BENDE MATARAM JILID 7 SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA
WIRAPATI girang
bukan main. Sangaji
telah cfiketemukan. Kini
tinggal menunggu Jaga Saradenta pulang dari penyelidikan ke
luar kota. Seminggu sekali Jaga Saradenta datang ke pondokan dan membawa berita.
Adakalanya sampai satubulan. Dia pasti girang, kata Wirapati dalam hati, nanti
malam biar kuajaknya mulai bekerja. Mudahmudahan dia datang. Sekiranya tidak,
biarlah kumulai dahulu. Waktu berarti pedang. Satu hari lengah berarti
terkikisnya waktu yang
dijanjikan. Hm—tinggal empat
tahun. Kalau Sangaji mempunyai bakat, agaknya masih ada
waktu. Mendadak saja timbullah suatu pikiran lain. Eh, sekiranya Sangaji nanti
malam tak datang apa yang akan kulakukan?
Bukankah hati kanak-kanak
seringkali berubah? Celaka—aku
belum tahu rumahnya. Memikir
demikian, cepat ia kembali
ke lapangan. Sangaji
baru saja melangkahkan
kaki meninggalkan lapangan. Ia girang. Mau dia percaya, kalau selama itu
Sangaji masih tertegun-tegun memikirkan kehebatannya yang diperlihatkan tadi.
Ia
kuntit si anak dari jauh. Setelah memasuki tangsi ia segera berhenti.
Ih!
Anak Willem katanya, Wirapati berpikir. Tak boleh dia dihinggapi perasaan itu.
Betapa baik si Willem dia bukan bangsa sendiri. Di kemudian hari siapa tahu
bisa menyulitkan Sangaji.
Wirapati adalah
seorang yang tebal
rasa ke-bangsaannya. Jika
tidak, tak mungkin
dia mendekati Sangaji ketika
digebuki pemuda-pemuda Belanda.
Sungguh tak diduganya
ia bertemu dengan si anak yang sudah dicarinya selama delapan tahun.
Tiba-tiba ia
melihat suatu kesibukan
di dalam tangsi.
Dua orang kompeni
datang dengan menunggang kuda
yang dilarikan amat
cepat. Ia menduga
pastilah terjadi suatu
warta yang harus disampaikan kepada
komandan tangsi. Dan wartaitu mestinya sangat penting. Tak lama kemudian
setelah dua orang kompeni itu masuk ke dalam tangsi, didengarnya bunyi terompet
melengking ke udara.
Dari dalam los-los
kompeni muncullah serdadu-serdadu dengan
sibuk dan riuh. Mereka
berlari-larian dengan berderap-an. Senapan-senapan mereka
tak sempat dipanggul, hanya
dijinjing atau diseret sambil membetulkan letak bajunya.
Mereka
berbaris dengan teratur rapih. Cepat dan berdisiplin. Wirapati yang menonton di
luar lantas berpikir, mereka teratur rapi dan berkesan perkasa. Pantas mereka
bisa menjelajah dan menjajah
tanah-tanah dan negeri-negeri
yang dikehendaki. Ah—sekiranya
kita mempunyai tentara begitu
teratur dan disiplin, pastilah tak gampang Belanda menginjak-injak negeri kita.
Seperempat jam kemudian
mereka berbaris keluar
tangsi. Panji-panji pasukan
dan bendera berada di
depan barisan. Mereka
membawa genderang dan
terompet. Di barisan
belakang berjalanlah pasukan berkuda. Penunggangnya menghunus pedang
panjang. Di tiap pinggang tergantung sepucuk pistol. Tanpa merasa Wirapati memuji: “Hebat!” Lantas
ia menduga-duga ke mana mereka akan pergi dan mengapa begitu sibuk. Karena
pikiran itulah ia segera menguntit.
Dasar dia usilan. Setiap kali merasa tertarik takkan puas sebelum Mendapat penjelasan.
Watak itu pulalah
yang membuatnya kini
merantau ke Jakarta
sampai delapan tahun lamanya. Gara-gara bertemu dengan serombongan
penari yang aneh.
Pasukan tentara
yang berjumlah kurang
lebih 500 orang
itu berbaris ke
lapangan. Mereka membuat suatu
bentuk barisan. Kemudian
menunggu, sedangkan para
perwira sibuk .berunding.
Ah—kiranya ada pembesar yang datang, Wirapati menduga. Kemudian ia pergi
meninggalkan lapangan hendak cepat-cepat
pulang ke pondokan
untuk menunggu kedatangan
Jaga Saradenta. Mendadak saja ia melihat barisan lain mendatangi. Barisan
itu terdiri dari sepasukan tentara berkuda. Jumlahnya kurang lebih 250 orang.
Sebenarnya tidak
ada yang istimewa.
Kejadian itu adalah
peristiwa lumrah. Tapi
Wirapati tertarik pada suatu
penglihatan lain. Di
depan barisan yang
mendatangi itu, nampaklah
dua puluh orang berkuda yang mengenakan pakaian seragamKasultanan
Yogyakarta. Yang berada di
depan seorang pemuda
ganteng. Umurnya belum
melebihi tiga puluh
tahun. Kagetnya, ia mengenal wajah pemuda itu. Dialah si pemuda yang
membunuh salah seorang anggota
rombongan penari yang
aneh. Dia pulalah
yang melarikan Sapartinah,
isteri Wayan Suage.
Cepat
ia bersembunyi di belakang pagar rakyat yang datang melihat dengan
berduyunduyun. Ia mengintai si pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Seperti
dahulu pakaian yang dikenakan si pemuda mentereng. Dia didampingi oleh dua
orang laki-laki yang berparas buruk. Yang sebelah kiri berkepala gede, kulitnya
hitam legam bagaikan orang hutan. Yang
sebelah kanan seorang laki-laki bermata sipit, matanya menjorok ke dalam,
mulutnya lebar dan berkulit keputih-putihan sepertiorang sakit kuning. Kesan
penglihatan dua orang itu menggeridikkan bulu roma.
Di belakang
si pemuda berderet
tujuh belas prajurit Kasultanan Yogyakarta
dengan tanda pasukan pengawal
kepatihan. Wirapati mengira si pemuda itu anak Patih Danureja II—sahabat VOC di
Jakarta.
“Sudah
datang! Mereka datang!” tiba-tiba serombongan pemuda-pemuda Belanda berteriak
di dekat Wirapati. Pemuda-pemuda ini mengenakan pakaian preman. Di antara
mereka terdapat seorang gadis kira-kira
berumur enam belas
tahun. Gadis itu
keturunan Belanda (Indo) wajahnya cantik
dan keagung-agungan. Perawakannya
langsing padat dan
gayanya mulai dapat menggiurkan
penglihatan. Dia ikut
berteriak pula: Suaranya
nyaring bercampur girang.
Diam-diam
Wirapati berpikir, kenapa mereka seolah-olah menyatakan syukur?
Mendadak seorang
pemuda berseru kepada
gadis itu. “Hai
Sonny! Itulah Pangeran
“Bumi Gede. Kau nanti bertugas melayani dia.”
“Dih!
Aku? Mengapa aku?” sahut si gadis dengan mencibirkan bibir.
Pemuda itu
tertawa berkakakkan. Teman-temannya yang lain
menyumbangkan tertawanya pula.
Mereka lantas menggoda.
“Dia
seorang Pangeran Baron wilayah Bumi Gede.”
“Mana
itu Bumi Gede,” potong si gadis dengan suara dingin.
Mereka
tak dapat menjawab pertanyaan si gadis. Pemuda yang mula-mula berkata mendekati
si gadis.
“Dia
tamu pemerintah. Dan kau bagian protokol. Apa perlu mesti minta penjelasan
tentang tamu itu atau negeri asalnya? Dia datang dari Yogyakarta. Mestinya Bumi
Gede termasuk kerajaan Yogyakarta.”
Ternyata
mereka adalah pegawai-pegawai Bataafse Republik. Hari itu mereka menerima
kabar, Pemerintah Belanda di
Jakarta akan mendapat
kunjungan utusan dari
sekutuannya di Yogyakarta.
Pangeran Bumi Gede adalah utusan Patih
Danureja II yang hendak mengadakan suatu perserikatan rahasia. Seperti
diketahui PatihDanureja II adalah lawan Sultan Hamengku Buwono II.
Dia bertujuan menggulingkan
Sultan Hamengku Buwono
II dari tahta
kerajaan.
Untuk
mencapai maksud itu dia berserikat dengan Pemerintah Belanda di Jakarta.
“Siapa
nama Pangeran itu?” tiba-tiba si gadis bertanya.
Pemuda
itu ternganga mendengar pertanyaan gadis itu. Dia lantas tertawa panjang.
“Mengapa
tanya kepadaku? Tanyalah sendiri!” jawabnya menggoda.
Teman-temannya tertawa
berkakakkan. Wajah si
gadis lantas saja
berubah merah jambu.
Cepat-cepat
ia membela diri.
“Bukankah lebih
memudahkan pelayanan, jika
aku mengenal namanya
terlebih dahulu?
Dengan
begitu rasa kaku akan dapat terkikis cepat.”
“Huuuuu...!”
Pemuda-pemuda menyahut seperti koor nyanyian.
“Apa
huu ...?” si gadis sakit hati. “Selain aku kanada pula Helia, Nelly, Maria,
Anneke, Thea,
Isabella
... mengapa menduga yang bukan-bukan?”
Wirapati menyingkir
jauh. Tak senang
ia mendengar percakapan
itu. Hatinya lantas
saja menangkap suatu firasat buruk. Diam-diam ia berpikir, Pemerintah
Belanda menaruh perhatian besar terhadap kedatangan mereka, sampaisampai
menyediakan suatu pelayanan khusus. Ada apa?
Mendadak
teringatlah dia kepada peristiwa perebutanpusaka Bende Mataram dan keris Kyai
Tunggulmanik.
Terloncatlah di benaknya. Ah! Apakah
kedatangan mereka di sini bukan untuk sesuatu maksud keji? Pemuda itu
terang gila kekuasaan, martabat dan uang. Bagaimana tidak?
la
mengutuk Pangeran Bumi Gede kalang kabut. Baiklah kukuntit saja dari jauh,
pikirnya. Nanti malam akan kucoba
mengintip pembicaraannya. Sekiranya sampai
menjual kemar-tabatan bangsa dan
negara untuk memuaskan nafsunya sendiri,biarlah kucoba-coba mengadu nyawa
dengan jahanam itu. Kalau berhasil ini namanya sekali tepuk dua lalat mati
sekaligus.
Wirapati
lantas menguntit barisan itu. Mendadak ia melihat suatu penglihatan lain. Di
belakang barisan utusan dari Yogyakarta berjalanlah lima orang laki-laki yang
diikat oleh rantai panjang.
Mereka
dipaksa berjalan dengan dicambuki tiada henti.
“Ih!
Kenapa?” Wirapati menebak-nebak.
Melihat
orang-orangnya mereka bukan golongan perampok atau begal. Mereka bersikap
berani melawan dan tak sudi merasakan pedihnya cambukan cemeti. Mereka saling
memandang dan saling memberi isyarat. “ Aneh, pikir Wirapati—kalau
penglihatanku hari iri kuceritakan kepada Jaga Saradenta belum tentu dia
percaya.
Barisan
itu segera disambut barisan 500 serdadu kompeni yang datang dari tangsi.
Kemudian diantarkan masuk kota. Rakyat berdiri berjejalan dipinggir jalan
dengan sorak-sorai. Tak hentihenti mereka membicarakan rombongan tetamu yang
masih asing baginya.
Wirapati menyelinap
di antara mereka.
Dari jauh dia terus
menguntit dengan diam-diam.
Ternyata
rombongan utusan dari Yogyakarta itu memasuki gedung negara. Sebentar mereka
mengikuti
upacara-upacara penyambutan, kemudian menghilang di dalam gedung negara.
Wirapati
menunggu sampai gelap malam tiba. Niatnya
sudah pasti, mau mendengarkan pembicaraan Pangeran
Bumi Gede dengan
Pemerintah Belanda, la
akan menyelinap memasuki gedung negara
dan melompati genting.
Sekalipun gedung negara
dijaga rapat oleh
serdaduserdadu, ia merasa sanggup mengatasi.
Selain
Wirapati berwatak usilan, sesungguhnya dia seorang kesatria yang menaruhkan
darma di atas segalanya. Pahit getir sebagai akibat pakarti itu tak diindahkan.
Delapan tahun yang lalu, seumpama
tak bertemu dengan
rombongan penari aneh
dari Banyumas, tidaklah
bakal dia berlarat-larat sampai
ke Jakarta.* Meskipun demikian, sama sekali tak pernah mengeluh. Kali ini dia
berjumpa dengan si
gadis Sonny dan
melihat lima orang
perantaian. Sama sekali
tak diduganya juga, kalau
di kemudian .hari
dia akan mengalami
kesulitan-kesulitan baru.
Pengalamannya yang
pahit seolah-olah tiada
mampu menyadarkan. Kesadaran
seolah-olah kena bius. Maka terasalah dalam hati manusia, manusia ini
benar-benar merupakan permainan hidup belaka di mana dia harus menanggung akibat
kepahitan yang tak kuasa menolaknya.
Demikianlah—selagi dia
membulatkan tekad hendak
mengintip pembicaraan rahasia
antara Pangeran Bumi Gede
dengan pihak Pemerintah
Belanda di Jakarta,
gelap malam turun perlahan-lahan. Sekitar
gedung negara mulai
sunyi. Yang terdengar
hanya derap langkah serdadu-serdadu mengatur penjagaan
dan suara tertawa riang di dalam gedung.
Wirapati menjenguk
ke dalam. Terlihat
lampu menyala terang benderang.
Sebuah kereta berkuda berderap
memasuki halaman. Tepat
di depan pintu,
kereta berhenti. Delapan
gadis keturunan Belanda turun
berloncatan. Mereka mengenakan
pakaian modern pada
jaman itu, dan berbisik-bisik sangat
sibuk. * Syukur!
Terang mereka belum
mengadakan pembicaraan resmi,
Wirapati menduga. Sebab di antara ke delapangadis itu ia mengenal si Sonny.
Pastilah itu teman-temannya yang disebutkan tadi yang bertugas menjaga
kesenangan Pangeran Bumi Gede.
Mendadak
selagi sibuk menduga-duga dilihatnya pengawal Pangeran Bumi Gede yang berkulit
kuning keputih-putihan meloncat ke dalam kereta. Sais segera menghentak kendali
dan kudakuda penarik terbang keluar halaman.
Wirapati
mendekam cepat. Setelah kereta lewat, ditegakkan kepalanya. Kembali ia
menduga-duga, orang itu agaknya telah mengenal kota Jakarta. Dia pergi tanpa
penunjuk jalan. Apakah ada sesuatu yang penting yang akan dikerjakan?
Mendadak,
sekali lagi ia melihat sesosok bayangan yang mencurigakan. Sesosok bayangan itu
berkelebat melintasi jalan
menghampiri dinding pagar.
Ternyata dia menengok
ke dalam, kemudian melesat
menjauhi.
Tertarik
akan sepak terjang orang itu, Wirapati segera mengejar. Pikirnya, satu jam
lagi, belum tentu pembicaraan resmi
dimulai. Baiklah ku-kuntit
orang itu, apa
maksudnya menengok gedung negara.
Dalam
hal kecepatan Wirapati melebihi kesanggupan orang lain. Sebentar saja ia sudah
dapat menyusul. Betapa kagetnya ia, ternyata orang itu adalah Jaga Saradenta.
“Jaga
Saradenta!” panggilnya.
“Aih!” Jaga
Saradenta terkejut seperti
tersengat lebah. Cepat
ia berhenti dan
berputar
mengarah ke
Wirapati. Berkata setengah
meminta, “Pulanglah dulu
ke pondok! Jangan
ikuti aku!”
Wirapati
heran mendengar kata-katanya.
“Kenapa?”
Jaga
Saradenta tak menjawab. Ia melesat lagi. Wirapati jadi penasaran. Ia mengejar
dan sekali melesat telah dapat menjajari.
“Jaga
Saradenta! Mengapa kau begini?”
“Hm,”
Jaga Saradenta berhenti berlari. “Sejak kapankau berada di sekitar gedung
negara?”
“Sebelum
matahari tenggelam.”
“Musuhku telah
muncul kembali. Kautahu?
Itulah musuhku semenjak
jaman Perang Giyanti.
Aku
akan mengadu nyawa. Ini soalku, karena itu janganlah sampai kau terlibat.”
Wirapati dan
Jaga Saradenta telah
berkelana delapan tahun lamanya
mencari Rukmini dan Sangaji. Meskipun tak pernah mengangkat
saudara, tetapi dalam hati mereka masing-masing telah saling dekat dan akrab.
Maklumlah, mereka sesama sependeritaan, sekata dan setekad, seia dan setujuan.
Rasa persaudaraan mereka melebihi rasa persaudaraan biasa. Keruan saja
mendengar kata-kata Jaga
Saradenta, Wirapati ter-peranjat.
Lantas saja mendamprat
tak senang.
“Eh—sejak
kapan kau berubah?”
Jaga Saradenta
menghentikan langkahnya. Ia
memandang Wirapati dan
mencoba memberi penjelasan.
“Permusuhanku itu
terjadi sebelum kau
mengenal matahari. Terjadi
semasa Perang Giyanti, Tahun 1750. Karena itu apa perlu kau
terlibat pula?”
“Musuhmu adalah
musuhku pula. Samalah
halnya perjalananku ke
daerah barat ini
adalah perjalananmu pula. Perlukah aku bersumpah sehidup semati?” sahut
Wirapati tegas.
Jaga
Saradenta terharu. Ia menyenak napas dalam. Sejurus kemudian dia berkata,
“Hari ini
di Jakarta terjadi
suatu peristiwa. Pemerintah
Belanda lagi menyambut
utusan dari Yogyakarta. Di antara
mereka terdapat musuhku.”
“Eh—apakah
si pemuda yang membawa lari Sapartinah isteri Wayan Suage?” potong Wirapati.
Jaga
Saradenta tercengang-cengang. “Yang mana?”
“Aku
tadi melihat juga kedatangan rombongan utusan
itu. Kukuntit mereka sampai di gedung negara.”
“Ih!
Jadi dia ada juga?”
Wirapati
kini heran berbareng menebak-nebak.
“Lantas
yang mana musuhmu?” tanyanya.
“Kau
melihat dua orang yang bermuka luar biasa buruknya? Yang satu berkulit hitam
dan yang lain berkulit kuning keputih-putihan. Itulah dua iblis terbesar di
jaman ini.”
“Siapa
mereka?”
“Pringgasakti
dan Pringga Aguna,” jawab Jaga Saradenta.
Wirapati
kaget sampai terjingkrak. “Bukankah merekasudah lama mati?”
“Dari
mana kautahu?”
“Guruku
senngkali mengisahkan riwayat orang-orang gagah dan orang-orang sakti di
jamannya.
Disinggungnya
juga tentang nama dua iblis sakti itupada jaman Perang Giyanti. Pringgasakti
dan
Pringga Aguna yang dulunya bernama si Abu dan si Abas. Diceritakan, kalau kedua
iblis itu mempunyai kebiasaan yang
luar biasa biadab.
Mereka menculik gadis-gadis
mumi untuk diperkosanya dan dihisap
darahnya, semata-mata untuk mempertahankan ilmu saktinya.”
“Betul!”
potong Jaga Saradenta bersemangat, -kupun menyangka, kalau kedua orang itu
sudah lama mampus. Tak tahunya bersembunyi z. sini. Entahapa yang dikerjakan.
Nyatanya mereka berdua ditunjuk Pemerintah
Belanda menjadi anggota penyambut
tamu resmi,” ia berhenti
sebentar. Napasnya menyesak.
“Gu-mmu telah menceritakan
riwayatnya, tetapi belum
pasti tentang kesaktiannya secara
terperinci. Kau belum
mengenal mereka. Karena
iu lebih baik kamu
melarikan diri dari
Jakarta sebelum mereka
mengetahui siapa kau
sebenarnya. Sebab mereka berdua
adalah musuh §uumu pula.” Jaga Saradenta mencoba mene-rangkan.
“Melarikan
diri?” Wirapati tersinggung. Suaranya tiba-tiba sengit. Mendamprat, “Apalagi
mereka berdua adalah musuh guruku, mana bisa aku ngacir seperti maling?”
Menyaksikan
orang begitu mantap tekadnya, Jaga Saradenta akhirnya mau juga mengerti, la
mengajak Wirapati minggir ke tepi jalan dan berkataperlahan.
“Baiklah
kuceritakan dulu lebih jelas, agar kelak kamu tak menyalahkan aku jika terjadi
suatu malapetaka. Pringgasakti dan Pringga Aguna dulu bernama si Abu dan si
Abas. Asal negerinya kurang jelas. Tetapi nama itu sebenarnya pemberian gelar
dari Patih Paku Buwono II Kartasura yang
bernama Pringgalaya. Ada
satu dugaan pula,
kalau Abu dan
Abas itu saudara seperguruan Patih
Pringgalaya. Nyatanya mereka
berdua sangat sakti.
Meskipun termasuk golongan sesat,
sekarang kita berdua membuk-tikan kebenaran keyakinannya. Tahukah kamu mengapa mereka
memperkosa gadis-gadis dan
menghisap darahnya? Dulu ada
suatu kepercayaan, barang siapa
dapat memperkosa gadis
dan menghisap darahnya
akan dapat berumur panjang
dan awet muda.
Nyatanya si jahanam
Abu dan. Abas
sampai kini masih nampak perkasa dan gagah. Padahal
umurnya kutaksir.sudah lebih dari 80 tahun.”
“Ih!” Wirapati
menggeridik. “Selama itu
berapa jumlah gadis-gadis
yang sudah menjadi korbannya?”
“Jangan
tanya lagi. Ratusan sudah jumlahnya.”
“Mereka bagaikan
iblis, mengapa orang-orang
sakti dan orang-orang
gagah pada jaman
itu tidak beramai-ramai mengkerubutinya?”
“Hm... mudah
dikatakan,” sahut Jaga
Saradenta cepat. 'Tetapi
nyatanya mereka tak
mampu memampuskannya.
Pertama-tama, karena mereka
sangat licin. Mereka
mempunyai ilmu penciuman yang lebih tajam
melebihi panca rafera
kita. Mereka pandai
mengetahui gelagat buruk. Setiap
kali akan kepergok,
selalu saja dapat menghindarkan diri.
Dan kedua, mereka mendapat perlindungan penuh dari Patih
Pring-galayadan kompeni Belanda.”
Makin
larna makin tertariklah hati Wirapati mendengar keterangan Jaga Saradenta.
“Kamu
benar. Meskipun guruku kerapkali me-nyriggungnama orang-orang sakti, beliau
enggan mengisahkan riwayat orang-orang sesat sampai jelas.” Wirapati terus
mendesak.
“Aku
tahu sebabnya, karena gurumu khawatir akan meracuni kebersihan hati
murid-muridnya,”
jawab Jaga
Saradenta. “Dengarkan kuceritakan.
Patih Pringgalaya adalah musuh
Pangeran Mangkumi 1. Pada
suatu hari terjadilah
suatu pemberontakan di
daerah Sukawati yang dipimpin
oleh Raden Mas
Said dan Panembahan
Martapura. Paku Buwono
II membuat pengumuman— “Barang
siapa dapat mengalahkan
kedua pemimpin pemberontak
itu akan mendapat hadiah tanah
Sukawati.” Pangeran Mangkubumi 1,—adik Paku Buwono II—tampil ke depan. Dengan
diam-diam Patih Pringgalaya mencoba untung pula, Pangeran Mangkubumi I berhasil mengusir
kedua pemimpin pemberontak
itu. Patih Pringga-laya
iri hatinya. Dengan pengaruhnya ia
mencoba mendesak Paku
Buwono II agar menggagalkan hadiah
itu. Paku Buwono II
yang lemah hati
mendengar bujukan Patih
Pringgalaya. Hadiah tanah
Sukawati dibatalkan. Pada tanggal
19 Mei 1746,
Pangeran Mangkubumi 1
meninggalkan istana dan menggabungkan diri
dengan pemberontak. Itulah
asal mula terjadinya
Perang Giyanti. Paku Buwono II gentar menghadapi adiknya.
Tapi Patih Pringgalaya membesarkan hatinya. Lantas saja dia minta bantuan
kompeni dengan menjanjikan tanah-tanah kerajaan diluar pengetahuan Paku Buwono
II. Di samping itu dia mengumpulkan orang-orang sakti dan orang-orang gagah.
Di
antara mereka terdapat si Abu dan si Abas.” Ia berhenti sejenak. Kemudian
diteruskannya.
“Kedua orang
itu ditemukan sewaktu
terjadi pemberontakan bangsa
Tionghoa. Mereka abdi kepercayaan Raden
Mas Garendi yang
diangkat oleh masyarakat
Tionghoa menjadi Sultan Kuning. Sewaktu bangsa Tionghoa
menggempur istana Kartasura, mereka berdua itulah yang memimpin. Gadis-gadis
istana banyak yang
hilang dan kedapatan mati
kaku dengan tengkuknya terluka
parah bekas kena
hisap. Patih Pringgalaya
dan Pangeran Mangkubumi
I tampil ke depan, waktu itu mereka berdua masih hidup rukun, dan
berhasil mengalahkannya.
Sedianya
hendak dihukum mati, tapi mereka tak mempan kena senjata. Diam-diam Patih
Priggalaya
berpikir lain. Dia seorang yang cerdik dan pandai memilih pengikut. Mungkin
juga pada waktu itu dia sudah mempunyai rencana-jencana tertentu. Maka dengan pengaruhnya ia memohonkan ampun
kepada Paku Buwono
II. Dan semenjak itu,
Abu dan Abas
menjadi pengikut setianya dan
diberi hadiah gelar
Pringgasakti dan Pringga
Aguna. Dalam Perang Giyanti mereka
berdua sangat disegani pengikut-pengikut Pangeran
Mangkubumi I. Akhirnya gurumu tampi
ke depan. Waktu
itu gurumu berusia
tigapu-uhan tahun, sedangkan
aku baru berumur uang lebih 20
tahun. Aku dipilih gurumu sebagai pembantu. Gurumu lantas bertempur melawan
kedua iblis itu sampai tujuh hari tujuh makam.”
Tujuh
hari tujuh malam?” Wirapati mengilang.
“Ya, —dan
tak ada yang
kalah dan menang.
!Sah, kau bisa mengira-ira kesaktian
mereka Derdua. Pada hari
kedelapan aku disuruh
guru-rru bertanding. Rupanya
gurumu hendak beristirahat sebentar
sambil mempelajari kelemahannya.
Mana bisa aku
tahan bertempur melawan mereka
berdua? Baru sepuluh gebrakan aku sudah kalang-kabut. Tetapi waktu yang sebentar
itu. cukuplah sudah membuka pikiran gurumu. Gurumu lantas memanggil dua orang perajurit
dan membisiki sesuatu. Lantas gurumu mulai bertempur lagi.”
“Guru
membisikkan apa?” potong Wirapati lagi.
“Waktu itu
sama sekali tak
kuketahui. Tetapi sebentar
kemudian semuanya menjadi
jelas.
Ternyata
dua orang perajurit itu disuruh mengumpulkan beberapa gadis desa yang
diharuskan berpakaian dengan kemben1) melulu.”
“Mengapa
diharuskan hanya mengenakan kemben?”
“Apa-apa
kamu tak bisa menerka?”
Wirapati
mengerenyit sebentar. Tiba-tiba menjawab girang. 'Tahu aku. Guru mau
mengacaukan pikiran mereka berdua. Bukankah mereka manusia penghisap darah
gadis?”
“Betul!” sahut
Jaga Saradenta cepat.
“Begitu kedua iblis
itu melihat tengkuk-tengkuk gadisgadis desa, seketika kacaulah
pikirannya. Mulutnya seperti meliur.
Gerak-geriknya lantas saja bernafsu.
Padahal bertempur melawan
musuh berilmu tinggi
adalah suatu pantangan
besar bergerak penuh nafsu.
Seketika itu juga,
gurumu menggertak dan
memusatkan ketenangan hati.
Dengan suatu gerakan aneh gurumu merangsak mereka berdua. Belum lagi mereka
sadar akan kesalahannya, tahu-tahu
mereka kena gempuran.
Tak ampun lagi
mereka tergetar mundur tiga
langkah. Gurumu tak
membiarkan mereka ber-napas.
Begitu kaki mereka menginjak tanah, lalu gurumu
berkelebat. Suatu kecepatan yang sukar kulukiskan terjadi di luar pengamatan
mataku. Mereka berdua tiba-tiba berteriak dan tubuhnya tergempur melayang ke udara
dan jatuh berdeburan di tanah.” SERASA
mengembang dada Wirapati
ketika iiendengar kisah
keunggulan gurunya dalam pertempuran itu. Hatinya terlalu bangga
berbareng girang. Dalam benaknya berkelebat tubuh gurunya merangsak
kedua iblis Pringgasakti
dan hingga Aguna.
Dan orang-orang yang menyak-skan pertempuran itu bersorak-
sorai gemuruh.
“Guru
tahu kalau mereka berdua mempunyai aebiasaan
menghisap darah. Apa mereka waktu tu sudah terkenal sebagai orang-orang
sesat?” tanyanya memotong.
“Orang-orang
gagah di kolong langit ini siapa yang
tak mengenal sepak-terjang kedua iblis itu,” jawab Jaga
Saradenta yakin. “Nama
mereka cukup menggegerkan
dalam perang pemberontakan bangsa
Tionghoa di Kartasura. Selain lu bertempur terus-menerus dalam tujuh hari tujuh
malam bukan sembarang orang dapat melakukannya. Gurumu yang sudah mengenal bermacam-macam ilmu
dan aliran kesaktian,
lambat-laun jadi curiga.
Pasti mereka bukan sewajarnya orang.”
“Bukan
sewajarnya orang?”
“Ya, bukan
sewajarnya. Bagaimana tidak?
Di kolong langit
ini hanya empat
orang yang bisa tahan bertempur selama itu. Pertama,
almarhum Pangeran Mangkubumi I. Kedua, Raden Mas Said yang kelak terkenal
sebagai Gusti Sambar Nyowo. Ketiga, Kyai Haji Lukman Hakim. Dan keempat, gurumu
sendiri. Mereka berempat itulah orang-orang besar pada jaman ini.”
“Kyai Haji
Lukman Hakim dari
Cirebon?” potong Wirapati.
Teringatlah dia sewaktu
delapan tahun yang lalu diutus gurunya menghadap padanya.
“Ya,
Kyai Haji Lukman Hakim adalah guruku,” sahut Jaga Saradenta. “Seketika itu juga
gurumu dapat menduga. Mereka
berdua kalau tidak
mendapat wahyu sewaktu
bertapa pastilah mempunyai ilmu
kesaktian yang hebat.
Sekiranya dua-duanya tidak,
pastilah mendapat ilmu sakti
warisan atau bantuan
kekuatan gaib. Mempunyai dugaan begini,
gurumu memperhebat rangsakannya.
Gurumu mengeluarkan ilmu-ilmu
saktinya yang tinggi.
Tapi, semuanya dapat dilawan oleh kedua iblis dengan
jurus-jurus sederhana tetapi penuh tenaga. Di kemudian hari gurumu mengakui,
kalau hampir saja
dikalahkan karena merasa
tak tahan lagi.
Mendadak selagi gurumu mempertaruhkan nyawanya dalam suatu pertempuran
yang menentukan pada hari ketujuh, terciumlah
suatu bau anyir.
Gurumu kaget. Mula-mula
mengira kedua iblis
itu melepaskan suatu mantran gaib. Tetapi setelah bertempur setengah hari
ternyata bau anyir itu tidak
mempengaruhinya. Gurumu yang
bermata tajam bahkan
mengetahui kalau tenaga mereka berdua makin lama makin susut
berbareng dengan menajamnya bau anyir itu. Ternyata bau anyir datang dari
keringat mereka. Pada saat itu teka-teki yang menutupi benaknya lantas saja
tersingkap. Untuk memperoleh kenyakinan gurumumeloncat ke luar gelanggang
sedang aku disuruhnya memasuki gelanggang.”
“Hebat!”
Wirapati memuji. “Lantas?”
Terbukalah
kedoknya,” sahut Jaga Saradenta cepat. “Sungguh tak terduga ternyata ilmu sesat
itu benar-benar tangguh. Bagaimana bisa masuk akal,tubuh seseorang bisa menjadi
kuat luar biasa hanya semata-mata
menghisap darah seorang
gadis sesudah diperkosanya!
Begitu mereka berdua kena
gempuran gurumu, seketika
itu juga terpental
ke udara seperti
layanglayang putus. Mereka
luka parah. Kalau
orang biasa pastilah
rontok tulang rusuknya
kena gempuran gurumu. Tetapi
mereka masih berdiri.
Malahan bisa lari
sepesat angin.” “Sayang, ya.”
“Ya—sayang.” Jaga
Saradenta menghela napas,
sambil menunduk dalam.
Kemudian
mendongak
seolah-olah ingin melepaskan diri dari suatu ingatan buruk.
“Pada tanggal
13 Februari 1755
terjadilah Perjanjian Giyanti.
Pangeran Mangkubumi I naik
tahta menjadi Sultan
Hamengku Buwono I.
Selama itu kedua
iblis Pringgasakti dan
Pringga Agu-na tidak muncul lagi dalam percaturan. Semua orang mengira
mereka sudah mati akibat gempuran
gurumu. Tak tahunya,
tiba-tiba nama mereka disebut-sebut kembali.
Kini mereka berdalih menjadi
teman seperjuangan.”
“Kenapa
begitu?” Wirapati heran.
“Karena kompeni
Belanda, Susuhunan Paku
Buwono III dan
Sultan Hamengku Buwono
I mempunyai kepentingan yang
sama, bersama-sama menggempur
Raden Mas Said
yang meneruskan perjuangan menuntut
hak. Dua tahun
kemudian—tahun 1757—Raden Mas Said dapat
dikalahkan. Atas persetujuan
Gubernur Hartingh beliau
dinobatkan menjadi Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aria
Mangkunegara atau Pangeran
Miji. Inilah hasil
dari suatu kebijaksanaan
Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.”
Jaga
Saradenta berhenti. Kemudian meneruskan kembali. “Permusuhan antara gurumu
dengan kedua iblis itu sementara berhenti. Gurumu pulang ke tempat asal—ke Desa
Sajiwan Gunung Damar. Mendadak pada suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
mengejutkan.”
“Apa
mereka menyerang guru di padepokan Sejiwan?”
“Tidak—mana mereka
berani?” sahut Jaga
Saradenta. 'Ternyata mereka
dulu mendapat pertolongan dari
Kyai Haji Lukman Hakim.”
“Terang-terangan mereka
berdua musuh guruku.
Bukankah musuh Kyai
Haji Lukman Hakim juga? Menurut guru, Kyai Haji Lukman
Hakim adalah salah seorang sahabatnya.”
“Betul.
Akupun datang membantu gurumu atas perintahBeliau. Sebab Beliau adalah guruku.”
“Ya—kamu
sudah menerangkannya tadi. Soalnya, kenapagurumu mau menolong mengobati.”
“Pertama-tama,
karena guruku seorang berbudi. Kedua, karena mereka berdua sudah beralih menjadi
teman seperjuangan. Patih Pringgalaya menekan agar guruku mau mengobati. Kedua iblis itu
disebutkan sebagai saudara
seperguruannya. Mereka bernama
Pringgasakti dan Pringga Aguna.
Itulah mulanya kami mengenal si Abu dan si Abas bernama Pringgasakti dan Pringga
Aguna. Tetapi justru oleh kemurahan hati itu, timbullah suatu malapetaka.”
“Mereka
membunuh gurumu?” Wirapati memotong tak sabar.
“Tidak.
Tetapi samalah,” sahut Jaga Saradenta. “Guruku mempunyai seorang gadis. Jumirah
namanya. Dulu beliau
pernah mengatakan dialah
calon istriku. Sebagai seorang
gadis tabib yang sedang mengobati
dia menolong merawat kedua iblis itu. Ah, tak tahunya... “
“Apa
iblis itu menculiknya lantas di... “
“Ya,”
sahut Jaga Saradenta tinggi dan tangannya menggempur tanah. “Akupun tak punya
kekuatan. Kucoba mengejarnya, tetapi yang kutemukan hanya mayatnya. Betapa
hancur hatiku saat itu tak
terperikan. Kucari dua
iblis itu untuk balas
dendam. Tapi aku
bisa dikalahkan, bahkan hampir
mati. Gntung, gurumu
datang. Bersama-sama dengan
guruku, gurumu menghajar mereka.
Tapi kedua bangsat itu melarikan diri
dan lenyap dari percaturan. Empat puluh
tahun lamanya mereka
berdua hilang lenyap.
Tak tahunya, sekarang
muncul kembali begitu garang.
Hm..!”
Wirapati
dapat merasakan betapa besar dendamnya. Darah kesatrianya bergolak.
“Ayo!
Guruku dulu pernah bekerja sama dengan gurumu. Sekarang biarlah aku membanlumu melampiaskan
dendam.” Kata Wirapati dengan lantang.
Perlahan-lahan
Jaga Saradenta merenungi raut-muka Wirapati. la menghela napas.
“Terima
kasih. Ayo, kita tolong dulu kelima orang perantaian itu.”
“Siapa
mereka?” Wirapati heran.
“Tak tahu siapa mereka
dan tak peduli
siapa mereka, tetapi aku
akan menolongnya. Sebab mereka adalah tawanan kedua iblis itu.”
“Dari
mana kau tahu?”
“Mereka
orang-orang dari Banten, Tangerang, Serang,Rangkasbitung dan Pandeglang, tereka
itu salah satu
korban keganasan kedua
bangsat Abu dan
Abas. Kau belum
pernah kawin.
Apalagi
membayangkan arti seorang anak. Barangkali
kamu menganggap peristiwa tu lumrah.
Karena
itu biarlah aku sendiri yang...”
“Sekali
lagi kamu mengucap begitu, janganlah iagi berkawan denganku.” “Kau tak
menyesal?”
“Mengapa
menyesal?”
Tujuanku
yang utama mau mengadu nyawa dengan kedua iblis itu. Kelima perantaian itu
hanya kubuat umpan agar
kedua iblis itu
mengejarku. Akan kupancing
mereka supaya terpisah
“ lingkungan kompeni.”
“Bagus! Kau
tadi menjenguk gedung
negara semata-mata untuk
mencari keyakinan apakah mereka berdua masih di sana.”
“Tepat. Sebab
kalau mereka berada
di antara kompeni di
dalam penjara akan
menyulitkan.
Kaubawa
senjata?”
Wirapati
memanggut.
“Ayo,
kita berangkat!”
Mereka lantas
saja berlari kencang
ke tangsi kompeni.
Sepanjang jalan Jaga
Saradenta mengisahkan
pengalamannya berjumpa dengan
kelima perantaian. Ia
berjumpa dengan mereka berlima
di selatan kota
Jakarta. Mereka membicarakan
tentang si Abu
dan si Abas.
Tertarik
dengan kedua nama itu Jaga Saradenta lantas saja mengikuti perjalanan mereka.
“Kemudian mereka
bertempur melawan Pringgasakti
dan Pringga Aguna,” kata
Jaga
Saradenta. “Mana
bisa mereka melawan
kedua iblis itu.
Sebentar saja mereka
sudah kena ringkus dan menjadi
tawanan. Kamu tahu apa yang akan dilakukan kedua iblis itu? Biasanya mereka
dibawa ke tengah lapangan, kemudian dipaksa bertempur sampai napasnya habis.”
“Di
adu domba?”
“Bukan!
Bukan diadu domba, tetapi dibuat alat latihan mereka berdua. Kau nanti akan
melihat betapa hebat sepak-terjang kedua iblis itu.”
Mendengar
keterangan tentang kegagahan mereka, hatiWirapati yang usilan lantas saja ingin
mencoba kekuatannya sendiri. Tapi mengingat gurunyatak kuasa membunuh mereka
berdua, bulu romanya meremang.
Tak lama
kemudian mereka berdua
telah sampai di
depan tangsi. Ternyata
tangsi kompeni berdinding tebal
tinggi. Nampak juga
beberapa serdadu berjaga
di atas menara
dengan memanggul senjata. Mereka
berdua lantas saja
mengeluh. Terang, mereka
takkan mampu meloncati dinding
setinggi itu. Selagi
mereka berpikir-pikir, mendadak
dilihatnya beberapa orang preman
masuk. Mereka mengenakan
pakaian seragam corak
Sunda dan datang membawa minuman dan makanan.
Ah, bukankah
mereka sedang berpesta
pula untuk menghormat
tamu agung? pikir Wirapati.
Tendadak
dilihatnya sebuah kereta berkuda berada didepan penjagaan. Lantas saja
teringatlah dia kepada si iblis berkulit kuning yang tadi meloncat ke dalam kereta
berkuda di dalam istana negara. Cepat ia menghampiri Jaga Saradenta dan berkata
dengan gugup.
“Tadi
dia menumpang kereta itu.”
Tadi
siapa?”
“Iblis
yang berkulit kuning keputih-putihan.” “Ah—kapan?”
Dengan singkat
Wirapati menceritakan apa
yang dilihatnya tadi
di halaman gedung
negara.
Jaga
Saradenta lantas saja termangu-mangu. Alisnya meninggi dan raut mukanya jadi
serius.
“Baiklah,
kalau begitu kita tunggu saja di luar,” katanya memutuskan.
Mereka
berdua minggir ke tepi jalan dan berlindung dalam gelapnya malam. Dalam
kegelapan mereka melihat bayangan
berjalan mondar-mandir tak
berkeputusan. Pantas, tangsi
dijaga sangat ketat. Diam-diam Wirapati berpikir, apa kelima orang itu
termasuk tahanan yang sangat penting?
Wirapati
tidak paham peraturan militer. Kelima perantaian itu meskipun bukan tawanan
militer akan mendapat penjagaan yang ketat juga, karena dititipkan pada
penjagaan tangsi. Seluruh penghuni
tangsi akan ikut
bertanggung jawab sampai
tawanan diambil kembali
oleh yang menitipkan.
Jaga
Saradenta memberi isyarat agar berlaku hati-hati. Meskipun tahu Wirapati
memiliki ilmu tinggi dalam gerak cepat, tetapi ia menduga di dalam tangsi
banyak terdapat kawan-kawan si iblis yang tak boleh dipandang enteng.
Tak
lama kemudian di dalam tangsi nampak tersembul
suatu cahaya yang bergoyang-goyang di udara. Empat orang berpakaian
preman dari pintu pagar dengan membawa
obor. Jaga Saradenta memberi tanda kepada Wirapati agar berlindung
lebih rapi. Gntung,
di depan Tangsi tumbuh
banyak pohon-pohon asam tua
sebesar rangkulan tangan. Dengan mudah mereka berdua mengumpet di belakangnya.
Kelima perantaian
tadi sore ternyata
sedang Jgiring ke luar.
Mereka kini tak
terbelenggu, bahkan nampak menyengkelit senjata masing-masing. Mereka
didampingi empat orang preman yang membawa obor dan dibawa menghampiri kereta
berkuda.
“.Masuk!”
perintah mereka garang.
Dengan
berdiam diri kelima orang perantaian memasuki kereta berkuda. Kemudian seorang
di antara keempat orang
pengawal meloncat menyambar
kendali. Lainnya berdiri
tegak menghadap pintu pagar seperti ada yang ditunggu.
“Wirapati!”
bisik Jaga Saradenta. “Pastilah me--iexa menunggu si Pringga Aguna. Melompatlah
ke dalam kereta. Sais itu biarlah kubekuknya.
Habis berkata
begitu secepat kilat
ia menubruk sais yang
sedang mencengkeram kendali.
Dengan
kecepatan yang sukar dilukiskan berha-Jah dia mencekik si sais dan dilemparkan
ke dalam kereta. Wirapati menyambutnya
dan dibantingnya ke
dasar kereta. Keruan saja kelima perantaian itu terkejut. Tapi
belum lagi mereka dapat berbuat sesuatu, Wirapati telah membisiki,
“Ssst!
Kawan sendiri!”
“Kawan
sendiri dari mana?” mereka tak mengerti. Tapi suaranya bernada syukur. Belum
lagi Wirapati menjawab kereta telah bergerak.
“Heeeee!”
terdengar teriakan dari pintu pagar tangsi.
Jaga Saradenta
tak mempedulikan. Niatnya
sudah mantap. Kereta
mau dilarikan sekencang mungkin ke
lapangan dekat pantai,
la meninju pantat-pantat
kuda. Keruan saja
kuda-kuda penarik kaget bukan
main. Serentak tubuh
mereka melesat bersama
dan kereta jadi bergoncangan.
Suara
teriakan dari tangsi kian seru. Tetapi merekabelum curiga. Mereka mengira
kuda-kuda penarik sedang binal.
'Tendang
ke luar, biar mereka mengejar kita!” seru Jaga Saradenta ke Wirapati.
Wirapati
lantas saja menendang orang yang dicekiknya. Orang itu jatuh bergulungan di
jalan.
Tak
usah diragukan lagi, seluruh tubuhnya jadi babak-belur.
Kelima
orang perantaian kini benar-benar bingung. Tadi mereka mendengar keterangan, kalua
Wirapati adalah kawannya. Mereka mengira mendapat pertolongan tak terduga.
Mendadak kini berlaku begitu ceroboh, malahan mengharap agar dikejar penghuni-
penghuni tangsi militer.
Saudara
siapa?” desak salah seorang di antara mereka kepada Wirapati.
“Kawan
sendiri,” jawab Wirapati dingin.
“Kawan
sendiri bagaimana?”
“Kawan
sendiri.”
“Kawan
sendiri dari mana?”
“Jaga
Saradenta! Apa yang harus kukatakan?” teriak Wirapati kepada Jaga Saradenta.
“Mereka minta penjelasan.”
Jaga
Saradenta tertawa berkakakkan “Tenangkan hatimu kawan! Kamipun musuh iblis Abu
dan Abas. Kalian tadi bertemu Abas?”
“Ya.
Iblis itu mau membawa kami entah ke mana,” sahut salah seorang dari kelima
perantaian.
“Bagus! Kamipun
pernah kehilangan seorang
gadis. Malam ini
aku mau mengadu
nyawa!
Kereta
ini biarlah kularikan ke tengah lapangan, supaya iblis Abas mengejar kita.
Tenaga kalian kubutuhkan. Masa kita bertujuh tak bisa mem-bekukdia?”
Mendengar keterangan
Jaga Saradenta mereka
menggeram berbareng. Terasa
dalam hati Wirapati betapa
besar dendam mereka.
Dalam kegelapan mereka
saling memandang.
Kemudian berkata
serentak, “Di atas
lautan peran-tau-perantau bertemu
gelombang besar.
Apakah
tiang agung akan dibiarkan runtuh?”
“Bagus!”
Jaga Saradenta tertawa tinggi, la menghajar pantat-pantat kuda lagi.
“Saudara
dari mana?” tanya mereka lagi.
“Aku
hanya minta kalian bersatu-padu menggempur musuh,” sahut Jaga Saradenta.
Sekarang tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan siapa aku dan mengapa aku
dendam pada iblis itu. Tapi akupun senasib dengan ka-lan. Bukankah kalian
kehilangan seorang gadis juga?”
Mereka
menggeram kembali seperti seseorang kena tusuk.
“Bagus!”
Jaga Saradenta berkata lagi. “Kita sekarang ke lapangan depan itu. Kalian
membawa senjata?”
'Ya.
Iblis itu membiarkan kami membawa senjata?”
“'Wirapati,
apa kubilang?” Jaga Saradenta ''memotong cepat. “Mereka akan dibuat alat
berlatih sampai mampus.”
“Apa?”
mereka berteriak serentak. ' Jaga Saradenta
tertawa lewat hidung. Dalam kegelapan ia menjawab, “Jika begitu, kalian
belum mengenal musuhkalian. Nah, bersyukurlah pada Tuhan, karena kami berdua
datang menolong kalian.”
“Kami
tak mengharap pertolongan siapa pun juga-”
Jaga Saradenta
terperanjat. Tahu, kalau
mereka berwatak keras lantas saja
dia mengubah pembicaraan, “Bagus!
Bagus!—Untung kami berdua
mempunyai persoalan yang
sama. Jika tidak, kalian sulit
menuntut dendam pada ja-haman itu.”
Mereka terdiam.
Perkataan Jaga Saradenta
sedikitpun tak salah. Mereka
pernah bertempur melawan si Abu
dan si Abas. Pada akhirnya, mereka dapat dirobohkan begitu gampang.
Pada
saat itu kereta telah sampai di tengah lapangan. Jaga Saradenta mendahului
melompat ke tanah. Cepat ia memberi tanda kepada Wirapati dan kelima
perantaian.
“Di
sini kita mengadu nyawa. Sebentar lagi dia pasti datang.” Seru Jaga Saradenta
tegas.
“Kamu
yakin dia bakal datang?” potong Wirapati.
“Empat puluh
tahun lebih setan
itu selalu terbayang dalam benakku.
Mengapa aku tak mengenal
tabiatnya?” Sahut Jaga
Saradenta cepat. “Tabiatnya mau
menang sendiri. Larinya kelima perantaiannya akan
dipandangnya sebagai tata-kehormatan diri. Aku tahu pasti, dia tak mau kehilangan
harga diri. Pasti
dia akan mengejar
mereka biar sampai
ke ujung dunia.
Saudara-saudara,
carilah tempat berlindung. Usahakan jangan sampai dia melihat kalian. Jaga tiap
penjuru dan tunggu sampai aku tak dapat bertahan
“Kalian
berani mengadu nyawa?”
“Laripun
kami tak berguna lagi,” sahut mereka serentak. Kemudian seorang yang berperawakan
sedang berkata, “Namaku
Atang asal Banten.
Lantas ini Acep dari
Tangerang, Hasan dari Serang, Kosim dari Rankasbitung dan
Memet dari Pandeglang. Kami berlima mengangkat diri menjadi saudara
angkat. Ada rejeki
kami bagi, ada susah kami pikul
bersama. Karena kami mempunyai kepentingan bersama seperti
sau-dara.”
“Bagus! Bagus!”
puji Jaga Saradenta.
“Aku bernama Jaga
Saradenta. Dan ini
kawanku
Wirapati. Nah,
kalian sudah mengenal
nama kami. Sekiranya
kalian masih berumur
panjang dan kami berdua mampus di sini, lemparkan saja mayat kami di parit
Tak usah kalian ber-susah payah mencari negeri asal kami. Karena kami
berasaldari Jawa Tengah.”
“Ah!”
mereka berjingkrak
“Sekarang tak
ada waktu untuk
mendongeng. Ayo kita
siaga. Mati dan hidup
kita tergantung pada kerja sama kita.”
Jaga Saradenta
nampaknya berkata begitu
sembrono, tetapi terasa
benar bagaimana ia menekankan
tiap-tiap kata-katanya. Mereka
yang mendengar menggeridik
bulu kuduknya.
Dalam
hati mereka berjanji hendak berkelahi saling membela dan saling melindungi.
“Musuh kita
sangat biadab dan
bengis,” kata Jaga
Saradenta lagi. “Tapi
kalian harus
menentukan
hidupnya.”
Mereka
lantas saja bekerja. Atang dan Acep mencari
bongkahan batu dan ditumpuk menjadi semacam tempat
perlindungan. Hasan mengambil
tempat di sebelah selatan.
Dia bersenjata sebilah pedang
panjang. Kosim dan Memet di sebelah barat. Mereka berdua enggan berpisah.
Yang
berpikir lain ialah Wirapati. Melihat lapanganini pikirannya teringat kepada
Sangaji. Sore tadi bukankah dia
sudah berjanji hendak
menjumpai si anak?
Hatinya jadi kebat-kebit memikirkan pertempuran
yang bakal terjadi.
Sekiranya si anak
datang, bahaya yang mengancam takkan dapat dielakkan.
Memikir begitu
ia hendak mengisiki
Jaga Saradenta tentang
sudah diketemukannya si
anak. Tetapi Jaga Saradenta
sudah berjalan mengarah
ke timur. Terpaksalah
dia mengurungkan niatnya, la
berdiri tegak termangu-mangu. Direnungnya kereta kuda yang sengaja ditinggalkan
Jaga Saradenta di tepi
jalan. Iblis Abas
pasti akan penasaran. Setelah menemukan tubuh
si sais yang babak belur, dia pasti mengejar. Manakalakereta berkudanya
telah dilihatnya, tentu dia akan memasuki
lapangan. Pertempuran bakal
terjadi, nad Wirapati
tegang dengan sendirinya.
*Wirapati, awas!” teriak Jaga Saradentatertahan.
Wirapati
menoleh cepat. Jauh di sana lamat-lamat iamendengar langkah cepat serta ringan.
Diam-diam ia
memuji ketajaman pendengaran
kawannya. Waktu itu kira-kira
pukul sembilan malam. Bulan
tanggal sepuluh mulai tersembul d langit. Remang-remang sinarnya meratakan diri
ke seluruh alam. Sesosok bayangan nampak Oerkelebat di kejauhan. Geraknya
cekatan dan mengejutkan.
Hebat!
puji Wirapati dalam hati. Pantas guru setanding dengan kegagahannya. Hm—apa
kita bertujuh bisa menang?
Mereka semua
melihat kedatangan si
iblis. Atang, Acep,
Hasan, Kosim dan
Memet pernah bertempur melawannya.
Dengan sendirinya te-an
mengenal kehebatannya. Begitu
melihat kedatangan si iblis, hati mereka tegang dan seletakmenahan
napas.
Jauh
di belakangnya nampak pula tiga ba-jangan bergerak-gerak. Itulah kawan-kawan si
sais yang tadi membawa obor menggiring kelima perantaian. Terang sekali mereka
berusaha meayusul si iblis, tampaknya jaraknya bahkan kian E*.
Ketika melihat
kereta berkuda yang
berhenti di tepi jalan,
si iblis Pringga
Aguna lantas saja berhenti
dengan mendadak, la
merenung sebentar, kemudian
mendongakkan kepalanya ke udara.
Tahulah Jaga Saradenta,
kalau Pringga Aguna
lagi menebarkan ilmu
penciumannya.
Dan
benar juga, sebentar kemudian dia tertawa panjang menyayat-nyayat hati.
“Hai
jahanam! Kalian kira bisa mengecoh aku?” serunya nyaring.
Suaranya
berderuman dan terasa menumbuki dada. Ini
hebat! Tak gampang orang mendapat kekuatan demikian
hebat, jika tidak
mempunyai ilmu sakti
yang dilatihnya dengan
tekun bertahun-tahun lamanya.
Yang
paling dekat berada di sekitar si iblis Pringga Aguna ialah Wirapati. Diam-diam
ia berpikir, hebat tenaganya, pantas Jaga Saradenta memuji kegagahannya.
Cepat ia
meraba senjatanya. Wirapati
berpikir, kalau sekarang
kutikam dia, sembilan
dalam sepuluh pasti berhasil. Tapi kalau dia kebal sampaitak mempan,
parah akibatnya ....
Wirapati
ragu-ragu. Karena ragu-ragu, seluruh tubuhnya bergemetar. Hatinya tegang luar
biasa.
Atang, Acep,
Hasan, Kosim dan
Memet yang menempati
penjuru Selatan dan
Barat tegang sampai menahan
napas. Ingin mereka
meloncat serentak dan
menyerang berbareng. Tapi mereda ingat pesan Jaga Saradenta yang
mau menjajalkegagahan si iblis seorang diri. Maka niat itu dkirungkan.
Pada
saat itu ketiga pembantu si iblis datang berturut-turut memasuki lapangan.
Napas mereka tersengal-sengal.
Begitu melihat kereta
kuda landas saja mereka
berseru serentak, “Itu keretanya.”
“Ya, aku
tahu,” damprat si
iblis. “Bagaimana mereka bisa
lolos dari penjagaanmu,
itulah soalnya.”
Mereka
tergugu.
Si iblis
Pringga Aguna lantas
saja tertawa berkakakkan
menyeramkan hati. Mendadak
ia bergerak cepat dan
menyambar ketiga orang
itu dengan sekaligus.
Sambil menggempur dia berteriak. “Bagus! Kalian yang
menggantikan mereka.”
Ketiga orang
itu sama sekali
tak mengira diserang
begitu tiba-tiba, sehingga
tak sempat membela diri. Tapi
seumpama mereka sudah oerjaga-jaga pun tak akan mampu membela diri menghadapi
serangan si iblis Pringga Aguna. Gerakannya sangat gesit dan susah dilukiskan.
Hereka
bertiga serempak terlempar ke udara. Selagi
tubuhnya melayang-layang, iblis Pringga Aguna melejit
sambil melontarkan gempuran.
Tanpa ampun lagi,
mereka jatuh terbanting
di tanah dengan napas terputus.
“Hidup kalian
pun tak ada
gunanya! Percuma latihan!”
teriak si iblis
Pringga Aguna seperti mengumpat. Mendadak ia menjejakkan
kakinya dan tubuhnya hingga terloncat tinggi di udara.
Kemudian
turun dengan berjumpalitan dua kali. Tangannya menyambar dada sesosok mayat dan dilontarkan
ke udara. Berbareng
dengan itu menukik
lagi ke udara,
suatu kehebatan mengagumkan.
Tiba-tiba menggempur dada mayat itu sehingga terbelah berserakan.
Menyaksikan
pemandangan yang menyeramkan serta kehebatan si iblis Pringga Aguna, kelima orang bersaudara
menggeridik bulu kuduknya.
Coba, seumpama mereka
tak ditolong Jaga Saradenta dan
Wirapati, pastilah akan
dijadikan mainan seperti
itu. Diam-diam mereka berterima kasih
kepada dua orang
penolongnya. Setelah itu
timbullah api kemarahannya.
Serentak
mereka meraba senjatanya masing- masing dan bersiap sedia.
Pringga
Aguna masih saja lari berputar-putar. Keduamayat lainnya dilontar-lontarkan ke
udara, kemudian dirobeknya pula. Isi perutnya dihamburkan dan ia membiarkan
diri tersiram darahnya.
Hebat pemandangan
itu! Meskipun Wirapati
bukan anak kemarin sore,
belum pernah sekali juga menyaksikan kebiadaban demikian.
Darah kesatrianya lantas saja bangkit.
Dengan
menggigit bibir ia bertekad hendak mengadu nyawa demi kemanusiaan.
Mendadak
Pringga Aguna berhenti bergerak dengan sekonyong-konyong. Matanya mengarah kepada tumpukan
batu. Benar-benar matanya
tajam luar biasa.
Ia melihat bayangan
orang.
Itulah
bayangan Atang dan Acep yang sudah berusaha
bersembunyi sebaik mungkin. Merasa kepergok, serentak mereka
mengeluarkan senjatanya. Atang menggenggam sebuah birui2) dan
Acep
sebilah golok Sunda. Tidak sangsi lagi mereka
berdiri dan bersiaga menunggu serangan lawan.
Pringga Aguna
tetap berdiri tegak,
la seorang yang
berpengalaman dan cerdik.
Melihat munculnya dua orang lantas saja dia menduga-duga tempat
persembunyian ketiga temannya yang lain. la
tertawa perlahan. Jaga
Saradenta yang mengenal kehebatan
penciumannya langsung dapat menduga
kalau iblis itu
telah mengetahui tempat
persembunyian musuhmusuhnya.
Ia meloncat
maju mendekati tumpukan
batu. Kira-kira dua langkah
dari tumpukan batu,
ia meloncat mundur dengan
mendadak. Kesannya seolah-olah
ia sayang kepada
kedua musuhnya kalau mati terlalu cepat Atang ternyata
seorang yang mudah
tersinggung, karena harga
dirinya terlalu tinggi.
Begitu menduga kehendak lawan, lantas saja ia menerjang sambil
mengayunkan bindinya.
Pringga
Aguna tahu diserang lawan. Ia nampak tenangsaja dan bersikap tak peduli.
Serangan bindi lawannya tak
dielakkan. Bahkan tangannya
memapak dan didorongkan
tajam. Hebat akibatnya. Atang
merasakan suatu dorongan tenaga dahsyat sampai ia terhuyung mundur dua langkah.
Pringga Aguna
tak membiarkan Atang
lolos dari rencana
rangsakannya. Sebat luar
biasa ia melompat ke udara dan
mencengkeram pundak lawan. Atang sadar akan bahaya. Secepat kilat ia
menjatuhkan diri ke tanah dan menyingkir bergulungan.
Acep
yang berada tak jauh dari Atang buru-buru membantu. Dengan memutar golok
Sundanya ia menerjang. Ia mengarah kepada cengkeraman Pringga Aguna.
Pringga
Aguna kaget Terpaksa ia membatalkan cengkeramannya dan dengan cepat menangkis golok
Acep. Meskipun demikian dalam satu gerakan yang cepat ia masih juga berhasil
melukai pundak Atang.
“Monyet!
Kau siapa?” betaknya.
Acep tak
mau melayani. Ia
meludahi muka Pringga
Aguna dan serangan
goloknya makin gencar. Atang
yang teriolos dari
bahaya dapat pula
membantu. Meskipun pundaknya
terasa nyeri, tenaganya tak kurang. Ia menggempur dari samping sambil
memaki kalang-kabut.
Pringga
Aguna benar-benar perkasa. Dengan tertawa panjang ia bergerak sangat gesit.
Tanpa menolak ia menendang Atang. Tapi tendangannya membentur suatu benda
panjang. Tatkala menoleh ia melihat
seorang berperawakan tegap
memutar pedang panjang.
Itulah si Hasan yang tadi bersembunyi di sebelah
selatan. Pukulannya kuat dan serangannya menyambar arah kaki. Terpaksalah
Pringga Aguna meloncat ke udara dan membatalkan serangan kepada kedua musuhnya.
“Ah!
Kalian teman latihan cukup tangguh.” Serunya nyaring sambil tertawa panjang.
la turun
ke tanah dan
mengulangi serangannya, la
menyerang Atang dan
Acep sekaligus, sedang kakinya
tetap melayani pedang panjang si Hasan. Serangannya cepat dan aneh. Ketiga orang
lawannya tak dapat menduga-duga.
Dua orang
lain yang berperawakan
agak kegemuk-gemukan muncul ke
gelanggang. Mereka membawa senjata
keris dan pedang
pendek. Itulah Kosim
dan Memet pendekar
dari Rangkasbitung dan Pandeglang. Mereka berdua lantas saja menyerang
rapat Gerakannya gesit dan berbahaya.
Pringga
Aguna mundur selangkah. Rasanya yang peka lantas saja tahu, kalau dirinya
berada dalam kepungan. Dihitung
berjumlah lima orang.
Hatinya kini lega,
karena tak usah
takut menghadapi serangan gelap. Lantas saja ia memusatkan tenaganya.
Mereka
berjumlah lima orang. Baiklah kugempur yang dua dahulu, pikirnya. Berpikir
demikian, tubuhnya berkelebat Tangannya
menggempur bindi Ateng.
Tetapi Hasan mencegat serangannya dengan
pedang panjang. Suatu
perbenturan tak dapat
dihindarkan lagi.
Tangannya tergetar,
sedangkan pedang Hasan
hampir terpental dari
genggamannya. Diamdiam ia kaget
Rkirnya, eh, ternyata mereka cukup tangguh. Aku tak boleh main-main.
Kini
ia berpaling ke Hasan. la merangsak, tetapi keempat lawannya yang lain
merangsak pula.
Permainan senjata
mereka lumayan. Mereka
bahkan mahir memainkan
senjatanya masingmasing. Secepat
kilat ia menyambar Kosim yang bersenjatakan sebilah keris.
Memet
melihat sahabatnya berada dalam bahaya. Dengan senjata pedang pendek ia menetak
pergelangan tangan Pringga
Aguna. Tetapi Pringga
Aguna tak mempedulikan
serangan itu.
Dengan membalikkan
tangan ia memapak
pedang pendek Memet.
Agaknya dia tak
takut melawan tajamnya senjata.
Kosim
terkejut bukan main. Buru-buru ia mundur selangkah. Tetapi Pringga Aguna tak
membiarkannya membebaskan diri. Tangannya yang menyambar tadi terus ditusukkan.
Gerakannya kuat sampai menimbulkan ke siur angin. '
Terdengar
kemudian suara meretak. Pedang pendek Memet tepat mengenai sasaran. Begitu
juga
bindi Atang bersamaan menggempur pundak. Tapi
Pringga Aguna tetap berdiri tegak, la tak menggubris. Serangannya tak
dihentikan. Keruan saja Memet dan Atang terkejut
Dia
bukan manusia! pikir Memet.
Pedang pendeknya
adalah pedang pusaka.
Biasanya barang siapa
kena terpegas pasti
tak ampun lagi akan terkupas kulit dagingnya. Tapi dia nyaris bersorak karena gembira. Tak tahu dia
menumbuk batu.
Sekarang
nasib Kosim tinggal tergantung pada selembar rambut. Ia tak dapat lagi membela
diri maupun mengelakkan serangannya.
Sebilah kerisnya cepat-cepat
dilintangkan ke dada.
Ujungnya
dihadapkan ke depan, siap ditusukkan ke perut lawan.
Mendadak selagi
ia berputus asa
berkelebatan sesosok bayangan.
Bayangan itu kuat
luar biasa. Ia membawa
sebuah cempuling4) dan
menggempur dada Pringga Aguna. Itulah
Jaga Saradenta. Akibatnya fatal.
Pringga Aguna
yang sedang memusatkan
perhatiannya kepada dada
Kosim tergempur
dadanya
sehingga terpental mundur dua langkah. Cepat ia mendorong dengan sekuat tenaga dan Jaga
Saradenta tergetar mundur
lima langkah. Sudah
pasti kalau tenaga
mereka dapat terukur sepintas
lalu. Tenaga Jaga
Saradenta masih juga
kalah seurat. Tetapi
munculnya musuhnya yang keenam itu mengejutkan hati Pringga Aguna. Diam-diam
dia berpikir, malam ini mengapa aku bertemu dengan orang seperkasa dia?
“Hai
monyet, siapa kau?” bentaknya.
Jaga Saradenta
berdiri tegak di tanah.
Raut mukanya angker dan
berkesan bengis. Dengan menggeram dia
menyahut, “Kamu masih
ingat dengan Jumirah,
anak Kyai Haji
Lukman Hakim?”
Pringga
Aguna tercengang. Kemudian tertawa panjang.
“Hauhooo
... bocah! Jadi kau belum mampus? Nyawamu rangkap tujuh, ya.”
“Bagus! Kau
masih ingat bagaimana
kau menghajarku. Kekasihku
kau bunuh lagi.
Un-amg, Kyai Haji Lukman
Hakim berhasil menolong
lukaku. Tapi aku berjanji, selama
hayat masih dikandung badan...”
“Kau
mau menuntut balas?” potong Pringga Aguna dengan tertawa riuh.
“Tak
salah,” sahut Jaga Saradenta cepat. “Selama kamu belum mampus, tak sudi aku
hidup
bersama
dalam dunia ini.”
Pringga Aguna
tertawa tinggi. Dan
karena percakapan itu, pertempuran
berhenti dengan sendirinya. Masing-masing
mempersiapkan senjata dan berniat
hendak menyelesaikan pertarungan
secepat mungkin. Kelima orang dari JawaBarat saling memberi isyarat. Mereka mendengarkan
percakapan itu dengan penuh perhatian tetapi tetap waspada.
“Kamu
datang dengan lima cecurut itu, apa mereka kawanmu?” tanya Pringga Aguna.
“Kamipun senasib
dengan dia,” sahut
kelima orang dari
Jawa Barat dengan
serempak.
“Kembalikan
gadis kami.”
“Ah!”
potong Pringga Aguna. “Apa modal kalian mau merunut dendam? Kalian bosan
hidup!”
Mendadak
datanglah kesiur angin. Kelima bersaudara itu lantas meloncat mundur
berpencaran.
Pringga Aguna
ternyata telah mulai
menyerang dengan tiba-tiba. Gntung,
mereka cukup waspada. Dan
pertarungan terjadi lagi lebih dahsyat“
Kali
ini Pringga Aguna tak berani berlaku ayal-ayalan. Dia bertempur bagaikan seekor
singa.
Dua
kali cempuling Jaga Saradenta menghantam pinggangnya. Tetapi Pringga Aguna
tetap tak bergeming. Bahkan dia
nampak kian lama kian
gagah. Menyaksikan itu,
diam-diam mereka mengeluh dan
seluruh tubuhnya meremang. Meskipun demikian, mereka membiarkan dirinya terpengaruh
oleh kekebalan Pringga Aguna. Sadar akan bahaya, mereka berkelahi kian sengit.
Ketika
itu, Pringga Aguna memusatkan perhatiannya kepada Jaga Saradenta. Diantara
keenam lawannya. Dialah yang
paling tangguh. Kesiur
cempulingnya menerbitkan angin.
Sekalipun tubuhnya tak mempan, tetapi jika mengenai kepala bisa berbahaya.
Karena itu ia melindungi kepalanya rapat-rapat Mendadak saja ia melihat sesosok
bayangan berkelebat di udara. Ia heran sampai terhenyak beberapa detik. Ia baru
sadar tatkala bayangan itu meniup dan langsung menikam tengkuknya. Buru-buru ia
mengendapkan diri dan meloncat mundur.
Hai
siapa kau?” teriaknya. Hatinya gentar juga melihat musuh-musuh yang tak
terduga.
“Hm...”
dengus Wirapati. la mengulangi setangannya sangat gesit dan tangguh.
“Hai!
Jangan kau mati tanpa nama,” damprat JftinggaAguna. la sadar, kalau
sepak-terjangnya selama ini pasti akan menimbulkan suatu ke-cnaran. Musuh-musuhnya
sangat banyak, muncul satu per satu
seperti cendawan di
musim hujan. Tetapi
sama sekali tak
diduganya, kalau di antara mereka ternyata ada juga yang gagah
perkasa.
“Aku
Wirapati.”
“Wirapati?” Pringga
Aguna mengingat-ingat Ia
merasa tak mempunyai musuh
bernama
Wirapati.
“Aku
murid Kyai Kesambi Sejiwan Gunung Damar Kalinongko.”
“Ah!”
ia terperanjat. “Murid Kyai Kasan?” Diam-diamia berpikir, apakah orang tua itu
ada pula di sekitar lapangan ini?”
Ia sangsi.
Masa Kyai Kasan
merantau sampai memasuki kota
Jakarta. Tapi itu
bisa terjadi.
Hatinya jadi
gelisah. Karena gelisah,
kehebatannya kendor. Wirapati
mempergunakan
kesempatan
itu. Sebat luar biasa ia menghujani serangan beruntun. Jaga Saradenta dan
kelima bersaudara merangsak pula dengan berbareng.
Diserang demikian,
jantung Pringga Aguna
berkebat-kebit juga. Ia
mundur jumpalitan sambil menangkis serabutan. Memang ia seorang
gagah pada jaman itu. Gerak-geriknya cekatan dan tepat Semua serangan dapat
dipunahkan dengan sekaligus.
“Wirapati!”
Pringga Aguna berteriak minta keyakinan. “Apa gurumu ada di sini?”
“Kalau
iya, apa pedulimu,” sahut Wirapati.
“Ah!”
Pringga Aguna tercengang. Kemudian tertawa riuh, karena telah mendapat kepastian,
la dapat menebak kalau Kyai Kasan Kesambi yang disegani tidak berada di
sekitarnya. Mendapat kepastian begitu lantas saja dia melabrak maju.
Wirapati
dan Jaga Saradenta maju berendeng. Mereka mencoba menangkis sambil
mencobacoba kekuatan musuh.
Tetapi kelima bersaudara
tak mau tinggal
diam. Mereka bergerak berputar-putar dan merupakan suatu
kerjasama yang rapih.
Dikerubut demikian
rapi, timbullah amarah
Pringga Aguna. Ia
memperhebat rangsakannya.
Kelima bersaudara
didesaknya ke pinggir.
Tetapi Wirapati dan
Jaga Saradenta bukanlah musuh-musuh yang
ringan. Kedua orang
itu memiliki ilmu
jauh lebih tinggi
daripada kelima orang bersaudara.
Begitu mereka berdua
mendapat peluang, lantas
saja mengggempur bersama. Jaga
Saradenta mengemplangkan cempuling-tiya mengarah muka, sedang Wirapati menyodok
perut bagian bawah. Inilah bahaya.
Cepat-cepat
Pringga Aguna bergerak mundur, “etapi Wirapati lebih cepat Serangannya
ber-lieh. Ia meloncat mencegat gerakan mundur Jan mengemplangtengkuk.
Pringga Aguna
terperanjat la membungkuk,
sapi justru membungkuk
cempuling Jaga
Saradenta
mencengkeram mukanya. Pringga Aguna merasa kesakitan sampai menjerit tinggi.
Pringga
Aguna bertambah gusar dan mengumbar ma-lehnya. Tanpa menghiraukan rasa sakit lagi
ia menubruk Jaga Saradenta.
Untung Jaga
Saradenta sempat melompat
ke samping, sedangkan
Wirapati mundur tiga langkah. Celakalah nasib kelima
bersaudara. Mereka tak sempat mengelak,
karena waktu itu baru feergerak maju,
tak ampun lagi
mereka terpaksa berbenturan mengadu
tenaga.
Bagaimana mereka
sanggup melawan tenaga
Pringga Aguna. Begitu
mereka kena gempur, tubuhnya terpental
di udara dan
jatuh ke tanah
seperti layang-layang putus.
Tiga orang di antara mereka luka parah.
Pringga
Aguna jadi kalap, la melejit ketiga musuhnya yang jatuh terkapar di tanah.
Tetapi Jaga Saradenta dan Wirapati
tak membiarkan ia
berbuat semaunya sendiri.
Dengan berendeng mereka berdua
mencegat dan melancarkan serangan kilat berantai. Keruan saja Pringga Aguna kelabakan.
Meskipun begitu dia tidak gugup. Tenang-tenang ia memunahkan serangan kedua orang
itu.
Pada
saat itu jumlah kelima bersaudara tinggal dua
orang yang masih dapat bergerak dengan leluasa. Atang
dan Hasan. Menyaksikan
ketiga kawannya menggeletak
setengah hidup, mereka jadi
penasaran. Mereka nekad.
Tanpa menghiraukan keselamatan
nyawanya, lantas saja mereka
menyerbu hendak mengadu nyawa.
Meskipun Pringga
Aguna seorang tokoh
kenamaan tetapi menghadapi
orang sedang kalap, repot
juga. Apalagi selain
mereka masih ada
dua orang musuhnya
yang tak bisa
di anggap enteng.
Jaga Saradenta
cukup bertenaga, sedangkan
kecekatan Wirapati mengagumkan hatinya.
Teringatlah
dia pada Kyai Kasan Kesambi empat puluhtahun yang lalu.
Ah, benar-benar
bukan nama kosong
Kyai Kesambi Sejiwan.
Dia dapat mewariskan kehebatannya kepada muridnya,
pikirnya diam- diam.
Mendadak di
tengah lapangan terjadi
suatu peristiwa di luar dugaan.
Dari sebelah utara nampaklah bayangan seorang pemuda
tanggung berlari-lari cepat
Wirapati
menoleh. Segera dia mengenali Sangaji yangbenar datang. Mestinya dia girang,
tapi mengingat bringasnya Pringga
Aguna dia jadi
cemas. Karena rasa
cemasnya, ia
berteriak,”Bocah!
Mnggir dulu!”
“Siapa?”
tanya Jaga Saradenta.
“Sangaji,”
sahut Wirapati dengan suara gemetar.
Mendengar disebutnya
nama Sangaji, Jaga
Saradenta terperanjat sampai
berdiri tertegun.
Sebaliknya
Pringga Aguna orangnya cerdik. Lantas saja dia dapat menduga. Cepat ia mundur jumpalitan.
Kini ia mencegat larinya Sangaji dengangesit.
Wirapati
gugup bukan main. Cepat ia menje-tanah danmelesat menyusul. Jaga Saradenta tak mau
kalah sebat. Dengan sepenuh enaga ia mencoba menjambret lengan Pringga Aguna.
Tapi luput, la kalah hebat.
Atang
dan Hasan ikut memburu. Mereka sadar akan bahaya yang bakal terjadi. Kalau si
iblis mau jahat, dia
dapat mencekik leher
si anak dengan
sekali sambar. Apakah
dia lantas menghisap darahnya,
itu tergantung nasib si bocah.
Sangaji mendengar
teriakan orang yang
dikagumi, la menjerit
kegirangan, lantas berseru nyaring. Sama sekali tak tahu, kalau
ia sedang menghadapi bahaya. Cuma ia melihat beberapa
orang melesat
berkelebatan. Semuanya mengarah
kepadanya seolah-olah datang
menyambutnya.
Ia berhenti terhenyak. Hatinya heran
menebak-nebak. Pikirnya, tadi cuma dia seorang. Mengapa sekarang banyak?
Jaga
Saradenta yang kalah cepat agak jauh tertinggal di belakang. Sambil melesat
memburu ia mulai menduga-duga. Sangaji,
pikirnya. Apakah bocah yang
dicarinya selama ini?
Mengapa Wirapati baru bilang sekarang?
la
lupa. Semenjak berjumpa dengan Wirapati petang tadi, perhatiannya terpusat
kepada kedua iblis musuhnya tumn-temurun.
Wirapati tak diberinya kesempatan menceritakan
pengalamannya.
Pada
saat itu Pringga Aguna telah berada tiga langkah di depan Sangaji. Wirapati
gugup. Cepat ia berseru nyaring, “Minggir!”
la
kaget mendengar seruannya sendiri. Ya— bagaimanasi bocah bisa mengerti tentang
bahaya yang mengancam dirinya
dengan seruan peringatan
sependek itu. Sadar
akan hal ini, ia
menjejak tanah dan mengerahkan tenaga kege-sitannyayang penghabisan.
Pringga
Aguna telah berhasil menyambar lengan Sangaji. Tetapi begitu ia berhasil
menyambar lengan, mendadak terasa enteng. Ia heran sampai terhenyak. Ternyata
si bocah kena fcampas
Wirapati
yang dapat bergerak begitu gesit. Hatinya penasaran. Ia menjejak tanah dan
Telejit.
Wirapati sedang
mengempit Sangaji. Sudah
barang tentu kecepatannya
berkurang. Ia kena 'pukulan Pringga Aguna. Tak ampun lagi
ia jatuh terjungkal di tanah.
Serangan
Pringga Aguna tidak berhenti sampai di situ. la melontarkan pukulan maut.
Wirapati masih dapat menguasai kesadarannya. Ia rcgulingan sambil melemparkan
Sangaji ke amping.
Setelah itu
ia memaksa diri
untuk berdiri tegak.
Tetapi matanya berkunang-kunang. Alam seakan-akan bergerak berputar di
aepannya.
Untung, waktu
itu Jaga Saradenta
telah sampai di
tempatnya. Orang tua
itu tak memikirkan cahaya lagi. Ia melompat dan
merangkul kaki Pntigga Aguna, sehingga iblis jatuh bergulingan ke tanah. Tetapi
Pringga Aguna benar-benar
searang yang gagah.
Sadar akan bahaya
ia menendang sambil melontarkan rangkulan Jaga Saradenta. Hebat
tenaganya. Jaga Saradenta kena dilontarkan dan terbang tinggi di udara.
Setelah terlepas
dari rangkulan Jaga
Saradenta, Pringga Aguna berdiri
tegak, la mengulangi serangannya. Justru
waktu itu Hasan
dan Atang tiba. Kedua
orang itu gagah
berani. Tanpa menghiraukan bahaya,
senjata mereka dilin-tangkan. Kemudian
dengan berbareng mereka mengadu tenaga.
Pringga Aguna
tak memandang sebelah
mata. Tanpa menghiraukan
serangan mereka, dia meneruskan serangannya. Wirapati
terkejut. Buru-buru ia mengatur napas sambil mengelak ke samping. Terdengar
kemudian suara gemeretak.
Ternyata pedang panjang
Hasan patah menjadi dua. Sedang
bindi Atang melesat ke samping.
Sekarang
terjadilah suatu keajaiban. Sangaji yang dilemparkan Wirapati ke samping
mendadak saja tergugah kesadarannya.
Sepintas lalu tahulah
dia, kalau orang
yang dikagumi sedang menolong dirinya
dari bahaya. Orang
itu ternyata tak
menghiraukan keselamatannya. Diamdiam ia memuji dan berterima kasih
padanya. Kemudian dilihatnya pula tampang musuh orang yang dikagumi.
Bulu romanya menggeridik.
Tanpa disadari sendiri
tangannya meraba pinggang.
Mencabut pistolnya. Segera ia mengisi pistol itu dan bersiaga mencari
kesempatan.
Waktu
itu Pringga Aguna sedang menghajar Hasan dan Atang. Begitu ia berhasil
mematahkan pedang si Hasan,
tangannya lantas saja
menerkam dada lawan.
Hasan kena dijambret-dan dilontarkan ke
udara. Selagi tubuhnya
melayang-layang, ia menggempur
dengan se-tuat tenaga.
Atang
dan Wirapati tak keburu memberi per-rngan. Tidak berdaya mereka menyaksikan
nyali Hasan pecah berantakan sampai isi perut-eluar dan lontak ke tanah.
Sangaji terkejut melihat kekejaman itu. Meneriak saja timbullah rasa amarahnya.
Lantas saja ia menyerbu merangkul lutut
Pringga Aguna. Keruan
saja Pringga Aguna
terkejut. Wirapati tak terkecuali
sampai dia memekik hebat. Jaga
Saradenta yang sudah dapat menguasai meloncat menyerbu. Atang yang melihat tawannya
ditewaskan begitu rupa,
tak menghi-langkan bahaya
lagi. la menubruk
pula dengan -lembabi buta.
Mendadak terdengarlah
suatu letusan nyaring
dari tubuh Pringga Aguna
jatuh terkulai tanpa mara.
Ternyata tanpa sengaja
jari-jari Sangaji :tik pelatuk
pistol, karena gerak
pereng-aran Pringga Aguna. Inilah kejadian di luar perhitungan manusia wajar. Pringga Aguna yang sudah memalang
melintang ke seluruh penjuru pulau Jawa selama lima puluh tahun lebih, akhirnya
mati di tangan bocah berumur empat belas tahun. Siapa dapat menduga!
Atang sudah
jadi kalap. Melihat
musuhnya terkulai lantas
saja menerkam lehernya,
kebenciannya
kepada si iblis sudah begitu memuncak
sampai ia memekik-mekik tinggi sambilas lehernya. Kemudian menggigitnya
dan merobek-robek kulit dagingnya. Setelah itu ia mangis meraung-raung.
Wirapati menghampiri
Sangaji dan dengan
penuhi perasaan mengelus-elus
gundulnya. Jaga Saradenta
merenungi. Napasnya masih tersengal. Pandangnya beralih dari mayat Pringga ke Sangaji,
kemudian ke Wirapati dan Pringga lagi. Beberapa saat kemudian dia berkata
perlahan kepada Wirapati, “Sangaji nama anak anak ini?”
Wirapati
mengangguk. “Apakah bocah yang selama ini kita cari?” Wirapati mengangguk.
“Pertemuan
aneh.” Jaga Saradenta menge-diri sendiri. Berkata lagi, “Bagaimana dia datang
ke mari dan membawa-bawa pistol?”
“Sore
tadi kita sudah berjanji. Dan mengapa ia membawa pistol perlahan-lahan kau akan
tahu.
Dia
dipungut sebagai anak-angkat seorang kompeni Belanda.”
Jaga
Saradenta termenung-menung mendegar keteranganWirapati. Mendadak Sangaji berkata
nyaring, Tak sengaja
aku menembaknya. Aku
direnggutkan. Jari-jariku menarik
pelatuk.”
Wirapati memeluk
gundulnya sambil berbisik,
“Sama sekali kau tak
bersalah. Kaupun bukan pembunuh. Pelatuk pistol kautarik dengan
tak sengaja.”
“Meskipun disengaja,
kita berdua patut
menyatakan terima kasih
padamu,” potong Jagi Saradenta. “Wirapati...! Anak ini sudah
membayar pajak kepada kita berdua.”
Sangaji jadi
kebingungan mendengar pembicaraan
mereka berdua, la
menyiratkan pandang penuh
pertanyaan.
“Sangaji! Malam
ini kamu benar-benar
datanc menepati janji.
Kamu ingin berguru
kepadaku!
bukan?”
kata Wirapati.
Sangaji
mengangguk.
“Bagus! Mulai
sekarang kau harus
patuh kepada setiap
patah kata gurumu.
Aku bernama Wirapati. Dan ini,
Jaga Saradenta. Diapun gurumu, sama seperti aku. Kamu mengerti?”
Kembali
Sangaji mengangguk.
Setelah
berkata demikian Wirapati kemudi menghampiri Atang. Perlahan-lahan ia memegang pundaknya.
“Sekalipun kau
robek-robek hancur bersej
rakan, diapun tak merasa
apa-apa. Lebih baik kaurawatlah jenazah
sahabatmu. Dan mayat iblis
itu biarkan menggeletak di
sini. Apa peduli kita” katanya berpengaruh.
Dengan
berdiam diri Atang menghampiri lasazah Hasanyang telah rusak. Sementara itu,
Jaga Saradenta datang berturut-turut memondong
Memet, Kosim dan
Acep yang luka
parah.
“Saudara!”
katanya, “iblis ini masih mempunya seorang kakak. Pringgasakti namanya, alias
si Abu, lebih baik
kalian pergi menjauh.
Apalagi kalian luka parah. Kereta
berkuda dapat pergunakan.
Pergilah sekarang sebelum
Mereka sadar
akan bahaya. Tanpa
memban-ar sepatah katapun
juga mereka mengangguk tersama. Hampir
berbareng mereka berbisik
Terima kasih.” “erima
kasih? Mengapa berterimakasih kepada?”
sahut Jaga Saradenta
cepat, “Kami ber-berterimakasih juga
kepada kalian.
Seandai-kalian tidak membantu
kami, sudah siang-aang
tadi kami mampus.”
Mereka sedang luka parah,
mana sanggup -_
ara terlalu panjang. Mereka
kemudian Melemparkan pandang ke
Atang yang masih senenungi jenazah Hasan. Tak terasa air mata Jaga Saradenta mendekati Atang.
“Hatiku ikut pjga
berduka. Tetapi dia
mati secara jantan.
Pengorbanannya tidak sia-sia. Apakah masih ada waktu-mengubur dia?”
Atang
yang mudah tersinggung menegakkan kepala. “Apa maksudmu?”
“Aku
khawatir kalian tidak ada waktu lagi mengubur dia. Seandainya iblis datang...”
“Akan
kami bawa jenazahnya.”
“Pikiran
yang bagus,” potong Jaga Saradenta. “Apalagi jika kalian bisa menyerahkan
jenazah Hasan kepada keluarganya. Tetapi pertimbangkan dulusoal ini.
Membawa-bawa jenazah yang begitu ri... Apa tidak menyulitkan keselamatan
kalian?” Ujar Jaga Saradenta meskipun menusuk perasaan, tapi
ada benarnya. Di
antara empat orang, tiga
orang luka parah.
Kini akan membawa-bawa jenazah
pula. Bisa dibayangkan
ba-gaimana sulitnya jika
tiba-tiba kepergok sesuatu
bahaya.
“Lantas?”
ia minta pertimbangan.
“Sebentar
atau lama si iblis Pringgasakti pasti datang ke mari. Kalau dia melihat jenazah
Hasan di samping mayat adiknya pastilah mengira mereka berdua mati berbareng.
Keselamatan kalian bisa dijamin,” kata Jaga Saradenta. Kemudian dia menghampiri
Wirapati dan mengisyarati agar cepat-cepat meninggalkan lapangan.
Atang dapat
berpikir cepat. Ia
menoleh kepada saudara-saudara angkatnya.
Mereka tak berkata sepatah
katapun. Maka ia berkata memutuskan. Trna kasih. Saranmu kami terima.”
Sehabis
berkata demikian ia menunduk. Kemudian menangis terisak-isak.... Jaga Saradenta
kedukaannya. Tetapi ia tak mau berpikir
terlalu lama. Dengan memberi isyarat kepada Wirapati ia menghampiri ketiga orang
yang sedang Ke
parah, lalu memapahnya seorang. Wirapati memapah si Acep. Dan Atang memapah si Kosim.
mereka
dimasukkan ke dalam kereta. Atang meloncat ke depan dan dengan membisu memegang
kendali.
Waktu itu
bulan benar-benar bersiar
terang. Sinarnya mulai
merata. Perlahan-la-r. tuda-kuda penarik mulai
berderapan. Atang melemparkan
pandang ke tengah
lapangan. Ke-3 saudara angkatnya pun
tak terkecuali. Dengan tertatih-tatih mereka
mencongakkan diri jendela
kereta.
Kesenyapan mulai
bercerita di tengah
lapang-Tidak ada lagi
suara senjata beradu.
Tidak terdengar suara napas bersengal-sengal. Tiada lagi nampak
berkelebatnya seorang manu-flarxrL
Yang
ada hanya dua mayat yang menggeletak tak terurus diatas tanah dan mayat si Ha-*
dan si iblis Pringga Aguna.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 7 SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 7 SUATU PERTEMPURAN TAK TERDUGA"
Post a Comment