BENDE MATARAM JILID 32 MARI PULANG KE JAKARTA
Terhadap
Mayor de Hoop, Sangaji menaruh hormat. Dalam keadaan biasa, ia akan lari
menyongsong dan membungkuk, itulah per-nyataan kesannya semenjak berada di
tangsi kompeni di Jakarta. Tapi kali ini hatinya repot. Di samping Mayor de
Hoop nampak Sonny de Hoop berada di atas punggung Willem. Dan tak jauh di
belakangnya, berdiri Titisari dengan ayahnya pula. Tak tahu ia, apakah harus
menyatakan kegirangan hati atau berduka. Karena itu ia terpaku di atas tumpukan
kubunya. Melihat Sangaji seperti orang kebingungan, Mayor de Hoop tertawa
senang, la mengira, bocah itu tertegun karena rasa terharu. Maka ia berkata
lagi, "Hai Sangaji! Inilah Sonny! Mengapa tak cepat-cepat menyambut?"
Sonny de Hoop nampak cantik pada pagi hari itu. Matanya biru jernih. Hidungnya
mancung. Kulitnya putih bersih. Perawakan tubuhnya tegap padat. Mukanya
berseri-seri karena girang.
Terus
saja berseru penuh perasaan, "Hai!" Sangaji seperti tersihir. Tak
dikehendaki sendiri ia pun membalas, "Hai!" Hanya saja suaranya
terdengar beku. Perlahan-lahan Sangaji turun dari tumpukan batu, Sonny melompat
pula dari punggung Willem dan datang menyambut dengan girang. "Inilah
kudamu. Kuketemukan dia di tengah huma," katanya. Kemudian ia mengisahkan
perlawatannya dari Jakarta sampai usahanya peristiwa pertemuannya pada hari
itu. la datang di Semarang sebulan yang lalu. Kemudian mengikuti ayahnya
beroperasi ke daerah pedalaman. Tatkala berada di Bumi Gede, ia mendengar kabar
tentang Sangaji. Ialah tatkala pangeran itu lagi membicarakan dua pusaka
warisan Bende Mataram dengan pendekar Kebo Bangah. Terus saja ia mencoba
mencari. Tapi usahanya tak berhasil. Namun begitu, hatinya penuh harapan.
Karena willem dapat dibawanya pulang ketangsi. Sony adalah seorang gadis yang
beradat polos. Selagi berbicara, tangannya meng-genggam pergelangan tangan
sangaji. Hatinya girang luar siasa. Karena itu ia berbicara tiada putusnya.
Titisari
mengawasi gerak-gerik dan tingkah laku gadis indo itu dengan hati resah. Ia
paham bahasa Belanda. Karena itu dapat menangkap semua pembicaraannya Adipati
Surengpati heran melihat kesan wajah Titisari. Bertanya, "Titisari!
Siapakah dia? "Dialah istri Sangaji yang belum dinikahi-nya."
Mendengar jawaban Titisari. Adipati Surengpati berjingkrak sampai-asmpai tak
mempercayai pendengarannya sendiri. "Apa?" ia menegas. "Kalau
Ayah ingin minta keterangan lebih jelas, tanyakanlah hal itu kepada
Sangaji!" sahut Titisari perlahan. Jaga Saradenta yang berlumuran darah
mendengar percakapan itu. Ia mengerti Sangaji dalam bahaya. Dia yang mengetahui
riwayat Sangaji dan gadis Indo itu, segera me-nguatkan diri untuk menjelaskan
peristiwa pertunangannya. Ia menjelaskan bahwa Sangaji dijebak pada suatu malam
untuk menerima pengumuman pertunangannya. Semenjak semula, Adipati Surengpati
tak begitu cocok dengan Sangaji. Kalau akhirnya menyetujui, sebenarnya saking
terpaksa kare-na tiada alasan lagi. Sekarang ia mendengar persoalan baru.
Hatinya menjadi tak puas. la adalah seorang Adipati berbareng seorang ningrat.
Dan Titisari merupakan putri satu-satunya. Baginya bagaikan sebuah mustika yang
tiada taranya didunia ini. Masakan ia akan membiarkan putrinya menjadi istri
kedua? "Titisari!" Lantas saja ia berkata kepada putrinya. Suaranya
keras menyeramkan. "Ayahmu hendak melakukan sesuatu, tetapi hendaklah kau
jangan menghalang-halangi." Gadis itu terkejut, la kena lagak-lagu
ayah-nya. Menyahut, "Ayah hendak melakukan apa?" "Bocah busuk
itu, biarlah kubunuhnya berbareng dengan perempuan itu." Titisari kaget
sampai melompat menyambar tangan ayahnya. Katanya gugup, "Ayah! Jangan!
Sangaji berkata, bahwa ia benar-benar mencintai daku." ADIPATI SURENGPATI
MENGHELA NAPAS, la membiarkan tangannya kena sambar gadis-nya. Kemudian
membentak dahsyat kepada Sangaji. "Hai bocah tolol! Kau bunuhlah perempuan
itu sebagai bukti bahwa engkau cinta pada Titisari!" Sangaji berdiri
tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia menghadapi persoalan sesulit ini.
Dasar otaknya kurang cerdas dan berwatak polos, ia jadi ayal dalam mengambil
keputusan. "Kau ternyata sudah bertunangan. Mengapa engkau melamar
anakku?" tegur Adipati Surengpati bengis. "Apakah arti perbuatanmu
ini?" Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan
Tirtomoyo dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi terkesiap mendengar suara Adipati
Surengpati yang seram luar biasa. Dengan serentak mereka bersiaga. Mereka
melihat muka Adipati Su-rengpati merah padam. Tangannya bergetar. Itulah suatu
alamat bahwa sewaktu-waktu ia bisa melakukan sesuatu di luar dugaan. Sangaji
sekarang, bukanlah Sangaji yang dahulu. Walauppun begitu, belum tentu dia
berani menangkis apabila diserang Adipati Surengpati. Sebab betapapun juga,
orang tua itu adalah ayah Titisari. "Aku berharap... selama hidupku takkan
terpisah dari Titisari," katanya dengan jujur. "Dalam hatiku, hanya ada
satu Titisari. Karena itu... aku tak rela Titisari menjadi milik orang
lain." Selama hidupnya, tak pernah Sangaji berdusta.
Karena
itu tak peduli ia berada di tengah-tengah lubang buaya, la menyatakan perasaan
hatinya dengan setulus-tulusnya. Untung, ia berbicara dalam bahasa Jawa. Dengan
demikian, Mayor de Hoop dan Sonny tak mengerti langsung apa yang sedang
dibicarakan. "Baik," sahut Adipati Surengpati. Tekanan suaranya
tidaklah sekeras tadi. "Sekarang begini saja. Tak apa kau tak mau membunuh
perempuan itu. Tetapi semenjak hari ini, kau kularang bertemu dengan dia."
Sangaji terdiam. Pikirnya bekerja, la teringat ibunya yang berada di Jakarta.
Ibunya berada dalam lindungan Mayor de Hoop, Mayor Willem Erbefeld dan seluruh
kompeni. Sebentar atau lama ia pasti pulang ke Jakarta. "Bukankah engkau
pasti akan berjumpa dan bertemu dengan puteri itu?" kata Titisari yang
dapat menebak jalan pikirannya dengan jitu. "Sebentar atau lama aku pasti
pulang ke Jakarta. Aku takkan membiarkan Ibu me-nunggu-nunggu aku seorang diri.
Dan pada saat itu, masakan aku takkan bertemu dengan Sonny? Dialah tunanganku,
karena aku telah dipertunangkan," sahut Sangaji. "Tapi... Sonny tak
lebih dan tak kurang, kuanggap sebagai temanku bermain. Katakanlah... dia
seumpama adikku. Masakan aku tak boleh bertemu dengan seorang adik?
Setidak-tidaknya, setiap kali aku pasti masih teringat padanya..."
Mendengar keterangan Sangaji, Titisari tertawa. Katanya. "Kau benar-benar
tolol! Tapi justru karena kau tolol itulah aku cinta padamu. Baiklah! Kau boleh
melihat siapa saja. Kau boleh bertemu dengan siapa saja. Aku tak peduli,
asalkan dalam hatimu hanya ada aku seorang." "Tentu." Sangaji
gap-gap. "Baik, begini saja," Adipati Surengpati menengahi.
"Ayah gadis itu berada di sini. Juga gurumu dan sekalian paman-pamanmu.
Sekarang berkatalah keras di hadapan mere-ka, bahwa wanita yang bakal menjadi
istrimu hanyalah Titisari seorang!" Siapa yang tahu kedudukan Adipati
Surengpati menginsyafi, bahwa pendekar sakti yang angkuh luar biasa itu sudah
mau mengalah. Sikapnya lunak dan menarik.
Terang
sekali, pendekar itu berperang hebat melawan kebiasaannya sendiri. Ini semua
demi kebahagiaan puterinya seorang. Sebaliknya, Sangaji jadi
berbimbang-bim-bang. Ia menundukkan kepala, memeras otak. Tiba-tiba ia melihat
pusaka Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram terselip di ping-gang Titisari.
Lantas saja ia teringat kepada Sanjaya. Pikirnya, kalau aku pulang pasti Ibu
akan menanyakan keluarga Paman Wayan Suage. Dan apabila ibu mendengar keadaan
putera Paman Wayan Suage, pasti Ibu akan bersedih hati. Terlebih-lebih apabila
aku membawa keris itu pulang. Sebab bukankah menurut Ki Hajar Karangpandan
adalah hak Sanjaya? Benar, akhirnya Ki Hajar Karangpandang menarik
pernyataannya. Tetapi Ibu takkan gampang kubuat mengerti. Bila akhirnya mendengarkan
tutur kataku, pasti aku harus menjelaskan sebab-musababnya. Paman Wayan
Suagelah yang menyerahkan keris itu sebagai warisannya kepadaku. Lantas...
bagaimana dengan pesan terakhir Paman Wayan Suage tentang Nuraini? Akupun telah
menyanggupi untuk mengambilnya sebagai isteri, tatkala beliau hendak mangkat.
Hm... semuanya ini akan membuat Ibu sedih. Kemudian aku kemukakan pula tentang
Titisari. Dengan demikian, bukankah sekaligus aku memutuskan dua perjanjian
berturut-turut? Pertama kali Sonny. Kemudian Nuraini. Lantas di manakah hargaku
kini? Dengan Sonny, aku telah berjanji. Dan disaksikan Ibu, guru dan orang tua
Sonny. Dengan Nuraini, aku menyatakan janji pula di hadapan Paman Wayan Suage,
Ki Hajar Karangpandan dan guru. Kalau aku sekarang menyatakan pilihanku
terhadap Titisari... bukankah hanya menuruti keinginanku sendiri? Tatkala aku
disyahkan sebagai calon suami Titisari, saksiku hanyalah Paman Gagak Seta. Dia
bukan orang tuaku. Juga bukan guruku yang syah.... Setelah memikir pulang
balik, dengan me-nguatkan hati ia mengambil keputusan. Terus saja ia mengangkat
kepala. Dalam pada itu, Mayor de Hoop telah minta keterangan dari seorang
penterjemahnya ten-tang pembicaraan antara Sangaji dan Adipati Surengpati.
Begitu mendengar persoalannya ia menjadi masgul. Hatinya tak puas bercampur
gusar. Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji mencintai seorang gadis lain.
Ini adalah suatu penghinaan besar baginya.
Pada
zaman itu adalah tabu seorang Belanda hendak mengambil menantu seorang
bumiputera. Ia kena cela derajat bangsanya. Bahkan pada zaman Untung Surapati,
ia bisa dikenakan hukuman mati. Tetapi norma-norma itu, tidaklah dihiraukan.
Ternyata keputusannya yang dahulu mengejutkan kaumnya, kini menghantam
kehormatan dirinya. Karuan saja ia tak tahan. Gerutunya dalam hati, "Dasar
seorang bumiputera. la tak tahu kunaikkan derajatnya. Jangankan menyatakan
terima kasih, kini bahkan meludaiku... Keparat!" Kemudian membentak hebat.
"Sangaji! Pernahkah aku bersalah terhadapmu? Tatkala aku menawarkan
pertunanganmu dengan Sonny, bukankah mulutmu sendiri yang menyatakan setuju?
Engkau adalah seorang laki-laki. Kau boleh malang-melintang ke seluruh penjuru
dunia. Tapi kehormatanmu sendiri, di manakah letaknya? Bukankah kehormatan
seorang laki-laki ada pada ucapannya? Kau boleh gagah. Boleh perwira. Boleh
perkasa. Tapi laki-laki yang tiada dapat dipegang suara mulutnya, tidaklah ada
harganya." la berhenti mengesankan. Napasnya tersengal-sengal, karena hawa
amarahnya naik sampai ke leher. Meledak lagi, "Karena keberanianmu dan
kejujuranmu, engkau menarik perhatian Gubernur Jendral—tatkala engkau menolong
nyawa Willem Erbefeld. Jasa ini sangat besar, sehingga Gubernur Jendral
menghargaimu. Akupun ikut menghargaimu pula. Bukan hanya di mulut saja. Tapi
kubuktikan dengan menyerahkan puteriku. Kemudian... kau berpamit satu tahun
lamanya karena hendak menunaikan tugas mulia untuk menuntut dendam kematian
ayahmu. Kupegang kepercayaanku kepadamu. Karena kau... kami kena! sebagai
seorang pemuda yang tahu memegang janji. Tapi ternyata aku kau kentuti! Kau
hina! Kau ludahi! Hm... baiklah. Ibumu berada dalam lingkungan kami. Tapi tak
usahlah kau khawatir.
Aku
akan memerintahkan beberapa orang mengantarkan ibumu pulang ke kampung
halamannya dengan selamat, sebagai balas jasa kami bangsa Belanda terhadap
keberanianmu melindungi Willem Erbefeld. Inilah kata-kataku. Kata-kata seorang
laki-laki. Dan kata-katanya seorang laki-laki seumpama gunung tegak meraba
permukaan udara. Tapi... semenjak itu, putuslah hubungan kita. Antara aku dan
engkau tiada lagi perhitungan balas budi. Usahakanlah, agar engkau tak bertemu
dengan aku. Kalau pada suatu kali sampai bertemu, jangan sesalkan aku. Karena
aku akan menembakmu sebagai seorang laki-laki pengembara yang tiada mempunyai
harga untuk dihormati." Sehabis berkata demikian, ia mengisi pistol-nya.
Kemudian ditembakkan ke udara tiga kali berturut-turut sebagai pernyataan
sumpah. Hati Sangaji seperti tersayat-sayat. Bukan ia takut bermusuhan dengan
bangsa Belanda. Tapi di sini terjadi persoalan tentang kehor-matan seorang
laki-laki. Dan sekaligus me-nyangkut kehormatan bangsanya. Berkatalah dia di
dalam hati: Kata-katanya sedikitpun tak salah. Ucapan seorang laki-laki
harganya se-tinggi gunung. Kalau aku semuda ini sudah kehilangan kepercayaan
orang, bukankah hidupku tak ubah selembar daun kering yang tiada harganya sama
sekali? Tatkala aku dipertunangkan dengan Sonny, bukankah aku tak menolak?
Meskipun hatiku berbicara lain. Karena itu betapapun juga aku harus berani
memikul akibatnya. Seorang laki-laki boleh hancur-lebur, tapi jangan sampai
kehilangan harga diri. Biarlah Adipati Surengpati membunuhku. Biarlah Titisari
membenci daku seumur hidup atau mengutuki tulang belulangku dalam liang kubur.
Aku tak dapat berbuat lain, kecuali menetapi janji... Setelah mengambil
keputusan demikian, ia menghadap Adipati Surengpati. Kemudian berkata nyaring,
"Adipati Surengpati, guru, paman-pamanku, Paman Hajar Karangpan-dan, Aki
Panembahan Tirtomoyo dan Aki Tunjungbiru dan Mayor de Hoop, Sonny dan sekalian
yang hadir di sini. Aku Sangaji. Meskipun aku anak seorang janda miskin dan
ayahku mati tak ketentuan liang kuburnya, tapi aku adalah laki-laki yang harus
mempu-nyai harga diri. Tak dapat aku mengorbankan kepercayaan orang terhadapku.
Karena itu betapapun akibatnya aku tetap akan kawin dengan Sonny de Hoop.
Inilah pernyataanku." Sangaji berbicara dalam dua bahasa. Yang pertama
kali bahasa Jawa. Kemudian diter-jemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Dengan
demikian kedua belah pihak mengerti dengan terang. Keruan saja. Mayor de Hoop
dan Sonny girang setengah mati. Sebaliknya, Adipati Surengpati, Titisari, Ki
Hajar Karang-pandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjung-biru, Jaga Saradenta dan
murid-murid Kyai Kasan Kesambi tercengang-cengang. Ki Hajar Karangpandan, Ki
Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan sekalian murid-murid Kyai
Kasan Kesambi akhirnya memuji keputusan itu dengan diam-diam. Inilah ucapan dan
keputusan seorang ksatria sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadinya
demi menjunjung derajat kaumnya dan bangsanya. Tapi tidaklah demikian halnya
dengan Adipati Surengpati. Semenjak dahulu ia dijuluki sebagai siluman Karimun
Jawa. Karena dia adalah seorang pendekar yang tak menghiraukan sama sekali tata
pergaulan manusia. Ia merasa muak mendengar semboyan-semboyan kosong yang tiada
harganya bagi sejarah kemanusiaan. Apakah itu harga diri. Apakah itu kehormatan
laki-laki. Apakah itu ksatria sejati segala. Mendadak saja ia memperdengarkan
suatu nada tertawa panjang yang menggeridikkan bulu roma. Tittisari kaget
mendengar tertawa ayahnya. Itulah suatu tanda, bahwa ayahnya murka tak
terkendalikan lagi. Tapi berbareng itu, ia berduka juga sehingga ia berdiri
terlongong-Iongong. Gadis yang berontak cerdas luar biasa itu, mendadak saja
kehilangan akal. Tetapi hal itu bukanlah berarti bahwa ia tak tahu menempatkan
diri. Dengan tenang ia melangkah maju beberapa langkah menghampiri Sonny. la
mengamat-amati perawakan puteri itu yang tegap berwibawa. Akhirnya menghela
napas panjang. Pikirnya, patutlah Aji menjadi suami-nya. Inilah suatu pilihan
tepat. Terus ia berkata kepada Sangaji, "Aji! Aku paham apa sebab engkau
menyatakan keputusan itu. Kau bergaul dengan dia lebih lama daripadaku. Kau
dibesarkan pula dalam kalangannya. Sudah selayaknya engkau memilih dia sebagai
sisihanmu.
Sebaliknya
aku... aku adalah anak seorang siluman yang tiada beribu lagi. Tak
berpendidikan. Tak bermartabat. Tak berdera-jat, dan liar. Sudah selayaknya
pula engkau melupakan aku sebagai impian buruk... Bukan main terharunya hati
Sangaji. Ia maju menghampiri dan memegang tangannya erat-erat. Kata pemuda itu,
"Titisari! Tak-tahulah aku apakah keputusanku itu tadi tepat atau tidak.
Cuma saja, di dalam hatiku terisi seorang saja yang kucintai dengan segenap
hatiku. Itulah engkau. Meskipun nasibku kelak mulia atau buruk, aku tetap
mencintaimu." Mendengar ucapan Sangaji, air mata Titisari menggelinang
memenuhi kelopak matanya. Katanya berbisik, "Tapi mengapa kau hendak
mengawini dia?" "Titisari! Aku memang seorang tolol. Segalanya tak
kumengerti sendiri. Di depanku seolah-olah sudah disediakan jalan panjang
bagiku yang harus kutempuh. Aku hanya tahu, bahwa seorang laki-laki harus dapat
memegang teguh janjinya. Aku hanya tahu, bahwa aku tak boleh berdusta. Aku
harus berani menanggung akibatnya. Karena itu tak peduli bagaimana aku harus
mengambil keputusan demikian. Hanya dalam hatiku... terisilah engkau seorang.
Sungguh! Aku tak berdusta." Titisari jadi bingung. Ia girang tetapi
berbareng susah hati pula. Akhirnya ia tertawa panjang sambil berkata, "Aji
tahulah aku kini. Kalau hari ini kita masih mengeram dalam benteng, bukankah
engkau takkan mengalami peristiwa ini?" "Itulah gampang!"
tiba-tiba Adipati Su-rengpati berkata. Alisnya dinaikkan dan tiba-tiba
tangannya mengibas ke arah Sony de Hoop. Tadi Titisari telah mendengar nada
tertawa ayahnya, la terkesiap. Dan tahulah dia, bahwa ayahnya akan mengambil
suatu tindakan yang tak terduga-duga. Maka begitu mendengar ayahnya berkata
memutuskan, cepat ia mendahului, la menyambar pergelangan tangan Sonny dan ditariknya
turun. Adipati Surengpati takut akan mencelakai puterinya. Dengan sendirinya ia
memperlam-bat gerakannya. Sesudah Titisari menarik Sonny turun dari punggung
kuda, barulah pukulannya dilepaskan sebebas-bebasnya. Mula-mula seperti tiada
terjadi sesuatu. Mendadak saja kuda Sonny menundukkan kepalanya. Keempat
kakinya lemas tiada tenaga. Lalu berguling ke tanah. Dan pada saat itu juga,
nyawanya melayang. Kuda Sonny adalah kuda pilihan. Pera-wakannya besar dan kuat
seperti Willem yang selalu dibawanya pergi semenjak kemarin lusa. Tapi dengan
sekali hajar, mampuslah dia. Karuan saja yang menyaksikan kaget bukan main.
Kalau kibasan tangan tadi me-ngenai Sonny, tidakkah gadis Indo itu akan
ringsek?
Sebaliknya
Adipati Surengpati tercengang-cengang menghadapi kejadian demikian. Sama sekali
tak diduganya, bahwa Titisari akan menolong gadis saingannya itu. Tetapi dia
seorang pendekar berpengalaman lagi cerdik. Sebentar saja tahulah dia menebak
kehendak puterinya. Kalau kibasannya tadi mengenai Sonny, pastilah Sangaji akan
marah, la tak takut menghadapi Sangaji meskipun telah mempunyai ilmu sakti
tiada tara. Tetapi akibat dari itu, Titisari akan dimusuhinya. Hubungan mereka
berdua akan jadi renggang. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi berpikir
keras. Tak dikehendakinya sendiri, ia mengamat-amati paras muka puterinya.
Titisari nampak lesu dan berduka. Kesan muka demikian, mengingatkan dia kepada
almarhum isterinya sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan
dialah ibu Titisari yang sangat dicintai. Setelah dikubur, ia hampir-hampir
menjadi gila. Meskipun kini sudah lewat lima belas tahun, masih saja wajah
almarhum isterinya berkelebat dalam benaknya. Sekarang ia melihat wajah itu
kembali pada paras muka puterinya. Maka tahulah dia, bahwa gadisnya itu amat
mencintai Sangaji. Tak terasa ia menarik napas panjang sekali. "Titisari,
anakku... mari kita pulang...!" la berkata perlahan penuh haru. "Kita
menyekap diri di tengah Lautan Jawa. Di antara pepohonan dari batu-batu
kepulauan Karimun Jawa. Selanjutnya kita singkiri dan kita lenyapkan bayangan
bocah itu dari benak kita. Bukankah kita akan bisa hidup lebih tenteram?"
"Tidak Ayah," sahut Titisari sambil mengge-lengkan kepala.
"Biarlah aku pergi mengikuti dia barang satu dua tahun.
Tenagaku
masih dibutuhkannya untuk memecahkan teka-teki guratan Bende Mataram. Kalau aku
begitu saja meninggalkannya, bukankah teka-teki itu takkan dapat
dipecahkan?" Adipati Surengpati tersenyum. Katanya ter-cengang.
"Terpecahkan atau tidak, apakah pentingnya buat kita?" "Aku
telah berdoa dan berjanji kepada Pangeran Semono akan menyertai sampai ia
membuktikan sumpahnya hendak berbuat kebajikan kepada sesama umatnya dengan
bekal ilmu warisannya..." Adipati Surengpati tertegun. Ia diam menim
bang-nimbang. Akhirnya berkata, "Baiklah. Kau sudah berjanji. Karena itu
puteri Adipati Surengpati, wajiblah engkau membuktikan. Di kemudian hari
apabila sudah terlaksana, bukankah kau akan pulang ke rumah?" "Tentu,
Ayah." "... dan apakah engkau masih memikirkan bocah itu?"
Titisari mengerling kepada Sangaji. Pemuda itu nampak lesu. Paras mukanya
muram, suatu tanda bahwa hatinya berduka. Maka ia berkata nyaring. "...
Ayah! Kuakui, aku cinta padanya. Tetapi ia mengawini gadis lain. Karena itu,
akupun akan kawin dengan pemu-da lain pula. Katanya... dalam hatinya hanya ada
aku. Akupun demikian. Meskipun kawin dengan pemuda lain, dalam hatiku hanya ada
dia." "Bagus!" Adipati Surengpati tertawa. "Tetapi kalau
suamimu kelak melarangmu bertemu dengan dia, apakah yang hendak kau laku-kan?"
"Siapa yang berani melarang aku? Aku kan puteri Adipati Surengpati?"
sahut Titisari cepat. "Ah, anak tolol! Ayahmu bukan hidup untuk
selama-lamanya. Beberapa tahun lagi, mung-kin ayahmu akan menyusul ibumu di
alam baka..." "Tetapi... apabila aku menghadapi kenyataan hidup
begini pahit, masakan aku betah hidup lama-lama di dunia? Aku pun akan menyusul
ayah-bunda secepat mungkin." Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta
yang terkenal berwatak angin-anginan dan senang membawa adatnya yang
edan-edanan. Tapi begitu mendengar percakapan antara Adipati Surengpati dan
Titisari, ia jadi tertegun keheran-heranan. Tak terasa bulu kuduknya meremang.
Maklumlah pada zaman itu tata-susila pergaulan sangatlah keras. Barangsiapa
berani berbuat zinah, akan memperoleh hukuman seberat-beratnya. Tetapi ayah dan
anak itu alangkah enaknya membicarakan hal itu. Tata-tertib hukum seolah-olah
tiada harganya dan tak dihiraukan sama sekali. Mereka berdua seolah-olah
merdeka berbuat sekehendaknya sendiri. Adipati Surengpati memang terkenal seba-gai
seorang pendekar aneh. Karena itu, ia dijuluki siluman Karimun Jawa.
Gerak-geriknya liar dan di luar dugaan orang. Apa yang dilakukan, seringkali
bertentangan dengan tata tertib pergaulan manusia. Meskipun demikian, ia
seorang pelajar. Pengetahuannya luas dan ilmunya sangat tinggi. Titisari adalah
satu-satunya anak gadisnya. Semenjak kanak-kanak diasuh oleh ayahnya sendiri.
Itulah sebabnya, tak mengherankan bahwa ia benar-benar mewarisi watak dan
pandangan hidup ayah-nya pula. Orang boleh bersuami atau beristeri. Tetapi
perkawinan itu bukanlah berarti peng-ucapan cinta sebenarnya. Karena itu, dia
beranggapan bahwa seorang isteri atau suami boleh bertemu dengan kekasihnya
yang sebe-narnya di luar rumah pada sembarang waktu. Sangaji sebaliknya, adalah
seorang pemuda yang lurus hati, sederhana, jujur dan mulia hati. Mendengar
percakapan mereka, ia jadi berduka bukan main. Ingin ia hendak membe-sarkan
hati Titisari. Tetapi apakah yang hen-dak dikatakan? Tak dikehendaki sendiri,
ia bungkam tak berkutik. Dalam pada itu Adipati Surengpati meng-amat-amati
gadisnya. Kemudian kepada Sa-ngaji. Sekonyong-konyong ia tertawa men-dongak
memenuhi angkasa. Suara tertawanya bergelora dan menggetarkan bumi.
Burung-burung yang sedang hinggap di pepohonan, terkejut sampai berterbangan
tanpa tujuan. "Hai burung!" kata Adipati Surengpati nyaring.
"Pagi ini ada jembatan putus. Apa sebab tak kalian kabarkan kepada semesta
alam?" Adipati Surengpati sedang mendongkol berbareng sakit hati. Cepat ia
menjumput segenggam kerikil. Kemudian disambitkan ke angkasa. Dan burung-burung
yang tak menyadari datangnya bahaya, mati runtuh ke tanah seperti daun kering
tersapu angin. Tentara Belanda yang selama itu hanya meng-andalkan perlengkapan
senapannya, tertegun keheran-heranan menyaksikan tontonan de-mikian. Tatkala
mereka menoleh ke arah Adipati Surengpati, siluman dari Karimunjawa itu sudah
berjalan meninggalkan gelanggang tanpa menoleh. Dan sebentar saja, tubuhnya
hilang di balik gundukan tanah ... Mayor de Hoop dan Sony de Hoop tak dapat mengikuti
pembicaraan itu. Tetapi begitu meli-hat perginya Adipati Surengpati, dapatlah
mereka menebak sebagian. Itulah suatu tanda, bahwa Adipati Surengpati
mendongkol karena kecewa hati.
Dengan
sendirinya, mereka mengerti Sangaji benar-benar menepati janji. Karena itu
diam-diam mereka bersyukur dalam hati. Dengan serentak, Mayor de Hoop melompat
dari kudanya. Lantas menghampiri Sangaji sambil membawa pelangi ibunya. Itulah
pe-langi ibunya yang dahulu diberikan kepada Mayor de Hoop sebagai suatu tanda
ikatan keluarga. "Sangaji!" kata Mayor de Hoop. "Apakah engkau
telah berhasil menuntutkan dendam almarhum ayahmu?" Mendengar pertanyaan
itu, Sangaji seperti tersadar. Dengan sendirinya ia menoleh ke arah gelanggang.
Ia jadi keheran-heranan, karena Pangeran Bumi Gede dan seluruh pasukannya tiada
nampak lagi kecuali mereka yang mati atau terluka berat. Rupanya, tatkala para
kompeni sibuk merumun Sangaji, ia meninggalkan gelanggang pertempuran de-ngan
diam-diam. Sesungguhnya demikianlah halnya. Sebagai seorang serba cerdik,
dengan cepat Pangeran Bumi Gede dapat menebak apa yang sedang terjadi. Tadinya,
ia mengharap akan memper-oleh bantuan kompeni dan kesaktian pendekar Kebo
Bangah. Ternyata dua-duanya tak dapat diandalkan. Pendekar Kebo Bangah hilang
tiada kabarnya. Sedangkan kompeni tiba-tiba saja begitu bersikap mesraP
terhadap Sangaji. Teringat riwayat hidup Sangaji, lantas saja ia bisa menduga
delapan bagian. Maka sebelum terlanjur, cepat-cepat ia memerintahkan para
panglimanya agar meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diam-diam.
"Sangaji!" kata Sonny de Hoop. "Tatkala kami berangkat ke mari,
ibumu berpesan agar engkau lekas pulang." Pada waktu itu, hati Sangaji
masih pepat. Mendengar suara Sonny, ia mengangguk de-ngan kepala kosong. Kemudian
berkata, "Kau pulang dahulu bukan? Nah, katakan kepada Ibu bahwa aku belum
berhasil menuntut balas. Tapi... tahun ini, aku pasti pulang. Kau mau
menyampaikan pesanku ini, bukan?" Mayor de Hoop dan Sonny senang
men-dengar ucapan Sangaji. Mereka lantas saja mengucapkan selamat berpisah. Dan
dengan memberi aba-aba pendek, mereka mening-galkan gelanggang pertempuran
bersama pasukannya. Titisari mengikuti mereka dengan pandang matanya yang
suram. Sangajipun seolah-olah terpaku pula di atas tanah. Mukanya penuh
dukacita tak terkatakan. Maka ia berkata per-lahan, "Aji! Pergilah kau!
Sama sekali aku tak menyesalimu..." "Titisari!" sahut Sangaji
terkejut. "Selama pertempuran tadi, aku tak melihat Kebo Bangah. Pendekar
bandotan itu belum kukalahkan, tetapi apa sebab meninggalkan gelanggang dengan
tiba-tiba? Kecuali itu, Pangeran Bumi Gede pun menghilang sewaktu aku lagi
terbenam dalam persoalan ini. Pastilah mereka mempunyai cara kerja sendiri
untuk mencapai angan-angannya... Di antara kita, hanya aku dan engkau saja yang
paham tentang rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Karena itu,
seyogyanya engkau janganlah berjalan seorang diri..." "Apakah engkau
hendak mengajak aku ke Jakarta?" potong Titisari berduka. Gadis itu
menggelengkan kepala dan meruntuhkan pandang ke tanah. Dan Sangaji jadi perasa.
Hatinya terharu bukan main. Ingin ia mengu-capkan sesuatu untuk membesarkan
hati kekasihnya, namun tak kuasa ia mencetak kata-kata. "Pergilah engkau
seorang diri menepati jan-jimu," kata Titisari setengah berbisik. "Aku
bisa membawa diri." Kemudian ia meletakkan pusaka sakti Benda Mataram ke
tanah. Keris Kyai Tunggulmanik yang terselip di ping-gangnya lantas pula
ditinggalkan dan disisip-kan ke pinggang Sangaji. la mengeluarkan pula
serenceng uang dan hiasan dada. Berkata, "Pusaka ini adalah pusaka
warisan-mu. Aku tak berhak membawa-bawa pergi. Dan ini adalah sisa uang
perjalananmu. Aku sendiri tak dapat memberi sesuatu, kecuali hiasan dada ini.
Dahulu kuterima dari almarhum ibuku. Kini kuberikan kepadamu, agar
engkau-engkau..." ia tak kuasa menyele-saikan ucapannya. Hatinya penuh
kubangan rasa sedan. Terus saja ia menggenggamkan benda mustikanya ke tangan
Sangaji. "Titisari! Kau seolah-olah hendak meng-ucapkan selamat berpisah
untuk selama-la-manya!" kata Sangaji dengan suara mengge-letar. Gadis itu
tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan air mata berlinang, ia mencoba me-nguatkan
hati. Berkata mengelak, "Tak mem-punyai lagi aku benda yang lebih berharga
daripada ini. Kalau saja engkau tak me-nyia-nyiakannya, sudahlah senang hatiku..."
Dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu memutar tubuhnya. Perlahan-lahan ia
meninggalkan kubu pertahanan dan tak lama kemudian hilanglah bayangannya di
balik gunduk sana. (Bersambung) ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 32 MARI PULANG KE JAKARTA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 32 MARI PULANG KE JAKARTA"
Post a Comment