BENDE MATARAM JILID 4 PENGEJARAN
LAMBAT
laun Wirapati dan Jaga Saradenta menemukan titik pertemuan. Mereka lantas dapat
bekerja sama dengan rapi. Wirapati menyerang bagian atas dan sanggup mengadu
kegesitan. Sedangkan Jaga Saradenta meliuk-liuk rendah mengancam bagian bawah
dada. Hajar Karangpandan tercengang-cengang. Apa mereka berasal dari satu
perguruan? pikirnya. Hajar Karangpandan tak pernah berpikir, Jaga Saradenta
bersahabat dengan guru Wirapati Kyai Kasan Kesambi. Dalam perang Giyanti Jaga
Saradenta seringkali mendampingi Kyai Kasan Kesambi dan sudah mengenal
liku-liku ilmunya. Meskipun belum keseluruhannya, tetapi dasar pokoknya tidak
asing baginya. Itulah sebabnya, setelah memperhatikan gerak-gerik Wirapati
teringatlah dia akan sepak-terjang sahabatnya. Segera ia dapat mengimbangi dan
menyesuaikan diri.
Wirapati
berotak encer. Begitu melihat permainan Jaga Saradenta, lantas saja Wirapati
memperkuat diri. Dasar dia merasa tak sanggup melawan Hajar Karangpandan
seorang diri, maka oleh ketinggian hatinya ia ingin menang mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya.
"Bangsat!"
maki Hajar Karangpandan. Benar-benar kalian kawanan bangsat jempolan. Eh, siapa
mengira umur setua ini berjumpa dengan kalian."
Dia
meloncat mundur dua langkah. Wirapati dan Jaga Saradenta lantas memburu. Itulah
yang diharapkan. Begitu mereka berdua menerjang jebakannya, ia lantas
menggempur dengan tangannya berbareng. Jaga Saradenta kena terhantam dadanya.
Seketika itu juga dia terpental tiga langkah dan lontak darah. Wirapati kena
dihajar pundaknya dan jatuh terbanting di tanah. Tetapi Hajar Karangpandan juga
terkena serangan mereka. Serangan Jaga Saradenta mengenai ujung lehernya,
sedangkan kaki Wirapati tepat menendang pinggang. Ia berteriak kesakitan dan
jatuh tertelungkup.
Ketiga-tiganya
lantas duduk bersemedi. Pernapasannya diaturnya cepat-cepat sambil menajamkan
pendengaran untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Sesaat kemudian,
Jaga Saradenta mulai bicara. "Nanti dulu Saudara, tahan sebentar. Kita
bicara dulu."
"Apa
yang hams dibicarakan," sahut Hajar Karangpandan angkuh. Tetapi hatinya
sesungguhnya menghendaki istirahat barang seben¬tar.
"Aku
seorang tua bernama Jaga Saradenta, Gelondong Desa Segaluh. Aku mau
berbicara."
"Bicaralah!
Apa perlu memperkenalkan nama." Jaga Saradenta tak mendengarkan ocehan
Hajar Karangpandan.
"Kukira
dalam hal ini, terjadi salah paham. Coba aku minta penjelasan, kenapa kamu
bertempur dengan anak muda ini?"
"Hm!"
Hajar Karangpandan menyibirkan mulut. "Dia bangsat muda, menculik
sahabatku. Bagiku, kalau aku sudah mengaku bersahabat dengan seseorang...
Mengorbankan nyawa bukanlah suatu perbuatan yang sok gagah. Sejak dulu, orang
menghargai suatu persahabatan sejati. Bersedia mengorbankan nyawa merupakan
dasar tali persahabatan. Sekarang sahabatku dibunuh orang. Masa aku tinggal
berpeluk tangan belaka."
"Kata-katamu
benar-benar suara seorang kesatria sejati," sahut Jaga Saradenta.
"Tetapi benarkah anak muda ini menculik sahabatmu? Lihat, aku belum
berkenalan dengan dia. Meskipun begitu aku mau bicara. Tidak ada keuntunganku
sama sekali dalam hal ini, kecuali besar keinginanku untuk mengikis kesalah
pahaman kalian berdua."
Wirapati
mendongkol campur geli melihat lagak Hajar Karangpandan. Di antara ketiga
orang, dialah yang terluka ringan. Pundaknya hanya terasa kaku. Setelah
beristirahat sebentar, ia dapat bergerak dengan agak leluasa lagi.
"Aku
memang bangsat muda penculik sahabatmu," katanya sengit. "Rumahnya,
akulah yang membakar. Pusakanya akulah yang merampas. Lantas kau mau apa?"
Hajar
Karangpandan tercengang-cengang mendengar ucapannya. Dia seorang sembrono dan
ugal-ugalan . Tapi justru mendengar kata-kata Wirapati yang bernada sembrono
dan tinggi hati, malahan dia jadi tertarik.
"Apa
kamu bilang?" ujarnya agak lunak.
"Kaubilang
aku bangsat muda yang men¬culik sahabatmu. Memang aku bangsat muda penculik
sahabatmu."
"Kaubilang
pembakar rumah juga?"
"Ya.
Malahan akulah si bangsat perampas pusakanya. Sekarang kamu mau apa? Ayo,
bertempur dua bulan lagi," lantas Wirapati berdiri tegak.
Hajar
Karangpandan adalah orang yang tidak tahan disumbari orang. Tapi ia mulai bisa
berpikir, ketika mendengar Wirapati mengakui sebagai pembakar rumah. Sedangkan
dia mendapat keterangan, kalau orang-orang Banyumas yang berbuat begitu.
Bukankah mereka juga yang membakar hutan?
"Bangsat!
Apa kamu kira aku jera padamu?" bentak Hajar Karangpandan. Dan ia memaksa
diri mau berdiri. Tetapi Jaga Saradenta menengahi.
"Tahan!
Kauanggap apa aku ini?" teriaknya nyaring.
Hajar
Karangpandan mengurungkan niatnya. Kemudian Jaga Saradenta berpaling kepada
Wirapati. "Kau heran kenapa aku datang membantu. Sebenarnya tidak ada
niatku mencampuri soal ini. Tetapi kudengar kau menyebutkan nama sahabatku Kyai
Kasan Kesambi. Kau menyebut pula sebagai muridnya. Makanya aku tak bisa tinggal
diam. Bukankah bersedia mengorbankan nyawa adalah dasar mutlak bagi suatu
persahabatan sejati seperti kata Ki Hajar itu?"
Mendengar
Jaga Saradenta adalah sahabat gurunya, Wirapati jadi bersabar hati. Per
lahan-lahan dia duduk kembali. Tetapi pandang matanya tak beralih dari Hajar
Karangpandan.
"Sekarang
perkenankan aku bertanya kepadamu, anak muda," kata Jaga Saradenta lagi.
"Bagaimana mula-mula kamu ada di tempat ini?"
"Aku
datang dari Cirebon diutus guruku. Kebetulan melintasi Desa Karangtinalang.
Kudengar tentang peristiwa pusaka sakti. Maka kuculik sahabatnya dan kubakar
hidup-hidup di dalam hutan."
"Ah!
berkatalah yang benar."
"Bukankah
aku sudah mengatakannya?"
"Bangsat!
Iblis!" Maki Hajar Karangpandan kalang kabut. Sekarang tahulah dia,
hatinya sedang dipermainkan pemuda itu. Diam-diam ia menyesali hatinya sendiri
yang masih saja mudah meluap.
"Tiba-tiba
kau menyerang, masa aku sudi mendengarkan ocehanmu?" Wirapati membalas
dengan sengit.
"Nah,
apa kubilang," potong Jaga Saraden¬ta. "Kalian salah paham. Aku juga.
Ini semua gara-gara si biadab Kodrat. Dia memang kemenakanku, tapi dalam soal
ini tidak ada lagi sanak saudara. Siapa yang bersalah harus di hukum".
Jaga
Saradenta langsung menoleh mencari kemenakannya. Tetapi Kodrat tak nampak
batang hidungnya. "Bangsat! Mana dia?" Ia terkejut.
Darahnya
lantas saja naik ke leher. Tubuhnya menggigil, karena hatinya serasa hampir
meledak. "Kurang ajar! Dia melarikan diri, selagi kita bertempur,"
teriaknya tinggi.
"Hm,"
Hajar Karangpandan mencibirkan bibir. "Kamu tua bangka berlagak
melindungi. Tapi kaudengar kata-kataku semalam. Kalau benar-benar dia berada di
rumahmu, akan kuhabisi seluruh keluargamu. Sekarang kau mau bicara apa?"
Jaga
Saradenta tak sanggup berbicara lagi. Hatinya penuh pepat. Siapa mengira,
kemenakannya ternyata licik dan sampai hati membiarkan dirinya menanggung malu.
Padahal tadinya ia mengharapkan keterangan keme¬nakannya akan menghapus
kesalahannya semalam. Setelah itu, dia akan meminta maaf. Tak tahunya, dirinya
sekarang kian terperosok ke dalam masalah.
Hajar
Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Senang hatinya, melihat orang keripuhan.
"Ayo
bicaralah! Kamu kan laki-laki juga?" ujarnya.
"Tak
sanggup lagi aku menelan peristiwa ini. Kaulah yang bicara. Kalau tidak mau, ya
sudah kita bertempur lagi sampai mati," sahut Jaga Saradenta. Kalau tadi
ia ingin menghindari pertempuran mati-matian, kini sebaliknya.
Wirapati
jadi perasa, ia dapat merasakan gejolak hati Jaga Saradenta, karena tadi dia
juga mengalami gejolak rasa begitu juga, tatkala dihujani tuduhan Hajar
Karangpandan.
"Hai
pendeta edan," katanya, "belum tentu kami berdua yang kautuduh
menjadi biang keladi terbunuhnya sahabatmu, kalah bertem¬pur melawan tampangmu.
Tapi dalam hal berbicara kamu menang. Nah, bicaralah! Kami berdua akan tunduk
pada keputusanmu."
Ih,
pemuda ini berwatak kesatria, kata Hajar Karangpandan dalam hatinya. Kukira dia
benar-benar tidak menurunkan tangan jahat kepada sahabat-sahabatku. Baiklah aku
bicara perlahan-lahan. Siapa tahu, ia bisa kuajak serta membalas budi pada
kedua sahabatku itu.
Berpikir
demikian, ia lantas berkata, "Kamu berdua kuanggap mempunyai mulut
laki-laki. Kautahu bukan, harga mulut laki-laki senilai seribu nyawa manusia.
Nah, sekarang aku mau berbicara. Tapi aku minta tiga syarat."
"Sebutkan!"
kata Wirapati dan Jaga Sara¬denta berbareng.
"Syarat
pertama: kalian harus menjawab pertanyaanku dengan sebenar-benarnya. Syarat
kedua: kalian harus patuh dan mentaati tiap-tiap keputusanku. Syarat ketiga:
kalian tidak boleh mengingkari janji. Sangsinya kalian akan digerumuti setan
sampai tujuh turunan. Dan di alam baka, kalian akan diuber-uber sampai
terbirit-birit sepanjang zaman. Nah, bagaimana?"
Mendengar
ujar Hajar Karangpandan, mereka berdua mendongkol campur geli hati. Tetapi
mereka terpaksa mengangguk.
"Bagus.
Sekarang syarat pertama. Dengarkan, aku bicara," Hajar Karangpandan mulai.
"Hai, kau anak muda, tahukah kamu bagai¬mana peristiwa ini mula-mula
terjadi?"
Wirapati
menggelengkan kepala sambil menjawab, "Aku hanya mendengar mereka saling
memperebutkan dua buah pusaka. Kebetulan aku menguntit perjalanan orang-orang
Banyumas yang menyamar sebagai rombongan penari. Kulihat pula, mereka bertempur
dengan seorang pemuda sebelum sampai ke tempat tujuan."
"Siapa
pemuda itu?"
"Hanya
setan yang tahu. Dialah yang mem bunuh salah seorang sahabatmu dengan senjata
rahasia sewaktu berada dalam rumah. Kukira, mayat sahabatmu itu hangus terbakar
oleh api yang dinyalakan oleh orang-orang Banyumas. Pemuda itulah yang membawa
lari anak isteri salah seorang sahabatmu." "Ke mana dia melarikan
mereka?" "Tanyalah pula kepada setan dan iblis!" Mendengar
jawaban Wirapati, melonjaklah amarah Hajar Karangpandan. Hatinya bergolak.
Diayunkan tinjunya ke udara. Kemudian menggempur tanah berhamburan.
Setelah
menggempur tanah ia menunduk dalam. Napasnya terengah-engah. Tubuhnya bergetar.
Wirapati dan Jaga Saradenta mengawasi dengan hati menebak-nebak. Melihat
perangai Hajar Karangpandan yang aneh, mereka berjaga-jaga. Siapa tahu, Hajar
Karangpandan lantas saja menyerang mereka untuk melampiaskan marahnya. Tetapi
Hajar Karang¬pandan diam saja. Matanya malahan menutup rapat. Dan
perlahan-lahan napasnya mulai teratur. Terdengar dia mengeluarkan bunyi dengkur
parau.
Mereka
berduapun diam-diam menjadi ka-gum. Itulah cara yang sempurna untuk mengurangi
tekanan guncangan hati. Gejolak darah dapat disalurkan juga. Kalau seseorang
tidak mempunyai kesadaran yang dalam, bagaimana ia dapat berbuat begitu. Sebab
perbuatan itu untuk menenangkan diri.
Mendadak
Hajar Karangpandan mendongakkan kepala. Raut mukanya yang tadi nampak bengis,
telah sirna. Matanya memancarkan pandangan yang tajam dan lembut. la menghela
napas dalam, katanya, "Anak muda, kulihat di dalam rumah itu empat mayat
menggeletak bertebaran selain mayat sahabatku. Siapa mereka?"
"Mana
kutahu," sahut Wirapati. "Waktu aku memasuki rumah, mereka berdiri
tegak saling mencurigai. Kukira, mereka habis bertempur. Napasnya masih
terengah-engah."
"Jahanam
itu saling memperebutkan pusaka," potong Hajar Karangpandan.
"Tepat
dugaanmu. Tatkala sahabatmu yang mati itu kena senjata rahasia, mereka lantas
datang berebut. Dua orang mati kena hantaman sahabatmu yang lain. Dua orang
lainnya terpatahkan lengan dan kakinya oleh si pemu¬da. Kemudian terjadilah
kekacauan itu. Rumah dibakar. Si pemuda membawa lari anak dan isteri salah seorang
sahabatmu. Dan aku menggendong sahabatmu yang luka parah."
"Kenapa
luka parah?"
"Mata
kakinya kena senjata si pemuda. Gntuk mencegah menjalarnya racun, kupagas
betisnya."
"Hm."
"Tetapi
dia kehilangan banyak darah. Ketika kusembunyikan di gerumbulan dalam hutan
ini, beberapa kali dia jatuh pingsan. Sayang, sebelum aku sempat menolongnya
hutan terbakar. Aku terpelesat jauh. Kucoba menghampiri, tetapi panas api tak
dapat kutahan. Maafkan. Aku orang tak berguna ..."
"Tidak!
Akupun tak tahan berenang dalam lautan api," potong Hajar Karangpandan.
"Cuma sahabatku yang bernasib buruk. Tetapi ... tetapi semuanya ini akulah
yang mendatangkan gara-gara. Kalau aku tak menyerahkan kedua pusaka kepada
mereka ..."
Ja
tak meneruskan. Mendadak dia berdiri dan lari menghampiri batas hutan. Kemudian
dia bersujud rendah sampai mencium tanah. Tatkala kepalanya menegak lagi, ia
berteriak nyaring sampai menggetarkan tanah, "Wayan Suage! Wayan Suage! Dengarkan
kata-kataku! Kau seorang laki-laki sejati. Sayang, akulah yang menjerumus kanmu
ke dalam lumpur malapetaka. Aku bersumpah kepadamu, akan kucari anak-isterimu
sepanjang hidupku. Akan kurawat dan kuasuh anakmu seorang itu. Semoga rohmu di
alam baka melindungi aku. Kuharapkan pula kamu mengampuni kesalahanku."
Dia
berdiri tegak. Membungkuk. Kemudian berputar mengarah Wirapati dan Jaga
Saradenta. "Sekarang, marilah kita bertempur. Inilah syarat kedua,"
katanya meledak.
Mendengar
ucapannya itu, sudah barang tentu Wirapati dan Jaga Saradenta dibuat terkejut.
Sama sekali tak diduganya, Hajar Karangpandan tiba-tiba menantang mereka
bertempur setelah nampak berlaku begitu lemah dan sabar.
Tetapi
sebagai seorang kesatria, meskipun sedang menderita luka, takkan sudi
memperlihatkan kelemahan diri. Segera mereka berdiri tegak dan bersiaga.
"Eh,
kalian mau apa?" damprat Hajar Ka¬rangpandan.
"Bukankah
kamu tadi menantang kami bertempur?" Wirapati heran.
"Betul!
Tapi aku belum habis bicara. Syarat kedua belum lagi kuuraikan. Duduklah!"
Wirapati
dan Jaga Saradenta saling meman dang. Kalau menurut tabiatnya, mereka merasa
dipermainkan orang ini. Bagaimana bisa menerima hinaan itu. Tetapi mereka kalah
janji. Terpaksalah mereka duduk kembali dengan hati memaki-maki.
"Kau
Gelondong Segaluh, tak usah lagi aku bertanya kepadamu. Kamu sudah dikelabui si
bangsat Kodrat. Cuma, kamu diberi kesempatan Tuhan melihat anak-isteri salah
seorang sahabatku. Siapa yang dilarikan si Kodrat dan siapa pula yang dilarikan
si pemuda jempolan itu, aku pun tak tahu. Tapi kita bertiga pernah mendengar
atau melihat mereka yang kena malapetaka, maka kitapun tak dapat membuta tuli.
Kebajikan seorang kesatria semenjak dulu cuma satu. Yakni, ingin bekerja sekali
berarti kemudian mati. Kau setuju tidak kata-kataku yang belakangan ini?"
"Bicaralah!
Jangan kau berlagak seperti guru!" bentak Jaga Saradenta.
"Tapi
kalian harus menerima keputusan setiap kata-kataku. Itulah celakanya!"
Hajar Karangpandan kemudian tertawa senang. "Sekarang, aku menantang
kalian berdua berkelahi sampai mampus."
"Bagus!"
potong Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.
"Nanti
dulu, dengarkan!" teriak Hajar Ka rangpandan. "Aku belum habis
bicara. Perkelahian sampai mati itu harus dilakukan dalam jangka panjang."
"Apa
kita berkelahi mengadu racun?" Wirapati tak sabar.
"Racun
cuma bisa bertahan paling lama dua bulan," jawab Hajar Karangpandan.
"Sebaliknya aku menghendaki masa lebih lama lagi. Yakni, selama dua belas
tahun."
"Gila!"
jerit Jaga Saradenta sambil membanting tangan. "Aku sudah berumur tujuh
puluhan tahun. Belum pernah kudengar orang berkelahi sampai mati dalam waktu
dua belas tahun. Barangkali cuma dongeng belaka. Cerita Bharatayuda dalam
wayang purwapun cuma 18 hah. Ini syarat edan! Syarat gendeng! Syarat
gila!"
"Ah,
kalau begitu kalian ini kesatria-kesatria kosong mlompong." Hajar
Karangpandan membakar hati. "Tak sudi lagi aku bicara."
Dibakar
demikian, Jaga Saradenta lantas saja meledak. "Bangsat! Kau tak usah
memancing kemarahanku. Cepat katakan, apa maumu!"
"Bagus!"
puji Hajar Karangpandan. "Kita ini bangsa kesatria sejati, bukan kesatria
kampungan. Kalau kita bertaruh, masakan bertaruh gampang-gampangan seperti anak
anak kampung. Sekali kita ingin mendaki gunung, pilihlah gunung yang tertinggi
di dunia. Sekiranya kita terpeleset mampus ke dalam jurang, nama kita sedikit
bisa diagungkan orang-orang. Hai, apa pendapatmu anak muda?"
Wirapati
yang semenjak tadi diam, kaget mendapat pertanyaan itu. Sebagai anak muda,
memang ia tertarik dengan omongan Hajar Karangpandan yang penuh teka-teki.
Hatinya sedang menduga-duga tentang perkelahian sampai mati dalam jangka dua
belas tahun. Karena pertanyaan mendadak itu, ia mengangguk kosong.
"Ah,
inilah calon kesatria jempolan," kata Hajar Karangpandan sungguh-sungguh.
"Sekarang dengarkan baik-baik. Telinga harus kalian lebarkan benar. Jangan
sampai kalian kehilangan tiap patah kata. Kalian akan rugi sendiri. Karena
kata-kataku ini kelak akan menentukan di kemudian hari."
"Monyet,
cepatlah!" potong Jaga Saradenta tak sabar. Ia terbatuk-batuk kecil dan
menyemburkan segumpal darah. Hajar Karangpandan merenungi, kemudian katanya,
"Kita sudah berjanji akan bertempur sampai mati dalam jangka dua belas
tahun. Adapun corak pertempuran itu begini. Kita mengadu kepandaian sejati.
Yang kumaksudkan kepandaian sejati, bukan mengadu tinju dan tendangan. Bahkan
bergerak sedikitpun tabu. Mengadu tinju dan tendangan, mengadu kekebalan kulit
dan senjata tajam itu perbuatan gampang. Kalau hanya begitu semua orang yang
berilmu sekarang ini pasti bisa melakukannya."
"Lantas!"
Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga-nganga.
"Kita
bertiga ini, setidak-tidaknya termasuk manusia-manusia yang bisa
malang-melintang di seluruh jagad tanpa halangan dan rintangan. Marilah kita
mencukil sejarah yang lain daripada anak-anak yang bakal dilahirkan."
"Kaubilang,
kita bakal bertempur sampai mati, apa maksudmu?" potong Jaga Sara¬denta.
"Untuk
mengambil keputusan, siapa di antara kita yang menang."
"Tapi
kaubilang, kita tak boleh menggunakan tangan, kaki, kekebalan kulit dan
senjata. Lantas apa yang kau mau?" Wirapati menyahut.
Hajar
Karangpandan membusungkan dada. Dengan bersikap agung ia menjawab, "Aku
akan melawan kalian berdua. Dalam jangka dua belas tahun, kita akan memutuskan
siapakah yang menang. Tetapi kecuali mengadu kepandaian, kita mengadu pula
kesabaran dan akal budi."
Wirapati
yang tadi bersikap tenang, mendadak kehilangan kesabaran. Lantas saja
mendamprat.
"Apa
kita mengadu mulut? Atau mengadu betah-betahan bertapa? Atau mengadu membuat
jimat-jimat sakti? Atau mengadu membuat obat dan racun untuk dapat menghidupkan
kedua sahabatmu itu? Baiklah, aku menyerah.
"Bukan!
Bukan!" sahut Hajar Karangpandan seraya tertawa riuh.
"Lantas?"
sambung Jaga Saradenta. "Apa kauingin kita mengadu mencuri ayam, mencopet
atau menculik perempuan?"
"Bukan!
Bukan!" tertawa Hajar Karang¬pandan kian meriuh.
"Cepat
katakan! Jangan berputar tak keruan juntrungannya!" bentak Jaga Saradenta
mendongkol.
"Baiklah
kukatakan," akhirnya Hajar Ka¬rangpandan berkata perlahan. "Kalau
kita berputar kembali mengapa kita sampai berkelahi ini adalah semata-mata
urusan berbuat suatu kebajikan kepada dua orang sahabatku. Kalian tahu,
anak-isteri yang dibawa lari Kodrat itu kukira anak isteri Made Tantre. Sebab
mereka berdua dilarikan setelah gerombolan bangsat Banyumas menyerbu rumah.
Bukankah begitu, anak muda."
Wirapati
mengingat-ingat.
"Si
pemuda jempolan itu menyambar seorang perempuan yang berdiri memipit dinding.
Sedangkan isteri sahabatmu yang mati, kulihat jatuh pingsan di sampingnya.
Akulah yang mendorongnya agak menjauh, tatkala hendak memeluk mayat
suaminya."
"Tepat
dugaanku," Hajar Karangpandan berlega hati. "Kalian berdua sudah
pernah melihat juga. Dan siapa yang membawanya lari, telah diketahui pula oleh
Gelondong Jaga Saradenta."
"Betul.
Kemenakanku yang membawanya la¬ri," kata Jaga Saradenta. "Tetapi
kalau kau bilang aku kenal betul raut mukanya, masih kurang tepat. Aku hanya
melihat dia selintas saja."
"Tetapi
sekutumu anak muda ini, cukup lama mengenal raut mukanya. Jadi kuanggap kalian
berdua sudah mengenal baik-baik. Sebaliknya meskipun aku baru mengenal muka
isteri Wayan Suage selintasan pula, kuanggap diriku telah mengenal baik-baik
juga. Nah, kita berlaku adil. Kalian harus tahu, kalau aku bersahabat dengan
mereka berdua baru berlangsung kemarin sore dalam waktu beberapa jam
saja."
Wirapati
dan Jaga Saradenta saling memandang. Sama sekali mereka berdua tak
menduga,
persahabatan Hajar Karangpandan itu baru berjalan seperempat hari. Melihat dan
menyaksikan sepak terjangnya, mereka lantas saja menghargai keluhuran budinya.
Sekarang, mana bisa mereka mengalah dalam soal keluhuran budi? Maka dengan
diam-diam, mereka sudah mulai mengadu panggilan keluhuran budi.
"Tentang
nasib anak-isteri Wayan Suage, serahkan kepadaku. Aku akan mencarinya sampai
ketemu, biar pemuda itu bersembunyi di ujung langit. Itulah dasar syarat
kedua."
"Eh
... jadi kita berdua kausuruh mencari anak-isteri Made Tantre sebagai syarat
pertaruhan?"
"He-e."
"Siapa
yang lebih dulu berhasil, dia yang menang. Begitulah maksudmu?"
"Baru
separoh menang," ujar Hajar Karang¬pandan dengan tersenyum. "Sebab
kalau hanya bertaruh macam begitu, adalah pekerjaan yang mudah. Tetapi yang
separoh lagi, itulah baru bernapas pertaruhan sejati."
"Apa
itu?" Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
"Hai…
itulah syarat ketiga. Dengarkan kujelaskan. Seperti kalian ketahui, Wayan Suage
dan Made Tantre masing-masing mempunyai seorang anak laki-laki. Anak mereka
masing-masing dibawa lari kedua bangsat itu yang mempunyai arah bertentangan.
Aku akan mendidik dan mengajar anak Wayan Suage yang dilarikan oleh si pemuda
jempolan. Dan kalian berdua mendidik dan mengajar anak Made Tantre. Mah,
bagaimana?"
Jaga
Saradenta dan Wirapati ternganga keheranan. Mereka belum dapat menangkap maksud
Hajar Karangpandan. Maka mereka berdua membungkam mulut.
"Kita
menunggu waktu sampai dua belas tahun lagi," kata Hajar Karangpandan
meneruskan. "Anak mereka kini sudah berumur kurang lebih tujuh tahun. Jadi
dalam masa dua belas tahun lagi, mereka sudah berumur 19 tahun. Cukuplah sudah
kita golongkan orang-orang dewasa. Mereka berdua kemudian kita ajak ke mari. Ke
tempat ini. Kita mengundang pula orang-orang gagah pada jaman ini sebagai
saksi. Kemudian mereka berdua kita adu. Di saat itulah kita bisa mengambil
keputusan, siapa di antara mereka berdua yang menang. Kalah dan menangnya
ma¬sing-masing samalah juga kalah dan me¬nangnya kita bertiga."
"Mengapa
bukan kita yang bertempur?" dengus Wirapati.
"Kalau
kita bertempur, jumlah kita berlebih seorang. Seumpama kalian berdua
memenangkan aku, itupun bukan suatu kemenangan terhormat. Sebab jumlah kalian
lebih banyak. Sebaliknya kalau aku memenangkan kalian, juga bukan suatu
kemenangan yang mentereng. Sebab setelah dua belas tahun Gelondong Jaga
Saradenta sudah jadi orang pikun. Sedangkan si anak-muda, sudah sewajarnya aku
menang karena umurku jauh lebih tua dan berpengalaman."
"Kaubilang
sampai mampus, apa maksudmu?"
"Kalau
kalian tidak sungguh-sungguh mendidik dan mengajar anak Made Tantre, maka
orang-orang gagah di kolong langit ini akan kusuruh mencincang kalian berdua
sampai mampus. Mayat-mayatmu akan kulemparkan ke kali itu. Nama kalian kusuruh
menyoraki dan menghapuskan dari ingatan setiap orang. Nah, jadi setan pun
kalian tak punya tempat."
Wirapati
tercengang-cengang, sedang Jaga Saradenta tertawa cekakakan karena geli dan
mendongkol. Tapi mereka sudah berjanji akan patuh dan mentaati setiap kata-kata
Hajar Karangpandan yang sudah diputuskan. Maka mereka tak berdaya sedikitpun
untuk meringankan atau mengurangi.
"Kurangajar!
Kau licin seperti belut!" maki Jaga Saradenta kemudian. "Kau cuma
melepaskan beberapa patah kata-kata ugal-ugalan dan kau memaksa kami berdua
memeras keringat selama dua belas tahun. Ini gila."
Wajah
Hajar Karangpandan berubah. Memang ia bisa merasakan kebenaran ujar Gelondong
Jaga Saradenta. Tetapi ia harus mengatasi kesan itu, demi menebus dosa kepada
kedua sahabatnya. Maka ia tertawa panjang dengan pandang menghina.
"Mengapa
kamu tertawa? Mana yang lucu?" damprat Jaga Saradenta.
"Bagaimana
aku tidak tertawa. Meskipun aku belum pernah berkenalan dengan kalian, tapi
telah lama kudengar nama kalian yang harum. Wirapati, murid keempat Kyai Kasan
Kesambi Gunung Daman Tiap orang tahu ketenarannya. Jaga Saradenta Gelondong
Segaluh, bekas perajurit Pangeran Mangkubumi. Tiap orang tahu pula
kegagahannya. Tak tahunya, hari ini Tuhan mempertemukan aku dengan kalian.
Kulihat ketenaran nama kalian yang gagah-agung-mulia, sama sekali tak cocok
dengan ... hi hi hi ... ha ha ha ..."
Gelondong
Jaga Saradenta kena dibakar hatinya. Darahnya lantas saja panas mendidih. la
menggempur tanah, tatkala hendak membuka mulut. Hajar Karangpandan mendahului,
"Orang gagah sejati akan memandang enteng setiap janji yang telah
diucapkan. Pengorbanan jiwa, bukanlah suatu soal untuk kebajikan. Gajah Mada,
Narasuma, Sawung Galing, Mundingsari, jayaprana, Trunajaya, Untung Surapati,
Hasanudin, mereka semua adalah orang-orang gagah yang bersedia mengorbankan
nyawa untuk suatu kebajikan. Mengapa kita yang hidup di atas bumi tempat mereka
hidup tidak menerima warisan sedikitpun juga? Ini mengherankan! Barangkali
karena hati kita ini sekerdil katak bangkotan."
Wajah
Jaga Saradenta menjadi pucat. Begitu juga Wirapati. Tubuhnya menggigil seperti
menahan arus air. Sejurus kemudian mereka menundukkan kepala.
"Kau
benar. Memang aku bangsa kerdil. Baiklah kucoba kebajikan ini. Kalau di
kemu¬dian hari aku menang bertaruh, itulah nasib baik." Kata Jaga
Saradenta galau.
"Perkataan
seorang laki-laki sejati!" sahut Hajar Karangpandan cepat. la menjadi
gembira karena merasa menang. Kemudian berpaling ke Wirapati. "Selesailah
sudah perjanjian ini. Kau bagaimana, anak muda?"
Wirapati
mengangguk.
"Bagus.
Cuma aku ingin bicara sepatah kata lagi." Hajar Karangpandan mengesankan.
"Di antara kita bertiga, hanya kita berdua yang pernah melihat kedua
pusaka Pangeran Semono."
"Mengapa
hal itu dibicarakan juga?" potong Wirapati tak senang. "Biar orang
menghadiahkan pusaka itu kepadaku, tak sudi aku menerimanya."
"Aku
tak menuduh buruk kepadamu. Sekiranya kamu mau merampas, pastilah sudah berada
dalam genggamanmu. Itu aku tahu. Cuma aku ingin titip sepatah kata. Seumpama
nasibmu bagus dan pada suatu hari kautemukan kedua pusaka Bende Mataram dan
keris Kyai Tunggulmanik, berjanjilah kepadaku kalau kedua pusaka itu harus
kauberikan kepada kedua anak-anak asuhan kita. Siapa yang pantas memiliki Bende
Mataram dan siapa pula yang pantas memiliki keris Kyai Tunggulmanik, bukanlah
soal."
"Aku
berjanji."
"Nah,
tak usah kita pikirkan pusaka itu lagi. Kita berpisahan di sini. Ingat! Dua
belas tahun lagi kita bertemu di tempat ini," kata Hajar Karangpandan. la
berdiri dan mendadak melesat pergi.
"Ayo
kita pergi," ajak Gelondong Jaga Saradenta. "Lebih cepat kita cari,
lebih baik."
"Biarlah
kususul dia seorang diri," sahut Wirapati.
"Jangan!
Kau belum mengenal jalan ke barat. Lagi pula, kau tak punya bekal cukup. Mari
singgah ke Segaluh. Setelah kuserahkan kekuasaan pemerintahan dusun kepada
wakilku, kita berangkat bersama-sama. Mati hidup kita mulai sekarang ada di
tangan kita berdua."
Mereka
berangkat ke barat. Jaga Saradenta tidak berani berlari karena luka dalamnya
masih perlu perawatan beberapa hari lamanya. Sedang Wirapati melangkahkan kaki
dengan setengah hati. Teringatlah dia kepada saudara-saudara seperguruannya.
Bulan depan mereka akan menerima ajaran Ilmu Majangga Seta. Dapatkah dia ikut
serta? Memikirkan hal itu, hatinya lemas. Tetapi apabila dia dapat
menyelesaikan masa mencari anak-isteri Made Tantre barang seminggu, rasanya
masih belum ketinggalan. Semangatnya muncul kembali. Ingin ia lari
secepat-cepatnya, kalau tak ingat luka Jaga Saradenta.
Kodrat
waktu itu telah meninggalkan Desa Segaluh. Tatkala Jaga Saradenta ikut
bertempur, ia merasa mendapatkan kesempatan. Ia bersyukur kepada Tuhan atas
kemurahannya. Segera terbanglah dia menuju Desa Segaluh. Sepanjang jalan dia
berpikir. Ke manakah aku mau lari? Kembali ke Banyumas, tidaklah mungkin. Sang
Dewaresi mana bisa mengampuni aku, kecuali kalau aku membawa pusaka. Ia sangat
sedih. Ia kutuk Hajar Karangpandan sampai tujuh turunan. Ia maki si pemuda
Wirapati yang menolong melarikan Wayan Suage. Ia kutuk pula pamannya, yang
hampir membuatnya susah.
Mendadak
timbullah pikirannya, baiklah aku lari ke Jakarta. Di sana aku akan
menggabungkan diri kepada kompeni. Rukmini biarlah kubawa ke Jakarta untuk
oleh-oleh. Pastilah serdadu-serdadu Belanda akan berterima kasih kepadaku.
Siapa tahu, aku lantas diberi pangkat sebagai upah jasa.
Mendapat
pikiran demikian, tegarlah hati¬nya. Larinya kian dipercepat. Sebentar saja
sampailah dia ke rumah pamannya. Rukmini dan Sangaji masih terkunci rapat dalam
bilik. Ia bersyukur setinggi langit. Kemudian dengan dalih mengantarkan Rukmini
pulang ke kampung halamannya, ia diizinkan bibinya meneruskan perjalanan.
"Ke
mana pamanmu?"
"Dia
lagi melayani si pendeta cabul. Sebentar lagi juga pulang," katanya.
Dia
terus menuju ke barat. Sangaji digendongnya sebagai umpan Rukmini. Di Dusun
Kotawaringin ia mengambil jalan air. Dibelinya sebuah rakit dan terus menuju ke
utara. Tiba di Dusun Wonosari ia memaksa seorang penambang menukar rakit.
Mula-mula penambang rakit menolak. Tetapi dengan diancam belati, terpaksa dia
menyerah.
Pada
senja hari sampailah dia di persimpangan Kali Klawen. Legalah hatinya, karena
yakin pamannya tidak mengejarnya lagi. Tetapi ia salah duga. Setelah Jaga
Saradenta menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada wakilnya, segera dia
berangkat. Ia berpesan kepada isterinya agar jangan mengharap-harap
kedatangannya sebelum membekuk si Kodrat.
Mula-mula
mereka berdua melalui jalan besar. Sampai di Kota Waringin, mereka mulai ragu.
Kebetulan sekali mereka mendengar kabar tentang seseorang yang membeli rakit.
Peristiwa itu jarang terjadi. Segera mereka menduga-duga. Maka diputuskan hendak
meneruskan perjalanan melintasi air.
Sepanjang
jalan mereka berunding dan menduga-duga ke mana arah perginya si Kodrat. Sampai
di Wonosari jejak Kodrat kian nyata. Pemilik rakit yang diancam Kodrat, menjual
berita kepada seluruh penduduk. Ramailah orang membicarakan. Jaga Sara¬denta
dengan mudah mendapatkan keterangan. Cepat-cepat dikayuhnya rakit ke barat.
Waktu itu senja hari mulai tiba. Jarak mereka sebenarnya sudah sangat dekat
dengan Kodrat. Kira-kira lewat petang hari, mereka semua akan bertemu.
Mendadak
Kodrat mempunyai pikiran lain. Rakitnya ditepikan. Kemudian dibakarnya, setelah
itu ia membawa Rukmini berjalan lewat daratan, mengarah ke barat-daya.
Melintasi desa-desa dan pegunungan.
Rukmini
merasa sangat lelah. Lelah semuanya. Baik tenaga maupun hatinya. Ia mengajak
berhenti. Kodrat terpaksa menuruti, meskipun hatinya uring-uringan. Syukur,
meskipun kasar dia bukan pemuda bangor. Angan-angannya hanya merindukan derajat
dan pangkat tinggi. Itulah sebabnya, tak pernah terlintas dalam pikirannya hendak
mengganggu Rukmini.
Mereka
menginap di sebuah gubuk. Pada fajar hari perjalanan dilanjutkan. Kali ini
lewat air untuk menghemat tenaga. Pada petang hari meneruskan perjalanan lewat
darat. Demikianlah terus-menerus dilakukan sampai hampir dua minggu lamanya.
Akhirnya sampailah mereka di kota Cirebon. Mereka menginap di sebuah
penginapan. Hati Kodrat mulai tak tenteram. Ia berpikir untuk mencari tempat
tinggal. Sebab bekal perjalanan mulai tipis. Lagi pula berkelana tanpa
berhenti, rasanya kurang menyenangkan. Rukmini atau si bocah bisa terserang
sakit. Kalau sampai begitu, akan gagallah rencananya.
Hari
itu selagi dia berada di dalam kamar penginapan, mendadak didengarnya suara
pamannya yang tengah berbicara dengan pemilik penginapan. Dia lagi mencari
keterangan tenang dirinya.
la
kaget bukan kepalang. Segera ia mengintip. Di samping pamannya berdiri seorang
pemuda berperawakan gagah tetapi mukanya agak kusut. Itulah Wirapati yang dulu
bertempur dengan Hajar Karangpandan.
Melihat
mereka berdua, hatinya ciut. Cepat-cepat ia mengajak Rukmini meninggalkan
penginapan. Rukmini menolak, karena merasa kejatuhan bintang penolong. Dia
hendak menjerit. Mendadak Kodrat menubruk Sangaji dan mengancamkari belatinya.
Terpaksalah ia mengurungkan niatnya dan mau tak mau mengikuti Kodrat
meninggalkan penginapan lewat pintu belakang.
Sepanjang
jalan Kodrat memaki-maki dan memukuli Rukmini yang dapat membahayakan nyawanya.
la mengancam akan membunuhnya bila laku itu diulangi sekali lagi. Tetapi
Rukmini tak mengenal takut. Hatinya sudah terlalu pepat. Lagi pula semenjak
suaminya meninggal, hatinya sudah menjadi kosong. Kalau saja tak ingat akan
nyawa anaknya, sudah lama ia ingin bunuh diri.
Demikianlah,
pada suatu hari dia diajak menginap di sebuah losmen. Rukmini sengaja
mengusut-usutkan rambutnya agar menarik perhatian orang. Kodrat dongkol bukan
main. Ia menghunus belatinya dan benar-benar ingin menikamnya mati. Rukmini
lantas saja berdoa dalam hati memanggil suaminya, "Kuserahkan keselamatan
anakmu kepadamu. Lindungilah dia. Aku akan mati bersama jahanam itu."
Setelah
berdoa, ia menubruk maju. Kodrat terkejut bukan main. Sama sekali tak
diduganya, kalau Rukmini akan berlaku demikian. Karena terkejut, belatinya
sampai jatuh ke tanah. Mereka lantas saja berebutan mencapai belati. Tetapi
Rukmini seorang perempuan. Selain kalah tangkas, kalah tenaga pula. Sangaji pun
waktu itu merisaukan hatinya. Dia menangis ketakutan.
Lemah
lunglailah sekujur badannya. Ia membiarkan Kodrat mencapai belatinya. Dadanya
kemudian dihadapkan. Tetapi Kodrat tidak menikamnya.
"Janganlah
kau menggoda hatiku, Rukmini. Aku berjanji takkan bersikap kasar lagi kepadamu.
Tetapi janganlah kamu mencelakakan aku," kata Kodrat melunak.
Kodrat
kemudian membawa Sangaji pergi meninggalkan losmen. Rukmini terpaksa mengikuti
demi anaknya. Kini, perjalanan tidak lewat darat lagi. Untuk mengurangi
gangguan Rukmini, Kodrat membeli sebuah perahu. la bermaksud meneruskan
perjalanan lewat laut. Seorang nelayan yang lagi menjala di pinggir laut
diajaknya serta.
"Bantulah
aku mengayuh perahu ini sampai pantai Jakarta. Sesampainya di Jakarta, pe¬rahu
kuberikan kepadamu," bujuk Kodrat.
Sudah
barang tentu si nelayan itu gembira. Kebetulan pula, ia seorang nelayan yang
lagi rudin . Perahu ikannya digulung gelombang pada beberapa bulan yang lalu.
Sekarang datanglah suatu rejeki tak terduga. Bagaimana ia dapat membiarkan
kesempatan bagus ini berlalu begitu saja.
Demikianlah
setelah berlayar selama satu minggu, sampailah mereka di Jakarta. Kodrat amat
gembira. Begitu kakinya menginjak pantai, ia berloncat-loncatan dan
menandak-nandak. Rasanya, ia seperti dilahirkan kembali ke dunia. Di Jakarta
Kodrat segera mencari sebuah pondokan. Di pondokan itu ia beristirahat selama
tiga hari tiga malam untuk melemaskan otot-ototnya dan ketegangan hatinya.
Ketika telah merasa sehat kembali, ia mencari hubungan ke tangsi-tangsi kompeni
Belanda. Kebetulan waktu itu, kompeni Belanda sedang membutuhkan tenaga tentara
Bumiputera. Kodrat diterima lamarannya sebagai serdadu. Ia mendapat gaji
lumayan jumlahnya. Bahkan, ia mendapat sebuah kamar pula.
Segera
pulanglah dia ke pondokan dengan membawa warta gembira. Tetapi sesampainya di
pondokan, Rukmini dan Sangaji tidak ada. Ditanyakan mereka kepada tetangga
sebelah-menyebelah. Tetapi tetangganya tidak ada yang dapat memberi keterangan.
Maklumlah, Rukmini seorang pendatang baru.
Kodrat
jadi uring-uringan. Ingin dia mencarinya sampai ketemu. Tetapi ia sayang kepada
pekerjaannya yang baru. Baiklah aku bersabar dulu, pikirnya. Dia seorang
perempuan lagi membawa anak pula. Pastilah tidak dapat meninggalkan kota asing
ini. Perlahan-lahan kucari, pasti ketemu. Seminggu dua minggu, ia berusaha
mencari setiap kali habis dinas. Namun usahanya sia-sia. Akhirnya ia mendongkol
dan penuh dendam. Ia berjanji dalam hati, hendak membunuh mereka berdua.
Hari
terus merangkak-rangkak tiada henti. Bulan Agustus 1792 telah tiba. Dunia dalam
keadaan terguncang. Di Eropa timbul masalah-masalah persengketaan. Di Negeri
Belanda pun tak terkecuali. Negeri-negeri jajahan menjadi suatu ajang
pembicaraan ramai. Perebutan-perebutan kekuasaan antara pemilik-pemilik modal
dan para pangeran kian menja¬di sengit.
Kedudukan
VOC di Jakarta mulai pula berbicara. Kegelisahan-kegelisahan terjadi.
Pemimpin-pemimpin militer kini menunjukkan giginya kepada para pengusaha.
Masing-ma-sing saling memperkuat diri. Maka tenaga kesatuan militer Bumiputera
makin banyak dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak tertentu.
Orang-orang
Belanda mulai memperhatikan kesetiaan dan kesanggupan begundal-begun-dalnya.
Hadiah-hadiah dan pangkat-pangkat dibagikan dengan murah.
Kodrat
yang menyerahkan seluruh hidupnya kepada pekerjaannya sudah semenjak lama
berusaha memperoleh perhatian layak. Tidaklah mengherankan, kalau dalam masa
tiga bulan saja ia kejatuhan bintang cemerlang.
Pangkatnya
naik menjadi Kopral dan ia dipindahkan di bagian pasukan berkuda. Selain itu ia
dipilih pula sebagai pengawal pribadi Mayor Nieuwenhuisz.
Mayor
Nieuwenhuisz seringkali keluar daerah. Ia selalu diajak serta. Sebagai
seseorang yang biasa menghamba, maka dengan cepat juga ia dapat mengambil hati
majikannya yang baru. Ia dijanjikan pangkat sersan apabila dapat bekerja dengan
baik pada masa tiga bulan lagi. Janji itu alangkah menyenangkan dan membesarkan
hatinya.
Pada
suatu hari, Mayor Nieuwenhuisz mengirimkan VOC ke Cirebon dengan tugas
mengawasi keluarga Sultan Kanoman. Ada berita, kalau rakyat Cirebon dengan diam-diam
menyusun suatu pemberontakan.
Kodrat
ditugaskan memimpin regu penggempur di samping mengatur pengawalan. Tugas kali
ini tak menyenangkan hatinya. Ia takut berangkat ke Timur. Wirapati dan
pamannya, masih saja merupakan momok baginya. Ia sadar dan mengenal watak
pamannya Orang tua itu takkan berhenti mengikuti jejaknya selama dia belum
berhasil meringkus dirinya. Tetapi ia tak berdaya menolak tugas itu. Maka
berangkatlah dia dengan 250 serdadu berkuda. Kudanya berderap gagah de¬ngan
diiringi tetabuhan dan genderang. Kesannya menggairahkan hati. Desa-desa yang
dilewati kaget terbangun. Penduduknya berlari-larian ke jalan, berdiri
mengagumi.
Pada
tanggal 24 Agustus 1792, pasukan berhenti dan berkemah di Jatibarang. Mereka
memilih sebuah lapangan luas. Tenda-tenda kemudian didirikan.
Penjagaan-penjagaan diadakan dengan waspada, karena mereka akan memasuki daerah
pemberontakan.
Selama
itu hati Kodrat tidak tenteram. Ia merasa seperti diincar pamannya dan
Wirapati. Tetapi entah di mana mereka berdua berada, tak dapat dia menduganya.
Prarasa
manusia kerapkali benar. Itulah karunia alam sebagai pelengkap jasmaniah tiap
manusia dalam hukum mempertahankan jenis. Sungguh! Waktu itu Jaga Saradenta dan
Wirapati benar-benar tidak jauh daripadanya.
Mereka
berdua telah menjelajah seluruh daerah Cirebon selama tiga bulan lebih. Mereka
tak mengenal lelah mencari keterangan tentang jejak Kodrat. Hanya tak pernah
terlintas dalam pikirannya, kalau Kodrat melintasi lautan. Itulah sebabnya,
perjalanannya berlarut-larut tanpa pedoman yang pasti.
Pada
hari itu mereka berdua sampai di Jatibarang, bertepatan dengan kesibukan
penduduk kota mewartakan datangnya pasukan kompeni Belanda. Sebagai dua orang
yang berpaham menentang penjajahan mereka tertarik kepada berita itu. Ingin
mereka menyaksikan kekuatan kompeni dari dekat. Siapa tahu pengalaman itu kelak
ada gunanya di kemudi¬an hari.
Mendadak,
mereka melihat seorang kopral bangsa Bumiputera, Jaga Saradenta lantas saja
mengenal siapa dia. Cepat ia membisiki Wirapati.
"Apa
benar dia Kodrat?" Wirapati minta keyakinan.
"Hm.
Biar dia berganti rupa seribu kali sehari, aku tak bisa dikecohnya. Semenjak
kanak-kanak, akulah yang mengasuh dan merawatnya," sahut Jaga Saradenta.
Tetapi setelah berkata demikian, ia jadi bersedih hati. Teringatlah dia masa
kanak-kanak kemenakannya.
Pada
malam harinya, mereka berdua mulai bekerja. Waktu itu bulan gede telah lampau
beberapa hari. Dunia jadi gelap pekat. Keadaan demikian menolong pekerjaan
me¬reka.
Di
tengah lapang, kompeni-kompeni sedang menyalakan api unggun. Angin malam mulai
menyelinapi tubuh. Itulah sebabnya, maka serdadu-serdadu banyak yang
meninggalkan tendanya.
Menjelang
tengah malam, mereka mulai mengundurkan diri. Rasa lelah karena perjalanan
panjang mulai berbicara. Kodrat mendapat giliran jaga malam. la memimpin dua
belas orang serdadu. Jaga Saradenta dan Wirapati yang mengintip dari luar
menemui kesukaran. Mereka mengusahakan diri agar jangan terlibat dalam suatu
perkelahian. Biarpun mereka kuat, masa kuasa melawan kompeni sebanyak itu.
Karena
pertimbangan itu maka mereka menunggu saat yang tepat. Tiga empat jam mereka
menunggu. Kodrat tidak juga terpisah dari teman-temannya. Malahan seringkali
dia berada di dalam tenda penjagaan. Hal itu menjengkelkan hati Jaga Saradenta
dan Wirapati. Tetapi sampai fajar hari harapan mereka tak terkabul. Terpaksalah
mereka melepaskan buruannya.
Keesokan
harinya mereka mencoba lagi. Pada tengah malam dikunjunginya perkemahan kompeni
dengan diam-diam. Kodrat tidak nampak. Dia habis mendapat giliran jaga malam.
Maka malam itu dia istirahat. Kembali mereka gagal.
Pada
malam ketiga habislah sudah kesabar-annya. Mereka bertekad mau menerjang masuk.
Tenda-tenda dijenguknya. Tatkala bersua dengan seorang penjaga mereka
membekuknya dan dibawanya lari ke suatu tempat. Mereka mengorek keterangan
tentang di mana Kodrat. Serdadu itu disiksanya. Mau tak mau terpaksa memberi
penjelasan.
Serdadu
itu kemudian diikat erat-erat pada sebatang pohon. Mereka kembali menyusup
tenda perkemahan yang berada di sebelah timur. Kodrat waktu itu baru saja
datang dari berunggun api. Tadi dia menyanyi dan menari sebagai penghibur hati.
Kesan itu masih dibawanya saat pulang ke tenda. la bersiul-siul kecil serta
berdendang lemah. Mendadak terasalah kesiur angin memasuki tenda. la menoleh.
Tahu-tahu mulutnya kena bungkam dan teringkuslah Kodrat tanpa bisa membuat
perlawanan.
Dua
tiga kawannya yang masih bangun kaget bukan kepalang. Mereka lantas saja
berteriakan. Jaga Saradenta segera mengambil tindakan cepat. Digempurnya
merekabersama. Dalam sekejap saja, mereka terpental ke tanah dan jatuh pingsan.
Tetapi
teriakan mereka membangunkan seluruh kesatuan militer. Terompet tanda bahaya
melengking di tengah malam. Serdadu-serdadu berlari-larian dan dengan cepat
bersiaga penuh.
Wirapati
dan Jaga Saradenta menemui kesulitan kini. Dengan cepat mereka menerobos ke
utara. Tetapi serdadu-serdadu yang berada di perkemahan utara sudah pada keluar
dengan senjatanya masing-masing.
"Cepat
ke kandang kuda!" kata Wirapati nyaring sambil memapah Kodrat.
Mereka
berdua lantas saja menghampiri kan¬dang kuda dan melepaskan kuda-kuda.
Kegaduhan segera terjadi. Kuda-kuda lari berserabutan dan menerjang tenda-tenda
kalang-kabut. Terpaksalah serdadu-serdadu kompeni membagi perhatiannya. Mereka
digulung-gulung oleh suatu kesibukan terkutuk. Dengan mempergunakan kegaduhan
itu Jaga Sara¬denta dan Wirapati berhasil meloloskan diri.
Sekarang
mereka telah berada jauh dari perkemahan. Mulailah mereka mengkompes mulut Kodrat
tentang di mana beradanya Rukmini dan anaknya. Kodrat mengharapkan suatu
ampunan. Dikisahkan riwayat perjalanannya dengan terus terang. Diterangkan pula
maksudnya melarikan Rukmini dan Sangaji. Tetapi ia gagal, karena mereka berdua
melarikan diri tidak ada beritanya lagi.
"Kodrat!"
kata Jaga Saradenta menegas. "Aku ini pamanmu. Semenjak kanak-kanak kau
kuasuh dan kudidik. Kenapa sekarang kamu tega membuat aku mendapat kesulitan.
Kenapa?"
Kodrat
mengenal watak pamannya. Segera ia menjatuhkan diri sambil meratap.
"Paman! Kalau aku membawa lari Rukmini dan anaknya, semata-mata karena
terpaksa demi tugas. Dulu aku diberi tugas sang Adipati Dewaresi merampas
kembali pusaka itu. Pusaka itu ternyata hilang. Bukankah satu-satunya jalan
untuk mendapat keterangan adalah dari mulut salah seorang anggota keluarga
mereka?"
"Jahanam!
Karena kamu gila kedudukan, mereka kaubuat susah begitu rupa. Mereka sudah
cukup dihancurkan malapetaka. Mengapa kau sampai hati membebani kesedihan lagi
ke anak-isteri mereka. Apa kau mau memperkosanya?"
"Tidak,
sama sekali tidak! Tuhan menjadi saksi," sahut Kodrat cepat.
Jaga
Saradenta merenungi. Ia melihat pandang mata kemenakannya sungguh-sungguh. Dia
ingin percaya. Kemudian berpaling kepada Wirapati minta pertimbangan.
"Wirapati,
sesungguhnya dia tidak begitu berdosa. Tidak ada bukti, ia tidak berniat
mencelakakan keluarga Wayan Suage dan Made Tantre. Perbuatannya hanya terdorong
karena rasa tugas belaka. Untuk ini aku bisa mengampuni. Dan, diapun tidak
merusak kehormatan Rukmini atau menyiksa Sangaji. Bagaimana pendapatmu?"
Wirapati
sudah lama menaruh dendam. Masa ajaran Ilmu Mayangga Seta yang dirindukan
semenjak lama, tak dapat dicapainya lagi. Ini semua gara-gara si Kodrat.
Seumpama Kodrat tidak melarikan Rukmini dan Sangaji, pastilah masih ada harapan
untuk mengejar waktu. Tetapi diapun sebenarnya bukan manusia bengis. Hati
nuraininya penuh dengan pengucapan-pengucapan kemanusiaan. Sebaliknya
membebaskan Kodrat tanpa hukuman, rasanya kurang memuaskan hatinya.
"Kita
berdua telah susah payah. Lagi pula tidak gampang memergoki dia, sekiranya
Tuhan tak menaruh belas-kasih. Seumpama kita berdua tiada melihat dia pada hari
ini, perjalanan kita bisa jadi mengalami waktu empat lima tahun. Aku telah
kehilangan suatu kesempatan bagus. Karena itu aku menuntut ganti
kerugian." Kata Wirapati tegas.
"Apa
itu?" Jaga Saradenta berlega hati. Sebab bagaimanapun juga tak sampai hati
ia mengadili kemenakannya.
"Dua
bulan yang lalu mestinya aku telah menerima ajaran suatu ilmu sakti dari
guruku. Tapi gara-gara ini, gagallah aku. Untuk minta pengajaran ulangan di
kemudian hari tidaklah gampang."
"Lantas?"
"Kemenakanmu
kini menjadi serdadu. Nampaknya dia mantap."
"Biar
mantap, tak sudi aku mempunyai kemenakan jadi begundal Belanda!" teriak
Jaga Saradenta.
"Bagus!
Kupinta dia mulai hari ini menanggalkan pakaian kompeni. Kemudian ikut kita
berdua mencari Rukmini dan Sangaji. Ini baru adil."
"Kaudengar
Kodrat! Betul-betul adil keputusan itu." Jaga Saradenta lantas saja
menguatkan.
Kodrat
menundukkan kepala. Wajahnya berubah pucat. Keputusan itu sangat berat baginya.
Bagaimana dia dapat melepaskan pangkatnya. Ke mana dia lantas hendak pergi?
Dia
merasa telah kehilangan tempat. Kehilangan pelindung pula. Kalau Adipati
Dewaresi tiba-tiba datang menagih kesetiaan-nya, apa yang akan diandalkannya.
Tetapi ia sadar, dirinya berada dalam kekuasaan mereka. Ia tak berani membantah
biar sepatah katapun.
"Nah
sekarang tanggalkan pakaian begundalmu!" perintah Jaga Saradenta garang.
Kodrat
terpaksa menurut. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.
"Paman!
Aku adalah kemenakan Paman. Pekerjaan menjadi serdadu Belanda ini, karena
terpaksa. Aku takut pada hukuman Paman. Tak tahunya Paman memberi ampun begini
besar kepadaku. Tetapi aku adalah keturunan kesatria. Tak dapat aku
meninggalkan kesatuan kompeni secara kasar dan liar. Apa Paman sampai hati nama
kemenakanmu menjadi omongan orang. Biar yang mengomongkan orang-orang
Belanda," katanya.
Jaga
Saradenta adalah seseorang yang mengutamakan nama dalam pergaulan hidup. Ia
dapat menerima kata-kata kemenakannya. "Lantas?" katanya.
"Biarlah
aku minta keluar dengan terus terang kepada komandanku." "Apa
dalihmu?"
"Aku
akan membuang senjataku. Dengan dalih aku kalah berkelahi melawan Paman
sehingga senjataku terampas, sudahlah cukup kuat. Aku akan dihukumnya terlebih
dahulu. Itu pasti. Tapi pada malam hari, kuharap Paman datang mengunjungi
perkemahan lagi. Bawalah aku lari."
"Hm.
Masa aku segoblok pendapatmu," damprat Jaga Saradenta. "Kompeni
sekarang akan mempertebal kewaspadaannya setelah peristiwa semalam."
"Kalau
begitu, berusahalah Paman mengikuti perjalanan mereka."
Jaga
Saradenta melemparkan pandang kepada Wirapati. Ia menimbang-nimbang. Akhirnya
menyetujui. Kodrat bergembira. Segera ia mencium lutut pamannya dan cepat-cepat
kembali ke perkemahan.
"Janganlah
Paman meninggalkan tempat ini. Sehari ini pasti mereka berusaha menangkap
Paman," serunya.
Jaga
Saradenta mengiakan. Ia menunggu di tempat itu dengan Wirapati sambil
memperbincangkan cara mencari Rukmini dan Sangaji secepat mungkin agar tak
menghabiskan waktu. Harapan demikian terasa tebal dalam hatinya, mengingat
Kodrat telah menyanggupkan diri untuk menyertai.
Waktu
itu fajar hari mulai tiba. Dingin pagi mulai pula meresapi tubuh. Mereka
berbaring di rerumputan sambil memandang bintang-bintang di langit. Kemudian
kelelahan terasa datang dengan diam-diam. Tertidurlah mereka tanpa dikehendaki
sendiri seperti kena bius.
Berapa
lama mereka tidur hanya alam sekitarnya yang dapat menerangkan. Tiba-tiba
me¬reka bangun terkejut. Pendengarannya yang tajam mendengar derap kuda yang
mendekat. Tahu-tahu mereka telah terkepung rapat. Dua puluh serdadu mengancamkan
pandang bengis. Mereka bersenjata pedang. Ada pula yang memperlihatkan tiga
empat pucuk senapan.
Jaga
Saradenta dan Wirapati serentak bangkit berdiri. Mereka menyapukan pandangan.
Mendadak dilihatnya Kodrat berada di antara mereka sambil tersenyum menusuk
hati. Melihat Kodrat, Jaga Saradenta lantas saja dapat menebak. Sekujur
badannya meng-gigil. Hatinya terasa hampir meledak. Dengan pandang menyala ia
membentak. "Kodrat! Apa artinya ini?"
Kodrat
seolah-olah tak mendengar bentakannya. Ia menoleh kepada pasukannya. Memberi
perintah, "Maju! Kepung rapat. Kalau bisa, tangkaplah pengacau itu
hidup-hidup. Bila melawan habisi nyawanya."
Bukan
main gusarnya Jaga Saradenta sampai mulutnya tak bisa berbicara. la mengerling
pada Wirapati. Pandangnya minta maaf dan belas kasih. Tapi Wirapati nampak
tenang. la berdiri tegak. Melihat para serdadu datang mendekat, ia berkisar
dari tempatnya.
"Apa
dia Kodrat?" katanya pada Jaga Saradenta.
"Bukan!
Bukan!"
"Dulu
kaubilang, biar dia berganti rupa seribu kali sehari kau takkan terkecoh."
"Aku
menyesal. Mataku buta. Otakku tumpul. Hatiku gelap. Apa perlu aku hidup lebih
lama lagi. Hari ini, biarlah aku mati untuk menebus kegoblokanku itu,"
sahut Jaga Saradenta. Hatinya penuh sesal, pedih dan malu. Dua kali, ia kena
diakali kemenakannya. Hati siapa takkan meledak.
Pada
saat itu para serdadu sudah menerjang. Mana bisa mereka berdua menyerah dengan
begitu saja. Secepat kilat mereka melesat membuka gelanggang.
"Wirapati!
Saksikan aku menghajar begundal Kodrat," kata Jaga Saradenta. Lantas saja
dia merangsak mengarah kepada keme¬nakannya.
Wirapati
tersenyum pahit. Ia meloncati dua orang serdadu yang sedang mengayunkan pedang
berbareng kepadanya. Tangan kirinya membalik cepat, terus menerkam gagang
pedang. Sedang tangan kanannya menyodok tulang-rusuk serdadu yang lain. Sekali
dia menyerang, pedang lawan dapat dirampasnya sambil melukai yang lain.
Menyaksikan kegesitan itu serdadu-serdadu mundur berserabutan. Tetapi mereka
berada di atas kuda. Tak mudah mereka bergeser tempat. Itulah sebabnya sebelum
mereka dapat menguasai diri, Wirapati sudah berhasil menikam tiga orang dengan
pedang rampasan. Mengejutkan.
Mereka
kini melindungi diri rapat-rapat. Pedangnya diputar kencang. Wirapati undur
selangkah. Kemudian meloncat dan menyambar dua serdadu sekaligus. Mereka
terjungkal ke tanah. Yang membawa senapan cepat-cepat mengisi bubuk mesiu.
Mereka berjumlah empat orang.
Wirapati
bermata tajam. Secepat kilat ia merapat dan bersembunyi di belakang gerombolan
serdadu. Melihat Wirapati berlindung di belakang tubuh teman-temannya, mereka
tak dapat memetik senapannya.
Di
tempat lain, Jaga Saradenta mengamuk seperti banteng. Ia berhasil pula merebut
pedang seorang serdadu dan terus merangsak. Kodrat melihat gelagat buruk,
hatinya menjadi jeri. Segera ia menjejak perut kudanya hendak melarikan diri.
Jaga Saradenta gusar sekaligus meledak. "Jangan biarkan anjing itu
lari!"
Wirapati
mendengar teriakan Jaga Sara¬denta. Cepat ia meninggalkan gerombolan serdadu.
Ia mencegah larinya kuda. Di luar dugaan kuda Kodrat melesat sangat cepat.
Wirapati tak menjadi gugup. Tangannya menyambar ekor kuda, terus menjejakkan
kaki. Ia terbang ke udara, tangan kanannya membalik menghantam punggung.
Kodrat
terkejut bukan kepalang. Cepai-cepat ia menangkis. Tetapi mana bisa ia menahan
gempuran Wirapati. Seketika itu juga ia terpental dan jatuh berjumpalitan ke
tanah. Tatkala berdiri tegak tahu-tahu tinju Jaga Saradenta mendarat di
dadanya.
Kena
hantaman tinju pamannya ia lontak darah. Tangan kanannya menggapai pistol. Ia
kalah cepat. Lehernya kena gempuran lagi. Seketika itu juga ia jatuh
terjungkal.
Mendadak
Jaga Saradenta terkesiap. Bebe-rapa orang serdadu datang menyerang. Sekejap
saja ia melihat di antara mereka membidikkan senapan. Melihat gelagat buruk,
tanpa berpikir panjang lagi diangkatlah tubuh kemenakannya. Senapan meletus dan
tubuh Kodrat dibuatnya perisai.
Kodrat
menghembuskan napas tanpa sempat berteriak lagi. Tubuhnya berlumuran darah. Ia
dilemparkan ke tanah. Derap kuda datang tidak dapat dikendalikan lagi.
Tubuh¬nya lantas saja tergulung-gulung dan terinjak-injak kuda.
Jaga
Saradenta menutup mata. Tak tahan ia menyaksikan kemenakannya akhirnya mati
begitu hina. Tetapi justru saat ia menutup mata datanglah bahaya. Ia diterjang
beberapa orang serdadu. Pundaknya tersabet pedang. Ia ter¬kejut dan cepat-cepat
melesat pergi.
Wirapati
segera datang menolong. Ia me-ampas kuda dan menghampiri cepat.
"Lompat!"
teriak Wirapati.
Tetapi
Jaga Saradenta menderita luka yang cukup parah. Dadanya mulai terlumuri darah.
Kepalanya pusing berputaran, tangannya menggapai. Gntung, Wirapati tahu
keadaannya. Disambarnya tangan itu dan ditariknya ke atas.
"Tembak!
Tembak!" teriak serdadu-serdadu yang berusaha mengejar mereka.
Dua
tembakan meletus di udara. Kemudian disusul satu kali lagi dan sekali lagi.
SAPARTINAH
kaget waktu kena sambar si pemuda. Ingat akan anaknya ia mendekapnya kencang.
Ia menutup mata. Terasa hawa panas menusuk dirinya. Tetapi hanya sekejap.
Itulah waktu dia dibawa terbang si pemuda melintasi api yang menyala-nyala
sekitar rumah.
"Akan
kaubawa ke mana aku?" ia memekik.
Si
pemuda tidak menjawab. Dia hanya membekam mulutnya. Kemudian berhenti sejenak.
Sanjaya digendongnya di atas punggung, sedang dia sendiri segera dipapah tanpa
dapat berdaya sedikitpun.
Sapartinah
kaget dan ketakutan. Ia sedih dan lelah pula. Seharian tadi dia sibuk bekerja
di dapur memasak empat ekor ayam. Kemudian datanglah malapetaka itu. Suaminya
bertempur melawan orang-orang Banyumas. Dan pada petang hari terjadi pulalah
peristiwa perebutan pusaka.
Kejadian
demikian belum pernah dialaminya selama hidup 22 tahun di dunia. Sekarang
mendadak ia dipapah seseorang. Sedang anaknya nampak sangat ketakutan. Saking
takutnya sampai tak bisa berteriak atau menangis. Ia terharu, sedih, pedih,
kesal dan kaget. Karena rumun gejolak hati ia jatuh pingsan.
Malam
hari bergantilah pagi. Perlahan-lahan ia membuka mata. Pertama-tama yang tampak
di depan matanya adalah atap sebuah kamar. Dirinya terang berada di dalam
kamar. Berselimut dan terbaring di atas dipan. Ia menoleh. Dilihatnya Sanjaya
tidur mendengkur. Hatinya dingin oleh rasa syukur.
Mendadak
ia mendengar langkah lembut. Sapartinah berpaling cepat. Di tepi dipan berdiri
seorang pemuda yang memandangnya dengan wajah manis. Pemuda itu berkata lembut
padanya, "Kau terlalu lelah. Kenapa bangun sepagi ini?"
Ia
merenungi pemuda itu. Teringatlah kemu¬dian peristiwa yang telah dilaluinya.
Suatu bongkahan rasa menusuk dadanya. Ia menjatuhkan kepala.
"Mana
Suage? Mana Tantre? Mana Rukmini?" ia berkata berbisik seperti mengigau.
Kemudian merintih sedih. Akhirnya menangis sesak tersekat-sekat.
Pemuda
itu pandai membaca hati. Perlahan-lahan ia mengundurkan diri. Di ambang pintu
ia berdiri menimbang-nimbang. Mendadak ia mendekatinya lagi dan meraba-raba
pundak Sapartinah. Keruan Sapartinah kaget. Serentak ia bangkit menegakkan diri
seraya memandang si pemuda dengan tajam.
"Mengapa
kau ..." damprat Sapartinah.
"Ssst,"
potong si pemuda. "Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kupikir kamu sangat
letih. Aku ingin menolongmu memijat pundakmu."
Bibir
Sapartinah gemetaran karena menahan kegusaran hatinya.
"Mengapa
kamu menggangguku ... mengganggu keluargaku ... mengganggu ..." Serentak
dia berkata garang.
"Jangan
salah paham, Nyonya," si pemuda memotong lagi dengan suara lembut.
"Tidak ada maksudku mengganggu keluarga Nyonya. Kebetulan sekali aku lewat
dan mengetahui orang-orang jahat yang menyamar sebagai rombongan penari.
Kuhadang mereka dan salah seorang pemimpinnya telah kubunuh. Tak kuduga sama
sekali kalau mereka masih saja memusuhi keluarga Nyonya. Hanya saja, Nyonya ...
aku salah duga. Kukira yang berada di dalam rumah adalah kawanan mereka. Karena
itu aku melepaskan tangan jahatku. Sadar akan kekeliruanku, cepat-cepat aku
menyambar Nyonya. Seperti Nyonya ketahui ... rumah dalam keadaan bahaya."
"Bohong!
Aku tahu kaubohong!" teriak Sapartinah sengit.
"Ssst!
... jangan bicara terlalu keras! Kita berada di rumah orang."
Sapartinah
sebenarnya seorang wanita yang mengutamakan sopan-santun, meskipun ia rada
genit. Mendengar teguran itu, lantas saja ia mengendapkan gejolak hati.
"Kita
ini ada di mana?"
Si
pemuda tersenyum menyaksikan tata-pengucapan hati Sapartinah. Dengan lembut ia
menjawab, "Kita ada di rumah seorang penduduk Desa Besaran."
"Besaran?"
Sapartinah terkejut. Tahulah dia, Desa Besaran letaknya dekat Kota Magelang.
Dengan demikian, desanya Karangtinalang sudah jauh ditinggalkan.
"Mengapa
aku kaubawa ke mari?"
"Nyonya,
Nyonya dalam bahaya. Kawanan orang-orang Banyumas terus mengejar kita."
"Apa
peduliku?"
Si
pemuda mengela napas. Seraya berdiri undur. "Baiklah, kalau aku
kaupersalahkan. Tadi aku bermaksud meminta maaf padamu, karena salah duga aku
membunuh salah seo¬rang sahabatmu. Tetapi aku tak bermaksud jahat padamu.
Lihat, anakmu tak kuusik selembar rambutnya." Ia berhenti mengesankan.
"Sekiranya Nyonya masih menimpakan kesalahan ini tanpa pemaafan, biarlah
aku pergi."
Sapartinah
jadi bimbang. la dan anaknya berada di suatu desa yang belum dikenal pojoknya.
Sikapnya yang kaku mereda lagi. Meskipun demikian ia masih berusaha berkata
garang.
"Dimanakah
suamiku?"
"Siapa
suami Nyonya?"
"Suage.
Wayan Suage. Apakah dia ... dia ..."
"Nyonya,
janganlah Nyonya gelisah," hibur si pemuda. "Lebih baik istirahatlah.
Perjalanan kita masih jauh."
"Masih
jauh? Masih jauh?" Sapartinah terkejut. "Mau kaubawa ke mana aku? Aku
isteri seseorang!"
Si
pemuda menundukkan kepala. Menjawab dengan sangat hati-hati.
"Nyonya
... biarkanlah aku menebus dosaku. Kulihat tadi, suamimu mati dibunuh
jahanam-jahanam yang membakar rumahmu. Karena aku merasa diri ikut bersalah,
perkenankan aku mengasuh anakmu sampai dewasa."
Mendengar
berita kematian suaminya Sapartinah kehilangan keteguhan hatinya. Sekujur
badannya seperti terlolosi. Ia jatuh lunglai. Kemudian memiringkan diri sambil memeluk
anaknya.
Sanjaya
jadi menggeliat. Matanya liar menatap ke atap. Ketika menoleh dilihatnya ibunya
memeluknya erat-erat sambil menangis tertahan.
"Sanjaya.
Ayahmu ..." bisik ibunya tersekat-sekat.
Si
pemuda menunggu sampai tangis itu reda.
"Kawanan
bangsat yang berkeliaran di luar sudah kembali ke barat. Mari kita
berangkat."
"Berangkat?"
"Ya,
berangkat. Apa Nyonya ingin kembali ke kampung? Apa yang Nyonya cari? Rumah
sudah terbakar habis. Suamimu ... dan kawanan bangsat mana mau meninggalkan
desa. Mereka masih dendam kepadamu."
"Mengapa
aku?"
"Karena
Nyonya termasuk keluarga mereka yang menyembunyikan pusaka."
"Kamu
pun ingin merebut pusaka itu."
"Hm,"
si pemuda menyenak. "Apa untungnya mempunyai pusaka itu?"
Terasa
dalam hati nurani Sapartinah, kalau si pemuda berbohong sejak tadi. Tetapi
kata-katanya manis dan enak didengar. Selain itu bisa menyejukkan hatinya.
Si
pemuda meninggalkan kamar. Mau tak mau Sapartinah membangunkan anaknya.
Hati-hati ia membimbing anaknya keluar kamar. Di depan pintu dua orang
perempuan menyambutnya dengan sangat hormat. Mereka menunjukkan kamar mandi
yang terbuat dari dinding keropos. Kamar mandi itu berada di samping rumah.
Sapartinah
membasuh mukanya. Tak ingin dia mandi seolah-olah begitulah cara dia menyatakan
duka-cita atas kematian suaminya. Sanjaya pun tak dimandikan pula.
Di
luar rumah, si pemuda meninggalkan beberapa keping uang perak kepada pemilik
rumah. Dua ekor kuda telah tersedia. Sapartinah dan Sanjaya datang dengan
pandang berteka-teki. Si pemuda menyambut kedatangannya dengan ramah. la
menghampiri Sanjaya. Kedua tangannya diulurkan. Entah bagaimana, Sanjaya
tiba-tiba maju mendekati. Segera ia dipondong.
Sapartinah
hendak mencegah, tetapi si pemuda membisiki."Maafkan aku Nyonya ... dengan
Iancang terpaksa aku mengakui Nyonya isteriku dan dia ..."
Sapartinah
berubah wajahnya menjadi merah jambu. Untung, pemilik rumah menduga lain. Ia
menduga mereka berdua lagi membisikkan kata-kata bercumbu.
Dengan
penuh kasih si pemuda menolong menaikkan Sapartinah di atas pelana. Kemudian ia
sendiri bersama Sanjaya naik ke atas kuda lainnya. Begitulah, maka mereka
meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan Sapartinah mulai menebak-nebak diri si
pemuda. Pikirnya, Orang ini dihormati penduduk sepanjang jalan. Siapa dia?
Sapartinah
tak tahu, kalau uang dapat pula menjunjung derajat dan martabat. Tetapi, memang
penduduk yang bersua dengan si pemuda lantas saja pada menyibak. Yang
mengenakan caping di atas kepala, buru-buru membuka sambil mengangguk.
"Sebenarnya,
ke mana aku mau kaubawa?" tanya Sapartinah.
"Yang
penting sekarang, kita membebaskan diri dari incaran kawanan bangsat,"
jawab si pemuda. "Kalau keadaan sudah tenang kembali, perlahan-perlahan
kita cari jenazah suamimu. Kemudian aku akan mencari sarang kawanan bangsat
itu, untuk menuntut dendam. Hm ... coba kalau tidak ada mereka, tak bakal aku
salah duga sehingga harus berbuat jahat kepada seorang sahabat Nyonya."
Sapartinah
lemah hatinya. Ia rada genit, karena itu gampang tertarik oleh kata-kata mesra.
Lagi pula hati dan otaknya sederhana. Tak dapat ia menduga-duga seseorang lebih
mendalam. Sekarang mendengar omongan si pemuda yang beralasan ia malahan
bersyukur dalam hati.
"Sanjaya!
Cepatlah menjadi dewasa," katanya kepada anaknya. "Kemudian kita
berdua membalas budi, eh ..."
"Membalas
budi?" potong si pemuda gembira. Matanya berkilat-kilat. "Akulah yang
berhutang kepada Nyonya"
"Tidak,"
sahut Sapartinah. "Kalau kupikir-pikir, kamu tak bersalah pada keluargaku.
Tentang pembunuhan itu ... barangkali tiap orang bisa berlaku demikian, jika
terjadi salah duga."
Si
pemuda bersyukur dalam hati. Tetapi ia licin. Segera menyembunyikan perasaan
itu dengan kata-kata seperti merasa bersalah.
"Nyonya!
Mulai sekarang kuserahkan seluruh tubuhku kepada Nyonya. Meskipun aku hancur
lebur, takkan aku menyesal. Aku akan selalu menyertai Nyonya ke mana Nyonya
pergi. Aku akan selalu tunduk dan patuh pada semua kata-kata Nyonya."
Dua
hari mereka berjalan. Pada suatu sore mereka berada di atas jalan besar. Tujuan
mereka mengarah ke selatan. Selama itu si pemuda selalu mengaku suami
Sapartinah bila sedang menginap di rumah orang.
Diam-diam
hati Sapartinah mulai tenteram. Meskipun demikian ia selalu berwaspada. Senjata
si pemuda yang berupa tongkat selalu diawasi. Tekadnya, bila si pemuda kurang
ajar terhadapnya, ia akan merebut senjata itu, ia akan menyerangnya atau bunuh
diri. Tetapi si pemuda bersikap sopan-santun.
Tata-susilanya
tak tercela. Inilah suatu kelicinan yang lembut. Sapartinah tak pandai meraba
lebih dalam.
Pemandangan
seberang menyeberang sangat indah. Tetanaman ladang hijau meriah. Melihat
tetanaman itu Sapartinah teringat suaminya. Ia lantas berduka.
Mendadak
di kejauhan tampaklah debu mengepul tebal di udara. Sepasukan kuda mendatangi
sangat cepat. Pemimpinnya yang berada di depan berteriak-teriak nyaring.
Sapartinah
ketakutan. Tubuhnya lantas saja menggigil. Kesan malapetaka yang menimpa
ketenteraman rumah tangganya mengamuk dalam dirinya. Tanpa sadar, ia lantas
menjajari kuda si pemuda.
Si
pemuda nampak tenang-tenang. Wajahnya tidak berubah. Pandangnya tajam ke depan.
Dahinya yang lebar menggerenyit sedikit. Ia seperti berpikir, tetapi mulutnya
tidak mengucapkan sepatah katapun. Pasukan kuda dengan cepat telah berada di
depan mereka. Serentak kuda-kuda lari berpencaran dan mengepung. Sapartinah
takut bukan main. la menoleh kepada si pemuda mencari kesan. Tetapi si pemuda
tetap tenang. la bahkan menjejak perut kudanya dan beriari maju.
"Siapa
pemimpinmu!" serunya nyaring.
Sapartinah
heran melihat keberaniannya. Diam-diam perhatiannya terhadap si pemuda bertambah
baik.
Pada
waktu itu perjalanan mereka mencapai batas kerajaan Yogyakarta. Pasukan berkuda
itu adalah pasukan pengiring raja dari Yogyakarta. Begitulah tatkala mereka
mendengar seruan si pemuda sekonyong-konyong terjadilah suatu perubahan.
Kuda-kuda beriari berputaran. Salah seorang yang berkuda di antara mereka
lantas menghampiri.
"Siapa
yang berani kurang ajar ini? Apa kau termasuk kawanan perusuh?" bentaknya.
"Kawanan
perusuh macam apa?" si pemuda heran. "Kamu dari pasukan mana?"
"Kami
dari pasukan raja, sedang mengejar beberapa kawanan perusuh penentang raja
."
"Hm."
Si pemuda memotong. Sambil menegakkan tubuh, "Sekarang tebak, siapa
aku?"
"Jangan
kau berteka-teki. Siapa sudi mendengarkan omonganmu."
"Keparat!
Kamu mengaku pasukan pengawal dari raja. Kelompok mana? Kelompok Pangeran
Natakusuma atau Ratu Kencono Wulan. Bilang!"
"Bangsat!"
maki orang itu. Pandangnya mencurigai si pemuda. "Pasti kamu tadi yang
memasuki istana kepatihan."
Si
pemuda kini menjadi kaget. Pandangnya berubah. la merogoh sesuatu benda. Sambil
memperlihatkan benda itu, "Kau bisa membaca, tidak? ... kau bisa mengenal
tanda ini tidak?"
Mendadak
setelah melihat benda itu, orang itu lantas saja meloncat dari kudanya. Dia
terus bersujud. Tubuhnya agak gemetaran.
"Maaf.
Hamba kira siapa. Kiranya Pangeran Bumi Gede."
Sapartinah
yang menyaksikan peristiwa itu dari jauh, terguncang hatinya. Apa artinya ini
semua? Selama dalam perjalanan, ia ragu pada si pemuda yang masih asing
baginya. Kalau ia ikut serta, semata-mata karena merasa diri ti¬dak berteman
dan berkeluarga lagi. Mau ke mana? Ia merasa diri menjadi seorang janda kini.
Rasanya tabu mengikuti seorang pemuda. Tetapi di luar dugaan, sikap pemuda itu
lembut dan berkesan keningrat-ningratan.
Mendadak
sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan, bagaimana pemimpin
pasukan berkuda itu lantas saja meloncat dari kudanya dan bersujud.
Terdengar
kemudian orang itu berseru nyaring, "Semuanya turun! Pangeran Bumi
Gede!"
Mereka
yang berkuda cepat-cepat meloncat dari atas kudanya. Semuanya lantas mendekat
dan berdiri hormat.
"Pangeran
Bumi Gede?" pikir Sapartinah. "Siapakah dia!" ia mencoba
menebak-nebak.
"Gusti.
Sebenarnya hambamu patut dihukum," kata orang itu. "Tapi kami
mendapat perintah Gusti Patih Danurejo untuk mengejar seorang perusuh yang
menyusup ke Istana Kepatihan."
"Hm.
Siapa jahanam itu?" sahut si pemuda yang ternyata adalah Pangeran Bumi
Gede.
"Menurut
laporan, orangnya bukan sembarangan. Dengan seorang diri dia merusak istana dan
menggempur penjagaan. Ia lenyap dengan tiba-tiba. Kata orang, ia lagi mencari
seseorang."
Mendengar
ucapan orang itu, Pangeran Bumi Gede terkesiap. Ia menduga sesuatu.
Jangan-jangan salah seorang dari kawanan rombongan penari telah mengenal
dirinya. Kemudian salah seorang memasuki kota hendak membalas dendam.
"Kami
menduga barangkali kaki-tangan raja ," kata orang itu menambahi.
"Karena itu atas ijin Gusti Patih kami menggunakan pasukan berkuda
kepatihan atas nama raja."
Mendadak
terdengarlah derap kuda berputaran. Orang itu menoleh. Ia terkesiap .
Dilihatnya salah seorang meloncati kuda dan hendak melarikan diri.
"Celaka!
Itu si Wongsokaryo."
"Siapa
dia?"
"Sudah
lama hamba curiga. Dia mata-mata Pangeran Natakusuma, mungkin pula kaki-tangan
Ratu Kencono Wulan. Ah, pengkhianat! Setelah mendengar pembicaraan kita ini,
dia akan mengadu kepada majikannya. Bukan mustahil kepada Sri Sultan juga.
Celaka!" orang itu berbicara gopoh setengah mengeluh. Kemudian dengan
tergagap-gagap memberi perintah kepada pasukannya. "Kejar! Tangkap!"
Mendengar
perintahnya, seluruh pasukan berkuda jadi sibuk. Karena yang dikejar sudah
berada sepuluh langkah jauhnya, mereka jadi kelabakan. Lakunya tergopoh-gopoh
dan melompati kudanya asal jadi. Untung tadi, kuda si pelari bukan kuda
jempolan. Kalau tidak, mana mungkin mereka mengejarnya.
"Ih,
pasukanmu belum teratur. Bagaimana kalian berani memusuhi raja!" Kata
Pangeran Bumi Gede dengan tenang. Orang itu tak berani membuka mulut.
"Biarlah
kutolong!" kata Pangeran Bumi Qede, karena dia merasa berkepentingan pula.
la menjejak kudanya sambil memeluk Sanjaya erat-erat. "Sanjaya! Lihat,
bagaimana aku menghajar seorang jahanam."
Kudanya
meloncat, karena terkejut dua puluh langkah dia berderap. Tongkat rahasianya
dicabut. Tahu-tahu dengan suatu gerakan aneh ia menjepret. Orang yang melarikan
diri jatuh terjungkal dari atas kudanya.
Seluruh
pasukan berkuda terkejut sampai mulutnya melongo. Mereka lantas berhenti
serentak.
"Mengapa
berhenti? Kepung! Kepung!" teriak si pemimpin pasukan dengan
membanting-bantingkan kakinya.
Sapartinah
kagum menyaksikan kegesitan Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia memuji dalam hati,
hebat, gagah pemuda ini. Dan tanpa disadari sendiri, ia menarik kendali
ku¬danya dan maju menyongsong. Ia sadar waktu sudah berada di depan Pangeran
Bumi Gede. Cepat-cepat ia membelokkan perhatiannya kepada Sanjaya.
"Semestinya
kamu ikut Ibu!" Kata Sapar¬tinah pura-pura menyesali.
Pangeran
Bumi Gede tersenyum. Sahutnya mewakili si anak, "Dia seorang laki-laki.
Sudah sepantasnya dia mengikuti jejak seorang laki-laki. Begitu kan, Nak?"
Sanjaya
tak dapat menyatakan perasaan hatinya. Tetapi matanya berkilat-kilat
menerjemahkan isi lubuk hatinya.
Sapartinah
berbesar hati menyaksikan anaknya mempunyai benih keberanian. Tapi justru
teringat hal itu, ingatannya melayang kepada ayah si bocah. Wajahnya lantas
saja berubah.
Pada
saat itu, pasukan berkuda sibuk merubung orang yang jatuh terjungkal. Mereka
kaget berbareng kagum. Orang itu ternyata telah mati terjengkang. Di antara
mereka lan¬tas mendatangi pemimpinnya dan melaporkan keadaan si pelari.
"Bagus!
Bawa dia masuk ke kota! Laporkan kepada Gusti Patih, dia ditewaskan si perusuh
yang memasuki istana."
Yang
diberi perintah membungkuk hormat dan memutar kudanya.
Bulu
kuduk Sapartinah mendadak menggeridik sendiri. Tak dapat ia menelaah peristiwa
pada sore hari itu. Tetapi hatinya merasa seperti melihat suatu permainan kotor
dan licik. Permainan apa itu, ia tak mengerti. Karena itu ia diam.
Orang
yang memimpin pasukan berkuda itu bersikap tambah hormat kepada Pangeran Bumi
Gede.
"Gusti.
Hamba ingin membicarakan keadaan negeri."
Pangeran
Bumi Gede tersenyum. Ia mem¬ber] isyarat dengan mengerlingkan mata kepa¬da
Sapartinah.
"Tak
ada waktu aku mendengarkan segala tetek-bengek. Aku ingin cepat pulang ke Bumi
Gede. Apa malam ini aku bisa menginap di suatu kelurahan?"
Orang
itu mengerti maksud Pangeran Bumi Gede.
"Tentu,
tentu! Mengapa tidak? Kami akan ..."
"Nah!
Pergilah kalian menangkap jahanam itu. Dia sudah lama membuat susahku.
Sekiranya memungkinkan tangkaplah hidup-hidup. Kalau melawan kalian tahu cara
menyelesaikannya. Aku senang, jahanam itu kaubayarkan kepadaku untuk jasaku
tadi."
Sehabis
berkata begitu, ia memutar kudanya dan mengajak Sapartinah meninggalkan pasukan
berkuda. Kini perjalanan mereka mengarah ke timur.
Si
pemuda nampak merenung. Hatinya tak tenteram, memikirkan perusuh yang memasuki
istana kepatihan. Dia tak dapat menebak siapa orang itu. Kalau tadi mengira
salah seorang kawanan rombongan penari, hanyalah karena pikiran selintas yang
berkelebat dalam benaknya. Lambat-laun setelah dipikirkan bolak-balik hatinya
jadi bimbang.
Tak
lama kemudian perjalanan sampai ke kota. Itulah kota Yogyakarta.
"Nyonya,
di sini banyak orang menjual pakaian," kata Pangeran Bumi Gede. "Kita
cari penginapan dulu, lalu beli dua atau tiga perangkat pakaian. Pakaian Nyonya
kelihatan banyak debunya. Juga pakaian Sanjaya. Alangkah enak dipandang mata
sekiranya Nyonya mengenakan pakaian baru."
Sapartinah
memeriksa pakaiannya. Benar, pakaiannya kelihatan berdebu dan usang. Tetapi
masa dia harus menerima pakaian pemberian orang. Ia ingin menolak, tiba-tiba si
pemuda berkata lagi.
"Keadaan
di kota jauh berlainan dengan di desa. Orang harus pandai merawat diri. Wajah
seperti Nyonya, kuranglah pantas jika hanya mengenakan pakaian bahan murahan.
Bukankah itu berarti menyia-nyiakan karunia Tuhan?"
Sapartinah
terkejut mendengar ucapan itu. Tapi diam-diam ia senang mendapat pujian tentang
kecantikannya. Ia menundukkan kepala. Kemudian mengerling kepada si pemuda
hati-hati. Ingin ia menyelidiki arah ucapan si pemuda. Tetapi ia tak
mendapatkan kesan lain yang mencurigakan. Si pemuda benar-benar berkata dengan
setulus hati. Karena kesan itulah ia menjadi tak enak sendiri, terus mencurigai
kawan seperjalanan.
"Kudengar
tadi kau seorang Pangeran," ia mengalihkan pembicaraan. "Tak pantas
aku berjalan bersama seorang pangeran. Biarlah kami ditinggalkan di sini.
Karena aku bisa mencari penghidupan dalam kota ini."
"Eh,
apa kata Nyonya?" si pemuda kaget. "Kenapa Nyonya bisa mempunyai
pikiran begitu. Apa Nyonya ingin melupakan dendam suami Nyonya."
Diingatkan perkara suaminya, Sapartinah jadi lemah hati dan berkata menyerah.
"Aku
seorang perempuan. Apa dayaku mau membalaskan dendam. Kurasa lebih baik aku
memusatkan diri kepada ajaran dan pendidikan Sanjaya sebagai balas budi."
"Itupun
pendirian mulia. Tetapi bagaimana Nyonya sampai hati menyiksa arwah suami
Nyonya di alam baka."
"Mengapa
aku menyiksa dia?" Sapartinah terkejut.
"Kita
belum membalaskan dendamnya," jawab si pemuda.
"Karena
itu berilah kesempatan padaku, untuk membalaskan dendamnya atas nama Nyonya.
Sekali pukul aku telah menebus dua nyawa sekaligus."
Mendengar
alasan si pemuda masuk akal, Sapartinah kian tunduk. Air matanya berlinang
untuk sesuatu perasaan tanpa alamat. Mendadak terdengarlah Sanjaya berseru-seru
heran. Dengan menuding-nuding ia menyatakan rasa herannya melihat pemandangan
yang baru dilihatnya pertama kali. "Bu! Apa itu?"
Sapartinah
sendiri baru untuk pertama kali memasuki kota Yogyakarta. Banyak peman¬dangan
baru yang masih asing baginya. Ia tak pandai menerangkan. Maka si pemuda
menolong menerangkan keheranan si bocah dengan lancar dan cekatan. Sikapnya tak
beda seperti kata-kata seorang ayah belaka. Kesan itu meluluhkan hati
Sapartinah. Dia bersikap sopan kepadaku. Ternyata sayang juga kepada Sanjaya,
baiklah aku ber¬sikap mengimbangi. Apa salahnya aku ber¬sikap demikian terhadap
seorang pangeran. pikir Sapartinah.
Pada
jaman itu penduduk memandang sangat tinggi martabat orang-orang ningrat. Kalau
ditimbang-timbang adalah suatu kebetulan belaka Sapartinah dapat berjalan
berjajar dengan si pemuda. Sekiranya tidak ada peristiwa pusaka sakti,
sekiranya wajah Sapar¬tinah tidak cantik manis, sekiranya si pemuda tidak
tertambat hatinya untuk melihatnya yang pertama kali, takkan mungkin terjadi
pergaulan sebebas itu.
Maka
tatkala mereka menginap di sebuah penginapan mahal, Sapartinah diperlakukan
sebagai isteri seorang ningrat. la mendapat pelayanan-pelayanan luar biasa buat
ukurannya. Maklumlah, semenjak bayi ia dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi
dewasa dan bersuamikan seorang penduduk biasa yang memilih hidup sebagai
petani. Ia biasa bekerja sendiri tanpa seorang pembantu pun.
Tak
heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun otaknya
sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu
memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah
masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu
menggugah dan mengingatkan hatinya kepa¬da suaminya yang sangat mencintainya.
Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara tiba-tiba
direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada suaminya, berpura-puralah
dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia menangis sedih sekali.
Dalam
pada itu, Pangeran Bumi Gede berangkat ke bagian kota yang ramai dengan
membekal uang. Ia melihat penduduk kota masih saja merayakan hari penobatan
raja. Mereka berbelanja, berhias dan berbicara melebihi kebiasaannya.
Gerak-geriknya halus dan menyenangkan hati.
Pangeran
Bumi Gede adalah seorang pange¬ran yang mempunyai cita-cita besar. Ia bersekutu
dengan Patih Danureja II. Dengan sendirinya dalam hatinya memusuhi Sultan Hamengku
Buwono II. Maksud persekutuan itu ialah untuk sesuatu tujuan tertentu. Pertama
-tama ia melihat Patih Danureja II berpengaruh besar dan luas. Kompeni Belanda
berada di belakangnya. Kedua, ia mengagumi kecakapan Patih Danureja II. Jika ia
pandai menempelkan diri kepadanya, tak urung di kemudian hari akan ke bagian
rejeki.
Dia
sendiri seorang bupati daerah Bumi Gede. Tetapi ia ingin menjadi seorang Bupati
Mancanegara seperti Raden Rangga Prawiradirja III. Siapa tahu, malahan bisa
diangkat menjadi pangeran penuh yang memerintah negara agung . Siapa tahu pula,
bahwa oleh pengaruh Patih Danureja II dia bisa dicalonkan sebagai pengganti
raja. Inilah cita-cita gilanya, tetapi mungkin pula terjadi. Sebab Patih
Danureja II benar-benar lawan Sultan Hamengku Buwono II sampai ke bulu-bulunya
...
Dengan
tenang dan rasa puas bangsawan itu berjalan menyusur tembok-tembok kota.
Maklumlah, hari itu ia memperoleh tanda-tanda Sapartinah telah dapat
dikuasainya. Ia seorang bangsawan yang teliti dan halus sepak-terjangnya.
Gejolak hati sebenarnya tidaklah nampak dari penglihatan. Jika ia mempunyai
tujuan, sepak terjangnya kian lembut. Perempuan sesederhana Sapartinah
bagaimana dapat menebak maksud hatinya.
Selagi
ia melamunkan rencana-rencananya terhadap Sapartinah, mendadak didengarnya
derap kuda. Ia tertarik dan menjadi heran. Bagaimana tidak? Jalan yang dilalui
tidaklah cukup leluasa bagi seseorang yang berkuda. Lagi pula waktu itu banyak
orang berjalan hilir mudik. Di tepi jalan pedagang-pedagang kain, makanan,
dolanan dan pikulan-pikulan sayur. Lantas siapa orang itu? Mestinya salah
seorang keluarga raja. Mendapat pikiran demikian cepat-cepat ia menepi.
Tak
usah dia lama menunggu, maka nampaklah seekor kuda berwarna putih melesat
mendatangi. Kuda itu gagah, tegap dan cepat larinya. Ia mengagumi kuda itu.
Tetapi ia heran pula penunggangnya. Dia bukan anak seorang pangeran atau salah
seorang keluarga raja. Melainkan seseorang yang mengenakan pakaian pendeta.
Tampaknya
seperti orang gila. Ia bercokol di atas pelana tanpa memegang kendali.
Perawakan orangnya agak pendek, tapi tubuhnya berisi.
Menyaksikan
kuda lari demikian cepat tanpa dikendalikan, Pangeran Bumi Gede menjadi cemas
juga. Tetapi ajaib. Meskipun berlari begitu liar, kuda itu tak pernah
menyinggung orang. Pikulan-pikulan dilompatinya dengan gesit. Orang-orang yang
tidak sempat menyibakkan diri dilintasi dengan teliti. Kuda itu seperti berlari
di tengah lapang tiada rintangan. Larinya merdeka dan pandai menghindari
rintangan-rintangan semacam orang bersilat.
Pangeran
Bumi Gede tak percaya, kalau kuda itu Iari tanpa dikuasai penunggangnya. Karena
itu tanpa sadar ia kagum dan heran.
"Bagus!"
Ia memuji penunggangnya. "Kalau bukan seorang ahli bagaimana dia sanggup
melintasi jalanan begini sesak dan kacau."
Penunggang
kuda itu tatkala hampir melin¬tasi Pangeran Bumi Gede sekonyong-konyong
menoleh. Pandang matanya tajam seperti lagi mengancam. Tak terasa tersiraplah
darah Pa¬ngeran Bumi Gede.
Ih!
Mengapa dia memandangku seperti itu? pikirnya menggeridik.
Sekonyong-konyong
dari simpang jalan nampaklah dua kanak-kanak lari menyeberang jalan.
Orang-orang menjerit kaget. Tak terkecuali Pangeran Bumi Gede. Penunggang kuda
lantas saja menarik kendali sambil menjejak punggung. Ia terloncat ke atas
dengan berjumpalitan. Kudanyapun seperti ikut tertarik. Ia ter¬loncat dan
melintasi kepala dua kanak-kanak itu tanpa menyinggung sehelai rambutnya.
Tatkala kakinya turun ke jalan, si penunggang turun dari udara dan jatuh tepat
di atas pelana.
Pangeran
Bumi Gede tercengang-cengang. Siapa dia? ia menebak-nebak. Kenapa harus
melarikan kudanya seperti setan?
Karena
itulah ia segera mempercepat jalannya. Ia ingin tahu ada apa. Dia seorang
pemuda yang gesit dan tangkas. Sebentar saja ia dapat mengejar larinya kuda
dengan jarak tetap. Tetapi orang-orang yang dilalui pada heran. Mereka mengira,
dialah pemilik kuda yang sedang mengejar si pencuri.
Pangeran
Bumi Gede tak menghiraukannya. Perhatiannya terpusat kepada si penunggang kuda.
Kalau aku belum mengetahui jelas siapa dia, biar aku berlari-lari sepanjang
malam. Sayang, kalau seseorang sepandai itu berada di pihak raja. Dia harus
dapat kutarik ke pihakku, pikirnya.
Makin
lama makin menggilalah lari si kuda putih. Ia jadi khawatir akan kehilangan
jejak. Sekonyong-konyong di depan Istana Kepatihan kuda putih itu berhenti.
Penunggangnya lantas saja melompati penjagaan dan meng-gempur penjaga-penjaga.
"Ih!"
Pangeran Bumi Gede terkejut. "Meng¬apa memusuhi kepatihan? Apa dia yang
bikin onar dalam Istana Kepatihan?"
Ia
lantas berdiri menonton di pinggir jalan. Waktu itu si penunggang kuda
menyerang penjaga-penjaga dengan cepat. Sebentar saja belasan orang penjaga
jatuh berserakan di atas tanah. la tak terkalahkan. Bahkan sekarang berdiri
tegak menghadap gapura. Berkata nyaring, "Hai kalian begundal-begundal
Belanda! Inilah Hajar Karangpandan! Kalau kalian sakit hati kejarlah aku!"
Setelah
berkata demikian ia melompati kudanya lagi dan melesat pergi. Penjaga-pen¬jaga
yang berada di dalam gapura membunyikan genta tanda bahaya. Tak lama kemudian
sepasukan tentara berkuda keluar dari ga¬pura memburu Hajar Karangpandan.
Tetapi mereka tak dapat mengejarnya. Melihat bayangannya saja tidak sempat.
Pangeran
Bumi Gede berdiri tertegun menyaksikan kejadian itu. Hebat! Hebat orang itu,
pikirnya. Ternyata dia benci kepada orang-orang yang bekerja sama dengan
Belanda.
Patih
Danureja memang bersahabat dengan kompeni. Dan aku bersekutu dengan Patih
Danureja. Bukanlah setali tiga uang? katanya di dalam hati. Ih! Kalau aku
kepergok orang itu ... akupun akan ...
Ia
mendapat firasat buruk. Teringatlah dia akan Sapartinah. Maka cepat-cepat ia
kembali ke penginapan. Lega hatinya saat melihat Sapartinah masih ada di dalam
kamarnya. Keesokan harinya ia menyuruh Sapartinah berganti pakaian dan bersolek
secara isteri orang ningrat. Kemudian disewanya sebuah kereta. Ia khawatir
terlihat oleh si penunggang kuda semalam. Siapa tahu orang itu mengganggu
Sapartinah. Urusan bisa runyam nanti, pikirnya. Biarlah kuantarkan pulang dulu
Sapartinah, katanya di dalam hati. Setelah beres kucari orang itu. Sayang!
Sungguh sayang jika orang itu terlepas dari tanganku. Kalau aku bersikap
bijaksana pasti dia dapat kutarik ke pihakku.
Memikir
demikian hatinya tenteram kembali. Sapartinah dan Sanjaya dinaikkan ke dalam
kereta tertutup. Dia tetap menunggang kuda mengamat-amati dari jauh.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 4 PENGEJARAN di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 4 PENGEJARAN"
Post a Comment