BENDE MATARAM JILID 31 ILMU SAKTI TIADA TANDINGNYA
Selama
hidupnya entah
sudah berapa kali Pringgasakti melakukan kejahatan terkutuk. Tetapi pada babak
terakhir masa hidupnya, ia sadar akan kesesatannya. Karena itu, betapa girang
hatinya mendengar keputusan gurunya, tidaklah dapat digambarkan lagi. Dengan
rasa haru meluap-luap, ia merangkak dan memaksa diri menciumi kaki Adipati
Surengpati. Kemudian berdiri tertatih-tatih dan membungkuk bersembah. Pada saat
itu tenaganya punah. Ia jatuh terguling di tanah dan napasnya terbang entah ke
mana. Semua yang menyaksikan peristiwa itu tertegun-tegun. Pelbagai perasaan
merumun dalam perbendaharaan hati. Hebat semua yang telah terjadi itu. Mengagetkan
dan mengharukan. Jaga Saradenta yang senang membawa adatnya sendiri,
sekonyong-konyong menghampiri dan membungkuk hormat kepada jenazah
Pringgasakti.
Berkata
setengah parau, "Angkatan kami menyebutmu sebagai iblis. Ratusan bahkan
ribuan nyawa telah kaubinasakan. Tunanganku dahulu mati pula kau hisap
darahnya. Karena itu aku berdendam kepadamu. Dalam dunia ini, tak sudi aku
hidup bersamamu. Tapi pada detik kepergianmu, engkau tahu berkorban. Hebat
sungguh artinya sampai semua lakumu yang jahat jadi samar-samar. Baiklah—dengan
ini kuhapuskan semua dendam. Pergilah dengan tenteram!" Ki Hajar
Karangpandan emoh ketinggalan pula. Katanya, "Denganmu aku tak pernah
bermusuhan. Tapi kau menculik muridku. Inilah namanya suatu penghinaan semena-mena.
Karena kau tahu berkorban, semua kesalahanmu dapat kumaafkan. Kalau kau tak
sudi menerima, baiklah kita tarung tiap malam dalam mimpi. Bikinlah aku si tua
bangka ini mengigau setiap malam." Ki Hajar Karangpandan memang seorang
pendeta edan-edanan dan beradat angin-anginan. Kalau ia lagi mendongkol, dalam
kesungguhannya terselip suatu ucapan menggelikan yang tak disadari sendiri.
Seperti diketahui, di depan rekan-rekannya ia membawa sikap seorang pendeta
besar mengampuni Sanjaya dengan catatan agar memangkas kepala Pangeran Bumi
Gede. Tak tahunya, pemuda itu malah membawa suatu malapetaka, la mengadu kepada
Pringgasakti. Dan terjadilah pertempuran itu. "Murid pilihanmu memang
bagus!" kata Panembahan Tirtomoyo menyesali.
Meskipun
demikian, orang tua itu membantu kesukaran adik seperguruannya menghadapi iblis
Pringgasakti. Ki Tunjungbiru adalah seorang ksatria besar. Ia tak peduli karena
tiada mempunyai permusuhan dengan Pringgasakti, ia berkelahi dengan
sungguh-sungguh, sebagai suatu elan perjuangan melawan semua bentuk kejahatan.
Karena itu begitu melihat cara mati Pringgasakti hatinya jadi bimbang. Sama
sekali tak pernah diduganya, bahwa seorang iblis sejahat Pringgasakti sudi
mengorbankan nyawa untuk seorang gadis belaka. Itulah sebabnya pula, setelah
tertegun-tegun sejenak tanpa ragu-ragu terus membungkuk hormat dengan berdiam
diri. la menganggap iblis itu sebagai seorang ksatria juga. Menyaksikan sikap
mereka, hati Adipati Surengpati agak terhibur. Meskipun dia seorang pendekar
yang tak memedulikan tata pergaulan manusia, namun berkepala besar. Kehormatan
diri berada di atas segalagalanya. Katanya dalam hati, "Mereka tahu
menghormati muridku. Karena itu tak perlu aku mewakili dia menghajar
mereka." Perlahan-lahan ia meninggalkan jenazah Pringgasakti untuk
menghampiri puteri kesa-yangannya. Terus saja ia berbicara tak berkeputusan.
Sangaji pun tak terkecuali. Paman-pamannya, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan
Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru merumuni dan menghujani berbagai pertanyaan. Untuk
melayani mereka, dia duduk di atas gundukan tanah. Sayang ia tak pandai
berbicara. Sekali pun demikian riwayat perjalanannya menarik perhatian mereka.
Terlebih-lebih mengenai petualangan Bagas Wila-tikta dan kawan-kawannya, obat
pemunah racun dan rahasia guratan keris pusaka Kyai Tunggulmanik. Waktu itu,
rembulan muncul remang-remang di atas langit. Seluruh persada bumi menceritakan
pengalamannya masing-masing. Di sana, tubuh Pringgasakti terbaring tiada teman.
Di sudut lain Sangaji berkerumun dengan sekalian paman-paman dan orang- orang
tua yang dihormatinya. Sedangkan Adipati Su-rengpati berjalan perlahan-lahan di
samping puterinya bagaikan dua dara bertemu di petamanan indah jauh dari
kesibukan manusia. Tak terasa malam telah merangkak memasuki fajar hari. Mereka
masih saja sibuk berbicara dan berbicara. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi dalam
pada itu telah menerima obat pemunah racun dan penyambung tulang. Hati mereka
jadi ringan. Karena itu, rasanya mereka sanggup berbicara satu tahun penuh.
Sedangkan Ki Tunjungbiru dengan tekun mendengarkan ceramah Sangaji tentang
sebab musababnya persatuannya ilmu sakti Bayu Sejati—Kumayan Jati dan getah
Dewadaru. Maklumlah, dia mempunyai kepentingan dalam hal itu. Dalam dirinya
mengalir ilmu sakti Bayu Sejati yang dahulu diwariskan kepada pemuda itu.
Selagi mereka tenggelam dalam kepenting-annya masing-masing sekonyong-konyong
bulan hilang dari penglihatan. Awan tebal datang berarak-arak. Agaknya hujan
besar bakal tiba. Kemudian terdengarlah suara berisik. Di kejauhan muncul
ratusan obor yang menyala dengan tiba-tiba dan dengan serentak pula. Terang
sekali, nyala itu terjadi oleh suatu aba-aba. Melihat pemandangan itu, Adipati
Su-rengpati memperdengarkan suara tertawanya yang menggeridikkan bulu tengkuk.
Dingin beku penuh ancaman. Tahulah Titisari, bahwa ayahnya telah mencium suatu
kejadian yang kurang beres.- Cepat ia mendaki gundukan tinggi dan segera
menebarkan matanya. Betapa herannya, ia melihat barisan kuda datang
berarak-arak mengepung tempatnya berada. Selagi demikian, sesosok bayangan lari
cepat memasuki lapangan sambil berteriak-teriak. Dialah Surapati murid Ki Hajar
Karangpandan. Dengan nyaring ia berseru, "Guru! Kita kena kepung! Lekas
lari!" "Hm. Mengapa lari?" desis Ki Hajar Karang-pandan.
"Kompeni Belanda dengan laskar Pangeran Bumi Gede!" sahut Surapati
gugup. "Pendekar Kebo Bangah datang. Dia membicarakan tentang pusaka Kyai
Tunggulmanik. Kemudian dengan dalih menggempur laskar kerajaan, Pangeran Bumi
Gede membawa pasukan kompeni ke mari." "Dan mengapa kau begini baik
hati sudi menawarkan hal ini kepadaku? Minggat!" ben-tak Ki Hajar
Karangpandan. Seperti diketahui, Surapati ikut menyusul Sanjaya. Sebagai adik
seperguruan, ia bisa keluar masuk perkemahan laskar Bumi Gede dengan bebas. Di
sana ia bertemu dengan Sanjaya dan Pringgasakti yang telah meng-adukan
nasibnya. Sewaktu Pringgasakti me-ninggalkan perkemahan, ia bersama Sanjaya
mengintip dari kejauhan. Setelah menyaksikan tewasnya Pringgasakti cepat kedua
pemuda itu pulang ke perkemahan. Di perkemahan mereka melihat Kebo Bangah
menceritakan pengalamannya dan penglihatannya. "Rejeki paduka memang
besar," katanya sambil tertawa. "Kedua muda mudi yang paduka cari
mendadak saja muncul dengan mendadak." Tatkala di beteng, pendekar itu
ikut sibuk mencari beradanya Sangaji dan Titisari yang berhasil merampas pusaka
Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram dari tangan Bagas Wilatikta. Sebagai
seorang pendekar kawakan, tahulah dia arti pusaka tersebut. Ia mengha-rapkan
akan memperoleh suatu warisan ilmu kepandaian luar biasa. Ternyata dengan mata
kepalanya sendiri, ia menyaksikan gerak-gerik Titisari yang aneh dan asing
baginya. Tiba-tiba ia melihat pinggang Titisari. Matanya yang tajam melebihi
penglihatan manusia biasa, segera melihat benda yang lagi diperebutkan sekalian
orang gagah di seluruh nusantara. Begitu melihat benda itu, timbullah nafsu
jahatnya. Titisari terus diserang. Pikirnya, kalau kena dia akan segera merebut
pusaka tersebut untuk dikangkangi sendiri. Di luar dugaan Pringgasakti yang
dianggap ada pada pihak-nya, mendadak menolong Titisari dengan mengorbankan
nyawanya. Dasar ia cerdik dan licin, maka sebelum para pendekar naik darah,
terus kabur mengarah ke perkemahan Pangeran Bumi Gede. Pangeran yang gila
pusaka warisan itu, biarlah kubujuk agar mengerahkan laskarnya. Dalam kesibukan
nanti masakan aku tak dapat merampas pusaka itu, pikirnya. Karena itu dia
lantas menganjurkan Pangeran Bumi Gede mengerahkan laskarnya. Dalam pada itu
Sanjaya yang melihat kemati-an Pringgasakti, gelisah bukan kepalang. Hatinya
jadi ciut, mengingat pembalasan Ki Hajar Karangpandan yang bisa terjadi
sewaktu-waktu. Maka ia ikut membantu menguatkan anjuran Kebo Bangah.
"Ayah!" katanya, "Mereka terlalu kuat. Baiknya ayah minta tenaga
pasukan kompeni. Siang tadi, kita habis bertempur melawan laskar kerajaan.
Dengan dalih mengadakan pembersihan, bukankah merupakan suatu alasan yang
bagus?" Pangeran Bumi Gede percaya benar kepada kecerdikan anak angkatnya.
Lagi pula sudah lima belas tahun, ia mengiler untuk dapat memiliki kedua pusaka
Bende Mataram. Maka dengan mengandalkan pengaruhnya, ia berhasil membawa serta
dua pasukan kompeni mengepung kedudukan para pendekar. Pendekar-pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede terus bergerak dengan cepat. Mereka menduduki
gundukan tinggi. Dan budak-budak Kebo Bangah tak mau pula ke-tinggalan. Barisan
tabuhan piaraan majikan-nya lantas saja dilepaskan. Menyaksikan semuanya itu,
Surapati gelisah luar biasa. Betapa pun juga, ia adalah murid Ki Hajar
Karangpandan. Meskipun dia mempunyai angan-angan besar hendak menjadi salah
seorang kepercayaan Pangeran Bumi Gede sebagai pembalas budi, namun ia tak
sampai hati membiarkan gurunya mati penasaran. Maka selagi pasukan Pangeran
Bumi Gede bergerak mengepung lapangan, dengan diam-diam ia menyusup mendahului.
Demikianlah, ia segera mencanangkan kabar berbahaya kepada gurunya.
"Guru!" katanya membujuk begitu di-damprat gurunya. "Aku pun
bukan murid guru yang baik. Meskipun orang tuaku memperoleh budi besar Pangeran
Bumi Gede, tapi aku adalah murid guru." "Hm... Bagus!" dengus Ki
Hajar Karang-pandan. Tatkala itu ia melihat berkelebatnya Sanjaya di antara
cahaya obor yang terang benderang. Bocah itu berada di samping Kebo Bangah.
Terang sekali maksudnya. Ia mengharapkan perlindungan pendekar besar itu.
Menyaksikan pekerti Sanjaya, Ki Hajar Karangpandan gusar bukan main. Tubuhnya
sampai menggigil. Dengan pandang beringas ia melototi Surapati yang menjadi
sasaran pelepas kegusaran hatinya. Selagi hendak membuka mulut, mendadak ia
mendengar suara Kebo Bangah melengking menusuk telinganya. Pendekar dari daerah
barat itu berdiri di atas gundukan tanah menebarkan pandang kepada Adipati
Surengpati. Katanya, "Saudara Surengpati! Sebentar kalau kita terpaksa
bertempur apakah kau memerlukan tenaga si bule Gagak Seta. Kalau benar, itulah
hebat!" Kebo Bangah memang seorang pendekar licik dan licin. Jauh-jauh ia
sudah memperhi-tungkan pertempuran yang bakal terjadi. Kalau pertempuran itu
nanti terjadi dan dia sudah berhasil merampas dua pusaka warisan, Adipati
Surengpati pasti tidak akan membiarkannya berlalu dengan bebas. Dengan Adipati
Surengpati, kekuatannya berimbang. Yang disegani, kalau-kalau Gagak Seta ikut
mengembut. Karena itu begitu tiba di pinggir lapangan, segera ia mencari
beradanya Gagak Seta. Pendekar berkulit bule, ternyata tak menampakkan batang
hidungnya. Ia kenal kecerdikan dan kepandaian pendekar itu. Dan menduga,
mungkin lagi bersembunyi di salah suatu tempat yang terduga. Memikir demikian,
dia mau mengikat Adipati Surengpati dengan suatu perjanjian. Ia tahu Adipati
Surengpati sangat angkuh dan kukuh menjaga kehor-matan diri. Ternyata
pancingannya berhasil. Pada saat itu ia mendengar suara dingin Adipati
Surengpati yang dikirimkan lewat Aji Pameling. "Membekuk ular berkepala
dua, masakan perlu bantuan kucing belang segala." "Bagus!" ia
menyambut pernyataan Adipati Surengpati dengan tertawa lebar. "Saudara
Surengpati! Bukan maksudku mengganggumu. Cuma saja, ada suatu keinginanku.
Puterimu mengantongi benda keramat. Aku khawatir akan jatuh ke tangan bangsa
asing. Karena itu aku mencoba ikut melindungi. Benar tidak, saudara Surengpati.
Hanya saja, kita golongan ksatria. Betapa mungkin menghendaki benda tersebut
dengan lewat musyawarah atau perundingan yang bertele-tele." Adipati
Surengpati lantas saja berpikir. Ia mempertimbangkan kekuatan kedua belah pihak.
Sekiranya Gagak Seta tiada muncul, inilah sulit. Dia sendiri tak khawatir akan
kena tangkap musuh. Tetapi bagaimana dengan murid-murid Kyai Kasan Kesambi dan
pendekar-pendekar lainnya? Akhirnya dia memutuskan. "Hm... hidup atau mati
apa peduliku? Aku lahir dan mati bukankah seorang diri? Kalau aku berhasil
menyelamatkan puteriku, hatiku sudah puas..." Memperoleh keputusan
demikian, hatinya lega. Dengan mata berkilat-kilat ia menga-mat-amati
gerak-geriknya pasukan lawan yang sedang mengepung kian rapat. Kemudian melirik
kepada Sangaji bakal menantunya. Bocah itu nampak tenang dan gagah luar biasa.
Ki Hajar Karangpandan yang sedang uring-uringan, lain pula sikapnya. Meskipun
adatnya angin-anginan, tetapi otaknya cerdas. Segera ia bisa menebak maksud
Kebo Bangah. Tak peduli ia merasa bukan tandingnya, ia terus mendamprat.
"Eh! Pendekar Kebo Bangah! Kau memutar balik kenyataan seakan-akan kita
ini kumpulan manusia tak punya otak. Hm... apakah kata-katamu yang terlepas
dari mulutmu tadi, ucapan manusia ataukah binatang?" Kebo Bangah menoleh.
Melihat siapa yang berbicara, ia mendongak ke langit sambil tertawa melalui
hidungnya. Terhadap pende-kar demikian, baginya belum ada harganya untuk
dilayani. Maka ia memberi isyarat kepa-da Pangeran Bumi Gede sambil berkata,
"Kita tunggu apalagi?" Mendengar anjuran Kebo Bangah, terus saja ia
memerintahkan pasukannya bergerak. Sedang pasukan kompeni menduduki tempat
tertentu. Terang sekali, bahwa Pangeran itu sangat percaya kepada kegagahan
pendekar Kebo Bangah. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi segera bersiaga.
Sebenarnya mereka tiada mempu-nyai permusuhan dengan Pangeran Bumi Gede. Juga
terhadap kompeni. Hanya saja, guru mereka adalah seorang patriot yang dahulu
melawan kompeni semasa Perang Giyanti. Karena itu, mereka tak dilarang
bermusuhan. Apalagi kalau memang terpaksa. Sebaliknya juga tak dianjurkan. Kyai
Kasam Kesambi sadar, bahwa persenjataan pasukan kompeni amat membahayakan.
Daripada mati tiada sejarah, lebih baik menghindarkan diri untuk suatu
kebajikan lain yang lebih berarti. Kini, mereka tak dapat meloloskan diri.
Sebagai ksatria sejati, betapa hanya berpeluk tangan belaka. Itulah sebabnya,
Gagak Handaka segera memberi isyarat pendek kepada adik-adik seperguruannya.
"Sekiranya banyak di antara kita mati, salah seorang harus bisa meloloskan
diri. Dengan begitu, guru kita tak bergelisah menunggu kedatangan kita."
Hebat arti kata-kata ini. Artinya, Gagak Handaka bersedia untuk menyabungkan
nyawanya. Karena itu, betapa bisa adik-adik seperguruannya melihat kakaknya
yang tertua hendak mati seorang diri. Terus saja mereka mengambil tempatnya
masing-masing bergerak dalam garis ilmu Pancawara. Dalam pada itu serangan
mulai terjadi. Para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede de-ngan gegap gempita
mempelopori laskar bersenjata. Gerak-gerik mereka gesit dan berbahaya.
Panembahan Tirtomoyo harus menyongsong mereka dengan didampingi Ki Tunjungbiru.
Mereka berdua sadar, bahwa peristiwa yang dihadapi bukan main-main lagi. Tetapi
mereka berdua adalah bekas pejuang-pejuang kemerdekaan. Karena itu hatinya sama
sekali tiada gentar. Bahkan tak disadarinya sendiri terbersit suatu kegairahan
naluriah. Manyarsewu, Cocak Hijau dan Abdulrasim yang mendahului pasukannya
terus terlibat dalam pertempuran. Mereka bertiga termasuk pendekar undangan Pangeran
Bumi Gede yang diandalkan, di samping Yuyu Rumpung. Lagi pula mereka memendam
dendam besar, karena kena digunduli Gagak Seta sewaktu menghampiri benteng.
Pukulan-pukulannya menggeledek, gerak-geriknya gesit. Melihat mereka mengembut
Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta tak mau tinggal diam.
Dengan menggerung ia melompat membantu. Si sembrono ini menganggap semua
pendekar di dunia ini seenteng gabus. Tak mengherankan bahwa sebentar saja ia
menumbuk batu. Tiba-tiba Manyarsewu merabu dari samping dan menghantam
tengkuknya. Ontung dia gesit. Dengan mengendapkan diri dia bebas dari serangan
itu. Terus saja ia mencabut penggadanya yang termasyhur dan membabat dari
bawah. Manyarsewu mundur kaget sambil memekik pelahan. "Bangsat tua! Kau hebat
juga...," kutuknya. Jaga Saradenta tertawa perlahan. Menyahut, "Di
Pekalongan dahulu, kita cuma saling memandang dan memaki. Kini kita bisa
bertemu. Ayo kita bertanding. Aku yang mati atau kau yang bakal mampus."
"Bagus! Mari kita mencari tempat yang sepi!" tantang Manyarsewu.
"Kentutmu! Di manakah ada tempat yang sepi. Di sini saja, apakah
halangannya?" Kedua orang itu lantas saja saling menye-rang dengan
dahsyatnya. Mereka tak menghi-raukan lagi pertempuran rekan-rekannya. Tetapi
dalam suatu pertempuran besar betapa mereka bisa menuruti kemauannya sendiri.
Belum lagi sepuluh jurus mereka terlibat dalam suatu penyerbuan kacau balau.
Terpaksa mereka terpisah dan saling merabu acak-acakan. Titisari menyaksikan
pertempuran itu. Di sana ia melihat ayahnya sudah mengadu kepandaian melawan
Kebo Bangah. Dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi dengan gagah menghalau setiap
serangan dari luar. Sangaji tetap tenang. Pemuda itu seperti kebingungan. Ia
sadar benar, bahwa pihaknya kena kepung. Rupanya harapan sangat kecil untuk
bisa membebaskan diri. Malahan, seumpama bisa luput dari serbuan pasukan
Pangeran Bumi Gede, kompeni sudah meng-hadang di setiap penjuru dengan senapan
bidiknya. Inilah berbahaya. "Baiklah! Aku tangkap dahulu Pangeran Bumi
Gede. Bukankah dia merupakan barang tanggungan yang berharga untuk menghentikan
serangan besar-besaran ini?" Memperoleh pikiran demikian, segera ia hendak
bergerak. Sekonyong-konyong Titisari mencegat perjalanannya. Gadis itu berkata,
"Kau hendak menangkap Pangeran Bumi Gede? Betapa mungkin! Dia bukan
seorang pangeran goblok. Jauh-jauh dia sudah meng-ambil tempat di antara para
pengawalnya yang berjumlah puluhan orang." Titisari memang cerdas luar
biasa. Dia bisa menebak kata hatinya. Karena itu dia melengak. Minta
pertimbangan. "Lantas? Apakah yang harus kulakukan?" "Kalau kau
mampu, bongkarlah semua batu pegunungan ini. Buatlah benteng pertahanan.
Setelah itu, perlahan-lahan kita mencari jalan keluar!" Kalau saja itu
terjadi pada siang hari dan dalam keadaan wajar, rasanya tenaganya sanggup
melakukan pekerjaan demikian. Tetapi seluruh lapangan penuh dengan musuh yang
mulai melepaskan senjata panah dan lembing. Dan di balik sana kompeni sudah
bersiaga memetik senapannya. Tetapi dia percaya benar kepada gadis itu.
Pastilah Titisari mempunyai alasan yang sudah diperhitungkan. Maka ia mencoba
menjelajahkan matanya mencari batu-batu yang dimaksudkan. Tak usah lama, ia
telah menemukan batu-batu alam yang mencongakkan diri dari permukaan tanah. Hal
ini disebabkan oleh banyaknya obor yang memantulkan cahaya cukup cerah. Maka ia
berkata kepada Titisari. "Baiklah! Tolong awasi guruku!" Setelah
berkata demikian, dengan sekali jejak ia melesat bagai bayangan. Dengan
mengerahkan tenaga menurut ilmu sakti Bende Mataram, ia berhasil membongkar
batu-batu. Kemudian ditumpuk rapi, merupa-kan benteng pertahanan yang kokoh
kuat. Sementara itu, pertempuran kian bertambah seru. Murid-murid Kyai Kasan
Kesambi menghadapi saat-saat yang genting. Mereka dikepung rapat. Sudah begitu,
mereka dihujani panah. Gagak Handaka jadi cemas. Pikirnya: "Kalau begini
terus-terusan, lambat-laun pasti ada salah seorang yang tewas." Setelah
berpikir demikian, ia mengedipi Ranggajaya. Kemudian dengan tenaga gabungan, ia
menggempur musuh berbareng berkata nyaring, "Perlahan-lahan kita mundur!"
Bagus Kempong dan Suryaningrat lantas saja mundur setelah menangkis hujan
panah. Tapi mendadak di angkasa terdengar suara mengaung-agung. Itulah tabuan
beracun balatentara angkasa piaraan Kebo Bangah. Mereka terbang berputaran,
seperti awan berarak-arakan. Untung saja, mereka belum menyerang semenjak tadi
karena segan melihat obor. Celaka! pikir Titisari. Gadis itu cepat meraup
senjata biji sawo. Ia menghampiri murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Berkata
nyaring, "Awas lebah beracun!" Selama hidupnya baru kali itulah
mereka menghadapi tentara lebah. Karena itu mereka ragu-ragu mendengar
peringatan Titisari. Meskipun demikian hatinya terkesiap juga. Titisari tak
menunggu lama-lama lagi, sebat luar biasa ia mulai bertindak. Dengan
meng-hamburkan biji sawonya, ia menyerang sambil merampas obor. Terus saja
dilepaskan ke angkasa, sehingga merupakan pemandangan yang indah. Dengan
berbuat demikian, medan pertempuran jadi gelap. Dan lebah-lebah piaraan bubar
berderai. "Ah! Suatu akal bagus!" pikir Gagak Handaka. "Jika
medan pertempuran menjadi gelap, bukankah kesempatan bagus untuk dapat
mengundurkan diri?" Memikir demikian segera ia berkata kepada adik-adik
seperguruannya. "Rampas obor!" Bagus Kempong sudah mendahului
bertin-dak. Ia merangsak lawan dan berlindung di tengah. Pedangnya berkelebat
memainkan jurus Mayangga Seta. Hebatnya tak terka-takan. Juga Suryaningrat tak
mau ketinggalan. Murid bungsu Kyai Kasan Kesambi ini bergerak dengan lincah.
Pedangnya menyambar-nyambar. Sebentar saja, obor-obor kena dirampasnya dan
dilontarkan ke udara seperti bunga api. Pada saat itu terdengarlah suara
teriakan menyayatkan hati. Surapati murid Ki Hajar Karangpandan kena hujan
panah. Dan rebah tak berkutik di atas tanah. "Bangsat!" maki Ki Hajar
Karangpandan. Terus saja ia mengamuk. Cocak Hijau kena digempur jungkir balik.
Tapi pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang lain segera
mengepungnya sehingga ia tak dapat bergerak. Dalam pada itu pertempuran antara
Jaga Saradenta dan Manyarsewu mendekati saat akhirnya. Jaga Saradenta nampak
kerepotan, karena kena keroyok. Penggadanya menyam-bar-nyambar mengemplangi
kepala. Sekalipun demikian, tak dapat ia berbuat banyak. Manyarsewu benar-benar
gagah. Selagi demi-kian, panah-panah laskar mengaung-ngaung tiada hentinya.
Untung—berkat ketangkasan Titisari dan murid-murid Kyai Kasan Ke-sambi—medan
pertempuran agak gelap, tapi bukan berarti kurang berbahaya. Pada saat itu
tiba-tiba sebuah penggada menyambar dari samping. Itulah penggada pendekar
Wongso CJdel, Jaga Saradenta kaget. Ingin ia menangkis, tapi kena libat Manyarsewu
dan puluhan laskar. Tak terasa ia memekik perlahan. "Celaka!"
Sekonyong-konyong, penggada yang hampir memukul tengkuknya terpental balik. Dan
di sampingnya berdiri Titisari. Dia mendapat tugas Sangaji melindungi gurunya.
Tugas itu ternyata dilaksanakan dengan baik. Namun Jaga Saradenta tak luput
dari hujan panah. Tahu-tahu lambungnya tertancap empat panah sekaligus.
"Paman! Mundur!" teriak Titisari cemas. Cepat gadis itu menghamburkan
biji sawonya berbareng menarik lengan Jaga Saradenta. "Mengapa
mundur?" teriak Jaga Saradenta. Titisari kenal watak Jaga Saradenta yang
keras kepala dan tak mau mengerti, la mengerahkan tenaga untuk menariknya
mundur. Si tua tetap bersitegang. Sedang pendekar-pendekar rekan Manyarsewu dan
dua belas laskar datang menyerbu. Keruan saja ia jadi repot bukan kepalang.
"Bagus! Jangan biarkan lolos!" terdengar suara seperti gembreng
pecah. Itulah pendekar Kebo Bangah. Seperti diketahui ia melihat Adipati
Surengpati, agar pendekar itu jangan dapat bergerak dengan leluasa. Setelah
bertempur kurang lebih lima puluh jurus, ia segera memanggil sisa pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede dan tiga puluh laskar. Dasar ia licin dan licik.
Mereka semua itu diperintahkan melibat Adipati Surengpati. Dia sendiri terus
mundur jumpalitan mencari Titisari. Keruan saja Titisari terkejut setengah
mati. Cepat ia melepaskan tangan Jaga Saradenta dan terus bersiaga. "Ha!
Kau hendak lari ke mana?" bentak Kebo Bangah. "Kau serahkan kedua pusaka
itu! Kutanggung, semua laskar ini akan mundur. Dan kalian boleh pergi dengan
bebas." Titisari seorang gadis cerdas luar biasa. Seketika itu juga,
sadarlah dia bahwa ter-jadinya penyerbuan itu adalah semata-mata untuk merebut
kedua pusaka Bende Mataram yang disimpannya dalam pinggang. "Kau jangan
mimpi! Rebutlah!" tantangnya. Ia terus mundur. Dalam hatinya hendak
mendekati tempat Sangaji berada. Kebo Bangah tertawa mendongak. Menyahut,
"Apa sih sukarnya merebut pusaka itu." Setelah berkata demikian, Kebo
Bangah membuktikan Ucapannya. Titisari boleh lincah dan gesit berkat
jurus-jurus ilmu sakti yang dimiliki. Tetapi menghadapi pendekar Kebo Bangah ia
seperti mati kutu. Soalnya belum terlatih dan kekurangan tenaga bila
dibandingkan dengan tenaga Kebo Bangah. Karena itu sebentar saja ia mulai
kericuhan. Mau tak mau, hati Adipati Surengpati yang angkuh dan sombong cemas
juga melihat puterinya kena libat. Celakanya, ia kena dirintangi laskar-laskar
dan pendekar-pendekar undangan. Benar ia tak memperoleh kesukaran berarti, tetapi
gerak-geriknya jadi tak leluasa. Namun tak percuma ia disebut sebagai salah
seorang tokoh terbesar pada zaman itu. Dengan bersuit panjang, ia menggempur
lawan-lawannya. Kemudian meloncat ke udara dan turun dengan manis di samping
puterinya. Pada saat itu mendadak ia mendengar suara yang dikenalnya. "Aku
di sini." Itulah Sangaji yang telah bersiaga menolong putrinya. Teringat
akan jurus-jurus putrinya tadi sewaktu melawan Pringgasakti, ia jadi ingin
menyaksikan kemampuan bocah itu. Pikirnya, biarlah dia menolong Titisari. Ingin
aku melihat apa yang dapat dilakukan. Seumpama tak ungkulan melawan Kebo
Bangah, belum kasep aku turun tangan. Kebo Bangah lantas saja mengenal siapa
yang berada di depannya. Tanpa ragu-ragu, ia menggunakan pukulan Kala Lodra.
Itulah ilmu sakti andalannya. Kehebatannya tak usah kalah dibandingkan dengan
ilmu sakti Kumayan Jati dan Witaradya. Tapi kali ini dia bakal ketemu
tandingannya. Mendadak saja, ia merasakan suatu dorongan luar biasa kuat.
Dadanya terasa menjadi sesak. Cepat-cepat ia menutup semua jalan darahnya dan
berkisar mundur. Di waktu itu mendadak ia melihat Adipati Surengpati sudah
berada tak jauh darinya. Kalau dia turun tangan, celaka! pikir Kebo Bangah
dengan terpaksa ia mundur mening-galkan gelanggang. Tetapi Sangaji tak mau
sudah. Tatkala memapak pukulan Kebo Bongah, ia menggunakan tenaga enam bagian.
Hatinya masih ragu-ragu apakah sanggup menerima pukulan dahsyat itu. Di luar
dugaan, ia tak merasakan suatu akibat. Bahkan pukulannya sendiri terasa bisa
menembus. Merasakan kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Sekarang ia yakin
benar akan kekuatan diri sendiri. Terus saja ia melompat dan mengi-rimkan
pukulan lagi. Kebo Bangah menoleh cepat. Buru-buru ia berjongkok. Dengan
mengerahkan seluruh tenaga ia menyambut. Hasilnya mengejutkan dirinya.
Tiba-tiba saja, tubuhnya bergoyang-goyang. Dan ia tertolak ke belakang sampai
terkisar dari tempatnya. Ia jadi heran, cemas dan gusar. Pikirnya, masakan aku
kalah melawan dia? Segera ia hendak mengulangi. Tapi pada saat itu, Manyarsewu,
Cocak Hijau, Abdul-rasim dan Suranggana datang menyerbu. Dan celakalah pendekar
empat ini. Kena benturan pukulan Sangaji, mereka terpental sampai terbang ke
udara. Keruan saja Kebo Bangah terkejut bukan main. Cepat ia melontarkan
pukulan dahsyat lagi, sewaktu Sangaji belum bersiaga. Kemudian mundur empat
langkah. Dan pada saat itu Pangeran Bumi Gede sudah berada di sampingnya.
Pangeran ini pun heran menyaksikan ketangguhan Sangaji. Bertanya sambil
mencabut senjata tongkatnya. "Siapakah lawan Tuan?" Terhadap pangeran
itu, tak sudi Kebo Bangah memperlihatkan kelemahannya. Tapi bocah itu memang
hebat luar biasa. Maka sambil meloncat mundur ia menjawab, "Itulah bocah
Sangaji. Benar-benar dialah yang mem-bawa kedua pusaka warisan. Jangan
sia-sia-kan kesempatan ini. Paduka tangkaplah. Aku sendiri hendak mengatur
budak-budakku yang tak berguna." Tetapi Pangeran Bumi Gede bukanlah
seorang pangeran goblok. Melihat Kebo Bangah keripuhan, ia tahu menaksir
kekuatannya sendiri. Cepat ia memutar tubuhnya dan berlindung di belakang
laskarnya. Sangaji tak mau mensia-siakan kesempatan itu. Cepat ia melompat
hendak mengejar. Belum lagi mendarat di tanah, ia telah dihujani ratusan panah,
tombak dan lembing. Mau tak mau ia harus memunahkan dahulu. Dan waktu itu
laskar Pangeran Bumi Gede telah mulai mengepung rapat. "Bagus!"
serunya mendongkol. Terus saja ia melepaskan pukulan angin berantai. Dan
seketika itu juga, padamlah obor-obor penerangan. Mereka yang berada dekat
dengan Sangaji, terpental mundur dan menumbuki rekan-rekannya. Adipati
Surengpati, murid-murid Kyai Kasan Kesambi dan Kebo Bangah dalam kesibukan-nya
masing-masing, terheran-heran menyak-sikan kegagahan Sangaji. Pemuda itu
ternyata dalam sekejap saja sudah berubah menjadi manusia lain. Gerak-geriknya
gesit, tangkas dan tenaganya luar biasa kuatnya. Belum lagi setengah jam,
laskar Pangeran Bumi Gede mundur korat-karit. Dalam pada itu Sanjaya yang
mendampingi Kebo Bangah dan Pangeran Bumi Gede tatkala lagi berangkat dari
perkemahan, kian kecut hatinya. Dengan gemetaran ia menye-linap ke dalam
tumpukan laskar. Dasar hatinya licin dan tak mau kalah dengan Sangaji, ia
segera teringat kepada barisan kompeni. Maka cepat-cepat ia menghubungi. Tak
lama kemudian mulailah terdengar tembakan senapan berturut-turut. Itulah hasil
pembicaraannya dengan komandan kompeni. Mendengar tembakan itu, para pendekar
yang terkepung terkesiap hatinya. Mereka tahu, peluru jauh lebih berbahaya
daripada senjata tusuk apa pun jua. Tapi mereka bukan manusia lumrah.
Keberaniannya sepuluh kali lipat. Sama sekali mereka tak mundur, bahkan terus
merabu musuh dengan cepat luar biasa. Keruan saja, laskar Pangeran Bumi Gede
kelabakan dalam kegelapan malam. Sebaliknya tidaklah demikian dengan Titi-sari.
Gadis ini yang memiliki ketajaman otak luar biasa. Cepat melesat ke depan
sambil berteriak kepada Sangaji. "Aji! Apakah engkau sudah berhasil
mem-buat benteng pertahanan?" "Bukan benteng. Hanya sebuah
kubangan," sahut pemuda yang berhati sederhana itu. "Bagus!"
seru Titisari girang. Lantas saja ia berteriak nyaring kepada para pendekar,
"Kita mundur ke kubangan batu!" Mendengar teriakan Titisari, mereka
hanya mendengus saja. Sedangkan peluru kompeni makin lama makin gencar.
"Hai! Apakah kalian mau mati konyol?" teriaknya lagi. Tapi tetap
mereka berkepala batu. Menyaksikan sikap mereka, Titisari jadi cemas. Mendadak
saja teringatlah dia kepada ayahnya. Pikirnya, kalau ayahnya bisa dibujuk
mundur berlindung, bukankah mereka akan mengikuti?" Ia terus menghampiri
ayahnya, "Ayah! Aku berjanji kepada Sangaji untuk melindungi gurunya. Tapi
ternyata aku tak berguna. Guru Sangaji masih saja kena panah." Tadi,
tatkala Jaga Saradenta terbebas dari serangan penggada pendekar Wongso CIdel,
lambungnya tertancap empat batang panah. Dalam kemurkaannya, pendekar tua itu
tak mau sudah. Dengan menggerung ia tetap menyerang dengan gagah. Namun
lambat-laun, lambungnya terasa nyeri bukan main. Mau tak mau tenaga jasmaninya
jadi kendor. Adipati Surengpati tahu menebak kehendak puterinya. Menuruti
keangkuhan hatinya, mestinya tak sudi ia mendengarkan. Tetapi medan pertempuran
memang berbahaya. Apabila dia pun sampai kena peluru nyasar, bukankah berarti
korban sia-sia belaka? Memikir demikian, terus ia menghampiri si tua Jaga
Saradenta. Dengan sekali sambar ia memapahnya. Si tua berontak, karena tak sudi
diperlakukan sebagai perempuan. Namun menghadapi tenaga Adipati Surengpati
betapa dapat dia banyak bertingkah. Apalagi tenaganya mulai berkurang. Karena
itu, akhirnya ia kena papah juga dengan tak dapat berkutik. "Kita mundur ke
kubang batu," kata Titisari lega. Adipati Surengpati mundur cepat. Pada
saat itu suatu berondongan senapan bersuing melintasi kupingnya.
"Berbahaya!" keluhnya. Dan terus ia mendahului memasuki kubang batu.
Ternyata benteng pertahanan yang disebut kubang batu itu, sangat mengagumkan.
Luasnya kurang lebih 100 meter persegi. Dindingnya terbuat dari batu alam yang
di-susun hampir setinggi orang. Apabila seorang membungkuk setengah badan saja,
meskipun diberondongi senapan betapa rapat pun takkan mengenainya. Melihat
kubang perta-hanan itu, Adipati Surengpati yang selama hidupnya membanggakan
kepandaian dan kemampuannya sendiri, berdiri tercengang-cengang. Bertanya,
"Dari mana kau tahu di sini ada kubang pertahanan?" "Bakal
menantumu yang sebentar tadi menyusunnya," sahut Titisari berbesar hati.
"Ah!" Adipati Surengpati kian tercengang. Membuat kubang pertahanan
seperti itu, tidaklah sukar apabila dikerjakan di tengah matahari dalam aman
tenteram. Tapi kubang pertahanan ini dibangun dalam keadaan terjepit dan
tergesa-gesa. Lagi pula dalam malam pekat. Kecuali itu, bahannya dari batu alam
yang masing-masing mempunyai berat tak kurang dari seribu kati. Betapa tenaga
manusia mampu mengangkat dan menyusun batu-batu dengan seorang diri. Titisari
senang menyaksikan ayahnya berdiri terlongong-longong. Ia terus melesat pergi
dan berseru memanggil para pendekar. Katanya nyaring: "Ayahku telah
mendahului berlindung di belakang kubang pertahanan. Apakah kalian perlu merasa
malu?" Mendengar seru Titisari, mereka jadi berbimbang-bimbang. Mau mereka
memundurkan diri. Tapi Sangaji masih berkelahi dengan gagah. Masakan akan
membiarkan dia berkelahi seorang diri melawan ratusan laskar Pangeran Bumi
Gede? Titisari yang berontak encer, dapat menebak kebimbangan mereka. Dengan
mengendapkan diri ia menyusup maju mendekati Sangaji, berseru: "Aji!
Mundur! Semua sudah mundur!" "Kau mundurlah! Malam ini adalah kesempatan
yang bagus membekuk musuh keluar-gaku." "Tolol! Sekeliling dirimu
adalah peluru melulu. Kau bisa melawan orang, tapi bukan peluru. Belum lagi kau
bisa membekuk batang lehernya Pangeran Bumi Gede. Peluru-peluru kompeni mungkin
telah mengenai dirimu. Apakah itu bukan mati sia-sia?" Dasar hati Sangaji
takluk kepada gadis itu. Maka begitu mendengar sarannya, terus ia menjejak tanah
dan melesat mundur sambil menyambar lengan Titisari. "Bagus!" seru
murid-murid Kyai Kasan Kesambi hampir berbareng. Mereka terus berbareng
meloncat mundur pula. Tatkala ia hampir sampai di kubangan batu, Sangaji telah
mendarat dengan manis sekali bagai seekor elang menggondol mangsanya. Ki Hajar
Karangpan, dan Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru telah pula tiba di
kubang pertahanan dengan berturut-turut. Mereka terus berlindung di belakang
tum-pukan batu dengan hati bertanya-tanya. Maklumlah, semenjak siang hari mereka
berada di sekitar gundukan pegunungan itu. Dan sama sekali tiada nampak kubang
pertahanan demikian. Darimanakah kubang pertahanan ini tiba? namun tak sempat
mereka terus bertanya-tanya. Pada saat itu seluruh pasukan kompeni dan sisa
laskar Pangeran Bumi Gede menembak dan melepaskan panah. Sangaji tak perlu
mengkhawatirkan kesela-matan pamannya dan mereka yang dihormati. Untuk
sementara, mereka terlindung dengan baik di belakang tumpukan batu. Melihat
gurunya terluka, cepat ia menghampiri. Kemudian dengan hati-hati mencabut
sekalian panah yang menancap di lambung. la kini bukan lagi si murid tolol satu
dua tahun yang lalu. Pengetahuannya sudah melebihi gurunya yang sudah berusia
tua. Dengan cekatan ia memijat urat nadi yang menghubungi urat lambung. Lantas
membendung mengalirnya darah. Waktu itu keadaan Jaga Saradenta agak mulai
payah, la mulai kehilangan banyak darah. Pandang matanya berkunang-kunang dan
napasnya tersengal-sengal. Mendadak saja ia merasa lambungnya nyeri. Kemudian
suatu hawa hangat luar biasa menyusupi tubuhnya. Ia heran. Tubuhnya terguncang
dan perlahan-lahan tenaga jasmaninya pulih kembali. Apabila matanya kembali
jernih, ia melihat tangan Sangaji sedang menekan punggung dan lambungnya.
"Eh—bagaimana bocah tolol ini bisa mem-punyai tenaga jasmani begini
kuat?" ia menebak-nebak. Dalam pada itu para pendekar sudah mengatur
dirinya sendiri. Mereka berkelahi dari belakang tumpukan batu. Ki Hajar
Karang-pandan yang kehilangan muridnya, tak dapat lagi menguasai diri. Dasar
adatnya aneh dan berwatak angin-anginan. Tiba-tiba saja ia melompat menyambar
lawan dan kembali dengan merampas tiga buah gendewa berikut tiga bungkus anak
panah. "Hao! Sekarang bantulah aku menuntut balas muridku Surapati yang
mati seperti anjing!" serunya garang. Ia mendahului melepaskan panah. Tak
usah diceritakan lagi, bahwa tenaganya hebat luar biasa. Panahnya bersuing
menusuk lawan dan menembusi tiga empat orang lagi. Panembahan Tirtomoyo dan Ki
Tunjungbiru adalah bekas-bekas pejuang bangsa yang kenyang mengalami pasang
surutnya perjuangan. Begitu memperoleh gendewa dan panah, terus saja mereka
bekerja. Dengan mengambil tempat di sebelah utara dan timur, mereka melepaskan
panah. Apabila kehabisan panah, mereka tak kehilangan akal. Mereka mencari
batu-batu dan dilontarkan lewat tali gendewa bagaikan senjata bandil.
Menghadapi keuletan mereka, laskar Pa-ngeran Bumi Gede berteriak-teriak seperti
kebakaran jenggot. Betapa tidak? Seorang demi seorang mereka kena ditewaskan.
Sebaliknya mereka tak dapat berbuat apa-apa, karena kokohnya kubang pertahanan.
Tetapi mereka berjumlah banyak. Lagi pula terpimpin. Demikianlah setelah korat
karit, mereka segera tersusun kembali. Kemudian melepaskan panah berobor
beruntun-runtun. Udara cerah seperti penuh dengan kembang api. Melihat
pemandangan demikian, Ki Hajar Karangpandan kumat penyakitnya. Terus saja ia
melempar gendewanya ke tanah. Kemudian seperti kera, ia jumpalitan menyambar panah-panah
berobor itu. Segera ia melem-parkan kepada kakak seperguruannya dan Ki
Tunjungbiru. Katanya nyaring, "Balas!" Tak usah diulangi, Panembahan
Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru dengan cepat membalas memanah. Mereka tak usah
khawatir kena bidik, karena benteng pertahanannya rapat kokoh. "Bentengmu
benar-benar hebat," Titisari memuji Sangaji. "Bagaimana kau
membuat-nya tadi?" Sangaji hanya tersenyum. Sebenarnya tak sengaja ia
membuat serapi itu. Soalnya tadi, hanya melakukan permintaan Titisari belaka
untuk membongkari batu-batu pegunungan. Kemudian teringat kepada susunan
benteng di Jakarta. Dengan acak-acakan ia mencoba meniru. Karena tenaga
jasmaninya yang kuat luar biasa bisa diatur dan dikendalikan seke-hendak
hatinya, ia dapat menimpukkan batu-batu itu dari kejauhan—berjajar meru-pakan
pagar batu. Inilah yang dinamakan serba kebetulan belaka. Karena hasilnya di
luar dugaan dirinya sendiri. "Apakah kita masih bisa bertahan?" ia
men-coba mengalihkan pembicaraan. "Hm," Titisari memiringkan
kepalanya. "Lihat! Ayah tak bergerak. Itu suatu tanda bahwa Ayah telah
mempunyai suatu firasat yang kurang baik." Sangaji menoleh ke arah Adipati
Surengpati. Pendekar yang termasyhur serta pandai itu, ternyata berdiri tegak
seperti tugu. la tak menghiraukan kesibukan para pendekar. Juga tidak
mengindahkan sepak terjang laskar Pangeran Bumi Gede. Yang diamat-amati adalah
gerak-gerik Kebo Bangah. Ia kenal kelicinan dan kelicikan pendekar dari barat
itu. Sewaktu-waktu bisa meletuskan perbuatan di luar dugaan orang. Sebaliknya pada
saat itu, Pangeran Bumi Gede sedang mengerahkan segenap laskarnya dengan
dibantu pasukan kompeni. Terasa sekali, betapa besar niatnya hendak me-numpas
para pendekar yang telah memiliki kedua pusaka Bende Mataram itu. Tak kenal
lelah, ia terus memberi aba-aba agar laskarnya menyerang dan menyerbu tanpa
berhenti. Namun hasilnya sampai fajar hari belum nampak. Ia jadi mendongkol
berbareng kagum. "Benteng itu darimana datangnya?" ber-kali-kali ia
menebak-nebak. Ia memanggil Sanjaya agar mencari pendekar Kebo Bangah yang
diagul-agulkan. Namun betapa Sanjaya mencarinya ubek-ubekan tiada juga nampak
batang hidungnya. Hal itu membuat Pangeran Bumi Gede sibuk seorang diri.
Kecurigaannya lantas timbul. Betapa pun juga dia bukanlah seorang Pangeran yang
tak mempunyai otak. Dalam hal kelicinan, dia tak perlu kalah bersaingan dengan
Kebo Bangah. Cara kerjanya bahkan lebih rapi, cermat dan hati-hati. Kira-kira
menjelang jam empat pagi, ia telah memperoleh kesimpulan. Garang ia memanggil
panglimanya. "Pasang barisan kuda berakit. Mereka harus dapat kita kuasai
sebelum matahari muncul di timur!" Pada zaman itu, para panglima perang
su-dah mengenal tata perang kuda berakit. Ba-risan kuda berakit terdiri dari
delapan sampai sepuluh ekor. Kuda-kuda itu diperlengkapi de-ngan bahan api.
Dalam hal ini tiang-tiang obor. Kemudian sepasukan laskar dengan senjatanya
masing-masing lari di belakangnya untuk mengadakan serangan serempak. Cara
penyerangan begini ini, kerapkali membawa hasil bagus, karena musuh kena
digertak dengan suara derap kuda dan gemuruh sorak-sorai. Mereka yang berada
dalam kubang perta-hanan adalah pejuang-pejuang bangsa yang kenyang dengan
pengalaman perang. Sedang-kan murid-murid Kyai Kasan Kesambi menge-nal tata
perang demikian dari tutur kata guru-nya. Hanya saja, mereka tiada diwajibkan
untuk memahami. Tujuan Kyai Kasan Kesambi adalah membentuk ksatria-ksatria
sejati. Dan bukan bercita-cita agar muridnya menjadi seorang panglima perang.
Karena itu pengetahuan mengenai hal itu boleh dikatakan sambil lalu belaka.
Meskipun begitu murid-muridnya bukanlah sekelompok manusia yang tak diberi ilmu
untuk mempertahankan diri apabila menghadapi serangan demikian dengan
tiba-tiba. Itulah sebabnya, begitu mereka melihat gerakan laskar Pangeran Bumi
Gede segera timbul kecurigaannya. Bagus Kempong yang merupakan otak mereka,
dengan cepat meloncat ke atas batu menebarkan pengli-hatan. Dengan
bersungguh-sungguh ia berka-ta, "Kangmas Handaka! Mereka agaknya sedang
memperkuat barisan kuda berakit. Inilah bahaya." Setelah berkata demikian,
terus ia mengki-siki saudara-saudaranya agar menebarkan diri. Masing-masing
harus menghadapi sekelom-pok barisan kuda berakit. Menurut taksiran, tak
usahlah mereka kena desak. Hanya saja, kalau terlalu banyak pastilah timbul
kesulitan. Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirto-moyo dan Ki Tunjungbiru pun
sudah bersiaga. Hati mereka jadi tegang. Sadarlah mereka, bahwa pertempuran
akan terjadi sebentar nanti. Mereka tak usah menunggu lama atau ter-dengarlah
kemudian sorak sorai gemuruh. Ternyata Pangeran Bumi Gede melepaskan barisan
kuda berakit delapan kelompok sekali-gus. Mereka menyerang dari segala penjuru
dengan berbareng. Kuda-kuda itu dicambuki dari belakang. Malahan ada pula yang
ditusuki dengan bambu berapi. Keruan saja, binatang-binatang itu lari
melompat-lompat. Dan sebentar saja bagai badai menerjang tembok kubang
pertahanan. "Lepaskan obor!" seru Adipati Surengpati. Sebenarnya
seruan itu hanya dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk bertahan. Dia cukup
tahu, bahwa di dalam kubang perta-hanan tiada sebatang obor pun. Tetapi dia tak
kehilangan akal. Cepat luar biasa ia melesat dan menghantam barisan kuda
terdepan de-ngan pukulan sakti Witaradya. Kena pukulan-nya, barisan kuda itu
jatuh bergulingan. Tenaganya punah. Bahkan sebentar saja, binatang-binatang itu
kehilangan napasnya. Kemudian dengan sebat ia menyambar tiang-tiang obor yang
berada pada punggung binatang tersebut. Terus ia melontarkan ke arah barisan
kuda berakit yang kedua. Cara perlawanannya itu membangkitkan semangat tempur
yang lain. Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru yang memiliki kegesitan
melebihi manusia lumrah, terus merabu meniru gerak-gerik Adipati Surengpati.
Mereka berhasil mengacau-balaukan. Tadi barisan kuda yang lain berhasil
meruntuhkan tumpukan batu. Meskipun banyak di antara-nya yang patah kakinya,
tetapi laskar yang ikut menyerbu di dalamnya berhasil memasuki daerah
pertahanan. Suryaningrat dan Bagus Kempong dengan serentak membabatkan
pedangnya. Mereka telah menguasai ilmu sakti Mayangga Seta ciptaan gurunya. Tak
mengherankan, bahwa gerak-gerik mereka gesit luar biasa dan seben-tar saja
berhasil menumpas laskar-laskar yang sama sekali tak memiliki kepandaian
berkelahi perseorangan. Melihat terjadinya pertempuran itu, Sangaji jadi
gelisah. Sewaktu hendak bergerak, tiba-tiba lengannya terasa teraba oleh tangan
halus, ia menoleh. Dan melihat Titisari berdiri tegang di sampingnya. "Kau
mau apa?" tanyanya. Titisari tersenyum, menyahut: "Kau mau
ikut-ikutan bertempur macam begini?" "Habis?" "Lebih baik
kau susunlah batu-batu ben-tengmu yang jadi berserakan. Kau susunlah lebih
lebar lagi. Dengan demikian, daerah per-tahanan kita menjadi luas. Dan mereka
yang terlanjur masuk ke dalam benteng bukankah seperti sekumpulan kelinci
terjebak ke dalam perangkap?" Sangaji mengerutkan keningnya, cepat ia
menimbang-nimbang. Agaknya akal itu, bagus juga. Maka cepat ia bekerja. Dengan
mengerahkan tenaga saktinya, batu-batu pegunungan yang mempunyai berat tak
kurang dari seribu kati itu diangkatnya dengan mudah. Kemudian dilemparkan berjajar
bagai dinding pagar. Itulah pekerjaan ulangan. Karena itu, ia dapat melakukan
dengan cepat. Kala itu, matahari mulai menebarkan cahayanya. Sepak terjang
Sangaji dapat terli-hat dengan jelas. Laskar Pangeran Bumi Gede dan seluruh
pasukan kompeni kagum dan ter-heran-heran menyaksikannya sampai mereka berdiri
dengan bengong. Malahan Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki
Tunjungbiru dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi sejenak melupakan keadaan
pertem-puran. Dengan tak dikehendaki sendiri, pe-perangan mendadak berhenti
seperti terlerai. Adipati Surengpati berdiri tegak menga-waskan. Diam-diam ia
berkata dalam hati: Apakah benar Pusaka Bende Mataram begini sakti? Kalau benar
demikian, Gagak Seta jauh lebih waspada dari padaku. Jauh-jauh dia telah menyingkirkan
diri—agaknya aku pun bukan lawannya pada beberapa bulan yang akan datang ...
Dengan berhentinya peperangan kacau itu, celakalah nasib sebagian laskar yang
terku-rung dalam benteng. Tanpa ampun lagi Ki Hajar Karangpandan menghajarnya
kalang kabut. Mereka dilemparkan bagaikan bola keluar dari dinding batu.
Kuda-kuda mereka dirampasnya pula. "Hai, menunggu apa lagi?"
teriaknya. "Besok masih ada matahari. Untuk menghajar mereka, sepuluh
tahun lagi belum kasep!" "Kau mau lari ngacir," sahut Ki Tunjungbiru.
"Mengapa tidak? Lihat! Seluruh lapangan ini penuh dengan kompeni."
Hampir berbareng dengan ucapannya, berondongan peluru berdesing menghantam
batu-batu dan udara. Mereka yang berada dalam kubang pertahanan, buru-buru
bertiarap dan berlindung di bawah dinding. "Bagus!" teriak Ki
Tunjungbiru penasaran. "Kalau kau mau lari-larilah! Ingin aku menyaksikan
seorang pahlawan dalam Babad Giyanti lari ngacir seperti anjing takut
gebuk." "Kau bilang apa?" Ki Hajar Karangpandan melotot.
"Aku bilang kau seperti anjing takut gebuk!" balas Ki Tunjungbiru
dengan melotot pula. Mereka berdua pernah bentrok pada zaman Perang Giyanti
karena berselisih. Meski pun kini berbaik kembali, tapi rasa perselisihannya
dahulu masih saja melekat dalam hati sanubarinya. "Bagus! Jadi kau tak mau
lari?" teriak Ki Hajar Karangpandan. "Tidak! Memangnya aku bangsa
tikus?" "Kalau begitu, marilah tolong aku menyem-belih kuda-kuda ini.
Sebab kita bakal bertem-pur di sini sampai mati. Kalau perutmu kosong
melompong, bukankah kau bakal mampus seperti orang keserakat?" Habis
berkata demikian, Ki Hajar Karang-pandan tertawa terbahak-bahak. Dia memang
terkenal sebagai pendeta ugal-ugalan. Namun otaknya cerdik dan susah diduga
kehen-daknya. Kedengarannya ia seperti hendak melarikan diri, tetapi sebenarnya
tidaklah begitu. Ajakannya bermaksud membakar semangat perjuangan mereka yang
berada di situ. Hal itu ada sebabnya. Pada waktu itu, kompeni mulai bergerak
mendekati benteng pertahanan. Mereka yang berada di situ, hanyalah Jaga
Saradenta seorang yang pernah mempunyai pengalaman kena jirat ocehan Ki Hajar
Karangpandan. Itulah sebabnya, begitu men-dengar suara Ki Hajar Karangpandan,
terus saja dia bangkit dengan menekan lukanya. Katanya, "Kau memang
pendeta gendeng. Apakah kau hendak menantang aku mengadu keuletan tiga belas
tahun lagi?" Ki Hajar Karangpandan menoleh. Melihat Jaga Saradenta, ia
tertawa mendongak. Matanya berseri-seri. Suatu kegembiraan ter-bersit dari
paras mukanya. "Tiga belas tahun yang lalu, kita bertempur perkara pusaka Bende
Mataram. Kini pun kita menghadapi gerombolan tikus-tikus yang banyak bertingkah
pula," ia berhenti sebentar. Kemudian berpaling kepada Sangaji, berkata
meninggi, "Anakku Sangaji! Kau kini benar-benar telah memperoleh
manfaatnya memiliki kedua pusaka warisan itu. Hatiku senang. Mati pun aku puas.
Cuma saja me-ngapa anak Wayan Suage sama sekali tak mempunyai rejeki?"
Diingatkan tentang Sanjaya, Sangaji menunduk ke tanah. Tak sengaja ia
mengarahkan pandangnya ke arah medan pertempuran. Sejenak kemudian ia menghela
napas panjang sekali. Wajahnya muram luar biasa. Perlahan-lahan matahari mulai
memperli-hatkan kewibawaannya benar. Cahaya merah bersemu kuning tertebar
memenuhi persada bumi dan udara. Burung di kejauhan berter-bagan berkeliling.
Dan angin meniup pohon dan semak belukar seperti kemarin. "Anakku
Sangaji!" kata Ki Hajar Karang-pandan lagi, "Ilmu warisan Bende
Mataram benar-benar sakti di luar dugaanku sendiri. Kau gunakanlah
sebaik-baiknya. Kulihat kau hanya main menggeserkan batu-batu alam untuk
menggebuk mereka. Bukankah te-nagamu bakal habis? Samudera raya sekali-kali
pernah surut airnya. Masakan kau tidak?" Sangaji tak pandai berbicara,
karena itu tak tahu menjawab ucapan Ki Hajar Karang-pandan. Titisari yang
berada tak jauh lantas menyahut, "Paman! Dengan berlindung di belakang
tumpukan batu, nyawa kita terlin-dung satu malam penuh bukan?"
"Bagus! Tapi aku ingin mati di tengah la-pangan terbuka daripada mampus
seperti katak dalam tempurung," jawab Ki Hajar Karangpandan cepat.
Mendengar jawaban Ki Hajar Karang-pandan, Titisari menaikkan alisnya. Mendadak
teringatlah dia kepada Kebo Bangah. Pendekar itu bukankah semalam tiada
menampakkan batang hidungnya. Barisan tabuhannya lenyap pula. Mengapa tidak
disuruhnya bekerja, selagi mereka berada dalam kesibukan? Tak disadarinya
sendiri, ia menoleh kepada ayahnya. Adipati Surengpati kala itu berdiri tegak
di belakang dinding batu. Wajahnya nampak beku kejang, la sama sekali tak
bergerak. Melihat dia, hati-hati Titisari menghampiri. Berkata, "Ayah!
Apakah kita bakal mati seper-ti katak dalam tempurung?" Adipati Surengpati
mendengus. Sejenak kemudian menjawab, "Masakan Kebo Bangah bisa banyak
berlagak di depan hidungku?" "Apakah kompeni dan laskar Pangeran Bumi
Gede kurang berbahaya daripada Paman Kebo Bangah?" "Ayahmu ini
semenjak kau belum lahir, telah bertempur beberapa kali melawan kompeni dan
pemberontak-pemberontak picisan seperti Pangeran Bumi Gede. Tapi selama ini
hanya ada beberapa orang yang kuhargai, termasuk Kebo Bangah. Kau belum kenal
dia, anakku. Dia berjuluk pendekar berbisa. Karena itu, hendaklah selama
hidupmu berjaga-jaga menghadapi kelicinannya." Titisari mengerutkan
keningnya. Ia kenal, watak ayahnya yang angkuh dan tak meman-dang mata terhadap
segala rintangan lawan. Semalam ia ikut bertempur mati-matian, menghadapi
serangan-serangan berbahaya. Dan siapa saja merasa bahwa lawan terlalu banyak.
Tapi mengapa ayahnya tak memi-kirkan untuk meninggalkan kubang perta-hanan
dalam malam gelap? Memperoleh pi-kiran demikian Titisari mencoba, "Apakah
itu-lah alasan Ayah mengapa Ayah tak mening-galkan kubang pertahanan ini?"
Adipati Surengpati tak menjawab, la hanya mendengus. Kemudian mendongak sambil
tertawa perlahan. Mendadak berkata meng-alihkan pembicaraan, "Lihatlah,
anakku! Mereka mulai bergerak mengepung kita rapat-rapat. Sekiranya berhasil
mendekati kubang ini, apakah yang harus kaulakukan?" Titisari melepaskan
penglihatannya, laskar Pangeran Bumi Gede dan kompeni benar-benar mulai
mengepung kubang pertahanan rapat-rapat. Mau tak mau Titisari jadi gelisah.
Makiumlah, mereka memiliki senjata bidik dari jauh dan menempati gundukan
tinggi. Sedangkan yang berada dalam kubang pertahanan sama sekali tak
mempunyai. Dan tiba-tiba saja gadis itu insyaf apa sebab ayahnya tak mau
meninggalkan kubang pertahanan. Terus saja ia memeluk ayahnya erat-erat sambil
berkata penuh keharuan. "Ayah! Kau tak mau meninggalkan kubang batu ini
karena aku, bukan?" Perlahan-lahan Adipati Surengpati memeluk puterinya.
Kemudian berkata, "Nah, berkata-lah kau ingin meninggalkan kubang ini!"
"Mengapa begitu?" Titisari melepaskan pelukannya. "Bocah tolol
itu agaknya mempunyai ilmu sakti tiada taranya. Tapi apakah bisa melawan laskar
begini banyaknya." "Apakah Ayah bermaksud meninggalkan dia di sini
dengan sekalian paman-pamannya?" "Bumi Gede dan Kebo Bangah masakan
mau mengalah sebelum dapat memiliki kedua pusaka yang diperebutkan. Biarlah
mereka merampas kedua pusaka itu. Selagi mereka bertempur mati-matian, kita
diam-diam me-ninggalkan kubang batu ini. Kita kembali ke Karimun Jawa menekuni ilmu
Witaradya. Jika kau bersungguh-sungguh masakan muka kita akan hilang dalam
percaturan masyarakat?" Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Titisari
terkejut. Tak terasa ia mundur setengah langkah. Teranglah, bahwa pola pikiran
ayahnya senyawa dengan pendekar Kebo Bangah. Ia tak rela, Sangaji akan menjagoi
dunia di kemudian hari. Hal itu bisa dimaklumi. Tiga empat puluh tahun lamanya
ia bertekun mati-matian menyelami ilmu saktinya. Masakan si bocah ingusan itu
dalam sekejap saja sudah memiliki ilmu sakti begitu tinggi. Dalam penilaiannya
terhadap ilmu sakti Sangaji, ia agak lain daripada Kebo Bangah. Kebo Bangah
yang tak pernah puas terhadap semua ilmu yang dimiliki, terang-terangan ingin
memiliki sumber ilmu sakti Sangaji. Sebaliknya dia yang berkepala besar, tak
sudi mengakui keunggulan ilmu sakti Sangaji daripada ilmu warisan leluhurnya.
Namun begitu, diam-diam ia terkejut menyaksikan kehebatannya. Teringat akan
ucapan Gagak Seta bahwa pendekar bule itu mungkin akan menjadi murid Sangaji
kelak, hatinya jadi keder. Kalau benar-benar demikian, alangkah hebat! Ilmunya
sendiri tak melebihi ilmu Kumayan Jati pendekar Gagak Seta. Masakan dia pun di
kemudian hari berada di bawah bocah tolol itu? Inilah yang membuat dia
mempunyai kepentingan sendiri. Diam-diam ia mengharap, semoga bocah tolol itu
mati dalam pertempuran. Apakah Kebo Bangah atau Pangeran Bumi Gede yang
membunuhnya, tidaklah penting. Dengan demikian lenyaplah duri yang membahayakan
kedudukannya di kemudian hari. Cuma saja, Kebo Bangah harus dijaga benar agar
ilmu sakti Sangaji jangan sampai jatuh di tangannya. Sebaliknya kalau jatuh di
tangan pangeran itu, bukanlah soal. Biar pun dia memiliki laskar ribuan
jumlahnya, bukanlah suatu hal yang sukar untuk mencabut nyawanya.
"Ayah," kata Titisari berbimbang-bimbang. "Bukankah Sangaji
bakal menantumu?" Adipati Surengpati tertawa perlahan melalui hidungnya.
Berkata agak keras, "Diam-diam-lah kau di sampingku. Marilah kita saksikan
saja apa yang bakal terjadi. Kau kularang meninggalkan aku!" Mendengar
perintah ayahnya, Titisari jadi berduka. Kalau ayahnya berjaga-jaga
ter-hadapnya, biar pun mempunyai seribu kaki dan seribu tangan tidaklah akan
bisa berkutik. Teringat akan pengalamannya dahulu, maka ia mengambil sikap
lunak. "Baiklah," katanya ringan. "Apakah laskar Pangeran Bumi
Gede bakal menyerang?" "Lihat sajalah! Semalam mereka gagal. Tapi
bukan tak dapat melakukan sesuatu pada siang hari terang benderang," sahut
Adipati Surengpati. Dan ramalannya sedikit pun tak salah. Laskar Pangeran Bumi Gede
terdiri dari manusia-manusia yang dididik menjadi prajurit. Mereka bukanlah
termasuk golongan pendekar. Dalam malam hari pekat, mereka seperti kehilangan
akal. Tapi di tengah sinar matahari keadaan mereka jadi berlainan. Mereka kini
memusatkan kekuatan. Dan de-ngan dibarengi berondongan peluru kompeni, mereka
menyerbu berbareng dengan sorak-sorai. Diserbu demikian murid-murid Kyai Kasan
Kesambi keripuhan juga. Bagus Kempong adalah murid Kyai Kesambi yang memiliki
perhitungan-perhitungan cermat. Dengan ser-ta merta ia berkata kepada
saudara-sau-daranya. "Kita mundur ke barat. Di depan dan di belakang kita,
pengepungan sangat kuat. Anakku Sangaji! Mundur!" Mendengar teriak Bagus
Kempong, Gagak Handaka, segera memberi isyarat kepada adik-adik seperguruannya
agar mundur ke barat. Waktu itu, laskar terdepan sedang meli-hat Ki Hajar
Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo dan Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta yang luka
lambungnya tak mau menjadi penonton belaka, la segera memungut peng-gadanya,
kemudian melawan serbuan itu sebisa-bisanya. Menyaksikan semuanya itu, Sangaji
meng-kerutkan kening. Mendadak saja ia melompat ke atas tumpukan batu dan
berteriak nyaring. "Pangeran Bumi Gede! Di sini aku Sangaji. Kau ingin
memiliki pusaka Bende Mataram? Berurusanlah dengan aku. Semua yang bera-da di
sini tiada sangkut pautnya." Meskipun Sangaji disebut seorang tolol,
pemuda tolol, sebenarnya bukanlah dia tolol benar. Semenjak lama tahulah dia,
bahwa Pangeran Bumi Gede ingin memiliki kedua pusaka tersebut. Hal itu lebih
gamblang lagi, tatkala ia mendengarkan percakapan Pa-ngeran Bumi Gede dan
Sanjaya di dalam ben-teng. Tadi malam dia pun mendengarkan tutur kata Surapati
tatkala mengadu kepada Ki Hajar Karangpandan, tentang maksud ke-datangan
Pangeran Bumi Gede dengan mem-bawa laskar dan kompeni. Kini ia melihat
paman-paman, guru dan sekalian orang-orang tua yang dihormati ikut menderita
dan berkor-ban untuk kepentingannya. Mereka semua dalam bahaya dan mungkin
nyawanya takkan tertolong. Masakan dia masih bersitegang mempertahankan dua
benda keramat terse-but? Dia adalah seorang pemuda yang mulia hati dan jujur.
Hanya saja terlalu sederhana, la menganggap semua orang berperasaan dan
berpikiran seperti dia. Pikirnya, kalau kedua benda itu diserahkan, bukankah
Pangeran Bumi Gede akan menghentikan serbuan? Waktu berteriak, ia menggunakan
hampir seluruh tenaga saktinya. Karena itu suaranya menggeledek memekakkan
telinga sampai bisa mengatasi kecamuknya serangan. Kuda-kuda yang diserbukan
kaget sampai berjingkrakan. Tapi mereka dalam waktu menyerbu. Mereka tak dapat
berhenti menyerang seperti yang dikehendaki. Maka dalam gugupnya, ia mengangkat
pagar batu dan ditimpukkan berhamburan. Hasilnya di luar dugaan sendiri.
Pasukan penyerbu itu hancur berderai dan mundur kalang-kabut. Dan berbareng
dengan itu ia mendengar Panem-bahan Tirtomoyo berkata, "Anakku! Mundur!
Ini bukan waktunya adu kepandaian. Manusia bisa diajak berbicara tapi senjata
buta dan tuli." Terhadap Panembahan Tirtomoyo ia me-naruh hormat dan
kasih. Tak dikehendaki sendiri, ia menoleh. Mendadak ia melihat gurunya
terlibat dalam suatu perkelahian seru. Seluruh badannya berlumuran darah. Ia
terkejut setengah mati. Seperti garuda ia terus melesat dan menghantam
laskar-laskar yang mengepung gurunya. "Bagus!" seru gurunya gembira.
"Orang yang membunuh ayahmu bukankah Pangeran Bumi Gede? Mengapa engkau
mesti menye-rahkan kedua pusaka itu?" ia berhenti seben-tar. Kemudian
berteriak kepada Ki Hajar Ka-rangpandan, "Hai pendeta gendeng! Bukankah
ayahnya mati penasaran karena warisan pusaka keramat itu pula?" Diingatkan
kepada nasib ayahnya, darah Sangaji mendidih. Pada detik itu juga, timbul-lah
niatnya hendak mengadu nyawa dengan Pangeran Bumi Gede. Maka terus saja ia
berputar dan menghantam laskar penyerbu dengan pukulan jurus ilmu sakti Bende
Mataram. Dahsyatnya tak terlukiskan lagi. Mereka yang kena pukulannya, seperti
terben-tur suatu batu pegunungan raksasa. Tak ampun lagi mereka terpental dan
mati sebelum jatuh ke tanah. Laskar Pangeran Bumi Gede bubar berderai. Dan pada
saat itu pun juga, mereka berhenti menyerang. Ternyata mereka terkejut
mendengar suara guntur Sangaji yang meledak bagai dinamit. Tapi yang berada di
belakang, masih saja mendesak maju. Keruan saja mereka seperti saling tusuk dan
mempunyai akibat nya sendiri. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi yang se-dianya
hendak menjebol kepungan, menya-rungkan pedangnya. Pandangnya garang, gagah dan
berwibawa. Pada saat itu pula, terjadilah suatu hal yang tak terduga-duga. Dari
arah barat nampak sepasukan kuda membawa panji-panji kompeni. Mereka datang berbondong-bondong.
Jumlahnya lebih dari 250 orang. Kemudian terdengarlah suara terompet
melengking. Dan pasukan kompeni yang mengepung kubang batu, berhenti menembak
dengan mendadak. Medan perang jadi sunyi senyap mengerikan. Sangaji meloncat
kembali ke atas batu. "Pangeran Bumi Gede! Apakah kau bersedia berbicara?
Di sini Sangaji!" Pemuda yang berhati sederhana itu mengira, bahwa
berhentinya serangan dengan mendadak adalah karena Pangeran Bumi Gede
mendengarkan kata-katanya. Meskipun hatinya pedih seperti tersayat, namun ia
harus puas. Maklumlah, semenjak menjadi pemuda tanggung, ibunya selalu
menanamkan penuntutan dendam terhadap kematian ayahnya. Dibayangkan bentuk dan
perawakan tubuh si pembunuh. Dan dialah Pangeran Bumi Gede ayah angkat Sanjaya.
Dua tahun lamanya ia mencari kesempatan untuk membalas dendam. Inilah yang
untuk pertama kalinya, secara sadar ia bertemu berhadap-hadapan. Dan ia harus
menyerah kalah. "Bocah tolol!" gerutu gurunya yang ber-watak
berangasan. "Kau serahkan juga pusaka warisan itu? Ayahmu mati karena
pusaka itu. Gurumu ter-siksa pula karena pusaka itu. Hidup tidak mati pun
tidak." Mendengar gerutu gurunya, Sangaji meng-gigil. Tapi mengingat
keselamatan mereka semua, ia harus dapat menguasai diri. Bukankah serangan
Pangeran Bumi Gede ternyata berhenti. Inilah yang membuat hatinya harus puas.
Ia lantas menghibur diri. "Biarlah kali ini aku kalah. Nanti malam, besok
atau lusa bukankah aku masih bisa mencarinya seorang diri? Inilah perkaraku.
Dan biarlah kuselesaikan sendiri." Namun sekian lama ia menunggu. Pangeran
Bumi Gede tak menampakkan batang hidungnya. Ia jadi heran berbareng curiga. Dan
pada saat itu, muncullah serombongan serdadu mengiringkan seorang opsir yang
me-ngenakan pakaian lapangan. Panji-panji kom-peni berkibar-kibar di
sampingnya, berjajar dengan bendera Belanda. Itulah suatu tanda, bahwa komandan
pasukan berada di situ. Sangaji kala itu bukanlah Sangaji beberapa bulan yang
lalu. Meskipun ketajaman matanya dahulu sudah melebihi manusia lumrah, namun
bila dibandingkan dengan keadaannya sekarang jauh berbeda. Ketajaman panca
inderanya luar biasa. Perasaannya peka pula. Dan begitu melihat rombongan itu,
mukanya berubah hebat. Sebentar berseri-seri sebentar suram pula. Opsir itu
lantas melambaikan tangannya. Dan berteriak dalam bahasa Belanda, "Apakah
benar-benar anakku Sangaji?" Ternyata dia adalah Mayor de Hoop, ayah Sonny
tunangannya. Sudah beberapa minggu lamanya Mayor de Hoop berada di Jawa Tengah
dengan perintah memeriksa kekuatan kompeni untuk mem-bantu perjuangan Patih
Danurejo II yang bermaksud hendak menggulingkan tahta ke-rajaan Sultan Hamengku
Buwono II. Dengan sendirinya, ia bekerja sama pula dengan Pangeran Bumi Gede.
Tapi setelah laskar Patih Danureja II dan Pangeran Bumi Gede berkali-kali kalah
menghadapi tentara kera-jaan, terjadilah suatu perubahan politik dalam tata
pemerintahan kerajaan Belanda di Indonesia. Pagi itu ia menerima perintah, agar
menarik semua tentaranya. Bertepatan dengan datangnya perintah itu, salah
seorang opsirnya melaporkan tentang terjadinya pengepungan terhadap kubu
pertahanan tentara kesultanan, bersama-sama dengan laskar Pangeran Bumi Gede.
Seperti diketahui, dengan dalih mengadakan pembersihan Pangeran Bumi Gede
berhasil membawa satu peleton serdadu Belanda yang sebagai biasanya selalu
berada bersama dalam satu perkemahan. Buru-buru Mayor de Hoop menyusul dan
segera memerintahkan penghentian tembak-menembak. Dan pada saat itu, mendadak
saja ia mendengar suara Sangaji. Mula-mula ia kaget. Kemudian
tercengang-cengang. "Hai! Benarkah mereka tentara kesultanan?" ia
bertanya kepada komandan peleton yang mengepung kubu pertahanan semenjak
semalam. Belum lagi komandan peleton menjawab, Sonny yang ikut serta berteriak
nyaring bercampur girang. "Ayah! Bukankah itu suara Sangaji? Inilah
kudanya yang kuketemukan kemarin lusa." Seperti diketahui, gadis berambut
pirang itu muncul dengan mendadak di benteng tua. la datang dengan satu peleton
tentara untuk mencari Sangaji. la tak berhasil menemukan. Tapi si Willem dapat
dilihatnya dan dibawa pulang ke tangsi. Semenjak hari itu, Willem selalu
dibawanya pergi. Mayor de Hoop mengawasi Sangaji kemudi-an mengangguk dengan
kepala menebak-nebak. Hatinya jadi sibuk. Hampir dua tahun lamanya, Sangaji
meninggalkan Jakarta dengan dalih hendak menuntut dendam ayahnya. Karena
melebihi jangka waktu yang dijanjikan, Sonny jadi gelisah. Kebetulan ia
mendapat perintah meninjau kekuatan kompeni di Jawa Tengah. Dan puterinya itu
lalu ikut serta. , "Apakah bocah itu masuk menjadi tentara kesultanan
sehingga tak menepati janjinya?" ia menduga-duga. Kemungkinan itu ada,
tapi hatinya bersangsi. Karena itu, dengan dikawal beberapa bintara dan dua
orang opsir untuk menjaga segala kemungkinan, ia memasuki medan pertempuran
bersama Sonny ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 31 ILMU SAKTI TIADA TANDINGNYA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 31 ILMU SAKTI TIADA TANDINGNYA"
Post a Comment