BENDE MATARAM JILID 46 TITISARI
Tatkala
Ratu Bagus Boang dahulu hiiang tiada kabar beritanya, Himpunan Sangkuriang
lantas saja pecah berantakan. Para Raja Muda saling memperebutkan kedudukan
kursi pim-pinan. Hanya Maulana Syafri seorang yang tidak memedulikan perebutan
itu. Ia yakin, bahwa Ratu Bagus Boang belum mati. Maka ia mencarinya
bertahun-tahun lamanya. Mengira Ratu Bagus Boang mungkin ditawan himpunan para
pendekar, ia lalu memusuhi mereka. Sarang mereka didatangi dan diaduk-aduknya,
sehingga banyak menimbulkan korban. Maulana Syafri memiliki ilmu silat yang
sudah mencapai kesempurnaan. Dalam kalangannya sendiri, ia termasuk tokoh yang
disegani sesudah Ratu Bagus Boang. Maka tak mengherankan, bahwa tindakannya
menimbulkan suatu kegemparan hebat yang kelak menanamkan bibit permusuhan serta
balas dendam. la sendiri tiada terlawan. Belum per-nah ia dikalahkan.
Sebaliknya dendam mereka dialamatkan kepada setiap anggota Himpunan
Sangkuriang. Namun hal itu tidak diindahkan. Tujuannya hanya satu, Ratu Bagus
Boang harus diketemukan kembali. Akan tetapi betapa ia berusaha, tetap ia tak
memperoleh hasil. Ratu Bagus Boang tetap lenyap tiada kabar beritanya. Dalam
pada itu, ia mendengar rekan-rekan seperjuangan semakin seru memperebutkan
kursi pimpinan. Akhimya mereka saling mem-bunuh, saling memfitnah dan saling
ber-musuhan. Himpunan Sangkuriang pecah men-jadi beberapa bagian dengan
panji-panji kebe-saran masing-masing. Kursi pimpinan memang merupakan pun-cak
idaman setiap raja muda. Barangsiapa menduduki kursi pimpinan, suaranya akan
didengar oleh setiap pejuang. Pengaruhnya akan meluas. Seumpama melampaui
puncak-puncak gunung dan permukaan laut. Mendengar berita yang mengenaskan hati
itu, Maulana Syafri berputus asa. Ia masuk menjadi serdadu kompeni. Tujuannya
perta-ma, hendak melindungkan diri dari incaran balas dendam para pendekar.
Kedua, menghisap-hisap berita rencana penyerbuan kompeni dan ketiga, hendak
menunggu saat pe-mulihan kembali kewibawaan Himpunan Sangkuriang. Pada suatu
hari tatkala ia berada di wilayah Cirebon ia menjumpai suatu peristiwa yang
belum pernah dialami semenjak ia malang melintang tanpa tandingan. Ia bentrok
dengan Kebo Bangah. Grusannya hanya sepele saja. Pendekar gila itu memaksa
dirinya untuk memberi keterangan di manakah beradanya sang Dewaresi. Maulana
Syafri tak tahu, bahwa Kebo Ba-ngah miring otaknya. Ia menganggapnya
sungguh-sungguh. Sedang ia sendiri lagi pu-sing mencari Ratu Bagus Boang,
mengapa ada orang yang berani memaksa untuk memberi keterangan tentang
beradanya sang Dewaresi yang tiada sangkut pautnya dengan kepenti-ngannya.
Dasar ia seorang pendekar yang selamanya mau menang sendiri, maka dalam
jengkelnya ia membentak. "Apakah kau mencari orang itu?" "Ya, di
manakah anakku Dewaresi? Kau harus bisa memberi keterangan. Kalau tidak, kau
harus mengganti nyawanya," sahut Kebo Bangah. "Dia mampus atau tidak,
apa peduliku?" "Siapa yang mampus?" Kebo Bangah terke-jut. Dan
wajahnya berubah hebat. Namun Maulana Syafri tidak memedulikan. Tiba-tiba di
luar dugaannya, Kebo Bangah menubruk sambil menggigit. lnilah suatu serangan
tanpa aturan. Namun demikian ia tak berani meman-dang rendah, karena suatu
kesiur angin dah-syat menghantam dirinya. Cepat ia melompat ke samping sambil
menangkis. Plak! Kedua-duanya tergetar mundur. "Ha... kau bilang anakku
mampus? Raja langit sekarang tiba untuk minta pengganti nyawa. Mana nyawamu?
Mana nyawamu?" teriak Kebo Bangah. Dan dengan mata ber-putaran pendekar
gila itu tertawa berkakak-an. Bukan main herannya Maulana Syafri. Biasanya
seorang pendekar meski memiliki ilmu tinggi, tidakkan berani beradu tangan
dengan dia. Kini orang itu tidak hanya sudah beradu tangan, tapipun masih bisa
tertawa se-olah-olah kebal dan segala. Diam-diam hati-nya tercekat pula. Cepat
ia melolos pedangnya dan maju menyerang tanpa segan-segan lagi. Kebo Bangahpun
tidak tinggal diam. Melihat lawannya menggunakan pedang, ia segera menjumput
tongkatnya. Lantas saja mereka bergebrak dengan serunya. Setelah bertempur
beberapa jurus, Maulana Syafri menjadi heran ilmu silat lawan ini benar-benar
aneh. Dia berkelahi dengan ber-nafsu. Anehnya, kadangkala ia mencakar mu-kanya
sendiri. Adakalanya, ia menyentil, men-dupak lututnya sendiri. Pada suatu saat
ia me-nyerang dahsyat. Mendadak menarik serang-annya kembali di tengah jalan.
Lalu mengubah dengan jurus lain sambil berjungkir balik. Ilmu silat Maulana
Syafri sendiri, sebenarnya banyak ragamnya. Ia sering mencampur aduk-kan. Namun
jurus-jurusnya teratur. Dan bukan saling bertentangan seperti cara berkelahi
Kebo Bangah. Menyaksikan cara berkelahi demikian, Maulana Syafri mengambil
sikap membela diri. Ia mencoba menyelami ilmu silat lawannya. Lewat beberapa
jurus, kembali Kebo Bangah memperlihatkan keanehannya. Tiga kali beruntun,
menggaplok mukanya sendiri dan memekik-mekik kesakitan. Setelah itu dengan
sekonyong-konyong ia merayap menghampiri Maulana Syafri dengan melonjorkan
kedua lengannya kencang-kencang. Maulana Syafri tidak mengetahui, bahwa Kebo
Bangah miring otaknya akibat gempuran ilmu sakti Sangaji. Maka gerak geriknya
serba aneh dan memang gila benar-benar. Namun Maulana Syafri memiliki jiwa liar
pula. Meskipun belum boleh disebut gila, seti-dak-tidaknya boleh digolongkan
pendekar gila pula. Pada saat itu dia berpikir, keistimewa-anku memang
menggebuk anjing-anjing Belanda. Kau sekarang merayap seperti anjing. Jangan
salahkan aku mengirim nyawa anjing-mu ke neraka jahanam! Memikir demikian,
pedangnya menusuk pinggang lawan. Di luar dugaan, Kebo Bangah dapat bergerak
sangat gesit Tiba-tiba ia mem-balikkan tubuhnya. Ojung pedang ditindihnya. Dan
tubuhnya menggulung bergulungan mendekati pangkal pedang. Keruan saja, Maulana
Syafri terkejut setengah mati. Cepat ia melepaskan pedangnya dan melompat ke
samping. Tak terduga, Kebo Bangah mendadak melesat ke udara. Dengan dibarengi
teriakkan tinggi, kedua kakinya menendang ke arah mata Maulana Syafri. Juga
kedua tangan-nya menghantam dari atas. Dengan hati mencelos, Maulana Syafri
melompat mundur. Kemudian menyongsong gempuran Kebo Bangah dengan pukulan pula.
Bres! Kedua-duanya terpelanting berjungkir balik. Begitu kakinya mendarat di
tanah, Maulana Syafri duduk berjongkok menguasai darahnya yang bergolak
belingsatan. Sebaliknya setelah berkaok-kaok sebentaran Kebo Bangah terus
berteriak dengan mengaduh-aduh. "Dewaresi anakku... kau benar-benar
mam-pus, anakku? Ah, ayahmu ini manusia tidak berguna sampai tak dapat
melindungi jiwa-mu ..." Sehabis berkata demikian, dengan sekali melesat ia
menghampiri Maulana Syafri de-ngan gaya merangkul. Saat itu Maulana Syafri lagi
bergulat menguasai aliran darahnya. la belum berani bergerak. Sekali kena
rangkulan Kebo Bangah, jiwanya akan lenyap. Maka begitu melihat Kebo Bangah
mendekatinya, ia memejamkan mata menunggu maut. Pada detik-detik kematian
berada di ujung rambut, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan. "Kebo
Bangah! Kau tak kenal aku? Bagus! Inilah Sangaji!" Heran, Maulana Syafri
menjenakkan mata. la melihat seorang gadis berdiri menghadang di depannya. la
menyebut diri Sangaji. Apakah dia bernama Sangaji. Selagi menebak-nebak dalam
saat selin-tasan itu, ia menyaksikan suatu kejadian aneh lagi. Kebo Bangah
mendadak saja memekik terkejut. Dengan berjungkir balik ia melesat mundur
sambil berteriak-teriak ketakutan. "Sangaji? Sangaji? Hayaaaaa...."
Dan sebentar saja tubuhnya lenyap dari penglihatan. Menuruti kata hati, ingin Maulana
Syafri segera menghaturkan terima kasih. Tapi teringat bahwa luka yang
dideritanya tidak ringan, ia tidak berani bergerak. Tak terduga gadis itu
menghampirinya dan mengirim-kan tenaga bantuan pula. Oleh bantuan tena-ga itu,
luka dalam yang diderita Maulana Syafri sembuh dengan cepat, meskipun belum
boleh dikatakan pulih seperti sediakala. Tapi dengan demikian, ia sudah
berutang budi dua kali. Akhirnya setelah berhasil meluruskan per-napasan,
Maulana Syafri memaksa diri untuk menyatakan rasa terima kasih. "Nona, budimu
sangat besar. Aku seorang tua berjanji takkan mampus dahulu sebelum membalas
budimu." "Hm..." gadis itu mendengus. "Dalam hidup-ku sudah
sering aku menerima janji dan budi. Kedua-duanya memang enak untuk
didengar-kan." Maulana Syafri adalah seorang pendekar yang mudah
tersinggung. Maka begitu men-dengar ucapan gadis itu, ia merasa diri
diren-dahkan. Lalu berkata nyaring, "Meskipun aku ini tergolong manusia
tak berguna, tanpa bantuanmu masakan aku sudah memiliki nyawa anjing?"
"Bagus," sahut gadis itu dengan cepat. "Kau berjanji hendak
membalas budi. Budi yang mana?" "Engkau sudah menyelamatkan jiwaku
sampai dua kali." "Apakah itu suatu budi?" potong gadis itu
Iagi. "Selama hidupku, belum pernah aku jual beli perkara budi. Kalau aku
mau menolong, sebenarnya untuk kepentingan sendiri. Kalau tadi aku tidak
mempunyai kepentingan, biarpun engkau mampus apa peduliku?" Maulana Syafri
tercengang mendengar kata-kata gadis itu. Karena jiwanya rada-rada liar, maka
ia segera merasa diri cocok dengan lagak lagu gadis itu. Terus saja ia berkata,
"Bagus! Kau tak mau jual beli perkara budi, aku pun tak sudi berpegang
perkara budi pula. Tapi ada utang ada pula piutang. Aku merasa berutang dan aku
pasti membayar." "Hm," dengus gadis itu lagi. "Kau pernah
mengenal burung gagak?" "Mengapa?" "Itulah engkau manusia
yang banyak mulut." Bukan main tajamnya lidah gadis itu. Kalau menuruti
hati seseorang bersikap kurang hor-mat kepadanya, ia sudah turun tangan. Tapi
kali ini, entahlah. Selain ia merasa berutang budi, hatinya semakin tertarik.
Dan karena ke-jadian itu bertentangan dengan kebiasaannya, jadi tergugu.
Kemudian tercengang-cengang. Dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. "Nona!
Kau ini lucu!" katanya meledeki. "Apanya yang lucu?"
"Masakan aku kausamakan dengan burung gagak?" "Masakan
tidak?" "Hm" dengus Maulana Syafri mendongkol. "Hm"
balas gadis itu. Dan diperlakukan de-mikian, Maulana Syafri merasa kuwalahan.
Akhirnya ia mau mengalah. Katanya minta ke-terangan, "Baiklah-baiklah. Memang
aku tak lebih dari seekor burung gagak. Memangnya aku ini manusia tak ada
gunanya." "Mengapa tiada gunanya?" Gadis itu memotong. "Aku
bilang tak ada gunanya, ya tidak ada gunanya." "Mengapa Nona begini
melit?" "Aku melit atau tidak, apa pedulimu?"
"Baik-baik...." "Apa yang baik?" Maulana Syafri mendongkol,
lalu tertawa geli. Katanya lagi, "Nona... kau tadi bilang, bahwa engkau
merasa tidak menyelamatkan nyawaku. Mengapa?" "Kau ini memang
benar-benar burung gagak," potong gadis itu dengan sengit. "Siapa
bilang, aku merasa tidak menyelamatkan nyawamu?" "Ah, Nona yang baik
hati. Masakan kupingku bisa tuli?" "Kau memang tuli!" sahut
gadis itu cepat. "Aku tadi bilang, selama hidupku belum pernah aku jual
beli perkara budi. Kalau aku mau menolong, sebenarnya untuk kepentinganku
sendiri." "Ah, ya," Maulana Syafri tersadar. Kemudian berkata
merasa: "Ya, memang pantas. Aku memang burung gagak." Gadis itu
tertawa geli. Katanya nakal, "Aku tadi cuma mengumpamakan. Tak tahunya,
kau kini benar-benar mengakui memang burung gagak. Kau jangan menuduh, aku tak
menghargai atau menghinamu." "Ya—ya—ya..." Maulana Syafri
memanggut-manggut. Dalam hatinya ia mendongkol berbareng geli. Selama hidupnya,
inilah untuk pertama kalinya, ia kena diselomoti seorang gadis muda belia
terang-terangan di depan hidungnya. "Baiklah kau memang cerdik,"
katanya sejenak kemudian. "Baiklah—Nah sekarang terangkan, apa
kepentinganmu sampai kau sudi menolong aku?" "Kepentinganku ialah
kepentinganku. Ma-sakan perlu dikabarkan kepada lain orang?" Mendengar
ujar gadis itu yang menjengkelkan hati, habislah sudah kesabarannya. Maulana
Syafri lantas membentak, "Karena kepentinganmu bersangkut-paut dengan
kepentinganku. Kau mau bilang tidak?" "Kalau tidak mau bilang kau mau
apa?" "Aku cuma ingin tahu!" jerit Maulana Syafri karena
mendongkol. Gadis itu terdiam sejenak. la seperti lagi menimbang-nimbang.
Mendadak berkata di luar dugaan. "Kau tadi mengaku sendiri: seekor burung
gagak, masakan bisa menghargai keterang-anku?" Setelah berkata demikian,
gadis itu tertawa geli. Dan hati Maulana Syafri bertambah men-dongkol sampai
matanya melotot. Dengan bergusar ia berkata: "Nona! Selama hidupku, inilah
untuk yang pertama kali aku bersikap sabar kepadamu. Selamanya aku main paksa.
Dan selamanya tidak seorangpun berani membantah perin-tahku. Bukankah sedikit
banyak aku lebih ber-harga daripada burung gagak?" Kata-kata Maulana
Syafri sebenarnya bukan bualan kosong. Ia seorang Raja Muda Himpunan
Sangkuriang dan menduduki kursi Dewan Penasihat. Kata-katanya berharga seumpama
sebutir mutiara. Selain ilmu silat-nya tinggi, ia dijunjung tinggi pula oleh
kawan dan lawan. Tetapi gadis itu yang tak tahu siapa dia, tetap saja membawa
wataknya yang angin-anginan. Acuh tak acuh ia menyahut, "Kau bilang
selamanya kau main paksa. Baik, kau sekarang memaksa aku memberi ke-terangan,
bukan?" "Aku main paksa atau tidak, pendeknya kau harus memberi
keterangan," kata Maulana Syafri penasaran. "Hm baik," gadis itu
menyahut setelah diam menimbang-nimbang. "Memang akulah tadi yang sial,
mengapa aku mempunyai kepen-tingan. Sebenarnya, lebih baik kau mampus."
"Mengapa?" "Karena engkau bertampang mirip burung gagak,
timbullah keinginanku hendak memeli-hara engkau." "Memelihara?"
Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak. "Memelihara bagaimana?"
"Memelihara ya, memelihara. Mengapa sih kau begini usilan?"
"Nona dengarkan!" bentak Maulana Syafri mendongkol. "Umurku
sudah melampaui setengah abad. Engkau ini pantas menjadi anakku. Tapi kenapa
kau bersikap begini ter-hadapku?" "Aku bersikap bagaimana?"
"Kau bisa menghargai aku atau tidak?" "Dalam hal apa? Kita baru
saja ketemu, manakah ada persoalan harga menghargai. Kalau kau memaksa aku
harus menghar-gaimu, mengapa kau tidak bilang sendiri bahwa dirimu adalah
seekor burung gagak? Nah, siapakah yang tidak menghargai dirimu? Bukankah
engkau sendiri?" sahut gadis itu cepat. Dan mendengar kata-kata gadis itu,
benar-benar Maulana Syafri tercengang-cengang sampai tergugu. Tanpa disadari
sendiri, ia menggaruk-garuk kepalanya. Akhirnya ia tertawa geli lagi. Adat
seorang pendekar memang aneh. Makin kuwalahan menghadapi sesuatu, makin ia tertarik.
itulah disebabkan oleh suatu watak ingin menang sendiri. Dan sekarang, ia
meng-hadapi seorang gadis muda belia. Seorang gadis yang selain tajam mulut,
kecerdikannya berada di atasnya. Maka untuk kesekian kali-nya, ia bersedia
mengalah. Katanya menya-barkan diri, "Baiklah kau menang. Sekarang
terangkan maksudmu dengan istilah memeli-hara. Memelihara bagaimana?"
"Aku ingin mengambilmu sebagai budak. Bukankah aku harus memeliharamu,
kalau aku menghendaki agar engkau berumur lebih panjang lagi? Inilah namanya,
orang di seluruh dunia ini sesungguhnya menjadi budak dari kebutuhannya?"
sahut gadis itu. Sederhana kata-katanya. Seolah-olah di-ucapkan dengan
sewajarnya. Tapi bagi pen-dengaran Maulana Syafri bagaikan bunyi gun-tur di
siang hari. Maklumlah, ia seorang raja muda. Selama hidupnya dimuliakan. Tapi
kini mendadak hanya berharga sebagai seorang budak. Maka tak mengherankan,
bahwa pada saat itu juga menggigillah sekujur badannya karena menahan rasa
marah. Meledak. "Kau bilang aku hendak kau jadikan budakmu? Ah, yang
benar, Nona! Selama hidupku, belum pernah aku menjadi budak orang."
"Huuu... cemooh gadis itu. Burung gagak memang pandai mengoceh tak keruan
juntrungnya. Kau bilang tak pernah menjadi budak? Kalau tak pernah menjadi
budak, apa sebab mengenakan pakaian seragam kompeni? Hayo bilang!" Kalau
saja menuruti pergolakan hatinya ingin saja Maulana Syafri menggerung tinggi.
Tetapi tuduhan gadis itu memang benar dan jitu. Ia kalah dalam sembilan bagian.
Maka ia diam terlongong-longong. Tak tahu dia, apakah harus menangis, marah
atau tertawa. Tapi dasar wataknya mau menang sendiri, tim-bullah rasa harga
dirinya. Terus saja ia berdiri tegak dengan mata menyala. Melihat Maulana
Syafri demikian, tiba-tiba gadis itu menangis sedih. Perubahan sikap di luar
dugaan itu sudah barang tentu membuat Maulana Syafri terheran-heran. Dan dari
rasa heran, ia lantas menduga-duga. Namun ia se-orang pendekar yang sudah
banyak makan garam. Dalam keheranannya, masih ia berwaspada. Katanya garang,
"Kau sudah me-maki dan menghina aku. Sekarang kau menangis. Jangan mimpi,
kau bisa memper-mainkan aku lagi." "Siapa kesudian mempermainkan
engkau?" sahut gadis itu cepat di antara sedu-sedannya. "Kalau tidak,
mengapa menangis?" "Aku menangis atau tidak, apa pedulimu?"
'Tapi kau harus memberi keterangan!" "Keterangan! Keterangan!"
gerutu gadis itu. "Kau tidak sanak dan bukan kadang, apa sebab main paksa?
Apa dasarnya?" "Aku main paksa atau tidak, kau peduli apa?"
Maulana Syafri menirukan lagak gadis itu. "Baik memang siapa tak tahu
bahwa engkau seorang pendekar jempolan," ejek gadis itu. Dan ia
meningkatkan tangisnya. "Dasar akulah yang sial. Kalau tahu begini,
mestinya aku harus membiarkan kau tadi mampus." Mendengar perkataan gadis
itu, hati Maulana Syafri menjadi lemas sendiri! Sejenak kemudian ia menjadi
sabar. Katanya setengah membujuk, "Ya benar, aku memang usilan." Di
luar dugaan, gadis itu menangis kian sedih. Selagi hati Maulana Syafri sibuk
men-duga-duga lagi, terdengar gadis itu mengomel. "Kau memang pantas
menghina aku. Seorang pendekar jempolan menghina seorang gadis muda belia.
Memang pantas. Memang jempolan." "Hai! Hai! Kapan aku menghinamu? Aku
justru hendak membalas budimu. Sebaliknya, kaulah yang menghina aku
terus-menerus." "Kau main paksa, bukankah menghina aku? Kau paksa aku
menerangkan apa sebab aku mengusir pendekar gila tadi. Setelah kuterang-kan,
kau memaksa aku lagi agar menerangkan tentang kepentinganku. Dan setelah
kuterang-kan jangan lagi berterima kasih sebaliknya engkau malah menjadi gusar.
Kau paksa lagi aku, agar menerangkan perkataan memelihara. Dan setelah
kuterangkan, jangan lagi berterima kasih sebaliknya kau kini bahkan akan
membunuh aku. Bukankah begitu?" gadis itu menggerembengi sambil terus
menangis. Berkata lagi: "Kau memaksa aku lagi, agar aku menyatakan bahwa
apa yang kulaku-kan tadi adalah suatu perbuatan budi. Padahal aku tidak pernah
berjual beli perkara budi. Tapi kau memaksa dan memaksa, karena engkau
mempunyai kepentingan hendak membalas budi. Demi menghargaimu, terpaksalah aku
tidak membantah lagi. Tetapi bagaimana jadi-nya? Aku tidak menuntutmu agar
engkau mengganti nyawa pula atau harta benda. Aku bahkan mau berbaik hati,
hendak memelihara-mu. Tapi kau tidak merasa berterima kasih, sebaliknya malah
hendak mencabut ucapan sendiri. Kata orang, mulut seorang laki-laki berharga
seribu gunung. Mana buktinya? Apakah itu perbuatan seorang pendekar
jempolan?" Terang sekali, gadis itu memutar balik susunan peristiwa jalan
pikirannya lucu dan rada-rada liar. Namun justru demikian, Maulana Syafri jadi
kebingungan. Hal itu ada sebab musababnya. Seperti diketahui, tiap pendekar
yang mempunyai harga diri akan menjunjung tinggi setiap ucapannya. Apalagi
seorang raja muda yang berkedudukan agung. Memang aku tadi berkata hendak
membalas budinya. la sudah menolong jiwaku. Meskipun demi kepentingannya, namun
aku sudah berutang jiwa. Menurut pantas akupun harus membayar utang pertaruhan
jiwa juga. Seka-rang ia hanya minta agar aku menjadi budaknya. Keterlaluan
permintaan ini. Tapi kalau aku tidak bisa memegang ucapanku sendiri, di mana
lagi aku hendak menaruh muka dalam dunia selebar ini? Memperoleh pikiran
demikian, ia hendak segera tunduk. Tapi teringat akan kedudukan-nya, ia
bergelisah luar biasa. Masakan aku seorang raja muda bersedia menjadi budaknya,
pikirnya sengit. Untung ia bisa menimbang-nimbang lagi: Ah, aku hanya
memikirkan kepentinganku sendiri, karena takut ditertawai orang. Dia masih muda
belia. Dan aku sudah tua bangka. Sekiranya orang mengetahui aku selalu bersama dia,
pastilah mengira aku ayahnya. Baiklah aku sanggupi. Dengan keputusan itu, ia
menunduk. Kemudian berkata dengan menghela napas. "Baiklah, aku bersedia
menjadi budakmu. Perkara makan minum, tak usah engkau bersusah payah. Aku si
orang tua bangka ini, masih sanggup mencari ganjel perutku sendiri."
Mendengar keputusannya, gadis itu tiba-tiba berhenti menangis. la menatap
wajahnya dengan pandang terlongong-longong. Maulana Syafri mengira, gadis itu
akan senang berjingkrakan. Di luar dugaan, tidaklah demikian halnya. Gadis itu
mendadak menangis menggerung-gerung amat sedihnya. Keruan saja, Maulana Syafri
jadi tambah tak menger-ti. "Hai! Hai! Mengapa? Apakah aku kurang membuatmu
puas? Baiklah, kalau kau menghendaki jiwaku, kuserahkan sekarang juga. Nah,
bunuhlah aku!" kata Maulana Syafri. Gadis itu tidak meladeni. Tangisnya
tambah menjadi-jadi. "Kau tidak mau membunuh aku. Tapi juga tidak mau
berhenti menangis. Kenapa?" Maulana Syafri setengah membujuk. "Kau
bilang umurmu melebihi setengah abad, namun masih juga tidak mengerti
kesalahannya. Bukankah membuat aku me-nangis?" gadis itu menggerembengi.
"Salah dalam hal apa?" Maulana Syafri heran. "Mengapa kau mau
jadi budakku?" "Kau bilang apa?" Maulana Syafri setengah tidak
mempercayai pendengarannya sendiri. "Mengapa kau mau jadi budakku?"
ulang gadis itu. Dan mendengar ujar gadis itu, Maulana Syafri benar-benar
tercengang. "Hai! Bukankah engkau menghendaki aku menjadi budakmu? Karena
aku sudah merasa berutang budi, jangan lagi menjadi budakmu, jadi anjingmu
masakan aku mempunyai keberanian untuk menolakmu?" "Tapi aku hanya
bermain-main, mengapa engkau bersungguh-sungguh," ujar gadis itu. Kemudian
meningkatkan tangisnya dengan amat sedih. Dan Maulana Syafri lantas saja
menggaruk-garuk kepalanya. Katanya di dalam hati: "Aneh gadis ini. Dia
tadi seolah-olah berkeras hati hendak mengambil aku sebagai budaknya. Setelah
aku tak menolak, dia kini justru menangis sedih. Sebenamya dia menghendaki
apa?" Memperoleh pikiran demikian, ia menghampiri sambil berkata lembut.
"Nona ... sebenarnya kau mempunyai ke-sulitan apa? Bilanglah! Aku akan
bersedia menolongmu sedapat-dapatku." "Mana bisa engkau menolong aku?
Apakah engkau malaikat?" Didamprat demikian, mulut Maulana Syafri
terbungkam. la menundukkan kepala. Itulah disebabkan, ia teringat kepada
masalahnya sendiri yang sudah memusingkan dirinya sepuluh tahun lewat. Katanya
merasa, "Ya, memang benar, aku bukan malaikat. Betapa aku mampu menolong
kesulitanmu yang pasti hebat bukan main. Aku sendiripun mempunyai kesulitan. Sekiranya
aku bisa melakukan segala, masakan tidak mampu mengatasi kesulitanku itu. Ya,
kau memang benar... eh Nona, sebenarnya kau siapa?... Kau tadi menyebut Sangaji,
lantas pendekar tadi lari lintang pulang. Apakah engkau bernama Nona
Sangaji?" Ditanya demikian, gadis itu menggelengkan kepala. "Bukan!
Bukan!" Dan ia menangis sedih. "Kalau bukan, mengapa kau menyebut
nama Sangaji? Apakah nama itu merupakan momok bagi pendekar sakti tadi? Kalau
benar, alangkah besar hatiku manakala aku bisa berkenalan dengan nama yang
keramat itu ..." Gadis itu tidak menjawab. Sedu sedannya bertambah hebat.
Dan ia terus menangis sampai melewati larut malam. Baru waktu menjelang fajar,
ia tidur kecapaian. Maulana Syafri terus mengamat-amati dengan berdiam diri. Ia
merasa seperti ada sesuatu daya besar yang mengikat dirinya. Dan sambil
mengatur jalan darahnya, ia berpikir dalam hati, gadis itu mempunyai kecantikan
luar biasa. Otaknya encer. Malahan terlalu cerdik, meskipun jalan pikirannya
aneh. Menilik lagak-lagunya, dia bukan sembarang gadis. Siapakah dia
sebenarnya? Baiklah aku bersabar diri sampai mengetahui asal usulnya.
Jangan-jangan... dia mempunyai hubungan darah dengan Gusti Ratu Bagus Boang.
Memikir demikian, hatinya tergetar. Tapi benarkah dia mempunyai hubungan darah
dengan Ratu Bagus Boang yang lenyap tak karuan kabarnya? Tidak! Dia bukan gadis
dugaan Maulana Syafri. Dialah Titisari seorang gadis yang memiliki otak paling
cemerlang pada zaman itu. Setelah meninggalkan Sangaji di tepi sungai, ia pergi
dengan pikiran linglung. Lama ia berputar-putar dengan tak tentu arahnya.
Kadangkala ada perasaan hendak kembali ke sungai atau hendak membatalkan
niatnya sendiri. Tetapi teringat bahwa hal itu bahkan akan memarahkan rasa
kecewanya, ia menguasai diri dengan sekuat tenaga. Sekalipun demikian dalam
kalbunya terus berlangsung deru rangsang hatinya. "Aji! Aji! Mengapa
akhirnya engkau menjadi milik orang lain juga?" Bukan main pedihnya. Ia
merasa diri seperti di tusuki ribuan jarum. Dan betapa hebat kedukaan Titisari
kala itu, tidaklah mungkin dapat dilukiskan lagi. Memang kalau dipikir, akulah
yang salah. Dia sudah bertunangan, mengapa aku harus memikirkan? Ia berpikir di
dalam hati. Tapi meskipun dia berpikir demikian, ucapan hati-nya sama sekali
berbeda. Ada suatu rasa, ia tak rela melepaskan Sangaji. Akan tetapi harus berbuat
bagaimana? Meskipun ia berotak cerdas, pertanyaan itu tak dapat dijawab-nya.
Akhirnya setelah kecapaian sendiri, tim-bullah keputusan. "Sebentar lagi
Aji akan kawin dengan tunangannya. Biarlah aku melihatnya dengan diam-diam.
Pada malam pertama aku akan membunuh diri di depannya. Bukankah itu suatu
hadiah kawin yang bagus?" Titisari adalah puteri Adipati Surengpati. la
mewarisi beberapa bagian watak ayahnya yang liar dan tidak umum. Dan setelah
memperoleh keputusan demikian, hatinya mendadak tenang. Lalu ia mengikuti
Sangaji dari kejauhan. la tahu, betapa Sangaji lari pontang-panting
memanggil-manggil riamanya. Dan menyak-sikan kepedihan pemuda itu, hampir saja
hatinya gugur. Segera ia hendak lari meng-hampiri. Sayang dalam ilmu sakti ia
kalah jauh dari Sangaji. Pemuda itu dengan sekelebatan saja, sudah hilang dari
penglihatannya. Dan kembali ia berputar-putar dengan kepala linglung. . Selagi
melewati sebuah bukit ia mendengar kesiur angin. Begitu menajamkan mata, nampaklah
Kebo Bangah melintas tak jauh dari-padanya. Hatinya tertarik. Dan ia menguntit
sebisa-bisanya. Namun mengikuti Kebo Bangahpun tidak mudah. Meskipun dia kini
bukan lagi Titisari beberapa waktu yang lalu, tapi ilmu saktinya masih kalah
jauh. Untung-lah, dalam dirinya sudah mewarisi ilmu petak pendekar sakti Gagak
Seta. Betapapun juga ia masih sanggup mengikuti Kebo Bangah dalam jarak tetap.
Tatkala melewati suatu pinggiran desa, ia melihat dua orang pemuda lagi
berbicara kasak-kusuk. Mereka menyinggung-nying-gung masalah perjuangan. Heran
ia mendengar percakapan itu. Pikirnya: Eh, apakah di Jawa Barat pun orang
mengenal suatu perjuangan? Selama hidupnya, belum pernah Titisari meraba wilayah
Jawa Barat. Ia mengira, perjuangan melawan kompeni Belanda, hanya terjadi di
Jawa Tengah. Dasar ia berwatak usilan, maka begitu tertarik kepada pembicaraan
itu, segera ia melepaskan perhatiannya kepada Kebo Bangah. Terus saja ia
menguntit dengan diam-diam. Dua pemuda itu mengenakan pakaian seragam gambar
Obor Menyala. Gesit gerak-geriknya. Nampak bukan pemuda lemah. Meskipun
demikian, mereka tak sadar diikuti seorang dari jarak dekat. Itulah suatu
tanda, bahwa ilmu Titisari jauh di atasnya. "Siluman betina Edoh
Permanasari benar-benar tak mengenal jantung. la terus main bunuh dengan serampangan.
Mengapa pemimpin-pemimpin kita membiarkan dia hidup panjang?" kata yang
satu. "Berbicara memang mudah. Tetapi Perma-nasari bukan pendekar lemah.
la murid kesa-yangan Ratu Fatimah," sahut yang lain. Dan mereka berdua
membicarakan tentang sepak terjang Edoh Permanasari lengkap dengan sekalian
anak muridnya yang terdiri dari wanita. Sudah barang tentu pembicaraan itu
menarik perhatian Titisari. Seperti kita ketahui, tiap wanita tertarik kepada
semua pembicaraan mengenai jenisnya. Apalagi, apabila mereka memujinya atau
mengagumi. Maka dia akan mencoba membandingkan dirinya sendiri dengan perempuan
yang dibicarakan itu. Sadar atau tidak sadar. Hanya sayang, pembicaraan mereka
bercampur aduk. Kadang menyinggung Edoh Permanasari dan kerapkali membicarakan
masalah Himpunan Sangkuriang yang saling tikam dan saling membunuh. Titisari
jadi tak sabar lagi. la terus menam-pakkan diri. Maksudnya hendak menghampiri
dan minta keterangan lebih jelas lagi perkara Edoh Permanasari. Di luar dugaan,
kedua pemuda itu salah sangka. Mereka mengira, Titisari salah seorang murid
Edoh Permanasari. Dengan bergandeng tangan, mereka berdiri bersiaga menghadapi
segala kemungkinan. "Kau tadi membicarakan Edoh Permana-sari," kata
Titisari. "Nah, teruskan! Aku ingin mendengar sampai di mana kau
mengenal-nya." Sudah barang tentu bunyi perkataan Titisari berkesan lain,
yang satu lantas menyahut. "Baik-baik. Kalau kau mau membunuh, nah
bunuhlah sekarang juga!" Mendengar ucapan pemuda itu, Titisari tercengang.
la seperti tak tahu apa yang akan dilakukan. la memang berotak cemerlang. Tetapi
pada saat itu ia masih dalam kedukaan yang melampaui batas. Coba ia dalam
keadaan seperti sediakala, pastilah ia takkan kehilangan diri. la menghampiri
mereka dengan maksud hendak mendengar kisah Edoh Permanasari lebih jelas. Dan
selamanya ia berhasil dalam segala maksudnya, dengan jalan apa saja. Sebaliknya
kini, ia hanya mengawasi mereka dengan pandang mendelong. Melihat kesempatan
itu, cepat-cepat yang satu menarik lengan rekannya seraya berkata gugup.
"Cepat, cepat! Lari ia belum sampai hati membunuh kita." Anak murid
Edoh Permanasari memang terkenal kejam, bengis dan berilmu tinggi. Sekalipun
mereka tergolong manusia kuat, namun merasa diri takkan ungkulan melawan anak
murid Edoh Permanasari. Mereka mengi-ra, di belakang Titisari pastilah masih
bersem-bunyi kawan-kawannya entah berapa jumlah-nya. Sebab, selamanya anak
murid Edoh Permanasari berangkat bersama. Pemuda itu lantas menarik lengan
rekannya dan dibawanya lari menjauh. Melihat Titisari tidak mengejar, segera ia
mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya. Rekannya seperti telah kehilangan sema-ngat.
Tetapi setelah kena seret selintasan, tanpa disadari ia sudah ikut berlari
secepat-cepatnya. Dengan begitu mereka lari seperti terbang. Waktu itu matahari
sudah condong ke barat. Mereka masih saja berlari-larian dengan mem-babi buta.
Kira-kira satu jam petang hari akan tiba, barulah mereka berhenti beristirahat.
Dengan memperlambat langkahnya, hati mereka menjadi girang. Sambil menyusut
ke-ringatnya mereka berkata berbareng. "Sung-guh berbahaya! Ontung yang
lain tidak menghadang..." "Apakah kau takut mati?" tanya yang
satu. "Tiap orang siapakah yang tidak akan mati? Tetapi kalau mati di
tangan anak murid Edoh Permanasari, bukankah mati tiada gunanya?" sahut
yang lain. "Ya, kau benar." Mereka berpaling ke belakang. Tapi begitu
berpaling, kedua lutut mereka mendadak menjadi lemas. Ternyata tak jauh dari
mereka, berdiri seorang wanita yang terus mengawas-kannya dengan pandang
tercengang. Dialah Titisari. Bukan kepalang terkejut mereka.
"Celaka!" mereka mengeluh dalam hati. Kemudian de-ngan bergandengan
tangan, mereka menan-cap gas lagi kabur ke arah barat. Sesudah kabur beberapa
puluh pal jauhnya, seperti berjanji mereka menoleh ke belakang. Titisari masih
membuntuti pada jarak tertentu. Mereka menjadi makin ketakutan. Segera dengan
saling menyeret, mereka lari lagi dengan sekencang-kencangnya.
"Emon!" kata yang satu. "Jika sekarang dia menghendaki nyawa
kita, gampangnya seperti membalik tangannya sendiri. Tetapi dia hanya menguber
saja. Kukira dia mempunyai maksud tertentu." "Maksud apa?" Emon
menegas. "Kukira, dia hanya ingin membekuk kita. Kemudian dibawa ke tangsi
Belanda sebagai hadiah persahabatannya," sahut Saiman temannya.
"Dengan begitu selain akan menambah kepercayaan Belanda terhadap perguruannya,
juga akan menjatuhkan pamor Himpunan Sangkuriang yang sudah porak-poranda
begini." Mendengar keterangan Saiman, hati Emon tergetar. Ia tak takut
perkara mati. Sekarang ia justru mendengar keterangan tentang maksud perempuan
itu yang masuk akal. Dan apabila sampai kena diseret di depan tangsi Belanda,
rasanya jauh lebih hina daripada mati sekarang. Malahan seumpama matipun untuk
menebus dosa, tiada harganya. Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya* tambah
me-ringkas. "Saiman! Kalau benar begitu maksudnya, kita benar-benar
celaka. Mari kita kabur lagi!" ajaknya. Dan mereka kabur lagi dengan
beren-deng pundak. Sekarang mereka lari tanpa tujuan lagi. Kadang-kadang mereka
menoleh. Dan Titisari masih saja mengikuti dengan jarak tetap. Ilmu lari
Titisari diperolehnya dari ayahnya sendiri. Seperti diketahui, ayah Titisari
terma- t suk salah seorang pendekar utama di Jawa Tengah. Umunya tinggi dan
susah dijajaki. Kecuali itu Titisari mewarisi ilmu petak pendekar Gagak Seta
pula. Maka dalam hai ilmu berlari dalam dunia ini, sukar ia memperoleh
tandingnya. Karena itu untuk mengikuti kabur- I nya Emon dan Saiman, bukan
merupakan soal baginya. Hanya saja, pikiran gadis itu masih limbung. Ia lari
untuk lari saja. Tujuannya samar-samar. la hanya merasa diri terkait oleh kedua
pemuda itu. Pikirannya was-was antara sadar dan tidak. Semakin lama kedua
pemuda itu semakin bingung. Mereka tak dapat menebak maksud Titisari yang
sebenarnya. Dari siang hari mereka berlari sampai petang hari. Akhirnya
memasuki waktu malam hari. Meskipun tenaganya cukup kuat, lambat laun mereka
merasa lelah juga. Napas mereka tersengal-sengal, kecepatan kakinya makin
berkurang. Meskipun belum mati, tapi mereka merasa kena siksa setengah mati.
Rasa lapar dan rasa dahaga mulai menggerumuti dirinya. Sesudah berlari
selintasan lagi, di depannya nampak cahaya pelita sebuah kedai. Untuk mencapai
kedai itu, mereka harus menyeberangi sungai. Dan saking tak tahannya menahan
dahaganya lagi, terus saja mereka membungkuki sungai. Lalu menenggak airnya
sepuas-puas hati. Perlahan-lahan Titisari menghampiri sungai itu pula. Ia pun
turun ke sungai dan minum dengan menyendok air dengan kedua tangan-nya.
Kemudian ia berdiri mengawaskan jauh ke barat. Sambil minum Emon dan Saiman
melirik pekerti Titisari. Melihat pengejarnya berdiri ter-mangu-mangu, seperti
saling berjanji mereka meneruskan perjalanan dengan mengendap-endap. Setelah
agak jauh, lalu lari tunggang langgang seperti kalap. Hati mereka lega, karena
mengira sudah terlepas dari peng-amatan pengejarnya. Tak tahunya, baru saja
menengok mereka melihat Titisari sudah ber-ada tak jauh daripadanya dalam jarak
yang tetap seperti tadi. Wajah Emon pucat bagaikan kertas. Dengan suara putus
asa ia berkata, "Sudahlah sudah-lah! Saiman, kita tak bisa lari lagi. Dia
mau membunuh, menyembelih, menyiksa atau membekuk kita, biarlah
sesukanya." Setelah berkata demikian, ia berhenti berlari. "Kalau
hanya dibunuh, semenjak tadi aku sudah menyerah. Tapi dia hendak membekuk kita.
Masakan kita pantas menjadi anjing-anjingnya Belanda?" bentak Saiman.
"Ya, bener. Tapi bagaimana?" sahut Emon dengan napas
tersengal-sengal. Mendadak ia melihat empat orang memasuki kedai. Segera mereka
bergegas mencapai kedai itu. Setelah menjenguk ke dalam, hatinya kecewa. Empat
orang tadi ternyata mengenakan pakaian sera-gam dengan lambang gambar Garuda.
Seperti diketahui, Himpunan Sangkuriang sudah pecah menjadi berbagai cabang.
Dan antara cabang satu dan lainnya, saling bentrok dan saling membunuh. Mungkin
sekali mana-kala menghadapi bahaya, mereka bersikap akan melupakan permusuhan.
Namun untuk saling tolong pada saat itu, jangan diharap. Dan hai demikian,
bukan tidak disadari mereka berdua. Karena itu, diam-diam mereka mengeluh. Tapi
jalan Iain, tak ada lagi. Ber-pikirlah mereka menentukan keputusan. "Di
sini nanti aku mati. Tapi lehih baik mati ada saksinya daripada tidak."
Memperoleh pikiran demikian, mereka memasuki kedai dengan hati mantap. Kedai
itu sebenarnya merupakan sebuah serambi depan berbentuk memanjang. Pan-jangnya
lebih kurang dua puluh meter dengan lebar sepuluh meter, (tulah bekas rumah
seorang kepala kampung. Banyak pengun-jungnya. Terdiri pasangan pemuda-pemudi,
pedagang-pedagang dan petani-petani setelah bekerja di sawah ladang sehari
tadi. Dengan rasa lelah, lapar dan takut, Emon dan Saiman mendapat tempat di
ruang te-ngah. Sedangkan empat orang anggota Him-punan Sangkuriang cabang
Panji-panji Garuda duduk di sebelah sudut timur. Mereka mene-gakkan kepala,
tatkala melihat mereka datang pula ke kedai itu. Serentak mereka menghu-nus
senjatanya dan segera akan menyerang. Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus.
Kemudian seorang wanita dengan membawa pedang panjang datang memasuki kedai.
"Eh, siapakah yang mengizinkan kamu bermain pat gulipat di sini?"
tegur wanita itu kepada pasangan muda-mudi. Berbareng de-ngan tegurannya muncul
pula empat orang wanita yang berdiri di belakangnya. "Keparat siluman
betina!" Menggerung salah seorang anggota pasukan panji-panji Garuda.
"Dasar sudah lama kau kucari. Sekarang kau mencari mampusmu sendiri."
Wanita itu yang bukan lain Edoh Perma-nasari, tertawa melalui dadanya. Namun ia
tidak mengindahkan. Pandang matanya tiada lepas daripada pasangan pemuda-pemudi
yang belum mengenalnya. "Simpanlah dahulu selembar nyawamu!" katanya
halus. "Kalau aku sudah memberes-kan sekumpulan anjing ini, nanti kuurus,
ja-ngan khawatir bakal tak kebagian." Seluruh pendekar di Jawa Barat
mengetahui belaka siapakah Edoh Permanasari. Dialah pendekar wanita pembenci
pasangan pemu-da-pemudi yang sedang bercumbu kasih atau yang sedang berjalan
bersama. Sekali bertemu maka akan melayanglah nyawa mereka. Maka ancaman kali
itu, sebentar lagi akan dibuk-tikan. Emon dan Saiman lantas saling pandang.
Semenjak tadi mereka sudah mengira bahwa Titisari pasti diikuti teman-temannya
dengan bersembunyi. ltulah cara bekerja anak murid Edoh Permanasari. Sekarang
Edoh Permana-sari benar-benar muncul. Dengan begitu, dugaannya sangat jitu.
"Hm!" Tanpa merasa Emon mendengus per-lahan. "Hm—apa?"
bentak Edoh Permanasari. "Kaupun akan mendapat bagian. Jangan khawatir.
Kamu sekalian anak murid him-punan tak keruan macamnya, masakan pantas
dibiarkan mengotori dunia ini?" Hebat hinaan itu. Empat orang pendekar
dari panji-panji Garuda lantas saja menggeram karena geram. Dua orang dari
mereka serentak maju ke depan. Bentaknya, "Kau siluman betina akan
berlagak di sini? Jangan harap." Edoh Permanasari tak menyahut. Ia
meram-pas secawan arak yang berada di depannya. Dengan sekali mementil, cawan
itu terbang miring sedikit dan isinya turun meluncur seperti air tertumpah.
Lalu ia membuka mulutnya dan tiada setetes arakpun terpercik ke bawah. Setelah
itu dengan perlahan-lahan cawan turun dari udara dan hinggap sangat manis di
atas telapak tangannya. Itulah suatu ilmu pelepas senjata ringan yang sudah
mencapai puncak kemahiran. Ilmu demikian baru menjadi sempurna manakala sudah
terlatih ber-tahun-tahun lamanya. Sesudah mempertontonkan ilmunya, Edoh
Permanasari segera berkata dengan halus. "Nah, siapakah yang akan
mengantarkan nyawa terlebih dahulu?" Selagi berkata demikian, tubuhnya
berkele-bat dan tahu-tahu sekalian pasangan muda-mudi mati bergelimpangan
dengan tak menyadari sebab-musababnya. Menyaksikan kekejaman itu para pendekar
Himpunan Sangkuriang tak sanggup lagi me-nahan sabamya. Bahkan Emon dan Saiman
yang tadi ketakutan setengah mati, tiba-tiba timbullah keberaniannya. Serentak
mereka menggerung. "Edoh Permanasari keparat! Namamu seperti mutiara. Tapi
hatimu bagaikan iblis!" Dengan memutar tubuhnya, Edoh Perma-nasari
menyahut. "Eh-eh... rupanya kalian tak bersabar lagi. Bukankah aku tadi
bilang, akan membereskan urusanmu manakala aku sudah selesai membereskan
anjing-anjing keparat itu?" Suami isteri pemilik kedai dan
peng-unjung-pengunjung lainnya lari berserabutan ke pojok. Tubuh mereka
menggigil menyaksikan pembunuhan mendadak itu. Lutut mereka bergemetaran dan
ada yang terkencing-kencing karena ketakutan. "Emon!" bisik Saiman.
"Kau pergilah cepat-cepat. Edoh bukan lawan kita." "Dan kau
sendiri?" Emon menegas. "Aku mencoba mengadu nyawa. Tapi bila bisa
kuhindari, aku akan menyusulmu." Pada saat itu, sekonyong-konyong salah
seorang anggota laskar Garuda menggebrak meja. Ia berkata nyaring kepada Emon
dan Saiman. "Saudara dari Obor Menyala. Marilah kita bahu membahu
menyingkirkan iblis ini. Sudah terlalu banyak ia mengambil nyawa orang tak
berdosa." Emon dan Saiman bersangsi. Benarkah kata-kata itu diucapkan
dengan setulus hati? Biasanya mereka takkan menghiraukan kesu-karan orang lain.
Sebaliknya, mendengar suara itu hati Edoh Permanasari tergetar. Betapapun juga,
sebe-narnya ia enggan membunuh anggota Him-punan Sangkuriang yang terdiri dari
dua pa-sukan. Keduanya dapat mengadu kepada pemimpinnya. Meskipun tidak perlu
takut, tetapi menghadapi dua lawan besar akan menyiutkan kedudukannya. Namun
hatinya sudah terlanjur menjadi angkuh. Tanpa berbicara lagi, ia menghunus
pedangnya dan merabu mereka dengan satu kali gerak. Mereka lantas saja
bertempur dengan seru-nya. Murid-murid Edoh Permanasari yang tadi berdiri tegak
agak jauh, segera mendekati. Selagi demikian, tiba-tiba berkelebatlah sesosok
bayangan. Dialah Titisari. "Hai, berhenti dahulu!" serunya nyaring.
Melihat munculnya Titisari, Edoh Permana-sari kaget. Ia mengira, dia salah
seorang pem-bantu lawannya. Karena itu ia malahan mem-perhebat serangannya.
Sebaliknya, Emon dan Saiman yang mengira Titisari salah seorang anakmurid Edoh
Permanasari, terhenyak seje-nak. Tapi kemudian ia menduga buruk. Terang sekali
dia pembantu iblis keparat itu, pikirnya. Dan memikir demikian, ia menyerang
Edoh Permanasari dengan tak memedulikan kesela-matan nyawanya lagi. "Baik!
Jadi kalian tak mau mendengarkan seruanku?" Titisari mendongkol. Dan
timbul-lah adatnya yang liar. Dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya melesat
dan menampar pipi mereka pulang balik dengan sangat cepatnya. Dan begitu mereka
kena tampar, sekaligus ter-hentilah gerakannya, karena kaget dan rasa kagum.
Edoh Permanasari segera sadar, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang lawan
berat. Maka dengan hati-hati ia berkata, "Eh kau siapa?" Titisari
tidak menggubrisnya. Ia menoleh kepada Emon dan Saiman yang berdiri tegak
dengan pandang menebak-nebak. "Apakah dia yang bernama Edoh
Perma-nasari?" tanya Titisari. Emon dan Saiman tak tahu lagi apakah harus
mengiakan atau tidak. Mereka saling pandang dengan penuh teka-teki. "Hm,
kalian tadi memuji-muji perempuan itu setinggi langit. Itulah sebabnya, aku
meng-ikutimu," kata Titisari. "Kamu berdua memang senang membuat aku
bercapai lelah tak ke-ruan." Mendengar ucapan Titisari, Emon dan Saiman
masih saja bersangsi. Meledaklah Saiman dengan beraninya, "Kau boleh licin
tapi jangan mimpi bisa mengelabui kami. Siapa tak tahu, bahwa kau murid iblis
itu?" "Hm aku murid iblis itu? Siapa bilang?" sahut Titisari
sambil menuding murid Edoh Permanasari. Dan melihat pekerti Titisari, Emon dan
Saiman benar-benar tercengang. Seseorang dapat melakukan tipu muslihat macam
apa pun. Tetapi memaki gurunya sen-diri sebagai iblis di depan umum, tidak
mung-kin terjadi. Memperoleh pertimbangan demikian, dari gentar mereka menjadi
lega hati. Dan diam-diam mereka menyesali diri sendiri yang tadi lari lintang
pukang karena rasa prasangka belaka. Dan baru saja mereka hendak menyatakan
salah sangkanya, Edoh Permanasari sudah berkata mendahului. "Eh, Nona.
Sebenarnya kau siapa?" Mendengar teguran itu, Emon dan Saiman bertambah
yakin akan salah sangkanya. Ia mendongkol dan geli mengingat pengalaman-nya
sendiri tadi. "Kau bertanya siapa aku?" sahut Titisari.
"Benar." "Bukankah sudah cukup terang? Aku manusia hidup."
Edoh Permanasari berubah parasnya. Tajam ia menatap wajah Titisari. Katanya
memben-tak, "Tiap orang tahu, bahwa kau manusia hidup. Tapi orang yang
tahu harga diri pastilah akan mengenalkan namanya dan asal usulnya sebelum
mati." "Siapa bilang aku akan mati?" Titisari heran. "Aku.
Kau dengar tidak?" sahut Edoh Permanasari yang tak kurang pula tajamnya.
"O, begitu?" kata Titisari dengan pandang tajam. Lalu ia tersenyum.
Berkata acuh tak acuh, "Selama hidupku paling benci aku berbicara dengan
nona tua." Benar-benar jitu penglihatan Titisari. Edoh Permanasari lantas
saja menjadi kalap seperti diketahui, pantangan besar bagi seorang wani-ta
seperti Edoh Permanasari ialah apabila luka besarnya kena dibuka seseorang di
depan umum. Maka tanpa berbicara lagi, ia terus menikam. Titisari meloncat ke
samping sambil berkata, "Eh, begini caranya Edoh Permanasari yang manis?
Maka menyerang orang yang tidak bersenjata? Baiklah, aku akan pinjam
senjata." Setelah berkata begitu, dengan sekali ber-kelebat ia sudah menggenggam
pedang ram-pasan. Itulah pedang salah seorang murid Edoh Permanasari yang tadi
turut maju. Dan melihat kegesitan Titisari, semua yang melihat kagum bukan
kepalang. "Nah, marilah kita bermain-main," tantang Titisari.
Titisari benar-benar seorang gadis usil-an. Dalam kekesalan hatinya,
kadang-kadang ia bisa berbuat di luar dugaan orang. Pada saat itu, dia sedang
dirundung suatu kemalangan besar. Hatinya tak menentu. Kadang berduka, marah,
benci dan uring-uringan. Tak mengherankan, bahwa ia ikut-ikutan pula meramaikan
suasana kedai itu tanpa tujuan tertentu. Edoh Permanasari makin sadar, bahwa
lawan yang dihadapi saat itu, bukan manusia empuk. Lantas saja ia mengumpulkan
sema-ngatnya dan menyerang Titisari dengan sehe-bat-hebatnya. Titisari sudah mewarisi
ilmu Ratna Dumilah dan sebagian ilmu sakti ayahnya, selain itu, hafal pula
guratan keris ilmu sakti Kyai Tung-gulmanik. Meskipun tenaganya belum
meng-imbangi, setidak-tidaknya dia menguasai kulitnya. Dahulupun ia pernah
membuat ka-getnya Kebo Bangah pula. Maka kali inipun, ia nampak berada di
antara angin. Sebab meskipun sudah empat puluh jurus lebih, Edoh Permanasari
belum berhasil menyentuh tubuhnya. Ruang kedai itu sudah menjadi .kalang kabut.
Meja kursi terbalik tak keruan. Piring dan cawan-cawan hancur berantakan.
Se-dangkan tamu-tamu diam-diam sudah dapat melarikan diri seorang demi seorang.
Edoh Permanasari sudah menjadi kalap pula. Merasa dirinya agak keripuhan, ia
segera memberi isyarat kepada murid-muridnya agar berjaga-jaga menghadapi kemungkinan.
Se-bagai iblis kawakan tahulah dia, bahwa pen-dekar-pendekar Himpunan
Sangkuriang pasti akan menggunakan kesempatan yang bagus itu. Dan dugaannya
ternyata tidak meleset. Begitu melihat anak-anak murid Edoh Permanasari
bergerak, dengan bersuit mereka lantas maju berbareng. Dengan kejadian
demikian, ruang kedai sudah tak keruan macamnya. Heran sungguh hati Edoh
Permanasari. Dari manakah datangnya gadis ini yang begini perkasa. Selama
hidupnya entah sudah berapa kali ia bertempur melawan musuh-musuh tangguh.
Namun menghadapi seorang lawan yang memiliki gerakan aneh dan tak terduga, baru
kali inilah. "Nona! Mendengar logat bahasamu, agak-nya kau bukan gadis
Pasundan" katanya men-coba. "Kau sudah masuk ke liang kubur, mengapa
tak dapat menutup mulutmu?" ejek Titisari. "Hm," dengus Edoh
Permanasari. "Jangan kau sangka aku dapat kaukalahkan. Lihat
pedangku!" Berbareng dengan ucapannya, ia meng-ayunkan pedangnya dengan
sepenuh tenaga. Suatu kesiur angin bergulungan dengan men-deru-deru. Titisari
kaget. Cepat ia melejit ke samping. Dan diam-diam ia berkata di dalam hati,
hebat sungguh iblis ini. Pantas ia tak terkalahkan, jangan-jangan akupun tidak
mampu berbuat apa-apa terhadapnya. Memikir demikian, ia segera menghadapi
serangan Edoh Permanasari dengan hati-hati. la selamanya seorang gadis yang
berbesar hati dan tak pernah mengenal takut. Melihat berkelebatnya pedang Edoh
Permanasari menikam dadanya, ia tak gugup. Dengan sekali menghentak, pedang
Edoh Permanasari terlepas dari tangannya. Memang pada saat itu, Edoh
Permanasari tidak menggunakan pedang pusaka Sangga Buwana. Karena itu
serangannya dapat ditangkis Titisari dengan mudah. Namun ia bukan seorang
pendekar murahan. Begitu melihat pedangnya terpental ke udara, dengan sekali
menjejak tanah ia ter-bang menyambar pedangnya. Lalu turun dengan memberondongi
beberapa tusukan. "Bagus!" seru Titisari kagum. Semangatnya lantas
tersadar. Dengan gesit ia meloncat menghindari. Selagi ia hendak membalas,
tiba-tiba terjadilah suatu perubahan di dalam kedai. Kebo Bangah muncul dan
terus saja me-nyerbu pertarungan itu. "Hai! Hai! Di manakah anakku? Di
manakah anakku?" ia berteriak tinggi bagaikan guntur. Semua yang mendengar
suara gunturnya kaget bukan kepalang. Itulah suatu tanda, bahwa ilmu orang itu
sangat tinggi. Namun mereka sedang bertempur. Sedikit lengah, jiwanya akan
melayang. Karena itu, tak berani mereka melepaskan perhatiannya terhadap
lawannya masing-masing. Seperti diketahui semenjak kena gempur Sangaji, ia
berubah ingatan. Untung dia ber-ilmu tinggi. Sekalipun kena gempuran tenaga
Sangaji begitu dahsyat, tubuhnya tidak hancur berkeping-keping. Selama
hidupnya, belum pernah ia dikalah-kan lawan. Namanya sejajar dengan Kyai Kasan
Kesambi, Gagak Seta, Adipati Sureng-pati, Pangeran Samber Nyawa dan Kyai Lukman
Hakim. Beberapa kali ia mengadu kepandaian. Hasilnya setali tiga uang atau sama
kuat. Itulah sebabnya, gempuran Sangaji benar-benar berkesan hebat dalam
dirinya. Nama Sangaji dan Bende Mataram merupakan tanda tertentu di dalam
kalbunya. Dalam rasa was-wasnya ia seperti melihat sesuatu yang menakutkan.
Namun oleh wataknya yang ulet dan mau menang sendiri, tak sudi ia menyerah
kalah. Dalam tiap-tiap kesempatan ia merasa selalu berkewajiban untuk
merebutnya. Tapi dasar otaknya sudah miring, maka tingkah-lakunya jadi
acak-acakan. Terhadap nama Sangaji, dia takut setengah mati. Tetapi ma-nakala
melihat seorang laki-laki, mendadak teringatlah dia kepada sang Dewaresi yang
hilang tiada kabarnya. Di dekat Cirebon dahulu, ia kena gertak Sangaji lagi.
Dan larilah dia tunggang-lang-gang. Setelah rasa takutnya mereda, teringatlah
dia lagi kepada tujuan hidupnya. Itulah pusaka Bende Mataram. Maka dengan
diam-diam ia mengikuti Sangaji. Tatkala itu Sangaji sedang kalap mencari
Titisari. Itulah sebabnya, ia bisa dikuntit Kebo Bangah dengan mudah. Tetapi
ilmu Sangaji kini sudah berada jauh di atasnya. Ia mencoba mengejar, sewaktu
Sangaji berlari-lari kalap. Meskipun sudah mengerahkan segenap tenaga dan
kepandaian, akhirnya ia kehilangan jejak juga. Tubuh Sangaji lenyap dari penga-matan.
Namun masih saja ia mencoba mengikuti jejaknya. Demikianlah, maka ia lari
mengarah ke barat dengan tak karuan jun-trungnya. Pada malam hari itu, ia
berputar-putar di sekitar dusun itu. Dasar ia seorang pendekar berilmu sangat
tinggi, maka pendengarannya menangkap suatu kesibukan segera ia melihat
pertarungan itu. Dan begitu melihat beberapa pemuda, timbullah ingatannya.
Terus saja ia berteriak-teriak kacau, "Mana anakku? Mana anakku?"
Mereka yang sedang bertempur tiada waktu lagi untuk meladeni. Memang sebentar
tadi, mereka kaget oleh suara guntumya. Tapi sete-lah itu, masing-masing
disibukkan oleh lawan mereka. "Hai! Mana anakku? Mana Dewaresi?" Kebo
Bangah mendesak. Karena merasa tak mem-peroleh perhatian kehormatannya
tersinggung. "Aku ini raja dari langit. Mengapa kalian menghina aku?"
bentaknya. Dan setelah membentak, ia menggempur mereka untuk memisahkan. Hebat
tenaganya. Kena tenaga saktinya, mereka terpental mundur dengan berjumpalitan.
Edoh Permanasari kaget menyaksikan keja-dian itu. Pikirnya, aku tidak membawa
pedang pusaka. Sekarang harus menghadapi tiga lawan. Meskipun mempunyai sayap,
rasanya tidak akan mampu. Memperoleh pikiran demikian, segera ia bersuit
memberi tanda anak-anak murid untuk cepat-cepat memun-durkan diri. Kemudian
berkata nyaring kepada Titisari, "Nona, sayang. Kesenangan kita
ter-ganggu. Baiklah! Begini saja, tak jauh dari sini terdapat sebuah bukit. Di
sana esok pagi kita mencari keputusan." Dengan membungkuk hormat, ia
melesat dengan diikuti sekalian muridnya. Sebentar saja tubuhnya hilang dari
penglihatan. Celaka adalah para pendekar Himpunan Sangkuriang. Setelah mereka
kena dipental-kan, Kebo Bangah memberondongi dengan pukulan dahsyat
berturut-turut. Tak ampun lagi, mereka mati terjengkang sebelum sempat membuka
mulutnya. "Mana anakku? Kalian wajib mengganti nyawa," omel Kebo
Bangah panjang pendek. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan mengawaskan Titisari
dengan tak berkejap sebentar ia terma-ngu-mangu dengan dahi mengerenyit.
Mendadak wajahnya berubah hebat. Lalu berteriak nyaring, "Hai! Bukankah
kau isteri anakku? Hai-hai... di mana anakku Dewaresi?" "Aku isteri
Sangaji," sahut Titisari acuh tak acuh. "Kau bilang apa?" Kebo
Bangah terkejut. "Aku isteri Sangaji," ulang Titisari. "Anakmu
dibunuh Sangaji dengan ilmu sakti Bende Mataram." Mendengar keterangan
Titisari, Kebo Ba-ngah menggigil ketakutan. Dan dengan berte-riak tinggi, ia
lari berjungkir balik suaranya masih terdengar menyobek kesunyian alam. Makin
lama makin jauh. Lalu lenyap. Dan kesunyian mulai merayapi jiwa yang
menekan-nekan. Kesunyian yang merangsang suatu kengerian. - Titisari kenal akan
kelemahan Kebo Bangah. Menyaksikan betapa dahulu Kebo Bangah lari
tunggang-langgang begitu kena hantaman. Sangaji, otaknya yang cerdas segera
mencatat kejadian tersebut. Ternyata dia berhasil juga. Sekarang ia
menjelajahkari pandangnya. Dalam ruang kedai penuh dengan penglihatan
rnenyedihkan. Mayat dan perabot kedai yang hancur berkeping-keping. Teringat
akan kekejaman Edoh Permanasari, pikirannya yang masih agak bingung terus saja
menyangkut soalnya sendiri. Katanya di dalam hati, hidup ini alangkah kejam.
Semua yang ada direnggutkan. Esok atau lusa. Juga Sangaji direnggut dari sisiku
pula. Siapakah yang pernah bercerita tentang suatu keaba-dian? Dengan pikiran
itu ia meninggalkan kedai tanpa tujuan. Malam sangat gelap. Tiada suara, selain
hiasan malam semenjak zaman Adam. Bintang-bintang, angin lalu, desis
mar-gasatwa, salak anjing dan kesenyapan hati. Kira-kira menjelang larut malam,
ia berhenti beristirahat di sebuah gedung rusak. Kabamya itulah bekas pemujaan
penduduk pada zaman lampau. Dan selagi ia hendak menghempaskan diri oleh rasa
lelah, men-dadak terdengarlah langkah ringan menghampiri rumah pemujaan itu.
Kemudian terdengar suara helaan napas. "Edoh memang siluman biadab. Di
mana-mana dia membunuh," kata seorang. "Itulah akibat kegagalan
cinta. Dan kega-galan itu kini meleruk kepada tiap pasangan muda-mudi yang
tidak berdosa," sahut yang lain. "Sidi Mantera! Marilah kita
membicarakan yang lain." Dua orang yang sedang berbicara itu, sesungguhnya
pendekar Sidi Mantera dan Inu Kertapati. Seperti diketahui, mereka berdua
termasuk pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang yang memegang peranan
terten-tu. "Kau memang pilih kasih. Karena kau kasih kepada Kamarudin maka
bekas tunangannya yang biadab itu pun kau sayang juga," gerutu Sidi
Mantera. "Terang-terangan ia menjadi sin-ting akibat cinta, namun engkau
berpura-pura tak mengetahui." Hati Titisari tercekat. Teringat akan
per-soalannya sendiri, mendadak ia jadi perasa. Benarkah sepak terjang Edoh
Permanasari itu, semata-mata akibat kegagalan cinta? Beberapa waktu lamanya Inu
Kertapati dan Sidi Mantera masih membicarakan sepak ter-jang Edoh Permanasari
yang makin lamamakin mengganas. Kemudian beralih kepada masalah Himpunan Sangkuriang
yang menjadi terpecah belah. Mereka berdua termasuk tokoh Himpunan Sangkuriang
bagian hubu-ngan luar. Dengan sendirinya mengetahui belaka apa yang terjadi
dalam himpunannya. Mendengar pembicaraan itu, mula-mula tiada menarik perhatian
Titisari. Maklumlah, dia lagi berduka perkara cinta kasih. Karena itu segala
pembicaraan yang tidak menyentuh atau mirip dengan masalahnya, tidak menarik
perhatiannya. Mendadak kedua orang itu menyinggung-nyinggung nama Ki
Tunjung-biru. Sekaligus terbangunlah perhatiannya. "Menurut kabar dia
tertangkap di Cirebon. Kemudian terlihat lagi dalam sebuah kemah kompeni di
Jatibarang. Agaknya, dia bakal dibawa masuk ke Jakarta," bisik lnu
Kerta-pati. "Ah, apakah Gusti Maulana Safri tidak mengetahui?" Sidi
Mantera minta ketegasan. "Hal itu, tak berani aku mendahului," sahut
lnu Kertapati. Lalu berbisik, "Apakah kau tahu, bahwa Gusti Maulana Syafri
kini mengenakan seragam militer Belanda?" Sidi Mantera mengangguk sambil
berceli-ngukan. Sementara itu lnu Kertapati mene-ruskan: "Karena itu, kau
kubawa ke mart untuk menemui beliau. Aku menemukan tanda-tanda sandinya di
tengah jalan." "Bagus! Tapi di mana?" "Belum kuketahui di
mana Beliau berada. Akupun membawa pesan Gusti Suryapranata. Beliau kini
bekerja sama dengan Lotia ) bagian barat," jawab lnu Kertapati dengan
berbisik. Mendadak dia berkata, "Hai! Apakah kau merasa diintai
orang?" "Hai! Kaupun mempunyai perasaan demi-kian?" Sidi Mantera
terkejut. Mereka berdua bercelingukan. Namun sekitarnya sunyi senyap. Sekalipun
begitu, prasangkanya sa-ngat tajam. Seperti berjanji, mereka berdiri berendeng.
Lalu berangkat mengarah ke barat. Diam-diam Titisari kagum kepada perasaan
mereka. Pikirnya: "Kalau dia bukan pendekar lama, masakan mengerti perkara
prarasa segala? Rupanya di sinipun ada pendekar-pen-dekar jempolan pula."
Titisari boleh cerdas otaknya. Namun pe-ngalaman melihat negeri lain masih nol
besar. la mengira, bahwa budaya manusia hanya ter-dapat di Jawa Tengah. Tapi
dasar berotak cerdas dan cermat, di-tambah watak usilnya, ia merasa seperti
ber-kewajiban untuk mengetahui masalah tersebut sejelas-jelasnya. Maka segera
ia menguntit dengan diam-diam. Tenaga sakti Titisari kini sejajar dengan sang
Dewaresi semasa jayanya. Tetapi di dalam hai ilmu silat ia berada jauh di
atasnya. Itulah berkat mewarisi ilmu sakti Ratna Dumilah dan hafal guratan
keris sakti Kyai Tunggulmanik. Kebo Bangah dahulu tidak bisa berbuat banyak
menghadapi perlawanannya. Bahkan pendekar gila itu sangat terkejut. Dan hatinya
jadi gentar. Karena itu, untuk mengikuti kedua pendekar Inu Kertapati dan Sidi
Mantera, tidak usah bersusah payah. Sayang, hati dan pi-kirannya masih limbung.
Mendadak saja, hatinya menjadi lemas. Sangaji, Sonny de Hoop dan dirinya
sendiri muncul dalam benaknya. Kemudian dengan pikiran was-was, ia berhenti.
Dan teringat akan masalah yang menghadang di depannya, ia jadi berputus asa.
Lalu membenci. Lalu uring-uringan. Akhirnya ia menidurkan diri di sebuah gubuk
ladang dengan acuh tak acuh. Matahari sudah berada tinggi di atas, tatkala ia
membersihkan diri di sebuah sungai. Kemudian dengan berjalan lenggak-lenggok,
ia mengarah ke barat. Oleh rasa haus dan lapar ia singgah di sebuah kedai.
Namun tiada nafsu makannya. Selagi ia membayar harga makan-annya, tiba-tiba
matanya yang tajam melihat suatu gerakan cepat. Terbangunlah semangat-nya. Dan
bergegas ia ke luar. Sekali melihat, nampaklah satu titik bayangan di kejauhan.
Betapa cepat gerakan itu, bisa dibayangkan. Pendekar dari mana dia? Rupanya di
Jawa Barat banyak terdapat pendekar-pendekar sakti. Eh, jangan-jangan dialah
yang disebut ... Suatu ingatan menusuk benaknya. Segera ia menjejak tanah dan
lari bagaikan terbang. Tatkala ia melintasi sebuah gundukan, terde-ngarlah
suatu perkelahian. Ia heran bukan kepalang. Karena yang berkelahi ialah Kebo
Bangah dengan seseorang yang mengenakan pakaian seragam kompeni. Ah, apakah dia
yang semalam disebut Gusti Maulana Syafri? pikirnya. Ingatan Titisari memang
tajam. Meskipun dalam keadaan lim-bung, masih bisa menyimpan suatu per-cakapan
selintasan dalam ingatannya. Sebab yang berkelahi itu, memang Maulana Syafri.
Dan pada saat-saat bahaya mengancam, muncullah dia menolong Maulana Syafri. Dan
demikianlah, setelah terjadi suatu rente-tan percakapan, ia tertidur kecapaian
menjelang fajar hari. Aneh bunyi percakapan itu. Lebih aneh lagi adalah Maulana
Syafri. la seorang raja muda yang pernah malang melin-tang ke segala penjuru.
Sakti dan senang membawa kemauannya sendiri. Tetapi ber-temu dengan Titisari,
mendadak saja ia jadi penurut. Melihat Titisari tertidur sesudah menangis
terus-terusan, terbintiklah suatu rasa yang susah untuk diceritakan. Ia tidak
mengganggunya atau mengusiknya. Bahkan menjaganya seolah-olah kaki dan
tangannya terbelenggu oleh suatu kekuatan yang tidak dimengertinya sendiri.
Terasa pada diri manusia: dalam hidup ini berlaku kisah timbal-balik. Sejarah
mengkon-sepi manusia. Kemudian hidup menuntut manusia mengkonsepi sejarah. Dan
kejadian tim-bal balik ini, terjadi semenjak sejarah kemanu-siaan ada dan akan
berlaku sampai manusia tiada lagi dalam persada jagat. Sekarang hai itu terjadi
pada diri Titisari, Maulana Syafri telah terikat dengan alasan-alasan yang
tidak dimengertinya sendiri. Lalu hidup mulai meng-gerayangi tubuh gadis itu.
Mendadak saja Titisari memperoleh kesegarannya kembali. Ia seolah-olah sudah
bertemu kembali dengan dirinya sendiri. Hanya terjadi beberapa jam setelah
tertidur pulas menjelang fajar hari. Tatkala menjenakkan mata, dilihatnya
Maulana Syafri duduk bersandar pada sebuah batu. Agaknya ia tertidur pula.
Namun dia se-orang sakti. Ilmunya tinggi. Begitu Titisari bergerak, ia sudah
menyapa: "Sebelah utara mengalir suatu sungai yang cukup bening airnya.
Mandilah dahulu!" Sudah seringkali Titisari bergaul dan menge-nal
orang-orang sakti seperti Maulana Syafri. Sekalipun demikian, tak urung hatinya
kagum juga. Hal itu ada sebabnya, Ia mengira, bahwa hanya di Jawa Tengah saja
yang terdapat orang orang sakti seperti Gagak Seta, ayahnya sendiri, Kyai Kasan
Kesambi, Ki Hajar Karang-pandan dan murid-murid Gunung Damar. Maka dengan tersenyum
manis, berangkatlah ia ke sungai. "Paman, kau baik hati. Karena itu,
akupun mau berbaik hati pula," katanya setelah mandi. Ia datang dengan
membawa serenteng ikan. Melihat Maulana Syafri sudah member-sihkan badan pula,
tahulah dia bahwa orang itu akan segera berangkat. Ia cerdik. Hal itu sudah
diduganya terlebih dahulu. Maka sengaja ia hendak memasak ikan seperti yang
pernah disajikan dahulu kepada Gagak Seta. Dan ter-ingat akan akal itu,
teringatlah dia pula kepada si tolol Sangaji. Hatinya lantas saja berduka,
tetapi tidak pernah lagi seperti hari-hari kemarin. "Nona..." kata
Maulana Syafri. Tetapi belum lagi ia meneruskan perkataannya, Titisari sudah
memotong. "Meskipun kesehatanmu lebih baik daripada kemarin, tapi kurasa
belum pulih seperti sedia-kala," katanya. "Aku tahu, kau memang akan
segera berangkat untuk menemui seseorang." Mendengar ujar Titisari,
Maulana Syafri kaget sampai berjingkrak. Itulah suatu rahasia besar yang akan
membawa runtuh atau ba-ngunnya Himpunan Sangkuriang. Mengapa sampai diketahui
orang luar? Tapi sekali lagi, belum juga mulutnya membuka Titisari sudah
mendahului dengan membawa sikapnya acuh tak acuh. "Paman mengenakan
pakaian militer. Kalau tidak bermaksud menemui seseorang, ma-sakan sampai
meninggalkan tangsi perkemah-an?" Hati Maulana Syafri lemas sekaligus. Ia
be-nar, pikirnya. Dan diam-diam ia mengutuki kegoblokannya. "Nona, kau
cerdik. Aku memang hendak menemui seseorang. Tapi tahukah engkau, siapa yang
bakal kutemui?" ia mencoba memancing. Titisari bukan Titisari, kalau tak
pandai menebak hati orang. Maka sambil membakar ikannya, ia menyahut dengan
suara ketololan. "Mengapa tak tahu? Semalam dunia digem-parkan oleh sepak
terjang Edoh Permanasari. Dan kau ingin menangkapnya, bukan?" Lega hati
Maulana Syafri, karena gadis itu ternyata tidak mengetahui siapa yang hendak
ditemui. Maka ia tertawa terbahak-bahak. "Ya betul. Betul! Kau memang
cerdik. Edoh memang keterlaluan. Dia harus menerima hukumannya. Inilah
kewajibanku sebagai ser-dadu, dibayar untuk menjaga keamanan." Maulana
Syafri mengira, bahwa dirinya sudah cerdik. Tak tahu, dia malahan kena
di-selomoti gadis itu. Titisari tahu, bahwa seorang yang bernama Gusti
Suryapranata membawa pesan yang akan disampaikan lewat kedua pendekar tadi
malam. Melihat Maulana Syafri membawa lagak pandir, diapun berlagak lebih
pandir lagi. "Kalau dibandingkan dengan Edoh, ma-nakah yang lebih tinggi.
Ilmuku atau ilmu iblis Itu?" Maulana Syafri beragu-ragu. Setelah ber-pikir
sebentar ia menjawab, "Betapa aku bisa menilai ilmumu, Nona. Belum pernah
aku melihat ilmumu meski hanya sejuruspun. Sebaliknya aku kenal Edoh
Permanasari. Dia seorang ketua dari suatu himpunan pendekar. Anak murid dan
pewaris ilmu sakti Ratu Fa-timah." "Baik, baik, kau mau bilang, aku
tak becus melawan dia, bukan?" "O, tidak, tidak, *" buru-buru
Maulana Syafri memotong. Dia tak mau menyakiti hati gadis itu. Terus berkata
ngerocos. "Soalnya... soal-nya, karena aku belum pernah melihat
jurus-mu..." "Tapi kau bilang, dia pewaris ilmu sakti Ratu Fatimah.
Bukankah engkau sudah meren-dahkan aku? Sebenarnya siapakah Ratu Fatimah yang
nampaknya kaukagumi itu?" Titisari masih saja membawa sikap
ketolol-tololan. Maulana Syafri terdiam sejenak. Coba kalau pertanyaan itu
datang dari seorang yang bukan Titisari pasti ia akan menjawab dengan segera.
Sebaliknya karena khawatir akan menyakiti hati gadis itu, ia jadi beragu.
"Baik, baik..." Titisari menggerutu. "Kita ma-kan dahulu.
Sebentar lagi aku akan mencari Edoh Permanasari. Kalau aku dapat meme-nangkan
iblis itu, apa taruhanmu?" Seperti diketahui, sebelum Edoh Perma-nasari
meninggalkan kedai, ia mengajukan tantangan terhadap Titisari di sebelah bukit
yang nampak tak jauh lagi. Maulana Syafri tak tahu hai itu. Pikirnya, anak ini
berotak cerdas serta cerdik tapi mulutnya besar pula. Hm... Edoh Permanasari
seorang perempuan besar kepala. Masakan dia sudi melayani seorang perempuan
yang masih asing baginya? Tapi baiklah aku jangan menyakitkan hatinya. Dan
setelah berpikir demikian, dengan didahului tertawa nyaring, ia berkata:
"Kau bisa berlawanan dengan Edoh, itulah bagus sekali. Meskipun andaikata
kalah, tidak akan mema-lukan." "Bagus! Kau memang pandai menghina
seorang perempuan muda belia seperti aku. Bagus! Bagus!" Titisari
mengomeli. Dan buru-buru, Maulana Syafri menyahut gugup. "Bukan begitu,
bukan begitu... Maksudku, Edoh mempunyai senjata andalannya. Itulah pedang
pusaka Sangga Buwana. Pusaka mustika yang tiada taranya di jagat ini."
"Hm, jadi kau mau bilang, bahwa pedang lebih hebat dari manusia?"
"Bukan begitu... bukan begitu!" "Kau bilang dia pewaris Ratu
Fatimah. Siapa sih Ratu Fatimah? Kalau dibandingkan dengan aku, mana yang lebih
unggul?" Didesak demikian, mau tak mau Maulana Syafri menggaruk-garuk
kepala. Dalam pada itu, ikan telah selesai dibakar. Dengan bumbu sedikit,
Titisari menyajikan. Tapi dasar berta-ngan iblis, masakan sesederhana itu
alangkah lezat. Maulana Syafri sampai tak tahan me-nguasai nafsunya.
"Nona, rupanya kau beri racun sampai aku begini jadi tergila-gila,"
serunya. Kali ini dia tak berpura-pura. Gagak Seta dahulu memuji tangan
Titisari yang bisa menyulap segala masakan sederhana menjadi lezat nyaman. Maka
pujian Maulana Syafri benar-benar ter-bersit dari lubuk hatinya. "Kau
janganlah berbicara yang bukan-bukan. Kalau kuberi racun benar-benar, bukankah
pada saat ini nyawamu sudah berpesiar di tinggi sana?" kata Titisari.
Maulana Syafri tak jadi sakit hati. Ia malahan menjadi senang. Kebetulan pula,
perutnya sudah lapar. Maka dengan lahap ia menggeru-muti ikan bakaran yang
disediakan. "Paman! Senangkah engkau memakan masakanku?" kata
Titisari. "Tentu. Engkau bidadari pandai memasak," puji Maulana
Syafri. "Kau senang, tapi aku tidak." "Mengapa?" Maulana
Syafri terkejut. "Dua kali kau menyebut Ratu Fatimah. Dan aku sudah menyajikan
beberapa ekor ikan. Namun engkau tak sudi mengabarkan siapa Ratu Fatimah.
Bukankah hatiku jadi tak senang?" "Ah!" Maulana Syafri
terhenyak. Sejenak kemudian seperti tersadar. Lalu berkata menyesali diri:
"Ya, benar rupanya aku manu-sia tak kenal budi." Maulana Syafri
sebenarnya manusia paling sulit untuk diajak berbicara. Selamanya ia be-kerja
seorang diri. Sifatnya angkuh, tinggi hati dan menyendiri. Tapi dengan Titisari
apa sebab mendadak dapat merubah adat? Hal itu dise-babkan, karena Titisari
dapat mengenai sasaran hatinya dengan jitu. Gadis itu sudah terlalu mengenai
lagak-lagu pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Menghadapi golongan mereka,
jangan harap apabila hanya dihidangi laku sem-bah, memuji-muji atau menjilat
hati. Seringkali mereka bahkan menjadi muak. Itulah dise-babkan, karena mereka
merasa diri tergolong manusia bijaksana. Manusia yang menganggap dirinya selalu
benar dan sempuma, sehingga tidak perlu lagi menerima tambahan dari luar.
Sebaliknya seringkali mereka terjebak oleh se-rentetan kata-kata yang dapat
menunjukkan kekurangannya, sehingga membuat hatinya menjadi penasaran dan iri
hati. Selamanya Maulana Syafri menganggap dirinya manusia jempolan tanpa
tanding. Di luar dugaan, ia ketemu batunya. la nyaris ter-cabut nyawanya oleh
Kebo Bangah. Dan pada saat itu muncullah Titisari, yang dapat menun-jukkan
kekurangannya. Hanya dengan sepa-tah kata saja, Kebo Bangah dapat dibuatnya
lari tunggang langgang. Hal itu benar-benar menarik perhatiannya. Dengan tak
sadar, dia sudah menerima kalah. Kemudian ia mencoba menaikkan derajat dengan
istilah hutang piutang budi. Tapi de-ngan jitu, Titisari dapat memutar balik
ke-nyataan, sampai dia merasa diri sudah berbuat tak pantas terhadap seorang
gadis muda belia dengan istilah main paksa. Kemudian ia mencoba mengenal watak
Titisari. Tetapi Titisari dengan cerdik dapat membuat bingung pendekar itu
dengan sikap mengomeli, menggerendengi, mencela dan menangis pilu. Gntuk ketiga
kalinya, ia mera-sakan kekurangannya. Dan yang penghabisan, ia sudah
menggeru-muti masakan gadis itu, sedang ia belum berbuat sesuatu kepadanya
sebagai balas budi yang kemarin ditonjol-tonjolkan. Teringat hal itu, ia
menjadi malu dengan sendirinya. "Memang benar pepatah kuno: rasa cinta
dapat pula direbut melalui perut, katanya. Meskipun tidak demikian, akupun sudah
se-pantasnya wajib membuat senang hatimu. Bukankah aku sudah bersedia menjadi
budak-mu?" "Siapa bilang aku ingin mengambil engkau menjadi budak?
Aku hanya berpura-pura," sa-hut Titisari. "Sudahlah ... sudahlah ...
Kalau kau tak sudi memberi keterangan, aku bukan manusia yang biasa main paksa.
Memangnya siapa tak tahu, bahwa engkau pernah kalah melawan kegagahan Ratu
Fatimah...." "Eh, siapa bilang begitu?" Maulana Syafri kaget
sampai berjingkrak. "Aku kalah dengan Ratu jahanam itu? Mana bisa? Mana
bisa? ... Dia memang hebat. Tetapi untuk dapat me-ngalahkan aku, jangan
bermimpi. Soalnya, karena dia memiliki pedang mustika yang tiada taranya di
dunia ini. Sehingga tidak dapat ia didekati. Nona, kau masih anak kemarin sore.
Betapa mengenal pedang mustika Sangga Buwana? Meskipun engkau bersenjata apa
saja tiada gunanya. Karena hanya dengan satu kali tebas saja, senjatamu akan
terajang seperti sayur-mayur." "Paman! Kulihat umurmu dengan Edoh
Permanasari tiada seberapa selisihnya. Tapi menilik kata-katamu, engkau seperti
pernah ismoyo bertempur melawan Ratu Fatimah. Benarkah itu?" kata
Titisari. Mendengar pertanyaan Titisari, Maulana Syafri terhenyak sebentar.
Wajahnya berubah. la seperti mengiakan, tapi batal dengan sendiri. Bukankah dia
mengenakan pakaian seragam militer untuk menghilangkan jejak? Kalau ia sampai
membenarkan, pastilah gadis itu akan mengejar terus. Dan mau tak mau, ia akan
ter-paksa menerangkan siapa dia sebenarnya. Tentu saja ia tak menghendaki
terjadi demi-kian. Itulah sebabnya setelah menghela napas, ia berkata
mengalah., "Ya benar, aku memang seorang pembual. Pantas kau kemarin
menya-makan aku dengan burung gagak. Sesung-guhnya ujarku tadi hanyalah tutur
kata orang. Tetapi pedang mustika Sangga Buwana benar-benar bukan omong kosong.
Pedang itu kini jatuh di tangan Edoh Permanasari pewaris-nya. Hai, kau bisa
membandingkan umurku dengan umur Edoh Permanasari. Apakah engkau pernah
berjumpa?" Titisari tidak melayani. Ia memperbaiki pakaiannya. Kemudian
berkata, "Hari ini aku akan mengadu untung dengan dia. Kau ikut,
tidak?" Setelah berkata demikian, dengan acuh tak acuh ia berjalan
mendahului. Hati Maulana Syafri tercekat. Pikirnya, Edoh Permanasari bukan
pendekar murahan. la benar-benar mewarisi ilmu Fatimah. Aku sendiri kena luka
dalam. Meskipun andaikata aku dalam keada-an segar-bugar, belum tentu aku bisa
men-dekati pedang Sangga Buwananya. Hm, kalau iblis itu sampai dapat
mencelakakan gadis ini, dimanakah aku harus menempatkan mukaku dalam percaturan
hidup? Memperoleh pikiran demikian, buru-buru ia menghampiri seraya berkata
mencoba. "Nona, apakah engkau pernah berhadapan muka dengan iblis
itu?" Titisari tertawa geli. "Kau mencemaskan aku, itulah bagus
sekali. Paman nampaknya memiliki ilmu tinggi, masakan aku takut akan segalanya.
Kemarin Paman dapat bertahan melawan pendekar gila itu sampai hampir se-ratus
jurus. Itulah suatu bukti bahwa Paman termasuk seorang pendekar kelas
tinggi." Meskipun Maulana Syafri tidak sudi mem-perkenalkan diri, Titisari
sudah dapat menebak siapa dia sebenarnya. Hanya saja, ia tak mau mendesak. Ia
tahu, hal itu merupakan panta-ngan besar bagi seorang pendekar yang sengaja
melenyapkan jejaknya. Namun ia seorang gadis cerdik. Ia dapat mencari jalan
Iain, untuk membuka topeng raja muda Himpunan Sangkuriang itu. Dalam pada itu Maulana
Syafri tertawa ter-bahak-bahak sambil berkata, "Mana bisa aku tergolong
seorang pendekar kelas tinggi. Melawan seorang gila saja, tidak mampu."
Titisari tertawa geli. Sahutnya, "Kau ikut-ikutan pula menamakan dia
seorang gila. Tapi tahukah engkau, siapa dia sebenarnya?" Kembali hati
Maulana Syafri tercekat. Pendekar lawannya kemarin memang bukan orang
sembarangan. Selama hidupnya baru kali itu ia menghadapi seorang lawan tangguh.
Malahan ia harus mengakui, seumpama tiada Titisari pastilah jiwanya sudah
melayang. Teringat betapa hanya dengan sepatah kata lawannya dapat dibuat lari
tunggang-langgang oleh Titisari, besar dugaannya bahwa gadis itu pasti
mempunyai sangkut pautnya. Maka dengan terbata-bata ia berkata, "Ah! Ya,
aku memang manusia goblok. Nona, kemarin hanya menyebut nama Sangaji dan dia
lari tunggang langgang. Apakah Nona bernama Sangaji?" . "Hm, kau
memang pandai main paksa lagi." "O, bukan begitu. Bukan begitu,
maksud-ku." Maulana Syafri gugup. "Betapa aku berani memaksamu?"
"Baiklah kalau begitu, cobalah jawab per-tanyaanku dengan jujur. Kalau
Paman berlagak bodoh, saat ini tak sudi lagi aku berhu-bungan dengan
Paman," kata Titisari. "Apakah itu?" Maulana Syafri khawatir.
Titisari menatap wajah Maulana Syafri se-olah-olah hendak mencari keyakinan.
"Di dunia ini, siapakah manusia yang paling tinggi ilmunya?"
Mendengar pertanyaan itu Maulana Syafri kaget. Itulah suatu jebakan yang susah
dihin-dari. Sebagai rekan Ki Tunjungbiru, sudah barang tentu ia tahu siapakah
tokoh-tokoh sakti pada zaman itu. Kalau dia berlagak bodoh, babipun tidak akan
percaya. Sebalik-nya kalau dia menjawab dengan sebenarnya, samalah halnya
dengan membuka kartunya sendiri. Dalam kebimbangannya timbullah sifat aslinya.
"Baiklah, biar aku menyenangkan hatinya. Kalau kesehatanku sudah pulih
kembali, apakah susahnya mencabut nyawanya. Cuma saja aku belum mengetahui
siapa dia sesungguhnya. Memperoleh keputusan demi-kian, ia lantas berkata:
"Aku ini orang udik. Janganlah Nona menertawakan kebodoh-anku."
"Kau bilang orang udik atau orang hutan, sesukamulah," Titisari
tersenyum. "Sepanjang pengetahuanku berjumlah tujuh orang. Yang pertama,
Mangkubumi 1. Kedua, Kyai Kasan Kesambi. Ketiga, Adipati Sureng-pati. Keempat,
Gagak Seta. Kelima, Kyai Haji Lukman Hakim. Keenam: Kebo Bangah. Dan yang
ketujuh Pangeran Mangkunegara 1 atau yang terkenal dengan nama Pangeran Samber
Nyawa. Benarkah itu?" "Bagus! Begitulah baru boleh dikatakan se-orang
sahabat. Dan tahukah engkau siapa lawanmu kemarin?" Maulana Syafri
bergeleng kepala. "Dialah pendekar Kebo Bangah," kata Titisari. Dan
mendengar keterangan Titisari, Mau-lana Syafri kaget sampai berjingkrak.
"Benarkah dia pendekar sakti Kebo Bangah?" ia menegas. Titisari
mengangguk. Dan Maulana Syafri menjadi lemas. la memang mengenal nama
tokoh-tokoh sakti itu. Tetapi hatinya sesung-guhnya tidak mengakui, karena ia
terlalu per-caya kepada kesanggupannya. Sekarang ia ternyata kalah melawan
pendekar Kebo Bangah. Maka kepongahan serta ilmu yang diagul-agulkan,
runtuhlah. "Dan kau tahu, siapakah aku sebenarnya?" kata Titisari
menguji lagi. Dengan kepala ko-song, Maulana Syafri menengadahkan muka-nya.
"Cobalah tebak!" kata Titisari. Lalu ia berkelebat memainkan
jurus-jurus Ratna Dumilah yang dicampuradukkan dengan sekelumit sakti Witaradya
warisan ayahnya. Memang, Titisari bermaksud hendak membu-atnya takluk. Ucapannya
ingin mengambil Maulana Syafri, sebagai budak. Sesungguhnya tak jauh dari
maksud sesungguhnya. Itulah disebabkan ia tahu, bahwa Maulana Syafri ter-masuk
salah seorang raja muda Himpunan Sangkuriang yang didengarnya dari mulut Inu
Kertapati dan Sidi Mantera semalam. Kalau dia bisa menaklukkan Maulana Syafri
dengan kecerdikannya, bukankah akan merupakan alat yang dapat diandalkan untuk
merebut Sangaji kembali dari sisi Sonny de Hoop? Maulana Syafri boleh cerdik
dan berpenge-tahuan tinggi, tetapi macam ilmu tokoh-tokoh sakti yang disebutkan
tadi sesungguhnya baru dikenal namanya belaka. Selamanya ia me-nyekap diri
dalam wilayah Jawa Barat. Karena itu, dia tak sempat menjenguk keragaman ilmu
sakti lainnya yang terdapat di persada bumi ini. Dan hal itu termasuk dalam
perhi-tungan Titisari yang cerdik. Makin Titisari memperlihatkan
jurus-jurus-nya, makin besar teka-teki yang terjadi dalam otak Maulana Syafri.
Itulah tujuan Titisari sebenarnya. Dengan kepala terus berteka-teki, ia
mempunyai harapan untuk mengikat pen-dekar tokoh Jawa Barat itu. Dan hal ini
benar-benar jitu mengenai sasaran watak pen-dekar sakti Maulana Syafri. Sebagai
puncak dari pertunjukan, Titisari memperlihatkan sejurus guratan ilmu Kyai
Tunggulmanik. Kemudian melesat dengan mendadak memasuki kampung. Maulana Syafri
seperti tersadar. Lantas lari mengejar sambil berseru nyaring. "Nona!
Nona! Tunggu! Bukankah aku sudah bersedia menjadi budakmu?" Perempuan
bukan perempuan, kalau tidak dapat membuat pusing laki-laki. Hampir melampaui
tengah hari, Titisari terus membuat Maulana Syafri berteka-teki. Gadis itu
keluar masuk desa untuk mencari biji sawo, biji asam dan kerikil tajam. Dan
selama itu Maulana Syafri berusaha mencari keterangan seba-nyak-banyaknya
tentang dirinya. . "Nona, sebenarnya kau siapa?" tanyanya berulang
kali. "Paman! Daripada kau merengek-rengek, bukankah lebih baik kau
menceriterakan ten-tang Edoh Permanasari?" sahut Titisari acuh tak acuh.
"Nona, aku ini seorang serdadu. Pe-ngetahuanku tak lebih daripada
pendengaran orang." "Bagus, berbohonglah terus!" Titisari
meng-omeli. Sepak terjang seorang pendekar memang aneh buat ukuran umum. Kalau
umum meng-anggap benar, dia menganggap salah. Seba-liknya kalau salah,
dianggapnya benar. Menu-rut akal, Maulana Syafri dapat meninggalkan Titisari
tanpa banyak berpusing-pusing. Tetapi apa yang terjadi di dalam diri Maulana
Syafri mempunyai pengucapan sendiri. Makin ia menghadapi teka-teki, makin ia
jadi terpikat. Sialnya, ia berlawanan dengan Titisari. Di du-nia ini, siapakah
yang dapat mengadu kecer-dikan dengan dia? Ayahnya sendiri merasa kuwalahan.
Menimbang bahwa gadis itu pasti akan me-ngajaknya berputar-putar dari desa ke
desa tanpa tujuan, Maulana Syafri lalu menang-galkan pakaian militernya. Ia
mengenakan pakaian jubah Persia dan kembalilah dia sebagai salah seorang tokoh
besar Himpunan Sangkuriang yang disegani. Semuanya itu tidak luput dari
perhatian Titisari, namun gadis itu bersikap seolah-olah tiada mengacuhkan.
Kata Maulana Syafri mencoba, "Nah Nona, sekarang bagaimana kesan
diriku?" "Sayang tidak mirip budakku lagi," sahut Titisari
sambil mencibirkan bibirnya. Men-dengar kata-kata Titisari yang selalu bernada
menjengkelkan hati, mau tak mau Maulana Syafri tersenyum geli juga. Ia hendak
membuka mulut, seko-nyong-konyong terdengariah suara kentung tanda bahaya. Di
sebelah barat daya nampak api dengan asapnya membumbung tinggi. "Hm, siapa
lagi kalau bukan perbuatan Edoh Permanasari," kata Titisari. Dugaan
Titisari memang jitu. Semalam, iblis perempuan itu merasa tak puas karena tak
dapat mengumbar kemauannya oleh rintangan-rintangan yang datang dengan
berturut-turut. Oleh rasa jengkelnya, ia meninggalkan kedai dengan hati
uring-uringan. Dan sebagai biasanya, ia lantas mencari korban. Dua buah desa
dibakarnya sekaligus. Dengan berlari-larian, Titisari dan Maulana Syafri
mendaki ketinggian. Kemudian melesat seolah-olah sedang beriomba mengadu ilmu
lari. Dan diam-diam Maulana Syafri kagum pa-danya. "Hebat, anak ini"
kata Maulana Syafri di dalam hati. "Biariah kucoba sampai di mana dia
mengenal ilmu berlari kencang." Memikir demikian, segera ia menancap gas.
Tubuhnya berkelebat mendahului Titisari dengan cepat. Titisari tak mau
mengerti. Ia segera mengelu-arkan ilmu berlari cepat khas ajaran ayahnya.
Kemudian dicampur dengan ilmu petak ajaran pendekar sakti Gagak Seta. Ia
berotak cerdas. Dengan menggabungkan dua ilmu itu, hasil-nya luar biasa bagus.
Tubuhnya lantas saja melesat bagaikan terbang. Dalam hal tenaga dan keuletan,
tentu saja ia kalah jauh daripada Maulana Syafri. Untung jarak yang hendak
mereka capai tidak seberapa jauhnya. Dengan demikian, gadis itu dapat
mengimbangi larinya Maulana Syafri. Malahan makin lama makin cepat. Akhirnya
berhasil mendahului beberapa langkah di depan. Dan betapa Maulana Syafri
memusatkan semangatnya, tetap saja ia tak mampu menjajari. Hai! Benar-benar
ajaib! pikirnya. Meskipun ilmu lariku belum tergolong kelas wahid, tetapi pada
zaman ini aku hanya dikalahkan oleh Simuntang atau Tatang Sontani. Sebaliknya
gadis ini berada di atasku. Murid siapa dia? Ah, pasti asal-usul gadis ini
bukan sembarangan. Kalau aku bisa menggu-nakan tenaganya, bukankah bagus untuk
kemakmuran Himpunan Sangkuriang? Me-mikir demikian, hatinya bergembira.
Bulatlah keputusannya, tidak akan meninggalkan gadis ini seperti pikirnya
semula. Dan demikianlah raja muda Maulana Syafri yang sudah kenyang makan
garam, berada dalam pikirannya yang timbul tenggelam oleh sepak terjang
Titisari yang serba jitu menawan hati orang. Selagi ia berpikir demikian, tubuh
Titisari sudah berkelebat memasuki dusun. Tatkala ia menyusul, dilihatnya
Titisari sudah bertempur melawan tiga orang tokoh yang dikenalnya. Itulah: Ratu
Kenaka, Sindung Riwut pendekar Gunung Gembol dan Kusuma Winata pendekar dari
Gunung Mandalagiri. Titisari melawan mereka bertiga dengan pedang rampasannya.
Gesit gerak-gerik gadis itu. Meskipun dikerubut tiga pendekar tokoh-tokoh Jawa
Barat, untuk sementara masih dapat ia mengimbangi. Malahan sekali-kali, ia
dapat mengadakan serangan balasan. Ah, benar-benar bukan gadis sembarangan.
Maulana Syafri kagum benar-benar. Ia menghela napas. Sebagai seorang raja muda
yang sudah banyak berpengalaman, tahulah dia bahwa mereka datang semata-mata
untuk mencari dirinya. Itulah disebabkan, karena ia pernah membunuhi anak-anak
murid mereka demi mencari keterangan tentang hilangnya Ratu Bagus Boang
junjungannya. Menghadapi penuntunan dendam mereka hatinya tidak gentar. Masih
sanggup ia melayani. Hanya saja, ia kini belum pulih seperti sediakala. Maka mau
tak mau, ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Tatkala menoleh, ia
meli-hat berkelebatnya pendekar Tatang Manggala. Hatinya tercekat. Bukan ia tak
mampu melawannya, tetapi dengan berkumpulnya empat tokoh golongan tinggi,
meskipun mempunyai sayap takkan mampu mengalahkan. Aku sendiri kalau mau bisa
lantas lari. Tapi apakah dia dapat kubuat mengerti? la mengerutkan dahi.
Setelah berbimbang-bimbang sebentar, ia lantas melompat maju sambil membentak.
"Nona jangan takut! Aku bantu!" Dengan beberapa lompatan ia sudah
berada di belakang pendekar Sindung Riwut kemudian menikam dengan pedangnya.
Antara Titisari dan ketiga pendekar tersebut tiada permusuhan. Kedua belah
pihak sebe-narnya terjadi suatu kesalahan paham. Titisari melihat berkelebatnya
Edoh Permanasari. Dan ia segera memburu. Sedangkan ketiga pendekar tersebut
meskipun bukan termasuk golongan pendukung laskar perjuangan Jawa Barat yang
memusuhi Ratu Fatimah, tidak menyetujui sepak terjang Edoh Permanasari yang
ganas membakari kampung serta main bunuh terhadap pemuda pemudi yang sama
sekali tak berdosa. Waktu mereka lewat desa itu dalam mencari Maulana Syafri,
dilihatnya Edoh Permanasari beraksi membakar desa dan membunuh penduduk. Terus
saja mereka melompat memburu. Sekali melompat, mereka berpapasan dengan
Titisari. Mengira Titisari salah seorang murid Edoh Permanasari, terus saja
mereka bergerak mengurung. Dan Titisari mendongkol kena dirintangi mereka.
Dalam kemendongkolannya, ia merabu ketiga pen-dekar tersebut dengan tikaman
cepat. Demi-kianlah, mereka bertempur dengan amat seru-nya. Sekarang muncullah
Maulana Syafri dengan tiba-tiba. Inilah yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba.
Mereka bertiga tergolong pendekar kelas wahid. Selamanya mereka bergerak dengan
penuh perhitungan, cermat dan hati-hati. Tujuan mereka turun gunung semata-mata
hendak mencari musuh besarnya itu. Perkara perbuatan Edoh Permanasari meskipun
bertentangan dengan angger-angger kemanu-siaan, bisalah diselesaikan di
kemudian hari. Karena itu seperti berjanji mereka meninggalkan Titisari, Lalu
mengepung Maulana Syafri dengan berteriak tinggi. "Ah Maulana, Maulana!
Jauh-jauh aku men-carimu. Kenapa kau baru muncul sekarang?" Maulana Syafri
tertawa melalui hidung. la sadar, ketiga lawannya sangat berat. Belum tentu ia
dapat merebut kemenangan dengan mudah. Namun ia berlega hati. Sebab tujuan-nya
memang hendak memancing mereka agar menjauhi Titisari. Setelah itu ia akan
mencari akal lain. "Kamu bertiga sebangsa kurcaci hendak mencari aku?
Apakah andalanmu? Mari-maji ... Hari masih cukup panjang. Masih cukup leluasa
buat mengadu kepandaian," katanya lantang. Setelah berkata demikian, ia
mem-berondongi dengan tikaman kilat. Hebat tika-mannya. Kalau saja bukan mereka
bertiga, pastilah sudah berhasil. Meskipun demikian untuk menghindari tikaman
kilat itu, mereka terpaksa melompat mundur dengan berjumpalitan. Setelah dapat
berdiri dengan tegak, ternyata masing-masing lengannya tergarit juga ujung
pedang. Maka bisa dibayangkan betapa cepat tikaman itu. Dan benar-benar Maulana
Syafri termasuk tokoh pendekar yang susah diukur kepandai-annya. Dalam pada itu
Titisari yang telah terlepas dari kurungan para pendekar-pendekar segera
melesat memburu ke arah barat. Di depannya sebuah rumah terbakar hebat.
Kemudian terdengar bayi menangis. Berbareng dengan tangis itu, terdengar pula
suara pilu memekik tinggi: "Jangan sentuh anakku! Jangan sentuh
anakku!" • Itulah suara seorang wanita berumur dua puluh tahunan. Kemudian
suatu bayangan berkelebat melesat ke halaman. Dan wanita muda yang memekik
pilu, nampak memburu ke luar. Dialah rupanya ibu dari bayi yang kini kena
didukung bayangan itu. "Anakku, kembalikan! Kembalikan!" teriak-nya
lagi dengan suara parau. Bayangan itu, ternyata Edoh Permanasari. Dengan
langkah lenggak-lenggok dan tertawa senang, ia menyahut: "Salahmu sendiri
kena-pa sampai mempunyai anak." "Salah bagaimana," wanita muda
itu bi-ngung. "Hm, kenapa bukan aku yang mempunyai anak? Kenapa kau?"
sahut Edoh Permanasari bergusar. Seperti diketahui Edoh Permanasari benci
kepada semua hal yang berbau cinta kasih. la beriri hati manakala melihat
sepasang suami isteri dapat hidup berbahagia. Dan lebih-lebih terhadap sepasang
suami isteri yang dikurniai seorang anak pada tahun tahun pertama setelah
mereka kawin. Itulah dise-babkan, karena dia sendiri gagal dalam hal kisah
asmara. Ia merasa dikhianati laki-laki pujaan hatinya. Oleh dendam hati, ia
benci terhadap semua laki-laki. Lalu rasa dendam dan bencinya dilampiaskan
terhadap sepasang makhluk yang seolah-olah mengejek padanya. Titisari
mengetahui hal itu dari pembicaraan pendekar lnu Kertapati dan Sidi Mantera
tatkala sedang berteduh di sebuah rumah pemujaan. Mendengar kisah Edoh
Permanasari, ia agak tertarik. Itulah berhubung diapun lagi mengalami nasib
demikian. Tetapi melihat kekejaman dan keganasan Edoh Permanasari, hatinya yang
luhur tidak dapat membiarkan. Maka begitu menyaksikan penderitaan wanita muda
itu yang menangisi jiwa anaknya, segera ia bertindak. Dengan bersuit, ia
melompat sambil membentak. "Lepas!" Mendengar bentakan serta melihat
berkele-batnya suatu bayangan, hati Edoh Permana-sari tercekat. Namun ia
seorang pendekar wa-nita yang sudah berpengalaman. Dalam rasa kagetnya, masih
bisa ia berlaku tenang. Ia me-ngibaskan pedangnya sambil menjejak tanah. Dan
benar-benar tak memalukan ia disebut sebagai pewaris tunggal Ratu Fatimah yang
pernah mengguncangkan dunia. Tubuh-nya tiba-tiba melesat dengan gaya manis dan
sedap sekali dan serangan mendadak itu dapat dihindarkan dengan cara ajaib.
Tetapi serangan Titisari bukan serangan biasa. Jurus yang digunakan dipetik
dari ling-karan ajaib guratan keris sakti Kyai Tunggul-manik yang tiada
keduanya di dunia ini. Begitu merasa sasarannya bakal lolos, cepat ia
me-nyodokkan pedangnya. Dengan gerakan yang susah dilihat, bayi sudah kena
direbutnya. Kemudian dengan mengejek ia melompat mundur sambil membujuk-bujuk
bayi itu. "Diam.... diam, manis. Betapa jahat iblis ini, pasti tidak bakal
dapat menyentuh tubuhmu. Selama aku berada di sini..." Bukan main herannya
Edoh Permanasari. Terkejut, bergusar, heran, terkejut dan rasa penasaran
berkecamuk sekaligus dalam lubuk hatinya, sampai wajahnya berubah hebat menjadi
pucat bagaikan kertas. Selama hidupnya, kecuali gurunya, tiada yang sanggup
mengga-galkan apa yang sudah dikuasainya. Dan begitu mengenal siapa penyerangnya,
jantungnya berdegupan. Namun ia seorang maha guru besar yang sudah terlatih
menguasai diri. Maka dengan hati ditenang-tenangkan ia berkata, "Eh, kau
lagi Nona. Kita bagaikan air laut dan air gunung. Tapi dua kali sudah, engkau
meng-ganggu kesenanganku." Titisari tertawa melalui hidungnya sambil terus
membujuk-bujuk si orok. Lalu menyahut acuh tak acuh. "Ah, apakah aku salah
dengar? Bukankah engkau menantang aku untuk ber-main-main? Nah, sekarang sudah
kumulai. Masakan aku mengganggumu?" "Hm," dengus Edoh
Permanasari. Biasanya ia bermulut tajam. Tapi menghadapi Titisari, ia
seakan-akan merasa kalah setingkat. Gadis di depannya ini, rupanya pandai pula
menggu-nakan ketajaman lidah. Itulah sebabnya, tim-bullah keangkuhannya.
Katanya, "Hm, kau jangan berlagak dahulu bisa merampas bayi itu dari
tanganku. Kau bisa merampas, masakan aku tak dapat?" Benar-benar ia dapat
membuktikan ucapan-nya. Dengan mengibaskan pedang, ia melejit dengan menghujani
berondongan tikaman yang berbahaya. Titisari boleh gesit dan lincah. Tetapi
menghadapi serangan berondongan demikian, ia merasa diri tak dapat bergerak
dengan leluasa. Inilah disebabkan, karena, bayi yang didukungnya bukan sebuah
benda yang dapat ditenteng dengan seenaknya. Tapi dasar otaknya memang cerdas
luar biasa. Dalam seribu kerepotannya, masih bisa dia menimbang-nimbang cepat:
"Dia merebut bayi ini kembali, demi kehormatannya. Sebaliknya aku
bertujuan menyelamatkan jiwanya. Kalau bayi kubiarkan dalam dukung-annya,
bukankah hanya tinggal menjaga tangan jahatnya saja? Memikir demikian, ia
sengaja melepaskan dukungannya. Dan Edoh Permanasari menyambar bayi itu dengan
penuh kemenahgan. Kemudian ia melesat mundur untuk bisa mengumbar rasa puasnya
atas kemenangan itu. Tetapi Titisari tidak membiarkan dia dapat bernapas.
Dengan menggunakan ilmu Ratna Dumilah ia melompat. Dan selagi tubuhnya masih
berada di udara, pedangnya sudah menotok punggung Edoh Permanasari. Diserang
cara demikian, Edoh Permanasari bergusar sekali. Bentaknya, "Sama sekali
aku tak bermusuhan denganmu dan aku selalu berbicara manis terhadapmu, kenapa
kau menikam dengan kejam?" Titisari tidak melayani. Ia terus melejit. Dan
Edoh Permanasari bertambah-tambah rasa gusarnya. Dengan memekik marah, ia
me-nangkis pedang Titisari. Tetapi Titisari tak sudi memberi hati pada
lawannya. Terus menerus ia mengirimkan serangan berantai. Ratna Dumilah memang
suatu ilmu sakti yang jarang tandingannya. Jumlah serangan-nya seribu jurus.
Ilmu itu hanya dapat dimain-kan oleh seorang yang sanggup bergerak cepat,
lincah dan berotak cerdas. Gagak Seta dahulu tidak menurunkan ilmu tersebut
kepada Sangaji. Karena ia tahu, bahwa muridnya itu berotak sederhana serta
lamban. Sebaliknya Titisari sedikit banyak pernah mengenal ilmu sakti ayahnya
yang mutunya sejajar dengan pendekar-pendekar lainnya. Maka Gagak Seta tidak
ragu-ragu untuk mewariskannya. Barang siapa yang tidak dapat mengimbangi
kecepatan gerakan ilmu Ratna Dumilah, sebentar saja akan berkunang-kunang
matanya. Untunglah, Edoh Permanasari adalah pewaris ilmu pedang Ratu Fatimah
yang bersandar pula kepada kecepatan gerak. Meskipun jurus-jurusnya berbeda,
namun intinya sama. Karena itu, dia dapat mengimbangi. Sekalipun demikian
karena tangan kirinya harus mendukung seorang anak, baik tenaga maupun kegiatan
jadi berku-rang. Pada saat itu, ingin ia melemparkan bayi itu. Tapi Titisari
tidak memberi kesempatan untuk melakukan maksud itu. Terus menerus ia dicecar
dengan rangkaian serangan yang ber-teka-teki dan sukar diduga-duga. Dengan
demikian, ia jatuh di bawah angin. Baru bebera-pa jurus, ia sudah merasa
kuwalahan. Mau tak mau ia jadi kagum. Pikirnya, murid siapa dia? Selama
hidupku, inilah baru tandinganku benar-benar.... Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, Edoh Permanasari yang berpengalaman segera mengetahui bahwa Titisari
tidak berani menye-rang ke arah bayi seolah-olah takut melukai. Dengan cepat ia
dapat menebak hati lawannya. Ia girang dan berkata di dalam hatinya, "Bayi
ini rupanya mahluk mujur. Tadinya, ingin aku membunuhnya dengan segera, lantas
datanglah perempuan jahanam ini. Kini aku ganti kena dicecar suatu serangan
terus-menerus dan rupanya dia mau melukai. Ai, masakan di dunia ini ada
pengalaman begini?" Memikir demikian lantas saja ia berkata, "Nona,
kedatanganmu bukankah hendak memenuhi undanganku untuk mencoba-coba mengadu
kepandaian? Jika kau ingin mencoba-coba mengukur kepandaianku, mengapa justru
memilih tempat dan waktu yang kurang tepat?" Sebagai seorang gadis yang
cerdik dan cer-das luar biasa, otak Titisari sudah barang tentu tak perlu kalah
dengan otak Edoh Per-manasari. la tahu, bahwa Edoh Permanasari ingin melepaskan
beban itu. Menimbang, bahwa yang perlu diutamakan dahulu adalah jiwa anak itu,
maka ia menyahut. "Bagus! Kita berdua memangnya tak ada sang-kut-pautnya
dengan anak itu. Jika kau memang ingin mencoba ilmu kepandaian, nah berikan
anak itu kembali kepada yang berhak. Kita lantas mencari tempat yang sesuai.
Bukankah kau mengajak aku ke sebelah bukit sana?" "Baik, itulah yang
kukehendaki," kata Edoh Permanasari. Tetapi Titisari terlalu mengenal
manusia macam Edoh Permanasari. Di mulut-nya ia menganjurkan untuk menyerahkan
anak itu, tetapi serangannya tak pernah berhenti. Setelah mendesak mundur
beberapa langkah, ia berkata memerintah. "Lepaskan pedangmu dahulu, dan
baru akan percaya mulutmu!" Bukan main mendongkolnya hati Edoh
Permanasari. Memang ia bermaksud hendak menggunakan kesempatan gencatan itu
untuk menghabisi nyawa si orok. Sebagai seorang pendekar jempolan yang tinggi
hati, mana dapat ia mengalah terhadap seorang lawan yang hendak merintangi
kemauannya. Ia sudah menganggap diri seorang licin yang sebentar lagi akan
dapat mengingusi lawan-nya. Tak tahunya, lawannya lebih licin lagi.
"Bagus! Kau tak mau mendengar kata-kataku? Pedangku juga tak sudi
berdamai," gertak Titisari. Dan gadis itu terus memberon-dongi lagi dengan
serentetan serangan beran-tai. Maka mau tak mau, ia terpaksa menyahut:
"Nanti dahulu! Tahan!" dan setelah berkata demikian, ia melemparkan
pedangnya ke tanah. Meskipun demikian, masih saja Titisari menikam pinggangnya.
Ia memiringkan tu-buhnya untuk mengelak. Tahu-tahu bayi di gendongannya sudah
berpindah di tangan Titisari. Diam-diam ia kagum luar biasa. Dua kali, lawannya
dapat merampas dengan cara yang tak dapat dimengerti. Seumpama menghenda-ki
jiwanya, bukankah siang-siang sudah me-layang? Memikir demikian, bulu
tengkuknya meremang. Dan seketika itu juga, teringatlah dia kepada pedang
pusaka andalannya Sangga Buwana. Dalam pada itu, Titisari telah menyerahkan
bayi rampasannya kepada ibunya yang jadi girang luar biasa. lbu muda itu sudah
kehilang-an rumah dan suaminya. Walaupun demikian, melihat anaknya kembali ke
pangkuannya, masih ia terhibur juga. "Nona, kau siapa?" katanya di
antara sedu-sedannya. "Aku belum berarti berhasil menolong selu-ruhnya.
Lihatlah dia masih hidup segar bugar," sahut Titisari sambil menuding Edoh
Permanasari. Maksudnya, apabila dia gagal, iblis itu masih sempat mencabut
nyawa anaknya. Ibu muda itu rupanya dapat menebak maksudnya, sehingga wajahnya
menjadi pucat lesi. Titisari bersenyum untuk membesarkan hatinya, lalu berkata
kepada Edoh Permanasari. "Man" sekarang ke mana?" Tanpa
berbicara lagi, Edoh Permanasari menjejak tanah dan terbang ke arah barat daya.
Dua kali ia pernah mengadu kepandaian dengan Titisari, walaupun hanya selintasan.
Ia belum merasa puas, karena belum mengguna-kan pusaka andalannya pedang Sangga
Buwana. Kini ia sudah bersiaga. Itulah sebab-nya, ia jadi mantap. Sebaliknya,
tatkala kemarin malam Titisari berhantam dengan Edoh Permanasari hatinya masih
was-was karena dalam keadaan limbung. Hari ini, hati dan pi-kirannya sudah
kembali jernih serta segar-bugar sehingga terasa pulih seperti sediakala.
Karena itu kedua-duanya kini merupakan dua ekor singa betina yang akan
menentukan sia-pakah di antara berdua yang lebih unggul. Mereka berdua mengarah
ke bukit batu yang nampak tak jauh dari desa itu. Keduanya sedang mengadu
kepandaian ilmu berlari. Edoh Permanasari merupakan pewaris tunggal Ratu
Fatimah yang termasyhur dengan ilmu larinya. Dan Titisari merupakan pewaris
tunggal pula dari ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Ilmu lari Edoh
Permanasari terkenal tiada bandingnya di seluruh Jawa Barat. Gayanya
berlenggak-lenggok seakan-akan sedang menari. Tetapi ilmu petak ciptaan Gagak
Seta adalah ilmu sakti istimewa. Keduanya memili-ki kunci kebagusannya
masing-masing. Karena itu meskipun Titisari tadinya berada di belakang kini
sudah dapat menjajari. Lalu Edoh Permanasari menancap gasnya. Tubuhnya
berkelebat bagaikan bayangan. Tapi tatkala menoleh, Titisari ternyata dapat
menjajari segaris lurus. Gadis itu bersenyum-senyum seakan-akan tiada
mengindahkan perubahan napasnya, sehingga untuk kesekian kalinya Edoh
Permanasari menjadi kagum. Pikirnya di dalam hati: Tak kuduga bahwa di dunia
ini masih ada macam ilmu berlari yang sejajar dengan ilmu Ratu Fatimah. Hm,
kalau hari ini aku tak dapat menghabisi nyawanya, bukan-kah di kemudian hari
aku bakal berbahaya? Beberapa saat kemudian, sampailah mere-ka pada suatu
lapangan terbuka di tepi hutan. Edoh Permanasari lantas berhenti. Dengan
memutar tubuhnya, ia menghadap Titisari. Lalu berkata nyaring. "Nona,
denganmu belum pernah aku bertemu. Apalagi berkenalan. Tapi hari ini, kita
harus mencapai suatu keputusan siapakah yang masih dapat mempertahankan
nyawanya. Bukankah sayang?" "Apakah yang kausayangi?" sahut
Titisari cepat. "Pernahkah kau merasa sayang ter-hadap muda mudi yang
kaubunuhi tanpa mengerti apa sebabnya? Hm, di depan hi-dungku, janganlah kau
berlagak menjual ceri-tera burung!" Perkataan Titisari sedikitpun tidak
bersalah. Ratusan pasangan muda mudi mati di tangan-nya tanpa ia mengenal siapa
mereka. Tadinya ia menganggap suatu kewajaran belaka. Tapi setelah mendengar
ucapan Titisari, hatinya ter-cekat. Dan bulu kuduknya meremang dengan tak
diketahuinya sendiri. Sebentar ia menatap wajah Titisari dengan mulut
membungkam. Kemudian timbullah dugaannya. "Haaa, tahulah aku kini.
Pastilah kau ini salah seorang jago mereka untuk menuntut dendam padaku. Hm,
jago betina penjual te-naga dari mana kau ini sebenarnya?" "Siapa
kesudian menjual tenaga?" Titisari membentak. "Di dunia ini siapakah
yang dapat memerin-tah aku? Kau sendiri masakan becus meme-rintah aku? Aku
ingin datang, dan datanglah aku. Aku ingin mengambil nyawamu dan aku kini
benar-benar ingin mengambil nyawamu. Sekiranya kepalamu sudah berhasil
kupang-kas, masakan laku kujual? Hebat kalau sampai laku kujual. Dengan begitu
tuduhanmu aku sedang menjuai tenaga, benar-benar cocok." Mendengar ucapan
Titisari, Edoh Perma-nasari tak tahan lagi menguasai ketenangan-nya. Maklumlah,
selama beberapa puluh tahun yang lalu, ia selalu diagung-agungkan oleh lawan
dan kawan. Karena itu, sekaligus ia menarik pedang andalannya dari sarungnya.
Benar-benar hebat perbawa pedang pusaka itu. la mengeluarkan sinar hijau serta
berhawa dingin luar biasa, sehingga hati Titisari tercekat juga. Pikir gadis
itu, rupanya Paman Maulana Syafri tidak membual. Benar-benar pedang mustika.
Kalau aku dapat memiliki pedang itu, bukankah aku bakal dapat menandingi keris
Kyai Tunggulmanik milik Sangaji? Memikir demikian, ia segera mengasah otak.
Dasamya berotak encer, sebentar saja ia sudah memperoleh tujuh sampai delapan
sia-sat. Karena itu, wajahnya lantas saja nampak cerah. "Pedang
hebat!" pujinya. "Sayang ia berada di tangan seorang iblis. Bukankah
tidak tepat?" Edoh Permanasari mendengus. Katanya mengalihkan perhatian,
"Silakan Nona kau boleh menyerang dulu!" Dua kali Titisari pernah
bertempur melawan Edoh Permanasari. la merasa bahwa ilmu kepandaiannya sendiri
tidak selisih jauh dengan iblis itu. Sekarang Edoh Permanasari malahan sudah
menggenggam pedang mustika yang kabarnya tiada taranya. lnilah bahaya. Maka
satu-satunya jalan untuk melawannya, hanya-lah ilmu sakti Kyai Tunggulmanik.
Meskipun ia belum menguasai intinya, tetapi yang penting ialah menghindari
setiap serangan lawan. Se-bab sekali pedangnya terbentur pada pedang lawan,
pastilah akan terajang dengan sekali-gus. Kalau sampai kejadian demikian,
jangan lagi memperoleh kemenangan, memperta-hankan nyawa sendiri belum tentu
mampu. Namun dasar ia puteri pendekar besar, hatinya besar pula. Ia ingin
mencoba sampai di mana kebenaran tutur-kata Maulana Syafri. Maka ia hendak
menggunakan ilmu silat Ratna Dumilah dengan ilmu sakti Witaradya sekali-gus.
Memikir demikian, segera ia berkata: "Kau menghendaki agar aku menyerang
dahulu? Bagus!" serunya nyaring. Lantas saja ia memutar pedangnya.
Kemudian dengan lang-kah menginjak tempat-tempat inti ilmu petak ajaran Gagak
Seta, ia mulai menyerang. Melihat serangan Titisari yang cepat dan dahsyat luar
biasa, hati Edoh Permanasari ter-cekat juga. la percaya, pedang pusakanya yang
sudah sering menolong jiwanya semen-jak puluhan tahun yang lalu, pasti pula
akan melindungi juga kali ini. Memperoleh keya-kinan demikian, ia mengebas.
Suatu hawa di-ngin berbareng dengan kejapan sinar seketika itu juga datang
bergulungan menyambut pedang Titisari. Hanya satu benturan kecil saja, namun
demikian pedang Titisari terpapas ujungnya. (Untung, ilmu yang jarang terlihat
di mata para cerdik pandai, sehingga rahasia intinya belum tersiar luas. Maka
begitu kena serangan berbahaya, gerakan pertahanannya terjadi dengan wajar.
Titisari terlolos dari serangan berikutnya. Ia melejit ke samping dengan
jantung berdegup-an. Pedangnya memang bukan pedang mustika, meskipun tidak
boleh dikatakan pedang tiada harganya. Meskipun demikian, terpapas-nya ujung
pedangnya begitu gampang, mau tak mau membuat jantungnya memukul. Benar-benar
pedang mustika, pikirnya yakin. "Nona, jika hanya satu jurus saja, engkau
sudah kuncup setengah mati, maka kau bukan tandingku lagi. Silakan pergi
saja!" ejek Edoh Permanasari yang telah memperoleh angin baik. "Nona
tua!" sahut Titisari tajam. Ia sengaja hendak membakar hati lawannya.
"Seorang pendekar yang hanya mengandalkan kepada pedangnya, masakan pantas
disebut seorang pendekar besar? Kau bilang hendak mengadu ilmu kepandaian, tak
kusangka alihkan mengadu pada pedang semata. Apakah cara begitu engkau
mengangkat namamu?" Sebutan nona tua bagi Edoh Permanasari luar biasa
dahsyatnya, namun ia masih tak mau terbakar hatinya mengingat lawannya sangat
tangguh. Maka sambil memekakkan telinga, ia berkata: "Bilanglah kau takut
kepada pedangku! Kalau sedari tadi kau berkata begitu, masakan aku mau menang
sendiri." Setelah berkata demikian, ia memasukkan pedangnya. Mendadak di
luar dugaan suatu benda berkeredepan menembus udara. Itulah jarum Gunung Gilu
yang berbisa luar biasa. Titisari terkejut bukan main. Mimpipun tidak, bahwa
Edoh Permanasari pandai menggu-nakan senjata jarum. Dengan hati mencelos, ia
memutar pedangnya. Tring! Tring! Tring! Dan semua jarum Edoh Permanasari dapat
ditangkisnya jatuh. la baru hendak melepas napas lega, tetapi suatu serangan
baru terjadi lagi. "Celaka!" ia memekik. Serangan yang kedua ini,
keji bukan kepalang. Semua jalan lari, tertutup oleh puluhan jarum berbisa.
Titisari kelabakan benar-benar. Namun ia murid seorang pen-dekar Gagak Seta,
ditambah pula puteri seo-rang pendekar besar Adipati Surengpati. Dalam seribu
kerepotannya, masih bisa ia menangkis semua jarum berbisa itu dengan rapih.
Tapi tak urung, keringat dinginnya ke-luar bertetesan. Segera ia berseru
nyaring, "Eh Nona tua. Dua kali kau menyalahi ucapanmu sendiri. Mengapa
kau menyerang dengan senjata keji begini?" "Hm, apakah membidik jarum
bukan terma-suk suatu ilmu kepandaian? Kalau begitu, aku jadi tak mengerti."
Titisari seorang gadis tajam mulut. Coba, kalau saja Edoh Permanasari tidak
bersegan-segan kepadanya, pastilah dia sudah me-ngumbar adatnya manakala
seseorang berani menggunakan istilah nona tua. Tetapi seka-lipun ia nampak
menguasai diri, sesungguh-nya sudah timbul niatnya hendak mencabut nyawa
Titisari benar-benar. Matanya menjadi merah dan gerak-geriknya mulai menjadi
ganas. "Lekaslah kau membunuh diri, agar ta-nganku tak usah kaukotori
dengan darahmu!" bentak Edoh Permanasari garang. "Aih, enak saja. Kau
menggunakan pedang pusaka, meskipun begitu pedangku hanya rompal sedikit. Kau
menggunakan jarum berbisa, meskipun begitu aku bisa menangkis jatuh. Siapa
bilang aku tak mampu melawan-mu? Lihatlah jarummu!" kata Titisari berani.
la menoleh meruntuhkan pandang ke tanah. Suatu pandangan mengerikan meremangkan
bulu romanya. Jarum-jarum Edoh Permanasari yang runtuh tertangkis ke tanah
melayu-kan rumput. Hanya beberapa saat saja dan rumput yang tadi hijau segar,
mendadak saja berubah kering melayu. Itulah suatu bukti betapa berbahaya racun
yang terkandung pada jarum Edoh Permanasari. Seumpama mengenai tubuh manusia,
betapa akibatnya sudah dapat dibayangkan. "Baiklah begini saja,"
akhirnya ia memu-tuskan. "Kau boleh menggunakan pedang pusakamu. Aku tetap
pinjam pedang murid-mu. Kalau kau bisa memapas pedangku sampai sebatas hulu,
nah, pada saat itu kau cin-cangpun aku takkan menyesal."
"Bagus!" sahut Edoh Permanasari girang. "Nah, kau boleh
menyerang dahulu tiga jurus. Aku takkan membalas." Itulah kesempatan bagus
bagi Titisari. Edoh Permanasari terlalu yakin kepada kepandaian sendiri. Sama
sekali tak pernah ia bermimpi, bahwa Titisari masih mengantongi suatu ilmu
sakti yang tiada taranya dalam dunia ini. Itulah ilmu sakti keris Kyai
Tunggulmanik. Dan itu pu-lalah salah satu siasat Titisari untuk menjebak
lawannya yang memang sangat berbahaya. "Baiklah Nona tua, hunuslah pedang
pusaka andalanmu." Masih ia membakar hati. "Sekarang
berwaspadalah!" Meskipun ilmu sakti keris Kyai Tunggul-manik baru dikuasai
kulitnya saja, tetapi jurus-jurusnya memang merupakan inti dari seluruh ilmu
silat yang ada dalam persada bumi. Bila Edoh Permanasari tadi tidak terjebak,
ba-rangkali pedangnya yang tajam luar biasa masih dapat membendung jurus
berantainya yang ajaib luar biasa. Tapi ia sudah berjanji takkan membalas
menyerang dalam tiga jurus. Artinya, ia hanya mengelakkan saja. Betapa ia
sanggup berlaku demikian. Lowongan tiga jurus, merupakan suatu kesempatan yang
bagus luar biasa. Seumpama seekor harimau sudah berhasil menjebol pagar besi.
Keruan saja, pedang pusaka Sangga Buwana tiba-tiba saja macet tak dapat
digerakkan. Ruang ge-raknya seperti jadi sempit, sehingga Edoh Permanasari
berteriak karena kagetnya. Titisari tidak sudi membiarkan lawannya memperoleh
kesempatan, walaupun hanya sedetik. Ia terus memberondongi dengan jurus ajaib
kens sakti Kyai Tunggulmanik yang benar-benar luar biasa. "Ah,
bagus!" terdengar suatu suara di ping-gir lapangan. Itulah suara Maulana
Syafri yang menyatakan kagum luar biasa. Pendekar itu setelah bertempur
beberapa saat melawan ketiga musuhnya, lantas melarikan diri. Dalam hal mengadu
kecepatan berlari, ilmunya berada di atas mereka. Itulah sebabnya, sesudah
berlari-larian memutari bukit, desa serta melompati beberapa sungai, ia telah
mening-galkan ketiga lawannya jauh-jauh. Setelah itu, ia segera lari mengarah
ke desa kembali hendak menjejak ke mana perginya Titisari. Kebetulan sekali ia
bertemu dengan ibu muda yang sedang mabuk suka cita karena menda-patkan anaknya
kembali. Segera ia mendapat keterangan ke jurusan manakah perginya Titisari
dengan Edoh Permanasari. Maka de-ngan cepat ia menemukan lapangan adu
ke-pandaian itu. la menonton di luar lapangan dan sempat menyaksikan ilmu sakti
Titisari yang istimewa. Begitu kagum dia, sampai mulutnya terloncat
kata-katanya yang memuji kehe-batan jurus-jurus yang memberondongi tubuh Edoh
Permanasari. Titisari sendiri tidak memedulikan. Sebagai seorang gadis yang
sudah berpengalaman pula, tak mau ia diganggu oleh suatu pende-ngaran yang
dapat mengalutkan pemusatan semangatnya. Sebaliknya Edoh Permanasari yang
dicecar habis-habisan sampai tak dapat berkutik, terpaksa menebalkan mukanya.
Serunya lantang, "Tahan! Tahan! Mari kita ber-unding!" Sudah barang
tentu, Titisari tak sudi men-dengarkan ocehannya. Katanya membalas, "Apa
yang akan kaurundingkan? Nyawamu sudah diambang pintu. Nah, lebih baik
ber-doalah!" Mendengar ujar Titisari, Edoh Permanasari keripuhan
benar-benar. Akhirnya mencoba, "Inilah tidak adil! Tidak adil!"
"Apanya yang tidak adil?" bentak Titisari. "Kau tadi bilang, aku
hanya mengandalkan pedang pusaka sehingga kau tak dapat ber-gerak. Sekarang kau
mencecar aku terus-menerus sehingga aku tak dapat bergerak. Aku tadi meluluskan
permintaanmu. Tapi kau kini tidak mendengarkan kata-kataku. Bukankah ini tidak
adil?" Titisari tak segera menjawab. la seperti menimbang-nimbang
sebentar, lalu berkata, "Baiklah! Aku titip kepalamu dahulu!" Setelah
berkata demikian, ia meloncat mundur. Dan Edoh Permanasari bersyukur bukan
main. Puluhan tahun lamanya, malang melintang ke segenap penjuru sebagai iblis
yang menakutkan. Tetapi sebenarnya watak aslinya tidaklah kejam benar-benar.
Keka-lapannya semata-mata karena menuruti rangsang hati yang gagal dalam soal
asmara. Ia menganggap dunia ini kejam kepadanya. Maka perbuatannya yang kejam
luar biasa itu, dianggapnya sebagai pekik menuntut keadil-an. Tentu saja
keadilan menurut ukuran kehen-daknya. Sekarang ia merasakan betapa kecut
hatinya tatkala maut nyaris mengancamnya. Di luar dugaan Titisari masih sudi
memberi kesempatan padanya. Sekaligus timbullah watak aslinya yang halus.
Lantas saja ia tersenyum bersyukur sambil membungkuk hormat. Katanya lembut,
"Sungguh luar biasa ilmu pedang Nona. Aku menyatakan kalah. Hanya saja
ingin aku memperoleh penjelasan dari manakah asal ilmu saktimu itu dan siapakah
guru Nona?" "Kau ingin tahu siapa guruku? Dialah malaikat. Dengan
sendirinya, ilmu saktinya berasal dari surga," sahut Titisari. Sebenarnya
kalau mengingat asal usul ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik itu, tidaklah
berbeda jauh kata-kata Titisari. Karena siapa penggubahnya, setanpun tak
mengetahui juga. Sebaliknya bagi pendengaran Edoh Permanasari sangat
menyakitkan hatinya. Ia merasa diri direndah-kan dan dihina. Seketika itu juga
terbangunlah sifat angkuhnya. Dengan sendirinya keganas-annya lantas saja ikut
berbicara. "Hm," dengusnya. Kemudian meneruskan dengan suara melalui
hidungnya. "Kali ini aku memang kalah. Tapi belum berarti kalah. Kau tadi
ketakutan melawan jarum Giluku, karena itu anggaplah saja serf.
Satu-satu." "Belum tentu." "Kau berani mengulangi
seranganmu kem-bali? Hayo boleh coba! Kalau aku sampai mundur sejangkah, hitung
aku memang kalah daripadamu." "Eh, benar-benar kau iblis berkepala
besar. Pantaslah kau disegani orang," kata Titisari. Menurut pantas, Titisari
pasti akan mengulangi serangannya dengan menggunakan ilmu saktinya. Tetapi ia
mempunyai siasat lain, dengan didahului pekik peringatan, ia menyerang dengan
ilmu Ratna Dumilah yang digabung dengan ilmu Witaradya. "Ah, kalau hanya
macam begini, masakan kau mampu memundurkan aku? Salahmu sendiri, kalau
pedangku singgah di tubuhmu," kata Edoh Permanasari dengan penuh
kemenangan. Tubuhnya berkelebat. Dan pe-dang Sangga Buwana mengaung dengan
mengeluarkan hawa dingin luar biasa. Titisari tak berani menangkis. la boleh
gesit. Tetapi ilmu warisan Ratu Fatimah merupakan ilmu pedang yang jarang
memperoleh tandi-ngan. Karena itu betapa ia berusaha menghin-darkan benturan,
tak urung pedangnya kena juga tersambar. Dan sekali tersentuh, pedangnya
tertebas kutung sebagian. "Bagaimana?" ejek Edoh Permanasari me-nang.
"Bagaimana? Aku belum mati," balas Titisari sengit. Dan dengan gesit
ia menikam berturut-turut. "Anak bandel! Masih berani kau menangkis
pedangku? Lihat!" kata Edoh Permanasari. Hebat gerakan pedangnya. Setelah
ia mengge-bu serangan Titisari, ia ganti membalas menyerang. Dalam hal
menyerang, hatinya mantap. Karena pedangnya dapat diandalkan. Sebaliknya,
Titisari tak berani menangkis lang-sung. Itulah sebabnya, ia jadi keripuhan.
Dan kembali pedangnya kutung sebagian. Edoh Permanasari girang. Meletuslah
ejekannya lagi, "Bagaimana?" "Bagaimana? Aku belum mati,"
sahut Titisari. "Bagus! Kau mencari mampusmu sendiri!" Edoh
Permanasari gregetan. Ia mengulangi serangannya kembali. Tetapi Titisari dapat
mengelak, malahan lantas menyapu ping-gangnya. Edoh Permanasari terkejut bukan
kepalang. Serangan ini datangnya dengan tiba-tiba dan sukar diduga. Namun ia
seorang iblis yang benar-benar perkasa. Dalam ke-kagetannya masih ia menangkis.
Lalu menje-jak tanah dan terbang ke samping. "Kau mau lari ke mana?"
bentak Titisari sambil melejit. "Masakan aku lari? Lihat pedangku!"
Edoh Permanasari menyahut menggurui. Dan kali ini benar-benar hebat
serangannya. Dengan suara menderu-deru, pedangnya bergulungan menutup semua
bidang gerak. Itulah yang disebut jurus angin puyuh mengisar bumi. Jurus ini
belum pernah ia pergunakan. Gu-runya dahulu pernah berpesan sering: Jangan
menggunakan jurus itu apabila tidak terjepit benar-benar. Karena jurus angin
puyuh mengisar bumi sangat ganas dan luar biasa hebat. Begitu rapat dan rapi
serangannya, sehingga seumpama lalatpun takkan dapat lolos. Kini menghadapi
Titisari ia menggunakan jurus tersebut. Itulah terjadi, karena hatinya panas
dan beriri atas kepandaian lawannya. Titisari kaget setengah mati menghadapi
serangan itu. Ia tahu Edoh Permanasari salah seorang lawan tangguh, tetapi
sekali tak disangkanya bahwa dia benar-benar memiliki ilmu pedang sehebat itu.
Andaikata iblis itu hanya menggunakan pedang biasa, jurusnya sudah susah untuk
ditangkis. Apalagi ia menggenggam pedang mustika tiada taranya di dunia, maka
kehebatannya susah untuk dilukiskan. Menghadapi serangan maut itu, sepatutnya
ia harus melawan dengan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik. Karena hanya ilmu
sakti itulah satu-satunya yang masih mampu mengatasi semua jurus yang terdapat
di dalam persada bumi ini. Tetapi Titisari memang berwatak angkuh dan berkepala
besar. Masih saja ia mencoba menggebu serangan lawannya dengan jurus Ratna
Dumilah. (Jntunglah, ilmu sakti Ratna Dumilah merupakan ilmu silat istimewa
pula. Kalau tidak, masakan nama Gagak Seta dapat disejajarkan dengan Kebo
Bangah, Adipati Surengpati dan Kyai Kasan Kesambi. Namun sekalipun demikian,
Titisari tetap rugi. Itulah disebabkan, ia hanya memiliki pedang biasa. Dalam seribu
kerepotannya, ia terpaksa membenturkan pedangnya lintang beberapa kali. Dan
pedangnya terkutung menjadi delapan bagian. Yang tertinggal hanya hu-lunya
belaka. Edoh Permanasari sudah barang tentu gi-rang luar biasa. Mau ia membuka
mulut untuk mengejek lawannya pada detik-detik peng-habisan, mendadak saja
Titisari menghan-tamkan hulu pedangnya dengan menjerit putus asa. Itulah memang
satu-satunya daya untuk mempertahankan jiwanya pada saat peng-habisan. Edoh
Permanasari tahu akan hal itu. Dengan sebat ia merajang hulu pedang Titisari.
Tetapi pada saat itu sekonyong-konyong lagi ia melihat suatu benda berkeredepan
memberon-dongi dirinya. Inilah suatu kejadian di luar dugaan, bahwa lawannya
sebenarnya bisa menggunakan ilmu bidik tak beda dengan dirinya. Tatkala itu,
tubuhnya berada sangat dekat dengan lawannya. Meskipun andaikata ia bertubuh
iblis benar-benar, ia takkan mampu mengelakkan. Satu-satunya jalan hanya
memutar pedangnya. Sudah barang tentu, ia kasep. Sebelum pedangnya dapat
digerakkan, biji-biji sawo Titisari sudah menusuk seluruh tubuhnya dengan
telak. Tahu-tahu tubuhnya lemas terkulai. Dan pedang pusakanya runtuh di atas
tanah. "Ah!" seru Maulana Syafri kagum di pinggir lapangan. Barulah
ia tahu kini, apa sebab sehari tadi Titisari keluar masuk kampung mengumpulkan
biji-biji sawo dan kerikil tajam. Pikirnya diam-diam, biji sawo tidak beracun.
Jauh bedanya dengan jarum-jarum Gilu. Biji-biji sawo itu paling-paling hanya
dapat menyakiti tubuh. Tetapi ia dapat mem-bidikkan senjata itu pada jarak sangat
dekat, sehingga bisa melumpuhkan urat nadi lawan. Ini suatu perhitungan jitu
yang harus menggunakan keuletan dan kesabaran. Hai-hai! Benar-benar hebat gadis
itu. Kalau tidak mem-punyai perhitungan jauh dan kenal pada kepandaian sendiri,
betapa ia berhasil melaku-kan serangan demikian terhadap Edoh Permanasari ...
dan makin ia merenungkan si tua makin kagum luar biasa. Harga gadis itu lantas
saja naik tinggi di dalam hatinya. "Bagaimana?" Titisari membalas
mengejek menirukan kata-kata lawannya. Ia mengham-piri dengan langkah wajar,
seolah-olah kejadi-an itu memang harus terjadi demikian. Memang itu semua sudah
termasuk dalam salah satu siasatnya. Ia sengaja berlagak ke-ripuhan. Pedangnya
sengaja dibenturkan sampai terkutung sedikit demi sedikit. Itulah siasat
memancing kegirangan lawan. Begitu lawannya mabuk oleh hati besar, ia
menghantamkan senjata bidiknya dengan dibarengi pekik putus asa. Edoh
Permanasari sudah barang tentu tak dapat menduga siasat lawannya yang memili-ki
kecerdikan di atas kepalanya sendiri. Ia ma-ju merapat, karena senjata musuhnya
tinggal hulunya saja. Sama sekali tak terbayangkan, bahwa itulah siasat
pancingan lawan agar datang merapat. Karena itu, begitu melihat berkeredepnya
lawan, hatinya mengeluh. Seluruh urat nadinya kena terbidik. Dan tubuhnya
lantas terkulai tanpa dikehendaki sendiri. "Nona, aku mengaku kalah,"
katanya de-ngan suara berputus asa. "Sudah belasan ta-hun, aku malang
melintang tanpa tandingan. Sudah belasan tahun pula, aku membunuh entah sudah
berapa jumlahnya. Aku sendiri tidak mengira bahwa aku masih dapat hidup sampai
pada hari ini. Sekarang aku bertemu denganmu. Baik bertanding kepintaran,
kecerdikan maupun ilmu silat aku berada di bawahmu. Maka aku rela mati di
tanganmu. Tapi sebelum mati perkenankan aku meng-ajukan suatu permohonan."
Titisari mengawaskan wajah Edoh Per-manasari yang menjadi pucat. Ia tahu, hal
itu terjadi bukan karena kena dilumpuhkan senjata bidiknya. Tetapi mengira,
bahwa ia tak sanggup mempertahankan nyawanya lagi. Karena itu, segera ia menegas
dengan pan-dang mata tajam. "Apa itu?" Dengan menghela napas, iblis
itu menyahut. "Nona, denganmu, belum pernah aku berte-mu, apalagi
berkenalan. Tadinya aku mengira, bahwa dunia ini tiada tandingku lagi. Ternyata
aku jatuh melawan kepandaianmu. Kau licin dan cerdik. Tapi betapa juga, kau
berhasil melumpuhkan aku. Sekarang sebelum mati, ingin aku mengenal siapakah
engkau sebe-namya dan apakah alasanmu kau berlawanan dengan aku. Dengan begitu,
di alam baka aku bisa memberikan pertanggungan jawabku kepada guruku."
Titisari mengerutkan dahinya. Teringat beta-pa kejam iblis itu, sudah
sepantasnya dia harus mati. Tetapi mengingat pula bahwa kekejaman iblis itu
akibat kegagalan cinta kasih, hatinya terguncang. Itulah disebabkan, ia
mengalami nasib yang sama pula. Seandainya benar-benar ia bakal kehilangan
Sangaji untuk sela-ma-lamanya, bukan mustahil ia akan berbuat demikian pula.
Mungkin pula lebih kejam dan lebih ganas. Memikir demikian, diam-diam ia
menghela napas. Kemudian berkata, "Meskipun belum pernah aku bertemu muka
dengan gurumu, hatiku sangat tertarik begitu mendengar nama agungnya. Sayang
aku tak beruntung. Tetapi sekarang aku telah berkenalan dengan pewarisnya.
Hatiku terhibur juga. Aku telah mengenal siapa namamu dan siapa pula dirimu.
Memang rasanya tak adil bila aku tetap membisu. Tapi benarkah engkau ingin
mengenal aku?" Edoh Permanasari mengangguk. "Puaskah hatimu, setelah
kau mengetahui siapa diriku?" Titisari menegas. "Aku akan dapat
pulang ke alam baka dengan hati puas," jawab Edoh Permanasari.
"Baiklah," Titisari memutuskan. "Pernahkah engkau mendengar
suatu nama Adipati Su-rengpati?" "Apakah yang kaumaksudkan salah
se-orang sakti kelas utama di Jawa Tengah?" Edoh Permanasari menegakkan
kepala. "Ya, benar," sahut Titisari. "Dan apakah kau pernah
mendengar nama Gagak Seta?" "Ah, bukankah namanya sejajar dengan
Adipati Surengpati?" "Benar." "Apa hubungannya Nona
menyebut kedua nama tokoh tersakti itu?" "Adipati Surengpati adalah
ayahku. Gagak Seta adalah guruku," kata Titisari. Dan men-dengar perkataan
Titisari, Edoh Permanasari terbelalak. Juga Maulana Syafri yang berada di
pinggir lapangan. Baru itulah ia tahu siapa gadis itu sebenarnya. "Jadi
... jadi ..." Edoh Permanasari terga-gap-gagap. Wajahnya lantas berubah
hebat. Katanya lagi dengan menaikkan suaranya. "Kalau begitu Nona ... aku
puas kalah di ta-nganmu. Aku puas ... aku puas. Sekarang matipun aku rela.
Silakan bunuhlah aku! Hanya saja, sepanjang pengetahuanku, guruku belum pemah
bertemu muka dengan ayah-mu maupun gurumu. Mengapa engkau sampai masuk ke
wilayah Jawa Barat dan kini memburu-buru aku?" "Memang benar.
Sesungguhnya ... dengan-mu aku tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Karena
itu, tiada niatku untuk mengam-bil nyawamu." Mendengar ujar Titisari, hati
Edoh Perma-nasari tercengang. lnilah suatu kejadian yang takkan pemah terjadi
pada dirinya. Musuh sudah tertawan, masakan diampuni? Karena itu, hampir-hampir
ia tak percaya kepada pen-dengarannya sendiri. Menegas untuk mencari keyakinan.
"Aku jadi tak mengerti. Lantas apa maksud-mu memusuhi aku?" "Aku
ingin mencari seorang kawan seiring sejalan," kata Titisari. Dan wajah
Edoh Permanasari mendadak menjadi merah oleh rasa bergusar. Katanya, "Hm,
kau boleh mem-bunuh aku, boleh pula mencincang aku. Mengapa mesti mempermain-mainkan
aku?" Titisari tahu, Edoh Permanasari salah paham. Maka dengan tenang ia
menyahut, "Aku berkata dengan sesungguhnya. Selama hidupku, baru untuk
pertama kali ini aku mengambah wilayah Jawa Barat. Aku men-dengar, engkau
seorang pendekar wanita yang kejam serta ganas akibat cinta asmara. Hatiku
lantas tertarik. Sebab kedatanganku ke mari ini, sesungguhnya karena akibat itu
pula. Aku dipermainkan pemuda pujaanku. Dia anak kompeni. Namanya
Sangaji." "Ah!" Edoh Permanasari memekik perlahan. "Tetapi pemuda
itu seorang pendekar yang paling tinggi ilmu silatnya pada zaman ini. Meskipun
andaikata aku mempunyai sayap, belum tentu aku sanggup melawan satu jurus saja.
Kemudian mendengar engkau memiliki pedang mustika tiada taranya di jagat ini,
tim-bullah niatku hendak meminjam pedangmu. □ntuk
dapat meminjam pedang mustikamu,. satu-satunya jalan bukankah hanya mengadu
untung belaka?" kata Titisari. Kalau saja ucapan ini disampaikan kepada
seorang yang sehat akalnya, siapapun sudi mendengarkan. Tetapi Edoh Permanasari
mempunyai jalan hidupnya sendiri. Mendengar seorang gadis hendak membalas
dendam kepada kekasihnya yang membuatnya kece-wa, itulah sudah selayaknya dan
wajar. Maka ia .tak bersangsi sedikitpun. Tanpa merasa, ia meruntuhkan pandang
ke tanah melihat pedang mustikanya. Titisari tak menunggu jawaban atau
pembe-naran lagi. Tubuhnya terus membungkuk memungut pedang Sangga Buwana.
Hatinya girang luar biasa. Mendadak selagi ia menga-mat-amati pedang mustika
itu, suatu kesiur angin menyerang padanya. la menoleh. Suatu bayangan berkelebat
menghantam dadanya. Dan ia terjungkal dengan melontakkan darah. Tatkala ia
menjenakkan mata, ia melihat dua orang laki-laki saling berhantam dengan
serunya. Yang satu Maulana Syafri. Lainnya seorang laki-laki berambut putih dan
berjeng-got penuh. Dialah Tatang Manggala adik seperguruan tabib sakti Maulana
Ibrahim. Seperti diketahui, ia muncul pula di sam-ping pendekar Sindung Riwut,
Ratu Kenaka dan Kusuma Winata. Tatkala Maulana Syafri bertempur seru melawan
tiga pendekar lainnya, ia tidak menampakkan diri. Memang ia cerdik. Dalam hal
mengadu tenaga, ia kalah jauh dengan Maulana Syafri. Tetapi ia seorang yang
berpengetahuan tinggi dalam soal tata pemerintahan. Itulah sebabnya, selagi
ka-kaknya seperguruan menjadi seorang tabib sakti dan adiknya seperguruan (Diah
Kartika) menjadi salah seorang penasihat tinggi Laskar. Perjuangan Jawa Barat,
ia memilih jalan hi-dupnya dengan mengabdikan diri kepada Kerajaan Banten.
Karena Edoh Permanasari salah seorang murid Ratu Fatimah, dengan sendirinya ia
mempunyai hubungan erat. Itulah sebabnya pula, ia lebih menaruhkan perhatiannya
kepada Edoh Permanasari dan Titisari daripada menggabungkan diri dengan ketiga
rekannya untuk mengeroyok Maulana Syafri. Tatkala ketiga pendekar rekannya kena
di-ingusi Maulana Syafri, ia sendiri tetap berada di dekat Edoh Permanasari.
Heran ia melihat ketangkasan Titisari. Temyata gadis itu dapat pula menjatuhkan
Edoh Permanasari. Melihat bahaya, ia segera bertindak. Begitu Titisari hendak
merampas pedang pusaka junjungan (Ratu Fatimah) muncullah dia dengan
meng-endap-endap. Lalu menghantam dada Titisari dengan pukulan beracun. Tetapi
pada saat itu pula. Muncullah Maulana Syafri. Sebentar ia berhantam seru.
Merasa diri takkan ungkulan melawan raja muda itu, cepat ia menyambar tubuh Edoh
Permanasari. "Lepas!" bentak Maulana Syafri. la tahu, maksud Tatang
Manggala hendak membawa lari Edoh Permanasari. Tetapi Tatang Mang-gala memang
benar-benar cerdik. Di luar du-gaan, tangannya sudah menggenggam pe-dang pusaka
Sangga Buwana dan diputar ba-gaikan kitiran. Maulana Syafri segan kepada pedang
itu, sehingga tak berani merangsak lagi. Kesempatan itu dipergunakan dengan
sebaik-baiknya oleh Tatang Manggala. Dengan mengerahkan tenaga ia memanggul
tubuh Edoh Permanasari. Lalu melarikan diri dengan secepat-cepatnya. Maulana
Syafri berbimbang-bimbang. Hen-dak ia mengejar, tetapi melihat Titisari jatuh
terduduk hatinya memukul cemas. Maka ia membatalkan niatnya. Selagi begitu,
terde-ngarlah pekik sorak beramai. Itulah anak-anak murid Edoh Permanasari yang
dapat menjejak ke tempat gurunya berada setelah ber-putar-putar dari desa ke
desa sekian lamanya. Di samping mereka muncul pula Sindung Ri-wut, Ratu Kenaka
dan Kusuma Winata. Mereka memang tadi dapat dikecoh habis-habisan, namun hanya
sebentar. Sebab betapapun juga mereka bertiga termasuk golongan pendekar besar.
Setelah sadar akan tipu muslihat lawannya, segera balik ke desa semula. Maulana
Syafri tak sempat lagi berpikir-pikir panjang. Terus saja ia menyambar tubuh
Titisari dan melesat bagaikan terbang. Dan pada saat itu Titisari pingsan tak
sadarkan diri. Sepanjang jalan ia mengasah otak. Pikirnya: "Tatang
Manggala, Diah Kartika adalah adik seperguruan tabib sakti Maulana Ibrahim.
Dalam hal ilmu silat mungkin mereka berada di bawahku. Tetapi dalam hal ilmu
ketabiban, di dunia ini siapakah yang dapat menandingi. Bocah ini agaknya kena
salah satu pukulan beracun. Obat pemunahnya hanya ada pada mereka. Gntung,
meskipun pada akhir-akhir ini Himpunan Sangkuriang berpecah-belah, mungkin aku
masih bisa membujuk Diah Kartika. Kukira Diah Kartika mengerti pula bagaimana
cara mengobati. Memikir demikian, hatinya lega. Namun ia bercemas pula melihat
Titisari tidak ber-kutik dalam dukungannya. Cepat ia memasu-ki hutan belantara.
Lalu menurunkan Titisari ke tanah. Meskipun bukan seorang tabib, namun ia
seorang raja muda yang sudah kenyang makan garam. Gntuk pertolongan pertama,
cepat-cepat ia mengurut urat-urat Titisri agar darahnya berjalan lancar. Sekian
lamanya ia mengurut dan barulah Titisari ter-sadar. Waktu itu gelap malam mulai
tiba. Bulan sabit telah muncul pula di angkasa. Dengan perihatin, Maulana
Syafri meneruskan per-jalanan. Gadis itu sudah tersadar, tetapi mulut-nya
seperti terkunci. Dan mau tak mau, ia menjadi bingung pula. Segera ia mendaki
suatu ketinggian hendak menebarkan pengli-hatan. Sekitar tempat itu hanya petak
hutan dan ladang yang gelap pekat. Hubungan antara Maulana Syafri dan Titisari
terjadi karena alasan-alasan yang aneh. Namun Maulana Syafri sudah merasa diri
terikat. Makin tahu ia siapa gadis itu, hatinya makin terpikat. Dan dengan tak
setahunya sendiri, ia seperti merasakan sebagai bagian dari hidup-nya sendiri.
Apakah dasar sesungguhnya, ia sendiri tak tahu. Berada di tengah hutan sangat
banyak ba-hayanya. Apalagi, ia sedang dikejar-kejar oleh anak-anak murid Edoh
Permanasari dan tiga pendekar musuhnya. Anak-anak murid Edoh Permanasari,
mungkin pula sudah berbalik untuk mengikuti jejak gurunya. Tetapi tiga pendekar
lawannya yang datang mencari pa-danya untuk menuntut dendam pastilah tidak mau
sudah, sebelum menemukan dirinya. Terhadap Kusuma Winata yang berwatak satria
dan Sindung Riwut yang hidup sebagai seorang pendekar sejati, tidaklah perlu
dice-maskan. Sebaliknya yang membuat dirinya banyak berpikir ialah bila
berhadapan dengan Ratu Kenaka. Sebab tangan Ratu Kenaka san-gat beracun. Ilmu
silatnya tidak bermutu ting-gi, tetapi racunnya jauh lebih berbahaya daripada
kedua rekannya dan Edoh Permanasari. Hutan dan ladang yang tergelar
disekelilingnya rasanya tidak dapat memberi tempat untuk berlindung. Dengan
terpaksa Maulana Syafri meneruskan perjalanannya. Tujuannya sudah tetap, hendak
mendaki Pegunungan Karumbi mencari Diah Kartika. la menerjang rerum-putan
setinggi lutut. Bahaya ular berbisa tidak dihiraukan. Sudah begitu, saban-saban
betis-nya masih kena ditusuki duri-duri semak. Pedih, perih dan panas rasanya.
Namun ia ber-jalan terus. Karena malam gelap tak dapat ditembus sinar bulan
sabit terpaksalah dia berjalan per-lahan-lahan. Jalan yang diambah nampak
gelap. Kerapkali ia khawatir akan tersesat. Siapa tahu di depannya menghadang
sebuah jurang curam. Kalau sampai terjeblos.... Setelah menderita perih panas
dalam per-jalanan itu, Maulana Syafri tiba-tiba melihat sebuah bintang besar di
udara sebelah kirinya. Rendah bintang itu, seperti berada di atas cakrawala.
Cahayanya berkelip-kelip. Ia pan-dang bintang itu untuk mencoba mengenal
namanya. Sesudah berjalan kurang lebih lima pal jauhnya, lenyaplah bintang itu
terhalang suatu ketinggian. Ia melayangkan pandang ke kiri dan melihat berkelipnya
api. "Apil" Ia berbisik girang di dalam hati. "Ada api, pastilah
ada rumah pula." Dengan penuh semangat, ia mengarah ke nyala api tersebut.
Satu jam kemudian, ia tiba pada suatu gerombol pohon yang diatur
berkelompok-kelompok. Dan api nampak ber-ada di celah-celahnya. Suatu ingatan
menusuk benaknya. la seperti pernah mengenal pengli-hatan itu. Mendadak saja
hatinya bersorak. "Hi! Bukankah ini tangan Diah Kartika?" serunya
girang di dalam hati. Diah Kartika bersemayam di atas bukit Karumbi. Tetapi ia terkenal
berada di tempat-tempat tertentu. Se-tiap kali ia berada di suatu tempat yang
cocok, ia merubah letak penglihatannya seperti perta-paannya di atas Pegunungan
Karumbi. Dengan demikian, rekan-rekan seperjuangan dan handai taulannya cepat
mengenalnya. Ia adalah adik seperguruan tabib sakti Maulana Ibrahim yang
terkenal pandai. Diah Kartika tidak mewarisi ilmu ketabiban, tetapi memiliki
pengetahuan ilmu alam, ukur dan aljabar. Karena itu, ia tergolong seorang
cendekiawan pada zamannya. Hendaklah diketahui, bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak
hanya dimiliki oleh bangsa Barat, Mesir, Arab, Tionghoa atau India. Di Jawa
pun, ilmu tersebut sudah dike-nal semenjak zaman dahulu kala. Ini terbukti
dengan tetap tegaknya bangunan candi-candi besar sampai pada zaman sekarang.
Boro-budur, Kalasan dan Dieng umpamanya, tidak lapuk oleh majunya zaman.
Sekiranya para arsiteknya tidak memiliki pengetahuan ilmu hitung, masakan dapat
membangun yang ter-akui sebagai suatu bangunan abadi di dunia? Soalnya, karena
bangsa Jawa tidak mempunyai kebiasaan untuk mencatat atau menulis suatu
pengetahuan. Penyiarannya hanya dilakukan lewat tutur kata turun-temurun
bela-ka. Maulana Syafri segera menghampiri arah nyala api itu. Sudah sekian
lamanya ia ber-jalan, namun letak api itu seperti berpindah-pindah. la berhenti
mengamat-amati. Api menyala di belakang deretan pohon. Untuk mencapai tempat
itu dia harus memutar jalan lewat rimba. Maka ia masuki rimba yang berada di
sebelah kanannya. Ternyata jalanan di rimba itu tidak selalu lurus. Berbelok-belok,
berliku-liku dan malang melintang. Dan tiba-tiba nyala api lenyap dari
penglihatan. Maulana Syafri tak berputus asa, sekalipun hatinya mengeluh.
Dengan sebat ia melompat ke atas sebatang pohon. Dari atas ia menje-nguk ke
bawah. Ternyata letak beradanya api tadi, sudah dilewati. Api sekarang berada
di belakang punggungnya. la heran. Perlahan-lahan ia turun ke tanah dengan
masih menggendong Titisari. Segera ia berba-lik. Dan kembali ia kehilangan
nyala api. Sekarang benar-benar ia menjadi heran. Dua tiga kali ia mengulang
dan dua tiga kali pula ia kehilangan sasaran. Karena hatinya ikut ber-bicara
ditambah pula tenaganya sudah banyak terbuang, lambat-laun kepalanya terasa
menjadi pusing. Penglihatannya mulai kabur. Dan akhirnya ia menjadi jengkel. Ingin
ia terbang melewati pohon-pohon yang merupakan pagar penghalang itu. Tetapi
rimba itu sangat gelap. Siapa tahu, ada jebakannya pula. Selain itu, berjalan
lewat pohon dengan menggendong Titisari akan merupakan suatu peman-dangan yang
tidak sedap. Ia khawatir pula akan terceblos dalam suatu jurang atau akan
terbentur suatu dahan yang mengandung racun. Salah-salah, akan menambah
penderitaan Titisari. Memperoleh pertimbangan demikian, ia berhenti
beristirahat dahulu. Titisari masih saja menutup mulut. Gadis itu sudah
memperoleh kesadarannya semenjak tadi. la tahu, bahwa dirinya dibawa
berputar-putar tak keruan juntrungnya. Namun ia berdiam diri saja. Mendadak ia
berkata lemah, "Paman! Berjalanlah ke kanan, ke samping kanan!"
Mendengar Titisari berbicara, giranglah hati Maulana Syafri. "Nona, kau
baik?" Titisari menyahut, tetapi suaranya tidak jelas. "Apakah kau
mengenal jalanan ini?" Maulana Syafri menegas. "Mengapa engkau tak
berjalan ke samping kanan?" sahut Titisari. Kali ini cukup jelas, sehingga
hati orang tua itu menjadi bersyukur. Teringatlah dia tadi, bahwa Titisari
puteri Adipati Surengpati yang terkenal berotak malaikat pada zaman itu. Maka
ia menurut petunjuk Titisari tanpa membantah sedikitpun. Beberapa langkah
kemudian, kembali Titisari berkata: "Paman, beloklah ke kiri. Delapan
langkah saja." Maulana Syafri menurut. la yakin kepada kecerdasan otak
gadis itu. Tadi dia sudah dapat membuktikan sewaktu bertempur melawan Edoh
Permanasari. Pikirnya, benar-benar seekor harimau akan beranak harimau pula.
Adipati Surengpati terkenal pandai. Melihat pu-terinya, agaknya nama itu bukan
bualan ko-song. Memikir demikian, ia merasa diri bertam-bah dekat kepada
Titisari seolah-olah bagian hidupnya sendiri yang sangat dibutuhkan.
"Sekarang menikung ke kanan empat belas langkah," kata Titisari lagi.
Maulana Syafri menurut. Dan selanjutnya ia menuruti gadis itu. Setiap kali ia
harus me-nikung ke kiri atau ke kanan. Kadang-kadang memotong jalan pula.
Titisari memang sudah mewarisi kepandaian ayahnya hampir enam bagian. Ayahnya
terkenal sebagai seorang ahli ilmu alam, ilmu hayat, ilmu ukur, ilmu
tumbuh-tumbuhan dan bin-tang. Orang-orang pada zaman itu berkata: "Adipati
Surengpati berasal dari langit. la pandai membaca dan menghitung bintang. Sudah
barang tentu, itulah julukan yang ber-lebihan. Tetapi sesungguhnya Adipati
Surengpati merupakan seorang cendekiawan yang jarang ada tandingnya pada zaman
itu." Melihat letak nyala api tetap tak berubah, hati Maulana Syafri makin
yakin dan yakin ter-hadap Titisari. Malahan dengan tak disa-darinya sendiri,
terbitlah suatu bintik rasa takluk. Langkahnya kini menjadi lebar. Ia berjalan
ke sana ke sini, mundur maju dan kerapkali pula meloncat. Akhirnya nyala api
bertambah dekat. Karena hatinya sangat bemafsu, segera ia lari cepat untuk
menghampiri. "Jangan terburu-buru!" kata Titisari menasi-hati. Tetapi
Maulana Syafri sudah terlanjur lari cepat. Tahu-tahu kakinya terjeblos dalam
lumpur setinggi dengkul. Ia kaget setengah mati. Sebab kedua kakinya terasa
kena seret. Syu-kur ia seorang berilmu. Cepat-cepat ia meng-genjot diri melesat
ke atas. Dan dengan ilmu itu, ia berhasil terlolos dari belenggu lumpur. Di
atas tanah kering, ia berdiri teriongoh-longoh. la malu bercampur mendongkol.
Dengan pandang penasaran ia mengamat-amati api itu. Di depannya samar-samar
terlihatlah asap putih membumbung ke udara. Dan sedikit banyak, bulan sabit
akhirnya menolong juga. Ia melihat sebuah rumah gubuk. Dan melihat bentuk rumah
itu, hatinya girang. Terus saja ia berseru nyaring. "Diah Kartika! Akulah
Maulana Syafri. Aku datang dengan membawa seorang sahabat yang sedang menderita
luka parah." Titisari tersenyum. Orang tua itu akhirnya memperkenalkan
namanya sendiri tanpa ia bersusah-susah lagi untuk menanyakan. Agaknya hatinya
sudah tawar terhadapnya dan tidak bersikap tegang seperti kemarin. Dalam pada
itu, Maulana Syafri berseru nyaring lagi: "Memang, pada akhir-akhir ini
kedudukan kita amat sulit. Antara kita terjadi saling mencurigai, sehingga kau
pun tentu tak senang hati mendengar kedatanganku ini. Tetapi aku memberanikan
diri untuk datang kepadamu. Malahan aku memberanikan diri pula untuk memohon
kemurahan hatimu. Berilah kami tempat beristirahat. Sahabatku ini membutuhkan
pertolonganmu." Di dalam malam sesunyi itu, suara Maulana Syafri amat berkumandang.
Kata-katanya jelas pula. Namun setelah menunggu sekian lamanya, tetap saja
tiada jawaban. Karena itu, Maulana Syafri mengulangi perkataannya se-patah demi
sepatah dengan suara merendah-kan diri pula. Dan diam-diam hati Titisari
menjadi terharu. Meskipun belum menyatakan terang-terangan, gadis itu mengerti
bahwa Maulana Syafri seorang raja muda. Untuk dia, raja muda itu menggendongnya
hampir sepanjang malam. Ontuk dia, raja muda itu sampai mau merendahkan diri
terhadap sesama rekannya yang sama pula kedudukannya. Kalau dipikir, susah
payah Titisari dalam menolong jiwa Maulana Syafri tidaklah seberat perjuangan
raja muda itu. Sementara itu, suara Maulana Syafri tidak memperoleh jawaban.
Dan untuk ketiga kali-nya, Maulana Syafri mengulangi perkata-annya. Dan barulah
terdengar suara seseorang perempuan tua: "Eh, Maulana! Kau seorang raja
muda, masakan tidak tahu sopan santun? Sudah larut malam begini, kau
berteriak-teriak tak keruan. Masakan aku harus membuka pintu lalu me-nyambutmu
di luar? Kau seorang raja muda yang tinggi ilmunya, hayo datanglah ke mari!
Apakah rumah ini asing bagimu?" Menilik bunyi kata-katanya berkesan ramah.
Tapi suaranya tawar, sehingga tahulah Titisari bahwa perempuan itu tidak
mengharap kedatangan rekannya. "Hm ..." Maulana Syafri menggrendeng.
Selama ia berserikat dengan Diah Kartika dalam Himpunan Sangkuriang, belum
pernah ia mengganggunya. Bahkan hubungannya tidak begitu erat. Sebenarnya untuk
selama hidupnya belum tentu ia akan meminta sesu-atu kepadanya. Tapi mengingat
Titisari, ia sudah melanggar beberapa pantangannya sendiri. Ia seorang yang
berhati tinggi. Adatnya tak dapat disumbari orang. Mendengar suara Diah
Kartika, ia merasa diri ditantang. Maka tak mengherankan, bahwa ia menjadi
gelisah. Dengan tajam ia pandang rumah gubuk itu. Rumah itu berada di
tengah-tengah lumpur. Tadi kalau saja tidak memperoleh petunjuk-petunjuk
Titisari meskipun satu bulan penuh tindakan sampai di sini. Sekarangpun ia
men-dapat kesulitan yang sama pula. Hatinya lantas mengeluh. Ini semua akibat perpecahan
yang terkutuk, katanya di dalam hati. Antara raja muda satu dan lainnya saling
bentrok. Dengan sendirinya saling mencurigai. Se-lamanya belum pernah aku
berhubungan. Malam ini tiba-tiba aku datang mengunjungi. Maka tidaklah terlalu
salah, bila ia mencurigai aku...." Titisari menegakkan kepala. Ia
menebarkan penglihatannya yang masih nampak lemah. Selang beberapa saat lamanya
ia berkata se-tengah berbisik. "Rumah ini agaknya dibangun di atas lumpur.
Sekarang Paman perhatikan! Bukan-kah bentuk bangunan tanahnya bulat?"
Maulana Syafri menajamkan mata. Ke-mudian mengangguk seraya berkata:
"Benar." "Dan bentuk rawa ini persegi bujur, bukan?"
"Benar. Bagaimana kau mengetahui begitu jelas?" Maulana Syafri
girang. "Kau usahakan dirimu berada di sudut timur ' laut. Lalu
berjalanlah memutar ke kiri tujuh langkah," kata Titisari dengan suara
wajar. Lalu menikung ke kanan tiga langkah. Setelah itu lima langkah lurus ke
depan. Sembilan -langkah lagi, mundurlah ke samping kanan tiga langkah. Lalu
memotong jalan tujuh langkah ke kiri. Pasti engkau takkan terjeblos dalam
lumpur. Maulana Syafri tidak beragu lagi. Tadi Titisari sudah berhasil
membawanya sampai ke tempat itu. Sekarang pun juga. Ia berjalan menu-ruti
petunjuk-petunjuknya. Tetapi dengan begitu ternyatalah, bahwa semenjak tadi dia
sudah berada di bawah perintah gadis luar biasa itu. Bukankah tidak jauh dengan
seorang budak yang menghambakan diri? Segera ia memperbaiki pakaiannya, lalu
memeluk Titisari erat-erat. Setelah itu berjalan menurut petunjuk Titisari. Dan
benarlah. Setiap kali kakinya mendarat, tibalah pada sebatang tunggak yang
dapat bergerak miring ke sisi. Maka barang siapa yang tak pandai ilmu
meringankan tubuh, pastilah akan tergelincir atau terbanting masuk kubangan
lumpur. Seratus dua puluh sembilan langkah sudah. Dan sampailah kakinya
menginjak pada da-taran bulat. Itulah ruang tanah di mana rumah Diah Kartika
didirikan. Oleh petunjuk Titisari, ia berjalan memutar. Ternyata nyala api di
depan-nya tidak berubah. Sekarang bahkan memper-lihatkan bahwa rumah itu tanpa
pintu. "Melompatlah! Dan taruhlah kakimu pada sisi rumah!" bisik
Titisari. Maulana Syafri terus meloncat sambil berkata di dalam hati:
"Benar-benar hebat gadis ini. Semua teka-teki, dapat ditebaknya dengan
jitu." Tempat di mana Maulana Syafri mendarat-kan kakinya adalah tanah
kering. Tetapi sepu-luh senti meter di sekelilingnya merupakan lautan lumpur.
Kurang berhati-hati sedikit saja seseorang akan mati tenggelam kena seret
lumpur. Maulana Syafri lantas menyelundup ke sebelah kiri. Sampailah dia di
pekarangan. Di depannya nampak suatu terowongan dan di tengah terowongan itulah
api yang tadi kena dilihatnya. Setelah dekat ternyata terowongan itu merupakan
pintu masuknya. "Masuk! Semuanya biasa. Tak ada bahaya-nya," bisik
Titisari lagi. Maulana Syafri mengangguk. Lalu berseru nyaring lagi:
"Maafkan Diah atas kelancanganku ini. Perkenankan aku memasuki
rumahmu." Berbareng dengan ucapannya, masuklah ia ke dalam rumah. Maulana
Syafri dan Diah Kartika merupakan tokoh penting Himpunan Sangkuriang. Bahkan
menduduki tokoh inti, karena mereka berdua menjabat sebagai anggota Dewan
Penasihat. Namun keduanya belum pemah saling me-ngunjungi rumahnya
masing-masing. Tak mengherankan, bahwa begitu masuk ke dalam ruang tengah,
Maulana Syafri segera mela-yangkan matanya. Di atas meja berbentuk pan-jang
tujuh pelita ditaruhkan pada tempat-tem-pat tertentu yang diatur menurut
segi-segi de-rajat penglihatan. Jadi cahaya pelita yang tadi dilihatnya di
kejauhan, ternyata berjumlah tujuh buah. Tentu saja, ia tadi kena dibuat
bingung. Hebatnya, pelita itu mempunyai segi pemantul-an satu derajat sehingga
dari tempat tertentu hanya nampak satu cahaya. Di depan meja panjang itu,
duduklah Diah Kartika di atas tanah lagi merenungi puluhan lembar daun bam-bu
yang diatur berserakan. Seluruh perhatian-nya tertumpah pada lembaran daun itu,
sehingga ia tak menghiraukan kedatangan Maulana Syafri. Pantas saja, dia tadi
bersikap tawar. Diah Kartika sudah nampak sangat tua. Padahal umurnya sebaya
dengan Maulana Syafri. Rambutnya sudah nampak menjadi putih semua. Kulit
mukanya berkeriputan. Tangannya bergemetaran setiap kali hendak bergerak.
Tetapi janganlah dikira bahwa ia benar-benar sudah buyuten. Gerakannya gesit,
cekatan dan ganas. Ia masih sanggup mengimbangi gerakan Edoh Permanasari.
Padahal Edoh Permanasari dahulu pemah berhubung-an erat dengan anak tunggalnya:
Pendekar Kamarudin. Maulana Syafri membawa Titisari duduk di atas kursi. Gadis
itu nampak kucel. Wajahnya pucat lesi bagaikan kapuk kuyu. Melihat wajahnya,
hati Maulana Syafri menjadi iba. Hendak ia membuka mulut untuk minta sete-guk
air hangat baginya, tapi batal. Ia melihat, betapa Diah Kartika lagi memusatkan
seluruh perhatiannya kepada lembaran-lembaran daun bambu. Nampaknya ia lagi
menghadapi suatu kesulitan yang sudah lama tak terpecah-kan. Dan ia tak mau
mengganggunya. Setelah beristirahat selintasan, Titisari memperoleh sedikit
kesegarannya kembali. Maka ia ikut pula memperhatikan kesibukan Diah Kartika.
Diamat-amatinya letak lembaran daun itu, lalu keningnya berkerut-kerut. Setiap
lembar daun bambu itu berukuran empat senti dan lebar dua senti. Dan Diah
Kartika terus mencurahkan perhatiannya. Maulana Syafri tak mengerti masalah apa
yang sedang direnungkan itu. Tatkala melihat betapa kening Titisari berkerut-kerut
pula, hatinya menjadi heran. Pikirnya, untuk seluruh wanita di Jawa Barat, Diah
Kartika adalah seorang cendekiawan satu-satunya. Rupanya gadis itu pun
demikian. Ayahnya seorang sar-jana, apakah dia sudah mewarisi ilmunya. Kalau
benar, akan banyak daya gunanya.... Tiba-tiba terdengar Titisari berkata,
"Lima! Tiga ratus tujuh puluh lima!" Diah Kartika terkejut. Ia
menengadah. Pandang matanya tajam. Agaknya hatinya tak senang. Sesaat kemudian
ia tunduk lagi dan mencoba menghitung dengan suatu corat-coret. Terdengar
kemudian ia memekik perla-han. Ternyata hitungan Titisari jitu sekali. Kembali
ia menegakkan kepalanya dan meng-amat-amati Titisari. Dilihatnya wajah Titisari
kucel kuyu. Ia tunduk lagi dan menguji hitungan itu kembali. Benar-benar tak
salah. Karena itu, ia segera hendak menghitung pula pecah-an lainnya. Titisari
meruntuhkan pula pandangannya ke tanah. la bersikap menunggu. Tetapi sampai
sekian lamanya, Diah Kartika belum juga ber-Jiasil memecahkan hitungannya.
Lantas Titisari berkata tenang: "Seratus dua puluh empat." Kembali
Diah Kartika terkejut. Ia menenga-dah. Wajahnya berubah merah. Lalu dengan hati
penasaran ia melanjutkan hitungannya. Setelah berkutak-kutik selintasan,
ternyata benar hitungan Titisari. Memperoleh kenya-taan itu, terus saja ia
berdiri tegak. Sekarang nyatalah, bahwa tubuh Diah Kartika sudah bongkok
dimakan usianya. Keningnya sudah pada berkeriput. Meskipun demikian, matanya
bersinar tajam luar biasa. "Mari, ikuti aku!" katanya sambil menuding
ke arah sebuah pintu samping. Ia berjalan mendahului dengan berbatuk-batuk
kecil. Maulana Syafri memapah Titisari lagi untuk mengikuti Diah Kartika.
Sampai di depan kamar, ia berhenti tak mau masuk. Dinding kamar sebelah dalam,
berbentuk bundar. Lantainya penuh pasir dan di atasnya terdapat coretan-coretan
dan tanda-tanda lurus dan bulat. Nampak pula guratan huruf-huruf catatan.
Bunyinya ternyata suatu dalil-dalil ter-tentu. Menimbang bahwa hal itu mungkin
sa-ngat penting bagi Diah Kartika, ia tak berani melangkahkan kaki karena takut
merusak atau menghapus sebagian. Menyaksikan penglihatan itu, wajah Titisari
nampak tenang. Tiada suatu kesan rasa heran atau kagum. Sebab itulah ilmu
aljabar yang dijajarkan dengan dalil-dalil ilmu alam. Semuanya itu sudah pernah
dipelajarinya lewat ayahnya. Dengan tiba-tiba ia menarik pedang Maulana Syafri.
Kemudian dengan mengajak Maulana Syafri melangkah masuk, ia meliuk ke tanah.
Tangannya menggarit-garit suatu deretan angka dengan ujung pedang. Lalu
berkata, "Apakah ini benar?" Ternyata ia sudah memecahkan beberapa
hitungan dengan cepat dan tepat. Maka lagi-lagi Diah Kartika memekik kagum.
Setelah mengawasi dengan tercengang, bertanyalah dia, "Kau siapa?"
"Itulah hitungan ilmu aljabar," kata Titisari yang tidak menjawab
langsung pertanyaan Diah Kartika. Dan tanpa diminta ia segera menjelaskan
tentang dalil-dalil tertentu, serta cara memecahkannya. Mendengar kuliah
Titisari, wajah Diah Kartika pucat lesi. Ia seperti berputus asa. Tubuhnya
bergoyang-goyang, lalu menjatuhkan diri di atas pasir seraya memegang kepalanya.
Ia nampak berpikir keras. Sejenak kemudian, ia menegakkan pandangnya. Wajahnya
kembali menjadi terang. Berkata, "Nampaknya kau lebih mengenal dalil-dalil
di luar penge-tahuanku. Tapi cobalah hitung soal ini!" Diah Kartika
menunjuk suatu gambar tanah liat (miniatur) yang berada di pojok kamar. Setelah
diterangi sebuah dian, ternyatalah bahwa gambar itu menggambarkan suatu tata
wila-yah. Pada gambar itu nampak deretan-deretan pohon, gundukan tanah, sungai,
empang lumpur, lika-liku jalan dan semak belukar. Semuanya itu diatur merupakan
jebakan penglihatan. Titisari mengamat-amati sebentar. Teringat-lah bahwa
ayahnya mengatur pulau Karimun Jawa sebagai gambar itu pula. Bahkan lebih pelik
dan sulit. Maka dengan gampang ia berkata, "Kukira mudah saja. Beginilah
cara menghitung dan memecahkan." Lalu ia meng-gurat-guratkan pedangnya di
atas pasir. Melihat betapa tepat hitungan Titisari, wajah Diah Kartika menjadi
pucat lesi. Napasnya lantas saja menjadi sesak. "Ah ..." keluhnya
dalam. "Kukira ciptaanku ini hanya kumiliki sendiri. Ternyata engkaupun
mengetahui juga. Bagaimana bisa begitu?" "Hitungan ini sudah lama
diketahui manusia semenjak zaman purba," kata Titisari. "Sewak-tu aku
menerima pelajaran dari Ayah, mula-mula diwajibkan aku menghafal dalil-dalilnya.
Coba dengarkan dalil-dalilnya. Engkaupun akan dapat menghafalkan di luar
kepala!" Dan benar-benar Titisari menyebutkan beberapa dalil ilmu Aljabar
dengan cepat serta lancar. Setelah itu, ia beralih pada dalil-dalil ilmu Alam
dan bintang. Kemudian dia berkata, "Rupanya engkau belum pernah
mempelajari ilmu bintang. Baiklah kugambarkan di sini." Ia menggurat-gurat
beberapa letak bintang. Dan Diah Kartika memandangnya dengan hati takjub.
Lantas ia berbangkit lagi dengan tubuh bergemetaran. "Puluhan tahun aku
menekuni ilmu itu. Selama itu belum pernah aku menjumpai se-orang yang dapat
mengenalnya. Tak tahunya, engkau begini masih muda belia sudah melebihi aku.
Malahan sudah dapat menyela-mi sampai ke dasarnya. Sebenarnya kau siapa
Nona?" katanya. Tiba-tiba ia berbatuk-batuk sambil menekan-nekan dadanya.
Dari saku-nya ia mengeluarkan sebutir obat. Setelah dite-lan, batuknya lenyap
dan wajahnya menjadi tenang kembali. Dan tahukah Titisari, bahwa hati orang tua
itu sangat kecewa dan merasa runtuh kebanggaannya. "Habislah ... habislah
sudah ..." katanya berulang kali. Dan tiba-tiba air matanya mengucur
deras. Titisari menoleh kepada Maulana Syafri untuk minta penjelasan, apa sebab
Diah Kartika menangis. Tetapi wajah Maulana Syafri nampak tak mengerti juga. Akhirnya
saling memandang dengan penuh pertanyaan. Selang beberapa saat, Diah Kartika
nampak sudah dapat menguasai diri. Mau ia berkata, sekonyong-konyong
terdengariah gemerisik orang di luar empang. Tahulah Maulana Syafri dan
Titisari, bahwa mereka itulah pengejarnya. "Musuh atau sahabat?" Diah
Kartika bertanya. "Musuh," jawab Maulana. "Hm, mendengar
langkahnya seperti Sindung Riwut, Ratu Kenaka dan anak murid Gunung
Mandalagiri. Benarkah itu?" "Ya," jawab Maulana Syafri pendek.
Ia tahu, Diah Kartika mempunyai pendengaran tajam dan otaknya cerdas pula
sehingga dengan cepat dapat menebak siapakah yang berada di luar. Namun ia
menambahi. "Selain mereka bertiga, masih ada pula beberapa anak murid Edoh
Permanasari." Mendengar nama Edoh Permanasari, men-dadak saja wajah Diah
Kartika menjadi bengis. Lantas membentak, "Kalau begitu, siapakah Nona
ini?" "Legakan hatimu," kata Maulana Syafri. "Gadis inilah
yang justru lagi dikejar-kejar anak murid Edoh Permanasari. Sebab iblis itu
tadi sore kena dikalahkannya." "Hai! Benarkah itu?" suara Diah
Kartika menjadi girang. Ia percaya keterangan rekan seperjuangannya itu.
"Osianya masih begini muda, tetapi sudah dapat mengalahkan Edoh.
Sebenarnya sia-pakah dia dan mengapa ia menderita luka?" "Periksalah
sendiri!" Diah Kartika menghampiri Titisari dan membuka baju luarnya.
Dahinya berkerut-kerut tatkala memeriksa lukanya. Terdengar ia menggerendeng
tidak begitu jelas. "Hai! Kenapa dia ikut-ikutan pula? Apakah dia
menantang aku?" Maulana Syafri tahu, bahwa antara Diah Kartika dan kakak seperguruannya
Tatang Manggala sudah terbit suatu perpecahan semenjak mudanya. Itulah terjadi,
karena panggilan hidup masing-masing. Diah Kartika berpihak kepada Ratu Bagus
Boang, sedang-kan Tatang Manggala mengabdikan diri kepada Ratu Fatimah. Dengan
cekatan Diah Kartika mengambil sebutir ramuan obat dari tempat penyim-panannya.
Kemudian berkata, "Telanlah! Dan legakan hatimu, meskipun mereka kini
berada di dekat kita, tetapi mereka takkan mampu memasuki rumah lumpur kita.
Kau beristira-hatlah di sini. Kau harus sembuh kembali seperti sediakala,
karena aku ingin beromong-omong lebih banyak lagi denganmu ..." ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 46 TITISARI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 46 TITISARI"
Post a Comment