamu mau
apa?”
Yang
berkata demikian adalah Manyarsewu, sedangkan bayangan yang menghadangnya
adalah Cocak Hijau. Kedua pendekar itu masih saja merasa penasaran terhadapnya.
Maklumlah, mereka termasuk golongan pendekar sakti yang jarang ada bandingnya
pada zaman itu. Kini—mendadak saja—bisa diper-main-mainkan dengan cara tidak
wajar oleh seorang gadis muda belia. Siapa pun akan merasa mendongkol dan ingin
menebus kekalahannya dengan cara lain.
“Bagus!
Bagus!” seni Titisari nyaring. “Jadi kalian tua-tua bangka yang menyombongkan
diri menjadi golongan pendekar-pendekar sakti hendak mengeroyok seorang gadis?
Bagus!”
Mendengar
dampratan Titisari, di antara mereka banyak yang merasa malu. Mereka jadi
berbimbang-bimbang hendak melakukan niatnya. Tetapi Cocak Hijau lantas saja
berteriak tajam. “Manyarsewu! Apa perlu mengadu mulut dengan dia! Semua tahu,
dia anak iblis! Anak belut! Minggir! Biarkan aku seorang yang merampungkan.”
Titisari
tak dapat lagi bergerak. Sekelilingnya adalah pagar manusia. Dan semuanya
adalah tokoh-tokoh kenamaan. Melawan salah seorang di antara mereka belum tentu
dapat menang. Apalagi melawan mereka dengan sekaligus. Sekalipun malaikat belum
tentu mampu menumbangkan mereka dengan gampang.
Sekonyong-konyong
di luar dugaannya, terjadilah suatu perubahan yang menggemparkan. Waktu itu
terdengariah bunyi lonceng tanda bahaya. Mereka yang menguning lantas saja
menegakkan kepala dan saling memandang.
Pangeran
Bumi Gede segera memanggil penjaga untuk minta penjelasan. Belum lagi penjaga
itu datang menghadap, terdengariah dua orang peronda malam datang dengan
tergopoh-gopoh. Mereka berteriak sebelum tiba di ruang kadipaten.
“Gusti
Pangeran Bumi Gede! Gedung kediaman Raden Ayu kebobolan...”
Berita
itu sangat mengejutkan hati Pangeran Bumi Gede. Serentak ia mengumpulkan sisa
penjaga dan diperintahkan memanggil seluruh pasukan pengawal. Keadaan lantas
saja menjadi kacau.
Manyarsewu
dan Cocak Hijau kemudian lari menghampiri Pangeran Bumi Gede. Tak lagi mereka
menghiraukan si gadis. Yang lain-lain-nyapun ikut berlari-lari hendak membuat
jasa.
Hanya
sang Dewaresi seorang yang tak begitu memperdulikan. Hatinya telah terlanjur
tertambat oleh kecantikan dan kecerdikan Titisari. Biar bagaimanapun juga, tak
rela ia melepaskan dengan begitu saja.
“Eh,
Nona! Kau tadi belum memperkenalkan nama ayahmu. Biarlah aku sedikit memaksa
dirimu,” katanya nyaring sambil menghampiri.
Titisari
terkesiap. Cepat ia menjejakkan kaki hendak kabur daripadanya. Tetapi bagaimana
dia bisa melawan kegesitan sang Dewaresi. Tahu-tahu sang Dewaresi telah
menghadang di depannya dengan tangan terbuka.
Titisari
memekik kaget sambil melesat ke samping. Berkata menyesali, “Hai! Bukankah kamu
telah berjanji takkan menggangguku lagi?”
Sang
Dewaresi tertawa.
“Biarlah
kali ini aku mengingkari kebiasaanku,” katanya.
“Kamu
mengatakan, ucapan seorang laki-laki sejati seharga seribu gunung. Manakah
buktinya? Orang semacam kamu ini pantaskah kusujudi sebagai guru?”
Merah
padam muka sang Dewaresi mendengar ujar Titisari. Tetapi ia bertekad tak mau
lagi menyia-nyiakan kesempatan bagus itu.
“Kamu
boleh memaki diriku sepuas-puas hati, namun kamu tetap milikku. Kecuali jika mau
menyebutkan siapakah ayahmu...”
“Hm...,”
dengus Titisari. Ia menjelajahkan matanya hendak mencari penglihatan yang lebih
luas lagi. Mendadak tak jauh daripadanya berdirilah sesosok bayangan. Itulah
Abdulrasim pendekar dari Madura. Rupanya orang ini pun masih berpenasaran pula
karena maksudnya hendak mengetahui nama ayah Titisari belum tercapai.
“Ya—Nona,
aku menyokong ucapan sang Dewaresi,” katanya. “Mau tak mau kamu harus
meluluskan permintaan kami. Karena bagaimanapun juga, takkan dapat kamu kabur
dengan begitu saja.”
Meskipun
mendongkol, Titisari terpaksa mengakui benarnya kata-kata itu.
“Baiklah!
Aku akan memperkenalkan nama ayahku. Tetapi kalian yang harus berkata, aku
hanya akan menunjukkan tanda pengenal,” katanya sambil menghela napas.
“Bagus!”
mereka berdua menyahut hampir berbareng.
Titisari
kemudian bergerak mengarah ke dinding kadipaten. Sebentar ia mendongakkan
kepala, kemudian berkata, “Sekarang lihatlah dan tebaklah dengan cepat! Ingin
kutahu apakah kalian ini pantas untuk mengenal nama ayahku.”
Sehabis
berkata demikian, tangannya kemudian berputar-putar ke udara. Mendadak saja
meninju udara. Sang Dewaresi menge-rinyitkan dahi. Terasa angin tajam menyambar
dirinya. Meskipun tidak kuat, tetapi baju luarnya terkibar selintasan. Abdulrasim
pun kaget tatkala mendengar kesiur angin. Mau ia menduga tengah kena serangan
rahasia. Tetapi ketika kesiur angin itu tiada membawa tenaga, ia jadi heran.
“Nah,
aku telah memperkenalkan nama ayahku. Kini terserah padamu belaka, apakah
kalian berdua pantas untuk mengenal nama ayahku,” kata Titisari. Dan setelah
berkata demikian, cepat ia menjejak tanah dan melesat melompati pagar dinding.
Sang
Dewaresi terhenyak. Tanpa disadari ia bergumam, “Ah! Apakah benar dia puteri...
Tetapi masa dia dibiarkan sampai di sini? Atau ... ayahnya berada pula tak jauh
dari sini...? Ih, Urusan ini bisa jadi berantakan....”
“Apa
kau bilang?” tungkas Abdulrasim dengan penuh nafsu.
“Hmm!
Apakah engkau belum mengenal ilmu yang baru diperlihatkan tadi?” “Ilmu apa?”
Sang
Dewaresi tersenyum merendahkan.
“Ilmu
meninju udara kosong. Di seluruh dunia ini hanya dia seorang yang memiliki ilmu
sakti itu.”
“Dia
siapa?” Abdulrasim kian tak mengerti. “Ayah gadis itu.” “Siapa ayahnya?”
Dengan
membalikkan badan, sang Dewaresi berjalan mengarah ke pendopo kadipaten.
Kemudian berkata, “Kuperingatkan kepadamu. Mulai sekarang jangan sekali-kali
kamu berani mengganggu sehelai rambutnya. Karena dia adalah puteri Adipati
Karimun Jawa Surengpati.”
*
* *
SETELAH
MELOMPATI PAGAR DINDING— Titisari segera lari secepat-cepatnya, la tahu, bahwa
salah seorang di antara mereka bisa mengusiknya lagi pada sembarang waktu.
Tetapi ketika sekian lama tiada nampak bayangan orang, hatinya jadi lega. Kini
ia mulai tenang dan bisa berpikir kembali. Teringatlah dia akan jerit Sangaji
sewaktu dirinya masih terkepung rapat-rapat. Karena ingatan itu, hatinya
tiba-tiba saja menggigil.
Apakah
dia dalam keadaan bahaya? pikirnya.
Ia
menghentikan langkahnya. Tanpa mengingat keselamatan diri, segera ia berbalik
menuju ke kadipaten. Katanya di dalam hati, biar mereka merajang-rajang aku
hancur berserakan, apa yang kutakutkan? Aku harus menolong Aji. Bagaimana pun
akibatnya.
Sangaji
sendiri waktu itu telah berada di rumah penginapan. Wayan Suage sibuk membebat
lukanya dan dengan memberi isyarat ia menyuruh Nuraini berkemas-kemas.
Orang
tua itu berduka bukan kepalang. Bagaimana tidak? Tiga belas tahun lamanya, ia
tak melupakan anak dan isterinya barang sebentar pun. la merantau dari tempat
ke tempat untuk mencari berita di mana mereka berada. Ia enggan bekerja atau
berusaha mencari nafkah penghidupan tertentu seperti dahulu, karena kegembiraan
hidupnya tiada. Mendadak di luar dugaannya sendiri, ia dapat menemukan mereka
dan bertemu kembali pula. Tetapi di luar dugaannya pula, keadaan anak dan
isterinya seperti kanak-kanak yang mimpi menggenggam berlian sebesar ibu jari
dan menjadi kecewa ketika bangun di pagi hari.
Pada
saat itu, ingin ia membunuh diri. Maklumlah, tiba-tiba saja di luar kemauannya
sendiri, hatinya menyanyikan lagu kebencian yang meluap-luap. Ia benci mengutuk
nasibnya. Ia benci dan mengutuk malapetaka yang menimpa dirinya. Ia benci dan
mengutuk perubahan hati isteri dan anaknya. Akhirnya ia benci dan mengutuk pula
dirinya sendiri. Gntung pada waktu gelombang kedukaan dan kebencian menindih
dirinya, ia menemukan suatu mustika baru yang sangat berharga baginya. Yakni,
Sangaji anak sahabatnya.
“Anakku,”
katanya berbisik sambil membebat pergelangan tangannya. “Di sebelah selatan
Karesidenan Pekalongan terletak sebuah desa aman damai. Desa itu bernama
Karangtinalang. Kamu harus pergi ke sana, anakku. Menjenguk kampung halaman,
rumahmu dan tempatmu dilahirkan. Di desa itu kamu akan menemukan sebuah halaman
luas. Dahulu berdiri sebuah rumah panjang terbuat dari papan. Aku dan almarhum
ayahmu-lah yang mendirikan.
Kini,
rumah itu tidak ada lagi. Tetapi aku telah membangun sebuah rumah baru di atas
tanah itu. Meskipun tidak sementereng dahulu, tetapi cukuplah sebagai bekal
hidup tenteram. Jenguklah rumah itu!”
“Syukurlah
kalau kamu sudi mendiami,” ia berhenti mengesankan. Tiba-tiba saja matanya
merah berkaca-kaca. Meneruskan dengan suara parau. “Milikku satu-satunya di
dunia ini hanyalah engkau seorang kini. Bibimu dan adik-angkatmu Sanjaya sudah
jadi milik orang lain. Karena itu, rumah dan pekarangan yang berada di desa
Karangtinalang adalah milikmu seorang. Dengan ini aku mewariskan pula kepadamu.
Kelak, bila aku bertemu almarhum ayahmu di alam baka—akan kusampaikan
kabar—bagaimana aku dapat berjumpa denganmu begini tiba-tiba dan tiada terduga
sama sekali. Pasti ayahmu akan bergembira dan memuji padaku.”
Sampai
di sini, tiba-tiba orang tua itu tersenyum bahagia, seolah-olah telah terbayang
keadaan hati sahabatnya yang telah pergi untuk selama-lamanya tiga belas tahun
yang lalu.
Sangaji
seorang perasa dan berwatak sederhana. Melihat keadaan Wayan Suage, ia jadi
bergelisah luar biasa karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak berani ia
memandang Wayan Suage lama-lama, pandangnya segera dialihkan kepada Nuraini.
Gadis ini pun membungkam mulutnya. Pikirannya sedang kalut. Sanjaya yang sudah
berhasil mencuri hatinya, tak pernah terlupakan barang sebentar pun. Sebenarnya
ingin ia berada di Pekalongan lebih lama lagi. Tetapi ia tak berani membantah
kehendak ayah-angkatnya.
“Nuraini!”
Tiba-tiba Wayan Suage berkata kepadanya. “Kamu harus menyertai Sangaji pulang
ke kampung halamannya. Tunjukkan di mana rumahnya berdiri. Sampaikan pula kepada
kepala kampung, bahwa rumah dan pekaranganku itu kuwariskan kepadanya.”
Nuraini
menghadap padanya. Pandang matanya menebak-nebak. Ia menyiratkan pandang pula
kepada Sangaji. Tatkala hendak memanggut, tiba-tiba matanya berkilatan. Katanya
dengan suara tertekan, “Bukankah kita berangkat pulang ke kampung
bersama-sama?”
Wayan
Suage tersenyum pahit. Pandangnya tak terlepas daripadanya. Kemudian dengan
menahan napas, ia menjawab, “Tidak, anakku. Aku masih mempunyai suatu urusan
yang belum kuselesaikan.”
“Ayah
mau ke mana?” Nuraini terkejut.
Kembali
Wayan Suage menahan napas. Kemudian ia duduk menghempaskan diri di atas
pembaringannya. Dengan pandang terharu ia membagi mata kepada Sangaji dan
Nuraini. Lama ia berdiam diri seolah-olah lagi menimbang-nimbang suatu susunan
kata-kata. Selagi mulutnya hendak berbicara, mendadak terdengarlah suara
gemuruh di jalan. Itulah suara derap langkah pengiringpengiring Pangeran Bumi
Gede yang sedang mencari padanya. Kaget ia menegakkan tubuh. Sekonyong-konyong
ia melompat me-nerkam pergelangan tangan Sangaji sambil berkata mengeluh. “Ah,
rupanya dewata tidak memberi kesempatan lebih lagi. Alangkah kikir hidup ini.
Mari anakku, aku ingin menyampaikan sesuatu hal kepadamu.”
Ia
membawa Sangaji keluar kamar. Kemudian berkata dengan berbisik, “Anakku, tak
dapat aku berbicara berkepanjangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti
terjadi. Tetapi ingat-ingatlah pesanku ini. Sesampaimu di desa tempat kamu
dilahirkan, lekas-lekaslah berangkat ke tenggara. Di sana kamu akan melihat
sepetak hutan, dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar habis.
Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian bekas-bekas kelebatannya
belum juga hilang. Di sana kamu akan melihat sungai berlumpur yang melingkari
hutan itu. Carilah di antara tebingnya suatu penglihatan penuh batu-batu.
Turunlah ke bawah. Di dasar sungai itu, kamu akan menemukan pusaka warisanmu.
Dua buah jumlahnya. Kuwariskan kedua-duanya pula kepadamu.”
Sangaji
pada saat itu seperti kehilangan dirinya sendiri. Maklumlah, dalam waktu
sesingkat itu, ia memperoleh kesan-kesan luar biasa yang mengejutkan hatinya
yang sederhana. Meskipun demikian—karena kesan kesungguhan Wayan Suage—masih ia
mampu berkata, “Pusaka apa itu?”
“Hm,”
dengus Wayan Suage. Ia melemparkan pandang ke arah jalan. Pengiring-pe-ngiring
Pangeran Bumi Gede mulai mengepung penginapan. Sekaligus terjadilah suatu
kegemparan. Baik pemilik rumah penginapan maupun yang menginap jadi terbangun
terkejut. Mereka lari berserabutan keluar untuk mencari keterangan mengapa
tiba-tiba rumah penginapan dikepung oleh para penguasa pemerintah. Melihat
keadaan demikian, Wayan Suage mengambil keputusan cepat.
“Ingat-ingatlah
saja jumlahnya. Kelak kamu akan mengerti sendiri. Sekarang tidak ada waktu lagi
untuk menerangkan sejelas-jelasnya. Mari anakku, tolong ikatkan tombakku ke
lenganku. Biar bagaimana, aku tak menyerah begitu saja terhadap mereka.”
Setelah
berkata demikian, Wayan Suage memasuki kamar dan menyambar sebilah tombak yang
sudah berkarat. Tombak itu segera diangsurkan kepada Sangaji.
“Carilah
tali pengikat!” perintahnya. -
Mula-mula
Sangaji tak mengerti maksud Wayan Suage. Tetapi ketika pandang matanya melihat
kain pembebat yang melibat perge-langan tangan, segera ia dapat menebak
maksudnya. Wayan Suage benar-benar telah mengambil keputusan hendak mengadakan
perlawanan dengan mengadu nyawa. Karena pergelangan tangannya patah, maka ia
hendak mengikatkan sebilah tombak pada lengannya.
Sebentar
saja Sangaji telah menemukan tali pengikat dan segera bekerja dengan tekun.
Tangkai tombak ditempelkan pada sisi lengan, kemudian dengan cekatan ia
mengikatnya erat-erat.
“Anakku!”
kata Wayan Suage dengan nada tegar. “Semasa mudaku, aku pandai bermain tombak
ajaran pulau Bali. Ayahmu pun mahir pula. Dahulu dengan bekerjasama dengan
ayahmu, aku pernah mengusir tujuh orang rombongan Banyumas sekaligus. Sekarang
meskipun aku hanya seorang—belum tentu akan dirobohkan mereka dengan gampang.”
Mendengar
Wayan Suage mengisahkan pengalamannya dahulu dengan almarhum ayahnya, hati
Sangaji berdebar-debar. Ibunya tak pernah menceritakan tentang ayahnya.
Barangkali bermaksud agar dia tidak terganggu kedamaian hatinya. Itulah
sebabnya, tak mengherankan kalau ia ingin mengetahui dengan penuh nafsu.
Sayang, tatkala ia hendak minta kisah ayahnya lebih banyak lagi, pasukan
Pangeran Bumi Gede mulai memasuki halaman rumah-penginapan.
“Sangaji!
Nuraini. Di sini kita terjepit. Mari kita mencari tempat yang lebih luas!” kata
Wayan Suage nyaring.
“Agaknya
kita telah terkepung, Paman,” sahut Sangaji.
“Benarkah
kita telah terkepung?”
“Kudengar
di belakang rumah suara berde-rapan,” sambung Nuraini cemas.
“Ah!”
tukas Wayan Suage. Kemudian ia tertawa mendongak. Dengan membusungkan dada,
lantas dia berkata, “Bagus! Mari anak-anak, kuajari bagaimana cara menerobos
kepungan lawan, agar di kemudian hari kalian tak gampang menyerah tanpa
perlawanan.”
Setelah
berkata demikian, dengan menjejak tanah
ia melesat memasuki halaman depan.
Sangaji
dan Nuraini mengikuti tak jauh di belakangnya.
Kemarin
siang Sangaji sudah melihat kepandaian Nuraini menjatuhkan semua
lawan-lawannya. Karena itu ia percaya, kalau gadis itu akan bisa membawa diri.
Juga terhadap kemampuan Wayan Suage, Sangaji tidak sangsi lagi. Bukankah
sewaktu masih bernama Mustapa si tukang canang, dengan sekali dapat berhasil
mementalkan dua orang laki-laki yang mencoba-coba mengadu nasib. Hanya kali
ini, gerak-geriknya jauh lebih cekatan dan mantap. Di dekat pintu pagar ia
disambut oleh dua orang prajurit yang mem-bekal pedang panjang. Tetapi dengan
sekali gerakan, ia dapat mengemplang mereka berdua sekaligus dan terpental
bergulingan di atas tanah. Peristiwa semudah itu membangunkan semangat tempur
baginya.
Kepala
pasukan yang datang mengepung rumah-penginapan adalah si gendut Danu-winoto
yang pernah dihajar Panembahan Tirtomoyo. Orang itu dengan memaki-maki
menghampiri Wayan Suage ketika melihat dua orang prajuritnya luka parah. Dengan
menggunakan penggada, lantas saja ia merangsak. Tenaganya benar-benar hebat.
Tiap geraknya menimbulkan kesiur angin. Tetapi Wayan Suage tidak gentar. Maklumlah,
dalam hatinya telah terjadi suatu keputusan hendak mengadu nyawa. Setiap
gerak-geriknya tiada ia ragu atau bercemas hati. Itulah sebabnya, ia dapat
bergerak dengan gesit. Meskipun kakinya buntung, tiada mengurangi kesehatannya,
la lantas menerjang si gendut Danuwinoto. Diluar dugaannya sendiri, ia berhasil
merobohkan si gendut demikian gampang. Dengan sekali gerak, tombaknya yang
telah berkaratan telah menusuk paha lawannya. Si gendut Danuwinoto berteriak
seperti babi terjepit. Kemudian kabur dengan kaki terpincang-pincang.
Pasukannya lantas ikut berlomba-lomba melarikan diri.
Seperti
seorang pendekar Wayan Suage berdiri tegap di depan rumah penginapan. Hatinya
lega dan tegar. Dengan menudingkan tombaknya, ia berkata kepada Sangaji,
“Mereka semua adalah sebangsa cecurut. Mari kita mencari tempat yang agak luas.
Tak lama lagi yang lain-lainnya akan datang juga. Dan tiada guna, kita
melarikan diri. Bagaimanapun juga tidak akan mereka melepaskan kita. Hanya saja
Sangaji dan kau Nuraini, apabila aku tiada kuat bertahan lekaslah kalian
melarikan diri. Tanjaklah bukit di sebelah selatan itu! Di balik sana adalah
dataran lembah. Jika tidak ada halangan, dalam sepuluh hari kalian akan tiba di
Desa Karangtinalang.”
Waktu
itu fajar hari telah tiba. Udara mulai cerah. Seleret sinar putih
kekuning-kuningan menjengukkan diri di ufuk timur. Angin pagi hari menghembus
sejuk dan melayang rendah. Sebenarnya hari akan melahirkan suatu tirai
kedamaian. Sayang keadaan sekitar rumah penginapan tidak demikian. Bahkan sebentar
saja seluruh penjuru Kota Pekalongan mulai disusupi berita pertempuran.
Penduduk lantas saja datang berbondong-bondong menuju ke tempat pertempuran.
Mereka seolah-olah sedang disuguhi suatu permainan olahraga yang menarik.
Wayan
Suage ternyata memilih tempat sewaktu dia membuka arena pertandingan di
Pekalongan. Pikirnya, aku mulai dari sini. Biarlah aku mati pula di sini. Apa
perlu aku menyesalkan nyawaku, karena bukankah aku telah bertemu dengan
anak-isteriku?
Tak
lama kemudian pasukan Pangeran Bumi Gede telah datang lagi. Kali ini,
pen-dekar-pendekar sakti ikut pula mengiringkan Pangeran Bumi Gede. Pangeran
itu naik kuda. Dengan membawa tongkat ia memasuki gelanggang dan berhenti
sekira lima puluh langkah dari Wayan Suage.
Wayan
Suage lantas saja berdiri tegak di tengah lapangan. Ia seperti seorang dewa
atau batu karang yang berkesan teguh dan angker. Pandangannya tajam dan tidak
beragu. Diam-diam, Sangaji kagum padanya. Pikirnya, alangkah gagah dan perwira
dia. Dia berkata pernah bertempur bahu-membahu bersama ayah menggempur musuh.
Apakah ayah segagah dia pula? Memikir demikian, hatinya jadi berguncang.
Mendadak
pada waktu itu muncullah dua orang laki-laki dari jurusan barat. Salah seorang
dari mereka mengenakan pakaian pendeta. Rambutnya dibiarkan terurai panjang
bagaikan seorang pahlawan zaman bahari. Melihat orang itu, Wayan Suage nampak
terkejut. Sekonyong-konyong ia lari menghampiri sambil berseru nyaring, “Tuan
Pendeta. Bukankah tuan Ki Hajar Karangpandan? Hari ini kita berjumpa kembali!”
Sangaji
kaget mendengar Wayan Suage menyebutkan nama itu. Baru saja ia hendak
mengamat-amati, mendadak saja matanya terpikat pada laki-laki yang lain. Tanpa
menunggu waktu lagi, segera dia pun lari menyongsong. Serunya girang, “Aki! Ki
Tunjungbiru! Mengapa Aki sampai datang pula ke sini?”
Kedua
orang itu sesungguhnya Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru. Mereka adalah
sahabat lama pada zaman Perang Giyanti. Pernah mereka bertanding selama lima
hari lima malam semata-mata berebut kehormatan diri. Mereka sampai pula
bersumpah tak akan kawin selama hidupnya untuk menentukan kalah-menangnya.
Tiba-tiba dengan tak terduga-duga mereka bertemu di perbatasan Kota Pekalongan
dan ber-sama-sama memasuki kota. Ki Hajar Karang-pandan memang bertujuan ke
Pekalongan hendak menyusul muridnya. Sedangkan Ki Tunjungbiru dahulu pernah
berjanji kepada Jaga Saradenta dan Wirapati ke mana mereka pergi, apabila telah
memperoleh kabar tentang beradanya si iblis Pringgasakti. Agaknya dia telah
memperoleh jejak dan cepat-cepat mengikuti tanda-tanda arah perjalanan Jaga
Saradenta dan Wirapati seperti yang diatur dalam perjanjian mereka. Dengan
mengikuti tanda-tanda itu sampailah dia ke batas daerah Pekalongan. Dan pada
suatu hari dia bertemu dengan sahabat lamanya Ki Hajar Karang-pandan. Inilah
suatu pertemuan di luar dugaannya. Dan sekali lagi ia bertemu pula dengan
Sangaji. Meskipun beradanya Sangaji di Pekalongan tiada begitu mengherankan
hatinya mengingat tanda-tanda arah yang ditinggalkan Jaga Saradenta dan
Wirapati di sepanjang jalan, tetapi pertemuan itu sendiri sangat mengejutkan.
Maklumlah, ia melihat si anak sedang dikurung sepasukan perajurit yang
bersenjata lengkap. Ingin ia mendapat keterangan apa sebab-musababnya dan di
mana pula kedua gurunya berada. Namun pada saat itu, ia mendengar suara Ki
Hajar Karangpandan yang berkata sengit kepada Wayan Suage. “Tuan berkata apa?”
Wayan
Suage tahu, bahwa pendeta itu lupa padanya. Maklumlah, selama dua belas tahun
belum pernah berjumpa kembali biar sekalipun. Apa lagi keadaan dirinya kini
jauh berubah daripada dahulu. Perawakan tubuhnya tidaklah sekekar dahulu. Raut
mukanya penuh kisut dan kakinya buntung sebelah.
“Dua
belas tahun yang lalu, bukankah Tuan pernah singgah di rumahku? Waktu itu hujan
turun sangat deras. Kebetulan sekali kami memasak ayam ikut merayakan hari
penobatan Sultan Hamengku Buwono H...”
“Hai!”
Ki Hajar Karangpandan terkesiap. Tiba-tiba saja Wayan Suage memeluknya
erat-erat. Tubuhnya menggigil. Gugup Ki Hajar Karangpandan menyambutnya. Tetapi
dia masih saja bersangsi. Hal itu tiada mengherankan, karena dia memperoleh
kesan-kesan hebat pada hari itu. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan
sendiri bagaimana hutan tempat bersembunyi Wayan Suage terbakar habis.
Wayan
Suage dapat memaklumi. Ingin ia memberi keterangan mengapa dia bisa selamat dan
kini dapat pula berjumpa kembali. Tetapi keadaannya tak mengijinkan. Pangeran
Bumi Gede telah siap memberi aba-aba pasukannya agar menyerbu berbareng. Tetapi
bagaimanapun juga ia harus meyakinkan pendeta itu. Maka sekonyong-konyong ia
mundur dan menikam Ki Hajar Karangpandan dengan tombaknya, sambil berseru,
“Tuan Pendeta! Masih ingatkan Tuan, kepandaian apakah yang kami miliki bersama?
Bukankah ini tikaman khas ajaran Bali?”
Ki
Hajar Karangpandan terkejut. Gesit ia mundur, tetapi segera ia mengenal
gerakan-gerakan Wayan Suage. Dengan terharu ia berseru, “Oh... saudara Wayan
Suage. Bukankah engkau ayah Sanjaya? Meskipun jauh berkurang, aku pun
mengajarinya pula beberapa jurus ilmu tombak Bali yang kucuri waktu kalian
berkelahi melawan bangsat-bangsat Banyumas. Saudara Wayan Suage... ternyata
masih hidup.”
Wayan
Suage menarik serangannya. Ia tiada menanggapi ucapan Ki Hajar Karangpandan.
Dengan melemparkan pandang kepada barisan Pangeran Bumi Gede ia berkata, “Tuan
Pendeta! Di antara mereka terdapatlah musuhku yang melarikan isteri dan anakku.
Aku hanya minta tolong kepada Tuan Pendeta... sampaikan sepatah kataku kepadanya.
Kalau dia sudah berhasil membinasakan aku, sekali-kali jangan ganggu anak
sahabatku.”
“Anak
sahabatmu? Yang mana?” Ki Hajar Karangpandan heran.
Wayan
Suage lantas saja meraih Sangaji yang berdiri tegak di samping Ki Tunjungbiru.
Katanya kemudian, “Inilah dia. Dia anak almarhum sahabatku Made Tantre. Namanya
Sangaji. Kepadanyalah aku menaruhkan seluruh harapanku.”
“Eh!”
Ki Hajar Karangpandan terkejut bercampur heran. Dengan menuding dia berkata
gemetaran, “Dia... dia... anak sahabatmu? Anak saudaraku Made Tantre? Di
ma-nakah kamu menemukan dia?”
“Kalau
dikatakan menemukan, tidaklah kena. Semalam, aku berjumpa dengan tak
tersangka-sangka. Sekarang... hm... mati pun rasanya puas....”
“Eh—kau
berkata apa?”
“Aku
hendak mengadu nyawa. Aku ingin mati di hadapan anak-isteriku. Dengan cara
demikian aku akan menyampaikan kabar penghabisan kepada mereka, bahwa selama
itu aku tak pernah melupakan barang sebentar pun.”
Tubuh
Ki Hajar Karangpandan tiba-tiba menggigil. Suatu tanda bahwa ia mempunyai kesan
hebat dalam dirinya. Sekilas pandang ia merenungi barisan Pangeran Bumi Gede.
Kemudian beralih kepada Ki Tunjungbiru.
“Otong
pendekar busuk! Setengah abad yang lalu kita pernah mencoba-coba mengadu
kekuatan. Jahanam betul, kamu masih saja nampak awet muda. Nah hari ini,
marilah kita berlomba lagi mengadu kekuatan. Kita berdua sanggupkah
menghabiskan mereka? Mari kita atur begini. Siapa di antara kita yang bisa
membunuh mereka lebih banyak, dialah yang menang.”
Ki
Tunjungbiru tertawa gelak. Sahutnya, “Kau pendeta jahanam masih berani juga
menantangku. Aku ingin tahu, apa kamu masih seperkasa dahulu. Jangan-jangan
tulang-tulangmu sudah jadi reyot berkaratan....”
Kedua
orang itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Sangaji heran melihat kelakuan
mereka. Tapi ketika teringat riwayat mereka berdua sewaktu Ki Tunjungbiru
membicarakan kisah pertengkarannya dengan Ki Hajar Karangpandan dan dalam
Perang Giyanti, diam-diam ia jadi tersenyum.
Tahulah
dia, meskipun mereka berkesan ugal-ugalan namun berhati jantan, dan berwatak
kesatria sejati. Mereka berdua lantas saja lari berlomba menyerbu pasukan
Pangeran Bumi Gede. Dengan sekali bergerak, tiba-tiba mereka melesat ke kiri
dan ke kanan. Tahu-tahu empat orang prajurit Pangeran Bumi Gede kena
dipentalkan ke udara dan dilemparkan ke luar gelanggang seolah-olah bola
keranjang belaka. Empat orang prajurit itu lantas saja terguling pingsan dengan
tak setahunya sendiri pula.
Luar
biasa hebat cara mereka berdua menggebrak musuh. Tatkala prajurit-prajurit yang
lain datang menyerbu hendak menuntut bela, mereka berdua dengan tertawa
terba-hak-bahak menggebu dengan pukulan-pukulan dahsyat. Delapan prajurit
sekaligus kena dilontarkan ke udara lagi. Sudah barang tentu, rekan-rekan
mereka jadi mundur ketakutan.
Kegemparan
lantas saja terjadi. Seorang laki-laki berperawakan kurus jangkung, berambut
putih dan bermuka kusut tiba-tiba meloncat memasuki gelanggang. Dengan
menggapai semua pasukan yang beroyokan mengundurkan diri, ia memberi aba-aba
maju. Kemudian menghadang Ki Hajar Karangpandan seraya membentak.
“Bedebah!
Pendeta dari mana sampai keluyuran kemari? Apa sudah bosan hidup?”
Ki
Hajar Karangpandan tidak menggubrisnya. Segera ia bergerak lincah hendak
menguji pemimpin prajurit itu. Dia menyangka pemimpin prajurit itu
paling-paling hanya pandai menggembala orang. Tak tahunya, dia sebenarnya
adalah Cocak Hijau pendekar dari Gresik yang berasal dari Sulawesi. Begitulah—
secepat kilat mereka telah mengadu tinju. Dahsyat akibatnya. Bentrokan tangan
mereka menerbitkan suara gemeretak. Dan masing-masing tergetar mundur tiga
langkah.
Ki
Hajar Karangpandan terkejut dan heran sehingga ia berkata dalam hati, hai!
Kenapa di sini muncul seorang begini perkasa. Siapa dia?
Selagi
Ki Hajar Karangpandan keheran-he-ranan, Cocak Hijau pun kaget bukan kepalang.
Dia selamanya seorang yang percaya penuh pada kekuatan diri sendiri. Selama
berada di Jawa Timur belum pernah ia menemukan tandingan seimbang kecuali
melawan Manyarsewu. Di luar dugaannya pada pagi hari itu ia menemukan lawan
berbahaya. Tetapi dia memang seorang yang berhati panas. Begitu ia merasakan
tenaga getaran musuh yang kuat, ia segera mengerahkan tenaga tambahan.
Sebaliknya
Ki Hajar Karangpandan bukan pula makanan empuk baginya. Dia seorang pendekar
yang sudah banyak makan garam.
Sekarang
ia bergerak dengan hati-hati dan tak berani menyerang dengan
sembarangan.
Dengan
sabar ia melayani Cocak Hijau yang berdarah panas.
Di
tempat lain Ki Tunjungbiru menghadapi Manyarsewu pendekar dari Ponorogo.
Manyarsewu adalah rekan Cocak Hijau yang lebih berpikir dan bertindak
hati-hati. Tak berani dia berlaku ceroboh menghadapi lawan. Tetapi Ki
Tunjungbiru seorang pahlawan dari Banten yang pernah mengadu kekuatan melawan
Ki Hajar Karangpandan selama lima hari lima malam. Ia seorang pendekar sakti
yang pandai menguasai diri. Sehabis perang Banten, ia berkeliling
menyusup-nyusup tak pernah menampakkan diri di tengah percaturan hidup. Ini
adalah suatu latihan penguasaan diri yang bagus baginya. Di samping itu, ia
pernah menghisap getah pohon Dewadaru yang mempunyai tenaga sakti.
Bertahun-tahun tenaga sakti itu tersekap di dalam dirinya. Tenaganya makin lama
makin menjadi dahsyat, karena selama berkelana tak pernah melalaikan latihan.
Itulah sebabnya pula, begitu ia melihat lawannya yang bertempur dengan sabar
dan hati-hati, segera dia dapat mengimbangi. Pikirnya, aku ingin tahu sampai
berapa hari ia bertahan bertempur dengan cara begini.
Dengan
demikian kedua orang itu telah menemukan lawannya yang seimbang. Masing-masing
tak berani lagi berlaku sembrono. Tenaga pukulannya makin lama makin menjadi
tajam dan menerbitkan kesiur angin.
“Otong!”
tiba-tiba Ki Hajar Karangpandan berteriak nyaring. “Kamu pun rupanya menumbuk
batu. Hayo kita berlomba lagi, siapa di antara kita yang bisa mengganyang lawan
lebih dahulu.”
Sehabis
berkata demikian, ia bersuit panjang. Dan dengan disertai tertawa berkakakan ia
menyerang Cocak Hijau dahsyat. Gerak-gerakannya lantas menjadi aneh. Nampaknya
tak teratur karena berserabutan. Tetapi di luar dugaan orang Cocak Hijau kena
dimundurkan demikian gampang.
“Ih,”
Cocak Hijau berteriak terkejut. Cepat ia menarik semua lengannya dan
dilin-dungkan rapat di depan dadanya. Tetapi Ki Hajar Karangpandan seorang
pendekar yang sudah berpengalaman. Sebat luar biasa ia mendesak musuh dan
menurunkan tinjunya yang terkenal dahsyat mengarah pelipis. Cocak Hijau kena
ditipunya. Orang itu dengan gugup memalingkan muka. Tak tahunya, siku Ki Hajar
Karangpandan menyodok pinggang.
Cocak
Hijau kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak tanah dan melompat mundur dengan
berjungkir-balik. Ketika kakinya telah berdiri tegak di atas tanah, ia segera
melolos senjata simpanannya berupa cempuling bercabang tiga.
Cocak
Hijau sadar, kalau dia tak bisa menandingi pendeta itu dengan bertangan kosong.
Maka begitu ia memperoleh kesempatan, segera dia menyerang kembali dengan
jurus-jurus ajaran Bugis.
Orang-orang
yang pernah mendengar kabar kesaktian pendekar Gresik itu, heran melihat dia
bersenjata. Menurut kabar, belum pernah sekali juga Cocak Hijau melayani
musuhnya dengan menggunakan senjata. Itulah suatu tanda, kalau lawannya kali
ini bukan sembarang orang.
Sebaliknya
Ki Hajar Karangpandan tetap mengimbangi lawannya dengan bertangan kosong.
Melihat caranya melayani lawan, bisa ia merobohkan dengan cepat dan mudah.
Tetapi dia seolah-olah enggan berbuat begitu, la selalu mengelak gesit de-ngan
sekali-kali melancarkan serangan mendadak. Agaknya ia mau merampas senjata
lawan, agar kemenangannya mempunyai mutu lain.
“Hai
Otong pendekar busuk!” serunya, “apakah kamu sudah bisa mengencingi musuhmu?”
Ki
Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya memperdengarkan suara tertawanya tajam
menusuk. Dan tahulah Ki Hajar Karangpandan, bahwa rekannya telah memasuki babak
penghabisan untuk menentukan gempuran kemenangan terakhir.
Memperoleh
kesan itu, lantas saja ia memperhebat tekanan. Ia meludahi Cocak Hijau,
sehingga pendekar Gresik itu memaki-maki kalang-kabut. Bentaknya, “Sebenarnya
kamu pendeta edan dari mana?”
Sudahlah
menjadi tabiat Ki Hajar Karangpandan, apabila musuhnya mulai menilai dirinya,
lantas saja dia menjadi edan-edanan. Dengan tertawa mendongak berbareng
meludahi udara,
ia
menjawab, “Kamu binatang sekurus cacing, apa ada harganya mengenal namaku? Aku
datang dari udik. Dari padepokan Karangpandan. Namaku Ki Hajar Karangpandan.
Nih, kamu monyet dari rnana sampai mau menjadi begundal seorang ningrat?”
“Bangsat!”
maki Cocak Hijau. “Jadi kamu yang bernama Ki Hajar Karangpandan.” “Ya—kau mau
apa?”
Cocak
Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok bayangan
berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan.
“Bagus!”
Cocak Hijau tertawa. “Kemarin kami telah melukai seorang pendeta edan dari
Gunung Lawu. Jadi dia pun kakak-seperguru-anmu?”
Ki
Hajar Karangpandan terkejut. Bertanya, “Siapa?”
“Hm,”
dengusnya. “Bagaimana bisa kamu memperbudak Cocak Hijau agar menyebut nama
itu.”
“Bagus!
Bagus! Siapa yang memaksamu buat mengabarkan nama kakak-seperguru-anku. Hari
ini aku sudah mendengar namamu.' Nah, biar pula hari ini aku mengubur namamu.”
Dia
lantas menyerang dahsyat. Cempuling Cocak Hijau yang menyambar-nyambar
berdesingan, tak dihiraukan. Dengan suatu gerakan sebat, ia mendesak dan terus
mendesak. Tiba-tiba merangsak dengan suatu kecepatan yang susah dilukiskan.
Cocak
Hijau benar-benar keripuhan. Mau dia mundur, mendadak saja sesosok bayangan
berkelebat dan menangkis serangan Ki Hajar Karangpandan. Tatkala dia menoleh,
ia heran. Karena yang membantu padanya ialah sang Dewaresi.
Sang
Dewaresi sesungguhnya bermusuhan dengan Ki Hajar Karangpandan semenjak dua-tiga
belas tahun yang lalu, sewaktu rombongan Banyumas sedang mengawal kedua pusaka
sakti Pangeran Semono. Semalam, tatkala hendak berdebat dengan Pangeran Bumi
Gede perkara senjata sakti itu, ia telah minta keterangan pula tentang Ki Hajar
Karangpandan. Keruan saja, begitu ia mendengar lawan Cocak Hijau memperkenalkan
namanya, terbangunlah ingatannya. Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba.
Serentak ia menjejak tanah dan melesat memasuki gelanggang. Datangnya
bertepatan tatkala Cocak Hijau akan mendapat bahaya.
Ki
Hajar Karangpandan terkejut. Tetapi ia tak menjadi gugup. Dia hanya heran,
mengapa di pagi hari itu ia bertemu dengan tokoh-tokoh pendekar yang tak boleh
dipan-dang enteng. Dan belum lagi ia memperoleh jawaban, datanglah lagi seorang
pendekar lain. Dialah Glatikbiru— pendekar kenamaan dari Banyuwangi.
Sang
Dewaresi terkejut. Glatikbiru pun tak kurang-kurang kagetnya. Mereka berdua
dengan serentak menurunkan sabetan tangannya hendak memotong pergelangan
tangan. Ki Hajar Karangpandan takkan bisa diperlakukan demikian. Gesit ia
menarik cengkram-annya dan menyodokkan tinju kirinya. Dengandemikian, ketiga
orang itu lantas saja mengadu tenaga. Ketiga-tiganya mundur tiga langkah dan
merasakan tangannya panas dan bergetar.
Sekarang
Ki Hajar Karangpandan insaf, kalau ketiga lawannya tak boleh di pandang enteng.
Tatkala melihat sang Dewaresi telah menggenggam bindi dan Glatikbiru tiba-tiba
melolos golok, cepat ia menarik pedangnya. Kemudian dengan sekali tetak ia
menikam pergelangan tangan. Sang Dewaresi menarik tangannya. Tak tahunya,
tikaman Ki Hajar Karangpandan itu masih mempunyai ekornya. Tiba-tiba saja
ujungnya meluncur ke arah dada Glatikbiru. Berbareng dengan elakannya mendadak
pula Ki Hajar Karangpandan menikam dengan jurus lain ke arah betis Cocak Hijau.
Dengan begitu ia melayani tiga orang dengan satu kali gerak. Inilah cara suatu
perlawanan yang aneh dan mengagumkan.
Ki
Tunjungbiru yang mengadu kekuatan tak jauh dari Ki Hajar Karangpandan mengalami
pengeroyokan pula. Tadinya ia sudah berhasil menghajar Manyarsewu kalang-kabut.
Ia sudah yakin, kalau akan memenangkan perlombaan. Tak tahunya tiba-tiba
datanglah dua orang pendekar sakti yang lain. Mereka adalah, Abdulrasim
pendekar dari Madura dan Sawungrana pendekar dari Surabaya.
Dua
orang pendekar itu lantas saja merangsak dengan melancarkan serangan-serangan
berbahaya. Ki Tunjungbiru heran. Celaka! Rupanya mereka akan menghabiskan
tenagaku dahulu. Kemudian mengadakan pengkerubutan bersama. Baik! Akan kucoba
sampai di mana kekuatan mereka, pikirnya.
Mendapat
pikiran demikian, ia segera mengerahkan tenaga. Kemudian menggempur mereka
bertiga dengan berbareng. Hasilnya mengejutkan lawannya belaka. Mereka tak
pernah menduga, kalau lawannya ini memiliki tenaga sakti getah pohon Dewadaru
yang dahsyat. Itulah sebabnya, begitu mereka kena gempuran, serentak terpental
tujuh langkah seperti layang-layang putus.
Di
tengah kesibukan itu, berdirilah enam orang yang mempunyai perhatian
masing-masing yang jauh berbeda. Yakni, Pangeran Bumi Gede, Sanjaya, Yuyu
Rumpung, Wayan Suage, Sangaji dan Nuraini.
Pangeran
Bumi Gede tetap bercokol di atas pelana kudanya. Pandangnya tajam dan tak
pernah beralih dari pada pertarungan antara para pendekar melawan Ki Hajar
Karangpandan dan Ki Tunjungbiru. Dia nampak selalu menggosok-gosok tongkatnya.
Suatu tanda, bahwa dalam hatinya timbul suatu keputusan yang menentukan. Dia
adalah seorang pangeran yang bisa bertindak cermat dan hati-hati jika mempunyai
maksud dan tujuan. Tetapi pada suatu kali mendadak saja bisa pula berlaku kejam
luar biasa. Waktu itu ia memberi isyarat kepada beberapa tamu undangan dan
kepala pasukan. Kepada tetamu undangan ia minta bantuan agar melibat kedua
orang sakti yang muncul dengan tiba-tiba. Dengan begitu kedua orang itu akan
terlibat dalam suatu kesibukan yang tak gampang-gampang dapat membebaskan diri.
Sedangkan kepada kepala pasukan ia memberi perintah rahasia agar menangkap
Wayan Suage hidup atau mati. Bagi dia adalah suatu aib belaka, bahwasanya
selirnya bisa digerumut orang. Dia sama sekali tak menyangka, kalau orang yang
memasuki kamar selirnya sebenarnya adalah suaminya yang dahulu sengaja
direnggutkan daripadanya.
Sanjaya
berpikir lain. Masih saja ia berpenasaran terhadap si buntung yang mengejutkan
hati ibunya dan membingungkan hatinya sendiri pula. Masa orang seburuk itu
adalah ayah kandungnya? Benar ibunya belum berkata dengan terus terang, tetapi
melihat kesan-kesan ibunya dan kata-kata Sangaji ia jadi berbimbang-bimbang.
Ke-mudian ia merasa dirinya lagi dipermain-mainkan orang. Karena itu timbullah
amarah-nya. Ia ingin menghajar si buntung dan si bocah edan sekaligus di
hadapan ayahnya. Setelah itu ia memperoleh alasan kuat untuk menawan mereka.
Dengan begitu, ia tak usah lagi berkhawatir terhadap gurunya yang ditakuti dan disegani.
Karena ia terlalu terlibat pada soal itu, sama sekali ia tak mengetahui bahwa
orang yang ditakuti itu berada di depan matanya.
Yuyu
Rumpung mempunyai perhatian lain lagi. Si botak itu masih mendongkol terhadap
Sangaji. Semalam ia kena digigit kuat-kuat oleh si bocah sehingga, meninggalkan
bekas dalam. Hatinya menaruh dendam. Pagi ini di luar dugaannya, ia melihat si
bocah berdiri di tengah lapangan yang semalam telah bisa kabur melompati
dinding. Bagus kau bocah edan! Kamu mencari matimu sendiri. Diam-diamlah,
tunggu sampai kamu bisa kuganyang hidup-hidup.
Di
pihak lain, Nuraini berdiri termangu-mangu. Gadis ini benar-benar kebingungan
menghadapi suatu perkembangan yang cepat dan di luar kemampuan otaknya. Hatinya
telah kena direbut Sanjaya. Karena itu, begitu ia melihat Sanjaya muncul di
lapangan, segera perhatiannya tertumpu padanya. Sanjaya datang menyerbu dengan
diiringi pasukannya. Makin ia memperhatikan, hatinya bertambah gandrung. Ia
seperti melihat gerak-geriknya seorang dewa yang lagi turun ke bumi.
Sangaji
tak memperhatikan dirinya diincar Yuyu Rumpung. Seluruh hatinya lagi memusatkan
diri kepada Ki Tunjungbiru yang dikeroyok tiga orang pendekar. Ia tahu ilmu
berkelahinya tiada berarti apabila dibandingkan dengan para pendekar undangan Pangeran
Bumi Gede. Tetapi bagaimana dia bisa berdiam memeluk tangan belaka, melihat Ki
Tunjungbiru dikeroyok orang.
Walaupun
bagaimana akibatnya, dia akan membantu Ki Tunjungbiru sedapat-dapatnya. Tetapi
sebelum dia maju membantu orang yang dipujanya, tiba-tiba ia melihat sesosok
bayangan berkelebat cepat lewat di depannya. Sebentar ia mengalihkan pandang,
maka ia melihat Wayan Suage tiba-tiba merangsak lawan-lawan Ki Hajar
Karangpandan.
Sesungguhnya,
semenjak ia melihat Ki Hajar Karangpandan dikerubut tiga orang, hatinya jadi
gelisah luar biasa. Dua kali ia merasa dilindungi pendeta itu. Yang pertama
terjadi pada dua-tiga belas tahun yang lalu, tatkala dia dan almarhum
sahabatnya dikerubut orang-orang dari Banyumas. Dan sekarang, di hadapan
matanya pula ia melihat dewa penolongnya melindungi dirinya dengan membiarkan
dirinya dikerubut orang. Sebagai seorang yang berjiwa kesatria, tak dapat ia
menyusahkan orang semata-mata karena dirinya. Maka dengan tombak yang melengket
di lengan kanannya ia menusuk sang Dewaresi.
Ki
Hajar Karangpandan terkejut. Gugup ia mencegah, “Saudara Wayan Suage, jangan
maju. Tak bisa kamu menandingi dia.”
Tetapi
seruan itu kasep. Sebat luar biasa sang Dewaresi menyapu gagang tombak Wayan
Suage sehingga patah menjadi dua. Kemudian dengan tangan kirinya ia menyodok
iga-iga Wayan Suage sehingga roboh terguling.
Pada
saat itu, mendadak terdengarlah derap kuda dengan disertai sorak-sorai.
Pangeran Bumi Gede, ternyata berotak tajam. Begitu ia melihat para pendekar mau
membantu dirinya untuk melibat Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru, lantas
saja ia mengarah kepada Wayan Suage.
Cepat
luar biasa kudanya telah sampai di depan Wayan Suage yang sudah roboh
terguling. Tetapi tatkala tangannya hendak menyambar, sekonyong-konyong melesatlah
sebatang pedang memotong pergelangan tangannya. Buru-buru ia menarik tangannya
dan menoleh selintasan. Dan nampaklah seorang gadis berdiri tegak tak jauh
dari-padanya. Segera gadis itu dikepung pasukannya. Tetapi seorang pemuda yang
nampaknya ketolol- tololan maju membobol kepungan. Dialah Sangaji yang
mengulurkan tangan membantu Nuraini.
Dengan
segenap tenaga ia mengamuk dan berhasil melemparkan empat orang prajurit
sekaligus. Kemudian dengan bersenjata sebatang pedang pula, ia menikam ke
kiri-ke kanan untuk menggebu lawannya.
Pasukan
yang mengepung lantas saja bubar berderai. Untung pada saat itu, Sanjaya datang
menolong. Dengan segera keadaan jadi jatuh sebaliknya. Sangaji kena didesaknya,
sedangkan Nuraini lantas saja berdiri tegak tidak mau membantu.
Melihat
Sangaji dalam keadaan bahaya, Ki Tunjungbiru berusaha melindungi. Tetapi berkali-kali
ia gagal mencoba membebaskan diri dari penggeroyokan. Maklumlah, lawan-lawannya
adalah pendekar-pendekar sakti semua.
Mereka
tak gampang-gampang bisa dimundurkan. Andaikata Ki Tunjungbiru bisa melukai,
belum tentu lantas menyerah.
“Jangan
khawatir, anakku. Aku datang,” tiba-tiba terdengar suatu suara.
Dalam
keadaan terdesak, masih sempat Sangaji menoleh. Serentak ia akan bersorak
gembira, karena yang datang ialah kedua gurunya, Jaga Saradenta dan Wirapati.
Seperti
diketahui, mereka berpisah dengan Sangaji semenjak di perbatasan Cirebon.
Mereka berdua hendak menyelidiki suatu keadaan yang mencurigakan. Maka
sampailah mereka di Pekalongan setelah berhasil menghambat perjalanan anak-buah
sang Dewaresi di sepanjang jalan.
Demikianlah—ketika
melihat muridnya dikepung orang, segera mereka mengerti akan bahaya. Tanpa
mencari penjelasan dahulu, lantas saja mereka menyerbukan diri. Karuan saja,
kedatangan mereka berdua adalah laksana badai di tengah alam sunyi. Para
prajurit yang mengepung Sangaji kena dilemparkan seorang demi seorang yang
roboh pingsan bergulingan.
“Jangan
hiraukan aku!” teriak Sangaji nyaring. “Tolonglah dahulu Aki Tunjungbiru dan
dia...!
Jaga
Saradenta dan Wirapati segera mengalihkan pandang. Mendadak mereka melihat dan
mengenal Ki Hajar Karangpandan. Serentak mereka berteriak.
“Hai
orang edan! Kaupun berada di sini?”
Ki
Hajar Karangpandan menoleh. Tatkala melihat mereka berdua, tiba-tiba saja dia
tertawa mengguruh seperti laku orang edan benar-benar. Sambil bersuit lantas ia
meloncat menghampiri mereka. Sudah barang tentu pendekar yang mengeroyoknya
segera memburunya. Tetapi kini mereka menghadapi tiga orang tangguh. Maka
pertempuran jadi seimbang.
Syahdan,
waktu itu Sanjaya lagi memusatkan perhatian terhadap lawannya. Mendadak ia
mendengar suara tertawa gurunya. Ia menoleh dan heran melihat gurunya dikeroyok
para tetamu undangan. Segera ia melompat mundur, sambil berteriak.
“Semua
berhenti! Semua orang berhenti! Berhenti! Berhenti! Tuan-tuan berhenti!”
Ia
terpaksa mengulangi teriakannya beberapa kali, baru maksudnya tersampai.
Kemudian dengan takzim ia menghampiri Ki Hajar Karangpandan. Katanya, “Guru!
Semua adalah orang kita.”
“Semua
siapa?” bentak Ki Hajar Karangpandan.
Sanjaya
sangat takut kepada gurunya. Memang dialah satu-satunya yang ditakuti dan
disegani. Dengan gemetaran ia menjawab, “Marilah aku perkenalkan. Mereka adalah
para tetamu undangan Ayah.”
“Siapa
ayahmu?”
Sanjaya
jadi terdiam, la tak mengerti, mengapa gurunya berkata demikian. Dengan
menaikkan alis ia mengamat-amati gurunya. Kemudian mengalihkan pandang kepada
Pangeran Bumi Gede. Tetapi belum lagi matanya melihat muka Pangeran Bumi Gede,
mendadak terdengar gunanya membentak Wayan Suage yang masih jatuh tersungkur
tak berkutik di atas tanah,
“Dialah
ayahmu.”
“Apa?”
“Dialah
ayahmu yang benar.” Ki Hajar Karangpandan mengulangi. Kemudian dengan melompati
ia menyibakkan sang Dewaresi dan Cocak Hijau yang berada di depan Sanjaya, ia
berkata nyaring, “Kamu anak edan! Kamu gila! Kamu badut! Dua belas tahun kamu
berada di dalam pelukan orang jahat yang kauanggap sebagai ayahmu. Sekarang
kamu telah bertemu dengan ayahmu sejati, mengapa kamu masih saja berdiri
seperti orang linglung?”
Sanjaya
sesungguhnya telah mendapat kesan aneh terhadap ibunya. Diapun ter-henyak pula
ketika mendengar ucapan Sangaji sewaktu hendak membentur Wayan Suage. Walaupun
dia belum percaya penuh, namun mengganggu pula hatinya. Kini ia mendengar ujar
gurunya yang ditakuti dan disegani. Walaupun gurunya itu terkenal sebagai
seorang pendeta yang kadang-kadang menunjukkan tingkah-laku kurang waras,
tetapi setiap katanya bisa dipercayai. Tanpa merasa ia menoleh ke arah Wayan
Suage yang terbaring di atas tanah. Alangkah hina kesan orang itu. Ia menggeletak
di atas tanah seperti pesakitan. Pakaiannya kotor, raut-mukanya penuh kisut dan
kakinya buntung sebelah. Kemudian ia berpaling kepada Pangeran Bumi Gede yang
nampak gagah duduk di atas pelana kudanya. Pakaiannya serba indah dan
mentereng. Lagi pula gagah, ganteng dan berwibawa.
Tak
mungkin dia orang jahat. Selamanya dia bersikap agung dan baik kepadaku. Aku
dimanjakan. Aku dianggapnya pula sebagai darah dagingnya sendiri. Tak pernah
aku melihat, dia mengecewakan Ibu atau aku sendiri. Masa dia bukan ayahku?
Hm... apakah orang-orang ini sedang mengujiku atau mempermain-mainkan aku?
pikir Sanjaya.
Ia memeras
otak. Tanpa merasa
lagi, ia merenungi
Wayan Suage. Pikirnya,
dia ayahku?
Benarkah
itu? Orang semiskin ini bagaimana bisa menjadi ayahku? Aneh! Sungguh aneh! Ia
berhenti menimbang-nimbang. Mendadak suatu pikiran berkelebat menusuk benak.
Ah! Apakah orang ini datang ke Pekalongan dengan membawa rencana-rencana
tertentu yang sudah diperhitungkan masak-masak? Siapa tahu, dia sudah berhasil
mempengaruhi guruku. Tetapi mengapa pula si bocah edan bisa menyebutkan dia
sebagai ayahku? Ah, tidak. Bagaimanapun juga aku takkan mengikuti dia. Alangkah
goblok andaikata aku mengorbankan kemuliaan dan kekayaannya dengan mengikuti
orang miskin yang tak karuan tempat tinggalnya.
Setelah
mendapat keputusan demikian, lantas saja ia berseru kepada gurunya, “Guru!
Jangan dengarkan mereka. Guru kena perangkap yang sudah diatur sebelumnya.
Sekarang, tolong tangkap orang hina itu! Dialah yang menerbitkan gara-gara tak
karuan ini.”
Ki
Hajar Karangpandan terbelalak ketika mendengar ujar Sanjaya. Tubuhnya
menggigil, karena dadanya serasa mau meledak. Dengan tangan berserabutan ia
membentak. “Apa kau bilang? Kau bilang aku kena perangkap? Hm. Benar-benar kamu
binatang dan bukan manusia!”
Sang
Dewaresi, Cocak Hijau dan Glatikbiru yang masih mendongkol kena disibakkan Ki
Hajar Karangpandan ketika melihat dia lagi bercekcok melawan muridnya, segera
mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Seperti telah berjanji, mereka bertiga
menyerang dengan dahsyat dan sengit. Ki Hajar Karangpandan jadi mendongkol.
Dengan terpaksa ia menangkis dan dengan demikian dia jadi bertempur lagi.
Sanjaya
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa gurunya berada dalam bahaya.
Sebab, ketiga orang itu bukan orang-orang sembarangan. Namun dia tetap berdiam
diri buta tuli. Hal itu membuat Ki Hajar Karangpandan benar-benar marah. Dengan
bersuit panjang ia mengajak rekan-rekannya menyelesaikan pertempuran itu
secepat-cepatnya, agar dia bisa menghukum muridnya.
Ki
Tunjungbiru segera mengedipi Jaga Saradenta dan Wirapati. Orang-orang itu tidak
lagi menunggu istirahat yang kedua kalinya. Segera mereka melompat membantu Ki
Hajar Karangpandan. Tetapi pendekar-pendekar tetamu undangan Pangeran Bumi Gede
tidak juga tinggal diam. Meskipun mereka bukan sekutu sang Dewaresi, Cocak
Hijau atau Glatikbiru, namun mereka merasa diri menjadi kawan sepihak. Mereka terus
saja merangsak bersama.
Sudah
barang tentu, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan
Wirapati agak repot melayani mereka. Karena jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sedangkan tenaga Sangaji atau Nuraini bagaimana bisa diharapkan. Mereka berdua
seolah-olah bocah yang belum pandai beringus jika dibandingkan dengan kegagahan
para pendekar.
Sanjaya
waktu itu tetap berdiam tegak di tempatnya. Meskipun ia.tak senang melihat
sikap gurunya, tetapi hatinya kecut. Maklumlah, dia sangat takut kepada gurunya
yang bisa berlaku edan-edanan. Maka begitu ia melihat gurunya kerepotan
dikerubut para pendekar, diam-diam ia berdoa mudah-mudahan gurunya bisa
dibinasakan. Dengan demikian soal yang menggelisahkan itu akan padam tanpa ekor
lagi.
Tak
lama kemudian Ki Hajar Karangpandan benar-benar kena desak. Lengannya kena
dilukai sang Dewaresi. Tetapi ia tak gentar. Dengan memutar pedangnya ia
menyabet kalang kabut. Nampaknya tiada teratur, tetapi mendadak dengan sebat
menyabet gundul Cocak Hijau. Karuan saja si kurus tua buruburu menangkis dengan
cempulingnya. Di luar dugaannya cempulingnya menjadi sem-plak, sehingga
terpaksalah dia mundur ber-jempalitan.
“Berhenti!”
tiba-tiba terdengar suara nyaring. Itulah suara Wayan Suage yang tiba-tiba
berdiri dengan tertatih-tatih.
Entah
mengapa, tiba-tiba saja orang-orang mundur berlompatan. Dengan demikian, Wayan
Suage seperti berada di tengah arena.
“Berhenti!”
dia berteriak lagi. Dengan menje-lajahkan matanya ia berkata lagi, “Tuan-tuan!
Sebenarnya aku membuat susah Tuan-tuan sekalian. Soal ini adalah soalku
pribadi. Aku akan menyelesaikan sendiri, dan biarkan pula aku menyelesaikan.”
“Hm!”
dengus Cocak Hijau yang beradat berangasan. “Apa kau hendak menyerah?”
“Menyerah?
Mengapa aku mesti menyerah kepada begundal Belanda? Bukankah kalian datang
kemari untuk bersedia diperbudak Pangeran itu?”
Dengan
lengan bergetaran ia menuding kepada Pangeran Bumi Gede yang masih saja
bercokol di atas pelana kudanya.
“Orang
itulah yang menerbitkan gara-gara. Dialah yang merubah suatu kedamaian menjadi
suatu keonaran. Dan sekali lagi di sini, ia meletupkan suatu
keributan-keributan lagi. Tapi Tuan-tuan! Ini adalah soalku. Dan biarkan aku
menyelesaikan soalku sendiri. Tuan-tuan, minggirlah!”
Sehabis
berkata begitu, mendadak saja ia melompat hendak menerkam Pangeran Bumi Gede.
Orang-orang terkejut. Sama sekali mereka tak mengira, kalau Wayan Suage akan
berbuat senekad itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi Gede tersenyum di atas
kudanya sambil mengibaskan tongkatnya. Kemudian memberi isyarat kepada
orang-orangnya agar meninggalkan gelanggang.
Dilihat
sepintas lalu, ia seperti tak melayani Wayan Suage. Tetapi mendadak saja, Wayan
Suage terjatuh terkulai sebelum kakinya mendarat ke bumi.
Di
antara mereka, hanyalah Wirapati yang mengerti sebabnya, karena dia pernah
memperoleh pengalaman. Cepat ia melesat meraih Wayan Suage.
“Saudara!
Engkau... engkau...”
Pada
saat itu, mendadak saja Wayan Suage menyenakkan mata. Orang yang hendak mati
kerapkali mempunyai ingatan tajam dan jernih. Begitu melihat wajah Wirapati,
tiba-tiba saja ia dapat mengenalnya.
“Hai...
Bukankah kamu Tuan Penolong yang berteriak nyaring tatkala memasuki rumah
kami?” “Siapa kamu?” Wirapati terkejut berbareng heran.
Wayan
Suage tersenyum. “Aku adalah orang... yang Tuan tolong... Kakiku bukankah
engkau yang menolong? Tapi kali ini... agaknya bisa yang merasuk dalam tubuhku
tak dapat lagi Tuan tolong... auk!” Napas Wayan Suage lantas menjadi
tersengal-sengal. Wirapati yang sudah mengenal hebatnya bisa Pangeran Bumi Gede
mengeluh dalam hati. Mukanya lantas saja menjadi pucat.
“Tuan
penolong... mana anakku? Mana anak sahabatku?... Sangaji!”
Pada
waktu itu orang-orang telah merubung. Mereka nampak seperti orang-orang
linglung yang telah kehilangan pikiran. Sangaji pun berada di antara mereka.
Begitu mendengar namanya dipanggil cepat ia duduk bersimpuh di hadapan Wayan
Suage.
“Benarkah
engkau anakku?”
Sangaji
adalah orang yang berhati sederhana dan jujur. Menghadapi pertanyaan itu, tak
tahulah dia apa yang harus dilakukan. Syukurlah, Wayan Suage tak menunggu dia
sampai menjawab. Orang tua itu dengan napas berkempas-kempis meneruskan
berkata, “Kau tahu siapa tadi yang melepaskan senjata rahasia? Itulah musuhku
dan musuh besarmu. Ayahmupun mati dengan cara begini. Ingat-ingatlah, anakku.
Kamu harus pandai menjaga diri, sampai bisa membalaskan dendam ayahmu dan aku,”
ia berhenti menarik napas. Meneruskan sambil memutarkan mata, “Tuan Pendeta!
Tuan Penolong?”
Ki
Hajar Karangpandan segera membungkuk.
Wirapati
pun terus saja menyahut, “Engkau hendak berkata apa?” “Bolehkan aku berpesan
sepatah kata saja kepada Tuan-tuan berdua?”
Ki
Hajar Karangpandan lantas saja menyahut dengan cepat. “Berkatalah! Aku tahu
engkau adalah laki-laki sejati. Aku akan mendengarkan tiap patah katamu.”
“Tuan-tuan...
aku mempunyai seorang anak perempuan... aku akan mati dengan lapang dada...
andaikata... andaikata eh mana anakku Sangaji?”
“Aku
di sini, Paman,” sahut Sangaji dengan suara parau.
“Anakku...
dahulu hari antara aku dan ayahmu pernah berjanji hendak mengikat suatu
persahabatan sejati. Tapi hari ini, ternyata keadaannya mengecewakan... Sanjaya
tidak lagi mengakuiku sebagai ayahnya. Dia seperti orang lain... tetapi aku
masih mempunyai seorang anak perempuan. Meskipun ia hanya anak-angkat, tetapi
ia seperti anak kandungku sendiri...
Anakku,
kamu akan kuperjodohkan dengan dia... apakah... apakah... Tuan-tuan berdua,
sudikah Tuan-tuan mewakili aku mengatur perjodohan mereka?”
“Aku
adalah bibit semula yang menerbitkan gara-gara ini,” sahut Ki Hajar
Karangpandang. “Sebelum ajalku sampai, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk
memenuhi kehendakmu.”
Wayan
Suage tersenyum. Matanya menutup rapat dan ia pulang kembali ke asalnya dengan
tenteram. Sangaji berduka berbareng bingung.
Titisari
seorang gadis yang baik terhadapku. Masa aku sampai hati meninggalkan dia untuk
kawin dengan Nuraini? Lagipula... dengan disaksikan oleh kedua guruku, aku
telah diper-tunangkan dengan Sonny puteri Major de Hoop. Apakah... apakah
guruku yang berwatak ksatria akan membiarkan aku mengkhianati orang? Ah.
Rasanya tidak mudah, pikir Sangaji.
Selama
dia berkawan dengan Titisari, ia mempunyai kesan baik terhadap si gadis.
Orang-orang
terkejut Sama sekali mereka tak mengira, bahwa Wayan Suage akan berbuat senekat
itu. Mereka hanya melihat Pangeran Bumi Gede tersenyum di atas kudanya sambil
mengibaskan tongkatnya.
Meskipun
terhadap Sonny ia tak pernah melupakan, tetapi terhadap gadis Indo itu kesannya
hanya sebagai seorang sahabat akrab.
Wirapati
sendiri bersikap diam. Ia tak berani bedaku lancang, karena tak tahu
persoalannya dengan jelas. Dengan Wayan Suage ia hanya berkenalan selama
setengah malam saja, yakni pada dua belas tahun yang lalu. Dengan sendirinya
tak mengetahui pula bagaimana hubungannya antara Wayan Suage dan keluarga
Sangaji. Kalau saja, ia sampai berjuang mati-matian mencari dan sampai akhirnya
mengasuh Sangaji, adalah semata-mata karena suatu perjanjian belaka dengan si
pendeta edan Ki Hajar Karangpandan.
Lainlah
halnya dengan sikap Ki Hajar Karangpandan. Orang itu senantiasa merasa diri
berdosa terhadap keluarga Made Tantre dan Wayan Suage. Semenjak meletusnya
malapetaka dua belas tahun yang lalu, tak pernah ia melupakan barang sebentar
pun untuk berusaha menebus kesalahannya. Meskipun terjadinya peristiwa itu sama
sekali tak dise-ngajanya. Maka begitu ia bertemu dengan Wayan Suage, hatinya
girang dan terharu bukan main. Mati-hidupnya lantas saja dianggapnya enteng.
Dengan hati seikhlas-ikhlasnya segera ia menyediakan diri untuk menggebu
lawan-lawan Wayan Suage. Tak peduli lawan itu adalah anak-buah ayah-angkat
Sanjaya, muridnya sendiri atau anak Wayan Suage. Tetapi di luar kemauannya
sendiri, justru pada pagi hari itu melihat maut merengut nyawa Wayan Suage.
Bagaimana hatinya tak jadi bergoncang?
“Saudara!”
keluhnya dalam hati. “Mengapa kamu tergesa-gesa pergi. Mestinya kamu harus
mendengarkan dahulu jerih payahku menebus kesalahanku. Anakmu telah kudidik dan
kuasuh sekuasa-kuasaku. Sedangkan terhadap keluarga sahabatmu, aku telah
berhasil mengikat orang yang dapat kupercayai.”
Sedih
luar biasa dia, menyaksikan cara mati Wayan Suage yang begitu berkesan hina.
Mestinya tak usahlah dia mengalami kematian begini, seumpama Sanjaya sedikit
mempunyai hati manusia, pikirnya. Dan memperoleh pikiran ini, mendadak saja
timbullah api kemarahannya. Dan api kemarahannya itu di alamatkan kepada
Sanjaya sambil menggerum ia berputar. Kemudian meledak dahsyat. “Binatang! Kamu
bukan manusia. Benar-benar kamu
bukan
manusia!”
Tetapi
tatkala itu, Sanjaya tak nampak lagi batang hidungnya. Mereka semua memusatkan
seluruh perhatiannya kepada Wayan Suage, sehingga tidak memperhatikan kapan
pasukan Pangeran Bumi Gede mengundurkan diri dari lapangan. Mereka menduga,
Sanjaya pun mundur bersama-sama pasukan ayah-angkatnya.
Ki
Hajar Karangpandan masih saja terbakar hatinya. Nanar ia menjelajahkan pandang.
Kerumun manusia yang tadi datang memenuhi tepi lapangan, belum semuanya bubar.
Mereka masih berdiri bergerombolan. Ki Hajar Karangpandan menghampiri mereka
dengan maksud menyelidiki. Siapa tahu, Sanjaya menyelinap di antara gerombolan
manusia untuk mengintip keadaan mereka. Orang tua itu juga mau percaya, kalau
Sanjaya menyelinap di antara gerombolan manusia untuk mengintip.
Dugaan
Ki Hajar Karangpandan itu ternyata separuh benar. Sanjaya memang belum
meninggalkan lapangan, la menyelinap di antara gerombolan manusia dan mengintip
keadaan mereka. Inginlah dia mengetahui, apakah yang akan dilakukan mereka
selanjutnya. Terhadap kematian Wayan Suage ia tak mempunyai kesan banyak, la
hanya terkejut menjadi mendongkol dan ingin melihat kematian gurunya pada hari
itu juga. Pikirnya, kalau dia masih saja hidup, di kemudian hari pasti akan
menyusahkanku. Tetapi gurunya ternyata tak dapat ditewaskan oleh tetamu-tetamu
undangan ayah angkatnya. Inilah yang membuat hatinya keder. Untuk
kepentingannya pada hari depan, ia mengetahui apa yang akan dilakukan gurunya.
Mendadak
saja, ia melihat gurunya menyelidiki tiap-tiap gerombol manusia. Sudah barang
tentu hatinya kebat-kebit. Hati-hati ia mencoba mendekam dan berjalan
mengendap-endap. Tetapi mata gurunya benar-benar tajam luar biasa. Ia seperti
memiliki Ilmu Penciuman. Belum lagi ia sadar apa yang akan dilakukan, gurunya
telah meloncat ke udara hendak menerkam gundulnya. Gntunglah pada saat itu,
berkelebatlah sesosok bayangan.
Bayangan
itu adalah seorang manusia berkepala gede, berambut panjang dan berkulit hitam
mengkilat. Dengan menerbitkan kesiur angin, ia memapaki pukulan Ki Hajar
Karangpandan yang terjun dari udara. Suatu bentrokan dahsyat tak dapat
dihindarkan lagi.
Ki
Hajar Karangpandan adalah seorang ahli yang sukar dicari tandingannya pada
zaman itu. Tetapi begitu pukulannya kena bentrok, seketika itu juga ia terbang
terbalik dan turun ke tanah dengan terhuyung tiga langkah, sedangkan yang
menyerang, tetap berdiri tegak.
Bukan
main heran Ki Hajar Karangpandan. Siapakah orang itu yang bisa mengundurkan dia
sampai tiga langkah? Gntuk sekian tahun lamanya, ia selalu membanggakan ilmu
pukulannya yang tak terlawan oleh tenaga apa pun juga. Tiba-tiba pada hari itu
ia menemukan seorang lawan tangguh yang memiliki tenaga lebih kuat daripadanya.
Cepat-cepat ia mundur dua langkah lagi untuk memusnahkan tenaga lawan.
“Hai,
kamu iblis darimana?” bentaknya.
Manusia
berkepala gede itu tertawa menyeringai, tapi ia tak melepaskan satu patah
katapun juga. Ki Hajar Karangpandan lantas saja sadar, kalau musuhnya seorang
yang tinggi hati dan angkuh. Tetapi dia pun tak kalah pula tinggi hati.
Menduga, kalau orang itu pun adalah salah seorang pembantu Pangeran Bumi Gede
yang tadi beramai-ramai mengkerubut dirinya, maka tak sudi lagi ia minta
keterangan. Mendadak saja terjadilah suatu pemandangan yang mendirikan
bulu-romanya. Sanjaya muncul di antara kerumun orang. Pemuda itu lantas saja
membungkuk hormat kepada si kepala gede sambil berkata, “Guru! Diapun dahulu
adalah guruku. Sayang, dia membela musuh dan meninggalkan murid. Apakah orang
begitu, pantas untuk dihormati dan dihargai?”
Ki
Hajar Karangpandan heran melihat sikap Sanjaya.
Hampir-hampir
ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Sanjaya menyebut orang itu
sebagai gurunya? Ini aneh! la mau menduga, bahwa muridnya itu akan main gila.
Maklumlah, terhadap tabiat dan perangai muridnya, ia paham seperti mengenal
buku-buku jarinya sendiri. Tetapi ketika mendengar ujar Sanjaya yang begitu
menghina dirinya terang-terangan di depan orang asing, sadarlah dia seketika
itu juga. Seperti belirang, hati dan jantungnya lantas saja terbakar sehingga
dadanya serasa hampir meledak.
“Bedebah!
Jahaman!” bentaknya.
Berbareng
dengan bentaknya, ia meloncat hendak menerkam tengkuk muridnya. Namun sekali
lagi, orang berkepala gede itu mema-paki pukulannya. Gntuk kedua kalinya, ia
mengadu tenaga. Juga kali ini, ia kena dimundurkan tiga langkah.
Tetapi
kali ini ia tak mau mengalah dengan begitu saja. Sebat luar biasa ia mulai
menyerang dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya orang berkepala gede itu pun
lantas saja mengibaskan tangan dan melayani gerak-gerik Ki Hajar Karangpandan
tak kurang-kurang gesitnya. Tak lama kemudian, ia bahkan mulai membalas
menyerang dengan hebatnya.
Ki
Hajar Karangpandan sebenarnya mempunyai kepandaian yang jarang tandingannya
pada zaman itu. Tetapi hatinya agak tercekat melihat lawannya memiliki tenaga
jauh lebih perkasa. Maklumlah selama hidupnya, ia mau menang sendiri dan
menganggap semua orang tak mampu menandingi dirinya. Tak tahunya ia menghadapi
suatu kenyataan di luar dugaannya. Itulah sebabnya, hatinya jadi ciut dan
menebak-nebak. Maka ia tak berani lagi melepaskan serangan. Gerak-geriknya kini
berubah menjadi jurus-jurus mempertahankan diri. Kedua lengannya
menyambar-nyambar rapat seperti kitiran dan melindungi dadanya rapat-rapat.
Mendadak
saja ia mendengar suara orang berteriak. Itulah Jaga Saradenta yang datang
bersama Ki Tunjungbiru.
“Hai
pendeta edan! Berkelahilah dengan sungguh-sungguh! Musuhmu bukan manusia wajar.
Ia seorang iblis. Namanya Pringgasakti,” teriaknya nyaring.
Ki
Hajar Karangpandan terkesiap. Sebagai seorang tokoh pejuang di zaman Perang
Giyanti, sudah barang tentu ia mengenal nama itu. Hanya saja, belum pernah ia
melihat batang hidungnya. Karuan saja, hatinya bertambah ciut. Meskipun
demikian, ia tak menjadi gugup. Cepat luar biasa ia menarik pedangnya dan terus
saja membuka suatu serangan berantai.
Orang
yang disebut Pringgasakti, sesungguhnya adalah Pringgasakti dahulu yang
berkeliaran di sekitar Jakarta dan pernah menggabungkan diri dengan rombongan
Pangeran Bumi Gede empat tahun yang lalu, tatkala pangeran itu sedang
mengadakan pembicaraan dengan kompeni. Dahulu ia datang di Jakarta dengan
adiknya Pringga Aguna. Tetapi dengan tak sengaja, Sangaji membunuh Pringga
Aguna dengan pistol di tengah lapangan kala sedang bertempur melawan kedua
gurunya. Itulah permulaan babak baru bagi langkah-langkah Pringgasakti
selanjutnya. Dengan tekun ia menyelidiki sebab musabab kematian adiknya.
Jenazahnya diperiksa dengan cermat. Ketika mene-mukan luka yang menyebabkan
adiknya mati, bersumpahlah dia akan mencari si pembunuh sampai ketemu.
Demikianlah, ia bertemu dengan Jaga Saradenta, Wirapati, Ki Tunjungbiru dan
Sangaji yang sedang bermain sandiwara untuk mengelabui dirinya sampai ia rela
melepaskan Sonny si gadis Indo yang hendak dijadikan kelinci percobaan
mengompes keterangan. Karena takut kepada ancaman pendekar-pendekar Gagak Seta
dan Kyai Kasan Kesambi yang dahulu diperankan oleh Ki Tunjungbiru dan Wirapati,
cepat-cepat ia meninggalkan Jakarta dan mengabdi kepada Pangeran Bumi Gede.
Sebagai seorang yang cerdik lagi cerdas, Pangeran Bumi Gede lantas saja
menerima pengabdiannya dengan tangan terbuka. Ia bahkan menyerahkan Sanjaya agar
diasuhnya sebagai murid.
Beberapa
bulan lamanya ia mengasuh Sanjaya, sambil menghisap-hisap berita. Siapa tahu,
ia bisa menemukan si pembunuh adiknya. Dasar Sanjaya seorang yang cerdas,
segera ia bisa menurunkan ilmu pukulan-pukulannya yang berbahaya dan khas. Ilmu
pukulan itulah yang dilihat Sangaji, sewaktu Sanjaya bertempur melawan Nuraini
dan Mustapa di gelanggang adu nasib.
Demikianlah,
pada hari itu Pringgasakti keluar pula dari istana untuk mengawal Pangeran Bumi
Gede dengan diam-diam. Mendadak saja ia mengenal Ki Tunjungbiru,
Jaga
Saradenta, Wirapati dan Sangaji. Ia bersyukur dalam hati. Itulah sebabnya
begitu ia melihat Ki Hajar Karangpandan hendak menghukum muridnya, segera dia
tampil ke muka memapaki dengan menggunakan enam bagian tenaganya. Ternyata
musuhnya tangguh luar biasa, sehingga hatinya jadi tercekat. Pikirnya, belum
lagi mereka datang bersama aku bertemu dengan seorang lawan bukan sembarangan.
Kalau aku tak bisa merobohkan dia sebelum mereka datang, alangkah akan
bertambah sulit. Ia mencoba menggebu Ki Hajar Karangpandan. Tetapi lawannya
benar-benar bukan makanan empuk. Dugaannya tepat. Jaga Saradenta dan Ki
Tunjungbiru tiba-tiba saja telah datang dan segera memberi peringatan Ki Hajar
Karangpandan.
“Ohooo...!
Selamat bertemu kembali,” katanya nyaring. “Apa kabar pendekar Gagak Seta dan
Kasan Kesambi? Mana mereka?”
Ki
Hajar Karangpandan tak mengetahui peristiwa permainan sandiwara mereka. Itulah
sebabnya, ia tak memperdulikan. Dengan menggetarkan pedangnya ia menyerang
Pringgasakti bertubi-tubi.
Pringgasakti
jadi tak bersabar lagi. Dengan gemas ia menangkis tiap serangan Ki Hajar
Karangpandan dengan kesiur angin danlengannya yang kebal dari segala senjata.
Dengan demikian, Ki Hajar Karangpandan mulai nampak keteter.
Sesudah
bertempur beberapa saat, tangan Pringgasakti yang terkenal berbahaya dan kuat,
menyambar cepat sampai Ki Hajar Karangpandan tak keburu menarik pedang-nya.
Sekaligus terjadi suatu benturan dahsyat. Pedang Ki Hajar Karangpandan kena
di-patahkan menjadi dua dan lengan pendeta itu terasa nyeri luar biasa.
“Mundur!”
teriak Pringgasakti.
Namun
Ki Hajar Karangpandan adalah seorang bekas pejuang terkenal bandel. Ia tak jera
menghadapi lawan tangguh. Bahkan sambil melemparkan potongan pedangnya ia
mundur sambil berteriak pula, “Mundur!”
Pringgasakti
terheran-heran. Belum lagi ia sempat menduga maksud lawannya, tiba-tiba saja Ki
Hajar Karangpandan telah menyerangnya dengan tangan kosong. Tenaganya luar
biasa kuat, seolah-olah bumi jadi berderak-derak.
Ki
Hajar Karangpandan kini bertempur dengan mengandalkan kegesitannya. Dahulu ia
pernah mengejar rombongan Banyumas sepesat burung rajawali dan menggempur
mereka seorang demi seorang di luar kemampuan manusia lumrah. Di antara mereka
hanya Wirapati seorang yang pernah menyaksikan.
Itulah
sebabnya begitu ia bertempur dengan menggunakan ilmu itu, semua yang
menyaksikan jadi ternganga-nganga karena kagumnya. Dengan Ilmu Rajawali yang
cepat dan sebat luar biasa, ia berputar-putar seperti angin dan timbul tenggelam
di antara tangkisan-tangkisan dan serangan balasan Pringgasakti. Dan Sanjaya
yang melihat dari luar gelanggang jadi kagum dan berkecil hati. Sama sekali tak
diduganya, bahwa gurunya memang bukan orang sembarang. Sekarang sadarlah dia,
bahwa apa yang pernah diberikan gurunya kepadanya, sebenarnya hanya sebagian
kecil belaka. Memperoleh pikiran demikian, diam-diam dia mengkhawatirkan
gurunya yang baru. Sesalnya bukan main mengapa tadi dengan terang-terangan ia
menghina gurunya di depan Pringgasakti. Kalau saja Pringgasakti bisa dikalahkan
gurunya, hukumnya apa yang bakal terjadi tak dapatlah dia membayangkan.
Pringgasakti
sebenarnya bukan anak kemarin sore. la seorang yang sakti, kebal lagi pandai.
Kalau tidak, bagaimana dia berani bertarung tujuh hari tujuh malam? Hanya saja,
ia menjadi sibuk sekali menghadapi cara berkelahi Ki Hajar Karangpandan. Ia
menambah tenaga dan memukul berserabutan. Namun tangannya tak pernah sekali
juga menyentuh tubuh Ki Hajar
Karangpandan
yang berkelebat tak hentinya. Malahan kedua tangan Ki Hajar Karangpandan dapat
bekerja terus, menepuk, menyengkeram, menghantam dan membabat dengan disertai
tenaga mantran yang dahsyat.
Makin
lama pukulan Pringgasakti makin keras dan berbahaya, sedangkan gerakan Ki Hajar
Karangpandan menjadi semakin cepat pula. Masing-masing bertempur dengan
sungguh-sungguh dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Pringgasakti adalah
seorang berpengalaman. Dalam hati, ia berani bertarung sampai tujuh hari tujuh
malam. Ki Hajar Karangpandan juga bukan anak lagi belajar beringus. Diapun
pernah bertempur mati-matian melawan Ki Tunjungbiru selama lima hari lima
malam.
Jaga
Saradenta jadi bergelisah. Sebagai seorang kawakan tahulah dia, kalau Ki Hajar
Karangpandan bukan lawan Pringgasakti. Meskipun tak gampang-gampang dapat
dikalahkan, tetapi untuk merebut kemenangan adalah sukar. Karena ia sangat
benci kepada si iblis itu, diam-diam ia berdoa mudah-mudahan Ki Hajar
Karangpandan dapat merobohkan. Serentak ia mencabut cempulingnya dan
dilemparkan kepada Ki Hajar Karangpandan seraya berkata, “Hai pendeta edan!
Sambutlah ini!”
Cempuling
Jaga Saradenta bukan sebuah pusaka murahan. Selain terbuat dari bahan baja
bercampur besi berani, pusaka itu bertuah pula. Menurut cerita, cempuling itu
adalah hasil kerja seorang empu kenamaan pada zaman Panembahan Senopati.
Banyaklah sudah jasanya menumpas musuh. Dalam Perang Giyanti, Jaga Saradenta
sudah beberapa kali memperoleh faedahnya. Selamanya belum pernah terpisah dari
tangannya seakan-akan nyawanya sendiri. Kini pusaka itu diberikan kepada Ki
Hajar Karangpandan. Jika bukan mengharapkan sesuatu, mustahillah ia berbuat
demikian.
Sebaliknya
Ki Hajar Karangpandan jadi berbesar hati mendapat bantuan Jaga Saradenta.
Gerak-geriknya jadi bertambah mantap. Dengan bersiul panjang, ia menghan-tam
Pringgasakti dengan suatu gerakan aneh. Gugup Pringgasakti memapaki pukulannya
yang aneh. Mendadak saja berubah menjadi gerakan membabat dan menyodok perut.
Keruan
saja Pringgasakti tak berani berlaku sembrono lagi. la tak berani menyambut pukulan
itu. Dengan menjejak tanah ia mundur dan tahu-tahu sudah menggenggam sepotong
senjata berbentuk alu. Entah terbuat dari apa alu itu, tetapi apabila
digerakkan menerbitkan kesiur angin dan deru suara.
Sekarang—si
iblis berani mengadu tenaga dan senjata, la menggebu terus-menerus tiada
hentinya. Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan cepat-cepat merubah ilmu
cempulingnya. Sekonyong-konyong ia bergulingan di atas tanah dan menghantam
kedua kaki musuh. Pringgasakti kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya,
kalau pendeta itu bisa merubah tata-berkelahinya begitu cepat dan berbahaya.
Gntuk meloloskan diri, terpaksa ia meloncat tinggi. Kemudian turun di atas
tanah sambil membalas menyerang. Tetapi tahu-tahu Ki Hajar Karangpandan sudah
merubah lagi ilmu berkelahinya, la kini melepaskan serangan berantai bagaikan
gelombang pasang. Suara anginnya berderu-deru dan terus bergulung seperti arus
laut melanda bumi.
Pringgasakti
lantas saja menggenggam alunya erat-erat. Ia bermaksud hendak mengadu tenaga,
karena tahu dengan pasti kalau ia menang tenaga. Jika tadi menggunakan sebelah
tangan, kini ia menggunakan kedua tangannya. Hebat akibatnya. Sedang dengan
sebelah tangan saja, pukulannya sudah sangat mengejutkan. Apa lagi kini
tenaganya jadi berlipat. Di samping itu ia menggunakan pula tenaga pinggang.
Nampaknya gerakannya sederhana, tetapi sebenarnya mengandung tenaga dahsyat
yang susah dibendung. Kesiur anginnya saja sudah mampu merobohkan lawan
seandainya lawan itu hanya bertenaga tanggung. Oleh karena itu, setiap kali
Pringgasakti mengayunkan alunya, cepat-cepat Ki Hajar Karangpandan meloncat
menghindari.
Sudah lewat beberapa
puluh jurus, angin pukulan Pringgasakti bertambah dahsyat dan dahsyat.
Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan nampak jadi sibuk. Gntung dia memiliki suatu
kegesitan yang tak dapat ditandingi orang. Maka dengan mengandalkan
kegesitannya, ia terus melawan sebisa-bisanya.
Tetapi
ia tak cepat lagi menyerang seperti tadi. Ia terus mundur dan mundur. Tahu-tahu
ia terdorong terus sampai terjepit di antara pohon-pohon yang berdiri di tepi
lapangan. Ia terkesiap dan tak berdaya memusnahkan tenaga lawan. Ternyata si
iblis berkelahi seperti orang edan. Tanpa berkedip ia terus merangsak dan
benar-benar berniat hendak merenggut nyawa.
“Nah,
apa yang akan kaulakukan? Sekarang kau mampus!” teriaknya nyaring sambil
tertawa meriuh.
Semua
orang terkesiap menyaksikan peristiwa itu. Sekonyong-konyong alu Pringgasakti
menyambar dengan dibarengi suara bergemeretakan. Pohon yang berada di belakang
Ki Hajar Karangpandan kena ditumbuk tumbang. Dan pada detik berbahaya itu—di
luar dugaan orang— Ki Hajar Karangpandan masih keburu menggenjot tubuhnya dan
melompat melewati kepala musuhnya. Anehnya, dalam seribu kerepotannya pendeta
bandel itu masih saja bisa memaki musuhnya,
“Kau
mampus sendiri! Nah, apa yang akan kaulakukan?” Ki Tunjungbiru dan Jaga
Saradenta terkejut bukan main. Mereka berdua mengira, kalau Ki Hajar
Karangpandan tak dapat meloloskan diri lagi. Seperti telah berjanji, mereka
menjejak tanah dan melesat memasuki gelanggang. Kedua tangan mereka terpentang
mengancam punggung Pringgasakti untuk menolong nyawa Ki Hajar Karangpandan.
Pada detik itu juga, mendadak saja Pringgasakti berputar dan menghantam
serangan mereka dengan sekaligus. Dan sesungguhnya dia adalah seorang perkasa
pada zaman itu. Patutlah dia disegani, dikagumi dan dikutuk orang. Dalam
bentrokan adu tenaga itu, terlihatlah dengan jelas betapa besar tenaganya. Dia
dikerubut dua orang. Meskipun demikian, tatkala saling berbentur kedua lawannya
dapat dipentalkan terbalik sampai berdiri terhuyung-huyung. Sedangkan dia
sendiri hanya bergeser tempat setengah langkah. Maklumlah, waktu itu tenaganya
baru saja dipusatkan menggempur kepala Ki Hajar Karangpandan yang ternyata
dapat meloloskan diri.
“Hm,”
ia mendengus, “orang-orang semacam kalian inilah yang akan merajai kepu-lauan
Jawa? Bagaimana kalian berani menantangku. Jika kalian berdua bisa
mempertahankan diri dari senjata andalanku dalam sepuluh jurus saja, aku akan
mengakui kalian sebagai guruku.”
“Eh-eh”
sahut Ki Hajar Karangpandan sambil tertawa merendahkan. “Benar-benar kamu ingin
kami berebut bertiga?”
“Jangan
lagi tiga orang. Seribu dewa suruhlah turun dari angkasa. Aku takkan mundur
selangkahpun juga.”
Ki
Tunjungbiru dan Jaga Saradenta kenal akan kegagahan Pringgasakti. Akan tetapi
begitu mereka mendengar ucapannya yang bernada sombong dan tak memandang orang,
tanpa memperhitungkan akibatnya lantas saja mereka menyahut berbareng.
“Bagus!
Mari kita mencoba bergebrak dalam sepuluh jurus.”
“Baik,”
jawab Pringgasakti sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Bagaimana jika kalian tak
dapat mempertahankan dalam sepuluh jurus?”
“Kalau
tak dapat bertahan dalam sepuluh jurus, apa pedulimu?” sahut Jaga Saradenta
yang berwatak uring-uringan. “Kalau aku mampus, apa kamu mau menangis?”
Pringgasakti
lantas saja menjejak tanah tiga kali sambil berkumat-kamit membaca mantran.
Kemudian membentak, “Bagus! Kau pendeta edan, minggirlah dahulu. Aku kan
mengirimkan kawanmu ini ke neraka biar digerumuti setan.”
Setelah
membentak demikian, ia mengeluarkan senjatanya yang lain berbentuk sebongkah
batu baja. Batu baja bertali, ternyata senjata itu berbentuk semacam bandul-an.
Kemudian ia mengayun-ayunkan berputaran sampai berbunyi berdengungan.
Orang-orang yang
menyaksikan
senjata aneh itu, pada kasak-kusuk membicarakan. Meskipun mereka bukan
ahli-ahli tata-berkelahi, tapi tahu bagaimana akibatnya bila orang kena
kemplang bandul batu baja. Seseorang yang tidak memiliki sekelumit kepandaian,
akan hancur kepalanya jika kena sambit. Jangan lagi kena sambit, baru saja
tergulung kesiur anginnya sudah bisa dirobohkan tanpa berkutik.
Ki
Hajar Karangpandan sadar akan bahaya. Ia segera menyerahkan cempuling Jaga
Saradenta kepada pemiliknya. Dia sendiri lantas mengeluarkan sepucuk senjata
berbentuk bulan sabit. Sedangkan Ki Tunjungbiru diam-diam mengeluarkan senjata
andalannya pula terbuat seperti penjalin dan berbentuk semacam tongkat panjang.
“Kalian
sudah siap?” tantang Pringgasakti. “Nah, amat-amatilah sekelilingmu, karena
sebentar lagi kalian akan berpisah untuk selama-lamanya dari semuanya.”
Tanpa
berbicara lagi, Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta telah membuka serangan.
Senjata mereka jauh berbeda, tetapi mempunyai tipu-tipu serangan yang hampir
sama dan sejiwa. Dalam satu gebrakan, cempuling Jaga Saradenta mengarah mata,
pelipis, hidung, tenggorokan dan dada. Sedangkan tongkat Ki Tunjungbiru,
menyodok perut, menyabet pinggang, menusuk ketiak dan membabat kaki. Dengan
demikian, Pringgasakti sudah terancam penuh-penuh. Tetapi Pringgasakti memang
seorang yang tangguh. Kalau tidak, masa dia sanggup bertempur melawan guru
Wirapati sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Dalam setiap pertempuran, belum
pernah ia dikalahkan. Kecuali tatkala melawan Adipati Karimun Jawa Surengpati—ayah
Titisari. la hanya cukup menggunakan tiga jurus. Pada jurus keempat, lawannya
pasti sudah kena dirobohkan. Itulah sebabnya, ia tak memandang mata terhadap
macam serangan lawan. Meskipun demikian, kali ini ia terkejut benar-benar. Sama
sekali tak diduganya, bahwa dalam satu gebrakan saja lawannya telah mengancam
seluruh tubuhnya yang berbahaya. Cepat ia memutar senjata ban-dringannya sambil
menusukkan alunya. Dengan menerbitkan suara berdetakan ia menangkis dan
mendesak lawan.
“Bagus!”
teriak Ki Hajar Karangpandan. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Nah, tinggal lima
jurus saja.”
Mendengar
teriak Ki Hajar Karangpandan, Pringgasakti mendongkol bukan main. Dalam
mengatakan sepuluh jurus tadi, maksud Pringgasakti adalah, jika mereka berdua
sanggup mempertahankan serangannya dengan sepuluh jurus. Tetapi Ki Hajar
Karangpandan yang berwatak edan-edanan itu, sudah menghitung jumlah
serang-menyerang kedua belah pihak. Meskipun demikian, Pringgasakti yang tinggi
hati tak mau cekcok berebut benar. Dengan sedikit menggerakkan tangan, batu
bajanya lantas saja berputar kencang dan dengan suara mengaung-aung menyerang
bertubi-tubi.
Benar-benar
cepat dan diluar dugaan orang, cara Pringgasakti menyerang musuh-musuhnya.
Tahu-tahu batu baja telah menerobos jaring-jaring pertahanan mereka dan kini
menyambar dada. Jarak batu baja dengan dada mereka sudah terlalu dekat. Tak
mungkin mereka bisa menghindar atau membebaskan diri. Sekonyong-konyong Ki
Tunjungbiru malah maju sambil menonjokkan tongkatnya. Serangan mengarah kepada
urat nadi yang berada di bawah leher. Jika mengenai sasaran, meskipun
Pringgasakti berkepandaian setinggi langit, akan punah semua kesaktiannya dan
akhirnya akan hidup cacat selama-lamanya.
Sadar
akan bahaya, Pringgasakti cepat-cepat menarik batu bajanya, la enggan mati
berbareng dengan lawannya. Dengan demikian, masing-masing bebas dari ancaman
bahaya.
Enam,
tujuh, delapan, sepuluh ... Ya sepuluh jurus!” Teriak Ki Hajar Karangpandan.
“Hai kau iblis edan!- Kedua kawanku telah berhasil menangkis sepuluh seranganmu.
Sekarang kau mau apa?”
Dalam
dua gebrakan itu, Pringgasakti tahu bahwa mereka bukan tandingannya. Ia tahu,
bahwa jika bertempur sungguh-sungguh dalam sepuluh jurus pasti akan dapat
merobohkan mereka. Sungguh mendongkolkan, mengapa pendeta edan itu sudah
menghitung dua gebrakan
sejumlah
sepuluh jurus. Dengan mata melolot ia berpikir, baik! Kau boleh mengumbar
mulutmu. Biar kurobohkan dahulu mereka. Baru akan membungkam mulutmu.
Setelah
memperoleh ketetapan demikian. Lantas saja ia menyerang Ki Tunjungbiru dan Jaga
Saradenta. Mereka lantas saja bertempur dengan seru. Ki Hajar Karangpandan jadi
gelisah. Tahulah dia, bahwa Ki Tujungbiru dan Jaga Saradenta takkan mampu
melawan kesaktian Pringgasakti. Andaikata dia sendiri ikut pula terjun dalam gelanggang
pertarungan, belum tentu dapat menolong mereka.
Memang
Ki Tunjungbiru dan Jaga Saradenta waktu itu sudah mulai terdesak kalah. Setelah
mendapat pengalaman getir, hati mereka jadi gentar. Tak berani lagi mereka
menyambut serangan lawan secara berhadapan. Gerakan lawan terlalu cepat dan
diluar dugaan. Maka mereka melayani Pringgasakti dengan cara lain. Dengan
mengerahkan tenaga, mulailah mereka bergerak berputaran. Terang sekali mereka
hendak menggempur lawan dari samping. Tetapi Pringgasakti bukan anak kemarin
sore. Seketika itu juga, tahulah dia menebak maksud mereka. Senjata
ban-dringnya lantas saja diputarnya kencang-kencang dan senjata alunya
menggempur dari depan. '
Menyaksikan
kehebatan Pringgasakti, Ki Hajar Karangpandan mengeluh. Tak dapat lagi ia
tinggal diam. Meskipun tak ungkulan ia harus membantu secepat-cepatnya. Tetapi
belum lagi ia bergerak, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan yang
terus saja merabu lawan. Itulah pendekar muda Wirapati yang sudah semenjak tadi
berada di luar gelanggang memperhatikan pertarungan mereka. Ki Hajar
Karangpandan jadi berbesar hati. Lantas saja dengan bersuit panjang, ia memutar
senjatanya dan bergerak berputar dengan gesit.
Dengan
demikian Pringgasakti dikerubut empat orang. Ternyata ia tangguh luar biasa.
Sadar
akan bahaya, cepat-cepat ia merubah tata-berkelahinya. Tak berani lagi ia
memandang rendah lawan-lawannya. Senjata alunya kemudian diangkatnya tinggi dan
menggempur pundak Jaga Saradenta. Jaga Saradenta kaget bukan main. Tak sempat
ia menangkis atau menghindar. Ia menutup mata menerima nasib. Sekonyong-konyong
ia mendengar suara benda beradu. Ia menyenak mata dan melihat pedang Wirapati
menangkis serangan si iblis. Hebat akibatnya. Pedang Wirapati meskipun tiada
patah, tetapi melengkung menjadi bulan sabit. Dan lengannya terasa nyeri
menusuk jantung. Terpaksa ia meloncat mundur sambil menarik napas dalam.
Sangaji
yang berada di luar gelanggang gugup menghampiri gurunya. Tetapi ia didorong
pergi.
“Minggir!
Kamu bukan tandingannya,” kata gurunya. Setelah berkata demikian, gurunya
meloncat lagi memasuki gelanggang. Dan diam-diam si bocah kagum, bagaimana
gurunya dapat memulihkan tenaganya begitu cepat.
Sekarang
ia memusatkan seluruh penglihatannya ke medan pertempuran. Ki Tun-jungbiru
sedang melabrak maju. Bentuk dan perwujudan orang itu benar-benar mirip
Pringgasakti.
Pantaslah—kedua gurunya dahulu—pernah menyangka dia si iblis Pringgasakti. Dan
kedua gurunya, dengan gerak-geriknya yang aneh mengepung dari samping.
Sedangkan Ki Hajar Karangpandan menyerang dengan berputaran. Pendeta edan itu
mengandalkan kegesitannya. Ia bertarung seperti seekor Belibis yang timbul
tenggelam di antara gelombang serangan lawan.
Tak
lama kemudian Wirapati telah berhasil melibat kaki Pringgasakti. Ia menggaet
dengan pedangnya yang sudah melengkung. Tetapi aneh. Meskipun ia menarik dengan
sekuat tenaga, kaki Pringgasakti tak bergeming. Kulitnya sangat kebal. Malahan
dengan tiba-tiba alu Pringgasakti sudah berkesiur menyambar mukanya.
Cepat-cepat
ia menarik pedangnya dan menangkis sedapat-dapatnya. Ia berhasil membebaskan
diri dari serangan si iblis, meskipun demikian lengannya jadi pegal kena tindih
suatu tenaga dahsyat.
Selama
hidupnya, baru kali ini Sangaji melihat kedua gurunya bertempur melawan musuh
tangguh. Ia selalu mengagung-agungkan keperkasaan dan kesaktian kedua gurunya,
tak tahunya pada hari itu dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan
bagaimana mereka berdua jadi kerepotan melawan si iblis.
Pantaslah
mereka dahulu agak ketakutan membicarakan kehebatan lawannya. Ki Tunjungbiru
bahkan mengakui, kalau mereka bertiga belum tentu bisa melawan. Ternyata
ucapannya benar. Bahkan memperoleh bantuan Ki Hajar Karangpandan yang cukup
tangguh tak dapat juga memenangkan.
Selagi
ia memusatkan seluruh perhatiannya, mendadak saja lengannya serasa ada yang
menyentuh. Ia menoleh. Alangkah terkesiap hatinya, karena yang menyentuh
lengannya adalah Yuyu Rumpung. Pendekar sakti penase-hat sang Dewaresi itu
masih saja berpenasaran kepadanya, la ingin membekuk si bocah dan hendak
diganyangnya mentah- mentah, karena gigitan si bogah masih saja terasa nyeri.
“Haaaa!
Kau lari ke mana lagi?” Yuyu Rumpung menggeram.
Sangaji
terlalu kaget, la melihat mata Yuyu Rumpung yang buas dan menakutkan. Liurnya
nampak meruap ke bibirnya, sehingga menerbitkan kesan ngeri luar biasa. Tanpa
dikehendaki sendiri, seluruh tenaganya seperti terlolosi.
Nuraini
yang sedang menunggu jenazah ayah-angkatnya, melihat Sangaji dalam bahaya.
Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri ia memungut potongan pedang Ki Hajar
Karangpandan yang tadi terpental jatuh tak jauh dari tempatnya. Kemudian ia
menyambitkan sejadi-jadinya.
Yuyu
Rumpung sebat luar biasa. Matanya tajam dan benar-benar seorang pendekar yang
sudah berpengalaman. Begitu ia mendengar kesiur angin, cepat ia menarik
tangannya yang sudah mencengkeram lengan Sangaji dan meloncat mundur. Sekarang
rasa mendongkolnya diarahkan kepada si gadis. Dengan menjejak tanah ia
menyerang. Tetapi si gadis tak gentar. Dengan sikunya ia menapaki. Sudah barang
tentu ia kalah tenaga. CIntung Yuyu Rumpung masih dalam keadaan sakit. Tenaga
tubuhnya tinggal sebagian. Meskipun demikian, si gadis kena dipentalkan sampai
tujuh langkah.
Waktu
itu Sangaji seperti telah terbangun dari rasa tak sadarnya. Melihat Nuraini
dalam keadaan bahaya, ia datang membantu, meskinya hatinya gentar menghadapi si
botak. Dengan demikian Yuyu Rumpung dikerubut dua orang.
Dalam
lapangan itu lantas saja merupakan gelanggang pertempuran yang dahsyat.
Masing-masing memperoleh tandingannya. Yang masih bebas adalah Sanjaya seorang.
Pemuda
yang cerdik, licin dan licik itu, diam-diam mencari kesempatan sebagus-
bagusnya, la melihat semua rekan gurunya telah terlibat dalam suatu
pertempuran. Inilah saat sebaik-baiknya untuk menurunkan tangan. Diam-diam ia
memasuki lapangan dengan membawa senjata jepretan berisikan butiran-butiran
racun. Senjata jepretan itu adalah hasil peniruan senjata ayah-angkatnya
Pangeran Bumi Gede. Barangsiapa kena bidiknya akan mati terjengkang seperti
udang terbakar.
Hati-hati
ia mengendap-endap maju. Korban pertama yang hendak diarahnya adalah gurunya
sendiri. Yakni, Ki Hajar Karangpandan. Di seluruh dunia hanya dia seorang
belaka yang ditakuti dan disegani. Jika orang yang ditakuti dan disegani sudah
mampus, ia bisa hidup dengan senang dan bebas dari rasa was-was. Tetapi selagi
ia hendak melepaskan peluru racunnya, mendadak berkelebatlah seorang gadis
berpakaian putih bersih. Dialah Titisari—sahabat Sangaji.
Sanjaya
tak kenal siapa dia. Hanya saja dia heran menyaksikan gerak-geriknya yang gesit
dan berwibawa. Gadis itu dengan tak mengenal takut, lantas saja berteriak
kepada Pringgasakti. “Abu! Masih berani kamu jual tampang di sini?'
Waktu
itu Pringgasakti sudah berada di atas angin. Meskipun ia dikerubut empat orang
pendekar sakti, ia bisa mempertahankan diri. Bahkan, makin lama makin bisa
mengatasi dan akhirnya mulai pula merangsak membalas menyerang. Menurut pantas,
ia takkan mempedulikan siapa saja yang datang mengganggu. Tetapi sungguh—aneh!
Begitu ia mendengar ucapan si gadis, mendadak saja ia melompat undur. Ki Hajar
Karangpandan, Wirapati dan Jaya Saradenta heran sampai tercengang-cengang.
Mereka lantas saja menduga-duga siapakah itu. Memang keadaan mereka waktu itu
sudah payah. Meskipun belum tentu dapat dirobohkan, tetapi untuk merebut
kemenangan adalah sukar. Kedatangan si gadis yang bisa memberi kesempatan
mereka untuk bernapas, benar-benar merupakan dewa penolong belaka.
Sanjaya
yang sudah siap membidikkan senjata rahasianya heran. Pikirnya, siapakah dia
yang bisa memberi perintah gurunya Pringgasakti agar berhenti berkelahi?
Sebagai seorang yang cerdik, licik dan licin, tahulah dia menjaga diri. Cepat
ia menyelinap kembali di antara gerombol manusia melihat gelagat.
Waktu
itu Pringgasakti berdiri tertegun mengamat-amati si gadis. Meskipun tak
kentara, tetapi raut-mukanya nampak berubah.
“Bagaimana
adik bisa datang ke mari?”
Mendengar
si iblis Pringgasakti memanggil adik terhadap seorang gadis muda belia, semua
jadi keheran-heranan. Mereka bertambah sibuk menebak-nebak. Sebaliknya Titisari
nampak tenang dan tiada kesan. Dengan pandang mata berwibawa ia merenungi wajah
Pringgasakti.
Titisari
sebenarnya sudah lama berada di sekitar lapangan. Sewaktu hendak kembali ke
kadipaten mencari Sangaji, ia melihat Pangeran Bumi Gede menunggu kuda keluar
jalan dengan diikuti semua pasukannya dan dua puluh orang tetamu undangannya.
Sebagai seorang cerdik tahulah dia, bahwa di luar kadipaten terjadi suatu
peristiwa yang penting. Meskipun demikian, masih saja dia memasuki kadipaten.
Ketika dilihatnya Sanjaya ke luar kadipaten pula, dan semua kamar kosong tiada
penghuninya, barulah ia mengejar mereka. Segera ia menyaksikan pertempuran itu.
Hatinya lega, ketika dilihatnya Sangaji sehat wal'afiat. Bahkan anak muda itu
siap pula bertempur. Diam-diam ia bersiaga memberi bantuan, apabila kawannya
dalam keadaan berbahaya. Begitulah, dengan berturut-turut ia menyaksikan semua
peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Hanya saja ia tak mendengar janji Ki
Hajar Karangpandan hendak menjodohkan Sangaji dengan Nuraini. Tatkala hendak
menghampiri mereka, mendadak ia melihat berkelebatnya Sanjaya.
Anak
muda itu sedang berbicara dengan seseorang yang berada di tengah-tengah
kerumunan manusia. Ia sadar, bahwa pemuda ningrat itu cerdik, licik dan licin.
Karena itu ia curiga. Ketika ia mengenal siapa orang yang sedang diajaknya
berbicara, sudahlah dia dapat menebak separoh bagian. Lantas saja ia
bersembunyi menunggu perkembangan.
Orang
itu adalah Pringgasakti, murid ayahnya yang melarikan diri dengan menggondol
sebuah kitab pusaka. Ia mengenal orang itu dengan nama Abu. Melihat dia
bertempur melawan rombongan Sangaji, segera ia dapat menempatkan diri. Begitu
ia melihat Pringgasakti mulai dapat menguasai lawannya, lantas saja ia muncul
dan dengan cerdik menggunakan pengaruh ayahnya.
“Hm,”
dengusnya, “masih saja kamu berpura-pura dungu? Apakah kamu percaya, bahwa kamu
dungu? Apakah kamu percaya, bahwa aku bisa bebas mengarungi lautan di luar
pengetahuan ayah?”
Mendengar
ujar Titisari, raut-muka Pringgasakti benar-benar jadi berubah. Dengan suara
gagap ia berkata, “Apakah ayahmu berada di sini?'
“Kamu
boleh menebak-nebak sesukamu,” sahut Titisari. “Legakan hatimu. Ayah masih
berada di luar kota. Beliau telah menemukan jejakmu. Aku disuruhnya mendahului.
Nah, sebelum Ayah melihatmu, lekaslah kamu kabur. Kalau tidak, kamu harus
mengembalikan kitab pusakanya beserta bunganya.”
Pringgasakti
berdiri tegak. Tubuhnya menggigil sebentar. Kemudian ia mencoba menguasai
ketenangan. Berkata keras, “Kamu kelinci cerdik, janganlah membohongi kakakmu.
Ayahmu tak berada di sini.”
“Bagus!
Tapi mengapa aku bisa berada di sini? Bagaimana menurut pendapatmu?”
Pringgasakti
diam menimbang-nimbang. Ia kenal ayah Titisari. Adipati Karimun Jawa itu bukan
orang sembarangan. la seorang sakti, kebal, cerdik dan cerdas luar biasa.
Seluruh dunia, hanya dia seorang yang dikagumi, ditakuti dan disegani. Ia bisa
berada di mana saja sesuka hatinya. Ia timbul dan lenyap seperti iblis. Dan
kekejamannya melebihi iblis juga. Sewaktu ia berhasil mencuri kitab pusakanya dan
melarikan diri dari pulau
Karimun
Jawa bersama adiknya, ayah Titisari melampiaskan amarahnya kepada segenap
nelayan dan pegawai-pegawai kadipaten. Mereka dikutungi lengan dan kakinya dan
diusirnya pergi. Semuanya berjumlah empat puluh orang yang jadi cacat tubuh
sepanjang hidupnya. Sekarang ia mendengar dari Titisari, kalau Adipati Karimun
Surengpati sedang mencari jejaknya. Jika sampai bertemu, bagaimana ia bisa
melarikan diri lagi. Hukuman apa yang bakal ditanggung, tak dapatlah
dibayangkan lagi. Si kejam itu akan menurunkan tangannya semau-maunya sendiri.
Ia bisa dikutungi, diputuskan urat-nadinya, dicukil matanya atau dicabut
lidahnya. Memikirkan ancaman hukuman ini, hatinya jadi keder sampai seluruh
tubuhnya menggigil.
Guru
adalah seorang yang keras hati dan keras kepala. Jika ia mempunyai tujuan,
takkan dapat dilepaskan jika belum tercapai. Titisari adalah anak satu-satunya.
Bagaimana bisa guru membiarkan dia merantau mengarungi lautan seorang diri?
Hm... apakah benar guru berada tak jauh dari sini? pikirnya.
“Adik
kecil!” akhirnya ia memutuskan. “Kali ini biarlah kita berpisah di sini untuk
selama-lamanya. Meskipun aku murid murtad, aku masih menghormati ayahmu sebagai
guru. Selama hidupku, dia akan kusembah sebagai dewaku juga. Karena hari ini aku
tak dapat menemui, sudikah kamu mewakiliku menyampaikan sembah sujudku?”
Sehabis
berkata begitu, kemudian ia menjejak tanah berjumpalitan. Dan sebentar saja
bayangnya tidak nampak lagi. Semua orang kagum menyaksikan keperkasaan si
iblis. Pantas semenjak Perang Giyanti orang segan kepadanya. Ternyata namanya
tiada kosong melompong. Benar-benar ia manusia tangguh dan sukar dilawan.
Wirapati,
Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan hendak menghampiri
Titisari, mendadak saja mereka mendengar suara gedebukan orang lagi bertempur.
Begitu menoleh, mereka melihat Sangaji dan Nuraini sedang dalam bahaya kena
gempuran Yuyu Rumpung. Tanpa diminta lagi. Wirapati terus saja melesat
menghampiri sambil mengirimkan bogem mentah. Tentu saja, Yuyu Rumpung yang
masih kesakit-sakit-an terkejut mendengar kesiur angin, la sadar kalau lawannya
kali ini bukan seempuk Sangaji. Maka cepat-cepat ia bergeser tempat. Tetapi
serangan Wirapati bukan serangan murahan. Begitu serangannya yang pertama kena
dihindari, lantas saja menyusullah serangannya yang kedua dan ketiga. Kena
diberondong serangan berantai demikian, Yuyu Rumpung tak berdaya. Dasar ia
masih luka, maka dengan gampang dia kena kemplang sehingga mundur
terhuyung-huyung.
“Sangaji!
Siapa orang ini?” Wirapati minta keterangan.
“Dialah
yang melukai Panembahan Tirtomoyo dengan akal licik,” jawab Sangaji.
Wirapati
tak kenal siapakah Panembahan Tirtomoyo, sehingga ia tak begitu mengindahkan.
Terus
saja dia berkata, “Lain kali, jika kamu bersua dengan dia, lekas-lekaslah
menyimpang.
Dia
terlalu berbahaya bagimu.”
Sangaji
mengangguk. Mendadak ia diham-piri Ki Hajar Karangpandan, “Apa kau bilang
tadi?”
Pendeta
edan itu terkejut, waktu Sangaji menyebut-nyebut kakak-seperguruannya. Ia ingin
minta keterangan dengan jelas.
“Panembahan
Tirtomoyo dilukai orang itu.”
“Di
mana dia sekarang?”
“Dia
di penginapan. Semalam aku mencoba mencari ramuan obat yang disembunyikan orang
itu.”
Mendengar
keterangan Sangaji, Ki Hajar Karangpandan lantas saja melesat mengepung Yuyu
Rumpung. Ia tahu apa arti ramuan obat itu bagi kakak-seperguruannya yang lagi
menderita luka. Sudah barang tentu, Yuyu Rumpung jadi keripuhan. Baru saja
melawan Wirapati belum tentu dia bisa menang, apalagi dikerubut dua orang.
Itulah sebabnya, begitu ia mencoba bergerak, Ki Hajar Karangpandan dan Wirapati
sudah dapat menjungkirbalikkan, sehingga mukanya jadi babak belur.
“Keluarkan
obatnya!” bentak Ki Hajar Karangpandan.
Yuyu
Rumpung sangat mendongkol terhadap Sangaji. Dendamnya terhadap si bocah naik
setinggi kuping. Dengan napas terengah-engah sambil melototi Sangaji, ia
menyahut, “Dia telah mencuri semua ramuan obatku. Mengapa kalian hendak
mengkerubutku yang tengah luka? Jika kalian ingin mencoba kepandaian, tunggulah
barang dua tiga bulan lagi. Nah, itulah namanya pertandingan adil. Siapa yang
mampus bukanlah soal penting.”
Mendengar
ujar Yuyu Rumpung, Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan mengundurkan diri.
Sebagai seorang ksatria, mereka tak sudi berlawanan dengan seseorang yang
sedang menderita luka. Lagi pula, ramuan obat sudah berada di tangan Sangaji.
“Baik!
Kamu boleh lari ngacir. Tapi awas, jika kamu berani mengusik bocahku, aku
seorang tua takkan bakal melepaskanmu hidup-hidup. Biar kamu berada di ujung
langit, pasti akan kucari untuk memperhitungkan untung rugi,” ujar Ki Hajar
Karangpandan.
Meskipun
hatinya mau meledak direndahkan demikian rupa oleh Ki Hajar Karangpandan mau
tak mau Yuyu Rumpung terpaksa menelan bulat-bulat. Dengan dada mendongkol ia
mengundurkan diri. Dia sadar, tak bisa ungkulan melawan mereka. Karena itu
bagaimana dia berani mengumbar mulut. Tetapi diam-diam ia berjanji akan mengadu
kepandaian melawan mereka di kemudian hari.
“Bocah,”
kata Ki Hajar Karangpandan kepada Sangaji. “Kamu tadi bilang, Panembahan
Tirtomoyo berada di penginapan. Dapatkah kamu menunjukkan di mana dia berada?”
Sangaji
mengangguk, la hendak melangkah pergi, tiba-tiba mendengar seseorang mene-gor,
“Hm...! Bagaimana kalian sampai hati meninggalkan jenazah sahabatmu?”
Mereka
semua terkejut seperti tersengat lebah. Serentak mereka menoleh, dan nampaklah
seorang laki-laki tua berjalan tertatih-tatih memasuki lapangan. Dia adalah
Panembahan Tirtomoyo.
“Aki!”
teriak Sangaji gembira. Lantas saja ia lari menghampiri sambil mengeluarkan
bungkus obatnya. “Inilah obatnya. Entah benar entah tidak. Aku hanya
mengambilnya dengan begitu saja...”
Panembahan
Tirtomoyo menyambut Sangaji dengan gembira dan terharu. Bungkus obat itu lalu
dibukanya, la memeriksanya sebentar.
“Hm...
meskipun bercampur aduk, tetapi semua yang kubutuhkan terdapat di sini.”
Sangaji
bergembira bukan kepalang sampai ia meloncat-loncat ke udara. Dasar ia seorang
pemuda yang polos dan sederhana. Apa yang terasa di dalam hati, lantas saja
dinyatakan tanpa segan-segan.
“Eh...
Hajar! Muridmu seorang laki-laki sejati,” tegur Panembahan Tirtomoyo. “Dia
seorang jempolan, sampai-sampai aku nyaris terungkap dalam jebakannya.”
Ki
Hajar Karangpandan terdiam. Tetapi ia segera sadar akan arti teguran
kakak-sepergu-ruannya. Dengan setulus hati ia membungkuk hormat kepada Jaga
Saradenta dan Wirapati.
“Tuan
pendekar sekalian, terimalah hormatku setulus-tulusnya. Aku bangga terhadap
murid Tuan. Bahkan aku patut mengucapkan terima kasih pula. Hm, seumpama tiada
Tuan-tuan sekalian, apakah arti hidupku ini. Aku akan dikutuk sejarah. Karena
jasa Tuan sekalian, maka aku tak terlalu menderita malu apabila kelak aku
bertemu dengan arwah ayah murid Tuan. Tentang muridku sendiri, tak usahlah
dibicarakan. Juga bunyi tantanganku dua belas tahun yang lalu. Di sini dan pada
hari ini, aku menyatakan takluk.”
Juga
Saradenta dan Wirapati terkejut mendengar kata Ki Hajar Karangpandan. Mereka
tahu, mengapa pendeta itu mengakui takluk. Semata-mata, karena muridnya
mengecewakan hatinya. Mereka jadi bersyukur. Sebab dengan demikian tidaklah
sia-sia masa perantauannya selama dua belas tahun di daerah barat. Tetapi Jaga
Saradenta cepat-cepat berkata merendahkan diri.
“Eh—sang
Pendeta! Biar bagaimanapun juga, kami belum puas, sebelum melihat murid kami
dan murid Tuan mengadu kepandaian. Alasan Tuan, mengaku kalah belum meyakinkan
kami sama sekali belum kami ketahui bagaimana tinggi rendahnya ilmu murid
Tuan.”
“Tidak!”
potong Ki Hajar Karangpandan. “Dengan ini benar-benar aku mengaku kalah.
Marilah kita berbicara sebagai laki-laki! Dan dengarkan bicaraku.”
Mereka
berbicara sambil berjalan menghampiri jenazah Wayan Suage. Sangaji membimbing
Panembahan Tirtomoyo yang berjalan bertatih-tatih sambil menelan ramuan obat
dengan ludahnya. Sekonyong-konyong ia melihat Titisari berdiri tegak di tengah
lapangan. Hatinya girang bukan main, sampai ia mau lari menghampiri. Tetapi
tatkala kakinya hendak bergerak, ia mendengar Ki Hajar Karangpandan.
“Laki-laki
seluruh dunia tahu semua, bahwa dirinya dihidupi alam bukan semata-mata mencari
makan-minum untuk memuaskan perut. Karena mereka sadar, bahwa dirinya bukan
termasuk golongan binatang atau iblis. Kewajiban mereka sebagai darmanya sejati
ialah, ikut serta memelihara kesejahteraan -jagat sekuasa-kuasanya. Karena itu
pula, mereka mengutamakan jiwa luhur di atas segalanya,” ia berhenti sebentar
mengesankan. Meneruskan, “Tuan pendekar sekalian berbicara atas dasar mengadu
kepandaian? Cuh! Apakah arti ilmu pengetahuan, jika tidak didasari sari-sari
hati sejati. Hm...! Biarpun andaikata, muridku memiliki ilmu setinggi langit, apakah
artinya jika dibandingkan dengan murid Tuan yang memiliki jiwa luhur dan
watak-watak ksatria sejati? Lihatlah, dia tahu menempatkan diri dan menempatkan
persoalan. Sewaktu dia terlepas dari pengawasan gurunya, ia sudah kuketemukan
berada di lapangan ini mempertaruhkan nyawa untuk ikut membela orang lemah
sekuasa-kuasanya.”
“Sedangkan
jika dibandingkan dengan para pendekar yang berkumpul di Pekalongan,
kepandaiannya sama sekali tak sebanding.
Anak
yang lagi belajar beringus tapi sudah memiliki jiwa begitu luhur, bukankah
pantas kita junjung tinggi? Inilah seorang ksatria sejati,” ia berhenti lagi.
Kemudian berkata dengan suara bergelora, “Tuan-tuan sekalian! Memompa segala
bentuk kepandaian kepada seorang murid adalah jauh lebih mudah daripada menanamkan
bibit watak ksatria sejati. Iblis pun dapat menyulap manusia goblok menjadi
seorang yang ber-ilmu tinggi. Dan jika nilai manusia hanya didasarkan pada
suatu taraf ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian belaka, apakah jadinya jagat
ini. Semua laki-laki tahu, bahwa jagat ini bakal penuh dengan iblis dan setan!
Karena itu terimalah hormatku atas jasa tuan pendekar berdua.”
Sampai
di sini selesailah sudah persoalan yang berlarut sampai dua belas tahun. Jaga
Saradenta dan Wirapati dinyatakan menang oleh Ki Hajar Karangpandan. Itulah
saat yang diharapkan mereka berdua. Dengan demikian, terbacalah sudah jerih
payahnya.
Mereka
kemudian membimbing Panembahan Tirtomoyo berjalan besama-sama. Orang tua itu
kemudian menerangkan mengapa dia tiba-tiba sudah berada di pinggir la-pangan.
Semalam ia menunggu kembalinya Sangaji dengan hati gelisah. Ketika dia
mendengar kesibukan penduduk kota membicarakan suatu pertempuran seru di
lapang-an, dengan menguatkan diri ia pergi menjenguk. Ia melihat mereka sedang
mengadu tenaga. Meskipun hatinya ingin membantu, tetapi kesehatan badannya tak
mengizinkan.
“Yuyu
Rumpung bukan orang sembarangan,” katanya. “Sekiranya dia tidak terluka secara
kebetulan, tidak gampang-gampang dia kalian gebu pergi.”
Mereka
kemudian duduk mengelilingi jenazah Wayan Suage, sedang Sangaji membawa
Titisari duduk pula di antara mereka.
Ki
Hajar Karangpandan nampak perasa menyaksikan duka-cita Nuraini.
“Nona,”
katanya perlahan. Maukah Nona menceritakan tentang kehidupan ayah-angkat Nona
selama beberapa tahun berselang?”
Nuraini
menegakkan kepala. Dengan wajah bermuram ia berkata, “Selama delapan tahun
lebih, dia mengajakku merantau tak tentu tujuannya. Belum pernah kami berdiam
pada suatu tempat. Hanya sekali, dia pernah mengajakku menjenguk Dusun Karangtinalang,
untuk memperbaiki reruntuhan rumahnya. Katanya, meskipun tidaklah sementereng
dahulu, tetapi cukuplah baik untuk tempat tinggal. Meskipun demikian, dia tak
mau mendiami rumah itu. Dia berkata kepadaku, hendak mencari keluarga Made
Tantre dahulu...”
Tatkala
mengucapkan nama Made Tantre, gadis itu bersuara setengah berbisik. Ia nampak
segan-segan. “Bagaimana persoalannya, kamu sampai diambil sebagai
anak-angkatnya?”
“Dahulu
dia dirawat oleh almarhum ayahku.” Nuraini memberi penjelasan. “Setelah ayahku
meninggal, aku dipungutnya sebagai anak-kandungnya sendiri. Aku senang
menda-patkan perlindungannya. Sebagai ayah dia tak pernah mengecewakan hatiku.
Hanya saja ia terlalu bersusah payah mencarikan jodohku yang sepadan menurut
hematnya,” dan kembali ia bersuara perlahan. Mukanya lantas saja menjadi merah
dadu.
Sambil
berebahan Panembahan Tirtomoyo mendengarkan si gadis berbicara. Setelah menelan
ramuan obat, ia merasa menjadi segar. Ingatannya melayang kepada si gadis
sewaktu melayani Sanjaya dalam gelanggang adu-nasib. Lantas saja ia menyambung,
“Eh— sebentar, Nona. Bolehkah aku bertanya kepadamu?”
Nuraini
menoleh kepadanya. Ia tidak menjawab, tetapi pandang matanya bersinar, suatu
tanda bahwa hatinya berkenan.
“Siapakah
yang mengajarimu mengenal ilmu tata-berkelahi?”
“Semenjak
berumur empat tahun aku diajari satu, dua jurus oleh ayahku. Anak-anak Jawa
Barat mengenal ilmu berkelahi semenjak kanak-kanak, tak peduli apakah dia
seorang laki-laki atau perempuan,” jawab Nuraini dengan terus-terang. “Tetapi
ayah-angkatku memberi bahan-bahan sangat berharga pula. Dalam setiap
perkelahianku aku selalu mengutamakan jurus-jurus ajaran ayah-angkatku yang
jauh lebih perkasa daripada ajaran ayahku sendiri.”
“Hm,”
dengus Panembahan Tirtomoyo sambil mengerinyitkan dahi. “Aneh! Aku melihatmu
jauh lebih gagah daripada ayah-angkatmu sendiri, kenapa?”
“Barangkali
dugaan Aki tidak terlalu salah. Memang aku pernah diajari seorang berilmu
sebanyak tiga jurus. Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu, tatkala aku
diajak ayah-angkat merantau ke Jawa Timur.”
“Siapakah
dia?” Panembahan Tirtomoyo menegas sungguh-sungguh.
“Aki,
maafkan! Aku telah berjanji kepadanya tak akan membuka nama besarnya terhadap
siapa saja. Sebenarnya beliau akan mewariskan seluruh ilmunya. Sayang, otakku
tumpul dan tiada guna.”
Panembahan
Tirtomoyo terdiam, la tak menegas lagi agar memperoleh keterangan. Tetapi ia
masih berpikir terus memecahkan teka-teki itu. Selama Nuraini melayani Sanjaya,
ia melihat si gadis menggunakan jurus aneh dan bagus luar biasa. Ia mencoba
menebak-nebak siapakah pencipta jurus itu, namun ia tetap tak berhasil. Ia
yakin, kalau si pengajar itu pasti seorang berilmu yang sangat tinggi dan tak
ingin namanya dikenal. Setelah mendapat dugaan demikian, ia mengalihkan
pembicaraan.
“Eh,
Hajar! Bukankah kamu guru Sanjaya?”
Ki
Hajar Karangpandan mengangguk malas seraya berkata, “Ah, tak pernah kuduga,
kalau aku akan dikecewakan. Inilah akibat watakku yang sok ugal-ugalan.
Sekarang aku memetik buah pakartiku sendiri. Andaikata aku selalu meniliknya,
pastilah anak edan itu sedikit mempunyai keluhuran budi. Hm...!”
“Sejak
kapan kau menjadi gurunya?”
“Tepatnya
sembilan tahun sembilan bulan yang lalu,” jawab Ki Hajar Karangpandan. “Pada
tahun itu juga aku telah menemukan dia secara kebetulan, yakni setelah
ketinggalan tiga tahun.”
Sehabis
berkata demikian, kemudian ia menghadap kepada Jaga Saradenta dan Wirapati.
“Aku
hampir berputus asa. Maklumlah, aku mengira bernasib sial. Aku sudah merasa
pasti, akan merasa kalah dalam gelanggang adu kepandaian. Pada suatu hari aku
menjenguk kembali Desa Karangtinalang. Mendadak aku melihat ibu Sanjaya berada
di depan rumahnya, dengan dikerumuni pengawal-pengawal hamba kerajaan. Terus
saja aku kuntit dan akhirnya mendengar kabar bahwa ia diangkat menjadi selir
Pangeran Bumi Gede.
Hm...
sama sekali tak kuketahui, bahwa pangeran itulah yang menjadi pembunuh kedua
sahabatku. Sekiranya aku tahu, bagaimana sudi aku berhubungan dengan dia
semata-mata karena ingin mengambil murid anak-isteri sahabatku yang terkena
malapetaka.”
“Yakinkah
kamu, bahwa gurunya hanya kamu seorang belaka?” potong Panembahan Tirtomoyo.
“Memang
aku tak menunggui dan menilik dia pada setiap harinya. Mengapa?” “Aku menemukan
sesuatu yang aneh. Ada jurus-jurus yang belum kukenal.” “Eh... apa kamu sudah
mengetahui?”
“Kemarin
siang, secara kebetulan aku melihat muridmu sedang mengadu tenaga melawan Nona
itu, sahabatmu dan Sangaji.”
“Inilah
kegoblokkanku. Inilah kesem-bronoanku. Memang terang-terangan, aku diingusi,”
kata Ki Hajar Karangpandan dengan suara mengguntur. Dan serentak dia berdiri
sambil meledak lagi. “Sekarang kudis itu sudah mulai kucium dan kulihat dengan
mata kepalaku sendiri. Menurut katamu, kamu telah berada di pinggir lapangan
semenjak tadi. Mestinya kamu tahu pula, siapakah yang sedang kita gempur
bersama. Monyet itu memanggilnya guru dan bahkan mengadu agar aku dibinasakan.
Karena aku dikatakan sebagai guru murtad!”
Teringat
akan iblis Pringgasakti, mendadak saja teringatlah dia pula kepada Titisari.
Serentak ia mengalihkan pandang. Jaga Saradenta dan Wirapati tak terkecuali.
“Hai
Nona!” bentaknya. “Kudengar tadi iblis itu memanggilmu adik kecil. Sebenarnya
kamu siapa?”
Perlahan-lahan
Titisari berdiri. Tak senang ia mendengar pertanyaan Ki Hajar Karang-pandan
yang bernada kasar.
“Kamu
berbicara dengan siapa?” sahutnya angkuh.
*
* *
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 15 SI IBLIS PRINGGASAKTI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 15 SI IBLIS PRINGGASAKTI"
Post a Comment