BENDE MATARAM JILID 43 ILMU SAKTI TUNGGULMANIK
Selamanya,
Sangaji selalu beragu dalam mengambil setiap keputusan. Hal ini disebabkan
hatinya terlalu sederhana dan mulia. Terhadap para pendekar yang menggerebeg
dataran tinggi Gunung Cibugis, ia tak mempunyai permusuhan langsung. Sebaliknya
apabila mereka hendak membasmi seluruh anggota Himpunan Sangkuriang, hatinya
tak rela. Setiap melihat kemungkinan itu, senantiasa berkelebatlah bayangan Ki
Tunjungbiru di dalam benaknya. Mengingat betapa kasih sayang orang tua itu
terhadapnya, ia seperti mempunyai kewajiban untuk membalas budinya. Coba
seumpama dahulu dia tidak diantarkan ke Pulau Edam untuk menghisap getah sakti
pohon Dewadaru serta tidak memperoleh petunjuk-petunjuknya dalam soal semedi,
pastilah dia bukan menjadi manusia seperti sekarang. Pada waktu itu, dari arah
Gedung Markas Besar keluarlah beberapa anggota Himpunan Sangkuriang yang sudah
tak bersenjata lagi. Di antara mereka nampak pendekar lnu Kertapati, Sidi
Mantera dan Kamarudin yang masih kena pengaruh racun asap. Dengan berbareng
mereka menyebut kebesaran Tuhan, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar!" Tiga kali beruntun, kemudian duduk bersimpuh di belakang
pemimpin-pemimpin mereka untuk menerima saat ajalnya. Hebat pengaruh pengliatan
itu terhadap Sangaji. Teringat betapa kejam Edoh Permanasari serta betapa licik
anak-anak murid Gunung Gembol, sirnalah semua keragu-raguannya. Melihat Jajang
Kartamanggala sudah hampir mencapai Andangkara, terus saja ia menyerobot masuk
ke dalam gelanggang pertarungan seraya berkata nyaring: "Nanti dulu! Caramu
hendak membuat perhitungan, begitu licik dan memalukan. Apakah engkau tidak
mempunyai kehormatan diri lagi? Mundur!" Karena didesak gelombang hati,
dengan tak sadar Sangaji sudah menggunakan tenaga saktinya penuh-penuh. Karuan
saja, suaranya meledak melebihi guntur. Pasukan yang sudah bergerak hendak
melakukan perintah Alang-alang Cakrasasmita, kaget mendengar suara bergemuruh
itu sampai mereka terpaku dengan tak disadarinya sendiri. Tak terkecuali semua
pendekar-pendekar besar yang memimpinnya. Sebaliknya, tidaklah demikian halnya
Jajang Kartamanggala. Melihat seorang pemuda cilik mendadak ikut campur
menyanggah kehendaknya, tangannya terus menjulur dengan maksud mendorong
Sangaji ke pinggir. Kemudian maju selangkah hendak membinasakan Andangkara. Tak
terduga, bahwa pemuda itu sesungguhnya sudah mengantongi kesaktian keris Kyai
Tunggulmanik. Tenaga saktinya luar biasa hebatnya. Dapat dikendalikan
sekehendaknya. Untuk melayani semua ilmu aliran sakti di manapun juga, tidak
akan mengecewakan. Sebab, guratan yang terdapat pada keris sakti Tunggulmanik
adalah puncak kesempurnaan hakekat ilmu manusia yang terdapat di persada bumi
ini. Maka begitu Jajang Kartamanggala bermaksud mendorongnya, justru kena
sebaliknya. Tiba-tiba saja, suatu kekuatan dahsyat berbalik mendorongnya.
Jajang Kartamanggala kena diseret arus gelombang tenaga sakti yang dahsyat luar
biasa itu. Tahu-tahu tubuhnya terpental di udara dan jatuh berjungkir-balik dua
tiga kali. Tatkala kaki kanannya mencoba bertahan, masih saja ia kena seret. Maka
untuk memunahkan tenaga dorong itu, ia terpaksa berjungkir balik lagi sampai
lima kali. Dengan demikian, tiba-tiba saja ia sudah berada di luar garis
gelanggang pertarungan. Mereka yang tidak mengerti apa sebab Jajang
Kartamanggala berjungkir balik selagi tangannya tinggal menghantam mampus
Andangkara, kaget dan terkejut. Akhirnya mereka mengira, bahwa Jajang
Kartamanggala sudah berhasil memukul Andangkara, lalu mundur dengan aksi
jungkir balik agar memperoleh pujian. Bukankah adiknya tadi juga bermain aksi
pula tatkala menggempur Andangkara dengan lewat udara? Terkejut dan bergusar
adalah Jajang Kartamanggala. Sejenak ia seperti kehilangan diri sendiri. Kemudian
bercelingukan hendak mencari kambing hitamnya. Mendadak melototi Nanang Atmaja
pendekar anak murid Mandalagiri. Terus mendamprat, "Hm... kalau memang mau
mencoba pukulan sakti Gumbala Geni, janganlah memukul secara menggelap. Itu
bukan ksatria." Didamprat tanpa perkara, sudah barang tentu Nanang Atmaja
berganti melototinya. "Kau kira apa aku ini sampai main gelap-gelapan
segala? Aku telah mengapakan dirimu? Kau sendirilah yang berpurapura aksi
berjungkir balik seolah-olah hendak mengesankan bahwa raja muda Andangkara
sudah memukulmu balik. Hm, aksi kampungmu macam begitu apa perlu kaupamerkan di
hadapan kita?" Jajang Kartamanggala terpaksa berpikir keras. Tadinya ia
mengira, Nanang Atmaja membantu Sangaji sewaktu ia bermaksud mendorongnya
pergi. Ternyata dia membantah keras. Dan nampaknya tidak berdusta. Memperoleh
kesan demikian, perlahan-lahan ia berputar menghadap Sangaji sambil menuding.
"Anak muda, kau siapa?" "Aku bernama Sangaji," sahut
Sangaji sambil membantu menyalurkan tenaga saktinya ke punggung Andangkara.
Suatu tenaga luar biasa kuat menyusup ke tubuh Andangkara pada saat itu juga.
Dan begitu tenaga sakti itu menggetarkan jantung serta mengalirkan darah,
Andangkara tersadar dengan sekaligus. Ia menyenakkan rnata. Tatkala melihat
wajah Sangaji, ia jadi terheran-heran. Sebagai seorang ahli, ia kaget menerima
bantuan suatu tenaga luar biasa dahsyat dari seorang anak muda yang belum
pernah dikenalnya. Begitu hebat tenaga sakti Sangaji sampai sebelum Jajang
Kartamanggala dapat menghampirinya kembali, jalan darahnya sudah lancar seperti
sediakala. Tak peduli belum kenal siapa yang membantunya, ia terus berkata
perlahan: "Anak muda terima kasih..." Setelah mengucapkan kata-kata
berterima kasih, mendadak ia melompat berdiri dengan gagahnya sambil berkata
nyaring: "Hai orang-orang dari Gunung Gembol, apa sih kehebatan pukulan
sakti yang kalian agung-agungkan? Pukulan Gumbala Geni? Hm... hayo maju, ingin
aku mencoba pukulan sakti yang kalian bangga-banggakan itu." Melihat
Andangkara tiba-tiba saja sudah bisa berdiri kembali dengan gagah perkasa,
bukan main kagetnya Jajang Kartamanggala. Hatinya lantas saja mengeluh. Memang
sesungguhnya dia jeri terhadap jago tua itu. Dahulu hari, pernah ia merasakan
kehebatannya. Maka terpaksalah ia menyahut dengan suara rendah, "Ilmu
Gumbala Geni memang dimasyhurkan orang sangat berlebih-lebihan. Tetapi apabila
kau mau mencoba, hayo bukalah dadamu. Aku akan memukulmu tiga kali beruntun
dengan janji kau tak boleh menangkis atau membalas menyerang. Dengan begitu
engkau akan merasakan betapa hebat ilmu sakti kami." Mendengar nama
Gumbala Geni, Sangaji mengerenyitkan dahi. Nama ilmu itu pernah ia dengar dari
kakek gurunya Kyai Kasan Kesambi. Itulah suatu ilmu yang konon dikabarkan untuk
menaklukkan iblis. Di Jawa Tengah, ilmu tersebut terkenal dengan nama: pukulan
iblis atau pukulan gandarwa. Sesungguhnya ilmu pukulan Gumbala Geni bukanlah
ilmu pukulan murahan. Kalau saja pemiliknya mempunyai tenaga sakti yang hebat,
tidaklah sembarang orang tahan menerima pukulan dahsyatnya. Tetapi Andangkara
yang gagah perkasa menyahut dengan suara berkobar-kobar: "Jangan lagi tiga
pukulan. Hayo pukullah aku dengan tiga puluh kali. Kalau ada sehelai rambutku
yang rontok ke bumi, nyatakan aku sudah kalah denganmu." Dengan mata
menyala ia menatap wajah Jajang Kartamanggala. Kemudian beralih ke pada
Alang-alang Cakrasasmita. Dan berseru nyaring, "Alang-alang Cakrasasmita!
Andangkara belum menyatakan kalah. Dengan sendirinya kau tak boleh melanggar
perjanjian. Perjanjian kita berbunyi, kalau Andangkara sudah mati, nah bolehlah
kalian bertindak membasmi semuanya. Sekarang lantaran Andangkara masih kuat
berdiri bunuhlah dahulu sampai mati." Hebat kata-kata Andangkara, sampai
Sangaji tergetar pula hatinya. Maka tahulah dia, bahwa terjadinya perang
tanding perorangan itu adalah akal Andangkara untuk mengulur waktu. Dengan
dipaksa mengikat suatu perjanjian bertanding perorangan, maka berarti pula
tidak boleh main keroyokan. Benar di pihaknya telah banyak yang terluka parah
ataii mati, namun hal itu berarti memberi kesempatan besar bagi Tatang Sontani
dengan rekan-rekannya untuk memulihkan tenaga saktinya yang tergempur oleh
serangan gelap Suryakusumah. Sekarang ia belum mengaku kalah. Maka aba-aba
Alang-alang Cakrasasmita untuk membasmi habis sisa anggota Himpunan
Sangkuriang, dengan sendirinya jadi batal. Maka terpaksalah Alang-alang
Cakrasasmita memberi isyarat agar menunda dahulu perintah pembasmiannya. Namun
keadaan Andangkara sebenarnya belum pulih benar-benar. Tenaga sakti yang
dimiliki kini semata-mata lantaran diperolehnya dari bantuan Sangaji. Kalau
memaksa diri untuk menerima pukulan sakti Gumbala Geni belum tentu dapat
bertahan. Hal itu sebenarnya telah diinsyafi pula. Soalnya dalam hatinya sudah
terjadi suatu keputusan hendak gugur demi membela Himpunan Sangkuriang
peninggalan Gusti Ratu Bagus Boang yang dihormati sampai ke dasar hatinya. Sangaji
sudah terlanjur memasuki gelanggang. Maka ia mendekati Andangkara. Berkata
membisiki, "Aki Andangkara, biarlah aku yang mewakili menerima pukulan
Gumbala Geni. "Bilamana aku tak sanggup, nah biarlah Aki maju lagi."
Andangkara menoleh dengan terharu. Mendengar anak muda itu menyebut dirinya
dengan Aki maka tahulah dia bahwa anak
muda itu bukan dari kalangannya. Ia tahu, tenaga sakti anak muda itu hebat.
Barangkali lebih hebat daripada dirinya sendiri dalam keadaan segar-bugar.
Namun apabila sampai menjadi korban pukulan sakti Gumbala Geni tanpa dasar
perjuangan, bukankah berarti suatu korban sia-sia belaka. Sebagai salah seorang
tokoh Himpunan Sangkuriang yang wajib bertanggung jawab atas baik buruknya
himpunannya, tak sudi ia membawa orang lain ke kancah masalahnya. Apalagi
sampai menjadi korban. Maka berkatalah ia di dalam hati, mungkin pula anak muda
ini dapat menggugurkan ilmu sakti Gumbala Geni. Namun walaupun kepandaiannya
tinggi untuk menghadapi perlawanan secara bergiliran, akhirnya ia akan terluka
lantaran lelah. Kalau sampai tewas hm... sungguh sayang nampaknya dia seorang
pemuda yang gagah perkasa serta luhur budi. Setelah memperoleh pertimbangan
demikian, dengan perlahan ia berkata kepada Sangaji, "Anak muda, kau
sebenarnya murid siapa? Rupanya engkau bukan anggota Himpunan Sangkuriang.
Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirimu, betapa aku harus bertanggung jawab
terhadap gurumu?" "Memang aku bukan anggota Himpunan
Sangkuriang," sahutnya. "Tetapi pernah aku menerima jasa-jasa
baiknya. Kemudian aku menerima undangan agar datang. Dalam sakuku ada sebuah
logam undangan. Kalau aku kini diberi kesempatan melawan musuh berdampingan
dengan Aki, alangkah besar rasa hatiku." Mendengar keterangan Sangaji,
Andangkara terhenyak keheranan. Sebagai seorang panglima Himpunan Sangkuriang
berpanji-panji Garuda Sakti dimana Suhanda termasuk salah seorang bawahannya,
sudah barang tentu ia mengerti tentang undangan itu. Maka suatu pertanyaan
bertumpuk-tumpuk merumpun dalam otaknya. Tatkala hendak membuka mulut. Jajang Kartamanggala
sudah nampak memasuki gelanggang sambil berseru, "Hai Andangkara! Majulah!
Kau bilang mau menerima tiga pukulanku." Sebelum Andangkara menyahut,
Sangaji sudah mendahului, "Raja muda Andangkara bilang kau tak pantas
melawan dia. Terlebih dahulu lawanlah aku! Kalau aku kalah, baru boleh
bergebrak dengan dia." Mendengar ucapan Sangaji, Jajang Kartamanggala
merasa terhina. Membentak dengan gusar, "Bangsat cilik! Kau manusia macam
apa sampai berani menerima tiga pukulan sakti Gumbala Geni?" Didamprat
demikian, timbullah suatu pikiran dalam hati Sangaji. "Benar! Aku seorang
diri. Betapa mungkin aku sanggup mengalahkan mereka seorang demi seorang.
Satu-satunya jalan aku harus menghancurkan inti ilmu kebanggaan masing-masing
perguruan mereka." Seperti diketahui, ilmu warisan keris Kyai Tunggulmanik
merupakan puncak inti hakekat semua ilmu sakti di seluruh jagat raya. Meskipun
Sangaji belum pernah mengenal macam ilmu sakti Gumbala Geni, namun ia pernah
menerima penjelasan-penjelasan dari kakek gurunya Kyai Kesambi. Dengan
sendirinya ia tak menemui kesulitan lagi untuk memecahkan. Maka dengan suara
pasti ia berkata, "Ilmu sakti Gumbala Geni memang hebat. Semua orang gagah
di seluruh Nusantara mengagumi. Bukankah ilmu sakti tersebut berasal dari Warok
Suramenggala pada zaman Majapahit? ) tetapi kalau kau mengira, ilmu Gumbal Geni
merupakan ilmu pukulan tersakti di atas dunia ini adalah salah." Mendengar
ucapan Sangaji bergaya seorang guru, Jajang Kartamanggala mendongkol bukan
main. Katanya, "Kau bangsat cilik ini tahu apa tentang hebatnya ilmu
Gumbala Geni? Apakah kau ini penjelmaan malaikat?" Direndahkan demikian,
Sangaji tetap bersikap tenang. Sebaliknya semua yang mendengar tangkisan Jajang
Kartamanggala tertawa bergemuruh. Terdengar suara nyeletuk, "Hai bangsat
cilik! Kau sebenarnya murid siapa sampai berani ngoceh tak keruan?"
"Bocah ingusan itu barangkali tak waras. Buat apa mendengarkan pidato
orang tak waras?" seru lainnya. Dan kembali lagi mereka tertawa
bergemuruh. Dan mendengar suara tertawa bergemuruh yang bernada mengejek itu
yang paling resah adalah Manik Angkeran. Tetapi melihat Sangaji tetap
tenang-tenang saja, hatinya agak sedikit terhibur. Tiba-tiba Sangaji berkata
lantang, "Tuan-tuan! Untuk apa Tuan-tuan sekalian saling bermusuhan dan
saling bunuh membunuh? Bukankah Tuan-tuan sekalian sedarah dan sebangsa? Coba
aku ingin berbicara dengan ketua persekutuan penggerebegan." Kata-kata
Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan terang walaupun di tengah gemuruh
tertawa riuh rendah. Dan hebatnya, tiap orang dapat menangkap setiap patah
kata-katanya dengan jelas. Keruan saja jago-jago tujuh aliran yang mendaki
dataran tinggi Gunung Cibugis terkesiap semua. Diam-diam mereka membatin,
"Bocah ini masih muda belia, apa sebab ilmu saktinya begini dahsyat?"
Dalam pada itu muncullah seorang laki-laki berberewok bersenjata sebuah tongkat
besar. Dialah Andi Apenda salah seorang murid perguruan Gunung Kencana. Dengan
mengulum senyum dia berkata, "Kau ini sebenarnya setan dari mana sampai
berteriak-teriak tak keruan juntrungnya?" "Apakah Tuan yang menjadi
ketua persekutuan?" Sangaji menegas. "Hm, untuk meladeni orang
gendeng seperti kau, masakan perlu ketua kami segala?" sahut Andi Apenda
cepat. "Apakah kau sendiri Ketua Himpunan Sangkuriang? Bih, bih! Kalau
benar engkau Ketua Himpunan Sangkuriang, aku sendiri menganggap dirimu tak
lebih dan tak kurang adalah anak seorang janda. Anak seorang janda rudin.
Daripada kau berteriak-teriak tak keruan juntrungnya, lekaslah pulang! Siapa
tahu, selagi kau gembar-gembor di sini, ibumu dikawini orang!" Sebenarnya
ejekan Andi Apenda adalah sekenanya saja. Tak tahu, bahwa ejekannya itu justru
tepat mengenai sasaran yang paling menyakitkan hati. Sangaji adalah anak
seorang janda yang miskin. Terhadap ibunya, Sangaji menghormati dan menjunjung
tinggi melebihi jiwanya sendiri. Sekarang ia mendengar ibunya dihina
seolah-olah tak lebih daripada seorang janda pasaran. Keruan saja suatu
gumpalan perasaan meledak dalam dadanya. Pemuda yang biasanya sangat sabar
melebihi seorang pendeta itu, tiba-tiba saja tak sanggup lagi menguasai luapan
perasaannya. Meskipun semenjak tadi, ia selalu menyadarkan diri sendiri, bahwa
tujuannya yang pokok ialah berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan kedua
pihak agar di kemudian hari merupakan suatu himpunan perjuangan rakyat seluruh
Jawa Barat. Ternyata kini ia seperti lupa daratan. Sekali melompat tangannya
menjangkau tubuh Andi Apenda. Dengan kegesitan yang sukar dilukiskan, ia
mencengkeram punggung Andi Apenda dan diangkatnya ke atas. Kemudian tangan kanannya
merampas tongkat besi Andi Apenda dengan sekali hentak. Kena diterkam Sangaji
yang memiliki tenaga dahsyat, Andi Apenda mati kutu dengan tiba-tiba. Tenaganya
sirna dan lumpuh sekaligus. Ia tak ubah seekor anak ayam kena cengkeram seekor
elang. Melihat berkelebatnya tangan kanan Sangaji hendak mengemplang kepalanya
dengan senjata tongkat besinya yang berat dan gede, terus saja ia menutup
matanya rapat-rapat. Tetapi kalau nasib masih baik, sekonyong-konyong
melompatlah dua orang rekannya ke gelanggang. Sukra dan Kusna, namanya. Mereka
berdua adalah kakak seperguruannya. Dengan bersenjata tongkat besi raksasa
pula, mereka langsung merangsang dan berbareng mengemplang tubuh Sangaji. Hebat
dan berbahaya benar cara mereka berdua menyerang. Yang satu dari samping
mengarah kepala. Lainnya membabat kaki mengarah pinggang. Tujuan serangan
demikian ialah agar Sangaji melepaskan Andi Apenda dari cengkeramannya. Apabila
masih membandel, ia tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Tetapi
sambil menjinjing Andi Apenda di tangan kiri dan tangan kanan tetap menggenggam
tongkat besi raksasa, tiba-tiba Sangaji menggenjot kedua kakinya dan terus
meletik ke udara. Kedua penyerangnya sama sekali tak menduga dia bisa lolos
dengan terbang ke atas. Keruan saja mereka bertubrukan. Untung sekali senjata
mereka masing-masing tidak mengemplang kepala mereka. Di bawah pekik kaget para
pendekar, Sangaji membawa Andi Apenda mengapung di udara. Dengan sedikit
berputaran ia turun * ke bumi enteng sekali. Pendekar Sindung Riwut pemimpin
penyerbuan dari perguruan Gunung Gembol tiba-tiba berteriak. "Hai.
Bukankah itu ilmu meletik ke udara ajaran Gunung Damar?" Sudahlah menjadi
suatu kelaziman, bahwa tiap-tiap perguruan mengenal corak serta macam ajaran
perguruan lainnya. Pelajaran itu termasuk pengetahuan umum. Tujuan pokok
pengetahuan umum itu, agar bisa berjaga-jaga dalam membawa diri. Memang apa
yang diperlihatkan Sangaji tadi ialah ilmu meletik ke udara ajaran Kyai Kasan
Kesambi yang dipelajarinya lewat gurunya, Wirapati. Karena seringnya ia
menekuni ilmu itu, dalam keadaan terjepit mendadak saja tanpa berpikir lagi
terus menggunakan ilmu meletik untuk menghindari serangan gencetan yang sangat
berbahaya. Loncatan meletik ke udara, sebenarnya dapat dilakukan oleh beberapa
pendekar lainnya. Seperti Kusuma Winata dengan sekalian adik seperguruannya
atau Edoh Permanasari serta beberapa murid pilihannya. Tetapi kalau sebelah
tangan menjinjing tubuh segede Andi Apenda berbareng membawa sebuah tongkat
raksasa terbuat dari besi dan kegesitan corak loncatannya harus sama ringannya
dengan membawa dirinya seorang, itulah sesuatu hal yang tak dapat mereka
lakukan. Para pendekar golongan Gunung Kencana mati kutu melihat Andi Apenda
jatuh di dalam cengkeraman Sangaji. Mereka berada pada jarak sepuluh meteran. Untuk
berusaha menolong menyelamatkan rekannya itu, tidak mungkin lagi. Sebab sekali
Sangaji mengemplang kepala Andi Apenda dengan tongkat besi yang dirampasnya,
dia akan mampus dengan kepala pecah sumyur. Siapakah di dunia ini yang sanggup
bergerak melebihi kecepatan ayunan tangan yang tinggal turun saja. Maka mereka
hanya berdiri tegak dengan doa panjang pendek. Pendekar-pendekar yang datang
meluruk ke dataran tinggi Gunung Cibugis adalah pendekar-pendekar kelas satu.
Seperti, Kusuma Winata, Panjang Mas dari Gunung Kencana, Ratu Kenaka dari
Gunung Aseupan. Begog dan Sianyer dari Muarabinuangeun, Alang-alang
Cakrasasmita dari Gunung Gilu dan Sindung Riwut pendekar sakti dari Gunung
Gembol. Namun menghadapi Sangaji mereka tak berdaya sama sekali. Sebab gerakan
Sangaji meletik ke udara terjadi dengan tiba-tiba. Seumpama dapat menebak
pastilah mereka akan menghujani senjata sebelumnya, untuk menolong Andi Apenda.
Pada saat" itu Sangaji sedang menerkam tongkat besi raksasa erat-erat.
Pandangnya penuh rasa benci serta gemas. Perlahan-lahan ia mengangkat tongkat
besinya dan tinggal menurunkan deras. Dan kepala Andi Apenda akan remuk
berantakan. Melihat adegan ngeri itu, banyak kawan-kawannya yang menutup mata.
Tetapi kakak-kakak seperguruannya bersiaga untuk segera mengkerubut membalaskan
dendam. Tak terduga, bahwa tangan Sangaji yang sudah mengangkat tongkat besi
itu tidak juga segera mengemplangkan. Air mukanya berubah-ubah. Terang sekali
di dalam hati pemuda itu sedang bergumul suatu derum hati yang saling
mengendapkan. Dan tiba-tiba ia menurunkan tongkat besinya, kemudian meletakkan
tubuh Andi Apenda perlahan-lahan ke tanah. la menarik napas panjang.
Sesungguhnya dalam sekejap itu, timbullah suatu perjuangan seru dalam hati
Sangaji. Teringat betapa tajam penghinaan Andi Apenda kepadanya ingin ia
mengemplangnya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Tetapi tiba-tiba
timbullah suatu pikiran lain entah dari mana asalnya. Begini bunyinya, kalau
aku membinasakan salah seorang di antara ketujuh aliran sakti yang mendaki
dataran ketinggian Gunung Cibugis, bukankah aku lantas menjadi musuh ketujuh
golongan besar ini? Dan sekali bermusuhan selamanya aku takkan mendapat
kepercayaan mereka untuk mempersatukan. Dengan begitu aku akan gagal,
semata-mata karena menuruti luapan rasa hatiku sendiri. Aku harus berani
menahan hati. Tak peduli betapa mereka menghina aku. Darimanakah asal datangnya
suara hati itu? Dasar hati Sangaji adalah jujur, sederhana dan mulia. Pada saat
itu ia menghadapi suatu masalah yang maha besar dan luar biasa sulitnya.
Sehingga secara wajar, banyak ia menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasa.
Dan karena itu banyak menggunakan getaran rasa, secara naluriah tergetarlah
darahnya. Seketika itu juga terjadilah suatu gelombang dahsyat dalam diri
Sangaji. Seperti diketahui dalam diri Sangaji mengalirlah ilmu sakti
manunggalnya getah sakti Dewadaru, madu Tunjungbiru, ilmu sakti Kumayan Jati,
ilmu Kyai Kasan Kesambi dengan guratan keris sakti Kyai Tunggulmanik warisan
ilmu sakti pada zaman 4900 tahun yang lalu. Ilmu sakti tersebut secara otomatis
akan bekerja apabila kena sentuh dari luar. Tapi sekarang sama sekali tiada
persentuhan dari luar. Yang ada hanya getaran rasa. Maka dalam sekejap itu
terjadilah suatu perkembangan baru di dalam diri Sangaji di luar pengamatan
manusia. Sekonyong-konyong dunia pikiran Sangaji seperti terbuka dengan tak
disadarinya sendiri. Pikirannya lantas menjadi tajam luar biasa. Maka benarlah
konon yang dikabarkan dalam kisah sejarah bahwa pusaka sakti di kemudian hari menjanjikan
kepada pemiliknya akan menjadi manusia yang berotak cerdas. Tapi dasar watak
Sangaji sederhana, berhati polos serta mulia, maka perubahan itu tidak nampak
dari luar. la tetap seperti sediakala, sebagai seorang pemuda yang tak pandai
berbicara dan berhati beku. Demikianlah setelah Sangaji memperoleh bentuk
pikirannya secara tak disadarinya sendiri, ia segera membebaskan Andi Apenda.
Katanya kemudian dengan tenang, "Aku memang anak seorang janda. Seorang
janda yang terpaksa hidup berlarat-larat sampai di Jakarta. Lantaran ditinggal
suaminya gugur dalam suatu pertarungan. Apakah buruknya anak seorang janda?
Apakah menurut pendapatmu, ibuku tak berhak lagi hidup tenteram sebagai manusia
lainnya? Karena kebetulan sudah menjadi janda?" Andi Apenda tertegun-tegun.
la telah lolos dari suatu maut secara ajaib. Keduanya sama sekali tak pernah
menduga bahwa ejekannya merupakan suatu hal yang sangat menusuk hati Sangaji,
karena kebetulan pemuda itu anak seorang janda pula. Maka tatkala Sangaji
mengangsurkan tongkat besinya, dengan menundukkan kepala dia menerima
senjatanya kembali dengan tersipu-sipu. Setelah Andi Apenda keluar gelanggang
perhatian penonton beralih kembali kepada Jajang Kartamanggala. Pendekar ini
diam-diam menjadi kecil hati, menyaksikan kepandaian Sangaji yang berada di
luar kemampuannya sendiri. Seumpama tidak di depan mata para pendekar di
seluruh Jawa Barat, sudah sedari tadi dia menyelinap keluar gelanggang dengan
diam-diam. Apa boleh buat sekarang sudah kepepet. Maka teriaknya nyaring, "Hai
anak muda! Kau tadi ingin berbicara dengan ketua kami. Sebenarnya siapakah yang
mendalangi engkau? Bilanglah yang terang, barangkali aku masih bisa
mengampuni." "Aku datang ke mari atas namaku sendiri. Meskipun aku
dibesarkan di Jakarta, tetapi aku berasal dari Jawa Tengah. Sekarang aku
melihat dan menyaksikan betapa para pendekar Jawa Barat saling bertengkar dan
bunuh membunuh. Menuruti kata hatinya, aku memberanikan diri untuk tampil ke
muka agar kalian bersatu padu." "Hm, aku kau suruh berdamai dengan pihak
Himpunan Sangkuriang? Itu tidak mudah. Bangsat tua Andangkara masih berutang
tiga kali pukulan sakti Gumbala Geni. Suruhlah dia membayar utangnya dahulu!
Dan nanti baru kita berbicara." Setelah berkata demikian ia menggulung
lengan bajunya. "Rupanya engkau paling senang membicarakan ilmu sakti
Gumbala Geni. Baiklah memang hebat ilmu sakti tersebut. Tetapi sayangnya,
engkau tidak sedahsyat pemiliknya dahulu. Apa yang kau capai belum lagi jatuh
separohnya," kata Sangaji sambil tersenyum. "Kau bilang apa?"
bentak Jajang Kartamanggala. "Aku bilang, engkau belum mencapai
separohnya. Itu malah kebetulan. Sebab kalau engkau berani maju satu tingkat
lagi, jiwamu akan terancam suatu kematian runyam." "Darimana kau
tahu?" Jajang Kartamanggala penasaran. "Sebab tenaga dasarmu belum
kuat. Seumpama sebuah balon kau akan meledak apabila menambah satu tiupan
lagi," sahut Sangaji. Mendengar ceramah Sangaji, wajah Jajang
Kartamanggala berubah hebat. Ia melihat pemuda itu berkata dengan
setulus-tulusnya. Tidak mungkin berdusta. Teringat betapa dahsyat tenaga sakti
pemuda itu, ia akan dapat membuktikan manakala diajaknya bertanding mengadu
kekuatan. Sebaliknya anak Gunung Gembol angkatan muda yang masih berdarah
panas, mendongkol mendengar ujar Sangaji. Terus saja mereka memaki-maki kalang
kabut. Di luar dugaan Jajang Kartamanggala maju selangkah sambil berkata
menegas. "Kau bilang, aku bisa mati runyam manakala aku mencapai satu
tingkat lagi, Agaknya keteranganmu masuk akal pula. Tapi masakan ilmu pukulanku
tiada gunanya?" Sangaji menggeleng kepala sambil menjawab, "Tenaga
sakti Gumbala Geni yang kau-miliki sekarang memang dapat menggertak
kurcaci-kurcaci. Tetapi berhadapan dengan seorang seperti raja muda Andangkara,
sama sekali tiada guna. Malahan engkau bisa berada dalam bahaya."
"Bahaya bagaimana?" "Sebab bilamana lawanmu seorang yang
memiliki tenaga sakti melebihi dirimu, maka pukulanmu akan terpental berbalik
memukulmu," sahut Sangaji dengan sungguh-sungguh. Tetapi berbareng dengan
itu, berkelebatlah sesosok bayangan yang terus memukul punggung Sangaji sambil
membentak, "Coba rasakan, kau bisa hidup tidak?" Cepat sekali gerakan
penyerang itu, sampai semua orang terkesiap. Dan dia adalah Aceng Suwirya kakak
seperguruan Jajang Kartamanggala. Betapa hebat pukulannya tidak usah diragukan.
Tenaga saktinya setingkat lebih tinggi daripada Jajang Kartamanggala. Maka
dapat dibayangkan akibat pukulannya. Apalagi mengenai punggung dengan telak.
Siapa saja akan terjungkal melontakkan darah. Dan jiwanya takkan tertolong
lagi, walaupun umpamanya ada malaikat turun dari langit. Gerakannya yang cepat
itu, bagi Sangaji mudah untuk mengelakkan. Tetapi Sangaji sudah memutuskan
hendak menaklukkan pendekar-pendekar penyerbu dengan berbareng, agar dapat
dihindari pertarungan secara bergiliran. Maka ia sengaja menerima pukulan
Gumbala Geni tanpa mengelak sedikitpun jua. Tatkala itu terdengarlah suara
langkah tertatih-tatih sambil mendamprat. "Bagus ya! Kau sampai memukul
dengan cara menggelap. Macam ksatria apa?" Dialah Manik Angkeran.
Kesehatannya belum pulih kembali. Tetapi berkat pertolongan tenaga sakti
Sangaji serta pengetahuannya sendiri tentang rahasia ilmu pertabiban, ia sudah
sanggup bergerak. Kalau perlu masih bisa dia berkelahi meskipun untuk
selintasan. Namun melawan Aceng Suwirya sudah barang tentu dia bukan merupakan
lawan yang berarti, sekalipun andaikata dalam keadaan segar bugarpun. Maka baru
ia mengangkat tangan, ia sudah kena terpentalkan ke samping. Dan sekali lagi
Aceng Suwirya menggebuk punggung Sangaji dengan tepat sampai dua kali
berturut-turut. Dipukul demikian, Sangaji seperti kebal dari segala. Ia pun
tidak mengadakan suatu pembelaan untuk memukul balik penyerangannya. Bahkan ia
lantas berkata kepada Manik Angkeran dengan tersenyum. "Tak usahlah engkau
khawatir. Pukulan Gumbala Geni dengan tenaga semacam ini, sedikitnya tiada
gunanya." Mendengar keterangan Sangaji, barulah Manik Angkeran bernapas
lega. Dengan wajah menyatakan rasa kagum dan penuh pengertian, ia menyahut:
"Ah, ya, bukankah engkau cucu murid Kyai Kasan Kesambi..." sampai di
sini ia cepat-cepat menutup mulutnya. Kemudian dengan terpincang-pincang ia
kembali ke tempatnya semula. Menyaksikan adegan serta mendengar keterangan
Sangaji, jago dari Gunung Gembol itu seperti bermimpi di siang hari. Heran ia
mengamatamati wajah Sangaji yang menentangnya dengan tenang-tenang. Setelah
beberapa saat baru ia membuka mulut, "Apakah perguruan Kyai Kasan yang
termasyhur pula sampai di Jawa Barat, mengajarkan ilmu kebal ini?" Dengan
sedikit mengangguk, Sangaji menjawab: "Aku memang cucu murid Kyai Kasan
Kesambi. Tetapi kalau dibandingkan dengan kesaktian kakek guruku bagaikan bumi
dan langit..." Sebagai anak-murid yang mendalami ilmu sakti Gumbala Geni,
ia percaya tentang ilmu kebal Warok Suramenggala yang hidup pada zaman Majapahit
dahulu terkenal akan kekebalannya. Dan pendekar sakti itulah yang mewariskan
ilmu pukulan sakti Gumbala Geni. Dahulu Warok Suramenggala pernah bertempur
tiga hari tiga malam melawan Warok Cadarma. Karena mereka berdua sangat kebal
dan bertenaga sakti seimbang, maka hampir saja tidak dapat memutuskan siapakah
yang lebih unggul. Akhirnya hanya karena kelalaian sedikit saja, Warok Cadarma
kena digempur sampai tewas. Ialah pada bagian mulutnya sewaktu diajak
berbicara. Memang selagi mengadu kekuatan sakti, berbicara merupakan pantangan
besar. Kini, ia melihat Sangaji sedang berbicara. Tak sudi ia menyia-nyiakan
kesempatan yang bagus itu. Dengan menggerung ia melompat dan menggempur tubuh
Sangaji dengan seluruh kekuatannya. Tetapi sekali lagi tertegun keheran-heranan.
Sangaji ternyata tak bergeming. Bahkan pemuda itu lantas tertawa sambil
berkata, Tadi sudah kukatakan manakala kalian sudah memiliki tenaga sakti
tinggi kalian dapat bertempur sambil berbicara. Dan sekali menggempurkan tenaga
sakti pukulan Gumbala Geni, maka dahsyatnya tak dapat dilukiskan. Tapi apa yang
kalian miliki sekarang tidak berarti. Kau tak percaya? Nah, pukullah sekali
lagi. Sepuluh dua puluh kali, boleh juga. Silakan!" Benar juga. Aceng
Suwirya yang penasaran terus menggebuki Sangaji dengan pukulan dahsyat lebih
dari sepuluh kali, Tidak hanya menghantam punggung saja, tetapi juga kepala,
mulut, perut dan pinggang. Namun Sangaji-tidak bergeming sama sekali. Kini
tidak hanya Aceng Suwirya dan Jajang Kartamanggala yang terheran-heran tetapi
para pendekar kedua belah pihak jadi gempar. Mereka semua tahu betapa dahsyat
pukulan ilmu sakti Gumbala Geni seumpama sebuah bukitpun bisa runtuh
berguguran. Walaupun kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, namun betapa berbahaya
ilmu sakti tersebut di tangan para pendekar kelas satu tidak dapat dibantah
lagi. Anak murid Mandalagiri yang masih mendongkol terhadap kelicikan
pendekar-pendekar Gunung Gembol, terus saja mengejek. "Kabarnya pukulan
Gumbala Geni dapat menggugurkan gunung. Tak tahunya cuma bisa menggugurkan
semangatnya sendiri. Ai... ai... sungguh hebat!" Yang lain berkata lagi,
"Pantas pendekar yang berilmu Gumbala Geni hanya berani berhadapan dengan
lawan yang sudah luka parah. Sungguh seorang ksatria jempolan!" Mendengar
bunyi ejekan itu, muka Jajang Kartamanggala merah padam. Meskipun tidak
langsung menyebut namanya, namun dia merasa sendiri. Seketika itu juga
meledaklah amarahnya. Sekali maju selangkah, ia menghantam dada Sangaji. Bres!
Kakak seperguruannya membarengi pula memukul dari belakang. Dengan begitu,
Sangaji kena gencet. Orang-orang terkesiap. Mereka berpikir, kalau tidak tewas,
pada saat itu juga, pastilah tulang-belulangnya akan remuk. Tetapi sekali lagi,
Sangaji menunjukkan kelebihannya. Getah sakti Dewadaru yang mengalir dalam tubuhnya
lantas saja bekerja. Kedua tangan lawannya kena dihisap. Aceng Suwirya dan
Jajang Kartamanggala kaget setengah mati. Buru-buru mereka hendak menarik
tangannya, namun sudah kasep. Tangannya terlengket. Untung Sangaji tiada
berniat jahat. Ia bahkan mengirimkan tenaga saktinya, sehingga badan kedua anak
murid Gunung Gembol malahan terasa menjadi nyaman sekali. "Beginilah baru
benar," kata Sangaji dengan berbisik. "Jalan darah kalian sudah
tertembus. Di kemudian hari, kalian akan dapat mencapai tingkatan ilmu sakti
Gumbala Geni lebih tinggi lagi. Sekarang biarlah kubuktikan, manakala musuh
kalian bermaksud mementalkan kalian. Awas!" Setelah berkata demikian,
kedua tubuh anak murid Gunung Gembol tiba-tiba saja terpental ke udara. Dan
dengan berjungkir-balik mereka turun ke tanah. Ajaibnya begitu kepalanya
menukik nyaris terbentur tanah, sekonyong-konyong membalik dengan cepat.
Berbareng dengan gerakan itu, mereka sudah berdiri tegak di atas tanah dengan
tak kurang suatu apa. Betapa garang mereka tapi kena diperlakukan demikian,
sirnalah rasa permusuhannya. Seperti berjanji mereka membungkuk hormat dan
berjalan keluar gelanggang dengan muka pucat lesi. Itulah untuk yang pertama
kalinya, mereka merasa takluk benar: benar terhadap seorang lawan. Sangaji lalu
memanggil Manik Angkeran. Berkata, "Paman! Sekarang aku membutuhkan
tenagamu." "Mengapa paman?" Manik Angkeran menegas dengan
pandang heran. Sangaji terdiam sejenak. Sekilas berkelebatlah bayangan Fatimah
di depan matanya. Tapi pada waktu itu juga, teringatlah dia betapa Manik
Angkeran gusar tatkala anak-anak murid Tatang Manggala menyebut nama Fatimah di
depan pertapaan tabib sakti Maulana Ibrahim. Hampir ia berkata, "Fatimah
tunanganmu adalah adik guruku Wirapati. Dengan sendirinya aku harus menyebutmu
dengan paman..." Tapi kemudian berlatih cepat. "Eh... Maksudku adik.
Maaf." Manik Angkeran memandangnya dengan mata penuh selidik. Maka
cepat-cepat Sangaji membelokkan perhatian. "Kau tolonglah anak murid
Gunung Gembol. Dengan begitu, kau akan dapat menolong kelangsungan hidup
Himpunan Sangkuriang." Manik Angkeran mengalihkan pandang kepada
Kartasasmita yang masih saja belum dapat berkutik di dekat Andangkara. Sebagai
seorang tabib yang merasa diri mampu untuk menolong menyembuhkan, sudah sedari
tadi ia ingin bekerja. Sekarang di depan ratusan orang, ia mendapat kesempatan
untuk memperlihatkan sedikit kecepatannya. Sudah barang tentu, ia merasa diri
memperoleh kehorrsan besar. Terus saja, ia menyingsingkan tengan dan kemudian
menyambung tulang-tulang Kartasasmita dengan cekatan. Setelah itu ia minta
beberapa obat sambung tulang dari para pendekar yang sudi memberi bantuan.
Dengan begitu, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat. "Maksud
Saudara memang bagus," tiba-tiba terdengar seorang berkata. "Tetapi
janganlah mengharap, bahwa dengan jasa-jasa baikmu lantas kami merasa
berkewajiban memenuhi permintaanmu agar mengampuni bangsat-bangsat Himpunan
Sangkuriang. Mana bisa begitu? Kalau kau menjadi kecewa atas pernyataanku ini,
nah patahkan sekali lagi tulang-tulang muridku itu. Aku gurunya, Sindung Riwut
namaku." Mendengar nama Sindung Riwut, gemparlah para pendekar kedua belah
pihak. Ya, siapakah yang tak kenal nama yang menakutkan itu. Ia berperawakan
pendek tipis dengan rambut putih terurai panjang. Pandangan matanya menyala.
Hidungnya bengkok seperti burung betet. Giginya belingsatan sehingga lebih
menyerupai kumpulan taring. Dengan begitu muka berkesan kejam serta bengis.
"Hai, anak muda! Siapa namamu?" bentaknya. "Asal dari mana
sampai berani memberi ceramah perkara Gumbala Geni segala...." "Anak
muda, hati-hati!" Andangkara memperingatkan. Sebagai seorang pemuda yang
sudah memiliki puncak semua tenaga sakti serta puncak ilmu sakti di jagat ini,
sudah barang tentu ia mengetahui tinggi rendahnya tenaga sakti lawan dengan
otomatis. Namun melihat majunya Sindung Riwut ia masih nampak acuh tak acuh
saja. Katanya tenang, "Namaku Sangaji anak seorang janda miskin.
Mengapa?" "Kau mengoceh perkara Gumbala Geni. Apakah kau sudah
mengenal kehebatan ilmu sakti tersebut?" "Ilmu sakti di seluruh dunia
ini, bukanlah bersumber satu? Kalau saja pukulan Gumbala Geni dilakukan
seseorang yang sudah memiliki tenaga penuh, siang-siang aku akan lari menjauhi.
Lihat!" Terhadap seorang yang berusia tua selamanya Sangaji menaruh hormat
kepadanya. Tak peduli dia berada di pihak mana. Dan kembalilah sifatnya yang
asli. lalah tak senang banyak berbicara. Maka segera mengalihkan pandang ke
arah sebatang pohon sebesar sepelukan orang. Setelah semua penonton memutar
kepalanya, ia terus menghantam dari tempatnya. Sangaji sudah mahir dalam ilmu
sakti Kumayanjati. Karena tenaga saktinya melebihi tenaga sakti Gagak Seta,
maka dahsyatnya jauh melebihi. la tahu, bahwa inti pukulan Gumbala Geni ialah
merupakan urat nadi berbareng tulang belulangnya. Hal itu baru diketahui
setelah seminggu kemudian. Ini terlalu lama dan bukan maksudnya untuk
memamerkan tenaga saktinya. Tujuannya yang pokok ialah hendak menggertak. Maka
ia menggunakan ilmu sakti Kumayanjati yang keras dan lembek dengan berbareng.
Tak mengherankan bahwa pada saat itu juga, terdengarlah suara gemeretak. Dahan
sekalian ranting dan mahkota daunnya, terbang berhamburan. Yang tinggal hanya
batang pohonnya tak ubah sebatang pohon kelapa kena tersambar geledek.
Menyaksikan pukulan sedahsyat itu, semua pendekar kagum. Hati mereka tercekat.
Pikir mereka, ia memukul dari jarak jauh. Sekalipun demikian akibatnya begitu
hebat. Apalagi kalau memukul langsung, barangkali pohon itu tumbang
berkeping-keping.... Tetapi Sindung Riwut terdengar tertawa berkakakan.
Katanya, "Itu kan bukan ilmu sakti Gumbala Geni. Mana dapat
kauingusi?" Tetapi sebentar kemudian terdengarlah suara beberapa orang
menyatakan kagum luar biasa. Ternyata pohon itu tidak hanya patah berantakan,
tetapipun urat-uratnya hangus remuk. Apalagi kalau bukan akibat getaran pukulan
ilmu sakti Gumbala Geni? Sebentar mereka heran ternganga-nganga, kemudian
menyusullah sorak-sorai gemuruh sampai lama sekali. "Guru!" seru
Jajang Kartamanggala. "Memang benar. Inilah Gumbala Geni." "Kau
tahu apa?" bentuk Sindung Riwut. Kemudian beralih kepada Sangaji.
"Anak muda, kau memang hebat! Tapi untung mataku belum lamur."
Mendengar ujar Sindung Riwut, diam-diam Sangaji kagum padanya. Pikimya dalam
hati: "Orang tua ini memang hebat. Ilmu Gumbala Geni berpokok pada pukulan
keras dan lembek berbareng. Akupun tadi menggunakan ilmu Kumayanjati keras dan
lembek dengan berbareng pula. Namun masih bisa dia membedakan." "Kau
tadi bisa mengoceh perkara Gumbala Geni. Coba terka, apa ini!" bentak
Sindung Riwut dengan suara mengguntur. Belum lagi Sangaji menentukan sikap,
Sindung Riwut sudah melompat mencengkeram kepala. Melihat gerakan tangannya,
Andangkara yang berada tak jauh dari Sangaji segera memberi peringatan lagi.
"Awas! ltulah Gumbala Geni. Jangan berkhayal dahulu!" Bukan main
dahsyat serangan itu. Maklumlah, Sindung Riwut bukan seperti Aceng Suwirya atau
Jajang Kartamanggala. Dialah gurunya yang sudah menyelami inti ilmu sakti
Gumbala Geni semenjak belasan tahun yang lalu. Tenaga saktinya hampir sejajar
dengan ketujuh tokoh sakti di Jawa Tengah. Karena itu, serangannya menerbitkan
kesiur angin bergulungan serta berhawa panas. Tetapi dengan sedikit mengelakkan
diri, Sangaji luput dari serangannya. Para pendekar yang menumpahkan seluruh
perhatiannya semenjak Sangaji memperlihatkan sedikit kepandaiannya, tidak dapat
menangkap gerakan Sangaji yang cepat dan ajaib. Mereka hanya melihat gerakan
Sangaji yang enteng luar biasa dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di luar
bidang serangan lawan. Akan tetapi Sindung Riwut adalah satu di antara ke tujuh
jago kelas utama di Jawa Barat. Ilmu sakti Gumbala Geni yang ditekuninya
semenjak masa mudanya, sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sangaji sendiri
tadi mengakui, bahwa apabila seseorang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, ia
sendiri akan lari jauh-jauh sebelum kena pukulan ilmu sakti Gumbala Geni yang
memang hebatnya tiada taranya. Itulah sebabnya pula, ia tak berani menyongsong
serangan Sindung Riwut. Maka begitu serangannya kena dielakkan, Sindung Riwut
terus menyusulkan serangannya yang kedua. Kali ini lebih cepat dan lebih hebat.
Tetapi sekali lagi, Sangaji dapat mengelakkan serangan itu dengan enteng di
luar pengamatan mata. Tak terduga, mendadak Sindung Riwut telah mencegat dengan
serangannya yang ketiga, keempat dan kelima yang dilontarkan secara
berturut-turut. Begitu cepat serangannya itu, sehingga tubuh Sindung Riwut
berkelebatan tak ubah raksasa menggunturi pintu kahyangan para dewa. Kali ini,
Sangaji benar-benar repot. Ia tak dapat main mengelak lagi. Dalam kegugupannya,
tiba-tiba baju lengannya kena sobek. Bret! Gesit ia melompat ke samping. Namun
tak urung lengannya nampak terkena cakaran yang segera mengeluarkan darah bertetesan.
Melihat Sangaji terluka, para pendekar di pihak penyerbu bersorak mengguntur.
Sebaliknya terdengarlah suara Andangkara cemas. "Anak muda! Kukunya
mengandung racun jahat!" Mendengar disebutnya racun jahat, Manik Angkeran
memekik terkejut. Tanpa memedulikan akibatnya, ia terus masuk gelanggang sambil
berseru: "Kau harus berhati-hati! Apakah ... apakah...." Hati Sangaji
terguncang. Katanya di dalam hati, tunangan Fatimah ini benar-benar seorang
pemuda yang baik hati. Ia begitu memperhatikan diriku.... Manik Angkeran tak
tahu, bahwa di dalam diri Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru yang kebal dari
sekalian racun atau bisa di dunia. Itulah sebabnya, ia tak merasakan akibat
cengkeraman beracun itu. Malahan darah yang merembes ke luar mendadak saja
berhenti mengalir. Rasa pedih pun lenyap pula. "Lekaslah keluar! Serangan
cengkeraman Gumbala Geni bukan main bahayanya," katanya dengan tersenyum.
Dan melihat Sangaji tersenyum serta yakin bahwa racun Sindung Riwut tidak
mempengaruhi dirinya, dengan tenang Manik Angkeran kembali ke tempatnya.
Kiranya Sangaji tadi sudah berusaha sedapatnya untuk menghindari serangan
berondongan yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya. Mendadak ia melihat
Sindung Riwut mulai bergerak lagi. Rupa-rupanya pendekar tua itu tidak sudi
kehilangan kesempatan bagus. Begitu melihat Sangaji sedang berbicara dengan
Manik Angkeran, ia terus menyambar. Keruan saja hati Sangaji tercekat. Untuk
membebaskan Manik Angkeran dari sasaran serangan lawan, cepat ia melesat mundur
ke arah lain. Benar saja. Sindung Riwut terus mengubernya. Dengan demikian,
Manik Angkeran dapat diselamatkan. Mereka bertarung secara aneh sekali
seakan-akan kanak-kanak bermain petak. Yang satu menubruk dari depan dan yang
lain melompat mundur. Gerakan menubruk dari depan lebih mudah dan lebih leluasa
dilakukan. Sebaliknya gerakan meloncat mundur, dua kali lebih sulit. Meskipun
demikian, tak pernah lagi Sindung Riwut berhasil menyentuh tubuhnya. Maka
teranglah siapa yang lebih unggul dalam hal mengadu kegesitan. Sebenarnya
Sangaji dapat dengan mudah lari menghindari. Asal saja ia terus melesat lari
menjauhi. Tetapi wataknya yang asli tidak mengizinkan. Itulah watak yang
terus-terang. Watak yang senantiasa berhadap-hadapan dalam menghadapi tiap
persoalan betapa sulitpun. Kecuali itu, pengamatannya akan hilang, apabila
terus lari menghindari. Itulah sebabnya pula, lompatannya ke belakang hanya
sejauh dua tiga langkah. Matanya tak pernah beralih dari tipu muslihat gerakan
lawan. Bagi mata para ahli tahulah sudah, bahwa Sangaji sedang menyelami ilmu
Gumbala Geni sampai ke dasarnya. Sesungguhnya ilmu sakti pukulan Gumbala Geni
mempunyai 47 jurus. Gaya pukulannya tidak banyak keragamannya. Inti gerakannya
berdasarkan pada kecepatan dan tenaga. Sederhana nampaknya, tetapi sebenarnya
dahsyat bukan kepalang. Karena gerakan kaki dan tipu muslihatnya memenuhi
bidang gerak. Selama hidupnya, Sindung Riwut belum pernah menghancurkan lawan
lebih dari enam belas jurus. Itulah sebabnya, ia terkenal di seluruh Jawa Barat
sebagai hantu yang memiliki pukulan maut tak terlawan. Tak pernah terlintas
dalam benaknya, bahwa untuk melawan seorang lawan yang muda belia dia sudah
hampir menghabiskan ke 47 jurusnya. Namun satu juruspun tidak pernah dapat
menyentuh tubuhnya. Dalam kemendongkolannya ia berpikir dalam hati, pemuda ini
hanya mengadu kegesitannya belaka. Coba dia berani-bertarung dengan berhadap-hadapan,
masakan dia sanggup bertahan sampai 20 jurus saja. Aku ingin melihat. Dalam
pada itu, Sangaji sudah memperoleh pegangan kini. Tatkala Sindung Riwut
terpaksa mengulangi jurusnya yang pertama, tahulah dia bahwa jurus pukulan
sakti Gumbala Geni hanya berjumlah 47 jurus. Ia kini bukan lagi Sangaji pada
zaman berguru kepada Jaga Saradenta dan Gagak Seta. Otaknya sudah berubah
cerdas luar biasa. Apa yang dilihatnya dengan tak disadarinya sendiri terus
saja sudah dapat menangkap intinya dan malahan sanggup menirukan gerakannya
sampai sekecil-kecilnya. Meskipun demikian masih saja ia ragu-ragu hendak
memutuskan cara mengadakan perlawanan yang tepat. Pikirnya dalam hati, kalau
aku hendak mencabut nyawanya gampangnya seperti membalikkan tanganku sendiri.
Tetapi bila aku berbuat demikian, aku akan gagal mempersatukan mereka. Malahan
bisa-bisa aku justru menanamkan bibit dendam yang akan jadi berlarut-larut.
Selagi ia dalam keragu-raguan didengarnya Sindung Riwut membentak.. "Anak
muda! Kau cuma bisa mengelak untuk menyelamatkan diri. Ini namanya bukan
bertanding." Sangaji hendak menyahut, tiba-tiba Sindung Riwut menyerangnya
dahsyat. Tahulah Sangaji, bahwa Sindung Riwut mencoba memancingnya agar
berbicara. Sebab berbicara merupakan suatu pantangan besar bagi seorang yang
lagi bertanding. Setidak-tidaknya bisa lengah. Tapi Sangaji justru tersenyum,
berkata seenaknya: "Apakah kau menghendaki aku melawanmu sungguh-sungguh?
Kalau aku menang apakah taruhannya?" Sambil berkata-kata, Sangaji tetap
mengelak tiap serangan Sindung Riwut dengan gesit serta tangkas. Mau tak mau
Sindung Riwut terpaksa memuji dalam hati. Katanya, "Kau memang gesit. Tapi
dalam hal mengadu pukulan kau takkan menang." "Belum tentu. Paling
tidak, tenagaku lebih muda dari padamu." "Bagus! Jika aku kalah, aku
akan membunuh diri di depanmu, atau kau boleh mencincang aku sekehendak
hatimu." "Ah, aku tak berani bertaruh begitu," sahut Sangaji
cepat. "Begini saja, bila kau kalah kau harus membawa rekan-rekanmu turun
gunung. Dan habisi permusuhanmu dengan pihak Himpunan Sangkuriang."
"Urusan ini bukan berada di tanganku. Itulah Alang-alang Cakrasasmita.
Dialah yang memegang pucuk pimpinan. Aku hanya bisa mempertanggung jawabkan
diriku sendiri. Ah anak muda! Bagaimana kau sampai berani bilang, bahwa aku
bisa kaukalahkan?" Sangaji mengerenyitkan dahi mencari akal. Tiba-tiba
timbullah keputusannya. Katanya di dalam hati, biarlah aku mengandalkan ilmu
sakti keris Kyai Tunggulmanik. Aku ingin merasakan sendiri, apakah guratan
keris Kyai Tunggulmanik berisikan pula rahasia ilmu sakti Gumbala Geni. Dan
setelah berpikir demikian ia berkata, "Kakek Sindung Riwut! Sudah
kukatakan tadi kepada murid-muridmu, bahwa jauh-jauh aku akan melarikan diri
manakala aku bertemu dengan seorang yang sudah memiliki inti tenaga sakti ilmu
Gumbala Geni dengan sempurna. Tetapi, maaf Kakek Sindung Riwut walaupun sudah
mencapai tingkat kesempurnaan, tetapi belum sempurna benar-benar. Karena itu
masih banyak terdapat kelemahannya." "Bagus," bentak Sindung
Riwut mendongkol. "Jika kau dapat mematahkan setiap jurus seranganku, aku
akan menutup perguruanku. Dan selamanya aku takkan muncul lagi dalam percaturan
masyarakat." "Itupun tak perlu," kata Sangaji. la tahu maksud
Sindung Riwut hendak menutup perguruannya. Lantaran selama hidupnya mengagul-agulkan
ilmu saktinya Gumbala Geni sebagai suatu ilmu sakti yang tiada tandingnya dalam
jagat ini. Tak tahunya, justru di depan murid-muridnya ia kena dipermainkan
oleh seorang pemuda, sehingga kegarangan Gumbala Geni seakan-akan hilang
dayanya. Tetapi Sangaji adalah seorang pemuda yang halus budi. Untuk
mengalihkan perhatian penonton, tiba-tiba ia menjejak tanah dan melesat tinggi
di udara. Kemudian berputar-putar sampai empat lima kali dan setiap kali
berputar tubuhnya mendaki lebih tinggi lagi. Setelah itu dengan mendadak pula
ia menukik ke bawah dan turun ke bumi dengan gerakan yang enteng sekali. Saking
takjubnya, penonton sampai terpaku. Malah dalam cerita anak-anak, rata-rata
mereka pernah mendengar tentang seorang sakti yang bisa melesat ke udara dengan
berputar-putar tak ubah burung dara. Tetapi setelah menjadi dewasa dengan
demikian sima dari ingatannya. Tak tahunya, hari itu mereka menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Seumpama tidak, mereka takkan percaya selama hidupnya.
Sebab di jagat ini tiada seorangpun dapat berlatih sampai mencapai ilmu
kepandaian demikian. Maka setelah terpaku beberapa saat lamanya, mereka
berso-rak gemuruh seperti tersontakkan. Tubagus Simuntang yang selama hidupnya
membanggakan diri sebagai manusia paling cepat bergerak dan ilmu meletiknya ke
udara tiada yang membandingi di seluruh nusantara, mau tak mau terpaksa
menghela napas oleh rasa kagumnya yang tak terhingga begitu menyaksikan
kesanggupan Sangaji. Dan begitu Sangaji turun ke tanah, Sindung Riwut sudah
memburunya. Kali ini ia tak mau menyerang seperti tadi. Setelah menatap wajah
Sangaji, lalu berkata tenang: "Nah, anak muda! Sekarang kita mulai
bertanding mengadu ilmu pukulan, bukan?" "Silakan!" sahut
Sangaji. "Pasti pula kau takkan main mundur, bukan?" "Tidak,"
sahut Sangaji dengan tersenyum. "Kalau aku sampai mundur meski hanya
selangkah, nyatakan aku kalah." Tatang Sontani dan rekan-rekannya meskipun
masih saja belum bisa bergerak, namun panca inderanya tetap bekerja seperti
sediakala. Mereka adalah gembong-gembong yang terlalu besar keyakinannya kepada
kemampuan diri sendiri. Tapi begitu mendengar ucapan Sangaji, mereka kaget.
Mereka kenal tentang kehebatan serta kedahsyatan pukulan ilmu sakti Gumbala
Geni. Apalagi dimainkan sendiri oleh cikal bakalnya di Jawa Barat. Meskipun
ilmu kepandaian Sangaji nampak lain daripada yang lain, namun masakan tidak
akan mengalami langkah mundur dalam suatu gebrakan seru? Untung, pada saat itu
terdengarlah ucapan Sindung Riwut. "Itupun tak perlu. Aku hanya ingin
menguji saja. Ingin membuktikan kebenaran ucapanmu. Apabila aku kalah. Biarlah
aku kalah. Pabila menang itupun sudah sewajarnya." Setelah berkata
demikian, dengan menggerung ia menubruk. "Awas!" serunya. Segera ia
menyerang pundak dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri meliuk
menubruk dada. Di luar dugaan siapa saja, tiba-tiba Sangajipun bergerak serupa
pula. Tetapi ia menyerang pundak Sindung Riwut dengan tangan kiri, sedangkan
tangan kanannya menangkap tangan Sindung Riwut yang meliuk menubruk dada. Dengan
demikian gerakannya terbalik, namun jurusnya sama. Dan anehnya, sebelum tangan
kanan Sindung Riwut tiba pada sasarannya, tangan Sangaji sudah mencakar kepala
Sindung Riwut. Sindung Riwut kaget bukan kepalang. Tahu-tahu tangannya tergetar
timbunan tenaga ilmu sakti Gumbala Geni sirna dengan mendadak. la sudah menutup
mata, tatkala melihat berkelebatnya tangan Sangaji hendak mencengkeram
ubun-ubunnya. Di luar dugaan, Sangaji justru menarik tangannya yang sudah
hampir tiba pada sasarannya yang cepat. Sindung Riwut tertegun sejenak. Lalu
dengan kecepatan yang tak terduga, kedua tangannya mencengkeram kedua pelipis
Sangaji. Tetapi Sangaji tetap menirukan pula. Sudah barang tentu, gerakannya
lebih lambat daripada gerakan Sindung Riwut. Namun yang mengherankan datangnya
lebih cepat beberapa detik daripada cengkerman Sindung Riwut. Dan kedua pelipis
Sindung Riwut tiba-tiba sudah kena tersentuh. Pelipis merupakan bagian tubuh
yang mematikan bilamana kena tembus. Dalam suatu pertarungan, bilamana pelipis
sampai kena terserang, maka tiada harapan lagi untuk bisa ditolong. Dia akan
tewas pada saat itu juga. Akan tetapi Sangaji hanya mengusap saja. Setelah itu,
tangannya meliuk ke belakang tengkuk seolah-olah hendak mengancam batang leher.
Tatkala pelipisnya kena teraba Sangaji, Sindung Riwut sudah tertegun lagi.
Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya tangan Sangaji hendak mengancam
tengkuknya. Cepat ia meloncat mundur sambil membentak: "Hai! Darimanakah
engkau mengenal pukulan ilmu sakti Gumbala Geni...?" Dengan menunjuk
dadanya, Sangaji menjawab: "Dari sini." Sebenarnya jawaban Sangaji
jujur. Ia menunjuk tepat di tengah dadanya. Maksudnya, di dalam dirinya
mengalir rasa sarwa sakti manunggalnya guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik
dan ilmu-ilmu sakti lainnya yang pernah dipelajarinya. Tetapi Sindung Riwut
menganggap menghinanya. Dengan garang ia membentak lagi. "Bagus! Kalau
begitu jangan salahkan aku." Setelah membentak demikian, ia memberondongi
serentetan serangan. Tetapi seperti tadi Sangajipun bergerak serupa pula dan
tibanya lebih cepat pada sasarannya. Dengan gemas Sindung Riwut kini mengadakan
jebakan. Ia menyerang kembali dengan dua jurus sekaligus. Jurus 47 dan jurus
14. Dua jurus yang bertentangan. Lemah nampaknya, tapi sesungguhnya mengandung
jebakan. Ternyata jebakannya membawa hasil. Tiba-tiba Sangaji melangkah maju
dan menirukan gaya jurus tersebut setelah meliuk ke kiri, badannya nyelonong
masuk dan tangannya dengan cepat menerkam dada Sindung Riwut. Buru-buru Sindung
Riwut mundur selangkah, agar diburu. Benar saja, Sangaji menubruk maju. Girang
Sindung Riwut membatin, kau setan cilik! Sekarang tiba saatmu kau termakan
jebakanku. Ia menarik serangan Sangaji lebih ke dalam. Mendadak kedua tangannya
menghantam kedua siku Sangaji dengan tenaga sedahsyat-dahsyatnya. Untung-untungan,
kalau tepat kedua lengan Sangaji akan terlepas dari tulang sambungnya. Kalau
tertangkis, paling tidak akan patahlah pergelangan tangan Sangaji. Tak pernah
terduga, bahwa di dalam diri Sangaji mengalirlah getah sakti Dewadaru yang
mempunyai sifat menghisap. Begitu cengkeraman Sindung Riwut menyambar siku
Sangaji, tiba-tiba saja kena sedot. Dan tenaga pukulannya sima dengan begitu
saja. Keruan saja ia kaget setengah mati. Dan berbareng dengan kesadarannya,
tangan Sangaji sudah meraba dada dan tengkuknya. lnilah tempat mematikan.
Tetapi Sangaji tidak meneruskan serangannya. la menarik kedua tangannya kembali
dengan sikap menunggu. Sindung Riwut benar-benar menjadi putus asa. Berpuluh
tahun ia berlatih. Berkalikali ia menang dalam suatu pertarungan di mana saja
dia berada. Namun menghadapi seorang pemuda yang mengenal ilmu Gumbala Geni
pula, latihannya selama itu tiada gunanya sama sekali. la mati kutu
benar-benar. Maka dengan suara tertahan-tahan ia berkata setengah berbisik, "Anak
muda...! Ilmu kepandaianmu ternyata jauh berada di atasku." Setelah
berkata demikian, kedua tangannya menghantam kepalanya sendiri. Tetapi belum
lagi dapat meraba rambutnya, kedua lengannya runtuh lunglai. Sekali lagi ia
kalah cepat dengan gerakan tangan Sangaji yang mencegah perbuatannya hendak
bunuh diri. "Ilmu sakti Gumbala Geni siapakah yang dapat mengatasi
kehebatannya," kata Sangaji dengan nyaring. "Kalau aku tidak
melawannya dengan ilmu Gumbala Geni pula, tak bakal aku menang. Sebab
sesungguhnya, ilmu Gumbala Geni merupakan pukulan yang paling tinggi di atas
dunia ini." Mendengar ucapan Sangaji, celeret cahaya bergelimang pada
wajah Sindung Riwut. Maklumlah, ia kalah di depan hidung murid-muridnya
sendiri. Dan yang terhebat, lebih-lebih di depan para pendekar ia bersumpah
akan menutup perguruannya. Di luar dugaan, Sangaji malahan memuji keunggulan
ilmu sakti Gumbala Geni yang diagul-agulkan. Keruan saja, di dalam hatinya
tumbuhlah rasa terima kasih tak terhingga besarnya. Oleh rasa harunya, air matanya
hampir saja terbintik ke luar. Cepat-cepat ia berkata, "Anak muda!
Perkenankan aku mengagumi keluhuran serta kemuliaan hatimu. Sekarang aku akan
membawa murid-muridku. Aku tak peduli lagi, mereka akan mengatakan apa
kepadaku. Lantaran terbukti engkaulah yang memelihara kelangsungan hidup kami.
Terima kasih." Sindung Riwut benar-benar membuktikan ucapannya. Setelah
kembali ke tempatnya, segera memerintahkan murid-muridnya agar turun gunung.
Mendadak saja terdengarlah suara melengking. "Sindung Riwut! Bagaimana
ini?" "Bagaimana ini?" potong Sindung Riwut. "Aku sudah
dikalahkan. Mau apa lagi?" "Bagus! Kau akan lari turun gunung tanpa
izin Alang-alang Cakrasasmita. Benar-benar kau melanggar sumpah."
"Aku hanya berikrar dalam penggerebegan ini. Tapi Sindung Riwut bukan di
bawah perintah Alang-alang Cakrasasmita. Apakah dia bermaksud
menghalang-halangi aku? Boleh coba!" Edoh Permanasari tak meladeni lagi.
Ia hanya tertawa dingin. Kemudian dengan membawa pedang Sangga Buwana yang
tajamnya tiada bandingnya di jagat ini, masuklah ia ke gelanggang. "Kusuma
Winata!" katanya lagi. "Apakah kau tidak mencoba-coba kekuatan bocah
ini?" Dengan membungkuk hormat Kusuma Winata menjawab, "Tadi aku
sudah dikalahkan raja muda Andangkara. Dengan sendirinya, kami anak murid
Mandalagiri tidak berhak lagi terjun ke gelanggang." "Hm,"
dengus Edoh Permanasari dengan wajah masam. Melihat wajah Edoh Permanasari,
hati Wijaya merasa tidak enak. Ia menaruh hati terhadap Ida Kusuma. Kalau ingin
merebut hati Ida Kusuma, terlebih dahulu ia berkewajiban mencuri hati Edoh
Permanasari. Maka diam-diam ia berpikir, meskipun kepandaian Edoh Permanasari
adalah warisan Ratu Fatimah, tetapi takkan melebihi kepandaian kakak Kusuma
Winata atau Sindung Riwut. Kalau dia kalah, bukankah kita semua ikut terjungkal
habis-habisan? Biarlah aku mencobanya dahulu. Setelah berpikir demikian, ia
masuk ke gelanggang seraya mengencangkan ikat pinggangnya. Berkata keras,
"Bibi! Biarlah kami berlima mencoba-coba kepandaian pemuda terlebih
dahulu. Kemudian baru bibi. Pastilah bibi akan dapat memenangkan pertandingan
ini dengan mudah." Edoh Permanasari tahu maksudnya. Meskipun Sangaji
mempunyai tenaga sakti bagaikan gelombang yang tiada habis-habisnya, namun
apabila dipaksa berkelahi secara bergiliran masakan tidak letih? Dengan pedang
pusaka Sangga Buwana di tangan, pastilah dia dapat menghabisi jiwa Sangaji
dengan mudah. Tetapi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang angkuh.
Katanya, "Terima kasih! Selamanya kami biasa hidup berdiri sendiri.
Seumpama aku menang, apakah arti menang melawan seorang lawan yang keletihan?
Rasanya kurang menyenangkan. Silakan mundur." Pernyataan Edoh Permanasari
ini di luar dugaan Wijaya. lapun lantas tak berani membantah. Demikianlah, maka
dengan pedang terhunus Edoh Permanasari menghampiri Sangaji.
Banyaklah
sudah anggota-anggota Himpunan Sangkuriang yang tewas oleh pedang Sangga Buwana
itu. Maka begitu pedang Sangga Buwana nampak di mata mereka, terdengarlah suara
kemurkaan mereka. Sidi Mantera yang benci benar pada pendekar wanita itu, terus
saja mengutuk kalang-kabut. Hanya Inu Kertapati dan Kamarudin saja yang menutup
mulut. Diam-diam mereka menghela napas. "Kalian ribut-ribut apa
perlu?" bentak Edoh Permanasari. "Tunggulah barang sebentar! Kalau
aku sudah membereskan bocah ini, nah barulah datang giliran kalian menyusul ke
neraka. Sekarang tenang-tenanglah dulu!" "Huuuu... siapa kesudian
mendengarkan ocehan nona tuaaa..." Mereka menyahut beramai-ramai. Rupanya
mereka semua kenal siapa Edoh Permanasari. Dan pendekar wanita itu paling benci
manakala diejek sebagai nona tua. Maka tak mengherankan, bahwa wajahnya jadi
beringas. Dalam pada itu, Sangaji sadar bahwa pedang Sangga Buwana memang
sangat susah untuk dilawan. Kecuali ada niatnya hendak mengambil jiwa
pemiliknya. Dan hal itu tidaklah diinginkannya, meskipun ia mempunyai kesan
buruk terhadap Edoh Permanasari. "Hai anak muda! Kau ambillah senjatamu!
Lebih cepat, lebih baik," bentak Edoh Permanasari tak sabar. Dan sekali
lagi penonton di pihak Himpunan Sangkuriang menyahut haaaa atau huuu karena
rasa dengkinya. "Aku tidak mempunyai senjata apa pun sahut Sangaji."
Dan oleh jawaban Sangaji, suasana gelanggang menjadi hening sejenak. Tiba-tiba
terdengarlah Andangkara menarik pedang pusakanya perlahan-lahan dari sarungnya.
Kemudian berkata, "Pedang ini adalah pedang warisan leluhur kami. Namanya
Tunjungbiru. Itulah sebabnya, kakakku menggunakan nama pedang ini sebagai suatu
pernyataan berbakti. Nah, pakailah anak muda. Memang ia kalah tajam daripada
Sangga Buwana. Walaupun demikian, termasuk pula pedang yang tiada duanya di
Jawa Barat." Setelah berkata demikian, ia mementil pedang Tunjungbiru.
Cring! Pedang itu memantul melengkung lantas tegak lurus. Suaranya nyaring tak
ubah sebuah rencong. Dengan sangat hormat, Sangaji menerima pedang Tunjungbiru
seraya berkata, "Terima kasih, Aki." "Sudah belasan tahun,
pedang ini berada di pinggangku. Selama berhamba padaku, entah sudah berapa
puluh manusia rendah dan jahat terbunuh olehnya," kata Andangkara dengan
tertawa melalui dada. "Hari ini, mudah-mudahan dia berkesempatan pula
mereguk darah nona tua. Kalau berhasil, matipun aku akan rela sampai ke dasar
hatiku." "Mudah-mudahan, aku dapat memenuhi harapan Aki," sahut
Sangaji. la terus menyabetkan pedang Tunjungbiru dan menghadap Edoh Permanasari.
Memang dalam hati, ia sudah gemas melihat wanita itu. Dahulu menurut suara
hatinya, pernah ia menantang Edoh Permanasari tatkala pendekar wanita itu
membakar sebuah perkampungan nelayan. Kini dengan mata menyala ia menentang
wajah Edoh Permanasari. Lalu berkata, "Ilmu pedang warisan Ratu Fatimah,
pastilah merupakan ilmu pedang yang tiada terlawan. Sesungguhnya tak berani aku
melawan engkau. Tetapi kau sudah menantang aku, maka terpaksalah aku melayanimu
sebisa-bisaku. Mudah-mudahan arwah Rostika membantu aku dari angkasa."
Mendengar Sangaji menyebut nama Rostika, hati Edoh Permanasari tercekat sampai
alisnya berdiri tegak. "Kau bicara apa?" ia menegas. Belum lagi
Sangaji menjawab, tiba-tiba terdengar Sidi Mantera berteriak nyaring, "Hai
Edoh! Kalau kau berani, coba lawan dengan bertangan kosong!" Dan Inu
Kertapati yang semenjak tadi berdiam diri, akhirnya tak kuat juga menahan hati.
Terus menyambung, "Ilmu kepandaian apa sih yang hendak dipamerkan?
Paling-paling cuma mengandalkan pedangnya melulu." "Atau begini saja,"
sahut Sidi Mantera. Pendekar ini memang muak terhadap Edoh Permanasari.
"Tukar pedang Sangga Buwana dengan pedang pusaka lainnya. Sekarang boleh
bertanding dengan saudara Sangaji. Kalau sampai bisa melampaui tiga jurus, aku
boleh mencarikan jodohnya si nona tua itu." "Apa? Tiga jurus. Mana
bisa sampai tiga jurus? Sejuruspun takkan mampu," sambung yang lain. Bukan
main mendongkolnya Edoh Permanasari. Dengan tak sabar lagi, ia terus meng:
gertak, "Hayo, seranglah!" Sangaji sendiri, resminya tak pernah belajar
ilmu pedang. Sekarang ia disuruh menyerang. Karuan saja ia jadi ragu-ragu.
Mendadak teringatlah dia kepada ilmu pedang paman gurunya, Suryaningrat yang
mahir memainkan ilmu pedang Mayangga Seta. Maka terus saja ia menusuk ke depan
sambil menggetarkan ujungnya. Hebat akibatnya. Karena tenaga saktinya luar
biasa kuat, pedang Tanjungbiru yang bersifat keras lembek mendadak menggaung
memperdengarkan kegarangannya. Karuan saja, Edoh Permanasari kaget setengah
mati. Gesit ia melompat ke samping sambil berpikir di dalam hati, untung aku
membawa pedang Sangga Buwana. Tak kusangka pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian
banyak sekali ragamnya. Kalau begitu, aku tak boleh berayal lagi. Tiap
kesempatan harus kugunakan untuk membabat pedangnya. Benar saja. Dengan menggerakkan
tangkai pedangnya, Sangga Buwana terus menikam perut Sangaji. Sangaji terkejut.
Cepat ia mengelak ke samping. Tahu-tahu ujung pedang Sangga Buwana sudah
mengancam tenggorokan. Memang sesungguhnya ilmu pedang warisan Ratu Fatimah
bukan suatu ilmu sembarangan. Karena kecerdikan serta kelicikan Ratu Fatimah,
ilmu pedangnya merupakan puncak-puncak gabungan ilmu pedang di seluruh Jawa
Barat ). Tak mengherankan, bahwa tiap gerakannya merupakan puncak tipu muslihat
yang tinggi nilainya. Diancam begitu mendadak sedangkan baru saja mengelak,
Sangaji kaget setengah mati. Dalam seribu kerepotannya, ia mengendap lalu
menjatuhkan diri dengan bergulingan. Tetapi baru saja ia hendak bangkit,
kembali lagi pedang Sangga Buwana sudah mengancam punggungnya. Dalam sekilas
pandang, ia melihat berkelebatnya pedang menetak pinggangnya. Sadarlah dia,
bahwa dirinya dalam bahaya. Tanpa berpikir lagi, ujung kakinya menjejak tanah.
Sekaligus meletiklah ia dan terbang miring melewati garis tebasan. Gerakan itu
dilakukan dalam keadaan yang tak mungkin dapat dilakukan orang lain. Selagi
kaum Himpunan Sangkuriang hendak bersorak memuji, sekonyong-konyong Edoh
Permanasari melesat pula ke udara berbareng menyabetkan pedangnya membabat
pinggang. Benar-benar Sangaji dalam bahaya. la belum lagi turun ke tanah dan
sama sekali tak diduganya bahwa Edoh Permanasari akan mengubernya dengan
melesat ke udara pula. Sekarang terjadilah suatu keajaiban. Ilmu keris sakti
Kyai Tunggulmanik mengadakan reaksi lantaran rasa hati Sangaji yang terkejut bukan
kepalang. Mendadak saja dengan menukik, ujung pedang Tunjungbiru menumbuk
pedang Sangga Buwana dan tubuh Sangaji terus dipentalkan ke udara lagi. Akan
tetapi Edoh Permanasari tidak mengenal ampun. la melompat maju pula mencegah
turunnya Sangaji ke tanah. Begitu Sangaji turun dari udara, cepat ia menyerang
lagi dengan suatu tikaman berbareng membabat. Melihat bahaya yang ketiga
kalinya, Sangaji terpaksa menangkis dengan pedangnya. Tahu-tahu pedang
Tunjungbiru tinggal separoh. Sedetik itu pula tangan kirinya menghantam. Suatu
tenaga dahsyat menindih dada Edoh Permanasari dari atas. Ia seperti melesak.
Gerakannya macet. Namun wataknya yang bandel masih saja bisa membabatkan pedang
Sangga Buwana sekenanya. Untung Sangaji dapat bertindak lebih cepat lagi. Kutungan
pedang Tunjungbiru lantas disambitkan dan tepat mengenai ujung pedang Sangga
Buwana. Dia sendiri terus melesat menjauhi. Kena sambitan kutungan pedang,
lengan Edoh Permanasari terasa pegal luar biasa. Hampir saja Sangga Buwana
terpental dari genggamannya. Benar-benar ia terkejut. Dengan sekali pandang ia
melihat Sangaji sudah berada sepuluh langkah jauhnya dengan menimang-nimang
kutungan pedangnya. Rupanya begitu kutungan pedang terpental dari ujung pedang
Sangga Buwana, Sangaji menyambarnya kembali berbareng dengan melesat menjauhi.
Gebrakan itu hanya terjadi sekejapan saja. Namun bahayanya jauh melebihi
pertarungan yang lampau. Dengan gerakan kilat Edoh Permanasari sudah
memberondongi Sangaji dengan sembilan serangan yang dilakukan tanpa mengenai ampun.
Tetapi semuanya dapat dipecahkan Sangaji dalam keadaan buruk. Setiap kali ia
seperti lolos dari lubang jarum. Andangkara Tatang Sontani dan gembong-gembong
lainnya yang mengikuti gebrakan kilat itu semuanya menahan napas dengan rasa
kagum. Itulah pertarungan luar biasa cepatnya. Yang menyerang cepat dan yang
diserang cepat pula. Setiap kali melihat betapa kedudukan Sangaji sangat sulit,
mereka menahan napas. Dan apabila ternyata masih saja bisa luput dari serangan
yang bertubi-tubi datangnya, dengan serentak mereka melepaskan napas lega. Tapi
tak urung keringat dinginnya membasahi tubuhnya. Sekarang mereka melihat
Sangaji sudah berdiri jauh dengan tak kurang suatu apa. Saking kagumnya, mereka
bersorak memuji. Dan soraknya disambung seluruh pasukan Himpunan Sangkuriang
dengan riuh rendah. Sembilan kali serangan. Dan Sangaji berada di pihak yang
diserang. Sama sekali tak membalas. Malahan pedangnya kutung menjadi dua
potong. Jelaslah sudah, bahwa dalam gebrakan itu ia telah kalah. Tetapi dia
tadi dapat menahan serangan berondongan dengan menghantam ujung Sangga Buwana
sampai Edoh Permanasari membungkuk-bungkuk kena ditahan suatu tenaga dahsyat.
Dengan demikian apabila dia mau membalas pastilah ia takkan kena desak lagi.
Sudah barang tentu, penilaian yang benar hanya ada pada Edoh Permanasari. Untuk
pertama kali itulah ia bertempur dengan sungguh-sungguh. la sudah memberondong
sembilan kali dengan menggunakan puncak-puncak jurus ilmu pedangnya, namun
masih saja belum mengenal sasarannya. Diam-diam ia heran. Dasar ia seorang
wanita yang angkuh, maka lantas berkata: "Pergilah, cari senjata yang
lain. Tak mau aku menang dengan mengandalkan pedang." Sekarang pihak
Himpunan Sangkuriang tak lagi berani melontarkan kata-kata ejekan. Melihat
betapa tangguh Edoh Permanasari, mereka malahan jadi prihatin. Sangaji sendiri
tidak menyahut. Dengan berdiam diri ia merenungi pedang pusaka Tunjungbiru.
Pikirnya, benar-benar aku mengecewakan hati Aki Andangkara. Pedang ini menjadi
pusaka turun temurun. Tapi akhirnya kutung di tanganku.... Tiba-tiba
terdengarlah suara Andangkara yang didahului dengan gelak tertawa. "Pedang
patah di dalam suatu pertarungan, apakah yang harus disayangkan?" Sangaji
menoleh. Sewaktu hendak membuka mulut, Otong Surawijaya berteriak nyaring,
"Aku mempunyai sebatang luwuk
pusaka. Pakailah! Mudah-mudahan jahanam itu tumpas oleh golokku."
"Tetapi pedang Sangga Buwana terlalu tajam. Golok Paman akan rusak
pula." "Biar kutung menjadi beberapa potong, apalah artinya? Kalau
kau kalah, bukankah kita semua bakal mampus? Ambillah!" * Benar juga,
pikir Sangaji. Lalu ia maju menerima golok pusaka Otong Surawijaya.
"Saudara Sangaji," bisik Tatang Sontani. "Pedang Edoh
Permanasari sangat tajam. Karena itu jangan biarkan dirimu kena serang.
Sebaliknya engkau harus menyerangnya terlebih dahulu." Mendengar Tatang
Sontani menyebut namanya, Sangaji tercengang sejenak. Setelah dipikirpikir
sadarlah dia. la tadi sudah memperkenalkan namanya, rupanya Tatang Sontani merasukkan
ke dalam ingatannya. Melihat betapa pendekar itu masih tak bisa berkutik akibat
kena racun Suryakusumah tapi masih sudi mengingatingat namanya, timbullah rasa
senang dalam hati Sangaji. Maka dengan membungkuk ia menyahut, "Terima
kasih atas petunjuk Paman." "Gunakan kecepatanmu bergerak.
Kegesitanmu takkan terlawan oleh siapapun juga," bisik Tubagus Simuntang.
Teringat betapa Tubagus Simuntang pernah mempermainkan Edoh Permanasari, hati
Sangaji jadi girang. Dengan serta merta ia menyahut, "Terima kasih atas
saran Paman." Tatang Sontani, Dadang Wirahata dan Tubagus Simuntang adalah
tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang yang berkepandaian tinggi. Benar mereka semua
dalam keadaan lumpuh tetapi panca inderanya bekerja seperti sediakala. Dengan
sendirinya pengamatannya sebagai seorang ahli tidaklah luput. Seumpama mereka
dalam keadaan segar bugar, kepandaiannya malah lebih tinggi daripada Edoh
Permanasari. Sayang, mereka kena serangan gelap justru pada saat menghadapi
mati hidupnya Himpunan Sangkuriang. Demikianlah setelah menggenggam golok
pusaka Sangaji kembali ke tengah gelanggang dengan hati besar. Ia sudah
berlatih dengan pedang Sokayana yang beratnya lebih dari 100 kati. Dengan
sendirinya golok pusaka Otong Surawijaya yang mempunyai berat kurang dari 50
kati, bukan menjadi suatu halangan baginya. Dalam hati sudah timbul suatu
keputusan, takkan membiarkan golok Otong Sarawijaya terkutung seperti pedang
Tunjungbiru. Segera ia menghimpun tenaga saktinya. "Bagus!" sahut
Edoh Permanasari. "Awas! Aku mulai menyerang," Sangaji memberi
peringatan. Sehabis berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya kelepat dan hilang
dari pengamatan. Bukan main kagetnya Edoh Permanasari. Belum lagi ia sempat
memutar badannya, Sangaji sudah berada di sampingnya. Cepat ia membalik dan berputar
ke kiri. Tetapi Sangaji sudah berada di sebelah kanan. Lalu kembali lagi
berputar ke kiri dan menyelonong ke belakang sambil memberondongi serangan dua
kali berturut-turut. Gugup Edoh Permanasari menangkis sekenanya. Ia hanya
mengandalkan ketajaman pedangnya. Maka ia hanya membabat saja. Tatkala melihat
berkelebatannya tubuh Sangaji, ia mencoba menyerang. Namun kembali lagi tubuh
Sangaji lenyap dari pengamatannya. Dahulu saja sewaktu mengkhawatirkan keadaan
Padepokan Gunung Damar ia menang cepat daripada Ki Hajar Karangpartdan yang
memiliki ilmu berlari sepi angin. Apalagi kini, sesudah mempunyai waktu untuk
berlatih. Maka di bawah sorak-sorai bergemuruh, tubuhnya berkelebatan tak ubah
kilat. Ia datang menjauh untuk kemudian lenyap tak karuan tempatnya. Jangan
lagi Edoh Permanasari, Tubagus Simuntang sendiri kagum luar biasa dan merasa
diri tak mampu menandingi. Edoh Permanasari bingung bukan main dikocak
demikian. Karena bingungnya ia membacok serabutan. Namun bayangan Sangaji sama
sekali tak dapat disentuhnya. Lantaran cepatnya, bayangannya nampak pecah
menjadi berpuluh-puluh sehingga mata Edoh Permanasari menjadi kabur. Gebrakan
dalam babak kedua ini, jatuh sebaliknya. Kalau tadi Sangaji menjadi pihak yang
diserang, kini Edoh Permanasari yang menjadi bulan-bulanan tanpa dapat
mengadakan serangan balasan biar selintaspun. Sayang Sangaji agak jeri dengan
pedang Sangga Buwana, sehingga tidak berani mendekati Edoh Permanasari. la
khawatir terpaksa menangkis babatan Edoh Permanasari meskipun dilakukan dengan
serabutan. Dalam hati, tak mau lagi ia sampai mengutungkan golok Otong
Surawijaya. Dengan demikian, terpaksalah ia melancarkan serangan dari jauh
saja. Tubuhnya tak ubah seekor burung seriti menyambar belalang. Melihat
gelagat buruk, Suwega murid Edoh Permanasari segera berteriak nyaring,
"Saudara-saudara! Mari kita serbu sisa Himpunan Sangkuriang! Tunggu apa
lagi?" Mendengar seruan itu, rekan-rekan seperguruannya tersadar dengan
sekaligus. Lantas saja mereka menghunus pedangnya masing-masing. Kemudian bergerak
menyeberang gelanggang. Melihat gerakan itu, kaum Himpunan Sangkuriang jadi
gempar. Namun mereka tak bergerak dari tempatnya, seolah-olah bersedia menerima
mautnya dengan ikhlas. Tetapi tidak demikianlah halnya dengan Sangaji. Melihat
mereka bergerak, terus saja ia melesat menghadang. la sudah berpengalaman
melawan barisan Jala Sutra Indrajaya. Maka dengan mudah saja, ia merabu pedang
mereka dengan sekaligus. Edoh Permanasari tentu saja tidak sudi menyianyiakan
kesempatan yang bagus itu. Mau ia mengadakan serangan balasan, mendadak saja
pedang murid-muridnya berhamburan menyerang dirinya. Maka mau tak mau,
terpaksalah ia menangkis kalang kabut. "Beginilah caramu melawan
aku?" ejeknya dengan raut muka masam. Sangaji melesat ke tengah gelanggang.
Mau ia menjawab, tetapi Otong Surawijaya si pendekar berangasan sudah
mendahului. "Kau membiarkan murid-muridmu memasuki gelanggang. Begitulah
caramu hendak merebut kemenangan?" Didamprat demikian, timbullah
keangkuhan Edoh Permanasari. Serentak ia memerintahkan murid-muridnya agar
kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian memutar menghadap Sangaji dan
berkata sambil menuding, "Kau yang berlagak jantan, mengapa melayani
murid-muridku yang tidak berarti." "Siapa yang mendahului?"
damprat Otong Surawijaya lagi. "Hm," dengus Edoh Permanasari.
"Hm hm apa?" Otong Surawijaya tak mau mengalah. "Kau manusia
bergelimpangan tiada gunanya, apa perlu ikut-ikut berbicara."
"Sekalipun aku tak bisa berkutik begini, tapi kalau disuruh mengawini nona
tua masakan sudi?" Otong Surawijaya penasaran. la adalah seorang pendekar
bermulut jahil. Sekali sumbunya kena sulut, mulutnya akan mengoceh tak keruan.
Dan rupanya Edoh Permanasari kenal siapa Otong Surawijaya. Maka ia membuang
mukanya dan kembali menatap Sangaji, menegas: "Jadi beginilah caramu
melawan aku?" Dengan tenang Sangaji menyahut, "Bagaimana aku harus
mengiringkan kehendakmu?" "Kau becus melawan aku atau tidak?"
"Kalau aku menang, apakah taruhannya?" Edoh Permanasari
menimbang-nimbang sejenak. Menyahut, "Baiklah kalau aku sampai kalah, aku
akan meninggalkan gunung ini. Biarlah lain kali aku membuat perhitungan dengan
bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang." Tiga kali sudah, Sangaji
berhadap-hadapan kembali dengan Edoh Permanasari. Ia terpaksa berpikir keras.
Pedang pusaka Sangga Buwana memang menakutkan hatinya. Akan mendahului
menyerang, ia khawatir kena tangkis. Sebaliknya hendak mengadu kegesitan
bergerak, lambat laun ia akan lelah juga. Padahal lawannya masih banyak.
"Ha, bagaimana?" gertak Edoh Permanasari. "Engkau akan berlari-lari
lagi?" Hati Sangaji terkesiap. Ia adalah seorang pemuda yang tak boleh
tersinggung perasaannya. Apabila tersinggung perasaannya akan muncullah suatu
ketekatan di luar perhitungan manusia. Seperti dahulu, tatkala ia kena dihina
Mayor de Groote. Maka ia melawannya dengan mati-matian, meskipun kepalanya kena
tumbuk gagang pedang berkali-kali. Juga sewaktu kena hinaan Tako Weidema, Jan
de Groote dan kedua temannya. Meskipun dikerubut empat orang ia berani
melabraknya juga. Sekalipun akhirnya pingsan tak sadarkan diri, lantaran
dilemparkan ke dalam parit. Sekarang ia kena ejekan Edoh Permanasari. Meskipun
luapan hatinya tidaklah sebesar sewaktu diejak Andi Apenda, namun terasa
mendidih juga. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk dalam benaknya. Itulah ilmu sakti
ciptaan Kyai Kasan Kesambi: Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, yang
dahulu pernah dicobanya melawan Warok Kuda Wanengpati dan Watu Gunung untuk
yang pertama kalinya. Teringat akan hal itu, terus saja ia menyahut:
"Sebenarnya kalau aku mau aku akan melawanmu tanpa bersenjata. Dan apabila
aku sampai meninggalkan satu langkah saja, kau boleh mengutungi kedua
lenganku." Pernyataan Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan jelas,
sehingga menerbitkan suatu kegemparan. Betapa mungkin? Dua kali bergebrak,
ternyata pemuda itu tak berani menghampiri Edoh Permanasari dalam jarak dekat
Sekarang, ia berani berkata takkan meninggalkannya biarpun satu langkahpun?
Itulah Sangaji, seorang pemuda yang tak boleh tersinggung kehormatannya. Sekali
tersinggung akan meletupkan suatu keputusan yang menggemparkan. Sangaji sendiri
lantas mengembalikan golok pusaka. Sudah barang tentu, Otong Surawijaya yang
biasa bermulut usilan kali ini jadi terlongoh-longoh. Belum lagi pendekar
bermulut jahil itu membuka suara, Sangaji sudah melesat mematahkan sebatang
dahan pohon. Kemudian berbalik memasuki gelanggang pertarungan dengan amat
tenang. Edoh Permanasari mengamat-amati sebentar, lalu berkata acuh tak acuh.
"Kau sudah memilih jalan mampusmu sendiri. Bagus, itu bukan salahku. Hayo
mulai!" Dengan tenang Sangaji melintangkan pedang kayunya di depan
dadanya. Kemudian digoreskan ke depan setengah lingkaran. Orang-orang yang
menonton tiada mengerti apa maksudnya. Mereka tahu, pemuda itu sedang diancam
ketajaman Sangga Buwana. Tetapi mengapa malahan bermain-main menggores udara
segala? Mereka sama sekali tak tahu, bahwa pada saat itu mendadak terdengariah
suara mencicit. Itulah tenaga sakti Sangaji yang tersalur lewat pedang kayunya.
Coba ia menggunakan pedang Sokayana, pastilah tenaga saktinya akan membanjir
keluar tak ubah badai. Walaupun demikian pedang Sangga Buwana tertindih dengan
sekaligus. Sudah barang tentu Edoh Permanasari kaget setengah mati. Mimpipun
tidak, kalau pedang kayu bisa dibuat menandingi pedangnya yang terkenal tajam
tiada bandingnya. Tanpa sadar, ia berseru nyaring: "Hai! Ilmu
Siluman!" Cepat ia menarik pedangnya dan terus membabat pinggang Sangaji.
Sangaji segera menyongsong sabetan pedang Sangga Buwana dengan kayunya pula.
Dengan tenaga dahsyatnya ia menempel punggung pedang lawan. Dan seketika itu
juga, lengan Edoh Permanasari tergetar. Pedang Sangga Buwana berdengung
nyaring. "Bagus!" Otong Surawijaya bersorak memuji. Dialah tadi yang
paling mencemaskan maksud Sangaji hendak melawan pedang Sangga Buwana dengan
ranting pohon. Mula-mula terlongoh-longoh. Lalu mencakari telinganya. Kemudian
menggaruk-garuk kepalanya. Akhirnya berteriak kagum dan lega luar biasa
manakala melihat betapa pedang Sangaji yang istimewa itu bisa menindih pedang
Sangga Buwana. Meskipun kedua pedang sama sekali berbeda tetapi begitu punggung
pedang Sangga Buwana kena ditempel pedang kayu Sangaji lantas saja sirna
dayagunanya. Inilah ilmu Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti ciptaan
Kyai Kasan Kesambi yang sangat tinggi nilainya yang bersumber pada kekuatan
hidup manusia. Ternyata pedang kayu dapat memusnahkan ketajaman pedang Sangga
Buwana yang tiada taranya di jagat ini. Sesungguhnya yang diajarkan Kyai Kasan
Kesambi kepada Sangaji hanyalah merupakan suatu coretan huruf. Nampaknya
sederhana. Tapi sesungguhnya gerakan itu adalah gerakan menghimpun tenaga sakti
yang tersekap dalam tiap dada manusia. Mula-mula ciptaannya diambil dari ilham
ilmu Pancawara (gelombang angin pegunungan yang datang dan perginya cepat serta
tak terduga). Kemudian tatkala Sangaji berlatih dengan pedang Sukayana yang
beratnya 100 kati lebih, ia menggabungkan dengan jurus-jurus Kumayanjati yang
sederhana, ternyata serasi dan sejiwa. Dahsyatnya tak terkirakan. Permukaan
laut yang kena sapunya melompat tinggi di udara dan melanda pantai dengan
bergemuruh. Ini disebabkan karena sifat Kumayanjati dan pedang Sokayana yang
ternyata terbuat sebagian besar dari campuran baja, besi berani dan monel.
Menghadapi Edoh Permanasari, Sangaji tak mau menggunakan senjata berukuran
besar dan terbuat dari besi campuran. la takut akan merupakan saluran tenaga
sakti yang luar biasa dahsyatnya. Maka dipilihnya sebatang kayu yang sifatnya
justru memusnahkan daya getaran. Perlunya, ia hanya menyalurkan tenaga angin
saja yang kurang berbahayanya daripada daya getaran. Pada saat itu, di
gelanggang pertarungan terdengarlah suara pedang Sangga Buwana meraung
berdengungan. Edoh Permanasari memutar pedangnya luar biasa cepat. Penonton
menjadi kabur dibuatnya. Namun dengan tenangnya Sangaji masih saja
menggores-gores udara seakanakan tidak memedulikan. Sekalipun demikian, gerakan
Sangga Buwana seperti terbendung tembok yang tiada kelihatan. Kemana saja
larinya pedang Sangga Buwana, selalu terpental balik. Bahkan lambat-laun
gerakan Edoh Permanasari makin lambat seolah-olah terbungkus oleh suatu
perangkap halimun. Perlahan-lahan Sangaji menindihnya. Gerakan ilmu saktinya
makin lama makin padat. Itu suatu tanda, bahwa angin pancawara sudah tertimbun
berjejal-jejal. Kalau mau, ia tinggal melontarkan saja. Dan Edoh Permanasari
akan terpental ke udara. Edoh Permanasari sendiri nampak bertambah kuwalahan.
Berat pedangnya terasa bertambah berat dan berat. Manakala tenaganya susut,
pedang Sangga Buwana terseret arus tenaga sakti Sangaji. la mencoba menarik
untuk menyingkir. Tetapi malahan terseret melingkar-lingkar. Gugup ia menebas.
Namun pedangnya tak pemah dapat menyentuh pedang kayu. Ia jadi kebingungan.
Sebab pedangnya tak bisa lagi ditarik atau ditusukkan. Sekarang ia menjadi
jeri. Dan selama hidupnya baru kali itu, ia berkecil hati. Suatu peristiwa yang
baru dialami. Setelah mendekati 400 jurus, makin nampaklah ia kepayahan. Ia
mencoba mengganti ilmu pedangnya yang lain. Namun hasilnya masih nol besar. Mau
tak mau ia benar-benar merasa keripuhan. Dalam pada itu, Sangaji sudah memasang
jaring-jaring serangan. Sedikit demi sedikit ia mempersempit lingkarannya. Bagi
orang lain, tiada mengetahui dengan pasti apakah dia lagi menyerang atau
bertahan. Hanya Andangkara, Tatang Sontani, Tubagus Simuntang, Dwijendra,
Walisana, Dadang Wiranata dan Ratna Bumi yang tahu. Sedang Otong Surawijaya
yang ilmu kepandaiannya setingkat lebih rendah dari mereka belum dapat
menangkap inti jingkaran Sangaji yang makin lama makin menjadi sempit. Memang
ilmu sakti Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti ciptaan Kyai Kasan
Kesambi isinya gerakan lingkaran melulu. Lingkaran kecil dan lingkaran besar.
Namun tetap bergerak tak ubah gelombang samudera yang tiada hentinya. Tetapi
tahu-tahu terdengar suara pekik Edoh Permanasari terkejut. Semua penonton
menajamkan penglihatan. Edoh Permanasari nampak mundur selangkah. Kemudian
dengan memekik tinggi, tiba-tiba masuk ke dalam perangkap jaringan sambil
menusukkan Sangga Buwana. Itulah suatu jurus mati bersama lawan. Dalam
terkejutnya, Sangaji menjepit ujung punggung pedang. Dengan tenaga saktinya
yang luar biasa dahsyatnya, seketika itu juga pedang Sangga Buwana terlengket
erat. Kemudian tangan kanannya yang memegang pedang kayu terangkat ke atas dan
turun hendak menabas. Tiba-tiba terdengarlah suara, "Ampunilah dia!"
Mendengar suara itu, Sangaji kaget. la sudah terlanjur menurunkan pedang
kayunya dengan deras hendak menebas lengan. Tetapi tak kecewa ilmu sakti Keris
Kyai Tunggulmanik yang meresap dalam dirinya. Dalam rasa kagetnya, masih saja
ia bisa memencengkan tebasan. Karena terjadi suatu pertentangan, terbitlah
kesiur angin timbunan Pancawara. Dan dengan tak terkendalikan lagi, meledaklah
gumpalan ilmu Kumayanjati. Sebelum sadar apa akibatnya, tubuh Edoh Permanasari
terangkat naik dan terbanting tinggi seperti benda tipis ringan yang
terlemparkan ke udara. Di tengah gemuruh sorak dan pekikan, Sangaji menoleh ke
arah suara tadi. la melihat Kamarudin berdiri sempoyongan dengan gumpalan darah
di mulutnya. Dengan hati terkesiap ia melesat menghampiri. Kiranya semenjak
tadi dalam diri Kamarudin terjadilah suatu pergulatan seru antara dendam dan
kisah asmaranya. Melihat Edoh Permanasari, hatinya meledak bagaikan guntur.
Itulah disebabkan, lantaran teringat seluruh anggota keluarganya dibinasakan
oleh iblis itu. Tetapi begitu melihat Edoh Permanasari dalam bahaya, tanpa
disadarinya memintakan ampun. Bagus, itu suatu tanda bahwa ia sudah dapat
memenangkan rasa dendamnya dengan suatu keikhlasan. Namun bagi dirinya sendiri,
akibatnya sangat runyam. Seperti diketahui ia baru saja kena racun berbahaya.
Pertolongan Sangaji terhadapnya sekedar pertolongan pertama. la belum sempat
merawat, lantaran terjadilah perkembangan peristiwa. Dengan demikian, racun itu
berkembang lagi. Dan lantaran dalam dirinya terjadi suatu guncangan racun
lantas saja menyerang jantung. Itulah sebabnya, begitu habis melepaskan ucapan,
segumpal darah meloncat ke tenggorokan. "Paman...! Kau... kau...
sebenarnya belum boleh mengeluarkan tenaga ..." kata Sangaji dengan gugup.
Dengan mata jernih, Kamarudin menentang pandang Sangaji. Kemudian mengalihkan
pandang kepada tubuh Edoh Permanasari yang mulai turun deras dari udara. Ia
tersenyum di pinggir mulut berbareng berbisik, "Terima kasih ..."
Setelah berkata demikian, tubuhnya lunglai. Cepat Sangaji menyambar tubuh
Kamarudin hendak membantu dengan tenaga getah saktinya. Tetapi maut lebih cepat
lagi. Kepala Kamarudin tunduk. Dan ia sudah tidak lagi di dalam percaturan
dunia, dengan membawa suatu kemenangan besar dalam dirinya. Dalam pada itu Edoh
Permanasari sudah turun ke bumi dengan selamat, wajahnya pucat lesi. Melihat
Kamarudin mati dalam pelukan Sangaji, ia memutar badan dan berjalan
tertatih-tatih meninggalkan gelang-gang. "Hai!" seru Sangaji.
"Ini... ini..." "Hai, hai apa? Bukankah kau yang
membunuhnya?" sahutnya. "Mengapa aku?" Sangaji heran.
"Buktinya dia mati di pelukanmu." Mendengar jawabannya, Sangaji
tergugu. Lantas saja teringatlah dia kepada persoalannya sendiri. "Hai,
kenapa Kamarudin mati dalam pelukannya? Apakah ini suatu lambang kisah asmara
yang buruk baginya?" Betapapun juga, kisah asmara itu merunyam pula dalam
diri Edoh Permanasari. Tanpa menoleh, terus saja ia turun gunung.
Murid-muridnya segera mengikuti. Melihat kepergian Edoh Permanasari beserta
murid-muridnya, Sangaji buru-buru memanggil Ida Kusuma. "Nona...! Tolong
haturkan pedang Sangga Buwana ini. Maaf dengan terpaksa aku tadi merampas
pedang pusaka yang sangat menakutkan hatiku." Wajah Ida Kusuma menjadi
merah jambu. Tiba-tiba saja ia menjadi kikuk pula. Kiranya semenjak ia melihat kegagahan
Sangaji, hatinya sudah terampas dengan tak disadarinya sendiri. Keruan saja
begitu ia berhadap-hadapan dengan Sangaji secara tak terduga-duga, jantungnya
berdegupan. Sebaliknya Sangaji mempunyai kesan baik terhadap gadis yang molek
itu. Itulah sebabnya ia bersikap ramah. Sekali lagi Sangaji mengangsurkan
pedang Sangga Buwana lebih dekat lagi. Kali ini Ida Kusuma tersadar.
Tersipu-sipu ia menerima sambil berkata setengah berbisik, "Terima
kasih..." Hanya sekejap adegan itu, namun bagi Ida Kusuma akan merupakan
kenangan yang paling indah. Dengan perlahan-lahan ia memutar badannya dan
segera mengikuti gurunya menuruni dataran tinggi. "Wah!" kata si
jahil Otong Surawijaya, "Coba dia tak dititipi pedang Sangga Buwana,
pastilah akan betah berada di sini..." Mendengar kata-kata Otong
Surawijaya, wajah Sangaji terasa menjadi panas. Sekonyong-konyong terdengarlah
suara melengking panjang. "Hai anak muda! Numpang tanya siapakah
namamu?" Dengan tersipu-sipu Ida Kusuma menerima pedang Sangga Buana dari
tangan Sangaji sambil berkata setengah berbisik, "Terima kasih..."
Hanya sekejap adegan itu, namun bagi Ida Kusuma akan merupakan kenangan yang
paling indah. Sangaji menoleh. Melihat seorang kakek berperawakan pendek tipis,
cepat-cepat ia membungkuk hormat seraya menyahut, "Aku bernama
Sangaji." "Nama bagus," kata kakek itu. Tiba-tiba seorang kakek
pula berperawakan tinggi jangkung muncul di belakang kakek yang pertama. Terus
menyambung, "Hei, hei ... nama itu seperti namaku waktu bayi."
"Mana bisa?" bentak kakek pendek tipis. "Benar. Ibu yang bilang.
Tapi lantaran aku sakit bengek terus menerus lantas namaku diganti dengan si
Begog." la menungkas dengan sungguh-sungguh. Lalu berkata nyaring kepada
Sangaji, "Anak muda... kakek ini adalah kakak seperguruanku. Namanya
Sianyer." "Begog! Orang tidak bertanya, mengapa kauusilan?"
"Habis, belum-belum kau sudah menumpang tanya namanya. Menurut pantas kau
harus membalas." Mendengar serentetan tanya jawab antara kedua kakek itu,
Sangaji tersenyum. Rupanya yang bemama Begog lebih jujur dan lebih ramah
daripada kakek Sianyer. Ketujuh aliran penggerebeg dataran tinggi Gunung
Cibugis, tinggal empat golongan yang belum maju ke gelanggang. Edoh Permanasari
dan Sindung Riwut dari Gunung Gembol sudah meninggalkan gunung. Sedang anak
murid Mandalagiri sudah menyatakan tidak berhak maju ke gelanggang, karena
Kusuma Winata dikalahkan Andangkara. Kini tinggal pendekar-pendekar dari Gunung
Kencana, Gunung Ascupan. Gunung Gilu dan Muarabinuangeun. Maka berkatalah Sangaji
minta keterangan, "Sebenarnya Aki berdua mewakili golongan manakah?"
"Aku sih ... mewakili diriku sen ..." sahut Begog. Tetapi mendadak
dipotong Sianyer. "Begog! Kenapa sih mulutmu ngoceh tak keruan?"
"Eh, hiya... mulut kranjingan... anak muda, lantaran mulutku keranjingan,
kata-kataku tadi jangan kau anggap." Sangaji tersenyum. Sewaktu hendak
menyahut, Sianyer berkata dengan suara nyaring, "Kami mewakili perguruan
Muara-binuangeun. Karena kau sudah merusak nama baik para pendekar yang datang
ke mari, maka kami berdua terpaksa menyelesaikan dengan jalan mengambil
nyawa." Setelah berkata demikian, ia menghunus goloknya. Begog menghunus
goloknya pula sambil berkata, "Kau hendak kami keroyok seperti lalat
mengeroyok onde-onde kerbau. Karena itu yang hati-hati." Dengan hormat
Sangaji menyahut, "Apakah tiada jalan lain?" "Tidak. Sama sekali
tidak," tungkas Sianyer. "Menurut pendapatku, tidak benar. Mengambil
nyawa adalah kejam. Kita tadi bertanding secara ksatria. Menang kalah, bukankah
sudah lumrah terjadi dalam suatu pertarungan? Mengapa Aki berkata aku merusak
nama baik para pendekar yang kuhormati?" kata Sangaji. "Eh benar
juga," sahut Begog. "Jadi menurut pendapatmu kalau kita kalah, nama
kita tidak jadi rusak?" "Sama sekali tidak." "Kalau
begitu... eh Kak Sianyer... anak muda ini bilang tidak merusak nama baik. Kalau
begitu..." "Diam!" bentak Sianyer geregetan. "Mulutmu
kenapa ngoceh tak keruan?" "O, hiya... mulut keranjingan." Begog
mengumpat mulutnya sendiri dan terus mendekapnya erat-erat. Kemudian berkatalah
Sianyer, "Ini soal hidup dan soal mati. Karena itu, terpaksa aku mengambil
nyawamu. Anak-anak murid Muarabinuangeun sudah terlalu banyak tewas di ujung
pedang kaum Himpunan Sangkuriang." Mendengar ujar Sianyer, rupanya Begog
tak kuasa lagi mendekap mulutnya. Terus saja menyahut, "Baiknya kau
mengaku kalah. Habis sih ... jurus kita berdua ini kalau main keroyok sangat
berbahaya. Rasanya tidak adil. Lekaslah mengaku kalah. Lantaran jurus keroyokan
kita itu ... lihat ... aku akan berada di sini dengan golok melintang, sedang
kakakku seperguruan menyerang dari sana dengan golok kita ..." "Diam!
Diam! Diam!" bentak Sianyer sambil menumbuk-numbukkan kakinya di atas
tanah. "Kenapa mulutmu ngoceh tak karuan?" "O, hiya ... mulut
keranjingan!" umpat Begog kepada mulutnya sendiri. Kali ini dia hendak
berusaha sungguh-sungguh menguasai mulutnya. Maka goloknya dikempit dan kedua
tangannya mendekap mulutnya kencang-kencang. Mau tak mau Sangaji tersenyum
juga. Teringatlah betapa pendekar-pendekar sakti itu kerap kali mempunyai adat
aneh, mirip manusia gendeng. Maka di dalam hatinya, tak mau ia meremehkan.
Benar saja. Sekonyong-konyong Sianyer bersuit nyaring. Dan Begog yang masih
mendekap mulutnya, cepat-cepat menyambar goloknya. Dan mulutnya lantas ngoceh
lagi, "Anak muda! Kau bersenjata apa?" "Ini," sahut Sangaji
sambil memperlihatkan pedang kayunya. "Tak mau! Tak mau!" kata Begog
seraya mundur. "Mengapa?" Sangaji heran. "Kami berdua bersenjata
golok pusaka peninggalan Raja Ciung Wanara, masakan kau akan melawan dengan
ranting kayu? Itu tak adil. Tak mau! Tak mau!" "Ah benar,"
Sangaji menyahut dengan suara ramah. "Melawan Aki berdua masakan pantas
hanya menggunakan ranting pohon. Tapi karena pedang kayu ini sudah berjasa
besar, biarlah kutanamnya baik-baik." Dengan menjepit pada kedua jarinya,
pedang kayu lalu disambitkan ke tanah. Cet! Dan pedang kayu itu lenyap ke dalam
bumi. Yang nampak hanyalah lubang kecil tak ubah lubang jangkrik. Pameran
tenaga sakti, tiada seorangpun di antara mereka yang sanggup melakukan. Itulah
sebabnya setelah terdiam sebentar, para pendekar kedua belah pihak
bersorak-sorak dengan tepukan riuh rendah. Begogpun tak mau ketinggalan. Dengan
mengempit goloknya, ia bertepuk-tepuk tangan sambil berjingkrakan. Masih
mulutnya nerocos, "Bagus! Bagus! Sekarang kau bersenjata apa?"
Sebenamya menilik watak Sangaji yang sederhana dan berhati mulia, tidak mungkin
dia memamerkan kepandaiannya di hadapan umum. Hari itu tidak hanya memamerkan
kepandaiannya saja, tapipun banyak berbicara. Soalnya ia menghadapi satu
persoalan yang luar biasa sulit. Ia harus menggertak dahulu berbareng
menanamkan rasa persahabatan agar kaum penyerbu mau menarik diri dan
meninggalkan gunung. Maka begitu mendengar ujar Begog, segera ia menyahut:
"Aku sendiri tidak membawa senjata apa pun. Menurut pendapat Aki, aku
harus bersenjata apa?" "Ha kau ini lucu, anak muda. Aku bukan gurumu
maupun temanmu bergurau. Sebaliknya aku adalah lawanmu. Masakan aku harus
mencarikan senjata yang cocok bagimu? Tentu saja akan membuatmu rugi. Ya tidak?"
"Biarlah Aki yang memilihkan senjata," kata Sangaji setelah berpikir
sejurus. "Aih ... aneh. Jadi kau menurut senjata apa saja yang kupilihkan
untukmu?" Sangaji mengangguk. Dan Begog mengusap-usap jenggotnya yang
tumbuh serabutan. Katanya berkomatkamit, "Melihat gerak-gerikmu tadi, kau
ini seorang pemuda penjelmaan malaikat. Dengan tangan kosongmu, agaknya kau
mampu juga melawan kami berdua." "Baiklah. Kalau perlu aku akan
bertangan kosong saja." "Eh, mana bisa begitu? Mana bisa
begitu?" Begog berjingkrakan. "Begini saja..." Ia melayangkan
penglihatan. Matanya berhenti kepada sebuah tiang paseban Gedung Markas Besar
yang sudah terbakar separuh. Di antara puing-puing temboknya, tiang paseban
terang terbuat dari besi. Gkuran tiang itu sebesar sepelukan kanak-kanak.
Beratnya tak kurang dari setengah ton (500 kg). Tingginya tiga meter lebih. Dan
melihat tiang paseban itu, timbullah kenakalan Begog. Terus saja ia menuding
sambil berseru, "Itu saja. Kukira kau paling cocok bersenjata galah besi
segede itu." Terang sekali maksud Begog hanya bergurau. Tak terduga,
Sangaji terus menghampiri tiang paseban dan dicabutnya. Dengan sekali tarik,
ambrollah tiang itu. Dan tembok yang sudah hangus termakan api, runtuh
berguguran. "Hai-hai! Aku cuma bergurau saja ... Kau ... kau," seru
Begog kebingungan. Namun seolah-olah memegang sebatang senjata yang enteng,
tiang besi itu diputer-puter di atas kepalanya. Dahulu ia pernah mencoba
kekuatannya. Ternyata dia dapat menjebol batu pegunungan untuk dibuatnya sebuah
kubu pertahanan darurat. Tenaga dahsyat demikian membuat kagum
pendekar-pendekar sakti dan kinipun demikian. Melihat Sangaji dapat menjebol
tiang paseban dan kemudian memutar-mutarkan di atas kepala, semua orang
ternganga sampai suasana gelanggang jadi sunyi hening. "Ai... benar-benar
kau penjelmaan malaikat... Bagaimana mungkin kau... kau..." jerit Begog
kagum. Dan mendengar suara Begog, barulah semua orang bersorak dengan
gemparnya. Sianyer yang semenjak tadi berdiam diri, saat itu tersadar. la
insyaf, bahwa lawan yang dihadapinya bukan lawan lumrah. Selama hidupnya, baru
kali itu ia menjumpai seorang pemuda yang memiliki tenaga raksasa begitu
dahsyat. Maka ia melintangkan golok pusakanya untuk segera menyerang.
"Maaf!" katanya. Dan sekali berkelebat, goloknya menebas kepala.
Dengan memutar tiang besinya, Sangaji menangkis tebasan golok. Trang!
"Begog hayooo!" seru Sianyer. "Apakah kita berkelahi dengan
sungguh-sungguh?" Begog menegas. "Eh, masakan tolol begitu? Tentu
saja. Apakah kau mau mampus?" "Ah, ya!" Begog terkesiap. Terus
saja ia membabat pinggang. Kedua kakek itu meskipun nampaknya ketolol-tololan
sebenarnya ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Mereka adalah adik seperguruan
Ganis Waluran seorang tokoh sakti di Jawa Barat yang mendirikan aliran
Muarabinuangeun. Dalam penggerebegan ke dataran tinggi Gunung Cibugis, Sianyer
dan Begog ditugaskan oleh kakak seperguruannya untuk mewakili dirinya. Ilmu
golok mereka serasi dan senyawa. Mereka mempunyai cara bermain golok sendiri
yang sukar diduga lawan. Lantaran cara menyerang dan pertahanannya bertentangan
dan tak menurut aturan. Sehingga nampaknya berserabutan sesuka hatinya.
Ontunglah Sangaji bersenjata tiang besi berukuran panjang tiga meter lebih.
Maka dengan hanya memutarkan tiang besinya, sudah dapat menyapu kedudukan
mereka. Dan merekapun sebaliknya tak dapat mendekati. Sesudah bertarung
kira-kira lima belas jurus, tiba-tiba Sangaji melemparkan senjata tiang besinya
tinggi di udara. Sebelum Begog dan Sianyer sadar apa yang hendak dilakukan,
tengkuk mereka sudah kena cekuk dengan berbareng. Karena tenaga sakti Sangaji
sangat dahsyatnya, mereka mati kutu dengan mendadak. Sangaji sendiri dengan
cepat melesat mundur. Dan tiang besi yang terlempar di udara mulai terjun
dengan dahsyat mengancam kepala Begog dan Sianyer. Dalam keadaan tak dapat
berkutik, kepala mereka pasti remuk apabila tertimpa tiang besi demikian
besarnya. Dan melihat adegan demikian, semua orang menjerit cemas.
Sekonyong-konyong Sangaji mengayunkan tangannya mengibas tak ubah sebatang
pedang. Tak! Tiang besi itu terpotong menjadi dua bagian dan terdorong minggir.
Dan dengan tersenyum, Sangaji menepuk pundak Begog dan Sianyer seraya berkata
hormat, "Maaf... Aki senang bergurau, jadi akupun ikut-ikutan pula."
Begog dan Sianyer dapat bergerak seperti sediakala. Mereka terlongong-longong.
Sianyer nampak bersedih hati. Dengan muka penuh prihatin ia memandang Sangaji.
Kemudian berkata dengan putus asa, "Sudahlah, anak muda. Kami menyatakan
kalah." "Tidak bisa! Tidak bisa!" tungkas Begog. "Ini tadi
kan bersenda gurau, bukan?" Sangaji tidak melayani. la hanya tersenyum.
Kemudian berkata, "Lalu kehendak Aki bagaimana?" Belum lagi Begog
menyahut, tiba-tiba terdengarlah suara Manik Angkeran. "Memang kakek jelek
bermuka tebal. Huuu ..." Mendengar ujar Manik Angkeran, Begog menoleh
sambil melototi. Katanya galak, "Kau tahu apa?" "Kau tahu
apa?" Manik Angkeran membalas mendamprat. "Huuu..." Begog
mencibirkan bibirnya. "Huuu..." Manik Angkeran menirukan pula.
"Eh kenapa usilan?" "Eh kenapa usilan?" Ditirukan demikian,
Begog kebingungan juga. Dengan menggaruk-garuk kepala ia mencoba mencari jalan
lain. Sianyer tidak bersabar lagi. Mendamprat, "Kenapa sih mulutmu ngoceh
tak keruan?" "He biasa... mulut keranjingan!" dan terus saja
Begog mendekap mulutnya kuat-kuat. Dalam pada itu, terbitlah suatu kegemparan
di pihak kaum penyerbu. Alang-alang Cakrasasmita yang menjadi pucuk pimpinan
penyerbuan, gusar bukan kepalang. Kemenangan sudah berada di depan hidungnya.
Tapi lantaran anak muda yang tak dikenal itulah, membuat rencana penghancurannya
runyam tak karuan. Memikir demikian ia terus berteriak, "Hai, rekan
Panjang Mas dari Gunung Kencana! Dan rekan Ratu Kenaka dari Gunung Aseupan. Di
antara kita, tinggallah kita bertiga. Mari kita maju berbareng." Terang
sekali, ia menganjurkan suatu pengeroyokan dengan sekaligus. Sudah barang
tentu, kaum Himpunan Sangkuriang memaki-maki kalang-kabut. Otong Surawijaya si
mulut jahil lantas saja berteriak nyaring. "Macam manusia begitu, masakan
termasuk golongan Ksatria? Hai Alang-alang! Mukamu kau sembunyikan di
mana?" Tetapi Sangaji bahkan menjadi senang. Semenjak tadi ia berprihatin
mengingat lawannya akan bertempur secara bergiliran. Inilah bahaya. Sebab
betapapun juga, ia akan menjadi letih. Terus saja ia mengencangkan ikat
pinggangnya bersiaga penuh-penuh. "Hai, anak muda!" seru Begog.
"Alang-alang, Panjang Mas dan Ratu Kenaka mempunyai ilmu kepandaian yang
sangat tinggi. Corak ilmunya seragam dengan ilmu kami berdua. Jika mereka
bergabung, dahsyatnya tak dapat diukur. Biarpun malaikat akan lari
terbirit-birit. Masakan kau bisa melawan tenaga gabungan kami?" "Aku
akan mencoba, Aki..." jawab Sangaji. "Hai, jangan main coba-coba. Ini
soal nyawa. Kalau kau sampai tewas, siapa yang rugi? Hai, anak muda! Apakah kau
sudah kawin?" Sangaji terkejut. Entah apa sebabnya, mendadak saja
berkelebatlah dua bayangan dalam otaknya. Sonny de Hoop dan Titisari. Melihat
mereka dalam benaknya, timbullah suatu kegelisahan dalam hati. Sonny de Hoop
hari ini pasti mencari aku. Dan hari ini di manakah Titisari berada? Ia jadi
bersedih hati. Alangkah akan Iain keadaan hatinya, apabila waktu itu Titisari
berada di sampingnya. Gadis yang berotak encer itu, pasti bisa memecahkan
persoalan yang sedang dihadapinya. Tetapi di mana Titisari pada hari itu
berada, hanya setan dan malaikat-malaikat yang tahu. Melihat Sangaji hendak
dikerubut lima tokoh-tokoh sakti, Manik Angkeran tak dapat menahan hatinya.
Terus saja ia memasuki gelanggang. Dengan menuding Begog ia berkata nyaring,
"Ini tidak adil! Tidak adil kalian sudah pantas menjadi kakekku. Masakan
main kerubut terhadap cucunya." Di antara kelima tokoh sakti tersebut,
hanya Begog yang berhati jujur. Ditegur Manik Angkeran, ia tak bersakit hati.
Setelah berpikir-pikir sebentar, ia mengempit goloknya. Kemudian sambil menggaruk-garuk
kepalanya, ia menyahut. "Ya, benar. Rasanya memang tidak adil. Tapi dia
bilang mewakili Himpunan Sangkuriang. Kalau dipikir, Himpunan Sangkuriang
tinggal runtuhnya saja. Namun kami tunduk pula kepada kehendaknya. Masakan
begini tidak adil?" Sianyer mengenai Iagak-lagu adik seperguruannya itu.
Nampaknya seperti orang tolol, tetapi sebenarnya berotak jujur dan cerdik.
Kalau tidak, masakan dia bisa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka mendengar
adik seperguruannya berkata demikian, ia mengangguk kecil menyetujui.
Sebaliknya Manik Angkeran mempunyai bakat setengah liar seperti Fatimah.
Meskipun ujar pendekar Begog masuk akal, namun tetap ia membantah. Katanya,
"Tetap tidak adil. Tetap tidak adil! Kalian berdua tadi sudah kalah.
Masakan sekarang mau ikut-ikutan mengkerubut pula? Coba bilang, masakan begini
adil?" Begog menggaruk-garuk kepalanya. Dahinya berkerut-kerut,
seakan-akan otaknya mendadak menjadi ruwet tak keruan. Sebagai orang jujur ia
mengakui kebenaran ucapan Manik Angkeran. Namun ia tak boleh mengalah. Akhimya
ia melemparkan pandang kepada Sangaji. Sangaji sendiri masih disibukkan urusan
pribadinya. Tatkala mendengar serentetan perbantahan Manik Angkeran dan Begog,
ia mempunyai kesempatan untuk mengamat-amati segenap lawannya. Terhadap
pendekar Alang-alang Cakrasasmita dan Panjang Mas, ia masih asing. Tapi begitu
melihat wajah pendekar Ratu Kenaka, hatinya terkesiap. Dialah yang semalam
meracun Kamarudin dan dirinya juga setelah mengadu kekuatan. Terhadap tenaga
sakti orang itu, ia tak usah khawatir. Sebaliknya ia harus berjaga terhadap
bisa dan racunnya. Orang demikian, pasti pula dapat beriaku licik di luar
dugaan. "Orang itu bernama Ratu Kenaka. Berasal dari perguruan Gunung
Aseupan." Terdengar Andangkara mengisiki. "Tiada istimewanya. Hanya
saja harus berjaga-jaga terhadap tipu muslihatnya yang licik." Mendengar
bisikan itu, hati Sangaji terbangun. Entah apa sebabnya, tiba-tiba pandangnya
menyala tanpa dikehendakinya sendiri. Dalam pada itu, terdengar Begog berkata
kepada Panjang Mas. "Ah, inilah si Panjang Mas. Sebentar kalau tak tahan,
akan jadi si Panjang Kaki... Wah, bakal hebat jadinya..." Panjang Mas
adalah pendekar angkuh. Di atas Gunung Kencana ia hidup tak ubah seorang raja
yang diagung-agungkan. Kini mendadak diolok-olok oleh seorang adik. yang
ketolol-tololan. Keruan hatinya murka. Sekali menarik pedangnya, ia terus
menikam. Gerakan serangannya ternyata cepat luar biasa. Seperti kilat menusuk
cakrawala, ia menebas pinggang dan pundak Begog dengan sekali gerakan. Dalam
terkejutnya, cepat-cepat Begog menangkis dengan goloknya. Trang! Golok dan
pedang berbenturan hebat. Serangan Panjang Mas kena ditangkis dalam satu
gerakan pula. Si kakek Begog yang nampaknya ketolol-tololan itu, ternyata
seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi. Seumpama ilmu goloknya belum
mencapai tingkatan tinggi tidaklah mudah menangkis serangan pendekar Panjang
Mas yang begitu cepat dan terjadi dengan tiba-tiba pula. Panjang Mas kaget. Ia
kena tergetar mundur. Ia tercengang. Begogpun kena tergetar mundur pula. Diapun
tercengang. Akhimya kedua pendekar itu saling tercengang dan saling mengagumi
ilmu kepandaian masing-masing. Selama hidupnya belum pernah mereka bertemu.
Dengan gebrakan itu, tahulah mereka bahwa ilmu simpanannya masing-masing
ternyata datang dari satu sumber yang sama. Pikir Panjang Mas, ilmu perguruan
Muara-binuangeun ternyata hebat juga. Kalau kita berempat bergabung menjadi
satu, betapa hebatpun bocah itu pasti takkan tahan dalam beberapa gebrakan
saja. Setelah berpikir demikian, segera ia berpaling kepada Alang-alang
Cakrasasmita. Katanya, "Kau sudah bersiaga?" Pada zaman mudanya,
Alang-alang pernah mengadu kepandaian melawan Panjang Mas. Dalam suatu
pertempuran seru, ia kalah seurat. Menurut pantas, sudahlah wajar Panjang Mas
berada pada tingkatan lebih atas. Namun di depan umum, tak sudi ia kalah
perbawa. Apalagi ia dipilih pula sebagai ketua dalam aksi penggerebegan itu.
Maka dengan mengangkat hidungnya ia berjalan dengan lagak tuan besar. Kemudian
memberi perintah kepada bawahannya agar membawa pedang pusakanya. Pedang pusaka
Gunung Gilu terkenal tuahnya. Racun dan bisanya sangat berbahaya. Itulah
sebabnya, murid-murid Gunung Gilu disegani orang. Bukan karena ilmu
kepandaiannya tetapi racun serta tipu muslihatnya. Kini empat orang datang
dengan membawa sebuah niru panjang. Di atasnya nampak sebilah pedang bersarung
hijau. Tahulah orang, bahwa itulah pedang yang sangat berbahaya. "Apakah
bocah itu benar-benar memiliki ilmu siluman?" katanya angkuh sambil
mengambil pedangnya. Panjang Mas menunggu sampai empat orang murid Gunung Gilu
keluar dari gelanggang, kemudian menyahut, "Nanti bisa kita buktikan
bersama. Cuma kakek tolol ini rupanya memiliki ilmu golok lumayan juga."
"Terima kasih Gan )," ujar Begog dengan meninggikan hidungnya.
"Baiklah! Mari kita mulai!" ajak Alang-alang Cakrasasmita. Ia
menghunus pedangnya. Suatu sinar hijau berkeredip jernih suatu bukti bahwa
pedang itu benar-benar bukan sembarang pedang. Lalu berkata kepada Sangaji,
"Kau sudah siap? Senjata apa yang hendak kaugunakan?" Melihat ketua
pihak penggerebek sudah maju ke dalam gelanggang, timbullah maksud Sangaji
hendak membuatnya takluk benar-benar. Dengan demikian, di kemudian hari mereka
takkan bakal mengulang macam penggerebegan lagi. Sekali mengibaskan tangannya,
pedang kayu yang tadi berhasil mengalahkan pedang Sangga Buwana sudah berada
dalam genggamannya. Lalu berkata: "Aku datang ke mari tanpa senjata.
Senjata yang kumiliki hanyalah pedang kayu ini." Mendengar keputusan
Sangaji, pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang terkesiap. Memang mereka tadi
menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa perkasa pedang kayu di tangan
Sangaji sampai dapat mengalahkan ketajaman pedang Sangga Buwana yang tiada
duanya dalam dunia ini. TAPI kini, dia harus menghadapi lima orang dengan
sekaligus yang masing-masing bersenjata pusaka andalannya. Sedikit saja
terbentur salah sebuah senjata lawan, pasti akan patah. "Bagus! Jadi kau
tak memandang mata kepada ilmu himpunan Jawa Barat, bukan?" ujar
Alang-alang Cakrasasmita. "Sama sekali tidak," sahut Sangaji dengan
takzim. "Aku hanya pernah mendengar, betapa perkasa pendekar Ciung Wanara
tatkala mengalahkan Aria Singgela yang sakti pada zaman Pajajaran. Sayang, apa
sebab aku lahir terlambat. Dengan begitu tak dapat menyaksikan keperkasaan
leluhur kita pada zaman dahulu." Pendekar Begog yang berhati jujur
menggaruk-garuk kepalanya. Setelah berdiam sejenak, lalu menghela napas
panjang. Menyahut, "Aih benar... memang ilmu kita tak dapat dibandingkan
dengan ilmumu yang tinggi. Cuma saja, berilah kami kesempatan mengeroyokmu.
Tapi berhati-hati looo... sebab ilmu gabungan kita sangat hebat. Mereka di sana
dan kami di sini. Lantas..." "Diam? Kenapa mulutmu ngoceh tak
keruan?" bentak Sianyer kakak seperguruannya. "O, iya... mulut
keranjingan!" umpat Begog kepada mulutnya sendiri. Dalam pada itu mereka
berempat sudah mengambil sudut serangan. Hanya Ratu Kenaka yang masih saja
berada di luar garis pertempuran. Tiba-tiba membentak, "Anak janda Rudin!
) Meskipun hebat kepandaianmu, masakan berani menghina tumpuan ilmu sakti Jawa
Barat? Kau memang bocah bosan hidup!" Belum lagi suaranya lenyap,
pedangnya berkeredip menusuk punggung dengan cepat. Terang sekali ia sengaja
hendak menyerang secara menggelap, selagi Sangaji terlibat dalam suatu
percakapan. Tetapi Sangaji sama sekali tak memutar tubuhnya untuk
menghadapinya. Ia menunggu sampai ujung pedang Ratu Kenaka nyaris meraba
bajunya. Kemudian dengan mendadak, ia mengayunkan kakinya ke belakang.
Tahu-tahu ujung pedang Ratu Kenaka kena injak. Dan Ratu Kenaka sendiri berusaha
dengan sekuat tenaganya hendak menarik pedangnya. Namun sama sekali tak
bergeming, sehingga keringat dinginnya membasahi tubuhnya. Perlahan-lahan
Sangaji memutar tubuhnya dan menatap wajah Ratu Kenaka dengan mata menyala.
Selama hidupnya, memang ia membenci manusia yang senang menggunakan racun.
Itulah disebabkan, karena gurunya hampir tewas semata-mata kena racun jahat.
Juga dirinya sendiri pernah mengalami kena serangan beracun beberapa kali.
Gntung dalam dirinya mengalir getah sakti Dewadaru sehingga ia terbebas dari
akibatnya. Sekarang, ia menghadapi seseorang yang kemarin malam hampir saja
berhasil menewaskan Inu Kertapati dan kawan-kawannya karena racun berasapnya.
Maka tidaklah mengherankan, bahwa hatinya tiba-tiba menjadi geram. Katanya
kemudian, "Kenapa kau senang menyerang lawan dengan cara menggelap?
Bukankah namamu yang agung akan jadi merosot?" Wajah Ratu Kenaka waktu itu
nampak merah padam. Seluruh tenaganya lagi dikerahkan untuk menarik pedangnya
yang kena injak. Itulah sebabnya, tak sempat ia menyahut. Melihat begitu,
Sangaji tiba-tiba mengendorkan injakannya dengan dibarengi gerakan mendorong.
Hebat akibatnya karena Ratu Kenaka sama sekali tak menduga perubahan dengan
mendadak itu. la sudah terlanjur mengerahkan segenap tenaganya untuk menarik.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong menjadi kendor dibarengi tenaga dorongan
pula. Keruan saja, ia kehilangan keseimbangan. Seketika itu juga, ia terhuyung
ke belakang. Kemudian suatu tenaga luar biasa besarnya, menumbuk dadanya lewat
pedangnya. Ia terpelanting mundur lagi tanpa dapat mempertahankan diri sedikit
pun juga. Pedangnya terdengar bergemerincing beberapa kali. Tahu-tahu ia
tinggal menggenggam hulu pedangnya sedangkan pedang itu sendiri, patah menjadi
sembilan potong. Ratu Kenaka kaget bercampur malu. Gntuk menjaga kehormatan
dirinya, cepat-cepat ia membentak sambil membuang sisa pedangnya.
"Jahanam! Kau hanya bisa mematahkan pedang, tapi tak becus meraba selembar
kulitku..." Sangaji tersenyum. la mengibaskan pedang kayunya sambil berkata
mengajak kepada empat pendekar penantangnya. "Mari kita mulai...!"
Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita yang tidak sabar lagi, segera
membentak kepada Ratu Kenaka. "Kau pergi atau ikut bertempur?"
"Ya, ya, ya..." sahut Ratu Kenaka tergagap-gagap. "Ya, ya, ya...
bagaimana?" "Ya ... aku ... aku ..." Panjang Mas tak sabar lagi.
Terus saja ia mendorong. Di luar dugaan Ratu Kenaka tidak mengelak. Bahkan
tubuhnya lantas kena geser, namun sikapnya tidak berubah. Maka tahulah orang,
bahwa tubuh Ratu Kenaka tak bisa berkutik lagi entah apa sebabnya. Itulah
akibat ilmu sakti Sangaji. Di tepi pantai dahulu, ia sudah berlatih menyalurkan
hawa sakti lewat pedang Sokayana. Kini dengan lewat pedang kayunya, ia
menyerang Ratu Kenaka. Tak ampun lagi, Ratu Kenaka kena diserang suatu tenaga
sakti yang tiada nampak. Tahu-tahu, tubuhnya menjadi kejang. Kakinya tertanam
di dalam tanah tak ubah sebuah area. "Waaah... belum lagi menjenguk
neraka, tubuhnya sudah kaku. Hai, anak muda! Lain kali, kau ajari aku ilmu
siluman begini tanggung biniku, tak bisa mengumbar mulut lagi," seru
Begog. Diam-diam Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita terkejut. Seperti
berjanji, mereka memijat-mijat tubuh Ratu Kenaka hendak melancarkan aliran
darahnya. Namun betapa mereka berusaha, tetap saja Ratu Kenaka tak dapat
dipulihkan seperti sediakala. Dengan peristiwa itu, teranglah sudah bahwa
mereka sudah kalah dalam satu babak. "Mulai!" tiba-tiba Alang-alang
Cakrasasmita menggerung. Pedangnya berkelebat membabat kepala Sangaji. Panjang
Mas tak mau ketinggalan pula. Cepat ia membarengi menusuk dada. Setelah itu,
kakek Begog dan Sianyer menyapu kaki dan pinggang. Luar biasa cepat dan
berbahaya serangan berbareng itu. Namun dengan sedikit menggeserkan tubuh,
tiba-tiba Sangaji sudah lolos dari rantai serangan. Tubuhnya berkelebat
menerobos tebasan senjata mereka tak ubah bayangan yang tak dapat tersentuh.
Tatkala mereka hendak menyusuli serangannya yang kedua, Sangaji sempat
mengibaskan pedang kayunya. Mereka mundur dengan berbareng. Cepat Panjang Mas
membelokkan pedangnya menusuk tulang rusuk. Ia berharap agar Sangaji menarik
pedang kayunya untuk mempertahankan diri. Sangaji terpaksa menangkiskan pedang
kayunya. Tangan kirinya mengebas golok Sianyer. "Bagus!" seru Panjang
Mas di dalam hati. "Kau berani menangkis pedangku. Tapi masakan pedang
kayumu tahan beriawanan dengan pedang pusaka." Ia mengedipi Alang-alang
Cakrasasmita. Pendekar ahli pedang itu, dengan cepat dapat menangkap isyarat
rekannya. Pedangnya terus saja miring sambil mengeluarkan bunyi suara berdengung.
"Mampus!" teriaknya sambil menebas. Di luar dugaan, Sangaji masih
dapat menyelamatkan pedang kayunya. Bahkan dengan gerakan lembut, tiba-tiba
pedangnya sudah menempel pedang Alang-alang Cakrasasmita. Kemudian suatu tenaga
halus, menggoncangkan pedang Panjang Mas. Trang! Pedang Panjang Mas terdorong
ke samping menangkis golok Begog. "Haiyah ... kenapa kau menangkis
seranganku?" teriak kakek angin-anginan itu. Muka Panjang Mas berubah.
Meskipun benar tuduhan kakek Begog, namun tak sudi mengakui. Bentaknya,
"Kaulah yang kurang waspa-da!" Panjang Mas dan Alang-alang
Cakrasasmita meskipun anak didik perguruan lain, namun intisari ilmu pedangnya
boleh dikatakan sama. Setiap kali Panjang Mas melontarkan serangan, secara
wajar serangan Alang-alang Cakrasasmita membantu dari sudut lain. Sehingga
dengan tak sengaja, merupakan ilmu pedang gabungan yang serasi dan rapat.
Sedangkan ilmu golok kakek Sianyer dan Begog sudah diketahui berasal dari satu
sumber dengan ilmu pedang mereka. Hanya saja, gerakan jurusnya bercorak lain,
karena mereka bersenjata golok. Namun setelah mereka bekerja sama, permainan
mereka lambat laun menjadi serasi dan saling menambal kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangannya. Dengan begitu, permainan mereka makin nampak menjadi
teratur dan Iancar sekali. Semenjak tadi Sangaji sadar, bahwa ia akan
menghadapi suatu perlawanan yang berbahaya. Namun tak pernah ia menduga, bahwa
permainan mereka yang timbal balik dan rapat itu, benarbenar tak dapat
dipecahkan. Beberapa kali ia menghadapi detik-detik bahaya. Sayang, ia tak
bersenjata pedang besi atau baja. Karena itu, tak berani ia menangkis suatu
gempuran langsung. Sekali pedang kayunya patah, ia akan bertambah sulit.
Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya golok Sianyer yang membabat dari bawah.
Cepat ia melejit. Di luar dugaan pedang Alang-alang Cakrasasmita memegat
gerakannya. Pada saat itu juga, terdengarlah suara Panjang Mas berteriak pasti.
"Mampus!" Dan pedangnya bersuing membabat lehernya.. Tanpa berpikir
panjang lagi, Sangaji menggerakan jari-jarinya. Ia menempel pedang Alang-alang
Cakrasasmita sambil memunahkan golok Sianyer. Kemudian tenaga saktinya
membendung pedang Panjang Mas. Tetapi golok Begog tiba-tiba merangsang hebat.
Belum lagi ia mengerahkan tenaga untuk menyapunya, mereka bertiga yang kena
tangkis sudah dapat membebaskan diri. Kemudian dengan serentak mencecar suatu
serangan berantai yang dahsyat luar biasa. Tak mengherankan, bahwa Sangaji
benar-benar repot. Dalam seribu kerepotannya mendadak teringatlah dia kepada
Ratu Kenaka. Terus saja ia melesat bersembunyi di belakang tubuh Ratu Kenaka.
Pada saat itu Panjang Mas melontarkan suatu serangan berbahaya. Cepat Sangaji
berputar di belakang punggung Ratu Kenaka. Kalau Panjang Mas tidak menarik
pedangnya, pasti tubuh Ratu Kenaka akan terbelah menjadi dua. Dalam kagetnya,
Ratu Kenaka sampai menjerit. "Hai! Hai!" Apabila Alang-alang
Cakrasasmita mencegat dari arah yang bertentangan, kembali lagi, Sangaji
berlindung di balik punggung Ratu Kenaka. Demikianlah terjadi beberapa kali. Sekali
ia pernah mencoba meraba mereka dengan pedang kayunya. Tapi hasilnya nol besar.
Bahkan pahanya kena tusuk golok Sianyer. Maka cepat-cepat ia berlindung di
belakang punggung Ratu Kenaka sambil mengamat-amati corak permainan mereka yang
bagus luar biasa. Namun tetap saja ia belum memperoleh titik-tolak serangan
mereka, sehingga terpaksalah ia bermain kucing-kucingan. Pikirnya di dalam
hati, benar-benar mataku picak sekali. Terlalu rendah aku menilai
ksatria-ksatria Jawa Barat. Kini aku benar-benar menumbuk batu. Apakah yang
harus kulakukan untuk melawan mereka? Sangaji benar-benar dalam keadaan
bingung. Ia mengira bahwa setelah mengantongi ilmu sakti keris Kyai
Tunggulmanik, akan dapat melawan semua ilmu sakti di persada bumi ini. Ia lupa,
bahwa dirinya belum memiliki ilmu sakti yang berada pada guratan pusaka Bende
Mataram yang masih merupakan teka-teki besar baginya. Karena itu, meskipun
guratan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik merupakan sumber pokok dari sekalian ilmu
sakti di kolong jagat ini, namun belum memuat titik tolak rahasianya. Sangaji
bukan Titisari yang berotak cerdas luar biasa. Meskipun tidak boleh digolongkan
manusia berotak bebal, namun reaksi atau daya tanggapan pikirannya tidaklah
secepat Titisari. Maka untuk sekian lamanya, tetap saja ia belum menemukan
titik rahasia permainan gabungan mereka. Waktu itu, darahnya terus menetesi
bumi tiada hentinya. Meskipun luka yang dideritanya tidak parah, namun
nampaknya ia menanggung suatu kerunyaman. Dalam pada itu, terdengarlah suara
tertawa penonton bergegaran. Mereka bukan mentertawakan keadaan Sangaji tetapi
Ratu Kenaka yang tetap berdiri tegak bagaikan sebuah patung belaka. Karena itu
dipergunakan sebagai perisai oleh Sangaji, maka setiap kali suatu serangan
tiba-tiba, hatinya seperti tercabut dari dadanya. Oleh rasa kagetnya, ia
memekik-mekik: "Hai-hai, uh ... eh atau hayaaah." Terang sekali, ia
mau mengelak atau menghindar. Namun tubuhnya tak dapat digerakkan, sehingga ia
hanya dapat mempergunakan suara mulutnya belaka. Inilah yang menggelikan penonton
kedua belah pihak. Panjang Mas rupanya tidak begitu senang dengan Ratu Kenaka.
Apalagi, ia kini merasa dirintanginya. Setiap kali serangannya nyaris mengenai
tubuh Sangaji, selalu gagal karena Sangaji berlindung di belakangnya. Seketika
itu juga timbullah rasa gemasnya hendak membelah tubuh Ratu Kenaka saja. Namun
mengingat, bahwa Ratu Kenaka adalah seorang pendekar besar pula, terpaksalah ia
membatalkan maksudnya. Kakek Begog rupanya tahu membaca keadaan hati Panjang
Mas. Jangan dikira ia seorang pendekar yang tolol benar-benar. Terus saja ia
berteriak, "Panjang Mas! Kau tak sampai hati membunuh pendekar beracun
ini? Baik, kau tak sampai hati tapi aku tidak. Lihat!" "Siapa bilang
aku tak sampai hati?" tungkas Panjang Mas dengan sengit. Mereka berdua membabat
tubuh Ratu Kenaka dengan berbareng. Sangaji terkejut. Dalam detik-detik itu
teriintaslah suatu pertimbangan dalam benaknya. Pikirnya, dia mati, karena aku
menggunakannya sebagai perisai. Kalau sampai mati, pastilah akan timbul suatu (
persoalan baru lagi. lnilah yang tidak kuinginkan. Dengan tangan kirinya ia
mengibas. Suatu tenaga dahsyat luar biasa membendung golok kakek Begog sampai
terguncang miring. Sedangkan pedang Panjang Mas hamper-ham-pir terpatah dari
genggamannya. Tetapi pada saat itu mendadak terdengar suatu kesiur angin.
Itulah sambaran golok Sianyer yang turun menebas pundak. Cepat Sangaji
mengelak. Di luar dugaan, golok Sianyer menyelonong terus mengancam tubuh Ratu
Kenaka. Betapa dahsyat tebasan itu, tapi apabila Sianyer mau pasti dapat
ditahannya. Sebaliknya Sianyer tidak bermaksud demikian. la hanya berteriak
nyaring. "Hai Ratu Kenaka! Awas!" Terang sekali, Sianyer bisa berbuat
licik. Setiap orang tahu, bahwa Ratu Kenaka tak dapat berkutik. Namun ia
berpura-pura tak dapat menguasai goloknya. Di luar dugaan, begitu golok Sianyer
hampir tiba pada sasarannya, suatu tenaga besar membentur goloknya. Sianyer
mundur dua langkah dengan terhuyung-huyung. Melihat Sangaji menyelamatkan
jiwanya dua kali berturut-turut, gugurlah rasa permusuhan Ratu Kenaka. Malahan
dengan diam-diam. Ratu Kenaka mengucapkan rasa terima kasih tak terhingga.
Tetapi waktu itu serangan mereka berempat justru beralih kepadanya. Mau tak mau
hatinya menjadi kecut. Menyaksikan perbuatan mereka, anak murid Gunung Mandalagiri
serta pendekar-pendekar pihak penyerbu lainnya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka tak sependapat dengan perbuatan itu. Bahkan dalam hati mereka merasa
malu. Seumpama Sangaji akhirnya tertimpa suatu malapetaka semata-mata
menyelamatkan jiwa Ratu Kenaka, mereka akan ikut berduka cita. Serangan Sianyer
dan Begog tak pernah surut. Juga Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita.
Mereka mencecar Sangaji terus menerus dan sekali-kali menyerang Ratu Kenaka
yang tak dapat berkutik, Mereka sadar, bahwa untuk menyerang Sangaji, tidaklah
mudah. Satu-satunya pancingan ialah apabila mereka tiba-tiba menyerang Ratu
Kenaka. Dengan serangan itu, Sangaji terpaksa bergerak untuk menolong.
Kesempatan itu, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Panjang Mas dan Alang-alang
Cakrasasmita untuk melontarkan suatu serangan dari belakang punggung. Setelah
berlangsung beberapa kali, lambat laun serangan mereka beralih kepada Ratu
Kenaka. Tipu muslihat demikian benar-benar merisaukan hati Sangaji. Sebab ia
tidak hanya memikirkan dirinya sendiri saja, tetapi pun keselamatan nyawa Ratu
Kenaka. Mereka pandai berpikir juga. Kalau aku sampai lengah, bukankah nyawa
Ratu Kenaka akan musnah? Apa perlu mengorbankan dia? pikir Sangaji. Memperoleh
pikiran demikian, segera ia melontarkan suatu pukulan dahsyat. Mereka kena
dimundurkan dengan berbareng dan pada saat itu pula ia membebaskan tubuh Ratu
Kenaka. Kakek Sianyer rupanya berpenasaran. Begitu ia tegak kembali terus saja
menyerang Sangaji. Tapi serangannya kena dipunahkan dengan gampang. la terpental
ke samping dan tepat berada di depan Ratu Kenaka. Tanpa menyia-nyiakan waktu
yang baik, ia mengayunkan tangannya hendak menebas leher Ratu Kenaka. Namun
Sangaji benar-benar waspada. Tangan kirinya segera menghadang, sehingga mau tak
mau Sianyer terpaksa menarik serangannya. Tak terduga, bahwa Ratu Kenaka kini
sudah bisa bergerak dengan bebas. Begitu ia menarik goloknya, tinju Ratu Kenaka
singgah di hidungnya. Plak! Seketika itu juga, darahnya menyembur dari lubang
hidungnya. Peristiwa itu terjadi dengan tak terduga sama sekali. Para pendekar
kedua belah pihak tahu, bahwa ilmu Sianyer jauh lebih tinggi daripada Ratu
Kenaka. Apa sebab sampai kena kemplangan begitu mudah? Soalnya, karena kakek
itu tak pernah menduga bahwa Ratu Kenaka dapat bergerak seperti sediakala
berkat pertolongan Sangaji. Perubahan yang mendadak itu benar-benar mengibuli
penglihatannya. "Hai! Kenapa kau ... kau ..." kata Sianyer.
"Kenapa bagaimana?" bentak Ratu Kenaka. Alang-alang Cakrasasmita
menengahi, "Ambil senjatamu dan bantulah kami!" "Eh, enak saja
kau main perintah. Aku ini apamu, sampai kau berani memerintah?" potong
Ratu Kenaka, tanpa memedulikan mereka, ia terus hendak memundurkan diri. Di
luar dugaan Begog, menghadang di tengah jalan dan terus menyerang. Namun Ratu
Kenaka bukan pula seorang pendekar murahan. Meskipun tak bersenjata, masih bisa
ia mengelak. Hanya saja, ia kalah cepat. Tahu-tahu siku Begog menyodok dadanya.
Dan ia terhuyung mundur sambil melontarkan darah segar. Alang-alang
Cakrasasmita rupanya panas hati pula, karena kena dampratan. Sekali ia
mengayunkan tangan kirinya dan tubuh Ratu Kenaka terangkat naik. Kemudian
dilemparkan jauh nyaris tiba pada garis gelanggang. Hebatnya lagi, ia masih
bisa pula melontarkan serangan berantai terhadap Sangaji. Ilmu pedang Alang-alang
Cakrasasmita sesungguhnya merupakan ilmu pedang bernilai tinggi. Sekarang ia
bergabung dengan Panjang Mas. Hebatnya tak terkatakan lagi. Dalam pada itu
kedua kakek dari Muara-binuangeun tidak membuka mulut lagi. Mereka nampak
bersungguh-sungguh. Serangan-serangan mereka kian teratur dan berbahaya. Ini
disebabkan, karena tiada lagi halangan. Ratu Kenaka sudah terbuang jauh. Dengan
demikian, serangan mereka benar-benar mengancam keselamatan Sangaji. Sangaji
sendiri sebenarnya tidak terlalu khawatir menghadapi mereka. Tenaga saktinya
yang tiada bandingnya di dunia jauh lebih ulet daripada mereka. Seumpama
dipaksa untuk bertempur satu hari satu malam, takkan mengalami suatu
kemunduran. Sebaliknya kerja sama mereka berempatpun tidak gampang-gampang untuk
dapat digempur hancur. Sebab yang satu menjaga, sementara lainnya bergerak
menyerang. Lagi pula, tipu muslihat dan keragaman corak pertempurannya selalu
berubah dan tiada habis-habisnya. Pertarungan sengit ini membuat setiap
penonton berdebar-debar hatinya. Mereka tahu, bahwa ilmu gabungan Jawa Barat
merupakan suatu ilmu sakti yang bernilai sangat tinggi. Sebaliknya, tenaga
sakti Sangaji yang luar biasa bukan pula berada di bawahnya. Kedua corak
permainan mereka, benar-benar bermutu sangat tinggi. Rupanya bertitik tolak
pada suatu sumber yang sama. Bedanya corak ilmu gabungan mereka lebih banyak
ragamnya. Sedangkan ilmu pertahanan Sangaji yang diperlihatkan sangat sederhana
dan utuh. Kedua pedang Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita terus mendesak
dengan tekanan makin lama makin berat. Sedangkan kedua golok Begog Sianyer
terus-menerus merangsak dari arah yang bertentangan. Beberapa kali Sangaji
mencoba meloloskan diri dari kepungan mereka dengan menggunakan ilmu Mayangga
Seta. Ia selalu berhasil. Dan apabila mau, sebenarnya ia bisa melarikan diri
dengan mengandalkan ilmu larinya yang takkan terkejar oleh mereka. Tapi hai itu
berarti pula, bahwa ia gagal hendak menolong keruntuhan Himpunan Sangkuriang.
Satu-satunya jalan, ia harus bertahan serapat-rapatnya dengan sekali-kali
melontarkan pukulan ilmu sakti Kumayanjati. Dan kemudian setelah letih, ia akan
melancarkan serangan balasan. Sama sekali tak diduganya, bahwa mereka berempat
sesungguhnya merupakan empat pendekar yang ulet dan tabah. Serangan-serangan mereka
tiada nampak kendor. Malahan sama sekali tiada nampak tanda-tanda letih atau
payah. Maka terpaksalah Sangaji bertahan sedapat-dapatnya sambil mengamat-amati
rahasia ilmu mereka. Alang-alang Cakrasasmita dan kawan-kawannya meskipun
merasa diri unggul, namun dalam hati mereka termasuk tokoh-tokoh pimpinan
penyerbu. Menurut pantas, mereka tak boleh main keroyok terhadap seorang lawan.
Untung, Sangaji tadi sudah mengalahkan pendekar Sindung Riwut yang disegani
lawan dan kawan. Dengan demikian, mereka tak usah khawatir akan merosot
pamornya dalam percaturan hidup. Lambat laun, serangan Sangaji terasa makin
sempit. Malahan hampir-hampir tak dapat membuat suatu serangan balasan. Tetapi
sebaliknya, mereka berempat tak dapat juga menyentuh tubuhnya. Apabila senjata
mereka nyaris meraba kulit Sangaji, tiba-tiba saja menebas udara kosong. Dan
tubuh Sangaji sudah berada di tempat lain dengan suatu gerakan yang sukar
dimengerti. Namun mereka adalah golongan pendekar yang sudah banyak makan
garam. Makin sudah menghadapi lawan, makin sadarlah mereka. Seperti berjanji,
mereka kian tekun dan tidak gegabah. Mereka sadar, apabila keburu nafsu
pastilah akan gagal. Dengan demikian, serangan mereka kini berubah menjadi
tertib. Dan tidak lagi asal menyerang seperti tadi. Maka corak pertempuran
mereka kini berubah seperti saling bertahan dan saling mengamat-amati. Saat
demikian, dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh tiap-tiap perguruan untuk
memberi keterangan atau pengajaran terhadap murid-murid dari tingkatan rendah.
Para pendekar Himpunan Sangkuriang yang masih saja belum bisa berkutik, tidak
pula tinggal diam. Otong Surawijaya yang sela manya bermulut usilan terus saja
berseru, "Hai Tatang Sontani! Selamanya kau berotak encer. Coba bagaimana
pendapatmu?" "Andangkara lebih hebat daripadaku," sahut Tatang
Sontani pendek. "Aku bertanya kepadamu, bukan dia!" damprat Otong
Surawijaya,. "Lihatlah! Ilmu pemuda itu sangat aneh. Meskipun ia masih
bisa mengelak, namun ilmu gabungan mereka makin lama makin sukar diraba. Apa
sebab?" "Hm, apa sih hebatnya? Bukankah mereka bertitik tolak pada
delapan penjuru angin?" sahut Tatang Sontani. "Delapan penjuru angin
bagaimana?" Otong Surawijaya mendesak. Tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang
yang menggeletak tak dapat berkutik itu, bukanlah pendekar-pendekar lumrah.
Mereka berkepandaian sangat tinggi. Meskipun tubuhnya kini tak dapat berkutik,
namun pikirannya masih bekerja seperti biasa. Itulah sebabnya, mereka bisa
berpikir dengan leluasa. Dan semenjak tadi, Sangaji tahu bahwa mereka ikut
berprihatin. Dan begitu mendengar percakapan mereka, segera ia menaruh
perhatian. Kata Tatang Sontani, "Delapan penjuru angin yang diputar balik.
Lihatlah dengan saksama! Setiap kali mereka hendak menyerang, pasti mereka
bergerak mundur. Kemudian maju ke titik pusat. Tiba-tiba memasuki penjuru
seorang di depannya." "Ya, ya ... ya, aku tahu. Cuma garis serangan
mereka tidak lurus. Apa sebab?" "Baiklah kuterangkan agak jelas.
Penjuru satu: timur. Lantas barat, selatan dan utara. Terbagi empat penjuru
lagi. Timur laut, tenggara. Barat laut dan barat daya. Jadi delapan penjuru.
Tetapi mereka tidak melalui garis lurus. Mereka membagi lagi menjadi delapan
garis pecahan. Dengan demikian menjadi enam belas pecahan. Kemudian mereka
membuat garis lingkaran menjadi empat bagian. Jumlahnya sekaligus menjadi 4 x
16 = 64 garis titik tolak. Kalau ini dikalikan secara timbal balik sekaligus
berjumlah 64 x 64. Masih pula mereka menggunakan garis-garis miring yang
berjumlah 64 x 9. Nah, berapa jumlahnya?" "Kau hitunglah sendiri!
Biar aku mendengarkan saja!" gerutu Otong Surawijaya. Tiba-tiba Tubagus
Simuntang menyahut, "Itulah mudah. Semua berjumlah 4096 + 666 = 4762
garis. "Bagus! Sekarang kalikan timbal baliknya!" seru Tatang
Sontani. "Itulah ruwet sekali. Apakah maksudmu 4762 x 4762 ? (=
22.676.644). "Ya." "Ouuu ... siapa mau menghitung begitu?"
tungkas Otong Surawijaya. "Kalau begitu, masakan berarti pula bahwa pemuda
itu tidak dapat mengatasi mereka?" Tatang Sontani tak segera menjawab.
Sebaliknya Andangkara yang selama itu berdiam diri, kemudian menyambungi.
"Otong Surawijaya! Kau menguasai ilmu Jala Sutra lndrajaya. Masakan tak
mengerti perdamaian mereka?" "Eh, apakah titik-tolaknya sama?"
"Kenapa tidak? Betapa ruwet permainan mereka, namun kaki mereka tetap
berpijak pada titik-tolak serangan mereka. Apabila anak muda itu bisa
mendahului, pastilah mereka bakal keripuhan. Karena sekali kena didahului,
membuat permainan timbal balik mereka macet di tengah jalan." "Ya,
bagus! Bagus!" seru Otong Surawijaya gembira. Namun tiba-tiba jadi prihatin.
Katanya, "Tapi iblis siapa yang bisa bergerak sece-pat itu?"
"Simuntang pasti mampu," kata Dadang Wiranata. "Ah ya ... Apakah
pemuda itu bisa menyamai kegesitan Simuntang? Itulah soalnya," kata Otong
Surawijaya. "Otong!" seru Simuntang. "Kunyatakan sekarang, bahwa
dibandingkan dengan pemuda itu, ilmu lariku jauh berada di bawahnya. Bahkan aku
pantas menjadi muridnya. Kau percaya, tidak?" Mendengar percakapan mereka,
Sangaji tersadar. Ia sudah mempunyai pengalaman melawan barisan Jala Sutra lndrajaya.
Ontuk melawan mereka, ia harus mengadu kegesitannya. Dan ia berhasil. Oleh
ingatan itu segera ia mengamat-amati gerak tipu mereka. Benar juga. Meskipun
sangat ruwet dan selalu berubah, namun kedua kaki mereka tetap berpijak kepada
kiblat delapan penjuru angin. Gerak-gerik mereka serasi dan saling menutup.
Apabila yang satu maju, lainnya menimpali. Dan yang dua menjaga kelemahan
mereka. Begitu terjadi suatu perubahan, dengan cepat mereka menggeser dan
kembali saling menimpali. Sebenarnya, Sangaji bukanlah seorang pemuda yang
pandai ilmu berhitung seperti Titisari. Namun ia sudah memiliki ilmu sakti
tertinggi di dunia. Begitu melihat, maka berkelebatlah ragam ukiran keris sakti
Kyai Tunggulmanik dalam benaknya. Bagaimana cara memecahkan, segera ia mengetahui
dengan jelas. Itulah disebabkan, karena kunci titik tolaknya sudah terdapat
dengan terang gamblang. Maka kini, ia tidak lagi kelabakan melayani gerak tipu
muslihat mereka. Biarlah aku mengamat-amati sekali lagi, pikirnya. Alang-alang
Cakrasasmita dan Panjang Mas waktu itu nampak makin bersemangat. Apalagi kedua
kakek Sianyer dan Begog benar menguasai gerak tipu muslihat ilmu goloknya. Maka
serangan mereka mendadak menjadi kian rapat dan dahsyat. Sebaliknya Manik
Angkeran yang juga mendengarkan uraian tokoh-tokoh sakti Himpunan Sangkuriang
menjadi khawatir. Sebagai seorang tabib, ia lebih cepat dapat dibuatnya
mengerti tentang lika-liku persoalan betapa rumitpun. la sadar, bahwa
pemecahannya tidaklah mudah. Mengingat Sangaji masih saja belum berdaya menghadapi
mereka, hatinya tak tahan lagi. Terus saja ia berteriak. "Apa-apaan ini?
Empat orang mengeroyok seorang lawan. Masakan tidak malu?"
"Bangsat!" maki Panjang Mas. "Kau monyet kecil apa perlu ikut
campur?'* "Hm ... kau tahu, bahwa kawanmu bakal mampus bukan?" ejek
Alang-alang Cakrasasmita. Karena rahasia hatinya kena terbongkar, mulut Manik
Angkeran mendadak tergugu. Sebaliknya diam-diam Sangaji terharu melihat
sepak-terjang Manik Angkeran yang selalu menaruh perhatian atas keselamatannya.
Maka dengan tertawa gelak ia berkata, "Kau tak usahlah gelisah. Ilmu
begini macam, sebenarnya belum bisa merobohkan aku. Kau percaya, tidak?"
"Tentu saja aku percaya!" sahut Manik Angkeran. "Eh enak saja
kau mengumbar mulut," potong Panjang Mas. "Kalau bisa meruntuhkan kami,
hayo buktikan!" "Kalian ingin aku membuktikan?" kata Sangaji.
"Cobalah, kalau mampu!" bentak Alang-alang Cakrasasmita. "Apa
taruhannya?" "Kalau kami kena kauruntuhkan, kami semua akan
meninggalkan gunung." "Benarkah itu?" "Ucapan seorang
laki-laki!" "Bagus! Dan kau bagaimana Aki?" "Aku?"
sahut Begog. "Aku sih ... mau saja. Tapi anak muda, bagaimana kau bisa
mengalahkan kami?" "Jangan cerewet!" bentak Sianyer. Mereka
berempat terus melancarkan serangan lagi. Tiba-tiba Sangaji melangkah dua
langkah ke kiri. Pedang kayunya dikibaskan ke kanan. Suatu angin dahsyat
berkesiur menghantam punggung Sianyer. la terpaksa ber-geser mundur. Karena
pergeseran itu, mereka ikut merubah titik serangan. Tak terduga, Sangaji
mendesak lagi ke kiri dan membarengi mengibaskan pedang kayunya. Trang! Entah
apa sebabnya, pedang Panjang Mas sekonyong-konyong membentur golok Begog.
Itulah ilmu sakti ukiran Kyai Tunggulmanik yang tertinggi. Namanya, ilmu Guntur
Wijaya atau ilmu adu sakti. Maksudnya mengadu dua kekuatan lawan yang saling
bertentangan kedudukannya. Sudah barang tentu, ilmu demikian tak pernah
termasuk dalam perhitungan mereka. Panjang Mas hanya terkejut. la mengira,
dirinya tak becus menguasai sasaran pedangnya. Sebaliknya, Begog yang kena
bentur segera memutar goloknya kencang-kencang. Dengan memberi isyarat kepada
Sianyer ia merangsak Sangaji. Tak terduga, golok mereka tiba-tiba menjadi
miring arahnya dan menghantam pedang Panjang Mas dan Alang-alang Cakrasasmita
dengan berbareng. Cepat-cepat mereka berputar arah. Tapi sekali lagi, mereka
saling berhantam, sehingga kakek Begog berkaok-kaok. "Hai! Hai! Bocah ini
mempunyai ilmu siluman. Awas jangan sampai kena perangkapnya." Mendengar
seruan Begog, Panjang Mas tersadar. Segera ia menggeser tempat ke kiri. Tapi
dengan gerakan sedikit, Sangaji kembali mengacaukan serangan gabungan mereka.
Dan kembali mereka saling menikam. Pantat Begog kena tusuk. Sebaliknya lengan
Panjang Mas terluka pula. Sianyer dan Alang-alang Cakrasasmita tidak bebas pula
dari suatu luka. Masing-masing mendapat hadiah satu tusukan yang agak lumayan
pula parahnya. Perubahan yang aneh itu, membuat Sianyer berseru dengan
tergopoh-gopoh. "Begog! Jangan bingungJ Bocah ini pandai ilmu gila."
la terus menjejak tanah menyambar dari atas. Sangaji mengibaskan tangan. Dan
serangan Sianyer beralih mengarah Panjang Mas. Gugup Panjang Mas menyabetkan
pedangnya hendak menangkis. Tahu-tahu golok Begog menebas perutnya. Dalam
gugupnya, ia sampai menjerit, maka dengan mati-matian Alang-alang Cakrasasmita
memegat arah tebasan golok itu. Tak terduga sama sekali, bahwa golok Sianyer
tiba-tiba memukul kepalanya. Itulah akibat ilmu sakti Sangaji yang diatur
demikian rupa, sehingga sekali lagi mereka saling melukai. Dan begitulah, dalam
sekejap mata saja ilmu gabungan mereka hancur. Penonton kedua belah pihak
menjadi gempar berbareng heran. Mereka melihat Sangaji menggoyang-goyangkan
pedang kayunya. Dan golok Begog kembali kena dibelokkan menghantam pinggang
Alang-alang Cakrasasmita. Sebaliknya pedang Panjang Mas menusuk tulang rusuk
Sianyer. Beberapa saat kemudian, sekonyong-konyong kedua pedang Panjang Mas dan
Alang-alang Cakrasasmita saling menghantam. Dan kedua kakek itupun saling
bertempur dengan serunya seperti kemasukan setan. Sampai di situ, teranglah
sudah, bahwa Sangaji berhasil menghancurkan ilmu gabungan keempat pendekar
sakti yang merupakan tokoh pimpinan penyerbuan. Hanya saja, mereka tak mengerti
bagaimana cara Sangaji mengacaukan permainan mereka. Di antara para pendekar
Himpunan Sangkuriang, hanya Tatang Sontani sendiri yang memahami ilmu sakti
Sangaji. Ia memiliki ilmu sakti Tunggulwulung yang dapat pula mengalihkan
tenaga lawan seperti yang pernah dibuktikan tatkala ia dikeroyok rekan-rekannya
di pendapa agung. Namun tak pernah ia mengira, bahwa di jagat ini ada seorang
pemuda yang dapat melatih ilmu sakti semacam itu demikian sempumanya. Maka kali
ini, benar-benar ia merasa kagum dan takluk. Makin lama Sangaji makin keras
menggoyangkan pedang kayunya. Itulah cara dia mengalihkan titik pusat sasaran
serangan. Sewaktu keempat lawannya kena ditarik ke titik pusat, tangan kirinya
berputar-putar melepaskan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi, Sura Dira Lebur
dening Pangastuti. Hebat akibatnya. Keempat pendekar itu mendadak saja seperti
kena seret suatu arus gelombang dahsyat. Tahu-tahu mereka saling bertempur
dengan serunya. Tidak peduli mereka berusaha hendak membebaskan diri, namun
tetap saja mereka terlengket pada garis lingkaran. "Sianyer!" teriak
Begog. "Kenapa kau malah menggebuk aku?" "Aku hendak menebas
bangsat cilik ini. Masakan aku menyerang kau?" damprat Sianyer.
"Kalau begitu... kalau begitu... golokku mungkin menghantam
tengkukmu!" seru Begog. Benar juga. Begitu ia menebaskan goloknya ke arah
leher Sangaji, mendadak saja berubah arah. Dengan derasnya, goloknya benar-benar
mengancam tengkuk kakak seperguruannya. Alang-alang Cakrasasmita yang .
bergerak hendak menimpali permainan mereka, terguncang pula pedangnya. Hampir
saja pedangnya menusuk ulu hati Panjang Mas. Dan mengalami perubahan demikian,
Panjang Mas lalu melemparkan pedangnya ke tanah. Kemudian mundur meninggalkan
gelanggang. Sebaliknya Begog masih penasaran. la melemparkan goloknya pula,
tapi dengan mendadak menghantam dada Sangaji dengan tinjunya. Dengan tersenyum
Sangaji mengibaskan tangan. Dan tinju Begog membelok arahnya dan menggebuk
tengkuk Panjang Mas yang sedang berjalan meninggalkan gelanggang. Keruan saja
Panjang Mas terkejut mendengar kesiur angin. Cepat ia menyongsong serangan itu.
Bres! Kedua pendekar itu terjengkang mundur dengan berbareng. Panas hati
Alang-alang Cakrasasmita melihat rekannya diserang kakek Begog. dalam keadaan
tak berjaga-jaga, pedangnya hendak menyambar. Sekonyong-konyong Panjang Mas
berteriak, "Lemparkan pedangmu! Dia tak bermaksud menyerang aku!"
Mendengar teriakan itu, Alang-alang Cakrasasmita membuang pedangnya jauh-jauh.
Kemudian dengan pandang kagum luar biasa, ia mengamat-amati wajah Sangaji.
"Anak muda! Kau hebat! Aku akan menepati ucapanku," katanya dengan
menghela napas. "Agaknya Himpunan Sangkuriang masih jaya. Sudah terang
keruntuhannya tinggal di ambang pintu siapa mengira, tiba-tiba muncullah engkau
sebagai dewa penolong. Selamat!" Setelah berkata demikian, ia melambaikan
tangannya. Lalu mendahului turun gunung. Para pendekar lainnya dengan berdiam
diri pula mengikuti dari belakang. Panjang Mas, kakek Begog dan Sianyer serta
Ratu Kenaka tidak lagi membuka suara. Mereka mengakui Alang-alang Cakrasasmita
sebagai pimpinan penggerebegan. Sekarang ia sudah menyatakan turun gunung. Maka
mereka tak berhak untuk membangkang. Demikianlah sebelum sore hari tiba, lembah
ketinggian Gunung Cibugis telah bersih dari kaum penyerbu. Ketenangannya mulai
meresap dan mengalir ke dalam tubuh tiap Himpunan Sangkuriang. Sangaji sendiri
waktu itu mendadak saja terpaku tak ubah area. Seluruh tubuhnya terasa lemah
lunglai. Bukan karena ia telah kehilangan tenaga, tetapi semata-mata oleh
kegoncangan hatinya. Selama hidupnya belum pernah ia berbicara selincah itu.
Menilik wataknya yang sederhana dan pendiam, terang sekali bahwa kejadian demikian
adalah semata-mata memaksa diri, demi keselamatan Himpunan Sangkuriang. Oleh
hebatnya pertentangan antara wataknya yang asli dan kesadaran akalnya, kini ia
tergempur dari dalam. Seperti tiada bersendi tulang, sekonyong-konyong ia jatuh
terjongkok. Dan ia berdiam diri seolah-olah kehilangan kesadarannya. ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 43 ILMU SAKTI TUNGGULMANIK di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 43 ILMU SAKTI TUNGGULMANIK"
Post a Comment