BENDE MATARAM JILID 3 SALAH PAHAM
Tak
pernah mereka bermimpi, kalau rumah tangganya yang begitu tenteram damai
tiba-tiba mengalami gelombang malapetaka dahsyat. Kesan pertempuran itu
mengusik ketenteraman hatinya. Mereka sadar, ekornya masih panjang. Pastilah
gerombolan anak buah sang Dewaresi tak mau sudah, manakala mereka belum dapat
merampas kedua pusaka Pangeran Semono.
"Apa
kita serahkan saja?" Wayan Suage minta pertimbangan.
Isterinya
segera menyetujui. Begitu pula Rukmini. Mereka sepaham, bahwa tidak ada
untungnya memiliki kedua pusaka itu.
"Sawah
kita sudah cukup lebar. Rumah kita besar pula. Sapi dan kerbau kita miliki.
Pendek kata, cukuplah buat hidup tenteram. Anak-anak kita takkan kelaparan.
Hidup macam apa lagi yang kita inginkan?" kata Rukmini.
Besar
pengaruhnya ujar mereka berdua terhadap Wayan Suage. Tetapi Made Tantre
berpaham lain. Katanya, "Kita tak berhak mengadili kedua pusaka itu. Hajar
Karangpandan bukanlah orang sembarangan. Kalau sampai mempercayakan kedua
pusaka itu kepada kita, pasti ada maksudnya. Seumpama kedua pusaka itu lantas
kita serahkan begitu saja kepada mereka yang menghendaki, apa kata Hajar
Karangpandan? Kita tahu, dia bertahan mati-matian dan berjuang dengan segenap
hatinya. Dia dapat datang pergi sesuka hati seperti burung rajawali mendaki
angkasa. Ah, harga diri kita takkan dipandangnya lagi. Dia dapat menimbulkan
malapetaka jauh lebih mengerikan daripada gerombolan orang-orang Banyumas
tadi."
"Tapi
soalnya, mereka berjumlah besar. Sedangkan kita hanya dua orang," bantah
Wayan Suage.
"Itu
gampang. Kita lapor ke Kepala Kampung. Kita taruhkan kedua pusaka itu dalam
penjagaan seluruh penduduk. Nah, apakah mereka mampu merebut?"
Kata-kata
Made Tantre masuk akal pula. Maka pada sore harinya mereka lapor kepada Kepala
Kampung. Tetapi setelah Kepala Kampung itu mendengar tentang kedua pusaka
Pangeran Semono, timbul pulalah keingin-annya hendak mengangkangi.
Kepala
Kampung Karangtinalang seorang laki-laki berumur 60 tahunan. Tetapi pandang
matanya masih memancarkan sinar perjuangan hidup jasmaniah. Dengan diam-diam ia
memanggil dua orang pembantunya. Kemudian bergegas mengunjungi rumah Wayan
Suage dan Made Tantre agar mengawalnya dari jauh.
Made
Tantre yang mempunyai penglihatan cermat, segera memperoleh kesan tertentu.
Celaka! katanya dalam hati. Orang inipun mempunyai nafsu serigala pula. Maka ia
mem-bisikkan kesannya kepada Wayan Suage.
Wayan
Suage percaya benar kepada prasangkanya, maka ia berbisik kepada Sapartinah
agar memanggil Kepala Kampung Kemarangan, Krosak dan Gemrenggeng. Mereka akan
dijadikan saksi hak milik kedua pusaka. Maka pada senja hari itu,
ber-turut-turut datanglah kepala-kepala kampung tiga desa.
Wayan
Suage menyambut kedatangan mereka dengan gembira. Beramai-ramai mereka
memeriksa kedua pusaka Pangeran Semono yang diletakkan di atas meja. Pan¬dang
mereka mendadak berubah seperti orang kelaparan. Tetapi mereka tidak berani
menyatakan keinginan hatinya terang-terangan. Juga Kepala Kampung
Karangtinalang agak segan pula. Untuk menutupi kata hatinya, mereka berbicara
tentang pusaka-pusaka kuno yang bertuah. Dihubungkan pembicaraan itu kepada
penobatan Sultan Yogyakarta.
"Siapa
mengira. Raden Mas Sundara akhirnya naik tahta kerajaan," kata Kepala
Kampung Karangtinalang. "Tadinya kukira Kanjeng Gusti Anom Amengkunegara
atau Kanjeng Pangeran Arya Ngabei."
"Ah!
Kanjeng Arya Dipasana atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumayuda lebih tepat,"
sambung Kepala Kampung Gumrenggeng. "Sebab mereka berdua lebih perwira dan
perkasa."
"Siapa
bilang," bantah Kepala Kampung Kemarangan. "Meskipun mereka sakti,
apakah dapat menandingi kekeramatan tombak Kyai Pleret. Raden Mas Sundara
beruntung memperoleh warisan pusaka. Sekiranya tidak, beliau pun takkan dapat
naik tahta."
"Hm!"
Kepala Kampung Krosak memotong. "Berbicara tentang pusaka inilah pusaka
sakti tak terlawan. Kalian tahu, Pangeran Semono dulu adalah cikal-bakal
kerajaan Jawa. Dia putera Bathara Karawelang, Raja Loano. Pusaka Raja
Karawelang sebenarnya tiga buah. Yang pertama: Bende Mataram, kedua: kens Kyai
Tunggulmanik dan ketiga Jala Karawelang. Barang siapa memilikl ketiga pusaka
itu, akan dapat merebut tahta kerajaan Jawa."
"Mengapa?"
mereka bertiga menyahut berbareng.
"Mengapa?"
Kepala Kampung Krosak mengulang. "Dia akan sakti tak terlawan. Suaranya
seperti guntur. Gerak-geriknya gesit bagalkan kilat. Otaknya menjadi cerdas
tanpa guru. Sekali melihat lantas bisa. Dia akan disujuti jin, setan dan iblis
di seluruh kepulauan. Mereka bersedia menjadi bala tentaranya yang kelak disebut
balatentara sirolah. Nah, siapa dapat melawan? Apa kalian sanggup berlawanan
dengan jin, setan dan iblis yang tak nampak oleh mata?"
Dengan
disinggungnya nama kedua pusaka itu, gejolak hati mereka tak tertahankan lagi.
Mereka lantas saja meruntuhkan pandangan kepada pusaka Bende Mataram dan Keris
Kyai Tunggulmanik.
"Pernahkah
kamu melihat pusaka Jala Karawelang?" ujar Kepala Kampung Karangtinalang.
"Bagaimana
mungkin aku kuasa melihatnya," sahut Kepala Kampung Krosak. "Menurut
tutur-kata orang-orang kuno, jala itu tidak nampak. Dia selalu bersama dengan
kedua pusaka ini."
"Kalau
begitu, pasti pusaka Jala Karawelang berada di sekitar kedua pusaka ini,"
seru Kepala Kampung Karangtinalang. Tangannya kemudian meraba-raba, karena
napsunya sangat besar hendak menjamah kedua pusaka itu. Tetapi belum lagi dia
menyentuh, mendadak tangan Kepala Kampung Kemarangan menyambar cepat.
"Jangan
sentuh! Kau tak berhak!" bentaknya. Kemudian seperti seorang majikan yang
berhak melarang pegawainya, ia berganti menurunkan tangan. Tetapi maksudnya
dihalang-halangi Kepala Kampung Gumrenggeng.
"Hai
beraninya kamu menghalangi aku?" bentaknya.
"Mengapa
tidak?" Kepala Kampung Gum¬renggeng membalas membentak. "Kalau dia
tak berhak, kamupun tak berhak pula. Memang kamu ini siapa?"
"Bangsat!"
maki Kepala Kampung Kema¬rangan.
Dimaki
demikian, meledaklah amarah Ke¬pala Kampung Gumrenggeng. Tanpa berpikir panjang
lagi, tangannya menyambar, Kepala Kampung Kemarangan terkejut. Gugup ia
menangkis dan sebentar saja mereka berdua telah berhantam seru.
Melihat
mereka berdua saling berhantam Kepala Kampung Karangtinalang mempergunakan
kesempatan itu. Ia tak mempedulikan lagi pandang tajam Way an Suag'e dan Made
Tantre yang berdiri di pojok. Pikirnya, mereka kan penduduk kampungku nanti tak
akan menghalangi maksudku.
Tetapi
ia melupakan Kepala Kampung Krosak yang mengincar pula pusaka itu. Maka begitu
dia_hendak menubruk kedua pusaka Pangeran Semono, tangannya kena dipapas tinju
Kepala Kampung Krosak. Mereka berdua lantas berdiri. Kedua-duanya sudah berumur
lanjut. Kumis, jenggot dan alisnya memutih kapuk. Pandang matanya suram kuyu.
Mereka berusaha memperkasakan diri. Kemudian sa¬ling menerjang dengan sekuat
tenaga.
Mereka
berbenturan dan tergetar mundur dua langkah. Tubuhnya bergoyang-goyang. Tapi
seperti kemasukan setan mereka mener¬jang lagi dan bergumul rapat pepat.
Jaman
dulu tak gampang orang jadi Kepala kampung. Dia harus seorang perwira,
berwibawa, berani dan cerdik sebagai syarat mutlak memperoleh kewibawaan.
Itulah sebabnya mereka kebanyakan terdiri dari bekas jagoan, pembegal atau
maling ampuh. Maka tak mengherankan, kalau mereka pandai berkelahi dan ulet.
Waktu
itu senja rembang telah tiba. Dalam rumah panjang itu seketika menjadi gelap.
Tubuh mereka yang berkelahi berkelebatan seperti bayangan. Mereka mengadu
ketajaman pendengaran dan berpedoman pada kesiur angin belaka.
Keempat
orang kepala kampung itu sebenarnya tak mempunyai musuh tertentu. Mereka hanya
bersedia bertempur demi kedua pusaka. Siapa saja yang menghampiri meja, lantas
saja digempur bersama. Karuan saja, pertempuran itu berlangsung sangat kacau.
Mula-mula,
Kepala Kampung Kemarangan berhantam dengan Kepala Kampung Gumrenggeng.
Tiba-tiba mereka melihat pergulatan mati-matian antara Kepala Kampung
Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak. Ketika kedua kepala kampung itu
bergeser tempat sehingga mendekati meja, dengan berbareng mereka menyerang.
Karena serangan itu, pergulatan bubar tersentakkan. Mereka mendongkol dan
permusuhannya kini beralih kepada Kepala Kampung Kemarangan dan Kepala Kampung
Gumrenggeng.
"Kalian
manusia rendah!" maki Kepala Kampung Karangtinalang.
"Apa
kau bukan bangsa tikus pula?" Kepala Kampung Gumrenggeng membalas bentakan
itu. la mengayunkan tinju. Cepat-cepat Kepala Kampung Karangtinalang menangkis.
Maka bentroklah adu tenaga itu, sehingga kedua-duanya mundur sempoyongan.
Dalam
pada itu Kepala Kampung Krosak melayani Kepala Kampung Kemarang, yang merangsak
dengan hebat. Mereka mencakar dan menendang sejadi-jadinya. Kedua-keduanya
mengerang kesakitan, tetapi tak mau mengalah. Mereka berputar memasuki
gelanggang pertarungan Kepala Kampung Karang¬tinalang dan Kepala Kampung
Gemrenggeng. Justru waktu itu, Kepala Kampung Gemreng¬geng sedang menyerang
punggung. Karuan saja mereka berdua terkejut. Buru-buru mere¬ka menangkis
berbareng. Prak!
Mereka
terjengkang ke samping. Mendadak Kepala Kampung Karangtinalang berjongkok dan
mengirimkan tendangan. Serangan ini samasekali tak diduga oleh ketiga-tiganya.
Lagipula, mereka bertiga tadi terkejut karena. bentrokan tanpa rencana. Itulah
sebabnya, maka masing-masing kena hajaran tendangan kaki Kepala Kampung
Karangtinalang. Mereka lantas kalangkabut dan berbareng merangsak maju.
Sudah
barang tentu, Kepala Kampung Ka¬rangtinalang ketakutan diserang bertiga. Ontung
ia tak kehabisan akal. Cepat ia merangkak menjauhi dan mengumpet di bawah meja.
Napasnya tersengal-sengal menyekat leher. Dalam hati ia mengharap kedatangan
dua pembantunya yang tadi disuruhnya mengawal dari jauh. Tetapi semenjak ia
masuk ke rumah Wayan Suage dan Made Tantre, mereka jauh berada di luar. Apakah
mereka mengetahui apa yang telah terjadi pada petang hari itu.
Memikirkan
hal itu, ia merayap keluar dari bawah meja. Hatinya tak rela jika belum dapat
menggenggam pusaka Pangeran Semono sebagai miliknya. Tetapi begitu dia keluar
dari kolong meja, segera ia terlibat dalam pertempuran kalang kabut. Ia lantas
menerjang dan mengamuk serabutan.
Pada
saat itu Wayan Suage dan Made Tantre yang berdiri di luar gelanggang
tercengang-cengang menyaksikan terjadinya pertarungan. Lama-kelamaan mereka
mendongkol, jengkel dan geli. Bagaimana tidak? Sama sekali tak diduganya kalau
mereka berempat yang diharapkan menjadi saksi hak milik barang pusaka, malahan
saling berhantam begitu mati-matian. Perkakas rumahnya rusak berantakan.
Sedangkan Sapartinah dan Rukmini terlihat memepet dinding dengan wajah
ketakutan. Maklumlah, selama mereka mendirikan rumah tangga, belum pernah
sekali pun menyaksikan orang bertempur di depan hidungnya. Apa lagi mereka yang
bertempur adalah kepala-kepala kampung yang mereka hormati.
Sangaji
dan Sanjaya sudah sejak tadi terkunci mulutnya. Mereka berdua gemetaran,
meringkaskan badan dan menyusup ke lambung ibunya masing-masing.
Mempertimbangkan
keadaan keluarganya, Made Tantre habis kesabarannya. Serentak ia lari ke dapur
dan datang kembali dengan membawa kayu menyala. Segera ia menyalakan lampu.
Kemudian berbareng dengan nyala lampu, ia berteriak nyaring,
"Berhenti!
Mengapa kalian saling berhantam? Bukankah kalian kami undang untuk menjadi
saksi hak-milik pusaka kami?"
Mereka
berhenti berkelahi dengan serentak. Tetapi bukan karena teriakan Made Tantre,
melainkan karena sinar terang yang menerangi ruang rumah. Mereka saling
memandang dengan pandang mengancam dan menyiasati. Raut muka mereka bengis dan
hawa pembunuhan mulai terasa.
Seketika
itu di dalam rumah hanya terdengar napas mereka. Made Tantre bergemetaran
karena menahan marah. Ingin ia mendepaki muka mereka, andaikata mereka bukan
kepala-kepala kampung yang harus dihormati. Mendadak ia mendengar suara lantang
dari serambi depan. Suara itu mengalun dan menusuk seluruh penjuru. Ia kaget
dan cepat-cepat memepet dinding.
"Aku
Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu hal yang harus
kusam-paikan kepadamu. Kuharap jangan salah paham!" bunyi suara itu.
Jahanam
mana lagi yang datang? pikir Made Tantre. Dia menoleh kepada Wayan Suage minta
keyakinan. Waktu itu Wayan Suage sedang memusatkan pendengarannya, menangkap
suara kata-kata yang terucapkan dengan pelahan dan terang. Ia terkejut. Suara
itu begitu riuh seperti guruh. Pastilah yang datang bukan sembarangan orang.
"Wayan!"
bisik Made Tantre. "Apa kata hatimu?"
"Jangan
bergerak. Tunggu! Dia pasti datang ke mari," jawab Wayan Suage berbisik
pula.
Waktu
itu Wirapati berjongkok ketika meli-hat sinar mengejap. Sebenarnya tak usahlah
dia berbuat begitu, karena sinar yang menge¬jap adalah nyala pelita yang sedang
disulut Made Tantre. Tapi oleh pengalamannya di tengah perjalanan tadi, ia
perlu bersikap waspada. Bukankah pemuda ganas yang membunuh si pendek gemuk belum
menampakkan diri?
Ia
menunggu beberapa saat. Jawaban tetap tak diperolehnya. Dalam rumah sunyi
hening. Hati-hati ia merangkak maju menjenguk ke dalam. Sekarang dilihatnya
nyala pelita menerangi ruang sana. Nampak pula ada bebera¬pa bayangan berombak-ombak
pada dinding. Cepat ia berdiri dan melompat ke belakang tiang guru. Dilihatnya
sepuluh orang bersikap diam tak bergerak. Yang empat orang terdiri dari dua
perempuan dan dua kanak-kanak. Yang enam, laki-laki semua. Apa yang sedang
dikerjakan? Sebagai murid Kyai, Kasan Kesambi yang sudah berpengalaman, segera
ia dapat membaca kesan muka mereka masing-masing. Mendadak pada saat itu di
atap rumah terdengarlah suara membentak.
"Semua
jangan bergerak dan jauhilah meja!"
Wirapati
segera mengenal suara itu. Ah, pikirnya. Itulah si pemuda ganas yang membunuh
si pendek gemuk. Aku harus berhati-hati. Nampaknya di dalam rumah ini telah
terjadi sesuatu yang menegangkan.
Tetapi
keenam laki-laki yang berdiri tegang tetap berada di tempatnya, seolah-olah tak
mendengarkan ancaman itu. Diam-diam hati Wirapati tergetar. Kalau pemuda itu
sampai menurunkan tangan jahatnya, bagaimana mereka dapat mengelakkan diri?
Terdengariah
kemudian suara tertawa dingin di atas atap. Kemudian dengan kesiur angin
ringan, turunlah si pemuda ke tanah dengan sekali melompat.
Ia
adalah seorang pemuda yang berumur kurang lebih 24 tahun. Wajahnya agak pucat,
tetapi tampan dan bermata ningrat. Pakaian yang dikenakan terbuat dari kain
mahal. Ia menyengkelit sebilah keris melintang perutnya. Mulutnya menyungging
senyum manis. Seumpama Wirapati tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri,
tak percaya kalau pemuda itu dapat berlaku ganas.
"Hai!
Apa kalian tak dengar perintahku!" bentaknya tajam.
Masih
saja keenam orang itu tak menghiraukan. Tiba-tiba kakek yang berada di timur
(dia Kepala Kampung Karangtinalang) mengayunkan tangannya dan bergerak hendak
mencakar muka si pemuda. Cepat pemuda itu mengelak, terus maju selangkah.
Melihat si pemuda melangkah maju, Kepala Kampung Krosak yang berada di sebelah
utara mengemplang kepalanya. Tetapi gerak-gerik si pemuda itu gesit. Sedikit ia
menggeser tubuh dan kemplangan Kepala Kampung Krosak menumbuk udara kosong.
Medapat
bantuan Kepala Kampung Krosak, hati Kepala Kampung Karangtinalang jadi mantap.
Ia menerjang dan menyodokkan ta¬ngannya. Tangannya sebelah kiri dipentang siap
menerkam dada. Ini hebat!
Diam-diam
Wirapati memuji dalam hati. Tetapi ilmu berkelahi si pemuda benar-benar aneh
dan bagus. Dengan tersenyum merendahkan lawan, mendadak ia menangkis dan
membalas menyerang. Kedua kakek itu dilawannya dengan gampang.
"Iblis!
Siapa kamu? Hayo mengaku, apa kauingin juga memiliki pusaka ini," bentak
Kepala Kampung Krosak.
Si
pemuda membalas bentakan itu dengan tertawa dingin. Tiba-tiba tubuhnya melesat
dan lengan Kepala Kampung Krosak kena disambar dan dipatahkan sampai berbunyi
bergeratakan. Alangkah terkejut Kepala Kampung Karangtinalang menyaksikan
lengan Kepala Kampung Krosak kena dipatahkan. Buru-buru ia menarik serangannya
dan bersikap mempertahankan diri. Tetapi terlambat. Dia pun terserang si
pemuda. Tahu-tahu ia terbanting ke tanah. Betisnya patah tak berdaya, sehingga
ia jatuh tengkurap tak berkutik lagi.
Mendapat
kemenangan itu, si pemuda mendongakkan kepala. Kemudian tertawa dingin.
"Siapa
yang salah. Bukankah aku tadi mem¬beri perintah supaya kalian menjauhi meja?
Nah, siapa maju lagi?"
Wirapati
mendongkol mendengar sumbar si pemuda. Sikapnya yang sombong itu benar-benar
memuakkan hati. Hati ksatrianya lantas bangkit. Mendadak ia melihat si pemuda
itu mengamat-amati perempuan yang berdiri memepet dinding mendekap bocah.
Itulah Sapartinah, isteri Wayan Suage.
Dia
sesungguhnya seorang perempuan berwajah manis. Hidungnya mancung. Matanya
bersinar. Alisnya tebal dan mempunyai tahi lalat di atas mulutnya. Umurnya
belum lagi mencapai 22 tahun . Kulitnya kuning langsat. Perempuan seumur dia
cepat menarik hati laki-laki yang sudah berpengalaman. Itulah sebabnya maka tak
mengherankan kalau si pemuda tertegun melihat kecantikannya.
"Isteri
siapa dia?" tanyanya sambil membagi pandang.
Tidak
ada jawaban.
"Isteri
siapa dia?" ia mengulang. Karena tetap tidak ada jawaban, ia meneruskan,
"Bagus! Tidak ada yang mengaku. Kalau begitu kepunyaan umum."
Mendengar
ucapannya Made Tantre tak dapat mengendalikan hatinya. Tak rela ia mendengar
isteri sahabatnya direndahkan demikian rupa. Secepat kilat ia menjejak tanah
dan terbang menerkam si pemuda.
Pemuda
itu nampak terkejut. Ia mengibaskan tangannya, tahu-tahu Made Tantre jatuh
terkulai. Wirapati kaget bukan kepalang. Ia tahu apa sebabnya. Pemuda itu
melepaskan senjata rahasia seperti yang dilakukan terhadap si pendek gemuk.
Menyaksikan keganasan si pemuda, darahnya seketika mendidih. Ia lantas meloncat
sambil berjaga-jaga.
Serangan
Wirapati cepat dan tak terduga. Pemuda itu tak dapat mengelakkan diri. Terpaksa
dia menangkis. Tetapi kena benturan tangan Wirapati, ia bergetar mundur dua
langkah. Ia heran atas kejadian itu. "Jahanam, siapa kamu?"
"Selama
kamu tak mau memperkenalkan namamu, apa perlu aku meladeni tampangmu?"
Wirapati menyahut. la menoleh dan melihat tubuh Made Tantre tak berkutik.
Rukmini merenggutkan dekapan anaknya dan lari menubruk. Cepat-cepat Wirapati
menghalang-halangi.
"Jangan
sentuh! Dia terkena racun!"
Mendengar
ucapannya semua jadi terkejut. Tetapi Rukmini tak mempedulikan. la memaksa maju
merangsak. Terpaksa Wirapati mendorongnya pergi. Karuan Rukmini menjerit dan
jatuh pingsan. Anaknya lari menghampiri dan menangis ketakutan.
"Bagus!
Rupanya kaukenal senjataku!" teriak si pemuda.
"Mengapa
tidak? Bukankah tadi kau juga menurunkan tangan jahatmu ke salah seorang
rombongan penari?" Wirapati mendamprat.
Si
pemuda tertegun. Kemudian tersenyum dingin. Berkata, "Eh, agaknya ada juga
yang tahu. Hm!"
Dada
Wirapati serasa akan meledak. la melesat dan mengirimkan gempuran. Si pemuda
tak berani menangkis. la mengendapkan diri dan bergulingan ke tanah. Tetapi
Wirapati tak memberi kesempatan dia bernapas. Secepat kilat ia menyapu dengan
kakinya, sambil melindungi dadanya. Diserang demikian, si pemuda tak menjadi
gugup. Kakinya menjejak tanah. Kemudian seperti seekor ikan melentik dari
genggaman tangan, ia meloncat tinggi sambil menyerang kepala Wira¬pati. Kedua
tangannya disodokkan menggempur kaki. Kemudian dengan berjumpalitan ia
mementalkan diri. Si pemuda berjumpalitan pula di udara dan jatuh berdiri
dengan sempoyongan.
"Bahaya!"
terdengar suaranya di antara giginya.
Pada
saat itu tubuh Made Tantre telah men¬jadi kaku. Wayan Suage tertegun karena
terkejut. Ia berdiri terpaku di tempatnya. Matanya terbeliak tak tahu apa yang
harus dilakukan. Sebaliknya Kepala Kampung Kemarangan dan Kepala Kampung
Qumrenggeng berbuat lain. Seperti telah berjanji mereka menggunakan kesempatan
itu untuk menyambar kedua pusaka Pangeran Semono. Niatnya begitu berhasil
membawa kedua pusaka itu, kemudi¬an akan kabur.
Tetapi
justru karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, malahan mereka jadi
saling bentrok. Kepala Kampung Gum¬renggeng lantas saja menyiku saingannya. Dan
Kepala Kampung Kemarangan mengemplang Kepala Kampung Gumrenggeng
Perhatian
mereka berdua sedang terpusat pada pusaka itu, sehingga tak sempat menangkis.
Maka siku dan kemplangan tangan mengenai tepat sasarannya. Keduanya kaget dan
batal mencapai pusaka.
Wayan
Suage mendadak sadar karena pergulatan itu. Tadi dia tertegun. Kini ia
tergugah, kalau matinya Made Tantre karena membela kehormatan isterinya. Mana
bisa ia hanya berpeluk tangan. Seketika itu juga timbullah rasa dendamnya,
benci dan jijik. Ia melihat kedua kepala kampung yang sedang meliukliuk
kesakitan. Deru hatinya lantas saja ditumpahkan kepada mereka. Secepat kilat
dan di luar dugaan, ia menyambar keris pusaka Kyai Tunggulmanik dan Bende
Mataram. Dengan kedua pusaka itu, ia menggempur mereka berdua.
Kedua
kepala kampung itu melihat datangnya bahaya. Mereka hendak meloncat mundur.
Tetapi serangan Wayan Suage sangat ce¬pat. Sebelum mereka sadar apa yang
terjadi, kedua pusaka sakti telah menggempurnya. Dengan menjerit mereka mencoba
bertahan. Tetapi bagaimana mereka kuasa melawan kesaktian kedua pusaka itu.
Mereka terjungkal ke tanah dan mati.
Hawa
pembunuhan kini mulai merangsang. Wayan Suage menggeram penuh dendam. Sedangkan
Sapartinah memekik tinggi sambil menutupi mukanya. Tak rela ia menyaksikan
suaminya menjadi seorang pembunuh, namun tak ada jalan lagi.
Tiba-tiba
di luar dinding terjadilah suatu keributan. Rombongan penari yang mengepung
rumah mulai berteriak dan merangsak maju. Terasa kini udara jadi panas.
Wirapati menoleh.
Ah!
Ia mengeluh dalam hati. Rupanya tali yang melingkar rumah bukan tali beracun,
melainkan tali berminyak tanah. Mereka bermaksud membakar rumah.
Darah
kesatria Wirapati kian menjadi meluap-luap. Ia harus cepat bertindak, mengingat
di dalam rumah terdapat dua orang perempuan dan dua orang kanak-kanak. Maka
de¬ngan memusatkan perhatian, ia menerjang si pemuda sambil berteriak,
"Cepat keluar! Rumah akan terbakar!"
Kepala
Kampung Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak yang kena dipatahkan lengan
serta kakinya oleh si pemuda, terkejut mendengar teriakan itu. Mereka sadar
akan bahaya, maka dengan sempoyongan dan meloncat-loncat lari menghampiri
pintu.
Tetapi
waktu itu, rombongan penari dari Banyumas sudah menyerbu memasuki rumah. Mereka
berteriak-teriak kalang kabut. Kekacauan segera terjadi. Api mulai menjilat
dinding rumah dan telah pula membakar atap ruang tengah. Wayan Suage segera
membungkuki Rukmini yang masih saja jatuh pingsan. la menggapai isterinya.
Tetapi isterinya tidak melihat. Masih saja dia mendekap mukanya, sedang Sanjaya
dipeluknya erat-erat.
Waktu
itu, Wirapati sedang mendesak si pemuda dengan serangan bertubi-tubi. la ingin
menyelesaikan pertempuran secepat mungkin. Sebaliknya si pemuda tak gampang
dapat dikalahkan. la dapat bergerak dengan gesit. Gerak-geriknya aneh pula,
bahkan kini mulai memperlihatkan tongkatnya.
Mendadak
saja si pemuda yang bermata tajam melihat Wayan Suage membungkuki mayat Made
Tantre, sedang kedua tangannya menggenggam dua pusaka sakti. la tak berniat
mengadu kepandaian dengan Wirapati. Tujuannya memasuki rumah panjang
semata-mata hendak merampas kedua pusaka sakti. Maka dengan dahsyat ia mencoba
mengundurkan Wirapati. Maksud itu sudah barang tentu tak mudah dilakukan.
Penjagaan Wirapati rapat dan tidak memberinya bidang gerak. la mengeluh dalam
hati. Kemudian meloncat tinggi dan berjumpalitan di udara. Ketika ke¬dua
kakinya telah meraba tanah, sekali melesat ia menghampiri Wayan Suage sambil
melepas senjata rahasianya. Ternyata senjata rahasianya berbentuk
butiran-butiran lada dan disembunyikan di dalam tongkatnya yang dibuatnya
sebagai jepretan.
Wayan
Suage menyadari datangnya bahaya. Gntung, bidikan si pemuda dilakukan dengan
gugup karena dirintangi Wirapati. Meskipun demikian, senjata rahasianya
mengenai juga mata kaki Wayan Suage yang seketika itu juga menjerit roboh.
Wirapati
terkejut. Cepat ia melesat dan menyambar punggung si pemuda. Si pemuda terpaksa
mengelak, sehingga gagal merampas kedua pusaka. Ia bermurung dan memaki-maki
dalam hati. Dalam kemurungannya itu mendadak ia teringat akan kecantikan
Sapartinah. Tanpa kesulitan lagi, ia menerkam lengan Sapartinah. Kemudian ibu
dan anak diangkat tinggi. Dalam hatinya ia akan mempergunakan mereka sebagai
perisai, jika Wirapati tiba-tiba menyerang.
Tetapi
kala itu, Wirapati memikirkan akibat bidikan senjata rahasia si pemuda yang
mengenai mata kaki Wayan Suage. Buru-buru ia melolos belatinya dan memangkas
kaki Wayan Suage sekali pagas. Itulah satu-satunya jalan buat menahan
menjalarnya racun berbahaya. Kemudian ia menotok urat nadi sambil berdiri di
depannya siap melindungi serangan-serangan si pemuda yang mungkin datang lagi.
Mendadak
ruang tengah telah terbakar habis. Rombongan penari benar-benar telah menyerbu.
Kedua kepala kampung yang bemasib malang kena ditumpas mati. Tubuh mereka
terjengkang di dekat ambang pintu dan sebentar saja telah digerumit nyala api.
Melihat
bahaya, si pemuda tak mempedulikan kedua pusaka sakti yang masih tergenggam
erat-erat dalam tangan Wayan Suage. Pikirnya, yang penting aku harus
menyingkir. Kedua pusaka itu perlahan-lahan akan dapat kujejak di kemudian hah.
Tubuh
Sapartinah dan Sanjaya diringkusnya erat-erat kemudian ia meloncat menubruk dinding.
Dinding rumah terbuat dari papan. Di ujung sana telah terbakar hangus. Itulah
sebabnya sisa dinding tidak sekokoh semula. Maka dengan mudah si pemuda dapat
menggempur roboh dan melesat melintasi lautan api.
Wirapati
tak dapat berpikir lama-lama. la harus segera mengambil keputusan. Dilihatnya
tubuh Rukraini dan anaknya menggeletak di atas tanah. Untuk menolong mereka
sekaligus tidaklah mungkin, sedangkan rombongan penari mulai menghujani
senjata. Pedang, tombak dan belatinya dilontarkan membabi buta.
Wirapati
tak menjadi gugup. la mengendapkan kepalanya sambil menyabetkan belatinya.
Dengan kecekatan yang telah dilatihnya semenjak berguru di Gunung Damar, ia
dapat menangkis hujan senjata itu dengan sekali sabet. Kemudian ia mencengkeram
ikat pinggang Wayan Suage sambil berpikir, mereka datang untuk merebut pusaka
sakti. Aku tak dapat membiarkan mereka mencapai maksudnya. Baiklah kuselamatkan
dulu orang ini. Mereka boleh mengejarku, masa aku tak mampu.
Ia
melesat ke dinding. Seperti laku si pemuda, ia menggempur dinding dan melintasi
lautan api. Ia mendengar rombongan penari itu berteriak-teriak tinggi. Tapi tak
usahlah dia khawatir, karena lautan api menjadi batas pagar yang cukup sentosa.
"Kejar
dia!" terdengar suara si tinggi jangkung yang telah dikenalnya.
"Pusaka ada padanya. Perempuan dan anak itu, biar aku yang
mengurusi."
Mendengar
seruan si tinggi jangkung, hati Wirapati bersyukur. Rukmini dan anaknya pasti
dapat diselamatkan. Sekarang ia memusatkan perhatiannya ke tujuan melarikan
diri. Ke mana dia akan lari? Dalam gelap, ia kehilangan kiblat arah. Lagi pula
jalan Desa Karangtinalang sama sekali belum dikenalnya.
Tanpa
berpikir ia lari terus dan lari terus. Ia mendengar desa menjadi ribut oleh
kentungan tanda bahaya. Kentungan tanda bahaya itu segera disahut dari desa ke
desa.
Celaka!
pikirnya dalam hati. Kalau aku lewat jalan besar aku kena cegat penduduk desa.
Baiklah aku menyeberang sawah, moga-moga hilanglah jejakku. O hujan, turunlah
kau!
Kalau
tadi ia merasa dirintangi turunnya hujan kini ia berdoa sebaliknya. Larinya
dipercepat dan dipercepat. Ia tak mengenal lelah sampai akhirnya tak terdengar
lagi kentung tanda bahaya. Dengan hati lega ia memperlambat larinya. Ia mencium
daun-daun hutan. muncullah harapan untuk membebaskan diri. Sekarang ia menaruh
Wayan Suage di atas tanah. Ia memeriksa lukanya. Ternyata Wayan Suage jatuh
pingsan, karena darahnya bercecer sepanjang jalan.
Ih!
jejakku mungkin akan hilang dihisap air tanah tapi darah ini ..., pikir
Wirapati
Karena
merasa tidak aman. Wirapati segera merobek lengan baju Wayan Suage dan
dibalutkan pada kakinya yang buntung. Kemudian ia memapahnya dan dibawanya
berlari lagi. Sewaktu fajar menyingsing sampailah dia di tepi sebuah kali.
Diseberanginya kali itu dan ia beristirahat di dalam gerumbul pohon tembelekan
yang rimbun.
Ia
memeriksa keadaan Wayan Suage. Hatinya bersyukur karena Wayan Suage ter-nyata
masih hidup. Racun senjata rahasia si pemuda bisa dipunahkan, berkat ia
memotong ujung kakinya sebatas setengah betis. Segera ia membebat luka.
Tak
lama kemudian, terdengar rintih Wayan Suage. Wirapati gembira. Ia memijat kedua
pundak Wayan Suage.
"Bagaimana
keadaanmu?"
Antara
sadar tak sadar, Wayan Suage membuka matanya. Ia mencoba bangun, tetapi
tenaganya habis. Agaknya dia hampir kehabisan darahnya.
"Tak
usah kaubangun!" kata Wirapati lagi. "Sekarang kamu telah terhindar
dari bahaya. Aku tak dapat menemanimu lebih lama lagi. Ijinkanlah aku
pergi."
"Pergi?"
gumam Wayan Suage. "Mengapa tak kaurampas kedua pusaka ini?"
"Sungguh
pun kedua pusaka itu mempunyai riwayat khayal yang menarik hati, tetapi apa
hakku merebutnya. Pusaka itu bukan milikku atau hak warisku."
"Bagaimana
keadaanmu?"
Wayan
Suage terbelalak heran. Ia tak percaya mendengar ujar Wirapati. la menduga,
Wirapati sedang mengatur tipu muslihat.
"Kau
... kau ... apa lagi yang mau kaulakukan?" Tuduh Wayan Suage. Ia mencoba
berdiri, tiba-tiba kakinya terasa sangat sakit. Tatkala melihat kakinya yang
sebelah menjadi buntung, ia memekik kaget dan menjatuhkan diri ke tanah.
"Kausiksa aku? Mengapa kau ... kau ..." Pekik Wayan Suage marah.
"Aku
dan kamu baru semalam berkenalan. Lagi pula antara aku dan kamu tidak ada
permusuhan. Mengapa kau menuduh aku menyiksamu? Kakimu itu memang akulah yang
memagas buntung, tapi demi keselamatanmu semata. Semalam kaukena senjata
beracun."
Lamat-lamat
Wayan Suage teringat peristiwa semalam. Mata kakinya seperti kena tusukan halus
dan tiba-tiba menjadi kaku. Tahulah dia, mata kakinya kena senjata rahasia.
Siapa pembidiknya, ia tak tahu. Maka ia menuduh Wirapati.
"Jiwaku
berada dalam genggamanmu. Nan, bunuhlah aku! Jangan kau menyiksaku begini
caranya. Aku tak mau kauhina!" katanya garang.
Wirapati
menarik napas dalam. Ia tahu, pikiran Wayan Suage belum jernih. Maka ucapannya
yang pedas tajam itu, tak dihiraukan. Malahan ia mencoba tersenyum. Kemudian ia
bergerak hendak melangkah pergi.
Wayan
Suage mendadak memeluk kakinya sambil mengerang. Mendengar erang itu. Wira¬pati
tak sampai hati meninggalkan seorang diri.
Dia
luka parah. Seorang diri pula di tengah alam yang serba asing. Apa jadinya
kalau kutinggalkan begitu saja. Ah, biariah kurampungkan sekalian soal ini.
Menolong seseorang dengan separuh hati apa guna, pikir Wirapati.
"Kawan,
siapa namamu?" tanyanya lunak.
"Apa
perlu kau menanyakan namaku. Aku bernama setan, iblis atau jin, apa
pedulimu?" sahut Wayan Suage galak.
Wirapati
tersenyum pahit mendengar ucapan Wayan Suage. "Aku hanya ingin tahu
namamu, apa itu jahat? Kau terluka parah. Seandainya kau tidak mendapat
pertolongan cepat, nyawamu akan melayang karena kehabisan darah. Dan kalau aku
tahu namamu, aku akan dapat membawa pusaka itu kepada keluargamu."
Wayan
Suage mengerang dalam sambil memeluk kedua pusaka yang digenggamnya semenjak
semalam. Wirapati jadi trenyuh. Ia beriba.
"Apa
untungnya mempunyai pusaka itu. Serahkan saja kepada orang-orang Banyumas yang
berhak memiliki. Kudengar tadi mereka merawat salah seorang keluargamu. Kalau
kamu bisa berdamai dengan mereka, kau akan dapat berkumpul kembali dengan
keluargamu," katanya lembut.
Mendengar
disebutnya nasib keluarganya, tubuh Wayan Suage menggigil. Teringatlah ia pada
masa sebelum peristiwa itu terjadi. Dia hidup tentram damai. Jauh dari segala
masalah keriuhan kota-kota besar. Siapa sangka, mendadak datanglah badai topan
yang menghancurkan segalanya yang telah dipupuknya semenjak enam tujuh tahun
yang lampau. Ini gara-gara datangnya kedua pusa¬ka Pangeran Semono, hadiah tamu
asing pada hari pesta penobatan.
"Diserahkan?
Diserahkan?" ia berteriak seperti meradang. "Kepada siapa?"
"Orang-orang
Banyumas. Bukankah kedua pusaka itu hak milik mereka?"
"Tidak!
Tidak! Kedua pusaka ini bukan miliknya!" teriaknya lagi. Tubuhnya menggigil,
kemudian menangis terisak-isak. Terdengar dia berkata di antara sedu-sedannya,
"Pusaka ini, kami yang punya! Kami telah membayarnya dengan sangat mahal.
Bagaimana mungkin terlepas dari tangan begitu gampang. Lihat, adikku Made
Tantre mati karena pusaka ini. Keluarganya hancur pula. Sekarang di mana isteri
dan anaknya? Kauapakan mereka?"
Sakit
hati Wirapati dituduh merusak keluar¬ganya. Ia mengibaskan kakinya dan melompat
pergi.
"Hai,
ke mana kamu pergi?" teriak Wayan Suage.
"Ke
mana aku pergi, apa pedulimu?" sahut Wirapati mendongkol. Ia melanjutkan
langkahnya. Sekonyong-konyong ia mendengar Wa¬yan Suage menangis begitu sedih
sambil memeluk kedua pusaka yang dipertahankan semenjak semalam. Tangisnya
begitu memilukan dan menggetarkan hati. Hati nurani Wirapati yang perasa
mencairkan rasa mendongkolnya. Ia menoleh, kemudian menghampiri lagi. Tanyanya
sabar, "Mengapa kamu menangis begitu sedih?"
"Biarlah
aku menangis. Biarlah aku me¬nangis. Aku akan menangis sampai mati," jawab
Wayan Suage.
Wirapati
menghela napas. Ia duduk di sam-pingnya sambil merenggut-renggut seonggok
rumput. Pandangannya dilayangkan ke jauh sana. Fajar hari kala itu mulai
menyingkap tirai malam. Angin pagi terasa menyelinapi tulang. Langit agak
cerah, karena sejak kemarin hujan turun sangat deras.
"Mengapa
kau menangis begitu sedih?" Wirapati mengulangi pertanyaannya.
"Mengapa
aku menangis? Ya… bagaimana aku tidak menangis." jawab Wayan Suage.
"Inginlah aku mengulangi pertanyaanmu itu kepada Yang menghidupiku, apa
sebab aku harus menangis. Benarkah kamu tak menghendaki kedua pusaka ini?"
"Aku
bukan hak waris pusaka itu, mengapa kamu mencurigaiku? Sekalipun pusaka itu
kauberikan kepadaku, aku akan menolak. Karena pusaka yang bukan miliknya atau
bukan hak warisnya akan dapat membawa malapetaka. Itulah kepercayaanku."
Jawaban
Wirapati tepat mengenai hati Wayan Suage. Teringatlah dia kepada nasib¬nya yang
hancur berantakan dengan tiba-tiba karena menerima pusaka pemberian orang yang
bukan termasuk hak warisnya. Dengan mengusap-usap mata, ia mencoba
mengamat-amati Wirapati.
"Apa
kau bukan termasuk salah seorang dari mereka?" Kata Wayan Suage dengan
pelahan. Wirapati menggelengkan kepala. "Apa kamu yang datang hendak
mengabarkan sesuatu kepada kami?" Wirapati mengangguk. "Ah!"
Wayan Suage kaget. Ia menegakkan lehernya. "Apa yang mau kausampaikan
kepada kami?"
"Rumahmu
telah terkepung orang-orang dari Banyumas. Keselamatan keluargamu terancam
bahaya," jawab Wirapati kering.
Mendengar
jawaban Wirapati, mendadak Wayan Suage menangis seru. Dan di antara tangisnya
ia mengisahkan peristiwa terkutuk itu yang menghancurkan kesejahteraan
keluarganya.
"Mencapai
suatu martabat tinggi bukan tergantung pada pusaka sakti. Alat yang sempurna
adalah kemampuan diri sendiri," kata Wirapati. "Kenapa orang mesti
menggantungkan nasibnya kepada kekeramatan suatu benda yang takkan berkutik
apabila tak digerakkan oleh tangan orang hidup?"
Tak
terduga Wayan Suage merasa tersinggung oleh kata-katanya. Matanya menyala.
Alisnya tegak. Dan terdengarlah suaranya melontarkan isi hatinya.
"Apa
kaukira aku mabuk martabat tinggi, kekuasaan besar kesaktian khayal lantas
ingin mengangkangi pusaka ini? Kau salah duga, Saudara! Aku bukan termasuk
orang-orang macam begitu."
"Kenapa
kaupertahankan pusaka itu begitu mati-matian?"
"Karena
aku dipercayai orang untuk menyimpan dan merawatnya. Sekiranya kamu diberi
kepercayaan seseorang untuk menyimpan dan merawat sesuatu benda dan kemudian
datanglah orang-orang mau merampasnya, apa yang akan kaulakukan?"
Wirapati
terdiam. Pikirnya, akupun akan mempertahankan diri demi kepercayaan itu.
Matipun rasanya senang, karena pulang sebagai laki-laki sejati.
Wayan
Suage manangis lagi. Kali ini tambah menyayat hati.
"Saudara,"
katanya. "Katakanlah kepadaku, bagaimana nasib yang lain?"
Melihat
keadaannya yang menyedihkan, tak sampai hati ia mengabarkan nasib keluarganya.
Tetapi ia diminta memberi penjelasan, maka mau tak mau harus berbicara.
"Rumahmu
terbakar habis menjadi abu. Itu pasti. Kulihat tadi, seorang perempuan yang
mendekap anaknya dibawa lari si pemuda jahanam. Kemudian kudengar pula salah
seorang rombongan penari Banyumas mau merawat isteri yang mati kena senjata
racun si pemuda. Si anak kecil pastilah diselamatkan pula." Kata Wirapati
dengan tenang.
"Bagaimana
nasib saudaraku yang mati di dalam rumah?" potong Wayan Suage.
Perhatiannya ditumpahkan kepada mayat Made Tantre dan bukan kepada
anak-isterinya. Diam-diam Wirapati memuji keluhuran budinya.
"Selanjutnya
tak tahulah aku. Kukira, mayatnya terbakar menjadi abu. Siapa yang mau bersusah
payah menyingkirkan mayat seseorang, sedangkan seluruh isi rumah dalam keadaan
bahaya."
"Ah!"
Wayan Suage memekik. Tubuhnya terkulai dan jatuh menelungkup di atas tanah.
Wirapati gugup. Cepat-cepat ia memeluknya dan memangku kepalanya.
"Dia
sudah mati sebelum terbakar!" serunya. "Biar tubuhnya terbakar habis,
dia tak menderita lagi."
Perlahan-lahan
Wayan Suage membuka matanya. Dengan suara lemah ia menjawab, "Aku tahu...
Aku tahu, semua akan kembali ke asal. Aku tahu, itulah upacara kematian yang
sempurna bagi kepercayaan kami di Bali. Tapi aku tahu pula, dia mati penasaran
... dia mati penasaran ... dia mati penasaran ..."
Kata-kata
terakhir itu diucapkan berulang kali. Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti
dengan tiba-tiba. Ia pingsan tak sadarkan diri.
Seringkali
Wirapati menyaksikan orang mati karena sesuatu malapetaka. Tapi hatinya belum
pernah terguncang seperti kali ini. Terasa benar dalam dirinya, betapa besar
deru hati orang itu yang terguncang oleh sesuatu nasib buruk dengan tiba-tiba.
Dalam
keadaan hening, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
berderapan. Langkah-langkah itu mendatangi dan mengepung gerumbulan pohon
tembelekan.
"Ssst,
mereka datang lagi," bisiknya kepada Wayan Suage yang sebenarnya tidak ada
gunanya. Ia memapah tubuh Wayan Suage dan diletakkan ke dalam rimbun mahkota
daun. Dia sendiri kemudian bertiarap sambil menajamkan pendengaran.
Langkah-langkah
itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka saling berbisik, suatu tanda kalau
tempatnya bersembunyi belum diketahuinya dengan pasti. Terdengar kemudian suara
siul bersuit, dan disusul dengan langkah-langkah tadi.
"Celaka!
Mereka datang," mendadak Wayan Suage berkata. Ternyata dia telah
memperoleh kesadarannya kembali. "Bawalah aku lari ke sana."
"Kita
telah terkepung rapat," sahut Wirapati berbisik.
"Kalau
hati-hati, pasti kita masih dapat lolos dari kepungan mereka."
"Dengarkan!"
Wirapati memotong. "Yang datang adalah mereka yang menyelamatkan istri dan
anak saudaramu. Serahkan pusaka itu kepada mereka sebagai alat penukar."
"Hai,"
kata Wayan Suage dengan suara bergetar. "Saudaraku telah mengorbankan diri
demi pusaka ini. Akupun harus sanggup berkorban pula. Mati tak jadi soal. Kalau
kau tak sudi melindungi aku, biarlah tinggalkan saja aku di sini. Aku tidak
akan menyesal dan tidak takut mati."
"Mengapa
kamu begitu keras kepala? Apa untungnya?" Wirapati mendongkol.
"Aku
sendiri tidak punya keuntungan sedikit pun. Tapi pusaka ini dipercayakan
kepadaku agar kelak kuberikan kepada anak-anak kami. Setelah aku menyerahkan
pusaka ini atas nama saudaraku pula, aku lantas bunuh diri menyusul ke
nirwana."
Wirapati
tertegun mendengar kekerasan hatinya. la terharu dan kagum. Direnungi raut
mukanya. Terlihat dua lapis bibirnya yang mengatup rapat, suatu tanda dari
keteguhan hati. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, dia diajar menghargai suatu
kebajikan dan keluhuran budi. Maka kesan-kesan yang diperolehnya itu lantas
saja membakar semangat perwiranya. Wirapati memanggut.
"Tenteramkan
hatimu. Aku akan selalu berada di sampingmu."
Betapa
gembira rasa hati Wayan Suage tak terperikan. Jantungnya sampai berdetakan
keras. Tapi justru oleh kegoncangan itu, ia jatuh pingsan. Maklumlah, kekuatan
tubuhnya makin melemah karena darahnya terus saja mengalir.
Apa
orang ini bisa tertolong nyawanya! pikir Wirapati. Kemudian ia memusatkan
perhatiannya kepada mereka yang datang. Terdengarlah suara pohon gemeretakan.
Seseorang telah menendangnya patah. Wirapati kaget. Hebat tenaga orang itu,
diam-diam memuji dalam hati.
Langkah-langkah
itu makin lama makin jelas. Suara ribut terjadi di segala penjuru. Mereka
mematahkan dahan-dahan dan membabat belukar. Tiba-tiba Wirapati melihat mereka
merentangkan tali. Cepat-cepat Wira¬pati berjaga-jaga. Tahulah dia, mereka akan
membakar semak-belukar yang berada di sekitarnya.
Wirapati
berpaling kepada Wayan Suage yang masih belum berkutik. Apa yang harus kulakukan?
Ia melihat ke depan. Sebagian dari mereka berjalan berpencar. Makin lama makin
mendekati gerumbulan tempat dia bersembunyi.
Aku
harus membelokkan perhatiannya, pikir Wirapati. Memikir demikian, lantas saja
dia meloncat keluar dari gerumbulan dan menerjang. Mereka segera mengepung
sambil memperdengarkan siul bersuitan. Dan mau tak mau, terpaksalah Wirapati
mundur mendekati gerumbulan.
"Kauserahkan
tidak pusaka itu!" ancam salah seorang dari mereka.
"Pusaka
apa yang harus kuserahkan?" Wirapati menyahut.
"Di
mana orang itu?" dengus orang itu seperti tak mendengarkan ucapannya.
Ditanggapi
demikian, Wirapati jadi sakit hati. Orang ini tak memandang mata padaku. Perlu
apa lagi aku meladeninya, pikirnya.
"Di
mana orang itu?" pertanyaan itu terdengar diulangi.
"Dia
sudah kutelan," jawab Wirapati.
Mendengar
jawaban Wirapati, mata orang itu menyala. Bentaknya, "Aku maafkan
perbuatanmu, kenapa kamu bersikap kurang ajar?"
Wirapati
tersenyum. Mendadak seorang yang berdiri di barat lantas menyerang. Wira¬pati
tahu, mereka semua bertenaga besar. Tetapi ia ingin mencoba. Maka ia menangkis
dengan mengadu tenaga. Tubuhnya bergetar, tetapi orang itu terpental empat
langkah.
"Bangsat!"
makinya. Ia merangsak maju. Teman-temannya merapat pula. Dengan bersuit, mereka
menerjang. Wirapati menjejak tanah dan melayani mereka dengan mengandalkan
kecepatannya.
Sepuluh
kali gempuran telah berlangsung dengan cepat. Baik Wirapati dan mereka, tak mau
mengalah. Mendadak terdengarlah suara suitan nyaring dua kali dari kejauhan.
Mereka lantas mengundurkan diri dengan berbareng. Wirapati heran. Pandangnya
menebak-nebak. Tak usah dia menunggu lama atau nampaklah batang-batang pohon
telah terbakar hangus. Semak belukar dan ranting-ranting liar sebentar saja
terbakar pula. Asap hitam bergulungan menutupi penglihatan.
Alangkah
terkejut Wirapati. Tiba-tiba, api bisa membakar batang-batang pohon begitu
cepat. la mengeluh dalam hati, matilah aku sekarang. Apa dosaku?
Teringatlah
dia akan sungai yang letaknya tak jauh dari gerumbulan tempat persembunyiannya.
Dengan cepat ia lari ke sana. Sekonyong-konyong di antara bunyi gemeretak
pepohonan yang sedang terbakar, terdengar suit panjang bersahut-sahutan.
Wirapati menghentikan langkahnya. Ia menajamkan pendengaran.
"Ohoi!
Mereka sudah terkepung rapat. Kenapa tak diserbu saja?" terdengar suara
dari arah barat.
"Tunggu
sampai mereka mati hangus. Pemuda itu tak gampang dirobohkan," sahut suara
dari sebelah utara.
Hati
Wirapati tergetar. Ia bimbang. Dijenguknya arus sungai yang keruh berlumpur.
Ingin ia cepat-cepat terjun ke dalamnya, tapi teringat¬lah kemudian nasib Wayan
Suage.
"Hai
bangsat muda! Cepat menyerah! Kau akan segera kami tolong!" ancam suara
dari arah selatan. "Apa perlu buang nyawa dengan sia-sia?"
Wirapati
mulai mempertimbangkan ancam-an itu. "Aku tak bermusuhan dengan mereka.
Maksud mereka semata-mata hanya mau merebut pusaka itu. Apa perlu aku berkepala
batu. Apa keuntunganku? Baiklah kuserahkan saja, barangkali mereka mau mengampuni
orang itu pula."
Ia
menoleh ke arah gerumbulan. Tetapi pikiran yang lain segera mengendapkan.
Bagaimana mungkin aku berbuat begitu. Aku murid Kyai Kasan. Kalau aku
mendengarkan ancaman mereka, berarti aku tahluk. Apa nama perguruanku tak
terseret juga? Ah, tak mungkin aku menurunkan martabat perguruanku.
Mendapat
pikiran demikian, hilanglah keragu-raguannya. Ia melesat ke gerumbulan. Niatnya
sudah tetap. Ia hendak mendukung Wayan Suage dan akan bersama-sama terjun ke
dalam sungai. Sekiranya di ujung sana mereka menghadang dia takkan menyerah.
Nama perguruan akan diutamakan. Kalau perlu akan meninggalkan Wayan Suage dan
menerjang mereka sebisa-bisanya.
Selagi
ia mau memasuki gerumbul, tiba-tiba ia mendengar suara suitan panjang tiga kali
berturut-turut. Kemudian terdengarlah suara teriakan bergema melintasi udara.
Pohon-pohon tergetar oleh pantulan suara itu.
Wirapati
tertegun. Suara apa itu, ia berte-ka-teki, mendongak ke udara. Suara teriakan
itu berulang lagi. Kali ini lebih dahsyat. Tiba-tiba saja terdengarlah
kesibukan di setiap penjuru.
"Hajar!
Hajar! Hajar!" terdengar suara orang yang tadi mengancam. Dan lainnya
segera menyambung. Suara mereka agak bergetar membayangkan kesan rasa takut.
Wirapati
benar-benar tercengang. Tak habis mengerti mengapa mereka jadi ketakutan. Suara
yang menggema tadi memang dahsyat. Apa suara raksasa? Ah, apa mungkin raksasa
hidup di jaman ini. Apa itu suara binatang?
"Hajar
datang! Celaka!" terdengar suara menjerit.
Hajar!
Apa itu, Wirapati berteka-teki. Pada saat itu nyala api kian menjadi-jadi. Hawa
sangat panas dan asap hitam bertambah menyesakkan pernapasan. Sekonyong-konyong
ia mendengar teriakan dahsyat lagi. Kali ini sa¬ngat dekat. Dia heran
membayangkan kecepatan itu. Tadi suara teriakannya berada lebih kurang seribu
langkah. Dalam tiga kali teri¬akan rasanya sudah begini dekat. Bagaimana
mungkin, kalau bukan seekor burung garuda yang mempunyai kecepatan terbang tak
terkatakan. Kuda yang dapat lari sangat cepat pun takkan mampu menempuh jarak
seribu langkah dalam sekejap. Tiba-tiba rasa herannya kian melonjak. Dengan
suara gedebukan, terjadilah kesibukan seorang demi seorang ter¬dengar jatuh
terpental. Kemudian menyusul suara tertawa berkakakkan. Ah, manusia! Manusia
macam apa?
"Hayo
ngaku! Di mana dia?" terdengar bentakan gemuruh.
"Ampun
... ampun ..."
"Bagus!
Kalian tak mau jawab."
Bluk!
Terdengar orang menjerit dan tak bersuara lagi. Jelas orang itu mati kena
hantaman.
Wirapati
tak tahan lagi digulung asap dan nyala api. la ingin segera memasuki gerumbulan
menolong Wayan Suage. Tetapi sebatang pohon yang terbakar hangus roboh menimpa
gerumbulan. la melesat ke tebing dan menerjunkan diri ke dalam sungai.
Di
seberang sana, suara gedebukan berlangsung sangat cepat. Berkali-kali orang
yang disebut Hajar membentak-bentak.
"Kalau
tidak mau buka mulut, aku habisi nyawa kalian!"
"Dia
tadi... dilarikan ..."
"Siapa
yang dilarikan? Pusaka atau tuan rumah?"
"Dia
bersama-sama ...!"
Bluk!
Orang itu menjerit dan mati terjengkang. Wirapati tak sempat lagi mendengarkan
kesibukan itu. Perhatiannya kini mengarah kepada gerumbul. Celaka, pikirnya.
Gerumbulan terbakar. Apa dia mati terbakar?
Dengan
sekuat tenaga, ia mencoba merangkaki tebing. Tetapi panas api tak tertahankan
lagi. Terpaksa ia menjauhi dan akhirnya mendaki tebing seberang.
Ia
melihat suatu keajaiban di daratan. Orang-orang yang mengepungnya tadi,
menggeletak berserakan di atas tanah. Bulu kuduknya menggeridik. Tak
terbayangkan macam apa Hajar itu, yang begitu gampang membinasakan orang-orang
Banyumas.
ORANG
yang disebut Hajar itu sesungguhnya Hajar Karangpandan tamu Wayan Suage dan
Made Tantre. Setelah dia berpesan kepada tuan rumah agar menyimpan kedua pusaka
Pangeran Semono baik-baik untuk anak-anaknya, lantas saja dia pergi dengan
suatu kecepatan mengagumkan. Sengaja dia berbuat demikian, agar mengesankan
tuan rumah. Pikirnya, kalau aku tak memperlihatkan sedikit kemampuanku,
pastilah mereka akan menyia-nyiakan pesanku. Sayang, kalau kedua pusa¬ka
keramat itu jatuh ke tangan orang-orang yang haus kekuasaan.
Pada
petang hah sampailah dia di Dusun Bandangan. Niatnya hendak mengadakan
perjalanan ke timur. Mula-mula akan dijenguknya kota Magelang. Kemudian
Yogyakarta. Dan dari sana akan kembali ke pertapaannya di kaki Gunung Lawu di
Dusun Karangpandan. Di Desa Bandangan ia berhenti di sebuah kedai kopi.
Seharian dia kehujanan, dan pakaiannya basah kuyup. Meskipun tubuhnya kuat
perkasa, tapi lambat-laun dingin air meresap ke kulit dagingnya. Gntuk
menghangatkan tubuh, ia perlu minum kopi barang segelas.
Hari
telah menjadi gelap. Awan hitam datang berarak-arak. Ia mendekati tungku api
sambil menenangkan pikiran. Kopinya diteguknya sedikit demi sedikit dan
dinikmati selama mungkin.
Mendadak
selagi memikirkan perjalanan yang akan ditempuhnya, terdengarlah bunyi
kentungan tanda bahaya. Ia menegakkan kepala. Di jalan terjadilah suatu
kesibukan. Nampaklah kemudian dua orang polisi desa berlari-larian. Tertarik
pada kesibukan itu lan¬tas saja ia melompat ke jalan.
Ia
adalah seorang pendeta bekas pendekar liar. Sejak muda gemar merantau dan
berbuat kebajikan untuk kepentingan umum. la benci Belanda dan menyatakan diri
sebagai musuh utamanya. Karena kebenciannya itu, sering-kali ia membunuh
orang-orang yang mau bekerja sama dengan Belanda. Lambat laun usianya kian
menjadi tua, merubah peranannya sedikit demi sedikit. Ia berusaha mengendalikan
diri. Akhirnya menjadi seorang pende¬ta sebagai penebus kesalahan-kesalahan
yang lampau. Meskipun demikian hatinya yang penuh gejolak petualang tak gampang
hilang dari perbendaharaan. Setiap kali melihat atau mendengar suatu peristiwa
yang bertentangan dengan kepentingan umum, selalu saja ia usilan. Itulah
sebabnya, begitu ia melihat kesibukan dan mendengar bunyi kentung tanda bahaya
terus saja mengejar dua orang polisi desa tadi.
"Kentung
tanda bahaya apa itu?" tanyanya.
"Terang
sekali tanda bahaya kebakaran dan pembunuhan," jawab polisi desa serempak.
"Di
mana ada kebakaran dan pembunuhan?"
"Siapa
yang tahu? Bunyi kentung dari arah barat."
Mendapat
keterangan itu, bergegas ia kembali ke kedai membayar kopi. Ia masih mempunyai
sisa uang perjalanan lima kelip. Kemudian pamit dan lari ke arah barat.
Di
sepanjang jalan ia mencari keterangan. Tatkala sampai di Desa Kamarankan,
terdengarlah suatu warta yang mengejutkan.
"Desa
Karangtinalang menjadi lautan api. Enggak jelas, rumah siapa yang mula-mula
terbakar." Kata seorang polisi desa.
Hajar
Karangpandan mempercepat langkahnya. Dengan cepat sampailah dia di batas Desa
Karangtinalang. Benar saja, di sebelah barat nampaklah api menjilat langit.
Mendadak saja ia melihat salah seorang rombongan Banyumas yang telah dikenalnya
dalam pertempuran tadi sore. Ia bekuk orang itu dan diseretnya ke tepi sawah.
"Apa
yang telah terjadi?" desaknya. Orang itu gemetaran ketika mengenal dirinya
dan tak dapat menjawab pertanyaan Hajar Karang¬pandan dengan cepat. Tahulah dia
akibatnya. Tetapi Hajar Karangpandan tak dapat diperlakukan menurut
pertimbangannya. Dia mendesak lagi sambil memijat pundak. Orang itu berteriak
kesakitan. Maka dengan terpaksa ia menerangkan malapetaka yang telah menimpa
keluarga Wayan Suage dan Made Tantre.
Seketika
itu berubahlah wajah Hajar Karang¬pandan. Ia pucat bergetaran, karena sedih bercampur
marah. Hatinya begitu menyesal dan lantas saja menjadi sesak. la tahu, kalau
malapetaka itu terjadi akibat kedua pusaka sakti yang diberikan kepadanya.
"Siapa
pemimpinmu? Gandi?"
"Gandi
sudah mati terbunuh di tengah jalan."
"Lantas
siapa?"
"Kodrat.
Orangnya tinggi jangkung, tapi banyak pula di antara kami yang berperawakan
tinggi."
"Sekarang
dia di mana? Bilang?"
"Dia
membawa seorang perempuan dan seorang anak."
Mendidih
darah Hajar Karangpandan. la tak dapat mengendalikan amarahnya. Dan tanpa ampun
Iagi. Orang itu dibantingnya mati ke tanah.
Seperti
kemasukan setan ia memasuki desa langsung menuju rumah Wayan Suage dan Made
Tantre. Seluruh desa jadi sibuk. Laki-laki dan perempuan berlarian
kalang-kabut. Kanak-kanak menangis dengan pekikan tinggi. Tapi Hajar
Karangpandan tak mempedulikan itu semua. Otaknya sedang dirumun berbagai
gagasan yang menggugat-gugat perlakuannya terhadap keluarga yang tadinya hidup
tentram damai.
O,
Hajar! Hajar! Dengan ramah tamah keluarga itu menyambut kedatanganmu. Tetapi
mereka kaucelakakan akibat ulahmu. Kalau mereka tak kauberi kedua pusaka itu,
pastilah sampai saat ini masih hidup aman damai. Apa yang akan kaulakukan
sekarang? Pikirannya terus berputar tak tenang.
Digugat
pikiran demikian, hatinya hampir meledak. Ia menyibakkan kerumunan penduduk
yang lagi sibuk memadamkan api. Hatinya pilu tersayat-sayat. Rumah panjang yang
tadi masih berdiri begitu megah, kini hancur berantakan jadi abu.
Mendadak
terciumlah bau daging hangus. Tanpa menghiraukan pertimbangan yang lain, ia
melesat menerobos puing tiang-tiang rumah. Bara api diinjaknya berserakan.
Ia
melihat beberapa mayat menggeletak hangus. Ah, pastilah ini akibat suatu
pertempuran seru. Kata hatinya hampir meledak. O Hajar, mengapa kamu
menghancurkan keba-hagiaan orang?
Karena
tak tahan diamuk deru hatinya, ia menghajar tiang-tiang rumah sehingga menja¬di
roboh berserakan. Orang-orang yang meli¬hat sepak-terjangnya, memekik terkejut
dan undur serentak. Tetapi ia tak mempedulikan. Segera ia membungkuki tiap
mayat dengan pertolongan sebatang kayu yang masih menyala. Beberapa saat
kemudian mayat Made Tantre telah dikenalnya. la jongkok. Tangannya menggigil.
"Bukankah
kamu yang bernama Made Tantre?" bisiknya. "Kamu seorang laki-laki
seperti kata-katamu sendiri. Sekarang akulah saksinya, kamu benar-benar seorang
laki-laki sejati. Di mana anak-istrimu? Di mana pula sahabat serta
anak-istrinya? Made Tantre! Made Tantre aku amat menyesal berkenalan denganmu
begitu cepat. Tak kukira, kamu berani mempertahankan kedua pusaka itu
semata-mata karena pesanku. Baik, selama hidupku aku takkan tentram sebelum
dapat mewujudkan harapanmu. Akan kucari anak dan kedua pusaka itu."
Setelah
berkata demikian, ia bersujud dalam. Mukanya kena abu dan hangus. Selang
beberapa lama kemudian, ia menegakkan kepalanya. Mukanya berubah menjadi hitam
kelabu. Dalam malam gelap, seluruh kepala¬nya tidak nampak lagi oleh
penglihatan mata. Orang-orang kampung yang mengawasinya dari jauh meremang bulu
romanya. Karena mengira dia penjelmaan setan tak berkepala.
Malam
itu juga ia berangkat hendak mencari jejak. Tadi dia mendapat penjelasan, kalau
pemimpin rombongan Banyumas membawa seorang perempuan dan seorang anak. Tak
peduli anak dan istri siapa, ia harus merebut kembali. Dia berjanji dalam hati
akan merawat dan mengasuhnya sebaik mungkin sebagai penebus kesalahan.
Secepat
kilat ia menuju ke barat. Ia berputar-putar dari desa ke desa. Dugaannya keras,
kalau rombongan dari Banyumas belum meninggalkan Desa Karangtinalang jauh-jauh.
Bukankah keluarga Wayan Suage tidak ada di tengah puing rumahnya. Entah mereka
selamat atau tertawan, pastilah kedua pusaka itu masih ada padanya.
Dugaannya
tepat. Waktu itu Kodrat si tinggi jangkung berada di gardu di dekat Desa
Kaliputih. Ia lagi memeriksa Rukmini dan Sangaji untuk mendapat keterangan
tentang kedua pusaka Pangeran Semono. Empat orang bawahannya disuruhnya berjaga
di sekitar gardu, sedangkan yang lain diperintahkan menjejak lenyapnya Wayan
Suage. Mendadak ia mendengar salah seorang penjaganya menjerit tinggi.
Terkesiap ia menjenguk ke luar. Dilihatnya seseorang yang berpakaian pendeta
lagi membekuk penjaga itu. la kenal bahaya dan cepat-cepat mendekap mulut
Rukmini dan Sangaji. Kedua orang itu kemudian diringkusnya cepat dan
digulingkan ke dalam kotak penyangga gambang . Kemudian ia melompat keluar.
"Siapa?"
bentaknya.
Hajar
Karangpandan sedang menghajar ketiga penjaga yang lain sekali rampung.
Mendengar bentaknya itu, segera ia menghampiri.
"Bilang,
siapa yang bernama Kodrat?"
Belum
lagi Kodrat membuka mulut, lengannya kena disambar dan ditekuk ke punggung.
Alangkah sakit! Tak berani dia berkutik. Ia berpura-pura bersikap lemah
seolah-olah seorang yang tak mempunyai kepandaian berkelahi. Kemudian berkata
merintih, "Sang pendeta mencari siapa?"
"Orang
yang bernama Kodrat si jahanam itu. Apa betul kamu?"
"Bukan,
bukan! Dia pemimpin kami," sahut Kodrat dengan licik. "Dia... dia...
ke sana dengan membawa seorang perempuan dan anak..."
Hajar
Karangpandan kena dikelabui. Dikendorkan terkamannya tetapi pandang matanya
masih tajam luar biasa.
Kodrat
memanggil salah seorang penjaganya yang tadi kena hantam Hajar Karangpandan.
Dengan suara gugup dia berkata, "Tolong antarkan sang Pendeta ini ke
Kodrat!"
Penjaga
yang kesakitan itu terlongok-longok keheranan. Dia belum dapat memahami akal
pemimpinnya.
"Cepatlah!"
desak Kodrat dengan suara khawatir. "Cepat antarkan!"
Ia
mendorong penjaga itu dan dipaksa membawa Hajar Karangpandan pergi. Kemu¬dian
memberi perintah kepada penjaga yang lain. "Ikuti dia dan serang pendeta
itu!"
Setelah
memberi perintah demikian, cepat-cepat ia memanggul kotak penyangga gambang.
Dan lari memasuki kepekatan malam. Ia tahu, pendeta itu pasti akan mencarinya
lagi. Melihat tenaganya yang besar tidaklah sukar membekuk keempat bawahannya
tadi. Dan mau tak mau mereka pasti mengaku siapa dia sebenarnya.
Berpikir
demikian, ia jadi ketakutan. Larinya dipercepat. Dalam sekejap saja, Desa
Kaliputih telah ditinggalkannya jauh. Taksirnya, kalau tidak ada halangan lagi
Desa Selakrama yang terletak di tepi jalan Wonosobo - Banyumas akan dapat
dicapainya sebelum tengah malam. Tetapi Sangaji yang diringkusnya di dalam
kotak penyangga gambang mulai me¬rintih. Akhirnya malahan menangis ketakutan.
"Diam!"
bentaknya. Karena dibentak Sangaji tidak diam. Sebaliknya tangis Sangaji makin
keras. Dia pun memanggil ibunya amat berisik.
"Diam!"
bentak Kodrat lagi. "Kalau tak mau diam, kulempar ke kali. Ayo, diam
tidak!"
Sangaji
kian meronta mendengar bentakan itu. Seumur hidupnya, belum pernah dia
diben¬tak ayah-bundanya. Keruan saja bentakan itu membuatnya menggigil
ketakutan. Ia mulai meronta-ronta di dalam kotak penyangga gambang. Kodrat jadi
kuwalahan .
Akhirnya
Kodrat berbicara pada Rukmini dengan nada mengancam, "Hai suruhlah anakmu
menutup mulut! Cepat!"
Rukmini
yang semenjak dilarikan dari rumah kehilangan iman, tidak menyahut. Hatinya
amat berduka, dendam dan benci kepada semuanya. Tetapi hati ibunya tidak begitu
saja terenggut hilang. Jika terdengar anaknya menangis, ia memiringkan badan.
Rasa hatinya kian tersayat-sayat. Dipipitkan badannya ke anaknya, tetapi
mulutnya tak mampu bicara.
"Hai!
Kaudengar tidak tangis anakmu? Bagaimana kalau sampai terdengar orang, apa
jadinya!" bentak Kodrat jengkel. Ia menunggu. Rukmini tidak menyahut.
Hanya kotak pe¬nyangga gamelan terasa bergoyangan. Tetapi tangis si anak kian
menjadi-jadi. Ia mendongkol. Diturunkan kotak penyangga gamelan dari pundaknya,
kemudian diletakan di tanah. Ia membuka ringkusannya dan menampar pipi Sangaji.
"Mengapa
kautampar dia," bentak Rukmini.
"Kau
dapat menutup mulutnya tidak? Su¬ruhlah dia diam!" sahutnya tak peduli.
"Kalau tidak, kulempar dia ke kali. Apa rugiku?" Perkataan Kodrat
bukanlah ancaman semata. Dia dapat berbuat begitu. Karena pertimbangan itulah,
terpaksa Rukmini membujuk anaknya.
"Jangan
kauringkus dia," kata Rukmini setengah meminta belas kasihan.
"Apa
kaubilang?" bentak Kodrat. "Mestinya harus kusekap mulutnya dengan
kain."
Rukmini
terdiam. Air matanya meleleh. Ia benci laki-laki itu. Tetapi ia tak berdaya
melawannya. Tenaganya terasa hilang sebagian karena peristiwa yang maha dahsyat
baginya.
"Sekarang
dengarkan!" kata Kodrat lagi, "Kalian kupanggul lagi. Tetapi jika
anakmu menangis, terpaksa kalian berdua kuajak jalan kaki. Kau bisa memikirkan
akibatnya. Langkahku panjang dan cepat. Kalian akan kupaksa jalan
berlari-larian. Dan kalau anakmu rewel di sepanjang jalan, kubunuh dia.
Kaupaham ini?"
Rukmlni
diam tak menyahut. Hatinya hambar, la bertekad ingin ikut mati juga, jika
anaknya dibunuh.
"Hai
dengarkan lagi!" kata Kodrat mengesankan. "Mulai sekarang kau harus
tunduk pada semua perintahku. Membantah sedikit atau mengingkari atau
mengkhianati, tanggung sendiri akibatnya. Aku terpaksa membunuhmu."
Rukmini
memalingkan muka. Anaknya didekapnya erat. Pandangnya mengarah ke jauh sana ke
arah desanya. Hatinya terguncang manakala teringat akan nasib suaminya yang
mati di tengah rumah. Tadi ia tak melihat nyala api membakar rumahnya.
Seandainya dia melihat itu, belum tentu dia sanggup berdiri lagi.
Pada
saat itu, ia dan anaknya dinaikkan lagi ke dalam kotak penyangga gambang. Kali
ini, Kodrat tak meringkusnya. la membiarkan bebas, hanya saja mereka dipaksa
agar berbaring. Dengan demikian takkan menimbulkan kecurigaan orang.
Kotak
penyangga gambang itu kemudian dipanggulnya dan ia meneruskan perjalanan.
Langkahnya dipercepat. Tujuannya ke Desa Selakrama. Pikirnya, kalau aku
berhasil mencapai batas daerah Banyumas sebelum fajar hari, amanlah sudah. Tapi
kalau si jahanam itu tiba-tiba mengejarku... Apa yang harus kulakukan?
Otaknya
lantas saja bekerja. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pamannya yang bertempat
tinggal di Desa Segaluh. Pamannya bernama Jaga Saradenta. Dia bekas seorang
kepala pasukan tentara Banyumas dalam perang Giyanti. la benci kepada Belanda.
Benci juga kepada semua yang berbau Kerajaan Susuhunan Surakarta. Maklumlah,
sebagai salah seorang prajurit Pangeran Mangkubumi ia berpaham memusuhi
Susuhunan Paku Buwono II. Dia terkenal berani, tangkas dan sakti. Setelah
perang selesai, ia diangkat menjadi Gelondong Segaluh.
Kodrat
adalah seorang laki-laki yang berotak licin. Pikirnya, aku adalah bawahan sang
Dewaresi yang bekerja sama dengan Belanda. Tapi kalau aku bisa menempatkan
diri, pamanku pasti mau menjadi pelindungku. Lebih baik aku ke sana saja. Kalau
si jahanam datang, biarlah Paman yang menghadapi.
Mendapat
ide seperti itu, bangkitlah semangatnya. Dikerahkan tenaganya sekuat-kuatnya.
Dan menjelang jam dua, sampailah di rumah Jaga Saradenta.
Pintu
rumah segera digedornya. Ia mengancam Rukmini juga agar bersikap membantu apa
yang dikatakan. Belatinya diperlihatkan. Bisiknya tajam, "Awas! Inilah
bagianmu."
Kodrat
pandai bermain sandiwara. Begitu ia melihat pamannya membuka pintu, lantas saja
dia berlutut dan merangkul kedua lututnya. Katanya dengan menangis sedu-sedan,
"Tolong, Paman tolong!"
"Hai,
kenapa!" Jaga Saradenta kaget. Dua tiga tahun, dia tak pernah bersua
dengan kemenakannya. Tahu-tahu, ia diratapi demikian rupa. Hati siapa yang tak
terguncang.
"Aku
dihina orang. Aku dikejar orang. Aku mau dibunuhnya."
"Ah,
siapa berani menghinamu. Siapa berani mengejar. Dan siapa yang mau membunuhmu,
hamba Adipati Banyumas. Tidak ada yang berani kurang ajar padamu."
"Dia
orang asing, Paman. Dia mengenakan pakaian pendeta. Tetapi pendeta cabul.
Pendeta begundal kompeni Belanda yang menjual dirinya menjadi mata-mata."
Kena
betul permainan ini di dalam hati Jaga Saradenta. Segera ia membawa
kemenakannya duduk di kursi. Pada saat itu isterinya ikut terbangun pula.
Melihat kemenakannya me¬nangis sedu-sedan, sibuklah dia tak keruan. Buru-buru
ia menyalakan lampu besar. "Kena¬pa, kenapa," katanya.
"Biarlah
dia bicara, Bu," kata Jaga Sara¬denta.
Kodrat
memanggut-manggut cepat. Isaknya dinaikkan dan ia berlutut lagi di hadapan
pamannya.
Melihat
itu, isteri Jaga Saradenta tahu diri. Segera ia mengundurkan diri, memasuki
dapur memasak air teh.
"Nah,
katakan!" desak Jaga Saradenta.
"Tetapi
apa Paman mau menolong?" ujar Kodrat. "Celakalah nasibku, kalau Paman
tak peduli."
"Terangkan
dulu. Biar kupertimbangkan." Jaga Saradenta terpengaruh.
"Tadi
sore aku dolan ke rumah pelara-lara . Di sana aku berjumpa dengan seorang
perempuan cantik yang berasal dari Wonosobo. Perempuan itu membawa anaknya
..."
"Hm
... macammu!" bentak Jaga Saradenta. "Kalau ibumu masih, bagaimana
kamu berani memandang mukanya. Apa untungnya mengumbar nafsu birahi begitu
rupa? Bedebah!"
"Dengarkan
dulu Paman," rengek Kodrat mengambil hati. "Sebenarnya tak biasa aku
dolan ke rumah pelara-lara. Aku datang ke sana semata-mata karena suatu
laporan. Katanya di rumah itu ada seorang perempuan yang dirundung nasib buruk
terpaksa menjual diri. Ternyata laporan itu setengah benar. Perempuan dan
anaknya itu sebenarnya terculik oleh seorang bangsat yang membutuhkan uang. Dia
lantas dijual kepada pengurus rumah pelara-lara. Menyaksikan perlakuan itu, aku
tak bisa tinggal diam. Kemudian, perem¬puan dan anaknya itu kurampas dan
kulindungi. Tetapi pengurus rumah pelara-lara itu bilang, kalau perempuan itu
disediakan untuk kepentingan serdadu-serdadu Belanda. Sebentar malam, mereka
akan datang, pengantarnya telah dikirimkan terlebih dahulu."
"Lantas!"
Jaga Saradenta tak sabar. Darahnya mendidih mendengar kisah rekaan itu.
"Aku
bilang tak takut dan kubawa perem¬puan dan anaknya itu. Niatku mau kuantarkan
ke Wonosobo. Mendadak aku dikejar seorang yang berpakaian pendeta. Si begundal
kompeni. Aku diancam, dihardik dan akhirnya kutempur dia sebisa-bisanya.
Jahanam betul dia kuat seperti kerbau. Lenganku hampir dipatahkan."
"Ah!"
potong Jaga Saradenta. Darahnya meluap. Tetapi pikirannya dapat berjalan
tenang. la melemparkan pandangan melihat Rukmini dan Sangaji, ia menuding,
"Apa dia yang kaumaksudkan?"
"Ya
... dialah gara-gara peristiwa ini. Tapi niatku pasti. Bagaimana pun juga, akan
kuantarkan dia sampai ke kampung halamannya."
"Apa
betul?" teriak Jaga Saradenta kepada Rukmini.
Pandang
mata Rukmini bergetaran. Ia ragu-ragu. Kemudian ia melihat mata Kodrat menyala
tajam. Tangannya meraba hulu hatinya. Maka dengan terpaksalah ia mengangguk.
"Janganlah
Paman desak begitu rupa!" Ko¬drat menyesali. "Peristiwa yang menimpa
dirinya, sudah cukup menghina kehormatannya."
Jaga
Saradenta menunduk dalam. Pikirnya, benar juga ujar bocah ini. Tak sopan aku
mendesak dia agar bicara.
"Sekarang
di mana pendeta bangsat itu?" katanya kepada Kodrat.
"Tadi
dia mengejar-ngejarku. Pasti dia segera datang ke sini."
"Hm
..." Jaga Saradenta berpikir keras. "Dia seorang pendeta, katamu? ...
hm, mustahil dia berbuat begitu. Mustahil dia di rumah pelara-lara."
"Aku
bilang dia mengenakan pakaian pendeta. Apa dia benar-benar seorang pendeta,
hanya iblis yang tahu. Bukankah seorang begundal kompeni bisa saja mengenakan
pakaian yang dikehendaki."
Kata-kata
Kodrat masuk akal. Maka orang tua itu benar-benar terjebak. Serentak ia berdiri
sambil berkata memerintah. "Bawalah dia masuk! Biar dia istirahat di bilik
sebelah. Lantas kauikut aku keluar."
"Paman!
Biarlah aku bersembunyi di dalam saja ... A a aku takut benar pada bangsat
itu..."
"Kucing!"
maki Jaga Saradenta. "Bagaimana mungkin aku punya kemenakan yang
licik?"
Tetapi
Kodrat tak mengenal malu. Sudah terlanjur basah kuyup. Permainan tidak boleh
berhenti di tengah jalan. Segera dia berkata minta belas-kasih. "Bunuhlah
aku di sini saja, daripada menanggung malu di depan pendeta cabul. Tadi dia
telah memakiku begitu rupa, sampai-sampai nama bapak-ibu, Paman dan ia semuanya
... semuanya diseret-seret. Mulut pendeta cabul itu begitu kotor!"
Jaga
Saradenta diam menimbang-nimbang. Akhirnya diluluskan permintaan kemenakannya.
Rukmini dan Sangaji dipanggilnya dan diantarkan masuk ke bilik.
Kodrat
sangat gembira. Dia tak usah mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang
merugikan. Segera ia memasuki bilik itu juga sambil menjaga Rukmini serapi
mungkin.
"Kodrat!"
tiba-tiba terdengar Jaga Saradenta berkata. "Kuatkah pendeta itu?"
"Dia
kuat seperti kerbau. Tinjunya tak terlawan."
Jaga
Saradenta diam agak ragu-ragu. Katanya lagi, "Baiklah, aku akan
menghadapinya sebisaku. Tapi seumpama aku kalah, larilah kau ke timur. Carilah
sebuah gunung yang terletak di sebelah utara Bagelen. Gu¬nung itu bernama
Gunung Damar. Di kaki Gunung Damar sebelah timur ada dusun ber¬nama Sejiwan.
Aku mempunyai seorang sahabat bernama Kyai Kasan. Dia seorang sakti. Di dusun
itu ia membuka sebuah perguruan. Muridnya lima orang. Jika kamu datang atas
namaku, pasti dia mau menolong kesulitanmu. Kaudengar pesanku ini?"
"Ya,
Paman," sahut Kodrat sambil menelan ludah. "Tetapi aku yakin, Paman
dapat mengalahkan bangsat itu."
Jaga
Saradenta kemudian keluar pintu. Dia berdiri di tengah serambi depan sambil
menyalakan pelita. Waktu itu Desa Segaluh sunyi sepi. Alam seolah-olah berhenti
berbicara. Tiba-tiba ia mendengar langkah orang. la melompat dan lari ke
pekarangan. Ditajamkan matanya. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian
pendeta menghampiri pintu pagar. Dialah Hajar Karangpandan.
Setelah
ia disesat-sesatkan oleh orangnya Kodrat, lambat-laun sadarlah dia. Segera dia
membentak, "Di mana dia?"
"Dia
siapa?" orang itu membalas bertanya.
"Kodrat."
"Kodrat?
Masyaallah ..." bawahan itu terbeliak. "Tuan mencari Kodrat? Bukankah
Tuan sudah berjumpa?"
"Yang
mana?" Hajar Karangpandan menjadi gusar.
"Tadi...
yang Tuan bekuk di depan gardu."
"Ah!
Kenapa kalian tak mau bilang! Jahanam!" maki Hajar Karangpandan. Dengan
penuh kemarahan dihajarnya mereka habis-habisan. Kemudian ia lari mengejar.
Sebagai
seorang yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam perantauan, de¬ngan cepat
ia dapat mencium jejak buruannya. Dia hanya tertinggal beberapa saat. Tatkala
Kodrat berada di dalam rumah Jaga Saradenta, dia telah melintasi Desa Segaluh.
Sebentar dia berputar-putar. Ketika jejak Kodrat tak diketemukan, yakinlah dia
kalau Kodrat pasti berada di sekitar Desa Segaluh. Kembalilah dia ke desa itu
dengan niat hendak mengaduk-aduk seluruh penduduk.
Untuk
melaksanakan niatnya itu, ia datang terlebih dahulu ke Gelondongnya. Ia hendak
minta ijin. Secara kebetulan Gelondong Jaga Saradenta telah menghadangnya.
Begitu dia masuk ke halaman, mendadak saja Jaga Saradenta menyerangnya tanpa
berbicara.
Cepat
ia mengelak dan kemudian mem¬balas menyerang. Ia tahu, penyerangnya mempunyai
tenaga yang ampuh. Tetapi tak dihiraukannya. Begitulah, maka bentrokan tangan
tak dapat dihindarkan. Masing-masing terkejut. Jaga Saradenta tergetar mundur
lima langkah sedangkan tubuh Hajar Karang¬pandan terguncang-guncang.
Jaga
Saradenta lantas saja merasa dirinya takkan dapat merebut kemenangan. Meskipun
demikian, ia menyerang juga. Hajar Karang¬pandan menggempurnya lagi. Dan sekali
lagi dia terpental mundur. Kali ini lebih hebat. Ia jatuh tertelungkup mencium
tanah. Belum lagi dia berdiri, Hajar Karangpandan telah mencekik lehernya.
"Kenapa
kamu menerjang aku tanpa bicara?" tegurnya.
Jaga
Saradeta tergugu. Direngguknya cekukukan itu, "Kau seorang pendeta
memasuki pekarangan orang di tengah malam, apa maksudmu?" sautnya.
"Aku
mencari buruanku."
"Siapa
buruanmu?"
Hajar
Karangpandan menimbang-nimbang. Niatnya tadi mau minta ijin kepada Gelondong
Dusun Segaluh diurungkan karena ketinggian hatinya. la meludah ke tanah.
"Aku
tak bermusuhan dengan kamu. Tapi kamu menyerang. Bagus! Kalau kau masih
penasaran, lain hari aku datang ke sini. Sekarang aku tak punya waktu
lagi."
Jaga
Saradeta sadar, ia bukan tandingan si pendeta. Maka ia berlaku sabar.
"Tuan
seorang pendeta. Pastilah hati Tuan lebih lapang dan lebih berbudi dari padaku.
Maafkan perlakuanku tadi Tuan. Aku Gelondong Dusun Segaluh. Sudah beberapa
waktu lama, dusun ini dihampiri perusuh-perusuh. Karena itu aku selalu
mencurigai orang-orang yang berjalan di tengah malam."
Hajar
Karangpandan tertawa dingin. Pandangannya menyelidiki ke dalam rumah.
"Bagus!"
dengusnya. "Seorang Gelondong menyembunyikan seorang buruan. Apa itu
benar?"
"Siapa
buruan Tuan?" bantah Jaga Saradenta. "Memang aku mempunyai seorang
tamu, tetapi dia kemenakanku."
Hajar
Karangpandan diam, ragu mendengar ujar Jaga Saradenta.
"Orang
itu membakar rumah dan membunuh orang. Dia melarikan orang pula ..."
Katanya sambil mendongakkan kepala.
"Siapa
dia? ..." Jaga Saradenta terkejut. Tetapi sandiwara Kodrat tadi masih saja
mempunyai pengaruh dalam hatinya. Ia mensiasati Hajar Karangpandan. Ia
mecurigai kelicinan orang. Lantas saja berkata meneruskan, "Di mana ada
kebakaran dan pembunuhan?"
"Kalau
kau tak percaya kata-kataku ini, ayo ikut! Di sana ... di timur ... di Desa
Karang-tinalang. Hm ... kau seorang Gelondong. Baiklah aku menaruh percaya
kepadamu. Tetapi kalau buruanku itu temyata bersembunyi di rumahmu, akan
kubunuh seluruh keluargamu".
Setelah
berkata demikian, sekali melesat ia hilang dari pandangan. Jaga Saradenta
tertegun keheranan. Kagum dia akan kesaktian tamunya. Pikirnya, dia tak berniat
jahat, kalau dia mau pastilah nyawaku sudah melayang... barangkali Kodrat yang
salah tafsir.
Memikir
begitu, lantas saja dia memasuki rumah. Waktu itu Kodrat telah lama mengintip
di belakang pintu. Melihat Hajar Karangpandan meninggalkan halaman, legalah
hatinya. la terus menyongsong pamannya.
"Mengapa
bangsat itu Paman biarkan berlalu?"
"Bedebah!
Sini kamu!" bentak Jaga Saradenta. "Aku bukan bangsat penakut, tetapi
aku membutuhkan keterangan yang benar. Sekarang ikut aku."
"Ke
mana?" Kodrat gemetaran.
"Ke
Karangtinalang," sahut Jaga Saradenta. "Perempuan itu biar ditemani
bibimu. Aku tanggung dia takkan terusik oleh siapa pun juga."
Setelah
berkata begitu, ia menyeret Kodrat ke luar pekarangan. Kemudian larilah ia
secepat angin. Dan mau tak mau, Kodrat terpaksa ikut berlari pula. Di bawah
pengawasan pamannya dia tak bisa main gila lagi.
Pada
saat itu Hajar Karangpandan telah meninggalkan Desa Segaluh. Ia kembali ke Desa
Karangtinalang. Tujuannya hendak mencari jejak yang lain. Dia telah tahu di
mana Kodrat berada. Jaga Saradenta telah mengabarkan perihal seorang kemenakan
yang datang di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan dia. Dengan demikian, dia
tinggal minta pertanggung jawaban Jaga Saradenta. Jika melindungi kemenakannya,
ia sudah mempunyai keputusan. Seluruh keluarga Jaga Saradenta akan dihabisi
nyawanya.
Tatkala
sampai di Desa Karangtinalang ia menjenguk tempat dia menghajar orangnya
Kodrat. Dilihatnya ia masih menggeletak di tanah dengan mengerang-ngerang
kesakitan.
"Nah,
dengarkan!" bentaknya.
Mendengar
suaranya, mereka menjadi ketakutan. Tetapi mereka tak berdaya apa pun juga.
Terdengar suara Hajar Karangpandan. "Kalian masih kuampuni. Sekarang aku
minta keterangan yang jelas. Siapa yang bicara benar akan kuampuni. Yang tidak,
akan kudepak mati. Tahu!" la berhenti sejenak. "Di mana teman-temanmu
yang lain? Jawab!"
Ia
menghampiri orang yang menggeletak di sebelah utara. Orang itu diam tak
menyahut. Tak mau dia berkhianat. Lagi pula apa gunanya? Tadi dia ikut
menerangkan siapa Kodrat itu. Akibatnya ia mendapat ganjaran begitu rupa.
Sebaliknya Hajar Karangpandan tak sabar. Sekali depak matilah orang itu.
Menyaksikan
keganasannya, mau tak mau yang lain jadi terpengaruh. Yang menggeletak di
sebelah barat segera berkata sebisa-bisa-nya, "Mereka bertugas mengikuti
jejak. Pusaka di bawa lari."
"Bagus!
Kau kuampuni," kata Hajar Karangpandan. Setelah berkata begitu dua orang
lainnya didepaknya mati. Sedang yang berbicara tadi diinjak lehernya hingga
pingsan tak sadarkan diri.
Hajar
Karangpandan menghampiri rumah Wayan Suage dan Made Tantre. la menyelidiki
tapak-tapak kaki. Sebentar saja dia telah menemukannya, tetapi hari masih saja
gelap gulita. Meskipun demikian, ia tak putus asa. Di waktu fajar hampir
menyingsing, nampaklah tapak-tapak kaki di mana-mana dengan cukup jelas. Segera
ia melesat dengan kecepatan yang tak terlukiskan.
Beberapa
waktu kemudian, sampailah dia di atas gundukan tinggi. Pandangnya menyapu. Ia
melihat titik-titik hitam. Itu mereka! Mendadak dilihatnya asap mengepul tebal.
Hutan yang berdiri berleret di kaki pegunungan nampak terbakar.
"Jahanam!
Apa mereka sedang membakar tempat persembunyiannya Wayan Suage," ia
khawatir. Gntuk menghambat pembakaran hutan itu, ia mengumpulkan seluruh
tenaganya. Napasnya dipusatkan ke perut.
Kemudian
sambil mendongak ke udara ia berteriak tak ubah Guntur Sejuta . Suaranya bergelora
menusuk udara. Burung-burung yang menginap di atas pohon-pohon, kaget
beterbangan. Batang pohon-pohon tergetar pula. Daun-daun kering runtuh
bertubrukan.
Kemudian
larilah ia amat pesat. Dia mengulangi teriakannya dua kali lagi. Pada teriakan
yang ketiga kalinya, sampailah dia di tepi hu¬tan. Segera ia menurunkan tangan
ganas untuk membangunkan pengaruh tertentu. Empat orang mati terjengkang
sekaligus.
"Mana
Wayan Suage?" Ia membentak sam¬bil membekuk korbannya yang kelima.
"Siapa
Wayan Suage?" sahut orang itu menggigil. Orang itu benar-benar belum
mengenal nama buruannya. Tapi Hajar Karang¬pandan menduga lain. Ia mengira,
orang itu mengecohnya. Maka tanpa memberi kesempatan lagi, ia mengemplangnya
mati.
Yang
lain jadi ketakutan. mereka saling bersuitan mengabarkan tanda bahaya. Tetapi
Hajar Karangpandan berlalu sangat cepat. Ia melesat terbang tak ubah seekor
burung garuda dan membunuh mati dua orang lagi. Kini tinggal dua orang yang
masih hidup. la menyabarkan diri agar mendapat keterangan. Bentaknya,
"Mana Wayan Suage?"
Seperti
yang lain mereka menyahut, "Siapa Wayan Suage?"
"Bangsat!
Pusaka itu! Bukankah kalian mau merampok pusaka itu?"
"Dia
... dia di sana ... seorang pemuda bersamanya..." orang itu menuding ke
lautan api.
Betapa
hebat pengaruh kata-kata itu terhadap Hajar Karangpandan tak dapat terlukiskan.
Dengan mata liar ia merenungi nyala api. Hatinya serasa hampir meledak.
"Apa
pemuda itu pimpinanmu?" dampratnya.
Dua
orang itu akan membuka mulut, mendadak Hajar Karangpandan telah menerkam
dahsyat. Mereka terpental ke udara dan menghembuskan napasnya yang penghabisan
sebelum tubuhnya terbanting di tanah.
Hebat
gempuran itu. Dia berhasil menewaskan sembilan orang seorang diri. Sebabnya,
karena mereka telah merasa ngeri terhadapnya. Mereka telah kena gertak sebelum
bertempur.
Hajar
Karangpandan menggeram seperti seekor singa. Pandangannya tak beralih dari
lautan api. Tiba-tiba ia meloncat ke dalam dan terbang menjelajah hutan yang
sedang terbakar. Tetapi meskipun berkulit kebal, tak seseorang pun tahan
berenang dalam lautan api. Sebentar saja, dia melesat ke luar dan berdiri
tertegun dengan hati terguncang hebat.
Tatkala
itu dia menoleh, pandangnya bentrok dengan pandang mata seorang pemuda yang
berdiri gagah di tepi sungai. Itulah Wirapati murid keempat Kyai Kasan Kesambi.
Tanpa
berbicara lagi, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang. Wirapati terkejut.
Cepat ia menghindar sambil mengirimkan sodokan. Hajar Karangpandan terkejut.
Pikirnya, orang ini bisa mengelakkan seranganku sambil menyerang, ini hebat. Ia
mengulangi lagi lebih dahsyat.
Hajar
Karanpandan mempunyai watak mau menang sendiri. Sebaliknya Wirapati bukan pula
orang sembarangan. Dia angkuh dan tinggi hati. Selain itu seluruh hatinya
bersujud kepada perguruannya. Menurut kepercayaannya, tidak ada ilmu lain yang
bisa menandingi ilmu perguruannya. Demikianlah, jika menda¬pat serangan lagi
tak mau dia mengelak. Ia ingin mencoba-coba seperti yang dilakukan nya pada
orang Banyumas. Kesudahannya ia menumbuk batu.
Karena
begitu tangannya kebentrok, seketika itu juga terpentallah dia tiga langkah.
Tetapi Hajar Karangpandan pun mundur terjengkang selangkah.
Wirapati
kaget bukan main. Sadarlah dia, kalau sikap keagung-agungan akan membahayakan
diri sendiri. Maka sekarang bersikap waspada dan hati-hati.
Hajar
Karangpandan mempunyai kesan pula. Ia kagum pada kekuatan si pemuda. Biasanya
orang tak tahan menerima pukulannya. Tetapi meskipun pemuda itu tahan menerima
pukulan, terpental juga tiga langkah.
"Bagus!"
ia memuji. "Tapi hari ini kaubakal mampus di tanganku! Sayang, sayang!
Punya kepandaian begitu hebat, kenapa jadi bangsat?"
Wirapati
tahu, orang itu salah duga. Tetapi dia terlalu tinggi hati untuk menjelaskan
kesalahpahaman itu. Cepat ia siaga.
Ketika
itu, Hajar Karangpandan menyerang lagi dengan garangnya. Tangannya yang kanan
mencengkeram mengarah kepala, sedangkan yang kiri menyodok tulang rusuk.
Wirapati cukup waspada. Ia mengendapkan diri sambil mengirimkan tendangan.
Sodokan
Hajar Karangpandan kebentur kakinya. Ia terguling ke samping dan tepat pada
saat cengkeraman Hajar Karangpandan turun ke bawah. Suatu kesiur angin
menyambar lambungnya. Sikunya lantas digerakkan sambil menjejak kaki.
Hajar
Karangpandan tahu bahaya. Mau tak mau terpaksa ia meloncat mundur. Dia luput
dari serangan itu. Kemudian menerjang menerkam dada. Wirapati menundukkan
kepalanya sambil menyapu kaki.
Hajar
Karangpandan tak sempat mengelak. Betisnya kena terhajar. Tetapi Wirapati kena
ditubruk pundak kirinya. Keduanya bercucuran keringat dingin. Kemudian berdiri
tegak sambil mengatur napas.
Hajar
Karangpandan jadi panas hati. la merangsak lagi dengan benturan-benturan
dahsyat. Wirapati tak berani mengadu tenaga. Ia melesat menghindari sambil
mengayunkan tangan. Dengan demikian, pertarungan bertambah seru. Masing-masing
dapat bergerak dengan gesit dan cekatan.
Kala
itu di pinggir gelanggang berdirilah dua orang laki-laki yang mengawasi
pertarungan tanpa mengedipkan mata. Mereka adalah Jaga Saradenta dan Kodrat.
Jaga
Saradenta berkesan lain, setelah menyaksikan kebakaran itu. la mencurigai
Kodrat dan berniat menghapuskan diri dari salah sangka. Sebagai seorang yang
jujur tak sudi dia memihak kepada orang yang salah. Meskipun orang itu
kemenakannya sendiri. Maka diringkuslah lengan kemenakannya dan dibawa lari
mengikuti jejak kaki Hajar Karangpandan.
la
kalah cepat dalam hal berlari. Lagi pula, ia dibebani berat badan kemenakannya
yang ikut berlari ogah-ogahan. Meskipun demikian, ia mencoba mengejar.
Sesampainya di tepi hutan dilihatnya dua orang lagi bertempur seru. Legalah
hatinya demi nampak berkelebatnya Hajar Karangpandan. Tetapi siapakah pemuda
itu? Ia minta penjelasan kepada kemenakan¬nya.
"Apa
dia termasuk salah seorang bawahanmu?" bentaknya bengis.
Kodrat
menggelengkan kepala.
"Bagaimana
yang benar?" bentaknya lagi. Mendadak ia melihat mereka meloncat mun¬dur
dua langkah.
"Hai,
siapa kau sebenarnya? Bilanglah sebelum mampus!" Kata Hajar Karangpandan
nyaring.
"Apa
perlu menyebut nama?" sahut Wirapati.
Hajar
Karangpandan mendongakkan kepala sambil tertawa meriah.
"Bagus!
Bagus! Kaumampus tanpa nama, jangan salahkan aku Hajar Karangpandan. Nan,
kaudengar sudah namaku. Kau tak perlu lagi penasaran di alam kuburmu."
Wirapati
tersenyum, "Mengapa kamu meracau tak keruan? Siapa bilang Wirapati akan
mati? Aku murid keempat Kyai Kasan Kesambi bagaimana mungkin gampang mau
kaupunahkan?"
"Hm!"
Hajar Karangpandan meludah ke tanah. "Ayo, kita buktikan!"
Lantas
saja dia menyerang cepat. Wirapati menangkis. Ia kena gempur sampai mundur
selangkah. Kemudian membalas menyerang dengan cepat pula. Keduanya menggunakan
serangan-serangan berbahaya dan mematikan.
Syahdan,
ketika Jaga Saradenta mendengar disebutnya nama sahabatnya yang bermukim di
Gunung Damar terkejutlah dia. Ah, dia murid sahabatku. Kalau sampai terluka
parah, aku tidak bisa berpeluk tangan, pikirnya. Ia yakin, kalau murid Kyai
Kasan Kesambi takkan mungkin berbuat sesuatu hal yang rendah. Sedangkan Hajar
Karang¬pandan bertempur dengan suatu tuduhan tertentu. Menduga demikian, ia
jadi gelisah.
Akhirnya
dia berseru, "Tahan! Tahan! Ayo, kita bicara!"
Dalam
suatu pertempuran sengit, sudah barang tentu seruan Jaga Saradenta tak
tergubris. Hajar Karangpandan yang mengenal suara Jaga Saradenta malah mendakwa
yang bukan-bukan.
"Kamu
kawanan bangsat, ayo maju sekalian!" dampratnya.
Dia
lantas memperhebat serangannya. Sebentar saja Wirapati kena dirangsak mundur
sampai ke tepi batas lautan api. Karuan saja Jaga Saradenta mendongkol
berbareng khawatir. Mengingat kepada guru Wirapati, dia terus melompat membantu
dan mengirimkan gempuran.
"Monyet!"
maki Hajar Karangpandan. "Ka¬mu kira aku mau lari lintang-pukang?"
Wirapati
heran mendapat bantuan itu. Dia mau menebak-nebak siapa orang itu, mendadak
Hajar Karangpandan telah menyerangnya bengis. Terpaksa dia memusatkan seluruh
perhatiannya dan membalas menyerang.
Hajar
Karangpandan jadi keripuhan dikerubut dua orang, meskipun Jaga Saradenta
bertempur dengan setengah hati. Maklumlah, dia tak menghendaki pertempuran itu.
Kalau sekarang sampai mengadu kekuatan semata-mata karena terpaksa, demi
melihat murid sahabatnya terangsak mundur.
Eh,
ternyata dia bukan orang sembarangan, pikir Hajar Karangpandan. Untung dia
tidak muda lagi. Kutaksir umurnya kira-kira 70 tahun. Kalau kupaksa bertempur
berputaran, akan kulihat apa napasnya masih panjang.
Sambil
berpikir begitu, segera ia mengadu kegesitan. Seakan-akan seekor burung garuda
ia menyambar cepat dan rapih dia menyerang bertubi-tubi. Jaga Saradenta tak
sanggup mengikuti gerakan itu. Cepat-cepat ia menutup diri. Dadanya dilindungi
dan ia merendahkan badan. Sebaliknya Wirapati dapat mengimbangi kegesitan Hajar
Karangpandan. Dengan menjejak tanah ia memotong tiap serangan, tetapi ia
menghindari suatu perbenturan karena merasa diri tak sanggup menandingi tenaga
lawan.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 3 SALAH PAHAM di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 3 SALAH PAHAM"
Post a Comment