BENDE MATARAM JILID 9 ORANG BERKEPALA GEDHE
MALAM
itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan pengalamannya pergi
berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan gurunya yang sedang kecewa.
Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap. Baru keesokan harinya daging
rusa telah tersulap menjadi beberapa macam masakan yang sedap menusuk hidung.
Namun
Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi. Pandangannya
berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai anaknya. Sebagai
seorang ibu tahulah ia kalau anaknya sedang berduka. Pikirannya menduga-duga,
semalam ia kelihatan gembira kenapa sekarang berubah dengan tiba-tiba?”
Didekati
anaknya dan ia berkata sayang, “Mana gurumu? Apakah mereka tak datang hari
ini?” Dengan pendek Sangaji menjawab, “Guru sedang sibuk benar.”
Sehabis
berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi pantai dan
mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang merangkak-rangkak tak
peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti kemasukan setan.
Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal hari sampai terde-ngar
suara menegor, “Sejam lagi napasmu bisa putus.”
Sangaji
mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri berseri-seri tak jauh
dari tem-patnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk memberi hormat.
“Eh,
Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami berpesta?”
kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. “Ibumu sampai memerlukan datang
ke pondok sendiri.”
Sangaji
heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia menghaturkan maaf
dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta karena mereka sedang sibuk.
“Ayo
pulang!” ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang bersama. Di
rumah Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging rusa akhirnya dapat
juga diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan keriangan.
“Mulai
besok kamu akan benar-benar sibuk,” kata Jaga Saradenta. “Kami berdua telah
menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu.”
“Bagaimana
beratnya aku akan mencoba,” sahut Sangaji girang.
Dan
sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran gerak
badan dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya. Semuanya
jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang lalu. Kali ini
benar-benar meminta tenaga dan kesungguhan. Tubuhnya cepat letih dan
bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya yang bersikap
garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan napas. Mendadak
terdengarlah suara riang menusuk telinganya,
“Sangaji!
Kau disiksa guru-gurumu lagi?”
Sangaji
terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu, kalau kedua
gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit bibirnya. Lalu
menyahut setengah memohon, “Sonny! Biarkan aku di sini dulu. Nanti aku
bertandang ke rumahmu.”
“Ayah
memanggilmu,” sahut Sonny tak per-duli. 'Ya—bilanglah, aku lagi sibuk. Sebentar
lagi aku datang.”
“Mengapa
begitu? Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?” “Sonny! Benar-benar
aku sedang sibuk.”
Sonny
mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah.
“Aku
akan menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai.”
Benar-benar
hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny seorang gadis Indo
yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang teguh tata-susila
ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka nampak kurang senang.
Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi menjauhi. Di sana mereka
mencoba memberi latihan-latihan baru.
Tetapi
bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu singkat. Selain
ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian menipis. Akhirnya
mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan mas-gul.
Menyaksikan
perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa panjang dan matanya
bersinar-sinar. Katanya, “Kamu disesali gurumu? Aku senang melihatmu kena
dampratan.”
Sangaji
sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut, “Sonny!
Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit.”
“Kamu
mau ke mana, sih? Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi? Apa mau jadi
seorang jagoan?”
Dihujani
pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar mengungkurkan
sambil membentak, “Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi diriku?”
Sonny
terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji berbicara
sekeras itu.
“Apakah
aku mengganggumu? Aku datang ke mari semata-mata untuk kepentinganmu. Ayah
memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?”
Sangaji
terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia menyabarkan
diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny mendahului,
“Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini aku takkan
menghampiri dirimu lagi.”
Sangaji
terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan membersit dari hati
nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil berkata menyanggah,
“Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku berbicara.”
Ia
kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa
pertandingan dua tahun yang akan datang tak diterangkan.
Sonny
dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian berjanji tidak
akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus ikut menghadap
ayahnya.
Di
rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu hari
ulang tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam benda
kesayangan. Sonny mengucapkan terima kasih.
“Ayah,
pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?” “Tentu,
tentu!” sahut ayahnya cepat.
“Pertama-tama,
maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah sepucuk senapan
berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku Sangaji. Ternyata dia
pandai menembak dengan tidak ada celanya.”
Permohonan
Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya. Ternyata
ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi salah seorang
anggota regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan malu. Tetapi Sonny
sebaliknya bergembira. Ia datang menghampiri dan membawanya berdiri di depan
kawan-kawannya. Kemudian dia mengajak kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu
kehormatan pelantikan itu.
Mau
tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang makin lama
makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap hari Minggu
wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.
Waktu
itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal tiba.
Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi kemajuannya
terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan perburuan. Semalam
dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati. Jurus itu indah, tetapi sulit luar
biasa. Gntuk dapat menirukan gayanya saja dia harus sanggup berlaku sebat dan
gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu, hari-hari perburuan yang biasanya
bisa membangkitkan suatu kegembiraan terasa menjadi tawar.
Ia
kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia berdiri di
tepi jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah
suara dingin di belakangnya. “Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil.”
Sangaji
menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya hitam legam.
Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan mulutnya berbibir
tebal.
“Apa
katamu?” kata Sangaji heran.
Laki-laki
itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong menubruk
dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji menjadi kaku dan
tak bergerak lagi.
Sangaji
pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya tak perlu
ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan ialah, gerakan
laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat dilakukan dengan gampang
dan sempurna.
“Nah, lihat! Apa susahnya?” katanya
sambIl tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi
membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan memanjat
dengan cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke dahan dan
melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika
itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu ternganga-nganga
me-nyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas tubuhnya tak
bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang mau menubruk si
gadis.
Sangaji
terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap melontarkan
serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi serangan
Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak meneruskan
menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny
memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati jurang. Sebab
jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di bawah sana.
“Bagaimana?
Apakah dia ...” tanyanya perlahan.
“Lihat!
ia meloncat-loncat begitu gampang,” sahut Sangaji.
Mendengar
keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu ia melihat
tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari tebing jurang dan
tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Sonny
memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu laki-laki
berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar sambil berkata,
“Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar.”
Waktu
itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun. Laki-laki
gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut. Dengan tertawa ia
menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
“Inilah
buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik. Di kemudian
hari akan banyak manfaatnya.”
Sonny
kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede itu
berkata lagi, “Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan kepada
siapa pun juga tentang diriku. Kalian kularang juga menceritakan perwujudanku.
Kalian berjanji?”
Sonny
berwatak polos. Lantas saja dia me-manggut. Sedang Sangaji sibuk menebak-nebak
siapakah laki-laki itu.
Sonny
kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la bermaksud
hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan mulut
ternganga-nganga, kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki berkepala
gede.
Laki-laki
berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak meninggalkan. Sangaji
buru-buru menyanggah.
“Aki...!
Janganlah pergi dahulu!”
Laki-laki
itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh dari Jaga Saradenta.
Ia bergerak dan menghadap padanya.
“Mengapa?”
Sangaji
menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai
berbicara. Tapi hanya sejenak. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan
menangis terisak.
Laki-laki
berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud si bocah.
Segera ia membangunkan.
“Kenapa
kamu menangis?”
“Aki! Aku
seorang anak bebal.
Sudah kucoba jurus-jurus
ini. Selalu saja
aku gagal. Benar dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi
aku belum berhasil.” Jawab Sangaji sambil berisak sedih.
“Ah!
Itu yang kamu risaukan?” Sahut laki-laki berkepala gede. “Akupun akan mengalami
nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wa-jan”
“Apakah
gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?” Sangaji heran sambil
membersihkan air matanya.
“Justru
itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara wajar
sekali.
Napasku
tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga.” Keterangan laki-laki
berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai mulutmya ternganga. Katanya
meninggi, “Bagaimana mungkin tak mengeluarkan tenaga?”
“Benar
tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong.”
“Bukan
aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama menyusahkan kedua
guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang dan malam aku
berlatih., tapi selalu saja aku...”
“Apa
kamu ingin saranku?” potong laki-laki berkepala gede.
“Benar,”
sahut Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki
berkepala gede itu tersenyum lebar. “Kulihat kamu jujur dan benar-benar
berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukji-jatan. Begini saja, tiga
hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah sampan. Datanglah
pada tengah malam. Aku akan membawamu pergi.”
“Aku
mau dibawa ke mana?” Sangaji bertanya tinggi.
“Itupun
kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau tidak, jangan
lagi berharap berjumpa denganku,” kata laki-laki berkepala gede mengesankan.
Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di tebing sana.
Sangaji
kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan Wirapati
empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya. Akhirnya ia merasa
diri yang tolol. Katanya menyesali diri sendiri, Guru tak berada di sebelah
bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan sungguh-sungguh. Ah, dasar aku
yang tolol dan tak berguna...
Kemudian
dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat dikuasai.
Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian kalinya. Dengan
putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny datang
menjenguknya.
Tiga
hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta. Jurus
itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja berlatih
empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin sedih. Sekaligus
ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus ke-14 ajaran kedua
gurunya.
“Sangaji!
Jurus yang ingin kuwariskan kepadamu berjumlah 98,” kata Jaga Saradenta
sungguh-sungguh. “Supaya dapat mengejar waktu kamu harus sudah dapat menguasai
dua jurus untuk setiap minggunya.”
Mendengar
keterangan Jaga Saradenta ia ter-longong-longong. Sembilan puluh delapan jurus!
Banyak sekali! Baru jurus ke-14 napasnya sudah sesak dan merasa tak sanggup
maju lagi. Belum lagi ditambah ilmu ajaran Wirapati yang berjumlah 165 jurus.
Karena
hatinya tertekan-tekan, akhirnya teringatlah dia kepada pesan laki-laki
berkepala gede.
Ia
menaruh harapan baru. Pada tengah malam berangkatlah dia seorang diri ke tepi
pantai.
Waktu
itu bulan gede. Laut sedang bergelombang besar. Di jauh sana nampaklah pelita
perahu-perahu nelayan berkedipan. Di tepi pantai sunyi senyap. Hanya terdengar
ombak berdebur tiada hentinya.
Sangaji
terus mengawaskan tengah laut sambil berjalan menyusur pantai, la tak melihat
sesuatu yang bergerak. Apakah dia tak datang, pikirnya. Di jauh sana dilihatnya
segunduk batu karang. Sangaji mengira, laki-laki berkepala gede berada di balik
batu karang. Maka bergegas ia menuju ke tempat itu. Tetapi sesampainya di atas
gundukan karang suasananya sunyi sepi menyayat hati.
Ia
berdiri tegak memutar penglihatan. Angin malam kian lama kian keras dan dingin
menusuk tubuh. Mendadak dilihatnya suatu benda hitam mengambang di atas
permukaan air. Benda itu laju sangat cepat dan melawan ayunan gelombang begitu
angker. Kemudian terdengarlah suara nyaring luar biasa.
“Bocah!
Itu kamu?”
Sangaji
girang bukan kepalang sampai melompat-lompat kecil.
“Ya,”
sahutnya. Tapi suaranya hilang ditelan deru ombak dan gelora angin. Sekarang ia
baru merasa kagum dan tahluk kepada tenaga laki-laki berkepala gede yang
suaranya saja dapat melawan deru ombak dan gelora angin.
Tapi
laki-laki berkepala gede itu tajam pendengarannya. Meskipun suara Sangaji
sangat lemah, pendengarannya dapat menangkap dengan jelas.
“Melompatlah!”
Teriaknya dengan suara nyaring.
Sampannya
ternyata berada dalam jarak dua puluh langkah dari gundukan batu karang.
Sangaji berbimbang-bimbang. Pikirnya, bagaimana aku bisa mencapai sampan?
Tapi
ia ingat pada pesan laki-laki berkepala gede itu. Jika tidak bisa mencapai
sampannya, tidak ada harapan bisa berjumpa dengannya kembali. Padahal dia
menaruh harapan kepadanya. Kalau kali ini gagal, semua ajaran kedua gurunya
tidak ada gunanya lagi ditekuni. Walaupun ia mengerahkan tenaga akan sia-sia
belaka.
Memikir
demikian timbullah kenekatannya. Pikirnya, lebih baik mati daripada menanggung
kegagalan. Ia seorang anak yang berhati kukuh. Dulu dia berani mengadu nyawa
ketika memutuskan untuk melindungi Willem Erbefeld semata-mata karena telah
terdesak. Kini ia menghadapi persoalan yang bernada sama pula. Maka segera ia
mundur beberapa langkah. Kemudian menjejak tanah dan melompati laut yang sedang
bergelombang besar sambil memejamkan mata.
Tetapi
bagaimana dia sanggup melompat sejauh dua puluh langkah, apalagi harus melawan
deru angin yang sedang laju menusuk pedalaman? Ternyata dia hanya dapat
melompat kurang lebih sebelas langkah saja. Tubuhnya lantas saja melayang ke
bawah. Sekonyong-konyong ia merasa disambar suatu tenaga dahsyat. Kemudian
ditolak tinggi dan jatuh jungkir balik tepat di atas sampan. Sampan
bergonyang-goyang. Tatkala ia membuka mata, laki-laki berkepala gede nampak
berdiri bergoyangan di sampingnya.
“Terima
kasih,” bisik Sangaji. Ia tahu, kalau laki-laki berkepala gede menolong
dirinya.
“Bocah,
kamu sungguh-sungguh bersemangat jantan,” kata laki-laki berkepala gede itu.
“Mulai sekarang panggillah aku Ki Tunjungbiru.”
“Itulah
nama Aki?”
“Sebenarnya
itulah nama julukanku. Tapi biarlah kamu memanggilku begitu juga. Apa rugiku?
Sekarang, ayo kita pergi.”
Perahu
kemudian dikayuh melawan gelombang pasang. Tenaga Ki Tunjungbiru kuat luar
biasa. Perahu seperti laju di atas permukaan telaga yang tiada gelombang.
“Kamu
tahu ke mana kita mau pergi?” tanya Ki Tunjungbiru tiba-tiba.
Bagaimana
Sangaji dapat menebak teka-teki itu. Selama hidupnya baru malam itu ia
berpesiar di atas laut. Kalau saja tidak mabuk laut sudah untung baginya.
Ki
Tunjungbiru tertawa dengan kepala mendongak. “Jauh di sana ada sebuah pulau
yang berada di antara gugusan pulau-pulau. Pulau itu bernama Edam. Ha—kita ke
sana. Kau nanti bakal melihat dan merasakan bagaimana mulai malam ini kamu akan
menjadi manusia baru.”
Sangaji
terlongong-longong keheranan. Benaknya mulai menduga-duga siapakah Ki
Tunjungbiru sebenarnya. Ia hanya melihat perawakan tubuhnya yang menyolok
dibandingkan dengan manusia-manusia yang pernah dijumpainya. Gerak-geriknya
diliputi penuh rahasia. Apakah dia manusia buruk atau berbudi, tak dapat ia
memperoleh pegangan. Hanya selama dia berkenalan, ia selalu menunjukkan sikap
yang baik. Pertama-tama, dia ditunjukkan kelemahannya. Kedua, diberi hadiah
seekor lutung. Ketiga, menolong dirinya di atas permukaan laut.
“Siapakah
namamu?” tiba-tiba dia bertanya.
“Sangaji.”
“Bagus!”
orang itu gembira. “Kulihat kamu memiliki dua macam kepandaian yang mempunyai
sumber berbeda. Pastilah gurumu dua orang.”
Sangaji
mengangguk.
“Kedua
gurumu bukan orang-orang lemah. Aku tahu dengan pasti. Karena itu, aku tak sudi
kau angkat menjadi gurumu. Lagi pula andaikata aku mengambilmu sebagai murid,
pastilah akan menyinggung kehormatan gurumu.”
“Tetapi,
bukankah Aki akan memberi ajaran kepadaku?”
'Tidak!
Sama sekali tidak! Aku hanya memberi petunjuk-petunjuk belaka.”
Kembali
lagi Sangaji menebak-nebak maksud Ki Tunjungbiru yang penuh teka-teki. Tetapi
tetap ia merasa seperti diselubungi kabut tebal. Akhirnya ia menyerah.
Pikirnya, baik kulihat apa yang akan dilakukan padaku.
“Pernahkah
kamu mendengar penjelasan tentang suatu kemukjizatan?” ujar Ki Tunjungbiru.
“Kemukjizatan
apa itu?” sahut Sangaji tak mengerti.
“Bahwa
ada kecenderungan untuk menambah tenaga dan kegesitan tubuh dengan pertolongan
khasiat sesuatu dari luar?”
Sangaji
mengernyitkan dahi. Sibuk ia menebak teka-teki itu. Tetapi ia tak mengerti.
“Aki!
Berkatalah yang jelas. Otakku terlalu bebal untuk dapat menebak-nebak hal-hal
yang masih asing bagiku.” Jawab Sangaji tak mengerti. “Otakmu tidak bebal.
Hanya hatimu jujur dan bersih. Itulah yang menyebabkan kamu berpikir terlalu
sederhana,” kata Ki Tunjungbiru. “Dengarkanlah! Di kolong langit ada suatu
ajaran-ajaran ilmu yang dianggap sesat oleh mereka yang menekuni ilmu-ilmu
sejati. Kamu seorang murid dari aliran sejati. Meskipun tak boleh kamu
mempelajari ilmu sesat, setidaknya harus mengenal jenisnya. Umpamanya ada suatu
ilmu sesat untuk menambah tenaga jasmani dengan menghisap darah seorang gadis
atau memperkosanya sekali. Ada pula...”
Sangaji
terperanjat mendengar ujar Ki Tunjungbiru. Sekelebatan teringatlah dia kepada
tutur kata kedua gurunya, kalau mereka mempunyai seorang musuh sakti yang
seringkali menghisap darah seorang gadis untuk menambah tenaga jasmaninya.
Teringatlah kepada tutur kata kedua gurunya, meremanglah sekujur badannya.
Dengan pandang curiga ia mengawaskan tubuh Ki Tunjungbiru. Apa dia
Pringgasakti, pikirnya.
Ki
Tunjungbiru rupanya dapat menduga gejolak hati Sangaji.
Dia
tertawa berkakakkan sambil berkata, “Aha... aku tahu apa yang kaupikirkan.
Pastilah kamu mengira aku mau mengajarimu menghisap darah seorang gadis. Dalam
hal ini lapangkan dadamu. Tidak ada niatku untuk mengajarimu ilmu sesat.
Maksudku tadi hanya ingin menceritakan kepadamu tentang salah satu macam ilmu
sesat yang pernah didengar orang.
Memang
kamu mau kuajar menghisap sesuatu agar tubuhmu menjadi kuat perkasa tiada
tara.” “Menghisap apa?” Sangaji cemas.
Melihat
Sangaji cemas, Ki Tunjungbiru senang bukan main. Ia tertawa riuh sampai
tubuhnya ter-guncang-guncang.
“Kau
nanti akan melihat. Dan aku akan memaksamu. Dan kamu takkan bisa melawan.”
Sangaji
jadi ketakutan. Diam-diam ia menyelidiki alam sekitarnya. Seberang menyeberang
adalah air belaka. Tak dapat ia membebaskan diri dengan menceburkan diri ke
laut. Karena itu, mau tak mau ia harus menyabarkan diri.
“Aki!
Apa aku harus menghisap... menghisap ...” katanya terbata-bata.
Ki
Tunjungbiru memotong kata-katanya dengan tertawa meriuh lagi. Menyahut cepat,
“Jangan kaucemas, bocah. Meskipun kamu harus menghisap sesuatu, tetapi
perbuatan itu bukan sesat. Percayalah! Kedua gurumupun takkan tahu darimana
kamu tiba-tiba mendapat kemajuan mulai besok.”
Beberapa
saat kemudian perahu minggir ke pantai. Itulah pantai Pulau Edam yang
gelap-guli-ta penuh pohon-pohon liar. Sangaji bergidik bulu kuduknya mengingat
kata-kata Ki Tunjungbiru. Di pulau ini ia akan dipaksa menghisap sesuatu, dan
ia takkan kuasa melawan.
la
dibawa mendaki sebuah bukit batu yang penuh semak-belukar. Suasananya sunyi
menyeramkan. Margasatwa terdengar bergemerisik di antara semak-semak belukar
dan batu-batu yang mencongakkan diri dari tanah berpasir. Kadang-kadang
terdengar suara berdesis penuh rahasia. Dalam gelap malam Sangaji dapat
menduga, itulah binatang-binatang berbisa yang lari menyibak karena terkejut
“Bocah!
Lihatlah di depanmu!” sekonyong-konyong Ki Tunjungbiru berkata.
Sangaji
menajamkan pandangannya. Di depannya berdiri sebatang pohon raksasa yang
berdaun sangat rimbun. Angin laut yang menusuk dari arah utara
menggoyang-goyangkan mahkota daunnya. Suaranya bergemeresak dan berdesahan
seperti dengkur seseorang yang tidur lelap.
“Kau
tahu pohon apa itu?” tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji
mencoba menebak. Tapi malam terlalu gelap, bagaimana ia dapat mengenal
jenisnya. Meskipun demikian ia mencoba. “Kelihatannya seperti sebuah pohon
beringin. Itu akar-akarnya yang panjang.”
Ki
Tunjungbiru tertawa melalui hidungnya.
“Kamu
hampir benar, tetapi sama sekali salah. Di siang hari bolongpun kamu takkan
dapat me-jiebak. Memang batangnya mirip pohon beringin. Akarnya panjang dan
bergantungan begitu penuh. Tetapi daunnya lebar seperti daun kam-boja. Dahan
dan rantingnya penuh duri dan berwarna hijau mengilap.”
“Ah!”
Sangaji heran.
“Namanya
pohon Dewadaru. Pohon itu jarang ada di kolong dunia. Belum tentu kamu
mene-mukan di seluruh Pulau Jawa. Pohon itu sakti. Di malam hari dia tidur dan
berdengkur seperti manusia. Tapi pada siang hari dia sangat berbahaya.”
“Apa
bahayanya?”
Ki
Tunjungbiru tidak menjawab. Ia hanya tertawa perlahan seperti lagi mengendapkan
ingatannya yang buruk.
“Kamu
mengharapkan petunjukku, bukan?”
Sangaji
mengangguk tak mengerti.
“Dengarkan,
aku bercerita.” Ki Tunjungbiru mengesankan. “Dulu aku bertubuh lemah. Jauh
lebih lemah daripadamu. Ayahku seorang nelayan, dan aku membantu mencari
penghidupan.
Pada
suatu malam perahu kami terdampar di pulau ini. Waktu itu hari sangatlah panas.
Kami berdua berada di atas bukit karang ini menunggu siang hari. Perutku sangat
lapar dan rasa hausku bukan main. Pada waktu matahari sepenggalan tingginya,
kami tertarik kepada pohon yang sangat indah itu. Dia menyebarkan bau harum dan
berkesan rindang. Karena kami tak tahan terik matahari, kami hampiri pohon itu.
Kami berte-duh. Untuk iseng, aku mencongkeli batangnya. Kuhisap getahnya untuk
penawar haus. Kemudian... terjadilah suatu peristiwa yang...” Ki Tunjungbiru
tiba-tiba diam tak meneruskan. Ia menghela napas dalam. Kepalanya menunduk.
Kemudian terpekur sekian lamanya.
mur
Sangaji bani menginjak 17 tahun. Meskipun demikian sudah banyak ia mendapat
pengalaman dari pergaulan. Tahulah dia, kalau Ki Tunjungbiru sedang berduka.
Karena itu tak berani dia mendesak, takut menyinggung perasaannya.
Sejenak
kemudian Ki Tunjungbiru mulai berkata lagi. Tetapi tak menyinggung tentang
suatu peristiwa yang akan disampaikan. Katanya mengalihkan pembicaraan, “Di
luar dugaanku tubuhku menjadi kuat. Semua binatang-binatang berbisa tak berani
menyinggungku. Mereka tunduk dan tidak berani membantah kemauanku. Itulah
sebabnya dulu aku dapat menangkap dua ekor lutung begitu mudah. Dan sekarang
hai bocah, kalau kamu ingin memiliki tubuh seperkasa pohon itu, hisaplah getahnya.
Aku akan menetak batangnya sebelah bawah dengan pedang dan cepat-cepatlah kau
menghisap getahnya. Jangan lalai dan lengah!”
“Malam
begini gelap, bagaimana aku bisa melihat getahnya?” tanya Sangaji.
“Rabalah
bekas tetakanku,” sahut Ki Tunjungbiru cepat. Sekonyong-konyong suaranya
menyeramkan. “Pohon itu akan terbangun. Akar-akarnya akan bergerak. Dia akan
mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan bagaikan kera raksasa. Tapi
jangan pedulikan!
Terus
hisap dan hisap! Dan jaga pulalah dirimu agar terus mendekam serendah tanah.”
“Mengapa begitu?”
“Sekarang
tidak ada waktu untuk menerangkan sebabnya. Kau ingin mendapatkan petunjukku
atau tidak? Katakan sekarang!”
Sebenarnya
Sangaji masih ragu. la belum mendapat suatu penjelasan yang cukup kuat. Kesan
cerita Ki Tunjungbiru masih begitu diliputi kabut rahasia. Tetapi ia sudah
berada di tengah pulau. Dan ia sadar pula, kalau satu-satunya harapan agar
dapat menyenangkan kedua gurunya, dipertaruhkan belaka kepadanya. Berpikir
demikian ia lantas mengangguk.
“Bagus!
Karena kamu menghendaki petunjukku, ingat-ingatlah semua pesanku tadi. Kamu
wajib mendengar semua perintahku. Kamu mengerti?”
“Mengerti,”
jawab Sangaji dengan kepala kosong.
“Sementara
kamu menghisap getahnya, aku akan berjaga di luar bayangan rimbun pohon. Jangan
sekali-kali kamu berhenti menghisap sebelum aku membawamu pergi. Dan jaga
jangan sampai tertidur!”
“Tertidur?
Masakan sedang menghisap bisa tertidur?”
Ki
Tunjungbiru tidak menjawab. Dia hanya tertawa lebar. Kemudian mencoba menerangkan,
“Pohon itu mempunyai kesaktian ajaib. Barangsiapa berada dalam lindungan
mahkota daunnya, akan kena terhisap tenaganya, la akan lumpuh dan tertidur
dengan tak sadar8).
Sehabis
berkata demikian ia menyambar lengan Sangaji dan dibawanya lari menghampiri
pohon. Begitu berada di bawah lindungan mahkota daun, hawa terasa amat sejuk
dan nyaman luar biasa. Sekarang tahulah Sangaji, apa maksud Ki Tunjungbiru agar
dia pandai menjaga diri. Seluruh tubuhnya mendadak merasa penat. Rasa kantuk
mulai pula meraba matanya.
“Kamu
telah merasakan khasiat pohon sakti ini?” tanya Ki Tunjungbiru.
Sangaji
mengangguk.
“Karena
itu kita harus bekerja cepat! Sehabis kutetak, kau lantas saja menubruk. Aku
akan berada di luar sana. Seterusnya terserah padamu, apa kamu akan berhasil
menghisap getahnya.”
Ia
mencabut sebatang pedang pendek. Kemudian meloncat garang seperti gerak-gerik
seorang sedang bertempur. Batang pohon sebelah bawah dttetaknya dengan sekuat
tenaga, lalu ia melesat pergi ke luar lingkaran bayangan mahkota daun.
“Cepat
hisap!” teriaknya.
Sangaji
menubruk bekas tetakan. Jari-jarinya menyentuh benda cair yang lumer. Ia mau
membuka mulut, sekonyong-konyong terciumlah bau anyir menusuk hidung. Ia merasa
muak dan nyaris berontak, karena baunya bagaikan darah manusia. Ketika sedang
beitimbang-bimbang mendadak terdengarlah suara berdesahan. la kaget. Dilihatnya
akar-akar pohon mulai bergerak dan bergoyang-goyang. Makin lama makin cepat dan
seolah-olah mau mencengkeram dirinya.
Melihat
keajaiban itu hatinya memukul keras. Apa ini perbuatan setan, pikirnya, la
hampir ter-pengaruh. Tenaganya terasa surut habis. Gntung ia mendengar teriakan
Ki Tunjungbiru.
“Bocah!
Jangan terpengaruh! Jangan pedulikan!”
Mendengar
teriakan itu tersentaklah kesadarannya. Cepat ia bertindak. Hidungnya
ditekannya, lalu menghisap benda cair lumer itu. Benda cair itu mula-mula
dikulumnya di dalam mulutnya. Lalu ia mencoba menelan sedikit. Begitu telah
merasuk ke dalam kerongkongannya, ia jadi heran. Di luar dugaan benda cair itu
sedap luar biasa seperti madu. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menelannya sambil
hatinya berbicara, malam ini aku mati atau hidup terserah pada takdir!
la
terus menghisap, tapi hebat akibatnya. Tenaganya makin lama makin surut. Kedua
kelopak matanya menebal. Seluruh tubuhnya meremang seperti kena kesiur angin
lembut. Rasanya nyaman luar biasa.
“Terus
hisap! Jangan pedulikan apa-apa! Jangan biarkan dirimu tertidur!” terdengar
suara teriakan Ki Tunjungbiru. Diam-diam Sangaji heran mendengar nada suaranya.
Kesannya seperti suara seorang yang menaruh dendam.
Dalam
pada itu kesan pohon itu memang menyeramkan. Batangnya bergoyang-goyang
seolah-olah ingin merenggutkan hisapan Sangaji. Akar-akarnya bergerak dan
mengeluarkan suara bergelora dan berkerinyutan. Dalam gelap malam hari luar
biasa menyeramkan.
Sekiranya
Sangaji seorang diri tidak ada kawan, pastilah dia akan jatuh pingsan.
Diam-diam ia merasa berterima kasih padanya.
Aneh
benar pohon ini, pikirnya dalam hati. Apakah di dalamnya ada setannya? Ah,
kalau kuceritakan kepada Guru, apa mereka mau percaya.
Makin
lama gerak pohon makin seram. Kini menimbulkan kesiur angin luar biasa.
Akar-akar pohon mulai merumun di atas kepala Sangaji dan menimbulkan suara
pula. Cepat-cepat Sangaji mengendapkan tubuhnya serata tanah.
Tenaga
hisapannya kian diperkeras. Kini bahkan ia mulai menyedot panjang-panjang.
Entah berapa lama dia berjuang dengan gigih, ketika membuka matanya ternyata ia
tertidur di atas bukit karang.
la
heran. Dilayangkan matanya sekitar dirinya. Alam yang menyelimuti tenang
tenteram tak berisik. Mendadak ia mendengar langkah menghampiri dirinya.
Ternyata Ki Tunjungbiru.
“Mengapa
aku ada di sini?”
Ki
Tunjungbiru membungkuki sambil mengacungkan ibu jarinya. Berkata dengan nada
girang, “Kau hebat, Bocah. Benar-benar hebat! Hampir saja aku mencelakakan
dirimu. Kau tahu aku tak berani mendekati. Akar-akar pohon sudah merumuni
kepalamu. Gugup aku merangkak maju—setapak demi setapak. Kutarik kakimu.
Alangkah berat! Tubuhmu gemuk seperti babi.”
“Mengapa?”
Sangaji heran.
“Kau
benar-benar taat dan mendengarkan pesanku. Kau terlalu banyak menghisap sampai
perutmu melembung. Kau tahu seluruh tubuhmu menjadi putih. Seputih gamping.”
“Ah!”
“Aku
berusaha menarik kakimu. Ternyata kamu masih menggigit batang itu.” “Kapan?
Kapan Aki menarik kakiku?”
“Seandainya
aku tak berhasil menarik kakimu, masa kamu sekarang ada di atas bukit karang
ini?”
Sangaji
heran sampai terlongong-longong. “Tetapi aku tak tertidur, kan?” ujarnya. “Tak
tertidur?”
“Seumpama
tertidurpun hanya sebentar, kan?”
Ki
Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Dengan tubuh terguncang-guncang.
“Sebentaran
katamu?”
“Bukankah
hari masih malam?”
“Benari
Tetapi kamu telah melampaui satu hari panjang.” “Ah! Tidak mungkin!” Sangaji
tak percaya. Mendengar sanggahannya Ki Tunjungbiru tertawa kian meriuh.
Katanya, “Baiklah kuterangkan. Saat kutarik kakimu, ternyata kamu tak
bergeming. Jelas, kalau kamu kena pukau. Nyawamu tinggal tergantung pada
sehelai rambut. Ingin aku menyeretmu cepat-cepat, tetapi tak berani aku berlaku
sembrono. Seluruh akar pohon Dewadaru mengikuti tubuhmu.”
“Ih!”
Sangaji meremang. “Apa pohon itu bernyawa atau kemasukan setan?”
“Bukan!
Nah, aku sekarang mau bercerita semuanya. Dengarkan dan tak usah duduk.
Berbaringlah dulu, sampai kau buang air besar.”
“Mengapa?”
“Dengarkan
dulu!” sahut Ki Tunjungbiru cepat. “Bukankah kamu menghendaki petunjukku?”
Sangaji
mengangguk dan mau tak mau ia harus menyabarkan diri. Kemudian Ki Tunjungbiru
mulai bercerita.
“Kami
bangsa nelayan9) kaya dengan cerita-cerita perantauan. Di tengah laut kami
bertemu dengan nelayan-nelayan seluruh kepulauan Nusantara. Di sana kita saling
menukar cerita-cerita pengalaman atau dongeng atau kisah untuk mengisi waktu
luang. Cerita dan tutur-kata mereka penuh keajaiban dan aneh-aneh. Sekali kami
pernah mendengar kabar tentang pelita Nyai Roro Kidul yang berjalan di atas
permukaan laut. Pelita itu adalah tanda suatu malapetaka bagi nelayan.
Barangsiapa melihat pelita Nyai Roro Kidul harus cepat-cepat mencari pantai.
Sebab itu suatu tanda kalau laut akan mengamuk. Mereka pandai pula
membumbu-bumbui cerita itu, sehingga seolah-olah telah terjadi di depan kita.
Jika yang lain mau bercerita pula, cepat-cepat pokok ceritanya ditambahi dengan
pengalaman-pengalaman dan dongeng-dongeng ajaib. Lambat-laun terasa, kalau tiap
tukang cerita harus pandai memilih suatu bentuk cerita yang menarik. Sehingga
kemudian merupakan suatu perlombaan tutur-kata. Nah, kami dengar juga tentang
sebuah .pulau setan yang mata-penca-harian penduduknya menangkap ikan. Mata
uangnya bukan emas bukan perak. Tetapi buah kunyit. Si pencerita pernah
terdampar di pulau itu karena dilanda gelombang. Dia disambut meriah, karena
waktu itu perahunya penuh dengan ikan. Setelah satu malam bermalam di pulau
itu, keesokan harinya dia diantar ke laut dengan dibekali seonggok kunyit. Si
pencerita mendongkol, karena ikannya hanya ditukar dengan kunyit. Tapi karena
rasa takut dia berdiam diri. Di tengah laut onggok kunyit itu sebagian besar
dibuangnya. Mendadak terjadilah suatu keajaiban. Sisa kunyit yang belum
terbuang berubah menjadi benda kuning berkilauan. Ternyata berubah menjadi emas
belaka. Sayang—hanya tinggal sedikit. Dia hampir gila, karena menyesal. Maka
pada beberapa hari kemudian ia mencoba mencari pulau setan itu. Tapi pulau itu
tak pernah dilihatnya lagi. Hilang begitu saja seperti ditenggelamkan
gelombang.”
“Apakah
emas itu laku juga dijualnya?” Sangaji menyela.
“Tak
pernah kami minta penjelasan dan mendapat keterangan dari dia. Pokoknya, cerita
itu dapat menggirangkan dan meringankan hati, sudahlah cukup,” sahut Ki
Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, “Kami pernah bertemu juga dengan seorang
nelayan dari Madagaskar. Nelayan itu-ternyata seorang keturunan suku Jawa pula.
Dia pun pandai bercerita. Di sebelah barat pulau Madagaskar tergelarlah sebuah
benua bernama Afrika. Di benua itu banyaklah tumbuh pohon-pohon ajaib.
Diantaranya terdapat sebuah pohon pemangsa darah. Pohon itu perkasa, berbunga
indah dan harum baunya. Barangsiapa berada di dekatnya, akan tertidur pulas.
Maklum mahkota daunnya rimbun, sejuk dan membuat rasa nyaman luar biasa.
Akar-akarnya panjang dan menyenangkan bagi kera-kera atau lutung yang tidak
berpengalaman. Jika binatang atau manusia yang kena terkam akarnya yang panjang
itu10), takkan ada suatu kekuatan lain yang sanggup merenggutkan. Seekor
gajahpun tak berdaya jika telah kena ringkus. Perlahan-lahan mangsanya ditarik
ke atas dan dimasukkan ke dalam mulutnya untuk dihisap darahnya. Kerangkanya
kemudian dilontarkan jauh-jauh seolah-olah mau menghilangkan jejak. Mendengar
cerita itu, kami yang mendengar tak mau cepat percaya. Kami minta bukti-bukti,
tetapi sudah barang tentu dia tak dapat membuktikan. Maklumlah, selain Benua
Afrika sangat jauh letaknya, pohon itu jarang pula terdapat di kolong langit ini.
Tetapi siapa menyangka, kalau aku akhirnya menjumpai pohon itu di sebelah utara
Pulau Jawa ini.”
“Itu
pohon Dewadaru yang Aki sebutkan?” sela Sangaji lagi.
“Begitulah
kami menyebutnya,” ujar Ki Tunjungbiru. “Seperti kau dengar kemarin malam,
kami... aku dan Ayah... terdampar di Pulau Edam. Keesokan harinya kami
berteduh. Hawa mula-mula sangat panas, karena itu rimbun pohon Dewadaru sangat
menyenangkan. Aku mencongkel batangnya dan kuhisap getahnya untuk penawar haus.
Rasanya sedap bukan main.”
“Seperti
madu?”
“Ya,
seperti madu. Ayah tertidur di sampingku. Aku biarkan saja, karena aku tahu dia
sangat letih. Mendadak udara yang terang benderang jadi gelap-gulita. Awan
hitam datang bergulung-gulung, namun hujan tidak turun juga. Itulah sebabnya
hawa kian terasa menjadi panas. Sekonyong-konyong aku mendengar suara bergelora
dan berkerunyitan. Ternyata tubuh ayahku telah teringkus dengan akar-akarnya.
Aku terperanjat. Ingin aku menolongnya, tetapi tenagaku seolah-olah lumpuh.
Dengan hati tersayat- sayat aku melihat tubuh Ayah terangkat ke atas. Seketika
itu juga teringatlah aku pada cerita nelayan dari Madagaskar. Teringat akan
cerita itu seluruh tubuhku menggigil. Aku melihat Ayah masih saja tertidur
lelap. Aku mencoba memekik-mekik tinggi. Namun dia tak terbangunkan. Mendadak
akar-akar yang lain me-ringkus diriku pula. Aku tergulung-gulung bagai seekor
ikan teringkus jala. Kucoba meronta, tetapi tenagaku benar-benar seperti
terhisap hilang.”
“Lantas
?” Sangaji tak bersabar lagi.
“Perlahan-lahan
aku terangkat naik. Seluruh tubuhku terasa seperti digerumuti binatang-binatang
serangga. Aku memekik-mekik tinggi. Tetapi siapa yang akan mendengar suaraku ?
Keadaan pulau sunyi lengang tak ada penghuninya. Aku sudah putus asa.
Sekonyong-konyong terjadilah suatu peristiwa tak terduga. Kilap mengecap
menusuk cakrawala dibarengi suara guntur berdentum. Dan pohon itu seperti
terkejut. Aku dilontarkan dan terbuang di tanah. Gntung, aku belum terayun
tinggi, sehingga meskipun jatuh jungkir balik tak mencelakakan diriku. Tetapi
Ayah...”
Sangaji
melongok.
“Tetapi
Ayah...” Ki Tunjungbiru mengulangi. “Benar ia dicampakkan juga ke tanah, tetapi
napasnya telah hilang. Mulutnya nampak bersenyum dan tubuhnya lemas seperti
benda lumer.” “Ah!”
“Semenjak
itu aku menaruh dendam kepadanya. Ingin aku menebasnya dan menumbangkan. Tapi
aku sadar, kalau maksudku itu takkan tercapai. Batangnya terlalu kuat. Akhirnya
aku berpikir, satu-satunya jalan untuk membalas dendam ialah, menghisap habis
seluruh getahnya. Karena pikiran ini aku merantau mencari seorang pemuda yang
kuat dan bersemangat. Banyak kujumpai pemuda-pemuda demikian, tetapi aku kecewa
kepada kemampuan dan semangatnya. Lebih empat puluh pemuda sudah menjadi korban
pohon itu. Kebanyakan mereka ketakutan atau terlalu sembrono. Mereka melarikan
diri tatkala pohon bergerak-gerak dan melihat akar-akarnya berserabutan. Sudah
barang tentu mereka kena sambar dan menjadi mangsanya. Sedangkan aku tak
berdaya melepaskannya. Kemudian datanglah kau. Ah, hampir saja aku membuatmu
celaka. Gntung nasibmu baik dan semangat tempurmu tinggi. Kulihat kamu berjuang
dengan gigih menggigit batangnya. Kulihat juga kautahan menghadapi renggutan
pohon itu. Hatimu tahan menentang pemandangan yang ngeri. Terus terang,
keberani-anmu melebihi keberanianku sendiri. Kamu berhasil, sudah. Tetapi aku
hampir lupa akan perhitungan karena besarnya dendamku pada pohon itu. Aku
mengharapkan agar kamu bisa menghisap seluruh getahnya. Bukankah ini suatu
radang hati yang gila? Ya—bagaimana tubuhmu sekecil ini bisa menghirup seluruh
getah pohon raksasa begitu. Pada saat kamu terancam nyawamu, aku mendadak
sadar. Hal itu terjadi tatkala kulihat seluruh tubuhmu memutih seperti gamping.
Aku hampirimu dengan penuh pengakuan dosa. Kurenggutkan dan kusentakkan
batangnya. Kemudian dengan merayap-rayap akuberhasil membebaskan dirimu dari
bahaya maut...”
Mendengar
keterangan Ki Tunjungbiru hati Sangaji terpukul. Bulu romanya meremang,
terbayang saat-saat penuh ketegangan dan kengerian. Sebaliknya, ia menjadi
terharu membayangkan perjuangan Ki Tunjungbiru menolong dirinya dari bahaya
maut. Tak terasa matanya berkaca-kaca.
“Bocah!
Janganlah terharu dan merasa berterima kasih kepadaku,” kata Ki Tunjungbiru
seakan-akan dapat membaca gejolak hatinya. “Tapi sebaliknya, justru aku akan mencelakakan
dirimu.”
Sangaji
menghela napas panjang. Mendadak ia bangkit dan berkata gugup. “Aki! Darimana
Aki tahu, kalau pohon itu tidur di waktu malam?”
“Itulah
mudahnya,” sahut Ki Tunjungbiru. “Seseorang yang hendak membalas dendam,
bukankah menyelidiki dulu keadaan lawannya secermat mungkin?”
“Ya—itu
yang kuketahui. Barangkali pula telah menghisap darah binatang-binatang
berbisa. Dengan demikian tubuhmu kini penuh dengan bermacam-macam darah.”
Mendengar
keterangan itu Sangaji menggigil. Mukanya pucat, mendadak saja ingin dia
melon-tak dan perutnya sakit luar biasa. Ki Tunjungbiru heran bercampur kaget.
“Hai
bocah! Mengapa? Apa salahnya?”
Sangaji
menggigit bibir. Menyahut gap-gap, “Aki! Jadi aku... aku telah menghisap darah
manusia?”
Ki
Tunjungbiru terhenyak sampai terlongong-longong. Menyahut cepat, “Ah! Itu
bukan! Bukan! Bukan!”
Sangaji
terguling-guling di atas tanah. Ia
mencoba melontakkan seluruh isi perutnya.
Tangannya meraba-raba mencari batu.
“Aki
tak pernah aku menjahatimu... mengapa Aki membuatku sengsara? Mengapa
menjeru-muskanku ke dalam kesesatan ini?... Aki tadi membawa pedang pendek.
Tolong, tikamlah aku! Aku manusia! Selama hidupku... selama hidupku... Mengapa
aku mesti menghisap darah sesama manusia pula?”
Ki
Tunjungbiru menjadi gugup mendengar ucapan Sangaji. Cepat ia membungkuki sambil
berkata membujuk, “Bocah! Percayalah, tidak ada niatku menjerumuskanmu ke jalan
sesat. Aku memang tidak lurus juga. Tetapi percayalah, kalau aku tak berniat
menjerumuskan. Dengar! Dengarkan kata-kataku. Kamu tidak menghisap darah
manusia. Sama sekali tidak! Seseorang yang makan daging singa atau harimau,
apakah juga sama halnya memakan daging manusia, andaikata singa dan harimau itu
habis menerkam manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ikan
paus yang sudah sering menelan tubuh nelayan-nelayan malang, apakah juga sama
halnya memakan manusia? Tidak! Sama sekali tidak! Seseorang makan daging ayam,
apakah sama halnya makan cacing dan kotoran manusia? Tidak! Ayam itu sudah
kodratnya menjadi binatang pemangsa cacing dan pemakan kotoran manusia. Ikan
paus itu sudah kodratnya menelan apa saja yang dijumpai. Singa dan harimau
sudah kodratnya menjadi binatang pemangsa daging. Pohon Dewadaru sudah
kodratnya pula menjadi pemangsa daging dan darah. Kalau berpikir tentang
kemurnian, mana ada di dunia ini yang hidup di atas kakinya sendiri. Semuanya
saling terjalin, berhubungan dan saling memberi. Walaupun itu tumbuhan, kalau
dipikirkan tidak murni bersih. Katakanlah, daun lembayung, ba-yam, rumput,
kacang, ketela ya semuanya ... apakah tidak menghisap sari-sari burni. Bukankah
sari-sari bumi terjadi dari kumpulan benda-benda dari luar dan dalam? Kalau
dipikir, bumi-pun menelan tubuh-tubuh manusia, binatang dan sekalian yang
kotor-kotor ... yang pernah ada di kolong langit ini. Manakah yang suci mumi
dan bersih dari segalanya? Semuanya pengaruh mempengaruhi, anakku. Meskipun
kamu hidup di atas langit sana dan hanya melulu hidup dengan menghisap hawa,
itupun tak bersih dari segala. Karena hawapun terjadi dari endapan campur-baur
antara yang busuk dan bersih. Bocah, janganlah kamu berpikir yang bukan-bukan!
Tenteramkan hatimu! Kamu sekarang dengan hatimu yang suci bersih memperoleh,
karunia alam. Kamu akan tumbuh menjadi seorang manusia yang memiliki kekuatan
mukjijat. Aku bersyukur kepada rejekimu yang maha besar.”
Hebat
pengaruh kata-kata Ki Tunjungbiru kepada Sangaji. Seketika itu juga gejolak
hatinya menurun. Tubuhnya tidak menggigil lagi. Selintas pintas ia melihat
seleret sinar cerah dalam benaknya. Meskipun demikian, akibat gejolak dan
pergerakan tadi, perutnya terasa sakit, la mengerang.
Ki
Tunjungbiru memapahnya dan membawanya ke tepi pantai. Lalu ia menelanjangi dan
diceburkan ke dalam laut.
“Buanglah
semua kotoranmu. Yang ada dalam dirimu tinggal sari-sarinya yang bersih. Esok
pagi aku akan mencarikan sebumbung tabuan ber-madu kepadamu. Dalam hal ini, aku
bertanggung jawab penuh.”
Satu
malam penuh Sangaji merendamkan diri dalam permukaan laut. Waktu fajar hari
menyingsing tubuhnya menjadi lemas tak berdaya. Ki Tunjungbiru ternyata
menekuni dengan sungguh-sungguh, la membersihkan tubuhnya dan dipapah dengan
perasaan kasih sayang. Kemudian ditidurkan lempang di atas gunduk batu. Setelah
itu ia melesat pergi entah ke mana.
Kira-kira
hampir tengah hari dia datang kembali dengan wajah berseri-seri. la membawa
sepotong balok keropos. Dan ke mana saja dia bergerak dirinya dirumuni
gerombolan tabuan yang berwarna hijau biru kekuning-kuningan.
“Inilah
tabuan Tunjungbiru namanya,” dia berkata riang. “Selama hidupku aku menghisap
madunya. Itulah sebabnya aku di sebut orang Ki Tunjungbiru. Tabuan ini
mempunyai khasiat sakti. Barangsiapa menghisap madunya akan berumur panjang.
Darahnya akan mengalir bersih. Seluruh tubuhnya selalu terasa nyaman dan riang.
Banyak orang ingin menghisapnya. Tetapi bagaimana mungkin? Sarangnya ada di
pulau ini, jauh menjorok ke dalam gugusan. Tak gampang-gampang orang dapat
mencapai sarangnya. Nah—nih! Hisaplah!”
Dengan
berdiam diri Sangaji menghisap madu tabuan Tunjungbiru dengan hati tawar.
Meskipun kata-kata Ki Tunjungbiru semalam berpengaruh besar di dalam dirinya,
tetapi kesan menghisap
darah
manusia tidak juga lenyap dari perbendaharaan benaknya.
Kini
mendadak ia memperoleh kesan lain. Setelah menghisap madu, hatinya merasa
menjadi lapang. Darahnya yang tadi dirasakan mengental berubah menjadi encer
dan ringan. Tubuhnya menjadi hangat pula. Rasanya nyaman, la lantas berdiri
dengan perasaan segar bugar. Menyaksikan itu, Ki Tunjungbiru tertawa riang,
“Nah, percaya tidak? Aku pandai menyulapmu menjadi seorang manusia baru.
Benar-benar manusia baru!”
Sangaji
belum mampu berbicara. Seperti terbungkam. Sebenarnya cukuplah jelas keterangan
Ki Tunjungbiru. Orang tak gampang mendapatkan madu tabuan Tunjungbiru.
Seandainya tidak secara kebetulan, bagaimana dia akan mengenal macam madu
demikian. Gntuk ini sudah sepatutnya dia berterimakasih. Tetapi hati Sangaji
seolah-olah minta pertanggungjawaban si orang tua. Semua kebajikan-kebajikan
yang diberikan kepadanya dipandangnya sebagai semestinya. Tetapi tiga hari
kemudian hatinya berbicara lain. Tubuhnya kini terasa ringan dan dapat bergerak
dengan leluasa. Hanya di sudut-sudut tertentu masih ada rasa nyeri seakan-akan
terjadi keruwetan pada urat-uratnya. Ia membutuhkan petunjuk-petunjuk lagi.
Pada
malam hari keempat ia duduk berjuntai di atas bukit karang, la mengharap
kedatangan Ki Tunjungbiru. Harapannya ternyata terkabul, la melihat perahu
melaju melanda gelombang. Seperti dulu perahu itu berhenti kira-kira berjarak
dua puluh langkah dari pantai.
“Sangaji!
Itu kamu?”
Sangaji
menyahut dengan nada girang.
“Bagus!
Nah, melompatlah!”
Sangaji
mundur selangkah dan melompat. Di luar dugaannya, tubuhnya dapat terbang gesit
dan hinggap di atas perahu hingga bergoyangan.
“Bagus!”
seru Ki Tunjungbiru. “Apa kataku, kamu sekarang menjadi manusia lain.” Sangaji
girang bukan main. Inginnya ia mencoba lagi, karena hatinya tak mau percaya
pada kesanggupannya.
“Ayolah
berpesiar lagi,” kata Ki Tunjungbiru. “Malam ini sengaja aku mencarimu. Aku ingin
kaupertemukan dengan guru-gurumu, agar mereka tak salah terima. Aku tahu dengan
pasti, kalau kemajuanmu akan maju pesat di luar dugaan kedua gurumu. Hal itu
akan menimbulkan kecurigaannya. Aku khawatir kedua gurumu akan menyusahkanmu.
Karena itu buru-buru aku datang. Aih, tak kusangka kamu pun mengharap
kedatanganku, Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba.”
“Berpesiar
ke mana?”
“Tidak
lagi ke Pulau Edam. Ayo, kita berlatih di jauh sana. Kulihat kamu belum bisa
wajar menya-lurkan keringanan dan kekuatan tubuhmu.”
Mereka
mendarat di pantai sebelah timur. Sangaji kemudian dibawa masuk pedalaman.
Apabila telah diketemukan sebuah bukit batu, Ki Tunjungbiru berkata memerintah.
“Seumpama kamu sekarang telah menyimpan bendungan air, seharusnya kamu mengerti
cara menyalurkan. Kalau tidak, dirimu bisa terusak dari dalam. Sekarang
dengarkan! Mulai malam ini kamu harus menghapalkan dua belas patah kataku.”
“Apa
itu?”
“Sebelum
tidur hendaklah kau ingat-ingat dua belas kata mukjizat ini. Tenangkan pikiran—
lupakan perasaan—kosongkan tubuhmu—salurkan hawa—matikan hati—hidupkan
semangat! Nah, hapalkan!”
Gampang
saja Sangaji menghapalkan dua belas kata-kata itu. Tetapi untuk dapat mengerti
artinya tidaklah mudah. Maka ia dilatih bertidur-an, dan diberi petunjuk cara-cara
mengatur napas dan menyalurkan hawa.
“Sekarang
mulailah!”
Sangaji
menurut, la mencoba dan mencoba. Mula-mula pikirannya masih saja tergoncang dan
mudah dipengaruhi sesuatu yang gemerisik di luar. la mencoba melawan dan
mengatasi gejolaknya. Lambat laun ia dapat menguasai, meskipun belum
sepenuhnya. Ia terus berusaha sampai tidur lelap. Tanpa disadarinya fajar hari
membangunkan dirinya. Dan Ki Tunjungbiru ternyata tidak lagi di dekatnya.
Semenjak
malam itu ia terus berlatih. Sekarang seluruh tubuhnya terasa nyaman dan
mantap. Pelajaran-pelajaran kedua gurunya dapat dilakukan tanpa mengalami
kesulitan. Wirapati dan Jaga Saradenta gembira menyaksikan kemajuannya. Mereka
mengira, kalau kemajuannya itu diperolehnya berkat kerajinan dan keuletannya.
Dan
tahun 1804 hampir di ambang pintu. Kemajuan Sangaji bukan main hebatnya. Pernah
Wirapati dan Jaga Saradenda melatihnya satu hari penuh dan berganti-ganti,
namun ia nampak segar-bugar. Hal itu mengejutkan mereka berdua.
“Ini
aneh,” kata Jaga Saradenta. “Dari mana ia mendapatkan keuletan dan kekuatan
luar biasa itu? Napasnya tak nampak mengasur. Gerak-geriknya tak nampak
berubah. Menurutmu bagaimana?”
“Terus
terang aku tak bisa menduganya,” sahut Wirapati. “Baiklah besok akan kucoba.
Jika benar-benar ia mendapatkan pelajaran di samping kita, sudahlah berarti
gagal. Kita tak jujur lagi mempertandingkan dia dengan anak asuhan Ki Hajar
Karangpandan.”
Keesokan
harinya pada tengah hari, Wirapati dan Jaga Saradenta mengundang Sangaji datang
ke pondokannya. Mereka nampak girang. Meja penuh dengan panganan dan masakan
hangat.
“Apa
guru sedang berpesta?” tanya Sangaji heran.
“Benar!
inilah hari ulang tahunku ke-35,” sahut Wirapati membohong. “Hari ini aku ingin
menilik kecakapanmu untuk menggirangkan hatiku. Kemarilah!”
“Di
dalam rumah?” Sangaji menegas.
“Di
mana saja jadilah. Sebab di mana saja orang bisa bertemu musuh yang menyerang
dengan tiba-tiba. Bidang ciut atau lebar bukanlah soal lagi,” kata Wirapati.
Setelah
itu dengan kesehatan mengagumkan Wirapati menyerang sungguh-sungguh.
Sangaji
terperanjat. Cepat ia mundur sampai ke dinding. Hatinya terpukul, tatkala
melihat tinju gurunya hampir mengenai dada. Buru-buru ia menangkis. Semua
gerakan khas dari kedua gurunya. Karena itu Wirapati mengelak dan meneruskan
serangan dengan jurus lain.
Kali
ini Sangaji kalah cepat. Dadanya terpukul. Tetapi tenaga Wirapati mendadak
hilang seperti terhisap. Karena peristiwa itu baik Sangaji maupun Wirapati
tercengang sejenak. Sekonyong-konyong Jaga Saradenta datang menghampiri dan
membentak. “Dengan diam-diam kamu berguru dengan orang lain. Mengapa kamu
merendahkan kami berdua?”
Dituduh
demikian Sangaji terperanjat. Dengan pucat lesi ia menjawab sambil bertekuk
lutut. “Aku tak pernah menerima ajaran orang lain, kecuali guru dan kakak
angkatku Willem Erbefeld. ltupun hanya ajaran menembak pistol, senapan dan naik
kuda. Ajaran pedang yang sebenarnya hendak diajarkan terpaksa dibatalkan karena
pesan guru.”
Sangaji
berkata dengan jujur. Memang ia tak pernah mendapat ajaran ilmu dari Ki
Tanjung-biru, kecuali menerima petunjuk-petunjuk cara bersemedi dan berkat
mukjizat pohon sakti Dewadaru.
“Hai,
masih saja kamu berdusta?” damprat Jaga Saradenta garang.
Sangaji
menangis. Air matanya bercucuran keluar.
“Guru
memperlakukan aku seperti anak sendiri, bagaimana aku berani berdusta.”
“Lalu?
Darimana kamu mendapat kepandaian itu?” desak Jaga Saradenta. la benar-benar
gusar sampai kumisnya bergetaran. “Kamu pandai menghisap tenaga pukulan!”
“Menghisap
tenaga pukulan?” Sangaji heran bukan kepalang.
“Coba,
terimalah pukulan ini!” Habis berkata demikian Jaga Saradenta kemudian memukul
dengan sekuat tenaga. Sangaji tak berani menangkis, takut menyinggung perasaan
gurunya. Tapi dagingnya bergerak tanpa disadari, berkat getah pohon Dewadaru
yang memiliki kodrat alam menghisap darah. Begitu pukulan Jaga Saradenta tiba,
lantas saja berkurang tenaganya. Sangaji merasakan sakit, tetapi ia heran juga
melihat otot dan dagingnya bergerak menangkis sendiri.
“Nah!
Apa ini bukan ilmu siluman?” bentak Jaga Saradenta garang. “Dari mana kau
memperoleh ilmu ini?”
Sangaji
mulai berpikir. Teringat akan sifat pohon asli Dewadaru, hatinya bergidik
sendiri.
“Guru!
Aku bersumpah, aku tak pernah berguru kepada siapapun juga. Hanya secara
kebetulan aku menghisap getah sebatang pohon ajaib bernama Dewadaru.”
la
lalu menceritakan pengalamannya beberapa bulan yang lampau ketika menghisap
getah pohon Dewadaru di Pulau Edam. Mendengar keterangan Sangaji, Jaga
Saradenta dan Wirapati saling memandang. Diam-diam mereka bergirang hati.
“Siapa
yang menunjukkan kamu ke sana?” tanya Wirapati menegas.
“Seseorang
yang memberi petunjuk kepadaku pula, cara menyalurkan hawa dan bernapas dengan
teratur, la memberi petunjuk pula cara merebahkan badan. Aku disuruh
menghapalkan dua belas patah kata. Tenangkan pikiran—lupakan perasaan—kosongkan
tubuhmu—salurkan hawa—matikan hati—hidupkan semangat.”
Wirapati
heran. Itulah cara ilmu bersemedi tingkat tinggi, pikirnya. Pastilah Sangaji
pernah bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Di kota Jakarta ini siapakah
orangnya yang memiliki ilmu demikian? Mendapat pikiran demikian, Wirapati
menegas lagi, “Siapa dia?”
“Dia
bermaksud hendak menemui Guru pada suatu kail Tetapi ia melarang kepadaku
meng-gambarkan siapa dirinya. Bahkan aku dilarang pula menggambarkan perawakan
tubuhnya.”
Wirapati
semakin heran, la menyiratkan pandang kepada Jaga Saradenta yang berdiri
tergugu bagaikan patung.
“Di
manakah kamu bertemu mula-mula dengan dia?”
“Sewaktu
aku sedang berburu dengan keluarga Sonny. Sonnypun mengenal siapa dia.” “Sonny
mengenal dia?” Wirapati semakin terperanjat.
“Benar.
Diapun dilarang menggambarkan siapa dirinya dan bagaimana perawakan tubuhnya.
Untuk perjanjian itu aku dan Sonny mendapatkan dua ekor lutung.”
Wirapati
terpekur kini merenungkan keterangan Sangaji. Setelah mengerling kepada Jaga
Saradenta, Wirapati berkata:
“Baiklah.
Kau tunggu di luar!”
Sangaji
menurut Dengan kepala menebak-nebak ia keluar pintu dan duduk di tepi jalan
memandang lalu-lintas.
“Bagaimana
menurutmu?” Wirapati minta pertimbangan kepada Jaga Saradenta.
“Aneh,”
sahut Jaga Saradenta. “Hatiku tergetar mendengar keterangannya. Teringat aku
sifat kesaktian Sangaji, hatiku lantas saja menaruh curiga.”
“Apa
kamu teringat Pringgasakti?”
“Benar,”
sahut Jaga Saradenta cepat. “Masih teringat kata-katamu dulu, kalau dia pasti
mempunyai cara sendiri untuk membalas dendam. Siapa tahu ia mencoba meracuni
jiwa Sangaji agar kelak bisa dibuatnya alat membunuh kita berdua. Inilah
celaka, kalau sampai kejadian guru dibunuh muridnya. Daripada terjadi demikian,
lebih baik kita putuskan hubungan antara guru dan murid.”
Wirapati
merenungkan kata-kata Jaga Saradenta. Alisnya meninggi. Suatu tanda, kalau
hatinya sedang bergolak keras. Kemudian dia bangun.
“Kemungkinan
itu ada. Pringgasakti seorang iblis yang licin. Dia sengaja mempermainkan kita
agar selalu berada dalam teka-teki kita. Ini berbahaya. Baiklah, kita paksa
Sangaji memberi keterangan yang lebih jelas. Kalau sudah jelas, apa boleh
buat!”
Dengan
suara nyaring ia memanggil Sangaji agar menghadap padanya. Sangaji seorang yang
jujur dan polos, la tak berprasangka buruk terhadap perubahan sikap gurunya.
Dengan sikap tenang ia memasuki rumah. Dilihatnya kedua gurunya bersikap garang
dan besungguh-sung-guh. Sangaji heran.
“Apakah
aku bersalah? Hukumlah aku!”
Wirapati
menyahut, “Sangaji, jawablah pertanyaanku. Kamu tak perlu menambahi keterangan.
Cukup jawab ya atau tidak. Nah,—dengarkan! Apakah orang yang kaujumpai
berkepala gede dan berkulit hitam mengkilat?
*
* *
SANGAJI
diam menimbang-nimbang. Ki Tunjungbiru memang berkepala gede, tetapi kulitnya
bukan hitam mengkilat. Hanya hitam lekam. Mungkin itulah yang dimaksudkan
gurunya. Karena pertimbangan ini, ia mengangguk.
Melihat
Sangaji mengangguk, Wirapati terkejut. Hatinya lantas saja jadi bergolak. Gugup
ia mencari keyakinan lagi. Katanya tergegap, “Apa dia berambut panjang?”
Sangaji
diam mengingat-ingat, la mengangguk lagi untuk yang kedua kalinya.
“Matanya
tajam dan berbibir tebal?”
Sangaji
mengangguk.
“Tubuhnya
kekar dan berwibawa?”
Sangaji
mengangguk. Dan melihat Sangaji mengangguk untuk ke sekian kalinya, tak kuasa
lagi Wirapati mempertahankan gejolak hatinya. Tubuhnya nampak menggigil dan
alisnya meninggi dan meninggi. Jelaslah, kalau orang yang memberi pengertian
tentang ilmu bersemadi kepada Sangaji adalah Pringgasakti. Menghadapi kenyataan
demikian, tak bisa dia tinggal diam. Mau tak mau ia harus mengambil tindakan
yang bertentangan dengan wataknya yang we-las-asih. Ini semua demi memelihara
hubungan antara murid dan guru. Tapi pada detik ia mau melaksanakan kata
hatinya, timbullah suatu pertimbangan lain. Selama bergaul empat tahun dengan
muridnya, terbersitlah kesan lain dalam hatinya terhadap si bocah. Ia
menganggap si bocah seperti bagian dari tubuhnya sendiri, la yakin, kalau hati
Sangaji bersih dari semua noda. Kalau toh sampai terjadi peristiwa yang
menyedihkan itu, sebenarnya adalah di luar kekuasaannya sendiri. Terasalah
dalam hatinya, dialah yang bernasib buruk. Jaga Saradenta juga. Tak terkecuali
Sangaji. Berpikir demikian, hatinya serasa hampir meledak. Napasnya yang
menye-sak dadanya di dorongnya ke pojok jantungnya. Kemudian ia memusatkan sisa
keteguhan hati, untuk mengenyahkan keragu-raguannya.
Tiba-tiba
tatkala ia sedang bergulat dengan dirinya sendiri, terdengarlah kesiur angin
lewat disampingnya. la melihat Jaga Saradenta berkelebat dengan cempulingnya
hendak menghabisi nyawa Sangaji. Tanpa berpikir lagi, ia ikut melesat dan
membenturkan lengannya. Hebat akibatnya. Kedua-duanya terpental ke samping dan
berdiri dengan bergoyang-goyang.
“Tahan!”
seru Wirapati dengan napas memburu.
Jaga
Saradenta menghela napas. Cempulingnya dibanting ke tanah dan tertancap tegak
dengan mengaung-ngaung.
“Wirapati!
Hatimu lemah seperti perempuan!” bentak Jaga Saradenta. “Sudah jelas, kalau
muridmu seorang pengkhianat, kamu masih mau melindungi. Jelas sekali, kalau
orang yang mengajar ilmu siluman itu Pringgasakti tapi kamu masih ragu. Alasan
apalagi yang kau tunggu?”
Sekarang
Sangaji menjadi bingung menyaksikan gurunya bertengkar mengenai dirinya, la
ingin menjelaskan, kalau orang yang berkepala “gede, bertubuh kekar, bermata
tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkulit hitam itu bukanlah
Pringgasakti. Dia Ki Tunjungbiru, seorang sakti yang penuh diliputi rahasia.
Meskipun belum pernah sekali juga melihat Pringgasakti, tetapi ia yakin kalau
Ki Tunjungbiru bukanlah Pringgasakti. Sayang, ia tak diperkenankan berbicara
selain ya dan tidak atau mengangguk dan menggeleng. Kecuali itu, dia berjanji
pula dengan Ki Tunjungbiru takkan mengabarkan dirinya. Bahkan membayangkan
perawakan tubuhnya dengan kata-kata dilarangnya pula. Bagi dia, melanggar janji
adalah tabu. Mengingat hal ini, ia jadi sibuk sendiri.
“Jaga
Saradenta, sabarlah barang sebentar!” terdengar Wirapati menyabarkan. “Tuduhan
kita baru separoh benar.”
“Apalagi
yang masih meragukan?” Jaga Saradenta memotong.
“Kita
baru menduga-duga.”
“Sangaji
sudah membenarkan apa yang kaukatakan, bukankah sudah cukup jelas? Gntuk
memaksa si bocah agar menceritakan tentang dia tidaklah mungkin. Karena dia
sudah terikat suatu perjanjian, untuk merahasiakan si jahanam itu. Apa kita
harus mencincang dulu si bocah agar mau buka mulut? Cih! Kalau sekiranya
Sangaji akhirnya mau bicara, macam apa bocah itu? Tak lebih bocah picisan. Aku
tak mau punya murid picisan.”
Wirapati
terdiam. Ia berpikir keras. Memang kata-kata Jaga Saradenta tak dapat dibantah
lagi. Tapi aneh, dalam hatinya ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang belum
terang. Tapi apakah itu, tak dapat ia menebak dengan segera, la mendongakkan
kepala mencoba menemukan kekurangan itu. Kemudian berkata hati-hati seperti
kepada dirinya sendiri.
“Jaga
Saradenta, memang sudah cukup jelas alasan kita untuk mengambil nyawanya—
seandainya orang yang mengajar dia bersemadi itu benar-benar Pringgasakti.”
“Apa
dia bukan Pringgasakti?” potong Jaga Saradenta dengan suara tinggi.
“Sampai
sekarang—seperti kataku tadi—kita baru menduga-duga. Sangaji mengatakan kalau
orang itu hanya memberi petunjuk cara orang bersemadi. Apakah benar seseorang
yang hanya berlatih bersemadi dapat melawan orang semacam kita, sekiranya
Pringgasakti benar-benar ingin meminjam tenaga pembalas dendam?”
“Orang
itu tidak hanya memberi petunjuk cara bersemadi, tetapi membawa si bocah pula
ke Pulau Edam agar menghisap getah pohon siluman. Kalau Sangaji berlatih diri
selama lima tahun saja sambil menerima ajaran-ajaran ilmu kita, sudahlah cukup
tenaga untuk menghabisi nyawa kita berdua. Seandainya itu terjadi, alangkah
sejarah dunia ini akan terguncang. Bukan aku sayang kepada nyawaku yang sudah
tua ini, tetapi peristiwa pembunuhan itu luar biasa biadab dan lucu. Bayangkan
saja, kalau sampai guru dibunuh muridnya. Sebelum hal itu terlanjur, lebih baik
kita hancurkan hubungan antara murid dan guru agar kita semua luput dari noda
sejarah kemanusiaan. Bagi Sangaji sendiri, lebih baik begitu daripada bisa
hidup berumur panjang tetapi tangannya penuh berlumuran darah kedua gurunya.”
Mendengar
kata-kata Jaga Saradenta yang hebat itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Tak
sadar, air matanya bercucuran keluar. Hatinya terlalu sedih, diramalkan akan
bisa membunuh kedua gurunya dikemudian hari. Sesuatu hal yang tak pernah
terlintas dalam angan-angannya. Lagi pula bagaimana mungkin! Meskipun demikian,
ia tak berani membantah dan mengingkari. Semua kata-kata kedua gurunya pasti
mempunyai dasar alasan yang kuat.
Karena
pikiran ini, ia menjatuhkan diri ke tanah sambil menyembah. “Guru boleh
memperlakukan aku sebebas-bebasnya. Tak usah guru ragu, kalau aku akan mati
penasaran. Bunuhlah aku sekarang juga, sekiranya guru mempunyai alasan untuk
mengambil nyawaku. Karena guru berhak menghukum tiap kesalahanku.”
Wirapati
tergugu mendengar kata-kata Sangaji. Sedetik ia seperti terpaku di atas tanah,
tapi pada saat itu juga terhentaklah darah jantannya. Tak sudi ia
memperlihatkan kelemahan hatinya di depan muridnya. Itulah sebabnya, tiba-tiba
ia menjadi garang berwibawa. Berkata membentak, “Sangaji! Mengambil nyawamu itu
urusan gampang—segampang orang memutar leher ayam. Tapi aku ingin kamu mati
sebagai seorang kesatria. Tak senang aku melihat muridku menyerah kepada nasib.
Seekor cacing tanah pun akan berontak pula, kalau kena injak. Mengapa kamu tak
mempertahankan diri?”
“Bagaimana
mungkin aku berani mempertahankan diri terhadap hukuman guru? Semua ke: cakapan
yang kumiliki ini adalah semata-mata hasil jerih payah guru berdua. Kini guru
menghendaki agar aku mengembalikan semua, apakah hakku untuk mempertahankan
diri?”
“Bukan
aku menyuruhmu melawan aku, tapi pertahankan semua tuduhanku ini!” bentak
Wirapati menggigit. “Kau kutuduh menerima ajaran-ajaran dari siluman
Pringgasakti. Kau dituduh gurumu Jaga Saradenta akan mengkhianatinya di
kemudian hari. Pertahankan dirimu dari semua tuduhan itu! Apa kamu tak pandai
mempertahankan diri?”
Sangaji
adalah seorang anak yang kukuh dalam tiap kata hatinya. Apa yang telah
dilakukan, tak mau lagi ia menarik diri atau merubah-nya oleh
pertimbangan-pertimbangan lain. Pada saat itu, ia telah memutuskan bersedia
mati di depan kedua gurunya. Itulah sebabnya semua kata-kata Wirapati tak masuk
lagi dalam pertimbangannya.
Waktu
itu tiba-tiba terdengarlah suara orang terbatuk-batuk dan berkata, “Sekiranya
aku mempunyai murid berjiwa seteguh itu, aku mau mati lebih muda lagi.”
Bukan
main kagetnya Wirapati dan Jaga Saradenta. Mereka adalah tokoh-tokoh pendekar
yang jarang ada pada masa itu, meskipun demikian pendengarannya masih belum
dapat menangkap kehadiran orang pendatang itu. Suatu tanda kalau pendatang itu
bukan orang sembarangan.
“Siapa
dia?” mereka membentak berbareng.
“Itulah
dia ...,” sahut Sangaji.
“Dia
siapa?”
Tak
berani lagi Sangaji memberi penjelasan, la membungkam, meskipun tahu dengan
pasti orang itu adalah Ki Tunjungbiru. Wirapati adalah seorang yang cerdas.
Begitu melihat Sangaji beragu, lantas saja dia dapat menebak. Serentak ia
melesat keluar jendela sambil mempersiapkan senjatanya. Jaga Saradenta melesat
pula keluar pintu dengan menggenggam cempuling.
Mereka
melihat seorang laki-laki berperawakan kekar, berkulit hitam lekam, bermata
tajam, berbibir tebal, berambut panjang dan berkepala gede. Ternyata dia bukan
Pringgasakti.
“Maaf,
aku mengganggu kalian berdua,” kata orang itu, “sudah agak lama aku
mendengarkan percakapan kalian. Dan aku inilah orang yang kalian bicarakan. Orang
memanggilku Ki Tunjungbiru. Bukan Pringgasakti seperti kalian tuduhkan.”
Ki
Tunjungbiru kemudian membungkuk memberi hormat. Wirapati terdiam, lalu
mengerling kepada Jaga Saradenta. Mereka saling memandang dengan mengunci
mulut.
“Sudah
lama aku mengenal kalian berdua. Dan aku mengagumi keperkasaan kalian. Beberapa
bulan yang lalu sudah kuceritakan ke Sangaji, kalau pada suatu hari aku akan
menemui kalian berdua. Nah, sekarang aku bertemu dengan kalian, sungguh aku
bersyukur dalam hati,” kata Ki Tunjungbiru dengan takzim.
Jaga
Saradenta nampak mengerenyitkan dahinya. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu.
Waktu itu Sangaji telah berada di antara mereka. Dengan membungkuk, ia mencoba
menjelaskan, “Guru, karena dia telah menerangkan tentang dirinya, barangkali
aku telah diperkenankan pula memberi-penjelasan. Dia dijuluki orang Ki
Tunjungbiru. Menurut tutur-katanya sendiri, sebenarnya dia bukan bernama Ki
Tunjungbiru. Hanya karena dia selalu membawa-bawa tumbuhan yang menghisap
kembang Tunjungbiru ke mana dia pergi, maka ia diberi julukan demikian.”
Mendengar
keterangan Sangaji tentang dirinya, Ki Tunjungbiru tertawa riang.
“Waktu
kanak-kanak orang menyebut aku si Otong. Otong si kurus tipis seperti cancing.”
“Ah!” tiba-tiba Jaga Saradenta memotong. “Apa kamu bukan Otong Damarwijaya?”
“Hai! Bagaimana kamu mengenal namaku?” Ki Tunjungbiru terkejut.
“Wirapati!”
kata Jaga Saradenta kepada rekannya seolah-olah tidak mempedulikan pertanyaan
Ki Tunjungbiru. 'Tak mengherankan, kalau kamu belum mengenalnya. Otong Damarwijaya
adalah seorang pahlawan dari Banten. Namanya termasyhur di seluruh Jawa Barat
sebagai seorang tua pelindung rakyat kecil. Guruku—Kyai Haji Lukman
Hakim—sering memperkenalkan namanya yang harum kepada murid-muridnya. Dialah
yang meletuskan pemberontakan rakyat di seluruh Banten pada thun 1750, sehingga
Kompeni Belanda terpaksa membagi kekuatannya. Dengan begitu, secara tak
langsung ia membantu Pangeran Mangkubumi I dalam Perang Giyanti.”
“Ih,
apa perlu perang Banten diungkit-ungkit? Perang itu memalukan sejarah bangsa,
karena kami ternyata dikalahkan,” potong Ki Tunjungbiru.
“Menang
dan kalah adalah kejadian lumrah dalam suatu perjuangan. Mengapa kita mesti
malu? Meskipun perjuangan rakyat Banten bisa dikalahkan, tapi sekarang kulihat
dan kusaksikan dengan mata kepala sendiri—kalau kekalahan itu bukan merupakan
kekalahan menyeluruh. Otong Damarwijaya masih hidup. Semangat tempurnya masih
tinggi, terbukti masih tetap bersedia menjadi orang buruan. Bukankah begitu?”
“Hai!
Bagaimana kautahu?”
“Sikapmu
berhati-hati. Gerak-geriknya penuh rahasia, sampai-sampai terhadap kitapun—
kamu belum bersedia memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Gntung kamu
datang tepat pada waktunya, kalau tidak....” Jaga Saradenta menundukkan kepala.
Dalam hatinya ia menyesali diri sendiri atas perbuatannya tadi yang sembrono.
“Maaf!
Maafkan aku! Bukan maksudku, menyusahkan kalian. Satu tahun yang lalu, secara
kebetulan aku berjumpa Sangaji di tengah hutan perburuan di daerah Tangerang.
Aku tertarik pada hatinya yang jujur dan polos, la lagi bersedih hati menekuni
ajaran-ajaran kalian yang terlalu sulit baginya. Dengan seluruh kemampuannya ia
mencoba berlatih diri. Tapi mana bisa dia mampu memecahkan ajaran-ajaran ilmu
kalian yang begitu tinggi. Kukatakan kepadanya, kalau seratus tahun lagi ia
takkan mampu menyelami intisari jurus ajaran kalian.”
Wirapati
terkejut. Sebagai seorang yang encer otaknya, tahulah dia maksud kata-kata Ki
Tun-jungbiru. Secara tak langsung, orang tua itu menyesali dirinya—karena
memberi ajaran-ajaran tertentu tanpa mengingat kemampuan si bocah. Cepat-cepat
ia membungkuk hormat.
“Ini
semua adalah gara-gara gejolak nafsu kami yang berlebihan. Kami bersedia
menerima teguran Ki Tunjungbiru.”
“Eh—mana
bisa aku berani menegur kalian!” seru Ki Tunjungbiru berjingkrak. “Apa yang
kalian ajarkan sangat kukagumi. Sedikitpun tidak ada celanya. Cuma si bocah
belum menemukan titik tolak sebagai dasar latihan. Dalam hal ini tak ada
seorangpun di dunia yang dapat dipersalahkan. Sebab ini soal bakat. Soal karunia
alam. Kalau kemudian, dia kubawa ke Pulau Edam dan kuberi petunjuk cara orang
menya-lurkan semangat dan tenaga, bukanlah maksudku aku mau mengambil dia
sebagai murid. Bagaimana mungkin aku berani berlaku begitu? Meskipun demikian,
dengan setulus hati aku minta maaf kepada kalian atas kelancanganku ini.”
Wirapati
menoleh kepada Sangaji dan berkata menyesali, “Sangaji, mengapa kamu
merahasiakan hubunganmu dengan Ki Tunjungbiru Otong Damarwijaya? Kalau semenjak
dulu kamu ceritakan hal itu, pasti tidak akan ada salah sangka terhadapmu.”
Ucapan
Wirapati ini berarti memaklumi dan memaafkan semua yang terjadi. Karena itu,
baik Sangaji maupun Ki Tunjungbiru bersyukur dalam hati.
“Aki
Tunjungbiru melarangku mengabarkan tentang dirinya,” sahut Sangaji.
“Ya—ya—ya,
dia benar. Akulah yang melarang,” sambung Ki Tunjungbiru. “Soalnya, karena aku
seorang buruan. Sudah bertahun-tahun lamanya aku membiasakan diri berkelana
seorang diri. Tak mau aku dikenal orang.”
Wirapati
meraih Sangaji dan merangkulnya sambil mengusap-usap rambutnya dengan penuh
sayang.
'Tentang
salah paham ini, perkenankanlah aku mohon maaf sebesar-besarnya,” kata Ki
Tunjungbiru lagi sambil membungkuk hormat.
Wirapati
dan Jaga Saradenta membalas hormat. Hati mereka berdua tertarik akan sikap
orang tua yang sopan-santun. Mereka kemudian mempersilakannya memasuki
pondokan. Kebetulan di atas meja tersedia bermacam-macam panganan dan masakan
seolah-olah sedang berpesta. Mereka lantas saja mengge-rumuti panganan dan
masakan sambil membasahi kerongkongan sepuas-puasnya.
“Eh—perkenankan
aku si orang tua minta penjelasan barang sedikit,” kata Ki Tunjungbiru.
“Kulihat kalian bedaku luar biasa terhadap si bocah. Nampaknya semua murid
kalian, kalian perlakukan demikian hebat! Inilah suatu kemajuan luar biasa.
Sekiranya tiap perguruan bedaku begitu luar biasa terhadap murid-muridnya,
pastilah dalam sepuluh tahun lagi aku akan bertemu dengan kesatria-kesatria
perkasa untuk menggantikan angkatan tua yang sudah bangkotan seperti aku ini.”
“Kami
berdua tak mempunyai murid lain, kecuali Sangaji,” sahut Wirapati.
Mendengar
keterangan Wirapati, Ki Tunjungbiru ternganga-nganga keheranan. Tak mau ia
percaya kepada keterangan itu. Pikirnya, kalau mereka tak mempunyai murid lain,
mengapa membanting tulang berlebihan terhadap si bocah? Apa mereka berdua
mendapat bayaran tinggi? Wirapati agaknya dapat menebak kata hatinya.
“Kami
berdua datang dari Jawa Tengah. Aku Wirapati dan temanku itu Jaga Saradenta.
Secara kebetulan kami bertemu dan berkenalan. Secara kebetulan kami hidup
bersama dan merantau seperti orang gila di daerah barat. Secara kebetulan pula
kami mempunyai seorang murid yang sama. Secara kebetulan pula, kami mempunyai
panggilan hidup yang sama.”
Mendengar
keterangan Wirapati, keheranan Ki Tunjungbiru kian menjadi-jadi sampai mulutnya
terlongoh-longoh. Jaga Saradenta kemudian mengisahkan riwayat perjalanan ke
daerah barat sambil mendekap kepala Sangaji. Teringat akan perjalanan itu, ia
jadi menyesali wataknya yang terburu nafsu dan semberono. Hampir-hampir saja ia
menewaskan nyawa si bocah yang suci bersih dan patuh-setia kepada guru.
Sekarang rasa kasih-sayangnya kepada si bocah begitu besar, sampai-sampai ia
merasa susah berbicara.
“Horah!
Orang itu masih saja edan-edanan,” sela Ki Tunjungbiru.
“Apa
kau kenal Ki Hajar Karangpandan?” Jaga Saradenta dan Wirapati berkata
berbareng.
“Mengapa
tidak? Aku kenal dia dalam Perang Giyanti. Dia utusan dari Raden Mas Said.
Bukankah perawakannya agak pendek tapi kekar? Tampangnya seperti orang edan. la
orang yang mau menang sendiri. Seringkali kami bertengkar, tetapi dia seorang
kesatria yang jujur meskipun lagak-lagunya kasar. Apa yang telah dikatakan, tak
mau ia mengingkari. Seumpama dia mempunyai piutang, celakalah orang yang
berutang padanya. Dia bersedia menguber-uber orang itu meskipun bersembunyi di
ujung langit, sampai tercapai keinginannya.”
Habis
berkata begitu, Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Suara tertawanya
menggelegar, sampai meja yang penuh panganan terguncang-guncang. Diam-diam,
Wirapati dan Jaga Saradenta mengagumi tenaga gunturnya.
“Aku
pernah bertempur melawan dia selama lima hari lima malam,” kata Ki Tunjungbiru
lagi. “Perkaranya cuma sepele. Waktu itu kami masih sama-sama muda. Kehormatan
diri merupakan suatu hal yang terpenting di atas segalanya. Pada suatu sore
sehabis bertempur di sekitar Pekalongan, kami beromong-omong di tepi pantai
membicarakan tetek bengek di luar perjuangan untuk melepas lelah. Pembicaraan
tanpa dasar pegangan itu, seringkah melantur tak karuan juntrungnya.
Nah—sampailah pembicaraan pada soal kecantikan perempuan. Se-. bagai seseorang
yang dilahirkan di atas tanah Pasundan, sudah barang tentu aku membanggakan
gadis-gadis Sunda. Tetapi dia mengatakan kalau gadis Sunda kurang cantik dan
menarik. Karena perawakan tubuhnya terlalu kekar dan pantatnya terlalu besar.
Aku mendengar celaannya, hatiku jadi panas. Serentak aku mempertahankan
gadis-gadis kami. Aku jelaskan kalau tidak semua gadis Sunda berpantat besar
dan berperawakan kekar. Ada juga yang lemah gemulai, menggairahkan hati. Tapi
ia tak mau menerima keteranganku seperti adatnya yang mau menang sendiri. Aku
jadi tambah penasaran. Lantas saja aku katakan kalau gadis Jawa Tengah-pun
banyak juga yang bertubuh kekar dan berpantat yang terlalu besar. Karena
celaanku itu, ia merasa sakit hati. Kami lantas bertengkar. Akhirnya kami
bertempur lima hari lima malam. Di antara kami berdua tidak ada yang kalah atau
menang. Pada hari ke-enam kami berhenti berkelahi karena kecapaian. Ke: mudian
kami bersumpah tak akan kawin seumur hidup. Siapa yang kawin, dialah yang
kalah. Begitulah, maka sampai sekarang aku tetap membujang. Aku percaya juga,
jika dia tetap membujang. Nah, bukankah ini suatu pertengkaran edan-edanan?
Coba bayangkan bertempur lima hari lima malam dan menyiksa diri seumur hidup,
semata-mata karena perkara pantat.”
Mendengar
perkataan Ki Tunjuangbiru, mau tak mau mereka tertawa berkakakkan. Sangaji tak
terkecuali. Ia mendapat kesan luar biasa terhadap pribadi Ki Tunjungbiru dan
kedua gurunya. Mereka semua adalah laki-laki sejati yang mengutamakan kebajikan
dan budi pekerti luhur di atas segala-galanya. Meskipun pembicaraan mereka
kedengarannya ugal-ugalan, tetapi mengandung sari-sari kejantanan yang pantas
dikagumi.
Mendadak
di Liar terdengar derap kuda ber-derapan. Aba-aba dan gemerincing pedang
berkesan sangat sibuk. Ki Tunjungbiru menegakkan kepala. Dahinya berkerenyit,
alisnya meninggi dan wajahnya nampak angker. Kemudian berkata tegang, “Sangaji,
sebenarnya aku datang ke mari untuk memberi kabar padamu. Semalam secara kebetulan
aku mendengar ge-rombolan kompeni sedang berunding. Nampaknya mereka akan
berontak. Pemimpinnya seo-rang mayor yang buntung lengannya. Karena aku
mendengar mereka menyebut-nyebut nama Willem Erbefeld teringatlah aku kepadamu
tentang kakak angkatmu yang sering kauceritakan. Mereka merencanakan akan
menyerbu tangsi dan mau menangkap kakakmu hidup atau mati. Agaknya telah lama
terjadi suatu persaingan dan rasa dendam antara kakak angkatmu dan mayor yang
buntung lengannya itu.”
Mendengar
berita itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Opsir yang buntung lengannya itu,
siapa lagi kalau bukan Mayor De Groote. Mayor De Groote memang bermusuhan
dengan Willem Erbefeld. Ia berdendam besar, karena jabatannya kena geser.
Willem
Erbefeld berada di bawah komando Kapten De Hoop, ayah Sonny. Jika Mayor De
Groote hendak memusuhi Willem Erbefeld, dengan sendirinya akan berlawanan pula
dengan Kapten De Hoop. Teringat akan hal itu, serentak ia hendak bangkit.
Tetapi Jaga Saradenta mendekapnya.
“Guru,
perkenankan aku pergi sebentar,” kata Sangaji memohon.
“Jangan!
Tak usah kamu pergi. Biarkan me-' reka menyelesaikan urusannya sendiri,” sahut
Jaga Saradenta. “Kau tetap berada di sampingku.”
Jaga
Saradenta merasa menyesal atas perbuatannya yang sembrono. Tak mau ia berpisah
dengan muridnya lagi, sebagai penebus kesem-bronoannya. la ingin agar Sangaji
tetap berada di sampingnya. Karena itu, Sangaji menjadi bingung. Ingin dia
menjelaskan, betapa penting
berita
itu bagi Willem Erbefeld dan Kapten De Hoop yang sama sekali tak berprasangka
buruk pada Mayor De Groote. Tapi pada waktu itu kedua gurunya telah sibuk
mendengarkan keterangan Ki Tunjungbiru tentang diri mereka.
“Semenjak
aku kenal Sangaji, kuikuti dia dari jauh. Diam-diam aku menyelidiki keadaan
dirinya dan kalian berdua. Maafkan perbuatanku itu. Maklumlah, aku seorang
buruan. Aku harus tahu dengan pasti, kalau di belakang kejadian ini terjadi
suatu permainan yang bersih jujur.”
“Apa
kamu berprasangka buruk padaku?” potong Jaga Saradenta yang mudah tersing-gung.
Ki
Tunjungbiru tertawa melalui hidung. “Tiap orang berhak menjaga keselamatan
diri. Bukankah kalian mencurigaiku pula seolah-olah aku ini Pringgasakti?
Karena penyelidikanku itu, tahulah aku kalau kalian adalah guru-guru yang
kukagumi. Kalian sangat jujur menurunkan semua ilmu kepada si bocah. Aku tahu
pula tentang kakak-angkat si bocah, rumahnya—ibunya dan rumah kalian. Aku tahu
juga, kalau kalian sedang berjaga-jaga diri terhadap balas dendam si siluman
Pringgasakti.”
Menyinggung
tentang balas-dendam Pringgasakti, Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut sampai
berjingkrak. Serentak mereka bertanya, “Bagaimana kamu tahu tentang permusuhan
ini?”
Belum
lagi Ki Tunjungbiru menjawab pertanyaan mereka berdua, terdengarlah sebuah
kereta berhenti di tepi jalan. Sebentar kemudian, muncullah si Sonny di
pekarangan rumah. Ia memanggil Sangaji dan tatkala melihat dia, segera ia
melambaikan tangannya.
Sangaji
segan kepada gurunya. Tak berani ia menghampiri. Ia hanya melambaikan tangannya
dan memberi isyarat agar gadis Indo itu datang memasuki rumah.
Sonny
lantas saja memasuki rumah. Kedua matanya nampak merah, rupanya dia habis
menangis panjang.
“Sangaji...
ayahku... ayahku menghendaki, agar aku kawin dengan Yan De Groote...” Sehabis
berkata begitu, air matanya meleleh bercucuran.
Sangaji
tidak mendengarkan ucapan si Sonny. Ia berkata keras, “Sonny! Cepatlah kamu
pulang! Laporkan kepada ayahmu, kalau Mayor De Groote akan berontak. Seandainya
kamu bertemu dengan kakakku Willem sampaikan kepadanya, kalau dia harus berhati-hati
dan waspada jika berangkat beronda. Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan
menyerang pasukannya dan pasukan ayahmu di luar kota.”
Sonny
De Hoop kaget. Bertanya gap-gap, “Benarkah itu?”
'Tentu
saja benar!” sahut Sangaji meyakinkan. “Kami mengetahui persekutuan Mayor De
Groote. Cepat, ceritakan hal itu kepada ayahmu!”
Sonny
tegak seperti tugu. Hatinya tegang, tetapi ia tertawa. Matanya berseri-seri.
“Baik! Akan kusampaikan hal itu kepada Ayah.” Setelah berkata begitu, dengan
langkah ringan ia kembali ke jalan. Tak lama kemudian terdengarlah kereta
berkuda mulai bergerak dan lari de-ngan cepat.
Sangaji
heran. Pikirnya—ayahnya mungkin dalam bahaya, mengapa dia begitu girang? Ia
mencoba menebak lubuk hati Sonny. Akhirnya ia terkejut, “Ah! Jika ayahnya sampai
bentrok dengan Mayor De Groote, bukankah dia tak bakal kawin dengan Yan De
Groote?” Mendapat pikiran demikian, dia pun ikut bersyukur. Ia sayang kepada
Sonny dan kepada Yan De Groote kesannya bermusuhan semenjak masih menjadi anak
tanggung.
Kedua
gurunya dan Ki Tunjungbiru tak begitu memperhatikan kesibukan hatinya. Mereka
bertiga lagi tegang. Terdengar Ki Tunjungbiru berkata, “Banten, Tangerang,
Serang, Rangkas-bitung dan Pandeglang adalah daerah pengembaraanku. Sudah
barang tentu, aku tahu peristiwa pertempuran itu. Ateng, Memet, Kosim dan Acep
bisa diselamatkan, meskipun dua di antara mereka menjadi cacat seumur hidup.
Sayang, Hasan bisa ditewaskan iblis itu. Mereka
bercerita
tentang kalian. Walaupun mereka tak dapat menerangkan tentang dirimu, tapi
mereka cukup mengagumi. Dengan begitu mereka berusaha dengan sekuat tenaga
menggambarkan gerak-gerik kalian.”
“Ah,
si sembrono!” Jaga Saradenta meledak sambil menggempur meja. “Kalau bualnya
sampai kedengaran Pringgasakti...”
“Memang
iblis itu telah mengetahui belaka tentang diri kalian berdua,” potong Ki
Tunjungbiru. “Hanya saja dia belum bertindak.”
“Bagaimana
kamu tahu, kalau dia telah mengetahui keadaan kami?” Jaga Saradenta terkejut.
“Suatu
kali, di dekat Gunung Puteri kulihat sebelas panji-panji segitiga tertancap
teratur di atas tanah. Panji-panji itu bergambar tengkorak dengan tulang
bersilang. Siapa lagi, kalau bukan panji-panji iblis Abu.”
“Setiap
laki-laki di seluruh Jawa Barat yang biasa berkelana mendaki gunung dan
menuruni jurang, kenal akan panji-panji itu. Kalian pasti belum tahu dengan
pasti, kalau mereka berdua berasal dari Sulawesi dan berdiam semenjak menjadi
pemuda tanggung di sebuah Dusun Cibesi. Mula-mula mereka berdua adalah anak
murid Kyai Hasan Bafagih. Mereka melanggar tata-tertib perguruan dan menghilang
tak keruan rimbanya. Semenjak itu, mereka terkenal sebagai dua iblis yang amat
liar. Mereka mengembara dari daerah ke daerah dan membuat kekacauan dan
hura-hara di mana saja mereka berada.”
“Dan
panji-panji itu, apa artinya?” sela Wirapati.
“Suatu
tanda, kalau mereka sedang berlatih diri untuk melampiaskan dendam tertentu.
Bila mereka sedang berlatih, mereka menjauhi pergaulan. Dicarilah tempat yang
sunyi. Kemu-dian membuat garis arena sesuka hatinya dengan tanda panji-panji.
Barang siapa berani menghampiri apalagi memasuki daerah arena latihannya, tak
usah mengharapkan hidupnya lagi. Orang itu akan ditangkap dan dijadikan boneka
latihannya. Kalian pasti tahu tingkah-lakunya.”
“Ya,
tak usahlah itu diceritakan lagi. Iblis itu akan menghisap darahnya atau
menjadikan si korban itu sasaran latihannya.”
“Benar,”
sahut Ki Tunjungbiru. Ia mendongak ke atap, kemudian meneruskan. “Tertarik akan
gerak-geriknya, berhari-hari aku mencoba mengintipnya. Kulihat dia berdiri
tegak di atas gundukan tanah mengarah ke kota Jakarta. Tahulah aku dengan
segera, kalau dia mau me-lampiaskan dendamnya ke Jakarta. Hanya saja, dia
nampak berbincang-bincang.”
“Bagaimana
kamu tahu?” Jaga Saradenta tak sabar lagi.
“Dia
menggeram dan menggerung-gerung sepanjang malam dan sekali-kali dia berteriak
seakan-akan berbicara dengan roh si Abas. Katanya, Jxalau musuh yang membunuh
dirinya pasti bukan orang sembarangan. 'Beritahukan siapa dia', katanya,
berulang kali.”
Mendengar
kata-kata Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati menggeridik bulu
kuduknya.
Sangaji
nampak menjadi gelisah, karena dialah yang terutama merasa menjadi si pembunuh
Pringga
Aguna. Meskipun tidak disengaja, tapi mana bisa si Iblis Abu diberi penjelasan.
“Sejak
itu aku sering melihat dia berkasak-kusuk mengaduk kota Jakarta. Pernah juga
dia mengintip kalian berdua ketika sedang melatih Sangaji.”
“Ah!”Jaga
Saradenta dan Wirapati berteriak berbareng.
'Tapi
percayalah kalau dia belum mendapat keyakinan tentang kesanggupan kalian
membunuh adiknya,” kata Ki Tunjungbiru seakan-akan menghibur. Mendadak ia
menyambar per-gelangan Sangaji sambil berkata meneruskan, “ Ya, siapa mengira
kalau iblis Abas yang sakti mati ditangan si bocah begini lemah. Sekiranya aku
tak mendapat keterangan dari Ateng, Me-med, Kosim dan Acep mana bisa aku
percaya.
Mereka semua
jadi tegang sendiri.
Jaga Saradenta mengelus-elus
jenggotnya yang sudah menjadi putih susu. Pandangannya
gelisah merenungi atap. Kemudian berkata perlahan-lahan, menahan diri.
“Semuanya
ini, akulah yang menyebabkan timbulnya gara-gara. Seandainya aku tidak mencari
perkara, tak bakal Wirapati dan Sangaji terperosok ke dalam persoalan yang
rumit.”
“Janganlah
berkata begitu. Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang bisa disalahkan. Iblis
itu memang pantas dibasmi. Selama dia masih bebas berkeliaran di dunia ini,
mana bisa orang-orang semacam kamu tidur nyenyak. Hanya saja, hendaknya dendam
kesumat yang ber-lebih-lebihan dirubah dan diperlunak menjadi semacam kebajikan
dan tugas utama bagi tiap laki-laki sejati seperti dirimu,” tungkas Ki
Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, “Aku pun tak akan tinggal diam. Hanya saja
aku harus berhati-hati. Aku percaya, kalau si iblis itu takkan membiarkan
dirinya tersiksa dalam suatu teka-teki. Suatu kali dia akan mencari suatu
kepastian untuk melampiaskan dendam. Beberapa hari yang lalu. Kulihat
panji-panji telah berada di seki-tar kota Jakarta. Ini suatu tanda, kalau dia
bakal bertindak.”
Jaga
Saradenta dan Wirapati terkejut sampai berjingkrak. Tapi belum lagi mereka
membuka mulut, Ki Tunjungbiru telah berkata lagi, “Baiklah, kukatakan dengan
terus terang. Bukan maksudku mau merendahkan kemampuan diri sendiri atau
kemampuan kalian berdua, tetapi dengan sebenarnya kukabarkan kepada kalian
berdua, kalau menilik latihannya—Pringgasakti maju dengan pesat. Empat puluh
tahun yang lalu, dia tidak sehebat ini. Gerak geriknya sangat aneh dan sebat
luar biasa. Rupanya dia hampir berhasil mewarisi kepandaian gurunya yang
kedua.”
“Siapa
gurunya?” Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
“Sehabis
Perang Giyanti, ia memperdalam ilmunya kepada Adipati Karimun Jawa Sureng-pati,
gelarnya Jangkrik Bongol. Surengpati adalah orang yang luar biasa. Umurnya
sekarang belum melebihi 45 tahun. Tetapi mempunyai ilmu malaikat yang tak
terkalahkan. Dia adalah guru Pringgasakti dan Pringga Aguna. Mungkin juga Patih
Pringgalaya adalah muridnya juga. la termasuk salah seorang tujuh tokoh
pendekar sakti pada saat ini. Pertama, Kyai Kasan Kesambi. Kedua, Pangeran
Mangkubumi 1. Ketiga, Surengpati. Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim. Kelima,
Gagak Seta. Keenam, Kebo Bongah dan ketujuh, Raden Mas Said. Diantara ketujuh
pendekar sakti itu, tiga orang telah meninggal dunia. Kini tinggal empat orang.
Yakni, Kyai Kasan Kesambi, Surengpati, Gagak Seta dan Kebo Bongah. Kalau
Pringgosakti benar-benar telah dapat mewarisi kepandaian Adipati Surengpati,
bisa dibayangkan kehebatannya. Ia seperti harimau bersayap.”
Jaga
Saradenta dan Wirapati terhenyak. Mereka mengakui kebenarannya pertimbangan Ki
Tunjungbiru. “Bagaimana mula-mula si iblis itu bisa berguru pada Adipati
Surengpati.” Wirapati minta penjelasan.
“Menurut
kisah yang kudengar begini,” sahut Ki Tunjungbiru. “Suatu kali Pringga Aguna
dan Pringgasakti pernah bertempur dengan Surengpati. Mereka berdua bisa
dikalahkan. Dasar mereka licin dan pandai mengambil hati, mendadak saja mereka
bisa berguru kepada Adipati yang sakti itu. Mereka berdua dibawa ke Karimun
Jawa. Di kepulauan itu, mereka diasuh dan dididik. Tak lama kemudian
terdengarlah berita, kalau mereka minggat dari Karimun Jawa dengan mencuri
kitab pusaka Adipati Surengpati.”
“Jika
demikian, Adipati Surengpati takkan membiarkan dia hidup tanpa membayar
utangnya.”
“Itu
pasti. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah muridnya. Grusan muridnya adalah
urusan dalam rumah tangga. Apabila kita yang menyingkirkan dia, mana bisa
Adipati Surengpati tinggal diam. Dan jika Adipati Surengpati sampai memasuki
persoalan ini, mana bisa kita tidur dengan aman tenteram. Grusan bisa jadi
runyam dan berbahaya....”
Wirapati
dan Jaga Saradenta terdiam kembali untuk kesekian kalinya. Mereka pernah mendengar kepandaian Adipati
Surengpati yang mendapat gelar Jangkrik Bongol karena keangkeran-nya. Tapi
mereka belum mau percaya. Bahkan mereka menuduh dalam hati, kalau Ki
Tunjungbiru berbicara terlalu berlebihan dengan maksud untuk meredakan nyala
dendam kesumat. Tetapi aneh, nampaknya Ki Tunjungbiru takut kepada majikan
kepulauan Karimun Jawa itu.
“Habisnya,
apa kita menyerah tanpa perlawanan?” dengus Jaga Saradenta.
“Semenjak
aku kesompok gerak-gerik iblis itu, aku telah mencari jalan keluar
sebaik-baiknya. Itupun, sekiranya kalian berdua setuju.”
“Silakan
berbicara,” kata Jaga Saradenta.
“Harap
kalian tidak mentertawakan. Ini adalah ucapan seorang pengecut.” “Janganlah
berkata begitu. Otong Damarwi-jaya bukan seorang yang licik.”
“Terima
kasih, kalau nama Otong Damarwija-ya termasuk pula deretan orang yang sedikit
mempunyai nama,” kata Ki Tunjungbiru merendahkan diri. “Cuma saja, kali ini
bunyinya tidaklah setegar orang sangka.”
“Bicaralah!”
“Urusan
pertama yang harus kita kikis habis ialah, agar si iblis tidak lagi menaruh
curiga. Kedua, mencari akal muslihat supaya dia kabur dari Jakarta,” setelah
itu Ki Tunjungbiru menguraikan tipu-muslihatnya. Dia akan bermain sandiwara
sebagai Gagak Seta, seorang pendekar sakti yang hidup mengembara di seluruh
pelosok tanah air. Mereka berdua tetap bermain sebagai Wirapati dan Jaga
Saradenta. Hanya saja mereka wajib bedaku hormat kepadanya sebagai seorang
tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatannya.
Sebenarnya
Wirapati dan Jaga Saradenta tak sudi mengalah terhadap Pringgasakti maupun Ki
Tunjungbiru, tetapi mereka terpaksa menurut agar tak menyinggung kehormatan
tetamunya.
Demikianlah—pada
malam hari itu setelah bersantap, mereka berangkat menuju ke jurusan Cibinong.
Ki Tunjungbiru dan Sangaji berjalan di depan. Wirapati dan Jaga Saradenta
berjalan di belakang. Pada masa itu, dusun sekitar Cibinong masih merupakan
tanah pegunungan berdinding tegak tinggi. Jurang yang berada di seberang jalan
sangat curam dan penuh dengan batu-batu padas.
Wirapati
dan Jaga Saradenta menyaksikan, cara Ki Tunjungbiru dan Sangaji mendaki bukit.
Diam-diam mereka gembira menyaksikan kemampuan muridnya. Dengan tangkas Sangaji
melompat dari batu ke batu. Kadang-kadang dengan sebat menyambar akar pohon
liar untuk dibuatnya tangga merangkaki tebing. Ki Tunjungbiru dapat bergerak
dengan sebat dan mudah. Maka tahulah mereka, kalau tenaganya tidak bisa
menyamai kesanggupan Ki Hajar Karangpandan. Pantas dia dapat melawan Ki Hajar
Karangpandan selama lima hari lima ma-lam.
Wirapati
dapat merangkaki tebing itu dengan mudah. Hanya Jaga Saradenta yang sudah
berusia lanjut nampak mengangsur napasnya. Ki Tunjungbiru dan Sangaji segera
mengulurkan tangannya hendak membantu mengangkat tubuhnya. Tetapi Jaga
Saradenta seorang laki-laki yang bertabiat angkuh. Tak sudi ia menerima bantuan
itu. Meskipun tenaganya jauh berkurang daripada dulu, ia memaksa diri juga.
Akhirnya berhasil juga. Tetapi keringatnya nampak membasahi seluruh
punggungnya, meskipun demikian ia bersikap tak pedulian.
Tiba
di atas bukit, mereka melihat suatu lapangan agak luas dengan tanda panji-panji
tengkorak tertancap seperti garis. Sekarang mereka percaya benar, kalau Ki
Tunjungbiru bicara jujur. Jika dia bersikap agak segan pada Pringgasakti, pasti
juga ada alasannya.
Mereka
berempat kemudian duduk di atas batu dan merundingkan jalannya tipu muslihat
semasak-masaknya. Mereka memikirkan pula, andaikata tipu-mus-lihat itu ternyata
nanti gagal. Setelah mendapat persetujuan, mereka segera mempersiapkan diri.
Tetapi sampai hampir tengah malam, yang ditunggu tak kunjung datang.
“Eh,
mengapa dia belum juga datang?” dengus Jaga Saradenta uring-uringan. “Apa dia
sudah mampus di tengah jalan?” “Sst... lihat di jauh sana!” bisik Wirapati.
Waktu itu langit cerah. Sekalipun bukan waktu bulan purnama, tapi kecerahan
langit cukup menerangi sekitar lapangan. Jaga Saradenta mengarahkan pandang ke
dataran tanah di seberang bukit. Ia melihat setitik gumpalan hitam. Itulah
tubuh Pringgasakti yang bergerak sangat cepat dan gesit. Di bawah sinarnya
bulan yang remang-remang, iblis itu melesat seperti anak panah. Dalam waktu
beberapa detik, ia telah tiba di kaki bukit. Lantas saja dia mendaki dengan
tangkas dan ringan. Ia tak mempergunakan tenaga kaki, tapi cukup dengan
mengayunkan kedua lengannya bagai seekor burung mengibaskan sayapnya.
Jaga
Saradenta tercengang-cengang menyaksikan ketangkasannya. Diam-diam ia me-noleh
ke Wirapati dan Ki Tunjungbiru yang nampak tegang. Mestinya wajahnyapun tegang
pula.
Setibanya
di atas lapangan, Pringgasakti berdiri tegak sambil mendongakkan kepala. Di
punggungnya ternyata ada sesosok tubuh yang diikat erat pada pinggangnya. Orang
itu entah sudah menjadi mayat atau masih hidup.
Tiba-tiba
saja, Sangaji hampir memekik. Dengan cepat ia mengenal siapakah orang yang
berada di punggung Pringgasakti. Pakaian orang itu berkibaran di udara. Dia
seorang perempuan. Itulah Sonny De Hoop. Cepat Ki Tunjungbiru mendekap
mulutnya, kemudian berkata nyaring.
“Eh
bocah! Aku si tua Gagak Seta biasa berkelana menuruti kata hatiku sendiri, kali
ini terpaksa aku mendengarkan ocehanmu. Benar-benar iblis Abu masih saja
berkeliaran di sini. Kalau malam ini aku bisa beruntung bertemu dengan
tampangnya, biarlah kusuruhnya menyusul adiknya ke neraka. Apa dia belum sadar,
kalau akulah yang menyodok perut Abas sampai kecoblos?”
Pringgasakti
kaget mendengar suara Ki Tunjungbiru dan suara bocah. Ia memasang kuping.
Ketika mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, ia semakin kaget. Cepat ia meloncat
ke samping dan bersembunyi di belakang batu.
Wirapati
dan Jaga Saradenta melihat gerak-gerik Pringgasakti yang bersikap jeri tatkala
mendengar disebutnya nama Gagak Seta. Dalam hati, mereka tertawa. Hanya Sangaji
seorang yang hatinya goncang tak karuan. Maklumlah, ia memikirkan keadaan Sonny
temannya yang disayangi.
“Bocah!
Kapan kamu melihat panji-panji iblis ini?” kata Ki Tanjungbiru yang bermain
sandiwara sebagai Gagak Seta.
Sangaji
lantas saja teringat akan peranannya. Dengan mengatasi hatinya yang
berkebat-kebit dia menjawab, “Tiga empat hari yang lalu, sewaktu aku berburu
dengan keluarga Kapten DeHoop.”
“Cuh!”
Ki Tanjungbiru meludah ke tanah. “Mari kita tunggu sampai dia datang. Mana
kedua gurumu? Kalau aku nanti menghajar iblis itu jangan ikut campur seperti
dulu.”
Pringgasakti
diam tak berani berkutik. Sebagai murid Adipati Surengpati, ia kenal akan nama
itu. Gurunya sering mengatakan, kalau pada jaman itu Gagak Seta termasuk
seorang tokoh sakti yang kelima. Orang itu berkelana seperti angin. Dalam masa
lima tahun, belum tentu dapat diketemukan di mana dia berada. Dia adalah musuh
penjahat-penjahat dan pembasmi musuh-musuh rakyat. Tangannya ampuh seperti
guntur dan gerakan tubuhnya gesit secepat kilat.
“Paman!”
sahut Wirapati. “Apa dulu aku mengganggu Paman? Aku hanya melihat Paman dalam
jarak sepuluh langkah, ketika Paman membekuk iblis Pringga Aguna.”
“Ha.
Justru kamu melihat perkelahian itu, aku berkhawatir pada keselamatanmu. Kalau
Abu menaruh curiga padamu, kau bisa celaka.”
Wirapati
tertawa panjang. “Paman! Pringgasakti kabarnya memang seorang penjahat. Tapi
dengan aku, tidak ada utang-piutang. Dengan kehilangan adik seperguruannya,
cukuplah sudah menindih gelora hatinya. Dia pasti berduka. Apa itu bukan suatu
hukuman?”
Ki
Tunjungbiru tertawa riuh sambil melepaskan ilmu gunturnya. Pringgasakti
terkejut. Pikirnya, benar-benar Gagak Seta bukan nama kosong. Suaranya begini
bergemuruh seolah-olah guntur menyibakkan mega hitam. Hatinya kian ciut.
“Wirapati!”
kata Ki Tunjungbiru dengan suara berwibawa. “Pantes gurumu Kyai Kasan Kesambi
memuji kesabaranmu. Bagaimana keadaan gurumu?”
“Dia
baik-baik saja, Paman. Aku justru dikirimkan ke Jakarta untuk mengurus
pendidikan si bocah. Inilah gara-gara Hajar Karangpandan yang mengajak
mempertandingkan anak didiknya dengan kepandaian si bocah.”
Demikian
mereka bermain sandiwara. Hanya Jaga Saradenta yang masih membungkam, takut
dikenal suaranya. Maklumlah, pada masa mudanya, dia pernah bertempur melawan
iblis itu memperebutkan Jumirah anak gadis almarhum Kyai Haji Lukman Hakim.
Permainan
sandiwara itu menggetarkan hati Pringgasakti, sampai dia sibuk menduga-duga,
Gagak Seta ada di sini. Celaka. Terang-terangan dialah yang mengaku membunuh
Abas, bagaimana aku bisa menuntut balas. Kalau aku sampai terlihat, mana bisa
aku hidup lebih lama lagi?
“Paman!”
Tiba-tiba ia mendengar Wirapati berbicara. “Keadaan begini sunyi senyap.
Tanda-tanda dia tidak akan datang. Apa Paman yakin, kalau dia bakal datang?”
Ki
Tunjungbiru sengaja tidak meladeni. Ia berdiam diri menunggu kesan. Benar juga,
mendengar kata-kata Wirapati, Pringgasakti bergembira. Katanya dalam hati,
Syukur, mereka tak melihatku. Mudah-mudahan bulan itu melindungi selembar
nyawaku.
Sangaji
sendiri kala itu sedang memusatkan perhatiannya kepada Sonny dan perawakan si
iblis. Perawakan Pringgasakti memang hampir tak berbeda dengan perawakan tubuh
Ki Tunjungbiru. Kepalanya gede, tubuhnya kekar, rambutnya panjang dan
gerak-geriknya gesit luar biasa.
Mendadak
ia melihat si Sonny menggerakkan kepalanya, la bersyukur dalam hati. Gerakan
itu membuktikan, kalau dia masih hidup. Ia lantas memberi isyarat dengan
gerakan tangan, agar jangan bicara atau menunjukkan tanda-tanda telah melihat
padanya. Tetapi Sonny yang berhati polos tidak mengerti isyarat itu. Begitu ia
melihat isyarat Sangaji, lantas saja berteriak : “Sangaji! Tolong aku!”
Mendengar
teriakan Sonny, Sangaji jadi bingung. Gugup ia ingin mencegah, “Ssst! Diam!”
Tapi tanpa disadari sendiri, ia telah berbicara.
Terkejutnya
Pringgasakti tak kalah dengan si bocah. Cepat ia menotok urat nadi si gadis
sampai jatuh pingsan. Kemudian ia bersiaga menghadapi kemungkinan.
“Sangaji!
Kamu bicara dengan siapa?” tegur Wirapati.
Sangaji
agak gugup. Cepat ia berpikir. Kemudian menjawab mengada-ada, “Aku mendengar
pekik seorang perempuan. Paman Jaga Saradenta mau meloncat dan aku
mencegahnya.”
Mendengar
jawaban Sangaji, mau tak mau Jaga Saradenta terpaksa menyahut.
“Aku
si orang tua memang sangat benci kepada iblis itu. Mendengar pekik perempuan,
teringatlah aku pada Jumirah.”
“Ah,
mengapa soal lama diungkat-ungkit kembali. Berilah kesempatan kepada si iblis.
Pabila dia mau memperbaiki kelakuannya, biarkanlah dia bisa menikmati sisa
hidupnya pada hari tua,” kata Wirapati yang bermain sebagai seseorang yang
berwatak brahmana. Kemudian dengan suara memohon dia berkata kepada Ki
Tunjungbiru: “Paman Gagak Seta, apakah Pa-man mau mengampuni si jahanam itu?”
Pringgasakti
bukanlah seorang yang goblok. Begitu ia mendengar percakapan itu, segera ia
sadar. Pikirnya, Gagak Seta bukan orang sem-barangan. Jangan lagi sudah
mendengar suara orang—baru mendengar geser gerakan, sudahi-ah cukup baginya
untuk mengambil keputusan. Mengapa dia diam? Apa ini bukan suatu permainan
belaka untuk menghina diriku?
Mendapat
pikiran demikian, segera ia menggerakkan tubuhnya mau menyerang. Ki Tunjungbiru
melihat gerakan itu. Sadariah dia, kalau Pringgasakti telah menaruh curiga. Ia
menjadi cemas. Bukan mengkhawatirkan keselamatan pihaknya, tapi nyawa si gadis
mungkin takkan tertolong.
Wirapati
yang bermata tajam, segera mem-persiagakan diri. Ia masih berusaha berkata
mengada-ada, “Jaga Saradenta, apa benar kamu telah mewarisi seluruh kepandaian
almarhum Kyai Haji Lukman Hakim?”
Maksud
Wirapati mau menggerakkan Pringgasakti. Tak tahunya, kata-kata itu justru
menyinggung kehormatan si penaik darah Jaga Saradenta. Dengan menggeram, Jaga
Saradenta menyahut, “Ilmu guruku kalau diukur setinggi langit. Mana bisa aku
mewarisi seluruhnya. Ba-rangkali aku hanya kebagian sepersepuluh-nya ...”
Sampai
di situ mendadak ia ingat sesuatu. Mau ia percaya, kalau Wirapati tidak
bermaksud menghina dirinya. Dia hanya ingin menyarankan padanya agar
memperlihatkan kepandaiannya. Mendapat bintik cahaya terang ini, pikirannya
jadi jernih kembali. Kemudian ia menghampiri sebuah bengkahan batu sebesar
perut kerbau. Batu itu telah dipecah menjadi enam bagian oleh Ki Tunjungbiru
dalam melakukan perang tipu-muslihat sebaik-baiknya. Dasar ia seorang penaik
darah yang susah menghapuskan kesan kata-kata yang menusuk. Segera ia mendepak
batu itu berhamburan dengan uring-uringan. Tapi gerakan itu justru kebetulan
sekali.
Pringgasakti
yang mulai curiga, kaget menyaksikan gerakan Jaga Saradenta yang
ber-sungguh-sungguh. Batu sebesar perut kerbau kena dihamburkan dan pecah
menjadi enam potong. Inilah suatu tenaga gempuran yang luar biasa, pikirnya.
Mau tak mau hatinya gentar juga. Perlahan-lahan ia surut kembali dan
bersembunyi di belakang bongkahan batu.
“Paman!”
kata Wirapati kepada Ki Tunjungbiru. “Paman telah mengenali ilmu macam apa yang
dimiliki almarhum Kyai Haji Lukman Hakim. Apakah gempuran Jaga Saradenta tadi
sudah mirip dengan gempuran gurunya?”
Ki
Tunjungbiru tertawa riuh.
“Iblis
yang kamu cari sudah berada di sekitar sini, mengapa kalian masih bergurau?”
Ah!
Pringgasakti terkejut bukan kepalang. Terang-terangan dia telah melihatku, tapi
bersikap berpura-pura. Inilah bahaya! Jangan-jangan dia benar-benar Gagak Seta
yang hendak memberi kesempatan hidup padaku. Kalau kesempatan ini tidak kupergunakan,
kapan lagi aku bisa lolos dari pengejarannya. Berpikir demikian, lantas saja ia
muncul dari balik batu dan berkata dengan tenang, “Terima kasih atas kemurahan
hati pendekar sakti Gagak Seta. Akulah si jahanam Pringgasakti. Apakah Tuan
yang membunuh adik seperguruanku empat tahun yang lalu, biarlah perkara itu
kuhabisi sampai di sini saja ...”
Semua
yang mendengar ucapan Pringgasakti terperanjat saking herannya. Sama sekali
mereka tak mengira, kalau Pringgasakti berani muncul dengan terang-terangan.
Tadinya mereka menduga, kalau dia akan kabur dengan diam-diam.
Pringgasakti
berkata lagi, “Aku adalah seorang yang tidak ada gunanya, karena tak memiliki
kepandaian sedikitpun. Cuma melihat kemajuan anak murid Haji Lukman Hakim,
hatiku jadi tertarik. Benar-benar dia telah mewarisi ilmu Haji Lukman Hakim
yang dahsyat. Karena antara kami ada suatu ganjelan, biarlah malam ini
kucoba-coba menebus kesalahanku dahulu. Tuan pendekar Gagak Seta, izinkanlah
aku mencoba-coba mengadu tenaga dengan bakal suami anak gadis Haji Lukman
Hakirn.”
Diingatkan
kepada peristiwa yang menggarit hati, Jaga Saradenta menggeram. Tak tahan lagi ia
mempertahankan kesabarannya. Pada saat itu ia sudah mengambil keputusan hendak
mengadu nyawa. Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan mereka
semua.
Sangaji
melihat Sonny rebah di atas tanah. Tubuhnya tak berkutik. Menyaksikan keadaan
si gadis, ia menjadi khawatir. Sesungguhnya tali perhubungan persahabatannya
dengan Sonny sudah menjadi erat semenjak bergaul kurang lebih empat tahun
lamanya. Terasa dalam dirinya, kalau Sonny merupakan bagian dari tubuhnya
sendiri. Melihat Sonny sengsara, hatinya memukul. Maka tanpa mempedulikan
keperkasaan Pringgasakti, ia melompat maju menyambar lawannya itu. Sudah barang
tentu Pringgasakti tak tinggal diam. Dengan cepat se-kali, ia menangkap
pergelangan tangan si bocah.
Sangaji
pernah minum getah pohon sakti Dewadaru. Tanpa disadari sendiri, daging yang
kena sentuh lantas saja bekerja. Tangkapan tangan Pringgasakti kena dihisap,
sehingga pada saat itu juga lenyaplah tenaga cengkeramannya. Pringgasakti
terkejut bukan kepalang, la mau mengulangi lagi, mendadak saja Sangaji telah
berhasil melemparkan Sonny ke arah gurunya, la penasaran. Segera ia menambah
tenaga dan meloncat menerkam. Kali ini dia tak menangkap pergelangan tetapi
tulang sikunya. Dan Sangaji jadi mati kutu.
“Siapa
kau?” bentaknya.
Ki
Tunjungbiru segera memberi tanda isyarat sambil menunjuk ke arah Jaga Saradenta
dan Wirapati. Karena isyarat itu, Sangaji segera menjawab, “Aku Sangaji, murid
Wirapati dan Jaga Saradenta.”
Pringgasaksi
berpikir bolak-balik, muridnya begini masih muda sudah dapat meloloskan diri
dari tangkapanku. Dagingnya bisa menghisap tenaga. Macam ilmu apa ini? Baiklah
aku menyingkir dari mereka ... Setelah itu ia mendengus: “Hm! Terima kasih atas
kemurahan hati kalian.” Ia melepaskan cengkeramannya dan kabur menuruni bukit.
Sangaji
lantas lari menjauhkan diri. Ia memeriksa tangan dan sikunya. Dibawah cahaya
bulan, ia melihat bekas lima jari menyayat kulitnya. Andaikata Pringgasakti
tidak segan terhadap kesahnya sendiri, pastilah dagingnya bisa dicengkera-man
melesak ke dalam. Berpikir demikian bulu romanya menggeridik. Mereka semua jadi
berlega hati setelah melihat si iblis kabur tanpa mengadakan periawanan. Ki Tunjungbiru
segera menolong menyadarkan si gadis. Kemudian dipapah dan ditidurkan di atas
batu.
“Iblis
itu bukan main hebatnya,” Wirapati memuji, “la bisa bergerak dengan gesit.
Tang-kapannya lengket dan berbahaya. Seumpama sampai bertempur, belum tentu di
antara kita bisa selamat tanpa menderita luka parah. Pantas, guruku memuji
kesaktiannya. Ha... untung Ki Tunjungbiru mendapat akal bagus.”
“Janganlah
berkata begitu,” tegur Ki Tunjungbiru. Ia nampak berduka.
Wirapati
heran melihat Ki Tunjungbiru berduka.
“Apakah
iblis itu melukaimu dengan diam-diam?” Tanya Wirapati minta penjelasan.
“Tidak.
Tapi ada lagi yang kupikirkan,” jawab Ki Tunjungbiru. “Aku melupakan dua hal.
Yang pertama, tanpa kupikir akibatnya, aku memalsukan nama pendekar sakti Gagak
Seta. Inilah bahaya. Kedua, dia terang-terangan muncul di antara kita. Sudah
barang tentu dia mengenal kita semua dengan penciumannya yang tajam. Di
kemudian hari, apabila dia mendapat keyakinan kalau Gagak Seta tidak tahu
menahu perkara ini, pasti akan kembali membalas dendam. Sekiranya kita secara
kebetulan bisa berkumpul, itulah untung. Apabila tidak, dia bisa melampiaskan
dendamnya seorang demi seorang. Bagi kita yang tua-tua, nggak jadi soal. Selain
nyawa kita yang sudah tua tidak berharga, setidaknya kita mampu berjaga-jaga
diri. Tapi bagi Sangaji akan lain halnya. Mulai malam ini, ia justru akan
mendapat ancaman langsung. Ah, siapa mengira kalau akal tipu-musli-hat untuk
mengikis habis kecurigaannya, justru jatuh sebaliknya.”
Mendengar
keterangan Ki Tunjungbiru, semuanya jadi terdiam. Tiba-tiba Jaga Saradenta yang
masih uring-uringan, berkata nyaring, “Otong Damarwijaya, apa kerjamu di sini?
Mengapa tidak mempersatukan diri dengan kami? Wirapati dan aku dulu belum
saling mengenal. Kami masing-masing berasal dari suatu perguruan yang berbeda.
Tapi karena suatu panggilan yang sama, akhirnya kami berdua bisa bersatu.
Sekarang kita bertiga mempunyai pula kebajikan yang sama, apa celanya mulai
malam ini kita mempersatukan diri?”
Wirapati
tercengang-cengang mendengar ucapan Jaga Saradenta. Sekalipun terdengar kasar,
tapi mengandung kejujuran dan bersih. Dengan begitu tak pernah diduganya, kalau
kadang-kadang si penaik darah itu bisa mempunyai pikiran yang patut dipuji.
Lantas saja dia ikut menyetujui. Sangaji yang mendengar pembicaraan itu
ikut-ikut memuji dalam hati, mudah-mudahan Ki Tunjungbiru menyetujui. Sebagai
seorang anak yang tingkatannya lebih rendah, tak berani dia mencampuri urusan
mereka.
Ki
Tunjungbiru nampak berbimbang-bimbang sebentar. Ia menyiratkan pandang kepada
Jaga Saradenta, Wirapati dan Sangaji kemudian mendongakkan kepalanya ke udara.
Lama ia terpekur.
“Saran
itu adalah buah pikiran yang bagus. Tapi Otong Damarwijaya sudah empat puluh
tahun lebih mengembara ke seluruh Jawa Barat. Otong Damarwijaya bukan lagi
kepunyaan Ki Tunjungbiru. Dia sudah menjadi bagian dari milik rakyat Jawa
Barat. Selama daerah Jawa Barat masih ada manusia jahat yang hidup, Otong Damarwijaya
takkan pergi meninggalkan. Karena itu maafkan. Terpaksa aku menolak tawaran
yang bagus dan jujur itu.”
Semua
yang mendengar jadi kecewa, tetapi tak dapat membantah. Apa yang dikatakan Ki
Tunjungbiru memang benar belaka. Suatu pang-ucapan yang membersit dari hati
nurani yang suci.
Wirapati
dan Jaga Saradenta tak berani memaksa lagi. Sebagai tokoh-tokoh pejuang, mereka
memaklumi arti pengucapan Ki Tunjungbiru.
“Jika
begitu, maafkan kelancanganku tadi,” kata Jaga Saradenta merendahkan diri. “Aku
lupa, kalau Otong Damarwijaya adalah seorang pejuang yang bersedia mati untuk
rakyat dan tanah air. Kalau tidak memiliki hati jantan, masakan perkara pantat
besar bersedia tidak kawin untuk seumur hidup.”
Mendengar
ujar si penaik darah, semua jadi tertawa berkakakkan. Ingatlah mereka kisah
perkelahian antara Otong Damarwijaya dan Hajar Karangpandan pada masa mudanya
selama lima hari lima malam. Itu adalah kisah ugal-ugalan, tapi penuh
kejantanan.
“Baiklah
sekarang begini saja,” kata Ki Tunjungbiru sejurus kemudian. “Perkara
perhubungan kita bisa diatur. Berilah tanda-tanda tertentu sebagai suatu
berita, apabila pada suatu hari kalian pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha
mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu aku bisa mendapat jalan lain untuk
menghabisi si iblis.”
“Sebenarnya
apa kita bakal kalah melawan jahanam itu?” potong Jaga Saradenta.
'Tenis
terang kuakui, melihat gerak-gerik Pringgasakti yang luar biasa itu, tingkatan
ke-pandaiannya berada di atas kita. Sekiranya tadi terpaksa bertempur, belum
tentu kita bertiga dapat memenangkannya. Agaknya Kitab Pusaka Adipati
Surengpati yang dibawanya lari itu cukup berharga untuk dibeli dengan nyawa.
Hanya saja aku yakin, kalau dia belum mencapai tingkatan yang sempurna.
Andaikata dia merasa diri sudah sempurna, masakan dia begitu ragu ketika
mendengar gertakan kita. Tapi sebentar atau lama, tingkatan itu pasti akan
dapat dicapainya. Ini bahaya! Si iblis pasti tak gampang ditaklukan...”
“Hm...
mudah-mudahan dia mampus sebelum mencapai tingkatan itu,” Jaga Saradenta
mengutuk.
“Kalian
pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu
aku bisa mendapat jalan lain untuk menghabisi si iblis.”
“Sebenarnya
apa kita bakal kalah melawan jahanam itu?” potong Jaga Saradenta.
'Terus
terang kuakui, melihat gerak-gerik Pringgasakti yang luar biasa itu, tingkatan
ke-pandaiannya berada di atas kita. Sekiranya tadi terpaksa bertempur, belum
tentu kita bertiga dapat memenangkannya. Agaknya Kitab Pusaka Adipati
Surengpati yang dibawanya lari itu cukup berharga untuk dibeli dengan nyawa.
Hanya saja aku yakin, kalau dia belum mencapai tingkatan yang sempurna.
Andaikata dia merasa diri sudah sempurna, masakan dia begitu ragu ketika
mendengar gertakan kita. Tapi sebentar atau lama, tingkatan itu pasti akan
dapat dicapainya. Ini bahaya! Si iblis pasti tak gampang ditaklukan...”
“Hm...
mudah-mudahan dia mampus sebelum mencapai tingkatan itu,” Jaga Saradenta
mengutuk.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 9 ORANG BERKEPALA GEDHE di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 9 ORANG BERKEPALA GEDHE"
Post a Comment