BENDE MATARAM JILID 17 GUSTI AYU RETNONINGSIH
Titisari
lantas saja berdiri setengah berjongkok dengan pandang masih saja
menebak-nebak. Tak usahlah dia menunggu lama, karena pada saat itu juga
terdengarlah suara berdengung di udara. Gadis itu segera mendongak dan
melintaslah gerombolan tabuan berleret-leret seperti seekor naga. Ia melihat
Gagak Seta berdiri tegak sambil menyapukan tongkatnya. Gerombolan tabuan yang
kena hantamannya lantas saja bubar berderai. Tetapi barisan yang menyusul,
segera melayang rendah dan menyambar ber-deru-deru.
Titisari
yang tadi terkejut oleh sikap Gagak Seta, kini tahu apa sebabnya. Melihat Gagak
Seta dikerumuni ribuan tabuan kumatlah hati kanak-kanaknya. Dengan gembira, ia
berloncat-loncatan sambil memekik-mekik. Waktu itu Gagak Seta nampak sibuk.
Tangan dan tongkatnya berserabutan menyerang dan mempertahankan diri.
Sangaji
yang berdiri tak jauh daripada orang tua itu, segera datang menyusul dan
menggebu tentara angkasa yang menyerang begitu bernafsu. Titisari heran, mengapa
Sangaji berani melawan tentara tabuan dengan dada terbuka, la tak tahu, kalau
anak muda itu pernah menghisap madu lebah Tunjungbiru, yang membuat dirinya
kebal dari segala bisa tabuan. Kecuali itu, getah sakti Dewadaru yang mempunyai
sifat menghisap terhadap segala, menolong dirinya pula. Karena begitu mencium
bau binatang hidup, lantas saja bergolak hebat. Anehnya, pasukan tabuan itu
seperti sadar akan bahaya. Mendadak saja mereka bubar berderai dan terbang
terbirit-birit.
Gagak
Seta tercengang-cengang menyaksikan kesaktian Sangaji. Mula-mula ia menduga
anak muda itu mempunyai ilmu sakti pengusir tabuan. Teringat akan daya sakti
getah Dewadaru, batallah dia akan minta penjelasan.
"Bagus!"
ia berseru gembira. "Serbulah tabuan semua ini. Jangan biarkan mendekati
kita. Aku akan menolong bakal isterimu."
Sekali
meloncat, Gagak Seta sudah berada di depan Titisari. Ternyata gadis itu, sudah
hampir menjadi sasaran binatang-binatang angkasa. Agaknya, ketika merasa gagal
me-nyerang kedua sasarannya segera merubah arah kepada sasaran yang lain.
Gntunglah, begitu tentara tabuan menyerang dari angkasa, secepat kilat Gagak
Seta menyambar pinggangnya dan dibawa lari kembali ke gubuk.
Barisan
tabuan itu kemudian beterbangan mengelilingi gubuk. Terhadap Sangaji, mereka
tak berani menghampiri tapi terhadap Gagak Seta dan Titisari mereka tak kenal
takut.
Sangaji
sadar akan kesaktiannya. Cepat ia menghampiri gubuk dan mengusirnya. Melihat
datangnya Sangaji, cepat-cepat barisan tabuan itu lari menyibakkan diri. Yang
masih bandel, tiba-tiba saja tersedot dan jatuh rontok dari udara. Ratusan ekor
menempel pada lengan dan kaki Sangaji. Sedangkan yang akan rontok mengarah
kepala, segera disapu bersih oleh Sangaji.
Melihat
kesaktian dan ketangkasan Sangaji, Titisari bergirang bukan main. Dia
melompat-lompat kecil sambil membanggakan kawannya itu kepada Gagak Seta yang
berdiri berenung-renung. Sekonyong-konyong terdengarlah siul panjang melengking
di udara dan muncullah lima
orang
laki-laki di antara belukar yang tumbuh di seberang-menye-berang jalan. Barisan
tabuan yang kacau itu kemudian seperti kena diatur kembali. Mereka terbang
berputaran. Tak lama kemudian melanjutkan perjalanannya.
Gagak
Seta nampak tersinggung kehormatannya. Dengan meraup tanah, ia menghantam udara.
Dan seperti hujan, barisan tabuan rontok berantakan. Segera lainnya hendak
menuntut dendam, tapi kena dicegat Sangaji. Karena kesaktian getah Dewadaru dan
madu lebah Tunjungbiru, semua dapat diusirnya pulang-pergi sehingga barisan
angkasa kembali menjadi kacau.
"Hoeeee,
bangsat iblis!" terdengar salah seorang dari mereka yang datang
menghampiri. "Kamu berani mengganggu tabuan piaraan kami, apakah sudah
bosan hidup?"
Mendengar
dampratan itu, Titisari seperti mendapat napas. Memang dia seorang gadis bermulut
tajam lantas saja membalas mendamprat.
"Kau
bilang apa, bangsat iblis? Kamulah yang berani mengganggu kami. Apa kamu sudah
bosan hidup?"
Mendengar
Titisari mendamprat kelima orang pendatang itu, Gagak Seta bergembira.
Segera
ia membantu, "Hai! Apakah mereka bangsat iblis? Eh, bukan! Mereka iblis
kudisan dan anjing-anjing buduk."
"Eh,
kenapa begitu?" sahut Titisari. "Pantas moyongnya begini galak."
Kelima
orang itu gusar bukan kepalang, mendengar suatu percakapan timbal-balik yang
merendahkannya. Salah seorang yang berkulit hitam, tiba-tiba saja meloncat
sambil menyodok Titisari dengan penggadanya. Ternyata dia bukan orang
sembarangan. Karena serangannya cepat dan bertenaga.
Tetapi
Gagak Seta bukan pula laki-laki mu-rahan. Begitu melihat Titisari diserang,
tongkatnya lantas saja menyekat. Dengan mengulum senyum, ia menggagalkan
serangan sambil memusnahkan pula tenaga sambaran.
Laki-laki
berkulit hitam itu terperanjat bukan kepalang. Bagaimana tidak? Serangannya
mendadak saja jadi macet. Bahkan tenaga jasmaninya pun lenyap tak karuan. Ia
berusaha menarik penggadanya tetapi seperti terkait. Sadar akan bahaya,
cepat-cepat ia mengerahkan seluruh tenaganya. Tenaganya tetap terenyahkan, la
heran benar-benar.
"Hm—kamu
anjing buduk, bagaimana berani bertingkah di hadapanku. Minggat!" bentak
Gagak Seta. Dengan sedikit menggetarkan tongkatnya, laki-laki itu tiba-tiba
saja terpental di udara dan terlempar sejauh sepuluh langkah. Keempat kawannya
tercengang-cengang. Mereka segera menghampiri, tetapi benar-benar aneh. Setelah
kena dipentalkan di udara, dengan menungging laki-laki berkulit hitam itu
terbanting di tanah. Dia mencoba berdiri, tetapi kembali jatuh terbalik. Sekali
lagi hendak berdiri tapi sekali lagi pula jatuh terbalik. Akhirnya terkapar di
atas tanah dengan napas kempas-kempis.
"Kang
Seto, bagaimana?" salah seorang di antara temannya menghampiri. Orang itu
kelihatan heran, terkejut dan bingung.
Mendengar
teguran temannya, laki-laki berkulit hitam yang terkapar di atas tanah itu
mencoba bangkit. Tapi begitu ia bangkit, kembali tubuhnya jatuh terjongkok.
Tenaganya seperti terpunahkan. Tulang-belulangnya terasa terlolosi.
Menyaksikan
bagaimana rekannya kena dijungkir-balikkan dengan sekali hentak dan terus
menanggung derita tak terpunahkan mereka tak berani lagi berlaku gegabah
terhadap Gagak Seta. Serentak mereka bersiul memanggil barisan tahuannya dan
berlindung dalam kerumunannya. Rupanya mereka telah minum obat pemusnah bisa,
sehingga tidak takut berada di antara binatang-binatang angkasa yang berbisa
itu.
"Siapa
kamu?" damprat salah seorang di antara mereka yang tadi memaki Gagak Seta,
Titisari
dan
Sangaji sebagai iblis. "Jika kamu laki-laki, sebutkan nama kalian!"
Gagak
Seta mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak. Sama sekali dia tak
memandang mereka.
"Hai,
kamu bilang apa?" tiba-tiba Titisari membalas mendamprat. "Apakah
matamu lamur, sampai aku pun kalian sebutkan laki-laki? Kamu gerombolan orang
liar, kenapa menggembala begini banyak tabuan untuk mencelakai kami?"
Selagi
mereka hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah gemeretak roda kereta yang
ditarik dua ekor kuda. Sekalian yang berada di tempat itu, menoleh ke arah
jalan. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian putih mendongakkan diri dari
jendela kereta. Laki-laki itu kemudian memberi perintah kepada saisnya agar
menghentikan kuda penarik dengan serentak. Kemudian ia meloncat ke tanah dan
berjalan perlahan-lahan menghampiri mereka. Barisan tabuan yang kena dimasuki,
segera bubar berderai dan beterbangan kalang-kabut. Kelima penggembala tabuan
dengan gugup menyibak pula dan mem-bungkuk hormat kepadanya.
Titisari
terkejut, karena dia kenal siapakah orang itu. Dia adalah sang Dewaresi
pemimpin rombongan dari Banyumas yang pernah mengganggunya di serambi kadipaten
Pekalongan. Dia pulalah yang berani berkata keras di depan Pangeran Bumi Gede
di dalam rapat agung. Pribadinya memang berwibawa dan berpengaruh.
Gerak-geriknya gesit dan langkahnya penuh yakin.
Tatkala
melihat Titisari, sebentar ia terperanjat. Kemudian cepat tenang kembali
seperti tidak mendapat sesuatu kesan. Dengan berku-lum senyum, ia menghampiri
Gagak Seta sambil membungkuk hormat.
"Beberapa
sahabatku telah mengganggu Tuan. Atas kekurangajaran beberapa sahabatku,
perkenankan aku meminta maaf," katanya. Kemudian beralih kepada Titisari,
"Hai... Nona pun berada di sini. Mengapa meninggalkan Pekalongan tanpa
pamit?"
Titisari
kenal akan perangai sang Dewaresi tatkala di serambi kadipaten. Maka ia tak
menghiraukan ucapannya. Sambil menoleh kepada Gagak Seta ia berkata mengadu.
"Paman
Gagak Seta, inilah dia telur busuknya. Baiklah Paman menghajar padanya, biar
kapok."
Gagak
Seta mengangguk. Kemudian dengan pandang tajam ia mendamprat sang Dewaresi.
"Gdara
memang milik manusia seluruh dunia. Aku tahu. Tapi mengapa kamu begini serakah,
sampai dengan sewenang-wenang membiarkan binatang piaraanmu menggang-gu orang?
Bersandar kepada pengaruh siapa, kamu sampai berani mengangkangi udara
seolah-olah milikmu seorang?"
"Tabuan
ini datang dari jauh. Mereka sudah terbang melintasi wilayah negara
berhari-hari lamanya. Mungkin mereka sudah lapar dan haus, sehingga susah
dikendalikan lagi," sang Dewaresi membela.
"Hm!"
dengus Gagak Seta. "Sudah berapa kali kamu mencelakai orang?"
"Kami
melintaskan binatang-binatang itu di udara bebas yang jauh dari pedusunan.
Belum pernah kami mencelakakan orang."
"Eh—kau
bilang apa? Bukankah kamu ini Dewaresi!"
"Benar,"
sahut sang Dewaresi heran. Pandangnya beralih kepada Titisari. Lantasberkata,
"Rupanya Nona ini yang memberitahukan namaku kepada Tuan."
"Hai
telur busuk!" damprat Titisari. "Kau bilang, aku menyebutkan namamu
kepada Paman Gagak Seta. Siapa sudi menyebutkan namamu? Duh!"
Sang
Dewaresi tiada tersinggung hatinya oleh dampratan Titisari. Bahkan dia nampak
tersenyum. Tanpa memperdulikan Titisari, ia berkata kepada Gagak Seta.
"Sebenarnya
siapakah Tuan yang terhormat?"
Tapi
sebelum Gagak Seta menjawab, kembali Titisari mendamprat sengit.
"Bukankah
kamu sudah mendengar, aku menyebutkan namanya? Kamu telur busuk memang banyak
bertingkah, ldih!"
Kembali
sang Dewaresi tersenyum sambil mengerlingkan mata. Lakunya seperti kerbau
nggayemi mendengar lengking suara Titisari. Diam-diam Titisari jadi dengki
kepadanya.
"Bukankah
kamu anaknya Kebo Bangah?" Gagak Seta bertanya kepada sang Dewaresi.
Belum
lagi sang Dewaresi menyahut, mendadak saja kelima penggembala tabuan jadi
gusar.
Serentak
mereka memaki.
"Hai...
kau laki-laki bangsat! Bagaimana kau berani menyebut nama junjungan kami dengan
begitu saja."
Gagak
Seta tertawa terbahak-bahak sambil mendongakkan kepala. Berkata meyakinkan.
"Orang
lain memang harus membungkuk hormat terlebih dahulu sebelum memanggil namanya.
Orang lain memang harus menyertai sebutan paduka yang mulia sebelum memanggil
namanya. Orang lain harus memanggilnya dengan nama aslinya, Aria Bangah atau
sebutan Gede Singgela. Tapi aku, boleh memanggil bangsat itu dengan Kebo
Bangah. Memang dia seekor kerbau. Kalian mau apa?"
Mendadak
saja sekali menekan tongkatnya, Gagak Seta melesat ke arah kelima orang itu. Kemudian
menghadiahi mereka tamparan plak-plok-plak-plok serta melepas sambungan
geraham. Dan pada detik itu pula, ia telah melesat kembali ke tempatnya semula.
"Hai,
Paman Gagak Seta!" teriak Titisari girang. "Paman belum mengajar
kepandaian ini kepadaku," Titisari benar-benar bersikap dingin terhadap
mereka, sehingga tak menghiraukan peristiwa penamparan itu. Keruan mereka yang
kena tampar Gagak Seta, mukanya menjadi matang biru.
Sang
Dewaresi terperanjat menyaksikan kegesitan Gagak Seta, cepat-cepat ia menolong
bawahannya, agar terbebas dari rasa sakit.
"Hm,
jadi kamu kemenakan bangsat Kebo Bangah?" Gagak Seta berkata dingin.
"Sudah dua puluh tahun lebih, aku tak berjumpa dengan pamanmu. Apakah dia
belum mampus?"
Panas
hatinya sang Dewaresi, mendengar nama pamannya diperlakukan demikian. Tetapi
sadar kalau Gagak Seta bukan orang sembarangan dan rupanya sudah mengenal
pamannya, mau tak mau ia harus menelan hinaan itu. Dengan terpaksa ia
membungkuk hormat seraya berkata, "Paman pernah berkata kepadaku, bahwa
sebelum sahabat-sahabatnya meninggal terlebih dahulu, dia belum mau kembali ke
alam baka..."
Gagak
Seta tertawa gelak. Mendamprat, "Otakmu palsu seperti pamanmu. Kamu pandai
memakiku dengan jalan memutar. Bagus! Aku hanya hendak minta penjelasan, mengapa
kamu membawa binatang piaraan-mu menyeberang ke daerah Kasultanan?"
Sang
Dewaresi menyiratkan pandang kepada Titisari dan Sangaji. Melihat lengan dan
kaki Sangaji penuh dengan tabuan, sesaat ia terhenyak. Pikirnya, lengan dan
kaki bocah ini penuh rentep dengan tabuan Kelingking. Mengapa tidak mampus?
Jangan lagi begini banyak, seekor tabuan Kelingking sudah dapat menyita nyawa
seseorang. Memang selain bisa tabuan Kelingking berbahaya luar biasa,
sesungguhnya jenis tabuan itu sudah ditaburi racun berbahaya pula.
Binatang-binatang
itu direndam terlebih dahulu ke dalam getah buah Ingas yang liurnya bisa
membusukkan daging. Karena itu, seseorang yang kena disengat tabuan Kelingking,
akan mati dengan daging membusuk.
Sang
Dewaresi jadi sibuk menebak-nebak. Mau dia percaya, kalau Sangaji memiliki ilmu
sakti penolak bisa. Tetapi ilmu apakah itu? Menurut pamannya, di dunia ini
tiada obat pemusnah
racun
Ingas dan bisa sengat kecuali yang dimiliki keluarganya. Dasar ia berotak
terang, maka tak mau dia berlaku gegabah. Dengan mengimbangi gelagat, terpaksa
ia membungkuk hormat lagi menyahut pertanyaan Gagak Seta.
"Biasanya
kami selalu tinggal di daerah Jawa Barat. Kali ini kami melancong ke wilayah
Jawa Tengah. Karena iseng, kami membawa tabuan kami."
"Kenapa?"
"Bunga-bunga
sari yang dibutuhkan tabuan kami, dewasa ini nyaris ludes..."
Gagak
Seta tertawa mendongak.
"Kamu
bisa mengecoh siapa saja, tapi janganlah terhadapku..."
"Memang
betul, Paman," sambung Titisari. "Telur busuk ini datang ke Jawa
Tengah, karena memenuhi panggilan seseorang, la menghadiri rapat rahasia di
serambi kadipaten Pekalongan. Bukankah begitu."
Sebenarnya
sang Dewaresi mendongkol mendengar ujar Titisari, tetapi dia bisa membawa diri.
Dengan
tersenyum manis, ia membalas dengan membungkuk hormat.
"Hm—memang
keponakan dan Paman, sama-sama busuk," kata Gagak Seta. "Kamu bisa
malang-melintang di daerahmu tanpa ada yang mengusik. Tapi jangan mencoba-coba
edan-edanan di sini. Jika Gagak Seta masih bernapas, janganlah bermimpi di
siang hari bolong. Tapi karena memandang pamanmu, kali ini kamu kubebaskan.
Nah, enyahlah dari sini!"
Merah-padam
muka sang Dewaresi direndahkan demikian rupa. Gntuk melawan Gagak Seta, terang
ia merasa takkan menang. Hendak menerima hinaan itu alangkah sakit. Maka dengan
cerdik ia membalas.
"Jika
demikian, kami mohon diri. Karena Tuan memandang Paman, baiklah pula kami akan
menghadap Paman dan menyampaikan semua ucapan Tuan. Andaikata dalam beberapa
tahun ini Tuan masih sehat wal'afiat, alangkah besar hati kami apabila Tuan
sudi berkunjung ke pondok kami. Kami menjamin bahwa Tuan takkan menemukan suatu
bahaya apa pun juga."
Gagak
Seta tertawa lebar. Katanya sambil menaikkan alis, "Benar-benar mulutmu
licin seperti pamanmu. Tetapi aku tak mempunyai kebiasaan berjanji kepada
seseorang. Hanya kutegaskan di sini, bahwa pamanmu tak takut kepadaku—aku pun
tak takut padanya. Dua puluh tahun yang lalu, aku dan pamanmu pernah bertempur
beberapa kali. Hasilnya setali tiga uang! Karena itu apa guna kini mengadu
kekuatan lagi. Akhirnya sama juga..." ia berhenti mengesankan. Mendadak
berubah menjadi bengis, "Eh—kamu masih menunggu apa lagi? Nah, enyahlah
dari sini!"
Sang
Dewaresi terperanjat. Pikirnya, ilmu Paman belum kuwarisi separuhnya. Orang ini
pernah bertempur dengan Paman dan tidak ada yang kalah atau menang. Pasti bukan
orang sembarangan. Dan nampaknya, ia bukan pembual besar. Hm—kalau aku tak
cepat-cepat mengundurkan diri, bisa aku dipermainkan di depan gadis ini...
Mendapat pikiran
demikian, segera dia
memberi isyarat kepada
kelima orang bawahannya.
Kemudian
setelah mengerling kepada Titisari, ia berjalan mengarahkan kereta kudanya.
Kelima
orang hamba sang Dewaresi segera bersiul nyaring. Barisan tabuan mendadak saja
terbang menanjak udara dengan berdengung-an. Sebentar saja telah lenyap dari
pengli-hatan. Dan mereka kemudian berjalan berdampingan dengan tersipu-sipu.
"Paman
Gagak Seta!" kata Titisari nyaring. "Benarkah orang dapat menguasai
lebah!?"
Gagah
Seta menyusuti keringat di sepanjang lehernya, la menghela napas sambil meminta
seteguk air. Maka mereka memasuki gubuk. Setelah meneguk air, berkatalah Gagak
Seta berlega-hati.
"Sungguh
berbahaya...! Sungguh berbahaya...!"
"Apakah
yang membahayakan?" Titisari heran.
"Duduklah!"
perintah Gagak Seta. Kemudian berkata menasihati, "Jika kamu bersua dengan
jahanam itu, cepat-cepatlah berlalu. Bukan terhadap ilmu berkelahinya, tapi
semata-mata karena binatang piaraannya itu. Aku sih... tiada takut. Aku bisa
berjaga diri dan mengusir pergi. Tetapi kamu... itu, sih lain."
"Bukankah
binatang piaraannya itu adalah lebah lumrah?" Titisari menungkas.
"Bukan!
Bukan! Tabuan itu bernama Kelingking. Lihat! Warnanya hitam bersemu hijau. Dan
di sepanjang perutnya tergarit warna merah," sahut Gagak Seta sambil
menjumput seekor tabuan yang mati merentep pada tubuh Sangaji. Setelah
diperlihatkan kepada Titisari dia berkata lagi, "Konon kabarnya, tabuan
ini hanya hidup di suatu pegunungan di daerah Jawa Barat. Binatang ini sudah
berusia tua. Kabarnya, dulu adalah tabuan piaraan Aria Bangah, putera sulung
Raja Siliwangi. Tatkala bertempur melawan Ciung Wanara, Aria Bangah mencoba
mengerahkan tentara udaranya. Tetapi tak berhasil, karena Ciung Wanara memiliki
khasiat sakti semacam yang dimiliki Sangaji. Dengan demikian, Aria Bangah dapat
dikalahkan. Dia lari ke Jawa Tengah dan bermukim di Gunung Dieng. Ia hidup
sebagai pendeta dengan gelar Kyai Gede Singgela. Tabuan piaraannya tetap
dibawanya serta. Dan selanjutnya entah bagaimana tiba-tiba tabuan itu bisa
dikuasai bandot busuk," ia berhenti lagi. Meneruskan, "Bandot busuk—
paman Dewaresi itu—waktu mudanya bernama Gunawan. Rupanya setelah mendapat
tabuan Kelingking, dan mendengar sejarah tabuan itu, lantas merubah namanya
(nunggak semi ) dengan Aria Bangah gelar Gede Singgela. Tapi dasarnya dia
seorang bandot seperti kerbau, maka kami tetap memanggilnya si Kebo
Bangah," ia tertawa gelak.
"Apa
sih bahayanya tabuan Kelingking?" tanya Titisari dengan bernafsu.
"Bisanya
bagaikan seekor ular. Sekali kamu kena disengat, tak kan dapat disembuhkan dan
dipulihkan kembali jika tiada bersedia menjadi hamba si bandot busuk itu.
Karena dialah satu-satunya orang di seluruh dunia ini yang memiliki obat
pemusnahnya. Kabarnya, tabuan Kelingking direndamnya pula dalam getah buah
Ingas yang berliur racun jahat. Kauta-hu warna buah Ingas? Bentuknya seperti
sawo. Seseorang yang kena sentuh liurnya, akan mati membusuk. Karena itu
bagaimana bahayanya bisa kaubayangkan. Mungkin kamu bisa menghindarkan diri
dari sengatan dua ekor tabuan. Tapi tidak untuk seratus atau seribu ekor yang
menyerangmu sekaligus dari berbagai jurus... Tadi kulihat Sangaji bisa
melawannya.
Mula-mula
aku kaget. Kemudian heran. Akhirnya aku gembira dan bersyukur. Kupikir,
andaikata mereka melawan aku bisa menghadapinya. Sedangkan terhadap tentara
tahuannya adalah bagianmu. Hanya saja... andaikata si Kebo Bangah bandot busuk
itu muncul pula, nah itulah berbahaya. Aku, sih tak takut padanya. Tetapi kamu
berdua, meskipun sudah hampir meyakinkan ilmu saktiku yang kuberikan kepadamu, belum
bisa melawannya. Sekali kamu bertempur takkan bisa lolos dari
pengamatannya..."
"Apa
dia maha-sakti?" Titisari cemas.
"Apakah
ayahmu belum pernah memberi tahu kepadamu, bahwa di dunia ini selain ada Kyai
Kasan Kesambi, Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber Nyawa, Kyai Haji Lukman
Hakim, ayahmu dan Gagak Seta masih ada seorang lain bernama Kebo Bangah?"
Titisari
menarik napas. Seperti terhadap diri sendiri, dia berkata perlahan,
"Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber Nyawa dan Kyai Haji Lukman Hakim
sudah wafat. Kini tinggal Kyai Kasan Kesambi, Ayah, Paman Gagak Seta dan Kebo
Bangah. Siapakah di antara keempat orang yang masih hidup itu, yang
terunggul?"
"Meskipun
keenam orang masih hidup lengkap, takkan mampu melawan Kyai Kasan
Kesambi."
"Bagus!"
Titisari girang. "Bukankah Kyai Kasan Kesambi adalah kakek-guru
Sangaji?"
"Ya,"
sahut Sangaji berbesar hati. "Aku adalah murid Wirapati—murid keempat Kyai
Kasan Kesambi."
"Aku
sudah mengetahui. Caramu mengatur napas, caramu bergerak dan gaya lakumu adalah
gaya warisan Kyai Kasan Kesambi. Meskipun kamu telah menghisap getah sakti
Dewadaru dan menelaah ajaran napas Ki Tunjungbiru, apakah kau kira kamu mampu
mewarisi ilmu saktiku begini gampang, andaikata kamu tak memiliki warisan ilmu
Kyai Kasan Kesambi?" sahut Gagak Seta sungguh-sungguh. "Anak! Kyai
Kasan Kesambi kini sudah menjadi seorang pertapa. Dia tak mengurusi soal
keduniawian. Tapi cobalah kamu datang menghadap padanya. Jika dia mau memberi
wejangan dan wewenangan tentang cara melebur ilmu sakti Bayu Sejati dan ilmu
sakti Kumayan Jati, kamu akan menjadi satu-satunya orang yang bakal bisa
menggempur kecongkakkan Kebo Bangah. Apa lagi, jika bakal mertuamu mau campur
tangan. Karena dengan demikian, sekaligus kamu memiliki ilmu-ilmu simpanan
Surengpati, Kyai Kasan Kesambi dan Gagak Seta. Siapa orang di seluruh dunia
yang mampu menandingi ilmu gabungan kami bertiga?"
Mendengar
ujar Gagak Seta, mata Titisari bersinar-sinar penuh harapan. Sedangkan Sangaji
nampak gelisah luar biasa. Sebab, tiba-tiba saja teringatlah dia kepada gurunya
yang sudah berjalan mendahului sebulan yang lampau.
Tiba-tiba
Gagak Seta melompat berdiri dan kemudian berjalan mondar-mandir seperti laku
serigala, la termenung-menung beberapa saat lamanya. Kemudian berkata seorang
diri.
"Bandot
bengkotan Kebo Bangah itu sudah berhasil memiliki Ilmu Swaradahana untuk
menaklukkan semua binatang galak dan berbisa. Inilah ketekunan yang tidak
mudah. Dewaresi bisa menghasut yang bukan-bukan kepadanya. Dan sekali keluar
dari sarangnya, pastilah Bandot bangkotan itu membawa binatang piaraannya yang
beraneka warna. Aku harus menemukan suatu senjata penangkis untuk melawan
binatang-binatangnya yang berbisa..."
Titisari
jadi ikut berpikir pula.
"Paman!
Di tempat kami, di kepulauan Karimun Jawa, penduduk gemar makan ulat lebah. Aku
pernah ikut salah seorang pelayan kami yang sering mencari sarang-sarang lebah
di hutan. Dia membebat kepalanya dengan kain tebal. Kemudian dengan membawa
obor dia mengusir kerumunan lebah. Dengan demikian berhasillah dia membawa
sarang lebah pulang."
"Hm,
bagus!" sahut Gagak Seta, tetapi mukanya nampak suram. Ia berjalan
mondar-mandir kian cepat. "Tapi aku bukan seorang perempuan yang hanya
pandai mempertahankan diri atau hanya mengusir tabuan," katanya seperti
memaki diri sendiri.
Titisari
terdiam, la tak berkata lagi. Dan membiarkan Gagak Seta sibuk seorang diri
semalam penuh. Keesokan harinya karena melihat Gagak Seta agaknya membatalkan
kepergiannya, segera ia berkemas dan berangkat memasuki dusun berbelanja.
Waktu
matahari hampir mendekati titik-te-ngah, ia datang kembali dengan membawa dua
ekor ayam dan sebuah bungkusan tebal. Beda dengan biasanya, Gagak Sata sama
sekali tak menaruh perhatian kepada dua ekor ayam yang dibawanya. Masih saja ia
duduk termenung-menung seperti seorang lagi ber-duka. Dengan demikian, Titisari
bisa memasak dengan leluasa tanpa gangguan. Setelah selesai memasak, ia membuka
bungkusannya. Kemudian berkata kepada Sangaji.
"Aji!
Kau bisa bermain dakon?"
Dia
adalah gadis lincah yang tak senang kepada suatu kemurungan. Gntuk mengisi
kekosongan hati, ia mencari kesibukan lain. Tadi ia membeli sebungkus isi sawo.
Maksudnya hendak dipergunakan sebagai biji-biji permainan dakon. Tapi
kawannya—Sangaji—adalah seorang pemuda yang dibesarkan di tangsi militer
Belanda. Masa kanak-kanaknya hilang direguk suatu nasib yang tak berketentuan.
Permainan kanak-kanak, tak begitu banyak dikenalnya. Kecuali, memancing,
berketapel, berlari, berburu dan adu tinju.
"Dakon?
Apa dakon itu?"
"ldih!
Masa tak tahu?" Titisari setengah menyesali. "Mari kuajari."
Dengan
tersenyum pahit, Sangaji menghampiri. Ia merenungi gadisnya, tatkala membuat
enam belas lobang di tanah. Kemudian mengisi tiap lobang dengan tujuh biji isi
sawo.
"Sekarang
lihat dan dengarkan petunjuk-petunjukku," hendak mulai mengajar. Mendadak
saja, Gagak Seta yang duduk termenung-menung seorang diri melesat sambil meraup
semua biji isi sawo.
"Ini
dia! Ketemu! Ketemu!" serunya girang. Kemudian ia lari keluar gubuk dan
dengan sekaligus menebarkan seraup biji isi sawo ke udara. "Hai! Bukankah
isi sawo ini bisa dijadikan senjata pembidik pemusnah tabuan?" katanya
nyaring.
Melihat
Gagak Seta begitu girang, Sangaji dan Titisari saling memandang. Mereka ikut
pula lari keluar gubuk menyaksikan Gagak Seta membidikkan biji-biji sawo dengan
cekatan dan berwibawa.
"Ah!"
seru Titisari tertahan. "Sekiranya biji-biji sawo bisa Paman jadikan suatu
senjata bidik, alangkah gampang. Aku bisa mengumpulkan biji sawo ribuan dalam
sehari."
"Kamu
memang anak siluman," kata Gagak Seta. "Seandainya tidak ada kamu,
sampai kepala ubanan tak bakal aku menemukan senjata pemusnah untuk melawan
tabuan si bandot Kebo Bangah. Hai, kamu bocah berdua, ikutlah aku! Bukankah
kamu ingin kuajari ilmu membidik untuk menum-bangkan lawan dari jauh?"
Orang
tua itu lantas saja menarik lengan kedua muda-mudi itu. Mereka dibawa lari
memasuki hutan. Dan di sana mereka diajar menimpuk dari jauh dan membidik
cepat.
Ilmu
membidik dan menimpuk tidak hanya bersandarkan suatu tenaga jasmani belaka.
Tetapi harus menguasai tenaga napas yang teratur. Dengan demikian, bisa
mengendalikan daya tekan dan lontaran yang dikehendaki. Untuk melahirkan ilmu
itu, mereka berdua membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya. Tetapi Gagak Seta
nampak bergirang benar. Dengan pandang berseri-seri tak bosan-bosan ia memuji
hasil penemuannya itu.
"Memang
aku seorang jembel. Hm, bagaimana aku bisa membeli alat senjata yang
bukan-bukan. Sekarang aku tak perlu lagi kain penutup tubuh atau obor gede.
Cukup dengan sekali lontaran, aku bisa meruntuhkan ribuan tabuan. Si tua
bangsat Kebo Bangah pasti akan mendongkol setengah mati..."
Karena
gembiranya, Sangaji diajari pula ilmu permainan petak. Mula-mula
ber-loncat-loncatan seperti kanak-kanak bermain petak. Tapi lambat laun, terasa
besar daya gunanya. Karena tiba-tiba menjadi ilmu rahasia mengenal bidang
gerak.
Untuk
menguasai ilmu petak ini, Sangaji memerlukan sembilan hari lamanya. Sebaliknya
Titisari sudah dapat memahami dalam waktu hanya tiga hari saja. Dengan
demikian, nampaklah perbedaan nilai kecerdasan antara Sangaji dan Titisari.
Sesungguhnya, sampai di kemudian hari Sangaji tak dapat melawan kecerdasan otak
Titisari. Sebaliknya, Titisari di kemudian hari menemukan suatu kesulitan
karena kecerdasan otaknya sendiri. Seperti diketahui, seseorang yang terlalu
pandai tak betah menekuni suatu ajaran sampai mencapai dasarnya, karena tak mau
terikat oleh suatu pengertian tunggal yang beku. Deru hatinya ingin menguasai
ilmu-ilmu yang lain dengan cepat dan sekaligus seperti arus air turun dari
ketinggian yang segera meraba seluruh persada bumi yang dihadapi. Itulah
sebabnya, dalam hal ketabahan, keuletan, kesempurnaan dan ketangguhan tak
menang dengan Sangaji. Setelah menerima ajaran ilmu petak, Gagak Seta hendak
menurunkan pula ilmu menggunakan tongkat. Tetapi Sangaji menolak.
"Mengapa?"
Gagak Seta heran.
"Otakku
terlalu bebal," katanya. "Paman sudah mengajariku begini banyak. Ilmu
Kumayan Jati saja belum dapat kukuasai dengan sempurna."
Gagak
Seta terhenyak sebentar. Dengan berdiam diri ia merenungi pemuda itu. Pikirnya,
anak ini jujur, sederhana, dan berhati mulia. Hatinya tidak serakah seperti
kebanyakan. Kukira hanya
alasan
yang di cari-cari saja, dia menyatakan tidak akan sanggup menerima beberapa
macam ilmu.
"Sangaji!
Kamu seorang yang jujur," akhirnya dia berkata. Kemudian dengan
menggandeng Titisari ia berkata kepada gadis itu, "Ayo, kita
berlatih!" Dan dengan sekali melesat, tubuhnya hilang di balik
semak-belukar dengan menggandeng Titisari.
Pada
suatu hari, Gagak Seta tidur mendengkur di bawah pohon jati. Waktu itu matahari
lagi sepenggalan tingginya, Sangaji berada tak jauh dari orang tua itu—lagi
menekuni rahasia-rahasia Ilmu Kumayan Jati.
Titisari
merenungi Gagak Seta. Terasalah dalam hatinya, bahwa dalam beberapa hari lagi
orang itu akan berangkat berpisah entah ke mana. Mengingat budinya, dia jadi
terharu. Timbullah niatnya hendak membalas jasa orang itu sekuasa-kuasanya.
Maka ia hendak berbelanja. Dalam benaknya ia sibuk merencanakan suatu resep
masakan yang istimewa.
Dengan
menjinjing keranjang, ia memasuki Dusun Karangtinalang. Pagi itu,
penduduknampak sibuk. Sebagai seorang gadis yang berwatak usil, lantas saja ia
sibuk me-nebak-nebak. Bukankah hari ini, hari biasa? pikirnya. Mengapa mereka
berada di jalan begini berbondong-bondong? Mendapat pikiran demikian, segera ia
mempercepat langkah. Kemudian menggabungkan diri ke dalam kerumunan orang. Tak
usahlah lama ia menunggu teka-teki itu, atau ia melihat kereta kuda
berderet-deret. Dua belas ekor kuda nampak pula tercincang di
seberang-menye-berang jalan.
"Eh,
apakah ada keramaian?" ia sibuk menduga-duga.
la
berhenti di depan sebuah rumah yang berhalaman luas. Rumah itu terlalu
sederhana. Dinding dan tiang-tiang gurunya terdiri dari bambu yang sudah tua.
Di tempat-tempat tertentu meskipun belum reot sudah banyak yang keropos.
Halamannya yang luas nampak tak terpelihara. Semak belukar tumbuh dengan
liarnya. Samar-samar beberapa pohon tinggi yang berdiri sebagai pagar,
kelihatan hitam semua seperti bekas kena bakar.
Rumah
ini tidak ada keistimewaannya. Reyot dan tak terpelihara. Nampaknya habis
mengalami kebakaran. Mengapa mendapat perhatian begitu besar? Titisari berpikir
dalam hati. Rasa usilnya lantas saja menjadi berkobar-kobar. Ia melongokkan
kepala di antara penduduk yang berdiri merubung jalan. Mendadak saja, ia
melihat seorang gadis berjalan menyusup di seberang sana. Dialah Nuraini—anak
pungut Wayan Suage—yang berjalan bersama Wirapati dua bulan yang lampau.
Melihat
dia Titisari lantas saja membuntuti. Ternyata, Nuraini berusaha melintasi
halaman rumah itu dengan hati-hati. Begitu berhasil berada di tepi sana, segera
ia mempercepat langkah. Ia memasuki suatu tikungan dan mulailah dia
berlari-lari. Mendadak saja sesosok bayangan bekelebat di depannya.
"Kau
lagi mencuri apa?" bayangan itu menegur galak. Nuraini terperanjat sampai
raut mukanya berubah. Melihat siapa yang menghadang, hatinya jadi lega.
"Ah!
Bukankah kau sahabat Kangmas Aji?" ujarnya.
"Kangmas,
kangmas, kangmas," damprat Titisari tak senang. "Mengapa memanggil
kangmas?"
Sebentar
Nuraini tercengang mendengar bunyi teguran itu. Kemudian menjawab, "Karena
dia putera almarhum Made Tantre. Aku sendiri anak pungut almarhum Wayan Suage.
Se-lain almarhum Made Tantre lebih tua usianya daripada ayah-angkatku kangmas
Sangaji pun beberapa tahun lebih tua daripadaku."
Titisari
terdiam. Tapi kesan mukanya tetap keruh. Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Dimanakah guru Sangaji?"
"Ah,
Beliau sudah mendahului pulang ke Sejiwan. Dia sudah menunggu terlalu lama.
Mengira, Kangmas Aji mengambil jalan lain ia segera meneruskan
perjalanan."
"Inilah
aneh. Mengapa kamu di tinggal seorang diri?"
Nuraini
tersenyum lebar. Ia memaklumi kecurigaan Titisari. Lantas saja memberi
penjelasan.
"Pertama-tama,
aku pernah hidup di dusun ini beberapa tahun lamanya. Hampir semua penduduk
mengenalku. Kedua, Paman Wirapati meninggalkan pesan untuk Kangmas Aji, apabila
dia lewat dusun ini. Ketiga, aku ingin berbicara kepadanya tentang pesan
penghabisan ayah-angkatku."
Titisari
merenungi Nuraini dengan pandang tajam, la melihat gadis itu bersanggul bentuk
Jawa Barat dan mengenakan tusuk rambut dari emas yang dihiasi pula dengan
beberapa butir intan. Mendadak saja ia menyambar cepat dan mencabut tusuk
rambut itu dari sanggul.
Nuraini
terperanjat. Ia sama sekali tak mengira Titisari akan memperlakukannya demikian
rupa, sehingga tusuk rambut itu bisa tercabut dari sanggulnya. Tak peduli dia
seorang gadis yang cekatan, tangkas, gesit dan pandai berkelahi.
"Adik!"
serunya menebak-nebak. "Mengapa... Mengapa?"
Tetapi
Titisari sesungguhnya seorang gadis yang nakal. Perangainya angin-anginan pula.
Dia bisa menangis dan tertawa dengan berbareng. Kadang-kadang tingkah-lakunya
lembut. Mendadak sontak bisa jadi berandalan. Dan kali itu, watak berandalannya
lagi kumat, karena hatinya panas mendengar Nuraini menyebut kangmas terhadap
Sangaji. Maka ia hendak mempermainkannya. Dengan menjulurkan lidah ia berkata
nakal.
"Hai
yayi Nuraini... Aku pinjam tusuk rambutmu hendak kuperiihatkan kepada Kangmas
Sangaji."
Merah
muda raut muka Nuraini mendengar olok-olok Titisari. Dengan mengendapkan rasa
mendongkolnya, ia mencoba.
"Adik!
Kembalikan!"
"Idih!
Kembalikan? Baik, kamu boleh ambil kembali kalau mampu," sahut Titisari.
Dan setelah berkata demikian, sekonyong-konyong ia melesat pergi. Pikirnya,
kebetulan. Biar ku-ujinya ilmu petak Paman Gagak Seta dengan dia. Hm... enak
saja kamu memanggil kangmas, Aji adalah kepunyaanku. Kau tak boleh menyebut
namanya tanpa izinku..."
Nuraini
tak mengetahui isi hati Titisari. Ia mengira, gadis cantik itu hendak
menggodanya barang sebentar. Tak tahunya, dia benar-benar lari dengan cepat.
Maka rasa mendongkolnya berubah menjadi panas. Sekaligus ia menjejak tanah dan
melesat mengejar.
Nuraini
sebenarnya bukanlah seorang gadis sembarangan. la gesit, cekatan dan tangkas.
Seumpama Titisari belum mewarisi ilmu petak dari Gagak Seta, pasti akan bisa
dikejarnya dengan gampang. Sayang, Titisari sekarang bukan lagi Titisari dua
bulan yang lalu. Seperti kupu-kupu ia melesat ke sana ke mari seperti
kanak-kanak bermain gobak sodor. Aneh-nya, larinya cepat luar biasa. Diam-diam
Nuraini heran. Dan ketika ia mengamat-amati, hatinya tercekat.
Hai!
Bukankah ini ilmu petak paman Gagak Seta? pikirnya dalam hati. Aneh! Apakah dia
muridnya? Ah, mustahil Paman Gagak Seta mengambil seorang murid. Dan tak
mungkin pula dia menjadi murid seorang aneh itu.
Mendapat
pikiran demikian, hatinya yang mulai cemas menjadi tenang kembali. Tetapi
Titisari waktu itu memang sengaja menguji ilmu petak ajaran Gagak Seta. Karena
itu lam-bat-laun kecurigaan Nuraini kian naik. Segera ia mengenali dan rasa
cemasnya bergolak hebat.
"Adik!"
serunya mencoba. "Apa kabar Paman Gagak Seta?"
Mendengar Nuraini
menyerukan nama Gagak
Seta, Titisari heran
sampai berhenti berlari.
Kemudian
menyongsong dan mendadak saja melesat sambil menghantam tulang rusuk.
"Adik!
Adik! Siapa adikmu?" dia mendamprat.
Buk!
Tulang rusuk Nuraini kena dihantamnya dengan satu jurus Ratna Dumilah. Nuraini
jadi penasaran. Melihat perangai Titisari, lantas saja timbullah marahnya.
Segera ia mengadakan perlawanan.
"Huh!
Apa sih hebatnya Ilmu Ratna Dumilah," ejek Titisari. Kemudian dengan gesit
ia mengelak dan menghajar tulang rusuk Nuraini kembali. Buk!
Nuraini
heran bukan kepalang. Pikirnya, apakah benar-benar dia murid Paman Gagak Seta?
la
mencoba menyerang. Sekarang ia mendapat kepastian. Titisari lagi menggunakan
jurus yang sedang dilancarkan. Bahkan lebih gesit dan lebih sempurna. Keruan ia
kaget sampai berteriak, "Tahan dulu. Siapa yang mengajarimu jurus
ini?"
Titisari
tertawa. Menjawab, "Inilah ciptaanku sendiri. Mengapa? Apakah
murahan?"
Setelah
berkata demikian dengan memutar tubuh ia melancarkan jurus ketiga. Melihat
gerakannya, Nuraini bertambah heran. Katanya, "Kau kenal nama Gagak
Seta?"
"Tentu
saja aku kenal dia. Sebab dia adalah sahabatku. Soalnya, inilah ilmu ciptaanku
untuk merabu musuh. Lihat!"
Tanpa
mempedulikan keadaan hati Nuraini dia terus menyerang dengan jurus-jurus Ratna
Dumilah bertubi-tubi. Sudah barang tentu Nuraini keripuhan. Satu dua kali dia
bisa menangkis. Selanjutnya terpaksa mundur dan mundur. Tetapi Titisari terus
memberondongi pukulan-pukulan dahsyat. Memang dia lagi kumat. Hatinya gemas,
sekaligus ia menyerang dengan sungguh-sungguh. Kadang-kadang menggunakan
jurus-jurus warisan ayahnya. Sudah barang tentu, Nuraini bukan tandingan lagi.
Sebentar saja pundaknya kena terhajar dan kemudian pinggangnya. Tak ampun lagi
ia roboh terjengkang.
Titisari
benar-benar nakal. Melihat Nuraini roboh, tusuk rambut sitaannya lantas
diancamkan di depan kedua kelopak mata.
"Ih!
liiih!" ia gemas dan seolah-olah ingin mencublas sekali tusuk.
Nuraini
memejamkan mata. Bulu kuduknya menggelidik. Ia mencoba menyenakkan mata.
Terlihatlah tusuk rambutnya berkelebat di depan gundu matanya. Keruan ia
cepat-cepat menutup mata menunggu nasib. Tetapi ternyata Titisari tiada
mengusik matanya. Maka timbullah watak perwiranya.
"Kau
menggangguku tanpa perkara. Kalau mau membunuh, bunuhlah cepat. Jangan
menyiksaku dengan membutakan mata."
"Hm,
membunuh sih perkara gampang. Tapi tiada niatku hendak membunuhmu," sahut
Titisari sambil tertawa nakal. "Hanya saja kamu harus bersumpah tujuh
turunan kepadaku."
Nuraini
beradat angkuh, kukuh dan keras hati. Dalam soal kehormatan diri, ia memilih
mati daripada dihina. Maka ia menantang.
Keruan
ia cepat-cepat menutup mata menunggu nasib...
"Kalau
kamu mau membunuh, bunuhlah! Tapi jangan bermimpi kamu bisa memaksaku bersumpah
segala terhadapmu."
"Eh—hm..."
Titisari mengancam. "Baiklah, kamu sudah kuberi kesempatan. Sayang ...
sayang... rupamu cantik... siapa mengira akan mati muda..."
Nuraini
memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua telinganya ditutupnya rapat. Dan mulutnya
terkatup rapat untuk menguatkan hati. Karena itu, sejenak jadi hening.
Mendadak
ia mendengar Titisari berkata, "Meskipun ayah-angkatmu adalah sahabat ayah
Sangaji, tapi kamu baru berkenalan dengan dia selama setengah hari saja.
Sebaliknya, aku sudah bersahabat beberapa hari sebelumnya. Aku memanggilnya Aji
begitu saja. Mengapa kamu begitu lancang dengan memanggilnya kangmas? Apakah
kaukira, dia sudi jadi suamimu?"
Mendengar
ujar Titisari, Nuraini heran sampai tercengang-cengang.
"Kau
bilang apa?" tanyanya menegas. "Bagaimana kamu berkata, bahwa aku
bakal jadi isteri kangmas Sangaji?"
"Hm...
aku bukan goblok! Kau tadi berkata, kalau kamu akan membicarakan suatu pesan
almarhum ayah-angkatmu. Hayo... pesan apa itu!"
"Ah!"
Nuraini terkejut. Mendadak terus berkata dengan mantap. "Baik... kau
menghendaki aku bersumpah apa?"
"Pertama-tama,
kau harus menerangkan bunyi pesan gurunya. Kedua, kau harus menerangkan bunyi
pesan ayah-angkatmu. Ketiga, kau tak boleh kawin dengan Sangaji," sahut
Titisari dengan sungguh-sungguh.
Mendengar
ujar Titisari, Nuraini tertawa. Tiba-tiba timbullah pula sifat gadisnya,
"Baik-baik aku... bersumpah... eh tidak... Eh! Eh! Siapa mengira, kalau
Kangmas Sangaji mempunyai cadangan isteri begitu molek. Meskipun tak usah
bersumpah, bagaimana aku bisa kawin dengan dia."
"Hai,
benarkah itu?" seru Titisari girang. Terus ia melepaskan ancamannya sambil
minta ketegasan lagi, "Mengapa? Apa karena Aji seorang pemuda yang bebal
otak? Atau karena tidak tampang? Hayo bilang!"
Nuraini
menarik napas lega, karena terbebas dari ancaman. Matanya bersinar girang.
Melihat perangai dan keadaan hati Titisari, hatinya bertambah-tambah lega.
Menjawab tenang, "Dengarkan! Bukankah aku harus menerangkan semua? Yang
pertama, gurunya berpesan kepadanya agar dia cepat-cepat menyusul ke Sejiwan.
Dia akan ditunggu di kaki gunung. Dan benda yang dicari belum diketemukan.
Gurunya menunggu penjelasannya. Kedua, inilah pesan ayah-angkatku yang hendak
kubicarakan dengan Kangmas Sangaji. Ayah-angkatku memang berpesan kepadanya,
agar dia... agar dia mengambilku sebagai isterinya. Tetapi ah,... Ayah lupa,
kalau aku sudah menjadi milik orang lain. Karena itu, bagaimana bisa aku
melakukan pesan itu?"
Mendengar
ujar Nuraini, Titisari girang bukan kepalang sampai mau melompat. Lantas saja
dia berkata nyaring merendahkan diri, "Maaf! Aku salah duga. Jika
demikian, tak usahlah kamu menepati tuntutanku yang penghabisan. Kau boleh
memanggil Aji dengan kangmas."
Setelah
berkata demikian, ia memeluk Nuraini dan menciuminya. Kemudian dengan kata
mesra ia minta penjelasan, "Sesungguhnya, kamu milik siapa?"
Nuraini
tak menjawab dengan segera. Mukanya merah dan tiba-tiba menunduk ke tanah.
Akhirnya berkata tersendat-sendat, "Kamu sudah pernah melihatnya."
"Aku
sudah pernah melihat?" Titisari mengerutkan dahi. Sebentar dia berdiam
menebak-nebak, kemudian berkata, "Hm... apa ada seorang pemuda yang bisa
mencuri hatimu?"
"Eh!"
Nuraini tertawa lebar, "Apa di dunia ini hanya ada Kangmas Sangaji
belaka?"
"Habis?"
Titisari tertawa merasa, "Siapa yang melebihi dia? Apa kamu tidak
berbohong tak mau kawin dengan dia?"
"Meskipun
aku hendak digantung, takkan mau aku menjadi isterinya."
"Mengapa?
Apa karena dia tolol?"
"Tolol?"
Nuraini terbelalak. "Sama sekali tidak. Aku mengagumi keluhuran budinya,
kemuliaan hatinya dan keperwiraannya."
Titisari
jadi sibuk sendiri mendengar ujar Nuraini. "Inilah aneh."
Nuraini
kemudian menekan pergelangan tangan Titisari sambil berkata menguji, "Adikku.
Ingin aku bertanya kepadamu. Benar-benarkah di dalam dunia ini hanya ada
seorang Sangaji belaka dalam hatimu?"
Titisari
adalah seorang gadis polos. Mendapat pertanyaan demikian tanpa segan-segan
terus
mengangguk.
"Sekiranya
di dunia tiba-tiba muncul seorang pemuda yang jauh lebih ganteng dan perkasa,
apakah kamu akan meninggalkan dia?" ujar Nuraini lagi.
"Aku
meninggalkan dia? Hm... jangan bermimpi. Hanya saja, di kolong dunia ini tak
bakal ada seorang pemuda yang bisa melebihi Aji. Aku yakin."
Nuraini
tertawa.
"Aduh!
Sekiranya Kangmas Sangaji mendengar kata-katamu, bagaimana takkan berbesar hati
dia. Dan tahukah kamu adikku, kalau di dalam hatiku pun tersimpan sebutir
mutiara yang tak bisa terenggutkan lagi? Keadaan hatiku samalah halnya dengan
keadaan hatimu."
"Siapakah
dia?"
"Kamu
pernah melihatnya, tatkala ayah-angkatku membuka arena di lapangan
terbuka."
"Ah!"
Titisari tersadar. Terus menebak, "Bukankah pemuda itu memenangkan arena,
pertandingan? Dia anak Pangeran Bumi Gede si Sanjaya. Bukankah dia?"
Nuraini
mengangguk sambil menyahut, "Dia boleh menjadi anak pangeran. Dia boleh
menjadi seorang pengemis, apa peduliku? Dia boleh berhati mulia. Dia boleh
berhati buruk. Dia boleh berhati jahat, kejam dan segalanya. Dalam hatiku,
dialah mutiara hatiku seorang yang akan kubawa mati."
Suara
Nuraini kian jadi pelan dan mendadak saja berubah mengharukan. Titisari jadi
mengerti perasaannya. Dengan penuh perasaan ia menangkap pergelangan tangan
Nuraini. Kemudian ia mengangsurkan tusuk rambut yang dirampasnya.
"Maaf
atas perlakuanku tadi. Ini kukembalikan."
Sinar
mata Nurani berkilat-kilat tatkala menerima tusuk rambut itu. Ia menciumnya
dengan mesra. Titisari yang cerdas lantas saja dapat menebak.
"Apakah
benda ini dari dia?"
Nuraini
mengangguk.
"la
menghadiahkan benda ini kepadaku diam-diam, tatkala aku berada dalam kamar
tahanan. Katanya, "Itulah tusuk sanggul ibunya."
Titisari
dapat merasakan rasa bahagia Nuraini. Lantas saja ia memeluknya. Nuraini pun
membalas memeluk pula. Dengan demikian, mereka berpadu jadi berpeluk-pelukan.
Hatinya berpadu dan seperti senasib.
"Adik,"
tiba-tiba Nuraini berkata lagi. "Kulihat kau tadi menggunakan jurus-jurus
ajaran Paman Gagak Seta. Benarkah itu?"
"Kaukenal
dia?"
Nuraini
mengangguk.
"Ah,"
Titisari heran, kemudian meneruskan, "Memang aku menerima ilmu Paman Gagak
Seta yang bernama Ratna Dumilah dengan lengkap."
Kini
Nurainilah yang menjadi heran. Ujarnya, "Kamu diwarisi ilmunya?"
Titisari
segera mengisahkan riwayat pertemuannya sampai dapat mewarisi ilmu sakti itu.
"Kamu
beruntung, adikku," tungkas Nuraini. "Menurut kabar, Paman Gagak Seta
tak pernah mengajar seseorang lebih dari satu jurus. Jika beliau mewarisiku
tiga jurus, adalah suatu keuntungan belaka. Waktu itu, aku masih kanak-kanak.
Ayah sering meninggalkan aku seorang diri sehingga kerapkali satu hari penuh
aku tak bertemu dengan sesuap nasi. Rupanya dia iba kepadaku. Aku diajari
beberapa jurus Ilmu Ratna Dumilah. Tapi dasar otakku bebal, maka aku hanya
mewarisi tiga jurus belaka. Dia lantas menghilang tak tahu rimbanya."
Titisari mendengarkan keterangan Nuraini dengan sungguh-sungguh. Teringatlah dia,
bagaimana
Nuraini dulu menghajar beberapa orang kalang-kabut dengan ketiga jurus yang
kini telah dikenalnya. Ia percaya, kalau Nuraini tidak berdusta.
Tiba-tiba
saja, terdengarlah daun kering ber-gemerisik. Sesosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu Gagak Seta telah berada di depannya. Agak jauh di belakangnya,
berdiri Sangaji pula.
"Hai
anak siluman!" damprat Gagak Seta kepada Titisari. "Jika kenakalanmu
itu kauulangi lagi terhadapnya, aku akan menamparmu sampai jera." Setelah
berkata demikian, ia melesat pergi dan lenyap dari penglihatan.
Titisari
terperanjat sampai berdiri tegak. Tahulah dia bahwa selama dia berkutat dengan
Nuraini, Gagak Seta berada tak jauh daripadanya. Karena itu, malu bukan
kepalang.
"Titisari!"
terdengar Sangaji agak menyesal. "Perbuatanmu tadi kena intainya."
"Mengapa kamu berdiam saja?" Titisari membalas menyesali.
"Aku
didekapnya!" jawab Sangaji. "Aku diajak menyusulmu, karena dia hendak
meninggalkan kita dengan tergesa-gesa."
Titisari
membungkam. Ia kenal sepak-ter-jang Gagak Seta yang aneh. Hanya saja cara
berpamit Gagak Seta kepadanya, agak luar biasa. Tapi seumpama nasi sudah
menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Mau tak mau dia harus menelan kesan yang
kurang sedap itu. Mendadak Sangaji berkata penuh selidik.
"Titisari!
Mengapa kamu tadi mengancam Nuraini. Paman Gagak Seta kulihat tubuhnya sampai
bergemetaran."
Memperoleh
pertanyaan itu, Titisari benar-benar jadi kelabakan. Maklumlah, dia teringat
akan alasan perbuatannya hendak memaksa Nuraini agar bersumpah takkan menjadi
isteri Sangaji. Tapi dasar ia cerdik, maka cepat-cepat ia mengalihkan
persoalan.
"Aji!
Kemari! Kamu dicari adikmu," ujarnya sambil menjatuhkan gundu mata kepada
Nuraini.
Sangaji
terhenyak. Melihat Nuraini dan teringat pula akan pesan Wayan Suage, mukanya
menjadi merah. Seperti seseorang yang merasa bersalah, ia datang menghampiri
dengan mengunci mulut. Kemudian duduk agak jauh di sebelah kiri.
Nuraini
tahu membaca hati mereka berdua. Ia tertawa perlahan-lahan, tetapi tak berkata
sepatah kata pun juga. Diam-diam Sangaji dan Titisari berterima-kasih kepadanya
oleh alasannya masing-masing.
"Kak
Nuraini membawa pesan untukmu," kata Titisari memecahkan ketegangan.
Teringat
akan gurunya, mendadak Sangaji jadi gopoh. Ya, bukankah sudah lebih satu bulan
dia berpisah dengan gurunya? Sekaligus hilanglah perhatiannya terhadap laku
Titisari kepada Nuraini yang belum terjawab. Maka terloncatlah pertanyaannya.
"Apakah
kamu membawa pesan guru? Dimanakah dia?"
"Paman
Wirapati menunggumu sampai dua minggu di sini. Kemudian berangkat ke timur.
Seminggu kemudian dia memberi kabar padaku tentang benda warisanmu. Dia
berhasrat benar hendak menemukan. Tapi sampai sekarang, tiada kabar beritanya.
Barangkali sekarang ini dalam perjalanan pulang ke Sejiwan. Kamu diperintahkan
agar cepat-cepat menyusul. Dia akan menyongsong di kaki Gunung Damar."
"Kalau
begitu, ayo kita berangkat!" ajak Sangaji. Tetapi Nuraini menggelengkan
kepala. Pemuda itu menjadi heran. "Mengapa?" dia menegas. "Aku
harus menjaga rumah." "Menjaga rumah? Apakah rumahmu..."
"Bukankah kamu dilahirkan dan dibesarkan pula di dalam rumah itu?"
potong Nuraini. Diingatkan tentang hal itu, mendadak saja tubuh Sangaji
bergetar. Hatinya terguncang. Lantas saja dia menjadi terharu.
"Kak
Nuraini!" Titisari menungkas. "Dinding mempunyai telinga. Marilah
kita mencari tempat yang aman, agar bisa berbicara lebih leluasa."
Peringatan
itu menyadarkan mereka berdua. Lantas saja bertiga mereka pulang ke pondok. Di
sana mereka lantas berbicara seleluasa-luasanya. Nuraini mengabarkan tentang
per-jalanan bersama Wirapati. Sedangkan Sangaji dan Titisari mengkisahkan
tentang pertemuan dengan Gagak Seta.
"Kak
Nuraini," kata Titisari. "Paman Gagak Seta mewarisiku beberapa macam
ilmu sakti. Jika kamu menghendaki, aku akan mengajarimu."
Tetapi
Nuraini menggelengkan kepala.
"Terima
kasih. Akhir-akhir ini aku mempunyai persoalan yang belum kuselesaikan. Jika
telah selesai, kelak aku akan mencarimu."
Lembut
kata-kata Nuraini, tetapi berwibawa dan berpengaruh sehingga Titisari yang
usilan terbungkam karenanya. Tak terasa matahari terus merangkak-rangkak ke
barat. Senja hari mulai tiba.
"Ijinkan
aku menengok rumah sebentar," kata Nuraini lagi.
"Mengapa
tidak kita bertiga?" Sangaji menyahut dan terus saja bangkit.
"Kita
mempunyai tamu. Biarlah kutengok-nya dahulu."
"Tamu?"
Sangaji heran. Belum lagi Nuraini memberi keterangan, Titisari menegas,
"Apakah rumah Sangaji berada di suatu pekarangan yang luas?" Nuraini
mengangguk. Matanya terbelalak.
"Yang
kaumaksudkan tamu, bukankah orang-orang yang berkendaraan kereta dan
kuda?"
Kembali
lagi Nuraini mengangguk. Kemudian berkata, 'Tadi aku ke kali. Sewaktu hendak
pulang, kulihat banyak kereta berkuda berhenti di depan rumah. Hati-hati, aku
berjalan melintasi pagar. Tak tahunya, kamu mengikutiku. Bukankah begitu?"
Titisari
tertawa, lantas menceritakan riwayat pertemuannya dengan Nuraini kepada
Sangaji. Tetapi pemuda itu seolah-olah tiada mendengarkan. Ia nampak sibuk
seorang diri. Memang hatinya sedang diamuk oleh bermacam-macam perasaan yang
datang pergi tiada berketentuan.
Menjelang
petang hari, Nuraini pergi seorang diri dan pulang ke pondok sesudah Isa. Wajahnya
nampak cerah dan sekali-kali tersenyum samar-samar. Titisari melihat perubahan
itu, tetapi berlagak seolah-olah tak memperhatikan.
"Malam
ini kalian tak dapat menjenguk rumah," kata Nuraini. "Banyak tamu tak
diundang menginap di situ. Dan kalian tahu, siapakah mereka? Mereka adalah yang
pernah muncul di lapangan kadipaten Pekalongan."
"Eh,
mengapa mereka sampai di sini?" Sangaji terperanjat. Ia menduga, pastilah
ada hubungannya dengan Wayan Suage. Pikirnya, pantas, Yuyu Rumpung berkeliaran
di sekitar desa ini. Kemudian berkata hati-hati penuh selidik, "Apakah
mereka datang bersama Pangeran Bumi Gede? Mustahillah, apabila mereka
mengetahui rumah Paman Wayan Suage tanpa mendapatkan keterangan sebelumnya.
Nuraini, apakah pendapatmu tentang mereka? Apakah kepentingannya?"
"Siapa
tahu?" sahut Nuraini tenang? Dan sama sekali ia tak mengemukakan
pendapatnya. Karena itu, Sangaji jadi gelisah seorang diri. Tetapi melihat
Titisari tetap tenang lam-bat-laun hatinya jadi tenteram juga. Meskipun
demikian, hatinya sibuk menduga-duga.
Malam
itu, ia berbaring di depan pintu memandang alam, Nuraini dan Titisari berada di
dalam. Mereka berdua nampak seia sekata. Ia mengira, kalau mereka berdua sudah
tidur dibuaikan mimpinya masing-masing. Tetapi sesungguhnya tidak demikian.
Titisari
yang usilan sebenarnya berpura-pura memejamkan mata. Dengan diam-diam, ia
mengamat-amati gerak-gerik Nuraini yang mendadak berjalan mondar-mandir di
depan dipan.
Gadis
itu kelihatan sangat sibuk. Keningnya berkerut-kerut seperti ada sesuatu soal
yang sedang dipecahkan.
Beberapa
saat kemudian, Nuraini mencabut suatu benda dari sanggulnya. Benda itu
di-amat-amati, dibuainya lembut dan akhirnya diciumnya berulang kali. Titisari
tersenyum melihat perangainya. Tahulah dia, bahwa benda itu adalah tusuk rambut
hadiah Sanjaya yang tadi pagi dapat dirampasnya. Mendadak suatu pikiran menusuk
benaknya, apakah Sanjaya berada pula di antara mereka. Jika dia berada di
antara mereka, pastilah ayahnya mendampinginya pula.
Nuraini
terus menciuminya tiada hentinya. Mulutnya tersenyum manis. Kemudian mulutnya
berkomat-kamit. Dan terdengar dia berbisik, "Kamu memang nakal, tapi...
kamu pandai merusak hatiku."
Titisari
terus berpura-pura tidur pulas. Tetapi setiap kali, ia tak lupa menyenakkan
mata untuk menonton sandiwara yang berlaku di depannya. Mendadak saja Nuraini
menyimpan tusuk rambut itu. Kemudian memutar tubuh. Hati-hati ia berjalan
mengendap-endap menghampiri pintu belakang dan setelah membuka daunnya, terus
saja meloncat keluar.
Titisari
heran bukan kepalang. Kecurigaannya lantas saja timbul. Dasar dia berwatak
usil-an, maka ia meloncat pula dari pembaringan dan terus menyusul menyekat
kepekatan malam. Dalam hal ilmu berlari, Titisari lebih gesit daripada Nuraini.
Pertama-tama, ia sudah mewarisi sebagian ilmu ayahnya. Dan kedua, sudah
mendapat ilmu petak dari Gagak Seta. Maka sebentar saja, bayangan Nuraini sudah
terkejar. Dilihatnya Nuraini berlari secepat angin menuju ke timur. Dan ia
terus menguntit dari jarak tertentu agar tak diketahui.
Ternyata
Nuraini menuju ke rumah usang yang berhalaman luas. Itulah rumah orangtua
Sangaji yang dahulu terbakar habis oleh rombongan penari aneh dari Banyumas.
Wayan Suage yang dapat diselamatkan Wirapati, mencoba membangunnya kembali.
Meskipun tidak sementereng dahulu, tetapi cukuplah untuk berteduh dua keluarga.
Namun hatinya terlalu sedih teringat oleh peristiwa terkutuk dahulu. Maka ia
meninggalkan rumah tak terawat itu untuk merantau mencari isterinya.
Dalam
rumah, dian memancarkan sinar terang. Sedangkan di halaman depan, beberapa
orang bertiduran di tengah alam. Nuraini tak mengenal takut. Melihat halaman
depan terjaga rapat, maka ia memasuki halaman belakang yang penuh semak
belukar. Lantas ia menghampiri dinding rumah dengan berjinjit-jinjit. Dari luar
pagar nampaklah sesosok bayangan berjalan mondar-mandir pada dinding bambu oleh
pantulan cahaya dian. Dan Nuraini seperti kagum mengamat-amati bayangan itu.
Titisari
terus saja melompati pagar belakang dan bersembunyi di belakang pohon. Melihat Nuraini
yang seperti orang linglung mengawasi bayangan yang bergerak-gerak di dinding,
ia jadi geli. Pikirnya, hm... pastilah dia pemuda puja-annya yang sudah
diintipnya semenjak tadi.
Hampir
satu jam lamanya, Nuraini tetap tak bergerak di tempatnya. Lama kelamaan
Titisari kehilangan kesabarannya. Dalam hati memakilah dia, Eh... kamu pengecut
benar. Kalau memang cinta, mengapa tak berlaku terang-terangan. Bukankah kamu
bisa menjebol jendela dan terus saja masuk?
Memang
Titisari seorang gadis berhati polos. Apa yang terasa dalam hati, terus saja
dilakukan tanpa ragu-ragu dan pertimbangan. Maka begitu ia melihat sikap
Nuraini, lantas saja dia hendak membuat jasa. Dengan gesit ia meloncat
menghampiri jendela dari arah lain.
Ditahanlah
napasnya agar tiada mengejutkan Nuraini. Ia bermaksud hendak mengetuk jendela
dan terus melontarkan Nuraini ke dalam. Tetapi baru saja ia hendak bertindak,
mendadak di depannya suatu langkah berderap memasuki serambi rumah. Terdengar
suara menghormat.
"Raden
Mas... kita sudah berusaha mencari benda itu. Tapi masih saja belum
berhasil."
"Lantas?"
terdengar suara memotong. Titisari mengerling kepada Nuraini. Nampak gadis itu
terkejut girang, dan tahulah Titisari, bahwa yang bersuara itu adalah Sanjaya.
"Para
pendekar sakti masih saja menjaga sungai itu dengan rapat. Mereka melihat
sesosok bayangan yang menyelundup ke dalam kolongan. Bayangan itu mencurigakan.
Sayang, waktu dikejar tiba-tiba bisa melenyapkan diri seperti setan."
Mendengar
ujar orang yang sedang memberikan laporan kepada Sanjaya, Titisari terperanjat.
Apakah bayangan itu bukan Paman Wirapati, guru Sangaji? pikirnya sibuk. Jika
demikian, aku harus berwaspada. Siapa tahu mereka datang kemari karena benda
warisan Wayan Suage pula?
Memperoleh
pikiran demikian, segera ia mengundurkan diri dengan perlahan-lahan. Kemudian
menghampiri serambi tengah dan sisi lain.
Lantas
saja ia mendekam dan mengintip dengan diam-diam. Ia heran berbareng girang.
Karena yang berada di dalam ternyata Sanjaya dan pendekar Madura Abdulrasim,
yang pernah mengadu kepandaian di dalam serambi kadipaten Pekalongan dahulu.
Sanjaya
nampak bermenurig-menung. Kemudian terdengar pendekar Abdulrasim tertawa
melalui dada. Katanya memaklumi, "nDoromas, aku pun pernah menjadi- anak
muda. Apakah nDoromas masih saja terkenang pada tawanan yang sudah hilang tak
karuan itu?"
Sanjaya
terkejut. Pandang matanya seko-nyong-koyong berkilat-kilat. Mendengus,
"Paman, tebakanmu setengah benar. Memang semenjak aku berkenalan dengan
dia, hatiku senantiasa tak tenteram. Tak kukira aku berada di dalam
rumahnya."
Maksud
Sanjaya adalah membicarakan Wayan Suage, tatkala ditawannya sebagai seseorang
bernama Mustapa. Tetapi baik Abdulrasim maupun Titisari salah duga.
Kedua-duanya mengira, bahwa hati anak muda itu lagi risau memikirkan Nuraini.
Pikir Titisari, hm, kamu dan Nuraini benar-benar lucu. Kamu begini resah hati
memikirkannya. Padahal, gadismu sudah berada di luar dinding. Gadismu pun
gelisah bukan kepalang. Karena mendapat kesan lucu, tanpa disadari tertawa
geli.
Sanjaya
terperanjat mendengar bunyi tertawanya. "Siapa?" ia membentak sambil
memadamkan pelita, Abdulrasim pun secepat kilat melesat keluar pintu dan
memburu keluar halaman.
Titisari
tak menyahut. Tetapi dengan sebat ia menyambar Nuraini. Dan sebelum Nuraini
sadar akan perbuatannya, ia telah menerkam urat ketiak sehingga gadis itu tak
dapat berkutik. Kemudian berkatalah Titisari sambil tertawa geli.
"Kak
Nuraini! Tak usahlah malu-malu kucing! Tak usah pulalah gelisah, aku akan
mengantarkanmu kepadanya."
Waktu
itu kebetulan sekali Sanjaya membuka pintu jendela. Kesempatan itu dipergunakan
Titisari dengan bagus dan cepat.
"Terimalah!
Inilah kekasihmu!" katanya. Sehabis berkata demikian ia melemparkan ke
dalam. Dan berbareng dengan gerakan itu ia melesat pula keluar pagar. Itulah
sebabnya, tatkala Abdulrasim sampai di luar tiada melihat sesuatu kecuali
terbukanya pintu jendela.
Sanjaya
terperanjat bukan main, tatkala melihat sesosok tubuh terlempar ke dalam. Entah
mengapa, mendadak saja kedua tangannya menyambut dan tanpa dikehendaki sendiri
lantas saja memeluknya.
"Siapa
yang bosan mati sampai berani memasuki jendela?" bentak Abdulrasim dari
luar jendela.
"Paman!
Masuklah kembali! Nyalakan lampu!" sahut Sanjaya gugup.
Seperti
anjing terpukul kepalanya, Abdulrasim melesat ke dalam lewat jendela. Kemudian
dengan cekatan ia menyalakan lampu. Ketika melihat siapa yang berada di dalam
pelukan Sanjaya, tanpa berkata lagi terus saja ngeloyor pergi. Keruan Sanjaya
jadi merah padam mukanya. Tetapi ia harus menerima keadaan itu.
Perlahan-lahan
ia meletakkan tubuh Nuraini di atas lantai. Kemudian mundur dengan pandang
menebak-nebak.
"Apakah
kamu masih kenal padaku?" ujar Nuraini dengan suara lembut. Sanjaya
mengamat-amati. Mendadak dia kaget. Katanya gugup, "Kau?" "Ya,
aku. Mengapa?" sahut Nuraini dengan tersenyum.
"Tadi
adalah sahabatku yang nakal, dengki dan jahil. Dia mengikutiku dengan
diam-diam. Tiba-tiba melemparkan aku ke dalam tanpa kusadari."
Sanjaya
diam menimbang-nimbang sebentar. Kemudian mempersilakan Nuraini duduk di atas
kursi. Gadis itu pun tak menolak. Tetapi ia menundukkan kepala dan mengunci
mulut. Sanjaya merenungi dengan penuh selidik. Dilihatnya gadis itu agak pucat
karena terkejut. Tetapi nampak juga selapis cahaya merah tanda bergirang.
Dadanya berdetakan pula. Sebagai seorang pemuda yang cerdik dan berpengalaman,
tahulah dia menebak hatinya. Karena dapat menebak, hatinya sendiri
seko-nyong-konyong berdebaran pula.
"Apa
perlumu mengunjungi aku pada malam hari begini?" tegurnya.
Mendapat
pertanyaan demikian. Nuraini tak kuasa menjawab. Kepalanya kian menunduk. Dan
Sanjaya lantas saja jadi perasaan. Teringatlah dia, kalau gadis itu telah
kehilangan ayahnya. Hatinya lantas menjadi iba.
"Adik!"
kata Sanjaya penuh iba. "Ayahmu telah meninggal dunia. Kutahu, kamu akan
menjadi anak yatim piatu. Apakah pendapat-mu, jika aku mengajakmu hidup
bersamaku dalam satu keluarga? Kamu akan kuanggap sebagai adikku sendiri."
"Aku
adalah anak-angkat ayahmu... bukan anak kandungnya..." bantah Nuraini.
Sanjaya
tersadar. Pikirnya, ya, benar... antara aku dan dia tidak ada hubungan darah.
Mendapat pikiran demikian, bakat buayanya lantas saja timbul. Tanpa ragu-ragu
lagi, ia terus memeluknya. Hatinya berdebaran, karena angannya sudah mulai
menari-nari dalam benaknya.
"Inilah
untuk ketiga kalinya aku memelukmu," bisiknya. "Yang pertama tatkala
kita bertanding. Yang kedua, tatkala berada di ambang pintu kamar tahanan. Dan
yang ketiga... ah, sekarang kita tidak ada yang mengganggu lagi."
Mendengar
bisik pemuda idaman hatinya, napas Nuraini terasa sesak. Hatinya berbahagia
bukan main, sampai mulutnya tak dapat berkutik.
"Mengapa
kamu tahu, aku berada di sini?" Sanjaya berkata lagi.
"Bukankah
ini rumah kita?" jawab Nuraini. "Setiap malam kamu selalu kukenangkan.
Di luar dugaanku, kamu tiba-tiba berada di sini. Apakah kamu sedang menjenguk
kampung halamanmu?" Diingatkan tentang rumahnya, dengan sendirinya
teringatlah dia kepada Wayan Suage yang dikabarkan sebagai ayah kandungnya.
Hatinya lantas tergetar, sehingga tanpa disadari ia mengurai pelukannya.
Syukur,
Nuraini sedang tertambat hatinya. Gadis itu tak melihat suatu kesan.
"Kini
aku tak berayah-bunda lagi," bisik Nuraini. "Apakah kamu akan
membiarkan aku hidup sebatang kara?"
Sanjaya
seorang pemuda yang licin. Mendengar bisik Nuraini, cepat-cepat ia melenyapkan
kesannya. Dan dengan manis sekali ia membalas.
"Kata-kata
itu janganlah kamu ulangi lagi. Untuk selama-lamanya aku adalah kepunyaanmu dan
kamu adalah pula milikku untuk selama-lamanya."
Pemuda
itu kemudian mengusap-usap rambut Nuraini dengan penuh kasih. Dan Nuraini puas
bukan kepalang. Dengan pandang cemerlang ia menatap wajah Sanjaya, kemudian
menghadiahi suatu senyum madu.
"Benarkah
katamu?" ia minta ketegasan.
'Tentu.
Aku akan mengawinimu."
"Kau
tak berpura-pura?"
"Aku
bersumpah, jika aku menyia-nyiakan dikau biarlah tubuhku mati terkupas senjata
tajam."
Hati
Nuraini tergetar mendengar bunyi sumpahnya. Kemudian ia berdiri perlahan-lahan
dan berkata penuh wibawa.
"Sesungguhnya
aku anak yatim-piatu.
Hidup
diselimuti alam. Banyak sekali aku tak mengenal tata-santun pergaulan golongan
tertentu. Tetapi aku bukanlah seorang gadis hina. Sekali aku menaruh hati
kepadamu, biar menghadapi lautan api atau terancam ribuan senjata pun, aku akan
tetap mengikutimu ke mana saja kaupergi."
Sanjaya
adalah seorang pemuda yang pandai main sandiwara. Tetapi mendengar bunyi
ketetapan hati Nuraini, mau tak mau ia terkesiap. Hatinya berdetakan dan
tiba-tiba saja ia menaruh hormat kepadanya. Dengan sedikit membungkuk ia
berkata, "Adikku engkau adalah kekasihku."
Nuraini
mengamat-amati. Kemudian tertawa bahagia. Berkata penuh yakin, "Sebentar
atau lama, kamu pasti kembali ke kota. Aku akan menunggumu di sini. Di rumah
ini. Di rumah ayah-angkatku dan ayahmu. Kapan saja, kamu boleh mengirimkan
utusan ke mari untuk meminangku..." ia berhenti karena napasnya menjadi
amat sesak. Meneruskan, "Sebaliknya... aku akan menunggumu dan tetap
menunggumu selama hayat di kandung badan."
"Tentang
hal itu, janganlah kau beragu," sahut Sanjaya cepat. "Setelah aku
selesai mempersiapkan diri, segera aku akan ke mari menjemput dikau."
Mendengar
janji Sanjaya, air mata Nuraini tak dapat ditahannya lagi. Berbareng dengan
percikan air mata, gadis itu tersenyum puas. Kemudian berputar mengungkurkan
Sanjaya.
"Kau
mau ke mana? Bukankah kamu akan bermalam di sini?" Sanjaya gugup.
Wajah
Nuraini jadi merah dadu. Ia menatap Sanjaya. Ketika tiada kesan buruk, ia
tersenyum sambil menjawab, "Aku takkan pulang sebelum engkau pergi. Sementara
aku tidur di rumah sahabatku."
Sanjaya
tak dapat menahannya lagi, meskipun besar keinginannya hendak berada dekat
padanya. Ia melihat Nuraini meloncat jendela dan hilang di seberang sana. Saat
itu ia merasa dirinya seolah-oleh sedang bermimpi.
Dengan
hati puas, Titisari pulang ke pondoknya untuk terus tidur. Karena memperoleh
pengalaman yang menggembirakan, cepat sekali ia tertidur pulas. Tahu-tahu,
matahari telah menjenguk di udara. Sebentar ia heran, ketika belum melihat
Nuraini. Tetapi apabila mengingat peristiwanya semalam, segera ia dapat
memaklumi. Lantas saja ia mencari Sangaji yang sudah bersiap dan terus
menceritakan peristiwa Nuraini semalam.
Mendengar
Sanjaya berada di Desa Karangtinalang, hati Sangaji jadi berdegupan. Ia curiga
dan dalam benaknya timbullah suatu teka-teki gemuruh.
"Jika
demikian, tak usahlah kita menunggu dia. Ayo kita berangkat!" ajaknya
gelisah.
Titisari
menyetujui dan gadis itu segera mandi. Setelah bersantap, mereka bergegas
menuju ke timur menghindari jalan raya. Maksudnya hendak menjauhi tamu-tamu
yang datang. Tetapi ternyata dusun itu telah sunyi kembali. Rupanya para tamu
sudah meninggalkan dusun semenjak matahari belum menyingsing, mereka jadi
beriega hati.
"Titisari!"
kata Sangaji. "Apakah kita meninjau dahulu tempat penyimpanan kedua pusaka
warisan Paman Wayan Suage?"
Titisari
meninggikan alis. Sejurus kemudian menjawab, "Ayo kita ke sana. Tetapi
kita harus pandai melihat keadaan."
Mereka
berdua kemudian mengarah ke tenggara. Jalan besar yang menuju ke Desa
Kemarangan, Pesantren dan Bener, dihindari. Karena mereka melihat bekas
tapak-tapak kuda dan roda kereta. Sebaliknya mereka menyeberangi hutan belukar
yang penuh dengan semak-semak berduri. Lewat waktu zhuhur, mereka telah sampai
di Dusun Kaliba-wang. Dari sana mereka mengarah ke desa Gowong dan Singajaya.
Dan menjelang petang hari mereka telah berada di tepi Sungai Jali. Perjalanan
mereka tiada mudah. Seumpama tubuh mereka tidak cukup kuat dan tabah, pastilah
tak gampang dapat mencapai desa itu dalam waktu satu hari saja. Meskipun
demikian, mereka bukanlah manusia yang terdiri dari besi dan baja. Maka rasa
lelah akhirnya memaksa mereka untuk beristirahat
Selagi
mereka duduk berdiam untuk melemaskan urat-uratnya, sekonyong-konyong
terdengarlah suara orang berbicara tak jauh di sebelahnya.
"Telah
kuketahui tempat penginapan Gusti Ayu Retnoningsih. Dia berada di suatu rumar
dekat pesanggrahan Adipati Purworejo di Gebang."
"Ah!
Masa dia berada di sana? Apa kerjanya?"
"Barangkali
dia sedang ikut keluarganya bercengkerama siapa tahu."
"Baiklah!
Mari kita tinjau dahulu. Apabila benar, menjelang pagi kita bekerja,"
sahut yang lain setelah diam sejurus.
Mereka
berbicara dengan perlahan-lahan, tetapi keadaan sekitar tempat itu sunyi
senyap, maka tiap patah katanya terdengar sangat jelas.
Sangaji
terperanjat. Kecurigaannya timbul sekaligus. Ingin ia menjengukkan kepala
agardapat mengetahui siapakah yang sedang berbicara tadi. Mendadak Titisari
meloncat sambil berkata nyaring.
"Hai
Aji! Kau tak sanggup menemukan tempat persembunyianku. Nah, tangkaplah aku
kalau kau mampu!"
Sangaji
dapat menebak maksud Titisari yang cerdik itu. Tiada ragu-ragu lagi ia terus
memburunya dengan tertawa geli. Titisari senang melihat Sangaji dapat menebak
maksudnya. Maka ia terus lari berputaran dengan langkah bergedebukan.
Sangajipun berlari-lari pula seperti seorang pemuda dusun yang goblok.
Dua
orang yang sedang berbicara tadi kaget. Karena tak menyangka bahwa di petang
hari terdapat sepasang muda-mudi berada di tepi kali. Tetapi ketika melihat
cara mereka berlari-larian, kecurigaannya hilang.
Mereka
menyangka, kalau Titisari dan Sangaji adalah anak kepala desa atau anak seorang
priyayi pangreh-praja. Meskipun demikian, mereka cepat-cepat menjauh dan
menyeberangi kali Jali dengan tergesa-gesa.
Setelah
main ubak-ubakan beberapa saat lamanya, Titisari dan Sangaji berhenti berlari.
Kemudian
saling memberi isyarat dan terus mengintip dari jauh.
"Apa
mereka bermaksud baik?" Sangaji minta pertimbangan.
Titisari
menaikkan alisnya. Dahinya berke-rinyut.
"Yang
dibicarakan bukan orang semba-rangan. Paling tidak, mereka telah mengikuti
Putri ningrat itu semenjak lama."
"Apakah
perlu kita perhatikan?"
"Hm...
malam itu bukankah kita tidak ada pekerjaan? Jurusan yang harus kita tempuh pun
menyeberangi sungai pula. Baiklah, daripada kita menganggur, kita ikuti mereka
dari jauh. Siapa tahu ada totonan yang menarik hati."
Sangaji
tahu kalau Titisari adalah gadis yang nakal dan usilan. tetapi apa yang
dikatakan, tiada terlalu salah. Percaya kepada kecerdasan otaknya, ia menduga
bahwa Titisari pasti telah dapat
menebak sebagian
besar dari pembicaraan
mereka meskipun hanya
beberapa patah kata.
Maka
ia menyetujui sarannya.
Si
Willem dan kuda putih milik Titisari segera diseberangkan dengan hati-hati.
Syukurlah, meskipun arus sungai sangat deras, tetapi tiada dalam. Maka setelah
berjuang beberapa waktu lamanya, mereka berhasil mencapai seberang sana dengan
selamat.
Malam
hari, bulan tiada di udara. Alam hitam lekam seolah tersekati tirai. Hanya
bintang-bintang bergetar lembut jauh di angkasa dan tiada pedulian seperti
semenjak Adam belum dilahirkan. Angin pegunungan mulai meniup tajam,
menggelitikkan bulu roma. Anjing-anjing pedusunan sekali-kali menggonggong
menghardik sasaran yang dicu-rigai.
Tak
lama kemudian mereka telah sampai di perbatasan Desa Gebang. Willem dan si kuda
putih disembunyikan di dalam ladang teta-naman. Dan mereka melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki.
Desa
Gebang ternyata merupakan sebuah desa yang terpandang juga. Rumah penduduk
tegak berdiri di seberang-menyeberang jalan. Dan rata-rata terdiri dari papan
kayu yang cukup rapat. Dibandingkan dengan keadaan desa lainnya, sesungguhnya
Desa Gebang termasuk sebuah desa yang makmur.
Dengan
mudah mereka mendapatkan pesanggrahan Adipati Purworejo yang terletak di tepi
desa menghadap ke selatan. Halamannya luas dan dari balik dinding rumah nampak
cahaya dian berpencaran menggapai alam ria.
Mereka
segera balik mencari kudanya. Dan di tengah ladang itu, mereka berbaring
melepaskan lelah. Sangaji dan Titisari adalah dua serangkai muda-mudi yang
masih penuh semangat. Kecuali itu, sudah mempunyai pengalaman agak lumayan
bergaul dengan alam. Itulah sebabnya, mereka mulai bisa bertiduran dengan
begitu saja di tengah alam tanpa banyak pertimbangan lagi. Tubuhnya terlalu
kuat pula melawan serangan angin dan hawa bumi.
Lewat
tengah malam, mereka bangkit berbareng. Tubuhnya cukup segar kembali, dan
mereka bergegas memasuki desa. Keadaan desa sunyi-senyap, lengang dan mencurigakan.
Mereka terus meloncati pagar pesanggrahan dan memanjat pohon yang berdiri tegak
di luar kamar ruang tengah. Dengan beraling-aling segerombol mahkota daun,
mereka menjenguk ke dalam lewat celah-celah atap. Apa yang mereka lihat,
membuat hatinya terperanjat karena kagum.
Di
dalam kamar itu nampak tujuh orang wanita yang jelita. Ketujuh wanita itu duduk
bersimpuh di atas lantai menghadap seorang gadis yang sedang merenda. Itulah
Gusti Ayu Retnoningsih yang dimaksudkan kedua orang yang berbicara di tepi
Sungai Jali tadi. Wajahnya cantik luar biasa.
Melihat
kecantikan Gusti Ayu Retnoningsih, Umbulah kenakalan Titisari. Gadis itu lantas
saja mencubit paha Sangaji, sampai anak muda itu kelabakan. Karena Titisari
tiada bersuara, maka mau tak mau Sangaji harus menderita cubitan itu dengan
mengunci mulut.
Tak
lama kemudian, terdengarlah suara gemeresek di luar halaman. Titisari menarik
lengan Sangaji agar berwaspada. Dan dengan segera, mereka melihat dua sosok
bayangan berkelebat memasuki halaman. Melihat bentuk tubuhnya, mereka segera
mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang berbicara di tepi kali petang hari
tadi. Kedua orang tadi langsung saja menuju ke bawah jendela dan mendengarkan
suara dehem tiga kali.
Dua
wanita yang bersimpuh segera membuka jendela sambil minta penjelasan.
"Siapakah yang datang mengunjungi kami?"
Dua
orang tadi lantas saja melesat memasuki kamar dengan melewati jendela. Melihat
mereka, Gusti Ayu Retnoningsih cepat-cepat mempersilakan duduk sambil
menanyakan namanya.
"Hamba
bernama Tukimin dan dia adalah kemenakan hamba bernama Paiman," sahut
laki-laki jangkung sambil bersembah.
Gusti
Ayu Retnoningsih mengamat-amati muka Tukimin dengan cermat. Melihat mukanya
penuh bekas luka, mendadak matanya bersinar. Menegas, "Bukankah kamu ini
yang terkenal dengan nama Sondong Majeruk?"
Laki-laki
itu terkejut. Kemudian bersembah sekali lagi sambil menjawab, "Ah, Gusti
Ayu benar-benar bermata tajam. Memang hamba digelari orang sebagai Sondong
Majeruk. Sebenarnya tak berani hamba digelari sebagai Sondong Majeruk.
Sebenarnya tak berani hamba mengenakan nama keramat seorang tokoh kenamaan pada
zaman Pesantrenan. Pernah pada suatu kali hamba bertemu dengan guru Gusti Ayu
Retnoningsih, sang Perwira Suryaningrat, salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi
pertapa sakti di Gunung Damar. Hamba banyak memperoleh ajaran-ajaran ilmu gelar
dan gulung dari padanya. Dan semenjak itu, hamba merasa diri hamba sekerdil ibu
jari. Lantas hamba memutuskan hendak menggunakan nama hamba yang asli
saja."
Mendengar
orang itu menyebutkan nama Suryaningrat sebagai guru Gusti Ayu Retnoningsih,
Sangaji terperanjat sampai tubuhnya bergetar. Tahulah dia, bahwa Suryaningrat
adalah adik seperguruannya gurunya Wirapati. Seperti diketahui, Kyai Kasan
Kesambi mempunyai lima orang murid. Gagak Handaka,
Ranggajaya,
Bagus Kempong, Wirapati dan Suryaningrat, dengan sendirinya menjadi
adik-seperguruan Sangaji.
"Sangatlah
besar rasa terima-kasihku, kamu sudi membantuku menghadapi bahaya tak terduga
ini. Ayahku telah berangkat pulang dahulu ke timur. Dan aku diperintahkan
menunggu Kangmas Ontowiryo di sini. Mendadak salah seorang dayangku memberi
kabar tentang maksud jahatnya. Di dalam hal ini, sangatlah besar terima-kasihku
kepadamu. Aku akan patuh dan mendengar semua kata-katamu."
"Gusti
Ayu! Janganlah menyanjung-nyanjung hamba demikian tinggi. Kedatangan hamba ini,
semata-mata karena dititahkan junjungan hamba sang Perwira Gagak Seta agar
melindungi Gusti Ayu. Jadi sudah selayaknya, bahwa sanjung puji itu harus
dialamatkan kepada beliau," sahut Sondong Majeruk dengan takzim.
Mendengar
disinggungnya nama Gagak Seta, Sangaji jadi terperanjat lagi. Sekaligus
sibuklah dia menduga-duga tentang diri Gagak Seta. Apakah orang jempol itu
mempunyai laskar terpendam? Mengingat dia dahulu pernah berjuang melawan
Belanda di samping Pangeran Mangkubumi I, maka tiada mus-tahillah kini
mempunyai pengikut bekas laskar pejuang. Mendapat pikiran demikian, hatinya
jadi tenteram dan bertambah-tambahlah dia menaruh hormat kepada orang tua itu.
Mendadak lengannya kembali dicubit Titisari. Bisik gadis cilik itu, "Adik
seperguruanmu begini cantik. Mestinya kamu harus memperlihatkan jasa."
Merah
muka Sangaji mendengar kata-katanya. Meskipun berotak sederhana, tahulah dia ke
mana maksud kalimat gadis itu. Tapi ia heran, bagaimana Titisari bisa mengerti
kalau Gusti Ayu adalah adik-seperguruannya. Belum lagi dia berbicara, Titisari
seolah-olah telah dapat membaca isi hatinya. Katanya berbisik lagi, "Tiap
orang di seluruh penjuru dunia ini, masa tak mengenal nama murid Kyai Kasan
Kesambi?"
Alasan
Titisari benar-benar masuk akal dan bernalar. Maka dia membatalkan maksudnya
hendak berkata, dan mengarahkan perhatiannya kembali kepada Gusti Ayu
Retno-ningsih.
"Gusti
Ayu! Jahanam itu benar-benar bagaikan binatang. Setiap kali mengadakan
perjalanan, belum pernah ia pulang dengan tangan kosong. Pasti ada barang
dua-tiga gadis yang dibawanya pergi. Malam ini dia akan tertumbuk batu.
Sekarang, baiklah Gusti Ayu.
Hamba
mempunyai akal untuk menjebak dia," kata Sondong Majeruk gagah.
Gusti
Ayu Retnoningsih mengangguk perlahan. Setelah memberi isyarat kepada sekalian
dayangnya, masuklah dia ke kamar lain. Kini tinggal Sondong Majeruk dan Paiman
yang berada dalam kamar itu.
Sondong
Majeruk kemudian menghampiri pembaringan. Tirai disingkapnya dan nampaklah
pembaringan itu diselimuti kain sutera ungu yang indah. Tetapi anak-buah Gagak
Seta itu tanpa memedulikan segala terus saja naik ke pembaringan dan berbaring
terlentang. Kedua kakinya yang kotor berlumpur dan pakaiannya yang usang
kelihatan seperti seonggok sampah ditimbun di atas selimut pembaringan yang
indah bersih.
"Berjagalah
kau di luar. Sekalian teman-teman harus bergiliran meronda kemari,"
perintahnya kepada kemenakannya.
Tanpa
berbicara lagi, Paiman terus saja meloncat jendela dan hilang dalam kegelapan
malam. Sondong Majeruk, turun pula dari pembaringan. Setelah menutup jendela
rapat-rapat seperti semula, kembali dia berbaring tak peduli di atas
pembaringan yang berselimut indah. Tirai pembaringan kemudian ditutupnya dan ia
menyelimuti tubuhnya rapat-rapat.
Titisari
yang cerdas otak segera tahu apa maksud orang itu. Bisiknya kepada Sangaji,
"Rupanya anak buah Paman Gagak Seta bertingkah laku seperti dia juga. Dia
bisa berjena-ka dalam menghadapi bahaya. Bukankah dia bermaksud menggantikan
kedudukan puteri itu?"
Sangaji
mengangguk dengan menutup mulut, karena mengetahui sekitar pesanggrahan dijaga
oleh orang-orang pandai. Sebaliknya Titisari yang usilan, tak betah dengan
suasana yang terlalu tegang senyap. Segera ia mencari dalih dengan mencubiti
lengan dan paha Sangaji sambil sekali-kali menggoda.
"Aji!
Sekiranya kamu orang yang mau menculik puteri itu, apakah yang akan kaulakukan
setelah mengetahui si bandot ampek itu yang tidur terlentang di atas
pembaringan."
Sangaji
tak pandai bergurau, tetapi begitu mendengar ujar Titisari mau tak mau
tersenyum geli juga. Sekiranya tak berada di atas pohon, pasti dia akan tertawa
lebar. Tak disadari, ia jadi mengamat-amati segulung tubuh yang terlentang
berselimut rapat di atas pembaringan.
Kurang
lebih pukul satu malam, terdengarlah suara daun bergemerisik. Kemudian delapan
bayangan meloncati pagar pesanggrahan dan langsung menghampiri jendela kamar.
Titisari menarik lengan Sangaji agar memperhatikan gerak-geriknya. Ternyata kedelapan
bayangan itu terus membuka jendela tanpa ragu-ragu lagi. Kemudian melompat
berbareng melewati jendela.
Di
dalam kamar, pelita masih saja menyala. Sekilas pandang Titisari mengenal
beberapa orang di antara mereka. Itulah penggem-bala-penggembala tabuan
kelingking sang Dewaresi yang pernah merasakan kesaktian Gagak Seta.
Dua
orang di antara mereka mengembangkan kain kasar semacam tenda, sedangkan yang
lain membuka sebuah goni besar. Dengan cekatan mereka mendekati pembaringan dan
terus saja menungkrap korbannya. Dengan sekali renggut Sondong Majeruk yang
berada di atas pembaringan terus diangkat dan dibelesakkan ke dalam goni. Yang
bertugas membawa goni, lantas mengikat erat dan dipanggul di atas pundak.
Mereka bekerja dengan cepat dan tanpa bersuara seperti sudah terlatih rapi.
Kemudian dengan memberi isyarat, berbareng meloncati jendela dan bersembunyi di
kegelapan malam.
Sangaji
bergerak hendak mengejar, tetapi Titisari mencegahnya cepat.
"Bukankah
pesanggrahan sudah ada yang menjaga?" bisik gadis itu. "Biarkan
mereka bertempur dahulu. Kita turun ke gelanggang setelah mereka
kecapaian."
Sangaji
tak membantah. Dan segera ia melihat kedelapan orang penculik itu melarikan
diri ke utara. Di belakang mereka berkelebat pulalah sepuluh orang yang membawa
tongkat bambu. Itulah laskar Gagak Seta yang berjaga dengan diam-diam di
sekitar pesanggrahan.
Setelah
mereka lenyap dari penglihatan, Sangaji dan Titisari turun ke tanah. Dengan
bergandengan tangan, mereka terus mengikuti dari jauh. Mereka sudah memiliki
ilmu petak Gagak Seta, karena itu langkahnya cepat luar biasa dan tiada
menerbitkan suara apa pun juga.
Ternyata
rombongan si penculik dan laskar Gagak Seta melintasi batas desa dan terus
menuju
ke
timur laut. Mereka berkejar-kejaran hampir satu jam lamanya dan akhirnya
berhenti di sebuah rumah batu tua. Rombongan penculik memasuki rumah batu itu,
sedangkan laskar Gagak Seta dengan cekatan mengurungnya rapat- rapat.
Titisari
mengajak Sangaji mengitari rumah dan melompati pagar dari arah belakang. Ternyata
rumah batu itu adalah bekas benteng kompeni pada masa Perang Giyanti. Serambi
depannya lebar dan diterangi dengan obor buah jarak. Di ruang tengah duduklah
seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan pakaian bersih dan mentereng.
Dialah sang Dewaresi, raja tak bermahkota dari daerah Banyumas.
Sangaji
dan Titisari segera bergerak dengan hati-hati. Mereka bisa menilai kesaktian
orang itu. Kalau Yuyu Rumpung yang berbahaya saja sudi mengabdikan diri menjadi
salah seorang penasihatnya, pastilah kesaktian sang Dewaresi berada di atasnya.
Mendapat pertimbangan demikian mereka jadi sangsi, apakah Sondong Majeruk mampu
menghadapi apa lagi mengalahkan.
"Paduka
sang Dewaresi," kata pemimpin dari delapan penculik yang baru tiba dengan
membungkuk hormat. "Gusti Ayu Retnoningsih sudah berhasil hamba
angkut."
Sang
Dewaresi tiada menyambut ujarnya. Dia hanya tertawa dingin. Kemudian
melemparkan pandang ke arah pekarangan sambil berkata lembut.
"Sahabat-sahabat!
Mengapa hendak memasuki rumah dengan cara bersembunyi? Silakan masuk
saja!"
Sangaji
kaget. Pikirnya, hebat orang ini. Anak buah Paman Gagak Seta sudah berlaku
dengan hati-hati dan tiada sembarangan bergerak. Meskipun demikian bisa
diketahui.
Sesungguhnya
pada saat itu, anak buah Gagak Seta masih saja bersembunyi. Dan mereka akan
tetap berada dalam persembunyiannya sebelum memperoleh tanda atau isyarat dari
Sondong Majeruk.
Sang
Dewaresi tiada berkata lagi. Dengan berdiam diri ia memperhatikan goni
penung-krap korbannya. Sejurus kemudian dia menggerutu.
"Hm...
tak pernah kusangka, kalau puteri bangsawan itu begini mudah mengunjungi
tempatku." Dengan tenang ia berdiri dari tempatnya kemudian menghampiri
goni itu seraya mencabut sepucuk senjata tipis berbentuk pedang panjang.
Sangaji
dan Titisari terperanjat. Mereka yakin, kalau sang Dewaresi sudah mengetahui
siapakah yang berada dalam goni itu. Diam-diam mereka berdua menyiapkan
segenggam isi sawo sebagai senjata bidiknya, hasil ajaran Gagak Seta.
Sekonyong-konyong
terdengarlah suara berdesing. Beberapa batang anak-panah mengaung di udara
menyambar sang Dewaresi. Itulah anak-panah laskar Gagak Seta yang sudah
mengkhawatirkan nasib temannya. Dengan tenang, sang Dewaresi mengibaskan
pedangnya. Beberapa anak panah di-sapunya bersih sedangkan tangan kirinya
berhasil pula menjepit dua batang pula.
Rekan-rekan
Sondong Majeruk terperanjat sampai memekik. Paiman lantas saja berseru nyaring,
"Paman! Keluarlah cepat!"
Mendengar
seruan itu, dalam goni itu lantas saja terjadi suatu pergerakan cepat dan
tangkas. Terdengar goni terobek dan menyambarlah sebatang golok ke arah sang
Dewaresi. Kemudian Sondong Majeruk membebaskan diri dari tungkrapan itu dengan
bergulungan. Orang itu sebenarnya hendak menyerang sang Dewaresi dengan cara
tiba-tiba. Tetapi ternyata rencananya gagal, karena sang Dewaresi benar-benar
tak mudah diingusi.
Dalam
pada itu sang Dewaresi telah menangkis serangan golok dengan mudah. Melihat
siapa yang keluar dari dalam goni tertawalah dia perlahan. Ujarnya, "Eh,
mengapa malam ini ada sulapan? Apakah seorang puteri bisa berubah menjadi
seorang bandot runyam? Benar-benar
suatu
ilmu sulap goni yang hebat!"
Terang
sekali, dia mengejek Sondong Majeruk. Tetapi Sondong Majeruk tiada menggubris
ejekannya. Dengan melambaikan tangannya, ia memberi aba-aba kepada rekannya
agar mengepung lawan. Dan dengan serentak rekan-rekannya melompat ke dalam
gelanggang.
"Selama
beberapa hari ini, banyak laporan yang mengadukan tentang penculikan
gadis-gadis.
Bukankah
itu semua adalah perbuatanmu yang terhormat Tuan besar?" ia mendamprat.
Sang
Dewaresi tertawa melalui hidung. Dengan tenang ia menjawab, "Sebenarnya
hanya empat orang. Dan dengan menyesal terpaksa kuwartakan, bahwa mereka tidak
begitu cantik. Hm... sama sekali tak kukira, kalau polisi-polisi desa bisa
mengenakan pakaian sejembel pengemis."
"Aku
memang pengemis merdeka. Mendengar laporan tentang penculikan itu, terpaksalah
aku, si pengemis melongok mencari jejak biang keladinya. Tak tahunya tuanlah
yang terhormat yang menjadi pemetiknya."
"Begitu?"
sahut sang Dewaresi dengan angkuh. "Sebenarnya adalah suatu kehormatan
besar, sampai aku sudi berkenalan dengan gadis-gadis di sini. Apakah Tuan
menyesali? Baiklah, malam ini biarlah kukembalikan. Tapi seperti kukabarkan
tadi, mereka tidak begitu cantik. Hanya lumayan saja untuk iseng pada malam
perantauan."
Setelah
berkata demikian, sang Dewaresi memberi perintah kepada anak-buahnya agar
membawa keempat gadis culikannya. Dan dengan cepatnya, anak-buahnya membawa
empat gadis ke serambi depan. Pakaian mereka nampak kusut dan pandang matanya
kuyu menyedihkan. Terang sekali, mereka habis diperkosa dalam suatu sekapan.
Melihat
mereka, Sondong Majeruk menggeram. Lantas dia berkata lantang, "Tuan yang
terhormat. Sebenarnya siapakah kamu?"
"Aku
bernama Dewaresi. Keluarga Arya Singgela. Apa perlu kamu mengetahui
namaku?"
"Hm,
karena dengan peristiwa ini, terpaksalah aku memberanikan diri untuk
menangkapmu."
"Silakan,
jika kamu mampu," jawab sang Dewaresi dengan tertawa. Kemudian memasukkan
pedangnya ke dalam sarungnya. Rupanya ia hendak melawan Sondong Majeruk dengan
tangan kosong.
"Bagus!"
seru Sondong Majeruk dan dengan sekali gerak ia telah mempersiapkan suatu
serangan. Mendadak saja dia mendengar kesiur angin dan sesosok bayangan
berkelebat luar biasa cepat di depannya. Untung dia tangkas. Cepat ia mengelak.
Meskipun demikian lehernya kena juga tersambar selintasan.
Sondong
Majeruk adalah seorang polisi desa. Dia terkenal sebagai seorang polisi yang
disegani, karena pandai berkelahi dan termasuk seorang pendekar yang tangguh.
Dalam setiap pertempuran, belum pernah dia dikalahkan. Tapi kini hampir saja
dia kena dijatuhkan dalam satu gebrakan saja. Sudah barang tentu, hatinya
tercekat dan parasnya berubah hebat.
Cepat
ia memutar tubuh dan menghantam sang Dewaresi dengan dahsyat. Mendengar kesiur
anginnya, tak berarti sang Dewaresi menangkis.
"Aji!
Rupanya dia mengerti tentang Ilmu Kumayan Jati. Lihatlah jurusnya!" bisik
Titisari. Sangaji yang sedang menumpahkan seluruh perhatiannya kepada
gelanggang pertempuran mengangguk kecil.
Dalam
pada itu, Sondong Majeruk mulai mendesak, la berbesar hati, melihat lawannya
tak berani menangkis pukulannya. Maka dengan sebat ia memutar pula dan
mengulangi serangannya. Serangannya kali ini, dapat digagalkan pula oleh sang
Dewaresi dengan mengelakkan diri. Dia jadi penasaran. Cepat-cepat ia
menyilangkan kedua tangannya ke da-da. Kemudian memutar tubuh dan menyerang
lagi.
"Itulah
jurus 'makan sate kambing', pecahan keempat," bisik Sangaji kepada
kekasihnya. Titisari
mengangguk.
Sang
Dewaresi ternyata seseorang yang pandai melihat gelagat. Begitu melihat
lawannya bukanlah suatu makanan empuk, segera ia bertindak hati-hati. Kemudian
membalas menyerang pula. Sasarannya adalah pundak kanan. Sondong Majeruk cepat
mengelak dan kembali ia menyerang dengan jurus makan sate kambing.
Kali
ini sang Dewaresi dapat memperlihatkan kepandaiannya. Luar biasa gesit ia
mengelak. Dan dengan mendadak tubuhnya melesat ke belakang punggung lawan
sambil melontarkan serangan.
Sangaji
dan Titisari terkejut. "Inilah suatu serangan susah ditangkis!" kata
mereka dalam hati.
Rupanya
anak buah Sondong Majeruk sadar pula, bahwa pemimpinnya berada dalam bahaya.
Mereka
bergerak serentak hendak menolong. Tetapi Sondong Majeruk ternyata cukup gesit.
Dengan
tenang, ia mendengar desir angin.
Untuk
mengelak dan menangkis, terang tak sempat lagi. Maka ia memutar tubuh dan
menyambut serangan itu dengan jurus makan sate kambing lagi.
Sang
Dewaresi ternyata tak berani menangkis serangan itu untuk kesekian kalinya.
Gesit ia memiringkan tubuh ke belakang dan melompat mundur dua langkah.
"Hebat!"
Sondong Majeruk mengeluh dalam hati. Kini ia tak mau berlalai-lalai lagi. Ke
mana saja sang Dewaresi bergerak, selalu ia berusaha menghadapi dengan
berhadap-hadapan. Tetapi ternyata, ia kalah jauh dengan sang Dewaresi. Setelah
bertempur selama dua puluh jurus, tujuh belas kali dia terancam bahaya. Untung
ia ketolongan oleh jurusnya Ilmu Kumayan Jati yang sakti, makan sate kambing.
"Rupanya
Paman Gagak Seta hanya mewarisi dia satu jurus belaka," bisik Titisari.
Sangaji
mengangguk. Teringat dia akan pengalamannya sewaktu melawan Yuyu Rumpung. Waktu
itu, dia sudah memiliki tiga jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Meskipun demikian
tak dapat dia mengalahkan. Apa lagi Sondong Majeruk yang hanya memiliki satu
jurus belaka kini harus menghadapi sang Dewaresi. Diam-diam ia mengkhawatirkan
keselamatan Sondong Majeruk, berbareng merasa syukur karena kini dia telah
mewarisi empat belas jurus ilmu sakti Kumayan Jati dalam waktu hampir dua bulan
saja.
Pertempuran
itu berjalan terus. Sang Dewaresi telah berhasil mendesak Sondong Majeruk ke
pojok. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tahulah Sondong Majeruk apakah
maksud lawannya. Maka dengan mati-matian, ia berusaha mempertahankan diri dan
bergerak sedikit demi sedikit ke tengah ruang. Tetapi sang Dewaresi pun
bukanlah pula lawan yang kena digiring semaunya. Dengan tertawa panjang
tiba-tiba tangannya menyambar dengan dibarengi berkelebatnya tubuh. Tahu-tahu,
dagu Sondong Majeruk kena dihajar. Dan belum lagi Sondong Majeruk sempat
menangkis, sang Dewaresi sudah menghajar tulang rusuknya empat kali. Sudah
barang tentu Sondong Majeruk mundur terhuyung-huyung dan roboh di atas lantai.
Anak-buahnya
lantas saja menyerang berbareng. Tetapi dengan sekali sambar, sang Dewaresi
berhasil menangkap tengkuk dua orang dan dibenturkan dengan suatu hentakan.
Kedua orang itu lantas saja jatuh terkapar, sedangkan yang lainnya jadi
ketakutan.
"Hm,
kalian kira siapakah aku ini?" dengus sang Dewaresi dengan angkuh.
Kemudian meneruskan dengan diselingi tertawa merendahkan, "Kalian kira,
aku bisa dengan mudah terjebak? Semenjak tadi, tahulah aku siapa yang berada
dalam goni itu."
Dengan
melambaikan tangannya ia memanggil beberapa anak-buahnya yang datang dengan
mendorong seorang gadis yang berpakaian agak kusut. Semua yang melihat termasuk
Sangaji dan Titisari terperanjat belaka. Karena gadis itu ternyata Gusti Ayu
Retnoningsih.
Dengan
wajah berbangga hati, sang Dewaresi berkata, "Hm, bagaimana kalian bisa
berpikir, kalau aku bisa kalian akali. Selagi kamu bandot busuk masuk ke dalam
goni, aku sudah berada dalam rumah. Dengan mudah aku mengundang puteri
bangsawan itu. Dia mengira, aku adalah
salah
seorang di antara rombongan kalian. Begitu tiba, dia lantas kugondol pergi
mendahului kalian. Aku sudah bersiaga menunggu kedatangan kalian. Nah, kalian
mau apa sekarang?"
Anak
buah Sondong Majeruk tiada yang dapat berkutik. Mereka masih saja dalam suatu
keheranan. Dan sang Dewaresi berkata lagi, 'Tadinya aku menaruh perhatian
sewaktu si bandot busuk itu memperkenalkan diri sebagai anak-buah Gagak Seta,
memang aku kenal si jembel tua itu. Kutaksir, anak-buahnya pasti hebat. Tak
tahunya hanya begini macamnya. Mengingat dia, aku mengampuni jiwamu. Aku hanya
ingin memiliki kedua butir gundu matamu."
Setelah
berkata demikian, Sang Dewaresi menghampiri Sondong Majeruk yang tak dapat
berkutik lagi. Kemudian dengan mengembangkan jarinya, ia hendak mencukil kedua
gundu matanya. Tapi pada saat itu, mendadak berkelebatlah sesosok bayangan yang
terus menolak tangan sang Dewaresi yang nyaris menempel di kelopak mata.
Sang
Dewaresi terperanjat. Ia mendengar sambaran angin yang sangat dahsyat. Sebelum
sadar apa artinya itu, tiba-tiba saja kakinya telah kena tergeser sampai dia
mundur terhuyung dua langkah. Inilah hebat dan mengherankan. Selama dia menjadi
raja tak bermahkota di wilayah Banyumas, belum pernah ia bertemu dengan lawan
seberat kali ini. Siapakah dia? Tatkala sudah bisa tegak berdiri, cepat ia
mengamat-amati. Alangkah herannya! Karena dia adalah seorang pemuda yang pernah
dilihatnya di alun-alun Pekalongan dan di sebelah Desa Karangtinalang. Menurut
laporan Yuyu Rumpung dia sepanjang ini lumrah saja. Bagaimana sekarang ternyata
begini hebat.
Sesungguhnya
dia adalah Sangaji. Tatkala melihat sang Dewaresi hendak mencukil mata
Sondong
Majeruk, tanpa memedulikan akibatnya lantas saja ia melesat memberi
pertolongan. Begitu ia berhasil mengundurkan sang Dewaresi, lantas berkata
lantang, "Kau berhati jahat. Kamu sudah menculik seseorang keturunan
bangsawan, tetapi tingkah-lakumu malahan kurang ajar. Semestinya kamu harus
minta maaf dan bertobat!"
Sang
Dewaresi menenangkan hatinya, kemudian tertawa geli mendengar ujar Sangaji.
"Apakah alasanmu?"
"Apakah
matamu tidak melihat sekalian orang gagah di kolong langit ini?"
"Hm—maaf,
maaf. Baiklah karena kamu orang gagah, aku bersedia minta maaf."
"Tak
berani aku menyebut diriku orang gagah," sahut Sangaji agak sulit.
Maklumlah, dia tak pandai berperang lidah. "Aku hanya memberanikan diri
untuk mencegah perbuatanmu yang terkutuk. Nah, kembalikan puteri itu kepada
yang berhak. Dan enyahlah kau dari wilayah ini!"
Mendengar
tuntutan Sangaji, sang Dewaresi tertawa panjang. Kemudian mengejek,
"Berapa umurmu Tuan muda yang mengaku orang gagah? Kamu yang belum pandai
beringus, berani memberi nasihat dan menggurui aku?"
Sangaji
terhenyak menghadapi bunyi ejekan itu. Ia seperti mati kutu. Mendadak
berkelebat-lah sesosok bayangan lagi dari jendela. Dialah Titisari yang segera
berkata kepada Sangaji.
"Aji!
Hajarlah jahanam busuk itu!"
Sang
Dewaresi terperanjat tatkala melihat Titisari. Sejurus kemudian berkata dengan
nada merendah.
"Eh,
bukankah ini puteri Adipati Surengpati? Nama Nona senantiasa terlekat dalam
benakku dan takkan kulupakan seumur hidupku. Bukankah Nona bernama, Endang
Retno Titisari? Sayang, sewaktu kita berjumpa di kadipaten Pekalongan dan di
luar Desa Karangtinalang terjadi suatu gangguan. Itulah sebabnya, tak dapat aku
berbicara seleluasa-luasanya."
Disebut
sebagai badut, sang Dewaresi tiada bersakit hati. Bahkan dia tertawa lebar
dengan mata berkilat-kilat. Katanya seperti memohon.
"Nona!
Bukankah Nona datang pula untuk memintakan kebebasan puteri bangsawan itu?
Baiklah, aku akan membebaskan semua. Aku pun berjanji dan bersumpah, takkan
mencari
wanita
lain lagi, asalkan kamu sudi mendampingi aku seumur hidupku. Nah, bukankah itu
suatu tukar-menukar yang adil dan bagus?"
"Bagus!"
seru Titisari gembira. Dengan memegang lengan Sangaji, dia berkata mengajak,
"Aji! Badut ini menurut kabar bertempat tinggal di wilayah Banyumas. Mari
kita berpesiar ke sana. Bukankah Banyumas memiliki pemandangan yang indah
pula?"
Belum
lagi Sangaji menjawab, sang Dewaresi buru-buru menyahut, "Aku hanya
menghendaki engkau seorang diri untuk selama-lamanya. Apa perlu bocah tolol ini
menyertai kita berdua?"
Mendengar
sang Dewaresi menyebut Sangaji si tolol, Titisari bergusar hati. Dengan sekali
melesat ia menyambar pipi sang Dewaresi seraya mendamprat.
"Bedebah!
Kau berani memaki dia? Kaulah si badut tolol."
Sesungguhnya
sang Dewaresi gandrung kepada Titisari, seorang gadis padat-singsat,
tangkas-gesit yang usianya lagi memasuki tujuh belas tahun. Begitu ia
melihatnya, matanya berseri-seri. Tak bosan-bosan ia mengamat-amati perawakan
tubuhnya dan kejelitaan wajahnya yang begitu serasi. Sama sekali tak diduganya,
kalau gadis yang begitu molek bisa berubah begitu hebat dengan mendadak. Karena
tiada mengira sama sekali, maka dia lengah tak berjaga-jaga. Tahu-tahu pipinya
terasa panas kena tampar Titisari. Untung, gadis itu meskipun sudah menguasai
ilmu sakti Ratna Dumilah belum memiliki tenaga bayu. Itulah sebabnya, maka
tamparannya tiada menimbulkan luka. Meskipun demikian, sang Dewaresi
terperanjat setengah mati. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah dia kena tampar
seseorang dengan berhadap-hadapan.
Sang
Dewaresi jadi mendongkol. Cepat ia hendak membalas dengan menyerang dada.
Maksudnya hendak berkurang ajar pula dengan menggerayangi. Titisari nampaknya
seperti lengah. Ia membiarkan tangan sang Dewaresi sampai masuk sejari di depan
dada. Mendadak saja, ia melesat ke samping dan menampar lagi dengan jurus sakti
Ilmu Ratna Dumilah yang mengagumkan.
Sang
Dewaresi kaget. Aneh, dengan ilmu apakah dia bisa menerobos penjagaanku?
pikirnya. Hatinya jadi gemas. Maka ia menyerang kembali. Juga kali ini,
Titisari bisa mengelak dan mengirimkan serangan. Mau tak mau sang Dewaresi
merasa kuwalahan. Karena untuk menghajar Titisari dengan sung-guh-sungguh,
hatinya tak sampai hati. Bagaimana mungkin tangannya akan menyakiti kemungilannya
yang begitu menggiurkan?
Akhirnya
kemendongkolannya ditumpahkan kepada Sangaji. Pikirnya, biar kurobohkan pemuda
ini. Kalau dia sudah kurobohkan, tanpa kumengapakan pasti runtuh pulalah
hatinya.
Mendapat
keputusan demikian, ia berpura-pura menyerang Titisari. Tetapi mendadak kakinya
menyepak ke belakang mengarah Sangaji yang masih berdiri tegak. Itulah jurus
serangan sakti ajaran pendekar Kebo Bangah, pamannya yang termasyhur sebagai
tokoh sakti yang utama.
Sangaji
terperanjat, karena tiada menyangka diserang demikian rupa. Untuk mengelak,
tiada kesempatan lagi. Sebaliknya dia pun tak sudi diserang tanpa membalas.
Maka cepat ia melontarkan serangan balasan yang mendadak pula. Dengan demikian,
mereka berdua terpaksa adu tenaga. Brak! Kedua-duanya menggeliat mundur dengan
kesakitan. Dan mereka jadi penasaran pula. Akhirnya ber-tempurlah mereka dengan
dahsyat. Laskar Sondong Majeruk jadi keheran-heranan, melihat cara bertempur
Sangaji. Dengan cepat mereka mengenal jurus pertahanan Sangaji tatkala diserang
sang Dewaresi dengan mendadak. Itulah satu jurus yang seringkali dipergunakan
Sondong Majeruk untuk menolong diri.
"Hai!
Dia pun mengenal jurus makan sate kambing!" seru salah seorang di antara
mereka dengan suara tertahan. "Mengapa dia mengenal jurus itu pula?"
Sesungguhnya,
tatkala sang Dewaresi menyerangnya dengan tiba-tiba, tanpa berpikir lagi ia
menyambut dengan jurus makan sate kambing. Kemudian dia mendesak dengan
jurus-jurus lain yang dahsyat dan teratur.
Sondong
Majeruk yang sudah dapat tegak berdiri lagi, heran sampai terlongong-longong
melihat jurus-jurus Sangaji. Pikirnya, Ilmu Kumayan Jati adalah ilmu rahasia
pendekar Gagak Seta. Karena rejeki besar semata, aku dapat mewarisi satu
jurusnya. Tetapi pemuda ini memiliki jurus-jurus lain yang jauh lebih banyak.
Dia bisa pula menggunakan dengan cepat, tepat dan kuat. Apakah dia sudah
mewarisi Ilmu Kumayan Jati?
Sang
Dewaresi sendiri heran pula. Menurut Yuyu Rumpung, pemuda itu hanya
berkepandaian lumrah. Tapi ternyata begini hebat dan susah dilawan. Apakah
selama berpisah kurang lebih dua bulan ini, sudah berjumpa dengan iblis atau
malaikat yang bisa merubahnya menjadi manusia baru? Mendadak teringatlah dia
kepada Gagak Seta. Bukankah pemuda itu berada bersama dia? Pikirnya, bukan
mustahil dia sudah memiliki ilmu Gagak Seta. Baiklah kuujinya dengan ilmu sakti
Paman Kebo Bangah."
Cepat
ia menghujani Sangaji dengan bertubi-tubi. Tetapi sampai empat puluh jurus
masih saja belum bisa dikalahkan. Meskipun demikian, lambat-laun ia melihat
juga kelemahan lawannya. Dasar ia mempunyai pengalaman jauh lebih banyak. Maka
sedikit demi sedikit ia bisa mendesaknya.
Sesungguhnya
Sangaji agak kerepotan juga. Dia sudah menggunakan empat belas jurus ilmu sakti
Kumayan Jati. Kemudian mengulangi lagi dengan memutar balik. Begitulah
seterusnya berulang-kali. Dan inilah kelemahannya. Sang Dewaresi yang cerdik
lantas saja bisa menebak rahasia dirinya. Lewat beberapa jurus lagi, dia merasa
kewalahan. Sang Dewaresi dapat mencegat jurus-jurusnya sebelum dilancarkan
dengan sem-purna. Kecuali itu, gerak-geriknya bertambah lincah. Setelah
bertempur selama dua belas jurus lagi, pundaknya mulai kena terhajar. Syukur,
tubuhnya kuat dan dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru. Maka begitu kena
pukul, lantas mempunyai daya bertahan. Itulah sebabnya, hajaran itu tak
menyakiti tubuhnya.
Melihat
keuletan Sangaji, untuk sementara sang Dewaresi tak berani mendesak. Ia hanya
berputar-putar mencari lowongan dan menunggu pula. Sangaji mengulangi jurusnya
yang lambat-laun dapat dikenalnya. Kemudian merangsaklah dia dengan
bertubi-tubi serta tiba-tiba. Waktu itu Sangaji sudah habis memainkan empat
belas jurusnya. Maka anak muda itu bersiaga hendak mengulangi lagi. Inilah saat
yang ditunggu-tunggu sang Dewaresi. Dengan cepat, ia menyambar pundak dan
mencengkeram dada sekaligus.
Sangaji
terperanjat. Jalan untuk keluar seolah-olah buntu dan pepat. Merasa terjepit,
mendadak saja ia malah menubruk. Itulah ajaran ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati
yang dahulu dipersiapkan untuk melawan Pringgasakti. Sang Dewaresi terkejut
bukan kepalang. Inilah suatu kejadian yang tak diduganya. Tahu-tahu lengannya
kena terhajar dan ter-cengkeram. Kaget ia meloncat mundur, tapi tak urung
lengan bajunya rontang-ranting.
"Sungguh
berbahaya!" keluhnya dalam hati. Ia harus merasa bersyukur, tulang
lengannya tidak remuk. Sebaliknya Sangaji girang dengan hasil itu.
Kini
ia mendapat suatu penemuan baru. Ternyata suatu ilmu itu tidak selamanya harus
mengikuti jurus-jurus yang sudah ditentukan. Dalam suatu perkelahian kiranya
diperkenankan memutar-balikkan atau mencampuradukkan dengan ilmu lain. Semuanya
harus disesuaikan dengan corak-perkelahiannya. Memperoleh pendapat demikian,
Sangaji bisa menambal kekurangannya jurus ilmu sakti Kumayan Jati dengan ilmu
ajaran Jaga Saradenta dan Wirapati. Maka makin lama ia menjadi makin tangguh
dan berbahaya.
Sang
Dewaresi jadi kerepotan. Kini ia tak dapat menebak corak jurus lawannya.
Nampaknya jadi kacau dan campur-aduk, tapi anehnya jauh lebih berbahaya dan
sukar diduga. Mendapat kesan, bahwa Sangaji sukar dirobohkan dengan segera,
maka sang Dewaresi merubah tata-berkelahinya. Kini ia memperlambat gerakannya
seolah-olah berayal. Kemudian melontarkan ejekan menghina untuk memanaskan hati
lawan. Memang dia seorang raja tak bermahkota yang sudah berpengalaman. Selain
mengenal ilmu sakti ajaran pamannya, pandai pula
berperang
urat-syaraf. Maka Sangaji kena dijebaknya sehingga anak muda itu berkelahi
dengan bernafsu.
"Hm,
inilah ilmu si jembel Gagak Seta?" ejek sang Dewaresi. "Kukira
ilmunya setinggi gunung, tak tahunya hanya ilmu silat pasaran."
Hati
Sangaji jadi panas mendengar nama Gagak Seta direndahkan demikian rupa. Maka ia
membalas mendamprat.
"Ilmuku
tiada sangkut-pautnya dengan dia. Benar aku sudah memperoleh petunjuknya, tapi
akulah yang dasar goblok."
"Eh,
benarkah kamu si goblok atau si kerbau tolol itu?" Sang Dewaresi tertawa
terkekeh-kekeh.
Hati
Sangaji kian mendongkol. Dengan penuh semangat, ia mendesak. Sebaliknya, sang
Dewaresi hanya melayani dengan ayal-ayalan. Orang itu sudah memperhitungkan
perkelahian itu dalam jangka waktu panjang. Pikirnya, biar habis tenaganya
dahulu, baru kuhajar kalang-kabut.
Memang,
lambat-laun tenaga Sangaji jadi kendor juga, meskipun semangat tempurnya masih
berkobar-kobar. Mendadak . sang Dewaresi melesat dengan gesit. Kemudian
menyerang dengan tiba-tiba. Tangan kanannya mencengkeram rambut dan yang lain
menyodok ke arah dada. Selain itu, kakinya didepakkan menyerang lambung.
Benar-benar
Sangaji dalam keadaan bahaya. Nampaknya sulit untuk mengelak.
Titisari
yang menonton adu kepandaian itu dengan waspada, terkejut melihat kekasihnya
terancam bahaya. Sejak tadi dia sudah mempersiapkan senjata bidiknya yang
terdiri dari isi sawo. Benci dia melihat tingkah-laku manusia dari barat itu.
Maka begitu memperoleh kesempatan, ia hendak menghajar dengan diam-diam. Kini
ia melihat bahaya, karuan saja hatinya tercekat. Cepat ia melontarkan senjata
bidikan tujuh delapan biji sekaligus.
Sang
Dewaresi terkejut melihat berkelebat-nya senjata bidik itu. Cepat ia melolos
pedang tipisnya dan menyapu sekian biji itu. Hanya saja dia merasa aneh. Terang
sekali, dia sudah berhasil menyapu bersih, tetapi lututnya menjadi sakit.
Dengan hati terkejut ia melompat mundur dan terus memeriksanya. Ternyata ada sebutir
biji sawo yang berhasil menembus kainnya dan menancap pada kulitnya. Tentu saja
ia marah bukan kepalang. Dengan menggerung dia meledak.
"Binatang
manakah yang membokong dari jauh? Kalau berani, marilah berhadap-hadapan dengan
terang-terangan..." Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah benda
melayang cepat menyambar kepadanya. Ia hendak mundur, tetapi sia-sia belaka.
Tahu-tahu mulutnya telah tersumbat penuh. Ia kaget bercampur gusar, karena
mulutnya mendadak terasa asin. Cepat-cepat ia menyemburkan keluar. Ternyata
yang menyumbat mulutnya adalah sekerat tulang itik.
la
mendongak ke atas, karena dari sanalah asal serangan tadi. Tapi sekali lagi ia
kena hajar. Mendadak saja atap rumah seperti rontok. Dan debu berbareng pecahan
genting merontoki matanya. Dengan gemas, terpaksalah dia melompat ke samping.
Kembali dia mendongak dan mulutnya siap mengumpat. Tetapi sekali lagi, sebelum
mulutnya berhasil melepaskan suara, sekerat tulang menyumbatnya dengan
tiba-tiba. Kali ini rasanya masam dan pedas bukan kepalang.
Dipermainkan
demikian, hatinya mau meledak. Maklumlah, selama hidupnya belum pernah dia
dipermainkan seseorang begitu kurang ajar. Dengan menggerung, ia menyem-burkan
tulang itu dari mulutnya. Tepat pada saat itu berkelebatlah sesosok bayangan
turun dari atas. Karena mendongkol, segera ia menyambutnya dengan pukulan
dahsyat. Tapi kembali dia heran, dia tak berhasil mengenai sasaran. Sebaliknya
tangannya seperti menangkap sesuatu. Tatkala dilihat ternyata tulang kepala
seekor kambing. Ia mendongkol berbareng heran. Dan kembali ia mendongakkan
kepala. Dan terdengarlah seorang berkata, "Nah, bagaimana dengan ilmu
silat
pasaran?"
Sangaji
dan Titisari mengenal suara itu. Berbareng mereka berseru girang. "Paman
Gagak Seta!"
Sekalian
orang yang berada di serambi rumah itu mendongakkan kepala ke atap. Mereka
melihat Gagak Seta lagi menggerogoti paha kambing dengan nyamannya. Mulutnya
penuh dengan bongkahan-bongkahan daging, sedangkan kedua tangannya berkutat
mencengkeram tulangnya seolah-olah khawatir akan terlepas.
Melihat
Gagak Seta, hati sang Dewaresi jadi kecut. Dengan hormat ia berkata, "Ah,
kiranya Paman berada di atas. Dari sini aku memberi hormat."
Benar-benar
dia membungkuk hormat. Kemudian membuang tulang batok kambing ke lantai.
"Hm,
kau masih mengenalku?" dengus Gagak Seta dingin. Dengan acuh tak acuh
masih saja dia menggerogoti paha kambing.
"Bukankah
aku pernah bertemu dengan Paman? Dengan ini aku menyesali diriku sendiri,
mengapa mataku begini buta sampai tak mengetahui Paman. Sewaktu aku berjumpa
dengan Paman, segera aku mengirimkan warta kilat dengan burung dara. Aku
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga, bagaimana aku harus membawa diri
jika bertemu dengan Paman. Dan pamanku menyampaikan pesannya, agar aku
menghaturkan hormatnya kepada Paman. Pamanku berdoa dan selalu berharap, agar
Paman tetap sehat wal'afiat."
"Eh,
Kerbau Bandot itu pandai juga berpura-pura," tukas Gagak Seta.
"Mestinya dia harus memakiku kalang-kabut dan mengutuki Tuhan pula,
mengapa aku belum mampus. Aku memang seorang pencuri ayam dan pencuri kambing.
Lihat apa yang kugerogoti ini, tapi aku bukanlah seorang pencuri anak dara.
Hai! Apakah pamanmu masih sehat kuat?"
Benar-benar
sang Dewaresi tak dapat berkutik ditelanjangi Gagak Seta di depan orang banyak.
Tetapi mengingat kesaktian Gagak Seta ia harus pandai membawa diri. Maka dia
hanya mengangguk kecil belaka.
"Hai
kunyuk!" tegur Gagak Seta garang. "Kau tadi bilang, bahwa ilmuku
adalah ilmu pasaran. Bukankah kamu sengaja merendahkan?"
Sang
Dewaresi sedih bukan main ditegur demikian. Gerutunya menyesali diri, "Hm—
siapa mengira, dia sudah berada di situ. Benar-benar ilmunya tak boleh dibuat
gegabah
..."
Kemudian berkata dengan takzim, "Paman, maafkan kelancanganku ini. Karena
menurutkan hati saja, aku mengoceh tak keruan."
Gagak
Seta tertawa terbahak-bahak sambil melompat turun ke lantai.
"Kau
tadi menyebut anak muda itu sebagai orang gagah. Tapi ternyata dia kena
kaukalahkan. Jika begitu kamulah si orang gagah. Ha ha ha ..."
Sang
Dewaresi tak berani menyahut sem-barangan. Meskipun hatinya mendongkol bukan
main, ia berjuang mati-matian untuk menguasai. Karena apabila sampai kena
terje-bak, dia bisa babak-belur menghadapi seorang sesakti pamannya.
Gagak
Seta berkata lagi, "Aku tahu, karena kamu percaya kepada ilmu si bangkotan
busuk, maka kau mengira bisa berbuat semau-maunya di wilayah ini. Benarkah
dengan berbekal ilmu bangkotan itu kau bisa malang-melintang tanpa tandingan?
Hm! Hm! Jangan bermimpi! Selama aku belum mampus, kukhawatirkan kamu tak
mendapat tempat di sini."
Sang
Dewaresi masih terus mengendalikan diri. Dengan membungkuk terpaksa ia
menyahut, "Paman adalah pendekar sakti seperti pamanku sendiri. Karena
itu, aku wajib patuh kepada semua kehendak Paman. Paman menghendaki apa?"
"Eh,
kau bilang apa? Bagus! Kau hendak memaksaku, agar menghina angkatan muda? Mana
bisa begitu?"
Sang
Dewaresi membungkam mulut. Itulah satu-satunya sikap untuk melawan Gagak Seta
agar selamat.
"Dengarlah!"
damprat Gagak Seta. "Aku si tua bangkotan ini tidaklah sekerdil pamanmu.
Kalau hatiku lagi berdendang kerapkali aku memberi satu dua petunjuk kepada
seseorang yang kejatuhan rejeki. Seperti Sondong Majeruk itu. Tapi ia hanyalah
suatu ilmu kasar belaka. Dia belum boleh di sebut sebagai ahli warisku. Karena
itu, kau tak boleh merendahkan ilmuku sebagai ilmu silat pasaran. Hm! Hm!
Bukanlah aku tukang membual, tapi kalau aku sudah mengangkat seorang murid yang
langsung kudi-dik, belum tentu tak dapat menjungkir-balikkan tampangmu meskipun
kau sudah mewarisi ilmu pamanmu. Kau percaya tidak?"
"Tentu,
tentu. Bagaimana aku tak percaya?" sahut sang Dewaresi berpura-pura.
"Bagus!
Kau pandai berpura-pura!" tukas Gagak Seta yang dapat membaca isi hatinya.
"Mulutmu berkata begitu tapi hatimu memaki kalang-kabut. Pamanmu kerbau
bangkotan pun pandai berbicara seperti monyong-mu.
"Tidak,
tidak. Sama sekali tidak. Masa aku berani memaki Paman?"
"Paman
Gagak Seta!" sela Titisari gemas. "Jangan percaya ocehannya! Di dalam
hatinya, dia sedang memakimu kalang-kabut!"
"Bagus!
Bagus!" Gagak Seta kena terbakar. "Jadi kau berani memaki?"
Berbareng
dengan kalimatnya yang penghabisan, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu pedang
tipis sang Dewaresi telah berpindah ke tangannya. Sudah barang tentu sang
Dewaresi terperanjat bukan main. Selama hidupnya, belum pernah pedangnya
terampas dengan terang-terangan. Dia merasa diri termasuk golongan pendekar
yang gesit, tangkas dan cekatan. Namun dibandingkan dengan kepandaian Gagak
Seta, benar-benar dia mati kutu. Mau tak mau terpaksalah dia menelan kenyataan
yang pahit itu.
"Hm!"
dengus Gagak Seta. "Pedang apakah ini?"
Titisari
menyahut, "Itulah pedang yang biasa dipergunakan memasak di dapur. Kalau
bukan untuk menyembelih babi, mungkin ayam pengkor."
Mendengar
kata-kata Titisari, hati sang Dewaresi mendongkol tak kepalang. Matanya sampai
merah dan dengan bersungut-sungut mengawasi Titisari. Tetapi Titisari tak
peduli. Dengan pandang mata tajam pula ia menentangnya. Dasar sang Dewaresi
gandrung kepadanya, maka ia mau mengalah. Hilanglah kemendongkolan hatinya dan
seketika jadi gregetan. Ih! Sekali kau kutangkap, takkan kulepaskan sebelum
tubuhmu reyot tak keruan. Ingat-ingatlah itu! ancamnya dalam hati.
"Hai
pencuri dara, dengarkan!" kata Gagak Seta. "Jika aku
melawanmu—biarpun kamu mendatangkan seribu dewa—takkan kau memperoleh tempat
berpijak. Karena itu, aku hendak melantik seorang murid untuk melawanmu
..."
Benar-benar
sang Dewaresi direndahkan. Seketika itu juga panaslah hatinya. Dengan berani ia
membalas.
"Saudara
tolol ini, tadi bertempur denganku beberapa jurus. Seumpama Paman tidak
mengganggu, pastilah aku akan dapat menumbangkan. Lantas, Paman hendak melantik
murid yang mana lagi?"
Gagak
Seta tertawa gelak sambil mengerling kepada Sangaji yang menelan hinaan sang
Dewaresi dengan berdiam diri.
"Anakku
Sangaji, apakah kamu muridku?"
Teringatlah
Sangaji, bahwa orang tua itu dahulu menolak kehendaknya tatkala menyebutnya
sebagai guru. Bahkan sewaktu ia hendak bersembah, dia membalas memberi sembah
pula. Maka cepat ia menjawab, "Aku tak mempunyai rejeki untuk menjadi
murid-mu.
"Nah,
kau telah mendengar," kata Gagak Seta kepada sang Dewaresi. Dan sang
Dewaresi
menjadi
heran. Ih! Jadi dia bukan muridnya? Habis, siapakah guru anak itu? Dia begitu
hebat! pikirnya.
Dalam
pada itu Gagak Seta tak mengindahkan apa yang berkutik dalam hati sang Dewaresi.
Dengan
mata bersinar-sinar ia merenungi Sangaji dan berkata memutuskan.
"Hari
ini dan jam ini pula, aku hendak melantik seorang murid. Dan engkaulah kulantik
menjadi muridku. Apakah kau senang mempunyai guru seperti aku?"
Mendengar
keputusan Gagak Seta, Sangaji girang bukan main. Serentak ia membungkuk dan
bersembah dengan takzim sampai berulang tujuh kali.
"Hai
anak tolol!" damprat Gagak Seta. "Kau hanya bersembah seperti orang
tak waras. Mengapa mulutmu tak mengucapkan sepatah kata, menyebut aku sebagai
gurumu?"
"Dalam
hatiku, Paman adalah guruku. Tetapi pada saat ini belum berani aku menyebut
Paman sebagai guruku, sebelum memperoleh izin kedua guruku. Aku berjanji hendak
minta izin kedua guruku ..."
Sejenak
Gagak Seta merenungi ucapan Sangaji. Akhirnya tertawa panjang sambil berkata,
"Benar? Itulah perbuatan seorang yang berhati mulia, yang tak mau
melupakan asal-usul. Nah, biarlah sekarang aku melengkapi ilmumu. Aku akan
mengajarmu empat jurus pelengkap. Lihat!"
Gagak
Seta kemudian mengajari empat jurus pelengkap ilmu sakti Kumayan Jati yang
berjumlah delapan belas jurus. Seperti diketahui, Sangaji sudah memiliki empat
belas jurus Ilmu Kumayan Jati. Maka kini lengkaplah sudah. Tinggal enam jurus
lagi yang merupakan kunci mendampar musuh dengan pelontaran tenaga dahsyat.
Dengan
sabar Gagak Seta mengulangi keempat jurus itu sampai Sangaji paham benar.
Tahu-tahu matahari sudah menyingsing di timur. Burung-burung mulai
memperdengarkan suaranya. Dan penduduk mulai pula bekerja mencari nafkah. Dalam
serambi rumah baru itu, jadi terang benderang.
Terhadap
sang Dewaresi, Sangaji gemas dan geram. Ingin sekali ia menumbangkan orang itu
yang bersikap sewenang-wenang dan mau menang sendiri. Maka ia menekuni empat
jurus tambahan itu dengan penuh semangat dan dendam berkobar-kobar. Sebentar
saja, sudahlah ia dapat memahami.
Sebaliknya,
sang Dewaresi heran menyaksikan tingkah laku Gagak Seta. "Bagaimana orang
mengajari seseorang di depan lawannya? Bukankah hal itu menggelikan benar? Di
dunia mana saja suatu ilmu diajarkan kepada seseorang dengan rahasia. Tujuannya
untuk mengejutkan lawan dan menghujani pukulan tertentu yang tak terduga sama
sekali." Mendadak suatu pikiran berkelebat dalam benaknya. Pikirnya,
apakah orang tua itu se-ngaja hendak merendahkan aku? Memperoleh pikiran
demikian cepat ia merenungi dan ikut pula menekuni empat jurus itu. Dasar
otaknya cerdas dan cerdik. Maka dengan mudah ia sudah dapat memahami dan
ternyata keempat jurus itu amat sederhana dan mudah dihapal. Tetapi satu hal ia
salah perhitungan. Memang Ilmu sakti Kumayan Jati nampaknya sederhana. Namun
justru kesederhanaannya itulah letak kuncinya yang tersulit. Seseorang yang
cerdas otaknya dan cepat memahami takkan dapat menyelami intisari Ilmu Kumayan
Jati dengan sempurna, seperti Titisari. Karena dasar rahasia serta kunci ilmu
sakti Kumayan Jati itu ialah berdasarkan suatu tenaga ajaib khas milik
tata-jasmani yang tersembunyi.
Sangaji
berhasil menelaah ilmu sakti Kumayan Jati, karena pertama-tama, ia memiliki
getah sakti pohon Dewadaru yang tiada duanya dalam dunia ini. Kedua, otaknya
tidak begitu cerdas dan pengucapan hatinya sangat sederhana. Itulah suatu
keuntungan yang tak pernah terduga oleh manusia mana pun juga di dunia ini.
Agaknya tabiat dan cetakan manusia Sangaji seolah-olah sengaja disediakan alam
untuk menjadi ahli waris Ilmu Kumayan Jati di kemudian hari.
Demikianlah,
setelah keempat jurus ilmu sakti Kumayan Jati sudah dipahami, mulailah ia
bertempur kembali melawan sang Dewaresi. Sang Dewaresi tiada takut melawannya,
karena
dia
sudah paham akan keempat jurus itu. Dengan pandang merendahkan ia bahkan mulai
pula menyambut serangan Sangaji dengan jurus yang baru diajarkan tadi. Tapi
mendadak, terkejutlah dia. Tiba-tiba ia menemui suatu kesulitan yang tak
terduga. Benar, gerakan keempat jurus itu sama sekali tak salah, tetapi tatkala
hendak mengerahkan tenaga jasmani, ia merasa seperti tercebur dalam rawa
berlumpur. Karuan saja cepat-cepat ia hendak menarik kembali. Tapi kasep,
Sangaji waktu itu terus melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah
lengkap. Gugup sang Dewaresi menangkis dengan sekenanya. Inilah suatu kesalahan
telak yang ditunggu-tunggu setiap pukulan ilmu sakti itu. Yakni, membuat lawan
sibuk demikian rupa, sehingga terpaksa menangkis. Maka begitu sang Dewaresi
menangkis pukulan Sangaji ia terlontar mundur empat langkah.
Seketika
itu juga, pucatlah muka si raja tak bermahkota itu. Seluruh tubuhnya terasa
nyeri. Napasnya pun nyaris terdesak ke dalam rongga dada. Untung, bagaimanapun
juga. Dia adalah kemenakan seorang pendekar sakti pula. Sebentar dapatlah ia
menguasai diri dan terus menyerang Sangaji dengan pukulan-pukulan ajaran
pendekar Kebo Bangah. Ilmu ajaran pendekar sakti Kebo Bangah ini, terlarang
keras untuk diperlihatkan di sembarang tempat. Kecuali apabila dalam keadaan
terjepit. Sekarang, sang Dewaresi menggunakan ilmu ajaran itu. Suatu tanda,
bahwa dia sudah merasa terjepit. Tapi, meskipun sudah mencurahkan seluruh
kepandaiannya, hasilnya hanya berimbang, la tak berhasil menumbangkan Sangaji.
"Sungguh
berbahaya!" keluhnya dalam hati. "Apabila aku tak dapat terjatuhkan
di depan mata si jembel itu, pastilah akan runtuh keharuman nama pamanku."
Sambil
bertempur ia memeras otak. Mendadak, teringatlah dia akan ilmu simpanan
pamannya yang khusus diciptakan untuk melawan tokoh-tokoh sakti seangkatan
pamannya. Ilmu itu baru separoh bagian yang sudah diwarisi. Pamannya
benar-benar berpesan, agar menyimpan ilmu itu. Sebab apabila sampai ketahuan
salah seorang pendekar seangkatannya, akan sia-sialah usahanya untuk merebut
kedudukan sebagai pendekar sakti nomor wahid. Dengan berkerut-kerut ia berpikir
dalam hati, hm, apakah dalam keadaan begini, aku tak diperkenankan meng-gunakan
ilmu rahasia itu? Semenjak kanak-kanak, aku dididik Paman untuk mewarisi ilmu
saktinya. Tetapi ternyata aku tak dapat berbuat banyak terhadap murid si jembel
Gagak Seta yang baru saja diberi pelajaran. Kalau aku sampai kena dikalahkan...
apakah kata si jembel itu terhadap Paman?
Masih
saja dia beragu hendak mengeluarkan ilmu rahasia keluarganya. Tetapi ia kena
desak terus, bahkan seringkali kena terhajar. Sedangkan tadinya, ia merasa bisa
memenangkan Sangaji. Dasar, ia berwatak manja dan mau menang sendiri, tak
dapatlah lagi ia menggenggam rahasia ilmu keluarganya dapat terdesak mundur
mendadak saja ia melontarkan pukulan dahsyat dan aneh. Pukulan itu mengeluarkan
desis seperti seekor ular hendak menyemburkan bisa. Tubuhnya berkelebat seperti
bayangan dan bergerak melilit lawan.
Melihat
serangan itu, Sangaji segera menangkis. Tetapi di luar dugaan, ia seperti
kehilangan tenaga tangan lawan. Tangan sang Dewaresi sekonyong-koyong lemas
seperti ular.
Inilah
suatu pantangan utama, bagi ilmu sakti Kumayan Jati yang berpokok kepada tenaga
keras. Tetapi andaikata Sangaji sudah berpengalaman, sebenarnya ia bisa pula
me-rubah menjadi pukulan lembek seperti yang pernah diperlihatkan Gagak Seta
dua bulan yang lalu, tatkala menghadapi sebatang pohon.
"Plok!"
Batang leher Sangaji kena tamparan sang Dewaresi, tanpa dapat membalas. Ia terperanjat.
Cepat ia menundukkan kepala dan membalas serangan dengan dahsyat. Tapi sekali
lagi, ia menghadapi suatu tangan yang lemas-lembut. Sang Dewaresi ternyata
bertempur dengan melenyapkan tenaga. Ia hanya mengadu kegesitan, menggeser kaki
atau mengelak. Itulah sebabnya, maka tenaga lontaran ilmu sakti Kumayan Jati
yang membutuhkan sasaran kuat, tiada berdaya sama sekali. Tenaga pukulannya
seperti deru angin meninju udara kosong.
"Plok!" Sekali lagi sang Dewaresi berhasil menghajar batang leher. Dan kembali Sangaji
terperanjat.
Cepat ia berputar dan melontarkan pukulan gempuran. Sang Dewaresi tak mau
menangkis dengan mengadu tenaga. Tangannya lemas kembali dan bergerak dengan
berputaran. Memperoleh pengalaman dua kali berturut-turut, betapa bebal otak
Sangaji, bisa juga berpikir cepat. Buru-buru, ia menarik lontaran pukulannya.
Kemudian teringatlah dia akan pukulan lemas. Segera ia hendak menandingi
tata-berkelahi sang Dewaresi dengan pukulan lemas. Tetapi berbareng dengan
terbersitnya pikiran itu, pundaknya sudah kena terhajar lagi. Kali ini terasa
panas, dan nyeri. Dan belum lagi dia bisa menggunakan jurus-jurus lembek, dua
kali berturut-turut ia kena terpukul.
"Anakku
Sangaji, mundur!" perintah Gagak Seta. "Hitunglah kamu kalah satu
kali. Maklum, kamu kalah berpengalaman dengan dia. Tak mengapa."
Sangaji
seorang pemuda penurut. Begitu mendengar perintah Gagak Seta, terus saja ia
meloncat ke luar gelanggang. Dengan menahan rasa sakit, masih saja ia sempat
membungkuk terhadap lawannya menyatakan kekalahannya. Katanya,
"Benar-benar aku mengagumimu. Aku menyatakan kalah terhadapmu."
Lega
hati sang Dewaresi mendengar pengakuan itu. Dengan membusungkan dada, ia
mengerlingkan mata kepada Titisari. Mulutnya berkulum senyum, namun ia tak
berani berkata sepatah kata pun untuk lebih menggait perhatian gadis yang
digandrungi itu.
Dalam
pada itu Gagak Seta, terdengar tertawa bergelak-gelak. Kemudian berkata
nyaring.
"Si
Kerbau Bangkotan ternyata seorang bandot yang rajin juga. Dua puluh tahun tak
pernah bertemu. Mendadak kini mempunyai ilmu simpanan hebat. Kau boleh
menyatakan terima-kasih kepada pamanmu, karena aku si jembel belum memperoleh
ciptaan untuk memecahkan ilmu rahasia keluargamu. Nah, pergilah kamu dari sini
dengan baik-baik. Aku takkan mengganggumu."
Mendengar
ujar Gagak Seta, sang Dewaresi terkejut. Pikirnya, aduh, celaka! Karena
terpaksa, aku mengeluarkan ilmu rahasia ini. Paman berpesan agar aku
merahasiakan benar, kare-na berbahaya apabila kena dilihat salah seorang
pendekar sakti lawan Paman. Kini, ternyata si jembel itu sudah mengetahui. Hm,
kalau sampai Paman mengetahui kelancang-anku, aku bisa dihukumnya berat."
Teringat
akan pesan pamannya, kegembiraan hatinya lenyap seperti embun terhembus cerah
matahari. Dengan membungkam mulut ia membungkuk hormat terhadap Gagak Seta.
Sekonyong-konyong Titisari berseru, "Eh, tunggu dulu. Aku mau berbicara
denganmu."
Mendengar
seruan Titisari, sang Dewaresi heran menebak-nebak, sampai terhentilah
langkahnya hendak keluar serambi depan. Ia mengamat-amati gadis itu. Matanya
berkilat-kilat, karena jantungnya berdebar.
Titisari
kemudian bersembah kepada Gagak Seta sambil berkata takzim.
"Paman
Gagak Seta! Berlakulah adil. Aku selalu bersama dengan Sangaji. Mengapa, hanya
dia seorang yang Paman terima sebagai murid?"
Gagak
Seta tercengang mendengar kata-kata Titisari. Kemudian tertawa sambil
menggelengkan kepala. Menjawab, "Sebenarnya, aku sudah melanggar
pantanganku sendiri dengan menerima seorang murid. Selama aku hidup sampai hari
ini, belum pernah terbintik dalam otakku hendak menerima seorang murid. Tapi
ternyata, nasi sudah menjadi bubur. Sangaji sudah menjadi muridku. Karena itu
pula, tak dapat lagi aku berbuat suatu kesalahan. Dengan terpaksa aku harus
mengecewakan hatimu. Tapi ayahmu sendiri luar biasa pandainya. Bagaimana bi-sa
aku mengambil puterinya sebagai muridku?"
Titisari
terperanjat dan mukanya berubah seperti tersadar. Kemudian dengan
perlahan-lahan dia berkata, "Oh maaf! Aku lupa, kalau Paman takut kepada
ayahku," dia membentak dengan muka membara.
"Kau
berkata apa? Aku takut? Hm... hm..."
"Mengapa
Paman tak berani menerimaku sebagai murid?"
Gagak
Seta kena terbakar hatinya. Seketika itu juga menjawab, "Aku tak berani
menerimamu sebagai muridku? Siapa bilang? Nah, saksikan semua. Mulai hari ini,
aku mengambil seorang murid baru lagi. Yakni kamu! Mustahil, si setan belang
akan bisa menggerogoti tulang-belulangku ..."
Titisari
tertawa girang. Jebakannya ternyata berhasil. Maka dengan suara nyaring ia
berkata, "Ucapan seorang jantan bernilai seribu ekor kuda, kata pepatah.
Mulai sekarang, guru ja-ngan menyesal mempunyai murid seperti aku. Sekarang
murid minta penerangan kepada guru, bagaimana cara menandingi ilmu si ku-nyuk
itu yang bergerak seperti ular?"
Gagak
Seta diam berpikir. Tak tahu dia menebak maksud Titisari. Tetapi dia percaya,
akan kecerdikan otaknya. Pastilah anak siluman belang itu mempunyai maksud
tertentu, pikirnya. Maka ia tertawa gelak. Tatkala hendak memberi penjelasan,
sekonyong-konyong Titisari berkata, "Bukankah untuk menangkap ular, harus
dipergunakan tali? Nah, tali itu harus melingkar demikian rupa sampai si ular
akan terlilit sedikit demi sedikit."
"Bagus!"
seru Gagak Seta girang. Dasar ia seorang pendekar bertabiat Jenaka serta
ugal-ugalan, maka kumatlah dia ketika mendengar kelakar Titisari. Dengan
bertepuk tangan dia berkata lancar, "Apa lagi, kalau kamu mempunyai garam.
Maka tak perlulah kau bersusah payah mencari tali. Cukup dengan menebarkan
segenggam garam dan ularitu akan kelojotan kehilangan tenaga gerak. Dia akan
mati lemas tanpa bersuara..."
Sang
Dewaresi tak mengerti ke mana tujuan percakapan ini. Tetapi dia merasa lagi
dipermainkan. Dengan pandang tak senang ia membersitkan penglihatan dengan
benak me-nebak-nebak. Matanya merah membara oleh hawa penasaran dan kurang
tidur.
"Sebenarnya
apakah kehendakmu memanggilku?" tegurnya tak bersabar lagi.
Dengan
tersenyum Titisari menatap wajahnya. Kemudian menjawab, "Hai, kamu
berbicara dengan siapa?"
Sang
Dewaresi tercengang. Membalas, "Bukankah aku bersedia menerima
perintahmu?"
"Bagus!"
Titisari tertawa menggoda. Tiba-tiba ia merogoh suatu benda berbungkus dari
dalam dadanya. Tatkala dikibarkan ternyata sebuah kebaya berduri tajam, entah
terbuat dari bahan apa. Ketika Gagak Seta melihat benda itu, ia berjingkrak
karena girangnya. Katanya nyaring, "Ah! Anak siluman! Apakah kamu menerima
warisan benda mustika itu dari ayahmu? Hm, dengan mengenakan perisai mustika
Syech Siti Jenar, kamu akan menjadi kebal. Dan tiada barang tajam di dunia ini
yang dapat menembusnya. Hai! Apakah ayahmu sudah menceritakan riwayat perisai
mustika itu?"
Titisari
menggelengkan kepala dengan mata berseri. Dalam pada itu, semua yang hadir di
serambi, mengarahkan seluruh perhatiannya kepada benda mustika yang berwujud
kebaya berwarna hitam halus dan berduri tajam.
Gagak
Seta kemudian berkata lagi sambil tertawa mendongak ke atap.
"Anakku!
Menurut kabar, perisai mustika itu dahulu, adalah milik Narpati Gajah Mada
Mahapatih kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya pula, mengapa Mahapatih Gajah
Mada tak dapat dilawan orang. Ia terkenal sakti dan kebal. Setiap negeri yang
didatanginya dengan tergesa-gesa menyatakan takluk. Kemudian mustika itu jatuh
ke tangan pahlawan Majapahit Kusen. Pahlawan itulah yang berhasil menewaskan
Sunan Kudung, salah seorang calon wali Bintara. Juga Sunan Drajat, Sunan Kudus
dan Sunan Giri tak mampu mengalahkannya. Setelah negeri Majapahit runtuh, tiada
kabar beritanya lagi tentang benda mustika itu.
Tiba-tiba
Sunan Kudus mengabarkan, bahwa benda itu jatuh ke tangan Syech Siti Jenar.
Inilah bahaya. Maka dengan tergesa-gesa Sunan Kalijaga menciptakan sebuah baju
sakti pula bernama Kotang Ontokusuma yang dikabarkan sebagai baju sakti Arya
Gatotkaca, Raja Pringgadani yang oleh kesaktian baju tersebut bisa terbang
mengarungi angkasa. Inilah suatu
cara
untuk dapat mengurangi pengaruh kesaktian benda warisan Mahapatih Gajah Mada
terhadap rakyat." Orang tua itu berhenti mengesankan. Ia tertawa perlahan
dan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Sekarang kulihat kamu mendapat
warisan benda sakti Syech Siti Jenar. Aku tak usah berkhawatir lagi. Aku
percaya, kau bisa menggebuki ular buduk kemenakan si Kerbau Bandotan. Hanya
saja, mulai hari ini kamu harus sanggup memperlihatkan gigimu. Seperti almarhum
Syech Siti Jenar, pahlawan sakti yang tiada terlawan. Kau tahu? Tabiat dan
perangai Syech Siti Jenar adalah setali tiga uang dengan ayahmu. Sifatnya
menyendiri, kokoh pendiriannya dan tak perdulian ter-hadap segala. Itulah
sebabnya, mengapa Syech Siti Jenar dibenci oleh sekalian wali. Aha... biar
orang percaya kepada cerita itu, aku sekelumit pun tak sudi mendengarkan.
Bagaimana
mungkin, rahasia bisa berubah menjadi anjing buduk? Itulah fitnah! Padahal
tatkala Syech Siti Jenar dihukum, sama sekali tiada mengadakan perlawanan.
Seumpama beliau melawan, kutanggung sekalian wali di Demak akan bisa
dijungkir-balikkan. Begitulah juga nasib ayahmu. Meskipun hampir semua orang
yang merasa dirinya gagah benci kepada ayahmu, aku si jembel tetap menghormati.
Tapi itu pun bukan berarti, bahwa aku setuju kepada tingkah-lakunya."
"Paman!
Paman berbicara tak keruan jun-trungnya," tukas Titisari. "Aku lagi
menghadapi ular bandot dan bukan lagi menghadapi salah seorang wali."
Gagak
Seta terkejut. Kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menyahut.
"Ah,
betul! Memang mulutku senang melantur tak keruan juntrungnya. Nah, sekarang
perlihatkan kemampuanmu menangkap ular bandot."
"Bagus!
Aku murid Gagak Seta, masa tak mampu menjungkir-balikkan ular itu?"
Titisari berseru nyaring. Dan sambil mengenakan baju mustika, lantas saja
memasuki gelanggang.
Sang
Dewaresi tiada gentar, meskipun sedikit banyak hatinya terpengaruh juga oleh
riwayat benda mustika itu. Pikirnya, walaupun kamu mengenakan perisai dari
dewa, masa tak mampu merobohkanmu dalam satu gebrakan saja." Kemudian
berkata, "Nona, silakan maju! Aku rela mati dalam tanganmu yang kuning
langsat."
"Idih!"
maki Titisari. "Semua ilmu tempurmu, adalah suatu ilmu lumrah. Tiada
harganya untuk kaupamerkan kepadaku. Murid Gagak Seta ingin melihat ilmu
rahasiamu yang busuk. Ayo, kita mulai! Tapi berjanjilah! Jika kamu sampai
menggunakan ilmu lain, kau terhitung kalah."
Dengan
tersenyum sang Dewaresi menjawab, "Aku akan melayani sekehendakmu."
"Hm—hm...
tak kukira, kau ular bandot bisa juga pandai berbicara," Titisari tertawa.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat. Dan dengan menggunakan Ilmu Ratna Dumilah
ajaran Gagak Seta ia terus menyerang dengan bertubi-tubi. Sesungguhnya ilmu
sakti Ratna Dumilah membutuhkan kegesitan untuk mengacaukan perhatian lawan. Itulah
sebabnya, maka tubuh Titisari berkelebat seperti bayangan. Sebentar ia
melontarkan pukulan tangan dan tiba-tiba berubah menjadi tendangan kaki tanpa
berhenti.
Sang
Dewaresi terkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya, kalau Titisari
memiliki ilmu demikian hebat. Kini, tak lagi dia berani merendahkan lawan.
Cepat ia menggeserkan kaki dan mengelak selekas mungkin. Kemudian ia menekuk
lengan dan dengan lemas melontarkan serangan balasan. Itulah salah satu jurus
ilmu rahasia pendekar sakti Kebo Bangah. Sasaran bidikannya menjurus ke pundak.
Barangsiapa kena terhajar, pasti akan roboh seketika itu juga. Tapi mendadak,
tangannya sakit luar biasa, kecuali itu tenaga lontarannya seperti terbalik.
Sebentar heranlah dia, teringat akan benda mustika cerita Gagak Seta
tersadarlah dia. Cepat-cepat ia memeriksa tangannya selintasan karena takut
kena racun. Ternyata darah mulai mengucur membasahi kulitnya. Itulah akibat
baju berduri yang tajam luar biasa. Tetapi darahnya tetap merah. Suatu tanda
bahwa duri benda mustika itu tiada mengandung racun. Maka legalah hatinya.
Meskipun demikian, hatinya jadi ciut.
Kini
ia tak memperoleh sasaran bidikan yang terulang. Seluruh lengan, punggung dan
dada Titisari terlindung oleh benda mustika yang benar-benar tak mempan oleh
tinju betapa keras pun. Gntuk menyerang kaki, tidaklah mungkin. Karena Titisari
bisa bergerak demikian gesit dan sukar diduga. Satu-satunya tempat yang kosong
dari lindungan benda sakti ialah, muka dan rambut, la jadi kebingungan, sambil
berlompatan menghindari serangan, ia berpikir keras.
Tak
kukira, gadis begini hebat kepandaiannya. Benar-benar puteri adipati Karimun
Jawa yang sakti dan murid Gagak Seta yang tiada cela. Tapi kalau aku mengalah,
bagaimana mungkin aku melihat sinar matahari lagi. Sebaliknya, jika kuterkam
mukanya, bukankah sayang seribu sayang! Dia begini cantik jelita. Apakah
rambutnya saja yang harus kurenggut? Ah, rasanya kurang pantas. Aku akan
dituduh sebagai seorang yang berlaku kasar dan meninggalkan tata-tertib
gelanggang... Hm... hm...
Benar-benar,
ia tak dapat memperoleh keputusan, karena itu, ia jadi kerepotan. Makin lama,
ia makin kena terdesak. Hatinya kagum bukan main dan bertambah gandrung kepada
Titisari. Maklumlah, hampir seluruh kepandaiannya sudah dicurahkan untuk merobohkannya
dengan menggunakan ilmu rahasia pamannya. Tadi, dia begitu gampang menampar
Sangaji. Tapi kali ini macet, karena Titisari menggunakan perisai benda mustika
yang tak mempan kena tinju dan pukulan. Syukurlah dia cerdas, la merobek lengan
bajunya dan tangannya segera dibebatnya. Dalam hatinya sudah memperoleh
keputusan hendak menyerang muka Titisari dan merenggut rambut. Jika perlu ia
memberanikan diri memukul tubuh yang diselimuti benda mustika. Pikirnya,
tanganku sudah terlindung pula, masa tak mampu menembus perisai benda mustika.
Tetapi
sekonyong-konyong Titisari meloncat keluar gelanggang sambil berseru
mendamprat. "Kau palsu! Kau kalah! Kau hendak menggunakan ilmu lain."
Sang
Dewaresi terkejut. Memang tata-berkelahi ilmu rahasia pamannya, tidak diperkenankan
menggunakan pembebat tangan sebagai pelindung. Maka dengan terpaksa ia
menyahut, "Ah— aku lupa, Nona..."
"Nah,
sekarang teranglah bahwa ilmu keluargamu yang kaubanggakan, tiada mempan
berhadap-hadapan dengan murid Gagak Seta," dengus Titisari dengan licin.
"Artinya pula, bahwa ilmu rahasiamu tiada anehnya. Sewaktu dulu kita
mengadu kepandaian di serambi kadipaten Pekalongan, malaslah aku untuk
memperlihatkan kemampuanku. Karena itu, aku kalah. Tapi kini ternyata sama
kuat. Kau masih mendongkol. Baik! Aku pun masih mendongkol."
Semua
yang mendengar ujar Titisari, jadi terheran-heran. Mereka berpikir, "Gadis
ini benar-benar licin." Sebenarnya belum tentu dia bisa mengalahkan sang
Dewaresi.
Hanya
dengan menggunakan kelicinan akal, dia bisa mengalahkan. Tapi mengapa, dia
seolah-olah hendak menantang lagi."
Sebaliknya
Gagak Seta yang dapat menebak akal Titisari tertawa dalam hati. la percaya,
bahwa muridnya yang satu ini amat cerdas otaknya dan tak segan-segan
menggunakan akal licin di luar dugaan orang. Maka itu dengan tenang, ia terus
menggerogoti tulang kambingnya sampai licin bersih.
"Nona!
Aku menerima semua pernyataanmu. Tak perlu lagi, kita meneruskan bertempur. Apa
gunanya, kita bertempur sungguh-sungguh?" ujar sang Dewaresi kuwalahan.
"Hih,
enak saja kamu berbicara," tukas Titisari. "Ingat, dahulu di serambi
kadipaten pernah aku kaupermainkan. Aku kau ajak bertempur dalam satu
lingkaran. Kini, aku pun akan membalas menantangmu bertempur dalam satu
lingkaran pula."
Sang
Dewaresi merasa terdesak. Tantangan Titisari tak dapat ditolaknya, mengingat
dia dulu menantangnya berkelahi pula dalam suatu lingkaran. Maka berkatalah dia
terpaksa.
"Nona,
di antara kita siapa yang kalah, tidak penting. Tapi jika Nona benar-benar
bergembira hendak menantang mengadu kepandaian denganku, aku hanya bersedia
melayani belaka."
"Eh,
kau mulut palsu, dengarkan," potong Titisari tak peduli. "Dahulu,
sewaktu aku terpaksa bertempur melawanmu, aku kalah suara. Semua yang hadir
dalam ruang kadipaten adalah sahabat-sahabatmu belaka yang bersiaga membantumu,
jika kamu kalah. Kini lainlah suasananya. Di belakang berderetlah
sahabat-sahabatmu. Aku pun berada di tengah sahabat-sahabatku. Meskipun
jumlahnya kalah besar dengan jumlah begundal-begundal-mu, tak apa. Di sini aku
berani mengeluarkan ilmu kepandaianku untuk melawanmu. Aku tak usah takut,
begundal-begundalmu akan membantumu."
"Hm,"
dengus sang Dewaresi geli bercampur mendongkol. "Sekarang marilah kita
membuat garis lingkaran seperti dahulu."
"Baik,"
sahut sang Dewaresi. Dan seperti tatkala di kadipaten Pekalongan, sang Dewaresi
menggarit suatu lingkaran dengan ujung kakinya.
Anak
buah Gagak Seta benci terhadap sang Dewaresi. Tetapi menyaksikan kesaktianorang
itu bisa menggarit lantai dengan ujung kaki, mau tak mau mereka memuji dalam
hati. Sebab, apabila seseorang tiada memiliki tenaga sakti tak mungkin dapat
menggarit lantai sedalam satu kaki dengan hanya menggu-nakan tekanan ujung
kaki.
"Bagus!"
seru Titisari girang. "Ingatlah! Dulu kamu mengikat kedua belah tanganmu
untuk melawanku. Sekarang pun, aku hendak bertanding dengan menim caramu
merendahkan lawan. Aku mau mengikat kedua kakiku. Nah dengan demikian, adillah
tata-pertandingan adu kepandaian ini."
Semua
yang mendengar ujar Titisari heran sampai terlongong-longong. Pikir mereka
serentak, gadis ini meskipun cerdik dan pandai, bagaimana dapat melawan
kesaktian sang Dewaresi dengan mengikat kedua kakinya? Lagi pula daerah
geraknya begitu terbatas. Apakah dia memiliki ilmu siluman? Sang Dewaresi
sendiri heran bukan kepalang. Dengan mengerutkan kening, sibuklah dia
menduga-duga. Sangaji pun diam-diam ikut berpikir keras. Hanya Gagak Seta
seorang diri yang masih saja menggayemi sekerat dagingnya dengan nyamannya.
Pada
saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan yang kuat
Tubuhnya terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap.
Titisari
terus memasuki lingkaran, la melepas cindenya dan kedua kakinya kemudian
diikatnya erat. Dengan pandang berkilatan ia menantang pandang Dewaresi tanpa
berkedip.
"Benar-benarkah
Nona hendak melawanku dengan kedua kaki terikat?" Sang Dewaresi masih
sibuk menebak-nebak.
"Kau
kira apa murid Gagak Seta ini? Bilanglah dengan terus terang, apakah kamu dulu
atau akulah yang menyerangmu terlebih dahulu."
Dengan
mengerling garis lingkaran sang Dewaresi menjawab, "Aku adalah seorang
laki-laki. Sudah barang tentu harus menerima seranganmu terlebih dahulu.
Kemudian akan kupertimbangkan, apakah aku perlu membalas serangan pula."
"Kau
licin sekali!" damprat Titisari. "Kau hendak menaksir kelemahan lawan
terlebih dahulu, bukan? Kemudian membalas serangan dengan sekali hantam. Bagus!
Mari kita mulai. Siap?"
Melihat
Titisari begitu bersikap tenang, sang Dewaresi beragu. Pikirnya, dalam
lingkaran sekecil ini, apakah yang hendak dilakukan terhadapku. Tapi... siapa
tahu dia mempunyai ilmu rahasia di luar dugaan. Baiklah aku menyerangnya saja
terlebih dahulu untuk melihat bagaimana cara dia mengelak dan melontarkan
serangan. Mendapat pikiran demikian, maka dengan licin dia berkata,
"Nona... sebenarnya dalam suatu arena pertempuran, tiada beda antara
kedudukan seorang wanita dan pria. Jika aku membiarkan Nona menyerangku
terlebih dahulu, itu berarti bahwa aku merendahkan Nona. Baiklah biar aku
dahulu yang menyerangmu."
Tapi
berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan Titisari telah memotong dengan
seruan nyaring, "Awas serangan!"
Ia
melihat Titisari meloncat dengan menjejakkan ujung kakinya yang terikat. Belum
lagi dia dapat menduga bagaimana gadis itu menyerang, tiba-tiba terlihatlah
barisan isi sawo berkeredep menghujani dirinya. Inilah suatu serangan yang tak
pernah diduganya.
Sang
Dewaresi terkejut bukan main. Gntuk menangkisnya dengan pedang tipisnya, tiada
sempat lagi. Jarak antara dia dan Titisari terlalu dekat, karena mereka berdua
berada di dalam satu lingkaran. Satu-satunya daya untuk menangkis senjata bidik
itu hanyalah lengan bajunya. Tetapi lengan bajunya sudah terlanjur disobeknya
tadi, tatkala hendak dipergunakan membebat kedua tangannya untukmelawan baju
mustika Titisari. Hendak melon-cat mundur, berarti kalah. Sebaliknya membiarkan
tubuhnya ditembus senjata bidik lawan, berarti akan mati terjengkang dalam
lingkaran dengan hati penasaran. Dalam keadaan terjepit ia menjejak tanah dan
tubuhnya terus terloncat ke udara dan mengapung tinggi. Dengan demikian, semua
senjata bidik Titisari lewat berdesingan di bawah tapak kakinya. Tetapi celaka.
Belum lagi dia turun ke tanah, Titisari sudah menghujani serangan bidikan untuk
kedua kalinya.
"Lihat
serangan kedua!" seru gadis itu.
Serangan
kali ini, benar-benar tak dapat dihindarkan lagi. Maklumlah, tubuhnya masih
berada di udara. Lagi pula serangan itu meliputi semua bidang gerak.
Atas—bawah— samping-menyamping dan bertebaran begitu padat. Itulah hasil ajaran
Gagak Seta untuk melawan tabuan kelingking binatang piaraan Kebo Bangah.
"Tamatlah
riwayatku," sang Dewaresi mengeluh dengan putus asa. "Tak kuduga,
gadis ini begitu kejam!"
Pada
saat itu, tiba-tiba leher bajunya terasa tercekam oleh suatu tangan kuat.
Tubuhnya terangkat lebih tinggi lagi sampai hampir mengenai atap. Kemudian
terdengarlah suara senjata Titisari berdesingan lewat di sampingnya. Tahulah
dia, bahwa ada seseorang yang menyelamatkan jiwanya. Belum lagi dia sempat
mengetahui siapakah yang menjadi malaikat penolongnya, tubuhnya telah terlempar
jatuh ke tanah. Sebenarnya lemparan itu tiada keras. Tapi aneh. la seperti tak
dapat bergerak, sehingga ia jatuh dengan menyangga lengan.
Mau
tak mau, ia terpaksa jatuh tersungkur mencium tanah. Seketika itu juga sadarlah
dia, bahwa yang menolong dirinya adalah Gagak Seta. Sebab di antara mereka
tidak ada orang yang melebihi kepandaiannya selain Gagak Seta. Itulah sebabnya,
begitu ia berhasil merayap bangun, terus saja ngeloyor keluar rumah dengan diikuti
seluruh anak buahnya.
"Paman!
Mengapa Paman menolong ular bandot itu?" Titisari menyesali.
Gagak
Seta tertawa. Menjawab, "Dengan pamannya, aku bersahabat baik meskipun
jahatnya bukan kepalang. Kalau kemenakannya sampai mati oleh tangan muridku, kesannya
kurang baik." Setelah berkata demikian, ia menepuk-nepuk pundak Titisari
sambil berkata penuh bangga. "Anak manis! Karena kecerdikanmu, kamu telah
mengangkat nama perguruanmu. Gntuk jasamu, apakah yang harus kulakukan
terhadapmu?"
Titisari
bergembira mendapat pujian gurunya. Dengan menggigit bibir dia menyahut,
"Paman! Tongkat paman yang buruk itu, begitu menakutkan hatiku sampai Yuyu
Rumpung tak berani berkutik."
"Eh,
anak cerdik? Tapi meskipun aku sudi mempertimbangkan ujarmu itu, tak dapat aku
mengajarimu. Aku hanya akan mewariskan satu-dua tipu silat kepadamu dalam
beberapa hari ini. Sayang, hari ini aku begitu malas."
"Aku
akan menyediakan beberapa masakan kegemaran Paman."
"Hari
ini, tiada sempat untuk menikmati masakanmu. Lain kali apakah buruknya?"
Dalam
pada itu Sondong Majeruk dan kawan-kawannya menghampiri Sangaji dan Titisari
untuk menyatakan terima-kasih. Gusti Ratnaningsih pun telah berhasil
membebaskan diri dan segera menarik tangan Titisari. Seperti terhadap saudara
sekandungnya, puteri itu terus mengutarakan rasa hatinya, la amat terharu
memperoleh pertolongannya.
"Paman
Suryaningrat yang menjadi guru Tuan Puteri adalah adik-guru Sangaji. Nah,
dengan demikian, kita semua sebenarnya adalah satu keluarga perguruan,"
ujar Titisari seraya memperkenalkan Sangaji.
Gusti
Ratnaningsih sejenak terhenyak. Kemudian dengan suatu luapan kegirangan yang
tak tertahankan, menarik pergelangan tangan Sangaji dan diajaknya berbicara.
Sondong
Majeruk kemudian membungkuk hormat kepada Gagak Seta dan ikut menyatakan
gembira bahwa orang tua itu kini sudah mempunyai dua orang murid. Dia tahu,
bahwa Gagak Seta benar-benar melanggar pantangannya sendiri dengan mengambil
murid. Dia yang hanya memperoleh warisan satu jurus belaka, menaruhkan harapan
besar kepada Sangaji. Segera dia menoleh kepada Sangaji sambil berkata takzim.
"Meskipun
berusia jauh lebih muda dariku, aku akan memanggilmu kakak, karena kakak adalah
murid panembahan Gagak Seta. Nah, terima hormatku. Apabila senggang, sudilah
kiranya singgah di rumahku di Desa Nglaran."
Dengan
tersipu-sipu, Sangaji membalas hormat Sondong Majeruk. Wajahnya bersemu merah,
karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Gcapan Sondong
Majeruk patut kaudengarkan,"
kata Gagak Seta kepada Sangaji.
"Sudah
sewajarnya,
kamu dipanggilnya kakak. Karena dalam suatu perguruan, tingkatan ilmu merupakan
tataran kehormatan dan bukan usia jasmani."
Mendengar
ujar Gagak Seta, maka Sangaji terpaksa juga menerima panggilan itu, meskipun
hatinya masih merasa canggung.
'Tahukah
kamu hai anakku, bahwasanya adikmu Sondong Majeruk itu sebenarnya adalah
seorang kepala polisi dusun. Dialah Kepala Kampung Dusun Nglaran. Nah, kalian
sekarang sudah menjadi sahabat. Hatiku bersyukur bukan kepalang. Sekarang
muridku yang kecil kuperintahkan mengantarkan Gusti Retnoningsih pulang ke
Pesanggrahan. Aku sendiri mempunyai urusan penting yang belum selesai
kukerjakan."
Sampai
di sini, mereka berpisah. Gagak Seta pergi ke jurusan timur. Sondong Majeruk
dan kawan-kawannya mengarah ke utara. Sedangkan Titisari mengantarkan Gusti
Retnoningsih pulang ke Pesanggrahan. Sangaji ikut pula mengawal, karena
mengkhawatirkan mereka akan bertemu dengan sang Dewaresi di tengah jalan.
Ternyata
Gusti Retnoningsih seorang puteri bangsawan yang ramah. Di sepanjang jalan, ia
terus berbicara dengan Sangaji dan Titisari. Terhadap Sangaji ia mengabarkan,
bahwa sebenarnya dia belum berhak di sebut murid Suryaningrat. Karena ilmu yang
diwarisi belum sampai seperempat bagian. Dan terhadap Titisari ia menerangkan,
kalau murid-murid Gagak Seta tersebar luas di persada wilayah Jawa Tengah.
Kebanyakan mereka menjabat pangkat kepala kampung atau polisi pangreh-praja.
Mereka dahulu adalah bekas pengikut Gagak Seta tatkala Perang Giyanti sedang
berkecamuk hebat.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 17 GUSTI AYU RETNONINGSIH di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.

0 Response to "BENDE MATARAM JILID 17 GUSTI AYU RETNONINGSIH"
Post a Comment