BENDE MATARAM JILID 5 SANGAJI
TUJUH
tahun lewatlah sudah tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari, di
pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat belas
tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih dari
permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji anak
Rukmini dan Made Tantre.
Tujuh
tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi menghubungi
tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta bagi dia masih
sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya. Tetapi dia sudah
bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya, ia tak akan ragu
lagi untuk maju.
Dua
minggu lamanya dia hidup tak berketentuan. Tidurnya di teritisan rumah dan
makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih dikenakan,
dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas itu dapat
menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.
Hati
Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu senggang selalu
saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya. kebahagiaannya, kampung halamannya
dan anaknya seorang ini yang terpaksa pula harus menderita. Peristiwa begini
belum pernah terlintas dalam pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di
desanya.
Pada
suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji dipeluknya
erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia, segera Sangaji
dipeluknya makin erat.
Tampak
seorang laki-laki keluar pintu de¬ngan berjalan tertatih-tatih. Melihat Rukmini
dan Sangaji orang itu menegur, "Siapa kalian?"
Rukmini
belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam bahasa Jawa.
"Kula
tiyang kesrakat ."
Secara
kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu . la mengerti
bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini terpaksa
mengisahkan riwayat perjalanannya.
"Masyaallah
... di dunia ini kenapa ada kejadian begitu," haji itu mengeluh dalam.
"Mengapa di Jawa pun ada peristiwa semacam pem¬bakaran kampung Cina
!"
Haji
itu bernama Idris bin Lukman. Dia se¬orang yang berhati baik. Mendengar riwayat
kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini masuk ke
dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu Rukmini ikut
padanya.
Dua
tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan jumlahnya.
Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris. Ia kini sudah dapat
menyesuaikan diri dengan kampung halamannya yang baru. Timbullah keinginannya
untuk mencoba hidup sendiri. Ia menyewa sebuah rumah sederhana. Kemudian
membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa. Dapatlah dibayangkan betapa
sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini. Masakan Jawa kala itu belum dikenal
orang-orang Jakarta. Perjuangan hidupnya timbul tenggelam tak menentu. la tetap
gigih sampai lima tahun lagi lewat tanpa suara.
Sangaji
tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik. Gerak-geriknya
cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang serba cepat.
Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli kasar orang-orang
Tionghoa di kota perdagangan .
Pada
hari itu ia lagi iseng. la dolan keluar kota dengan membawa katapel dan
pancing. Kalau aku bisa membawa pulang beber¬apa ekor burung dan ikan, alangkah
senang hati Ibu, pikir Sangaji.
Tetapi
ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke kali.
Tatkala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar semacam
terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya tero¬wongan itu. Ia berpikir
tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan? pikirnya. Atau sarang kura-kura?
Mendadak
selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap kuda. Tak lama
kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking terompet. Lantas
suara genderang, disusul tembakan-tembakan senapan.
Sangaji
terperanjat. Ia lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya melihat ke
jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah suatu pasukan
kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung. Hanya kepala pasukan
itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan perintah. Pasukan itu
lantas terpecah menjadi dua bagian ke timur dan ke barat. Yang mengarah ke
timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang mengarah ke barat berpakaian hitam
lekam.
Sangaji
tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena serdadu-serdadu kerapkali
melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan terus mengintai.
Tak
lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur rapi.
Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian beberapa barisan
lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak kegemuk-gemukan. Perwira
itu berpa¬kaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu putih sebagai penutup
leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.
Barisan
yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka menunggu.
Begitu pasukan yang datang dari arah sela-tan tiba, mereka menyerbu dengan
cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi .
Pihak
penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri. Meski-pun
berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi dari arah
belakang. datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga pasukan besar.
Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka berimbang.
Masing-masing pantang menyerah.
Sekonyong-konyong
terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali. Mereka menyerang
kemudian berteriak-teriak nyaring. "Barisan menyibak! Gubernur Jenderal
Mr. P Vuyst datang!"
Mendengar
teriakan itu, seluruh pertempur¬an berhenti dengan tiba-tiba. Mereka
mengalihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan besar yang
datang de¬ngan perlahan-lahan.
Sangaji
ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat berwibawa. Nampak pula
sehelai bendera raksasa berwarna merah putihbiru berkibar-kibar ditiup angin.
Lantas terdengar suara teriakan nyaring, "Serang! Gubernur Jenderal
berkenan menyaksikan! "
Mendengar
teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu. Pertempuran sengit
berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup penglihatan. Pasukan penyerang
kali ini nampak bersemangat. Mereka tak kenal takut lagi. Dengan semangat
bertempur itu, mereka dapat mengacaukan lawannya.
Panji-panji
raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah gundukan ting¬gi.
Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke atas gundukan. Di sana
ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk tenang-tenang di atas pelana
kudanya. Perwi¬ra itu mengenakan pakaian baju perang yang dilapisi perisai.
Kain lehernya ditebali oleh segulung kain putih. Lengan pergelangan tangan
dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada pinggangnya tergantung seleret pedang
panjang. Ia menumpahkan seluruh perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disampingnya
berdiri dua regu kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.
Tak
lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang dipukul
mundur. Perwira berkain leher putih yang memimpin serangan memutar kudanya dan
lari mendaki bukit. Ia meloncat dari kudanya dan berteriak nyaring kepada
Gubernur Jenderal Vuyst.
"Musuh
tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan ."
Gubernur
Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.
"Bawalah
dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus pasukan
berkuda pimpinan Kapten Doorslag, suruhlah melarikan diri ke arah barat.
Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau mendengar bunyi
tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng." Katanya memberi
perintah.
Perwira
muda itu lantas saja mengundurkan diri. la mencari Kapten Doorslag dan
menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu keributan.
Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar seolah-olah kalah
perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak gemuruh.
Dengan
pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke gundukan tinggi
di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan pengawal Gu¬bernur
Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan diri dengan dipimpin
Mayor de Groote.
"Lindungi
Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!" perintahnya garang.
Pertempuran
kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai tujuan. Pedang,
golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa pembunuhan
mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.
Sangaji
tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut berkebat-kebit. la
me¬lihat suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya
menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang tentu
pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan dan
bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian
menubras-nubras sejadi-jadinya. Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst
ternyata didesak mundur. Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang
meng-hadap Gubernur Jenderal Vuyst.
"Pasukan
pengawal tak sanggup bertahan," katanya.
"Hm,"
sahut Gubernur Jenderal. "Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak mau
mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup mengurusi tanah
jajahan yang tersebar luas di bumi kepu¬lauan ini? Hai, jangan sekali-kali lagi
bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!"
Didamprat
demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus berubah. Mendadak
saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu dengan menghunus
pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya berputaran seperti
kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu
barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote terus
menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini ditiru oleh
serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak
de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC berkibar-kibar di
tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia melompat dan menyerang.
Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil merangsak maju. Panji-panji
VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat ia mengundurkan diri sambil
membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan
panji-panji itu di depan Guber¬nur Jenderal hendak mencari pujian.
"Sudah
dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali tembakan tanda
serbuan serentak?" teriaknya.
"Bagus!
Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum tiba saat¬nya.
Mereka belum lelah."
De
Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji
kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan Nusantara
belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya. Itulah sebabnya
mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar teriakan-teriakan
mereka.
"Serbu!
Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!"
Barisan
pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan mati-matian.
Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat panji-panji erat-erat. Ia
belum dapat mengambil keputusan tetap.
Sekonyong-konyong
dari arah timur muncullah seorang panglima dengan mengenakan pakaian perisai.
Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas menembak. Dan tiang panji-panji VOC
yang digenggam Mayor de Groote patah berantakan. "Bagus!" seru
Gubernur Jenderal P Vuyst. Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang
bendera kebangsaan Belanda runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur
Jenderal tak memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba
menajamkan penglihatannya.
"Bagus!
Penembak jitu. Siapa dia?" Teriaknya nyaring.
Berbareng
dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang pengawal yang
melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas. Mayor de Groote
menggigil cemas.
"Apa
kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?" Mayor de Groote berteriak.
"Sebentar
lagi," sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.
Terdengar
lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya kena tem¬bakan
dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia rubuh ke tanah.
Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.
Seluruh
pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas. Tetapi
Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kem-bali. Kemudian memberi perintah,
"Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng."
Dengan
perintah itu tembakan tanda ser¬buan dilepaskan ke udara. Dari balik gundukan
dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira Speelman dan
Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan teriakan-teriakan dan
tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang memimpin pengawal Gubemur
Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.
Diserang
dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi berantakan. Mereka
tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan dirangsak dari
samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.
Panglima
yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua Belas Majikan,
lantas saja berteriak-teriak menghadang, "Jangan kacau! Bertahan dan
serang!"
Tetapi
usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai kudanya
berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat digunakan lagi.
Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak mau terseret-seret
arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas Majikan telah lari
berserabutan meninggalkan gelanggang.
"Tangkap
dia!" perintah Gubemur Jenderal P Vuyst.
Beberapa
puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan berbareng mendesak.
Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan lari mengarah ke
gundukan Sangaji.
Hebat
panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu tak pernah
luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh terjungkal dari
atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang. Mereka terpaksa
menyibakkan ku¬danya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan demikian panglima
itu dapat meloloskan diri.
Sangaji
kagum melihat sepak terjang pangli¬ma itu. Pandang matanya tak pernah lepas
daripadanya. Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata
ia kena tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia
terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.
Tubuhnya
terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji. Sangaji terperanjat.
Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka panglima itu penuh debu.
Dadanya berlepotan darah. la terluka parah. Tetapi ia masih berusaha
merangkak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang. Tubuhnya bergoyang-goyang,
matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.
"Tolong
ambilkan air!" Katanya ketika meli¬hat Sangaji.
Sangaji
tertegun. Pikirannya bekerja. Men¬dadak teringatlah dia air sungai. Sangaji
lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di tepi sungai
matanya celingukan mencari daun. la mendapat daun itik. Cepat-cepat ia
menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu. "Ini air
sungai," katanya. Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan
terus diminum. Baru saja mulutnya menempel air, darah dari dadanya terkucur
membasahi tangan. Lukanya benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus
menyemprotkan. la rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.
Sangaji
terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya berjongkok
mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia menanggalkan bajunya
dan dibuatnya membebat luka panglima itu.
Panglima
itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld. Ternyata dia salah
seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan kekuasaan VOC pada
tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya
Beberapa
saat kemudian, Willem menyenakkan mata.
"Adik
kecil ... kaupunya senjata bidik?" katanya perlahan.
"Punya."
"Bagus.
Ambilkan aku air lagi."
Sangaji
lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan menyenduk air
dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.
"Terima
kasih, adik yang baik," bisik Willem. "Kau mengorbankan bajumu untuk
lukaku."
Willem
kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang. Diulurkan mata
uang itu kepada Sangaji. "Adik yang baik, terimalah uang ini
untukmu."
Sangaji
menggelengkan kepala.
"Aku
tak dilarang menerima apa pun juga sebagai balas jasa."
"Siapa
yang melarangmu?"
"Ibu."
Willem
tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa darahnya
menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin mendekat.
"Adik!"
ia terkejut. "Mana senjata bidikmu?"
Sangaji
merogoh sakunya dan mengeluar¬kan katapelnya. Diangsurkan katapel itu ke
Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi lesu
melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.
"Adik
yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung."
Sangaji
bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja tertawa
berkakakan.
"Terima
kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi maksudku senjata
bidik ialah senapan. Bukan katapel."
"Senapan?
Aku tak punya," ujar Sangaji.
Willem
sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang kanak-kanak
mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat pertimbangan itu, dia
tertawa lagi,
"Ah
... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan mereka
dengan pedang ini."
"Kauluka
parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak sembunyi saja?"
Willem
heran oleh usul itu. "Di mana aku bisa bersembunyi?"
Sekarang
Sangaji yang terkejut. la menyapukan pandangannya. Tidak dilihatnya seonggok
gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan tero¬wongan air di dalam sungai.
Gap-gap ia berkata, "Di dalam tebing sungai kulihat ada sebuah terowongan.
Mungkin goa ... mungkin pula ..."
Willem
lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur dalam keadaan
luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu banyak jumlahnya.
Satu-satunya yang harus dilakukan ialah ber¬sembunyi.
"Baik.
Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!"
Dengan
tertatih-tatih Willem menghampiri sungai. Sangaji membimbingnya dan segera
menunjukkan terowongan tanah. Tanpa menimbang-nimbang lebih jauh, Willem lantas
saja menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang memasuki terowongan.
Ternyata terowongan itu sebuah goa air. Di sana orang bisa bersembunyi semaunya
dan selama mungkin tanpa gangguan, asalkan membawa makanan.
"Aku
takkan menunjukkan pada siapa pun," teriak Sangaji.
Tatkala
itu pasukan pengejar sudah hampir tiba di kaki gundukan. Sangaji cepat-cepat
kembali ke atas gundukan dan bertiarap di atas tanah. la pandai berlaku tenang.
Seperti seseorang yang lagi mengintip suatu pertempuran tadi.
Tak
lama kemudian pasukan pengejar tiba di atas gundukan. Mayor de Groote yang
memimpin pengejaran melihat Sangaji. Ia menarik kendali sambil bertanya kasar,
"Hai bocah! Kaulihat orang lari dengan kuda?"
Serdadu-serdadu
lainnya lantas datang mengepung. Sangaji nampak bergemetaran karena takut.
"Ya,
aku lihat."
"Di
mana?" mereka berbareng menegas.
"Ke
sana!" dia menuding ke utara. "Dia kena tembakan."
"Hm,"
serdadu-serdadu itu sangsi. Mayor de Groote lantas memerintah
serdadu-serdadu-nya. "Bawa kemari bocah itu!"
Sangaji
digiring menghampiri Mayor de Groote. Ia telah mengambil suatu keputusan. Biar
aku dihajar, aku takkan menunjukkan tempatnya bersembunyi. Sangaji menatap ke
Mayor de Groote de-ngan berani. Teringatlah dia, kalau perwira itulah yang
memimpin pasukan pengawal Gubernur Jenderal di kaki gundukan. Dia pulalah yang
berhasil merebut panji-panji VOC tetapi tiangnya lantas kena tembak panglima yang
lagi bersembunyi.
"Apa
bilangnya bocah ini?" ia bertanya kepada serdadu-serdadunya dengan kasar.
Dilihatnya sekitarnya. Di sebelah utara ia melihat seekor kuda tanpa penunggang
lagi meng-gerumuti rumput. Lantas dia menuding sambil berkata keras, "Bukankah
itu kudanya? Cari dia! Pasti ada di sekitar tempat ini!"
Begitu
ia memberi perintah sepuluh orang serdadu lalu menghampiri kuda. Mereka
menyebar dan menubras-nubras semak-semak. Dijenguknya sungai. Mereka melihat
percikan darah di bawa arus air.
Kuda
itu kemudian dituntun oleh dua orang serdadu dan dibawa menghadap Mayor de
Groote.
"Hm,"
dengus Mayor de Groote. "Bukankah ini kudanya Kapten Willem
Erbefeld?"
"Benar,"
mereka menjawab gemuruh.
Mayor
de Groote lantas merampas cambuk salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke
kepala Sangaji.
"Dia
bersembunyi di mana? Bilang!" ia menggertak bengis. "Jangan kau
berdusta. Nyawamu ada di tanganku, kautahu setan cilik?"
Willem
Erbefeld yang bersembunyi di dalam goa air, mengikuti peristiwa di atas tebing
dan mendengarkan setiap pembicaraan. Ia menggenggam hulu pedang sambil
menggertak gigi, tatkala mendengar cambuk meletus menampar kepala Sangaji. Ia
kenal tabiat Mayor de Groote yang gila pada pujian. Bocah itu pasti akan
dianiaya semaunya sampai mengaku. Biarlah aku keluar saja mengadu nyawa,
pikirnya.
Sangaji
kesakitan kena cambuk. Tetapi ia tak mau merintih. Ia tahan rasa sakitnya.
Lantas berteriak, "Mana aku tahu dia bersem¬bunyi di mana."
"Setan
cilik! Kau dapat sogokan berapa?" bentak Mayor de Groote. Pada saat itu
masalah sogokan sudah menjadi umum. Orang menggunakan istilah itu untuk
memuaskan rasa sangsinya.
"Aku
tak tahu! Aku tak tahu!"
Tatkala
itu rombongan serdadu yang melihat percikan darah segera memeriksa sungai.
Diketemukan pula dua jejak kaki yang berlainan. Satunya bertelanjang kaki,
lainnya bersepatu. Terang itulah jejak kaki Sangaji. Serdadu-serdadu itu lalu
melaporkan.
"Hm.
Apa kaubilang sekarang?" bentak Mayor de Groote. "Mau ngaku
tidak?"
Sangaji
tahu tak dapat dia mengelakkan tuduhan itu. Tetapi ia nekad. Jeritnya lagi.
"Apa yang harus kukatakan? Aku tak tahu! Aku tak tahu!"
Mayor
de Groote mengayunkan cambuknya lagi. Mendadak didengarnya derap barisan dari
arah belakang. Itulah barisan Gubernur Jenderal P Vuyst.
Mayor
de Groote mengurungkan niatnya. Cambuk dilemparkan ke tanah. Dan bergegas ia
memutar kudanya menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. la melompat dari
kudanya dan melihat Gubernur Jenderal Vuyst menderita karena lukanya.
Darahnya
terus merembes keluar meskipun kakinya telah dibebat kencang-kencang. Ia nampak
gusar dan memerintahkan Mayor de Groote mencari Willem Erbefeld sampai ketemu.
Ingin ia menawan kapten itu dan mau menghukum dengan tangannya sendiri untuk
memuaskan hatinya.
"Kudanya
telah tertangkap. Jejaknyapun telah kami ketahui," lapor Mayor de Groote.
"Aku
mau orangnya yang tertangkap, bukar. kudanya. Mana dia?"
Didamprat
begitu Mayor de Groote mengalihkan rasa mendongkolnya kepada Sangaji. Serentak
ia berpaling ke arah Sangaji. Kemudian dengan menghunus pedang ia menghampiri.
"Kaubilang
tidak?" bentaknya.
Sangaji
tetap membandel. Karena itu Mayor de Groote menghajar kepalanya dengan gagang
pedang. Darah lantas saja mengucur. Tetapi justru melihat darahnya sendiri
keberanian Sangaji muncul.
"Tak
mau aku bilang. Tak mau aku bilang," teriaknya.
Gubernur
Jenderal memperhatikan bocah itu. Ia tersenyum tatkala mendengar ucapannya.
Kapten Doorslag dibisiki, "Bujuk dia de¬ngan cara lain agar mau mengaku.
Dia berkata tak mau bilang, bukan berkata tak tahu."
Kapten
Doorslag tersenyum pula. Yakinlah dia, kalau Sangaji mestinya tahu dan berusaha
membebaskan diri dari tuduhan. Hanya dia salah ucap.
"Bocah!"
kata Kapten Doorslag lembut. "Berbicaralah yang benar! Kuberi hadiah
ini." Kapten Doorslag mengangsurkan sebilah belati. Tetapi Sangaji tetap
mengulangi teriakannya, "Aku tak mau bicara!" Mayor de Groote
kehilangan kesabarannya. Ia merampas cambuk serdadu yang berada di dekatnya.
Kemudian menghajar Sangaji bolak-balik sehingga jatuh bergelimpangan. Keruan
Sangaji menderita kesakitan. Darahnya mengucur dan seluruh badannya
bergarit-garit babak-belur.
"Ceburi
sungai! Aduk airnya! Gerayangi tebing-tebingnya. Pasti dia ada di situ,"
perintahnya lagi.
Sangaji
dengan Willem Erbefeld baru kali itu bertemu. Meskipun demikian ia bersedia
membela dan melindungi. Ada dua sebab. Pertama, karena ia kagum kepada
kegagahan Willem Erbefeld. Kedua, jelas karena pengucapan naluriah. Ia memiliki
jiwa luhur. Sesuatu hal yang tak dapat diajarkan oleh manusia.
Demikianlah,
tatkala mendengar Mayor de Groote memberi perintah mengaduk sungai, ia jadi
nekat. Kenekadan ini timbul dengan mendadak. Hal ini disebabkan letupan rasa
amarah karena dianiaya sampai kesakitan.
"Jangan
aduk! Jangan aduk!" teriaknya berulang kali.
Mayor
de Groote lantas saja dapat menebak teka-teki itu. Ia tertawa berkakakkan
sambil menghajar lebih keras sebagai hukuman orang berdusta. Mendadak di luar
dugaannya Sangaji terus menubruk kakinya dan menggigit keras-keras. Keruan dia
berkaok-kaok kesakitan. Cambuknya diayunkan dan disambarkan sejadi-jadinya
sambil berusaha merenggutkan din. Tetapi Sangaji sudah nekat. Ia memeluk kaki
Mayor de Groote erat-erat dan menggigit lebih keras lagi sampai giginya
bergetaran.
Mayor
de Groote kelabakan. la berputar-putar. Mulutnya berkaok-kaok. Menyaksikan
kejadian itu Kapten Doorslag tertawa terpingkal-pingkal. Juga Gubernur Jenderal
Vuyst.
Melihat
Gubernur Jenderal tertawa, serdadu-serdadu yang bersikap segan kepada Mayor de
Groote lantas saja tertawa meledak. Mereka tak segan-segan lagi.
Karena
rasa sakit tak terperikan lagi Mayor de Groote melemparkan cambuk. Kini
mengalihkan pedangnya yang digenggam di tangan kiri ke tangan kanannya.
Kemudian menumbuki kepala Sangaji dengan gagang pedang. Dua kali ia menumbuk
kepala Sangaji. Dengan mendadak didengarnya suara beriuh. Ternyata Willem
Erbefeld muncul dari tebing sungai. Dengan menekan dada ia menghampiri Mayor de
Groote dan menendang perutnya. Mayor de Groote terpental. Sangaji ikut pula
terbanting. Gigitannya lantas saja terlepas.
Sambil
membangunkan Sangaji, Willem Erbefeld mendamprat. "Kausiksa seorang
kanak-kanak, apa tidak malu?"
Mayor
de Groote tertatih-tatih bangun. Ia menderita kesakitan luar biasa. Daging
pupunya semplak. Darahnya merembesi celananya. Perutnya seakan-akan terasa
hampir meledak pecah. Ia tak dapat berbicara. Wajahnya pucat. Napasnya
tersengal-sengal.
Serdadu-serdadu
lantas saja mengepung Willem Erbefeld rapat-rapat. Tetapi Willem Erbefeld tak
mengenal takut. Dengan tenang ia menyapukan pandangan. Kemudian berkata kepada
Gubernur Jenderal Vuyst dengan meludah. "Sayang! Sayang! Mengapa VOC
akhirnya jatuh ke tangan manusia-manusia rendah semacam ini."
Semenjak
VOC dibentuk Oldenbarneveld pada tanggal 20 Maret 1602 kekuasaan di Indonesia
dipegang oleh Gubernur Jenderal dengan dibantu oleh Raad van Indie. Sekarang
tiba-tiba orang mendamprat begitu rupa kepa¬da seorang Gubernur Jenderal.
Keruan saja Gubernur Jenderal Vuyst menjadi gusar.
"Apa
kaubilang?"
"Aku
bilang, manusia-manusia ini tak mem-punyai moral," sahut Willem Erbefeld.
"Dia sudah dapat menyiksa seorang anak di bawah umur. Dan seorang macam
itu kau gunakan sebagai perwira pengawal pribadi. Bukankah pengawal itu
mencerrninkan hati yang dikawal?"
Gubernur
Jenderal P Vuyst lantas menghunus pedang. Willem Erbefeld tidak gentar. la
tentang pedang itu dengan pandang tajam.
"Kau
bunuhlah aku! Aku takkan melawan." katanya dengan keras.
Gubernur
Jenderal menggigil menahan marah. Tetapi ia mengurungkan niatnya menyabet
pedang. Ia pandang Willem Erbefeld tanpa berkedip.
"Siapa
kau sebenarnya!"
"Willem!
Willem Erbefeld. Aku keluarga pemberontak. Leluhurku dihukum pancung. Nah,
hukumlah aku!" sahut Willem Erbefeld dengan berani. "Tetapi aku mau
mati secara kesatria. Sayang, di sini tidak seorangpun yang berhati
jantan."
Gubernur
Jenderal Vuyst berpaling kepada Mayor de Groote.
"De
Groote! Kau kena tendangnya. Kau kuberi kehormatan untuk berduel. Hukum
dia!" perintahnya.
Perintah
itu mana menyenangkan hati Mayor de Groote. la lagi kesakitan. Tapi mengingat
Willem Erbefeld luka parah pula, timbullah keberaniannya. Lantas saja ia
men-cari pedangnya yang terpental dari tangan. Lalu maju menghampiri dengan
menahan perutnya yang terasa sakit luar biasa.
Willem
Erbefeld telah menghunus pedang. Maka kedua orang itu lantas saja bertarung.
Para serdadu membuat pagar arena. Mereka menahan napas. Dalam hatinya, mereka
menyokong Mayor de Groote. Sebaliknya Sangaji berdoa untuk kemenangan Willem
Erbefeld.
Willem
Erbefeld tak berani bergerak dan menggunakan tenaga yang tak perlu. Ia hanya
menangkis dan berkisar seperempat atau setengah langkah. Tetapi sabetan
pedangnya cepat dan bertenaga.
Mayor
de Groote mana mau mengalah bertempur di depan Gubernur Jenderal Vuyst.
Meskipun perut dan kakinya kesakitan, ia berkelahi dengan penuh semangat. Ia
cerdik lagi. Tahu kalau musuhnya luka parah di dadanya, ia merangsak hebat. Ia
mau mengaduk tenaga lawannya. Dengan cara demikian ia mengharap lawannya Ietih
sendiri karena kehilangan banyak darah.
Willem
Erbefeld sadar akan kelemahannya sendiri. Tetapi ia seorang kapten yang gagah
berani. Ia melayani rangsakan Mayor de Groote dengan tenang. Mendadak pundaknya
kena tersabet pedang. Ia jatuh miring. Sangaji terperanjat. Sebaliknya
serdadu-serdadu bersorak penuh kemenangan.
Mayor
de Groote berbesar hati melihat tikamannya mengenai. Tetapi ia terlalu
tergesa-gesa membusungkan dadanya. Ia kehilangan kewaspadaan. Tatkala
menyabetkan pedang hendak mengakhiri pertarungan hatinya sudah beralih kepada
Gubernur Jenderal mengharap mendapat pujian.
Ia
lengah. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Willem Erbefeld. Memang
ia mengetahui tabiat lawannya itu yang merupakan titik kelemahan. Sengaja ia
membiarkan pundaknya terkena tikaman pedang. Tetapi mendadak ia menusuk
tubuhnya de¬ngan menggulungkan diri. Pedang Mayor de Groote menusuk tanah.
Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan pedangnya sampai tertancap kuat. Willem
Erbefeld lantas saja membabatkan pedangnya ke lengannya. Mayor de Groote
memekik terkejut. Sedetik itu ia sadar akan kesalahannya. Tetapi pedang tak
mempunyai mata dan pendengaran. Dalam sedetik itu lengannya terputung menjadi
dua. Ia memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas tanah.
Para
serdadu gusar bukan main. Mereka merangsak maju. Tetapi Gubernur Jenderal
melarang mereka bertindak.
"Aku
mau ia mati puas. Jangan sampai kita disebut perempuan," katanya nyaring.
Willem
Elbefeld nampak kehabisan tenaga. Darahnya menyemburi dadanya. Wajahnya pucat.
Tubuhnya bergoyang-goyang. Napasnya naik ke leher. Meskipun demikian ia memaksa
diri untuk berbicara.
"Aku
bisa membunuhnya. Tapi aku menghendaki suatu pertukaran."
"Apa
maksudmu?"
"Satu
nyawa ditukar dengan satu nyawa."
Serdadu-serdadu
menggerendeng mendengar perkataanya. Tetapi Gubernur Jenderal Vuyst tersenyum.
"Kamu
ingin kubebaskan? Baiklah. Akupun seorang laki-laki. Kamu kubebaskan."
Tetapi
Willem Erbefeld menggelengkan kepala. Sahutnya, "Bukan untukku. Tapi aku
menghendaki agar anak itu dibebaskan dari segala hukuman."
Gubernur
Jenderal Vuyst tercengang-ce-ngang mendengar kata-kata Willem Erbefeld.
Sampai-sampai ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Diam-diam ia
mengagumi. Sekarang kesannya berbalik. Kalau tadi ia menaruh dendam, kini
mendadak merasa sayang.
"Hm.
Kau tak sayang nyawamu sendiri. Jangan menyesal! Pertimbangkan lagi. Apa
gunanya membela bocah Bumiputra?"
Willem
Erbefeld tersenyum pahit.
"Bocah
ini belum pernah berkenalan denganku. Namun ia berani mengorbankan
keselamatannya sendiri. Kalau bocah sekecil ini sudah berani mengorbankan nyawa,
aku yang sudah berumur hampir setengah abad mengapa sayang pada nyawa sendiri.
Aku dididik keluargaku untuk menghormati jiwa besar dan watak jantan. Aku
merasa takluk padanya. Dan bukan kepada ancaman serdadu-serdadu rendahan tak
berarti ini."
Tajam
perkataannya, tetapi Gubernur Jenderal Vuyst malahan kian tertarik.
"Baiklah,
bocah itu kami bebaskan dari segala hukuman. Sekarang tentang dirimu sendiri.
Siapa yang kautantang lagi? Pilihlah di antara perwira-perwiraku."
Tanpa
berkedip Willem Erbefeld menjawab, "Semuanya maju berbareng, itulah
permintaanku."
"Kauberani
melawan?" Gubernur Jenderal Vuyst menebak-nebak.
"Aku
tidak melawan. Tidak ada gunanya aku melawan, karena aku sedang luka
parah."
Kesunyian
terjadi. Gubernur Jenderal Vuyst mengalihkan pandang ke Kapten Doorslag,
"Kau maju! Habisi dia!"
Kapten
Doorslag menghunus pedang. Kemudian berkata dengan takzim. "Perintah
Gubernur Jenderal akan kami lakukan. Tetapi izinkan kami berbicara."
"Bicaralah!"
"Dia
terluka parah. Dengan sekali tebas kami sanggup menghabisinya. Tetapi bagi
ka¬mi itu bukan tugas yang terhormat. Bagaimana tidak? Karena aku pasti tak
mendapat perlawanan yang layak. Namaku akan dikutuknya sampai ke alam baka
sebagai laki-laki rendahan. Sebaliknya dia mati sebagai seorang laki-laki. Mati
karena dikerubut banyak orang. Itulah sebabnya apabila Gubernur Jenderal
menyetujui, ampunilah dia."
Gubernur
Jenderal menjatuhkan pedangnya ke tanah. la mendengar rintih Mayor de Groote. Timbulah
pikirannya, perwira pengawalku tidak dapat memenuhi tugasnya lagi dengan
sempurna. Dia telah cacat. Mengapa aku tak mengharapkan bantuan orang itu?
Mendapat
pikiran begitu lantas dia berkata nyaring kepada Willem Erbefeld. "Apakah
kamu masih akan melawan kami?"
Dengan
memaksa diri Willem Erbefeld maju tertatih-tatih.
"Aku
menghendaki mati terhormat. Seumpama seseorang dijatuhi hukuman mati.
perkenankan aku memohon satu kali permintaan." la berhenti mengesankan.
"Tak sudi dan tak rela aku, kalau yang membunuh diriku adalah seorang yang
sederajat denganku. Aku minta agar Gubernur Jenderal sendiri yang menjatuhkan
hukuman."
Mendengar
permintaan orang itu, Gubernur Jenderal Vuyst tertegun. Memang ia ingin
menghukum orang itu dengan tangannya sendiri. Tapi justru karena orang itu
mengucap demikian, hatinya seperti kena ditusuk kaget.
"Mengapa
aku?" tanyanya tergagap.
"Aku
sudah menembak dan melukai Gu¬bernur Jenderal. Sudah sepantasnya Gubernur
Jenderal sendiri yang menghukum aku," sahut Willem Erbefeld. Dan ia lantas
berlutut di hadapannya mengangsurkan lehemya.
Jawaban
Willem Erbefeld tanpa disadari mengenai tepat relung hati Gubernur Jenderal
Vuyst lagi. Dia makin tertegun. Akhirnya setelah berdiam menimbang-nimbang, ia
berkata agak lunak.
"Aku
melihat keperwiraanmu. Aku kagum padamu. Ingin aku mempunyai seorang perwira
seperti dirimu. Seumpama kamu kuberi ampun, bagaimana?"
Pemberian
ampun ini sama sekali tak terduga. Sekaligus terlihatlah dua kesan pengucapan
yang bemilai besar. Yang pertama, membuktikan kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Vuyst yang dapat melihat jauh. Kedua, memperoleh kesetiaan penuh dari seorang
perwira yang sama sekali tak mengharapkan hidup lagi.
Willem
Erbefeld menggigil seluruh tubuhnya. Lantas saja dia membungkuk hormat sambil
menjawab pertanyaan Gubernur Jen¬deral setengah bersumpah.
"Mulai
hari ini aku bersedia mati untuk Gu¬bernur Jenderal Vuyst. Aku berhutang
nyawa."
Gubernur
Jenderal Vuyst tertawa berkakakkan. Serdadu-serdadu dan para perwira
tercengang-cengang karena sama sekali tak mengira kalau peristiwa besar itu
berakhir demikian rupa. Mereka sampai tertegun de¬ngan kepala kosong.
Gubernur
Jenderal Vuyst lantas mengang¬surkan pedangnya sambil merogoh saku.
"Pedangku
ini kuberikan kepadamu. Mulai sekarang kau ikut aku. Dan ini terimalah gajimu
yang pertama."
Ternyata
Gubernur Jenderal Vuyst mengelu-arkan sekantung uang emas dan dilemparkan
kepada Willem
Erbefeld. Dengan senang
hati, Willem Erbefeld
menerima pedang dan diciumnya. Sedang terhadap kantung emas
dia berkata, “Izinkanlah saya menghadiahkan uang emas ini kepada si bocah.
Dialah jem-batan emas bagi kami.” Mendengar
kata-kata Willem Erbefeld, Sangaji
terperanjat. Ia berteriak,
“Tak boleh aku menerima uang jasa! Tak boleh aku
menerima uang jasa!”
Semenjak tadi
Gubernur Jenderal Vuyst
tertarik kepada Sangaji.
Mendengar ucapannya, ia bertanya, “Siapa yang melarang?”
“Ibu.
Ibu.”
Gubernur Jenderal
Vuyst tertawa lebar.
Ia memberi isyarat
kepada sekalian serdadunya
meninggalkan
gundukan itu. Kepada Willem Erbefeld dia berkata, “Emas itu adalah gajimu. Kau boleh
mempergunakan sesuka hatimu. Bawalah anak itumenghadap padaku.”
Lalu berangkatlah
dia mengarah ke
kota. Barisan pengawal
segera mendampingi dan
mengiringi.
Sedangkan serdadu-serdadu bawahan Mayorde Groote mengangkat tubuh Mayor de
Groote hati-hati.
Willem Erbefeld
girang bukan main.
Ia seperti kejatuhan
rembulan dari langit.
Sesudah
nyawanya lolos
dari kematian, ia
mendapat majikan yang
bijaksana. Karena girangnya
ia membiarkan diri mendekam di atas tanah sambil beristirahat. Kemudian
memanggil Sangaji.
“Adikku
yang baik ... mulai sekarang kau adalah bagian jiwaku. Di mana rumahmu? Yuk,
kita pulang bersama ...”
Sangaji habis
mendapat ganjaran cambuk
dan hulu pedang.
Tadi tak dirasakan
penderitaannya, karena
hatinya marah dan
tegang. Kini—sesudah marabahaya
berlalu dan mendengar suara
panggilan lembut—rasa sakitnya
mulai terasa merunyam
dalam dirinya. Langkahnya
sempoyongan. Tatkala hampir menyentuh tubuh Willem Erbefeld, ia jatuh pingsan tak
sadarkan diri.
***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 5 SANGAJI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 5 SANGAJI"
Post a Comment