BENDE MATARAM JILID 29 AJALNYA SANG DEWARESI
Benar-benar
Adipati Surengpati muncul di dalam benteng dengan jubahnya abu-abu. Seperti
biasa, wajahnya mengenakan topeng mayat yang terbuat dari kulit manusia. Dia
berdiri tegak di ambang pintu bagai Dewa Yama hendak menyebarkan maut. Tiada
seorangpun yang mengatahui, kapan dia tiba. Dan tiada seorangpun yang mendengar
gerak langkahnya. Ia muncul dengan tiba-tiba seolah-olah memiliki ilmu siluman.
Meskipun topengnya tak bertaring, tetapi hebat perbawanya. Pandangnya beku dan
menyayat hati. Ia tegak bagaikan patung, sehingga tak seorangpun berani mengadu
pandang. "Nona! Kau siapa memanggil-manggil anak Surengpati untuk minta
pertolongan?" katanya kepada Fatimah. Ia harus mendengar gadis ini
menyebut-nyebut namanya. Agaknya gadis itu pernah mengenal anaknya. Seperti
diketahui, Gagak Seta meninggalkan benteng untuk mencoba memanggilnya. Tetapi
mencari di mana Adipati Surengpati berada samalah sukarnya dengan menjaring
angin. Tetapi Gagak Seta kenal akan tabiat dan sepak terjang rekannya itu.
Segera ia menggurat tulisan sandi pada suatu tempat tertentu, kemudian
meneruskan perjalanan menye-berangi laut Jawa hendak mendarat di Kari-mun Jawa.
Pada saat itu, Adipati Surengpati belum bermaksud pulang ke pulaunya. Ia
mempunyai kebiasaan lewat di tempat-tempat tertentu yang biasa disinggahi
manakala sedang mengadakan perjalanan. Maka dengan demikian, ia bisa membaca
pesan Gagak Seta. Terus saja ia mencari benteng kuno yang disebutkan, la
datang, sewaktu Cocak Hijau me-rabu Surapati, Fatimah dan Gusti Ayu
Retna-ningsih. Ia menyaksikan pula, betapa muda-mudi itu saling bertengkar dan
akhirnya mengadu kepandaian. Dan apabila mereka bertiga berada dalam bahaya
menghadapi pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede, terus saja ia muncul
dan berdiri tegak di ambang pintu. Fatimah heran melihat tibanya Adipati
Surengpati. Ia belum pernah berjumpa atau mengenal nama besarnya. Karena itu
tak segera ia menjawab. Maklumlah, hatinya penuh curiga. Meskipun ia melihat
para pendekar terkejut juga melihat kedatangannya, siapa tahu dia justru pemimpinnya.
"Nona! Jawablah pertanyaanku ini," Adipati Surengpati menegas.
"Kulihat kau pandai bertempur. Siapa gurumu?" Fatimah penuh
kebimbangan, tapi ia menggelengkan kepala. Tatkala pandangnya bertemu dengan
topeng Adipati Surengpati, hati kanak-kanaknya mulai tergerak. Mendadak saja
timbullah wataknya yang angin-anginan. Terus saja ia menghampiri sambil tertawa
geli. "Apa-apaan ini? Masakan pada siang hari bolong begini, kau masih
tetap menjadi hantu?" Adipati Surengpati mengerutkan keningnya, ia berpikir
sejenak. Tadi ia melihat cara Fatimah melayani lawannya. Sebagai seorang
pendekar besar, dengan segera ia mengenal ilmu gadis itu. Itulah ilmu perguruan
Gunung Damar. Hanya, jurus-jurusnya kacau dan tak teratur. Tahulah dia, bahwa
gadis itu belajar dengan sembarangan saja. Melihat begitu, ia jadi teringat
kepada puterinya sendiri yang di-sayangi. Titisari pun enggan pula menekuni
ilmu kepadanya yang hendak diwariskan dengan teratur. Teringat akan puterinya,
ia jadi sayang kepada Fatimah. Timbullah keputus-annya hendak membela gadis
itu. "Eh... anak!" katanya. "... hidungmu berdarah karena kena
diserang babi bang-kotan itu. Apa sebab engkau tak membalas?" "Aku
tak mampu melawan dia. Apalagi membalas," sahut Fatimah sambil mengusap
darahnya. "Siapa bilang kau tak mampu membalas," potong Adipati
Surengpati cepat. "Kaudekati dan hajarlah seperti caranya. Kau dipukul
sekali dan engkau harus membalas sepuluh kali. Itulah utang-piutang wajar
dengan bu-nganya sekali." Dasar watak Fatimah angin-anginan, ia senang
mendengar ucapan Adipati Surengpati yang bernada liar. Lantas saja ia tertawa
senang. Serunya girang, "Bagus!" Ia menghampiri Cocak Hijau dan
melototkan matanya. Tanpa mempertimbangkan lagi bahwa dia bukan tandingan
pendekar itu, terus saja ia menggaplok mengarah hidung. Tentu saja Cocak Hijau
bukanlah sebuah boneka. Ia seorang pendekar yang beradat berangasan bengis dan
percaya kepada kepandaiannya sendiri. Maka itu, begitu melihat berkelebatnya
tangan Fatimah dengan cepat ia hendak menangkis berbareng menyerang. Tetapi ia
terkejut setengah mati. Belum lagi ia menggerakkan tangannya, lengannya
mendadak kehilangan tenaga. Ketiaknya terasa menjadi nyeri dan kejang tanpa
dimengerti sendiri. Karena itu tangan Fatimah terus melayang menyambar
hidungnya tanpa rintangan lagi. Bluk! Ia kaget berbareng kesakitan.
"Inilah yang kedua!" seru Fatimah gembira. Panas hati Cocak Hijau
kena gaplokan itu tanpa dapat menangkis. Segera ia memasang kuda-kudanya.
Tangan kirinya ditarik untuk melindungi dada. Apabila tangan Fatimah hendak
menyambar hidungnya lagi, ia hendak menyodok dari bawah. Tapi kali inipun ia
tak berdaya juga. Sewaktu tangan kirinya hendak dibenturkan, kembali ketiaknya
terasa kena tusuk dengan mendadak. Lalu lengannya lemas dengan sendirinya dan
melayang turun tanpa tenaga. Karena itu, untuk yang kedua kalinya Fatimah
berhasil menggaplok hi-dungnya. Bahkan kali ini gaplokannya jauh lebih hebat
daripada tadi. Bluk! Tubuhnya ter-goyang-goyang dan nyaris terjengkang ke
belakang. Selagi Cocak Hijau kaget dan kesakitan berbareng heran, semua yang
hadir di situ tak kurang-kurang pula herannya. Manyarsewu, Yuyu Rumpung,
Abdulrasim dan Sawungrana adalah pendekar-pendekar yang mahir pula menggunakan
senjata rahasia dalam suatu pertempuran jarak jauh. Karena itu, pendengarannya
tajam melebihi manusia lumrah. Mereka mendengar suara kesiur angin halus luar
biasa, setiap kali Cocak Hijau hendak menggerakkan tangannya. Mereka tahu,
pastilah itu suara senjata rahasia Adipati Surengpati. Hanya saja mereka tak
mengenal macam senjata rahasia apa yang dipergu-nakan. Biasanya seseorang akan
mati kera-cunan kena sambitan senjata rahasia. Tapi Cocak Hijau hanya mati kutu
belaka. Inilah suatu bukti, bahwa senjata rahasia Adipati Surengpati adalah
lain daripada biasanya. Tentu saja mereka tak mengenal senjata rahasia Adipati
Surengpati. Karena senjata rahasia Adipati Surengpati berwujud jarum halus yang
dilepaskan dari balik lengan jubahnya. Siapa dapat mengelakkan serangan begini?
"Yang ketiga!" terdengar Fatimah berseru lagi. Cocak Hijau terkejut.
Karena kedua tangan-nya kini terasa menjadi lumpuh, sedangkan ia tak sudi
menerima bogem mentah tanpa dapat menangkis, maka ia bermaksud hendak me-loncat
mundur. Tapi baru saja ia hendak mengangkat kaki, tiba-tiba urat-uratnya
menjadi kejang. Dan kedua kakinya mati kaku. Itulah sebabnya ia kaget setengah
mati. Maka tahulah dia, bahwa pukulan Fatimah yang ketiga inipun tak dapat
dielakkan. Hatinya mendongkol dan ingin menjerit tinggi. Tetapi kalau sampai
menjerit, habislah sudah nama besarnya. Karena itu, buru-buru ia menguasai
diri. Tapi justru ia berbuat demikian, air matanya sekonyong-konyong hendak
meloncat ke luar. Bagi seorang pendekar, mengeluarkan air mata merupakan
pantangan besar pula. Celakalah dia! Karena menahan rasa mendongkol dan sakit
hati, air matanya akhirnya merembes juga ke luar. Gugup ia hendak mencoba
menyusutnya. Tapi kedua lengannya telah kehilangan tenaga gerak. Karena itu
akhirnya air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Fatimah berwatak
angin-anginan, namun sebenarnya, hatinya penuh rasa iba, pemurah dan perasa.
Begitu melihat Cocak Hijau men-cucurkan air mata, ia membatalkan gaplokan-nya
yang ketiga. Lalu berkata lembut. "Sudahlah, jangan menangis! Aku takkan
menghajarmu lagi. Dua kali sudahlah cukup...!" Suara lembut itu bahkan
lebih hebat menyayat hati daripada gaplokan betapa keraspun. Maklumlah, dia
adalah seorang pendekar besar yang mempunyai nama. Sepak terjangnya disegani,
dihormati dan ditakuti orang. Kini, terang-terangan dihina seorang gadis
kemarin sore di hadapan para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Hati siapa
takkan hancur menghadapi peristiwa demi-kian. Mendadak saja tubuhnya menggigil
dan bergoyang-goyang. Terus saja ia berbatuk-batuk menyemburkan
gumpalan-gumpalan ludah dan liur jantung. Lalu ia menoleh kepada Adipati
Surengpati dengan mata membelalak. Membentak, "Tuan! Siapakah engkau
sebenarnya? Secara menggelap engkau melukai aku. Apakah itu seorang
pendekar?" Adipati Surengpati tertawa dingin. Menyahut, "Hm... apakah
kau cukup berharga untuk mengetahui namaku? Kau ini macam manusia apakah sampai
berani berbicara demikian kepadaku?" Dengan wajahnya yang menakutkan,
Adipati Surengpati menyiratkan pandang kepada sekalian pendekar. Tiba-tiba
memben-tak. "Semua saja, menggelinding ke luar!" Mereka tadi
mendengar belaka percakapan antara Adipati Surengpati dan Fatimah. Karena itu,
meskipun Adipati Surengpati tak sudi memperkenalkan namanya, mereka semua tahu
siapa dia sebenarnya. Mereka semua tahu dan kenal sepak terjang Adipati
Surengpati yang bengis kejam dan tak mengenal ampun. Itulah sebabnya, walaupun
perintah itu mengejutkan tetapi hati mereka lega juga. Maklumlah, untuk
mengangkat kaki dengan diam-diam, mereka merasa malu. Sebaliknya hendak melawan
apakah bekal-nya? Karena itu, semenjak tadi mereka ber-sikap diam. Kini
mendengar perintah terang-terangan agar meninggalkan benteng. Ini berarti,
bahwa Adipati Surengpati mengampuni mereka. Apakah ini bukan suatu anugerah?
Yuyu Rumpung pernah merasakan hukum-an Gagak Seta. Dengan sendirinya ia kenal
pula, siapakah Adipati Surengpati. Terhadap mereka berdua, hatinya yang
biasanya sebe-sar bongkahan batu mendadak saja meng-keret menjadi sekecil biji
asam. Dialah yang bergerak paling dulu hendak cepat-cepat meninggalkan benteng.
Tapi baru saja berge-rak dua langkah, dengan tiba-tiba Adipati Surengpati
berdiri menghalang di ambang pintu. Terpaksa ia menghentikan langkahnya dan
berdiri tegak tiada berkutik. "Iblis!" bentak Adipati Surengpati.
"Telah kuberi kalian ampun, kenapa belum ada yang bergerak? Apakah kamu
menghendaki aku membunuh kalian semua?" Yuyu Rumpung ketakutan sampai
kakinya menggigil. Ia mengerti bahaya. Karena itu, dengan suara parau ia
mengajak kawan-kawannya. "Adipati Surengpati telah memerintahkan kita
semua meninggalkan benteng. Apa lagi yang kalian tunggu? Hayo keluar!"
Benar ia berteriak demikian, tetapi kakinya belum juga melangkah. Karena
sesungguhnya ia takut ngeloyor seorang diri. Manyarsewu yang beradat berangasan
pula, tak tahan direndahkan Adipati Surengpati. Dengan memberanikan diri ia
menerjang sam-bil membentak, "Minggir!" Matanya melotot dan merah
membara. Tapi Adipati Surengpati tak memedulikan. Bahkan dengan suara dingin ia
berkata, "Kau mau mendesak aku minggir? Hm... jangan mimpi! Dengarkan!
Siapa yang menyayangi nyawa-nya, hendaklah merangkak keluar melalui
selakanganku!"(Kedua kakinya) Pendekar Abdulrasim, Sawungrana, Manyarsewu,
Yuyu Rumpung dan lain-lainnya saling memandang untuk minta pertimbangan. Hati
mereka mendongkol berbareng gusar. Manyarsewu lantas membentak. "Baik! Kau
memang hebat. Tapi masakan kau berani melawan kami beramai-ramai?" Setelah
membentak demikian, terus ia menubruk maju. Tetapi tahu-tahu, tengkuknya kena
cekuk. Tangan kirinya dipuntir ke punggung. Rekatak! Lengannya patah sekaligus.
Kemudian dengan enteng saja, Adipati Surengpati meng-angkat tubuhnya dan
dilemparkan ke ruang tengah dengan sikap dingin. Sudah barang tentu Manyarsewu
menjerit kesakitan. Namun Adipati Surengpati tak memedulikan. Ia mendongak ke
atap dengan sikap acuh tak acuh. Melihat Manyarsewu kena dirobohkan begitu
gampang mereka semua merasa ngeri. Mereka adalah pendekar-pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Kesanggupannya mele-bihi pendekar lumrah. Mereka merupakan
momok hebat bagi rakyat jelata. Meskipun demikian, kena pandang Adipati
Surengpati, hatinya menggigil ketakutan. Bulu romanya menggeridik. Dan entah
apa sebabnya, tenaga jasmaninya seperti punah. "Kamu sayang akan nyawamu
tidak? Bi-lang!" bentak Adipati Surengpati dengan bengis. Tiada seorangpun
berani menjawab. Mereka seolah-olah telah merasa apa artinya bentakan Adipati
Surengpati kali ini. Karena itu, tanpa mengindahkan kehormatan diri lagi Yuyu
Rumpung terus saja merangkak keluar melewati selangkangan Adipati Surengpati.
Melihat perbuatan Yuyu Rumpung, pendekar-pendekar lainnya tak berani pula
mem-bangkang. Seorang demi seorang lantas saja keluar dengan merangkak-rangkak.
Bahkan lambat-laun jadi saling berebutan. Abdulrasim menolong membebaskan Cocak
Hijau dari siksaan Adipati Surengpati. Kemudian dengan menyeret Manyarsewu,
Cocak Hijau memberosot pula dari selang-kangan Adipati Surengpati dengan
diikuti pendekar Abdulrasim. *** Begitu sampai di luar, cepat-cepat mereka
meninggalkan benteng. Dalam hati, mereka mengutuk dan mengumpat. Mau tak mau,
mereka harus mengakui bahwa nama besarnya habislah sudah pada hari itu.
Kegarangannya dan keangkerannya pudar sekaligus tanpa tawar-menawar lagi.
Adipati Surengpati tertawa mendongak ke udara. Kemudian membentak pula kepada
Surapati. "Kaupun tak segera keluar?" Surapati tadi telah kena
tangkap Manyarsewu. Ia belum dapat bergerak dengan leluasa. Karena itu tak
dapat pula merangkak ke luar. "Aku bukan termasuk golongan mereka. Aku
murid Ki Hajar Karangpandan yang mem-punyai tempat sendiri dalam
masyarakat," katanya berani. "Hm," dengus Adipati Surengpati.
"Apakah kau bosan hidup? Aku takkan mengha-langimu. Nah, keluar!"
Surapati adalah murid Ki Hajar Karang-pandan. Betapapun juga, ia mewarisi watak
gurunya. Ia tak sudi diperlakukan semacam para pendekar. Dengan menentang
pandang ia menyahut. "Kau dengar, aku murid Ki Hajar Karangpandan."
"Kalau kau murid Ki Hajar Karangpandan, lantas bagaimana?" potong
Adipati Surengpati. "Apakah kau lantas minta tempat istimewa?"
Adipati Surengpati tahu, bahwa sebagian tenaga Surapati belum pulih. Mendadak
saja ia mengibaskan tangannya. Suatu kesiur angin mendarat tajam pada pinggang
Surapati. Dan sebelum pemuda itu sadar apa artinya, tenaganya telah pulih
kembali. Serentak ia bangun berdiri dan memandang tajam kepada Adipati
Surengpati. Katanya ketus, "Kau memang hebat. Tapi jangan mimpi kau bisa
menggertak murid Ki Hajar Karangpandan!" "Hm, apa sih hebatnya Ki
Hajar Karang-pandan," dengus Adipati Surengpati tak senang, la menjumput
sebatang galah sepan-jang satu kaki, lalu dilemparkan acuh tak acuh kepada
Surapati. Cara melemparnya nampaknya enteng dan sederhana. Tapi kesudahannya
hebat. Pemuda itu dengan mengerahkan segenap tenaganya mencoba menangkis. Namun
ia kena tolak juga. Belum lagi memperbaiki diri, tahu-tahu giginya copot dua
biji. Sudah barang tentu, sakitnya bukan alang kepalang. Mulutnya lantas saja
menyem-burkan segumpal darah. "Akulah Adipati Surengpati yang kau harap
memperlihatkan tampangnya. Inilah tam-pangku. Kau mau apa sekarang?" kata
Adipati Surengpati. Surapati terkejut dan tercekat hatinya. Menilik bunyi
perkataannya, terang sekali Adipati Surengpati telah mendengar ucapan-nya tadi.
Gusti Ayu Retnaningsih—meskipun pernah bentrok dengan pemuda itu—kebat-kebit
juga hatinya, mengingat sepak-terjang Adipati Surengpati yang luar biasa.
Fatimah pun tak terkecuali. Pikirnya dalam hati, pemuda ini bisa celaka
menghadapi dia. Rupanya Adipati Surengpati mendengar belaka semua ucapannya
yang takabur. Entah hukuman apa yang bakal dijatuhkan... Surapati meraba
pipinya. "Tiap orang memang kenal nama besarmu. Tetapi apa sebab tingkah
lakumu bergitu kerdil? Kau hanya berani menggertak seorang tak berarti seperti
aku." Surapati memang mempunyai keberanian di luar dugaan orang.
Dahulu—tatkala meng-hadapi Wirapati dan Jaga Saradenta di Jakarta—ia berani
pula mendamprat dan bersikap angkuh. Meskipun akhirnya ia kena
dijungkirbalikkan, namun keberaniannya patut dipuji pula. Kali ini ia
menghadapi Adipati Surengpati. Keberaniannya melawan berbicara tak kurang pula.
Tetapi Adipati Surengpati lain daripada Wirapati dan Jaga Saradenta yang bisa
mengampuni kesalahan seseorang. Tokoh sakti itu luar biasa bengis dan senang
menuruti kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain. Ia bisa
membunuh seseorang tanpa berkedip. Tetapi kali ini, ia mempunyai kesan luar
biasa terhadap Surapati. Mendadak saja ia bisa menghargai dan sayang kepadanya.
Teringatlah kepada masa mudanya sendiri yang juga tak kenal takut dan bandel.
Maka ia mencoba, "Bagus! Kau berani mencela aku. Coba kalau kau berani, makilah
aku!" Setelah berkata demikian, ia maju menghampiri. Surapati nekad. Ia
tak mengerti ancaman. Dengan membusungkan diri ia meledak. "Aku kau suruh
memakimu? Baik, dengarkan! Kau iblis! Kau setan! Kau siluman!" Pada dewasa
itu, pangkat adipati bukanlah pangkat sembarangan. Pangkat itu hanya bisa
dikenakan oleh kaum bangsawan. Barang-siapa bertemu dengan seorang adipati,
harus cepat-cepat bersembah. Bahasanya harus rapi apabila harus menjawab
sesuatu pertanyaan. Sedikit terdengar kekasarannya, segera akan dikenakan
hukuman. Karena dia akan dipandang memusuhi sang adipati. Tapi kali ini,
Surapati tidak hanya berlaku kasar malahan berani memaki pula. Bisa dibayangkan
betapa hebat hukuman yang akan diterimanya. Di luar dugaan Adipati Surengpati
bahkan tertawa terbahak-bahak. Memang watak Adipati Surengpati lain daripada
manusia lumrah. Ia adalah seorang bangsawan yang tiada kokoh memegang tata
pergaulan. Pandangan hidupnya senantiasa bertentangan dengan pandangan hidup
yang wajar. Kalau seseorang berkata ya—dia malah berpendapat sebaliknya.
Seseorang memuji sesuatu, ia bahkan memakinya. Karena itu, begitu kena maki
Surapati, kesan hatinya justru sebaliknya. Ia menjadi senang dan gembira sampai
tubuhnya bergoncang-goncang. Katanya riuh, "Bagus! Bagus! Kau bersemangat.
Hatimu jantan bagai banteng terluka. Memang aku iblis! Setan dan siluman! Maka
tepatlah makianmu. Tingkatan gurumu masih jauh berada di bawahku, karena itu
betapa bisa aku melayani tampangmu. Nah, kau pergilah!" Sambil berkata
demikian, Adipati Surengpati mengulur sebelah tangannya dan dengan kecepatan
luar biasa, ia menerkam dada Surapati. Kemudian dengan sekali hen-tak, ia
melemparkan pemuda itu keluar pintu. Surapati kena terkam tanpa berdaya.
Tahu-tahu, tubuhnya melayang ke udara. Ia kaget setengah mati. Mau ia percaya,
bahwa dia bakal jatuh berjungkir balik di atas tanah. Kesudahannya di luar
dugaan. Ia jatuh dengan tetap berdiri tegak, seperti kena tangkap. Kemudian
diturunkan dengan perlahan-lahan ke tanah. Murid Ki Hajar Karangpandan itu
heran sampai terlongong-longong. Akhirnya bergumam, "Sungguh berbahaya
manusia itu..." Sekarang—meskipun ia mempunyai keberanian—tak berani lagi
mencaci-maki Adipati Surengpati. Ternyata kepandaian siluman dari Karimun Jawa
itu bagai dewa sakti dari khayangan. Maka dengan mendekap pipinya yang bengkak,
pengap ia memutar tubuh dan berjalan dengan meninggalkan benteng. Gusti Ayu
Retnaningsih segera menya-rungkan cundriknya. Kemudian menghadap ambang pintu
hendak pergi pula. Mendadak Adipati Surengpati berkata, "Nona! Mendengar
pembicaraanmu tadi, engkau adalah tunangan Pangeran Ontowiryo. Benarkah
itu?" Gusti Ayu Retnaningsih hendak menjawab, atau ia melihat Adipati
Surengpati menying-kirkan topengnya. Sehingga ia batal membuka mulut. Ia
tercengang dan agak terkejut demi melihat wajah Adipati Surengpati yang
nggan-teng berwibawa. "Benarkah itu?" Adipati Surengpati mene-gas.
Mendengar pertanyaan ulangan itu, wajah Gusti Ayu Retnaningsih agak terkesiap
dan lambat-laun berubah menjadi merah dadu. Gugup ia mengangguk mengiakan.
"Pemuda tadi murid Ki Hajar Karangpandan. Meski pun gurunya tiada pautnya
dengan Pangeran Bumi Gede, tetapi dia sendiri sudi menjadi begundalnya. Dengan
demikian, dia termasuk pula lawan tunanganmu. Lain kali hendaklah engkau
berwaspada dan jangan gampang-gampang percaya kepada mulut manis," kata
Adipati Surengpati menggurui. "Belum pernah aku bersua dengan tunanganmu.
Tetapi aku mengagumi dia. Kudoakan mulai hari ini, mudah-mudahan dikemudian
hari ia menjadi seorang pahlawan bangsa yang berarti. Semuanya itu Nona,
sesungguhnya terletak di atas pundak Nona." "Mengapa aku?"
potong Gusti Ayu Retna-ningsih. "Aku hanya seorang perempuan."
Adipati Surengpati tertawa dingin. Menya-hut, "ssst, dengarkan! Semua
laki-laki dan perempuan di dunia ini dilahirkan dari rahim perempuan. Dan bayi
yang dikandungnya manunggal hidup dengan ibunya. Ia makan dan senapas dengan
ibunya selama sembilan bulan. Kalau ibunya seorang pengecut anak yang bakal
dilahirkan pastilah menjadi seorang pengecut besar. Sebaliknya manakala ibunya
berwatak jantan, anak yang bakal dilahirkan akan menjadi seorang pendekar gagah
tiada tara. Itulah sebabnya, hampir dapat kukatakan, bahwa pembentukan watak
manusia ini sesungguhnya tergantung pada sikap dan pandangan hidup seorang
wanita. Dan apabila watakmu engkau bina semenjak melayani suamimu..., hm... aku
yakin, bahwa anakmu kelak akan menjadi manusia gagah. Malahan oleh cara
mengasuhmu itu, suamimu akan menjadi manusia gagah pula. Karena sesungguhnya
bersuami-isteri ialah saling memberi dan saling membentuk. Nona mempunyai saham
separo lebih." MENDENGAR KATA-KATA ADIPATI SURENGPATI, GUSTI AYU
RETNANINGSIH DAN FATIMAH terharu hatinya. Sama sekali tak mereka sangka, bahwa
dibalik sepak ter-jangnya yang kejam dan beribawa membersit suatu perasaan naluri
begitu halus. Titisari sendiri yang berada di atas, tercengang-cengang pula.
Hampir delapan belas tahun ia berkumpul bersama ayahnya. Selama itu belum
pernah ia mendengar ayahnya berkata begitu hebat dan perasaan. Tak terasa
matanya jadi berkaca-kaca. Kalau saja bisa meninggalkan Sangaji, segera ia akan
lari menghampiri dan memeluk ayahnya erat-erat. "Paman!" kata Gusti
Ayu Retnaningsih setengah berbisik. "Kalau saja aku bisa menepati setengah
petuahmu, hatiku sudah senang rasanya." Adipati Surengpati menghela napas.
Ia jadi teringat kepada gadisnya. Mendadak saja ia berputar mengarah kepada
Fatimah dan melepaskan pertanyaan tak terduga. "Nona! Kau tadi
memanggil-manggil anak Surengpati. Apakah kau kenal anakku? Di mana dia kini
berada?" Memperoleh pertanyaan demikian, Fatimah kaget sampai pucat
wajahnya. Ia sudah berjanji kepada Titisari takkan membuka rahasia dirinya.
Meskipun terhadap ayahnya sendiri. Maka ia jadi berbimbang-bimbang. Untung,
Adipati Surengpati tak mende-saknya lagi. Dia seorang pendekar yang angkuh
hatinya. Manakala pertanyaannya tiada memperoleh jawaban, tak sudi lagi ia
mengulang. Ia percaya kepada dirinya sendiri, bahwa tanpa memperoleh keterangan
akan bakal menemukan anaknya. Tetapi ia biasa menghukum. Karena itu lantas
berkata, "Aku bertanya padamu, apa sebab engkau tak men-jawab? Bagus!
Mulai saat ini, kalian kularang meninggalkan benteng tanpa izinku."
Setelah berkata demikian, ia menyeret sebuah meja panjang dan dilintangkan di
ambang pintu. Kemudian ia melompat ke atasnya dan menggeletak tanpa segan-segan
lagi. Sebentar kemudian terdengarlah deng-kurnya perlahan-lahan. Waktu itu
matahari hampir tenggelam. Oleh suatu kesibukan dan ketegangan yang terjadi
terus-menerus, mereka yang berada dalam benteng lupa pada waktu. Tahu-tahu suasana
alam telah menjadi remang-remang dan akhirnya benar-benar menjadi gelap pekat.
Fatimah segera menyalakan dian dan dipasang pada dinding. Kemudian duduk
ter-pekur di samping Gusti Ayu Retnaningsih yang berada di atas kursi dengan
pandang kosong. Titisari yang berada di atas loteng lega hatinya menghadap
malam yang bakal tiba. Ini berarti bahwa Sangaji hampir melampaui dua hari dua
malam dengan selamat. Dengan penuh perasaan ia meraba dada Sangaji yang terasa
hangat dan bernapas perlahan. "Aji! Kurang lima hari lagi, engkau akan
memperoleh kesehatanmu kembali," bisiknya. "Ayahku berada di sini.
Ini berarti tiada lagi bahaya yang mengancam." Tetapi baru saja ia habis
berbicara atau sekonyong-konyong terdengar suatu siulan panjang menusuk pendengaran.
Itulah siulan sakti Gagak Seta yang pernah didengarnya tatkala sedang mengadu
kepandaian. Apa sebab pendekar sakti itu melepaskan siulan demikian? Apakah dia
sedang menghadapi bahaya? Dengan mengerenyitkan kening, ia mencoba
menduga-duga. Tak lama kemudian terdengarlah suara tertawa terkekeh-kekeh. Ia
terkejut. Sebab, itulah suara tertawa Kebo Bangah yang menyebalkan hati.
"Hai, pengemis bangkotan!" Terdengar Kebo Bangah berseru nyaring.
"Kau mau mengajak adu lari? Bagus! Mari kita berlomba. Tapi kita berdua
mulai lari dari Klaten menuju Yogya dan terus kemari. Kesudahannya sekali tiga
uang. Nah, sekarang ke mana arah kita?" Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.
"Mari kita adu lari sampai ke ujung dunia! Kali ini mendaki pinggang
Merapi. Lantas turun dan berlomba mencapai pantai selatan. Siapa yang menang,
dialah orang gagah nomor wahid di dunia." Titisari terkejut. Jarak dari
Klaten ke Yogya dan dari Yogya ke benteng ini hampir seratus kilometer jauhnya.
Tetapi mereka berdua ternyata bisa mencapai hanya dalam beberapa jam saja.
Inilah membuktikan betapa kuat dan pesat.lari mereka. Dalam pada itu terdengar
suara Kebo Bangah. "Meskipun kau lari sampai ke ujung langit, aku akan
mengejarmu." Gagak Seta tertawa terbahak-bahak lagi. Terdengar ia
menyahut. "Baik. Malam ini biarlah kita tak tidur. Hayo!" "Jadi
kau hendak menantang kejar-kejaran?" "Mulutmu memang mulut babi!
Masakan aku harus selalu mengulang bunyi perlombaan ini?" "Baik! Mari
kita mulai!" Sebentar saja langkah mereka tak terdengar lagi. Meskipun
Titisari berada di atas loteng tahulah dia, bahwa mereka berdua sudah jauh
meninggalkan benteng. Diam-diam ia berpikir. "Paman Gagak Seta agaknya
sengaja menjauhkan Kebo Bangah dari benteng dengan mengajak adu lari. Inilah
suatu pengorbanan hebat. Ia bakal kehabisan tenaga juga." Mendadak
teringatlah dia kepada ayahnya, la kenal watak ayahnya yang mau menang sendiri.
Dalam hidupnya kini hanya tiga orang yang dihargai. Yakni, Kyai Kasan Kesambi,
Kebo Bangah dan Gagak Seta. Sekarang, ia melihat Kebo Bangah dan Gagak Seta sedang
mengadu lari. Masakan dia akan tinggal men-jadi penonton belaka? Dugaannya
ternyata benar. Tiba-tiba ia mendengar suara Gusti Ayu Retnaningsih.
"Fatimah! Ke manakah perginya Paman Surengpati?" "Lihat di
sana!" sahut Fatimah. "Bukankah itu Adipati Surengpati yang ikut
berlari-larian menjajari dua bayangan? Lihat!" "Ya, benar."
Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas. "Kenapa dalam sekejap saja mereka
sudah meninggalkan benteng begitu jauh? Kenalkah engkau siapa mereka berdua?
Merekapun agaknya sejajar ilmunya dengan Paman Adipati." Mendengar ujar
Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari berkata dalam hati. Hm... sekalipun engkau
pernah berkenalan, apakah keuntungannya bagimu. Malahan kalau kau sampai
kepergok Kebo Bangah, engkau merupakan makanan empuk baginya. "Bukankah
kau pernah kena tangkap kemenakannya?" Setelah melongok ke luar, Gusti Ayu
Retnaningsih kembali duduk di atas kursinya. Wajahnya nampak menjadi resah. Ia
memandang jauh ke luar pintu, agaknya ingin dia meninggalkan benteng. Hanya
saja hatinya beragu, karena malam hari sudah tiba dengan diamf-diam. Melihat
Gusti Ayu Retnaningsih resah hati, Fatimah datang menjajari. Ia mencoba
menghibur. "Sebentar lagi matahari akan ter-bit. Apakah kau takut menginap
dalam ben-teng kuno ini?" Dengan'menghela napas puteri bangsawan itu
menyahut. "Paman Adipati telah mening-galkan benteng. Mestinya kita bukan
menjadi tawanannya lagi. Apakah kau takut mening-galkan benteng?"
"Takut sih tidak. Hanya saja... aku belum bisa meninggalkan benteng,"
kata Fatimah. Titisari tahu—Fatimah teringat akan Sangaji dan dia. Dia sudah
berjanji hendak menjaga benteng sebaik-baiknya. Karena itu tak bisa sembarangan
pergi meninggalkan benteng. "Apakah engkau tak pulang ke kampung?"
"Malam ini tidak," jawab Fatimah pasti. Ia berhenti sebentar
menimbang-nimbang. Lalu berkata, "Tetapi kalau kau takut menginap di sini,
marilah kuantarkan dahulu pulang ke rumah!" Mendengar ujar Fatimah, wajah
Gusti Ayu Retnaningsih berubah menjadi terang. Tapi ia berkata lagi minta
keterangan. "Setelah engkau mengantarkan aku menginap di rumahmu, apakah
engkau lalu kembali ke mari seorang diri?" Fatimah mengangguk. Dan melihat
Fatimah mengangguk, Gusti Ayu Retnaningsih menjadi heran. Tanyanya lagi,
"Mengapa?" Fatimah tak menjawab. Ia hanya memutar , tubuh melemparkan
pandang di sana. "Apakah engkau mempunyai suatu kesulit-an?" Gusti
Ayu Retnaningsih mendesak lagi. Fatimah tak segera menjawab. Sejurus kemudian
ia berpaling dengan melepaskan kata angker. "Aku akan mengantarkan engkau
menginap di kampung. Tunggulah!" Setelah berkata demikian, Fatimah terus
lari ke serambi belakang. Ia muncul kembali dengan membawa tongkat besi semacam
ganjal pintu. Kemudian mendaki tangga dan menghampiri ruang atas. Terdengar dia
berkata seolah-olah kepada Gusti Ayu Retnaningsih. "Tongkat ini biasanya
kubuat mengganjal pintu sekalian alat penggebuk anjing. Kalau aku mesti pergi
meninggalkan benteng, ia kusimpan dalam kamar itu!" Mendengar ujar
Fatimah, Gusti Ayu Retna-ningsih tersenyum geli. Teringat akan watak Fatimah
yang sok angin-anginan, ia berkata menggoda. "Apakah itu tongkat
wasiat?" Fatimah tak menjawab, ia memasukkan tongkat itu ke dalam kamar
melalui lobang dinding dengan sikap acuh tak acuh. "Hm," terdengar
suara mendengus. Itulah suara Titisari menyesali Fatimah. "Kau hendak
meninggakan benteng. Apa sebab mendekati kamar? Dinding banyak matanya. Kalau
sampai ketahuan seseorang, nyawamu akan kuambil." "Kau berkata yang
bukan-bukan seperti anak bawel. Apa sebab tidak menghaturkan terima kasih? Aku
mengantarkan ini demi kebaikanmu." Gusti Ayu Retnaningsih yang mengira
Fatimah sedang menyesali dirinya, segera menyahut gugup. "Bukan aku tak
tahu terima kasih. Hanya saja, aku memang usilan.1 Baiklah, aku sangat
berterima kasih kepada-mu... atas kesedianmu mengantarkan aku menginap ke
kampung." Fatimah mendengar kata-kata Gusti Ayu Retnaningsih. Tetapi
hatinya mendongkol mendengar sesalan Titisari. Dasar ia seorang gadis yang
biasa mengumbar kemauannya sendiri, lantas saja ia membalas mendamprat.
"Meskipun ini bukan wasiat, tapi tongkat ini cukup untuk membuat pecah
batokmu. Kau tahu?" Keruan saja, yang kaget ialah Gusti Ayu Retnaningsih.
Ia adalah seorang puteri bang-sawan yang tak biasa mendengar kata-kata kasar
yang ditujukan kepadanya. Dan celakanya, ia mengira dampratan Fatimah itu
dialamatkan kepadanya. Karena itu ia kemudian menyahut gemetaran. "Adikku
Fatimah! Sekiranya engkau tak senang hati memberi keterangan tentang tongkat
itu, biarlah aku tak usah mendengar. Untuk kelancanganku ini, maukah engkau
memaafkan?" Klontang! Tongkat itu telah dilemparkan Fatimah ke dalam kamar
melalui lobang dinding. Kemudian berbalik cepat mengung-kurkan pintu sambil
berkata nyaring. "Aku akan pergi. Kau boleh mampus di situ!"
Benar-benar Gusti Ayu Retnaningsih menjadi gelisah. Hatinya rasa runyam tak
keruan. Pikirnya bingung dalam hati, aku hanya minta keterangan tentang tongkat
itu dan ia agaknya benar-benar tak senang hati. Kalau dipertimbangkan, memang
akulah yang usilan. Terang sekali benda itu adalah tongkat biasa, tapi aku
menyebutnya sebagai tongkat wasiat. Tentu saja ia merasa tertusuk hatinya.
Kata-kata sendaku ini mungkin dianggapnya mengejek dirinya. Baiklah aku minta
maaf padanya. Memperoleh pikiran demikian, cepat ia memburu dan menyongsong
Fatimah di kaki tangga lalu berkata hati-hati. "Adikku Fatimah... maafkan
aku. Kata-kataku memang kurang tepat." Fatimah terhenyak sejenak mendengar
ucapan Gusti Ayu Retnaningsih. Ia seperti lagi menyiasati, lalu menyahut dengan
suara agak heran bercampur geli, "Minta maaf padaku? Apa yang harus kumaafkan?
Hayo, kita pergi!" Kini, Gusti Ayu Retnaningsih yang menjadi
keheran-heranan sampai ia berdiri menjublak,(tertegun) ia jadi serba salah dan
tak mengerti. Mendadak saja teringatlah dia, bahwa watak saudara-seperguruannya
ini sok angin-anginan dan senang membawa adatnya sendiri.Teringat akan hal itu,
ia jadi jengkel bercampur geli. Pikirnya, terang sekali dia memaki-maki aku.
Sekarang aku minta maaf padanya. Ia menolak... Tadi ia memujikan aku biar mati
di sini. Mendadak mengajak pergi... Apakah... apakah dia sedang kumat? Tetapi
Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang puteri yang perasa. Ia belum puas sebelum
memperoleh keterangan sejelas-jelasnya, apa sebab ia kena maki dan kutuk. Maka
ia berkata minta keterangan: "Fatimah! Kau tadi memaki dan mengutuk aku.
Apakah aku terlalu salah kepadamu?" Fatimah terhenyak sejenak.
"Tidak!" Gusti Ayu Retnaningsih berlega hati. Namun ia masih minta
penjelasan. "Kalau aku tidak terlalu salah kepadamu, apa sebab engkau
memaki dan mengutuk aku?" Kembali Fatimah terhenyak. Tiba-tiba ia ingat
sesuatu. Lantas tertawa lebar sambil berkata, "Pertanyaanmu terlalu melit.
Aku memaki, biarlah aku memaki. Aku mengutuk, biarlah aku mengutuk. Tapi
tenteramkan hati-mu... aku tak bermaksud sungguh-sungguh kepadamu." Setelah
berkata demikian, kemu-dian mengalihkan pembicaraan. "Hayolah kita
berangkat! Kau mau menunggu siapa lagi? Rupanya kau kurang senang kutemani di
sini." Gusti Ayu Retnaningsih hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah
suara menyahut dari luar ambang pintu. "Kalau tak senang kautemani,
biarlah aku yang menemani. Tanggung senang dan nikmat." Berbareng dengan
habisnya kata-kata itu, muncullah seorang laki-laki berpakaian putih, la
berdiri tegak di ambang pintu penuh kewibawaan. Wajahnya tampan dan mengulum
senyum buaya. Dialah sang Dewaresi yang tadi siang mengikuti Kebo Bangah ke
luar benteng. Fatimah heran melihat sang Dewaresi, yang tiba-tiba saja muncul
di ambang pintu. Dengan pemuda itu, belum pernah bertemu. Selagi ia
mengamat-amati, mendadak saja ia kaget mendengar jerit Gusti Ayu Retnaningsih.
"Hai! Kau kenapa?" Ia tercengang. Berbeda dengan Fatimah, Gusti Ayu
Retna-ningsih kenal siapakah dia. Orang itulah yang dahulu menculiknya di Desa
Gebang. Dan hampir saja rusaklah kehormatan dirinya, apabila tiada memperoleh pertolongan
Sangaji dan Titisari. "Dia orang jahat!" teriaknya sulit. "Aku
kenal dia." Mendengar teriak Gusti Ayu Retnaningsih, Fatimah terkejut.
Sang Dewaresi tersenyum lebar. Dengan langkah seorang majikan, ia memasuki
ruang tengah. Pandangnya disapukan ke seluruh ruang. Mendadak saja berhenti
pada pintu ruang atas. "Apakah mereka berada di sana?" tanyanya. Ia
jauh berlainan dengan Gusti Ayu Retna-ningsih. Kecuali sudah berpengalaman
menjadi seorang petualang besar, otaknya cerdas pula. Seperti diketahui, tadi
siang ia mengisiki pamannya tentang jejak Sangaji. Setelah mencari ubek-ubekan
sehari penuh ia kembali ke benteng dan sempat mendengarkan omongan Fatimah
dengan Gusti Ayu Retnaningsih. Ia melihat pula betapa Fatimah mendaki tangga
dan berbicara menghadap pintu atas sebagai seorang petualang yang luas
pengalamannya, segera ia mencurigai tingkah laku gadis itu. (Jntuk sementara ia
menyabarkan diri dengan berharap akan memperoleh keterangan lebih jelas, la
mengintip pembicaraan Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah. Ternyata Fatimah
kurang wajar menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gusti Ayu
Retnaningsih. Dan bagi sang Dewaresi cukuplah sudah untuk memperkuat alasannya
mencurigai Fatimah. "Apakah mereka berada di sana?" ia meng-ulang pertanyaannya.
"Mereka yang mana?" Fatimah mencoba mengelak. "Siapa lagi kalau
bukannya si bocah Sangaji dan Titisari." "Siapa mereka?"
"Hm—di hadapanku masakan engkau bera-ni berlagak pilon?" desak sang
Dewaresi. "Kalau aku benar-benar pilon, kau mau apa?" Fatimah membawa
adatnya yang angin-anginan. Dewaresi tertawa perlahan. Katanya menekan-nekan,
"Terang-terangan, engkau telah berbicara dengan mereka. Masakan engkau
berani mengingkari?" Setelah berkata demikian dengan tiba-tiba ia melesat
mendaki tangga. Sebentar saja ia sudah berada di ruang atas dan berjalan
mondar-mandir melintasi pintu yang terkunci dari dalam. Fatimah terkejut bukan
main sampai ia memperdengarkan pekikannya. Gusti Ayu Retnaningsih tergetar pula
mendengar pekik Fatimah. Meskipun ia sama sekali tak berani ikut menduga-duga,
tetapi ia sudah bisa menebak sembilan bagian. Tanpa disadari sendiri tubuhnya
bergetaran. Melihat kedua gadis itu memperlihatkan rasa cemasnya sang Dewaresi
bertambah yakin. Tanpa berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia mendupak daun
pintu. Pintu itu berusia tua melebihi umurnya sendiri. Kena tendangannya,
sekaligus terjeblak dan runtuh beran-takan. Menuruti kebiasaannya, ingin ia
segera memasuki dengan sikapnya yang girang. Tetapi ia ingat, kali ini dia akan
menghadapi Sangaji dan Titisari. la pernah merasakan ketangguhan Sangaji dan
kecerdikan Titisari yang melebihi manusia lumrah. Anak Adipati Surengpati itu
pernah mengingusinya sampai dua kali berturut-turut tanpa bisa membalas. Yang
pertama di serambi kadipaten Peka-longan dan yang kedua di Desa Gebang. Bahkan
beberapa hari yang lalu ia hampir mati, kena jarum Titisari di hadapan
paman-nya tatkala sedang diuji Adipati Surengpati. Teringat akan hal itu, mau
tak mau ia harus berhati-hati dan tiada berani berceroboh. Itulah sebabnya, ia
menunggu beberapa saat dengan sikap waspada. Apabila tiada reaksinya, diam-diam
ia jadi curiga bercampur heran. Karena ruang kamar gelap gulita, cepat ia turun
dan datang kembali dengan membawa obor. Sekarang ia melihat Titisari yang duduk
berjajar dengan Sangaji. Wajah Sangaji nampak pucat dan kuyu. Napasnya berjalan
perlahan-lahan dan nampak tiada bertenaga. Diam-diam ia bersyukur dalam hati,
karena sebagai seorang yang sudah berpengalaman tahulah dia, bahwa lawan yang
disegani itu sedang menderita luka parah. Sebaliknya terhadap sikap Titisari ia
jadi gemas dan cemburu. Gadis itu walaupun nampak kucai tiada mengurangi
kejelitaannya. Matanya masih saja bersinar menyala. Ia duduk menempel bagai
seorang mempelai baru yang ingin disanjung rayu. Kulitnya yang kuning bersih
kelihatan padat dan montok. "Adikku! Apakah kau sedang berlatih di
sini?" Sang Dewiresi minta keterangan. Sudah barang tentu sang Dewaresi
tahu, bahwa gadis itu sedang menolong mengembalikan kesehatan Sangaji. Tetapi
ia emoh melihat kenyataan demikian. Dalam lubuk hatinya, benar-benar ia tak
rela Titisari bekerja untuk saingannya. Baik Sangaji maupun Titisari tiada
memperlihatkan reaksinya. Sangaji tak bergerak dan sedang tenggelam dalam
semadinya. Dan Titisaripun yang sehat bersikap acuh tak acuh, meskipun hatinya
tergetar bukan main. Semenjak mendengar suara sang Dewaresi, tahulah dia bahwa
tempat persembunyiannya bakal ketahuan. Dengan cermat ia mengawasi gerak-gerik
orang itu. Tatkala sang Dewaresi mendekati pintu, cepat ia berbisik kepada
kekasihnya. "Jangan bergerak! Dan bersikap-lah seperti engkau lagi dalam
semadi dan tiada bertenaga. Aku akan memancingnya agar mendekat. Lalu hantamlah
dia dengan Kumayan Jati untuk menghabisi nyawanya. Ingat! Kau harus melakukan
dengan sungguh-sungguh. Sebab kalau kau gagal kitalah yang bakal mati di
tangannya." "Tetapi... aku belum dapat menggunakan tenaga
tangan," sahut Sangaji dengan berbisik pula. Titisari hendak memberi
petunjuk, tatkala tiba-tiba pintu kena diruntuhkan. Kemudian tak lama lagi, sang
Dewaresi muncul dengan membawa obor di tangan. Menghadapi kenya-taan itu, cepat
ia mengasah otak. Pikirnya gelisah, aku harus mengusir dia selama lima hari
lagi. Tetapi bagaimana caraku? Aku tak bisa meninggalkan Sangaji. Sekali akan
melepaskan tempelanku, dia akan jatuh terkapar memuntahkan darah... Tatkala
sang Dewaresi menuruni tangga hendak mengambil obor, teringatlah dia kepa-da
ganjal pintu besi yang dimasukkan Fatimah lewat lubang dinding. Tanpa berpikir
panjang lagi ia segera menariknya ke samping. Dalam pada itu sang Dewaresi
masih jeri terhadap Sangaji. Benar ia telah memperoleh keterangan dari
pamannya, bahwa Sangaji terluka parah kena dilibat orang-orang tertentu
(Wilatikta dan kawan-kawannya) tetapi ia tak berani gegabah menghadapi pemuda itu.
Dasar cerdik, ia mau mencoba dahulu. "Adikku! Keluarlah! Apa perlunya
menyekap diri dalam kamar selembap itu..." Dengan sebelah tangannya ia
mengulurkan tangan. Maksudnya hendak menguji reaksi Titisari dan Sangaji.
Tetapi Titisari dan Sangaji masih saja berdiam diri seolah-olah tak mendengar
ujarnya. Melihat demikian, sang Dewaresi maju setapak lagi sambil meletakkan
obor. Mendadak saja, Titisari bergerak. Tahu-tahu sebuah tongkat besi berkesiur
mengemplang kepalanya. Sang Dewaresi kaget sampai berjingkrak. Untung ia gesit.
Ia bisa mengelak dan cepat mundur. Meskipun bebas jantungnya berde-gupan tak
keruan. Titisari menyesal bukan kepalang, karena serangannya gagal. Seumpama
dia bisa ber-gerak dengan leluasa, pastilah ia akan melom-pat memburu dan menyusul
kemplangan. Tetapi tangannya tak boleh terlepas dari genggaman Sangaji. Sekali
terlepas, akibatnya tak bisa dibayangkan. Itulah sebabnya, terpaksa ia
menundukkan kepala dengan hati jengkel dan pepat. Ia sadar akan arti kegagalan
itu. Sebab untuk seterusnya, sang Dewaresi akan bersikap lebih berwaspada dan
sewaktu-waktu malah bisa melancarkan serangan balasan. Dalam pada itu Gusti Ayu
Retnaningsih heran bukan main mendengar suara tongkat besi menghajar lantai, la
melihat pula sang Dewaresi meloncat mundur dengan gugup. ~erang sekali, ia lagi
menghindari suatu hajaran. Siapakah yang menghajarnya? Teringat akan kata-kata
sang Dewaresi tentang Sangaji dan Titisari, ia jadi sibuk sendiri. Apakah
mereda benar-benar berada di dalam kamar itu? Sang Dewaresi tatkala itu sudah
berdiri tegak mengancam di pintu, la tahu, Sangaji Jan Titisari tak dapat
berbuat banyak. Segera ia mengumpulkan keberanian dan memu-tuskan hendak
membalas menyerang. Meskipun Titisari sudah menduga akan menghadapi serangan
balasan demikian, namun hatinya tercekat pula. Maklumlah ia tak bisa bergerak
dengan leluasa. Dengan sebisa-bisanya ia mencoba menghalau setiap serangan
dengan tongkat besinya. Tetapi ia berlawanan dengan sang Dewaresi yang cerdik.
Setiap kali ia menyodokkan tongkat besinya, sang Dewaresi mundur. Kemudian maju
menyerang dengan cepat dan lincah, apabila Titisari sedang menarik tongkat
besinya. Diserang maju mundur demikian, lambat laun Titisari merasa kuwalahan
juga. Diam-diam, hatinya mulai mengeluh. Sadarlah dia, bahwa akhirnya ia akan
berada dalam kekuasaan jahanam itu. Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih melihat
kesukaran Titisari. Tanpa memedulikan keselamatan diri, serentak mereka
memanjat tangga hendak membantu. Masing-masing bersenjata golok dan merupakan
dua sekawan murid Suryaningrat. Tadi mereka telah memperlihatkan suatu kerja
sama tatkala menghadapi Cocak Hijau dan Surapati. Meskipun belum rapi, namun
kesanggupan dan kemampuan mereka tak boleh dipandang ringan. Sang Dewaresi
tertawa lebar melihat maju-nya mereka. Dia adalah seorang petualang tangguh dan
pernah pula mencekuk Gusti Ayu Retnaningsih dengan gampang. Karena itu ia tak
memandang sebelah mata kepadanya. Dengan suatu gerakan gesit, ia menyambar
tubuh Sangaji dan sama sekali tak mengacuhkan mereka. Meskipun tenggelam dalam
semadi, sesung-guhnya Sangaji melihat belaka perkelahian itu. Ia tahu, dirinya
tak bisa berbuat sesuatu. Itulah sebabnya begitu diserang Sang Dewaresi ia
hanya dapat memejamkan mata menunggu maut. Sebaliknya Titisari kaget bukan
main. Dengan mati-matian ia melemparkan tongkat besinya dan membabat pinggang
lawan. Sang Dewaresi sudah bersiaga. Cepat luar biasa ia menangkap tongkat besi
dan ditariknya keras. Iga-iga sang Dewaresi belum pulih kembali seperti
sediakala kena pukulan Sangaji, namun dalam mengadu tenaga dengan Titisari tak
usah dia kalah, la seorang yang berpengalaman dan berkepala besar. Dengan
sebe-lah tangan ia menarik dan tangan lainnya di-kerjakan untuk menyerang
musuh. Titisari kaget. Hatinya sangat cemas meng-hadapi perlawanan demikian.
Betapa tidak? Ia hanya dapat mempertahankan diri dengan sebelah tangan.
Sedangkan tangannya yang lain harus tetap menempel pada tubuh Sangaji. Sekali
terlepas, celakalah Sangaji. Kini ia menghadapi tarikan sang Dewaresi. Apabila
tongkat besinya kena direbut, sudah bisa dibayangkan betapa hebat akibatnya.
Itulah sebabnya, ia harus membagi tenaganya. Tangan kirinya menekam tangan
Sangaji dan tangan kanannya berkutat mempertahankan tongkat besi. Tubuhnya
sampai melengkung dan hampir tergeser kena tarik. Menghadapi kenyataan
demikian, tiada jalan lain kecuali melepaskan tongkat besinya. Memperoleh
keputusan demikian, ia segera mengikuti tenaga tarikan. Kemudian melepaskan
genggaman dibarengi dengan so-dokan. Setelah itu dengan cepat ia merogoh
senjata biji sawo. Terus saja ia mengham-burkan biji sawo itu menyerang dengan
berondangan. Sang Dewaresi terkejut. Ia pernah merasakan kesaktian senjata biji
sawo di Desa Gebang. Dahulu—seumpama tiada ditolong Gagak Seta—ia bisa jatuh
terkapar tiada berdaya. Karena itu, tatkala melihat benda ber-keredep, cepat ia
menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi. Itulah cara satu-satunya untuk
menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia Titisari. Tapi justru pada
saat itu, Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih datang menyerang dengan berbareng.
Kembali sang Dewiresi tercekat hatinya. Ia menggulingkan tubuhnya lagi. Dengan
demikian, golok Fatimah yang menetak lehernya menancap di lantai. Tepat pada
saat itu, biji sawo Titisari menyambar dan mengenai punggung Fatimah. Tak ampun
lagi, punahlah tenaga Fatimah. Lengannya tak dapat digerakan lagi. Sang
Dewaresi cerdik. Dengan matanya yang jeli, ia melihat keadaan Fatimah. Maka
sambil tertawa ia melompat dan menyambar tengkuknya dengan mudah. Kemudian
sebat luar biasa ia menarik lengan Fatimah dan dibawa mundur ke luar pintu.
"Kau mau apa sekarang?" dampratnya sengit. Gusti Ayu Retnaningsih
terhenyak menyak-sikan Fatimah kena bekuk begitu mudah. Dalam hatinya ia heran,
apa sebab Fatimah tak dapat membela diri. "Serang! Aku kena senjata!"
seru Fatimah nyaring. Semangat Gusti Ayu Retnaningsih seperti tergugah. Terus
saja ia mengibaskan goloknya dan membabat pinggang sang Dewaresi. Ia murid
Suryaningrat. Meskipun belum mahir, namun serangannya cukup berbahaya dan tak
gampang-gampang bisa dielakkan. Tapi ia menghadapi sang Dewaresi yang tangguh.
Kecuali itu, sudah mengetahui kelemahannya. Dengan sebat ia mengelak sambil
mendorongkan tubuh Fatimah sebagai perisai. Kemudian tangannya menyelonong
hendak mendekap dada. Sudah barang tentu, Gusti Ayu Retnaningsih takkan
membiarkan dadanya kena dekap laki-laki buaya itu. Dalam gugupnya ia menarik
babatannya. Kemudian dengan cepat melindungi dadanya. Meskipun demikian, tak
urung tangan sang Dewaresi masih saja bisa merobek bajunya. Dan tak dikehendaki
sendiri, terbukalah dada puteri bangsawan itu. Saking kagetnya, wajah Gusti Ayu
Retnaningsih pucat lesi. Sebagai seorang bangsawan besarlah arti terbukanya
dadanya. Tak terasa, goloknya terlepas sendiri dari genggamannya. Lalu dengan
tersipu-sipu ia mencoba menutupi dadanya. Dalam pada itu, sang Dewaresi
mencelat mundur sampai ke tangga. Kemudian dengan menggondol Fatimah ia turun
ke bawah dan duduk melepaskan napas di atas meja. Mau tak mau, hatinya tergetar
mengingat hebatnya serangan senjata rahasia Titisari. Ia bergidik sendiri,
manakala membayangkan betapa aki-batnya seumpama kena bidikan Titisari. Anak
Surengpati itu benar-benar hebat, pikirnya. Baiklah aku akan menyerangnya dari
sudut ketenangan hati. Aku akan mempermainkan anak bangsawan dan gadis ini di
depan hidungnya. Apabila ketenangan jahanam itu bisa kukacaukan... dia akan
mati lemas sendiri. Sebagai seorang yang berpengalaman tahu-lah dia, bahwa
pantangan seseorang yang lagi menyembuhkan luka parahnya dengan jalan bersemadi
ialah kekacauan hati. Apabila kena terkacau, jalan darahnya bisa lepas tak
ter-kendalikan. Akibatnya melumpuhkan urat nadi dan akhirnya merusak jantung.
Siapa saja akan mati dengan sendirinya, manakala berada dalam keadaan demikian.
Memperoleh pikiran demikian, bukan main girangnya sang Dewaresi. Pikirnya,
kalau bocah itu mampus... masakan Titisari tak kumiliki? Hm, apakah daya
andalan seorang perempuan? Lalu berkatalah dia nyaring kepada Gusti Ayu
Retnaningsih yang masih berada di loteng. "Eh, Nona! Kau biarkan temanmu ini
mati. dalam genggamanku atau tidak?" Setelah berkata demikian, ia
mengangkat tubuh Fatimah ke atas meja. Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang
pu-teri bangsawan yang halus perasaan. Tadi saja goloknya terlepas tanpa
tersentuh tangan sang ewaresi karena dadanya terbuka. Apalagi kini ia melihat
tingkah laku sang Dewaresi di hadapannya hendak menyakiti Fatimah. Seketika itu
juga, ia bingung bukan main. Tak dikehendaki sendiri, ia lari turun dari tangga
sambil berkata membujuk. "Sang Dewaresi! Janganlah engkau menyakiti dia?
Letak kehormatan seorang gadis hanyalah sekali itu saja. Karena itu
merdekakanlah dia... inilah permintaanku!" Mendengar ujar Gusti Ayu
Retnaningsih, sang Dewaresi tertawa gelak sampai tubuhnya tergoncang-goncang.
Menyahut, "hm, tak kusangka, bahwa seorang bangsawanpun akhirnya akan
merasa kembali sebagai manu-sia lumrah. Siapa mengira, bahwa engkau akhirnya
akan meminta-minta belas kasih-anku." Hebat ejekan sang Dewaresi terhadap
gadis bangsawan itu Namun Gusti Ayu Retnaningsih tak memedulikan martabatnya
lagi demi keselamatan Fatimah. Ia maju selangkah sambil berkata membujuk lagi.
"Dia murid Suryaningrat seperti aku. Kalau sampai kau rusak
kehormatannya... akibatnya akan panjang..." "Biar dia murid dewa, apa
peduliku?" sahut sang Dewaresi cepat. "Siapa suruh dia mem-bacok aku?
Coba kalau aku tiada cepat-cepat menggulingkan tubuhku, pada saat ini kepalaku
telah terpisah dari tubuhku. Hm—hm jangan mencoba engkau menggertak dengan nama
Suryaningrat! Apakah kau kira aku jeri terhadap murid-murid perguruan Gunung
Damar? Sekiranya Kyai Kasan Kesambi turun gunung hendak menuntut dendam, dia
ada tandingnya. Selain pamanku sendiri, Adipati Surengpati tidak bakal tinggal
diam memeluk tangan. Karena beliau adalah mertuaku. Kau tahu?" . Gusti Ayu
Retnaningsih tak tahu, apakah Adipati Surengpati benar-benar mertua sang
Dewaresi atau tidak? Hanya saja ia heran, mengingat pergaulan Titisari yang
erat dengan Sangaji. "Baiklah," katanya memutuskan. Ia mau menganggap
ujar sang Dewaresi separuh benar. "Karena engkau adalah menantu Paman
Adipati Surengpati, masakan engkau akan sudi memperkosa seorang gadis kalang-an
lumrah? Apakah keuntungannya." Waktu mengucapkan kata-kata ini, suaranya
agak menggeletar karena hatinya mengeluh. Sebagai seorang bangsawan rusaknya
kehormatan merupakan suatu pengucapan yang mengerikan. Dalam dirinya timbul
suatu pergulatan dahulu yang melampui Datas-batas kemartabatannya. Sebaliknya,
Fatimah merasa dirinya dihina. Dengan mata melotot ia mendamprat. "Apa
kauhilang? Siapa berani mengganggu kehor-matanku?" Mendengar dampratan
Fatimah, Gusti Ayu Retnaningsih terharu. Gadis angin-anginan itu betapa
mengerti tentang sepak terjang sang Dewaresi. Maka ia berkata mencoba,
"Sang Dewaresi! Engkau seorang gagah perkasa. Sebaliknya dia seorang gadis
tak berarti. Pastilah engkau mau membiarkan dia pergi." "Hm... mana
bisa aku membebaskan dengan gampang," sahut sang Dewaresi. Mendadak saja
matanya berkilatan. Kemudian berkata lagi, "Baiklah... dia akan
kubebaskan. Tetapi engkau harus bersedia meluluskan per-mintaanku." Gusti
Ayu Retnaningsih menggigil. Teringat-lah dia pada pengalamannya dahulu di Desa
Gebang. Waktu itu, hampir saja ia dipaksa meluluskan permintaannya. Untung,
Sangaji dan Titisari keburu menolong dan membe-baskan. Kalau tidak entahlah
jadinya. "Kau minta apa daripadaku?" ia mencoba menegas.
"Marilah kita mengadakan suatu perjanjian tukar menukar," sahut Sang
Dewaresi. "Gadis ini akan kubebaskan tetapi engkau harus bersedia menjadi
penggantinya. Kau setuju tidak?*' Meskipun sudah dapat menebak maksud sang
Dewaresi namun ia terkejut juga mendengar kata-kata itu. Untuk mencoba melawan,
betapa dia mampu. Sebaliknya mengharapkan suatu pertolongan lain adalah tak
mungkin. Karena itu dia jadi berputus asa. Tiba-tiba saja, tenaganya seolah-olah
lenyap. Dan tak setahunya sendiri, air matanya mengucur perlahan-lahan. 'Hai!
Kita boleh mampus! Tapi janganlah engkau mengucurkan air mata!" teriak
Fatimah. Mendengar suara Fatimah, sang Dewaresi tertawa melalui hidung. Dengan
pandang menatap Gusti Ayu Retnaningsih, ia berkata pasti. "Kalau
menolak... hm... gadis ini tidak-lah cukup berharga bagiku. Lihat! Dia akan
Kutekak tengkuknya." Setelah berkata demikian, tangannya menggempur meja.
Dan meja itu semplak berantakan. Gusti Ayu Retnaningsih terperanjat. Pikirnya,
Guru sendiri belum tentu memiliki tenaga begi-ii. Sesungguhnya, sang Dewaresi
hampir ewarisi ilmu kepandaian Kebo Bangah. Dibandingkan dengan Suryaningrat
murid bungsu Kyai Kasan Kesambi ia masih menang tangguh. Di Desa Gebang,
Sangaji kena dikalahkan. Sedangkan Sangaji bisa mengalahkan Pringgasakti.
Sebaliknya Wirapati dan Bagus Kempong merasa diri tak menang melawan iblis itu.
"Nah—bagaimana?" desak sang Dewaresi galak begitu melihat rasa
was-was Gusti Ayu Retnaningsih. "Aku harus mengganti bagaimana?"
sahut gadis bangsawan itu gugup. "Kau harus tunduk dan tak membangkang
segala perintahku dan kehendakku. Kalau tidak... tengkuk gadis ini akan
kupatahkan." Dan ia mengancamkan tangannya ke tengkuk Fatimah. Sudah
barang tentu, Gusti Ayu Retnaningsih yang tak pernah menyaksikan suatu
peristiwa ngeri bermain di depan matanya, terkejut melihat ancaman itu. Sampai
tak dikehendaki sendiri ia menjerit. "Bagaimana?" Sang Dewaresi
mengulang desakan lagi. Dengan terpaksa Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk.
"Bagus!" seru sang Dewaresi menang. "Sekarang—tutuplah pintu
depan itu!" Gusti Ayu Retnaningsih enggan bergerak. "Kau dengar tidak
perintahku ini?" Sang Dewaresi membentak. Kena bentakan itu, mau tak mau
Gusti Ayu Retnaningsih melakukan perintahnya. Dengan hati berdebaran, ia
menutup pintu. "Bagus!" kata sang Dewaresi sambil melem-parkan
Fatimah di atas meja. Berkata nyaring, "Sekarang gadis ini kujadikan
barang tanggungan. Tulang sambungnya akan kugempur sedikit agar tak dapat
bergerak." la benar-benar melakukan apa yang diucap-kan. Dan berbareng
dengan jeritnya Gusti Ayu etnaningsih, Fatimah tak berkutik. Sang Dewaresi
tertawa puas. Kemudian dengan Dandang manis ia mengarah kepada Gusti Ayu
Retnaningsih yang berdiri bergemetaran. Berkata nyaring pula, "dahulu di
Desa Gebang, kesenangan kita kena ganggu bocah tolol itu. ^alam ini... kita
bertemu kembali bukan?" "Di sini tak akan ada yang mengganggu kita.
Kau sedia mengikuti perintahku bukan?" "Bangsat! Jangan dengarkan
perintahnya. Biarlah dia membunuh aku!" teriak Fatimah tiba-tiba. Dan
mendengar teriakan itu, sang Dewaresi bergusar bukan main. Meledak,
"Bagus! Aku tadi berjanji hendak membe-baskan engkau asai sala dia sanggup
meng-gantikan. Tapi engkau berteriak seperti anjing. Huh, kau tunggu saja aku
membuktikan ucapanku." Pandang matanya jadi bertambah liar. Semenjak
kanak-kanak, Fatimah hidup bebas dan boleh dikatakan setengah liar. Karena itu
tak pernah takut kepada segala. Sehingga sering membawa adatnya sendiri yang
angin-anginan. Kini menghadapi sang Dewaresi yang hendak membuktikan ucapan-nya
ia jadi takut bukan kepalang. Dan inilah untuk pertama kalinya dalam hidupnya,
ia benar-benar merasa takut. Fatimah jadi menggigil ketakutan. Mau ia meronta,
tetapi tenaganya telah dipunahkan sang Dewaresi. Satu-satunya jalan, ia hanya
bisa meludah dan mencaci kalang kabut. "Kau benar-benar anjing
bengal!" kutuk sang Dewaresi, kemudian menotoknya sehing-ga gadis itu jadi
terbungkam gagu. Setelah itu ia menatap kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan berkata,
"Kau sudah berjanji hendak patuh kepada semua perintahku. Engkau seorang
bangsawan, harus bisa memegang janji. Kalau tidak, omonganmu tiada harganya.
Apakah aku harus memaksamu?" Baik Fatimah maupun Gusti Ayu Retnaningsih
benar-benar merasa dirinya tak berdaya. Fatimah tak dapat bergerak dan
berbicara, namun telinganya dapat mendengar dengan terang. Diapun sedang
menghadapi saat-saat yang mengerikan. Ingin ia berteriak minta pertolongan
Titisari, tetapi celakanya mulutnya tak dapat dibukanya. Karena itu hatinya seolah-olah
akan meledak. Sedang Gusti Ayu Retnaningsih takut bukan main menghadapi bencana
demikian. Apalagi, kalau sampai sang Dewaresi bertindak dengan kasar. Hal itu,
tak sanggup ia membayangkan. Dalam pada itu Titisari telah memperbaiki diri.
Tongkat besi yang tadi kena rebut sang Dewaresi dapat digapainya kembali.
Kemudian ia mempersiapkan cundrik dan sen-ata rahasianya untuk berjaga-jaga
menghadapi serangan sang Dewaresi kembali yang mungkin sekali terjadi dengan
tiba-tiba. Tatkala mendengar peristiwa yang terjadi di ruang bawah, hatinya
mendongkol dan panas. Sebagai seorang wanita, ia bisa ikut merasakan
penderitaan batin Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah. Tetapi dasar hatinya
masih kanak-kanak, maka timbulah suatu keinginan lain hendak ikut pula menyaksikan
apa yang bakal terjadi selanjutnya. Ia mendengar Gusti Ayu Retnaningsih.
Mendadak berkata nyaring dan tegas. "Kau bunuh sajalah aku!" Sang
Dewaresi tercengang sejenak. Sama sekali tak diduganya, Gusti Ayu Retnaningsih
hendak memutuskan sikap demikian. Sekonyong-konyong ia melihat benda
ber-keredap mengarah padanya. Itulah cundrik Gusti Ayu Retnaningsih yang
ditimpukkan dengan tak terduga. Tetapi sang Dewaresi bukanlah seorang laki-laki
lemah. Cepat ia mengibaskan tangan dan menangkis cundrik itu dengan mudah.
Melihat serangannya gagal, Gusti Ayu Retnaningsih tak mau susah. Dengan sekali
lompat ia hendak memungut cundriknya. Sebaliknya, sang Dewaresi sadar akan
bahaya. Diapun melompat pula dan merampas cundrik. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar pintu diketuk dari luar: "Kula nuwun! Kula nuwun. Itulah
suaranya seorang wanita yang ingin bertemu dengan pemilik benteng. Wajah Gusti
Ayu Retnaningsih terus saja bersinar terang. Dalam kepepatannya ia mem-peroleh
sepercik harapan. Demikianlah dengan hati berdebaran segera ia menghampiri
pintu dan membuka dengan cepat. Dan di ambang pintu, terlihatlah seorang gadis
cantik molek yang terpotong rambutnya dengan mengenakan pakaian Jawa. Di
pinggangnya terselip sebatang golok. Pandang wajahnya agak kuyu, namun tak mengurangi
kejelitaan-nya. Gusti Ayu Retnaningsih belum pernah mengenal atau bertemu
dengan gadis itu. Namun karena menaruh harapan besar, ia mau men-ganggapnya
sebagai bintang penolongnya. Itulah sebabnya dengan agak gemetaran ia
menyambut. "Silakan masuk, Nona!" Gadis itu berdiri keheranan melihat
Gusti Ayu Retnaningsih yang berparas elok dan mengenakan pakaian serba mahal.
Sama sekali tak diduganya, bahwa pemilik benteng atau setidak-tidaknya penguasa
benteng itu adalah seorang gadis begini agung. Itulah sebabnya setelah
mengamat-amati sejenak, Daru ia berkata "Aku kebetulan lewat di sini. Dari
luar kulihat nyala dian. Apakah Nona penghuni benteng kuno ini?"
Sebenarnya Gusti Ayu Retnaningsih akan memberi keterangan tentang dirinya dan
apa sebab sampai berada di benteng. Tetapi mengingat bahaya yang lagi
mengancamnya tanpa banyak cing-cong lagi terus ia mengiakan sambil
mempersilakan. "Masuklah!" Gadis itu kembali heran dan nyaris tak
percaya kepada penglihatannya sendiri. Pikirnya, benar-benarkah gadis ini penghuni
benteng? Katanya menegas lagi. "Maksudku... apabila Nona mengijinkan, aku
hendak menginap di sini." "Baik-baik, masuklah!" sahut Gusti Ayu
Retnaningsih cepat. Memperoleh sahutan itu, tiada ragu-ragu lagi masuklah gadis
itu. Tatkala menebarkan penglihatannya, mendadak ia melihat sang Dewaresi. Ia
nampak terkejut, lantas mundur selangkah sambil menghunus goloknya. Sang
Dewaresi kala itu telah memperdengarkan tertawanya, lalu datang mendekati
menghadang pintu. "Inilah jodoh!" katanya. "Semua-semuanya Tuhan
yang mengatur pertemuan ini. Kini terang sekali, bahwa engkau ditakdirkan
datang padaku. Inilah suatu karunia. Kalau karunia begini tiada diterima,
benar-benar kita manusia durhaka." Gadis yang datang itu sesungguhnya
Nuraini. Ia pernah kena tawan sang Dewaresi, dan pernah pula dicemarkannya.
Setelah bentrok hebat dengan Sanjaya, habislah sudah harapannya. Hatinya jadi
tawar dan merasa diri seorang yatim piatu. Di depan Titisari, ia memangkas
rambutnya. Kemudian melarikan diri tanpa tujuan tertentu. Pada malam harinya,
ia membanting dirinya dan menyesali nasibnya yang buruk. Setelah kepepatannya
agak surut, mulailah ia bisa berpikir dan menimbang-nimbang. Ia tak bisa
mempersalahkan Sanjaya. Sebaliknya— teringat kepada yang membuat gara-gara—
hatinya berdendam, tapi betapa bisa melawan sang Dewaresi yang gagah perkasa
dan mem-punyai kaki tangan tak terhitung jumlahnya. Meskipun demikian, setelah
menimbang-nim-bang beberapa hari lamanya, ia jadi nekat. Pertama-tama ia hendak
berpamit dari Sanjaya, untuk berpisahan selama-lamanya. Kemudian mencari sang
Dewaresi untuk membuat perhitungan. Demikianlah—setelah menetapkan hati—ia
berangkat ke timur hendak mencari Kabupaten Bumi Gede. Di luar dugaannya,
perang mulai pecah. Dengan sendirinya ia memperoleh kesukaran-kesukaran di luar
keinginan. Sanjaya tak dapat diketemukan. Kabupaten Bumi Gede kosong. Semua
pahlawan-pahlawannya berangkat ke medan perang. Dengan hati bingung,
terpaksalah ia berangkat lagi menuju ke barat. Dalam kepepatannya, ia hendak
menyusul Sanjaya di medan pertempuran. Malam itu lewatlah ia di depan benteng.
Setelah berjalan berhari-hari lamanya, ia merasa diri letih. Mengira benteng
itu adalah suatu tempat yang aman, tanpa berpikir pan-jang lagi terus saja ia
memasuki benteng. Mendadak saja ia bertemu dengan sang Dewaresi. Ia belum
pernah bertemu dengan Gusti Ayu Retnaningsih. Mengingat dirinya sendiri, ia
mengira Gusti Ayu Retnaningsih salah seorang gula-gula sang Dewaresi. Ia benci
kepada sang Dewaresi. Tanpa berbicara lagi, terus saja ia menyambar Gusti Ayu
Retnaningsih sambil membabatkan goloknya. Sang Dewaresi benar-benar tangguh dan
waspada. Dengan sekali menjejak tanah, ia meloncat menghadang dan menangkis
golok Nuraini. Dan pada detik itu juga, ia berhasil menangkap tangan Nuraini,
kemudian dibekuknya sampai tak dapat berkutik. Dalam pada itu, Gusti Ayu
Retnaningsih lari menghampiri Fatimah setelah terlepas dari bahaya. Ia hendak
membebaskan Fatimah hanya saja tak tahu bagaimana caranya. Selagi ia sibuk
memijat-mijat, sang Dewaresi sudah berhasil, memeluk Nuraini dan dibawa
menghampiri. Ia berkata sambil tertawa menang. "Eh, kau lagi apa?"
Gusti Ayu Retnaningsih terkejut, sampai melepaskan pijatannya. Selagi ia
kehilangan ketetapan hati, terdengarlah suara sang Dewaresi nyaring. "Adikku
Titisari? Hayolah turun! Masakan engkau akan melewati malam gembira ini?"
Hampir berbareng dengan ucapannya terlihatlah sesosok bayangan berkelebat
mema-suki pintu. Dialah Sanjaya anak angkat Pangeran Bumi Gede. Seperti
diketahui, Sanjaya keluar benteng jengan Pangeran Bumi Gede bersama-sama lengan
kaburnya Manyarsewu, Cocak Hijau, Yuyu Rumpung dan lain-lainnya. Pada saat itu
rertempuran makin lama makin sengit. r3sukan gabungan antara Pangeran Bumi Gede
dan Patih Danureja II kena didesak mundur oleh laskar kasultanan dibawah
pimpinan Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, kekalahan ini belum merupakan
kekalahan mutlak. Masing-masing pihak masih bisa saling menerobos garis
pertahanan. Karena itu, Pangeran Ontowiryo dapat datang sampai di benteng itu.
Sebaliknya Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya saat itu berada di belakang garis
depan laskar kasultanan. Setelah berputar-putar, Sanjaya berpisah lari ayah
angkatnya. Mereka saling berjanji hendak bertemu kembali di benteng itu. Di
tengah jalan mendadak ia melihat berkelebatnya Nuraini. Terus saja ia
menguntitnya, heranlah dia. waktu melihat Nuraini bersinggah di benteng itu.
Kecurigaannya timbul. Dengan mengendap-endap ia menghampiri benteng dan
mengintip dari balik tembok. Begitu melihat sepak terjang sang Dewaresi terhadap
kekasihnya, hatinya mendongkol. Memang, diam-diam ia bersakit hati terhadap
pendekar Banyumas itu yang memperlakukan Nuraini begitu rupa di lumbung desa
dahulu. Kini dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan betapa sang Dewaresi
memeluk Nuraini dan Gusti Ayu Retnaningsih dengan bernafsu, sedang Fatimah
menggeletak tak berdaya di atas meja. Ia belum kenal Gusti Ayu Retnaningsih dan
Fatimah, tetapi sudah dapat menduga-duga tujuh bagian sebelumnya. "Ih!
nDoromas Sanjaya!" seru sang Dewaresi girang. "Kau datang lagi?
Inilah namanya, engkau lagi kejatuhan rejeki." Dengan menahan sakit hati,
Sanjaya meng-angguk, la berpura-pura membawa sikap belum mengenal ketiga gadis
itu semua. Meskipun demikian, pandangannya kelihatan geram. Melihat sikap
Sanjaya dengan pandangan-nya agak geram sang Dewaresi mengerenyitkan alis.
"Jangan cemburu, nDoromas. Akupun tak kan serakah. Kau boleh pilih, mana
saja yang kausukai." Kembali Sanjaya mengangguk. Matanya mencuri pandang
kepada Nuraini yang kena peluk tak berkutik. Sang Dewaresi tertawa perlahan.
Kemudian oerkata acuh tak acuh. "Ketiga-tiganya ini adalah milikku. Apakah
mereka kurang cantik? Kukira, aku sependapat dengan nDoromas bahwa mereka ini
mempunyai kecantikan masing-masing." Untuk ketiga kalinya Sanjaya mengangguk.
Sang Dewaresi tidak mengetahui adanya hubungan istimewa antara Nuraini dan
Sanjaya. Tatkala mereka dahulu bertemu di gelanggang mencari jodoh di
Pekalongan, ia tidak hadir. Meskipun tadinya Sanjaya tidak menaruh perhatian
terhadap gadis itu, tapi 'ambat laun hatinya mulai tergerak. Beberapa kali
mereka bertemu, berbicara dan bertengkar. Betapapun meninggalkan kesan juga.
Kini ia menyaksikan gadis itu berada dalam pelukan sang Dewaresi. Hatinya
bergolak, namun ia bisa mengendalikan diri. "Duduklah!" sang Dewaresi
mempersilakan. Sebentar lagi kita akan dapat menyaksikan pamandangan yang
menarik dan meng-asyikkan. Ia tertawa menyeringai. Matanya berkilat-kilat.
"Kau setuju tidak?" "Bagus!" Tiba-tiba Sanjaya menyahut
dengan tertawa riang. Mendengar ujar Sanjaya, Nuraini terkejut. Hatinya sakit
dan panas bukan main. Diam-diam ia mengerling kepada Sanjaya. Melihat sikap dan
lagak lagu pemuda itu, mendadak saja hatinya dingin dan bertambah tawar. Ingin
ia membunuh diri di depannya, agar terbebas dari suatu penderitaan. Oleh
pikiran ini tangannya lantas saja menggerakkan goloknya. Tapi belum sampai ia
berbuat sesuatu, sang Dewaresi telah mencengkeram pergelangan-nya. Mau tak mau,
ia harus melepaskan goloknya yang segera jatuh bergelontangan di atas lantai. "Galak
benar gadis ini," gerutu sang Dewaresi. "Biarlah ini bagianku. Aku
senang kepada gadis yang galak. nDoromas kuberi gadis yang berada di atas meja.
Bagaimana pendapatmu?" "Mana saja... bukankah semua cantik
jelita?" sahut Sanjaya riang. Ketiga gadis itu tak akan berkutik. Namun
pendengaran dan penglihatan mereka tak ter-ganggu. Karena itu, mereka
mendongkol mendengar dan melihat sepak terjang mereka. Meskipun hatinya mau
meledak, tapi mereka tak dapat berbuat apa-apa. "Ha—itulah jawaban seorang
laki-laki sejati," sang Dewaresi memuji. Tiba-tiba Nuraini menegakkan
kepalanya dan menatap wajah Sanjaya. Meledak, 'Sanjaya! Apakah engkau sudah
menjadi atang?" Hebat ucapan itu. Baik Nuraini maupun Sanjaya tergetar
hatinya. Seumpama tiada -terasa dirinya terdorong ke pojok, gadis sehalus
Nuraini tak kan mungkin mengucapkan kata-kata sekasar itu. Sanjaya pun belum
pernah kena maki demikian. Selama hidupnya entah sudah berapa kali ia
bersenang-senang rengan kaum wanita, tapi belum pernah dihinggapi nafsu untuk
hendak mencemarkan. Karena itu ucapan Nuraini benar-benar menusuk hatinya. Tapi
dasar licik dan licin, ia Disa menguasai diri. Dengan tersenyum ia nembuang
muka dan berkata kepada sang Dewaresi. "Benar," kata sang Dewaresi.
"Dia sangat galak." Mendengar ujar Sanjaya, sang Dewaresi tertawa
tergelak-gelak. Terus saja ia menyahut. "Itulah pikiran bagus! Hayo kita
bertaruh, di antara kedua gadis ini siapakah yang memiliki betis paling bersih
dan kuning." Setelah berkata demikian. Sang Dewaresi menggerayangi tumit
Gusti Ayu Retnaningsih. "Nanti dulu!" cegah Sanjaya. "Golok ini
harus kita singkirkan dahulu. Berdekatan dengan seorang perempuan, harus bebas
dari rasa ngeri." "Ah! nDoromas benar-benar teliti. Hayo singkirkan
golok itu! Ha—bagaimana pendapat nDoromas selanjutnya?" "Aku adalah
kelinci yang kejatuhan rejeki. Sebenarnya tak berhak ikut menentukan. Tapi
karena sang Dewaresi minta pertimbanganku, baiklah terserah kepada sang
Dewaresi menanggalkan pakaiannya sepotong demi sepotong. Itulah lebih
menggetarkan hati..." "Bagus!" sahut sang Dewaresi. Habis
berka-ta demikian, terus saja ia hendak mulai beker-ja. Mula-mula ia
memperbaiki pakaiannya dahulu, kemudian membungkuki Gusti Ayu Retnaningsih dan
Nuraini. Sudah barang tentu Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini mendongkol bukan
main diperlakukan demikian. Kalau saja hatinya kurang tabah, pastilah mereka
akan jatuh pingsan dengan berbareng. Diam-diam mereka sudah mengambil
keputusan. Apabila mereka berani mencemarkan namanya, akan menggigit lidahnya
sendiri sampai mati. Pada saat itu, Sanjaya membungkuk memu-ngut golok Nuraini
yang tadi jatuh bergelon-tangan di atas lantai. Dengan sudut matanya ia
mengerling sang Dewaresi yang lagi menumpahkan seluruh perhatiannya kepada
Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini. Kedua tangannya mulai bekerja. Dengan
cekatan, ia hampir dapat menyibakkan kain Gusti Ayu Retnaningsih dan Nuraini
berbareng. Mulutnya engulum senyum luar biasa puas. Karena hatinya ikut
berbicara, dahinya sampai ber-keringat. Itulah suatu tanda, bahwa seluruh
perasaannya terpusat pada apa yang bakal terlihat nanti. Sekonyong-konyong
terjadilah suatu ke-gemparan, di luar dugaan Sanjaya nampak mengeraskan
genggamannya. Dengan mengertak gigi—ia melompat sambil meng-gerung. Kemudian
menikam perut sang Dewa-resi dua kali berturut-turut. Berbareng dengan itu, ia
menendang meja sehingga terbalik. Kejadian ini datangnya sangat tiba-tiba dan
di luar dugaan. Baik Nuraini, Gusti Ayu Retnaningsih, Fatimah, Titisari dan
Sangaji kaget bercampur heran. Sang Dewaresi sendiri mula-mula tak percaya akan
kenyataan itu. Itulah sebabnya pula, ia seperti terpaku tatkala kena tikaman
yang pertama kalinya. Tetapi begitu merasa sakit tersadarlah dia. Sebat luar
biasa ia menangkis tikaman Sanjaya yang kedua sambil melemparkan tubuh Gusti
Ayu Retnaningsih dan Nuraini berjungkir-balik. Kemudian dengan kecepatan
mengagumkan, ia menimpuk Sanjaya dengan cundrik Gusti Ayu Retnaningsih yang
tadi kena dirampasnya. Tetapi Sanjaya sudah bersiaga. Begitu melihat
berkeredepnya cundrik, ia melompat menghindar. Kemudian menjatuhkan diri dengan
bergulingan. Hatinya kecut dan ketakut-an. Sama sekali tak diduganya bahwa sang
Dewaresi masih mempunyai tenaga untuk melawan dan membalas. Tanpa berpikir
pan-jang lagi ia menjejak tanah hendak melarikan diri. Tetapi karena hatinya
terlalu takut, mendadak saja tenaganya seperti hilang. Kedua kakinya terasa
menjadi lemas dan tak mau menurut perintah kemauannya. "Jahanam! Kau mau
lari ke mana?" gertak sang Dewaresi. Karena kesannya bercampur aduk luar
biasa, mendadak saja ia tertawa terbahak-bahak seperti iblis. Wajahnya
menyeramkan dan berubah bengis luar biasa. Dengan meminjam tenaga tangan, ia
mencengkram pinggiran meja siap hendak meloncat menubruk. "Hanya satu hal
aku tak mengerti," katanya. "Aku sang Dewaresi yang biasa hidup
malang-melintang tanpa tandingan mengapa harus mampus di tanganmu? Sanjaya! Apa
sebab engkau membunuh aku?" Ditinjau selintasan nampaknya alasan Sanjaya
membunuh sang Dewaresi adalah bergolaknya rasa cemburu semata-mata. Tetapi
sebenarnya ia mempunyai alasannya sendiri yang jauh lebih mendalam. Ia kena
dikalahkan Sangaji. Bahkan kini ilmu kepandaiannya sama sekali tak berarti
apabila dibandingkan dengan Sangaji. Kenyataan yang pahit benar-benar
mengge-lisahkan hatinya. Dj luar dugaan, mendadak saja ia mulai berkenalan
dengan Kebo Bangah—paman sang Dewaresi yang terkenal sebagai salah seorang
tokoh sakti pada zaman itu. Maka timbullah hasratnya untuk menjadi muridnya. Ia
percaya manakala Kebo Bangah mau mengambilnya sebagai murid di kemudi-an hari
pasti bisa menandingi Sangaji. Tetapi adat Kebo Bangah bukanlah seperti
kebanyakan pendekar. Dia tak dapat ditimbuni harta benda agar bisa menerimanya
sebagai murid. Dalam hidupnya ia hanya menerima seorang murid belaka. Yakni,
sang Dewaresi. Oleh kenyataan itu Umbulah niatnya hendak menyingkirkan sang
Dewaresi. Pikirnya, kalau sang Dewaresi tiada pastilah Kebo Bangah membutuhkan
seorang ahli waris ilmu kepandaiannya. Tetapi ia merasa diri tak mampu
menyingkirkan sang Dewaresi dengan terang-terangan. Dalam segala hal, ia merasa
kalah. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menikam dari belakang secara
tiba-tiba. Tetapi niat itu tak mudah dilaksanakan. Sang Dewaresi adalah tokoh
pendekar yang sangat berwaspada dan tak gampang-gampang bisa diingusi. Mendadak
saja terjadilah peristiwa itu. Ia melihat betapa sang Dewaresi terlibat dalam
nafsu kebinatangannya hendak memperkosa tiga gadis dengan sekaligus yang
sebenarnya bertujuan untuk menggugurkan ketenangan hati Sangaji. Begitu
bernafsu dia sampai ia jadi lengah. Tahu-tahu sebatang golok menikam perutnya
dua kali berturut-turut. "Hai binatang! Mengapa engkau membunuh aku?"
bentaknya lagi. Sanjaya tak menjawab. Ia berusaha menguasai diri hendak lari
secepat mungkin meninggalkan benteng. Tetapi selagi tubuhnya bersiaga hendak me-loncat,
tiba-tiba lehernya telah kena cengke-ram. Cengkeraman itu keras luar biasa
bagai gaetan besi. Sanjaya kaget bukan main. Gugup ia men-coba membebaskan
diri. Segenap tenaganya dikerahkan. Sekalipun demikian, ia tak berhasil.
Malahan ia jatuh tersungkur dengan tak dikehendaki sendiri. "Kau tak mau
berbicara?" bentak sang Dewaresi dengan suara menggerang. Terus saja ia
menindih punggung Sanjaya. "Apakah engkau akan membiarkan aku mati dengan
penasaran?" Setelah berkata demikian, ia tertawa iblis. Ternyata ia masih
bertenaga kuat. "Baiklah... aku akan memberi keterangan," sahut
Sanjaya dengan suara putus asa. Dengan gemetaran ia menuding kepada Nuraini
yang masih saja rebah tak berkutik di atas meja. Katanya kemudian "Tahukah
kau siapakah dia?" Sang Dewaresi menoleh. Ia melihat Nuraini dan merenungi
sejenak. Kemudian menegas, "Dia... dia siapa?" Mendadak saja ia
berbatuk-batuk. Tangannya menggigil. Ternyata darah yang meledak dari perutnya
tak ubah banjir menje-bol bendungan. "Dialah tunanganku," sahut Sanjaya.
"Dua kali engkau menghina aku. Yang pertama di lumbung desa. Dan kini...
di sini. Masakan aku akan menjadi seorang penonton belaka?"
"Benar" kata sang Dewaresi. Ia tertawa perlahan melalui dada.
"Marilah kita pulang ke neraka dengan berbareng..." Terus saja ia
mengangkat tangan hendak menetak tengkuk. Ia adalah seorang yang memiliki
tenaga kuat luar biasa. Tadi ia bisa mengempur meja sampai semplak. Karena itu
dapat dibayangkan betapa akibatnya apabila tengkuk Sanjaya kena kemplang.
Sanjaya menutup matanya. Tahulah dia, bahwa saat kematiannya akan tiba. Dalam
benaknya, berkelebatlah pengalaman-pengalamannya yang lalu. Dalam detik itu
terasalah suatu kesedihan mencekam ulu hatinya. Tetapi sekian lama ia menunggu,
tangan sang Dewaresi belum juga turun. Ia jadi heran dan menebak-nebak.
Hati-hati ia menjenakkan mata. Pandang mata sang Dewaresi masih tetap kejang
dan wajahnya menyeringai iblis. Mulutnya kelihatan mengulum senyum maut.
Tangannya terangkat setinggi kepala, namun sama sekali tak bergerak. Sanjaya
meronta dan merenggutkan diri. Ternyata tenaga sang Dewaresi tiada lagi. Dengan
suara gedebruk, tubuh sang Dewaresi terjengkang ke belakang dan jatuh
tersungkur di atas lantai. Nyawanya melayang pada saat tangannya terangkat
hendak menetak tengkuk. Sanjaya tercengang-cengang sampai mulut-nya melongoh.
Inilah suatu kejadian yang jarang terjadi. Nuraini yang berada di atas meja
heran pula. Tadi sewaktu mendengar kekasihnya kena dibekuk sang Dewaresi, ingin
ia meloncat memberi pertolongan. Tetapi ia tak dapat berkutik hingga hatinya
mengeluh. Sebaliknya begitu menyaksikan betapa Sanjaya terlepas dari maut
dengan tak terduga, ia malah jadi terlongong-longong. Dengan langkah
perlahan-lahan, Sanjaya menghampiri Nuraini dan membebaskannya dari siksaan
sang Dewaresi. Begitu Nuraini merasa bebas, dengan cepat ia memberi pertolongan
kepada Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah pula. Setelah itu ia menghampiri
kekasihnya dan mendadak saja mereka saling memeluk. Dalam keadaan demikian,
banyak-lah ungkapan kata yang meraung dalam hatinya. Tetapi mulutnya tak kuasa
menceraknya. Tatkala dengan tak sengaja merenungi mayat sang Dewaresi, hati
mereka bergeridik tak setahunya sendiri. Dalam pada itu, Fatimah dan Gusti Ayu
Retnaningsih telah memperbaiki pakaiannya. Hati mereka masih penuh kesan
peristiwa yang baru saja terlampaui. Namun begitu, mereka tak lupa menyatakan
terima kasih kepada penolongnya. Mereka tahu, siapakah Sanjaya. Ternyata dia
anak Pangeran Bumi Gede lawan Pangeran Ontowiryo. Meskipun demikian, mereka
tetap memberi hormat sebagai penolongnya yang membinasakan sang Dewaresi.
Demikianlah... setelah membungkuk hormat—mereka berjalan dengan bergandengan
tangan keluar dari benteng. Sebagai manusia yang tahu apa artinya berhutang
budi, tak mau mereka menganggap Sanjaya sebagai musuhnya lagi. Itulah
sebab-nya, golok dan cundrik mereka dibiarkan menggeletak di atas lantai di
bawah sinar obor yang berkelebat-kelebat dari dinding ke dinding. ***
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 29 AJALNYA SANG DEWARESI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 29 AJALNYA SANG DEWARESI"
Post a Comment