BENDE MATARAM JILID 8 SONNY SI GADIS INDO
DENGAN
berdiam diri pula Jaga Saradenta membimbing tangan Sangaji di samping Wirapati.
Kesan pertempuran tadi masih saja meriuh dalam otaknya. Hatinya bisa menduga
apa yang bakal dilakukan Pringgasakti ketika melihat adiknya mampus begitu
terhina di tengah lapangan.
“Iblis
itu benar-benar kebal dari semua senjata tajam. Tapi kekebalannya tak kuasa
mempertahankan diri dari letupan pistol. Jika begitu, boleh juga kita belajar
menembak,” katanya perlahan.
Wirapati
adalah murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang diajar membenci senjata bidikan.
Begitu mendengar ujar Jaga Saradenta lantas saja menyahut. “Bukan karena mesiu
pistol dia mampus, tetapi karena kebetulan tepat mengenai lubang kelemahannya.”
“Bagaimana
kautahu?”
“Pertama-tama
kulihat dia selalu melindungi kepalanya rapat-rapat dari gempuran cempulingmu.
Seandainya dia benar-benar kebal, apa perlu berlaku begitu? Kedua, tembakan
pistol Sangaji tepat mengenai pusatnya. Memang se-mendjak kau memasuki
gelanggang sudah terpikir olehku tentang tempat-tempat kelemahannya. Cuma saja
aku belum berhasil menemukan.”
Jaga
Saradenta tercengang.
“Eh,
Wirapati! Dalam soal kecerdasan otakmu jauh lebih encer daripadaku. Coba
terangkan kenapa kamu mendapat kesan begitu.” Katanya dengan suara meninggi.
“Karena
aku tak percaya manusia bisa sekebal itu. Dalam cerita-cerita kuno tak pernah
dikisahkan tentang riwayat kekebalan seseorang yang bebas dari semua senjata.
Dia mempunyai keistimewaan hebat. Menghisap darah untuk meyakinkan ilmunya.
Justru cerita itu mendadak saja berkelebatlah suatu bayangan di dalam benakku.”
“Apa
itu?” Jaga Saradenta tertarik. “Apa kau dapat ilham dari pekerti gurumu ketika
tiba-tiba mendatangkan gadis-gadis untuk mengacaukan perhatian si iblis?”
“Itupun
termasuk bahan keyakinanku,” jawab Wirapati. “Tetapi aku teringat pada kisah
Guntur Wiyono.”
“Apa
itu Guntur Wiyono?”
“Bagian
kisah dari Arjuna-Wiwaha. Guntur Wiyono dimaksudkan adu kesaktian5). Yakni
perang tanding antara Arjuna dengan raja raksasa Niwatakawaca. Seperti kau
ketahui Niwatakawa-ca adalah raja raksasa yang mendapatkan kesaktian dari Hyang
Rudra. Meskipun demikian ada kelemahannya. Tempat kelemahannya ada pada ujung
lidahnya. Kelemahan ini tak dapat diketahui para dewa. Bahkan Hyang Manikmaya
sendiripun tak kuasa menandingi. Hanya Arjuna bernasib baik. Dengan pertolongan
bidadari Su-praba diketahuilah tentang kelemahannya. Maka dalam pertempuran itu
sengaja ia menjatuhkan diri berpura-pura gugur. Raksasa Niwatakawaca tertawa
terbahak-bahak karena merasa menang perang. Justru karena kelalaian yang
sedikit itu terbidiklah panah Arjuna tepat mengenai ujung lidahnya.”
Mendengar
keterangan Wirapati yang menarik hati itu Jaga Saradenta kegirangan sampai
ber-jingkrak. Hatinya bangga mempunyai seorang kawan yang begitu mengenal
sastra. Tak terasa ia berkata, “Bagus! Bagus! Jadi karena kisah kuno itu kamu
mendapat ilham? Ah! Kecerdasanmu tak berada di bawah gurumu! Pantas kamu tadi
terjungkal kena serangan Pringga Aguna. Kamu pura-pura mampus ya seperti
Arjuna?” “Ih!” Wirapati tertawa geli. “Aku bukan Arjuna.” “Lantas?”
“Aku
benar-benar terjungkal karena perhatianku terpusat pada Sangaji.”
Jaga
Saradenta diam menebak-nebak. Berkata pelahan, “Bagaimanapun juga, kamu hebat!
Seandainya aku mempunyai pikiran demikian pastilah aku bisa berkelahi lebih
mantap. Dasar otakku tumpul!”
Wirapati
tertawa nyaring.
“Kau
jangan terburu-buru memujiku! Selama pertempuran tadi belum kutemukan tempat
ke-lemahannya. Barangkali kalau Sangaji tidak kebetulan menembak tempat
kelemahannya, belum tentu dalam sepuluh hari aku berhasil mengetahuinya.”
Selama
mereka berbicara, Sangaji tetap membisu. Hatinya sedang menduga-duga tentang
peristiwa perkelahian tadi. Ia mendapat kesan tentang hebatnya pertempuran,
tetapi latar belakang terjadinya pertempuran masih samar-samar baginya. Untuk
minta penjelasan, rasanya kurang sopan.
“Sangaji!”
kata Jaga Saradenta tiba-tiba. “Berbahagialah kamu, karena mendapat guru
sepandai Wirapati. Aku sudah begini tua. Tetapi dengan kejadian tadi, aku yakin
kamu seorang anak yang mempunyai rejeki besar. Kautahu, musuh gurumu sudah
malang-melintang selama 50 tahun lebih tanpa lawan. Akhirnya dengan tak
sengaja, kamu berhasil menumbangkannya. Cuma saja aku berpesan kepadamu,
janganlah kejadian malam ini kauceritakan kepada siapa pun juga. Kamu mau
berjanji?” Sangaji mengangguk.
Jaga
Saradenta kemudian menerangkan tentang terjadinya pertempuran dan mengapa dia
dilarang bercerita kepada siapa pun juga. Sebab Pringga Aguna masih mempunyai
seorang kakak bernama Pringgasakti yang lebih berbahaya. Setelah itu ia
mengalihkan pembicaraan tentang terjadinya pertemuan antara Sangaji dan
Wirapati.
“Munculnya
si iblis sampai merenggutkan kewajibanku yang pertama,” katanya menyesali diri
sendiri. “Seumpama aku tadi mampus dalam tangan iblis sia-sialah perjalananmu
ke daerah Barat.”
Wirapati
segera menceritakan tentang pertemuannya dengan Sangaji. Setelah itu ia
berkata, “Besok, keempat musuhmu yang memukulmu datang ke lapangan. Kamu akan
dihajarnya kembali. Melawan mereka bukan pekerjaan berat. Malam ini kuajarkan
kau tiga jurus. Tetapi kamu kularang mendekati lapangan selama setengah bulan,
sampai peristiwa pembunuhan Pringga Aguna mereda.”
Sangaji
mengerti maksud gurunya. Ia mengangguk kembali dan berjanji akan taat pada
pesan itu. Kemudian ia dibawa ke pantai untuk menerima tiga jurus ilmu
berkelahi.
“Sekarang,
ayo berlatih!” perintah Wirapati.
Tiba-tiba
saja ia mengkait kaki Sangaji dan ditarik cepat. Tak ampun lagi, Sangaji jatuh
tengkurap.
“Ah!”
bentak Jaga Saradenta. “Bakatmu terlalu miskin!”
Nada
suara Jaga Saradenta terdengar sangat kecewa. Ia memang berwatak terburu nafsu
dan mudah dikecewakan oleh suatu kenyataan yang tak cocok dengan otaknya.
“Delapan
tahun kami mencarimu. Masa kami kausuguhi suatu permainan lemah macam
pe-rempuan? Berdiri dan berlatihlah sungguh-sungguh!”
Sangaji
sebaliknya seorang anak yang mudah tersinggung. Dulu dia pernah membandel
terhadap hajaran Mayor de Groote semata-mata karena harga dirinya tersinggung.
Sekarang ia didamprat demikian rupa. Karuan saja bangkitlah rasa harga dirinya.
Dengan pandang murka ia berkata nyaring kepada Wirapati. “Mengapa sebelum aku
siaga Guru mengkait kakiku?”
“Ini
namanya adu kecekatan dan kepandaian,” sahut Wirapati. “Hati dan otakmu harus
bersatu sehingga dapat kauajak menduga-duga sebelum musuh bergerak.”
Sangaji
diam berpikir. Ternyata otaknya cerdas juga. Segera ia sadar dan mengerti.
“Baik—sekarang Guru boleh mencoba mengkait lagi.”
Tetapi
Wirapati tidak mengkait kaki. Sebaliknya ia menyerang dengan tinju kanan.
Sangaji mengelak ke kiri, tetapi tangan kiri Wirapati justru memapaki dan
menempel tepat di hidungnya. Dan sebelum sadar apa yang harus dilakukan, tinju
kiri Wirapati telah ditarik kembali.
Sangaji
tercengang-cengang, tetapi hatinya mendadak jadi girang. Tadi sore dia hanya
menjadi penonton belaka. Kini menjadi muridnya. Kalau pukulan-pukulan itu
diajarkan kepadanya bukankah dia akan menjadi pandai? Kemudian ia berseru,
“Guru! Mengerti aku sekarang. Ternyata pukulan-pukulan tinju dan
serangan-serangan kaki tak serupa dan dapat diatur bagus.”
Tanpa
meladeni seman muridnya Wirapati berjongkok. Tiba-tiba melompat menumbukkan
kepala ke pinggang Sangaji. Karena tumbukan itu Sangaji jatuh terguling ke
tanah. Tapi sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah, tangan Jaga Saradenta
telah menyambarnya dan diberdirikan.
“Nah
pelajari dulu tiga jurus itu,” kata Wirapati. “Kalau kau sungguh-sungguh
berlatih, orang dewasapun tak gampang mengalahkanmu.”
Sangaji
girang bukan main. Segera ia sibuk dengan latihan-latihan. Jaga Saradenta
membawa Wirapati agak menjauhi.
“Anak
ini miskin bakatnya. Celaka, waktu kita tinggal sedikit.” Katanya agak
berbisik.
“Bukan
miskin bakatnya, tetapi karena sama sekali belum mengenal ilmu berkelahi,”
Wirapati mempertahankan. “Aku menaruh harapan padanya, selama kita bersabar
memberi pengertian lebih dahulu.”
“Memberi
pengertian?”
“Kita
pompakan semangat pembalasan dendam. Kedua, kita beri dongeng-dongeng
orang-orang gagah dan contoh-contoh. Ketiga, kita tilik terus-menerus dan kita
ajak berlatih sungguh-sungguh. Kukira dalam tiga empat tahun bisa kita lihat
hasilnya.”
“Menurutmu,
pembunuh ayahnya sekarang ada di Jakarta. Mengapa tak kauperlihatkan sekalian?”
Wirapati
tertawa perlahan. “Mestinya begitu. Tapi kamu bikin gara-gara.” “Kok aku?”
“Coba,
kalau tidak ada urusan iblis Pringga Aguna, kita bisa leluasa bergerak.
Sekarang, mana berani kita mendekati gedung negara. Salah-salah bisa tercium
penciuman Pringgasakti yang hebat. Bukankah kita tadi saling berbentur dan
bersintuh? Menilik ceritamu, pasti ilmu penciuman Pringgasakti dapat mencium
keringat adiknya.”
Jaga
Saradenta tergugu. Kata-kata Wirapati benar. Sadarlah dia, mulai saat itu ia
berada dalam pengawasan lawan. Maka sebelum tengah malam ia mengajak
meninggalkan pantai. Malam itu juga ia ingin menyelidiki perkembangan peristiwa
pembunuhan Pringga Aguna.
Sangaji
diantarkan pulang. Sekali lagi ia berpesan agar jangan menceritakan kejadian
yang dilihatnya tadi kepada siapa pun juga. Kemudian ditekankan pula agar pada
setiap malam datang berlatih di tepi pantai.
“Sangaji!”
katanya lagi. “Aku bersikap keras terhadapmu. Memang adatku keras. Kalau kau
tidak sungguh-sungguh mau aku menggampar kepalamu. Tahu?”
Sangaji
memanggut.
“Malam ini
biarlah kita berpisah
di sini. Kalau
semuanya sudah beres,
kami berdua akan menjumpai ibumu.”
Sehabis
berkata demikian Jaga Saradenta menarik lengan Wirapati meninggalkan tangsi.
Diapun sebenarnya agak segan mengampiri tangsi. Tetapi Sangaji jadi tercengang.
Kesannya kurang menyenangkan terhadap gurunya yang satu itu. Pikirnya, belum
lagi dia mengajarku, galaknya seperti geledek. Hiiii...?
Sangaji
mengawasi kepergiannya si guru galak sampai tubuhnya lenyap ditelan tirai
malam.
Kemudian
dengan kepala menunduk memasuki tangsi.
Waktu itu sudah tengah malam. Penjaga di gardu menegor, “Begini malam baru
datang. Dari mana?”
“Menengok
Ibu sakit,” jawabnya cepat.
Tiap
penghuni tangsi mengetahui, kalau ibu Sangaji hidup di luar tangsi. Maka karena
jawaban itu si serdadu tidak bertanya lagi.
***
JAGA
SARADENTA membawa Wirapati kembali menjenguk lapangan. Sepanjang jalan Wirapati
mempersoalkan keadaan muridnya. Ia nampak girang dan sayang benar padanya.
Selalu dia memuji, “Otaknya cerdas dan agak licin. Coba ingat, saat dia sedang
berlatih. Selain berkemauan keras, otaknya juga cerdas.”
Tapi
Jaga Saradenta malas meladeni. Pikirannya lagi terpusat pada mayat Pringga
Aguna. Ia seperti mendapat firasat buruk. Dan benar juga.
Belum
lagi ia sampai di pinggir lapangan, terdengarlah derap kuda di kejauhan.
Cepat
ia meloncat ke pinggir jalan dan mendekam di balik pepohonan. Ia melihat
sepasukan serdadu berkuda dengan membawa obor. Tak lama kemudian lapat-lapat
terdengar bunyi kentung ritir5).Tanda rajapati7).
Sebentar
saja pasukan berkuda itu lewat cepat dan memasuki lapangan. Suara aba-aba mulai
terdengar. Lalu berpencaran dan berputaran.
“Hooo!”
terdengar seru kepala pasukan.
Orang
itu lantas melompat turun. Serdadu-serdadu yang lain berlompatan turun pula.
Mereka mengerumuni sebidang tanah dengan meninggikan nyala obor. Tahulah Jaga
Saradenta, mereka menemukan mayat Pringga Aguna dan Hasan.
Tetapi
akhirnya Jaga Saradenta jadi keheran-heranan. Ternyata mereka hanya sibuk
menggotong mayat Hasan. Setelah itu mereka pergi berderapan meninggalkan
lapangan.
“Wirapati!
Yuk, kita periksa!” bisik Jaga Saradenta. Tanpa menunggu jawaban kawannya,
lantas saja ia melesat memasuki lapangan. Benar-benar dia heran. Ternyata mayat
iblis Pringga Aguna tidak ada bekasnya lagi.
“Wirapati,
apa pendapatmu? Jelas-jelas dia sudah mampus dan mayatnya menggeletak di sini.
Kenapa sekarang hilang lenyap seperti ditelan bumi?”
“Apa
kamu pernah mendengar kabar, kalau dia bisa hidup kembali sesudah
terang-terangan mampus?” sahut Wirapati dingin.
'Tidak!
Mustahil dia bisa hidup kembali. Dulu dia pernah dilukai gurumu. Menurut ukuran
manusia dia bisa rontok tulang rusuknya. Ternyata dia hidup segar kembali,
tetapi karena pertolongan guruku. Lagipula, waktu itu aku melihat dia bisa lari
cepat. Lain halnya dengan malam ini. Napasnya sudah habis ludes. Masa dia bisa
menyembunyikan napas?”
“Jika
begitu mungkin dia tadi belum mampus. Mungkin pula kakaknya telah datang
menyingkirkan mayatnya.”
“Kenapa
kamu bisa berpikir begitu?”
“Iblis
itu pasti mempunyai harga diri terlalu tinggi. Kalau orang sampai mendengar di
antara mereka berdua ada yang mampus karena pertarungan, di manakah yang lain bias
menyembunyikan namanya? Pringgasakti pasti berusaha menyembunyikan mayat
Pringga Aguna agar tak ketahuan orang. Setelah itu dia bersiap-siap menuntut
dendam. Kebetulan sekali ia melihat mayat Hasan. Ia lapor kepada kompeni agar
mereka datang menyelidiki. Dengan begitu ia bisa menggunakan tenaga kompeni
dalam menyelidiki dan mencari jejak si pembunuh mayat si Hasan. la tinggal
membuntuti dari belakang. Tahu-tahu menerkam kita.”
Ih!
Sungguh bahaya, hati Jaga Saradenta menjadi ciut. Sebaliknya Wirapati malahan
tertawa geli menyaksikan perangainya.
“Mengapa
tertawa?” Jaga Saradenta bersakit hati.
“Menurut
katamu selama empat puluh tahun kau sibuk mencari si iblis. Sekarang dia bahkan
akan mencarimu, mengapa mendadak jadi berubah sikap?”
“Bukan
aku takut pada si iblis. Tapi dia bersembunyi di belakang kekuatan kompeni. Aku
mau mati bertarung melawan dia. Sebaliknya tak rela aku mati di tiang gantungan
kompeni. Di alam baka sukmaku akan berkeliaran penasaran.”
“Janganlah
berkecil hati. Aku akan menemanimu jadi setan liar.” Wirapati tetap menggoda.
“Paling penting, sekarang kita mencari keyakinan dulu, apakah si iblis Pringga
Aguna benar-benar sudah mampus. Sekiranya dia hidup kembali, kesulitan kita
berlipat. Kita berdua tidak ada harapan lagi buat hidup aman merdeka di kota
Jakarta ini.”
Satu
malam suntuk mereka berdua berusaha mencari mayat Pringga Aguna. Tetapi
usahanya sia-sia belaka. Makiumlah, selain malam hari mereka pun tidak punya
pegangan. Meskipun demikian sampai pagi hari mereka terus berputar-putar
mengelilingi lapangan
Akhirnya,
mereka duduk beristirahat di tepi pantai menghirup angin laut. Mereka diam.
Masing-masing tenggelam dalam benaknya sendiri. Tak lama kemudian matahari
benar- benar telah tersembul di langit. Seperti telah berjanji, mereka saling
memandang lalu saling memberi isyarat untuk meneruskan penyelidikannya. Mereka
bangkit berdiri dengan berjalan berendeng. Kembali mereka mengarah ke lapangan,
mendadak Wirapati melihat percikan darah. Tak jauh dari tempat itu dilihatnya
sepotong lengan menggele-tak di dekat seonggok pasir. Cepat ia memberi isyarat
dan dengan hati- hati menyapukan pandangannya.
“Kita
jauhi tempat ini. Siapa tahu, ini hanyalah umpan!” bisik Wirapati agak gugup.
Mereka
lalu meninggalkan tempat itu dengan jalan memutar. Di dekat sebatang pohon
dikete-mukan pula sepotong kaki utuh dengan pipa celana. Jelas—itulah potongan
celana Pringga Aguna. Meskipun demikian mereka masih ragu juga. Mereka berjalan
lagi. Kini membelok ke kiri mengarah petak-petak hutan. Di dekat gerumbulan
mereka menemukan sepotong lambung. Sekarang mereka yakin benar, kalau semua
yang ditemukan adalah potongan-potongan tubuh Pringga Aguna.
Wirapati
segera menarik lengan Jaga Saradenta untuk meninggalkan tempat itu secepat
mungkin. Mereka tak berani menggunakan ilmu berlari cepat, agar tidak menarik
perhatian seseorang.
“Nah,
apa pendapatmu?” Jaga Saradenta minta pertimbangan. “Siapa yang memotong mayat
Pringga Aguna? Binatang buas atau teman-teman dari Jawa Barat tadi?”
“Keduanya
pasti tidak,” jawab Wirapati cepat. “Apa perbuatan kakaknya?” “Siapa lagi?”
“Mengapa
berbuat begitu?”
“Untuk
menghilangkan jejak sambil menjebak si pembunuh adiknya.” “Apa menurut
pendapatmu kita tadi sudah masuk perangkap?”-
“Kita
lihat nanti.” Jaga Saradenta menyelidiki kesan muka Wirapati. Sepertinya
Wirapati berbicara sungguh-sungguh. Karena kesan itu ia mulai berpikir keras.
Seandainya kita telah diketahui, mengapa tak langsung menghadang? Wirapati
mencoba menyangkal.
“Gntuk
membalaskan dendam adiknya, bukan pekerjaan sulit baginya. Kukira dia masih
menunggu bukti-bukti yang lebih yakin lagi. Jika tidak begitu, dia akan tetap
berada di sekitar kita dan berusaha membunuh kita perlahan-lahan. Atau dia akan
membuat jebakan-jebakan baru, sehingga kita nanti mati sendiri karena
ketakutan. Inilah cara mampus menanggung sengsara.”
Jaga
Saradenta mendongkol berbareng geli mendengar ujar Wirapati. Tetapi tak berani
menyangkal pendapat Wirapati. Diam-diam dia berpikir, iblis itu memang
mempunyai cara dan akal sendiri untuk balas dendam. Baiklah mulai sekarang aku
bersikap waspada dan hati-hati.
“Wirapati,”
katanya, “sebenarnya kita harus gembira dan bersyukur pada Tuhan, karena
akhirnya usaha kita mencari si bocah tidak sia-sia. Tetapi mendadak persoalan
baru itu muncul tanpa kukehendaki sendiri. Apa kamu menyesali aku?”
“Musuhmu
adalah musuhku,” sahut Wirapati membesarkan hatinya. “Perkara si bocah jatuh
nomor dua. Seandainya nasib kita buruk, biarlah kita berdua mati di rantau. Tapi
Tuhan menjadi saksi, kalau kita berdua telah menemukan si bocah. Marilah kita
berlomba menjejali si bocah dengan ajaran-ajaran yang berdaya guna. Seandainya
kita mati di tengah jalan, setidak-tidaknya si bocah pernah menjadi murid kita
berdua.”
“Wirapati!
Tak kukira kamu berhati jantan se-' perti gurumu. Aku si orang tua takkan
pernah menyesali lagi hidup di kolong langit ini,” ujar Jaga Saradenta terharu.
***
Semenjak
itu WIRAPATI dan JAGA SARADENTA tekun mewariskan ilmu-ilmunya kepada Sangaji.
Tempat berlatihnya di tepi pantai atau di tengah hutan yang sunyi dari manusia.
Mereka berusaha menjauhi lapangan tempat berlatih menembak para serdadu. Dengan
demikian, tanpa disengaja Sangaji menghindari ancaman kaki-tangan Mayor de
Groote yang berjanji mau menghajarnya sampai cacat.
Tetapi
pada suatu hari Willem Erbefeld pulang ke rumah. Segera ia mendesak agar
Sangaji berlatih memahirkan menembak pistol. Dia merencanakan mau menurunkan
ilmunya menembak mahir dengan senapan.
Terpaksalah
Sangaji minta izin kedua gurunya untuk membagi waktu. Pada pagi hari dia
bersekolah berbahasa Belanda. Sore hari berlatih menembak dengan pistol. Dan
pada malam hari menghadang kedua gurunya di tepi pantai atau tempat-tempat
pertemuan yang telah ditentukan.
Rukmini
telah mengetahui tentang adanya Wirapati dan Jaga Saradenta. Pernah dia
bertemu, berbicara dan berunding. Untuk mata-pen-caharian hidup, Rukmini
sanggup memikulnya dengan berjualan. Jaga Saradenta masih mempunyai sisa bekal
hidup. Meskipun tidak berjumlah banyak, cukuplah buat modal pengukir waktu.
Syahdan,—pada
suatu sore tatkala Sangaji sedang sibuk berlatih menembak pistol, datanglah
seorang gadis tanggung. Dialah si Sonny, gadis Indo yang pernah dikenal
Wirapati sewaktu rombongan utusan dari Yogyakarta datang ke Jakarta.
“Hai!”
tegurnya. “Sejak kapan kau berlatih menembak?” Sangaji tak berprasangka buruk
padanya. Memang pada saat tertentu banyak kanak-kanak tanggung datang menonton
dan mengagumi. Hanya saja ia heran mendapat kesan pandangan si gadis.
Sonny
ternyata seorang gadis tanggung yang sedang mekar. Gerak-geriknya setengah
kekanak-kanakan, setengah pula menggairahkan, la lincah dan berhati polos
seperti adat seorang keturunan orang barat. Belum lagi Sangaji menjawab
tegurnya, ia lantas menghampiri.
“Ini
pistolmu?” tanyanya lagi. Sangaji menggelengkan kepala. “Kau mencuri?”
“Mencuri?”
Sangaji merasa tersinggung. “Ini pistol kakakku.” “Siapa?” “Willem Erbefeld.”
“Cis!
Keluarga pemberontak bukan?”
Merah
padam Sangaji mendengar cela si gadis. Segera ia mau membentak, tetapi
dilihatnya si gadis tetap berwajah dingin.
“Keluarga
pemberontak tak boleh menyimpan pistol,” katanya lagi.
Habis
kesabarannya Sangaji yang mudah tersinggung. Lantas saja mendamprat. “Kau siapa
sih, berani ngomong seenaknya?”
“Memangnya
siapa aku?” sahut Sonny cepat.
Muka
Sangaji merah padam. Mendadak dilihatnya empat orang pemuda tanggung berdiri
tak jauh daripadanya. Keempat pemuda tanggung itu bertolak pinggang dan melihat
tajam padanya. Siapa lagi kalau bukannya Jan de Groote, Karel Speelman, Tako
Weidema dan Pieter De Jong. Sudah hampir dua bulan lama-nya mereka berempat
mencari-cari kesempatan mau menghadiahkan bogem mentah padanya. Tapi Sangaji
tak pernah muncul di tengah lapangan. Pada suatu hari mereka mendapat kabar
dari Mayor De Groote kalau Sangaji mulai berlatih menembak pistol lagi semenjak
Kapten Willem Erbefeld pulang dari dinas luar daerah. Mereka lantas mencari
dalih pertengkaran. Sore itu mereka mengirimkan si Sonny agar datang
menggodanya. Begitu melihat muka Sangaji merah padam, lantas saja mereka
berempat menghampiri. Jan De Groote kemudian mendamprat. “Anjing Jawa, kau
berani kurang ajar pada seorang noniek?”
“Emangnya
kau anggap apa noniek ini?” sambung Karel Speelman.
“Rupanya
dia habis bertengkar sama seorang gadis. Anjing Jawa hanya berani berlawanan
dengan seorang gadis. Cuh!” sambung Tako Weide-ma.
“Babi
ini, perlu kita hajar!” bentak Pieter De Jong.
Sangaji
meskipun berotak cerdas tak pandai berbicara tajam. Dihujani dampratan begitu
rupa, mukanya merah padam. Seluruh tubuhnya bergemetaran karena menahan marah.
Lagipula hatinya masih dendam pada mereka.
Sekarang
ia berprasangka jelek pada si Sonny. Kedengkiannya lantas saja meluap.
Didoronglah si Sonny ke pinggir sambil membentak, “Kau ular hijau, enyahlah!”
Sonny
jadi terkejut. Memang ia tahu, dirinya dikirim ke lapangan untuk membangkitkan
amarah Sangaji. Tetapi tak pernah dia menyangka akan diperlakukan demikian.
Dasar dia masih kanak-kanak. Lantas saja dia menggerutu emoh dipersalahkan.
Mendamprat.
“Kenapa
kau mendorongku? Apa aku memukulmu?”
Sangaji
tergugu. Diam-diam ia merasa bersalah karena terburu nafsu. Ia mau minta maaf,
mendadak keempat pemuda tanggung itu bersama-sama maju menyerang.
Sangaji
sekarang, bukan lagi Sangaji dua bulan yang lalu. Ia bersikap tenang, tajam dan
tahu menjaga diri. Keruan saja keempat pemuda Belanda itu menumbuk batu. Begitu
mereka maju dengan cepat Sangaji menggunakan jurus ajaran Wirapati. Ia
mengelak, sambil kakinya mengkait. Tinjunya dilontarkan mengarah dada. Kemudian
membalik menyiku sambil mengirimkan tendangan berantai ajaran Jaga Sa-radenta.
Seketika itu juga, keempat pemuda Belanda jatuh terjengkang dan saling
bertubrukan.
Sangaji
sendiri kurang latihan. Meskipun bisa menjatuhkan lawan, ia masih belum dapat
mem-pertahankan dorongan tenaga lawan, la berkisar dari tempatnya dan jatuh
terguling. Tetapi ia dapat berdiri tegak dengan gesit.
Jan
De Groote heran bukan main. Sama sekali tak diduganya kalau serangan mereka
berempat bisa korat-karit.
“Hai
anjing jawa! Kau bisa berkelahi sekarang?”
“Aku
bernama Sangaji. Bukan anjing Jawa atau anjing Belanda,” sahut Sangaji
gemetaran.
“Aku
senang memanggilmu anjing Jawa,” damprat Jan De Groote. Matanya mengerling
kepada si Sonny hendak mencari pujian. Memang ia menaruh hati pada si gadis
cilik. Sonny sengaja disuruh melihat perkelahian itu. Dia yakin bakal menang.
Bukankah akan naik harga dirinya di mata si gadis?
Karel
Speelman dan Pieter De Jong berwatak brangasan. Tanpa berbicara lagi mereka
berdua lantas menyerang. Sangaji menggunakan ilmu ajaran Saradenta yang
berpokok kepada kedahsyatan dan keuletan tenaga. Serangan Karel Speelman dan
Pieter De Jong ia sambut keras lawan keras. Kesudahannya hebat, la tergetar
mundur tiga langkah. Tetapi Karel Speelman dan Pieter De Jong jatuh terpental
dan terguling ke tanah. Menyaksikan itu, Jan De Groote bertambah heran. Diam-diam
ia menduga-duga, hai anak ini dari mana mendapat tenaga dahsyat. Biar
kucobanya.
Ia
kemudian melompat maju dan menyambar rahang Sangaji. Dengan mudah Sangaji
mengelak. Tetapi mendadak saja Tako Weidema merangsak dari kiri. Terpaksa dia
mundur. Segera juga ia ingat ajaran Wirapati; 'dalam suatu pertempuran jangan
biarkan dirimu dipengaruhi gerakan-gerakan musuh. Sebaliknya kamu harus
mempengaruhi dan kemudian perlahan-lahan kau menguasai'.
Teringat
akan ajaran Wirapati, ia cepat-cepat merubah cara berkelahi. Tadi dia
membiarkan dirinya diserang lawan dan dia hanya menangkis belaka. Sekarang
baiklah aku menyerang! pikirnya.
la
lantas mengendapkan kepala seperti hendak menyerahkan gundulnya untuk dihantam.
Mendadak kedua tinjunya dilontarkan cepat ke pinggang lawan sambil menyerbu
masuk. Jan De Groote kaget. Buru-buru ia mengelak, sedang Tako Weidema
cepat-cepat menangkis. Tetapi justru karena berubahnya tata berkelahi ini,
mereka jadi keripuan.
Sangaji
lantas saja dapat mempraktekkan ajaran-ajaran ilmu Wirapati dan Jaga Saradenta
dengan berbareng. Dengan gesit dan penuh tenaga ia menyerang. Sebentar dia
menghampiri Karel Speelman, mendadak pula menyambar Tako Weidema. Sebentar pula
menghantam Jan De Groote dan tiba-tiba memukul Piter De Jong.
Keruan
saja mereka terkejut dan cara bertempurnya jadi kacau.
Di
tepi lapangan kini banyak orang-orang yang datang melihat. Mereka bersikap diam. Penduduk kota
sudah barang tentu
memihak kepada Sangaji
karena rasa kebangsaannya. Tetapi serdadu-serdadu Belanda yang sedang
berlatih menembak, memihak sebaliknya. Mereka heran juga menyaksikan
kegesitan si anak Bumiputera.
Makin
lama makin seru perkelahian itu. Masing-masing tak sudi memberi hati. Mereka
mengerahkan tenaga dan segenap perhatiannya, Sangaji nampak bahkan makin tenang
dan mantap. Semua ajaran-ajaran gurunya meskipun masih sederhana, berkelebatan
tiada henti di ruang benaknya. Kini, ia telah dapat mengenai tubuh lawan dengan
benturan-benturan dahsyat. Ia meloncat gesit berpindah tempat. Lambat-laun
dapat meresapi ilmu kegesitan Wirapati.
Tetapi
keempat pemuda Belanda itu, bagaimana mau mengaku kalah? Pertama, mereka merasa
berumur lebih dewasa. Kedua, ditonton seorang gadis mungil yang menggairahkan.
Meskipun cara berkelahi mereka tak teratur, namun cukup bernafsu dan
sungguh-sungguh.
Melihat
kenyataan itu Sangaji kini bersikap hati-hati. Ia berlaku sabar, tetapi bukan
kendor.
Kecepatan
tetap dipertahankan, begitu juga kekerasannya. Hanya hatinya tak mau
dipengaruhi nafsu dan rasa amarah yang menyala-nyala. Sedikit demi sedikit ia
mendesak tenis dan mempengaruhi gerakan-gerakan lawan. Jurus- jurus yang
dimainkan tak lebih dari tiga puluh jurus. Tetapi selalu diulang dan diulang
dan dicampur baur serta disesuaikan. Untung, lawannya bukan termasuk barisan
pendekar. Seumpama begitu, sudah lama dia bisa dikalahkan.
Jan
De Groote yang memimpin ketiga kawannya mulai heran dan berkecil hati. Semua
serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh, tapi selalu meleset luput.
Mulailah dia menduga-duga, kalau kali ini ia dan kawan-kawannya akan menumbuk
batu.
Karena
ragu gerakannya mulai ayal. Sangaji bermata tajam. Begitu melihat gerakan Jan
De Groote jadi lemah, segera ia melontarkan pukulan telak. Gugup Jan De Groote
mencoba menangkap gempuran itu. Ia kaget, tatkala kena dorongan tenaga dahsyat.
Cepat-cepat ia melepaskan. Tapi justru itu, gempuran Sangaji meluncur tak
tertahankan lagi. Dadanya kena benturan dan seketika itu juga ia berbatuk-batuk
sesak. Rasanya seperti nyaris meledak.
Kawan-kawannya
terkejut. Mereka lalu me-rangsak maju untuk melindungi. Sangaji sebaliknya
sudah mendapat kepercayaan. Ia mulai menyerang lagi dan mempengaruhi mereka
dengan gerakan-gerakan gesit.
Benar
saja Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong jadi keripuhan. Mereka
menangkis dan menyerang tanpa pegangan. Gerakannya kacau dan membabi buta.
Sangaji
kegirangan. Diam-diam ia mengubah cara berkelahinya. Kini hendak mempraktekkan
ajaran Jaga Saradenta. Ia menangkap lengan lawan danmemijit urat nadi. Kemudian
ia menyiku lawan yang lain. Setelah itu tangan kanannya menyambar tenggorokan
lawan yang merang-sak dari sebelah kanan. Fatal akibatnya.
Mereka
mengerang kesakitan. Kemudian dengan meram, mereka menyerang kalang kabut. Tak
peduli Sangaji lebih unggul dalam tata berkelahi, tetapi demikian tak urung
pundaknya kena terhajar.
Sangaji
kaget. Pundaknya terasa sakit. Terpaksa ia menggulingkan diri sambil berpikir,
kalau begini terus-menerus mana bisa aku mengalahkan mereka. Lebih baik
kutangkap salah seorang dari mereka.
Lalu
ia mengarah kepada Jan De Groote yang masih berbatuk-batuk. Cepat ia menyerang
dan menangkap lengannya. Grat nadinya segera dipi-jitnya. Sedang tangan
kanannya mencekek leher.
“Kalau
kalian tidak mengaku kalah, akan kucekek temanmu ini,” ancamnya.
Besar
juga pengaruh ancaman Sangaji. Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong
sesungguhnya hanya menjadi pembantu Jan De Groote. Melihat Jan De Groote bisa
ditangkap Sangaji, hatinya jadi kecut.
CIntung,
waktu itu di pinggir jalan nampaklah seorang laki-laki tegap duduk di atas
pelana kuda. Dialah Willem Erbefeld. Dia sudah berada di situ beberapa waktu
menyaksikan perkelahian mereka. Ia heran, menyaksikan Sangaji sanggup melawan
empat orang lawan yang jauh lebih besar daripadanya. Diam-diam ia berpikir,
anak ini pandai berkelahi. Darimanakah dia memperoleh kepandaian itu?
Tatkala
melihat Sangaji hendak mencekek lawan, segera ia menghampiri dan membentak
pemuda-pemuda Belanda.
“Hai!
Mengapa kalian mengkerubut seorang bocah?”
Karel
Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong tak kepalang kagetnya melihat
datangnya Willem Erbefeld. Sangajipun tak terkecuali. Tetapi ia bergirang hati.
Segera ia melepaskan Jan De Groote dan berkata mengadu. “Mereka datang dan
lantas saja menyerang. Dua bulan yang lalu aku dikerubut mereka berempat. Aku
diseret dan dilemparkan ke parit.”
“Apa
perkaranya?”
“Mereka
pasti diperintah Major De Groote. Dulu Major De Groote merampas pistol ini.”
Willem
Erbefeld lantas saja dapat mengerti persoalannya. Cekatan ia melompat dari
punggung kuda. Tanpa berkata sepatah katapun ia menghampiri keempat pemuda
Belanda dan dihajarnya kalang kabut.
“Nah,
bilanglah pada De Groote! Kapan saja dia boleh datang,” bentaknya.
Kena hajaran Willem Erbefeld, keempat pemuda Belanda itu
jatuh terjengkang-jengkang. Mukanya
babak-belur dan segera lari meninggalkan lapangan dengan peringisan.
“Adik
yang baik. Kau dimusuhi orang karena aku. Mulai sekarang janganlah kamu
berlatih seorang diri, bila aku tidak ada di rumah.” Kata Willem Erbefeld penuh
perasaan. Mendadak ia melihat si Sonny yang berdiri tertegun tak jauh
daripadanya. Ia heran. “Eh ... bukankah kamu anak Kapten De Hoop?” tanyanya.
Sonny
mengangguk.
“Mengapa
kamu ada di sini pula?”
Sonny
jadi kebingungan. Tak tahu dia harus menjawab bagaimana. Matanya mengarah
kepada Sangaji hendak menyelidiki kesan si bocah. Sangaji ternyata cukup lapang
dada. Melihat Sonny kebingungan timbul rasa ibanya. Lantas saja dia menyahut,
“Dia melihat aku berlatih.”
“Oho...”
Willem Erbefeld tertawa. “Pantas kamu bersemangat. Apa kalian sudah lama
berkenalan?”
Sangaji
tergugu mendapat pertanyaan demikian. Sebaliknya Sonny mendapat kesan bagus
karena pembelaannya. Dasar dia seorang peranakan Belanda. Hatinya polos dan
gerak-geriknya bebas. Begitu melihat Sangaji tergugu, dengan cepat dapat
menebak hatinya. Dengan mengeluarkan sapu tangan kecil ia menghampiri Sangaji
dan mengusap keringat dan pasir yang menempel di pipi. Keruan saja muka Sangaji
merah padam. Sebagai seorang berperasaan timur, tak bisa ia mendapat perlakuan
begitu. Tetapi Willem Erbefeld malahan berkesan gembira. Katanya girang, “Ah!
Kalian sudah berteman lama. Mengapa baru kali ini aku melihat pergaulan
kalian.”
Mereka
berdua diajak beristirahat di bawah pohon. Willem Erbefeld merenungi keduanya.
“Sangaji!
Mulai minggu depan kamu harus belajar naik kuda. Kamu cukup tangkas. Kulihat
kau tadi ... oya ... dari mana kamu bisa belajar berkelahi?”
Tak
berani Sangaji berbohong terhadap Willem Erbefeld. Sebaliknya tak berani ia
melanggar pesan gurunya. Karena itu ia jadi kebingungan. Willem Erbefeld heran
berbareng curiga. Katanya lagi, “Apa selama kau kutinggalkan, seringkali
berkelahi sehingga mendapat pengalaman membela diri?”
“Tidak!
Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan.” “Apakah kamu berguru pada ahli-ahli
silat dan pencak?” “Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan.”
Willem
Erbefeld tak mendesak lagi. la cukup kenal tabiat adik angkatnya. Dulu ia
berani membandel ketika di desak Mayor De Groote dengan mengucapkan kata-kata
itu. Akhirnya dia berkata perlahan, “Aku tak menyalahkanmu. Seandainya benar
begitu, alangkah senangku bila aku bisa berkenalan dengan guru-gurumu.”
“Aku
tak berguru kepada siapa pun juga,” bantah Sangaji gemetaran.
Willem
Erbefeld bersikap seolah-olah- tak mendengarkan. Ia kemudian mengalihkan
pembicaraan tentang rencana latihan menunggang kuda dan ilmu pedang. Sangaji
jadi berlega hati. Segera ia menyambung pembicaraan. Kesannya menggirangkan
hati.
“Hai!”
kata Willem Erbefeld kepada Sonny. “Kau boleh melihat latihan itu.” “Mengapa
hanya melihat?” sahut Sonny. “Sonny pun ingin belajar naik, kuda.”
“Bagus!
Mintalah izin ayahmu dulu. Kalian berdua boleh belajar naik kuda bersama-sama.”
“Tapi Willem sangat galak,” sambung Sangaji. “Willem?” Sonny menebak-nebak.
“Ya,
Willem.” Sahut Willem Erbefeld tertawa berkakakan. “Willem nama kuda Sangaji.
Bukan Willem namaku.”
“Ah!”
Sonny memekik heran. “Apakah kudanya diberi nama Willem?”
“Ya.
Mengapa?”
“Aneh.”
“Apa
yang aneh?” Willem Erbefeld tercengang.
“Kapten
Willem mengajar Sangaji menunggangi Willem. Ha, lucu kan?” ujar Sonny. Dan
mendengar ujarnya Willem Erbefeld tertawa geli juga. Sangaji tak terkecuali.
Semenjak
itu Sonny berteman akrab dengan Sangaji. Dia selalu menyertai Sangaji berlatih
menembak atau menunggang kuda. Tetapi kuda yang ditunggangi bukannya si Willem.
Willem Erbefeld berlaku hati-hati. Ia tak gegabah membiarkan Sangaji berlatih
dengan kuda yang masih binal.
Pada
saat itu hubungan antara Sangaji dan kedua gurunya mengalami perubahan. Sangaji
telah menceritakan pengalamannya berkelahi melawan empat pemuda Belanda. Ia
menuturkan pula riwayat pertemuannya dengan Kapten Willem Erbefeld dan hasrat
Willem Erbefeld ingin berkenalan dengan mereka. Mendengar tutur kata Sangaji,
Wirapati dan Jaga Saradenta berdiam menimbang.
“Rasanya
apa ruginya kita berkenalan dengan dia,” kata Wirapati. “Kitapun boleh berharap
mendapatkan perlindungannya, jika sewaktu-waktu mendapat kesulitan.”
“rtupun
baik,” sahut Jaga Saradenta. “Cuma hatiku makin gelisah saja memikirkan iblis
Pringgasakti. Orang itu tak keruan rimbanya. Apakah dia ikut dalam rombongan Pangeran
Bumi Gede pulang ke Yogyakarta?”
“Nah,
apa kataku dulu. Iblis itu mempunyai caranya sendiri menuntut dendam. Kalau tak
cukup tabah, jangan-jangan kau mati karena kegelisahanmu sendiri.”
Keesokan
harinya mereka bertemu dengan Willem Erbefeld di lapangan latihan menembak
senjata. Lantas saja mereka jadi akrab dan saling mengisahkan riwayat
pertemuannya dengan Sangaji. Masing-masing pihak kagum dan akhirnya Willem
Erbefeld bersedia memikul tanggung jawab mengurus kehidupan mereka berdua.
Sekarang
latihan yang diberikan kepada Sangaji makin lancar dan teratur. Willem Erbefeld
mengajar menunggang kuda, menembak pistol dan senapan serta ilmu pedang.
Sedang, Wirapati dan Jaga Saradenta mengajarkan ilmu-ilmu sakti dan tenaga.
Mengingat isi perjanjian dengan Hajar Karangpandan, mereka terpaksa melarang
muridnya berlatih ilmu pedang.
“Kepandaianmu
menggunakan senjata tajam harus khas dari kami,” kata Wirapati. “Kau tak boleh
menerima ajaran lain.”
“Begitu
aku melihat kau menggunakan ilmu ajaran lain, lenganmu akan kutebas kutung,”
ancam Jaga Saradenta.
Sangaji
mengerti maksud kedua gurunya. Kepada Willem Erbefeki ia meneruskan pesan kedua
gurunya. Willem Erbefeld telah mendapat penjelasan tentang peraturan itu. Ia
tak perlu merasa tersinggung kehormatannya.
Dan
dua tahun lewatlah sudah. Sangaji telah mahir menunggangi si Willem. Ia mahir
pula me-nembak pistol dan senapan. Tetapi menghadapi latihan-latihan yang
diberikan kedua gurunya ia merasa seperti sebintik garam kecemplung dalam
lautan.
Tubuhnya
kini menjadi tegap dan kekar. Tampangnya ngganteng dan matanya menyala tajam.
Selama itu dia bersahabat rukun dengan Sonny. Sonny seorang gadis yang manja,
tetapi bersikap mengalah terhadap Sangaji. Kadang dia berani menggoda dengan
kata-kata lembut dan menggiurkan. Tetapi apabila Sangaji nampak menjadi kikuk,
cepat-cepat ia minta maaf dan bergurau kekanak-kanakan. Makiumlah, umurnya kini
sudah delapan belas tahun. Tak lagi dia
tergolong
seorang gadis tanggung, tetapi benar-benar gadis penuh.
Raut
mukanya tajam. Matanya bersinar-sinar. Cerdik dan cantik. Banyak pemuda-pemuda
gandrung padanya, tetapi ia tak mempeduli-kan. Jan De Groote, Karel Speelman,
Tako Weidema dan Pieter de Jong yang dulu menaruh hati kepada Sonny kian
menjadi tergila-gila. Tetapi mereka segan kepada Willem Erbefeld. Terhadap
Sangaji mereka masih mengharapkan suatu kesempatan lagi untuk mengadu tinju.
Pada
suatu hari dengan mengendap-endap, Sonny mengintip Sangaji sedang berlatih dengan
Jaga Saradenta. Jaga Saradenta nampak uring-uringan. Tak puas ia menyaksikan
muridnya tak bisa menangkis serangannya.
“Berkelahilah
yang betul!” bentaknya. “Namaku kupertaruhkan di atas pundakmu.”
Sehabis
berkata begitu ia menggempur Sangaji dengan tangan kiri dan menendang
berturut-turut. Sangaji terkejut. Buru-buru ia menangkis dan mau membalas
menyerang.
“Bagus!
Seranglah aku! Jangan biarkan dirimu diserang dan hanya menangkis!” bentak Jaga
Saradenta. Wirapati kemudian menyambung, “Pukullah gurumu. Anggaplah seperti
benar-benar lawanmu!”
Kini
mengertilah Sangaji maksud gurunya, la lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Tetapi ia kalah tenaga melawan Jaga Saradenta. Sebentar saja kuda-kudanya kena
digempur dan ia kena tendang sampai terpental jauh. Tetapi begitu ia jatuh,
cepat ia bangun dengan gerakan melompat.
“Bagus!”
tiba-tiba terdengar suara nyaring bercampur tertawa geli.
Sangaji
menoleh. Ia melihat Sonny berdiri tak jauh daripadanya. Mukanya-jadi merah.
Belum lagi ia menegur, Sonny telah mendahului. “Kau kena hajar?” -
“He,
kenapa kamu ada di sini?”
Sonny
tertawa panjang. Menyahut, “Aku senang melihat kamu kena gamparan gurumu.”
Sangaji
jadi serba salah. Ia segan kepada gurunya yang sedang melatihnya dengan
sungguh-sungguh. Sebaliknya Sonny nampak polos dan tak pedulian.
“Kau
tak senang aku datang menjengukmu?” tanyanya dengan tertawa manis. “Baiklah aku
pergi...!”
“Eh
jangan pergi dahulu. Tunggulah sebentar. Kau kuantarkan pulang.”
Terpaksalah
latihan itu tak dilanjutkan. Jaga Sarandenta dapat bersabar hati. la berjalan
dengan Wirapati membicarakan latihan tadi.
“Wirapati!
Rasanya tak ada harapan kita menang. Gadis itu berpengaruh besar dalam hati
muridmu.”
Wirapati
tersenyum lebar, tetapi alisnya meninggi. Kemudian berkata menggoda, “Lantas?
Apa aku yang harus menggantikan tempat muridmu?”
Jaga
Saradenta terhenyak.
“Wirapati,
maaf bukan itu maksudku,” katanya sejurus kemudian. “Kita harus mencari tempat
berlatih yang lebih aman. Aku tahu, masa birahi Sangaji belum berkutik dalam
hatinya, tetapi ketekunannya bisa terhambat oleh hadirnya si gadis.”
“Aku
justru berpikir lain,” sahut Wirapati. “Gadis itu anak seorang berpangkat dalam
kompeni Belanda. Perlahan-lahan aku akan mencari keterangan tentang musuhmu
Pringgasakti. Selama aku belum yakin benar di mana dia berada, hatiku tak
pernah merasa tenteram.”
“Apa
hubungannya dengan dia?” Jaga Saradenta heran.
“Kau
tahu mengapa dua tahun yang lalu aku menaruh perhatian kepada barisan kompeni
yang sedang sibuk menyongsong tamu. Secara tak langsung aku mendapatkan
penjelasan dari dia, ketika dia lagi ngobrol dengan teman-temannya. Ternyata
kemudian aku melihat dia hadir juga
dalam
pesta di gedung negara.”
“Hm,”
dengus Jaga Saradenta.
“Dia
pun salah seorang penyambut tamu agung. Dia dicalonkan oleh teman-temannya
menjadi pengantar dan teman bicara Pangeran Bumi Gede. Mestinya dia tahu juga
tentang pembicaraan resmi antara Pangeran Bumi Gede dan Pemerintah Belanda.” la
berhenti sebentar. Wajahnya nampak keruh dan seolah-olah merindukan sesuatu.
Dengan menghela napas dia meneruskan, “Tubuhku ada di sini tapi hatiku ada di
sana. Di Yogya dan di sekitar Gunung Damar.”
Jaga
Sarendata merenung. Tahulah dia kalau kawannya yang muda ini telah rindu pada
kampung halamannya. Dia menjadi terharu. Hatinya-pun teringat pula kepada
dusunnya dan kewajibannya menjadi Gelondong Segaluh.
“Apa
si bangsat Pringgasakti ada juga di dalam gedung pemndingan?” la mencoba
mengalihkan pembicaraan.
“Ya.
Aku tahu benar, dia berada di sana. Dan aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri, Sonny ada juga di dalam gedung negara,” sahut Wirapati.
Diingatkan
akan sepak terjang musuh besarnya, Jaga Saradenta tergentar hatinya. Lantas
saja benaknya mulai menduga-duga lenyapnya iblis Pringgasakti yang tak karuan
rimbanya.
“Ah,”
katanya menyerah. “Dalam segala hal otakmu lebih encer daripadaku. Aku si orang
tua ini masih saja terburu nafsu. Baiklah, urusan si Sonny tidak akan
kusinggung-singgung lagi.”
Sonny
saat itu berjalan berendeng dengan Sangaji. Ia berbicara banyak. Suaranya riang
menyenangkan, la mengajak berjalan menyusur pantai dan dari sana membelok ke
pasar ikan.
“Sangaji
kamu ditunggu Ayah,” katanya lincah.
“Mengapa?”
“Pada
hari Mnggu besok kamu mau diajak pergi berburu ke hutan Tanggerang.” “Mengapa
aku diajaknya??? Hari Mnggu justru aku lagi sibuk.” “Akulah yang mengusulkan.”
Sangaji
tercengang-cengang. Tak dapat dia menduga maksud Sonny mengajak berburu.
Sebenarnya
hal itu adalah suatu penghormatan besar baginya. Pada masa itu tak mudah
seorang Bumiputera diajak berburu oleh bangsa Belanda, jika bukan salah seorang
yang termasuk sahabat karib.
Ternyata
Kapten De Hoop adalah seorang perwira Belanda yang ramah dan berwibawa.
Tubuhnya tinggi jangkung, tegap dan berpengaruh. Ia diiringi oleh dua orang
anaknya laki-laki yang berumur kira-kira 24 tahun dan 22 tahun. Mereka bernama
Judy dan Bobby.
Hutan
yang tumbuh di sekitar Tanggerang cukup padat. Binatang-binatang buruan tak
terhitung jumlahnya. Mereka semua—kecuali Sonny —pandai menembak.
Sangaji
sangat gembira. Ia dapat mempraktekkan ilmu menembak ajaran Willem Erbefeld.
Tembakannya tak pernah meleset. Makin lama bahkan makin tepat mengenai sasaran
bidikan yang dikehendaki. Dua ekor rusa yang lari cepat berjajar mati berbareng
kena tembakannya dari samping.
Kapten
Hoop kagum menyaksikan ketangkasannya si bocah. Semenjak itu ia berjanji dalam
hati akan selalu membawa dia pergi berburu. Kepada Sonny dia berkata memuji,
“Sonny! Pintar kamu memilih kawan berburu. Penglihatanmu tajam dan tepat.”
Karena
pujian itu Sony kegirangan. Pertama-tama, ia kini akan selalu bersama bila
pergi berburu. Kedua, pergaulannya dengan anak Bumiputera telah diketahui
ayahnya, la akan lebih dapat bergaul dengan bebas dan terang-terangan. Seperti
diketahui Sonnylah yang mengusulkan agar ayahnya mengajak Sangaji pergi
berburu.
“Dia
pandai menembak, Ayah,” katanya merengek. “Seringkali aku melihatnya berlatih
menembak. Kapten Willem Erbefeld yang melatih dan mengajar.”
“Hai,
mengapa Kapten Willem Erbefeld?” ayahnya heran berbareng menduga-duga. “Dia
adik angkatnya.”
“Ah!”
kini ayahnya mengerti. Tetapi ia ingin melihat apakah adik angkat Kapten Willem
Erbefeld benar-benar pandai menembak. Itulah sebabnya, saat ia menyaksikan
ketangkasan Sangaji, dengan tulus hati ia menyatakan pujiannya.
Malam
itu juga mereka kembali ke Jakarta. Sangaji mendapat bagian seekor rusa dan
dibawa pulang ke ibunya. Ia akan mengundang kedua gurunya untuk ikut berpesta.
Dengan sangat ia meminta agar ibunya memasak masakan yang enak.
“Aku
nanti akan membantu, Bu,” katanya.
“Kamu
bisa bantu apa?” sahut Rukmini. Dia menyayangi putra tunggalnya itu. Maka
setelah Sangaji pergi meninggalkan rumah untuk mengundang gurunya, diam-diam ia
memanggil tetangganya untuk diminta datang membantu. Melihat rusa begitu gemuk
tetangganya sudah barang tentu tak dapat menolak. Lantas saja mereka datang
dengan membawa alat-alat dapur.
Sangaji
sendiri waktu itu sudah berada di jalan besar. Ia berjalan meloncat-loncat
karena kegirangan sambil melatih kegesitan tubuhnya. Mendadak ia ditegor oleh
seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun dengan bahasa Jawa.
“He,
anak muda ! Kalau kau berani, ayo kita berkelahi!”
Heran
Sangaji tiba-tiba ditantang seseorang. Rumah pondokan kedua gurunya tinggal
beberapa langkah di depannya. Hatinya lantas bimbang. Mengundang kedua gurunya
dulu ataukah meladeni tantangan pemuda itu.
“Kamu
siapa ?” ia mencoba bertanya.
Pemuda
itu tertawa perlahan. Menjawab setengah merendahkan, “Tak peduli siapa diriku,
tapi kamu kutantang. Kau laki-laki, kan? Seorang laki-laki ditantang seseorang,
kok seperti perempuan ?”
Merah
muka Sangaji direndahkan demikian. Ia menghampiri dan masih mencoba meyakinkan
pemuda itu.
“Kalau
aku berkelahi, aku harus berkelahi dengan jelas. Antara kau dan aku belum
saling kenal. Kurasa, tak ada alasan untuk berkelahi”
Kembali
lagi pemuda itu tertawa perlahan. Mendadak saja dia menyerang. Sebat
gerakannya.
Tahu-tahu
kakinya telah mengirimkan tendangan dan tangannya menyambar urat leher.
Sangaji
terperanjat diserang demikian. Masih sempat dia berkisar dari tempatnya. Tangan
kanannya menangkis sambaran dan tinju kirinya mengarah dada. Inilah salah satu
jurus ajaran Jaga Sarandeta.
Pemuda
itu terpaksa mengurungkan serangannya. Cepat-cepat ia menarik diri dan
mengulangi gerakan yang lain. Gerak-geriknya enteng dan gesit. Sebentar
bergerak ke kiri, sebentar pula ke kanan. Tangannya menyambar-nyambar tiada
henti seperti gerak-gerik seekor garuda menyambar mangsa. Karuan saja Sangaji
kena terdesak mundur. Mendadak teringatlah ia pada jurus ajaran Wirapati yang
belum pernah dilakukannya. Jurus itu diciptakan Wirapati untuk mempertahankan
diri dari serangan maut sambil membalas. Sebenarnya khusus disiagakan untuk
menghadapi serangan Pringgasakti manakala muncul dengan tiba-tiba. Hebatnya tak
terkirakan. Dan sekarang Sangaji menggunakan jurus maut itu karena merasa diri
terdesak telak.
Meskipun
demikian ia mencoba memberi peringatan. “Awas! Lenganmu bisa patah! Rahangmu
bisa mencong!”
Jelas,
maksudnya tak ingin mencelakakan si pemuda, hanya semata-mata membebaskan diri
dari serangan bertubi-tubi. Pemuda itu terperanjat bukan kepalang. Tak dapat
lagi ia meloloskan diri. la lantas nekad. Dengan membabi buta ia menyerang muka
Sangaji.
“Hai!”
Sangaji terkejut Sama sekali tak diduganya, kalau si pemuda malahan menyerang
untuk membebaskan diri. Karena tak bermaksud mencelakai orang, buru-buru
serangannya ditarik. Kini ia membenturkan sikunya sambil menendang pinggang.
Melihat
perubahan jurus Sangaji, pemuda itu mengira berhasil menggagalkan serangannya.
Keberaniannya bangkit dan hatinya menjadi besar. Tidak memberinya ampun lagi,
ia mengelak dan menggempur pundak.
Sangaji
terhuyung. Pundaknya terasa sakit, la melompat mundur sambil membentak, “Siapa
kau sebenarnya?”
“Aku
anak Jawa seperti kamu,” jawab si pemuda. “Ayo, kita terus berlatih.”
“Berlatih?”
diam-diam Sangaji berpikir. “Apa dia clikirim guru mencoba kecakapanku?”
Mendapat
pikiran begitu segera ia bersiaga dan kini berkelahi dengan sungguh-sungguh, la
tak membiarkan diri diserang lagi. Dicobanya mempengaruhi gerakan lawan seperti
yang dilakukan terhadap keempat pemuda Belanda. Dibandingkan dengan dua tahun
yang lalu, gerak-geriknya kali ini jauh lebih berbahaya dan bertenaga. Tetapi
aneh! Menghadapi pemuda ini, jurus-jurusnya seperti tak berjalan.
Pemuda
itu dapat membebaskan diri dengan leluasa dan kadang-kadang bisa membalas
menyerang. Sangaji jadi kelabakan dan terdesak mundur. Tetapi ia dapat berlaku
tenang. Perhatiannya dipusatkan dan perlahan-lahan ia mulai dapat menyelami
kecakapan lawan.
Tiga
puluh jurus sudah lewat begitu cepat. Ia kini bergerak berputar seperti
gelombang. Kadang-kadang ia berhasil mendesak dan menendang lawan. Tapi sering
pula kena dirangsak bertubi-tubi. Mendadak terdengar suara bentakan Jaga
Sarandeta, “Serang bagian bawah, tolol!”
Mendengar
suara gurunya bangkitlah semangat tempur Sangaji. Dengan cepat ia memusatkan
serangannya di bagian bawah. Penglihatan gurunya ternyata tepat. Segera juga ia
mendesak si pemuda. Dan dengan suatu gerakan sebat si pemuda kena dihantam dan
ditendang sampai jafuh berjungkir-balik.
Melihat
si pemuda jatuh berjungkir-balik, Sangaji lalu mendekati. Kedua lengannya
disodorkan hendak mencengkeram pundak. Terdengar suara Wirapati memperingatkan,
“Awas! Jangan sembrono!”
Sangaji
kurang berpengalaman. Musuhnya kali ini bukan seperti keempat pemuda Belanda
yang hanya mengutamakan kekuatan tubuh dan tenaga tinju. Sebaliknya seorang
pemuda yang mengenal dan mengerti ilmu berkelahi. Begitu ia hendak
mencengkeram, si pemuda menggulingkan tubuhnya dengan sebat. Kemudian menendang
perut sambil meloncat bangun. Tak ampun lagi, Sangaji jatuh terbalik. Perutnya
terasa nyeri bukan kepalang. Namun ia gesit. Belum sampai tubuhnya terbanting
di atas tanah. Kedua ka-kinya menjejak dan ia berdiri tegak. Serentak ia
mengerat gigi dan bersiaga hendak melompat menerkam. Tetapi kedua gurunya sudah
mendahului. Gesit seperti ikan mereka lantas saja mengepung si pemuda.
“Siapa
kamu, berani kurang ajar di hadapanku?” bentak Jaga Sarandeta.
Sangaji
terkejut berbareng heran. Jelas—mendengar bentakan gurunya—pemuda itu bukan
dikirim gurunya untuk mencoba kecakapannya.
Pemuda
itu tak mengenal takut, la berjaga-jaga diri sambil menjawab, “Aku bernama
Surapati. Atas perintah guruku aku datang menghadap Tuan.” “Siapa gurumu?”
Pemuda
yang bernama Surapati sekonyong-konyong menundukkan kepala sambil menyembah.
Jaga Sarandeta sangsi. Tak mau ia membalas Surapati. Ia menoleh kepada
Wirapati
minta pertimbangan.
“Ayo,
kita bicara di dalam,” ajak Wirapati tegas.
Mereka
berempat memasuki rumah. Jaga Sarandeta nampak muram, karena menyaksikan
muridnya bisa dikalahkan. Sedangkan Wirapati sibuk menduga-duga.
“Nah
ulangi, ada apa kamu datang kemari?” katanya menegas.
Dengan
hormat Surapati menjawab, “Beberapa hari yang lalu kami serombongan dari
Yogyakarta datang ke Jakarta. Selain menunaikan tugas Gusti Patih, aku
diperintahkan guruku menghadap Tuan.”
“Siapa
gurumu?”
“Hajar
Karangpandan.”
Mendengar
jawaban Surapati, Wirapati dan Jaga Sarandeta terperanjat sampai berjingkrak.
Jaga Saradenta seorang laki-laki yang berwatak keburu nafsu, lantas saja
menyambar baju si pemuda sambil membentak, “Bilang yang benar! Kami tak mau
kaupermainkan. Siapa kau?”
Dengan
tenaga Surapati menjawab, “Namaku Surapati. Cukup jelas? Aku murid Hajar
Karang-pandan. Ayahku salah seorang hamba istana Kepatihan Danurjan.”
Jaga
Saradenta tertegun. Malu, ia diperlakukan demikian oleh Surapati. Ia
menyiratkan pandang kepada Wirapati.
“Bagaimana
kamu tahu kami berdua berada di sini?”
“Hal
itu tak dapat kumengerti. Aku hanya menjalankan perintah belaka. Guruku
berkata, kalau aku harus menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya,
karena Tuan sekalian sudah bercapai lelah.”
Perlahan-lahan
Jaga Saradenta melepaskan cengkeramannya, la duduk terhenyak di atas kursi.
Pandangannya muram luar biasa.
Wirapati
bersikap lain. Tak mau ia mendesak Surapati. Ia mengalihkan pembicaraan.
“Kudengar
kamu datang dengan maksud baik. Kenapa merobohkan Sangaji? Apa kamu diperintah
gurumu untuk mencoba kecakapan Sangaji sebelum hari pertandingan tiba?”
Surapati
tak menjawab, la hanya mengulurkan sepucuk surat yang terbungkus rapi. Wirapati
menerimanya dengan takzim dan membaca isinya. Diterangkan oleh Hajar
Karangpandan, kalau dia mengetahui keberadaannya berkat keterangan Pangeran
Bumi Gede yang datang di Jakarta dua tahun yang lalu. Pangeran Bumi Gede secara
kebetulan melihat Sangaji sedang berlatih. Dia mengenal Wirapati, tapi dia heran
atas hadirnya Jaga Saradenta. Untuk capai lelah itu Hajar Karangpandan
menghaturkan terima kasih.
Kemudian
ia mengingatkan kembali, bahwa masa bertanding tinggal dua tahun lagi. Tentang
hasil jerih payahnya mencari Sanjaya ia menerangkan, si anak sudah diketemukan
semenjak delapan tahun yang lalu. Itu terjadi secara kebetulan, karena Pangeran
Bumi Gede sedang mencari seorang pemimpin perajurit. Mengingat si anak dia
terpaksa menerima jabatan itu.
Setelah
selesai membaca surat Hajar Karangpandan, Wirapati terperanjat. Dengan masgul
dia berkata kepada Jaga Saradenta, “Jaga Sardenta! Dalam perlombaan mencari si
anak kita berdua sudah kalah jauh.”
“Tidak!”
potong Jaga Saradenta penasaran. “Soalnya bukan kita yang kalah, tetapi karena
nasib dia lebih bagus.”
Tetapi
setelah berkata demikian tubuhnya menjadi lemas. Dalam hal mengadu kelicinan
benar-benar dia merasa kalah. Mestinya Hajar Karangpandan pun mengalami
kesulitan juga tak beda dengan dirinya.
“Wirapati!
Siapa mengira, kalau Pangeran Bumi Gede secara sembunyi mengetahui keadaan
kita. Benar-benar licin dia seperti katamu. Dia mengetahui kita, sedang kita
tak mengetahui sesuatu pun tentang dirinya.”
Sekonyong-konyong
ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata membentak, “Hai! Apa yang telah
terjadi di Yogyakarta?”
“Aman
tenteram,” sahut Surapati gugup.
“Kau
diutus siapa ke mari?”
“Aku
anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau.” “Diutus apa?”
“Itu
urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat dengan
rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran Bumi
Gede.”
“Hm.”
Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, “Kau murid Hajar Karangpandan
yang tertua?”
Surapati
tertawa perlahan. “Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan Yogyakarta.
Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada Gusti Pangeran
Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan.
Ini
terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik seperguruan Raden
Mas Sanjaya.”
“Apa
kau bilang? Raden Mas Sanjaya?” Wirapati terkejut.
“Ya.
Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya dengan
Raden Mas?”
Wirapati
terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat isteri Wayan
Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh si pemuda pula?
Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak ia menyambar lengan
Surapati sambil membentak. “Kau berjungkir balik pula!”
Kena
disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh bergulingan di
tanah. Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara Wirapati bergelora,
“Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga Saradenta tetap menerima
tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa Sangaji. Dan kau
bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu. Bukankah kamu mau
mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?”
Tak
dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka,- ia ketakutan.
Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam, tenaganya lantas
saja menjadi, lumpuh. Angin sambarannya pun sudah bisa menyakiti seluruh
tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat pergi dengan
tersipu-sipu.
Wirapati
terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata seperti
menyesali diri, “Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan cilik
itu... Apa boleh buat...”
“Mengapa
menyesal?” sahut Jaga Saradenta. “Tindakanmu benar. Kalau kamu tadi berdiam
diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang Sangaji...”
Wirapati
mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina orang. Selagi
menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan. Apalagi kalau dua
tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa dibayangkan siapa yang
unggul dan kalah.
“Hm...
Jaga Sadenta, apa pendapatmu?”
“Padang
seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita lampaui dan
sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah kena gertak?”
Waktu
itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua gurunya.
Tahulah ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas saja dia merasa
dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua gurunya.
Tiba-tiba
berkatalah Wirapati, “Sangaji, marilah berbicara! Kautahu sekarang, mengapa
kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak berarti kepadamu.
Semata-mata karena kami berdua sudah terikat janji kepada seorang perkasa nun
jauh di timur bernama Hajar Karangpandan.”
“Aku
sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan Ibu,”
potong Sangaji dengan suara rendah.
“Betul,
tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang apa boleh
buat. Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami menerangkan
semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih rajin menekuni
pelajaran?”
Sangaji
menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang berkesan
sedih, cemas dan menyesali dirinya.
“Sangaji!”
terdengar Jaga Saradenta. “Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu menerima semua
kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan terang-terangan dan di
depan umum. Tidak hanya sekali dua kali, tapi sering. Tapi tak perlu berkecil
hati. Langit masih luas dan dunia masih lebar. Menang atau kalah adalah jamak
buat kesatria. Tegakkan dirimu. Teguhkan hatimu. Dan kamu akan bisa bergerak
maju...”
Hebat
kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah ia menduga,
kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi dirinya. Terbukti
dengan kata-katanya yang sangat membesarkan hati dan tak rela menyaksikan
dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia menegakkan kepala.
Dengan mata berapi-api ia menjawab, “Guru! Aku akan mengerahkan segenap
tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan ajaran-ajaran gawat kepadaku dan
akupun sanggup memuaskan Guru.”
“Hai!
Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!” seru Jaga Saradenta. “Tetapi
ajaklah dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan begitu kau takkan
merasa tersiksa.”
Kata-kata
Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 8 SONNY SI GADIS INDO di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 8 SONNY SI GADIS INDO"
Post a Comment