BENDE MATARAM JILID 26 PENGEJARAN
SANGAJI
menggelengkan kepala. Dan melihat kesan mukanya yang sungguh-sung-guh,
Ranggajaya tak perlu menegas lagi. Dengan menghela napas ia berkata, "Coba
kita tak terlibat dalam pertikaian yang tiada gunanya tadi, pastilah gurumu
akan tertolong. Agaknya nasib adinda Wirapati kurang baik. Entah sampai kapan
lagi, ia harus menanggung deritanya." Diingatkan akan penderitaan gurunya,
tubuh Sangaji menggigil tak setahunya sendiri. Mukanya pucat lesi. Ia tahu ke
mana arah kata-kata pamannya itu. Hatinya lantas saja merasa bersalah. Mendadak
saja Gagak Handaka mendeham. Kemudian berkata perlahan, "Dalam hal ini,
janganlah kita menyalahkan siapa saja. Kalau Bagas Wilatikta bisa membebaskan
diri, itulah suatu bukti bahwa kita kurang berhati-hati." Ia berhenti
sebentar. Meneruskan kepada Sangaji. "Orang itu kami jumpai secara
kebe-tulan belaka. Dahulu Eyang Guru pernah memperkenalkan seorang tokoh sakti
ahli membuat racun yang bermukim di daerah Gunung Kidul. Namanya Rajahpidekso.
Aku dan pamanmu mencari kediamannya dengan maksud hendak meminta sekedar
pertolong-an. Siapa tahu karena dia seorang ahli racun pasti pula mengenal obat
pemunah luka guru-mu. Ternyata orang tua itu sudah lama meninggal dunia.
Untung
juga, anak cucunya bisa menyediakan obat yang kupinta. Tetapi baru saja obat
pemunah itu diterima paman-mu, mendadak saja suatu kesiur angin menyambar
padanya. Tahu-tahu obat pemu-nah itu telah kena dirampas Bagas Wilatikta.
Berbareng dengan itu, cucu Rajahpidekso jatuh bergedebugan di atas tanah.
Dengan memekik tinggi dan napas terengah-engah ia menceritakan, bahwa Bagas
Wilatikta pernah merampas semacam racun berbisa untuk mencelakai seseorang.
Mungkin, dialah adik tuan yang menjadi korbannya, katanya. Mendengar
keterangannya, terus saja aku melesat memburunya. Waktu itu, pamanmu telah
bertempur dengan Bagas Wilatikta. Dengan bantuanku, akhirnya dia bisa kami
mundurkan. Dan dari tempat ke tempat, akhirnya aku memperoleh pengakuan
dari-padanya, bahwa dialah biang keladi penga-niaya gurumu... Sayang, obat
pemunah racun yang mengeram dalam tubuh gurumu masih belum berhasil kami
rampas." Sederhana kata-kata Gagak Handaka, tetapi terasa lebih berwibawa
dan menakutkan daripada Ranggajaya yang beradat panas. Tak terasa Sangaji
menundukkan mukanya ke tanah. Berbagai perasaan merumun hebat dalam benaknya.
"Kudengar selintasan tadi, bahwa dia telah merampas kedua benda pusaka
Bende Mataram. Jika demikian, guru sudah berhasil menemukan tempat
menyimpannya," katanya kemudian dengan setengah berbisik. "Paman! Dalam
hal ini akulah yang berkewajiban untuk merampungkan semuanya. Tetapi
kemenakanmu yang buruk ini, mendadak saja terlibat dalam suatu peristiwa yang
memalukan..." Gagak Handaka tertawa melalui dada me-motong perkataan
Sangaji. Dengan pandang berseri ia berkata, "Mana kudamu?"
Oleh
pertanyaan itu, terus saja Sangaji mengisahkan pengalamannya. "Baiklah!
Ambilah kudamu dan susullah kami," tukas Gagak Handaka. "Dan
hendaklah mulai kini engkau berhati-hati terhadap sepak terjang bakal mertuamu.
Pamanmu dengan tak sengaja, mungkin membubarkan kepen-tinganmu. Tetapi semuanya
telah terjadi. Rupanya... engkau akan menghadapi peristiwa-peristiwa yang
sulit. Karena itu, sekiranya engkau tak tahan... mintalah nasehat eyang
gurumu." Kedua pendekar itu kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke
barat laut. Sangaji jadi tambah perasa, la merasa diri seperti seseorang yang
ditinggalkan semuanya. Tiba-tiba saja teringatlah dia kepada ibunya yang berada
jauh di rantau orang. Rasa rindunya terus saja menyanyi-nyanyi lembut dalam
lubuk hati. Perlahan-lahan ia memutar tubuh dan ber-jalan kuyu mengarah ke
selatan. Sepanjang jalan, mulailah dia menyiasati perjalanan hidupnya. Hm...
tak terasa aku telah memasuki tahun 1805. Hampir satu tahun lamanya aku
meninggalkan Ibu. Dahulu aku begitu bersema-ngat hendak berbuat sesuatu
kebajikan, pidmya dalam hati. Dengan doa restu Ibu, aku hendak menuntut balas
kematian Ayah. Musuh Ayah Ibu telah kuketahui kini. Pangeran Bumi Gede! Tetapi
jangankan aku telah berhasil menuntut balas, malahan Guru kena dianiaya orang.
Sedangkan aku, hanya sibuk mengurusi kepentinganku sendiri... Tetapi teringat
akan wajah Titisari, hatinya jadi lemas. Gadis itu memang liar, nakal dan aneh.
Meskipun demikian, tiada alasannya untuk menjauhi agar bisa berjalan di atas
jalan yang dirintisnya dahulu. Titisari begitu mencintai daku.
Masakan
aku akan menyia-nyiakan? Ia menimbang-nimbang. Mendadak pikiran lain datang
minta pengadilan. Baik! Kawinilah gadis itu! Tetapi gurumu pada saat ini
menggeletak mengerang-erang di atas tempat tidurnya, semata-mata untukmu.
Apakah bahagianya berdansa di atas bangkai gurumu? Terkejut ia mendengar
pertimbangan lain itu. Sekaligus terbangkitlah rasa ksatrianya, terus saja ia
lari dengan cekatan menuju Imogiri. "Cinta adalah korban! Guru telah mengor-bankan
segalanya karena beliau mencintai daku. Budinya setinggi gunung. Jiwaku sendiri
belum tentu cukup untuk membalas budinya..." Sangaji berkomat-kamit
seperti orang gendeng. Dan larinya bertambah pesat dan pesat. Sebentar saja ia
telah memperoleh kudanya kembali. Kemudian membedalkan ke arah utara hendak
menyusul kedua pamannya. Namun peristiwa yang dihadapinya, sesung-guhnya
bukanlah suatu peristiwa yang enteng. Betapa kokoh hatinya umurnya masih muda
belia. Tatkala malam hari mulai melingkupi alam, kembali ia kena goda dan kena
rumun. Akhirnya ia membanting diri di atas gundukan tanah dekat persimpangan
jalan Yogya -Surakarta. Tengah ia merenung-renung tiba-tiba dide-ngarnya derap
kuda berderapan. Ia mene-gakkan kepala dan melihat empat penunggang kuda
mengenakan pakaian seragam mirip seragam kompeni Belanda.
Yang
berada di depan tertawa terbahak-bahak. Ternyata di atas kedua lengannya
terbujur seorang wanita setengah umur yang tak berkutik lagi. Wanita itu belum
mati, karena terdengar ia merintih karena kesakitan. Melihat pemandangan itu,
Sangaji heran. Tak disadarinya sendiri tiba-tiba ia sudah ber-ada di tengah
jalan seolah-olah lagi meng-hadang mereka. "Minggir! Minggir!" bentak
laki-laki yang menunggang kuda di sebelah kiri. Orang itu lantas saja mencabut
pedang dan disabetkan miring ke kiri. Sangaji waktu itu sedang pepat. Ia merasa
diri seorang yang terlalu banyak menanggung kesalahan. Dalam hatinya, ia hendak
memperbaiki diri. Maka begitu melihat sepak terjang empat penunggang kuda yang
mau menang sendiri, terbangkitlah rasa marahnya. Dengan tangkas ia mengelak,
kemudian tangannya menyambar pergelangan tangan perajurit itu dan dihentakkan
ke tanah. Tak ampun lagi, prajurit itu jatuh bergedebukan di atas tanah.
"Hai iblis!" bentak yang lain. "Aku manusia! Bukan iblis!
Mengapa perempuan itu?" sahut Sangaji galak. "Biar kumakan,
kusembelih, kunikmati dan kukuliti apa pedulimu? Inilah urusan kami..."
Dalam dada Sangaji merasakan sesuatu yang kurang beres. Tapi dasar tak pandai
berdebat, ia jadi tergugu. Mendadak saja perempuan yang berada dalam pelukan
pera-jurit yang berjalan di depan mengerang-erang minta pertolongan. Seketika
itu juga, hati Sangaji terkesiap. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia melompat
hendak merampas. Perajurit yang membentaknya menghalang di depan dengan
menyabetkan pedang. Sangaji telah memperoleh keputusan dalam hati. Maka dengan
tangkas ia menangkisnya, kemudian dengan sekali pukul terjungkallah lawannya.
Pukulan Sangaji bukanlah pukulan lumrah. Sekalipun hanya dilontarkan dengan
sem-barangan, kesiur anginnya membawa tenaga ilmu sakti Kumayan Jati. Itulah
sebabnya, begitu perajurit itu kena pukulnya, terus saja rebah tak berkutik.
Melihat temannya roboh kena sekali pukul, pecahlah keberanian rekan-rekannya.
Dengan berteriak-teriak salah seorang di antara mereka menyambar tubuh rekannya
dan diba-wanya lari berserabutan. Yang celaka adalah nasib perempuan setengah
umur yang ternya-ta luka parah. Dia terus saja dilemparkan de-ngan dibarengi
tendangan telak. Tatkala jatuh di tanah, napasnya telah tersita. Sangaji
merenungi dengan hati terharu. Dengan pedang rampasan ia menggali lubang hendak
mengubur mayat itu. Tetapi baru saja ia menggali beberapa jari, terdengarlah
kembali derap kuda bergemuruh. Tak lama kemudian suara hiruk pikuk dengan
disertai aba-aba. Ternyata yang datang adalah sepasukan perajurit berseragam
kurang lebih berjumlah 250 orang. Dengan membawa pedang rampasan dan mayat,
Sangaji meloncat ke punggung si Willem. Kuda hadiah Willem Eberfeld bukan-lah
kuda sembarangan. Begitu ditunggangi, terus saja membedal menyeberang sawah.
"Bagus! Kau bersembunyilah di sini! Aku ingin menengok mereka," bisik
Sangaji kepada Willem. Tapi kali ini Willem salah tangkap aba-aba majikannya.
Dengan meringkik tinggi, men-dadak saja lari berbalik dan menerjang barisan
itu. Karuan saja Sangaji menjadi gugup. Untung, dia pernah mempunyai pengalaman
menyerbu lawan dengan berkuda tatkala kakak angkatnya Willem Eberfeld bertempur
melawan Mayor de Groote. Karena itu, begitu melihat barisan bergerak hendak
mengadakan perlawanan, dengan gesit ia memutar pedangnya.
Dalam
sekejap saja, beberapa perajurit jatuh bergelimpangan di tanah. Sebenarnya
Sangaji tiada mempunyai per-musuhan dengan mereka. Soalnya dia hanya mempunyai
kesan buruk terhadap mereka karena keempat orang penunggang kuda berseragam
tadi menganiaya seorang perem-puan begitu hebat. Tatkala melihat usia perempuan
itu. Teringatlah dia kepada ibunya yang semenjak tadi merisaukan hatinya. Dalam
benaknya, seolah-olah ibunya yang tengah mengalami siksa. Itulah sebabnya, ia
melabrak dengan benar-benar. Gerak-geriknya dahsyat, cekatan dan tangkas.
Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Mau tak mau Sangaji harus melihat gelagat.
Maka dengan hati setengah mendongkol ia memutar kudanya dan dilarikan sekencang-kencang-nya.
Prajurit-prajurit itu berteriak-teriak setinggi langit dan melepaskan anak
panah laksana hujan lebat. "Tangkap bangsat itu! Tangkap bangsat
itu!" Mereka memaki-maki kalang kabut. Sangaji memutar pedangnya dan terus
membedalkan kudanya. Willem adalah kuda jempolan. Ia mengerti, majikannya dalam
bahaya. Maka larinya sepesat angin. Sebentar saja telah lenyap ditelan
kegelapan malam. Beberapa waktu kemudian, Sangaji tiba di suatu persimpangan
jalan yang sunyi senyap. Dengan sebelah tangan masih memapah mayat, ia meloncat
ke tanah. Cepat ia meng-gali lubang dan mengubur perempuan itu de-ngan penuh
hormat. Perempuan itu terang bukan sanak bukan kadang, tetapi bagi Sangaji
mempunyai kesan hebat bagi dirinya. Terus menerus ia diganggu rasa rindu dendam
terhadap ibunya Membayangkan seolah-olah bahwa perem-puan itu adalah ibunya
sendiri, tak terasa ter-perciklah air matanya. "Ibu bukan seperti
dia!" ia membisiki diri sendiri. "Aku yakin, Ibu masih hidup
segar-bugar. Hanya saja Ibu pasti menung-gu-nunggu kabar beritaku..., Ibu! Aku
pasti datang... Tetapi musuh Ibu belum kulunasi ... tunggu barang satu dua
bulan lagi..." Keadaan dirinya memang lagi berada dalam sarwa perasa.
Sehabis membayangkan keadaan ibunya, mendadak saja teringatlah ia pula kepada
Titisari yang kini terenggut dari-padanya. Ia jadi berkecil hati. Hebat pukulan
peristiwa sehari tadi kepadanya. Dengan kepala kosong ia kembali lagi dan pada
tengah malam berada kembali di tepi jalan Yogya - Surakarta. Pikirannya mulai
tertarik kepada gerakan pasukan seragam yang berkesan kurang wajar. Terang
sekali, mereka bukanlah pasukan kompeni Belanda atau begundal-begundalnya. Juga
bukan pasukan kerajaan mirip pasukan Pangeran Ontowiryo yang pernah dilihatnya.
Jika demikian, pasukan dari mana mereka itu? Waktu itu bulan cerah belum habis.
Di te-ngah malam, bulan remang-remang mulai timbul di langit timur. Suasana
alam jadi remang-remang dan penuh rahasia. Willem diikatnya pada tonggak jalan
dekat pohon kapuk. Dia sendiri menggeletak di atas batu menengadah ke udara.
Sudah sering ia tidur di alam terbuka. Selama itu hatinya ringan dan terhibur.
Sebaliknya kali ini, pepat dan tak menentu. Suasana alam yang remang-remang
meninggalkan kesan menye-sakkan padanya. Tahulah dia kini, bahwa semuanya itu
tergantung pada keadaan hati.
Coba,
andaikata Titisari berada di dekatnya... bukankah semua menjadi indah belaka?
Kira-kira lewat larut malam, ia mendengar suara binatang berlari cepat menuju
ke arah-nya. Kemudian hidungnya mengendus bau wangi kemenyan. Berbareng dengan
itu, Willem menggaruk-garukkan kakinya. Oleh suara itu, binatang yang berlarian
menyalak tinggi. Ternyata dua ekor anjing raksasa terus saja menyerang Willem.
Sangaji terkejut. Cepat ia menggeserkan diri dan berlindung di balik batu. Dari
arah barat, selatan dan utara, munculan tiga pelita yang padam menyala. Dan
saat itu pula, Willem mulai bertahan sebisa-bisanya melawan serangan dua ekor
anjing raksasa yang nam-pak galak bukan kepalang. Menyaksikan Willem kena
ganggu, Sangaji hendak meloncat membantu. Tetapi teringat akan tiga pelita yang
padam menyala itu, ia jadi sangsi. Ia meraba-raba sekitarnya mencari batu.
Selagi ia meraba-raba, dari sebelah barat tiba-tiba terdengar suara helaan
napas. Ia menengok dan begitu menjenakkan mata, hatinya terkesiap.
Hampir-hampir ia tak percaya kepada matanya sendiri. Karena yang dilihatnya
adalah sesosok bayangan setingginya enam tujuh meter. Tapi tatkala bayangan itu
selalu mengeluarkan bunyi duk-duk-duk tahulah dia apa sebabnya. Ternyata
bayangan itu berjalan di atas dua penyangga tongkat bambu (egrang-Jawa) yang
berukuran tiga kali tinggi manusia lumrah. Permainan egrang-egrangan1)
seringkali ia melihatnya sebagai permainan kanak-kanak. Dan bahwasanya seorang
dewasa berjalan di atas egrang itu, benar-benar mengherankan. Apakah orang ini
beradat angin-anginan, pikirnya. Tetapi kian diamat-amati, hati Sangaji kian
menjadi heran. Gerak-gerik orang itu gesit luar biasa. Tahu-tahu dengan sekali
lompat, ia sudah berada di samping Willem. Dan dengan sekali ayun, dua ekor
anjing yang menyalak memekakkan telinga terlontar dua puluh langkah lebih.
Dengan
suara bergede-bugan mereka mengkaing-kaing tinggi. Melihat pertunjukkan itu,
Sangaji ter-nganga-nganga. Memukul dua anjing dengan sekali pukul dan
melontarkan sampai dua puluh langkah adalah soal biasa baginya. Yang
mengherankan ialah, dua anjing itu berada di tempat yang tak segaris. Meskipun
demikian mereka terlempar berbareng oleh suatu kesiur angin. Itulah suatu
tanda, bahwa orang itu memiliki tenaga jasmaniah melebihi orang lumrah.
Sekonyong-konyong dari kejauhan ter-dengar tiga suitan panjang dan nyaring luar
biasa. Di tengah malam suaranya bagai pekik burung hantu. Sesosok bayangan
nampak mendatangi dengan kecepatan luar biasa. Kedua ekor anjing yang
mengkaing-kaing kesakitan terus saja berdiri tertatih-tatih menyonsongnya.
Bayangan itu ternyata seorang laki-laki berperawakan tegap, bercam-bang tebal
dan berpakaian serba hitam. Kedua anjing itu terus saja mengibas-ibaskan
ekornya seperti lagi mengadu. Sangaji mengamat-amati orang itu dengan lebih
seksama, kesannya berwibawa benar. Meskipun pada malam hari, Sangaji
seolah-olah melihat sinar matanya yang cemerlang, la membawa sebatang kapak
yang diselipkan di pinggang. Dengan sekali ayun, dua ekor anjing yang menyalak
didekat Willem itu dilontarkan dua puluh langkah lebih oleh Randu Kintir.
"Randukintir!" teriak orang itu. "Kenapa kau menghajar kedua
anjingku? Kata orang, memukul anjing samalah halnya dengan me-nantang
majikannya. Benar-benar kau seorang biadab tak tahu aturan!" "Saudara
Malangyuda!" sahut Randukintir. "Aku seorang tukang pancing. Kerjaku
cuma berada di tepi rawa dan sungai. Kebiasanku menjaga hasil pancinganku.
Melihat anjingmu menyalaki kuda, aku jadi usilan. Sangkaku ia lagi hendak menggerogoti
ikan pancingan. Meskipun demikian, aku hanya mendepaknya. Coba kalau aku lupa
daratan, sekali kemplang kedua anjingmu akan pelesir ke neraka. Tetapi biarlah
aku minta maaf padamu." Setelah berkata demikian, Randukintir membungkuk
hormat sebagai pernyataan maaf dengan setulus-tulus hati. Namun demikian, masih
saja ia menongkrong di atas egrangnya. Terang sekali, hatinya tak sudi minta
maaf. Sekali pun demikian, Malangyuda sudah puas dibuatnya.
"Randukintir!" katanya, "Bagaimana dengan urusan Bagas Wilatikta?"
Mendengar nama Bagas Wilatikta, Sangaji terkejut dan segera menajamkan
pendengar-annya dengan penuh perhatian. "Ia mencoba memisahkan diri. Bende
Mataram dan keris Tunggulmanik hendak dikangkangi. Hm... mana bisa begitu?
Malam ini menurut perjanjian ia hendak datang ke mari. Di sini ia hendak
mengambil penentuan. Dia seorang diri dan kita berempat. Nah, biar-lah dia
menumbuk tembok," jawab Randu-kintir. Malangyuda tertawa tergelak-gelak
sampai tubuhnya berguncangan. "Aku Malangyuda jauh-jauh datang ke mari
untuk memenuhi undangan," katanya. "Tak kusangka, bangsat itu
mempunyai maksud begitu. Kita semua sudah bekerja dengan rapi waktu menjebak
Wirapati. Di antara kita pun, seorang kena dilukai sehingga hidup tidak mati
pun tidak. Masakan dia bersikap seolah-olah seorang majikan besar hendak
mengangkangi kedua pusaka itu? Hm! Dengan kepandaiannya yang tidak berarti itu,
ia hendak memaksa kita tunduk padanya? Ih! Jangan harap!" Mendengar
disebutnya Wirapati, hati Sangaji tergetar. Sekaligus tahulah dia, bahwa musuh
yang dicarinya kini sudah berada di depan hidungnya. Menurut kata hati, ingin
sekali ia segera menerjang. Mendadak teringatlah dia bahwa Randukintir
menyebutkan berempat. Pikirnya, membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya.
Biarlah kutunggu barang sebentar. . Tatkala itu Randukintir lantas saja tertawa
terbahak-bahak. Katanya bergelora, "Me-mang... di kolong langit ini
kecuali saudara Malangyuda tiada orang lain yang sanggup mengalahkannya.
Bukankah Malangyuda berarti malang-melintang ke segala penjuru tanpa
tandingan?" Malangyuda tertawa tinggi mendengar ungkapan2» itu. Hatinya
girang benar. Men-dadak bertanya, "Randukintir! Sewaktu kau mendengar
bunyi mulutnya yang begitu besar, mengapa tidak lantas menamparnya?"
"Aku mendengar kabar ini dari Citrasoma dan Panji Pengalasan yang menjaga
kedua pusaka tersebut. Kala itu, aku lagi memancing. Karena itu, tak dapat aku
menyenangkan harapanmu." "Bagus! Sesudah kau kini habis memancing,
mengapa kau tak mencarinya? Apa kau takut padanya?" "Takut? Apakah
yang kutakutkan?" sahut Randukintir uring-uringan. Malangyuda tertawa
mendongak. Kemudian membentak, "Randukintir! Selama ini aku kagum pada
Bagas Wilatikta. Kuakui pula, bahwa bagiku segan. Sekarang kauhilang, tak takut
padanya. Bukankah hal itu samalah halnya merendahkan daku? Baiklah, sekarang
kita mencoba-coba me-ngadu kepandaian. Ingin aku merasakan, apakah engkau
mempunyai kepandaian yang berarti untuk menjajal3) ilmu Bagas Wilatikta."
"Hm! Hm! Aku tukang pancing, selamanya mau bekerja apabila ada hasilnya,"
sahut Randukintir. "Baik! Kalau aku kalah, anggaplah aku tak berhak lagi
mempunyai andil perkara kedua pusaka itu." Dan berbareng dengan ucapannya
itu, Malangyuda terus menyerang dengan kapak-nya. Randukintir ternyata
benar-benar gesit. Meskipun masih berada di atas egrangnya yang tegak berdiri
bagai tiang, ia dapat me-nyingkir dengan gerakan indah dan tangkas luar biasa.
Kemudian bagaikan kilat, ia mem-balas menyerang. Tetapi musuhnya bersenjata
kapak. Bagai-manapun juga, ia kalah dalam hal mengadu tenaga. Maka tahu-tahu ia
mengeluarkan sebilah galah dengan benang pengait. Ternyata itulah sebuah
pancing yang dibuatnya sebagai senjatanya. Terus ia menyongsong gempuran kapak
Malangyuda, keras melawan keras. Masing-masing mempunyai senjata an-dalan. Yang
satu tajam dan kuat. Lainnya, lemas dan lembut. Meskipun demikian, senjata
mereka masing-masing mengeluarkan bunyi desing dan gaung yang hebat. Senjata
pancing Randukintir menyambar-nyambar seperti kilat. Setiap kali berbentur
gagang kapak lawan, segera hendak melilitnya. Sebaliknya kapak Malangyuda
seperti mempunyai mata. Apabila hampir kena gubat, mendadak saja terus membetot
berbareng memapas ke samping. Pada suatu kali tenaga benturan mereka
benar-benar mengenai sasaran yang dikehendaki. Masing-masing kena dipentalkan
dua langkah dengan pekikan heran. "Randukintir!" teriak Malangyuda.
"Kepan-daianmu memainkan pancing boleh juga. Clntung aku bukan ikan
goblok, sehinggga tak mudah kau beri umpan. Hai! ilmu kepandaian apakah itu
namanya?" "Kentut! Kentut!" maki Randukintir. "Inilah ilmu
kepandaian kentut!" "Randukintir! Aku bicara dengan setulus hatiku
apa sebab engkau membalas dengan cara begitu rupa?" Malangyuda jadi sakit
hati. "Engkau bertanya aku sudah menjawab. Bukankah sudah terbayar? Kau
mau me-ngompak hatiku yang goblok, huuu.... masakan bisa?" MENDENGAR
UCAPAN RANDUKINTIR, MALANG YUDA tertawa terbahak-bahak dan terus membungkuk
hormat. Dan buru-buru Randukintir membalas hormatnya dari atas egrangnya.
Mendadak saja terdengar suara berdesing. Kaget Randukintir menengadahkan
mukanya. Belum lagi ia sempat bergerak, sebongkah tanah telah menghantam salah
satu tongkatnya. Hebat tenaga pelempar bongkahan tanah itu, karena tongkat
Randu-kintir kena dipentalkan. Dan dengan berjungkir balik, Randukintir
mendarat ke tanah. "Siapa?" Ia membentak terkejut. "Memberi
hormat sesama kawan, masakan masih saja menongkrong di atas egrang?" sahut
suatu suara. Di saat itu juga munculah laki-laki berperawakan ramping dan
gerak-geriknya halus. Ia menyandang sebuah cangkul di atas pundaknya. Agaknya,
cangkul itu merupakan senjata andalannya. Tadi ia seperti mencangkul tanah.
Mendadak saja bongkahan tanah yang kena cangkulnya terus melesat menghantam
tongkat egrang Randukintir. "Eh, Panji Pengalasan!" seru Malangyuda.
"Kami sedang bermain-main. Mengapa kau ikut campur?" "Kita
adalah sesama rekan. Masakan kalian bisa bermain-main tanpa menunggu aku?"
sa-hut Panji Pengalasan dengan suara lembut. "Lihatlah! Saudara Citrasoma
penunggu wa-rung kopi yang berbudi, ikut menyesali kalian." Baik Randukintir
maupun Malangyuda terus menoleh ke arah telunjuknya. Di sana berdiri seorang
laki-laki berkesan keruh menentang mereka. "Hai! Kapan kau datang?"
seru Randukintir. "Kau pun akan berebut kedua benda pusaka Bende
Mataram." Orang yang di sebut Citrasoma mendeham. Dengan suara malas,
singkat dan pendek ia menjawab, "Kedua benda itu milik kita bersama. Habis
perkara...!" "Itulah jempol!" Sahut Malangyuda dengan tertawa
terkekeh-kekeh. "Tapi si bangsat Bagas Wilatikta berpikir lain. Kita semua
harus menentukan pemiliknya. Barangsiapa bisa mengangkangi kedua benda itu,
dialah yang berhak menjadi pemiliknya yang sah." Mereka membungkam mulut
seolah-olah lagi sibuk menimbang-nimbang. Sekitar tem-pat itu lantas menjadi
sunyi. Sangaji me-longokkan kepalanya dengan diam-diam. Ia tak kenal mereka
dengan sejelas-jelasnya dan tak mengetahui peranan apakah yang pernah mereka
lakukan terhadap gurunya. Tetapi mendengar tutur katanya, ia yakin mereka
adalah sekawan sepaham dalam hal mencelakakan gurunya. Teringat akan
pen-deritaan gurunya, seketika itu juga mendidih darahnya. "Sebenarnya
Pangeran Bumi Gede mau membeli berapa?" Panji Pengalasan membuka mulutnya.
Citrasoma si pendiam menjawab, "Dua gedung, empat puluh hektar sawah, uang
lima ratus ribu rupiah." "Jumlah yang menyenangkan juga," sahut
Randukintir yang mulutnya tajam. "Cuma saja susah membaginya. Bayangkan
jumlah itu dibagi lima. Sawah dan jumlah uang gampang dibagi. Tetapi membagi
dua gedung adalah sulit. Siapa kesudian kebagian kamar kencing dan kamar pelangsir
kotoran? Entahlah kalau kalian tukang kentut!" Malangyuda tertawa
terbahak-bahak. "Kau lupa! Kitapun masih harus memberi bagian sedikit
kepada Bagus Tilam, Suma, Wira, Pitrah dan Salamah. Merekapun bukankah ikut
bekerja pula?" "Kentut!" sahut si mulut jahil Randukintir.
"Bagus Tilam sebentar lagi akan mampus. Masakan perlu segala tetek bengek?
Suma, Wira, Pitrah, dan Salamah cuma cecunguk yang tak punya guna. Dahulu
mereka cuma kita gantung terbalik selama seperempat jam. Apakah susahnya cuma digantung
begitu saja?" "Kau bisa menutup mulutmu tidak?" tegur Panji
Pengalasan. "Ini mulutku sendiri, apa perlu kauusilan?" "Kita
lagi mempertimbangkan jerih payah kita. Janganlah kau ganggu agar kita bisa
menentukan sikap terhadap kemauan Bagus Wilatikta." Mendengar alasan Panji
Pengalasan, mulut jahil Randukintir menurut juga. Segera ia me-nguasai mulutnya
dan memasang kuping. Sejenak kemudian, Panji Pengalasan merninta keterangan
kepada Citrasoma. "Siapa lagi calon pembeli kedua benda pusaka itu?" "Patih
Danurejo II." "Berapa dia menjanjikan upah?" "Empat gedung,
seratus hektar sawah, dua puluh ekor lembu, uang tujuh ratus lima puluh ribu
rupiah." "Haa, ini lebih mendingan!" sahut Randukintir yang tak
bisa menguasai mulutnya lagi begitu mendengar jumlah tawaran. "Hai,
diam!" bentak Malangyuda. "Dengar-kan dulu!" Kena bentakan
Malangyuda, Randukintir melototkan matanya. Menuruti hatinya, ingin ia membalas
mendamprat. Mendadak terdengar Panji Pengalasan bertanya lagi, "siapa
lagi?" "Sri Sultan." "Kentut!" maki Randukintir.
"Kenapa kentut?" Citrasoma minta keterangan. "Kentut!" Dan
Malangyuda yang beradat berangasan, lantas saja mendamprat. "Hai! Kau
jangan bilang kentut-kentut terus menerus. Bilanglah apa sebabnya!"
"Aku bilang kentut ya kentut. Masakan kau tak tahu?" Randukintir
melototkan matanya. "Siapa sudi mendengarkan omongan yang besar. Coba
pikir! Masakan Sri Sultan begitu gampang keluar dari istana semata-mata untuk
menemui paduka yang mulia Citrasoma?" "Pintalah keterangan dahulu dan
jangan hanya memaki-maki melulu," sahut Panji Pengalasan. "Meskipun
Pangeran Bumi Gede dan Gusti Patih-pun bukanlah datang sendiri. Tapi mereka
mengirimkan orang-orang kepercayaannya untuk mengadakan tawar-me-nawar. Kau
tahu kini, goblok!" Randukintir rupanya berhati jujur. Dalam hati mengakui
terlalu ceroboh sampai memaki kawan sendiri. Karena itu meskipun ia kena
damprat, kali ini tiada bersakit hati. la mena-han tertawa cengar-cengir
seperti orang gen-deng. "Baiklah! Kau bicara saja. Memang akulah yang
kentut!" katanya. Rekan-rekannya menggerendengi kecero-bohannya. Kemudian
Citrasoma menerangkan jumlah penawarannya. "Dengarkan! Kali ini bisa kita
pertimbang-kan. Sepuluh gedung bangsawan, lima ratus hektar sawah, seratus ekor
lembu. Gang, satu juta ringgit. Dan siapa yang ikut serta menda-pat pangkat
Wedana." "Bagus!" Mereka berteriak girang hampir berbareng.
"Nanti dulu! Rupanya Pangeran Bumi Gede mendengar penawaran ini. Dengan
persetu-juan gusti patih, ia menjanjikan jumlah penawaran Sri Sultan dua kali
lipat. Bahkan, sepertiga tanah kerajaan diberikan pula dan kita semua
dijanjikan pangkat Bupati," sahut Citrasoma bersemangat. "Nah,
penawaran apa lagi yang kita tunggu?" "Berikan kepadanya!"
teriak Malangyuda. "Kau setuju?" Panji Pengalasan menegas.
"Bukankah itu suatu penawaran yang paling tinggi dan cukup berharga?"
"Dan kau Randukintir?" Si mulut jahil tiada segera menjawab. Mulutnya
masih sengaja cengar-cengir. Dan setelah di desak dua tiga kali, akhirnya
men-jawab, "Aku si tukang pancing. Kebiasaanku melemparkan pancing dan
terus menyaplok hasilnya. Dan tak biasa mengumbar mulut besar menyebutkan
jumlah-jumlah tanpa gede bukti." "Monyet! Kau tak percaya?"
damprat Citrasoma. "Apa yang harus kupercayai? Kentutmu?"
"Tunggu Baruna! Dialah yang mengadakan pembicaraan. Nah, kau nanti akan
mendengar sendiri." Randukintir tertawa terkekeh-kekeh sambil meludahi
tanah. "Masakan aku harus mempercayai mulut Baruna pemalas, penunggu
jembatan? Huuu... Mana dia?" "Aku ada di sini." Tiba-tiba
terdengar suara bermalas-malasan. Sangaji terkejut bukan main. Suara itu datang
dari arah belakangnya. Dan tatkala menoleh, ia melihat seseorang berbaring di
atas batu yang berada kira-kira sepuluh langkah di belakang punggungnya. Kapan
orang itu di atas batu, sama sekali tak dike-tahuinya. Mendadak saja,
tersadarlah dia. Ah! pikirnya dalam hati. Terang sekali mereka bukanlah orang
lumrah. Kalau tadi mereka melihat si Willem, masakan tak ingat pemiliknya? Apa
sebab mereka sama sekali tak menyinggung pemilik Willem. Oleh pertimbangan itu,
ia menyesali ke-tololannya sendiri. Lantas saja timbullah dugaannya, pasti
mereka telah mengetahui keberadaanku. Nampaknya semua gerak-geriknya sudah
diatur demikian rupa semacam jebakan untuk mengelabui mataku. Alangkah tololku!
Dalam pada itu, Randukintir terdengar memaki kalang kabut. Kemudian
men-damprat, "Semenjak kapan kau berada di situ?" "Semenjak
kapan?" jawab Baruna dengan menguap panjang. "Semenjak batang
hidung-mu belum dilahirkan di sini, aku sudah berada di peraduanku. Mengapa?"
"Bangsat! Kita semua saling bertengkar dan kau enak-enak berada di situ.
Turun!" "Naiklah! Malam hari kian nampak terang. Kalau kau berada di
sini, bulan yang tolol itu kelihatan terang benderang... Kau mau apa
dariku?" Randukintir maju dua langkah. Rekan-rekannya mendadak maju pula. Sikapnya
seolah-olah lagi bergerak mengepung sesuatu. "Aku menghendaki bukti
tawar-menawar!" teriak Randukintir. "Tak sudi aku mende-ngarkan
ocehan tak keruan juntrungnya." "Hihaaai Kalian goblok tak mempunyai
otak! Hayo jawablah dahulu pertanyaanku ini. Apakah hak kalian mengangkangi
kedua pusaka itu? Kalau kalian sudah bisa men-jawab, nah itulah baru
syah!" "Kentut!" maki Radukintir. "Apakah kedua pusaka itu
kepunyaanmu? Apakah milik Bagas Wilatikta? Berrr!" Baruna menegakkan badan
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Kalian tahu, kedua pusaka itu datang dari
tangan murid Gunung Damar. Tapi dia kalian jebak begitu rupa. Apakah itu
perbuatan laki-laki? Baiklah! Anggaplah itu suatu per-juangan hidup. Tetapi
apakah kalian tak ingat pembalasan murid Wirapati yang menurut kabar adalah
pewaris kedua pusaka tersebut?" "Kentut! Kentut! Mana dia? Tunjukkan
aku di mana dia berada. Biar bagairriana aku seorang laki-laki. Akan kupintanya
secara berhadap-hadapan. Aku tukang pancing tak bisa main mengintip-intip seperti
kucing!" Mendengar ucapan Randukintir, teranglah sudah bagi Sangaji.
Benar-benar mereka telah mengetahui keberadaannya. Seketika itu juga,
berdesirlah darahnya. Terus saja ia berdiri tegak dengan menggenggam tinju.
Dalam hal mengatur suatu rencana, Sangaji bukan tandingnya. Begitu melihat
Sangaji, mereka bersikap seolah-olah terkejut dan heran. Hampir berbareng
mereka memekik kaget tetapi bergerak maju. Dan Baruna yang berada di atas batu
terus saja merosot ke tanah sambil menguap panjang lagi. "Siapa?"
bentak Malangyuda. "Akulah murid Wirapati. Sangaji namaku," jawab
Sangaji dengan tenang. Mereka memekik terkejut lagi. Randukintir terus
menyahut, "Hai! Apakah engkau hendak membalas dendam? Celaka! Agaknya kau
telah mendengarkan pembicaraan kami. Celaka! Benar-benar kami susah untuk
mengingkari lagi." Hati Sangaji mendongkol mendengar ucap-an Randukintir.
Meskipun andaikata tolol tahulah dia, bahwa mereka terang-terangan telah
mengetahui keberadaannya. Semua pembicaraan mereka telah diaturnya demikian
rupa serta sengaja diperdengarkan. Sangaji yang tak pandai berbicara hanya
menjawab, "Hm!" Dan karena sudah merasa, bahwa persoalan itu harus
diselesaikan dengan adu tenaga, terus saja ia menyelidiki sekitarnya. Diam-diam
ia memuji lawannya. Ternyata mereka menempati garis lintang, sehingga ia berada
pada suatu bidang sempit. Apabila jadi bergerak, ruang geraknya sangat
terbatas. Teringat akan senjata pancing, cangkul dan kapak, tak terasa
tergetarlah hatinya. Randukintir mendadak saja tertawa ter-gelak-gelak. Kemudian
berkata nyaring, "Kami semua ini memang bajingan! Gurumu Wirapati memang
kamilah yang menjebak. Sayang, dia baru sadar setelah nyawanya hampir terbang.
Hm! Hm! Ini semua adalah gara-garanya orang gede itu! Aku sih.... cuma
memancing di pinggir rawa." "Mengapa aku?" bentak Malangyada.
"Hai!" seru Randukintir heran. "Bukankah engkau yang
berpura-pura main kapak di depan warung Citrasoma? Lantas Citrasoma pura-pura
menjadi orang berjasa yang menunjukkan jalan. Di tengah jalan, Wirapati bertemu
dengan Panji Pengalasan yang pandai bermain priyayi. Saudara kecil! Itu dia
Panji Pengalasan yang dahulu berpura-pura dilukai musuh. Sikapnya menarik dan
menawan hati, sehingga gurumu bisa terkecoh. Hihooo... Gurumu lantas bertemu
dengan Baruna yang menguap di belakangmu itu. Perannya dahulu berada di atas
jembatan. Setelah luput dari pengamatannya, gurumu bertemu dengan aku. Hm,
sungguh hebat! Gurumu bisa membebaskan diri dari sabetan pancingku. Sayang!
Sayang! Akhirnya dia tak bisa lolos dari kepungan kami. Yah... keadaan gurumu
seperti keadaanmu sekarang ini. Meskipun andaikata gurumu berkulit tembaga,
bertulang besi dan berotot kawat, masakan bisa menghadapi kami dengan
berbareng. Kemudian... hai saudara kecil! Sebelum gurumu mati, Malangyuda
inilah yang meremukkan tulang belulangnya! Saudara kecil! Lebih baik cobalah
merampas obat pemunahnya. Siapa tahu, engkau bisa pulang ke gunung dengan
selamat!" Mendengar keterangan Randukintir yang cukup jelas, mendidihlah
darah Sangaji. Memang itulah yang dikehendaki Randukintir. Apabila seseorang
sudah kena dipengaruhi rasa dendamnya secara berlebih-lebihan, cara
berkelahinya akan cepat menjadi kalut. Untunglah, pembawaan Sangaji tidaklah
seperti belirang kena bara api. Dalam kegusarannya masih bisa ia mengurai diri.
Mendadak saja ia bisa berpikir, waktu menyergap guru, mereka main bersembunyi,
licik dan licin. Mengapa mendadak kini berlaku sebagai laku seorang
ksatria?" Dengan penuh selidik ia melemparkan pan-dang kepada Malangyuda.
Teringatlah akan kekejamannya ia benci bukan kepalang. Waktu itu, Malangyuda
memperlihatkan senyum licik dan merendahkan. Begitu kena pandang, lantas saja
berkata mengguruh. "Kau ingin menuntut balas? Balaslah aku! Caraku dahulu
menjatuhkan gurumu, me-mang licik. Sekarang menghadapi engkau masakan perlu
bermain sandiwara? Pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik kini berada
di pihakku. Kalau mampu ambillah kembali. Kalau tidak, dengan pukulanku akan
kupaksa engkau menyerahkan secara laki-laki." "Bagus! Dengan begitu
berarti syah!" Randukintir menguatkan dengan tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau bisa melaporkan hal itu kepada gurumu di dalam kubur. Dengan begi-tu,
tak usah kau jadi setan untuk meng-uber-uber kami. "Hm, setan?"
potong Malangyuda. "Jadi setanpun, masakan aku takut?" Sehabis
berkata demikian, Malangyuda maju selangkah. Sangaji mengikuti geraknya.
Kemudian berkata, "Mengingat usia kalian, mestinya aku harus memanggilmu
paman. Kalian telah meremukkan tulang belulang guruku. Karena itu, aku wajib
menuntut den-damnya. Berikan obat pemunahnya! Tentang kedua pusaka itu, tak
usah dibicarakan lagi." "Kau takut?" Malangyuda tertawa
mengejek. "Seperti engkau, akupun seorang laki-laki. Tapi guruku selalu
memberi ajaran padaku, manakala aku lagi menghadapi sesuatu perkara yang menyangkut
kesejahteraan seseorang, aku harus berani mengkesampingkan kepentingan
pribadi." "Hahaha... Randukintir! Bocah ingusan ini pandai berkotbah
juga," teriak Malangyuda. Kemudian membentak, "Baik obat pemunah
maupun kedua pusaka itu tidak akan kuberikan kepadamu. Kau mau apa?"
"... kalau begitu, terpaksa aku melayani kehendakmu," bentak Sangaji
dengan gusar. "... bagus! Gurumu, akulah yang mere-mukkan
tulang-belulangnya. Sekarang aku akan membiarkan engkau memukul dadaku sampai
tiga kali. Nah, pukullah!" Malangyuda mengira, Sangaji adalah makanan
empuk yang bisa dipermainkan sekehendak hatinya seperti bola. Kalau guru-nya
bisa diruntuhkan dengan gampang, menghadapi muridnya tidaklah perlu menguras
tenaga. Dalam hal ini, meskipun ia licin sebagai belut ternyata masih luput perhitungannya.
Sangaji meskipun murid Wirapati menggenggam ilmu ajaran Jaga Saradenta, Gagak
Seta dan Kyai Kasan Kesambi. Maka begitu mendengar tantangan, terus saja
Sangaji mengerahkan ilmu sakti Kumayan Jati. "Bagus! Terimalah pukulan
yang pertama!" teriaknya garang. Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan
Jati bukanlah ilmu sembarangan. Dalam jarak jauh, tenaga pukulannya bisa
meruntuhkan sebatang pohon yang tegak berdiri. Tenaga Sangaji belumlah sekuat
tenaga Gagak Seta. Tetapi waktu itu ia berada dalam keadaan marah, dendam dan
benci. Seketika itu juga, getah sakti Dewadaru yang mengeram dalam tubuhnya
bergolak hebat. Tubuh Sangaji tergoncang-goncang. Terus ia meliukkan punggung
dan melepaskan pukulan. Kesudahannya hebat bukan kepalang. Malangyuda yang berperawakan
tinggi besar, terpental lima belas langkah dan memekik kesakitan. Begitu jatuh
bergedu-brakan di atas tanah lantas saja melontakkan darah segar. Mereka semua
terkejut sampai memekik. Mimpipun tidak, bahwa tenaga Sangaji bisa melebihi
gurunya. Lantas saja mereka berge-rak mengepung dan tak berani lagi
meren-dahkan lawan. "Ih! Kalau begitu, benarlah laporan Suma dan
Wira," kata Citrasoma keruh. Sangaji tak mengenal siapa itu Suma dan Wira.
Mendadak saja teringatlah dia kepada empat prajurit penunggang kuda yang
meng-aniaya seorang perempuan. Mengingat keli-cikan dan kelicinan mereka,
pastilah keempat prajurit tadi adalah sekomplotan. Selagi ia sibuk
menebak-nebak dua nama yang disebutkan Citrasoma, di luar gelanggang jumlah
mereka bertambah empat orang lagi. Ternyata mereka adalah empat prajurit
penunggang kuda tadi. Melihat tergelimpangnya Malangyuda, mereka berteriak
mengingatkan. "Awas! Jangan semberono!" Sangaji menoleh dan dengan
gusar ia mere-nungi. Dalam pada itu, si mulut jahil Randukintir terdengar
tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Saudara kecil jangan kepalang
tanggung! Tadi dia menantang tiga pukulan bebas tanpa pajak. Hayo pukul lagi!
Biarlah tahu rasa, betapa luas dunia ini..." Malangyuda nampak
tertatih-tatih bangun. Diam-diam ia menyesali kesombongan diri. Tadi sama
sekali ia tak bersedia. Tapi kini setelah merasakan hebat gempuran Sangaji
tanpa malu-malu lagi terus menghunus senjata kapaknya. "Hai! Kau
curang!" teriak Randukintir. Randukintir, Malangyuda, Citrasoma, Panji
Pengalasan, Baruna dan keempat pembantu-nya, sesungguhnya jago-jago yang
menguta-makam kehormatan diri. Meskipun sekomplotan, tapi dalam hati
masing-masing mengharapkan keruntuhan lawan. Dengan begitu yang mempunyai hak
mengangkangi kedua pusaka Bende Mataram jadi berkurang. Itulah sebabnya,
walaupun terkejut sesungguhnya diam-diam mereka bergirang hati melihat
Malangyuda sampai memuntahkan darah segar. "Randukintir! Tunggu barang
sebentar! Kalau aku sudah berhasil membereskan bocah ini, mengirimkan engkau ke
neraka belumlah kasep," bentak Malangyuda. "Kentut! Kentut! Kau
curang!" damprat Randukintir. Kemudian kepada Sangaji, "Saudara
kecil! Hantam terus! Jangan mem-beri waktu bernapas!" Sangaji tahu,
betapapun juga mereka adalah sekawan dan sepaham. Saat itu sadarlah dia, bahwa
ia lagi dikepung sembilan orang sekaligus. Kalau satu demi satu, rasanya ia
masih sanggup mengalahkan. Tetapi apabila sekonyong-konyong maju berbareng,
inilah bahaya. Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat merangsak.
Malangyuda menyong-song dengan senjata kapaknya. Tenaga jas-maninya sudah
berkurang, narnun ia masih sanggup memutar kapaknya. Dengan me-ngaung-ngaung di
udara, kapaknya terus membabat pinggang. Sangaji terkejut. Untung, dia tadi
telah menyaksikan kehebatan senjata lawan tatkala sedang mengadu kepandaian
melawan Randukintir. Pertunjukan tadi, barangkali dimaksudkan untuk mengecilkan
hati Sangaji. Tapi kini mendadak berubah memusuhi diri. Karena dengan gesit,
Sangaji dapat mengelakkan dan melawan dengan pukulan-pukulan ciptaan Kyai Kasan
Kesambi. Seperti diketahui, ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi pernah mengejutkan
pendekar-pendekar sakti seperti Kebo Bangah dan Adipati Surengpati. Bisa
dibayangkan betapa hebat dan kokoh. Kecuali itu, untuk beberapa kali Sangaji
pernah mengujinya. Mula-mula ter-hadap Warok Kudawanengpati dan Watu Gunung
sahabat Lumbung Amisena. Ke-mudian kepada Setan Kobar dan beberapa prajurit
Pangeran Bumi Gede. Setelah itu diperlihatkan di hadapan tokoh-tokoh sakti
Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta. Mereka semua terkejut dan
heran. Karena itu, menghadapi perlawanan Malangyuda yang dahsyat, sama sekali
hatinya tak gentar. Dengan cepat jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi telah
melibatnya. Sekonyong-konyong pukulan ilmu sakti Kumayan Jati terlepas lagi.
Dan untuk kedua kalinya Malangyuda terpental jungkir balik. Senjata kapaknya
terbang di udara dan tepat menjatuhi punggungnya. Menyaksikan betapa gampang
Malangyuda dijatuhkan, Randukintir, Panji Pengalasan, Citrasoma dan Baruna
benar-benar terkejut. Mereka kini yakin benar, bahwa Sangaji tak boleh dianggap
lawan remeh lagi. Maka terus saja mereka menyerang berbareng. Di sinilah
terbukti, betapa licik dan licin mereka. Sama sekali mereka tak malu sampai
mengeroyok seorang pemuda yang usianya jauh berada di bawahnya. Untuk kedua
kalinya Malangyuda terpental jungkir balik kena pukulan ilmu sakti Kumayan
Jati. Senjata kapaknya terbang di udara dan tepat menjatuhi punggungnya
"Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya!" teriak Panji
Pengalasan dan Citrasoma dengan berbareng. "Bagus! Majulah semua!"
tantang Sangaji. Kelima orang itu mempunyai senjata andalan masing-masing.
Randukintir bersenjata pancing, Panji Pengalasan sebuah pacul, Citrasoma
sebilah keris, Malangyuda sebatang kapak dan senjata Baruna berbentuk
ular-ularan seperti cis. Masing-masing mempunyai caranya sendiri. Pada saat
itu, Malangyuda tak dapat bergerak lagi. Meskipun demikian keempat kawannya
merupakan lawan yang luar biasa tangguh. Sangaji sadar, bahwa ia harus memukul
mereka dengan sekaligus. Kalau lalai sedikit saja akan besar bahayanya. Sebab
betapapun juga, ia akan kalah napas apabila mereka maju secara bergiliran.
Melihat gerak-gerik mereka, Baruna adalah lawan yang terlemah. Waktu itu Baruna
berada di belakangnya. Maka dengan sebat ia menyerang Citrasoma yang kaget
setengah mati. Buru-buru Citrasoma menghunus kerisnya, kemudian menusuk telapak
tangan. Sangaji menduga, lawan itu pasti tangguh. Senjatanya termasuk senjata
tusuk yang tajam. Biasanya orang menusuk ke lambung atau dada. Tapi dia hanya
menusuk telapak tangan. Teringatlah dia ajaran gurunya, bahwa seseorang yang
tangguh tak begitu memperhatikan sasaran tusukannya. Karena dia hanya
mengutamakan tikaman gertakan, untuk kemudian memukul dengan tangan ke arah
bidiknya yang berbahaya. Ajaran gurunya ternyata tepat. Dengan tiba-tiba
Citrasoma menyabet pinggang. Terus saja Sangaji melibat dengan jurus ciptaan
Kyai Kesambi. Setelah itu sekonyong-konyong melesat ke belakang dan menghantam
Baruna dengan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Inilah suatu serangan di luar
dugaan Baruna. Dan begitu kena, dia terjungkal miring dan jatuh tertengkurap
mencium bumi. Pada saat itu pancing Randukintir dan pacul Panji Pengalasan
turun dengan berbareng. Sudah barang tentu Sangaji terancam hebat. Sebat luar
biasa ia menyambar tubuh Baruna dan dilemparkan untuk menyongsong senjata
mereka. Waktu tangan Citrasoma sedang membabat. Begitu melihat sambaran tubuh
Baruna, tak sempat lagi ia menarik. Mau tak mau ia harus memapaki. Dengan
sikunya ia mendorong dan berbareng melompat ke samping. Dan yang untuk kedua
kalinya, Baruna jatuh bergedebrukan ke tanah. Dengan merangkak-rangkak, ia
keluar gelanggang. Kemudian duduk bersila mengatur napas. Terpaksa Baruna tak
dapat berkelahi lagi. Dengan memaksa diri ia menguasai peredaran darahnya.
Namun tak urung, darah segar terlontar juga dari mulutnya. Randukintir,
Citrasoma dan Panji Pengalasan bertiga, diam-diam bergirang hati. Dengan
ter-lukanya Malangyuda dan Baruna berarti kurangnya saingan mereka. Kemudian
dengan hati-hati mereka mendesak Sangaji yang ternyata tangguh melebihi dugaan
semula. Sambil berkelahi Sangaji memperhatikan gerak-gerik Citrasoma yang serba
rahasia. Orang itu kadang-kadang nampak tersenyum licik dan sekali-kali
mengerling kepada Panji Pengalasan yang berwajah halus seperti priyayi. Senjata
Panji Pengalasan yang berben-tuk sebatang pacul, aneh pula perubahannya: Kadang
kala membongkar tanah, kemudian mementalkan. Setelah berputar mengawang ke
udara dan turun dengan dahsyat mengancam kepala. Selama hidupnya, Sangaji belum
pernah menghadapi senjata semacam itu. Namun demikian tak berani ia terlalu
mencurahkan perhatiannya kepadanya, karena senyum licik Citrasoma sangat
mencurigakan. Si mulut jahil Randukintir, sebenarnya tak boleh dianggap remeh.
Kecuali bersenjata pancing, ia berkelahi di atas egrapgnya. Sepak terjangnya
gesit di luar dugaan. Tetapi terhadap orang-orang ini, Sangaji memperoleh kesan
baik. Suaranya yang keras dan tajam, mengandung kejujuran. Entah memang
demikian pula pengucapan hatinya, hanya setan dan iblis yang tahu. Selagi
mereka bertempur, empat penung-gang kuda yang berada di luar gelanggang mulai
bergerak. Yang seorang tadi kena hajar Sangaji tatkala menganiaya seorang
perem-puan. Tetapi tiga orang lainnya masih segar bugar. Mereka bertiga merasa
bukan tan-dingan Sangaji. Karena itu, terus saja mempersiapkan senjata
panahnya. Kemudian dengan berbareng melepaskan anak panah yang segera bersuing
di udara. Sangaji terkejut mendengar bunyi desing itu. Menghadapi tiga lawan
tangguh itu, ia bersikap hati-hati. Meskipun belum tentu kalah, tetapi
menangpun bukanlah gampang. Hal itu bisa dimengerti. Gurunya sendiri, Wirapati
tak mampu menandingi dengan berbareng. Mendadak saja, tiga panah terus
menyambar. Terkejut ia mengibaskan tangan dan buru-buru mengelak ke samping.
Dengan demikian garis pertahanannya berubah. Randukintir, Citrasoma dan Panji
Pengalasan adalah tiga pendekar yang berpengalaman. Begitu melihat lowongan,
terus saja menyerang dengan berbareng. Menghadapi bahaya, Sangaji tak menjadi
gugup. Untuk menahan serangan mereka, ter-paksa ia menggunakan ilmu sakti
Kumayan Jati. Seperti diketahui ilmu sakti tersebut, bisa memukul lawan dari
jauh. Sayang, lawannya sedang bergerak sehingga hasilnya tak begitu memuaskan.
Meskipun demikian, daya tekanannya bisa pula menahan rangsakan mereka. Dalam
perbandingan, ilmu Sangaji tak usah takut kalah dibandingkan dengan mereka.
Pada waktu itu, gurunya sendiri belum pasti bisa mengalahkan. Tetapi karena ia
dikerubut tiga orang dan diganggu empat orang dari luar gelanggang, ia jadi
kerepotan juga. Kecuali itu, ia kalah dalam hal pengalaman dan masa meyakinkan.
Randukintir segera melecutkan senjata pancing yang mendengung di angkasa. Panji
Pengalasan dan Citrasoma dengan geregetan.( gemas) mulai merangsak hebat.
Sekalipun demikian, mereka tak dapat berbuat banyak oleh garis pertahanan ilmu
sakti Kumayan Jati yang rapat bukan main. Bahkan sekali-kali Sangaji mencampur
dengan jurus-jurus ilmu ajaran Jaga Saradenta, Wirapati dan ilmu ciptaan Kyai
Kasan Kesambi. Kedudukannya bertam-bah lama bertambah kuat dan kokoh. Tak lama
kemudian rangsakan senjata Randukintir makin terasa berbahaya. Panji Pengalasan
dan Citrasoma tak mau keting-galan pula. Tekanan mereka, mau tak mau membuat
hati Sangaji gelisah. Kalau terus menerus begini, bagaimana aku bisa membalas
dendam guru. Rupanya, aku tak sanggup menandingi, pikir Sangaji resah.
Benar-benar aku ini seorang laki-laki tiada gunanya hidup lama lagi. Kalau
sampai keempat pembantunya terjun pula ke gelanggang... hm... entah bagaimana
nanti akibatnya. Selagi ia bergelisah, mendadak saja Citra-soma memekik aneh.
Kedua temannya terus saja melesat. Sangaji terkejut dan kecurigaannya menusuk
kepala. Tatkala itu, ia melihat Citrasoma tegak berdiri kaku bagai mayat. Tubuhnya
kemudian melompat tinggi, lalu turun lagi dengan mengibaskan tangan. Inilah
suatu serangan yang aneh dan mencurigakan. Tanpa berpikir panjang lagi, Sangaji
terus menjejak tanah dan mundur empat langkah. Pada saat itu, penciumannya
mencium bau harum dupa. Pandang matanya jadi kabur. Apabila ia memaksakan diri
menjenakkan mata, sekilas pandang terlihatlah gumpalan asap hitam turun sebagai
tirai. "Celaka!" ia kaget. Tahulah dia, bahwa lawannya sedang
menyebar racun bubuk berupa asap. Segera ia menahan pernapasan-nya. Kemudian
melompat mendesak dengan melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati. Citrasoma
heran. Terang-terang Sangaji telah menghisap racun, namun belum roboh juga.
Bahkan bisa melontarkan pukulan dah-syat tanpa terganggu. Biasanya sekalipun harimau
pasti roboh begitu mencium racunnya. Kenapa dia masih begini gesit dan segar
bugar? pikirnya menebak-nebak. Citrasoma tak tahu, bahwa dalam diri pemuda itu
mengeram getah sakti Dewadaru yang dapat menawarkan segala racun yang berada di
muka bumi ini. Selain itu, madu tabuhan Tunjungbiru merupakan obat pemunah
tiada bandingnya. Karena itu Citrasoma yang mengandalkan senjata uap beracunnya
gagal dalam hal ini. Hatinya mendongkol bukan kepalang. Dengan kegusaran yang
menyala-nyala dalam dadanya, ia melompat sambil menyerang. Saat itu, Sangaji
melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati untuk yang kedua kalinya. Gugup
Citrasoma melesat ke samping. Walaupun demikian, tak urUng ia masih keserempet
juga. Tubuhnya tergoncang hebat dan hampir saja terpental jungkir balik mencium
tanah. "Awas! Bocah ini benar-benar berbahaya!" serunya terkejut.
Dengan cepat ia menyebarkan racun asap-nya lagi. Randukintir dan Panji
Pengalasan yang mengenal hebatnya racun Citrasoma dengan sebat melompat ke
samping. Mereka bebas dari asap beracun, namun dadanya seperti mau muntah.
Itulah sebabnya, tak berani mereka mendekat lagi. Citrasoma sendiri tak takut
menghadapi racunnya sendiri, karena sebelumnya telah menelan obat pemurahnya.
Sangaji tak sudi menunggu tibanya serang-an itu. Cepat ia menggeser ke samping
dan melepaskan pukulan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi dengan tenaga lontaran
pergolakan getah Dewadaru. Melihat bahaya itu, gugup Citrasoma mundur
berjungkir balik. Dan begitu desir angin pukulan Sangaji lewat di antaranya, Panji
Pengalasan mendesak maju. Senjata paculnya terus menyambar dahsyat. Sangaji
terkejut. Semenjak tadi sadarlah dia, bahwa senjata Panji Pengalasan tak boleh
diremehkan. Cepat ia mendahului menyerang dada. Oleh serangan itu, Panji
Pengalasan menarik tangan kirinya melindungi dada. Mendadak saja, Sangaji
membatalkan serang-an dan terus menyabet lambung. Sudah barang tentu Panji
Pengalasan kaget sampai memekik. Tahu-tahu, tubuhnya terpental dan
menggelinding seperti bola. Dengan jatuhnya dua lawan, Sangaji bisa bernapas
agak lega. Mendadak saja di luar dugaan, keempat pembantu mereka yang berada di
luar gelanggang melepaskan panah dengan berbareng. Dan batang panah lang-sung
mengancam padanya, tetapi yang lain-nya menyerang si Willem. Melihat
bersuingnya dua batang panah mengancam Willem, Sangaji terkejut. Gugup ia
mengibaskan tangan menangkis panah yang menusuk padanya. Kemudian dengan gugup
ia melontarkan pukulan dari jauh. Jarak antara dia dan Willem kurang lebih dua
puluh langkah. Meskipun tenaga lontarannya cukup kuat namun belum mampu menyapu
bersih. Dengan hati mencelos5) ia melihat menyam-barnya sebatang panah yang
agak mencong kena pukulannya namun masih saja membidik sasarannya.
"Jahanam! Mengapa memanah kuda?" ben-tak Sangaji dengan gemetar.
Terus saja ia bersuit tinggi. Mendengar suitannya, Willem bergerak menggeser
badan. Dengan begitu luputlah ia dari ancaman panah. Namun masih saja
menyerempet ekornya, sehingga ia kaget berjingkrakan. Menyaksikan betapa
gugupnya Sangaji melindungi kudanya, mereka seperti tergugah penglihatannya.
Terus saja dengan licik me-nyerang Willem. "Bunuh dahulu kudanya!"
Mereka saling memberi aba-aba. Sangaji gusar bukan kepalang mendengar teriakan
mereka. Terus saja ia melompat melindungi Willem. Begitu melihat Willem berjingkrakan,
dengan gagah ia berkata. "Willem! Jangan takut!" Waktu itu,
Malangyuda dan Baruna sudah dapat bergerak kembali. Sekalipun gerak-geriknya
belum leluasa, namun dengan datangnya mereka Sangaji jadi kerepotan. Apa lagi
mereka berkelahi seperti anjing gila oleh dendam dan rasa benci yang
meluap-luap. Randukintir, Panji Pengalasan dan Citrasoma melibatnya dengan
berbareng sehingga ia tak dapat melindungi Willem. Sedang empat orang yang
bersenjata panah bergerak menyerang WiHem. Betapa gugup dan gelisah hati
Sangaji, tak dapat dilukiskan lagi. Ia bertempur dengan berlari-larian.
Perhatiannya lebih ditumpahkan kepada keselamatan si Willem. Tetapi apabila ia
hendak mendekati, kelima lawannya terus saja melibatnya. Dengan begitu
sia-sialah usahanya hendak membebaskan si Willem dari ancaman mereka. Hm...
kalau saja aku bisa melepaskan tali ikatannya, pikirnya. Namun maksud itu tak
gampang-gampang bisa dilaksanakan. Mendadak saja empat batang panah nampak
menyambar. Gugup ia menjejak tanah dan tanpa berpikir panjang lagi, terus saja
menubruknya. Hebat kesudahannya. Keempat batang panah itu kena ditangkisnya
mencong. Sebaliknya dialah yang menjadi korban. Dalam saat kedudukannya belum
kokoh, kelima lawannya menyerang dengan berbareng. Ia memekik kaget. Maklumlah,
baru saja ia melompat dan belum lagi mendarat di atas tanah dengan baik. Maka
dengan terpaksa ia menangkis sebisa-bisanya. Keras melawan keras. Mereka
berlima bukanlah orang-orang biasa. Mereka semua adalah kawanan pendekar yang
memiliki tenaga sakti. Perban-dingan tenaga Sangaji waktu itu, barangkali lagi
satu melawan dua. Karena itu, begitu kena benturan lima tenaga dengan
berbareng, seketika itu juga tergoncanglah tubuhnya. Apalagi kedudukannya,
belum kokoh. Tak ampun lagi, ia terpental dua langkah dan memuntahkan darah
segar. Malangyuda girang melihat jatuhnya lawan. Dengan memutar kapak ia
berniat hendak menghabisi nyawa. Tetapi tatkala kapaknya hampir membabat tubuh,
mendadak saja pancing Randukintir melibatnya dan memukul balik. "Hai
bangsat! Kenapa?" bentaknya. "Kentutmu!" maki Randukintir dengan
melo-totkan mata. "Masakan kau yang akan menjadi pemilik kedua pusaka
Bende Mataram? Mana bisa?" Malangyuda heran bukan main. Se-konyong-konyong
sadarlah dia. Tahulah aku kini, pikirnya. Jikalau anak ini mati di tangannya,
bukankah dia akan mempunyai suara besar dalam penentuan membagi hasil? Oleh
pertimbangan itu, ia menjadi kalap. Sekarang ia tak lagi mengancam Sangaji,
tetapi berbalik memukul Randukintir. Mereka terus saja saling menggebrak. Panji
Peng-alasan yang bisa berpikir segera menegur. "Hai kenapa kau saling
hantam?" Baik Malangyuda maupun Randukintir tak menjawab. Tetapi seperti
berjanji mereka ber-gerak melebat. Mau tak mau Panji Pengalasan terpaksa
menangkis. Citrasoma yang cerdik tak sudi melibatkan diri. Dengan tersenyum
licik ia maju mendekati Sangaji bersama Baruna. Pada waktu itu, darah Sangaji
masih saja menyembur. Napasnya mencekik leher. Walaupun demikian, ia masih
sadar meng-hadapi lawan. Dengan memaksa diri ia berdiri tegak dan menghalang melindungi
Willem. Keempat penunggang kuda melepaskan anak panahnya lagi. Sangaji jadi
putus asa. Pikirnya, habislah sudah usahaku. Benar-benar aku ini seseorang
tiada guna. Dengan mengangkat tangan ia mengibaskan lengan. Dua panah kena
disampoknya jatuh. Dua panah lainya menyerempet kedua pundaknya hampir
berbareng. Darahnya lantas saja mengucur membasahi dada. "Serahkan saja
nyawamu!" Kata Citrasoma dengan tersenyum dengki. Meskipun engkau berotot
kawat bertulang besi masakan bisa melawan tenaga gabungan kami." Ucapan
Citrasoma itu, meskipun menya-kitkan hati sesungguhnya benar. Diam-diam Sangaji
mengeluh dalam hati. Pikirnya, keem-pat penunggang kuda itu andaikata tidak
mengganggu masakan aku tak mampu melawan. Teringat akan gurunya yang kena siksa
demikian rupa, menggigillah seluruh badan-nya. Apakah ia harus menyerah begitu
saja menerima nasib? Tidak! Dan sekonyong-konyong teringatlah dia, bahwa dalam
kantongnya tersimpan segenggam biji sawo, dari Gagak Seta. Dahulu ia pernah
memperoleh ilmu menimpuk biji sawo dari Gagak Seta. Selama itu, belum pernah
mempergunakan atau mengingat-ingatnya, ia menganggap senjata itu kurang
perwira. Gurunya dahulu, Wirapati berpaham demikian juga. Tetapi kini, ia lagi
menghadapi soal mati atau hidup. Keempat penunggang kuda itu jadi penasaran
karena panahnya kena disemplok, waktu itu mulai memasang anak panahnya lagi.
Mereka semua tergolong manusia setengah biadab. Tidak hanya berdaya wajar,
tetapi menggembol senjata racun pula. Sebaliknya, biji sawo ini tiada berbisa.
Apakah aku tak boleh melawan senjata mereka dengan senjata timpukan? Sangaji
berimbang-imbang. Tiba-tiba ia mendengar salah seorang penunggang kuda mulai
melepaskan panah. Citrasoma yang tersenyum licik, membarengi menyerang pula.
Saat itu benar-benar ia merasa terdesak. "Baiklah! Demi membalas dendam,
biarlah aku menggunakan senjata bidik ini, Guru! Izinkan aku!" Sangaji
mengambil keputusan. Dengan sekali melompat, ia memukul Citrasoma dengan sisa
tenaganya. Meskipun tenaga tekanannya jauh berkurang, namun mengingat
pengalaman, Citrasoma tak berani menyongsong. Orang itu mengelak ke sam-ping.
Dan waktu itu, Sangaji terus menyampok anak panah yang mendesing membidik si
Willem. Berbareng dengan itu, ia melepaskan biji-biji sawo enam kali sekaligus.
Inilah untuk yang pertama kalinya, ia menggunakan senjata ajaran Gagak Seta.
Seperti diketahui, ajaran membidikkan biji sawo itu tidak hanya mengutamakan
lontaran tenaga jasmani belaka, tapi harus pula mengingat tata pernapasan.
Dalam hal tata napas, Sangaji sudah mahir. Itulah sebabnya, sama sekali tak
menemui kesulitan. Apalagi, ia sudah boleh dikatakan paham akan gaya ilmu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mengutamakan tekanan tata napas dan jalan darah
yang berbareng. Keempat penunggang kuda itu sama sekali tak sadar akan
datangnya maut. Kecuali tak menduga sama sekali, sambaran biji sawo sama sekali
tak terlihat dalam malam bulan remang-remang. Tahu-tahu dada mereka kena bidik
dan tembus seperti tertusuk. Mereka menjerit berbareng dan jatuh bergedebukan
dari atas kudanya. Jerit mereka, mengagetkan Randukintir, Panji Pengalasan dan
Malangyuda yang sedang saling bergebrak. Terus saja mereka berhenti berkelahi
dan mengarahkan pandangnya kepada keempat pembantunya. Mereka heran melihat
Sangaji masih bisa bergerak, bahkan mencoba melawan serangan Citrasoma.
"Mari kita singkirkan dahulu bocah itu. Baru kita menentukan sikap!"
ajak Panji Pengalasan dengan bersungut-sungut. Sangaji sendiri tak mengira,
akan memper-oleh hasil begitu baik dan gampang. Hatinya yang mulai menciut kini
timbul harapannya. Pikirnya cepat, tenagaku sudah berkurang. Biarlah mereka
kulawan dengan timpukan biji sawo. Bagaimana kesudahannya masakan harus
kupikirkan? Dari pada menyerah, biarlah aku berjuang sampai saat ajalku. Benar
juga. Terus saja ia melepaskan senjata bidiknya sambil mendekati si Willem.
"Awas!" teriak Citrasoma. Mereka berlima bukan seperti keempat
pembantunya. Kecuali ilmu kepandaiannya jauh di atas mereka, sesungguhnya sudah
bisa menggunakan senjata gerak cepat. Karena itu, begitu mendengar peringatan
Citrasoma lantas saja melesat ke samping sambil menyerang. Mau tak mau Sangaji,
terdesak lagi dalam kerepotan. Teringatlah akan kudanya, cepat ia melompat
sambil mengibaskan tangan memangkas tali pengikat. Dan sekali kena pemangkas
tangannya, si Willem terbebas dari hukuman. Kuda itu lantas saja berjingkrak
melompat ke udara. "Serang!" teriak Malangyuda. Randukintir terus
saja menyabetkan senjata pancingnya berbareng dengan senjata pacul Panji
Pengalasan. Malangyuda sendiri tak ketinggalan. Sedangkan Citrasoma dan Baruna
mengepung dari belakang punggung menghadapi jalan ke luar. Dengan menggerung
Sangaji memapaki senjata mereka sambil menyabitkan biji sawo. Beberapa saat
lamanya dia bisa bertahan. Tapi lambat laun tenaganya mulai habis. Darahnya
sudah agak banyak membasahi tubuhnya. Dadanya terasa sesak dan matanya mulai
berkunang-kunang pula. Tak kusangka bahwa akhirnya aku mati di sini, keluhnya
dalam hati. Rupanya nasibku samalah halnya dengan Ayah dan Guru. Tapi watak
Sangaji tak gampang-gampang menyerah. Sewaktu berumur 14 tahun, ia bertahan
mati-matian terhadap cemeti Mayor de Groote. Ia pernah pula membabi buta
melawan empat pemuda Belanda yang jauh lebih perkasa dari padanya. Meskipun
akhir-nya kemudian ia dilemparkan ke dalam parit, namum dalam hatinya emoh
menyerah. Begitu juga kali ini. Terang sekali tenaganya makin lama makin habis
tak ubah seperti sebuah pelita nyaris kehabisan minyak. Namun dengan mendadak
timbulah ke-nekatannya hendak mati berbareng. Oleh keputusan itu, segera ia menarik
serangannya. Kemudian dengan segala kekerasan hati, mengumpulkan sisa
tenaganya. "Biariah aku melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati dengan
jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Sebelum menutup matanya, inginlah aku mengetahui
apakah aku sudah berhasil menggabungkan kedua ilmu sakti itu." Tatkala
lagi memepelajari rahasia tata tena-ga ilmu sakti Kumayan Jati, Gagak Seta
mengetahui bahwa dalam diri Sangaji mem-punyai getah ajaib Dewadaru. Kecuali
itu, Sangaji mempunyai ilmu Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua ilmu itu
bertentangan sifatnya. Masing-masing bersandar pada tenaga pokok Dewadaru.
Menurut Gagak Seta, apabila Sangaji berhasil melebur dua ilmu sakti tersebut ke
dalam getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap, siapa saja takkan
tahan menerima pukulannya. Sebaliknya, sebelum berhasil ia dilarang menggunakan
dua ilmu gabungan. Bahayanya akan memakan diri sendiri. Dahulu dia pernah jatuh
pingsang sewaktu mencoba menggunakan dua ilmu gabungan tersebut. Kini, Sangaji
hendak menggunakan kedua ilmu sakti sekaligus. Yakni, ilmu sakti Kuma-yan Jati
dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang mempunyai tata napas dan tata tenaga
sendiri. Sudah barang tentu, bahayanya sangat besar. Tetapi pada saat itu, ia
tak memikirkan lagi soal hidup dan mati. Tekadnya hanya hendak mati berbareng
dengan kelima musuhnya sebagai pembalas dendam gunanya. Demikianlah, maka pada
saat itu, getah sakti Dewadaru mulai menggoncang seluruh tubuhnya. Ilmu sakti
Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi saling berebut mencari
sandaran tenaga. Seperti diketahui, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi adalah
dua orang pendekar yang mempunyai kedudukan masing-masing. Dalam suatu
per-lombaan adu ilmu kepandaian, mereka meru-pakan saingan berat. Dengan
sendirinya, ilmu masing-masing jauh berbeda. Itulah sebabnya, kedua ilmu
tersebut lantas saja saling bertempur dengan sengit. Tanpa disadari Sangaji
sendiri, ilmu Bayu Sejati yang bersifat mempertahankan diri terus saja timbul
karena merasa kena serang. Dengan demikian dalam diri Sangaji terjadilah suatu
medan laga yang dahsyat bukan main. Randukintir, Malangyuda, Panji Pengalasan,
Citrasoma dan Baruna sudah barang tentu tak mengetahui perubahan itu. Mereka
hanya melihat, betapa tubuh Sangaji menggigil sampai tergoncang-goncang. Napasnya
tersengal-sengal dan memenuhi kesulitan mempertahankan diri. Diam-diam mereka
bergi-rang hati. Terus saja mereka menubruk dengan berbareng dan melontarkan
pukulan menentukan. Pada saat itu, mata Sangaji sudah berku-nang-kunang. Apa
yang terjadi di sekitar dirinya hanya nampak berkelebat seperti bayangan.
Mendadak ia mendengar kesiur angin. Tanpa berpikir lagi, ia memapaki dan
melontarkan suatu pukulan ilmu gabungan dengan sekaligus. Kesudahannya hebat
bukan main. Sangaji terpental sepuluh langkah dan memuntahkan darah segar IagL
Luka dalamnya bertambah parah. Kemudian jatuh pingsan. Tetapi kelima lawannya
tiada bebas dari hantamannya yang kuat luar biasa. Mereka mundur
terhuyung-huyung dengan mata berkunang-kunang. Dalam hati, mereka terkejut.
Sama sekali tak terduga, bahwa Sangaji nampak luka parah masih mempunyai sisa
tenaga begitu dahsyat. Dan belum lagi keheranannya lenyap mendadak saja
punggung mereka terasa ces dingin kemudian berubah panas. Randukintir terkejut
setengah mati. Cepat ia memutar hendak mendamprat Malangyuda. Pikirnya, keji
benar kau Malangyuda! Mengapa kau memukul aku dengan diam-diam selagi tak
berjaga-jaga...? Tapi ia batal sendiri, karena melihat Malangyuda tiba-tiba
roboh ke tanah tak berkutik lagi. Selagi seseorang yang mata pencariannya
mengandalkan keperkasaan diri, sudah terlalu sering ia menghadapi bermacam mara
bahaya dan ancaman, la tak menjadi gugup. Dengan mengerung ia meloncat hendak
melepaskan pukulan ke arah Panji Pengalasan. Tetapi orang itu nampak
bersempoyongan dan jatuh tengkurap pula. Dan di sana ia melihat melawan seorang
laki-laki brewck yang melayani dengan sekali-kali memperde-ngarkan suara
tertawanya. Siapa lagi kalau bukan Bagas Wilatikta. "Monyet! Iblis!"
maki Randukintir. "Inilah caramu memukul orang dari belakang?" Bagas
Walatikta tak menjawab. Dia hanya mempergandakan bunyi tertawanya. Selang
beberapa saat lamanya, baru berkata, "Kau mau maju majulah!"
Randukintir mendongkol setinggi leher. Terus saja ia mengayunkan tangan.
Mendadak saja, tenaganya lenyap dan kemudian jatuh terhuyung-huyung bersama
egrangnya. Kembali lagi Bagas Wilatikta tertawa melalui hidungnya. Tatkala itu
Citrasoma sedang melontarkan pukulan bertubi-tubi dengan tangan dan kerisnya.
Tapi begitu kena tangkis, ia memekik kesakitan. "Monyet!" maki
Randukintir dari jauh. Napasnya mulai tersengal-sengal. Suatu hawa dingin dan
panas dengan berbareng merayapi seluruh urat nadinya. Tahulah dia, bahwa Bagas
Walatikta tadi sudah menggunakan ilmu saktinya yang bernama Aji Gineng. Nama
Aji Gineng diambil dari kisah Arjuna Wiwaha. Diceritakan, raja raksasa
Nirwatakawaca setelah bertapa selama sepuluh tahun memperoleh aji tersebut dari
Hyang Rendra. Kesaktian aji itu dapat menguras habis tenaga manusia yang kena
pukulannya. Randukintir sadar akan bahaya. Tak berani lagi ia mengumbar suara.
Sebaliknya lalu mengatur napas dan mencoba melawan kesaktian Aji Gineng dengan
ilmunya sendiri. Dalam pada itu, Citrasoma yang kena pu-kulan Aji Gineng, terus
saja menggigil ke-dinginan. Sejenak kemudian, roboh tak berkutik tak sadarkan
diri. Pada saat itu Sangaji dalam keadaan se-tengah sadar. Tak mampu ia
berdiri, bahkan mencoba berkutikpun tiada tenaga lagi. Karena itu, kedatangan
Bagas Wilatikta sama sekali tak diketahuinya. Panji Pengalasan yang jatuh
tersungkur mencoba berkata, "Bagas Wilatikta! Jauh-jauh sudah kudengar
maksudmu hendak mengangkangi kedua pusaka itu. Selama ini engkau
menggenderangkan diri sebagai laki-laki sejati. Mengapa menyerang dari
belakang? Bukankah ini perbuatan manusia keji?" "Hahaha..." potong
Bagas Wilatikta. "Mengadu tenaga adalah binatang. Sebaliknya siapa yang
bisa menggunakan akal itulah manusia. Dalam medan pertempuran, akal, siasat dan
tipu muslihat adalah lumrah. Kalian dahulu menjebak Wirapati dengan akal pula.
Kini, akupun menggunakan akal. Apakah celanya?" Didebat demikian, Panji
Pengalasan tak dapat berbicara lagi. Ia tahu, Bagas Wilatikta adalah manusia
tangguh. Kecuali itu pandai menggunakan akal dan mengatur siasat. Bahwasanya
dia kena terjebak, sudahlah semestinya. "Kentut! Tiba-tiba Randukintir
memaki. "Benar aku termasuk begundalmu, tapi aku tak ikut campur."
"E, hem! Apakah bedanya dengan per-buatanmu sekarang. Bukankah engkau kini
ikut pula berkomplot menghadang murid Wirapati? Hm hm... mana bisa kalian luput
dari pengawasanku? Sekarang sudah nyata siapa yang kalah dan menang. Aku
seorang diri sudah bisa menjatuhkan kalian dengan berbareng. Apakah perlu
dibicarakan lagi?" Suatu kesunyian terjadi. Mereka yang kena hantam Bagas
Wilatikta sadar akan bahaya. Pintu maut terbuka lebar di hadapannya. Dalam
keadaan tak bisa berkutik, sekali Bagas Wilatikta mengayunkan tangannya berarti
mengirimkan nyawa mereka ke udara. Mereka semua kenal sepak terjang dan
perangai Wilatikta. Sekali bertindak tak kepalang tanggung. Sangaji yang rebah
setengah sadar, men-dadak memperoleh tenaga baru. Hal itu dise-babkan oleh daya
sakti getah Dewadaru. Tatkala tadi timbul suatu persaingan hebat antara ilmu
Bayu Sejati —Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, getah sakti
tersebut kena diombang-ambingkan. Setelah ketiga ilmu sakti tersebut lenyap,
Dewadaru mulai menghisap tenaga jasmaniah. Itulah sebabnya, Sangaji rebah tak
dapat berkutik kehabisan tenaga. Kemudian suatu hal yang membuat nyawanya
tertolong karena ia jatuh pingsan. Dengan demikian tiada kegiatan tata
jasmaninya. Dan begitu Dewadaru tak mem-peroleh perlawanan dengan sendirinya
lantas menusup kembali ke jalan darah. Tanpa di-sadari Sangaji sendiri, ia
membangunkan peredaran darah dan sedikit demi sedikit menghimpun tenaga
muminya. Sayang sekali, Sangaji dalam keadaan luka parah, sehingga tenaga yang
terhimpun merembes ke luar. Meskipun demikian, dibandingkan dengan keadaan
kelima lawannya pada saat itu, ia jauh lebih beruntung. Tatkala menjenakkan
mata, ia heran apa sebab kelima lawannya tiada menyerang lagi.
Sekonyong-konyong ia mendengar percakapan yang penghabisan itu yang disusul
dengan suatu kesunyian. Ia menegakkan kepala dan melihat sesosok tubuh. Waktu
itu bulan kian menjadi cerah, sehingga berewok Bagas Wilatikta samar-samar terlihat
juga. Dan begitu ia mengenal siapa dia, hatinya tergetar. "Hai Citrasoma!
Malangyuda! Panji Penga-lasan! Baruna dan Randukintir! Dengarkan, kalian
sendiri yang menetapkan siapa yang berhak memiliki kedua pusaka Bende
Mataram," kata Bagas Wilatikta. "Dan aku datang untuk menetapi
perjanjian ini. Apakah kalian berpenasaran?" Sangaji menebarkan
penglihatannya. De-ngan keheran-heranan, ia menyaksikan beta-pa kelima lawannya
tadi jatuh terkapar di atas tanah tanpa berkutik. "Bangsat!" maki
Malangyuda yang sudah bisa memperoleh sisa tenaganya. "Selagi kita
bertempur, kau memukul dari belakang. Kalau Citrasoma dan Baruna sedang
bertempur mengkerubut seorang laki-laki berewok yang ternyata adalah Bagas
Wilatikta. kau seorang kesatria, marilah kita bertempur sampai mati di kemudian
hari..." "Ajalmu sudah di depan matamu, masih saja kau berlagak
ksatria sejati?" bentak Bagas Wilatikta. Kemudian tertawa perlahan sambil
berkata, "Kau sendirilah yang goblok. Siang aku sudah berada di sini, tapi
telingamu begitu tuli." MendengarMeapafTBagas Wilatikta, Sangaji
terkesiap. Maklumlah, semenjak memperoleh ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi, panca indra bekerja sangat peka. Walaupun demikian,
masih juga belum bisa menangkap beradanya Bagus Wilatikta. Hal itu membuktikan,
bahwa Bagas Wilatikta memiliki ilmu sangat tinggi jauh di atasnya. Memperoleh
pertimbangan demikian, diam-diam ia mengeluh dalam hati. Sekonyong-konyong
Bagas Wilatikta ber-putar menghadap padanya. "Kaupun telah sadar lagi. Napasmu
mulai teratur. Tetapi sisa tenaga yang kau peroleh paling banyak tiada melebihi
manusia lum-rah." Kembali Sangaji terkejut. Orang itu benar-benar hebat.
Pantas kedua pamannya memuji keperkasaannya, tatkala lagi bertem-pur mengadu
tenaga. "Kau bernama Sangaji bukan?" katanya meneruskan. Tadi
kudengar engkau menye-butkan namamu sendiri. Kuperingatkan, ja-ngan sekali-kali
kau menyebutkan nama begi-tu gampang di tengah lapangan. Coba, andaikata dahulu
aku tak mendengar ujarmu perkara kedua pusaka Bende Mataram secara kebetulan
tatkala engkau berjalan bersama guru dan pamanmu, masakan gurumu kena aniaya
orang." Ontuk ketiga kalinya, Sangaji terkejut lagi. Masih teringat segar
dalam benaknya, bagai-mana ia kelepasan kata sewaktu menggam-barkan tentang
kedua pusaka Bende Mataram yang diwariskan Wayan Suage kepadanya. Tatkala itu
ia mendengar suara bergemeresek. Ternyata selain Titisari, masih terdapat
manusia berewok itu dengan rekan-rekannya. Dan malam itu pamannya Bagus Kempong
beradu tenaga dengan Bagas Wilatikta sehingga luka parah. Kemudian seorang
laki-laki berperawakan tinggi semampai datang menjenguk, sewaktu Bagus Kempong
dan Wirapati beristirahat di gardu Dusun Salatiyang. Teringat perawakan
Randukintir, hatinya terkesiap. "Hihihaaa..." Bagas Wilatikta tertawa
me-lalui dada. Baiklah kuterangkan sebab mu-sababnya gurumu kena aniaya. Kedua
pu-saka itu sudah sepuluh dua puluh tahun yang lalu menjadi pembicaraan orang.
Tahu-tahu ia berada dalam genggamanmu. Kami terus menguntit gurumu. Lantas
menje-bak sampai ke Ambarawa. Dan di sana guru-mu kena pukulan beracun. Tulang
iga-iganya kena remuk orang itu yang bernama Ma-langyuda."
"Bohong!" tiba-tiba Sangaji memotong. "Tak percaya aku. Guru
takkan kalah melawan dia." Bagas Walatikta tertawa berkakakan sambil
berputar mengarah kepada Malangyuda. Kemudian berkata nyaring, "Hai
Malangyuda! Dengar sendiri. Selagi anak belum pandai beringus sudah bisa
membedakan antara ksatria dan bangsat. Kau berlagak seorang ksatria sejati
segala. Cuh! Nah, kau mau bilang apa?" ia berhenti mengesankan. Lalu
kepada Sangaji. "Ucapanmu betul. Gurumu memang takkan kalah melawan dia.
Kami semua tahu menaksir kekuatan gurumu. Karena itu, dia harus kami jebak
bersama. Setelah jatuh, ksatria sejati Malangyuda itu lantas berlagak seorang pahlawan
yang mau menentukan pukulan penghabisan. Dalam keadaan sete-ngah pingsan,
gurumu diremukkan tulang-tulangnya." Mendengar keterangan Bagas Walatikta,
Sangaji menggigil oleh dendam dan marah melebihi batas. Malangyuda sendiri
lantas menggerung. Namun tak dapat membatah. "Tapi kau jangan kecil
hati," kata Bagas Wilatikta. "Aku tahu, kau menanggung den- dam. Aku
nanti yang membalaskan dendam. Lihat!" Mendadak saja, ia melesat menerjang
Malangyuda. Dengan tiga kali hantaman, Malangyuda roboh terguling. Nyawanya
kabur entah ke mana. Sangaji kaget. Terhadap Malangyuda me-mang ingin ia
membalas dendam. Tapi ia tak menduga, bahwa Bagas Wilatikta bisa berbuat begitu
mendadak dan kejam luar biasa. Sebaliknya begitu Malangyuda mati kena pukulan
Aji Gineng, rekan-rekannya mengeluh berputus asa. "Kau puas bukan?"
teriak Randukintir. "Nah, bunuhlah kami. Dengan begitu kedua pusaka itu
memjadi milikmu." "Membunuh engkau gampangnya seperti membalik
tangan. Apa perlu tergesa-gesa?" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa
licik. "Hm... biarlah dia membunuh kita," sam-bung Citrasoma yang
telah sadar dari pingsannya. "Masakan tahu di mana kedua pusaka itu kini
berada..." "Cuh!" Bagas Wilatikta meludah. Kemudian menggerung,
"Masakan aku tak tahu. Siang-siang aku sudah berada di sini. Bukankah
kedua pusaka itu kau sembunyikan di dalam gerumbul itu?" Muka Citrasoma
berubah hebat. Meskipun dalam malam hari, Sangaji seolah-olah meli-hat betapa
pucat dia. Bagas Wilatikta sendiri merasa menang. Pada saat itu, terus saja ia
melesat menghampiri gerumbul dan mem-bawa dua benda dalam pelukannya. Itulah
pusaka sakti Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik. Kini tidak hanya
Citrasoma yang jadi gelisah. Randukintir, Panji Pangalasan dan Baruna terkejut
sampai memekik. "Kau mau bilang apa sekarang?" desak Bagas Wilatikta
menang. Sebenarnya Citrasoma sudah tak dapat berbicara lagi. Tapi seperti
biasanya seseorang yang sudah berputus asa menghadapi maut Umbulah
keberaniannya. Lantas berkata, "Bagas Wilatikta! Dalam hal mengadu akal
dan siasat, benar-benar kau hebat. Barulah aku sadar, bahwa aku kena
jebakanmu." Dengan tertawa mendongak, Bagas Wila-tikta menjawab,
"Inilah upah jasamu. Tukang jebak kena jebak. Baiklah, supaya tak
ber-larut-larut, biarlah kau mendahului pulang menyusul rekanmu. Salahmu sendiri,
menga-pa membantah kemauanku." Sehabis berkata begitu dengan sekali ayun
ia menghancurkan kepala Citrasoma. Ke-mudian berputar menghadap Sangaji.
"Terhadap orang demikian, tak perlu lagi bersikap memaafkan. Coba pikir!
Dengan kelicinannya ia berpura-pura menjadi tukang penjual kedai makanan
setelah membunuh pemiliknya. Kemudian menjebak gurumu." "Itulah
akalmu. Kita cuma jadi pelaksana." Tiba-tiba Randukintir berkaok-kaok.
"Tutup mulutmu!" bentak Bagas Wilatikta. Lalu dengan sekali sambar ia
menendang Randukintir jungkir balik. Betapa hebat tena-ga Bagas Wilatikta tak
usah digambarkan lagi. Randukintir sekaligus melontakkan darah segar dari
mulut, hidung dan kedua matanya. Seperti tak pernah terjadi sesuatu, Bagas
Wilatikta meneruskan berkata, "Kemudian gurumu dijebak oleh sikap
keningrat-ningratan Panji Pangalasan. Itulah dia! Dengan kelicinannya ia bisa
memikat gurumu, sehingga percaya kepada semua keterangannya. Tapi, janganlah
takut. Akulah yang menyumbat mulutnya kini." Terus saja ia meninju dada
Panji Pangalasan, lalu menginjak batang lehernya sampai tewas. Setelah itu
dengan cepat ia membunuh Baruna dan keempat penunggang kuda. "Puaskah kau
kini?" katanya kemudian kepada Sangaji. "Semua penganiaya gurumu
sudah kuba-Jaskan. Kudengar tadi kau mengharapkan obat pemunah racuriyang
mengerartL dalam tubuh gurumu. Baiklah kuambilkan. Bagas Wilatikta
menggerayangi saku Malangyuda dan mengeluarkan sebotol obat luar dan sebuah
bungkusan. Lalu berkata, "Inilah obat penyembuh tulang belulang gurumu. Dan
ini pemunah racun. Simpanlah!" Tetapi bisakah Sangaji menerima pemberian
orang dengan begitu saja. Karena tak pandai berbicara, ia hanya menentang
pandang dengan berapi-api. "Mengapa? Kau tak sudi?" Dalam otak
Sangaji berkelebat beberapa kesan dahsyat. Ia mengakui, Bagas Wilatikta
memiliki ilmu kepandaian jauh lebih unggul daripadanya. Tetapi melihat
kekejamannya tak diketahuinya sendiri meremanglah bulu romanya. Meskipun
demikian, kalau ditim-bang ia membantu membalaskan dendam gurunya. Apakah ia
harus merasa berterima kasih? Mendadak saja terletuslah perkataan-nya,
"Aku bukan sanakmu, bukan pula saha-batmu. Kau membunuh adalah untuk
ke-pentinganmu sendiri. Apa sebab menggu-nakan dalih membalaskan dendam
guruku?" Bagas Wilatikta tertegun sejenak. Kemudian tertawa
tergelak-gelak. "Ih! Ini lagi! Ini lagi! Mulutmu tajam seperti adikku,
Bagas Tilam. Baiklah... memang aku bekerja untuk kepentinganku sendiri. Setelah
mereka berhasil membawa kedua pusaka itu, kukira akan tunduk kepada kehendakku.
Di luar dugaan mereka mau membawa ke-mauannya sendiri. Melawan seorang demi
seorang, bukanlah pekerjaan sulit. Tetapi apabila menghadapi berbareng, nanti
dahulu. Maka kubuatlah dongeng, seolah-olah engkau adalah pewaris kedua pusaka
yang sah. Kukabarkan pula, bahwa paman-pamanmu pasti turun gunung hendak
membalas den-dam. (Jntuk ini aku harus membuktikan. Kau sendiri melihat, siang
tadi aku berhasil mem-bawa kedua pamanmu lewat di hadapan hidung mereka.
Kemudian kuwartakan tentang keberadaanmu. Demikianlah... mereka menjebakmu.
Lantas... lantas... haha... akhirnya aku bisa memukul mereka dengan
sekaligus," ia berhenti menikmati kemenang-annya. Kemudian berkata lagi,
"Hai bocah kau benar hebat! Ilmu kepandaianmu di luar dugaanku..."
Setelah berkata demikian dengan sebat ia memasukkan kedua obat pemunah ke dalam
kantong Sangaji. Ingin Sangaji melawan tapi tenaga Sangaji tak mengizinkan.
Kesehatan Bagas Wilatikta tak dapat ditandingi sisa tenaganya. Dalam
terkejutnya, ia hanya tegak dengan pandang mata terlongong-longong. Mendadak saja
di luar dugaan Bagas Wilatikta menggeram dan berdiri tegak di depannya. Lantas
berkata nyaring, "Kau sudah menerima obat pemunah. Kau sudah menyaksikan,
betapa aku membalaskan dendam gurumu. Dengan begitu kau bebas dari kewajiban
menuntut dendam gurumu. Akupun tidak berhutang lagi. Semuanya sudah kubayar
lunas. Kini tinggal aku dan engkau. Lihat! Aku kembalikan kedua pusaka ini
kepadamu." Setelah berkata demikian dengan sebat pula ia mengalungkan
pusaka Bende Mataram ke leher Sangaji. Sedang keris Kyai Tunggul-manik
diselipkan ke pinggangnya. Bukan main sakit hati Sangaji diperlakukan demikian.
Ia merasa diri seperti segenggam tembakau terpilin-pilin demikian rupa. Mau
melawan, tenaganya seperti punah. Sebaliknya melihat sepak terjang dan cara
tertawa Bagas Wilatikta, ia sudah bisa menebak sebagian. Orang itu amat licik
dan bisa berbuat di luar dugaan. "Apa maksudmu ini! Kedua pusaka ini bukan
milikmu. Kau boleh memiliki," ia men-coba berkata sebisa-bisanya.
"Nanti dahulu, dengarkan!" sahut Bagas Wilatikta dengan tertawa
melalui dada. "Dalam dunia ini tinggal aku dan engkau saja yang pernah
melihat, meraba dan bersentuhan dengan bentuk dan wujudnya pusaka Bende
Mataram." "Salah!" bantah Sangaji yang berwatak polos dan jujur.
"Paman Wayan Suage, guruku Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan pernah
melihat dan menyentuhnya." Bagas Wilatikta tertegun sebentar.
"Baiklah. Anggaplah mereka tak pernah ada. Kukira, mereka tak lagi ikut
campur. Bukankah begitu? Nah, aku ini laki-laki dan engkau laki-laki pula. Dan
aku tak biasa membagi rejeki. Akupun tak senang apabila di kemudian hari
kemuliaan yang bakal kuper-oleh sampai dibicarakan orang. Karena itu, marilah
kita mencari penyelesaian. Hei, dengarkan dulu! Aku tahu, engkau kini luka
parah. Itulah sebabnya, tak dapat aku memaksa engkau berkelahi dengan berdiri.
Menurut hematku begini saja. Aku akan mencekik lehermu. Cobalah pertahankan.
Kalau engkau bisa membalas mencekik leherku pula, biarlah kita mati
berbareng... Bagaimana?" Menyaksikan tingkah laku Bagas Wilatikta, Sangaji
sudah bisa menduga bahwa orang itu bisa berbuat di luar dugaan. Meskipun
demikian keputusan Bagas Wilatikta hendak mencekik lehernya benar-benar
mengejutkan, mendongkolkan hati dan membuatnya bergusar. Ia mengakui, ilmu
kepandaian Bagas Wilatikta berada di atasnya, namun seumpama dia dalam keadaan
segar bugar belum tentu tak dapat menandingi. Baik ilmu sakti Kumayan Jati dan
ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi bukanlah ilmu murahan. Pendekar sakti Adipati
Surengpati dan Kebo Bangah sendiri terkejut dibuatnya. Tapi kini, tenaganya
seperti punah. Seumpama ia memiliki ilmu setinggi langit tiada gunanya juga.
Tatkala itu Bagas Wilatikta sudah memper-dengarkan suara tertawanya. Ingatlah
Sangaji, bahwa itulah suatu tanda akan mulai bekerja. Sebagai seorang kesatria
ia tak dapat hanya menyerah kepada nasib. Bukan ia takut menghadapi maut tetapi
perlawanan itu mempunyai arti sendiri. Seekor cacingpun akan melawan
sebisa-bisanya apabila menghadapi maut sebagai suatu pernyataan mempertahankan
nyawanya. Begitulah dengan sekuat tenaga ia mengerahkan sisa hawa murninya
kemudian mengayunkan tangan hendak melepaskan suatu pukulan. Mendadak saja
suatu hawa berdesir bergulungan merembes ke seluruh tubuhnya. Itulah getah
sakti Dewadaru yang jadi terkejut karena suatu pengerahan tenaga. Seperti
nasehat Gagak Seta, Sangaji dianjurkan jangan sampai menggunakan ilmu gabungan
dengan berbareng. Karena begitu ilmu gabungan menghilang, getah sakti Dewadaru
yang mempunyai sifat menghisap akan berganti menggerumuti tenaga jasmaninya. Demikian
pulalah kali ini. Oleh suatu pengerahan tenaga getah sakti Dewadaru me-loncat
ke luar. Celakanya, Sangaji tiada memiliki tenaga ilmu sakti Kumayan Jati dan
Bayu Sejati lagi karena luka dalam. Dengan sendirinya getah sakti Dewadaru
mencari sasaran hisapan. Yang menjadi korban adalah tenaga asli jasmaniah.
Itulah sebabnya dalam sekejap saja, kedua lengan Sangaji menjadi lumpuh. Kini
seluruh tenaganya habis terkuras jangan lagi menghadapi Bagas Wilatikta.
Melawan seorang kanak-kanak yang baru pandai beringus, tak kuasa lagi ia
berkutik. "Bagaimana?" Bagas Wilatikta menegas. "Apakah kau rasa
aku kurang adil? Lihat!" Dengan sekali gerak, Bagas Wilatikta men-cabut
senjatanya berupa sebatang parang berbentuk seperti arit. Oleh sinar bulan,
sisinya memantulkan suatu cahaya kemilau suatu tanda betapa tajamnya. Sebagai
seorang yang berilmu tinggi, pasti-lah dia mengetahui bahwa Sangaji tiada
bertenaga lagi. Tapi ia berlagak pilon6) dan berlaku seperti seorang tuan tanah
hendak memperlihatkan keadilannya. Kemudian dengan sekali melompat ia lari
memutari mayat Randukintir, Malangyuda dan Panji Pengalasan. Tangannya
memangkas dan tahu-tahu ketiga gundul mayat itu sudah tergunduli polos. Melihat
pertunjukan itu dalam hati Sangaji kagum. Pikirnya, benarlah kata guru Jaga
Saradenta, bahwa di luar gunung masih ada gunung. Di luar langit masih ada
langit. Memangkas rambut dengan berlari-larian kencang, bukanlah suatu
perbuatan mudah. Apalagi di tengah malam hari. Namun tangan-nya seperti
mempunyai mata saja. Hebat! Sungguh-sungguh hebat! Ia menghela napas karena
teringat ilmunya sendiri yang belum diolah masak. Bahkan kini akan menghadapi
kepunahan untuk selama-lamanya. Selagi ia berpikir demikian, sekonyong-konyong
Bagas Wilatikta sudah berdiri di hadapannya. Berkata minta pengakuan,
"Bagus tidak?" Sangaji tak menjawab. "Apakah kau kira
palsu?" katanya lagi menekankan. Kemudian dengan sekali gerak, rambut
Sangaji kena terpangkas kedua sisinya. Gerakannya cepat luar biasa. Tahu-tahu,
rambutnya seperti terpotong rapih. Sehabis memotong rambut, Bagas Wilatikta
tertawa terbahak-bahak sambil memasukkan senjatanya ke dalam sarungnya.
"Puluhan bahkan ratusan nyawa sudah pa-rangku ini menghisap darahnya.
Biasanya, apabila sekali sudah kutarik dari sarungnya harus mengambil nyawa.
Tapi kali ini tidak. Nah, bukankah sudah cukup bidang dadaku ini?" Sangaji
tahu, apa yang dikatakan Bagas Wilatikta bukan suatu obrolan belaka. Tapi ia
memilih sikap diam sambil mengharap-harap terhimpunnya tenaga kembali.
"Baiklah. Aku sudah berkata," kata Bagas Wilatikta memutuskan.
"Kalau aku sampai bisa merampas kedua pusaka Bende Mataram kembali,
hendaklah engkau menyerahkan dengan ikhlas. Kau tak perlu jadi setan untuk
mengejar-ejar aku. Kau tahu sendiri, nilai kedua pusaka ini bukan main besarnya.
Doakan semoga aku dapat memiliki kedua pusaka itu untuk selama-lamanya"--
Ia mendongak ke udara dan tertawa sepuas-puasnya. Dalam malam sunyi kesan-nya
menyeramkan hati. Mendadak saja, ia terus membungkuk dan menyambar batang leher
Sangaji. "Pertahankan! Pertahankan! Aku akan mengantarkan pulangmu dengan
perlahan-lahan. Masakan aku perlu tergesa-gesa?" jeritnya kegirangan penuh
semangat Benar-benar Sangaji bergusar dan terkejut, meskipun hal itu sudah
dapat diduganya. Oleh kodrat alam, secara wajar tata jasmaninya terus berusaha
mempertahankan diri. Kedua lengannya diangkat dan bermaksud membalas dengan
menyekik. Lagi-lagi ia merasa tenaganya tiada. Dalam kesibukannya ia mencoba
merenggutkan diri. Juga kali ini, usahanya sia-sia belaka. Maka akhirnya ia sadar.
Satu-satunya jalan hanyalah menunggu saat ajalnya. Benar-benar aku harus mati,
pikirnya dalam hati. Biarlah aku mati secara ksatria. Keinginan mati secara
ksatria itu, mendadak saja timbul begitu hebat dalam dirinya. Namun tak tahulah
dia, bagaimana cara mati sebagai ksatria. Hendak melawan, tiada bertenaga.
Sebaliknya apabila menyerah belaka alangkah hina... ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 26 PENGEJARAN di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 26 PENGEJARAN"
Post a Comment