BENDE MATARAM JILID 47 SONNY DE HOOP
Maulana
Syafri berhenti menyusut ke-ringat. Bulan malam sudah berada tepat di atasnya.
Ia menatap wajah Sangaji yang nam-pak termangu-mangu. Kemudian menerus-kan,
"Demikianlah pula cara Titisari me-naklukkan Suryapranata. Benar-benar
luar biasa kepintaran putri Adipati Surengpati itu. Ilmu silatnya kita tak usah
kalah, tetapi kecer-dasannya berada jauh di atas kita sehingga dapat mengikat
kita." "Apakah dia pula yang mengatur semua perjalananku?"
Sangaji menyela. "Tentu, tentu. Siapa lagi kalau bukan dia," sahut
Maulana Syafri. "Dialah yang mengatur benda-benda persembahan. Dia pulalah
yang memberi tanda-tanda sandi di tempat-tempat tertentu, tatkala Paduka menuju
ke Gunung Cibugis. Dia pulalah yang mengatur hubungan kita dengan Ki
Tunjungbiru. Dan atas petunjuknya, Suryapranata menjadi salah seorang penjaga
penjara Glodok. Karena itu, Paduka tak perlu mencemaskan keadaan Ki
Tunjung-biru. Malam ini, dia sudah dapat menghadap Paduka dengan selamat tak
kurang suatu apa. Memang semenjak ia berada di atas dataran tinggi Gunung
Cibugis, ia seolah-olah berada dekat dengan Titisari. Tak tahunya, itu semua
ternyata permainan Titisari. Dengan Titisari, sudah lama ia takluk. Tetapi sama
sekali tak pernah dia bermimpi, bahwa Titisari memiliki otak secemerlang itu.
Dengan sekali tepuk, dia dapat menguasai tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang dan
dia sendiri. Gadis itu tak ubah seorang sutradara yang sudah mengatur jalan-nya
tiap-tiap tokoh yang disuruhnya bermain di atas panggung. "Hanya satu hal
aku tak mengerti. ltulah pe-racunan rombongan penyerbu di atas dataran
ketinggian Gunung Cibugis. Siapakah yang melakukan?" kata Sangaji.
"Gusti Aji," sahut Maulana Syafri lancar. "Sesungguhnya kalau
hamba tidak membuk-tikan sendiri takkan mau percaya, bahwa di dunia ini ada
seorang gadis memiliki otak secemerlang itu. Dia tidak hanya menguasai kita
semua, tapipun dapat menghancurkan rombongan musuh penyerbu markas besar
Himpunan Sangkuriang yang mula-mula dipergunakan untuk membangunkan persatu-an
kita kembali." "Cobalah uraikan yang lebih jelas lagi. Aku jadi tidak
mengerti," potong Tubagus Simuntang. Maulana Syafri tertawa
terbahak-bahak. Katanya kemudian, "Nah lihatlah, kau hanya menyumbangkan
suatu pendengaran, namun kepalamu sudah pusing. Coba bayangkan betapa hebat
otak Titisari yang bahkan mengatur pelaku-pelakunya." "Baik, baik ...
baik. Siapa bilang otakku cemerlang," kata Tubagus Simuntang yang berwatak
berangasan. "Begini," Maulana Syafri mulai. "Kau masih ingat
betapa Edoh Permanasari dikalahkan. Ternyata dia tidak hanya dikalahkan ilmu
silat-nya, tapipun hatinya. Hal itu terjadi, karena Titisari pandai mengikat
suatu kisah yang senapas dengan perjalanan hidup iblis itu. Bukankah dia
bercerita tentang hubungannya dengan Gusti Sangaji?" "Benar."
"Di luar dugaan juga, semenjak itu Edoh Permanasari banyak mendengarkan
kata-kata puteri Adipati Surengpati. Katakan saja, dia patuh seperti diriku
terhadapnya. Dan semen-jak itu, iblis Edoh Permanasari menjadi duta keliling
puteri Adipati Surengpati. Dia disuruh menghubungi semua tokoh-tokoh pendekar
lawan Himpunan Sangkuriang untuk menyer-bu dataran tinggi Gunung Cibugis. Sudah
barang tentu puteri Adipati Surengpati me-ngarang cerita dahsyat tentang Gusti
Aji. Dikatakan bahwa Himpunan Sangkuriang kini sedang meminta bantuan tokoh
sakti dari Jawa Tengah. ltulah Gusti Sangaji. Dan ia menganjurkan, sebelum
tokoh itu mampu bertindak, hancurkan seluruh pendekar Himpunan Sangkuriang
mumpung mereka datang berkumpul. Puteri Adipati Surengpati pandai membakar hati
pula. Dikatakan, ia berani bertaruh bahwa semua pendekar Jawa Barat takkan
dapat memenangkan tokoh sakti itu. Kecuali dia sendiri. Maka pesannya, asal
mereka merasa diri tak ungkulan lekaslah turun gunung. Dia sendiri yang akan
mem-bereskan. Sudah barang tentu aku tahu mak-sudnya. Dia hendak memberi
kesempatan kepada Gusti Sangaji untuk mengangkat nama. ltulah sebabnya, dengan
kurang ajar aku memberanikan diri untuk menguji Gusti Aji. Maksudku, agar
Himpunan Sangkuriang jangan terpedaya oleh akal cerdik belaka sam-pai sudi
mengakui orang tak berguna menjadi junjungan kita. Tak tahunya, ternyata Gusti
Aji memang pantas menjadi junjungan kita. lnilah rejeki besar bagi laskar
perjuangan Himpunan Sangkuriang." "Dan Kompeni... mengapa ikut-ikutan
pula menyerbu?" Tatang Sontani minta keterangan. "ltulah
bagianku," sahut Maulana Syafri. "Seperti kau ketahui aku menyandang
pakai-an kompeni. Gusti Aji sendiri menyaksikan, betapa aku mendapat
kepercayaan kompeni untuk mengawal puteri komandan Mayor de Hoop. Maka kau bisa
mengira-ngira sendiri, betapa aku berhasil menjilat pantat kompeni. Demikianlah
dengan berbisik puteri Adipati Surengpati memberi petunjuk kepadaku, agar aku
membuat laporan kilat tentang berkumpulnya tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang
yang sudah lama menjadi musuh kompeni. Hal ini perlu untuk me-nguatkan
kedudukan puteri Adipati Surengpati itu terhadap kesangsian pihak pendekar
penyerbu. Bukankah dengan demikian, kedudukannya lantas menjadi terang bahwa
dia berpihak kepada kompeni? Edoh Permanasari dan kawan-kawannya jadi lebih
mantap. Tak tahunya ... tak tahunya ... begitu mereka habis tugasnya menyerbu
dataran tinggi, putri Adipati Surengpati men-jebaknya dengan jitu."
"Apa itu?" potong Tubagus Simuntang dan Tatang Sontani berbareng
dengan bernafsu. "Lihatlah setelah aku berhasil menyerbu ke dataran
tinggi, aku mendapat tugas lagi menawan pendekar-pendekar penyerbu. Bukankah
hebat akal itu?" "Akal bagaimana?" "Dengan menggunakan
racun, mereka kita tangkap. Maka kesalahan tangan itu kini ber-alih kepada
pihak kompeni. Mereka lalu aku giring masuk ke kamp tawanan dan aku se-ngaja
melepaskan beberapa orang rombongan mereka masing-masing. Itu semua kukerjakan
atas petunjuk puteri Adipati Surengpati. Dengan begitu, mereka bisa memberi
laporan kepada ketua mereka, bahwa rombongan kini kena tawan kompeni. Bukankah
mereka lan-tas menjadi berbalik melawan kompeni? Inilah yang dinamakan akal
sekali menepuk dua lalat dengan sekaligus. Terbuktilah kini, penjara di-serbu
orang-orang pandai. Bukankah peristiwa ini akan menegangkan hubungan antara
mereka dan pihak kompeni? Sebaliknya kitalah kini yang ganti menjadi penonton.
Waktu menyerbu dataran tinggi Gunung Cibugis, mereka bersatu padu dengan
kompeni. Tapi begitu turun dari gunung, mereka cakar-cakaran. Ini semua berkat
otak puteri Adipati Surengpati yang cemerlang. Hayo katakan bahwa puteri
Adipati Surengpati itu tidak berotak luar biasa. Tatang Sontani, kau selamanya
membang-gakan diri sebagai seorang yang berotak gemi-lang. Dapatkah kau
melampaui otak puteri Adipati Surengpati itu?" Baik Tatang Sontani dan
Tubagus Simun-tang tercengang-cengang mendengar penje-lasan itu. Pantas saja,
kompeni dapat dengan lancar menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis yang
banyak lika-likunya dan jebakan-nya. Tak tahunya, Maulana Syafri yang memimpin.
Dan itu semua adalah berkat petunjuk Titisari. Tatang Sontani yang jujur lantas
saja merigakui, bahwa dalam hal meng-adu ketajaman otak dan kecerdikan akal ia
kalah jauh. Maka besarlah keinginannya hen-dak melihat wajah puteri itu. Tetapi
sesungguh-nya, Tatang Sontani seorang cendekiawan yang jarang pula terdapat
pada zaman itu. Setelah merenung sejenak, mendadak ia seperti melihat sesuatu
yang berkelebat dalam benaknya. Pikirnya hati-hati, pedang Sangga Buwana berada
di tangan Tatang Manggala, sudah cukup terang jawabannya. Dengan Edoh, pendekar
tua itu bersekutu semenjak zaman Ratu Fatimah. Sebaliknya meskipun pedang
pusaka tidak gampang-gampang ber-alih di tangan seseorang, kukira puteri
Adipati Surengpati yang mengatur. Edoh Permanasari nampaknya menaruh
kepercayaan besar ter-hadapnya. Pantaslah oleh pintarnya puteri Adipati
Surengpati mengatur cerita, iblis itu sampai mau membuat jasa dengan menyerang
Gusti Aji mati-matian di atas Gunung Cibugis. Tetapi sebaliknya ... apakah inti
tujuan puteri Adipati Surengpati sebenarnya? Bukankah ... bukankah semata-mata
hendak merebut Gusti Aji dari tunangannya? Sekarang, penjara kena serbu. Yang
menyerbu pihak para pendekar sekutu kompeni. Memang inilah akal bagus untuk
mengelabui pihak kompeni yang semen-jak ini akan menjadi bermusuhan. Tetapi
puteri Adipati Surengpati itu menganjurkan pula membebaskan Ki Tunjungbiru. Ha
... masakan kompeni tidak dapat membaca lain lagi? Ki Tunjungbiru sudah
diketahui menjadi musuh besar pihak penyerbu. Sekarang mendadak lenyap dari
penjara, masakan dia dibebaskan oleh para penyerbu? Orang goblokpun tahu, bahwa
hal itu tidak mungkin. Kalau orang go-blok saja tahu akan hal itu, masakan
puteri Adipati Surengpati tidak dapat berpikir? Bukankah maksudnya sengaja
melibatkan. Gusti Aji? Sebab dengan hilangnya Ki Tunjungbiru tahulah kompeni,
bahwa Himpun-an Sangkuriang mengambil bagian dalam penyerbuan itu. Dan teringat
kepada Himpunan Sangkuriang, pastilah kompeni segera teringat kepada kedudukan
Gusti Aji. Kompeni pasti bertindak. Ya, kompeni pasti bertindak. Gusti Aji
sendiri bisa menyela-matkan diri. Tetapi ibunya? Bukankah ibunya berada dalam
pengawasan kompeni? Me-nawan ibunya bukankah sama halnya menawan hati Gusti
Aji? Dan kalau sampai ter-jadi begitu, Gusti Aji akan bermusuhan dengan
kompeni. Hal itu berarti pula, pecahnya hubungan antara Gusti Aji dengan
tunangannya. Hebat tapi berbahaya. Salah-salah bisa mengorbankan jiwa. Memikir
sampai di situ, tubuh Tatang Sontani bergemetaran. Lantas bertanya mencoba.
"Kak Maulana, kau tadi berkata bahwa malam ini Ki Tunjungbiru akan datang
menghadap Gusti Aji. Apakah pembe-basan Ki Tunjungbiru diatur pula oleh puteri
Adipati Surengpati?" "Tentu. Mengapa?" sahut Maulana Syafri tak
ragu. "Ah, celaka!" Tatang Sontani terkejut. Ia su-dah dapat menduga,
namun mendengar jawab-an itu tak urung hatinya benar-benar terkejut. Sangaji
tercekat hatinya. Terhadap Tatang Sontani, ia menaruh, kepercayaan besar. Raja
muda itu tidak akan memekik demikian, seki-ranya tiada alasan yang kuat. Maka
segera ia minta keterangan. "Apakah ada yang salah?" Dengan
membungkuk hormat, Tatang Sontani menjawab hati-hati. "Sekarang Ki
Tunjungbiru mungkin sudah berada di luar penjara. Oleh hati penasaran, pastilah
kom-peni akan meminta ganti kerugian. Hamba yakin, bahwa mereka sudah
mengetahui kedudukan Paduka. Karena itu hamba khawatir, kompeni akan minta
pertanggungan jawab Paduka." • "Ha, Gusti Aji sudah berada di sini.
Kompeni bisa apa?" sahut Tubagus Simuntang. "Benar, tapi ibu Gusti
Aji?" kata Tatang Sontani dengan suara menggeletar. Men-dengar kata-kata
Tatang Sontani, kepala Sangaji seperti kena sambar geledek. Ia se-orang pemuda
yang berhati tenang. Terlalu tenang. Malah meskipun demikian, tubuhnya
bergemeteran mendengar pernyataan itu. Terus saja dia berkata, "Paman
sekalian ... sambutlah Aki Tunjungbiru. Aku sendiri akan masuk ke kota."
Setelah berkata demikian, dengan sekali menjejak tanah tubuhnya melesat
bagaikan bayangan. Ia tak memedulikan segala. Gerakannya sebagai orang gila.
Karena itu bisa dibayangkan betapa hebat kegesitannya. Hanya sekejap mata,
bayangannya sudah lenyap ditelan tirai malam. Memang sewaktu mendengarkan kisah
tentang Titisari, hatinya menjadi terharu. Ia tak tahu sendiri, apakah
berbangga, bersyukur, girang atau mengagu-mi. Yang terasa, ingin sekali ia
melihat wajah pujaan hatinya itu. Namun begitu mendengar ancaman bahaya
terhadap ibunya, lenyaplah semua angannya. Tak mengherankan, bahwa larinya
menubras-nubras seolah-olah hendak menjangkau tujuannya satu langkah sampai.
Peristiwa jebolnya penjara Glodok sesung-guhnya menggegerkan kompeni. Dari
semua jurusan, kompeni datang dengan senjatanya. Tetapi semua penyerbu sudah
lenyap kembali dengan membawa rekan-rekannya yang terkurung. Setelah diperiksa,
Ki Tunjungbiru hilang pula. Maka pihak mana yang menyerbu penjara Glodok jatuh
pada Himpunan Sangkuriang. Sonny de Hoop yang ikut pula lari ke pen-jara,
mengetahui semua kejadian itu dengan jelas. Sepulangnya dari penjara, ia
berpikir keras. Himpunan Sangkuriang ikut memegang saham penyerbuan itu. Hal
itu berarti Sangaji akan terseret pula. Kalau pihak kompeni de-ngan
terang-terangan memusuhi Sangaji, sudah bisa dibayangkan betapa akibatnya.
Sangaji pasti akan meninggalkan kota Jakarta untuk memasuki gunung. Bila ini
terjadi, itulah berarti ia akan terpisah untuk selama-lamanya. Memperoleh
pikiran demikian, hatinya menjadi pedih pilu. Pikirannya pepat, alisnya
senantiasa berkerut-kerut. Akhirnya ia nampak gelisah. Mayor de Hoop tahu apa
sebab anak tung-galnya berduka cita. Malam itu ia datang dengan membawa minuman
keras. Sambil meneguk minuman, ia membawa sikap girang luar biasa. Kerapkali ia
memandang Sonny de-ngan mata berkilat-kilat untuk menyatakan suka cita.
Kemudian dengan tertawa ia berka-ta, "Sonny, kau tak usah bersedih hati.
Percayalah, Sangaji tidak akan meninggalkan kota Jakarta lagi. Aku mempunyai
suatu tipu daya untuk membawa dia kepadamu. Lihat saja esok pagi. Percayalah
kata-kataku ini! Tak usahlah kau bersangsi. Ingatlah, kau adalah anak
tunggalku. Seumpama kau meng-inginkan rembulan atau bintang-bintang di la-ngit
masih sanggup aku mengambilnya. Sonny, lihatlah betapa besar kasih sayang Ayah
kepadamu..." Sonny girang tapipun bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya
itu? Melihat wajahnya, kesannya tidak berdusta. Ia percaya, ayahnya banyak tipu
dayanya. Sebagai seorang per-wira, ia terkenal cakap dalam pekerjaan. Karena
itu cepat saja ia memperoleh keper-cayaan atasannya. Apalagi, dia tidak pernah
pula ingkar janji. Kalau sudah berjanji, ia akan membuktikan. Hanya tipu daya
apakah yang hendak dilakukan terhadap Sangaji, Sonny tidak dapat menebak. Ingin
ia bertanya untuk mendapat ketegasan, tetapi ayahnya nampak sibuk dengan
araknya. Terus menerus ayahnya meneguk minuman keras, sehingga mulutnya tak
sempat lagi berbicara. Diam-diam Sonny mencoba memecahkan teka-teki itu dalam
kamar tidurnya. Mamun sampai larut malam, masih belum nampak bayangannya.
Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya. "Tidak biasanya Ayah membawa
minuman keras begitu banyak. Rupanya dia menunggu tamu. Dia pun bukan peminum.
Apa sebab ia hampir menghabiskan satu botol penuh? Rupanya dia akan memu-tuskan
suatu hal yang bertentangan dengan hati nurani sendiri. Teringat akan janji
tipu daya itu, Sonny de Hoop menggeridik. Terus saja ia melompat turun dari
tempat tidurnya. Kemudian dengan mengendap-endap ia menghampiri kamar tamu. Di
belakang pintu, ia bersembunyi. Dan benar ia mendengar suara orang. Yang
berbicara tegas, terang ayahnya. Lainnya seorang laki-laki yang mengenakan pakaian
preman. Setelah diamat-amati ternya-ta salah seorang pelayan yang sengaja
ditanam kompeni dalam rumah tangga Sangaji. "Apakah rumah itu benar-benar
dapat dibeli?" kata ayahnya. "Menyongsong zaman baru yang bakal
datang, tidaklah gampang." "Apakah adat istiadat bangsa Inggris lain
dengan bangsa Belanda?" tanya pelayan itu. "Sudah tentu. Sedangkan
masakan, lain koki lain resepnya." Sonny de Hoop, tahu bahwa pembicaraan
itu menyangkut tentang akan datangnya pemerintah Inggris di Indonesia yang akan
menggantikan kedudukan pemerintah Be-landa. Dan mendengar pembicaraan itu, hati
Sonny tak tertarik. Hampir ia kembali ke kamar tidurnya, tetapi sebelum kakinya
ber-gerak tiba-tiba ia mendengar ayahnya meng-alihkan pembicaraan. "Meriam
besar itu nampaknya hebat. Bagaimana menurut pendapatmu, kalau ia meledak di
dalam kota? Apakah penduduk bakal terkejut?" demikianlah pertanyaan
ayah-nya. "Mungkin penduduk akan terkejut, tetapi mereka akan mengira
suatu ledakan petasan," jawab pelayan itu. "Gedung pesanggrahan itu
berada di tengah lapang terbuka. Terapit tangsi pasukan berku-da dan terpisah
jauh dari perkampungan. Seumpama penduduk terbangun oleh rasa kaget,
paling-paling mereka mengira suatu latihan militer. Hamba percaya takkan
menim-bulkan suatu kecurigaan yang bukan-bukan." Sonny de Hoop
terperanjat. Suara meriam? Gedung pesanggrahan? Itulah gedung yang diberikan
kompeni kepada Sangaji. "Lain daripada itu, belum tentu meriam akan
ditembakkan," kata pelayan itu lagi. "Di bawah ancaman meriam masakan
Sangaji akan tetap membandel? Seumpama Sangaji tidak sudi menyerah, bagaimana
dengan ibunya?" "Beberapa tahun tak pernah aku bertemu muka dengan
Sangaji. Tetapi semenjak dahulu aku tahu, dia berwatak keras hati dan tabah.
Sangaji akan menyerah kepada tutur kata yang lemah lembut daripada suatu
kekerasan. Kukira, dia lebih senang mengorbankan diri daripada menyerahkan
diri. Apalagi dia kini menjadi seorang pemimpin Besar laskar per-juangan. Harga
martabatnya jauh lebih tinggi dari pada gelegar meriam...." ujar Mayor de
Hoop. Kemudian terdengar ia menghela napas berat. Katanya lagi, "Sangaji
kini bukan Sangaji beberapa tahun yang lampau. Semenjak berada di Jawa, ia
pandai ilmu silat dan memiliki ilmu pengetahuan sangat tinggi pula. Ini
terbukti, dia dipilih menjadi pucuk pimpinan tertinggi Himpunan Sangkuriang.
Peristiwa demikian, tidaklah gampang. Ber-puluh tahun lamanya,
pemimpin-pemimpin laskar perjuangan itu berpecah-belah karena saling berebutan
untuk memperoleh kursi pimpinan. Ternyata dengan sekali hantam saja, Sangaji
sudah berhasil merebutnya. Apalagi kalau bukan karena dia memiliki suatu
kepandaian melebihi semuanya. Sungguh sayang bahwa dia nampaknya tidak bersedia
bekerjasama dengan kompeni. Karena itu, kita sudah memutuskan untuk mengepung
ke-diamannya rapat-rapat. Sekali terlolos, baha-yanya tak dapat kita bayangkan
lagi. Tetapi, ah! Moga-moga dia teringat akan perhubung-annya dengan Sonny.
Kalau dia menyerah kepadaku, masih aku mempunyai daya untuk menyelamatkan.
Sebaliknya bila mem-bangkang demi kewajiban akan membuat Sonny sangat berduka.
Karena itu dia harus kita singkirkan untuk selama-lamanya Sebagai seorang
komandan, Mayor de Hoop sudah menerima laporan tentang diri Sangaji semenjak
tiba di Jakarta. Siang-siang ia sudah menduga buruk. Karena itu Rukmini lantas
saja dipindah kediamannya di sebuah gedung pesanggrahan yang letaknya di tengah
lapang dekat tangsi pasukan berkuda. Rukmini dijadikan sandera dan jaminan
untuk menji-nakkan pemuda itu. Terbangun bulu roma Sonny de Hoop mendengar
ucapan ayahnya. Ia kaget ber-bareng kecewa. Lantas apa yang dimaksud-kan suatu
daya untuk menahan Sangaji? Apakah meriam itu? Ia kenal watak Sangaji. Pasti ia
akan tersinggung. Kalau ia merasa diri tersinggung, ia tak takut kepada segala.
"Sangaji dalam bahaya!" katanya di dalam hati. Dan ia jadi
bergelisah. Di kejauhan ia mendengar kentong tangsi tiga kali, ltulah suatu
tanda, fajar akan tiba. Syukurlah, ayahnya dan pelayan itu segera mengakhiri
pembicaraan. Cepat Sony de Hoop •menyelinap ke dalam dan memasuki kamar tidurnya.
Ia mendengar ayahnya masuk ke dalam juga, setelah mengantarkan pelayan itu di
serambi kanan. Mayor de Hoop memasuki kamar tidurnya. Tapi sampai lama, lampu
masih saja menyala. Itulah suatu tanda, bahwa dia belum tidur. Melihat itu,
hati Sonny jadi bergelisah sendiri. Kamar tidurnya berada di depan kamar tidur
ayahnya. Sekiranya ia banyak bergerak, ayah-nya akan mendengar atau melihatnya.
Karena itu, perlahan-lahan ia menjatuhkan diri di atas tempat tidur
menentramkan hati. Sekian lamanya ia menunggu, kamar ayahnya masih saja nampak
menyala. Akhirnya lonceng tangsi memperingatkan waktu setengah empat pagi. Dan
mendengar bunyi lonceng itu, hati Sonny de Hoop gelisah bukan kepalang.
Alangkah lamanya menunggu ayahnya tidur. la mengintip dan kini bahkan nampak ayahnya
berjalan mondar-mandir. Rupanya dia pun bergelisah pula. Melihat ayahnya
mondar-mandir, kembali hati Sonny memukul. Katanya, "Aku harus menolong
Sangaji. Aku harus menolong Sangaji ... meskipun dia ter-paksa meninggalkan
aku...." Dengan derun hati ia mengawaskan kamar ayahnya. Terus menerus ia
berdoa, agar ayah-nya cepat-cepat tidur. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Nyala
lampu ayahnya padam. Itulah suatu tanda, ayahnya sudah menidurkan diri. Ia
menunggu beberapa saat, lalu melompat turun dari tempat tidur. Segera ia hendak
keluar kamar, mendadak teringatlah dia, bahwa di luar ada penjaga dinas.
Mungkin pen-jaga takkan merintangi kepergiannya, tetapi dia pun wajib memberi
kabar kepada ayahnya. Hal itu sudah barang tentu tak dikehendaki. Maka mau tak mau
ia berpikir keras untuk mengatasi. Dengan hati-hati ia membangunkan budak-nya
yang tidur sekamar dengannya. Katanya perlahan, "Kau ambillah dua botol
arak. Berikan kepada dua penjaga di luar. Bilang Tuan Mayor yang menghadiahi
mengingat hawa sangat dingin." Dalam pada itu, ia menaruhkan obat bius di
dalamnya. Lalu menunggu kembalinya si budak. Seperempat jam ia menunggu dengan
hati memukul. la khawatir, tipu dayanya tidak berhasil. Karena itu ia
berjingkit-jingkit meng-intip dan mendengarkan pembicaraan mereka. Kalau mampu,
ingin ia menahan waktu yang terus berjalan merangkak-rangkak. Akhirnya budaknya
datang juga dengan warta yang menggembirakan hati. Mereka berdua benar-benar
kedinginan. Memperoleh dua botol arak, seperti berlomba mereka meminumnya tanpa
bersangsi. Sekarang mereka tidur seperti mampus. Mendengar warta itu, Sonny de
Hoop lantas mengenakan pakaian lapangan. Setelah mem-beri kisikan kepada
-budaknya agar tidak membangunkan ayahnya, segera ia menyu-sup keluar halaman.
Di tepi jalan, ia menjela-jahkan matanya. "Malam ini seluruh serdadu
berjaga-aga karena peristiwa penjara. Moga-moga aku selamat..." doanya
dalam hatinya. Tetapi doanya ternyata justru meramalkan dirinya. Di tengah
jalan ia berpapasan dengan serdadu patroli. Ia segera dibawa menghadap piket.
Begitu ia berada di bawah penerangan lampu, komandan piket kaget bercampur
heran. Katanya, "Miss Sonny... hendak ke mana?" Bingung Sonny de Hoop
menghadapi per-tanyaan itu, meskipun ia sudah berjaga-jaga untuk jawabannya.
Akhirnya ia mencoba, "Serdadumu benar-benar tak tahu aturan. Masakan aku
perlu dibawa ke mari? Masakan tidak kenal diriku?" "Bukan begitu,
Nona. Soalnya ini sangat istimewa. Mereka melakukan kewajiban de-ngan
baik." "Hm, sampai akupun dicurigai dan perlu ditangkap. Apakah baru
kali ini mereka tahu kebiasaanku? Bukankah setiap fajar hari aku mempunyai
kebiasaan untuk menghirup udara?" Perwira piket itu tidak menyahut. Alasan
Sonny de Hoop masuk akal. Namun ia bercuri-ga. Katanya di dalam hati, malam ini
ayahnya sendiri yang memberi perintah agar mem-perkuat perondaan. Siapa saja
dilarang berke-liaran dalam jam malam. Masakan dia tidak diberi tahu? Mustahil!
Setelah berpikir demikian, dia berkata, "Ah mungkin ayahmu lupa untuk
memberi kabar padamu, bahwa malam ini berlaku jam malam sampai pukul enam pagi.
Baiklah begini. Kau beristirahatlah di sini sampai waktu jam malam habis. Aku
berjanji peristiwa ini tidak akan kulaporkan atau kubicarakan dengan siapa
saja." Sonny de Hoop bergelisah. Tetapi alasan opsir piket itu masuk akal.
Maka mau tak mau ia harus menyabarkan diri. Tetapi sabar itu sendiri merupakan
suatu siksa luar biasa baginya. Seluruh tubuhnya seakan-akan digerumuti ribuan
semut api. Perwira piket itu bersikap hormat padanya. Ia memerintahkan salah
seorang bawahannya agar memasak kopi. Lalu dia sendiri yang melayani. Justru ia
bersikap hormat, Sonny de Hoop malahan menjadi mati kutu. Coba per-wira itu
bersikap kasar padanya, ia bisa bersikap keras untuk menyanggah penahanan itu.
Jam lima pagi, sudah. Dari jauh Sonny mendengar suara roda bergeritan. la
melo-ngokkan kepalanya dan melihat satu peleton serdadu mendorong sebuah
gerobak berisi muatan berat. Setelah diamat-amati, hatinya memukul deras.
Itulah sepucuk meriam rak-sasa yang dikawal dengan sangat cermat. "Letnan!"
akhirnya ia tak dapat menyabar-kan diri lagi. "Pagi-pagi benar mereka
mem-bawa-bawa sepucuk meriam. Apakah mereka sedang berlatih?" Perwira
piket berbimbang-bimbang. Lalu mengangguk. Tentu saja, anggukkan itu mem-buat
hati Sonny de Hoop bertambah gelisah. Katanya lagi, "Nampaknya akan dibawa
ke lapangan tangsi kavaleri. Masakan mereka berlatih menembak meriam di tengah
kota?" "Hal itu, aku tak mengetahui dengan jelas," sahut perwira
itu. Tapi sesaat kemudian, buru-buru ia memperbaiki. "Nona puteri se-orang
perwira pastilah tahu bahwa rahasia militer tak dapat terbaca oleh ibu jarinya
sendiri." Sonny de Hoop menghela napas. Teringat kata-kata ayahnya
semalam, seluruh bulu romanya menggeridik. Ia harus cepat-cepat bertindak.
"Sangaji harus secepat kilat meninggalkan kediamannya. Moga-moga dia sudah
pergi... moga-moga dia sudah pergi, doanya deras dalam hati. Tetapi justru
mendengar bunyi doanya, hatinya kian menja-di gelisah. Akhirnya dia
memberanikan diri. "Sampai jam berapa aku harus tinggal di sini?"
Perwira itu tak segera menyahut, setelah berpikir sejenak baru ia menjawab,
"Minumlah kopi Nona dahulu. Setelah habis kurasa habis pulalah waktu jam
malam..." Mendongkol hati Sonny de Hoop mendengar bunyi jawaban perwira
itu. Tetapi baik sikap maupun nada suara perwira itu tak dapat ter-cela,
karenanya ia tak dapat berbuat sesuatu. Tanpa merasa ia meruntuhkan pandang ke
mangkok kopinya. Sudah barang tentu, masih panas benar. Asapnya masih tebal
meraba udara pagi hari. "Hm," ia gemas. Dan untuk menghindari pandang
selidik perwira itu, mau tak mau ia harus menghadapi hidangan itu dengan wajah
cerah. Tetapi Sonny de Hoop bukan Titisari yang bisa membawa diri amat licin.
Meskipun ia berusaha keras untuk meniadakan kesan kegelisahan hatinya, namun
dia tak dapat meloloskan diri dari pandang perwira itu yang sudah banyak
berpengalaman. "Rupanya Nona pagi hari ini tidak hanya bertujuan untuk
menghirup hawa segar. Apakah salah tebakanku," katanya sopan. Kau memang
pantas disambar geledek, maki Sonny de Hoop dalam hati. Lalu men-jawab
mengada-ada. "ltulah rahasiaku. Rahasia perempuan tidak berbeda jauh
dengan rahasia militer. Biarpun ia jarinya sendiri tidak boleh
mengetahui." "Ah benar, Nona." Perwira itu buru-buru menyahut
sopan. Sonny de Hoop melemparkan pandang ke jalan. Peleton yang mengangkut
meriam rak-sasa tadi sudah mulai memasuki lapangan. Mereka disambut oleh dua
pasukan besar yang nampaknya sudah mengepung rumah Sangaji rapat-rapat. Melihat
pemandangan itu, hatinya terpaksa ingin meledak. lngin saja ia memukuli kepala
perwira itu pasti yang pandai membawa sikap terlalu manis. Teringat kepada
waktu yang dijanjikan, ia memaksa diri menghirup kopinya dengan sekali teguk.
Tetapi kopi itu memang masih panas. Begitu hendak ditelan, ia melontakkan
kembali karena tak tahan kena jilatnya. "Hari masih terlalu pagi,"
kata perwira itu dengan suara merdu. "Mengapa buru-buru? Ah, benar-benar
Nona mempunyai maksud jauh lebih penting dari pada menghirup hawa pagi."
Hati Sonny de Hoop sudah mendongkol kena siksa panas kopi. Keruan saja, begitu
mendengar ujar perwira itu, lantas saja ia meledak. "Ya, benar ... aku
hendak meledakkan kota Jakarta ini dengan meriam itu. Kau percaya, tidak? Nah,
laporkan aku kepada komandan-mu. Didamprat demikian, perwira itu hilang
kecurigaannya yang melit. Buru-buru ia menyahut. "Ah, Nona sungguh pandai
bergu-rau. Mana dapat aku melaporkan Nona kepada komandan. Baiklah begini saja,
minumlah habis dahulu kopi itu agar tak sia-sia jerih payah anak buah kami.
Kemudian Nona kami antarkan pulang." "Kalau aku mau pulang, masakan
aku perlu diantarkan?" kata Sonny de Hoop sengit. la mengulangi menghirup
kopinya. Ia berhasil meneguk, tapi untuk menghabiskan membu-tuhkan waktu
seperempat jam. Waktu ia diperkenankan meninggalkan tangsi, matahari sudah
mengintip di ufuk timur. Melihat tiga peleton mengepung kediaman Sangaji, Sonny
de Hoop terus lari memasuki lapangan sambil berteriak nyaring. "Sangaji!
Lariii...!" Suara tembakan peringatan terdengar mele-tus di udara. Seorang
memburu masuk ke lapangan sambil berteriak, "Sonny ...! Balik!" Sonny
de Hoop berhenti menoleh. Melihat opsir itu, ia segera menegur. "Van
Vuuren! Apa artinya ini?" Letnan Van Vuuren sudah sering menyertai Sonny
di medan perang. Karena itu, hubung-annya agak rapat juga. Mendengar teguran
Sonny, ia tak bersakit hati, menyahut dengan suara wajar. "Perintah,
Sonny! Maaf!" "Kau maksudkan Sangaji?" Sonny de Hoop
bergemetaran. "Ya." Sonny de Hoop sudah tahu, mereka mengepung rumah
Sangaji. Malahan semenjak tadi malam ia mengetahui hal itu. Tetapi mendengar ketegasan
Letnan Van Vuuren, wajahnya berubah hebat. Pucat lesi tak ubah mayat.
Tergagap-gagap ia berkata menyang-gah. "Apakah kau lantas hendak menembak?
Berbicaralah dahulu!" Letnan Van Vuuren menghela napas. Ia tahu hubungan
antara Sonny de Hoop dan Sangaji. Dalam hati nuraninya tak sampai hati, ia
melakukan perintah itu. Karena itu mendengar perkataan Sonny de Hoop, ia
mencoba mena-han perasaan diri. Lalu berteriak keras, "Sangaji...! Kau
dengar suaraku ini? Semenjak jam empat pagi tadi, engkau kuberi kesem-patan
untuk menyerah. Mengapa mem-bangkang? Jika jam sudah memukul sampai enam kali,
aku hanya bisa memberi perintah tembak! Kau dengar perkataanku ini?" Lama
tiada jawaban. Akhirnya terdengar suatu suara dahsyat. "Kau tembaklah! Tak
usah engkau banyak berbicara!" "Bagus! Aku akan menghitung sampai
sepuluh kali" sahut Letnan Van Vuuren. "Jika aku sudah menghitung
sampai sepuluh dan engkau tetap membandel, aku akan memberi perintah menembak.
Kau pikirkanlah masak-masak! Ingat, semutpun masih sayang akan
nyawanya..." Tatkala Sangaji menemui Sonny de Hoop di pendapa, sebenarnya
Rukmini masih ingin melanjutkan pembicaraannya. Anak itu datang pergi tak
keruan tujuannya, semenjak ia me-rantau ke Jawa. Selagi rasa kangennya belum
habis, mendadak timbullah masalah baru yang memaksa dirinya untuk menentukan
sikap. Masalah Sonny dan Titisari bukanlah meru-pakan persoalan yang gampang
dipecahkan. Di sini berkisar soal budi. Dengan keluarga Sonny de Hoop, ia
merasa berutang budi. Karena semenjak Sangaji bertunangan dengan Sonny, Mayor
de Hoop bersedia menjadi pelin-dungnya. Sebaliknya dengan Titisari, Sangaji
berutang jiwa. Kalau dinilai, utang jiwa itu lebih tinggi daripada utang budi.
Apalagi Sangaji nampaknya lebih condong kepada Titisari. Hanya saja persoalan ini
dengan tidak lang-sung menyangkut martabat bangsa. Bagai-manapun alasan
Sangaji, dia sudah menerima janji. Dan sebagai seorang laki-laki sejati, dia
harus menepati janji itu. Kalau tidak, namanya akan runtuh habis. Seumpama daun
kering lebih berharga dari padanya. Hal itu ingin dibicarakan lagi dengan
perla-han-lahan. Sekonyong-konyong Sangaji kabur lagi, karena peristiwa
penjara. Sekian lamanya ia menunggu, tapi anaknya belum kembali pulang. Apakah
dia pergi lagi? pikir Rukmini gelisah. Sampai jam tiga pagi hari, ia menunggu.
Tatkala ia hendak menjenguk pendapa, se-orang letnan datang padanya.
"Apakah anakmu belum pulang?" tanyanya. "Belum," jawab
Rukmini dengan kepala teka-teki. Ia menajamkan penglihatannya. Samar-samar
nampaklah beberapa serdadu berseragam berjalan mondar-mandir di pinggir
lapangan. Rukmini hidup lama di dekat tangsi militer. Meskipun tidak mengetahui
urusan militer, namun nalurinya berbicara juga. Nampaknya ada sesuatu yang
tidak beres, pikirnya. Memikir demikian, ia berkata gugup. "Marilah
duduk!" Tetapi opsir itu menolak tawarannya. Ia bahkan berpamit
memundurkan diri. Di jauh sana ia berbicara kasak-kusuk dengan bawah-annya. Dan
betapa sederhana hati Rukmini, ia menjadi curiga. Kemudian datanglah pelayan
kepercayaan Mayor de Hoop. Begitu melihat wajah Rukmini yang bingung, mulailah
dia beraksi. Katanya dengan suara setengah menggertak. "Nyonya, nampaknya
ada sesuatu kejadian yang menyangkut diri Tuan muda. Rumah ini, kenapa
tiba-tiba dikepung militer?" "Dikepung?" Rukmini terkejut. Wajahnya
berubah. "Begitulah hamba dengar selintasan," pelayan itu mengarang
cerita. "Kabarnya, salah seorang sahabat Tuan muda melarikan diri dari
penjara. Kompeni lantas menuduh Tuan muda. Sebenarnya kompeni ingin
be-kerjasama dengan Tuan muda. Tapi nam-paknya sukar untuk melaksanakan maksud
mulia itu." Cukuplah sudah keterangan itu bagi Rukmini. Perasaan nalurinya
sudah dapat menebak sebelumnya. Mayor de Hoop akan membuat sulit keadaan
anaknya. Hanya saja tidak pernah ia mengira, bahwa kejadiannya sangat cepat dan
terlalu dahsyat. Ia menjatuhkan diri di atas kursi. Tak terasa ia mengusap-usap
mata tombak warisan suaminya yang sudah berkaratan. Selagi pi-kirannya gelisah,
pandangannya runtuh kepada ketiga pusaka keramat Sangaji yang berada di atas
meja semenjak tadi. Nah, apa kataku dahulu, bisiknya di dalam hati. Pusaka
terkutuk itulah yang menerbitkan keruwetan lagi. Teringat akan nasib suaminya,
hatinya menggeridik. Apakah anaknya akan menemui nasib yang sama pula? Ia pergi
menjenguk keluar. Benar-benar kompeni mengepung kediamannya rapat-rapat.
Samar-samar terli-hatlah beberapa serdadu berjalan mondar-mandir dengan
menyandang senapan. Sudah hampir jam empat. Sangaji belum muncul juga. Rupanya
dia tahu, rumahnya dikepung militer, katanya di dalam hati. Tiba-tiba ia
setengah berdoa. "Ya Tuhan ...moga-moga Sangaji tak teringat akan pulang.
Dengan begitu dia selamat. Ya Tuhan ... lin-dungilah anakku..." Ia duduk
kembali di atas kursinya berdoa panjang pendek. Hal demikian itu, tidak hanya
dilakukan pada malam itu. Sudah sering ia berdoa demikian untuk kebahagiaan
anaknya pada saat-saat tertentu. Sebab bukankah dia meninggalkan kampung
halaman dan ikhlas menanggung derita sepanjang jalan dahulu semata-mata demi
anaknya belaka? Itulah sebabnya ancaman terhadap anaknya sama-lah juga halnya
mengancam dirinya sendiri. Malahan lebih hebat. Sebab tiap ibu di mana saja
akan rela meng-gantikan penanggung anaknya. Kalau perlu rela pula mengganti
dengan jiwanya sendiri. Selagi demikian, tibalah Sangaji. Ilmu anaknya sangat tinggi
sehingga dengan tiba-tiba saja sudah berada di depannya seper-ti malaikat.
"Aji!" serunya entah bersyukur entah cemas. "Mengapa kau pulang?
Rumah ini dikepung." Sangaji mengangguk. Dengan berdiam diri, ia memungut
ketiga pusakanya. Pedang Sokayana yang mempunyai berat 80 kg, disangkutkan
melintang di belakang pung-gungnya dengan seutas tali urat kerbau. Sedangkan
Bende Mataram seperti biasanya digantungkan pada pinggangnya. Dan keris Kyai
Tunggulmanik disisipkan di balik ba-junya. "Hai! Mengapa kau bawa-bawa
juga benda terkutuk itu?" tegur Rukmini. "Lihatlah! Begini akibatnya.
Bukankah aku sudah bilang?" Sangaji menoleh. Ia merenungi wajah ibu-nya.
Kemudian dengan menghela napas, ia menyahut: "Benar, Bu. Nampaknya benar.
Selalu saja terjadi suatu kekeruhan. Karena itu..." "Bukankah yang
satu kepunyaan Sanjaya?" potong Rukmini. "Sebenarnya bagaimana
mulanya sampai engkau yang mem-bawanya?" Soal beradanya kedua pusaka sakti
itu, Sangaji memang belum pernah mengisahkan. Tapi pada saat itu, kehilangan
kegembiraan. Dasar ia memang seorang yang selamanya tidak pandai berkata
berkepanjangan. Selain itu, kini menghadapi masalah pelik. Maka ia menyahut tak
jelas. "Panjang ceritanya ... Ibu, aku datang untuk menjemput Ibu."
"Kau bilang menjemput Ibu?" Rukmini menegas. la berpikir sejenak.
Lalu berkata lagi seperti terkejut. "Ah ya. Kompeni itu. Nah, apa kubilang
tadi. Bukankah kusuruh engkau berkata kepada Sonny, bahwa engkau ingin
berbicara dengan ayahnya." "Ya, Bu. Tapi saat ini nampaknya tidak mungkin
lagi. Kompeni sudah bertindak. Karena itu kita harus pergi
secepat-cepatnya." "Aku pergi juga?" "Tentu," sahut
Sangaji dengan wajah menebak-nebak. "Kita pulang ke kampung memang itulah
tujuan kita. Tetapi kalau pergi begitu saja seperti orang melarikan diri,
rasanya kurang baik. Kau berbicaralah dahulu kepada ayah Sonny. Pintalah
ijinnya dan baru kita bisa pulang ke kampung dengan hati lega. Bukankah
kedatangan kita dahulu di sini de-ngan jalan terang juga?" Sangaji
tergugu. Ia seperti kena suatu pu-kulan telak. Sekian lamanya, baru dia berkata
memutuskan. "Baiklah, aku akan mencoba berbicara." Mendengar jawaban
anaknya, Ibunya berna-pas lega. Sekonyong-konyong suatu ingatan menusuk
kesadarannya. Lantas berkata kaget. "Tapi ... tapi ... kompeni di luar
nampaknya bermaksud hendak menangkapmu..." "Ibu menghendaki aku
berbicara dengan Mayor de Hoop dan aku akan pergi meskipun akhirnya aku
ditangkapnya." "Tidak ... tidak! Kalau begitu, tidak baik. Kau harus
lari... Ya, harus lari...," kata Rukmini de-ngan suara tinggi. Tetapi ia
terkejut atas ucap-annya sendiri. Dan wajahnya nampak menjadi bingung. Sangaji
melihat ibunya bingung, hatinya terasa berguguran. Lantas saja ia memeluk
ibunya sambil berkata memberi semangat. "lbu! Mari kita berangkat! Semalam
aku sudah mendengar wartanya Titisari. Benar-benar ia berada di dekatku."
"Kau bilang apa?" Rukmini terbelalak. Dengan penuh semangat Sangaji
menceri-takan pengalamannya setelah melihat penjara. Dengan sedikit segan ia
menerangkan, bahwa sersan yang membawa ketiga pusaka itu adalah salah seorang
raja muda Himpunan Sangkuriang. Dengan begitu ia berada di bawah perintahnya.
Girang Rukmini mendengar keadaan putera-nya yang disujudi orang-orang
bermartabat tinggi, sehingga ia melupakan suasana yang gawat untuk selintasan.
"Eh Aji, bagaimana kau bisa menanam pe-ngaruh begitu besar kepada para
raja muda?" serunya girang berbareng bangga. "Itu semua berkat doa
restu lbu. Karena itu, mari kita berangkat. Aku masih sanggup me-nerobos
kepungan ini. Kukira pula, rekan-rekan Himpunan Sangkuriang tidak akan tinggal
diam," kata Sangaji yakin. "Aku percaya Paman Maulana Syafri. Sudah
sekian tahun lamanya ia mengenakan pakaian se-ragam. Pastilah dia mengetahui
seluk beluk tata militer kompeni." Mendengar kata-kata Sangaji, wajah Rukmini
bersinar terang. Tetapi hanya seben-tar. Mendadak suram kembali. Dengan
menggelengkan kepala ia berkata dengan suara berat. "Anakku, kau
berangkatlah sendiri! lbu akan tinggal di sini. lbu akan berusaha berbicara
dengan Mayor de Hoop." Sangaji kenal tabiat ibunya yang keras. Sekali
telah memutuskan sesuatu, dia berani menanggung akibatnya. Kalau tidak, ia
dahulu tidak akan tabah menanggung siksaan batin. Kodrat yang membawanya lari
ke Jakarta. Karena itu, ia menundukkan kepalanya. Hatinya jadi lemas. Dasar ia
seorang yang tak pandai berbicara, dengan sendirinya tak pandai membujuk pula.
Maka katanya menye-rah. "Baiklah, Bu! lbu tidak berangkat, akupun tidak
berangkat." "Kau tak boleh berkata begitu. Kau harus berangkat! Hanya
saja pesanku, kau harus menjauhi kedua benda terkutuk itu! Aku tak rela engkau
akan menanggung sengsara lagi dengan Titisari. Engkau harus hidup tenteram
dengan Titisari. Sebab puteri itulah yang telah merebut jiwamu di benteng batu.
Perkara ke-luarga Sonny, itulah urusan Ibu. Biar mereka tahu, bahwa kita ini
jelek-jelek mengerti mem-balas budi," kata Rukmini dengan suara
menggeletar. "Ibu hendak melakukan apa?" Sangaji kaget.
"Anakku..." tiba-tiba suara Rukmini ter-dengar tenang. "Itulah
urusan Ibu! Sebentar tadi timbullah keputusanku ... Tuhan Maha Besar ... aku
diberi penerangan, diberi jalan yang baik. Rumah ini dikepung. Maksudnya untuk
menangkapmu. Ah ya, mengapa tadi aku tak bisa berpikir begitu? Kalau engkau
harus berbicara dengan Mayor de Hoop, bukankah berarti memasuki lautan api? Ah
... Tuhan Maha Besar, hampir saja aku berbuat suatu kesalahan. Sebab, itulah
kewajibanku. Akulah yang akan berbicara. Sebab yang berhutang budi padanya
adalah aku. Bukan engkau, anakku ... Dan percayalah, serdadu yang mengepung
rumah ini tidak akan berbuat apa-apa terhadapku. Tadi aku sudah berbicara
dengan opsirnya..." "Tidak Bu... Ibu tidak berangkat, akupun tidak
berangkat," kata Sangaji. Dan kata-katanya itu disokong oleh pendiriannya
yang kuat. Selagi Rukmini hendak menyanggah, tiba-tiba di luar terdengar suara
nyaring. "Sangaji! Kau menyerah tidak?" Selamanya tak pernah Sangaji
mengenal istilah menyerah meskipun kerapkali ia meng-hadapi ancaman maut. Maka
kali inipun demikian. Sedang hatinya lagi masgul, ia mendengar suara
direndahkan. Perasaannya yang gampang tersinggung sekaligus tergu-gah. Setengah
meloncat ia muncul di pendapa. Lalu menjawab keras: "Kau mau tangkap,
tangkaplah! Kau mau tembak, tembaklah! Tak usah engkau banyak berbicara!"
Hebat keputusan itu. Bunyinya bagaikan geledek baik bagi Letnan Van Vuuren
maupun Rukmini. "Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali!"
Letnan Van Vuuren mengancam. "Jika aku sudah menghitung sampai sepuluh dan
engkau tetap membandel, aku akan mem-beri perintah menembak. Kau pikirkanlah
masak-masak! Ingat semutpun masih sayang akan nyawanya..." Belum lagi
habis kumandang suaranya, mendadak terjadilah suatu kekacauan. Tentara yang
berada di belakang, kena diserbu tiga penunggang kuda. Sedangkan yang berada di
tengah lapangan nampak terdesak mundur. Melihat pemandangan itu, hati Sangaji
hampir bersorak. Pastilah itu perbuatan laskar Himpunan Sangkuriang yang sudah
tiba di Jakarta. Tetapi mendadak, matanya yang tajam melihat sepucuk meriam
raksasa meng-hadap ke gedungnya. Bukan main terkejutnya. Terus saja ia memutar tubuh
menghampiri ibunya seraya berkata, "lbu! Mari berangkat. Juga ibu
nampaknya tidak diampuni. Rumah kita terancam sepucuk meriam raksasa."
Rukmini tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Ia sudah mengambil keputusan
hendak membunuh diri di depan keluarga Mayor de Hoop untuk alasan tahu akan
arti budi. Namun mendengar berita tentang meriam itu, hatinya tergetar. Kalau
meriam itu ditembakkan ke rumahnya, tidak hanya dia seorang yang mati.
Sangajipun demikian. "Di mana?" Ia berdiri tertatih-tatih sambil
menggenggam mata tombaknya. la menje-nguk ke pendapa. Begitu melihat meriam,
ter-loncatlah perkataannya: "Lari! Kau larilah!" Pada saat itu juga,
Sangaji mendengar suara melengking jernih yang sudah dikenalnya: "Sangaji
... lariiii!" Itulah suara teriakan Sonny de Hoop. Dan mendengar suara
itu, hati Sangaji lemas. Dalam selintasan saja sadarlah dia, bahwa gadis itu
ternyata berada di pihaknya. "Rubuhhh!" Terdengar suara keras
bagaikan genta. Sangaji mengenal suara itu. Sekali pan-dang, terlihatlah Tubagus
Simuntang merabu lima serdadu dengan sekali gerak. Berbareng dengan penglihatan
itu, terdengar pula suara Letnan Van Vuuren menggeram. "Sangaji, aku sudah
memberi kesempatan! Satu!... Dua...!" Sangaji tak bergerak dari tempatnya.
Pandangnya dingin seakan-akan tidak meng-hiraukan ancaman itu. Sebaliknya,
Rukmini menjadi gelisah luar biasa. Dengan suara membujuk ia berkata,
"Aji, anakku! Kau larilah!" Tetapi Sangaji masih saja tak mau
bergerak dari tempatnya. Melihat sikap anaknya itu, tiba-tiba timbullah ingatan
Rukmini. Bergegas ia masuk ke dalam kamamya. Ia memungut kedua pusaka hantaran
laskar Jawa Barat. Itulah buah ajaib Dewaretna dan kalung berlian. Berkatalah
ia di dalam hati, kalau aku tak mau meninggalkan rumah, betapa dia meninggalkan
rumah ini pula. Baiklah! Ia menghampiri Sangaji dan menyerahkan kedua benda
hantaran itu. Katanya, "Kau benar-benar tak mau meninggalkan lbu?"
suaranya pilu berbareng terharu. "Baiklah, kau benar-benar seorang anak
yang dapat mem-bereskan hati ibumu. Tak sia-sialah ayahmu menurunkan engkau di
dunia. Tunggu, lbu akan berkemas-kemas. Hanya saja pesan lbu jangan lupa. Kau
kelak harus menjauhkan benda terkutuk itu!" Sangaji mengira, bahwa ibunya
akan berke-mas-kemas benar. Hatinya terguncang. Semangat perjuangannya timbul.
Maka de-ngan wajah berseri-seri ia menerima dua benda hantaran laskar Jawa
Barat. Selagi hendak membuka mulut, di lapangan terdengar aba-aba Letnan Van
Vuuren. "Tiga! empat! lima! enam ...!" Rukmini menekap pergelangan
tangan anak-nya erat-erat. Hatinya tergetar. Setengah berbisik ia berkata
seperti meyakinkan dirinya sendiri. "Benar-benar engkau tak mau
berangkat..." "Mari, kita sekarang pergi!" ajak Sangaji. Meriam
sudah diarahkan ke gedung. Mendadak terdengar suara lengking halus. "Berhenti!"
Tetapi Letnan Van Vuuren tak menghi-raukan. Dia terus menghitung. "Tujuh!
... Delapan ...! Sembilan ...! "Berhenti! Siapapun dilarang menembakkan
meriam!" kata suara lengking halus menyang-gah. Dialah Sonny de Hoop yang
lari mendekati pasukan penembak meriam. Dan mendengar larangannya, semua
serdadu dalam kesangsian. Mereka tahu, Sonny de Hoop puteri komandannya. Selain
itu, dia sudah berpangkat letnan pula apabila berada di medan perang. Karena
itu, suaranya harus didengar. Dengan Letnan Van Vuuren samalah derajatnya. "Sonny
...! Minggirrr!" Tiba-tiba dengan suara menggelegar Sangaji memekik
nyaring. Pendapa gedungnya tergetar oleh suara sak-tinya. Dan semua serdadu
tercekat hatinya. Sonny de Hoop melepaskan pandang ke arah pendapa rumah. la
tertawa. Ia tidak berhias. Rambutnya yang bagus kelihatan kusut. Sebuah hiasan
rambutnya terkatung-katung di tepi telinga. Terang, bahwa ia tak memikirkan
lagi kebiasaannya mempercantik diri. Gerakannya serba gugup dan tergesa-gesa.
Letnan Van Vuuren melemparkan pandang kepada Sonny dengan mata terbelalak. Ia
seperti kebingungan. Sebagai seorang perwira, perintahnya tiada yang berani
membang-kangnya. Itulah termasuk peraturan dan tata tertib militer dengan
sanksi hukum. Karena itu ia heran mendengar bunyi suara Sonny. Ia seperti tak
mempercayai pen-dengarannya sendiri. Apakah gadis itu mem-punyai pegangan kuat?
Sebagai gerakan militer, mungkin pula dia menerima perintah tindakan lain.
Dugaannya diperkuat dengan wajah Sonny yang mendadak tertawa terhadap Sangaji.
Memang, meriam itu tidak boleh ditembakkan bila tidak terpaksa benar. Tujuannya
yang utama hanyalah untuk memecahkan kekerasan hati Sangaji. Sebab, kalau
Sangaji mau diajak bekerja sama, itulah jauh lebih bagus. Gntuk memperoleh
keya-kinan, ia menegas. "Dilarang menembak? Siapakah yang memberi
perintah?" "Apakah tuli telingamu?" bentak Sonny de Hoop.
"Aku yang melarang." Letnan Van Vuuren adalah perwira keper-cayaan
Mayor de Hoop. Biasanya terhadap Sonny dia bersikap lemah-lembut. Bahkan
mencari-cari muka agar mendapat kesan baik dari ayahnya. Akan tetapi pagi itu,
dia menerima perintah langsung dari Mayor de Hoop. Siapapun dilarang
mencampuri. Meskipun demikian, tak berani ia bersikap terlalu tegas terhadap
Sonny. Masih ia mencoba. "Aku mendengar nyata perintahmu. Tetapi kali ini,
kuharap kau jangan ikut campur!" Lalu dengan mendadak dia memberi
perintah. "Tembak!" kedua alis Sony de Hoop bangun, karena marahnya.
Membentak garang. "Siapa berani menembak, akan kubunuh! Tidak sekarang,
nanti, besok atau lusa! Hayo siapa berani me-nembak? Letnan Van Vuuren, mengapa
kau tak menghargai diriku lagi?" Serdadu bagian penembak
berbimbang-bimbang. Temannya sudah mengisi bubuk obat. Ia tinggal menyalakan
api, kemudian menyulutnya. Tetapi mendengar ancaman Sonny, tangannya yang sudah
menggenggam nyala api terhenti di tengah jalan dengan gemetaran. Letnan Van
Vuuren mendongkol oleh rin-tangan itu. Begitu mendongkol dia, sampai ia tertawa
terbahak-bahak. Katanya, "Aku hanya tunduk kepada perintah komandan.
Apakah kau membawa surat ayahmu?" "Aku justru datang kemari dengan
membawa perintah ayahku. Dan perintah ayahku berbunyi: Jangan tembak! Kau
dengar?" Sudah barang tentu, itulah suatu dusta karena gadis itu merasa
diri terjepit ke pojok. Sebaliknya Letnan Van Vuuren jadi bersangsi. Tadinya
dia mengira demikian halnya. Namun melihat sikap Sonny tak wajar serta pula
suaranya terdengar agak menggeletar, timbul-lah syaknya. Dengan hati-hati ia
berkata meng-uji. "Jika benar, manakah surat perintahnya?" Sanggahan
demikian sudah termasuk dalam perhitungan Sonny. Gadis itu menjawab dengan
beraninya. "Bagaimana Ayah sempat menulis surat perintah? Inilah keputusan
mendadak." Letnan Van Vuuren memberi hormat takzim kepada Sonny sambil
berkata, "Perintah ini sangat penting, Sonny. Ayahmu tahu akan hal itu.
Andaikata tiada sempat menulis lagi, mestinya Beliau harus datang. Sonny tahu
sendiri, tanpa bukti surat perintah, bagaimana aku kelak harus mempertanggung
jawabkan?" Setelah berkata demikian, suaranya kini berubah menjadi tegas
berwibawa. "Aku minta dengan hormat, kau mundurlah!" Lalu mem-beri
perintah kepada penembak meriam sambil menghunus pedangnya: "Tembak!
Tembak! Siapa membangkang, aku bunuh dengan ta-nganku sendiri!" Selama
berada di bawah pimpinan opsir itu, belum pernah serdadunya mendengar Letnan
Van Vuuren memberi perintah begitu bengis. Maka dengan kaki dan tangan
bergemetaran, serdadu penembak meriam lantas menyulut bubuk obatnya. Tetapi
sebelum sumbu kena sulut, sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok tubuh
menyambar dirinya. "Apakah kau kira, aku tak berani mem-bunuhmu?"
itulah suara Sonny sambil menyambar. Kaget setengah mati serdadu itu. Ia
bergu-lungan mengelakkan. Tatkala ia dapat berdiri lagi, tubuhnya masih utuh.
Memang Sonny de Hoop hanya menggertak. Semenjak tadi, dia tak bersenjata. Tetapi
sekarang ia meng-genggam sepucuk pedang pendek semacam bayonet. Itulah senjata
serdadu tadi yang kena rampas. Diperlakukan demikian, Letnan Van Vuuren
kuwalahan. Wajahnya merah padam, karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukan
ter-hadap puteri komandannya. "Sonny! Kau membuat aku susah. Ingatlah hal
itu!" ia berkata setengah mengeluh. Tatkala itu fajar hari hampir habis.
Gdara mulai cerah benar-benar. Itulah waktu yang ditentukan untuk menembakkan
meriam. "Aku perintahkan, semua mundur!" bentak Sonny kalap. "Siapa
berani mendekati meriam ini, akan kubunuh!" Letnan Van Vuuren benar-benar
dalam kesulitan. Kalau saja Sonny bukan puteri komandannya, dia dapat bertindak
keras. Tetapi Sonny anak koman-dannya yang menggenggam masa depannya. Sekali
keliru tangan, dia bisa dihukum atau dipecat. Kalau sampai terjadi demikian,
habis-lah sudah harga laki-lakinya di dunia ini. Karena itu, dia dalam
kesangsian. Sekonyong-konyong datanglah seorang bumi putera yang mengenakan
pakaian pelayan. Itulah pelayan semalam yang dilihat Sonny datang menghadap
ayahnya. Melihat kedatangannya, hatinya sudah merasa tak enak. Pastilah ini
warta buruk baginya. Dan dugaannya benar. "Letnan," kata pelayan itu.
"Perintah koman-dan harap terus dilakukan. Siapa saja dilarang membatalkan
perintahnya sekalipun puterinya sendiri." "Mana surat
perintahnya?" Letnan Van Vuuren minta keyakinan. "Ini," jawab
pelayan itu. Rupanya pelayan itu yang ingin mengambil muka, dengan diam-diam
lari menghadap Mayor de Hoop setelah melihat peristiwa yang terjadi di tengah
lapangan. Seperti diketahui, kediaman Mayor de Hoop berada tak jauh dari
lapangan. Letnan Van Vuuren dengan cepat membaca surat perintah itu. Bunyinya:
Siapa saja berani membatalkan perintah, wajib ditembak mati. Meskipun puterinya
sendiri. Membaca bunyi perintah itu, hati Letnan Van Vuuren menjadi mantap.
Lalu memandang kepada Sonny se-raya berkata, "Sonny, kau dengar sendiri
bunyi perintah ayahmu. Nah, minggirlah!" Mendengar bunyi tulisan ayahnya,
Sonny memekik kaget dengan tubuh gemetaran. Bukan main sedihnya. Inilah untuk
yang perta-ma kalinya ia mengenal tabiat ayahnya. Selamanya ia senantiasa
dimanjakan. Semua kehendaknya dipenuhi. Meskipun yang dimin-ta sebenarnya
bertentangan dengan martabat bangsanya. Seperti tunangannya dengan Sangaji.
Karena itu, dia berani menentang perintah Letnan Van Vuuren dengan
mengandal-kan kepada kasih sayang ayahnya. Di luar dugaan, ia menumbuk batu.
Ayahnya tidak hanya berkeras kepala tapi pun sampai rela mengorbankan jiwanya
bila perlu. Dia boleh dibunuh jika perlu! Alangkah dahsyat bunyi perintah itu.
Apakah ini benar-benar perintah ayahnya yang dahulu sangat menyayanginya?
Sungguh! Sama sekali ia tak pernah mem-bayangkan, bahwa ayahnya dapat berbuat
sekejam itu. Nyatalah kasih sayang ayahnya adalah kasih sayang palsu. Alangkah
jauh bedanya dengan almarhum ibunya. Teringat hal itu, ia menangis dengan hati
pedih. "Sonny! Mundurlah! Perintah militer tak dapat dibatalkan dengan
tangisanmu. Kau mundurlah, sebelum aku terpaksa berlaku kasar terhadapmu,"
ancam Letnan Van Vuuren. Perwira itu sudah memperoleh san-daran kuat. Karena
itu, ia bersikap mantap. Sonny de Hoop menjadi putus asa. Hatinya terasa
mendelong. Dunia seolah-olah jadi lawan baginya. Ia kecewa benar. Kecewa luar
biasa besarnya. Mendadak saja ia memutar tubuhnya menghadap rumah Sangaji. Lalu
berkata nyaring. "Sangaji, kekasihku ... Bukannya aku tak mau membelamu
... tapi karena aku tak ber-daya lagi. Sangaji hatiku ada padamu...."
Setelah berkata demikian, ia menikam ulu hatinya dengan bayonet rampasannya. la
rubuh terbalik. Tapi sebelum rebah di tanah, tangannya berhasil memeluk pangkal
meriam. Dan darahnya membanjir bagaikan dicu-rahkan. Melihat peristiwa di luar
dugaan itu, Letnan Van Vuuren kaget sampai memekik tertahan. Tetapi dia seorang
militer. Segera ia menguasai diri, lalu memberi perintah. "Singkirkan
tubuhnya! Tembak!" Beberapa serdadu menarik tubuh Sonny de Hoop yang
melengket pada pangkal meriam. Setelah bersusah payah mereka berhasil
menyingkirkan. Letnan Van Vuuren tak sabar lagi. Ingin ia membuat jasa besar.
Maka ia merebut penyu-lut sumbu meriam, lalu dinyalakan. Dengan sekali gerak ia
memasukkan penyulut itu ke dalam ruang sumbu. Kemudian buru-buru melompat ke
samping. Tetapi meriam itu tidak meledak juga. Darah Sonny de Hoop masih dapat
menyelamatkan jiwa kekasihnya. Sumbu dengan bubuk mesiu jadi basah oleh darah.
Meskipun disulut berulang kali, tetap saja macet. Semua kejadian itu tak
terlepas dari pengamatan Sangaji. Dia seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi.
Dengan mena-jamkan pendengarannya, ia dapat menang-kap semua pembicaraan yang
terjadi di te-ngah lapangan itu dengan jelas. Hatinya ikut bersitegang melihat
Sonny de Hoop yang kemudian disusul dengan membunuh diri, hatinya hancur
seperti tergodam palu raksasa. Sesaat ia kehilangan dirinya seolah-olah
darahnya berhenti dengan tiba-tiba. Tak terasa ia mengeluh sedih.
"Sonny... cinta kasihmu kutanamkan di dalam dadaku..." Tak
dikehendaki sendiri ia memutar kepala mencari ibunya. Sekonyong-konyong suatu
peristiwa baru lagi terjadi di depannya. Rukmini sudah berlumuran darah. Sebuah
mata tombak menancap dalam tepat di tengah dadanya. Itulah tombak karatan
warisan almarhum Made Tantre. Hati Sangaji mence-los. Pada saat itu, ia terus
memekik. "lbu...! Kenapa?" ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 47 SONNY DE HOOP di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 47 SONNY DE HOOP"
Post a Comment