BENDE MATARAM JILID 1 ROMBONGAN-PENARI YANG ANEH
Bende
MATARAM
Saduran
: Herman Pratekno/ Dari kisah Memanah Burung Rajawali
Mangkya
Pangeran Semono mring Patih Lawa Ijo:
"Jenengsira
ywa wedi kangelan, ingsun utus nyekel maling aguna Pangeran Joyokusumo kang
gawe rusuh ing kaputren Loano. Ingsun gawani pusaka telu murih widagda ing
laku. Siji: Jolo Korowelang. Loro: Keris Kyai Panubiru iya Kyai Tunggulmanik.
Telu: Bende Mataram. Lamun keseser yudanira, tabuhen Kyai Bende Mataram.
Sayekti Ingsun dewe kang prapto ..."
(Babad
Loano)
Alih
bahasa:
Demikianlah
Pangeran Semono bersabda kepada Patih Lawa Ijo:
"Hendaklah
engkau jangan takut lelah. Aku perintahkan kepadamu menangkap pencuri sakti
bernama Pangeran Joyokusumo yang membuat keonaran dalam gedung puteri negeri
Loano. Kusertakan padamu tiga pusaka agar berhasillah. Pertama: Jolo
Korowelang. Kedua: keris bernama Kyai Panubiru juga disebut Kyai Tunggulmanik.
Ketiga: Bende Mataram. Manakala engkau kalah bertanding, tabuhlah Kyai Bende
Mataram. Dan aku pasti akan datang ..."
(Babad
Loano)
KALA
itu permulaan musim panen tahun 1792. Sultan Hamengku Buwono II baru beberapa
hari naik tahta kerajaan Yogyakarta. Di seluruh wilayah negara, rakyat ikut
merayakan hari penting itu. Tontonan wayang dan sandiwara rakyat hampir digelar
di semua pelosok desa. Keadaan demikian tidak hanya menggembirakan rakyat desa,
tetapi merupakan suatu karunia besar bagi seniman-seniman kecil.
Di
suatu jalan pegunungan yang melingkari Gunung Sumbing, berjalanlah seorang
laki-laki tegap dengan langkah panjang. Laki-laki itu kira-kira berumur 24
tahun. Ia mengenakan pakaian model pada masa itu. Bajunya surjan Mataram dari
bahan lurik halus. Anehnya, memakai celana panjang seperti Kompeni Belanda.
Kakinya mengenakan sandal kulit kerbau yang terikat erat-erat pada mata
tumit-nya.
Dia
bernama Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang bertapa di pertapaan
Gunung Damar .
Kyai
Kasan Kesambi waktu itu sudah ber-umur 70 tahun. Selama puluhan tahun, ia
me-nyekap dirinya di atas pegunungan untuk me-nyempurnakan ilmu-ilmu yang
diyakini. Setelah berumur 60 tahun barulah dia menerima murid. Muridnya hanya
berjumlah lima orang. Murid yang tertua bernama Gagak Handaka. Kemudian
Ranggajaya, Bagus Kempong, Wi¬rapati dan Suryaningrat. Gmur murid-murid-nya
paling tinggi 40 tahun. Sedangkan murid termuda Suryaningrat lagi berumur 17
tahun.
Meskipun
murid-murid Kyai Kasan Kesambi masih tergolong berusia muda, tetapi nama mereka
terkenal hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah. Manakala rakyat lagi
membicarakan tentang tokoh-tokoh sakti pada jaman itu, pastilah nama mereka
takkan ketinggalan. Mereka disebut sang Pandawa , karena jumlahnya hanya lima
orang belaka.
"Murid-murid
Kyai Kasan bagaikan kesatria-kesatria Pandawa," kata mereka. "Gurunya
suci, murid-muridnya pun luhur budi.".
Pada
bulan pertama 1792, Wirapati diutus gurunya menghadap Kyai Haji Lukman Hakim di
Cirebon untuk mengabarkan tentang geringnya Sri Sultan Hamengku Buwono I yang
sudah berusia 83 tahun. Kyai Haji Lukman Hakim dulu adalah teman seperjuangan
Kyai Kasan dalam perang Giyanti.
"Sampaikan
hormatku padanya," kata Kyai Kasan kepada Wirapati. "Kamu harus dapat
membawa sikap tata santun gurumu kepadanya. Pintalah kepadanya, agar dia sudi
mengusahakan daun Tom demi kesehatan Sri Sultan. Barangkali usia Sri Sultan
bisa diperpanjang dengan kesaktian daun itu.".
"Apakah
daun Tom itu?" tanya Wirapati kekanak-kanakan.
"Daun
sakti itu hanya tumbuh di tepi pantai. Tak banyak orang mengetahui. Jenisnya
hampir serupa dengan daun-daun tapangan dan daun pedang. Hanya mata ahli saja
yang dapat membedakan jenis daun-daun itu.".
Wirapati
gembira mendapat tugas itu. Inilah kesempatannya hendak menyaksikan kesakti¬an
sahabat gurunya yang seringkali dibicarakan dalam perguruan.
Rumah
Kyai Haji Lukman Hakim berada di atas gundukan tanah di tepi pantai. Rumahnya
sederhana. Terbuat dari papan pohon nangka dan beratap alang-alang. Meskipun
demikian nampak berwibawa. Pekarangannya penuh dengan tanaman yang mengandung
khasiat obat-obatan. Bunga-bunganya menebarkan bau wangi tajam.
Dengan
diantar oleh seorang gembala ia bergegas mendaki gundukan tanah itu. Tetapi
alangkah terkejut dan kecewanya, setelah dia sampai di depan pintu. Seorang
perempuan tua datang menyambut dan mengabarkan, kalau Kyai Haji Lukman Hakim
telah wafat dua bulan yang lalu.
Penuh
kecewa, ia segera pulang. Waktu itu bulan tiga tanggal 29 tahun 1792. Mendadak
ia mendengar berita, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah wafat pada tanggal 24
Maret 1792. Peristiwa berita kematian yang berturut-turut itu mengejutkan hati
nuraninya. Gumamnya, "apakah ini alamat buruk juga untukku?".
Ia
mempercepat langkahnya. Kali ini perjalanan ke Gunung Damar disekatnya dengan
melewati lereng Gunung Sumbing, setelah melintasi perbatasan daerah Pekalongan
Selatan. Meskipun demikian, dalam waktu satu bulan ia sampai di balik gunung.
Ia masih harus melintasi dusun-dusun Kidang, Butuh, Karangtinalang, Kemarangan,
Krosak dan Gemrenggeng untuk sampai di dataran Lembah Loano.
Hari
hampir petang. Matahari telah condong jauh ke barat. Angin meniup lembut sejuk.
Pemandangan sekitar Gunung Sumbing sangatlah indah. Hatinya yang murung kini
agak pudar.
Apalagi
sepanjang perjalanan, ia melihat dusun-dusun sedang berpesta merayakan hari
penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
"Hari
ini tanggal 6 bulan April 1792. Bulan depan guru akan menurunkan Ilmu Mayangga
Seta. Ah, masih sempat aku mengikuti tahap permulaan. Mudah-mudahan di tengah
per¬jalanan tidak ada aral melintang.".
Ilmu
Mayangga Seta merupakan suatu ilmu kebanggaan pada jaman itu untuk setiap
pra-jurit. Barang siapa dapat menguasai ilmu itu, akan pandai mengubah tempat
Kedudukannya dalam sedetik dua detik. Hal ini sangat berguna dalam pertempuran
kerubutan. Tetapi jenis Ilmu Mayangga Seta banyak ragamnya. Setiap perguruan
mempunyai paham dan pendapat sendiri.
Selagi
memikirkan tentang ilmu itu, tiba-tiba ia melihat dari persimpangan jalan arah
barat serombongan orang yang membawa kotak-kotak kayu dan seperangkat gamelan.
Mereka berjumlah 14 orang dan berjalan kearahnya.
Wirapati
tertarik pada pemandangan itu. Mereka mengenakan dandanan penari dan penabuh
gamelan. Muka mereka dicat ber-aneka-warna. Agaknya mereka telah memper-siapkan
diri menjadi tokoh-tokoh yang akan diperankan.
Dari
tutur-kata penduduk sepanjang jalan, Wirapati mendapat keterangan kalau
perayaan penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II akan berlangsung selama 40
hari 40 malam.
Penduduk
bebas memilih macam hiburan yang cocok dengan kata hatinya. Mereka be¬bas pula mengundang
seniman-seniman dari daerah lain. Itulah sebabnya, seniman-seni¬man dari
Banyumas, Jepara, Madiun, Surakarta dan Bagelen banyak memasuki daerah
Kasultanan.
Rombongan
yang mendatanginya, berperawakan tegap. Gerak-geriknya tangkas. Mereka berjalan
cepat dan mencurigai tiap orang yang dijumpai. Tatkala mereka berpapasan dengan
Wirapati, mereka menunduk. Mulutnya berko-mat-kamit: "Awas, bertemu
satu.".
Sekalipun
kata-kata itu diucapkan dengan berbisik-bisik, tapi bagi pendengaran seorang
berilmu seperti Wirapati cukuplah jelas. Wirapati heran mendengar kata-kata
demikian. la mulai memperhatikan dan mencoba menebak-nebak maksud tiap patah
katanya.
Keheranannya
kini kian menjadi-jadi. Mereka ternyata membawa gamelan yang terbuat dan
perunggu pilihan. Gong besar, lima buah kempul, dua pasang bonang, lima buah
demung, sepasang gender, slentem dan gambang berat timbangannya paling tidak
masing-masing limaratusan kati. Belum lagi ditambah dengan berat timbangan alat
penabuh dan goyor , meskipun demikian, mere¬ka sanggup memikul dengan berjalan
sangat cepat. Ah, mereka lebih mirip pencoleng-pencoleng sakti, pikir Wirapati.
Mukanya di cat tebal. Meskipun teman karib sekampung takkan begitu gampang
mengenal mukanya.
Mendapat
pikiran demikian, dia ingin menguntit sambil menyelidiki. Biasanya memang ia
usil, jika menjumpai sesuatu yang aneh. Hatinya takkan puas, jika belum
mendapatkan keterangan yang cukup jelas. Tetapi ia teringat akan masa
pengajaran Ilmu Mayangga Seta pada bulan depan. Kalau sampai membiarkan diri
terlibat dalam perkara itu, pastilah akan membutuhkan suatu penyelesaian
berminggu-minggu lamanya. Agaknya itu tidak menyenangkan..
Tetapi
gerak-gerik rombongan penari yang aneh itu, mengganggu hati dan penglihatannya.
Untuk melupakan dan mengalihkan perhatiannya, ia harus mendahului mereka.
Segera Wirapati mempercepat langkahnya. Sebentar saja ia telah melampaui
mereka. Menyaksikan bagaimana dia dapat berjalan begitu cepat, di antara mereka
terdengar bisikan lagi.
"Awas,
berjaga-jaga."
Wirapati
sengaja menelan kata-kata itu. Nafsu usilannya diendapkan. Ia mempercepat
langkahnya lagi, seperti seseorang yang berlari sangat cepat. Pada petang hari,
tibalah dia di Dusun Butuh. Dia harus melintasi Kali Bergata. Dari sana ia akan
sampai di Karangtinalang. Dengan mendaki bukit dan menyeberang hutan, dalam
beberapa hari akan sampai di jalan raya Magelang-Kedungkebo.
Petang
hari itu, hujan turun rintik-rintik. Sisa musim hujan belum juga habis. Itulah
sebabnya, air sungai masih saja mencapai tepi tebing. Perahu tambang tidak
tampak lagi. Penduduk mulai mengungsikan kepenatannya di tengah keluarganya
masing- masing. Maka terpaksalah Wirapati mencari sebuah gardu untuk menginap.
Tapi gardu di Dusun Butuh tidak dapat diketemukan.
Sebagai
seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang biasa dilatih berkelana berbuat
kebajikan, ia tak mengeluh. Segera ia menyeberang ladang dan mencari gubuk
peronda tetanaman. Ditemukan sebuah gubuk reyot. Tanahnya agak basah, tetapi
ada seonggok jerami kering yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya
untuk keperluan berjaga malam. Jerami itu kemudian dijajarnya rapi. Tatkala
hendak merebahkan badan, tiba-tiba didengarnya di jauh sana suara tapak-tapak
ringan. Ternyata mereka adalah rombongan penari tadi.
Mereka
berhenti di tepi pengempangan sawah. Kemudian berbicara dengan logat Banyumas.
Wirapati melongok dari gubug sambil memasang telinga.
"Bagaimanapun
juga kamu harus bersikap sopan kepadanya," kata yang tinggi jangkung.
"Mereka itu adalah manusia seperti kita. Pasti bisa diajak
berbicara."
"Aku
sudah mencoba berbicara. Kucoba membeli benda itu. Kucoba meminjam. Ku¬coba
menyewa. Kucoba ... ya kucoba segala tata-santun. Tapi usahaku sia-sia,"
bantah yang gemuk pendek. "Mereka tetap mempertahankan benda itu. Akhirnya
kucoba merebutnya dengan paksa. Bangsat betul mereka ... cuh! Mereka pandai
berkelahi. Pandai mempertahankan diri dan menyerang. Karena merasa takkan
menang, aku lari memanggil kawan-kawan. Apakah sudah cukup keteranganku tentang
mereka?"
"Tapi
ini soal nyawa," bentak yang tinggi jangkung. "Bagaimanapun juga kita
harus menghindari suatu pembunuhan. Ini pendirianku. Dan aku adalah pemimpin
kalian. Kalian harus tunduk dan patuh kepadaku. Siapa membantah lagi?"
Tidak
ada di antara mereka yang berani ber¬bicara. Nampak benar betapa besar pengaruh
si tinggi jangkung. Tetapi sejurus kemudian, yang pendek gemuk berkata
hati-hati.
"Tetapi
andaikata ... andaikata mereka tetap bertekad mempertahankan benda itu dan
ternyata kita kalah, apa yang akan kaulakukan?"
"Masa
kita kalah melawan dua orang laki-laki saja?"
"Siapa
tahu, mereka sekarang memanggil penduduk dusun untuk membantu dan benar-benar
mereka jadi tangguh."
"Kalau
memang begitu ... nanti kupertimbangkan. Tapi sekarang, tujuan membunuh harus
dihindarkan sejauh mungkin. Pekerjaan ini jangan sekali-kali menjadi perhatian
umum."
Si
gemuk pendek diam. Kesenyapan yang mengerikan mulai terasa. Kemudian
terdengarlah suara si jangkung tinggi.
"Nah
... kita berangkat. Ingat ya, kalian semua harus dapat membawa diri sebagai
rombongan penari yang sesungguhnya. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan orang,
pasti akan menggagalkan pekerjaan besar ini. Kalau sampai gagal, apa kamu
berani mempertang-gungjawabkan kepada sang Dewaresi?"
Seperti
saling memberi isyarat, mereka menarik napas panjang. Wirapati merasakan
sesuatu pengaruh ucapan kata-kata sang Dewaresi. Apakah orang itu pemimpin
mereka di Banyumas? la menajamkan pendengarannya. Tapi mereka tidak menyinggung
nama itu lagi. Sebentar kemudian mereka berangkat dengan hati-hati. Mereka
mendekati tebing sungai. Beban ditumpuk menjadi undukan. Setelah itu mereka
berunding dengan berbisik-bisik.
Wirapati
tertarik pada sepak-terjang mere¬ka. Segera ia menguntit dari jarak dua puluh
langkah, kemudian mendekam di atas tanah. Malam gulita melindungi dirinya,
karena itu tak perlu dia takut akan ketahuan.
Pada
saat itu, di tebing sungai terjadilah suatu pemandangan yang menarik. Mereka
menyusun sebuah jembatan darurat. Empat orang memapah tiang-tiang gamelan. Dan
yang lain membantu pekerjaan dengan sangat cepat. Kepandaian menyusun beban
hingga menjadi sebuah jembatan darurat, sungguh mengherankan. Seandainya mereka
tidak mengalami latihan tertentu, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal
itu untuk menyeberangi sungai yang deras arusnya.
Dua
tiga orang lari berputaran. Mereka melintasi jembatan darurat dengan gesit.
Kaki mereka menjejak ujungnya. Sekejap saja terapunglah tubuh mereka tinggi di
udara dan tiba di seberang dengan selamat.
Bagus,
Wirapati memuji dalam hati. Meskipun aku tak kalah dibandingkan dengan
kecakapan mereka, tetapi kecekatan seperti itu jarang terjadi. Mengapa memusuhi
seseorang tak dilakukan dengan terang-terangan? Bukankah cukup kepandaian
mereka untuk mencapai maksud tertentu?"
Teringatlah
dia akan kata-kata si tinggi jangkung. "Ingat ya, kalian semua harus dapat
membawa diri sebagai rombongan penari yang sesungguhnya. Sedikit menimbulkan
kecurigaan orang, pasti akan menggagalkan pekerjaan besar ini."
Pekerjaan
besar apakah yang sedang dikerjakan? Wirapati menebak teka-teki mereka, karena
macam benda yang hendak diperebutkan tak pernah disinggung dengan jelas.
Meskipun demikian, samar-samar dia mendapatkan kesan tertentu.
Pastilah
mereka bukan orang-orang baik. Kalau mereka bermaksud baik kenapa harus
menyamar sebagai rombongan penari, pikir Wirapati. Agaknya benda yang akan
dipere-butkan, cukup berharga untuk sebuah peristiwa pembunuhan.
Wirapati
adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Dia dididik sebagai kesatria berjiwa luhur dan
diajar juga membela kepentingan umum seba¬gai suatu kebajikan yang diwajibkan.
Tak heran, kalau rakyat jelata yang seringkali menderita karena perbuatan kejam
tuan-tuan tanah dan para bangsawan banyak memperoleh pertolongan murid-murid
Kyai Kasan Kesambi. Itulah sebabnya, begitu Wirapati mendengar kata-kata
pembunuhan, hati nuraninya yang luhur lantas saja berontak. Tak sampai hati ia
membiarkan persoalan pembunuhan itu berbicara seenaknya.
"Masih
ada waktu satu bulan, rasanya takkan kasep aku menerima ajaran Ilmu Mayangga
Seta. Kutaksir, soal ini akan dapat kuselesaikan paling lama sepuluh
hari."
Dengan
ketetapan hati, segera ia mencurah-kan perhatiannya ke mereka. Ia melihat,
mereka semua telah berhasil melompat ke seberang. Kini tinggal empat orang yang
berdiri menjadi penyangga jembatan darurat. Dengan cekatan mereka mengikat
perutnya masing-masing pada tiang gamelan, kemudian mundur lima langkah.
Dilemparkan tiang gamelan tinggi ke udara dan mereka menjejak tanah. Sekaligus
terbanglah mereka melintasi sungai.
Ah,
mereka bukan orang-orang lemah, Wirapati memuji lagi. Sudah kuduga mereka akan
berlaku demikian, tetapi perbuatan itu sendiri dapat diputuskan dengan cepat.
Baiklah aku harus berhati-hati mengikuti mereka.
Wirapati
mengangkat kepalanya. Mereka telah menghilang di tengah kegelapan tanpa
berisik. Dan ketika suara langkah mereka tak terdengar lagi, segera ia berdiri.
Kemudian menghampiri tebing sungai. Diselidiki jejak mereka dan dengan
diam-diam ia heran me mikirkan ketangkasan orang-orang itu. Ternyata tanah
sekitar sungai becek serta berlumpur. Seketika itu juga, tahulah dia apa yang akan
mereka lakukan manakala telah memutuskan hendak membunuh orang. Memiliki
kecakapan demikian, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang sulit jika mau membunuh
orang. Mengapa mereka menyamar sebagai rombongan penari? Apa mereka hanya mau
mengelabui orang-orang yang berpapasan atau karena akan menghadapi lawan
tangguh?
Tak
sempat lagi, Wirapati menebak-nebak teka-teki itu. Segera ia menjejak tanah dan
terbang meloncati sungai. Ternyata mereka tak nampak batang hidungnya. Dapatlah
diduga bagaimana mereka dapat bergerak dengan cepat. Tetapi Wirapati adalah
murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat. Meskipun kecakapannya masih kalah dua
tiga tingkat daripada ketiga orang kakak seperguruannya, namun menghadapi
peristiwa demikian tidaklah merasa kecil hati. Dia telah memiliki ilmu
penciuman dan ketangkasan tubuh. Maka sekali loncat tubuhnya telah hilang
melintasi kegelapan malam. Sebentar saja dia sudah berhasil mengejar mereka.
Sekonyong-konyong terdengarlah bentakan keras.
"Siapa?"
"Apa
kalian kawan-kawan dari Banyumas?" sahut seseorang yang berdiri menghadang
mereka. Tak jelas siapa dia, tetapi suaranya terang seorang laki-laki yang
berusia dua puluh tahunan.
"Bukan.
Kami rombongan penari yang akan merayakan pesta penobatan Sultan di Dusun
Karangtinalang," jawab salah seorang dari rombongan penari. Dia adalah si
gemuk pendek. Suaranya keras agak parau.
"Hm,
aku tidak bisa kalian kelabui. Meskipun kalian mengenakan samaran iblis
sekalipun. Mataku tidak bisa kautipu."
"Bagus.
Siapa kamu?"
Orang
yang menghadang rombongan penari tidak segera menjawab. Dia mendehem dua kali,
kemudian berkata, "Urusan Bende Mataram dan Keris Tunggulmanik jangan
dikutik-kutik lagi. Kembalilah kalian ke Banyumas. Hidup bebas dari marabahaya,
bukankah lebih menyenangkan?"
"Hooo.
Hi hi hi ... ha ha ha Jadi maksudmu menghadang kami berhubung dengan adanya
Bende Mataram dan Keris Tunggulmanik? Apa alasanmu? Apa kamu berhak memiliki
bende keramat itu?"
Orang
yang menghadang tidak berbicara lagi. la memperdengarkan suara tertawanya yang
dingin. Wirapati yang berhenti agak jauh, terkejut mendengar lagu tawa itu.
Suatu perasaan aneh menyelinap dalam tubuhnya. Karena takut barangkali si
penghadang lagi menggunakan mantran siluman, cepat-cepat ia bersembunyi di
belakang pohon. Penglihatannya ditajamkan. Dilihatnya kini seorang berperawakan
kurus ramping berdiri bertolak pinggang di tengah jalan.
Warna
pakaian dan raut mukanya tidak nampak jelas, karena kegelapan malam. Tetapi
jelas terlihat ia memegang tongkat yang selalu diputar-putarkan.
Pada
saat itu si tinggi jangkung mencoba menerangkan.
"Bende
Mataram dan Keris Tunggulmanik adalah pusaka turun-temurun Bupati Banyumas.
Kedua pusaka itu hilang dicuri orang. Sekarang telah kami temukan jejaknya. Apa
salah kami datang untuk mengambilnya?"
Si
penghadang tidak menyahut. Diperdengarkan lagu tertawanya lagi yang mengesankan
perasaan aneh memuakkan. Sikapnya tinggi hati dan merendahkan lawannya.
Tiba-tiba si gemuk pendek yang berwatak berangasan , meloncat ke depan sambil
membentak.
"Jahanam,
minggir. Apa kamu bosan hidup?"
Tetapi
belum lagi menyelesaikan umpatannya, mendadak saja ia memekik tinggi. Kemudian
robohlah dia seperti pohon tumbang. Menyaksikan si gemuk pendek roboh,
rombongan penari aneh dari Banyumas bergerak serentak. Tetapi si penghadang
meloncat menyeberang pengempangan sawah dan lenyap tanpa bekas.
Mereka
mengerumuni si gemuk pendek. Ada pula yang mencoba mengejar. Tetapi si jangkung
tinggi cepat-cepat mengumpulkan teman-temannya. Ia membungkuk memeriksa tubuh
si gemuk pendek. Ternyata nyawanya telah melayang. Menyaksikan kernatian
temannya, semua anggota rombongan menggeram penuh kegusaran. Tetapi ke mana
larinya si penghadang tadi?
Wirapati
heran. Tak dapat ia menebak, sebab-musabab dari kematian itu. Dalam gelap
malam, ia tak tahu gerakan si penghadang. Tiba-tiba, si gemuk pendek mati
terjungkal. Siapa mengira, si penghadang mendadak menyerang begitu cepat tak
terduga. Seumpama dia sendiri menghadapi orang itu, belum tentu dapat
menghindarkan malapetaka. Nampaknya, si penghadang mempunyai sejenis senja
tarahasia yang disimpan dalam tongkatnya.
Cepat-cepat
ia berjongkok, agar dapat menambah kewaspadaannya. Siapa tahu, si penghadang
hanya lari berputar dan bermaksud menikam dari belakang. Menyaksikan kecepatan
geraknya, tidaklah mustahil dia dapat berbuat di luar dugaan. Lagipula,
rombongan penari itu dapat mendakwanya sebagai si penghadang tadi. Bagaimana
mereka dapat membedakan antara dia dan si peng¬hadang di tengah kegelapan
demikian.
"Letakkan
jenazah Gandi di tepi jalan. Kita selesaikan dulu urusan ini. Setelah kita
berhasil, kita menguburnya," kata si tinggi jangkung.
"Apa
kita biarkan si jahanam tadi kabur tanpa pembalasan?" tungkas yang lain.
"Perlahan-lahan
kita selidiki dia. Kelak kita pasti dapat menuntut balas."
Tidak
seorang pun yang membantah perintah si tinggi jangkung. Dengan rasa haru mereka
meneruskan perjalanan. Langkah mereka kali ini bertambah cepat dan pesat.
Sebentar saja tubuh mereka telah lenyap di gelap malam.
Waktu
itu hujan yang tadi turun rintik-rintik, kian menjadi deras. Angin pegunungan
meniup cepat, membungkuk-bungkukkan semua penghalang. Mahkota pohon-pohon yang
berdiri di sepanjang jalan dirontokkan dan padi di sawah terdengar
bergemerisik.
Wirapati
menyabarkan diri sampai rombongan penari yang aneh itu tidak terdengar lagi
langkahnya. Perlahan-lahan ia muncul dari balik pohon dan datang menghampiri
mayat si gemuk pendek. Ia melihat mayat meliuk seperti udang terbakar. Maka
diurungkan niatnya hendak menyelidiki sebab-musabab kematiannya itu. Ia menduga
adanya suatu racun berbahaya yang belum dikenalnya. Itulah sebabnya, tidak
berani ia menyentuh mayat si gemuk pendek. Segera Wirapati mundur dan lari
menyusul rombongan penari.
Perjalanan
di malam gelap lagi hujan, tidaklah mudah. Tanah jadi becek, sedangkan
langkahnya tak boleh mengeluarkan suara sedikit pun. Siapa tahu, di antara
mereka ada yang mendekam di pinggir jalan hendak menuntut balas si penghadang
tadi. Kalau sampai kepergok , dapatlah dibayangkan apa yang bakal terjadi.
Suatu pertempuran bernapaskan suatu pembunuhan takkan mungkin dapat dihindari.
"Bende
Mataram dan Keris Tunggulmanik," Wirapati komat-kamit. "Apa benar
mereka membicarakan tentang dua benda keramat itu?"
Tentang
nama dua benda keramat itu, bagi Wirapati tidaklah asing. Gurunya seringkali
membicarakannya bila sedang mempersoalkan benda-benda bertuah pada jaman
dahulu. Menurut gurunya, kedua benda tersebut milik Pangeran Semono pada jaman
kerajaan Mentaok . Kedua benda itu amat kera¬mat dan mempunyai kekuatan
mukjizat. Barang siapa yang memiliki kedua benda itu akan menjadi kebal dari
segala senjata lagi sakti. Suaranya akan menjadi menggelegar. Tubuhnya ringan
dan dapat melintasi pohon-pohon tinggi seakan-akan terbang. Kakinya kuasa
mendepak hancur batu gunung dan mampu pula menggerakkan bidang tanah tertentu
yang dikehendaki. Tetapi bagaimana cara menggunakan, gurunya tidak pernah
menerangkan. Gurunya hanya mengesankan, kalau cerita perkara kekeramatan kedua
benda itu adalah suatu khayal belaka.
Ah,
andaikata malam ini guru mendengar percakapan tentang adanya dua benda itu,
pastilah akan lain kesannya, pikir Wirapati. Tetapi ia yakin, gurunya yang
sudah mengungkurkan keduniawian takkan tertarik untuk saling berebut.
Saat
itu sampailah dia di tepi batas Desa Karangtinalang. Cahaya pelita nampak
berpancaran. Desa dalam keadaan pesta ria. Ia melihat, rombongan penari tadi
berhenti sejenak di tepi jalan. Mereka berunding sebentar, kemudian berjalan
berpencaran menuju ke selatan.
Diam-diam
Wirapati heran. Ke mana tujuan mereka? Ia memanjat pohon agar bisa melihat
lebih leluasa. Tetapi sekali lagi, gelap malam menggagalkan maksudnya. Maka
turunlah dia ke tanah dan menyusul ke selatan.
Sekiranya
ini perbuatan iblis, hai malaikat, bimbinglah aku kepada mereka. Tapi apabila
mereka bermaksud berbuat kebajikan, hai ma¬laikat sesatkan aku, kata Wirapati
dalam hati.
Tiba-tiba
ia melihat sebuah rumah panjang yang berbeda di tepi sungai. Rumah itu terbuat
dari papan dan berdiri di tengah ladang yang agak luas. Pagarnya terbuat dari
ranting-ranting bambu. Kesannya tenteram damai.
Rombongan
penari yang berjalan berpencar¬an itu, sekaligus mengepung rumah. Kini mereka
berjongkok menghadap gamelannya. Masing-masing menyalakan obor. Gerak-geriknya
seperti penabuh-penabuh gamelan yang hendak ditanggap si pemilik rumah. Tapi
mereka tahu, kalau seluruh penduduk berkumpul di kelurahan.
Sungguh
ajaib! kata Wirapati dalam hati. Jika peristiwa malam ini kuceritakan kepada
rekan-rekan seperguruan pasti mereka takkan percaya. Lihat, bagaimana pandai
dan licinnya! Mereka berbuat begitu agar tidak dicurigai orang. Sebagian
berpura-pura menabuh ga¬melan dan yang lain bekerja dengan diam-diam.
Mereka
yang memisahkan diri dari penabuh, berjalan mengelilingi rumah. Mereka
mengeluarkan segulung tali halus. Kemudian direntangkan dari tempat ke tempat.
Sebentar saja, rumah panjang itu telah terlingkari. Mereka bekerja dengan
hati-hati.
Wirapati
segera menyadari, gulungan tali itu pasti mengandung racun berbahaya.
Seketika
itu juga, jiwa kesatria Wirapati terbangun. Hm! Tak peduli pihak mana yang
benar atau salah, aku tak boleh membiarkan mereka seenaknya meracuni orang. Itu
bukan perbuatan kesatria. Sayang mengapa mereka yang begitu tangkas bisa
berbuat sedemikian rendah dan keji. Biarlah kuberi kisikan penghuni rumah ini,
agar terlepas dari jebakan keji, licik dan terkutuk, pikir Wirapati.
Berpikir
demikian ia memperhatikan gerak-gerik rombongan penari yang sedang sibuk
mengatur jebakan. Pagar tali yang direntangnya belum lagi setinggi leher. Cepat
ia mengumpulkan napas dan menjejak tanah. Segera ia melintasi tali beracun itu
dan hinggap di atas genteng. Kemudian meloncat ke talang air. Dibongkarlah
beberapa deret gen¬teng. Sambil meringkaskan tubuh, ia menerobos ke bawah.
Ruang
rumah panjang itu ternyata di bangun dalam beberapa sekat. Bagian depan
berderet empat buah kamar yang sama besar. Kemudian ruang tengah yang
memanjang. Di ujung sana nampak siku-siku jalan penghubung. Karena keadaan
gelap gulita, Wirapati tidak dapat melihat dengan jelas. Khawatir jika penghuni
salah sangka kepadanya, maka ia berjongkok kemudian berteriak,
"Aku
Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu hal yang harus
kusampaikan kepadamu. Kuharap jangan salah paham!"
Suaranya
cukup keras. la menunggu jawaban. Tapi dari dalam rumah tidak terdengar suatu
suara yang berkutik. Suasananya sunyi hening.
Wirapati
mengulangi perkataannya lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Tetapi tetap tak
terjawab. Suasana rumah bertambah sunyi he¬ning. la melangkah maju. Tiba-tiba
nampaklah sinar berkedip. Cepat ia berjongkok. Berteriak.
"Aku
Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu yang harus kusampaikan
...."
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 1 ROMBONGAN-PENARI YANG ANEH di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 1 ROMBONGAN-PENARI YANG ANEH"
Post a Comment