BENDE MATARAM JILID.27 RUMAH BATU
Dalam
pada itu cekikan Bagas Wilatikta kian lama kian menjadi keras. Lubang hawa
benar-benar mulai tersumbat. Oleh rintangan ini, secara wajar tata jasmani
Sangaji terus saja berkutat dengan hebat. Meskipun sudah kehilangan daya tahan,
namun sebisa-bisanya berusaha menolak juga. Getah sakti Dewadaru terus saja
merembes keluar naik ke leher. Dan ilmu Bayu Sejati yang mempunyai sifat
bertahan, tanpa disadari sendiri ikut pula membersit dari gua rahasianya. Oleh
timbulnya Baju Sajati, getah sakti Dewadaru lantas saja menggabungkan diri.
Seperti diketahui, apabila getah sakti Dewadaru tidak menemukan suatu
pengerahan tenaga murni yang sifatnya bertentangan, akan merupakan dasar tenaga
raksasa. Pada saat itu, ilmu sakti Kumayan Jati tak mempunyai bidang gerak. Maklumlah,
Sangaji tak dapat berdiri atau menggerakkan panca inder-anya. Karena itu, Baju
Sejati bisa bergerak tanpa menemukan saingan lagi. Seperti gelombang ia
berputar-putar ke seluruh urat nadi. Terutama sekitar batang leher yang kena
himpit. Diam-diam Bagas Wilatikta heran. Pikirnya, bocah ini terang-terang
tiada bertenaga lagi. Mengapa ia bisa bertahan begini? Oleh pikiran ini, ia
jadi penasaran. Terus saja ia mencekik kian hebat. Pada saat itu, Sangaji
merasa tersiksa benar-benar. Cekikan tangan Bagas Wilatikta sudah tak dirasakan
lagi. Tapi akibatnya cekikan itulah yang membuatnya sengsara, la tak dapat
bernapas lagi. Secara wajar ia berguling hendak merenggutkan diri. Karena
gerakan ini, ilmu sakti Kumayan Jati terus saja timbul tanpa dikehendaki sendiri.
Inilah hebat! Karena begitu ilmu sakti Kumayan Jati timbul, Bayu Sejati segera
menyerang. Sifat ilmu sakti Kumayan Jati memang aneh. Apabila sekali timbul,
pantang menyerah sebelum memperoleh keputusan yang menentukan. Itulah sebabnya,
Gagak Seta tetap tangguh sewaktu melawan Kebo Bangah, meskipun sudah melampaui
dua ribu jurus lebih. Tatkala kena pisah, ia tetap menantang dan menantang
seolah-olah tak pandai menguasai diri. Juga kali ini, begitu kena serangan Bayu
Sejati, lantas saja berputar mengadakan per-lawanan. Seperti manusia-manusia
yang mempunyai mata, ia terus bergerak hendak merebut getah sakti Dewadaru
merupakan pelabuhan titik tolak penghimpunan tenaga. Ketika itu juga, darah
Sangaji mendidih. Tubuhnya sekonyong-konyong menjadi panas luar biasa. Hal itu
bisa dimengerti. Biasanya kedua ilmu itu timbul berbareng dalam bidang gerak
agak luas. Kini Sangaji sama sekali tak bergerak selain hanya berguling-guling
hendak merenggutkan diri. Karena itu mereka merasa seperti terdesak dan
terdorong-dorong ke pojok. Akhirnya kedua ilmu itu saling melebur dan punah
bentuk sifatnya. Inilah suatu kejadian di luar perhitungan manusia. Tadinya
Gagak Seta mengharap, Sangaji bisa melebur kedua ilmu itu dengan melalui
latihan atau oleh pertolongan tangan sakti seperti Kyai Kasan Kesambi, Adipati
Surengpati atau Kebo Bangah. Apabila kedua ilmu itu bisa lebur menjadi satu,
hebatnya tak terkatakan lagi. Karena si pemilik bisa bergerak menurut
kemauannya sendiri tanpa sesuatu rintangan. Kini, di luar dugaan siapa saja,
mendadak kedua ilmu itu lebur menjadi satu oleh karena suatu cekikan kuat luar
biasa. Bersatunya ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati itu hebat akibatnya.
Tiba-tiba, Sangaji merasa pusatnya kena raba hawa di-ngin dan agak
hangat-hangat yang nyaman luar biasa. Hawa dingin dan agak hangat-hangat itu,
terus merembes menyusur seluruh urat nadinya. Sama sekali tiada rintangan.
Suatu tanda bahwa jalan darahnya kena tertembus. Seperti ular naga, kedua ilmu
sakti itu terus berputar-putar dengan dorongan getah sakti Dewadaru. Makin lama
makin cepat. Karena tenaga jasmani tiada lagi mereka mencari kor-ban lain.
Akhirnya diketemukan. Yakni, sari-sari madu lebah Tunjungbiru. Peristiwa ini
berlangsung sangat cepat. Madu Tunjungbiru yang dahulu hanya dikabarkan sebagai
penambah kesehatan belaka dan memanjangkan umur, mendadak di luar dugaan
manusia pula merupakan suatu unsur peleburan dan penggabungan tiada ban-dingnya
di jagat ini. Seketika itu juga, dalam diri Sangaji tiada lagi getah sakti
Dewadaru, ilmu sakti Bayu Sejati, ilmu sakti Kumayan Jati dan madu Tunjungbiru
yang berdiri masing-masing seperti maharaja dengan pemerintah otonomnya. Tetapi
sudah bersatu menjadi satu, merupakan suatu pengucapan rasa dan angan manusia
untuk bergerak. Seketika itu juga, Sangaji merasa aneh. Mendadak saja ia merasa
di dalam tubuhnya seolah-olah ada segumpal daging yang terus berputar-putar
melarutkan gumpalan-gum-palan lainnya. Putaran itu makin lama makin cepat.
Rasanya nyaman luar biasa dan me-legakan ruang dada dan rongga perut. Dalam
pada itu, cekikan Bagas Wilatikta makin tajam. Kedua telapak tangannya
seolah-olah sudah saling memimit, tinggal tersekat suatu lapisan tipis.
Sekonyong-ko-nyong ia terpental jungkir balik ke angkasa dengan menjerit
tinggi. Tahu-tahu dengan kepala menukik ke bawah, tubuhnya amblas terbenam
dalam tanah. Bisa dibayangkan betapa hebat tenaga yang melontarkan itu. Dan
tenaga pelontar itu tidak lain adalah tenaga bersatunya ilmu sakti Bayu Sejati—
Kumayan Jati dan sari-sari madu Tunjungbiru. Terlepasnya Sangaji dari suatu
cekikan luar biasa itu, membingungkan dirinya. Sebab napas yang sudah tersekap
sekian lama, sekonyong-konyong terlonggar. Dan seperti air bergolak yang kena
bendung. Terus saja membanjir salang tunjang karena bendungan ambrol dengan
tiba-tiba. Sudah barang tentu jantung Sangaji berdegup sangat keras. Dan
napasnya jadi tersengal-sengal. Apalagi, dalam dirinya terjadi suatu perputaran
cepat yang tak dimengerti sendiri. Apabila lambat laun sudah bisa menguasai
diri, ia merasa seperti bermimpi. Benarkah dia lepas dari cekikan Bagas
Wilatikta? Waktu itu bulan mulai suram kembali. Perlahan-lahan ia mulai
menghilang di balik awan yang datang berarak-arak. Suasana udara kini terasa
dingin meresapi tulang belulang. Hawa mulai mengabarkan waktu fajar. Karena
itu, penglihatan jadi terhalang. Apalagi keadaan tubuh Sangaji belum pulih
seperti sedia kala. Meskipun kini sudah memiliki tenaga sakti yang tiada
bandingnya dalam jagad raya, tapi ia masih menderita luka dalam tiada enteng.
Ia belum bisa bergerak. Karena itu tak dapat menggunakan panca-indra
seleluasa-Ieluasa-nya. Satu-satunya gerak yang bisa dilakukan hanya
mengembarakan gundu matanya. Samar-samar ia melihat mayat-mayat kesepuluh
lawannya berserakan di seberang menyeberang. Larut malam itu sunyi luar biasa,
sehingga terasa menjadi seram. Sangaji bukanlah seorang pemuda yang penakut.
Namun selama hidupnya, baru kali ini ia berada di tengah-tengah malam sunyi
seorang diri ditemani beberapa mayat yang rusak jasmaninya. Mau tak mau,
keadaan itu mempengaruhi dirinya juga. Meskipun demi-kian, hatinya lega juga
menyaksikan semua lawannya rubuh tak berkutik. Hanya terhadap 'Wilatikta
hatinya masih bersangsi. Orang itu terlalu licin baginya. Gerak-geriknya sukar
diraba, ia khawatir jungkir-baliknya ke udara dan kemudian kepalanya tertancap
di dalam tanah hanya suatu tipu belaka untuk suatu maksud yang lebih keji lagi.
Itulah sebabnya, walaupun ia menderita hebat tak berani ia memicingkan mata.
Perlahan-lahan fajar mulai menyingsing. Dan tak lama kemudian, hari menjadi
terang tanah. Wilatikta masih saja tak berkutik. Separuh tubuhnya benar-benar
tertancap ke dalam tanah. "Eh, apakah dia benar-benar terpental oleh
tenagaku? Sangaji mulai menduga-duga keras. Walaupun menderita luka hebat,
namun pi-kirannya masih tetap jernih. Dan oleh dugaan itu, ia ingin
menyelidiki. Segera ia menahan napas dan mencoba mengerahkan tenaga
jas-maninya. Dan belum lagi ia mengerahkan te-naga jasmani, mendadak saja
tubuhnya ter-guncang-guncang karena darahnya berjalan sangat cepat dan
berputar-putar dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunnya. Hal itu terjadi karena
napasnya tertahan dengan tiba-tiba. "Hai! Kenapa jadi begini?" Ia
heran sampai terlongong-longong sendiri. Dan suatu hawa yang nyaman luar biasa
terasa meresapi selu-ruh urat nadinya. Diam ia jadi bergembira, ia mencoba
menahan napas dan menahan napas sampai berulang kaK. £>an setiap kali
menahan napas, dalam dirinya terasa seperti ada gumpalan daging lari berputaran
dan seakan-akan hendak menjebol kulit dagingnya. "Hai! Benarkah aku sudah
berhasil?" Ia me-nyelidiki diri sendiri. Semenjak mendengar ajaran Gagak
Seta bahwasanya ia akan memi-liki tenaga sakti tak terlawan apabila berhasil
melebur tenaga sakti Kumayan Jati-Bayu Sejati dan getah Dewadaru, selalu ia
berusaha mencari titik persesuaian. Tak bosan-bosan ia senantiasa mencoba-coba
dengan diam-diam. Malahan pernah jatuh pingsan pula. Dan sela-ma itu tiada
tanda-tanda akan berhasil. Kini tanpa disangka-sangka ia memperolehnya de-ngan
mudah sekali di luar dugaan siapapun juga. Siapa mengira, bahwa tiga unsur
tenaga sakti itu bisa saling melebur lewat cekikan napas? Seumpama Gagak Seta
atau Kyai Kasan Kesambi mengetahui tentang hal itu, belum tentu mereka bisa
menolong pula. Karena cekikan mereka akan dianggap sebagai jasa-jasa baik
belaka, sehingga tiada mengadakan perlawanan naluriah. Sebaliknya terhadap
cekikan Bagas Wilatikta kejadiannya sangat berlainan. Ia merasa terancam hebat.
Terus saja naluri hidupnya berontak dan mengadakan perlawanan sedapat-dapatnya.
Himpunan tenaga sakti yang dimiliki Sangaji, sekarang sepuluh kali lipat
besarnya daripada yang dimiliki Gagak Seta, Adipati Surengpati, Kyai Kasan
Kesambi dan Kebo Bangah. Dalam sejarah, baru kali itulah terjadi. Itulah
sebabnya, di kemudian hari akan mengejutkan para pendekar sakti yang mengira
dirinya menjadi puncak-puncak kodrat manusia pada zamannya. Di sini ternyata,
bahwa semua peristiwa pelik-pelik di dunia segalanya tergantung pada nasib.
Manusia takkan dapat mencapai dengan karsa belaka. Seperti ini, bahwasanya wadah
(tempat untuk menaruh) takkan bisa mencari wahyu. Sebaliknya wahyu yang akan
mencari wadahnya. Demikianlah setelah yakin akan hal itu, Sangaji hendak
mencoba kesaktiannya. Ia belum bisa bergerak seleluasa-luasanya, kecuali hanya
menggerakkan jari-jari dan lengan. Di depannya tertebar beberapa puluh biji
sawo yang tadi digunakan sebagai senjata bidiknya. Dengan memaksa diri ia
memungut-nya sebuah. Kemudian disentilkan membidik batu. Kesudahannya luar
biasa menakjubkan. Batu yang kena bidikan rompal. Dan hancur berderai seperti
kena ledakan dinamit. Melihat kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Kini
yakinlah dia, bahwa Bagas Wilatikta benar-benar terlontar oleh tenaga saktinya.
Hanya saja ia tak mengerti sebab-musabab terjadinya pelontaran itu. Sangaji
adalah seorang pemuda yang tak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam
per-soalan yang rumit-rumit. Maka lantas saja ia menghibur diri. "Biarlah
begitu. Perlahan-lahan akan kuselidiki sebab musababnya." Setelah
memperoleh keputusan demikian, hatinya jadi tenang. Tapi justru hatinya tenang,
luka dalamnya mulai merenyam. Ia merasa seperti ditusuk ribuan jarum, sakitnya
bukan main. Seluruh tubuhnya menggigil, tatkala ia mencoba bertahan. Dan
sebelum matahari mendaki sepenggalah tingginya, ia jatuh pingsan tak sadarkan
diri. Kira-kira melampaui waktu luhur, lapat-lapat ia mendengar derap kuda.
Rasa sakitnya masih saja belum mereda. Tapi oleh rasa ingin tahu, ia
menjenakkan mata. Ternyata Willem berderap secepat terbang karena dikejar oleh
seorang perempuan yang rambutnya terurai hampir mencapai pinggang, la jadi
ke-heran-heranan. Dengan menggertak gigi, ia menegakkan badan dan bersandar
pada sebuah batu yang mencongakkan diri sebagian dari lapisan tanah. Tatkala
mengamat-amati, ia melihat suatu kesan yang agak janggal. Ternyata perempuan
yang mengejar-ngejar Willem, seorang gadis sebaya dengan Titisari. Terang
sekali ia seorang gadis desa. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya
kehitam-hitaman. Kulitnya kasar dan berpakaian sekenanya. Meskipun demikian
gadis itu nampak manis dan hidup oleh sepasang matanya yang bersinar tajam.
Perawakannya langsing pula, sehingga mudah menarik perhatian. Apabila gadis itu
melihat beberapa mayat bergelimpangan berserakan, terdengar ia memekik kaget.
Namun demikian raut mukanya tak berubah. Satu demi satu ia mengamat-amati.
Kemudian dengan mata terbelalak ia mengawasi Sangaji. Terus saja bertanya
setengah heran, "Hai...! Kau belum mati?" "Syukur belum,"
sahut Sangaji sederhana. Tanya jawab pendek itu sebenarnya meng-gelikan. Yang
perempuan aneh bunyi per-tanyaannya dan yang lain menjawab sekena-nya. Itulah
sebabnya, begitu saling memandang akhirnya mereka tersenyum geli juga.
"Kalau kau belum mati, kenapa berbaring di situ tak berkutik? Ih, kaget
aku!" kata gadis itu dengan setengah tertawa. "Aku terluka."
"Siapa yang melukai?" "Mereka." Gadis itu mengembarakan
matanya. Setelah merenungi mayat-mayat, ia nampak menghela napas. "Syukur
mereka mati semua. Hm... kau lapar tidak?" "Tentu saja lapar. Tapi
aku tak bisa bergerak, karena itu biarlah nasib memikirkan daku." Gadis
itu tercengang sebentar. Mendadak saja ia tertawa berkikikan. Kemudian
men-geluarkan sebuah mangga muda dari dalam dadanya. "Mari kita
bagi," katanya. Terus saja ia menggerogoti seperempat bagian, sisanya
diangsurkan kepada Sangaji. Dalam keadaan wajar, pastilah Sangaji akan menolak
pemberian demikian. Tapi hatinya tertarik pada sepak terjang gadis itu dan cara
berpikirnya yang lucu dan tak ter-duga-duga. Kecuali itu, memang perutnya
terasa lapar. Meskipun ia masih bisa berta-han dua tiga hari lagi, namun
hatinya tak sampai menolak pemberian gadis itu yang terbersit dari hati yang
bersih dan sederhana. Maka dengan setengah berbisik, ia berkata memaklumi.
"Terima kasih. Tapi aku tak dapat bergerak." "Ih! Kau begini
manja," mendadak gadis itu melototi. "Masakan aku harus meladeni.
Ini... ambil!" Setelah berkata demikian, mangga itu ke-mudian disambit
mengarah perut. Sangaji tak dapat bergerak, sehingga ia hanya menutup mata.
"Trang!" Mangga itu mengenai pusaka Bende Mata-ram yang tadi
dikalungkan Bagas Wilatikta ke lehernya dan mangga itu hancur berantakan
berkeping-keping. Di sini ternyata, bahwa gadis itu mempunyai tenaga sambitan
kuat juga. "Hai! Untung kau mempunyai permintaan bagus!" teriak gadis
itu dengan nada tinggi. "Apakah kau ini seorang pengamen (pemusik jalanan)
keserakat?" Tadi, waktu gadis itu menyambitkan buah mangga, hati Sangaji
terkesiap. Dan begitu mendengar pertanyaannya, hatinya yang mulia tak sampai
hati mengecewakannya. Terus saja ia menjawab acuh tak acuh: "Ya aku
seorang keserakat." "Apakah nama benda itu?" "Sebuah bende.
Mengapa?" "Bagus! Bagus!" gadis itu mendadak jadi girang.
"Apakah boleh aku minta?" Terhadap bende itu, sebenarnya hati Sangaji
tak begitu tertarik. Dasar hatinya mulia, maka begitu mendengar permintaan
gadis itu, lantas menjawab, "Kalau kau senang, ambilan!" Bukan main
girang gadis itu. Wajahnya terus saja bersinar terang. Dengan tak ragu-ragu ia
melangkah hendak menghampiri. Mendadak saja selagi akan membungkuk-wajahnya berubah
lagi. Kemudian melompat mundur dan berkata, "Kau tak mau menerima
pemberianku. Apakah kau takut kuracuni?" Perubahan sikap itu mengejutkan
Sangaji. Mau tak mau ia jadi menaruh perhatian. Hati-hati ia menjawab,
"Bukankah engkau sudah memakannya sebagian? Terang sekali tiada niatmu
meracuni aku." "Bagus! Tetapi mengapa engkau percaya penuh, bahwa
gigiku tiada racunnya?" Bagi Sangaji yang berhati sederhana, perta-nyaan
itu amat menyulitkan. Mendadak ia ingat sesuatu, "Kalau gigimu benar-benar
beracun, mestinya kau akan berusaha memasukkan buah mangga tadi ke mulutku.
Sebaliknya engkau malah menyambitkan begitu keras." "Karena aku tahu,
kau takkan gam-pang-gampang sudi mengunyahnya. Itulah sebabnya, engkau akan
kutikam mati saja dengan sambitanku." Mendengar ujar gadis itu, Sangaji
terhenyak. Kemudian bertanya mencoba, "Apa sebab engkau akan membunuh
seseorang yang tiada sangkut pautnya dengan kepentinganmu?" "Masakan
tak tahu?" gadis itu terbelalak heran. "Kalau kau masih hidup,
bukankah aku wajib menolongmu? Di tengah lapangan ini, desa-desa begitu jauh.
Aku harus mendukungmu... atau aku harus mencari gerobak penarik. Bukankah aku
jadi berabe?" "Hm... Siapakah yang mengharapkan perto-longanmu? Sama
sekali aku tak mempunyai pikiran demikian." "Ha... Kalau begitu kau jahat.
Seumpama aku terluka di sini, pastilah engkau akan pergi dengan tak tahu
menahu." Di debat demikian, Sangaji jadi terbungkam. Pernyataan demikian
sama sekali tak didu-ganya. Tadi sewaktu mendengar bahwa gadis itu
terang-terangan hendak membunuhnya, hatinya terkejut dan agak menyesal. Karena
itu, jawabannya agak keras. Di luar dugaan, mendadak dia bisa mendamprat begitu
rupa. "Menolong sesama hidup jauh berlainan dengan bermaksud hendak
membunuh," ia mencoba menangkis. "Eh, kenapa kau begini tolol? Coba
pikir! Kau begini gede seperti siluman. Sebaliknya aku tak bertenaga. Lagi
pula, kulihat kau kem-pas-kempis begitu menderita. Daripada mati
perlahan-lahan, bukankah lebih baik mati cepat-cepat? Ih, kau begini
tolol!" Kembali Sangaji terhenyak untuk sekian kalinya. Pikirnya
diam-diam! Aneh jalan pi-kiran gadis ini. Seumpama seorang laki-laki, ia
tergolong manusia macam Bagas Wilatikta yang bisa berbuat di luar dugaan.
"Hai tolol! Kenapa kau tak menjawab?" Tegur gadis itu. Tiga kali
Sangaji mendengar gadis itu menyebutnya dengan istilah tolol. Dalam hidupnya
beberapa orang memanggilnya de-ngan si tolol. Tapi yang bebas dari rasa fitnah
hanya dua. Pertama, kedua gurunya dan Gagak Seta. Dan yang kedua Titisari.
Teringat akan Titisari hatinya jadi terharu. Ia merasa ditinggalkan semua yang
dicintai dan mencintai. Terus saja teringatlah dia kepada ibunya yang jauh
berada di daerah barat. Tak terasa, matanya jadi berkaca-kaca. "Hidiiih...
kau sudah sebesar kerbau, masih saja menangis seperti bayi?" Damprat gadis
itu dengan sengit. "Benar-benar engkau seorang tolol tak berguna."
Lihat pakaianmu begitu kotor tak terurus. Berkali-kali Sangaji semalam lontak
darah. Pakaiannya memang jadi berbentong-bentong penuh darah yang kini jadi
membeku. Kecuali itu, mukanya kotor oleh debu dan rambutnya terpangkas separoh
karena parang Bagas Wilatikta. "Perkara mangga itu nanti kucarikan.
Masakan kau tak tahan lapar barang seben-tar?" Gadis itu mendamprat lagi.
"Sama sekali aku tak memikir tentang itu. Aku hanya teringat kapada seseorang."
Sebenarnya gadis itu sudah memutar tubuh hendak pergi. Tatkala mendengar ujar
Sangaji, cepat ia berpaling. "Kau memikirkan siapa? Masakan kau mempunyai
kenalan?" "Aku terkenang kapada ibuku yang berada jauh di
rantau," jawab Sangaji yang tak pernah bisa berbohong. "Apakah ibumu
sering memberimu buah mangga?" Gadis itu tersenyum lebar. "Sudah
tentu." Mendadak saja gadis itu mengamuk. Dengan cekatan ia mencari
sesuatu. Begitu melihat tangkai pengail Randu Kintir yang ter-lempar di atas
tanah, terus saja menyam-barnya dan mengancam kepada Sangaji. "Bagus...
kau samakan aku dengan ibumu? Apakah umurku sama dengan ibumu? Kau begini
kotor. Ibumu pasti lebih kotor paling tidak, pipinya telah reot. Masakan aku
begitu?" Sangaji jadi gugup. Belum lagi ia bisa ber-buat sesuatu gadis itu
telah menggebuknya dua kali berturut-turut. "Kenapa kau memukul aku?"
Ia minta keterangan. Sebenarnya apabila mau meram-pas pengail itu, tidaklah
susah. Tapi semenjak tadi ia tertarik kepada lagak lagunya yang aneh. Pikirnya,
tak apalah dia menggebuk aku beberapa kali. Daripada tiada berteman, lumayan
juga bisa beromong-omong dengan dia... Karena itu, ia membiarkan diri digebuk
dua kali berturut-turut. Kemudian berkata lagi, "Ibuku tak pernah memukul
aku. Karena itu, engkau tak mirip dia." "Eh—apa kau bilang? Aku tak
pantas men-jadi seorang ibu? Kau sudah bosan hidup barangkali?" Bentak
gadis itu. Terus saja ia hendak menyabet kempungan Sangaji yang luka. Keruan
saja, Sangaji menjadi gugup. Kempungan itulah yang tadi malam kena pukulan
lawan-lawannya. Jangan lagi kena pukulan, andaikata tersentuh tangan saja bisa
mengancam nyawanya. Karena itu dengan cepat ia meraup biji-biji sawonya yang
tertebar disekitarnya, pikirnya, asal gadis itu berani menyentuh kempungannya,
segera ia akan menimpuknya sampai pingsan. Syukurlah gadis itu hanya menggertak
bela-ka. Tatkala melihat air muka Sangaji berubah hebat, ia berkata mengejek.
"Nah tuuu... baru digertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati. Karena
itu, jangan-lah senang mengolok-olok orang." "Sama sekali aku tak
mengolok-olokmu. Apabila aku mengolok-olokmu, biarlah aku rebah begini saja
seumur hidupku," sahut Sangaji sungguh-sungguh. Gadis itu melemparkan
pengailnya. Kemu-dian dengan tertawa duduk disamping Sangaji. "Kau
bilang...engkau lagi terkenang ibumu. Apakah ibumu mirip aku?" "Sudah
barang tentu engkau jauh lebih cantik," jawab Sangaji. Selama hidupnya,
belum pernah Sangaji bersikap mengambil-ambil hati. Tapi menghadapi seorang
gadis yang nampak angin-anginan ini, ia tak mau kena sengsara, la khawatir
gadis itu akan menghantam kempungannya benar-benar. Kecuali itu dalam kesepian
ia membutuhkan seorang teman. Apabila sampai menyakiti hatinya, pastilah dia
akan pergi meninggalkan di tengah-tengah mayat-mayat berserakan. Kalau sampai tiga
empat hari berada di tengah mayat-mayat dalam udara panas, bukankah
penciumannya akan terganggu hebat? Maka setelah berkata demikian, ia
meneruskan, "tapi sikapmu yang begini baik benar-benar mengingatkan aku
kepadanya." "Kau begitu pasti?" Sangaji memandang wajahnya dan
meng-angguk dangan yakin. "Ih! Kenapa kau memandang aku? Apakah aku
cantik?" tegur gadis itu. Dan oleh teguran itu, Sangaji jadi tertegun. Dia
adalah seorang pemuda yang polos dan berhati sederhana. Selama hidupnya belum
pernah ia mengkhia-nati ucapan hatinya sendiri. Dalam hatinya, ia hanya
mempunyai seorang gadis yang dianggapnya benar-benar cantik melebihi segala.
Yakni, Titisari. Apabila menganggap seorang gadis lain cantik pula, bukanlah
sudah berarti mengkhianati diri? Karena itu, ia menjadi gugup. Sulit ia
menjawab. "A... aaaku tak mengerti. Aku memandang padamu. Karena engkau
begini baik terhadap-ku. Entah kenapa, hatiku jadi tenteram, lega dan
senang." Mendadak gadis itu tertawa panjang. "Kau salah duga. Aku justru
seorang perem-puan yang jahat. Apa itu kebaikan? Justru aku mau memusuhi tiap
laki-laki." Setelah berkata demikian dengan tangkas ia berdiri. Kemudian
menendang pinggang Sangaji dua kali dan terus melompat lari meninggalkan
lapangan. Dua tendangan itu terjadi dengan seko-nyong-konyong. Tendangannya
tepat pula mengenai pinggang. Seketika itu juga, Sangaji menjerit tinggi dan
jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kurang lebih satu jam kemudian, ia tersadar
kembali. Napasnya terasa makin sesak dan tenaganya seperti terlolosi. Teringat
akan gadis itu, ia menghela napas. Anehnya, meskipun disakiti hatinya tak
menyesali. Lama sekali ia merenungi dan mencoba menimbang-nimbang. Apa sebab
dia menyakiti aku, justru sewaktu aku memuji kebaikan hatinya? Rupanya ia lagi
menaruh dendam dan begitu melihat diriku segera ia menumpahkan. Barangkali
akulah yang lagi sial. Tak sengaja ia menyiratkan pandang kepa-da mayat-mayat
yang kini mulai dikerumuni lalat. Meskipun tak gentar menghadapi segala, tak
urung hatinya risih juga menyaksikan pemandangan demikian. Segera ia
melem-parkan pandang ke tengah udara yang lapang dan cerah. Teringat akan gadis
aneh tadi, mendadak saja ia mengharap-harap munculnya lagi. Tapi mengingat
sepak-terjangnya, ia khawatir kena siksanya. Dua jam lagi ia menggeletak tanpa
bisa berkutik. Tatkala matahari hampir tenggelam, mendadak saja panca indranya
yang tajam mendengar bunyi bergeritan. Tak ragu lagi, pastilah bunyi roda
geledek. Dugaanya benar juga. Tak lama kemudian, gadis aneh tadi datang kembali
dengan menyeret gerobak kecil yang sering dipergunakan para petani sebagai alat
pengangkut kayu atau jerami. Biasanya gerobak demikian ditarik oleh anak lembu
atau kambing jantan. "Hai! Apakah ibumu pernah menarik gerobak semacam aku
begini?" Tegur gadis itu dengan sekonyong-konyong. Teringat akan
pengalamannya, tak berani Sangaji menjawab sembarangan terhadap gadis itu yang
sok angin-anginan itu. Gntung, sebelum menjawab, gadis itu lantas saja jadi
sibuk, la mengeluarkan sebungkus nasi, seli-rang pisang dan setempurung air minum.
"Hai siulman! Kau belum mati?" Tegurnya lagi. "Sudah mati
separoh," jawab Sangaji bergu-rau. Tadi ia sudah mengambil keputusan
hen-dak bersikap tak sungguh-sungguh saja ter-hadap gadis itu. Dengan tersenyum
simpul gadis itu duduk disampingnya sambil membawa bungkusan makanan. Selagi
menaruh semuanya itu diatas tanah, mendadak saja terus menendang pinggang
Sangaji lagi sambil bertanya, "Bagian manakah yang belum mati?"
Keruan saja Sangaji terkejut setengah mati. Sebat ia melindungi pinggangnya.
Meskipun demikian, tak urung masih terasa sakit juga. Dengan menggigit bibir,
ia berkata minta pen-jelasan. "Kenapa kau senang menyakiti orang."
"Kau sendirilah yang minta gebuk. Masakan kau bilang mati separuh.
Sedangkan nyawamu masih utuh? Bukankah engkau belajar berbohong?"
Benar-benar Sangaji merasa mati kutu. Hendak bersikap sungguh-sungguh gadis itu
berwatak angin-anginan. Kini bersikap main-main, salah juga. Seperti orang
putus asa, lantas menyahut, "Tadi engkau telah menggebuk aku sampai
pingsan tanpa perkara. Meskipun demikian, aku selalu mengharapkan kedatanganmu.
Kini engkau hendak menyakiti aku lagi. Mengapa?" "Karena tiap
laki-laki adalah busuk!" Bentak gadis itu. Dan setelah berkata demikian,
terus saja mengamuk. Bungkusan nasi, air minum dan selirang pisang yang
dibawanya mendadak dibantingnya dan diinjak-injak sampai terpencet masuk dalam
tanah. Sangaji jadi melongo melihat sepak ter-jangnya. Kesan mukanya begitu
berduka, gusar, dengki dan penuh sesal. Apakah gadis ini mempunyai penderitaan
hebat begitu rupa, ia menduga-duga. Teringat akan perjalanan hidup keluarganya
dimasa kanak-kanak, tak terasa Sangaji menjadi perasa. Hatinya kian tertarik.
Dengan setulus-tulusnya hati nuraninya tergerak. "Apakah sebab kamu begini
pemarah?" "Aku pemarah atau tidak, apa pedulimu?" damprat gadis
itu. Sangaji menundukkan kepala. Mendadak saja gadis itu terus saja duduk
menumprah di-sampingnya. Kemudian menangis sedu-sedan. Melihat gadis itu
menangis, timbulah ke-beranian Sangaji untuk mencoba berbicara lagi. Katanya lemah
lembut, "Siapakah yang menghina dirimu? Katakanlah! Manakala aku telah
sembuh kembali, biarlah aku memba-laskan hatimu." Agaknya ucapan Sangji
kena benar. Tangis si gadis kian menaik. Beberapa saat kemudian gadis itu
berkata, "Setiap orang berhak berjuang untuk memperoleh kebahagiaan.
Karena itu, tiada seorang pun di dunia ini yang menghina diriku. Hanya saja,
nasibkulah yang buruk... sehingga setiap saat selalu saja aku mengenangkan
seseorang." "E-hem. Pastilah dia seorang Pemuda gagah. Apa sebab
bersikap begitu bengis kepadamu." "Dia bukan lagi seorang pemuda.
Meskipun ngganteng dan gagah, namun gadis-gadisnya terlalu banyak," sahut
gadis itu dengan mene-gakkan kepala. Kemudian menunduk sambil meneruskan,
"inilah kebodohanku, mengapa aku mengharapkan yang bukan-bukan
dari-padanya. Aku minta dia hidup bersama untuk selama-lamanya dan hanya
untukku. Karena itu, dia menghajar aku beberapa kali. Aku dicacinya pula...
dihina dan ditinggalkan." "Ah, mengapa begitu kasar?" Sangaji
tercengang. "Jika demikian, tiada gunanya kau kenangkan lagi. Enyahkan
saja bayangannya dari benakmu." "Mengurai adalah gampang. Akupun
dapat menasehati setiap orang untuk memilih jalan yang paling bagus. Tapi
justru... aku tak dapat meninggalkan bayangannya. Karena... kare-na..."
gadis itu tak menyelesaikan kata-katanya, la mulai menangis lagi. Sangaji saat
itu lagi memasuki gelombang asmara juga. Hanya saja soalnya lain. Titisari
baginya adalah seorang gadis yang meng-gairahkan hatinya. Diapun membalas
cintanya. Inilah namanya cinta kasih timbal balik. Maka diam-diam ia berpikir
dalam hati, meskipun masih terdapat rintangan, namun keadaanku dan Titisari
masih jauh beruntung dari dia. Wajah dan perawakan gadis ini bukan buruk.
Kesannya hampir seimbang dengan Nuraini. Apa sebab pemudanya bisa berlaku ganas
dan bengis kepadanya? Mendadak saja teringatlah dia kepada Sanjaya yang
memperlakukan Nuraini demi-kian juga. Teringat akan hai itu, perlahan-lahan ia
berkata hati-hati. "Cinta asmara sesungguhnya tak dapat dipaksakan." "Hai!
Apakah engkau juga pernah terlibat dalam soal cinta asmara?" Gadis itu
ter-cengang. Dan sekaligus hilanglah tangisnya. "Ya, bahkan aku lagi
mulai," sahut Sangaji meyakinkan. Kemudian mencoba membesar-kan hati.
"Pemuda itu hanya menyakitkan hatimu belaka. Tapi pengalamanku lebih hebat
darimu." "Kenapa?" Mendadak saja gadis itu melon-cat berdiri.
Dan pandangnya berapi-api mem-benci segala. Sangaji terkejut melihat perubahan
itu. Teringat akan sepak terjang si gadis yang sok angin-anginan, hati-hati ia
melanjutkan, "Aku dan dia sudah setuju. Sudah kulampui pula ujian-ujian
yang diwajibkan. Mendadak saja, ayahnya berubah haluan. Gadisku disekapnya dan
dibawanya lari..." "Ih! Bukankah engkau bisa bersama-sama minggat?
Ayah bunda sesungguhnya hanya sebagai perantara belaka. Kita semuanya ini Sana
yang mempunyai. Meskipun ayah bunda mengutukmu, tapi kalian benar-benar saling
mencintai... akan buyarlah tenaga kutuk itu. Sebab yang mengadakan cinta kasih
itu bukan ayah bunda. Tapi Sana!" Hebat kata-kata gadis itu sampai Sangaji
terkejut bercampur heran. Melihat usia si gadis, hati Sangaji geli. Karena
kata-kata demikian tidaklah pantas diucapkan oleh seorang gadis remaja seusia
dia. Tapi kata-katanya penuh letupan yang mengandung kebenaran juga. Diam-diam
dia berpikir, gadis ini benar-benar menderita sampai bisa mempunyai pengucapan
begitu hebat. Meskipun mengandung kebenaran, kesannya liar juga. Apabila
dibenarkan... bukankah akan meracuni jiwanya?" Memperoleh pertimbangan
demikian, Sa-ngaji terus berkata seperti guru. "Menurut tutur-tutur kata
Guru, justru sadar bahwa semuanya ini yang mempunyai adalah Sana, maka aku
bersikap tawar. Kuserahkan dia kepada Sana, biar sana sendiri yang
menyele-saikan." Sengaja Sangaji menirukan istilah Sana, agar tak
menyinggung perasaannya. Pilih-annya ternyata tepat. Gadis itu lantas saja
memandang padanya lama-lama. "Siapa namamu?" "Sangaji."
Dahi gadis itu mengkerut. Ia tak berkata lagi. Lantas saja suatu kesunyian
terjadi. "Dan kau... siapa namamu?" Sangaji ganti bertanya.
"Fatimah." "Ayah bundamu?" "Mereka semua sudah
meninggal. Ya... biar-lah semuanya meninggalkan aku, apa pedulimu?"
Sehabis berkata demikian, kembali dia angot. Dengan sebat ia menyambar pengail
Randukintir dan terus digebukkan empat lima kali kepada Sangaji. Kemudian
memutar tubuh dan meninggalkan lapangan. Mendadak saja ia memutar tubuh dan
berkata minta ketegasan. "Apakah kuda yang kukejar tadi, kudamu?"
"Ya." Ia memutar tubuh lagi sambil berteriak, "Usahakan dirimu
masuk gerobak. Aku tak kuat memondongmu. Nah, biar kucari kudamu!" Setelah
berkata demikian, ia berlari-lari meninggalkan lapangan dengan cepat. Dan
kembali Sangaji terlongong-longong memi-kirkan sepak terjang gadis itu yang
benar-benar aneh. Pikirnya, dalam kemarahannya senantiasa terbesit rasa
keibuannya. Apakah dia begitu menanggung derita tak tertanggungkan hingga
sewaktu-waktu mengamuk tanpa sebab? Teringat, bahwa gadis itu tiada berayah
bunda lagi, hati Sangaji kian perasa. Tanpa disadari sendiri rasa sukanya
kepadanya jadi bertambah. Tadi ia memesan agar aku naik ke gero-baknya, katanya
dalam hati. Biarlah aku membuatnya senang... Hatinya berkata demikian, tapi tak
mudah pelaksanaannya. Ia benar-benar luka parah. Dikala mencoba menggerakkan
badan rasa nyeri menusuk sampai kepalanya. Ia mencoba mengkeraskan hati dan
berusaha merangkak. Namun untuk kesekian kalinya ia gagal. Lambat laun matahari
mulai tenggelam. Teringat akan si gadis, hati Sangaji berdebar-debar. Bukan
takut kepada gebukannya, tapi kalau sampai mengecewakan itulah jangan! Dalam
keresahannya mendadak saja teringatlah dia kepada jalan darahnya yang sudah
lancar. Menurut Gagak Seta, apabila jalan darah sudah bisa ditembus, gerak
geriknya takkan terintang lagi. Semua kehendak dan kemauan-nya akan bisa
dilaksanakan. Maka terus saja ia mengumpulkan tenaga saktinya. Kemudian tapak
tanggannya digempurkan ke tanah. Dan kesudahannya mengejutkan hatinya.
Tiba-tiba saja tubuhnya terlontar tinggi di udara melampaui puncak pohon.
Inilah suatu kejadian di luar dugaan dan perhitungannya. Kalau sampai jatuh di tanah,
harapan untuk hidup dengan selamat tiada lagi. Untung, Sangaji adalah seorang
pemuda yang berhati tenang. Dalam kegugupannya ia bisa berpikir cepat. Terus
saja tangannya dikibaskan menghantam bumi. Ternyata tiga ilmu sakti yang sudah
bersatu itu hebatnya tak terukur lagi. Begitu tangannya mengibas menghantam
bumi, lantas saja timbul semacam gelombang angin yang menolak balik. Dengan
demikian daya turun tubuhnya bisa tertahan. Dan sedikit mengibaskan tangan
kirinya ke samping, terus saja tubuhnya terbang me-ngarah ke atas gerobak. Oleh
pengalaman itu ia berhasil turun perlahan-lahan dengan mengatur tenaga pentalan
bumi. Meskipun demikian, jatuhnya ke atas gerobak masih ter-lalu keras untuk
tubuhnya yang luka dalam. Berbareng dengan suara gedobrakan, ia jatuh pingsan
tak sadarkan diri. Tatkala menjenakkan mata, pandangan yang dilihatnya adalah
bintang-bintang yang bergetar lembut di angkasa. Bintang-bintang itu seperti
terlintasi. Dan apabila pikirannya mulai bekerja terasa kini gerobak yang
ditidurinya bergoncang-goncang amat keras. Kemudian terdengarlah suara derap
kuda dan lembu berjalan hampir berbareng. Maka tahu-lah dia, bahwa gerobak yang
ditidurinya sudah berjalan entah kapan. "Kau sudah bangun? Bagus!"
Tiba-tiba suara si gadis menusuk telingannya. "Kalau mau selamat, tutuplah
dahulu mulutmu!" Heran Sangaji mendengar ucapannya. Kalau saja bukan
seorang yang tajam panca indranya betapa bisa mengetahui dia telah memperoleh
kesadarannya. Dan memperoleh pikiran ini, Sangaji jadi curiga. Kepalanya
lan-tas saja penuh teka-teki yang sukar terjawab. Selagi ia sibuk
menebak-nebak, panca indranya yang tajam melebihi manusia lum-rah, mendengar
derap kuda bergemuruh dan barisan yang sedang berjalan. Mau ia mene-gakkan
kepala, sekonyong-konyong gadis itu berkata, "Pasukan Pangeran Bumi Gede
mulai mendekati kota. Tunggu saja beritanya. Beberapa hari lagi, kerajaan akan
runtuh digilasnya." Mendengar gadis itu menyebut nama Pangeran Bumi Gede,
bukan main terkejutnya Sangaji. Hatinya sampai tergetar. Dan sekali-gus jantungnya
berdegupan. Karena kegon-cangan ini darahnya lantas saja tersirap. Suatu
gumpalan tenaga sakti lari berputaran tiada hentinya. "Bagaimana kau tahu
mereka pasukan Pangeran Bumi Gede?" ia bertanya perlahan. "Rumahku
berada dalam daerah ke-kuasaannya. Masakan aku tak mengenal namanya?"
Sahut Fatimah. Mendadak suara-nya berubah menjadi keras. "Hai! Bukankah
aku melarangmu berbicara? Mengapa ber-bicara? Mengapa?" Selagi hendak
menjawab, Sangaji mendengar langkah enteng beramai-ramai. Tak ragu lagi, mereka
rombongan pendekar undangan. Dan dugaannya tepat. Dari arah timur nampaknya
satu rombongan besar yang lari cepat mengarah ke barat. Pada saat itu pula,
ge-robak dihentikan Fatimah dengan sekonyong-konyong. Fatimah sendiri terus
menuntun Willem bersembunyi di belakang belukar. Mau tak mau gerak geriknya
membuat Sangaji berteka-teki lagi. Diam-diam ia menimbang-nimbang: Didengar
dari ucapannya, ia seolah-olah ikut bersyukur apabila Pangeran Bumi Gede
berhasil meruntuhkan kerajaan. Maklumlah, rumahnya berada dalam daerah
kekuasaan pangeran itu. Tapi mengapa mendadak ia main bersembunyi, begitu
melihat berkelebatnya para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sebenarnya
siapa dia? Menuruti luapan hatinya, ingin ia segera memperoleh jawaban. Tapi
suara derap langkah pasukan yang lewat belum lagi habis. Karena itu ia
menyabarkan diri. Dalam hal ini ia mempunyai kepentingan juga. Terhadap
pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede ia bermusuhan. Apabila mereka
sampai melihat dirinya berada di situ, pastilah mem-punyai akibatnya sendiri.
Apalagi keris Kyai Tunggulmanik dan pusaka Bende Mataram berada dalam
genggamannya. Gerakan laskar Pangeran Bumi Gede ternyata memakan waktu hampir
larut malam. Dan di jauh sana mulai terdengar bunyi kentong tanda bahaya
sambung menyambung. Apakah mereka mulai bertempur, Sangaji menduga-duga.
Hatinya gelisah bukan main. "Fatimah!" Akhirnya Sangaji tak dapat
menyabarkan diri lagi. "Kau berkata, rumah-mu berada di daerah kekuasaan
Pangeran Bumi Gede. Mengapa kau bersembunyi? Apakah engkau mempunyai permusuhan
juga?" "Ih! Kenapa kau masih saja berbicara?" damprat Fatimah.
"Kau takut?" "Siapa bilang takut?" Sahut Fatimah cepat,
"kalau aku bersembunyi adalah semata-mata untukmu. Kau tak percaya?"
Setelah berkata demikian, terus saja ia mencambuk lembu penarik. Sudah barang
tentu, lembu itu jadi kaget berjingkrat. Dengan mengerahkan tenaga penuh-penuh
ia membe-dal di sepanjang jalan. Celakalah Sangaji yang berada dalam gerobak.
Tubuhnya lantas saja tergoncang pontang-panting. Belum lagi melintasi sepetak
sawah, kembali ia jatuh pingsan untuk kesekian kalinya. Memang luka dalam
Sangaji tidaklah enteng. Hampir tempat-tempat penting dalam tubuhnya kena
hantaman lawan yang memiliki tenaga sakti ma-sing-masing. Seumpama saja ia tak
memiliki daya tahan ilmu sakti Bayu Sejati, Kumayan Jati dan Getah
Dewadaru—sudah siang-siang nyawanya lenyap dari tubuhnya. Kali ini lama sekali
Sangaji memperoleh kesadarannya kembali. Kira-kira menjelang fajar hari,
lapat-lapat ia mendengar suara perempuan berbicara bisik-bisik. "Paman!
Terang sekali si Willem. Apakah kita belum boleh turun tangan?"
"Tunggulah sampai matahari cukup terang. Kurasa belum kasep."
Terdengar suara laki-laki menyahut. Meskipun Sangaji dalam keadaan luka parah,
tetapi tenaga panca indranya tetap tajam dan bersih. Dengan kesatuan tiga ilmu
saktinya, ketajaman panca indranya melebihi kemampuan panca indra pendekar
sakti kelas satu. Itulah sebabnya begitu mendengar pem-bicaraan mereka,
darahnya tersirap. Karena segera ia mengenal siapa yang berbicara. Itulah
Titisari dan Gagak Seta. Seperti diketahui Titisari dibawa lari ayahnya
meninggalkan lapangan pertandingan. Gagak Seta kemudian menyusul untuk memberi
penerangan tentang kesalahpahaman yang menyebabkan Adipati Surengpati marah tak
kepalang. Meskipun apa yang dikatakan cukup mengesankan, namun Adipati
Su-rengapti terkenal sebagai seorang pendekar yang besar kepala. Sekali sudah
dilakukan, tak gampang-gampang ia menarik diri. Dengan demikian sia-sialah
usaha Gagak Seta. Sebaliknya Titisari mewarisi sebagian watak ayahnya. Begitu
Gagak Seta mengundurkan diri, pada malam harinya ia minggat untuk ketiga
kalinya. Ditengah jalan ia bertemu dengan Gagak Seta dan bersama-sama mencari
Sangaji. Mereka melihat gerakan pasukan Pangeran Bumi Gede juga. Selagi mereka
mengintip gerak-geriknya, mendadak saja mempergoki gerobak yang lari
pontang-panting. Kemudian si Willem lari mendampingi dengan di tung-gangi
seorang gadis. Melihat pemandangan itu, Titisari terkejut bukan main. Sebagai
lazimnya seorang gadis, rasa cemburunya naik sampai kebenaknya. Terus saja ia
hendak melabrak. Untung di sampingnya ada Gagak Seta yang bisa berpikir dingin.
Setelah mengadakan suatu rentetan perdebatan, akhirnya Titisari mengalah.
Karena Gagak Seta bisa membuktikan, bahwa di dalam gerobak tergeletak tubuh
Sangaji yang tak dapat berkutik. Kedua-duanya mengira, Sangaji tertawan musuh.
Gadis yang menunggang kuda itu, mungkin salah seorang anggota lawan. Karena itu
mereka memutuskan hendak menguntitnya. Berkali-kali Titisari memberi kisikan
sandi kepada Sangaji. Meskipun pandai, sama sekali ia tak menduga, bahwa waktu
itu Sangaji jatuh pingsan tak sadarkan diri. Itulah sebabnya rasa cemburunya
kian menjadi hebat. Demikianlah kira-kira matahari menyingkap udara untuk yang
pertama kalinya gerobak itu nampak mendaki suatu gundukan. Di sana berdiri
suatu benteng kuno pada zaman Trunajaya. Dalam kesuraman pagi, nampak
menyeramkan. Melihat gerobak itu memasuki benteng kuno, timbullah kecurigaan
Titisari. Pikirnya menebak-nebak , apakah ada penghuninya? Meskipun kodratnya
seorang gadis, namun Titisari bukanlah gadis lumrah. Terus saja ia lari
mengitari benteng dari sisi lain. Kemudian dengan enteng ia meloncat ke atap.
Dari ke-tinggian ia memperoleh penglihatan lapang tak terhalang. Fatimah menambatkan
Willem. Lantas meninggalkan benteng dengan berjalan acuh tak acuh. Tatkala
sampai di pintu gapura, mendadak balik kembali. Willem dihampiri dengan cepat,
tali pengikatnya dilepaskan, kemudian menggebugnya pergi. Selamanya Willem
belum pernah memper-oleh perlakuan kasar. Karena itu begitu diben-tak, terus
saja ia meloncat tinggi dan lari berputaran. Sebentar kemudian berderap
melewati gapura dan hilang dibalik gundukan. Agaknya inilah yang dikehendaki
Fatimah. Ternyata setelah melihat Willem meninggalkan benteng dia pun segera
berjalan keluar gapura dengan tergesa-gesa. Titisari menunggu beberapa saat
lamanya. Lalu meloncat ke tanah dan terus memeriksa benteng. Ternyata benteng
itu tiada peng-huninya. Kamar-kamarnya kosong, keruh, kotor dan gelap. Timbulah
keheranannya, mengapa gadis tadi membawa gerobaknya masuk ke dalam benteng.
Tatkala ke luar dari ruang dalam, ia melihat Gagak Seta berdiri termangu-mangu
di depan gerobak seolah-olah habis berbicara. "Eh, tolol! Benar kau tak
bisa bergerak?" Terdengar ia berbicara lagi. Mendengar Gagak Seta
berbicara, terus saja Titisari meloncat lari. Hatinya girang penuh syukur. Tapi
begitu melihat Sangaji yang menggeletak tak bertenaga di dalam gerobak, hatinya
tergoncang. Waktu itu keadaan Sangaji tak keruan macamnya. Rambutnya terpangkas
tipis. Wajahnya pucat bagai kertas. Seluruh tubuhnya hampir tersiram darah yang
sudah membeku. Kakinya lepat-lepot penuh debu. Kemudian jerami gerobak
bertaburan menutup bagian tubuhnya. Gagak Seta bukankah tak mengerti bahwa Sangaji
dalam keadaan luka parah. Tapi dasarnya menganggap persoalan dunia ini seenteng
gabus, maka dalam kata-katanya ia sering bergurau. Tetapi begitu habis dia
berbicara, terus saja mengangkat Sangaji dan dibawa masuk ke dalam benteng
dengan hati-hati. Karena di dalam benteng tiada sesuatu pe-rabot rumah,
Titisari kembali menghampiri gerobak dan mengangkut jeraminya. Terus saja ia
menggelarkannya di atas lantai yang kotor berdebu kemudian Gagak Seta
memba-ringkan Sangaji dengan pandang penuh selidik. Kala itu mulut Sangaji
terkatup rapat. Meskipun tubuhnya kuat, tapi ia pingsan untuk beberapa kali.
Jantungnya berdegup lemah. Karena luka dalamnya kian berat. Melihat Sangaji
rebah tak berkutik, Titisari jadi bingung dan penuh khawatir. Diam-diam ia
menyesali diri sendiri mengapa semalam ia bercemburu kepadanya, cepat ia
menyalakan sebatang kayu dan menyului muka kekasih-nya. "Lukanya hebat
bocah ini," akhirnya Gagak Seta berkata setengah berbisik, inilah pukulan
berat bagi Titisari. Ia berdiri ter-longong-longong sambil memegang obornya
erat-erat. Gagak Seta sendiri terus bekerja dengan cepat. Tanpa ragu-ragu lagi,
tangan-nya ditempelkan ke punggung Sangaji pada titik pusat urat syaraf.
Kemudian ia me-nyalurkan hawa murninya mendadak saja, tenaganya terasa seperti
terhisap oleh suatu tenaga dahsyat. Itulah tata kerja getah sakti Dewadaru yang
kini sudah bersatu dengan dua ilmu sakti lainnya. Meskipun sudah lebur menjadi
satu, namun sifatnya belum berubah. "Ih?" Gagak Seta terkejut. la
tahu dalam diri Sangaji pastilah terjadi sesuatu perubahan hebat. Selama
hidupnya belum pernah ia mengalami peristiwa demikian. Meskipun Adipati
Surengpati, Kebo Bangah dan Kyai Kasan Kesambi memiliki tenaga sakti yang tak
dapat diukur tingginya, namun tenaga mereka belum sampai pada taraf menghisap
tenaga lawan. Tapi dasar ia seorang pendekar berwatak angkuh dan percaya pada
diri sendiri, tak mau ia menyerah. Segera ia berkutat melawan tenaga hisapan
yang membanjir bagaikan air bah. Belum lagi seperampat jam ia berjuang,
keringatnya sudah mulai merembes keluar. Hal itu mem-buktikan, betapa hebat
tenaga sakti Sangaji yang dimiliki sekarang. Titisari tak mengetahui, bahwa
Gagak Seta sedang berjuang mati-matian melawan tenaga hisapan Sangaji. Ia hanya
mengetahui Sangaji terluka berat. Kemudian warna mukanya yang pucat lesi,
sediki demi sedikit menjadi merah dan berkesan segar, la mengira, itulah jasa
Gagak Seta. Meskipun peristiwanya demikian, namun tebakannya hanya benar
separo. Kala itu, tenaga sakti Gagak Seta hampir terhisap seperempat bagian.
Sedangkan menghimpun tenaga sakti membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Karena itu meskipun sifatnya hendak menyalurkan tenaga murni untuk membantu
memulihkan kekuatan jasmani, tetapi sesungguhnya ia lagi berkelahi bagai dua
pendekar utama mengadu tenaga sakti. Selagi Titisari tenggelam dalam rasa
girang, sekonyong-konyong ia mendengar kesiur angin. Begitu menoleh, tahu-tahu
dibela-kangnya berdiri seorang gadis dengan pandang tajam. Dialah Fatimah yang
tadi meninggalkan benteng dan kini datang kembali dengan membawa dua ekor ayam.
"Siapa kau?" Bentak Titisari. "Siapa kau?" Fatimah membalas
bertanya pula. "Eh, aku tanya kepadamu." "Eh, aku tanya
kepadamu." "Jangan bergurau! Aku bertanya kepada-mu!" Bentak
Titisari. Tapi Fatimah menirukan pula, "Jangan bergurau! Aku bertanya
ke-padamu." "Apakah kau tolol?" "Apakah kau tolol?"
Diperlakukan demikian, mau tak mau Titisari jadi kuwalahan juga. Tetepi dia
seorang gadis cerdik yang tiada bandingnya pada zaman itu. Mendadak saja ia
menarik cundrik dan meloncat hendak menikam tubuh Sangaji. Fatimah terkejut.
Sebat ia meloncat dan menyambar gagang cundrik Titisari dengn suatu gerak
indah. Titisari terkejut bercampur heran. Dasar ia mewarisi watak ayahnya yang
mau menang sendiri, terus saja ia menyimpan cundriknya. Kemudian dengan sekali
gerak ia menyambar lengannya Fatimah. Ruang dalam itu masih gelap. Meskipun
samar-samar kena penerangan obor Titisari yang terlempar di lantai, tapi bagi
penglihatan manusia lumrah gelapnya seperti malam hari. Namun begitu, Fatimah
bisa bergerak cepat mengimbangi keadaan. Begitu mendengar kesiur angin, dengan
tanggkas ia menarik tangannya. Lalu membalas menyerang dengan mengancam pundak.
Titisari tahu, bahwa Fatimah bukanlah seorang gadis yang jahat. Sekiranya
bermaksud jahat, pastilah nyawa Sangaji sudah dihabisi, ia hanya mendongkol
diperlakukan demikian. Karena itu ia hendak menghajar agar kapok. Diluar
dugaan, serangan Fatimah cukup cepat dan ganas. Mau tak mau ia jadi terkejut
dan heran. Untung, ia mempunyai kegesitan me-lebihi manusia lumrah. Begitu
melihat berkelebatnya tangan, cepat ia menangkis dan kakinya terus menggantol.
Kemudian dengan tangan kanannya ia menyerang dua kali berturut-turut. Semenjak
menjadi murid Gagak Seta, ia sudah memahami ilmu petak. Kecuali itu sudah
mewarisi pula ilmu sakti Retna Dumilah. Baik gerak-geriknya maupun
ketangkasannya maju dengan pesat. Tenaganya tak gampang-gampang kena lawan
pendekar utama. Karena itu begitu Fatimah kena pukulannya lantas saja memekik
kesakitan. Pekikan itu menyadarkan Sangaji yang lantas saja bergerak secara
wajar. Oleh gerakan itu tangan Gagak Seta yang terhisap terlepas dari bahaya.
Pendekar sakti itu lantas saja duduk bersemadi menghimpun tenaga muminya
kembali. Dalam pada itu Fatimah tetap melawan. Sepak terjangnya makin menjadi
ganas dan cepat. Mau tak mau Titisari heran dibuatnya. Sama sekali tak
diduganya, bahwa di dalam benteng kuno ini ia akan menjumpai seorang gadis yang
memiliki kepandaian bukan ren-dah. Murid siapa dia, ia sibuk menebak-nebak.
Fatimah terus mengadakan perlawanan sampai dua puluh jurus lebih. Sangaji dan
Gagak Seta ikut menjadi heran. Pada saat itu, Fatimah memutar-mutar tubuhnya
sambil menjejak tanah. Titisari pun segera melayani dengan menambah tenaga.
Mendengar kesiur angin, Sangaji terus saja berseru, "Titisari! Jangan
kausakiti dia!" Sekiranya Gagak Seta yang memberi peringatan, pastilah
Titisari akan menarik serangannya. Tapi justru mendengar suara Sangaji, ia jadi
cemburu. Maklumlah, tadi ia melihat Sangaji rebah tak berkutik. Mendadak saja
ia berteriak seakan-akan membela lawan-nya dalam kata-katanya yang pertama
kali. Hati siapa takkan menjadi panas. Terus saja ia melejit dan menghajar
lengan Fatimah. "Nah, berlututlah!" Perintahnya galak. Kena hajaran
Titisari lengan Fatimah tak dapat digerakkan lagi. Kalau Titisari berniat
hendak mengambil nyawanya, gampangnya seperti membalik tangannya sendiri.
"Apa kau bilang? Aku kau suruh berlutut? Apakah kau anak raja?"
Damprat Fatimah tak kurang galak. Sehabis berkata demikian, men-dadak saja
tangannya sebelah menyerang dengan gesit. Kakinya menjejak tanah dan melesat
menyambar pinggang. Titisari kaget dan heran. Inilah salah satu jurus mirip
ilmu Wirapati, guru Sangaji. Ia pernah menyaksikan jurus itu sewaktu Wirapati
berkelahi melawan Pringgasakti. Karena itu segera ia membentak, "Kau
peroleh dari mana jurus ini?" Fatimah tertawa manis. Menjawab
angin-anginan, "Aku tak mendengar pertanyaanmu. Kau mau apa, kalau aku
emoh menjawab?" "Hm!" Dengus Titisari mendongkol ia mengerling
kepada Sangaji. Teringatlah tadi, Fatimah segera menyerang tatkala ia
mengan-cam Sangaji. Segera ia mencoba penuh cem-buru, "Apakah kau menerima
ajaran dia?" "Iddiiih..." sahut Fatimah cepat. "Siluman itu
masakan bisa bergerak?" Sebenarnya Titisari tahu, bahwa Sangaji tak
mungkin memberi ajaran jurus itu kepada Fatimah. Pisahnya dengan Sangaji lagi
satu hari satu malam. Meskipun andaikata Fatimah bisa menghapal jurusnya,
tidaklah mungkin bisa menjadi suatu pengucapan begitu matang. Tapi dasar
seorang wanita, cinta merupakan pengucapan seluruh hidupnya. Karena itu masih
saja ia mencoba menyelidiki. "Kalau bukan dari dia... masakan engkau bisa
melakukan jurus itu begitu sempurna?" "Eh, apakah siluman itu bisa
juga me-lakukan jurusku tadi?" Sahut Fatimah lagi de-ngan tertawa cekikikan.
Titisari hilang kesabarannya. Serentak ia menyerang dengan membentak,
"baiklah! Mari kita bermain-main lagi." Titisari mengulangi
serangannya. Kali ini kedua tangannya saling menyusul dengan cepat. Fatimah pun
tak tinggal diam. Ia menje-jak tanah dan menyambar pinggang. Itulah jurus yang
mengagetkan Titisari tadi. Melihat serangan itu, Titisari tertawa dalam hati
cepat ia menggeser tubuh dan memukul dari sam-ping. Setelah bergebrak lima
jurus lagi tiba-tiba kakinya masuk dan memggantol dengan sebat. Tak ampun lagi,
Fatimah jatuh terbanting ke belakang. Belum lagi bisa merayap bangun, Titisari
telah menindihnya. "Nah! Bagus mana jurus kebanggaanmu dan jurusku?"
ejek Titisari. "Kau curang!" maki Fatimah. "Kau bukan mengadu
kepandaian. Tapi mengadu akal! Kalau main jujur, mari kita bertempur
lagi!" Meskipun bernada bandel, dalam hati Titisari mengakui tuduhan
Fatimah. Tapi ia tak memedulikan. Ingin ia memperoleh keterangan-keterangan
segera dari gadis itu. "Hai! Apakah engkau akan menindih aku sampai dunia
kiamat?" Fatimah menggugat. "Siluman itu sudah lapar. Kalau menyiksa
aku, berarti pula menyiksa dia." "Biar tersiksa, apa pedulimu?"
Titisari men-coba menjebak. "Bagus! Biarpun mampus, akupun tak peduli. Apa
sih keuntungannya?" "Kalau tiada untungnya apa sebab engkau membawa
dia kemari?" "Kau lebih baik mampus tenang-tenang di sini daripada di
tengah bangkai-bangkai busuk yang sudah mulai dirubung lalat?"
"Bangkai siapa?" Titisari kaget. "Bangkai siluman!"
Kedua-duanya sebenarnya setali tiga uang. Kesan ucapan yang satu liar. Lainnya
lebih liar lagi. Tapi betapapun juga lambat laun Titisari bisa berpikir.
Pikirnya dalam hati, biarlah aku bersikap manis padanya. Barangkali aku
memperoleh keterangan lebih banyak. Memikirkan demikian, lantas saja ia melon-cat
berdiri. Fatimahpun dengan sebat berdiri pula. Kemudian menyambar dua ekor
ayam-nya dan dilemparkan ke dada Titisari. "Bagus! Kalau kau sudi merawat,
rawatlah!" katanya dingin. Terus saja ia memutar tubuh dan keluar dari
ruang dalam. "Hai!" Titisari memanggilnya. "Hai-hai-apa?"
Mau tak mau Titisari terpaksa menghela napas. Lantas kembali mengarah kepada
Sangaji. Waktu itu Gagak Seta sudah selesai mengumpulkan tenaga murninya
kembali. Meskipun belum pulih, tapi lumayan juga. Melihat Titisari memutar tubuh,
ia tertawa berkakakan. "Hebat! Kalau dua macan betina mulai berkelahi,
itulah baru satu tontonan yang bagus!" "Gadis itu mencurigakan.
Alangkah bandel!" sahut Titisari. "Dia bernama Fatimah," kata
Sangaji lemah. "Kau ingin memperoleh keterangan bagaimana dia membawa aku
kemari? Dengan sesungguhnya asal usulnya masih gelap juga bagiku." Dengan
perlahan-lahan Sangaji menceri-takan kembali riwayat perjalanannya semen-jak
berpisah dari lapangan pertandingan sam-pai bertemu dengan Fatimah. Kemudian de-ngan
meraba pusaka Bende Mataram ia menghabisi ceritanya. "Inilah pusaka yang
sudah banyak sekali menyita nyawa orang-orang gagah..." dan teringat akan
sejarah ayah bundanya, tak terasa air matanya membasahi pipinya.
"Sudahlah... sudahlah!" Sekat Gagak Seta yang tak betah menyaksikan
berita me-nyedihkan hati. "Lukamu tak enteng. Hampir-hampir aku menjadi
korban pula. Hai! Apa sebab terjadi sesuatu perubahan begitu aneh dalam
dirimu?" Kemudian dengan meraba pusaka Bende Mataram, Sangaji mengakhiri
ceritanya "Inilah pusaka yang sudah banyak sekali menyita orang-orang
gagah,..." Sangaji tersentak kaget. Sekaligus teringat-lah dia, betapa
Bagas Wilatikta dengan tiba-tiba terpental jungkir balik di udara dan
terbanting ke tanah sampai terbenam. Hampir satu malam penuh ia mencoba menebak
teka-teki itu. Sampai begitu jauh belum juga ia berhasil. Kini gurunya mulai
mengusut. Hatinya jadi girang. Terus saja ia menceritakan terjadinya pergulatan
itu dengan secermat-cermatnya. Mendengar keterangan Sangaji, diam-diam Gagak Seta
bersyukur dalam hati. Sebagai seorang pendekar sakti lantas saja ia bisa
menebak. Itulah tenaga pelontaran tiga ilmu sakti sekaligus yang membutuhkan
ruang gerak. "Adji!" kata Gagak Seta bergembira. "Bersyukurlah!
Melihat jalan darahmu kini tertembus semua dan engkau masih bisa bernapas,
itulah suatu karunia luar biasa besarnya. "Mengapa?" Titisari
terkejut. "Pukulan-pukulan lawannya benar-benar hebat. Mereka bisa
menggoncangkan seluruh urat nadinya sehingga kini jadi saling tindih tak menentu."
Dalam hal ini getah sakti Dewadaru yang berjasa. Getah itu merasa dirinya terus
menerus kena serang. Karena itu dia siap menghisap kali ada suatu tenaga yang
datang dari luar. Tadi hampir saja tenaga murniku habis dihisapnya. Untung,
Sangaji terkejut oleh pekik gadis itu sehingga tersengak bangun. Kalau tidak,
saat ini aku sudah menjadi seorang tapak dara..." Mendengar ujar Gagak
Seta, Sangaji terharu bukan main. Sebaliknya Titisari yang hanya mengingat
kepentingan Sangaji segera menegas. "Lantas?" "Hm, bocah! Kau benar-benar
mewarisi watak ayahmu yang mau menang sendiri. Agaknya... seumpama aku ini
menjadi cacat tak berguna, hatimu akan bersorak gembira. Bukankah dengan
demikian, lawan ayahmu berkurang satu?" "Eh, mengapa Paman berkata
begitu? Paman adalah seorang sakti melebihi ayahku. Meskipun saat ini
kehilangan tenaga, masakan tak dapat pulih kembali?" Sahut Titisari. Nakal
bunyi ucapan Titisari. Tapi ia bisa mengambil hati Gagak Seta dengan
mem-bandingkan dengan ayahnya. Dalam hal ini Titisari mengakui tenaga sakti
ayahnya kalah dibandingkan dengan Gagak Seta. Hati siapa takkan girang
mendengar pengakuan de-mikian, meskipun belum tentu terbersit dari hati
setulus-tulusnya. Lantas saja Gagak Seta berkata dengan tertawa. "Kau
iblis cilik memang bisa menaklukkan aku seorang tua. Baiklah! Sangaji bisa
pulih kembali, apabila memperoleh bantuan tetap selama satu minggu penuh."
"Ha! Hanya satu minggu. Bukankah tak lama?" Titisari bergirang hati.
"Satu minggu memang tak lama. Tapi satu minggu terus menerus harus saling
menempel, itulah lain halnya. Kecuali itu, meskipun Sangaji bisa menolong
mengembalikan tenaga setelah lukanya sembuh, tapi si penolong menderita
dahulu." "Penderitaan apakah yang mesti harus di-alami?"
"la tak bertenaga lagi," sahut Gagak Seta. Setelah diam
menimbang-nimbang, ia me-neruskan, "aku hanya sanggup membantu tiap
seperempat jam sekali, karena harus me-ngembalikan tenaga dahulu. Inilah tiada
gunanya. Kau harus tahu, urat nadi Sangaji ter-goncang sehingga berkisar dari
tempatnya semula. Untuk bisa mengembalikan ketempat-nya, tenaga saluran dari
luar harus tetap dan teratur. Dengan demikian—kecuali urat-uratnya akan kembali
seperti sediakala—getah sakti Dewadaru harus selalu memperoleh umpan."
Mendengar ceramah itu, Sangaji terus saja menyahut. "Guru! Apakah aku tak
dapat menyembuhkan lukaku sendiri?" "Eh! Apakah kau harus berbaring
terus menerus selama dua tiga tahun?" "Berbaring tak dapat bergerak
selama dua tiga tahun, alangkah lama dan mengesalkan hati. Tapi hati Sangaji
amat mulia. Tak dapat ia membiarkan gurunya berkorban untuk ke-pentingan
dirinya. Memperoleh pertimbangan demikian, berkatalah dia, "Pada waktu
ini, laskar Pangeran Bumi Gede mulai bergerak menyerang kota. Meskipun tiada
kepen-tinganku, tapi kuingat bahwa Sultan Yogya Sri Hamengku Buwono I adalah
sahabat Guru juga. Dengan sendirinya anak keturunannya termasuk pula sahabat
Guru. Lagi pula, ben-teng ini belum tentu aman. Apabila mendadak kena serang
selagi Guru tiada memiliki tenaga sakti lagi, apakah akibatnya. Aku dan Guru
akan mati sia-sia. Karena itu, biarlah aku berbaring dua tiga tahun lagi.
Kukira umurmu belum kasep..." "Bagus! Bagus!" potong Titisari,
"kau hanya memikirkan dirimu sendiri..." "Apakah aku
salah?" Sangaji heran. Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Hai bocah
tolol! Perempuan di seluruh du-nia ini paling takut diancam umur. Kalau kau
berbaring dua tiga tahun tanpa bisa berkutik, bukankah Titisari berabe juga?
Selain usianya bertambah, rasa dukanya bisa membuat pipi-nya kempong dan
rambutnya ubanan..." "Iddiiiihhh...," Titisari mencibirkan
bibirnya. Meskipun demikian warna wajahnya berubah merah jambu. Cepat-cepat ia
mengalihkan pembicaraan. "Apakah tenagaku kira-kira bisa membantu
menyembuhkan?" Gagak Seta tercengang sejenak. Tahulah dia, bahwa dalam hal
ini Titisari mempunyai kepentingan besar. Ia telah menyaksikan sendiri, betapa
besar cinta kasih gadis itu kepada Sangaji. Maka dengan sungguh-sung-guh ia
berkata, "Coba lontarkan pukulanmu sepenuh tenaga kepadaku!" Titisari
pernah mendengar tutur kata Sangaji, bahwa pendekar sakti itu dahulu me-nguji
tenaga Sangaji pula. Maka dengan tak ragu-ragu lagi ia memusatkan seluruh
tena-ganya, kemudian menghantam dada Gagak Seta. Brus! "Lagi!"
Perintah Gagak Seta sambil merem-melek. Brus! Dengan mendongakkan kepala ke
udara, Gagak Seta berpikir keras. Lama sekali ia berdiam diri, Sehingga hati
Titisari gelisah bukan main. Akhirnya pendekar sakti itu berkata,
"Tenagamu cukup. Hanya saja daya tahanmu mungkin takkan bisa melebihi
sem-bilan hari. Apabila dalam satu minggu Sangaji belum pulih kembali... hm...
itulah bahaya!" Sudah untuk beberapa kali Titisari menem-puh bahaya demi
cintanya kepada Sangaji. Itulah sebabnya begitu mendengar ujar Gagak Seta,
matanya bersinar terang. Katanya setengah girang, "Bagus! Hari ini aku
bisa mulai!" Gagak Seta kemudian mendukung Sangaji dan dibawanya memanjat
ke ruang pengin-taian yang berada di atas. Setelah merebahkan di atas jerami ia
berpesan. "Usahakanlah, supaya dalam satu minggu itu tak kena ganggu.
Apabila tanganmu sampai berpisah dari tubuhnya, sia-sialah usahamu. Bahkan luka
Sangaji akan bertambah parah. Karena urat-urat nadi yang mulai bergerak
terbanting kembali... aku sendiri hendak mencari ayahmu. Otak ayahmu sangat
cerdas. Barangkali ia bisa memperoleh akal lain." Titisari mengangguk. Mendadak
teringatlah dia kepada Fatimah. Dengan suara agak gemetaran ia berkata,
"Gadis tadi... kalau sampai mengganggu..." "Tiada niatnya dia
hendak berbuat jahat," potong Sangaji, "melihat geraknya tadi...
aku... aku..." "Bukankah itu jurus gurumu Wirapati?" Sangaji
memanggut. Mukanya berubah hebat. "Karena itu, tadi aku memperingatkan
padamu agar jangan menyakiti. Dikemudian hari kita bisa menyelidiki..."
"Usianya sebaya dengan usiaku. Mung-kinkah dia adik seperguruanmu yang
belum kau ketahui?" "Inilah aneh. Menurut guruku Jaga Saradenta...
Paman Wirapati berada di daerah barat selama dua belas tahun. Apakah guruku
pernah mengambil murid berumur empat lima tahun?" ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID.27 RUMAH BATU di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID.27 RUMAH BATU"
Post a Comment