BENDE MATARAM JILID 48 PULANG
Hati
seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini
dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat ting-gi.
Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah
lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya
akan membunuh difi pula mencontoh Sonny de Hoop. Alasan untuk berbuat demikian
sangatlah lemah. Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada
hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia
sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebeluin berbicara dengan Major de
Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi perlindungannya. Gntuk perbuatan
itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja
meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai
makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan mem-balas budi. Masakan
manusia tidak? Sekiranya terjadi demikian, namanya yang buruk akan menyangkut pula
masa depan anaknya. Itulah sama halnya dengan meracun hidup anak tunggalnya
untuk selama-lamanya. Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya?
Itulah bunyi tulisan Wirapati pada tombak almarhum suaminya yang senantiasa
meng-iang-iang dalam kalbunya. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyak-sikan
betapa Sonny dengan gigih hendak menyelamatkan jiwa anaknya. Hatinya ter-haru.
Sedangkan seorang yang bukan sanak bukan kadang, berani mempertaruhkan jiwanya.
Masakan dia yang melahirkan Sangaji dari rahimnya sendiri, tidak? Hebat getaran
hatinya tatkala mendengar pekik penghabisan Sonny yang menyatakan rasa cinta
kasih yang tulus terhadap anaknya. Dan begitu melihat Sonny de Hoop menghabisi
jiwanya sendiri, lantas saja ia menikam dadanya. Anakku ...! Inilah jalan yang
paling baik, bisiknya tatkala kena pandang anaknya. "Sebenarnya hal ini
sudah harus kulakukan semenjak ayahmu tewas. Tetapi mengingat engkau ... aku
... aku ... sekarang, kalau engkau tidak dapat membawa Ibu pergi dari sini...
akan sia-sialah jasat ibumu ini..." Dengan hati pecah Sangaji menyambar
tubuh ibunya dan memeluknya sambil men-ciumi ibunya sudah menjadi mayat.
"Tangkap! Tangkap!" terdengar suara Letnan Van Vuuren. Opsir itu
seperti menjadi gila, tatkala melihat meriam kebanggaan kompeni macet oleh
darah Sonny de Hoop yang mem-basahi sumbu dan bubuk mesiu. Itu berarti akan
mensia-siakan kesempatan yang baik untuk membuat jasa. Sebentar kemudian
terdengarlah suara le-tusan senapan. Dan dalam ruang pendapa rumah Sangaji,
peluru lantas berdesingan. Delapan serdadu maju berbareng hendak menangkap
buruannya. Sangaji sangat bersedih. Hatinya terluka. Tubuh ibunya terus
dipeluknya. Tatkala meli-hat berkelebatnya bayangan orang maju mengepung
rumahnya rapat-rapat, teringatlah pesan ibunya bahwa ia harus membawa jasat
ibunya pergi dari Jakarta. Suatu perasaan ajaib bergelora di dalam dirinya. Ia
harus melaksanakan pesan yang penghabisan itu dengan sebaik-baiknya. Berhasil
atau tidak, bukan soal. Yang penting, ia benar-benar sudah membuktikan. Inilah
kebaktiannya yang terakhir terhadap ibunya yang dicintainya de-ngan segenap
hatinya. Maka terbangunlah semangat tempurnya. Hebat akibatnya. Dengan
memondong tubuh ibunya, ia menyambut serbuan itu dengan sapuan kaki. Selama
memiliki ilmu sakti warisan Pangeran Semono, belum pernah ia bertempur dengan
sepenuh hati. Tapi kali ini, hatinya terlalu sakit. la mengerahkan segenap
kemampuannya untuk melawan musuh yang kebetulan sangat tepat. Suatu kesiur
angin dahsyat menderum bagaikan gelombang pasang. Meskipun jarak sasarannya
masih cukup jauh, namun kedela-pan penyerangnya terangkat naik oleh suatu
tenaga dahsyat. Tahu-tahu tubuh mereka ter-buang jauh tak ubah bola tendang.
Sangaji yang biasanya berperasaan sangat halus, tidak memedulikan akibat
serangannya. Ia justru melompat maju menggempur serom-bongan pasukan
berikutnya. Tangannya me-nyambar. Krak! lga-iga empat orang serdadu sekaligus
patah gemeretak. Dengan jerit pilu mereka rebah tak berkutik. Dan nyawanya
amblas mendaki udara. Menyaksikan robohnya dua belas serdadu dengan gampang,
semua bintara dan perwira kompeni hampir maju berbareng dengan serentak.
Sangaji melompat ke belakang pagar pesanggrahan. Tangan kirinya bergerak lagi.
Kali ini menggempur dinding pagar. Brol! Dinding batu ambrol berantakan dan melesat
bagaikan peluru berondongan. Dan berbareng dengan itu, ia menyeberang lapangan.
Luaf biasa gerakan Sangaji. Tatkala berada di dataran tinggi Gunung Cibugis
menghadapi keroyokan para pendekar jempolan, ia melawan dengan dasar mengadu
kepandaian. Ia masih dapat menimbang-nimbang arti kebi-jaksanaan. Tapi kali
ini, dia benar-benar mengamuk. Sebab selain hatinya pepat. Ia .sadar bahwa'yang
dihadapi adalah butir-butir peluru. Maka gerak-geriknya dahsyat bukan kepalang.
Lapangan terbuka seolah-olah kena landa suatu angin puyuh yang datang lenyap
tak menentu. Itulah reaksi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik yang tersekap
sekian lamanya dalam dirinya. "lbu!" Sangaji memanggil ibunya sambil
menangis. Ia tidak memperoleh jawaban. Ketika. tangannya meraba hidung ibunya,
tiada terasa lagi kehangatan napasnya. Itulah suatu tanda, bahwa ibunya sudah
berpindah tempat ke dunia lain menyusul arwah ayahnya yang sudah lama
mendahului. Bukan main rasanya hati Sangaji. Tetapi ia sadar, dirinya terancam
bahaya. Lalai sedikit akan mensia-siakan pesan ibunya yang terakhir. Maka
selagi ser-dadu-serdadu kompeni kacau kena serbuan-nya, ia lari sekuat-kuatnya.
Kupingnya yang tajam mendengar bunyi terompet. Lalu bergeraknya pasukan di
empat penjuru. Mereka berteriak-teriak terkejut. Rupanya kena serbu juga.
Itulah aksi ketiga panglimanya: Maulana Syafri, Tatang Sontani dan Tubagus
Simuntang yang dapat bergerak ke sana ke mari tak ubah iblis. "Gusti Aji!
Lari ..." Sangaji kabur tanpa tujuan. Kabur begitu saja untuk menjauhi
kepungan fapat. Betapa sakti dia, tak mungkin dapat melawan ratusan serdadu
dengan seorang diri. Dalam kesulitan itu, barulah dia teringat kepada Willem,
si kuda jempolan. Semenjak tiba dari Gunung Cibugis, tiada kesempatan baginya
untuk mengurus Willem. Lalu ia dirundung berbagai kejadian yang mendesak dan
bertubi-tubi, sehingga Willem luput dari perhatiannya. Tiba di pinggir kota, ia
mementang pengli-hatannya. Di sebelah selatan nampak sebuah gunung berdiri
tegak. lngin ia cepat-cepat mencapai gunung itu. Kalau ia sampai di wilayahnya,
bahaya dapat dilewati dengan selamat. Pemuda itu masih saja menangis, tetapi
tiada bersuara. Ia mengumpulkan semangat-nya. Lalu melesat dengan menggunakan
ilmu lari ajaran pendekar Gagak Seta. Itulah ilmu petak ajaib. Apalagi ia bersandar
pada tenaga sakti kepesatannya tak dapat dilukiskan lagi. Hakikinya dalam jagat
ini, hanya dia seorang yang memiliki kepesatan berlari demikian hebat. Tengah
berlari kencang, di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin seorang
per-wira berperawakan gagah gesit. Seorang tua berambut putih maju menghadang
dari sam-ping. Sangaji segera mengenal siapa dia. Itulah Tatang Manggala yang
datang membantu pengepungan dengan pedang Sangga Buwana di tangannya. Sangaji
melompat ke samping untuk mengelak serangan itu. Ia kenal ketaja-man pedang
pusaka Banten itu. Maka tak mau ia terikat. Dengan menjejak tanah ia
menyer-bukan diri ke dalam pasukan yang sedang mempersiagakan alat bidiknya.
Tepat sekali akal Sangaji menyerang pasukan yang bersen-jata senapan. Dengan
serangan jarak dekat, senapan tak dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Dan
kesempatan itu dipergu-nakan sebaik-baiknya oleh Sangaji. Pemuda itu lantas
menerjang membuat suatu jalan terbuka. Perwira yang berperawakan gagah itu,
masih saja tenang-tenang berada di atas kudanya. Di belakangnya berderet
pasukan berkudanya yang sudah siap dengan senapan-nya. Mereka bergerak
perlahan-lahan mem-buat pagar pengepungan. Melihat bergeraknya pasukan kuda
yang rapih itu, hati Sangaji mengeluh. Sebab untuk menerobos pagar
pengepungannya, ia harus membunuh. Hal itu berarti ia akan terikat oleh suatu
medan. Tujuan menyingkirkan jauh-jauh akan gagal dengan sendirinya. Tiba-tiba
ia mendengar suatu seruan tajam yang sangat dikenalnya. "Adikku Sangaji!
Apakah kau tidak meman-dang mata padaku?" Hati Sangaji terkesiap. Ia
menoleh. Dan melihat kakak angkatnya Willem Erbefeld. Dialah tadi perwira yang
berperawakan gagah perkasa. "Kakak Willem! Apakah engkau hendak menangkap
aku pula?" seru Sangaji nyaring dengan hati pilu pedih. "Ya,"
sahut Willem Erbefeld dengan pendek. Sangaji tertegun, sehingga gerakan
per-lawanannya terhenti dengan sendirinya. Berpikirlah dia, Sonny mati. Ibu
tiada lagi. Mereka hendak menangkap aku mati atau hidup. Aku sudah kehilangan
lbu dan pelin-dung „. untuk apa lagi kusayangi nyawaku? Baiklah, daripada aku
kena tangkap yang lain Jebih baik kuserahkan diriku kepada kakakku ini. Dengan
.begitu, jasa akan jatuh kepada-nya." Setelah berpikir demikian, dengan
te-nang dia berkata, "Baiklah, Kak. Tangkaplah aku! Tapi izinkan aku
mengubur lbu dahulu." Tanpa menunggu persetujuan, Sangaji melayangkan
matanya. Seratus meter di depannya menghadang sepetak hutan. Tanah-nya meninggi
meraba suatu gundukan, sehingga merupakan suatu bukit mungil. Ia bawa ibunya
mendaki bukit kecil itu. Dengan pedang Sokayana, ia menggempur tanah dan
membuat Hang kubur. Kemudian dengan per-lahan-lahan ia meletakkan ibunya di
atas tanah. Mata tombak almarhum ayahnya masih menancap kencang di tengah dada
ibunya. Ia tak berani mencabutnya. Kemudian ia berdiri mundur dan membungkuk
hormat tiga kali. Setelah itu berjongkok membuat sembah tiga kali pula. Hatinya
sangat sedih dan penuh tumpuan-tumpuan perasaan yang tak jelas bunyinya,
sehingga ia tak dapat menangis. Willem Erbefeld melompat dari kudanya. la
menghampiri kuburan Rukmini. Dia seorang yang berpendidikan Belanda. Tak dapat
ia membuat sembah, karena itu ia hanya mem-bungkuk hormat. Setelah itu, ia
menyerahkan senapannya dan segenggam uang emas. Akhirnya ia menyerahkan kudanya
pula, kepada Sangaji. "Kau pergilah! Mungkin untuk selama hidup kita tak
bakal bertemu lagi..." Sangaji tercengang. "Kak Willem... tapi engkau
akan kena salah. Banyak bawahanmu menyaksikan, engkau telah dapat menangkap aku
..." "Aku sudah kenyang hidup ... berperang dari timur ke barat, dari
utara ke selatan ... Teringatlah aku, seorang pemuda tanggung kurang lebih
berumur 14 tahun berani mem-pertaruhkan jiwanya untuk menolong jiwaku. Itulah
engkau, adikku. Masakan aku tak berani berkorban jiwa untukmu pula? Maka itu,
pergi: lah!" kata Mayor Willem Erbefeld. "Tapi ... tapi engkau akan
kena salah! Biarlah aku mati. Hidupku toh sudah jadi tawar. Aku kehilangan
semua yang menambat hatiku. Di depanku hanya tergelar suatu teka-teki belaka
..." Sangaji menyahut dengan suara gemetaran. "Meskipun engkau kini
seumpama sudah menjadi raja, aku masih menganggap engkau adikku. Tetapi
kemungkinan besar, pasukanku berpikir lain. Engkau dipandang sangat tinggi.
Kalau mereka dapat menangkap engkau, akan besar jasanya." Mayor Willem Erbefeld
mem-peringatkan: "Pergilah, selagi aku masih dapaf menguasai mereka.
Cepat!" Dengan periahan-lahan, Sangaji menuntun kuda pemberian Willem
Erbefeld setelah memanggul pedang Sokayana di atas pung-gungnya kembali.
Seluruh pasukan Mayor Willem Erbefeld melompat dari kudanya. Ternyata mereka
adalah serdadu-serdadu tangsi yang pernah bergaul dengannya tatkala dia masih
hidup di dalam tangsi. Willem Erbefeld melompat dari kudanya. Ia menghampiri
kuburan Rukmini, lalu meman-dang Sangaji lama-lama. Dengan Rukmini ia mengenal
hatinya, lewat Sangaji yang luhur serta mulia budi. Apa sebab seorang
perem-puan yang pernah melahirkan seorang pemuda seluhur itu, dapat melakukan
bunuh diri? Ia mencoba mengingat-ingat dan merenungkan. Rukmini seorang
perempuan desa yang sederhana hatinya. Ia kawin dengan Made Tantre seorang
bekas prajurit dari Pulau Bali. Agama Hindu Bali dewasa itu masih keras.
Seorang isteri yang kematian suaminya, harus pula ikut mati dibakar dengan
mengantarkan suaminya kembali ke alam baka. Itulah per-buatan cinta dan
kesetiaan abadi. Dan sedikit banyak paham ini pernah meresap dalam hati Rukmini
yang sederhana. Tatkala suaminya dahulu tewas sebenarnya ia sudah bermaksud
hendak ikut mati pula. Tetapi teringat akan anaknya, ia mengurungkan niatnya. Hal
itu, bukanlah berarti ia sudah melepaskan diri dari suatu paham yang sudah
menjadi keyakinan-nya. Setiap kali ia merasa diri kena amat-amatan suaminya di
alam baka. Karena itu, ia pernah jatuh sakit selama hampir satu minggu tatkala
Sangaji gagal melakukan tugas suci membalas dendam keganasan Pangeran Bumi
Gede. Di atas tempat tidur ia berjanji kepada suaminya hendak segera menyusul
ke alam baka, manakala Sangaji sudah menjadi orang. Sekarang terjadilah
peristiwa Mayor de Hoop. Hatinya yang sederhana dan bersih ter-pukul oleh
perkembangan hidup. Sebagai se-orang yang berhati sederhana, ia merasa diri tak
pantas meninggalkan kota Jakarta tanpa pamit. Lebih baik ia mati daripada
merosot kehormatan dirinya sekeluarga. Taruh kata ia meninggalkan Jakarta dengan
Sangaji, apakah kata Mayor de Hoop, la akan ditertawakan, diejek dibicarakan
dan dikutuk sejarah sebagai seorang yang tidak kenal budi. la ikhlas
mengorbankan diri untuk anaknya, tapi tidak rela apabila anaknyapun ikut pula
mati. Ia mencoba membujuk anaknya agar meloloskan diri dari kepungan. Tapi
Sangaji tak mau. Pemuda itupun berkeras hati hendak mati bersama dengan ibunya.
Perempuan yang berhati sederhana dan bersih dalam kebingungan. Dalam saat-saat
yang sangat penting, manusia ini sering memperoleh titik penyelesaian.
Tiba-tiba saja timbullah keputusannya, hendak mati untuk menebus budi berbareng
menyelamatkan anaknya. Dan keputusan ini dipicu pula saat melihat matinya Sonny
de Hoop. Gadis Belanda itu rela membunuh diri untuk menyatakan cinta kasihnya
terhadap anaknya. Hati seorang ibu manakah yang tidak tergetar oleh peristiwa
yang suci itu. Pada detik itu juga, semua keraguan lenyap. Dengan niat menebus
budi, menyusul arwah suaminya berbareng menyelamatkan anaknya, ia lalu menikam
dadanya. Sadar perbuatan Rukmini itu atas dirinya. Dalam jiwanya akan melayang,
masih ia berpesan kepada Sangaji agar membawa jenasahnya keluar dari rumah. Ia
kenal akan hati anaknya yang patuh dan berbakti padanya. Ternyata
pengorbanannya tidak sia-sia. Tuhan melu-luskan jalan bagi seseorang yang
bertujuan suci bersih. Willem Erbefeld seorang Indo berpendidikan barat.
Meskipun demikian, ia dapat merasakan perjuangan hati Rukmini yang sederhana
itu. Tanpa berbicara, ia lalu membungkuk hormat terhadap arwah seorang wanita yang
selama hidupnya belum pernah memikirkan suatu kebahagiaan untuk dirinya
sendiri. Kemudian ia menyerahkan senapannya dan segenggam emas. Akhirnya ia
menyerahkan kudanya pula kepada Sangaji. "Selamat jalan adikku ... kau
selamatlah pulang ke kampung halaman!" kata mereka hampir berbareng.
Terharu hati Sangaji sampai ia menghela napas. Ia lantas membungkuk hormat
kepada mereka. Setelah itu ia melompat di atas kuda pemberian kakak angkatnya
Mayor Willem Erbefeld. Dua hari dua malam ia melarikan kudanya. Ia hanya
berhenti untuk memberi makan dan minum kudanya. Untuk dia sendiri, ia tak
memikirkan. Nafsu segalanya lenyap dari per-bendaharaan hatinya. Dunia baginya
seolah-olah tawar. Kuda pemberian Mayor Willem Erbefeld termasuk seekor kuda
pilihan. Tetapi dibandingkan dengan si Willem, selisih-nya masih jauh. Meskipun
demikian, dengan berlari kencang terus-menerus sampailah dia di Jatibarang pada
hari ketiga. Pada hari keempat, ia memperlambat per-jalanan. Pikirnya, untuk
apa aku terburu-buru? Ia hampir berhenti di tengah jalan dengan pikiran muram.
Tiba-tiba teringatlah dia akan pesan ibunya untuk mengembalikan dua pusa-ka
warisan Pangeran Semono. Teringat hal itu, semangatnya timbul. Sekarang ia
mempunyai tujuan. Dan dengan tujuan itu, perjalanannya terasa menjadi lancar.
Sekarang ia telah memasuki wilayah Kasultanan Cirebon. Dan kembali ia
me-rasakan dirinya asing. Ke mana kelak kalau melaksanakan pesan ibunya? Dalam
beberapa bulan saja, ia telah kehilangan tiga mutiara hidupnya. Titisari, Sonny
de Hoop, dan Ibu. Tiada lagi ia mempunyai sanak atau kadang. Bahkan rumahpun
tiada. Yang ada tinggal kedua gurunya, paman-paman guru dan eyang gurunya: Kyai
Kasan Kesambi yang bermukim di atas Gunung Daman Selagi ia bermenung demikian,
sekonyong-konyong terdengarlah seorang memanggil dirinya. Ia menoleh dan
melihat seorang laki-laki tua menunggang kuda yang datang padanya dengan pesat.
Setelah diamat-amati, ternyata Tatang Manggala. "Berhenti! Aku ingin
mendengar perkataan-mu!" serunya nyaring berulang kali. Sangaji menahan
kendalinya. Dengan te-nang ia menunggu. Tak lama kemudian, Tatang Manggala
mendahului beberapa langkah dengan sikap menghadang. Ia bercokol pula di atas
kudanya dengan melintangkan pedang Sangga Buwana. Berkata garang, "Hampir
lima hari aku menyusulmu, ternyata engkau masih bisa berlari cepat. Kakak
angkatmu membe-baskanmu, tetapi aku tidak. Sekarang ja-wablah yang jujur! Kau
masih kembali ke Jawa Barat atau tidak?" Dengan orang tua itu, tiga kali
Sangaji per-nah bersua selintasan. Yang pertama di pade-pokan tabib sakti
Maulana Ibrahim. Yang kedua di atas pegunungan Cibugis. Dan yang ketiga tatkala
ia bertemu dengan pasukan Mayor Willem Erbefeld. la tak mempunyai per-musuhan
langsung dengan dia. Rasa per-musuhannya hanya berhubungan dengan kedudukannya
sebagai Ketua Himpunan Sangkuriang. Karena itu, ia bersikap tenang tiada kesan
buruk. Dengan matanya yang tajam ia kini dapat melihat perawakan Tatang
Manggala dengan tegas. Ia seorang yang berperawakan tegap. Usianya sekitar
tujuh puluhan tahun. Meskipun demikian, tubuhnya nampak masih kekar dan kuat.
Pandang matanya jernih, suatu tanda bahwa ia tak berhati buruk. "Nah,
jawablah pertanyaanku itu!" ia mendesak. Sangaji tak segera menjawab.
Pende-ngarannya yang tajam menangkap bunyi per-napasan beberapa orang yang
berada tak jauh dari padanya. Di antara mereka terdapat napas seorang
perempuan. Hatinya tercekat. Ia tak tahu apakah mereka musuh atau lawan. Maka
dengan tenang ia berkata, "Sebenarnya, apa maksudmu?" "Kau
jawablah pertanyaanku dahulu! Kau masih akan kembali ke Jawa Barat atau
tidak?" "Kalau benar bagaimana, kalau tidak bagai-mana?"
"Hm," dengus Tatang Manggala. "Kalau kau masih berangan-angan
kembali ke Jawa Barat, hari ini aku terpaksa membunuhmu. Di atas Gunung Cibugis,
kau disertai budak-budakmu. Dan beberapa hari yang lalu, kita diganggu serdadu.
Sekarang kau sendirian, akupun begitu. Nah, marilah kita mencoba-coba siapakah
yang lebih unggul." Tatkala Sangaji mengintip di padepokan tabib sakti
Maulana Ibrahim, sedikit banyak ia telah mendengar latar belakang riwayat hidup
Tatang Manggala. Orang tua itu mengabdikan diri kepada kerajaan Banten.
Ternyata ia se-orang hamba kerajaan yang setia. Meskipun Ratu Fatimah tiada
lagi, masih ia bekerja untuk kewibawaan kerajaan Banten. Sangaji tersenyum
mendengar ujar Tatang Manggala yang berkesan kentus ). Hendak ia menyahut,
tiba-tiba terdengarlah suara lantang. "Eh, kau masih ikut-ikutan
pula?" Dan be-gitu habis suara itu muncullah seorang perem-puan tua dari
balik belukar. Tubuh perempuan itu melengkung karena dimakan usianya. Namun
gerak-geriknya gesit. Ternyata dia Diah Kartika adik seperguruan Tatang
Manggala, juga salah seorang anggota Himpunan Sangkuriang. "Di depan ketua
kami, masakan kau berani menjual lagak?" bentak Diah Kartika tak senang.
Kemudian dia berputar menghadap Sangaji dan terus membuat sembah adat istia-dat
Pasundan. Katanya takzim, "Hamba duta Himpunan Sangkuriang menghaturkan
sembah kehadapan Paduka." Sangaji melompat dari kudanya. Ia mem-balas
hormat seraya membalas. "Apakah Bibi yang disebut Diah Kartika?"
"Benar. Itulah hambamu." Diah Kartika membuat sembah lagi.
"Kakak seperguruan hamba berlaku sangat kurang ajar kehadapan Paduka.
Perkenankan hamba mengajar adat-nya." Sangaji melirik kepada Tatang
Manggala yang nampak pula merosot dari punggung kudanya. Ia tahu, Tatang
Manggala kakak seperguruan Diah Kartika yang bersimpang jalan setelah
masing-masing menjadi dewasa. Sekarang Diah Kartika minta ijin kepadanya untuk
menghajar perilakunya yang tidak dise-tujui. Kalau ia menyetujui, rasanya
kurang tepat. Pikirnya, betapa berbeda jauh paham-nya, tetapi mereka adalah
saudara seperguruan. Kalau sampai bercidera akan merupakan suatu kejadian yang
sangat menyedihkan. Menimbang demikian, ia segera berkata: "Bibi!
Nampaknya Paman Tatang Manggala tidak akan mau sudah, apabila belum kubuat-nya
puas. Biarlah dia berbuat sekehen-daknya." "Hai! Bagaimana kau kenal
namaku?" teriak Tatang Manggala. "Huh... di dunia ini, manakah yang
tidak diketahui pemimpinku? Apalagi hanya nama-mu yang tiada harganya," bentak
Diah Kartika dengki. Sangaji tersenyum menyaksikan lagak lagu Diah Kartika yang
berkesan rada-rada liar itu. Katanya sabar, "Secara kebetulan aku kenal
dengan keponakan murid Paman, Manik Ang-keran. Dialah yang banyak membicarakan
Paman." "Ah, bocah itu?" Tatang Manggala memotong sengit. Ia
berhenti bersungut-sungut, lalu berkata meneruskan. "Baiklah kau sekarang
sudah kenal siapakah diriku. Nah bagaimana, apakah... apakah..." ia
berbimbang-bimbang. Matanya liar memandang ke kiri kanan. Ternyata dirinya
sudah kena kepung para raja muda yang muncul tak ubah cendawan di musim hujan.
Andangkara, Tubagus Simun-tang, Dwijendra, Walisana, Dadang Wiranata, Otong
Surawijaya, Tatang Sontani dan Maulana Syafri. Mereka berbareng membuat sembah
kepada Sangaji. Kemudian dengan tajam mengawaskan Tatang Manggala yang nampak
jadi kebingungan. "Hai! Hai! Apakah kau hendak main kerubut?" katanya
sejadi-jadinya. Sangaji memutar pandangnya dan melihat para panglimanya tidak
bergerak atau menun-jukkan suatu kesan. Ia jadi heran. Tatkala melihat mereka
meruntuhkan pandang kepada Diah Kartika, maka tahulah dia bahwa Diah Kartika
harus bertanggung jawab pada sepak terjang kakak seperguruannya itu terhadap
pemimpin besarnya. Mereka tak mau meng-adili, karena Tatang Manggala kakak
sepergu-ruan Diah Kartika. Dengan begitu, mereka menghargai rekan
perjuangannya. Bagus rasa persaudaraan ini, sampai pula Otong Surawijaya yang
biasanya bermulut jahil dapat menguasai diri.... Yang nampak maju mundur adalah
Diah Kartika seorang. Menuruti hati, ingin ia mem-bungkam mulut kakak
seperguruannya itu. Tapi mengingat pemimpinnya belum meng-izinkan, tak berani
ia menentukan sikap. Sangaji tahu pula hai itu. Maka ia maju menghampiri Tatang
Manggala dan menegas. "Manik Angkeran kemenakan murid Paman, sekarang
menjadi laskar kami. Sepatutnya tak dapat aku bermusuhan denganmu. Tetapi
berkatalah, bagaimana aku akan membuatmu puas." * "Kalau kau mau
pergi meninggalkan wilayah Jawa Barat, pergilah! Aku bahkan akan mengantarkan
sampai di sini. Tapi bila kau bermaksud akan balik kembali di kemudi-an hari,
aku harus merintangi mulai sekarang." "Tatang Manggala, kau jangan
kurangajar!" bentak Diah Kartika. "Kau sudah berjanji tidak akan
bertemu muka dengan aku. Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku harus meluna-si
nyawamu demi cita-cita perjuangan. Tapi hal itu kutunda, berhubung himpunan
kami ini mendapat seorang pemimpin baru yang setan-ding dengan Gusti Ratu Bagus
Boang. Nah, bukankah berkat adanya beliau aku telah menunda pelunasan jiwamu?
Kau malah tidak merasa berutang budi sebaliknya, malah kini kau banyak
bertingkah. Lagipula apakah andalanmu? Meskipun kau menggenggam pedang pusaka
itu, masakan aku tak dapat me-lawanmu? Kau tak percaya, marilah kita
coba!" "Diah Kartika, adikku," sahut Tatang Mang-gala.
"Denganmu aku memang merasa takluk, sebab guru telah mewariskan seluruh
ilmu kepandaiannya. Tetapi dia..." "Tapi dia bagaimana?" potong
Diah Kartika. "Apakah kau kira ilmu kepandaianku pantas dijajarkan dengan
ilmu kepandaian ketua kami yang baru? Ketahuilah, meskipun tinggi ilmu sakti
perguruan kita, tapi bila dibandingkan dengan ilmu kepandaian ketua kami,
seumpama segenggam garam tercebur di dalam Lautan Teduh. Kau percaya
tidak?" "Mungkin kata-katamu benar. Tapi aku se-orang laki-laki. Masakan
seorang laki-laki harus mengandalkan saja kepada suatu omongan belaka?"
Betapapun juga, Diah Kartika dan Tatang Manggala merupakan saudara seperguruan
yang sudah bergaul lama semenjak mudanya. Meskipun setelah dewasa bersimpang
jalan, dalam hati mereka masing-masing masih ada rasa kasih sayang. Maka mau
tak mau, Diah Kartika menghela napas mendengar jawaban-nya. Akhirnya berkata,
"Baiklah begini saja. Kau boleh memilih lawan di antara rekan-rekan kita.
Kalau kau menang, anggaplah kita semua kalah. Dan barulah kau boleh
mencoba-coba kepandaian melawan pemimpin kami. Sebaliknya bila kalah, maka
kekalahanmu itu tidak akan merusak pamor perguruan kita." "Nah,
bagaimana?" "Tak bisa! Tak bisa! Tak bisa!" kata Tatang Manggala
berjingkrakan. "Aku hanya ber-musuhan dengan dia. Lainnya boleh berurusan
di kemudian hari. Jangan khawatir, umurku masih cukup seratus tahun
lagi...." Melihat lagak lagu kakak seperguruannya, Diah Kartika
mengerenyitkan dahi. Ia kenal Tatang Manggala semenjak mudanya, tapi tak pernah
melihat kakaknya berlagak demikian. Ia merasa curiga. Dalam pada itu,
berkatalah Sangaji. "Bibi Kartika, biarlah aku membuatnya puas. Aku
berjanji takkan membuatnya kecewa." "Dia boleh mati, boleh pula
cacat. Paduka janganlah bersegan-segan. Sebab meskipun ilmu silat kakak hamba
tiada harganya, tetapi dia mempunyai kepandaian main racun. Sedang di tangannya
menggenggam pedang pusaka Banten," kata Diah Kartika dengan bersembah.
Sangaji mengangguk. Ia lantas maju dua lang-kah lagi. Mendadak di luar dugaan
siapa saja. Tatang Manggala menjerit-jerit sambil mem-bolang-balingkan
pedangnya dengan serabutan. "Gusti Ayuuuu! Gusti Ayuuu ... tolong! Dia
maju benar-benar! Tolong! Tolong!" Semua yang mendengar jeritan itu jadi
ter-cengang. Terlebih-Iebih Sangaji. Ia menoleh kepada Diah Kartika untuk
mencari kesan. Perempuan tua itu mengerenyitkan dahi dengan memutarkan matanya.
Tiba-tiba wajah-nya jadi mengerti. Malah lantas terbayang suatu senyum. Sangaji
berpaling ke arah pan-dang Diah Kartika. Hatinya memukul. Karena tak jauh dari padanya,
berjalanlah seorang gadis yang membuat dia bermimpi terus-menerus. Dialah
Titisari yang berjalan perla-han-Iahan memasuki lapangan dengan diikuti oleh
seorang laki-Iaki berperawakan ramping. Laki-Iaki itu sebaya usianya dengan
paman gurunya, Gagak Handaka. Tatang Manggala menyongsong dengan setengah
berlari sambil menuding-nuding Sangaji. "Gusti Ayuuu ... dia benar-benar
hendak melawan aku. Bagaimana? Apakah aku harus melawan juga?" katanya
kekanak-kanakan. Belum lagi Sangaji habis rasa herannya oleh kejadian yang
mengajaibkan itu, tiba-tiba suatu kesiur angin dahsyat merabu dari sam-ping. la
kaget sampai perlu menghindari. "Hai! Hai! Mana anakku? Inilah Raja Langit
yang baru tiba," kata seorang laki-Iaki sambil terus menggempur. Dialah Kebo
Bangah yang semenjak beberapa bulan yang lalu terus ber-putar-putar dari tempat
ke tempat dengan tak keruan juntrungnya. Tatang Manggala kaget setengah mati,
menghadapi serangan tiba-tiba itu. la sama sekali tak berjaga-jaga. Dalam
kagetnya, masih ia berusaha menangkis gempuran itu dengan pedangnya. Tapi
jangan lagi ia dalam keadaan tak berjaga-jaga, sekalipun ia bersia-ga betapa
sanggup menangkis gempuran Kebo Bangah yang terkenal maha dahsyat semenjak
belasan tahun yang lalu. Maka bersama pedangnya ia terpental di udara dan jatuh
menggabruk di atas tanah dengan me-lontakkan darah. untung, pedangnya terlepas
dari genggamannya. Kalau tidak, tubuhnya bisa kutung beberapa bagian. Setelah
mementalkan Tatang Manggala, Kebo Bangah berputar menyerang Titisari. Dengan
gesit Titisari mengelak. Sewaktu menoleh, Kebo Bangah sedang bertempur dengan
laki-Iaki setengah umur yang meng-awalnya. "Suryapranata! Hati-hati!"
seru Maulana Syafri yang sudah kenal siapa pendatang itu. Baik Suryapranata
maupun Kebo Bangah belum pernah bertemu. Apalagi mengadu kepandaian. Maka
perkelahian tanpa sebab musabab itu, tak ubah saling menjajal-jajal kepandaian
lawan. Titisari dan Maulana Syafri kenal ketinggian ilmu Kebo Bangah. Karena
itu mereka mencemaskan Suryapranata. Kebo Bangah seorang pendekar bertubuh
tinggi besar. Meskipun ia menekuk sedikit kedua kakinya, masih saja ia nampak
lebih tinggi daripada Suryapranata. Dia terus mendesak dengan pukulan-pukulan
dahsyat. Hebat cara bertempurnya. Apalagi otaknya miring. Cara berkelahinya
lantas saja mirip dengan orang sedang kalap. Suryapranata sebenarnya seorang
jago yang sudah lama terkenal di antara laskar per-juangan Jawa Barat. Gerak
geriknya gesit, pukulannya berat dan pandai melihat gelagat. Ia bersenjata
tongkat terbuat dari baja pilihan. Dan dengan baja itu, ia malang melintang
tanpa tandingan. Karena itu, ia termasuk seorang raja Himpunan Sangkuriang yang
besar pengaruhnya. Setiap langkahnya membawa suatu tenaga tekanan. Pukulannya
disertai angin berderu-deru. Meskipun demikian, melawan Kebo Bangah yang
berotak miring ia nampak keteter. Sebentar saja lima puluh jurus telah
terlam-paui. Sekonyong-konyong Kebo Bangah kumat penyakitnya. Dengan
menjerit-jerit ia menyerang kalang-kabut. Ia menggigit kakinya sendiri,
mengemplang kepalanya sendiri, namun serangannya tiada henti. Kacau cara dia
menyerang. Tapi justru kacau tak keruan, hati Maulana Syafri berkebat-kebit.
Para raja muda yang berdiri berjajar di tepi gelanggang tercengang menyaksikan
gerakan Kebo Bangah. Selama hidupnya belum pernah mereka bersua. Siapakah orang
itu yang memiliki ilmu silat begitu tinggi? Mereka saling pandang dengan
bertanya-tanya.. "Suryapranata, awas!" Maulana Syafri mem-beri
peringatan. "Jangan menganggap dia lawan lumrah. Dialah sang maha sakti
pendekar Kebo Bangah." Mendengar kata-kata Maulana Syafri, selain Sangaji,
Titisari terkejut sampai wajah mereka berubah. Sebagai tokoh-tokoh sakti, sudah
barang tentu nama itu mereka kenal. Tetapi orangnya, baru hari itulah mereka
kenal. Hebat pengaruhnya bagi pendengaran Suryapranata. Meskipun ia termasuk
golongan pendekar besar, namun hatinya tercekat juga. Gerakannya agak kacau.
Dan inilah suatu pantangan besar bagi mereka yang sedang mengadu kepandaian
dalam saat-saat menen-tukan mati hidupnya. Karena begitu teriowong sedikit,
Kebo Bangah lantas saja menerobos masuk dengan gempurannya. Tetapi benar-benar
Suryapranata bukan nama kosong melompong. Dalam bahaya, masih ingat ia
menyelamatkan diri. Sekali menggenjot kakinya, tubuhnya terlempar di udara.
Kemudian dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dengan manis. "Benar-benar
berbahaya," keluhnya. Tetapi ia tertawa juga. Katanya, "Siapa yang
akan mencoba-coba?" Belum habis perkataannya, Kebo Bangah sudah merabunya
kembali dengan bergulung-an. Selagi Suryapranata sibuk menebak-nebak, Maulana
Syafri maju menyongsong serangan aneh. Dengan Kebo Bangah sudah pernah dia
bertempur satu kali. Itulah sebab-nya, ia lebih mengenal sifat serangan Kebo
Bangah daripada rekan-rekannya. Tanpa ragu-ragu lagi ia menusukkan pedangnya ke
arah mata. "Hai, pembunuh anakku! Biarpun kau malaikat, raja dari langit
tidak takut," teriak Kebo Bangah. Menyusul teriakannya, tubuh-nya mencelat
tinggi. Kedua kakinya dengan berbareng menendang ke arah mata Maulana Syafri.
Dan melihat serangan balasan itu, mau tak mau sekalian raja muda yang hadir di
situ, menghela napas. Mereka berdua lantas saja bertempur de-ngan serunya. Dan
rekan-rekannya menyak-sikan dengan jantung berdebaran. Mereka tahu, Kebo Bangah
dalam keadaan tidak beres otaknya. Karena mereka belum mengenal Kebo Bangah
sewaktu masih sehat, maka mereka menganggap perlawanannya benar-benar timbul
dari kesadarannya. Beberapa puluh jurus telah lewat. Maulana Syafri mulai
bermain. mundur. Raja muda Andangkara jadi gatal. Dengan bersuit ia melompat
maju sambil menghantam. Hebat gempurannya. Itulah gempuran dengan diser-tai
ilmu sakti andalannya. Dan digempur demikian, cepat Kebo Bangah membalikkan
diri. Ia songsong gempuran itu dengan hantaman pula. Bres! Luar biasa
akibatnya. Kedua-duanya terpen-tal mundur. Tubuh Andangkara tergoyang-goyang.
Kemudian berjungkir-balik untuk memusnahkan tenaga lawan. Sebaliknya Kebo
Bangah masih bisa tertawa haha-hihi. Semenjak ia kena pukulan ilmu sakti
Sangaji, tenaga sakti menjadi berlipat ganda. Dahulu saja, tenaga saktinya seimbang
de-ngan Gagak Seta atau Adipati Surengpati. Mereka berdua merasa tak ungkulan.
Tenaga sakti Andangkara dan raja muda lainnya seja-jar dengan tenaga sakti
Gagak Seta dan Adipati Surengpati. Mungkin pula masih kalah satu tingkat.
Karena itu tidak mengherankan, bahwa dengan sekali beradu tenaga, gem-purlah
benteng pertahanan Andangkara. Sadar bahwa ia masih kalah beberapa tingkat, ia
mengmundurkan diri dengan tertatih-tatih. Wajahnya nampak wajar. Ia menganggap
kekalahan itu sudah semestinya, mengingat nama Kebo Bangah terlalu besar
baginya. Dan melihat mundurnya Andangkara, rekan-rekan-nya yang Iain tidak
berani mencoba-coba. Hanya si mulut jahil, Otong Surawijaya masih penasaran.
Teriaknya nyaring, "Hai Kebo Bangah! Kau jangan terburu menepuk dada. Soalnya
kita tak mau maju berbareng. Coba kau kita kerojok dua tiga orang saja,
bagaimana kau bisa menaruhkan kakimu." Meskipun jahil, sesungguhnya Otong
Su-rawijaya berotak cerdik. Dengan ucapannya itu, ia bermaksud hendak
melindungi nama para pendekar Himpunan Sangkuriang yang kena dikalahkan oleh
K§bo Bangah. Sudah barang tentu, ucapannya tidak disetujui rekan-rekannya.
Semenjak semula tiada ber-bintik niatnya hendak main keroyokan. Sangaji tahu
kesukaran mereka, namun dirinya seolah-olah hilang. Pandangnya terus terpancang
pada wajah Titisari yang berdiri tegak tak ubah seorang dewi. Kala itu Titisari
mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya cantik luar biasa dan nampak lebih
matang. "Benarkah aku bertemu kembali dengan Titisari?" kata hati
Sangaji yang tak memper-cayai penglihatannya sendiri. Maklumlah, hatinya hancur
berantakan ditimpa suatu malapetaka beruntun. Titisari kenal keadaan hati
kekasihnya. Untuk memperoleh kepulihannya lagi, pemu-da itu harus disentakkan
urat syarafnya. Memikir demikian, ia berjalan memasuki gelanggang pertarungan.
Lalu berkata lantang kepada Kebo Bangah, "Bangah! Kau mencari
anakmu?" Kebo Bangah tercengang mendengar suara itu. Itulah suara yang
pernah dikenalnya. Dengan kepala miring, ia mengawaskan wajah Titisari dengan
paras berkerut-kerut. "Kau bilang apa, Nona?" tanyanya mende-ngus
dengan suara gemetaran. "Kau mencari anakmu?" "Ya benar. Kau
siapa?" dahi Kebo Bangah mengerenyit. Tiba-tiba meledak, "Hai! -
Bukankah engkau menantuku?" Wajahnya lantas saja jadi berseri-seri. la nampak
ter-cengang atas pertemuan itu. "Benar! Aku memang anak menantumu,"
kata Titisari. "Ah, anak yang baik. Lalu ... dimanakah suamimu?"
"Dewaresi, maksudmu?" "Ya, dimana dia? Mengapa tidak
ber-samamu?" Titisari tertegun. Selang beberapa saat berkata dengan suara
sedih. "Dia dibunuh orang." "Kau bilang apa?" Kebo Bangah
terkejut. "Dia dibunuh orang!" Mendengar ketegasan Titisari, orang
tua itu sekonyong-konyong menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya
terdengarlah suara keluh kesahnya yang sedih luar biasa. "O, Allah ... kau
mati dibunuh orang? Kau mati dibunuh orang?" Para pendekar Himpunan
Sangkuriang tak mengerti latar belakang riwayat itu. Mereka mendengarkan
serentetan pembicaraan mere-ka berdua, dengan tercengang-cengang serta penuh
teka-teki. Menurut warta pendengaran mereka, Titisari adalah calon permaisuri
jun-jungannya. Mendadak kini mengaku sebagai menantu Kebo Bangah. Apakah ini
suatu akal cerdik atau memang dia seorang janda pilihan junjungannya? Selagi
berteka-teki sibuk, mendadak Kebo Bangah menggerung dahsyat. la menegakkan
kepalanya. Dengan pandang bengis, ia mem-bentak. "Ah tidak! Tidak!...
Bukankah engkau gadis yang menolak pinanganku?" "Benar," jawab
Titisari. "Kau sudah tahu, mengapa kau menyebut aku sebagai
menan-tumu?" Mendengar jawaban Titisari, legalah hati para raja muda.
"Bagus! Kalau begitu, engkaulah yang membunuh anakku. Benar?"
"Benar. Memang aku yang membunuhnya. Dia kutikam seribu kali sampai
tubuhnya porak-poranda, lalu kukuliti. Lalu kukeluarkan isi perutnya. Lalu kumakankan
kepada binatang piaraanku. Akupun mencicipi sebongkah dagingnya. Dasar ia
berhati binatang, maka dagingnya bukan main ketat-nya ..." Hebat kata-kata
ini. Sedangkan dilontarkan kepada seorang yang sehat otaknya sekaligus dapat
menggeridikkan bulu roma serta dapat membangunkan rasa mata gelap. Apalagi Kebo
Bangah kini bukan Kebo Bangah dahulu yang sehat akalnya. Seketika itu juga,
meng-gerunglah dia dahsyat. Begitu dahsyat suara menggerungnya, sehingga mampu
mengge-tarkan tubuh para raja muda. Menyusul gerungannya, tubuhnya berkelebat
menerkam Titisari. Dan para raja muda memekik terkejut* Sangaji yang semenjak
tadi berdiri seperti kena pukau tersentak kaget oleh bunyi derum itu. Hatinya
terguncang sewaktu melihat Titisari terancam bahaya. Sekaligus lupalah dia
kepada masalahnya yang ruwet. Ia sadar kembali seperti sediakala. Terus saja
berkata nyaring. "Titisari! Jangan takut, aku akan menolongmu!"
Dengan menjejak tanah, ia melesat dan menghadang pukulan Kebo Bangah yang kedua
setelah pukulannya pertama dapat dihindari Titisari. Sangaji pernah mengadu
tenaga dengan Kebo Bangah di padepokan Gunung Damar. Maka ia bisa menimbang
berat entengnya. Ia tak berniat hendak menewaskan, karena itu hanya menggunakan
tenaga tujuh bagian. Meskipun demikian, tubuh Kebo Bangah terpental dan
terangkat naik ke udara. Kemudian dengan suara berge-debrukan, Kebo Bangah
jatuh tertengkurap di atas tanah. Tatang Manggala, Suryapranata dan Diah
Kartika belum pernah menyaksikan ilmu sakti Sangaji. Melihat peristiwa itu,
mereka kagum sampai terperanjat. Pikir mereka, di dunia ini masakan ada seorang
yang memiliki tenaga begitu dahsyat? Ratu Bagus Boang sendiri, belum
tentu." "Eh tolol! Kau akhimya ingat untuk meno-long aku," kata
Titisari. Manis sekali suara itu dalam pendengaran Sangaji. Sekian lamanya,
tiada yang menye-butnya dengan si tolol. Sekarang ia mendengar kembali untuk
yang pertama kali. Alangkah sedap. "Kau baik, bukan?" katanya senang.
"Kalau tidak baik, masakan kau sudi melihat aku lagi?" sahut Titisari
genit. O, bukan kepalang nyamannya. Suara itu meresap di dalam kalbu Sangaji
seolah-olah air hidup turun dari alam gaib. Maka terbangunlah semangat
jantannya. "Paman Kebo Bangah! Lihatlah yang terang! Siapakah aku?"
Waktu itu Kebo Bangah telah merang-kak-rangkak bangun. Ia heran kena pukulan
itu, sampai tenaganya sendiri mendadak menjadi punah. Selama hidupnya, entah
sudah berapa kali ia mengadu kepalan dengan siapa saja. Belum pernah bertemu
tandingnya kecuali ... Tiba-tiba samar-samar ia seperti pernah mengadu tenaga dahsyatnya
itu. "Hai...! Bukankah engkau Sangaji?" "Benar, Paman. Akulah
Sangaji ..." jawab Sangaji dengan terharu. Dan begitu mende-ngar nama
Sangaji, tiba-tiba Kebo Bangah menjerit. Lalu kabur dengan lari
tunggang-langgang. "Sangaji! Sangaji! Sangajiiila lari sambil
menjerit-jerit. Sebentar tubuhnya lenyap dari penglihatan, namun gaung suaranya
masih terdengar selintasan. Lalu lenyap di balik pegu-nungan hijau. Dengan hati
pilu Sangaji mengawaskan keblat larinya Kebo Bangah. Ia menghela na-pas. Lalu
berputar menghadapi Titisari. Wajahnya penuh dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Hai, tolol! Masakan engkau tak mau menyambut aku? Baiklah aku pergi lagi
seper-ti dahulu..." Hati Sangaji tidak terbuka seperti hati Titisari. Kena
pandang bawahannya, ia merasa bersegan-segan. Tanpa berkata sepatah kata-pun
jua, ia datang menghampiri. la mendekap pergelangan tangan Titisari erat-erat.
Namun mulutnya masih saja membisu. Luar biasa hebat kesan adu tenaga dahsyat
itu bagi Suryapranata dan Diah Kartika. Terus saja mereka datang menghadap dan
membuat sembah. "Hamba Suryapranata dengan ini meng-haturkan sembah,"
kata Suryapranata. Cepat Sangaji membalas sembahnya de-ngan membungkuk hormat.
"Paman! Namamu sudah tersimpan dalam ingatanku semenjak aku berada di atas
dataran tinggi Gunung Cibugis. Juga nama Bibi Diah Kartika. Dahulu ingin aku
bertemu dengan kalian bertiga, Paman Maulana Syafri, Paman Suryapranata dan
Bibi Diah Kartika. Hatiku belum merasa tenteram, sebelum aku bertemu muka.
Sekarang telah dikabulkan. Hanya Aki Tunjungbiru, di manakah dia?" Semua
raja muda mengarahkan pandang kepada Titisari. Sangaji mengikuti pandang itu.
Melihat Titisari tersenyum manis, ia hendak membuka mulut untuk minta
keterangan. Tetapi Titisari sudah mendahului. "Aki Tunjungbiru dan kudamu
Willem sebentar lagi akan tiba. Tinggal tunggu sutradaranya ..." Sangaji
tercengang mendengar ujar Titisari. Katanya dengan suara tinggi. "Siapa
sutradara yang kau maksudkan?" Titisari tak menjawab. Ia membuang pan-dang
ke samping. Dan betapa tolol Sangaji, ia seperti sudah dapat menebak. Tanpa
berkata mendesak lagi, ia terus menggenggam tangan Titisari kencang-kencang.
"Eh, Aji! Apakah kau hendak meremuk ta-nganku?" kata Titisari.
"Ya, memang pantas aku kau remuk. Aku menerbitkan gelombang yang tak
menyenangkan bagimu. Semestinya engkau kini sudah menjadi menantu seorang opsir
kompeni Belanda "Titisari! Kalau kau berkata begitu sekali lagi, aku
benar-benar hendak meremuk ta-nganmu," ancam Sangaji, seraya mengu-raikan
genggamannya. Titisari menengadah ke langit. Hatinya lega luar biasa. Ia ingin
menikmati kelegaan hati itu. Sekonyong-konyong terdengar suara Tatang Manggala
dengan napas kempas-kempis. "Gusti Ayu ... Tolong terangkan, bahwa sepak
terjangku yang kurang ajar, sesungguh-nya atas petunjukmu." Titisari
tersenyum. Ia lantas berbisik di dekat telinga Sangaji. "Dia menyebutku
dengan Gusti Ayu. Itulah sebutan bagi seorang permaisuri. Kau kini se-orang
raja. Apakah sebutan itu terjadi, karena aku benar-benar pantas disebut
begitu?" Teringat akan cerita Maulana Syafri tentang Tatang Manggala dan
Titisari serta sepak ter-jangnya yang bermusuhan dengan laskar pejuang dan kini
mendadak bisa mengabdi kepada Titisari, benar-benar merupakan suatu hai yang
menarik perhatian Sangaji. "Titisari!" kata Sangaji. "Semenjak
dahulu kau tahu otakku amat bebal. Dia menyebutmu dengan sebutan Gusti Ayu.
Apakah engkau...." Merah wajah Titisari mendengar kalimat Sangaji yang
penghabisan itu. Memang se-butan Gusti Ayu diperuntukkan bagi seorang
permaisuri. Sedangkan untuk puteri yang belum kawin digunakan sebutan Gusti
Ajeng. Sekarang Sangaji bersangsi terhadapnya, se-olah-olah ia sudah
menyerahkan dirinya kepada jejaka Iain. Padahal dia tadi sudah menyindirnya
Sangaji sebagai seorang raja. Teringat akan kepolosan dan kesederhanaan hati
pemuda itu, ia lantas berkata. "Panjang ceritanya ... Bibi Diah Kartika
pastilah pula mempunyai kepentingan langsung. Baiklah, kita mencari tempat yang
teduh sambil menunggu Aki Tunjungbiru. Man!" Mereka semua bergerak mencari
tempat berteduh. Kebetulan sekali, beradanya mereka dekat sepetak hutan. Hutan
belantara pada dewasa itu, masih penuh-penuh menutupi wi-layah negara. Beberapa
kilometer saja di luar kota, sudah menghadang ladang hutan yang berpal-pal
panjangnya. Maka dengan serentak mereka menyeberangi lapangan berlaga. Juga
Tatang Manggala mengikuti mereka dengan jalan tertatih-tatih. "Bibi
Kartika, mendekatlah! Cerita tentang Paman Tatang Manggala benar-benar
me-narik," Titisari mulai. Seperti diketahui, Titisari kena pukulan beracun
Tatang Manggala. Kalau tidak mem-peroleh pertolongan Diah Kartika, pastilah dia
akan tewas. Karena itu, tak dapat ia melu-pakan Tatang Manggala. Kebetulan pula
Diah Kartika sudah merasa takluk kepadanya semenjak mengadu ilmu pengetahuan.
Titisari selain seorang gadis gagah, ia pandai mengambil hati pula. Selama
berobat ia sudah dapat menawan hati Diah Kartika dengan uraian-uraian tentang
dalil ilmu Aljabar, ilmu Alam, ilmu Hayat dan ilmu perbintangan. Dari mulut
Diah Kartika ia mengenal Tatang Manggala lebih jelas. Maulana Ibrahim, Tatang
Manggala dan Diah Kartika adalah saudara seperguruan. Mereka murid pendekar
sakti Sadewata. Mendengar kabar bahwa ilmu silat Tatang Manggala sebenarnya
tidak tinggi, besarlah hati Titisari. Begitu sembuh dari lukanya, bersama Maulana
Syafri ia mencari Tatang Manggala. "Aku yakin bahwa Tatang Manggala bukan
manusia jahat," katanya. "Murid pendekar sakti Sadewata, masakan bisa
salah jalan? Pastilah ada sebab-musababnya." Titisari memang seorang gadis
berotak cemerlang yang dilahirkan oleh zamannya. Apa yang masih gelap bagi
orang lain, untuknya dapat terbaca dengan terang. Jalan hidupnya seperti sudah
disediakan di depan-nya. Dan demikianlah dengan pertolongan Maulana Syafri yang
memiliki ilmu tinggi, ia berhasil menyelidiki keadaan rumah tangga Tatang
Manggala. Ternyata murid kedua pendekar sakti Sadewata itu tidak pernah kawin.
Ia hidup membujang semenjak zaman mudanya. Hal itu menarik perhatiannya. Kalau
dia tidak beranak isteri apa sebab dia begitu bersemangat mengabdikan diri kepada
Ratu Fatimah yang terang-terangan memusuhi laskar Jawa Barat? Pada suatu malam,
waktu ia berada di atas genting dilihatnya Tatang Manggala menangisi sebuah
gambar tangan yang dipasangnya di atas tempat tidur. Lapat-lapat ia mendengar
Tatang Manggala mengeluh, "Sudah sekian tahun lamanya, masakan kau tak
tahu hatiku? Kini engkau bahkan akan membunuhku. Baiklah, aku serahkan jiwaku
asalkan engkau membunuh aku bersama-sama dengan kakak Maulana Ibrahim."
Titisari manajamkan penglihatannya. Gambar tangan itu melukiskan wajah seorang
gadis yang elok. Setelah diamat-amati, ia terkejut. Karena wajah pada gambar
itu seperti pernah dilihatnya. Sewaktu ia minta pertolongan Maulana Syafri,
dengan serta-merta ia memperoleh jawaban. "Itulah wajah Diah Kartika pada
masa mudanya. Mengapa orang tua itu menangis dan meratapi?" Sampai di
situ, tiba-tiba Tatang Manggala berkata nyaring. "Sudahlah ... sudahlah
... itukan zaman mudaku!" Wajah pendekar itu berubah menjadi merah.
"Kalau diteruskan, aku akan lari saja." "Paman! Kau ingin
memperoleh perdamaian hati. Itulah manakala kau dapat diterima kembali oleh
Bibi Diah Kartika. Dan aku sudah ber-janji. Sekarang Bibi berada pula di sini.
Kalau aku tidak meriwayatkan latar belakangnya, masakan aku bisa berhasil
menunggalkan kembali?" kata Titisari dengan wajah me-rengut. "Ton di
sini hanya ada handai taulan dan sahabat-sahabat yang sudah kenyang makan garam
hidup." Di luar dugaan Diah Kartika nampak resah. Agaknya ia seperti sudah
dapat menebak dua tiga bagian. Mula-mula tercengang-cengang, mendadak wajahnya
yang sudah banyak keriputnya bersemu merah dadu. Rasa dan pe-rasaan demikian
memang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang muda belaka. Dengan Tatang
Manggala memang dia sudah bergaul rapat di masa mudanya. Hanya saja dia tidak tahu,
bahwa diam-diam Tatang Manggala mencintainya. Malahan tidak hanya Tatang
Manggala melulu. Kakaknya sepergu-ruan Maulana Ibrahim yang dianggapnya sebagai
kakak-kandungnya sendiri, mencin-tainya juga. Ia terkejut tatkala mendengar
keterangan Titisari, bahwa Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala pernah berkelahi
mati-matian untuk memperebutkan. Aneh sekali, bahwa kedua kakak seperguruannya
selama di perguruan tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda begitu. Rupanya
demi menjaga hatinya masing-masing, antara Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala
sudah terjalin suatu ikrar, bahwa masing-masing tidak boleh memiliki adik
seperguruannya yang cantik jelita itu. Tetapi sewaktu Diah Kartika sudah
men-jatuhkan pilihan kepada seorang pendekar lain, mereka serempak bersakit
hati. Kedeng-kian mulai menggerumuti perasaan mereka berdua. Dan seperti
berjanji, mereka berdiri di pihak lain demi mengimbangi kebahagiaan Diah
Kartika yang terkutuk itu. Selain Diah Kartika dan suaminya berada di pihak
Ratu Bagus Boang, dengan serempak mereka mengabdikan diri kepada Ratu Fatimah.
Demikianlah semenjak itu, terjadilah suatu simpang jalan. Dan sekarang, baik
Maulana Ibrahim maupun Tatang Manggala sudah menjadi tua. Meskipun untuk
menyatakan cinta kasihnya terhadap Diah Kartika, mereka enggan bersen-tuhan
dengan wanita lain, namun lambat laun kekerasan hatinya mulai pudar dimakan
usia-nya. Semenjak itu, mereka merindukan kedamaian hati. Suatu kedamaian yang
pernah mereka kejap tatkala masih hidup bersama di dalam perguruan. Untuk
mencapai hal itu, Maulana Ibrahim memundurkan diri dari pemerintahan Kesultanan
Banten. Dan Tatang Manggala kembali ke kampung halaman. Kelemahan itu segera
dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Titisari. Dia melihat suatu keuntungan
untuk masa depan pada diri Tatang Manggala. Maka tujuan untuk mern-balas dendam
diubahnya menjadi tujuan untuk menaklukkannya. Titisari memang seorang gadis
yang selalu berhasil dalam setiap tujuan, meski betapa sulit jalan yang akan
ditempuhnya. Itulah kehendak zamannya. Manusia tak dapat mengganggu-gugat.
Kebetulan sekali, dan di luar dugaan Titisari sendiri, Edoh Permanasari yang
terkenal sebagai seorang yang berhati iblis, mempunyai kejujuran hati yang
murni. Belasan tahun, ia malang-melintang tanpa tandingan dan tiada seorangpun
di dunia ini yang ditakuti selain gurunya. Mendadak ter-hadap Titisari, ia
mempunyai kesan lain. Itulah disebabkan oleh cerita tentang Sangaji. Ia merasa
diri mempunyai jalan hidup yang mirip. Sama-sama patah cinta dan hidup merana
dalam kesepian dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hati kecilnya,
sesungguh-nya ia merindukan seorang teman yang sena-. sib dan sepaham. Dan
menurut Edoh Permanasari syarat itu diketemukan dalam diri Titisari, di dalam
hatinya mendadak terbersit-lah suatu rasa kasih sayang. Seperti seorang yang
kehilangan pujaan hati, ia mulai mencari wartanya. Teringat betapa Titisari
kena pukulan beracun Tatang Manggala, maka ia hendak mencari keterangan
daripadanya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Titisari. Dan betapa gembiranya,
hanya dapat dirasakan oleh si iblis itu saja. "Aku sebenarnya hendak
mencari Tatang Manggala untuk memperoleh kabar tentang dirimu. Kau sekarang
sudah sehat kembali. CIntuk kesehatanmu, aku pantas bersyukur," kata Edoh
Permanasari. Watak Titisari sendiri sebenarnya rada-rada liar. Dengan
orang-orang yang berhati iblis, ia pandai bergaul. Dengan orang beribadah, ia
pandai pula menyesuaikan diri. Karena itu untuk meladeni hati si iblis bukan
merupakan soal asing baginya. Apalagi ia sedang menaruh perhatian kepada Tatang
Manggala dan iblis itu menyinggung namanya. Sing-katnya dengan pertolongan Edoh
Permanasari ia dapat menjinakkan Tatang Manggala. Selan-jutnya ia mengikatnya
dengan masalah Diah Kartika. "Baiklah aku bersumpah," kata Tatang
Manggala. "Kalau engkau bisa mendamaikan hati kami kembali, menjadi
anjingmu aku tak keberatan." - Edoh Permanasari yang ingin membuat jasa,
lain caranya. Ia mencontoh Titisari tatkala menaklukkan dirinya, ialah dengan
cara mengadu kepandaian. Memang antara dia dan Diah Kartika sudah terjadi suatu
permusuhan. Itulah perkara kekasihnya Kamarudin. Maka untuk menjalankan
semangat bertempur Diah Kartika, ia membunuhi seluruh keluarga Kamarudin. Tentu
saja hai itu membuat Diah Kartika makin kalap. Tahu bahwa pekerti Edoh
Permanasari mempunyai hubungan dengan kepentingan Tatang Manggala, ia ber-salah
paham. Diah Kartika lantas mengancam Tatang Manggala dan Maulana Ibrahim hendak
dilunasi jiwanya dengan berbareng. Dan untuk mencuci diri, Tatang Manggala dan
Maulana Ibrahim, meracuni tiap pasien yang sedang di-obati Manik Angkeran.
Dalam hai ilmu silat, Edoh Permanasari setanding dengan Titisari. Tetapi dalam
hai kecerdasan, kecerdikan dan melihat orang, dia kalah jauh. Titisari bisa
mengikuti kebiasaan orang. Tahu bahwa Tatang Manggala seorang hamba kerajaan
Sultan Banten yang setia, ia justru menganjurkan agar dia tetap bekerja seperti
sediakala. Ia menjamin dengan nyawanya sendiri. Ontuk menghilangkan
kesangsiannya, ia memperkenalkan dengan Maulana Syafri. Kemudian dengan
Suryapranata setelah ia sendiri diperkenalkan oleh Maulana Syafri. Mula-mula
Suryapranata ragu-ragu terhadap dirinya. Tetapi dengan sokongan dan
petunjuk-petunjuk dari Ki Tunjungbiru yang tersekap dalam penjara, semuanya
jadi lancar. Seperti diketahui, untuk menolong Ki Tunjungbiru, Suryapranata
berpura-pura menjadi salah seorang pegawai penjara. Demikianlah, dengan
kecerdikannya, Titisari menjadi dalangnya. Dalang laskar Himpunan Sangkuriang
dan laskar Banten dengan berbareng. Di pihak Himpunan Sangkuriang ia
menggunakan pengaruh-pengaruh Ki Tunjungbiru, Suryapranata, Diah Kartika dan
Maulana Syafri. Sedangkan untuk laskar kerajaan Banten, ia memakai tenaganya
Edoh Permanasari dan Tatang Manggala. Dialah yang mengatur penyerbuan dataran
tinggi Gunung Cibugis. Dia pulalah yang mengatur jebakan bagi laskar penyerbuan
dengan bantu-an Tatang Manggala dan Ratu Kenaka. Mendengar pengakuan Titisari,
semuanya yang mendengar takjub bukan main. Baru sekaranglah mereka sadar, kena
didalangi se-orang gadis muda belia. Otong Surawijaya yang biasanya
membanggakan kecerdikan-nya, menggaruk-garuk kepalanya. Sedangkan Sangaji
sendiri menjadi bungkam. Tak tahu ia, apakah harus bergembira, bersyukur atau
menangis sedih. Sebab dalam medan peda-langan Titisari, ia kehilangan dua
orang. Sonny de Hoop dan ibunya. Tetapi dengan sesung-guhnya, kematian mereka
berdua di luar perhi-tungan Titisari sendiri. Sebab untuk memi-sahkan hubungan
Sonny de Hoop dengan Sangaji pujaan hatinya, cukuplah sudah dengan menaruhkan
kedudukan mereka di pihak yang bermusuhan. Kompeni Belanda dan laskar Himpunan
Sangkuriang. Sedangkan menurut perhitungan Titisari, dengan adanya jurang
pemisah itu, Sangaji pasti akan membawa ibunya dari Jakarta. Di sinilah
terbukti betapa pandai seorang hamba Tuhan ia masih manusia juga. Seperti bunyi
pepatah: Sepan-dai-pandai tupai melompat, sesekali gagal juga. "Kak Tatang
kalau begitu maafkan adikmu yang tidak mempunyai jantung ini," terdengar
suatu suara. Semua menoleh. Dialah Diah Kartika, yang tiba-tiba berdiri dengan
terharu. "Tetapi ... tetapi aku kan bukan seperti da-hulu. Kulitku sudah
kisut semua. Apakah aku masih bisa menyenangkan Kakak seperti pada masa mudaku,
entahlah." Semua yang mendengar bunyi ucapan Diah Kartika tahu, bahwa
itulah suatu tanda ia sudah sudi menerima kembali perdamaian yang dirindukan
Tatang Manggala. "Adikku!" seru Tatang Manggala girang. "Orang
lain bilang kau sudah kisut, tetapi di mataku engkau tetap cantik seperti
dahulu. Aku percaya, umur Kak Maulana Ibrahim akan bertambah seratus tahun lagi
bilamana mendengar kabar gembira ini." Sudah tentu mereka yang mendengar
tersenyum geli mendengar ucapan Tatang Manggala. Tetapi sesaat kemudian mereka
menjadi terharu. Mereka tahu, bahwa itulah ucapan syukur seorang tua yang
merindukan perdamaian. Dan bukannya ucapan seorang pemuda yang masih dirangsang
luapan hati. Tergerak hati Diah Kartika! Segera ia bersembah kepada Sangaji.
Terus berkata, "Paduka hendak menjenguk kampung hala-man. Hamba hanya
dapat mengantarkan sam-pai di perbatasan. Bila diperkenankan, ingin hamba memundurkan
diri dahulu. Hamba ingin cepat-cepat menemui kakak seperguruan hamba yang
tertua." "Silakan, Bibi. Mengapa terlalu memegang teguh adat
istiadat. Di kemudian hari, akupun ingin mengunjungi padepokan Paman Maula-na
Ibrahim lagi Bukan main girang hati Diah Kartika. Ia lalu berputar kepada
Titisari. Dengan tertawa ia membungkuk hormat dan menyatakan terima kasih atas
jerih-payah gadis itu mendamaikan dirinya. Kemudian berkata nyaring kepada
Tatang Manggala, "Kak Tatang! Jika mulai hari ini engkau bersumpah takkan
jadi hamba Kerajaan Banten atau menjadi kaki tangan Kompeni Belanda, aku mau
ikut engkau me-nemui Kakak Maulana Ibrahim." "Adikku! Osiaku sudah
tua. Masakan masih kemaruk harta atau nama kosong lagi?" sahut Tatang
Manggala meyakinkan. Mendengar kata-kata Tatang Manggala, legalah hati Diah
Kartika. Hal itu berarti bahwa semenjak hari itu dia berada di pihak laskar
perjuangan Jawa Barat. Maka semua raja muda bersyukur di dalam hati. Mereka
berdiri dengan serentak untuk menyatakan hormat-nya.. Diah Kartika memutar
badannya lagi meng-hadap Sangaji. "Gusti Aji! Paduka adalah harapan kami
laskar seluruh Jawa Barat. Karena itu, baik-baiklah menjaga diri. Hamba mohon
doa restu." Setelah itu, ia memutar badannya dan datang menghampiri Tatang
Manggala. "Mari kita menemui Kak Maulana Ibrahim," katanya. Tatang
Manggala girang bukan main. Meskipun kesehatannya belum pulih, ia lantas saja
mendampingi Diah Kartika. Mereka ber-jalan sangat cepat. Sebentar saja
bayangannya hilang dari penglihatan. Melihat mereka rukun kembali, tak terasa
Sangaji dan Titisari menghela napas. Keadaan merekapun tak berbeda jauh. Mereka
hampir terpisahkan oleh kehendak peradaban manu-sia. Hanya oleh kehendak Sang
Maha Pasti, mereka bisa berkumpul kembali dengan ajaib. Dalam keheningan itu,
mereka mendengar derap kuda mendatangi. Seorang laki-laki berkepala gede,
berbibir tebal dan berkulit hitam lekam meloncat dari punggung kuda. Begitu
tiba di atas tanah, lantas saja ia mem-bungkuk hormat. Buru-buru Sangaji
mence-gah seraya berkata, "Aki Tunjungbiru, me-ngapa mesti melakukan
peradatan yang bukan-bukan? Aku adalah cucumu, Sangaji yang.dahulu."
"Jangan kau tolak sikap hormatku ini. Ingat, kau kini menjadi junjunganku
pula," kata Ki Tunjungbiru. "Kalau engkau merubah tata ter-tib ini,
engkau akan merusak kepemimpinanmu sendiri. Lagipula siapa saja tahu, bahwa aku
tidak menyembahmu. Tetapi hormatku kualamatkan kepada jabatanmu. Engkaulah
pemimpin para raja muda. Dengan sendirinya wajib aku menyebutmu dengan
Gusti." Tentu saja Sangaji tak dapat menerima pernyataan Ki Tunjungbiru
itu. Terhadap Ki Tunjungbiru, selamanya ia menganggap seba-gai kakeknya sendiri
dan setengah gurunya. Bukankah orang tua itu yang mula-mula membawanya ke
jenjang percaturan dunia dengan pengaruh getah sakti Dewadaru? Kecuali itu ia
mewarisi ajaran cara bersemadi pula. Tetapi ia melihat pandang Ki Tunjungbiru
bersungguh-sungguh. Melihat Titisari tak membantah pernyataannya, mau tak mau
ia harus menerimanya. Meskipun demikian, mulutnya tak kuasa berbicara. Ia hanya
memanggut dengan kepala kosong. Dan melihat anggukan itu, wajah Ki Tunjungbiru
nampak menjadi cerah. "ISah, inilah kuda Willem. Kalau bukan anakku
Titisari yang mengatur sudah lama binatang jempolan ini kena rampas
kompeni," kata Ki Tunjungbiru. Lagi-lagi Titisari. Semuanya Titisari. Hati
Sangaji benar-benar menjadi terharu. Baru ia hendak membuka mulut, Ki
Tunjungbiru berkata: "Banyak yang hendak kita bicarakan. Tapi baiklah kita
tunda dahulu. Sekarang kau berangkatlah dahulu melapangkan hatimu yang sedang pepat.
Aku hanya mengantarkan sampai di perbatasan ini. Selamat jalan dan jagalah
dirimu baik-baik." Ki Tunjungbiru lalu menyiratkan pandang kepada
rekan-rekannya. Ia memberi isyarat. Dan para raja muda lantas saja datang
mem-beri hormat. Seorang demi seorang menyam-paikan selamat jalan. Kemudian
mereka memutar badan dan pergi berbareng memasu-ki hutan belantara wilayah Jawa
Barat untuk meneruskan perjuangan melawan penindasan, kesewenang-wenangan dan
ketidak adilan. Bukan main pilu rasa hati Sangaji. Ia seperti terasa
ditinggalkan semua yang dicintainya. Gntung di sampingnya masih ada tambatan
jiwanya. Itulah Titisari permata yang paling mahal baginya. Tak dikehendaki
sendiri, ia menoleh. Kebetulan pula, Titisari meng-awaskan padanya. Maka
bertumbuklah pandang mereka. "Titisari! Sekarang kita ke mana?" ia
berbisik. "Aku akan pergi. Kita mempunyai jalan kita masing-masing,"
jawab Titisari sengit. Itulah suatu jawaban di luar dugaan Sangaji. Mengapa
gadis ini mendadak menjadi begitu? Belum lagi hilang rasa herannya, Titisari
benar-benar lari menjauhi dengan sekencang-kencangnya. "Hai! Titisari!
Mengapa kau?" seru Sangaji kaget. Titisari boleh mengeluarkan seluruh
kepan-daiannya untuk lari sekencang-kencangnya. Tetapi dengan sekali
berkelebat, Sangaji telah menghadang di depannya. "Eh, tolol! Mengapa kau
berlagak mengha-lang-halangi kepergianku? Aku hendak ke mana saja, apa
pedulimu?" katanya sengit. "Titisari! Mengapa kau ... kau ..."
Sangaji tergegap-gegap. la kini memiliki ilmu sakti yang paling tinggi di
dunia. Tetapi menghadapi Titisari, ia seperti macet. "Tatang Manggala tadi
menyebut aku de-ngan Gusti Ayu. Apa sebab engkau tidak minta keterangan lagi
kepadaku?" potong Titfsari cepat. "Barangkali kau segan terhadap
mulut jahil bawahanmu. Tapi sekarang mereka sudah pergi. Mengapa engkau
berlongoh-longoh seperti anak tolol?" Tercengang Sangaji mendengar bunyi
kata-kata Titisari. Tetapi ia kenal lagak lagu Titisari yang kadang-kadang
meletup di luar dugaan. Maka cepat-cepat ia berkata, "Aku selamanya tolol.
Bukankah engkau sudah tahu?" "Siapa yang berani berkata, bahwa kau
tolol? Orang itu bosan hidup," suara Titisari beralih mengancam. Sangaji
jadi kuwalahan. Tapi selamanya ia bersabar hati. Lalu berkata mengembalikan
soalnya. "Titisari! Bukankah semenjak tadi aku ingin minta keterangan apa
sebab Paman Tatang Manggala menyebutmu dengan sebutan Gusti Ayu? Lalu engkau
mulai meriwayatkan kisah perjalananmu "Bagus! Apakah engkau sudah
mengetahui dengan jelas, setelah aku selesai berkisah?" "Belum.
Bahkan engkau tidak menying-gung-nyinggung lagi." "Kalau tidak tahu,
mengapa tidak mende-sak? Itulah suatu bukti, bahwa engkau tidak membutuhkan aku
lagi. Karena itu aku akan pergi..." "Nanti dahulu!" Sangaji
gugup. "Biarlah ku-ulangi lagi pertanyaanku. Apa sebab Paman Tatang Manggala
menyebutmu dengan sebutan gusti Ayu?" Wendengar pertanyaan itu, wajah
Titisari lantas berubah menjadi sabar. Matanya berseri-seri dan mulutnya
menyungging senyum. Katanya: "Coba tebak apa sebabnya!" Dalam mengadu
kelancaran mulut, betapa Sangaji dapat melawan Titisari. !'Titisari! Kaulah
saja yang mengatakan. Selamanya aku tak dapat berpikir cepat," katanya
dengan suara mengalah. Titisari merengut. la mencibirkan bibir de-ngan hati
dengki. Lantas menyahut: "Dosa ini engkaulah yang memikul."
"Dosa yang mana?" Sangaji heran. "Hm, laki-Iaki selamanya memang
mau menang sendiri," Titisari menyesali. "Apa sebab engkau kemaruk
kekuasaan sampai menjadi seorang raja? Para raja muda lantas membahasakan akan
diri hamba. Dan si tua bangkotan Tatang Manggala lantas ikut-ikutan pula
menyebut aku dengan Gusti Ayu. Bukankah keterlaluan?" sampai di sini,
wajahnya mendadak bersemu merah. "Ah, Titisari!" seru Sangaji girang
setelah sebentar tercengang. "Memang engkau per-maisuriku. Paman Tatang
Manggala tidak salah." "Benar?" Titisari bersyukur.
"Benar." ^ "Sungguh?" "Sungguh!"
"Bersumpahlah!" "Aku harus bersumpah bagaimana?" Sangaji
menegas. "Bersumpahlah dengan dasar hatimu!" Sangaji berpikir
sebentar. Lalu bersumpah, "Aku bersumpah kepada diriku sendiri, bahwa kau
akan menjadi isteriku. Dan aku akan menjadi suamimu." Mendengar bunyi
sumpah Sangaji, Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kalau hai itu ter-jadi
pada seorang pemuda lain, pastilah pemuda itu akan mencari kata-kata besar dan
kalimat-kalimat yang menyeramkan. Tapi dasar watak Sangaji sangat sederhana dan
polos, maka ia bersumpah pada pokok tujuannya saja. Tapi justru demikian,
Titisari sangat bersyukur. Dengan sekali lompat, ia menjatuhkan diri dalam
pelukan Sangaji sambil berkata berbisik. "Aji! Bawalah aku ke atas
punggung kudamu. Mari kita pulang menemui Ayah!" Hati Sangaji melonjak
gembira. Dan begitu gembira dia, sampai ia merasa diri menjadi gendeng. Tanpa
berbicara lagi, ia lari meng-hampiri kudanya. Titisari diletakkan di atas
punggung Willem. Sedangkan dia sendiri berada di atas kuda pemberian kakak
angkatnya Willem Erbefeld. Mereka menempuh perjalanan dengan tak perlu
tergesa-gesa. Karena itu pada hari keti-ga, barulah mereka tiba di Pekalongan.
Hati mereka sangat lapang dan penuh syukur. Kota Pekalongan yang dahulu membuat
mereka sibiik, kini berkesan segar. Maka terasalah, bahwa semuanya itu
tergantung kepada keadaan hati. Di Pekalongan mereka mendengar warta terakhir
tentang semua yang terjadi di Jawa Tengah. Laskar Sultan Hamengku Buwono II
berhasil menggempur laskar gabungan Pangeran Bumi Gede. Menurut kabar,
pange-ran itu kini dikejar-kejar dari tempat satu ke tempat lainnya. Dimana dia
berada, masih merupakan suatu teka-teki besar. Mendengar warta itu, hati
Sangaji tercekat. Ia mencemaskan Sanjaya. Maka dengan per-setujuan Titisari ia
mempercepat perjalanan-nya. Pada hari kelima, sampailah mereka di ping-gang
Gunung Sumbing. Itulah jalan yang pernah diambah gurunya Wirapati. Mendadak
saja selagi mereka menikmati pemandangan alam, mata Sangaji yang tajam melihat
berkelebatnya Kebo Bangah. Ia jadi heran. "Melihat lagak-lagunya, ia
seperti seorang yang tidak waras akalnya," kata Titisari. "Tetapi
aneh semenjak lama ia selalu meng-ikutimu. Tahukah engkau, dia selalu mencoba
menjejak ke mana saja pergimu? Pastilah kau tidak menyangka demikian. Memang
buruk bagimu, tapi baik bagiku." Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji
ber-tambah heran. Minta keterangan. "Baik bagaimana?" "Kalau
tidak, masakan kau sekarang sudi memperhatikan aku," sahut Titisari.
"Melihat dia selalu berputar-putar di wilayah Jawa Barat, segera aku
pergunakan tenaganya. la sengaja kupancing. Begitu engkau muncul di
tengah-tengah para panglimamu, muncullah dia pula. Ternyata semuanya berjalan
seperti kehendakku." Sangaji tertegun. Baru sekaranglah dia sadar, apa
sebab Kebo Bangah muncul dengan tiba-tiba dan akhirnya merupakan jerhbatan
penghubung antara dia dan Titisari. Ia masygul berbareng bersyukur. Akhirnya ia
tertawa geli di dalam hati. "Selamanya engkau nakal," katanya
sete-ngah berbisik. Sesungguhnya Kebo Bangah mempunyai jalan pikirannya
sendiri. Ia berada dalam keadaan sadar dan tidak. Semenjak kena gempur tenaga
sakti Sangaji, ia seperti merasa diri terikat kepada pemuda itu. Apa itu, ia
sendiri tak dapat meskipun dengan tiba-tiba ia memperoleh kesehatannya kembali.
Yang terasa dalam dirinya, ia harus mengikutinya ke mana saja Sangaji pergi. Ia
seperti mempunyai pihutang-pihutang rasa dendam bercampur dengan rasa jeri. Hal
itu terjadi akibat wataknya yang mau menang sendiri pada zaman jayanya. Ia
ingin merajai segalanya. Selama hidupnya belum pernah ia dikalahkan orang. Maka
kekalahannya ter-hadap Sangaji, membuat ia berpenasaran dalam keadaan £>awah
sadar. Seakan-akan timbullah suatu wajib dalam dirinya harus menuntut balas
untuk menebus kekalahannya. Tetapi anehnya, bilamana mendengar nama Sangaji ia
seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan hatinya. Ia harus cepat-cepat
berlalu. Akan tetapi manakala sudah tenang kembali, lagi-lagi teringat dia
untuk menebus kekalahannya. Dengan demikian ia hidup terombang-ambing mengikuti
arus angannya yang selalu berubah-ubah. Pada hari itu ia memang sedang
menguntit jejak Sangaji, setelah dapat menguasai kete-nangannya sehabis lari
tunggang-langgang kena gertak pemuda itu. Sangaji dan Titisari meneruskan
perjalanannya dengan lambat-lambat, karena itu mudah untuk menyusulnya. Ia
bersikap hati-hati sekali. Rasa nalurinya selalu mengkisiki dirinya, agar
mengikuti dalam jarak jauh. Karena betapapun juga ia seorang berilmu tinggi.
Maka pandailah ia melihat gelagat. Tapi meskipun demikian, akhirnya ia tak
dapat luput dari indera Sangaji yang tajam luar biasa. Merasa akan mendapat
bahaya, cepat ia lari menubras-nubras menye-berangi daerah hutan dan
pegunungan. Titisari tertawa perlahan. Katanya, "Lihatlah dia bukan orang
gendeng benar-benar. Kita bisa mengandal kepada kecepatan si Willem. Tapi kalau
dia memasuki hutan, menyeberang sungai apalagi melompati jurang serta menda-ki
gunung, meskipun Willem mempunyai sayap takkan mampu menyusulnya. Bukan-kah
cerdik?" Sangaji menghela napas. Seperti kepada diri sendiri ia menyahut.
"Sebenarnya Paman Kebo Bangah, tidaklah terlalu jahat. Dia berjuang untuk
mencapai idam-idaman hatinya. Kalau dipikir tiap orang berjuang untuk idaman
hatinya. Hanya saja untuk mencapai idaman hatinya, kerapkali ia menggu-nakan
akal licik. lnilah yang kurang benar." "Eh Aji! Sejak kapan kau
pandai berbicara?" Titisari heran. Merah muka Sangaji kena sindiran
Titisari. la . tak menyahut. Sebaliknya lantas saja ia mem-bedalkan kudanya.
Kuda pemberian Willem Erbefeld cepat larinya. Tetapi Willem, Iebih cepat lagi.
Menjelang sorehari, mereka sudah berjalan berendeng lagi dengan hati penuh
syukur. Pada malam harinya, selagi beristirahat, mereka mendengar kentung
bertalu bersam-bung-sambung. Dusun lantas nampak sibuk. Beberapa pemuda keluar
rumah dengan berkelompok. Mereka membawa tombak, parang, golok atau pedang.
Wajahnya nampak tegang. Titisari selamanya usil. Tidak menunggu persetujuan
Sangaji, ia turun ke desa mencari berita. Satu jam ia pergi, kemudian datang
dengan membawa berita. "Aji! Celakalah adik angkatmu. Laskar Sanjaya dan
Pangeran Bumi Gede dimusuhi rakyat. Setiap gerakannya diintip. Suara ken-tung
tadi adalah suatu tanda, bahwa mereka berada di sekitar tempat ini. Kabarnya
mereka dikejar-kejar laskar Pangeran Ontowiryo. Kau berangkat, tidak?"
Tercekat hati Sangaji mendengar berita itu. Ia mencemaskan keselamatan jiwa
Sanjaya. "Laskar Pangeran Bumi Gede hancur atau tidak, itulah bukan
urusanku. Tapi Sanjaya adalah adik angkatku," katanya dengan suara
menggeletar. "Bagus! Tapi ingatlah, Sanjaya tak beda de-ngan bangsat.
Hatinya sangat buruk!" Titisari memperingatkan. "Titisari, janganlah
kau berkata begitu," tegor Sangaji. "Meskipun andaikata benar
kata-katamu, tapi dia merupakan sisa milik kita satu-satunya Teringat betapa
Sangaji sudah tidak memili-ki sanak kadang lagi, hati Titisari jadi terharu.
Katanya dengan suara rendah, "Baiklah semenjak kini aku takkan
membicarakan dia lagi. Aku berjanji! Hanya saja, meskipun kau menganggapnya baik,
aku tidak. Mari kita berangkat!" Mereka berdua lantas saja melarikan
kudanya cepat-cepat. Gdara kala itu nampak jernih. Bulan sudah tidak sipit
lagi. Bahkan sudah nampak hampir bulat penuh. Seluruh persada bumi dicerahi
dengan cahayanya yang lembut. Maka perjalanan itu sangat menyenangkan.
Kira-kira menjelang tengah malam, mereka dihadang oleh serombongan penjaga
dusun. Seorang laki-Iaki berusia lanjut tersembul di antara mereka. Lalu
berteriak dengan suaranya yang parau. "Siapa mengumbar adat sampai berani
keluyuran di tengah malam begini? Hayo, turun!" Mendengar suara itu,
Sangaji kaget bercam-pur girang. Itulah suara yang sangat dikenal-nya. Terus ia
melompat dari punggung kudanya seraya berteriak nyaring: "Guru! Aku
muridmu yang tolol!" Ia kemudian menoleh kepada Titisari dan memanggil.
"Titisari! Guru-ku Jaga Saradenta!" Titisari lantas turun dari
punggung kudanya. la datang menghampiri dengan agak kemalas-malasan. Seperti
diketahui terhadap guru Sangaji yang berwatak uring-uringan itu, ia mempunyai kesan
kurang baik. Dahulu di lapangan Pekalongan, hampir saja ia bentrok. Untunglah
sewaktu berjuang bersama-sama di kubang batu melawan laskar Pangeran Bumi Gede,
kesan buruk itu berkurang banyak. Itulah sebabnya, meskipun nampak
kemalas-malasan, namun wajahnya menun-jukkan rasa girang. Terkejut ialah Jaga
Saradenta. Mendengar suara Sangaji ia seperti lagi bermimpi. Benarkah itu
muridnya yang selalu dirindukannya? Ia mengira dalam hidup ini takkan berjumpa
lagi. "Benarkah kau anakku Sangaji?" suara gemetaran karena terharu.
Dengan hati pilu, Sangaji mencium lutut gurunya. "Benar! Aku si tolol
Sangaji." "Ah kalau begitu, aku bukan mimpi. O, anakku ... kenapa kau
datang lagi? Mari ... mari kita berbicara dahulu ..." Jaga Saradenta
membawa Sangaji dan Titisari memasuki sebuah gubuk. Ternyata itulah gubuk
penjagaan dalam reneana penge-pungan laskar Pangeran Bumi Gede. Setelah saling
melahirkan rindunya masing-masing, Jaga Saradenta segera minta keterangan apa
sebab pemuda itu datang kembali ke Jawa Tengah. Sangaji segera menceritakan
penga-lamannya selama berada di Jawa Barat. Ia menyinggung pula kepergiannya
mendaki dataran tinggi Gunung Cibugis, tetapi lama sekali tidak mengabarkan
siapa dirinya sekarang. Tatkala kisahnya mulai menyinggung Sonny de Hoop dan ibunya
mulutnya terasa terkunci. Hampir saja ia menangis. Syukur ingatlah dia, bahwa
gurunya itu sangat benci kepada air mata. Meskipun demikianmendengar Rukmini
meninggal secara tak wajar, orang tua itu tak dapat menahan air matanya juga.
Matanya nampak merah. Dan kumisnya bergetaran menahan rasa tangis.
"Sudahlah ... sudahlah ... siapa yang pernah lahir di dunia ini yang tidak
akan mati?" katanya mengatasi perasaannya sendiri. Mereka berbicara sampai
menjelang fajar hari. Kemudian orang tua itu menerangkan sebab musabab
beradanya di dusun itu. "Kau tahu, jelek-jelek aku ini seorang Demang.
Dusun ini masih termasuk wi-layahku," ia mulai. "Laskar Bumi Gede
kini tinggal menunggu saat-saat terakhir. Pangeran Ontowiryo tidak hanya
mengerahkan laskar Kasultanan saja, tapi pun minta bantuan para pendekar.
Gurumu Wirapati kabarnya turun gunung pula dengan paman-paman gurumu, juga
gurumu sendiri pendekar Gagak Seta kabarnya tidak menolak. Dia memang seorang
pejuang semenjak Perang Giyanti, masakan menolak permintaan Pangeran
Ontowiryo." Ia berhenti mengesankan. Lalu mendadak mengalihkan pandang
kepada Titisari. "Nona...! Ayahmu ikut menying-singkan lengan baju pula.
Inilah suatu kejadian luar biasa. Kabarnya hai itu dilakukan, demi
untukmu." "Demi untukku?" Titisari tercengang. "Ah, siapa
yang tidak tahu kesedihan ayah-mu karena memikirkan kepergianmu. Cuma saja ia
mengira, bahwa kepergianmu itu kare-na bosan melihat sepak terjangnya yang
menyendiri. Maka dia berkata: mulai hari itu dia akan kembali berjuang seperti
dahulu hendak mengikis habis semua angkara murka, selagi tubuh masih bisa
bergerak. Ah, hebat." "Sungguh hebat! Kyai Kasan Kesambi sam-pai
tertawa terbahak-bahak oleh rasa syukurnya ..." Mendengar berita tentang
ayahnya, hati Titisari menjadi pilu. Teringat akan perjalanan-nya sendiri yang
selalu bertaruhan dengan jiwa, ia menjadi iba terhadap ayahnya. Ia tahu sepak
terjang ayahnya itu sesungguhnya ter-bersit dari rasa rindu dan rasa sepi. Maka
ingin sekali ia cepat-cepat menghadap ayahnya. Sangajipun demikian. Ia kini
tidak sanak tidak kadang. Ayah dan ibunya sudah meninggal pula. Satu-satunya
yang dicintainya kini ialah kedua gurunya. Dengan Jaga Saradenta dia sudah
dapat berjumpa dengan a a Hatinya sangat bersyukur. Sekarang inginlah pula ia
mencium lutut gurunya Wirapati yangsenantiasa dipujanya di dalam hati,
sekalipun ilmunya sendiri kini sudah jauh melampaui. "Kalian ingin segera
berangkat?" kata Jaga Saradenta seakan-akan dapat membaca gejo-lak hati
mereka. "Akupun ikut. Sebentar! Aku akan berkemas-kemas." Fajar hari
telah tiba, tatkala mereka bertiga berangkat menuju ke Dusun Krosak. Sepan-jang
jalan mereka mendapat warta tentang pertempuran sengit antara sisa-sisa laskar
Pangeran Bumi Gede dan laskar Pangeran On-towiryo. Sekarang sisa-sisa laskar
Pangeran Bumi Gede tinggal menunggu kematiannya di sekitar Desa Gumrenggeng.
Kabarnya, Pangeran Bumi dan Sanjaya kini tinggal meng-andal kepada perlindungan
para pendekarnya yang tinggal beberapa orang saja. Mendengar berita itu,
Sangaji memacu kudanya. Titisari dan Jaga Saradenta segera menyusul dengan
memacu kudanya pula. Sebentar saja, Dusun Gumrenggeng sudah nampak di depannya.
"Mereka terkepung di pinggir hutan dekat tebing kali," kata seorang
penjaga dusun. Sangaji segera mengarah ke arah petun-jukannya. Hatinya gelisah
bukan main. Mengingat Pangeran Ontowiryo mengerahkan para pendekar yang dibantu
pula oleh pen-dekar Gagak Seta dan Adipati Surengpati, maka pendekar-pendekar
pelindung Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya, bukanlah merupakan soal sulit. Benar
juga. Baru ia melintasi dua petak sawah, pendengarannya yang tajam menangkap
suara tertawa yang dikenalnya. Itulah suara Gagak Seta. "Hai, Jangkrik
Bongol! Bangsat itu tinggal memijit kepalanya. Hayo siapa di antara kita yang
akan membuat jasa terlebih dahulu?" Adipati Surengpati tertawa perlahan.
Sahutnya angkuh. "Untuk membunuh kedua binatang itu, masakan perlu kita
bersegan-segan? Tapi tunggu dahulu sampai teman-teman anakku sudah merasa
puas." Sangaji dan Titisari melompat dari atas kudanya. Begitu bernafsu mereka
sampai hampir melupakan Jaga Saradenta. Setelah orang tua itu melompat pula
dari kudanya, mereka bertiga lalu mendekati sebuah keting-gian. Di tengah
lapangan terbuka yang dipagari hutan, nampaklah beberapa orang menggele-tak tak
berkutik lagi. Di sebelah timur pendekar Hajar Karangpandan sedang menghajar
Iawannya. Di dekatnya Panembahan Tirto-moyopun berada di atas angin. Musuh
mereka tinggal dua orang itu saja. Pendekar Cocak Hijau dan Manyarsewu.
Pangeran Bumi Gede nampak pucat lesi. Pakaiannya kusut. Dengan putus asa ia
mengikuti jalannya pertarungan itu. Di dekat-nya terbaring seorang pemuda yang
bernapas kempas-kempis. Pakaian yang dikenakan pemuda itu sudah lusuh dan
rontang-ranting. Dialah nDoromas Sanjaya yang nampaknya kini menjadi bangkrut.
Mereka berdua tak dapat menyingkirkan diri lagi, karena seluruh lapangan sudah
terkepung rapat. Apalagi di sana terdapat pula pendekar sakti Gagak Seta dan
Adipati Surengpati. Melihat Sanjaya, hati Sangaji pedih pilu. Ia melayangkan
pandang. Mendadak ia melihat gurunya Wirapati berdiri gagah di samping
paman-paman gurunya. Sebentar ia heran, apa sebab gurunya berada pula di situ.
Teringat keterangan gurunya Jaga Saradenta, bahwa pada saat itu orang-orang
gagah di seluruh tanah air sedang mengepung Pangeran Bumi Gede untuk melakukan
pukulan yang menentukan, ia jadi mengerti. Mau ia menyeru,
sek<3nyong-konyong terdengar gurunya Jaga Saradenta berseru nyaring kepada
Ki Hajar Karangpandan. "Hai, Pendeta Edan! Kau mengajak kakak
seperguruanmu Tirtomoyo menelanjangi kedua pendekar rebusan itu. Apakah adil?
Semenjak dahulu, Cocak Hijau dan si bangkotan Manyarsewu bukankah lawan kita
berdua? Dengan kakakmu Tirtomoyo tiada sangkut-pautnya!" Mendengar ucapan
Jaga Saradenta, Hajar Karangpandan melengak sejenak. Begitu mengenal suaranya,
pendeta edan itu tertawa riuh. Lalu menyahut. "Ah! Demang Segaluh! Kau
selamat? Kudengar suaramu begitu kuat. Apakah muridmu berada pula di
sini?" "Aku seorang tua bangkotan semenjak dahulu berjalan seorang
diri. Muridku memang jempolan melebihi muridmu. Tetapi belum sampai hatiku
untuk bersandarkan diri kepadanya." "Bagus! Bagus!" Hajar
Karangpandan tertawa terbahak-bahak sambil terus merabu Iawannya. "Kau
benar-benar akan ikut mengambil bagian? Baiklah Kakak Tirtomoyo apakah engkau
sudi mendengarkan comelan demang edan itu?" Panembahan Tirtomoyo kenal
akan sepak-terjang adik seperguruannya yang edan-edanan itu. Dengan tertawa
perlahan. ia lantas menjejak tanah dan melesat keluar gelanggang. Dan pada saat
itu, masuklah Jaga Saradenta ke dalam arena. Manyarsewu dan Cocak Hijau
mendongkol bukan main diperlakukan demikian. Itulah suatu hinaan di luar batas.
Selama hidupnya mereka berdua termasuk pendekar jempolan. Mereka-pun mengandal
kepada kepandaiannya sendiri. Dahulu mereka berdua pernah bertarung meng-uji
kepandaian dengan Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta di lapangan Kota
Pekalongan. Meskipun lawannya tangguh, namun mereka tidak berada di bawahnya.
Maka begitu Jaga Saradenta memasuki gelanggang, seperti berjanji mereka berdua
merangsak dengan menggunakan senjata andalannya. "Hai, Jaga Saradenta!
Kudengar pukulanmu hebat sekali!" kata Hajar Karangpandan. "Tapi kau
lagi menghadapi manusia yang sedang sekarat. Kalau kau tidak mengeluarkan
senjata cempulingmu, aku khawatir kau bakal kebakaran jenggot!"
"Jenggot apa?" sahut Jaga Saradenta si penaik darah. "Sudah lama
aku tidak memeli-hara jenggot." "Bagus, bagus! Kalau begitu, mari
kita bertaruh untuk yang penghabisan kali..." "Apakah kau hendak mengajak
aku mingr gat ke wilayah barat lagi?" "Bukan, bukan," sahut
Hajar Karangpandan sambil bertempur. "Masing-masing kini mene-mukan musuh
bebuyutan. Siapa yang bisa merebahkan lawan lebih dahulu, dia yang menang. Aku
sendiri bersedia menyembah kakimu tujuh ratus kali." "Siapa kesudian
kau sembah? Memangnya kakiku ini kaki perempuan? Huuu ..." damprat Jaga
Saradenta dengan mata melotot. "Tapi baiklah! Aku bukan band. Mari kita
mulai!" Dengan sebat, Jaga Saradenta menghunus cempulingnya dari
sarungnya. Itulah senjata andalannya semenjak dahulu. Dia kini sudah lanjut
usianya. Meskipun demikian tenaganya seperti bertambah. Itulah akibat kena
perto-longan Sangaji, sewaktu dia luka parah. Tenaga sakti Sangaji yang
merasuki tubuhnya ternyata menambah keteguhannya. Tak mengherankan, bahwa tiada
selang beberapa waktu terdengarlah jerit melengking. Pendekar Cocak roboh
terguling kena tikamannya. Tetapi pada saat itu Manyarsewu rebah pula terbabat
pedang Hajar Karangpandan. Dengan begitu mereka berdua tiada yang kalah atau
menang dalam pertaruhan itu. Besar pengaruh keruntuhan itu bagi Pangeran Bumi
Gede. Rupanya pertarungan itu merupakan pertaruhan nyawanya. "Eh, mulutmu
ini manakah yang benar? Yang satu bilang bukan muridku. Yang lain bilang
muridku. Apakah mulutmu biasa bocor?" tegur Gagak Seta. "Bukan begitu,"
Hajar Karangpandan menyahut cepat. "Sebagai seorang murid yang mendurhakai
guru, sebenarnya sudah lama dia harus mati. Tapi mengingat ayahnya ..."
"Mengapa ayahnya?" "Ayahnya seorang laki-Iaki tulen. Seorang
laki-Iaki sejati." Gagak Seta tercengang. Lantas kaget. Terus berkata
dengan suara rendah. "Ah ya. Bukankah ayahnya sahabat ayah muridku
Sangaji?" "Benar ..." sahut Hajar Karangpandan berse-mangat.
"Cuma saja dia berhati binatang sampai tega membiarkan ayahnya sendiri dibunuh
ayahnya yang gadungan itu. Karena itu, izinkan aku menagih hutang. Aku gagal
mendidik anaknya ... kini akan kubayar dengan membunuh musuh besarnya..."
Setelah berkata demikian, dengan sekali melompat Hajar Karangpandan menghampiri
Pangeran Bumi Gede. la tahu, Pangeran Bumi Gede mempunyai senjata rahasia.
Ontuk melawan senjata rahasia itu, ia sudah berja-ga-jaga karena itu hatinya
tak gentar. "Tunggu!" tiba-tiba terdengar suara meng-gelegar. Sangaji
meloncat ke tengah gelang-gang. Dan semua menoleh oleh rasa kaget. Wirapati
berteriak girang bercampur heran. Segera ia lari menghampiri, tapi begitu
teringat akan persoalan gawat yang belum memperoleh penyelesaian itu, ia
menahan diri. "Paman Hajar Karangpandan," kata Sangaji dengan sikap
hormat. "Dahulu hari semasa aku dan Adinda Sanjaya masih kanak-kanak Paman
menghadiahi kami berdua suatu benda pusaka. Itulah pusaka keris Kyai
Tunggul-manik dan Bende Mataram. Hari ini, dari jauh aku datang untuk
kukembalikan kepada yang berhak. Bukankah keris Kyai Tunggulmanik hak milik
Adinda Sanjaya?" "Hai! Mengapa soal lama itu diurigkit-ungkit
kembali?" kata Hajar Karangpandan sesudah mengatasi rasa herannya. la
seorang yang memiliki akal banyak dan cerdik. Ia menduga, kata-kata Sangaji
pasti mempunyai latar bela-kang yang penting. Maka ia menyabarkan diri untuk
menunda maksudnya hendak meng-habisi nyawa Pangeran Bumi Gede. "Di
Pekalongan dahulu, bukankah aku sudah bilang bahwa kedua pusaka itu sudah
menjadi milikmu seorang? Buat apa kau bagikan kepada manusia setengah
binatang?" "Tidak, Paman," sahut Sangaji dengan suara sedih.
"Ibuku berpesan, bahwa aku harus mengembalikan kepada yang berhak
meneri-manya. Kalau aku tidak melaksanakan, arwah Ibu tak kan memperoleh
ketenteraman di alam baka." "Hai, kenapa ibumu?" Hajar Karangpandan
terkejut. "Apakah ... apakah ..." Merah mata Sangaji mendengar
pertanyaan itu. Ia segera mengalihkan pembicaraan. Katanya dengan menelan
ludah, "Sekarang biarlah aku melaksanakan pesannya yang ter-akhir. Ibu
menghendaki, agar kedua pusaka itu kuserahkan kepadanya penuh-penuh."
"Tidak, tidak! Itu tidak adil! Tidak adil!" Hajar Karangpandan
berjingkrakan. Sangaji tidak menghiraukan reaksi Ki Hajar Karangpandan. Ia
menenteng kedua pusaka warisan itu dengan kedua tangannya, lalu menghampiri
Sanjaya. "Adikku Sanjaya ... terimalah. Kemudian pergilah dari sini.
Bawalah ibumu pulang ke kampung. Aku yang menjamin, bahwa mereka tidak akan
mengusik dirimu." Girang Sanjaya mendengar kata-kata Sangaji. Hampir ia
tidak percaya kepada pen-dengarannya sendiri. Dengan tertatih-tatih ia bangkit.
"Ini ... untukku? O, kau sangat baik hati ..." katanya dengan suara
gemetaran. Itulah pusaka yang selalu terbayang di dalam mimpinya. Sekian tahun
ia berjuang untuk memper-olehnya. Dan berapa banyak korban yang sudah
dilakukan, tak terhitung lagi nilainya. Kini diluar dugaan ia dapat
memperolehnya dengan sangat mudah. Karena itu ia bersangsi akan maksud baik
Sangaji. la menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan. Ternyata Pangeran
Bumi Gede membalas dengan anggukan. Mata Pangeran Bumi Gede yang sudah nampak
redup mendadak timbul lagi sinarnya. Maka dengan mantap ia menerima kedua
pusaka sakti itu. "Terima kasih bisiknya. Lalu ia berputar menghadap
ayahnya. Berkata dengan tak jelas, "Ayah ... periksalah tulen tidaknya ...
bukankah ini kehendak Tuhan?" Dengan mata berseri-seri, Pangeran Bumi Gede
menerima kedua pusaka Pangeran Semono itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan
kanannya masih menggenggam tongkat senjata rahasianya. Sekonyong-konyong selagi
ia memeriksa kedua pusaka impian itu, suatu kesiur angin dahsyat menghantam
dirinya. Terdengar suara nyaring menyusul. "Lepaskan! Lepaskan! Itulah
milik Raja Langit." Sangaji melesat mundur begitu terasa kena dampratan
angin dahsyat. Kemudian peristiwa selanjutnya terjadi dengan sangat cepatnya.
Dengan menghantamkan tenaga saktinya, Kebo Bangah merebut pusaka idaman
hatinya. Sebaliknya Pangeran Bumi Gede bukan pula manusia tiada gunanya. Begitu
ia kena damparan tenaga dahsyat, masih ingat ia menggunakan senjata berbisanya.
Begitu menjepret, Kebo Bangah menjerit tinggi. "Addooo ... tolong!"
jerit Kebo Bangah. Tubuhnya menggigil. Sangaji melesat maju hendak menolong,
tetapi Wirapati mencegah. "Jangan raba!" Sangaji terkejut, sehingga
ia mengurungkan niatnya. Benar saja, setelah meliuk-liuk dengan berjungkir-balik,
Kebo Bangah meng-hembuskan napasnya yang penghabisan dengan tubuh hangus
terbakar. Dan menyak-sikan betapa hebat senjata berbisa Pangeran Bumi Gede,
semua pendekar menggeridik bulu kuduknya. "Jahanam!" maki pendekar
Gagak Seta yang berwatak ksatria. "Ini sungguh keji. Hanya iblis yang sudi
menggunakan senjata begitu." Murid-murid Kyai Kasan Kesambi selamanya
diajar membenci macam bentuk senjata" rahasia yang berbisa. Meskipun
mereka tidak mengeluarkan kutukan, namun hatinya mengutuki terjadinya peristiwa
itu. Lain halnya dengan Adipati Surengpati. Meskipun sedikit banyak Sanjaya
pernah mengantongi sekelumit ilmu Witaradya lewat muridnya Pringgasakti, tapi
mengingat dia anak Pangeran Bumi Gede yang biadab itu, timbullah murkanya.
Sekali meloncat tangan-nya hendak menyambar tengkuk Sanjaya. Tiba-tiba
terdengar pemuda itu mengeluh. "Aduh, kakiku..." Rupanya butiran
senjata rahasia Pangeran Bumi Gede tidak semuanya mengenai tubuh Kebo Bangah.
Sebagian kena ditangkis buyar Sekali berputar Kebo Bangah menubruk dan
menghantamkan pukulannya dengan menggunakan seluruh tenaganya, Bres! Maka tanpa
berkesempatan mengaduh lagi, tubuh Pangeran Bumi Gede menjadi empat bagian oleh
tenaga gempuran pendekar sakti itu. Dan di antara butiran itu menyelonong
mengenai mata kaki Sanjaya. Tetapi mereka ingat, bahwa pemuda itu pandai
bermain licik dan licin. Mereka bersangsi. Baru setelah nampak suatu warna
hitam mulai menjalar naik nyaris sampai ke betis, mereka semua memekik
terkejut. Semua yang berada di lapangan itu, bukan tokoh-tokoh sembarangan.
Bahkan meru-pakan tokoh tertinggi yang terdapat di Jawa Tengah. Seperti Adipati
Surengpati, Gagak Seta, anak murid Kyai Kasan Kesambi, Ki Hajar Karangpandan,
Panembahan Tirtomoyo, Sangaji dan Titisari. Namun melihat bisa yang mengancam
jiwa Sanjaya, mereka kehilangan day a. Tak tahulah mereka apa yang harus
dilakukan, sampai pula Adipati Surengpati yang terkenal sebagai seorang
cendekiawan mengerenyitkan dahi. Sanjaya memang pan-tas menerima kematiannya.
Tetapi teringat betapa mengerikan akibat racun berbisa itu, merekapun tak
sampai hati. Di antara mereka, Sangaji yang paling gopoh. Pemuda itu berhati
mulia. Meskipun sudah beberapa kali ia kena diingusi Sanjaya, namun tetap ia
sayang kepadanya. Hal itu disebabkan, karena Sanjaya kini merupakan sanak
satu-satunya yang terdekat. Sudah barang tentu tak ingin ia membiarkannya mati
seperti Kebo Bangah. Maka tanpa berpikir lagi, ia maju hendak mencegah
menjalarnya bisa itu dengan mengandal kepada tenaga saktinya. Tapi baru saja
tangannya bergerak, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah Wirapati. Dengan
pedang terhunus ia me-mangkas kaki Sanjaya setinggi betis. Itulah yang pernah
dilakukannya terhadap ayah Sanjaya. Dengan menjerit tinggi, Sanjaya rebah tak
sadarkan diri. Menyaksikan keadaan Sanjaya, bukan main terharu hati Sangaji.
Tapi ia tahu, bahwa itulah usaha satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa saudara
angkatnya. Cepat ia mencegah mengalirnya darah. Kemudian merobek lengan bajunya
sendiri untuk pembebat lukanya. Para pendekar lainnya lantas datang merubung.
Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan dan Panembahan Tirtomoyo.
Mereka inilah yang tahu benar akan perjalanan hidup Sanjaya. Bahkan mereka
pernah mempunyai sangkut-pautnya. Sekonyong-konyong mereka menyibak. Seorang
gadis dengan rambut terurai datang menerobos masuk. Langsung ia memeluk tubuh
Sanjaya dengan menangis sedih. Berbisik ia berkata, "Barulah sekarang
engkau merasakan pula pender'rtaan almarhum ayah-mu ... Alangkah cepat
peredaran hidup ini. Kemarin engkau masih berlagak sebagai anak pangeran.
Sekarang engkau sudah kehilangan semuanya ... Meskipun begitu ... biarpun kau
menjadi seorang pengemispun, hatiku takkan berubah. Bukankah aku pernah berkata
begitu terhadap adikku Titisari?" Dengan penuh cinta kasih ia menciumi
paras Sanjaya yang menjadi pucat pasi. Kemudian dipapahnya di atas pundaknya.
Dan semua yang menyaksikan menjadi terharu, karena mereka kenal siapakah gadis
itu. "Kak riuraini!" kata Titisari. "Hendak kau bawa ke mana
dia?" "Orang tuanya dahulu mempunyai sedikit warisan separuh rumah di
Desa Karang-tinalang. Dia akan kurawat di rumah itu sampai sembuh. Sekiranya
sudah sembuh hatinya tak berubah, aku akan membunuh diri ... Adikku Titisari,
kau sangat berbahagia. Kedua pipimu nampak penuh...," sahut Nuraini.
Dengan perlahan-lahan, ia memutar tubuh-nya. Kemudian berjalan keluar lapangan
dengan menyibakkan pagar laskar yang sedang mengepung. "Nuraini,
tunggu!" seru Sangaji. Ia menuntun kuda pemberian Willem Erbefeld, lalu
diberi-kan kepadanya. Dengan pertolongannya pula, Nuraini naik di atas
punggung. Dan tubuh Sanjaya diletakkan melintang di atas kedua pupunya. Ia
mengangguk untuk menyatakan terima kasih, lalu menarik kendali kudanya.
Perlahan-lahan binatang itu mendaki gun-dukan ketinggian, kemudian menyusur
jalan mengarah ke Dusun Karangtinalang. "Kasihan Kak Nuraini," bisik
Titisari di samping Sangaji. Sangaji menghela napas. Sedih hatinya mengenangkan
nasib Nuraini yang buruk. Tiba-tiba ia memutar tubuh dengan wajah
bersungut-sungut. Pandangnya runtuh kepada dua benda pusaka warisan Pangeran
Semono yang membuat geger dunia. Teringatlah dia kepada kata-kata ibunya.
Lantas saja timbul-lah pikirannya: "Benarlah kata Ibu. Di mana saja, kedua
benda ini akan selalu membuat sial, pertengkaran, perselisihan atau mener-bitkan
suatu keruwetan yang memakan kor-ban jiwa." Setelah berpikir demikian, ia
berkata nyaring kepada Ki Hajar Karangpandan. "Paman Hajar Karangpandan!
Lewat kedua tangan Paman; pusaka warisan ini kuterima dan kukenal. Sekarang
izinkan aku, Paman!" Ki Hajar Karangpandan tak dapat menang-kap maksud
Sangaji. Maka ia berkata minta keterangan. "Kau minta izin apa
dariku?" "Kedua pusaka ini akan kulenyapkan saja dari percaturan
manusia ..." Sangaji tidak menunggu jawaban Hajar Karangpandan oleh
rangsang hatinya. Dengan sekali meloncat ia menyambar keris Kyai Tunggulmanik
dan Bende Mataram. Kemudian ia mengerahkan tenaganya hendak meremukkan
berpuing-puing. Tenaga sakti Sangaji bukan main hebat-nya. Di jagat ini
hakekatnya tiada yang mampu menandingi. Clntuk meremuk kedua pusaka sakti itu,
ia bersungguh-sungguh. Maka benar-benar ia mengerahkan seluruh tenaga
dahsyatnya. Dahulu saja dengan beberapa bagian tenaga saktinya, tenaga himpunan
Kebo Bangah yang mampu menghan-curkan batu raksasa, kena disapu sampai ter-pental.
Apalagi sekarang ia mengerahkan seluruh tenaganya. Tetapi suatu keajaiban
terjadi di luar akal manusia. Sekonyong-konyong terlihatlah suatu cahaya
mengejap dengan cerahnya. Kemudian disusul dengan suara gelegar dari arah
tenggara. Setelah itu terasalah bumi berderak-derak. Sangaji terkejut. Hai!
Apakah ini? ia berpikir heran. Tiba-tiba di depannya nampak suatu gumpalan
angin berputaran. Pusaran angin itu makin lama makin cepat. Lambat laun terasa
seperti asap bergulungan. Pada detik itu muncullah suatu pemandangan yang
menge-rikan. Suatu makhluk tinggi besar yang tubuh-nya hampir mencapai lapis
udara, berdiri tegak di hadapannya. "Hai!" seru bayangan raksasa itu.
"Kau makhluk apa sampai berani bermaksud meng-hancurkan kedua pusaka ini?
Apakah ini milik-mu? Apakah kau yang membuat? Apakah kau sudah mendapat izin?
Siapa yang meng-izinkan. Aku Mapatih Lawa Ijo penanggung jawab kedua pusaka
junjunganku, masakan akan tinggal diam?" bayangan raksasa itu berhenti
sejenak. Berkata lagi, "Hm ... hm ... kau sudah berhasil memecahkan
rahasia Kyai Tunggulmanik, itulah karena nasibmu yang baik. Karena engkau
seorang manusia yang jujur yang mulia hati. Tetapi tahukah engkau apa
rahasianya yang tergurat pada pusaka Bende Mataram? Sayang ... sayang ...! Bawa
kemari! Kau tidak suka, akan kuberikan kepada yang lain!" Bayangan raksasa
itu kemudian menyambar kedua pusaka warisan Pangeran Semono. Kemudian
dibuangnya tinggi di udara sambil berkata nyaring. "Lihat! Aku tak pilih
kasih! Siapa yang akan dapat membaca arti rahasia yang tergurat pada logam
pusaka Bende Mataram, dialah kelak manusia sejati yang akan menentukan
sejarah." Setelah berkata demikian, bayangan itu lenyap dari penglihatan.
Tenaga Sangaji seperti punah. Dan pada detik itu, ia rebah tak sadarkan diri.
Titisari yang berada di dekatnya segera menolong menyadarkan. Dan begitu sadar
kembali, Sangaji mengembara matanya. Para pendekar ternyata tetap berada pada
tempatnya dengan memancarkan pandang kagum. Ia heran. Berkata nyaring kepada
Titisari. "Titisari! Kemana dia perginya?" "Siapa yang
pergi?" Titisari heran. "Eh tadi... eh ... Mapatih Lawa Ijo!"
"Lawa Ijo?" Titisari bertambah-tambah heran. Mendadak tertawa manis
seraya berkata, "Eh kau sedang bermimpi atau ..." "Titisari! Kau
melihat apa?" Sangaji memo-tong. Sekarang pandangnya berkesan bi-ngung. Ia
mengucak-ucak matanya. Bukan-kah aku tidak tidur? "Tidak! Kau sedang
menghancurkan kedua pusaka warisan. Aku hanya melihat suatu letikan cahaya.
Lalu kau rebah! Agaknya kau sangat bernafsu sampai kehilangan keseim-banganmu."
"Benar ... benar ... tapi lantas ... kau melihat apa?" Sangaji
terbata-bata. "Aku melihat apa?" "Apakah kau tidak mendengar
suara gele-gar?" Titisari bergeleng kepala dengan wajah heran.
"Cahaya cerah membubung tinggi?" Sangaji menegas. "Tidak. Hanya
suatu kejapan. Itulah terjadi karena suatu geseran antara kedua
pusaka-mu." "Aneh!" "Apakah yang aneh?" Sangaji
benar-benar menjadi bingung. Berkata lagi dengan gopoh. "Apakah engkau
tidak melihat asap bergumpalan?" "Lalu angin puyuh? Lalu bumi benderak-derak?
Lalu..." Titisari menarik napas. Dengan memegang bahunya, gadis itu
berkata penuh pengertian. "Marilah kita temui Ayah dahulu. Lantas kita
mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat. Pada akhir-akhir ini dalam dirimu
memang bertumpuk-tumpuk berbagai persoalan rumit..." Sangaji tertegun
mendengar kata-kata Titisari. Tak dapat mengerti, apa sebab Titisari tak
melihatnya. Terhadap keterangan seorang, dalam keadaan begitu betapapun juga ia
akan menyangsikan. Tetapi terhadap keterangan Titisari ia harus percaya.
Titisari tak pernah berbohong kepadanya. Maka ia menghela napas. Lalu berkata,
"Baiklah. Perlahan-lahan kelak kuceritakan. Tetapi ... engkau melihat
suatu cahaya, bukan? ... Tetapi sekarang di mana kedua benda itu?"
"Lihatlah! Semua paman-pamanmu terte-gun karena kagum menyaksikan tenaga
sak-timu. Karena kedua pusaka itu hancur menjadi debu kena remas tenaga saktimu
yang dahsyat," jawab Titisari meyakinkan. Sangaji menebarkan matanya dan
melihat sekalian pendekar berdiri tertegun meng-awaskan dirinya. Wajah mukanya
menyatakan suatu kekaguman yang sangat. Dalam keheningan itu, terdengarlah
pen-dekar besar Gagak Seta tertawa nyaring. "Anakku Sangaji! Kau disebut
anak tolol, tapi sebenarnya tidak. Semua orang di jagat ini tahu bahwa warisan
Pangeran Semono kini sudah tersimpan di dalam dadamu. Meskipun bendanya tiada
lagi dalam persada bumi ini... tapi kau telah menyimpan rahasianya di dalam
rasamu. Bagus! Kalau kelak ada yang berpe-nasaran, bolehlah mencari dirimu.
Tanggung akan ketumbuk batu! ... Hai, Jangkrik Bongol kau mau bilang apa?"
Adipati Surengpati mendengus. Ia mem-bungkam. Titisari datang padanya dengan
berlarian. Kemudian berkata, "Ayah! Selamanya anakmu membuat hati Ayah
risau. Sekarang, biarlah aku bersumpah akan me-rawat Ayah baik-baik. Karena ...
lihatlah Ayah, aku membawa bakal menantumu pulang ke kandang Ki Hajar
Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta, Wirapati dan sekalian anak
murid Kyai Kasan Kesambi kenal akan lagak lagu Adipati Surengpati. Ternyata
ayah dan anaknya tidak jauh bedanya. Mereka berdua nampaknya tidak menghiraukan
pandang orang lain. Enak saja ia mengutarakan rasa hatinya di depan umum tanpa
bersegan-segan. Di antara mereka Sesungguhnya hanya Gagak Seta yang kenal benar
akan watak Adipati Surengpati. Lantas saja ia berseru nyaring, "Hai,
Adipati Surengpati! Dengan ini aku membungkuk hormat padamu berbareng
menyatakan takluk. Karena engkau kini akhirnya memperoleh seorang menantu yang
paling tinggi ilmunya di zaman ini. Siapa berani bersaing lagi dengan
keluargamu. Hanya saja, kapan kita semua bisa menghadiri hari upacara
perkawinan-nya?" Merah wajah Titisari mendengar kata-kata pendekar Gagak
Seta. Betapapun juga ia se-orang gadis. Meskipun polos tapi mengenai soal yang
satu itu, mestinya hanya enak untuk dibicarakan sendirian dengan kasak-kusuk.
Gagak Seta tertawa senang. Katanya lagi, "Kau iblis kecil, hayo bilanglah
bahwa hatimu tidak berbahagia. Karena itu tertawalah! Gurumu ini sudah lama
merindukan bunyi tertawamu...!" Dan benar-benar Titisari tertawa dengan
hati berbahagia. TAMAT
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 48 PULANG di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 48 PULANG"
Post a Comment